dr.edy conth pres
DESCRIPTION
abortus imminensTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Gravida 2 Para 1 Abortus 0 Usia 36 tahun Usia Kehamilan 37 minggu, janin
tunggal hidup intrauterine, presentasi kepala, punggung kanan, Inpartu
Kala I Fase Laten dengan Struma
Pembimbing:
dr. Edy Priyanto, Sp.OG
Oleh:
Dhita Hestilana Anindyajati G4A014035
Galuh Ajeng Parandhini G4A014036
SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
G2P1A0 Usia 36 tahun Usia Kehamilan 37 minggu, janin tunggal hidup
intrauterine, presentasi kepala, punggung kanan, Inpartu Kala I Fase Laten
dengan Struma
Oleh:
Dhita Hestilana Anindyajati G4A014035
Galuh Ajeng Parandhini G4A014036
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disetujui dan disahkan
Pada tanggal, September 2015
Pembimbing,
dr. Edy Priyanto, Sp.OG
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini. Presentasi kasus
ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas
Jenderal Soedirman yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono
Soekarjo.
Dengan bekal pengetahuan, pengarahan, serta bimbingan yang diperoleh
sebelum dan sesudah menjalani kepaniteraan ini, penulis mencoba membahas
mengenai kasus yang berjudul “G2P1A0 Usia 36 tahun Usia Kehamilan 37
minggu, janin tunggal, janin hidup intrauterine, presentasi kepala, punggung
kanan, inpartu Kala I Fase Laten dengan Struma”.
Pada kesempatan ini, penulis juga berkeinginan untuk mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Edy Priyanto, Sp.OG selaku
pembimbing kami yang telah banyak memberikan arahan dan masukan yang
berarti, serta terima kasih bagi teman-teman atas kerjasama yang baik.
Kami menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna dan
memiliki banyak keterbatasan. Oleh sebab itu, penulis menerima dengan senang
hati segala kritik dan saran yang membangun demi kebaikan penulis. Akhir kata
semoga pembahasan kasus ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca
sekalian.
Purwokerto, September 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai penyakit endokrin banyak ditemui pada kehamilan. Adanya
penyakit endokrin dapat mempersulit atau mengambat kehamilan begitu pula
sebaliknya, kehamilan dapat mempengaruhi penyakit endokrin. Penyakit
endokrin pada kehamilan yang paling umum dijumpai adalah diabetes
mellitus dan tiroid.
Tiroid adalah kelenjar yang terletak di leher bagian belakang. Fungsi
utama kelenjar tiroid adalah memproduksi hormon tiroid (T3 dan T4) dari
iodium dan tirosin, dan mengatur aktivitas metabolisme tubuh. Hormon T3
dan T4 sendiri berperan penting dalam mengendalikan aktivitas metabolik
seluler (Sherwood, 2008).
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh
penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini
ada yang menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Struma umumnya terjadi akibat kekurangan yodium
yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid
sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis
anterior (Sjamsuhidajat, 2005).
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan menjadi
eutiroidisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Hipertiroidisme merupakan
suatu sindrom klinik akibat meningkatnya sekresi hormon tiroid didalam
sirkulasi baik tiroksin (T4), triyodotironin (T3) atau kedua-duanya (Jamson,
2005). Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki
dengan ratio 5:1. Angka kekerapan hipertiroidisme pada wanita hamil
diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan, namun bila tidak terkontrol
dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian
janin (Girling, 2008).
Deteksi dini hipertiroidisme pada kehamilan sangat penting, baik untuk
mencegah terjadinya perburukan maupun untuk pengelolalaan khusus
penderita hipertiroidisme pada kehamilan sehingga tidak memberikan
pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. R
No.CM : 00961762
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Krangean, RT 03/10. Kertanegara. Jawa Tengah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RSMS : 27 Agustus 2015/ 12.55 WIB
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kenceng-kenceng
2. Keluhan Tambahan
Pasien mengaku telah merasa keluar lendir dan darah sejak jam
11.00, namun tidak disertai adanya pengeluaran cairan ketuban. Selain itu,
pasien mengaku memiliki benjolan di bagian leher berukuran kecil dan
disertai adanya rasa sering berdebar-debar dan kerap berkeringat.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang sendiri ke IGD RSUD.Prof.Dr. Margono Soekarjo
Puwokerto tanggal 27 Agustus 2015 pukul 12.55 dengan keluhan kenceng-
kenceng sejak jam 11.00 kenceng-kenceng disertai adanya pngeluaran
lendir dan darah. Namun pengeluaran air belum dirasakan oleh pasien.
Pasien mengaku kehamilan yang sekarang ini adalah kehamilan kedua.
Anak pertama pasien berjenis kelamin laki-laki, usia 8 tahun, lahir secara
spontan di bidan dengan berat 3,3 kg. Hari pertama haid terakhir (HPHT)
pasien tanggal 10 Desember 2014, sehingga hari perkiraan lahir (HPL)
adalah tanggal 17 September 2015 dan usia kehamilan pasien sekarang
37 minggu. Pasien mengaku menikah 1x/ 8 tahun, riwayat menstruasi
teratur dengan lamanya 7 hari.Tidak ada nyeri berlebihan saat menstruasi
dan tidak mengalami perdarahan di luar siklus. Pasien mengaku rutin
melakukan ANC di bidan. Pasien menggunakan KB IUD.
Pasien mengeluh memiliki benjolan yang berukuran kecil pada
leher. Benjolan tersebut dirasa pasien timbul sejak usia 25 tahun. Benjolan
tersebut tidak disertai nyeri. Pasien mengaku tidak ada gangguan dengan
adanya benjolan tersebut sehingga tidak pernah memeriksakan diri ke
dokter. Namun, satu bulan terakhir pasien merasa sering berdebar-debar
dan kerap berkeringat. Tanggal 26 Agustus 2015, akhirnya pasien
memeriksakan keluhan tersebut ke poli penyakit dalam RSMS. Pasien juga
melakukan pemeriksaan laboratorium dan mendapatkan hasil nilai FT4
0.56 ng/dL, FT3 3.70 pg/mL, dan TSH 0.30 µIU/mL. Oleh dokter spesialis
penyakit dalam pasien diberikan obat PTU 2x1 tab/hari dan Propanolol
2x1 tab/hari.
4. Hari Pertama Haid Terakhir : 10 Desember 2014
Hari perkiraan lahir : 17 September 2015
Usia kehamilan : 37 minggu
5. Riwayat Menstruasi
1. Menarche : 16 tahun
2. Lama haid : 7 hari
3. Siklus haid : teratur
4. Dismenorrhea : tidak ada
5. Jumlah darah haid : normal (sehari pembalut 2-3 kali)
6. Riwayat Menikah
Pasien menikah satu kali, lama menikah 8 tahun
7. Riwayat Obstetri
G2P1A0: I. Laki-laki/ 8 tahun/ Spontan/ Bidan/ 3,3 kg
II. Hamil ini
8. Riwayat KB
Pasien mengaku menggunakan KB IUD.
9. Riwayat ANC
Pasien rutin kontrol kehamilan ke bidan setiap bulan sesuai waktu yang
dijadwalkan.
10. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
g. RiwayatKuretase : disangkal
h. Penyakit lain : struma sejak usia 25 tahun.
11. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Paru : disangkal
c. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
d. Penyakit Ginjal : disangkal
e. Penyakit Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Alergi : disangkal
12. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama
suaminya. Kebutuhan sehari-hari tercukupi dari penghasilan suami. Pasien
berobat ke RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo dengan menggunakan biaya
BPJS PBI. Dalam kesehariannya pasien mengkonsumsi nasi dan lauk yang
tercukupi.
C. Pemeriksaan Fisik
KeadaanUmum : Sedang
Kesadaran : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis)
Vital Sign : TD: 120/80 mmHg, N: 104 x/menit,
RR : 20 x/menit S : 36,30C
BeratBadan : 53 kg
TinggiBadan : 155 cm
IMT : 22.0
Status Generalis
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris
Mata : simetris, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
2. Pemeriksaan leher : tedapat massa pada leher berwarna sama dengan
kulit sekitarnya. Benjolan tidak mengeluarkan darah atau pus. Benjolan
berjumlah satu buah dengan ukuran 5x3 cm, kenyal, permukaan rata,
batas tegas, mobile, nyeri tekan (-).
3. Pemeriksaan Toraks
Paru
Inspeksi :Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi
intercostal (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi :Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketertinggalan
gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suaradasar vesikuler +/+, Ronkhi basah halus di basal -/-
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis di dinding dada
Palpasi : ictus cordis teraba SIC V 2 jari medial LMCS
Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
Inspeksi : Cembung gravid
Auskultasi : BU (+) Normal, DJJ (+) 140 x/m
Perkusi : pekak janin
Palpasi : TFU 31 cm
Leopold 1 : Bokong
Leopold 2: Puka
Leopold 3 : Kepala
Leopold 4 : Divergen
His (+) 3x/10’/25”
5. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Pemeriksaan Genitalia
VT : Pembukaan 2 cm, kulit ketuban (+), kepala turun Hodge I, portio
lunak.
D. PemeriksaanTambahan
Darah lengkap
PT, APTT
E. Diagnosis VK IGD
Gravida 2 Para 1 Abortus 0 Usia 36 Tahun Hamil 37 Minggu Janin Tunggal
Hidup Intra Uterine, Presentasi Kepala, Punggung Kanan, Inpartu Kala I Fase
Laten dengan Struma.
F. Instruksi dan Terapi (di IGD)
1. Rawat Kamar Bersalin
2. IVFD RL 20tpm
3. Observasi Persalinan
4. Cek DL, PT/APTT, KTG
5. Konsul Penyakit Dalam
6. Pengawasan pengawasan pemberian obat oral dari Bagian Penyakit
Dalam.
G. PemeriksaanLaboratorium
JenisPemeriksaan (27/08/15) NilaiRujukan
Hemoglobin 11,5 g/dL (L) 12-16 g/dl
Leukosit 9990/uL 4800-10800/ul
Hematokrit 35 % (L) 37-47 %
Eritrosit 5.0 4.2-5.4/ul
Trombosit 129.000/Ul (L) 150.000-450.000/ul
MCV 69,2 Fl (L) 79-99 Fl
MCH 22,8 pg (L) 27-31 pg
MCHC 33,0% 33-37%
RDW 15,5% (H) 11.5-14.5 %
MPV - 7.2-11.1 fL
HitungJenis
Basofil 0.3% 0-1%
Eosinofil 1,2% (L) 2-4%
Batang 0.7% (L) 2-5%
Segmen 75,9% (H) 40-70%
Limfosit 17.3% (L) 25-40%
Monosit 4.6% 2-8%
PT 9,1 detik (L) 9.3-11.4
APTT 30,3 detik 29.0-40.2
Sero Imunologi (26/08/15) Nilai Rujukan
Free T4 0,56 ng/dL 0,93-1,70
Free T3 3,7 pg/mL 2,0-4,4
TSH 0,30 uIU/mL 0,270-4,20
H. Laporan Persalinan
Tanggal persalinan : 27-08-2015
Laporan persalinan :
1. Kala I: partograf tidak melewati garis waspada
2. Kala II:dilakukan episiotomy dengan indikasi perineum kaku, persalinan
didampingi suami. Selama kala II tidak ada gawat janin, DJJ dipantau
setiap 5-10 menit selama kala II (DJJ rata-rata 140x/menit), tidak ada
distosia bahu.
3. Pukul 22.40 WIB (27 Agustus 2015): DJJ 152x/menit, his (+)
4x/10’/45”, pembukaan lengkap, kulit ketuban (-) kepala turun hodge III,
dipimpin persalinan
4. Pukul 22.47 WIB bayi lahir spontan A/S 8/9/10
5. Kala III: IMD (inisiasi menyusui dini), dengan lama kala III 3 menit,
diberikan oksitosis 10 U IM 1 menit sesudah persalinan, jepit tali pusat
dilakukan 2 menit setelah bayi lahir, tidak dilakukan pemberian ulang
oksitosin. Dilakukan peregangan tali pusat terkendali, kemudian masase
uterus, plasenta lahir intak dan kurang dari 30 menit. Ditemukan laserasi
perineum derajat 2 yang kemudian dijahit dengan anestesi. Jumlah darah
yang keluar ±200cc
6. Kala IV: keadaan umum ibu baik dengan TD 120/80, nadi 86x/menit dan
nafas 20x/menit
7. BBL dengan berat badan 3450 gram, PB 48 cm, jenis kelamin
perempuan, bayi lahir normal, dengan APGAR skor 8/9/10.
I. Diagnosis Post Partus
P2A0 Usia 36 tahun post partus spontan fisiologis + Intra Uterine Device
dengan Hipertiroidisme
J. Follow Up Pasien 2 Jam Post Partus
Jam TD N S TFU UC PPV Urin
23.05 120/80 88 36,3 1 jari bawah pusat Keras 5cc 50cc
23.20 120/80 84 36,3 1 jari bawah pusat Keras 5cc -
23.35 120/80 88 36,3 1 jari bawah pusat Keras 5cc -
23.50 120/80 84 36,3 1 jari bawah pusat Keras 10cc -
00.20 120/70 84 36,7 1 jari bawah pusat Keras 10cc -
00.50 120/80 88 36,7 1 jari bawah pusat Keras 15cc -
K. Follow Up Post Partus
Tanggal S O A P
28
Agustus
2015
Nyeri
pada
jalan
lahir
Ku/kes: sedang/ Compos
Mentis
TD: 120/70
N : 80 x/menit
RR: 20 x/menit
S : 36,5oC
Status Generalis
Mata: CA -/- SI -/-
Pulmo: SD ves +/+, RBH
-/-, RBK -/-
Cor: S1>S2, reg, M (-), G
(-)
P2A0
Usia 36
tahun
post
partus
spontan
fisiologis
+ Intra
Uterine
Device
dengan
Hipertiroi
disme
- PO Propanolol
2x1 tab
- PO
Propiltiourasil
2x1 tab
- PO Clindamicin
2x1 tab
- PO
AsamMefenama
t 2x1 tab
Status Lokalis
Abdomen:
I : Cembung
A : BU (+) N
Per : Tympani
Pal : NT (-)
Status Genital Eksterna
PPV (+), FA (-)
Status Vegetatif
BAB (+) BAK (+) FL (+)
L. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struma
1. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher
oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat adanya gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Biasanya dianggap
membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran
kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan
mengadakan penekanan pada trakea (Sjamsuhidajat, 2005).
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar
tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di
bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus.
Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus
dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia (Jamson,
2005).
2. Klasifikasi
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Jamson, 2005):
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid
yang disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah
normal sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah
yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak
menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional
kelenjar tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.
Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang
cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid
akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif
terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban,
konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan,
pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap
pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat
timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang
merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon
yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar.
Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu
makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, dan sesak napas.
Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada
tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
Berdasarkan klinisnya struma dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut (Sjamsuhidajat, 2005):
a. Struma Toksik
Struma toksik yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis
pada tubuh. Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma
diffusa toksik dan struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa
lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma
diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain jika tidak diberikan
tindakan medis, sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan
yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma
multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon
tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah
penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic goiter), bentuk
tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme
lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun
telah diiidap selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor
TSH beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut
dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan
peningkatan pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi
hormon tersebut sebagai hasil pengobatan penyakit ini cenderung
untuk menurunkan antibodi tetapi bukan mencegah pembentuknya.
Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam
jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya
rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit
berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang
dibagi menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non
toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang
kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau
goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya
kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat
sintesa hormon oleh zat kimia. Struma non toksik tidak menimbulkan
gejala klinis pada tubuh
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul,
maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa
disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma
nodusa non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena
keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada
esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai
rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat
ringannya endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium
urin. Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam
tubuh hampir sama dengan yang diekskresi lewat urin. Kriteria daerah
endemis gondok yang dipakai Depkes RI (2010) adalah endemis
ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20-
29% dan endemik berat di atas 30 %.
3. Etiologi
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh (Sjamsuhidajat, 2005;
Jamson, 2005):
a. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid
dan sembuh dari sakit parah.
1) Non toxic goiter: difus, noduler
2) Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
b. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
1) Tiroiditis akut
2) Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
3) Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
c. Neoplasma
1) Neoplasma jinak (adenoma)
2) Neoplasma ganas (adenocarcinoma): papiliferum,folikularis,
anaplastik
Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut (Djokomoeljanto,
2009):
Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi
kepala menengadah
Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa pada jarak 6 m.
Grade IV : struma yang amat besar
B. Hipertiroid
1. Definisi
Terminologi hipertiroidisme dan tirotoksikosis sering dianggap
sinonim, padahal kedua istilah tersebut agak berbeda dalam kondisi
tertentu. Hipertiroidisme menunjukan aktifitas kelenjar tiroid yang
berlebihan dalam mensistensi hormone tiroid, sehingga meningkatkan
metabolisme dijaringan perifer. Sedangkan istilah tirotoksikosis merujuk
pada beberapa pengaruh dari hormone tiroid bebas dengan atau tanpa
kelenjar tiroid sebagai sumbernya (Firdaus, 2007).
2. Etiologi
Beberapa penyakit yang menyebabkan Hipertiroid yaitu (Price, 2005;
Sudoyo, 2009):
a. Penyakit Graves
Penyakit ini disebabkan oleh kelenjar tiroid yang oberaktif dan
merupakan penyebab hipertiroid yang paling sering dijumpai.
Penyakit ini biasanya turunan. Wanita 5 kali lebih sering daripada
pria. Di duga penyebabnya adalah penyakit autonoium, dimana
antibodi yang ditemukan dalam peredaran darah yaitu tyroid
stimulating. Immunogirobulin (TSI antibodies), Thyroid peroksidase
antibodies (TPO) dan TSH receptor antibodies (TRAB). Pencetus
kelainan ini adalah stres, merokok, radiasi, kelainan mata dan kulit,
penglihatan kabur, sensitif terhadap sinar, terasa seperti ada pasir di
mata, mata dapat menonjol keluar hingga double vision. Penyakit
mata ini sering berjalan sendiri dan tidak tergantung pada tinggi
rendahnya hormon teorid. Gangguan kulit menyebabkan kulit jadi
merah, kehilangan rasa sakit, serta berkeringat banyak.
b. Toxic Nodular Goiter
Benjolan leher akibat pembesaran tiroid yang berbentuk biji padat,
bisa satu atau banyak. Kata toxic berarti hipertiroid, sedangkan
nodule atau biji itu tidak terkontrol oleh TSH sehingga memproduksi
hormon tiroid yang berlebihan.
c. Minum obat Hormon Tiroid berlebihan
Keadaan demikian tidak jarang terjadi, karena periksa laboratorium
dan kontrol ke dokter yang tidak teratur. Sehingga pasien terus minum
obat tiroid, ada pula orang yang minum hormon tiroid dengan tujuan
menurunkan badan hingga timbul efek samping.
d. Produksi TSH yang Abnormal
Produksi TSH kelenjar hipofisis dapat memproduksi TSH
berlebihan, sehingga merangsang tiroid mengeluarkan T3 dan T4 yang
banyak.
f. Konsumsi Yodium Berlebihan
Bila konsumsi berlebihan bisa menimbulkan hipertiroid, kelainan
ini biasanya timbul apabila sebelumnya si pasien memang sudah ada
kelainan kelenjar tiroid.
g. Karsinoma tiroid
Karsinoma tiroid berasal dari sel folikel tiroid. Keganasan tiroid
dikelompokkan menjadi, karsinoma tiroid berdiferensiasi baik, yaitu
bentuk papiler, folikuler, atau campuran keduanya. Lebih dari 90%
hipertiroid adalah akibat penyakit Graves dan nodul tiroid toksik.
3. Epidemiologi
Prevalensi hipertiroid lebih kurang 10 per 100.000 pada wanita di
bawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 pada wanita yang berusia di
atas 60 tahun. Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi hipertiroid berkisar
1%-2%, dan di Inggris kasus hipertiroid terdapat pada 0,8 per 1000
wanita per tahun. Menurut Asdie, prevalensi hipertiroid di Indonesia
belum diketahui secara pasti dan penderita hipertiroid wanita lebih
banyak dibandingkan dengan pria yaitu 5 banding 1 (Supatmi, 2007). Di
USA prevalensi penyakit Graves pada orang dewasa diperkirakan 0,02%
dan 95% diantaranya sebagai penyebab terjadinya hipertiroidisme
(Firdaus, 2007).
4. Patogenesis
Bagan 1. Fisiologi Hormon Tiroid
Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu
peningkatan kadar hormon tyroid didalam tubuh maka akan terjadi
feedback negatif menuju hipotalamus. Ketika feedback negatif diterima
oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran hormon inhibiting yang
akan menurnkan sekresi/pembuatan hormon tirid. Proses ini terjadi ketika
tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila terjadi suatu kelainan pada
tyroid maka proses yang akan terjadi adalah sebagai berikut (Guyton,
2007).
Bagan 2. Mekanisme Hormon Tiroid pada Hipertiroidisme
Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan
hormon tiroid. Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH
oleh Tiroid Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar tiroid
untuk memproduksi hormon tiroid secara terus menerus. Ketika produksi
hormon tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan umpan balik negatif kepada hipothalamus untuk
mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting Hormon) yang akan menurunkan
produksi hormon tiroid. Dlam kejadian ini TIH tidak akan memberikan
efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI sehingga
kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormon tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormon
tiroid maka akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormon T3 dan T4
tanpa disertai peningkatan hormon TSH (Guyton, 2007). Kejadian ini
didapatkan pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan
menyebabkan peningkatan kadar metabolisme di dalam tubuh (Robbins,
2007).
5. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang
merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksis tirosin (T4) meningkat.
Akibat peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan
emosi, palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan,
kulit lebih hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat,
tekanan nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang-kadang terjadi gagal
jantung. Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama
ketidakstabilan atrial menyebabkan ketidakteratutran irama jantung,
Terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Ancaman bagi
kehidupan di kombinasi dengan delirium atau koma, temperatur tubuh
naik sampai 410C, detak jantung meningakat, hipotensi, muntah, diare
(Gardner, 2007; ;Guyton, 2007 Harrison, 2005; Sirbernagl, et al, 2006)
Bagan 3. Patofisiologi Hipertiroid.
6. Diagnosis
Garnbaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan keluhan
yang sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai
mengancam jiwa penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan
sirkulasi dan kolaps. Gejala dan tanda hipertiroid pada orang dewasa
tidak spesifik, sebagian orang hanya mengalami penurunan berat badan
dan peningkatan reaksi iritabilitas tanpa mengalami pembesaran kelenjar
tiroid, tachicardi, tremor ataupun exopthalmus (Kusrini, 2010).
Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk
hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne dan New
Castle sangat membantu diagnosis hipertiroid. Penegakan diagnosis yang
pasti adalah dengan pemeriksaan kadar hormon tiroid dalam darah.
Serum yang diperiksa yakni kadar tiroksin bebas (FT4), TSH, dan TRH
yang akan memastikan keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan
saraf pusat atau kelenjar tiroid (Kusrini, 2010).
Indeks Wayne
No Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah
Berat Nilai
1 Sesak saat kerja +1 2 Berdebar +2 3 Kelelahan +2 4 Suka udara panas -5 5 Suka udara dingin +5 6 Keringat berlebihan +3 7 Gugup +2 8 Nafsu makan naik +3 9 Nafsu makan turun -3 10 Berat badan naik -3 11 Berat badan turun +3
No Tanda Ada Tidak Ada 1 Tyroid teraba +3 -3 2 Bising tyroid +2 -2 3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 - 5 Hiperkinetik +4 -2 6 Tremor jari +1 - 7 Tangan panas +2 -2 8 Tangan basah +1 -1 9 Fibrilasi atrial +4 -
10
Nadi teratur < 80x per menit
80 – 90x per menit > 90x per menit
- -
+3
-3 - -
Hipertiroid jika indeks > 20
NEW CASTLE INDEX
Item Grade ScoreAge of onset (year) 15-24 0
25-34 +435-44 +845-54 +12>55 +16
Psychological precipitant
PresentAbsent
-50
Frequent cheking PresentAbsent
-30
Severe anticipatory anxiety
PresentAbsent
-30
Increased appetite PresentAbsent
+50
Goiter Present Absent
+30
Thyroid bruit Present Absent
+180
Exophthalmos PresentAbsent
+90
Lid retraction Present Absent
+20
Hyperkinesis Present Absent
+40
Fine finger tremor Present Absent
+70
Pulse rate > 90/min80-90 > min
< 80/min
+16+80
Hipertiroid +40 - +80
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan
diagnisis hipertiroid yaitu:
a. Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada
penyakit Graves’ maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab
lebih spesifik pada penyakit Graves’. Artinya, bila T3 dan T4 rendah,
maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan
TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif
terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive
(TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati
0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T4
bebas (free T4/FT4) (Rubenstein, 2013).
b. Yodium tiroid scan akan menunjukkan jika penyebabnya adalah nodul
tunggal atau seluruh kelenjar (Tandra, 2011).
c. Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan kelainan kistik atau
solid pada tiroid. Kelainan solid lebih sering disebabkan keganasan
dibanding dengan kelainan kistik. Tetapi kelainan kistikpun dapat
disebabkan keganasan meskipun kemungkinannya lebih kecil (Tandra,
2011).
d. Pemeriksaan radiologik di daerah leher
Karsinoma tiroid kadang-kadang disertai perkapuran. Ini sebagai
tanda yang boleh dipegang (Tandra, 2011).
Gambar . Tes laboratorium untuk diagnosis differensial hipertiroidisme
7. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien,
riwayat alamiah penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi
pasien, resiko pengobatan, dan sebagainya. Pengobatan tirotoksikosis
dikelompokkan dalam:
a. Tirostatiska: kelompok derivat tioimidazol (CBZ, karbimazole 5 mg,
MTZ, metimazol atau tiamazol 5, 10, 30 mg), dan derivat tiourasil
(PTU propiltiourasil 50, 100 mg)
b. Tiroidektomi: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid,
klinis maupun biokimiawi.
c. Yodium radioaktif.
(Sudoyo, 2009).
1) Obat antitiroid.
Digunakan dengan indikasi :
a) Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan
remisi yang menetap,pada pasien muda dengan struma ringan
sampai sedang dan tirotoksikosis.
b) Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang
mendapat yodium radioaktif.
c) Persiapan tiroidektomi
d) Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia.
e) Pasien dengan krisis tiroid.
Obat diberi dalam dosis besar pada permulaan sampai
eutiroidisme lalu diberikan dosis rendah untuk
mempertahankan eutiroidisme.
Table 2. Obat antitiroid yang sering digunakan
Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan
(mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metilmazol 30-60 5-20
Propiltiourasil 300-600 50-200
Ketiga obat ini mempunyai kerja imunosupresif dan dapat
menurunkan konsentrasi thyroid stimulating antibody (TSAb)
yang bekerja pada sel tiroid. Obat-obatan ini umumnya
diberikan sekitar 18-24 bulan. Pemakaian obat-obatan ini
dapat menimbulkan efek samping berupa hipersensitivitas
dan agranulositosis. Apabila timbul hipersensitivitas maka
obat diganti, tetapi bila timbul agranulositosis maka obat
dihentikan.
Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolahan
tirotoksikosis.
Kelompok Obat Efeknya Indikasi
Obat Anti Tiroid
Propiltiourasil (PTU)
Metilmazol (MMI)
Karbimazol (CMZ
MMI)
Antagonis adrenergic-β
Menghambat sintesis
hormone tiroid dan
berefek imunosupresif
(PTU juga menghambat
konversi T4 T3
Pengobatan lini pertama
pada Graves. Obat
jangka pendek
prabedah/pra-RAI
B-adrenergic-antagonis
Propanolol
Metoprolol
Atenolol
Nadolol
Mengurangi dampak
hormone tiroid pada
jaringan
Obat tambahan kadang
sebagai obat tunggal
pada tiroiditis
Bahan mengandung Iodine
Kalium iodida
Solusi Lugol
Natrium Ipodat
Asam Iopanoat
Menghambat keluarnya
T4 dan T3.
Menghambat T4 dan T3
serta produksi T3
ekstratiroidal
Persiapan tiroidektomi.
Pada krisis tiroid bukan
untuk penggunaan rutin.
Obat lainnya
Kalium perklorat
Litium karbonat
Glukokortikoids
Menghambat transport
yodium, sintesis dan
keluarnya hormone.
Memperbaiki efek
hormone di jaringan dan
sifat imunologis
Bukan indikasi rutin
pada subakut tiroiditis
berat, dan krisis tiroid.
Pada pasien hamil biasanya diberikan propiltiourasil dengan dosis
serendah mungkin yaitu 200mg/hari atau lebih lagi.
2) Pengobatan dengan yodium radioaktif
Indikasi pengobatan dengan yodium radioaktif diberikan pada:
a) Pasien umur 35 tahun atau lebih.
b) Hipertiroidisme yang kambuh sesudah dioperasi.
c) Gagal mancapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid.
d) Tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat anti
tiroid.
e) Adenoma toksis, goiter multinodular toksik.
Digunakan Y131 dengan dosis 5-12mCi peroral. Dosis ini dapat
mengendalikan tirotoksikosis dalam3 bulan, namun 1/3 pasien
menjadi hipotiroidisme, eksaserbasi hipertiroidisme, dan
tiroiditis.
d. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.
Indikasi operasi adalah:
1) Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat
antitiroid dosis besar.
2) Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons
terhadap obat antitiroid.
3) Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima
yodium radioaktif.
4) Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5) Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih.
8. Komplikasi
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis
tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada
pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid,
atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah
pelepasan TH dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia,
agitasi, tremor, hipertermia (sampai 1060F), dan, apabila tidak diobati,
kematian Penyakit jantung Hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati
Graves, infeksi (Semiardji, 2003).
BAB IV
MASALAH DAN PEMBAHASAN
B. Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat?
1. Diagnosis IGD
G2P1A0 Usia 36 tahun Usia Kehamilan 37 minggu, janin tunggal hidup
intrauterine, presentasi kepala, punggung kanan, Inpartu Kala I Fase
Laten dengan Struma.
a. G2P1A0
Pasien hamil untuk kedua kalinya dengan riwayat menikah 1 kali
selama 8 tahun. Riwayat mens teratur dan pasien rutin kontrol ANC di
bidan. Pasien memiliki satu anak lahir hidup berjenis kelamin
perempuan, usia 8 tahun, lahir spontan di bidan dengan berat 3,3 kg
dan belum pernah mengalami keguguran.
b. Usia
Usia pasien ini 36 tahun. Menurut Depkes (2010), usia termasuk
salah satu faktor risiko pada ibu hamil dimana usia dengan kehamilan
risiko tinggi adalah usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun. Maka
dari itu dilihat dari usianya, pasien ini tergolong kehamilan yang
beresiko tinggi.
c. Hamil aterm
Usia kehamilan pasien berdasarkan keterangan hari pertama haid
terakhir adalah 37 minggu menurut rumus Naegele. Usia kehamilan
ini termasuk hamil aterm. Secara umum, kehamilan secara normal
berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid
terakhir. Hamil aterm merupakan usia kehamilan antara 37-42
minggu. Sehingga periode kehamilan ini merupakan periode
terjadinya persalinan normal bagi seorang ibu (Muchtar, 2008).
d. Inpartu Kala I Fase Laten
Pasien datang dengan karena merasa sudah mulai kenceng-kenceng
sejak 3 jam sebelum masuk RSMS. Pasien juga merasa terdapat
pengeluaran lendir dan darah, namun pengeluaran air belum
dirasakan. pada pemeriksaan dalam atau vagina toucher didapatkan
hasil pasien sudah mengalami pembukaan pada serviks sebesar 2cm,
kulit ketuban (+), penurunan kepala di Hodge I, portio lunak. Sesuai
dengan definisi diatas, pasien telah dalam persalinan atau inpartu
dimana telah muncul his yang teratur selama satu kali dalam 10 menit
selama 10 detik, telah terdapat pengeluaran lendir dan darah, serta
adanya pembukaan serviks. Pembukaan serviks pada pasien ini masih
dalam fase laten karena dari hasil pemeriksaan dalam atau vaginal
toucher pada saat di VK IGD RSMS masih sebesar 2cm.
Menurut Cunningham (2013) pada persalinan, kala 1 ditandai
dengan pembukaan serviks dimana terbagi menjadi fase laten dan fase
aktif. Awal fase laten adalah titik dimana ibu mengalami kontraksi
yang reguler dan serviks berdilatasi sampai 3cm. Sementara fase aktif
dimulai dari bukaan 3 cm sampai pembukaan serviks lengkap.
e. Struma
Pada pasien ini mengeluhkan adanya pembesaran pada bagian
leher dengan ukuran yang tergolong kecil. Pembesaran tersebut telah
dirasakan pasien sejak berusia 25 tahun namun tidak memunculkan
gejala. Adanya pembesaran pada kelenjar tiroid sering disebut sebagai
struma. Menurut Sjamsuhidajat (2005) struma adalah tumor
(pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila
kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal
Selain adanya pembesaran pada kelenjar tiroid, pasien juga
mengeluhkan sering berdebar-debar dan kerap berkeringat.
Sebelumnya pasien pernah memeriksakan diri satu kali ke poli
penyakit dalam satu hari sebelum ke VK IGD karena keluhan tersebut.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium nilai FT4 0.56 ng/dL, FT3 3.70,
dan TSH 0.30 µIU/mL Oleh dokter spesialis penyakit dalam pasien
diberikan obat PTU 2x1 tab/hari dan Propanolol 2x1 tab/hari.
Menurut Kusrini (2010), apabila kadar TSH serum < 0,3 µIU/mL
atau FT4 > 2 ng/dl dapat dinyatakan sebagai hipertiroid. Pada pasien
ini tidak mengalami peningkatan pada FT4 maupun penurunan pada
TSH. Namun, beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar FT4 dan FT3
sedikit menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja
sudah dapat menunjukkan hipertiroidisme (Casey, 2006). Gejala dan
tanda hipertiroid meliputi adanya penurunan berat badan, peningkatan
iritabilitas, takikardi, tremor, sering berkeringat, dan exophtalmus.
Adanya kelainan endokrin yang menyertai juga merupakan salah
satu faktor pada kehamilan risiko tinggi. Kelainan endokrin yang
dimaksud seperti diabetes mellitus, sistemik lupus eritematosus, dan
hipertiroid. Maka dari itu dilihat dari adanya kelainan endokrin
sebagai penyerta menjadikan pasien ini tergolong dalam kehamilan
beresiko tinggi.
Adapun komplikasi dan dampak dari kehamilan berisiko pada
janin, menurut Depkes RI (2010), yaitu :
1) Kematian janin intra uterin.
2) Prematuritas dan BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah < 2500 gram).
3) Asfiksia.
4) Infeksi bakteri.
5) Kejang.
6) Ikterus.
7) Diare.
8) Hipotermia.
9) Tetanus neonatorum.
10) Masalah pemberian ASI.
11) Trauma lahir, sindroma gangguan pernafasan, kelainan congenital.
f. Tatalaksana pada Kasus
Pada kasus ini, pada tanggal 27-8-2015 pukul 15.30 pasien
dikonsulkan ke residen obsgyn dan mendapatkan instruksi untuk
dikonsultasikan ke bagian penyakit dalam, observasi tanda-tanda
persalinan, serta rawat di kamar bersalin. Pukul 18.00 pasien
meminum propanolol 1 tab per oral dan pada pukul 19.00 meminum
PTU 1 tab per oral. Pukul 20.50 bagian penyakit dalam memberikan
jawaban instruksi bahwa diperbolehkan untuk dilakukan persalinan
pervaginam.
Pengobatan hipertiroidisme dalam kehamilan terletak pada pilihan
antara penggunaan obat-obat anti tiroid dan tindakan pembedahan.
Namun obat-obat anti tiroid hendaklah dipertimbangkan sebagai
pilihan pertama.
Obat-obat anti tiroid yang banyak digunakan adalah golongan
tionamida yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid. Contoh
obat golongan tionamida adalah propylthiouracil (PTU) dan
metimazol telah banyak digunakan pada wanita hamil hipertiroidisme.
Namun PTU mempunyai banyak kelebihan dibandingkan metimazol.
Pada trimester kedua dan ketiga, dosis PTU sebaiknya diturunkan
serendah mungkin. Dosis PTU dibawah 300 mg per hari diyakini tidak
menimbulkan gangguan faal tiroid neonatus. Pada pasien hamil dapat
diberikan propiltiourasil dengan dosis 200mg/hari (Girling, Joanna.
2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Cunningham, 2010).
Pemberian beta blocker seperti propanolol berujuan untuk
mengurangi dampak hormone tiroid pada jaringan. Propanolol juga
dapat digunakan selama kehamilan untuk membantu mengobati
palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid. Namun,
propranolol tidak untuk digunakan sebagai obat pilihan pertama
jangka panjang pada wanita hamil. Obat-obat ini hanya digunakan
sampai hipertiroid terkontrol dengan obat anti tiroid. Walaupun
demikian cukup banyak peneliti yang melaporkan bahwa pemberian
beta bloker pada wanita hamil cukup aman (Girling, Joanna. 2008,
Inoue, Miho, et al. 2009, Cunningham, 2010).
B. Hipertiroidisme pada Kehamilan
1. Fisiologi Tiroid pada Kehamilan
Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) disintesis di
dalam folikel tiroid. Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang
sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang sebelumnya didahului dengan
pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid.
Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di
jaringan perifer T4 dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui
proses deiodinasi (Girling, Joanna. 2008).
Ada beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan
kehamilan. Pertama TBG (thyroxin binding protein) meningkat
sehingga sebagai hasilnya terjadi penurunan turn over rate T4 dan
juga kadar Free T4. Oleh karena itu perlu waspada dalam menilai
angka laboratorik kadar T4 total dan T3 total seseorang yang
diperkirakan mempunyai perubahan TBG (Djokomoeljanto, 2009).
Menurut Glinoer (2007), kehamilan merupakan suatu keadaan yang
unik, dimana faal kelenjar tiroid dipengaruhi oleh 3 perubahan, yaitu :
a) Terjadi perubahan dalam ekonomi tiroid karena meningkatnya
kadar TBG sebagai respons terhadap peningkatan kadar estrogen.
Akibat peningkatan kadar TBG ini akan terjadi kenaikan kadar
Protein Binding Iodine mulai minggu ke 12 yang mencapai 2 kali
kadar normal. Peningkatan kadar TBG serum selama kehamilan
disebabkan karena meningkatnya produksi TBG oleh sel-sel hati
dan menurunnya degradasi TBG perifer akibat modifikasi
oligosakarida karena pengaruh kadar estrogen yang tinggi.
2) Terjadi peningkatan sekresi Thyroid Stimulating Factors (TSF)
dari plasenta terutama Human Chorionic Gonadotropin (HCG).
HCG menyerupai TSH, dimana keduanya merupakan
glikoprotein yang mempunyai gugus alfa yang identik. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa HCG merupakan suatu Chorionic
Thyrotropin dimana aktifitas biologik dari 1 Unit HCG ekivalen
dengan 0,5 uU TSH.
3) Kehamilan disertai dengan penurunan persediaan yodium didalam
kelenjar tiroid karena peningkatan klirens ginjal terhadap yodium
dan hilangnya yodium melalui kompleks feto-plasental pada akhir
kehamilan. Hal ini akan menyebabkan keadaan defisiensi yodium
relatif. Respons TSH terhadap TRH juga meningkat selama
kehamilan. Hal ini disebabkan karena pengaruh estrogen, dimana
dapat juga terjadi pada wanita tidak hamil yang menggunakan
obat-obat kontrasepsi. Walaupun terjadi perubahan diatas, namun
kecepatan produksi hormon tiroid tidak mengalami perubahan
selama kehamilan.
Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan
system saraf. Selama trimester pertama kehamilan, fetus bergantung
pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid melalui plasenta karena
fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester
kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi
namun fetus tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan
hormon tiroid. TSH dapat dideteksi dalam serum janin mulai usia
kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah sampai
usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak dan
kemudian turun. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis
yang mulai terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan
post natal. Selama trimester kedua dan ketiga, hormon tiroid
disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu. (Girling,
2008; Inoue, 2009; Cunningham, 2010).
b. Pengaruh Hipertiroidisme pada Kehamilan
Hipertiroidisme dapat menimbulkan berbagai komplikasi, baik
terhadap ibu maupun janin dan bayi yang akan dilahirkan.
Komplikasi-komplikasi tersebut antara lain :
1) Komplikasi terhadap ibu
a) Payah Jantung
Keadaan hipertiroidisme dalam kehamilan dapat meningkatkan
morbiditas ibu yang serius, terutama payah jantung.
Mekanisme yang pasti tentang terjadinya perubahan
hemodinamika pada hipertiroidisme masih belum pasti.
Terdapat banyak bukti bahwa pengaruh jangka panjang dari
peningkatan kadar hormon tiroid dapat menimbulkan
kerusakan miokard, kardiomegali dan disfungsi ventrikel.
Hormon tiroid dapat mempengaruhi miokard baik secara
langsung maupun tidak langsung. Adanya disfungsi ventrikel
akan bertambah berat bila disertai dengan anemia, preeklamsia
atau infeksi. Faktor-faktor risiko ini sering terjadi bersamaan
pada wanita hamil. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa
payah jantung lebih sering terjadi pada wanita hamil
hipertiroidisme yang tidak terkontrol terutama pada trimester
terakhir (Casey, 2006).
b) Krisis tiroid
Salah satu komplikasi gawat yang dapat terjadi pada wanita
hamil dengan hipertiroidisme adalah krisis tiroid. Hal ini dapat
terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus antara lain
persalinan, tindakan operatif termasuk operasi Caesar, trauma
dan infeksi. Selain itu krisis tiroid dapat pula terjadi pada
pasien-pasien hipertiroidisme hamil yang tidak terdiagnosis
atau mendapat pengobatan yang tidak adekuat. Krisis tiroid
ditandai dengan manifestasi hipertiroidisme yang berat dan
hiperpireksia. Suhu tubuh dapat meningkat sampai 41oC
disertai dengan kegelisahan, agitasi, takikardia, payah jantung,
mual muntah, diare,delirium, psikosis, ikterus dan dehidrasi
(Casey, 2006).
c) Pregnancy-induced hypertension (PIH)
Komplikasi maternal yang paling sering adalah pregnancy-
induced hypertension (PIH). Pada pasien dengan hipertiroid
tidak terkontrol, resiko preeklamsia berat menjadi lima kali
lebih berat dibanding pasien yang terkontrol (Striker, 2007).
2) Komplikasi terhadap janin dan neonatus
TSH tidak dapat melewati plasenta, sehingga baik TSH ibu
maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Hormon tiroid baik
T3 maupun T4 hanya dalam jumlah sedikit yang dapat melewati
plasenta. TSI atau TSAb dapat melewati plasenta dengan mudah.
Oleh karena itu bila kadar TSI pada ibu tinggi, maka ada
kemungkinan terjadi hipertiroidisme pada janin dan neonatus.
Hipertiroidisme maternal dapat mempengaruhi janin dan
neonatal melalui dua cara yaitu hipertiroid maternal yang tidak
terkontrol (tanpa kadar TSI yang tinggi) dan TSI mengalami pasase
transplasenta. Pada hipertiroidisme maternal yang tidak terkontrol
janin mengalami resiko intrauterine growth retardation (IUGR),
stillbirth dan prematuritas. Resiko prematuritas meningkat dari
11% menjadi 55% pada ibu yang tidak diobati, resiko stillbirth
meningkat dari 5%-24% (Harborne, 2005).
c. Diagnosis
1) Gambaran Klinis
Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan fisis dan laboratorium, terutama pemeriksaan
fungsi tiroid. Tanda hipertiroid seperti berat badan turun, dapat
menjadi tidak jelas oleh kenaikan berat badan karena kehamilan.
Tanda klinis yang dapat digunakan sebagai pegangan diagnosis
adalah adanya tremor, kelainan mata yang non infiltratif atau yang
infiltratif, berat badan menurun tanpa diketahui sebabnya,
miksedema lokal, miopati dan onikolisis. (De Groot, Leslie J, et al.
2007, Joanna, 2008, Rull Gurvinder, 2010, Cunningham 2010).
Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor
β- adrenergik sel miokardium sehingga curah jantung meningkat
walaupun saat istirahat dan terjadi aritmia (fibrilasi atrium).
Denyut nadi saat istirahat biasanya di atas 100 kali per menit
(Girling, Joanna, 2008).
2) Laboratorium
a) Kadar T4 dan T3 total
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat
karena peningkatan kadar TBG oleh pengaruh estrogen. Namun
peningkatan kadar T4 total diatas 190 nmol/liter (15 ug/dl)
menyokong diagnosis hipertiroidisme.
b) Kadar T4 bebas dan T3 bebas (FT4 dan FT3)
Pemeriksaan kadar FT4 dan FT3 merupakan prosedur yang tepat
karena tidak dipengaruhi oleh peningkatan kadar TBG.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar FT4 dan FT3 sedikit
menurun pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja
mungkin sudah dapat menunjukkan hipertiroidisme.
c) Indeks T4 bebas (FT4I)
Pemeriksaan FT4I sebagai suatu tes tidak langsung
menunjukkan aktifitas tiroid yang tidak dipengaruhi oleh
kehamilan merupakan pilihan yang paling baik. Dari segi biaya,
pemeriksaan ini cukup mahal oleh karena dua pemeriksaan yang
harus dilakukan yaitu kadar FT4 dan T3 resin uptake (ambilan
T3 radioaktif). Tetapi dari segi diagnostik, pemeriksaan inilah
yang paling baik pada saat ini.
d) TSH basal sensitif
Pemeriksaan TSH basal sensitif pada saat ini sudah mulai
populer sebagai tes skrining penderita penyakit tiroid. Bukan
hanya untuk diagnosis hipotiroidisme, tetapi juga untuk
hipertiroidisme termasuk yang subklinis. Dengan
pengembangan tes ini, maka tes TRH mulai banyak
ditinggalkan.
e) Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI)
Pemeriksaan kadar TSI dianggap cukup penting pada penderita
hipertiroidisme dalam kehamilan. Kadar yang tetap tinggi
mempunyai 2 arti penting yaitu :
a. Menunjukkan bahwa apabila obat anti tiroid dihentikan,
kemungkinan besar penderita akan relaps. Dengan kata lain
obat anti tiroid tidak berhasil menekan proses otoimun.
b. Ada kemungkinan bayi akan menjadi hipertiroidisme,
mengingat TSI melewati plasenta dengan mudah.
d. Penatalaksanaan
Obat anti-tiroid adalah pilihan terapi, dengan PTU sebagai pilihan
pertama. Tujuan dari terapi adalah menjaga kadar T4 dan T3 bebas
dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan dosis terendah terapi anti-
tiroid. Target batas kadar hormon bebas ini akan mengurangi resiko
terjadinya hipotiroid pada bayi. Hipotiroid pada ibu sebaiknya
dihindari. Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering mungkin
selama kehamilan dengan melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya.
Obat-obat yang terpenting digunakan untuk mengobati hipertiroid
(propiltiourasil dan metimazol) menghambat sintesis hormon tiroid.
Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta.
Namun, PTU menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena
kadar transplasentalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan
metimazol hal ini disebabkan PTU mempunyai ikatan protein yang
kuat dan sukar larut dalam air. PTU lebih banyak terikat pada albumin
pada pH fisiologis, sedangkan metimazol lebih sedikit terikat,
sehingga secara hipotesis dapat mengakibatkan lebih banyak yang
melewati sawar darah plasenta. PTU sebaiknya dipertimbangkan
sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama
kehamilan dan metimazol sebagai pilihan kedua yang digunakan jika
pasien tidak cocok, alergi, atau gagal mencapai eutiroid dengan terapi
PTU (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen.
2009, Rull Gurvinder, 2010).
Pada awal kehamilan sebelum terbentuknya plasenta, dosis PTU
dapat diberikan seperti pada keadaan tidak hamil, dimulai dari dosis
100 sampai 150 mg setiap 8 jam. Setelah keadaan terkontrol yang
ditunjukkan dengan perbaikan klinis dan penurunan kadar T4 serum,
dosis hendaknya diturunkan sampai 50 mg 4 kali sehari. Bila sudah
tercapai keadaan eutiroid, dosis PTU diberikan 150 mg per hari dan
setelah 3 minggu diberikan 50 mg 2 kali sehari. Pemeriksaan kadar T4
serum hendaknya dilakukan setiap bulan untuk memantau perjalanan
penyakit dan respons pengobatan. Pada trimester kedua dan ketiga,
dosis PTU sebaiknya diturunkan serendah mungkin. Dosis PTU
dibawah 300 mg per hari diyakini tidak menimbulkan gangguan faal
tiroid neonatus.
Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama
kehamilan untuk membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan
tremor akibat hipertiroid. Untuk mengendalikan tirotoksikosis,
propanolol 20 – 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50 -100 mg/hari
selalu dapat mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali per
menit. Esmolol, β-blocker kardio seleketif, efektif pada wanita hamil
dengan tirotoksikosis yang tidak berespon pada propanolol. Obat-obat
ini hanya digunakan sampai hipertiroid terkontrol dengan obat anti
tiroid. (Girling, Joanna, 2008; Marx, Helen, 2009; Rull, Gurvinder.
2010).
Pemberian obat-obat anti tiroid pada masa menyusui dapat pula
mempengaruhi faal kelenjar tiroid neonatus. Metimazol dapat dengan
mudah melewati ASI sedangkan PTU lebih sukar. Oleh karena itu
metimazol tidak dianjurkan pada wanita yang sedang menyusui.
Setelah pemberian 40 mg metimazol, sebanyak 70 ug melewati ASI
dan sudah dapat mempengaruhi faal tiroid neonatus. Sebaliknya hanya
100 ug PTU yang melewati ASI setelah pemberian dosis 400 mg dan
dengan dosis ini tidak menyebabkan gangguan faal tiroid neonatus.
Menurut Lamberg dan kawan-kawan, PTU masih dapat diberikan
pada masa menyusui asalkan dosisnya tidak melebihi 150 mg perhari.
Selain itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap faal tiroid
neonatus.
Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan pengobatan anti-
tiroid seperti pada pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan
merupakan alternative yang dapat diterima. Pembedahan
pengangkatan kelenjar tiroid sangat jarang disarankan pada wanita
hamil mengingat resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu dan
bayi. Jika tiroidektomi subtotal direncanakan, pembedahan sering
ditunda setelah kehamilan trimester pertama atau selama trimester
kedua. Alasan dari penundaan ini adalah untuk mengurangi resiko
abortus spontan dan juga dapat memunculkan resiko tambahan
lainnya. Pembedahan dapat dipikirkan pada pasien hipertiroid apabila
ditemukan satu dari kriteria berikut ini (De Groot, Leslie J., et al.
2007, Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Cunningham,
2010) :
1) Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI
> 20 mg)
2) Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol
3) Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan
untuk mengandalikan hipertiroid pada ibu
4) Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid
5) Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid
6) Jika dicurigai ganas
Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan
hipertiroid selama kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat
melewati plasenta dan ditangkap oleh kelenjar tiroid fetus. Hal ini
dapat menyebabkan kehancuran kelenjar dan akhirnya berakibat pada
hipotiroid yang menetap. (De Groot, Leslie J., et al. 2007, Girling,
Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull,
Gurvinder. 2010, Cunningham, 2010)
BAB V
KESIMPULAN
1. Hipertiroidisme menunjukan aktifitas kelenjar tiroid yang berlebihan dalam
mensistensi hormone tiroid, sehingga meningkatkan metabolisme dijaringan
perifer.
2. Penegakan diagnosa hipertiroid pada wanita hamil mutlak ditegakkan lewat
pemeriksaan laboratorium kadar FT4, TSHs, TSH maupun TRH
3. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia
yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang
mungkin terjadi pada pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah
4. Prioritas penatalaksanaan hipertiroidisme dalam kehamilan adalah dengan
pemberian obat-obat anti tiroid dan PTU merupakan obat pilihan yang paling
aman.atau dapat dilakukan subtotal tiroidektomi bila menjadi indikasi
operasi.
5. Penanganan yang tepat pada hipertiroid dalam kehamilan sangat dibutuhkan
unuk mencegah timbulnya komplikasi baik pada ibu maupun janin.
DAFTAR PUSTAKA
Casey BM, Dashe JS, Wells CE, McIntire DD, Leveno KJ, Cunningham FG. Subclinical hyperthyroidism and pregnancy outcomes. Obstet Gynecol 2006;107:337-41.
Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John C., Rouse, Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. 2010. Williams Obstetrics. 23rd. United States : The McGraw Hill Companies, Inc.
Cunningham, F. Gary, et al. 2013. Obstetri Williams. Edisi 23 Volume 2. Jakarta: EGC.
Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI.
De Groot, Leslie J., Green, Alex Stagnaro & Vigersky, Robert (2007) The Hormone Foundation’s Patient Guide to the Management of Maternal Hyperthyroidism Before, During, and After Pregnancy. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. Vol 92, No. 9 0.
Dumont, J.E., Opitz, R., Christophe, D., Vassart, G., Roger, P.P. & Maenhaut, C. (2008) The Phylogeny, Ontogeny, Anatomy and Regulation of the Iodine Metabolizing Thyroid. Belgium : IRIBHM, School of Medicine, University of Brussels. Germany : Leibniz-Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries, University of Berlin.
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology. Jakarta : Sagung Seto
Girling, Joanna. 2008. Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician & Gynaecologist, 10, pp. 237-243.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th
Edition. United States of America : MCGraw-Hill Companies
Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya . 2009. Hyperthyroidism during Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.
Jamson, L. 2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of Internal Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division
Kusrini, I. Kumorowulan, S. 2010. Nilai Diagnostik Indeks Wayne Dan Indeks Newcastle Untuk Penapisan kasus Hipertiroid. Balai Penelitian dan Pengembangan GAKI, Kementrian kesehatan RI.
Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and Pregnancy. British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.
Muchtar, A.B; Kristanto, H. 2008. Kehamilan Posterm. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Pp: 686.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat., Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah: Sistem endokrin. Jakarta: EGC
Sibernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Sudoyo, Aru W., et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Supadmi, Sri. Emilia, O. Kusnanto, H. 2007. Hubungan Hipertiroid dngan
Aktivitas Kerja Pada Usia Subur. Berita Kedokteran Masyarakat. Vol 23. No. 3 September 2007
Rubenstein, D. Wayne D. Bradley. 2013. Lecture Note on Clinical Medicine. Blackwell Science Ltd.
Tandra, Hans. 2011. Penyakit Tiroid. Jakarta: Gramedia.