dry-eyes

9
Sindroma mata kering (Keratoconjunctivitis Sicca) Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya fungsi air mata. Meskipun terdapat berbagai macam bentuk keratokonjungtivitas sicca, namun yang berhubungan dengan rheumatoid arthritis dan penyakit autoimun lain adalah sindoma syorgen. Etiologi Kelainan – kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan : 1. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya : blefaritis menahun, distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata. 2. Defisiensi kelenjar air mata : Sindrom Syorgen, sindrom Riley Day, alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis, limfoma kelenjar air mata, obat – obatan diuretic, atropine dan usia tua. 3. Defisiensi komponen musin : Benign ocular pempigoid 4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neuroparalitik, hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus. 5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea. Gambaran histopatologis adalah adanya daerah kering pada epitel kornea dan konjungtiva, terdapat filament, hilangnya sel goblet konjungtiva, peningkatan stratifikasi seluler, dan peningkatan keratinisasi. Gambaran klinis Pasien akan mengeluh gatal, mata seperti berpasir (ada benda asing), silau, dan penglihatan kabur. Mata akan memberikan gejala sekresi

Upload: sriputri-putzai-handayani

Post on 25-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

mata

TRANSCRIPT

Page 1: dry-eyes

Sindroma mata kering (Keratoconjunctivitis Sicca)

Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva yang

diakibatkan berkurangnya fungsi air mata.

Meskipun terdapat berbagai macam bentuk keratokonjungtivitas sicca, namun yang berhubungan

dengan rheumatoid arthritis dan penyakit autoimun lain adalah sindoma syorgen.

Etiologi

Kelainan – kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :

1. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya : blefaritis menahun, distikiasis dan akibat

pembedahan kelopak mata.

2. Defisiensi kelenjar air mata : Sindrom Syorgen, sindrom Riley Day, alakrimia congenital, aplasi

congenital saraf trigeminus, sarkoidosis, limfoma kelenjar air mata, obat – obatan diuretic,

atropine dan usia tua.

3. Defisiensi komponen musin : Benign ocular pempigoid

4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neuroparalitik, hidup di gurun pasir,

keratitis lagoftalmus.

5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.

Gambaran histopatologis adalah adanya daerah kering pada epitel kornea dan konjungtiva, terdapat

filament, hilangnya sel goblet konjungtiva, peningkatan stratifikasi seluler, dan peningkatan keratinisasi.

Gambaran klinis

Pasien akan mengeluh gatal, mata seperti berpasir (ada benda asing), silau, dan penglihatan kabur. Mata

akan memberikan gejala sekresi mucus yang berlebihan, mata tampak kering, fotosensitif, kemerahan

nyeri dan sukar menggerakkan kelopak mata.

Gambaran karakteristik pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tidak adanya meniscus air mata

pada margin bawah kelopak mata. Konjungtiva bulbi edema, hiperemik menebal dan kusam. Kadang –

kadang terdapat benang mucus kekuning – kuningan pada forniks konjungtiva bagaian bawah. dan

terdapat erosi kornea.

Page 2: dry-eyes

Pemeriksaan

Tes Schirmer

Uji schirmer merupakan uji dengan menggunakakan lembar kertas tipis (kertas filter Whatman No. 41)

dibalik kelopak bawah selama 5 menit dengan atau tanpa obat anestesi. Hasil tes ini dengan melihat

panjang basahnya kertas dibanding dengan ukuran baku. Uji schirmer merupakan skrening untuk

menilai produksi air mata. Uji tanpa anestesi topikal mengukur fungsi kelenjar lakrimal dimana aktivitas

sekresi distimulasi oleh efek iritasi lokal dari kertas filter. Uji dengan anestesi lokal mengukur sekresi

basal karena stimulasi dasar terhadap reflex sekresi telah dihilangkan.

Uji “BREAK UP TIME”

Uji “break up time” lapisan film air mata berguna untuk memeriksa komponen musin pada air mata.

Defisiensi musin tidak mempengaruhi hasil tes schirmer tetapi mengarah pada instabilitas lapisan film

air mata. Lapisan film air mata akan pecah dan membentuk bercak kering pada kornea.

Waktu pemecahan air mata dapat diukur dengan mengaplikasikan fluoresein pada konjungtiva bulbar

dan meminta pasien untuk berkedip. Air mata dinilai menggunakan slit lamp dengan filter cobalt

sementara pasien membuka mata menatap lurus tanpa kedip. Break up time adalah waktu yang

dibutuhkan untuk terbentuknya bercak kering pada permukaan kornea setelah mata berkedip. Pada

orang normal, break-up time sekitar 15 detik, tetapi dapat berkurang dengan pemberian anestesi lokal,

manipulasi mata, atau membuka kelopak mata. Break up time berkurang pada mata dengan defisiensi

musin.

Tes Ferning (Ocular Ferning Test)

Tes kualitatif yang murah dan simple untuk mempelajari mucus konjungtiva dengan cara mengumpulkan

air mata yang terdapat di forniks dengan spatula atau mikropipet tanpa anestesi topical. Sampel air

mata diletakkan diatas gelas objek, ditutup dan dibiarkan kering pada suhu kamar. Arborisasi

mikroskopik (ferning) diobservasi pada mata normal. Pada pasien dengan konjungtivitis sikatriks (ocular

pemphigoid, Stevens-Johnson syndrome, diffuse conjunctival cicatrization), ferning dari mukus

berkurang atau tidak ada.

Page 3: dry-eyes

Impresi Sitologi

Gambaran sitologi adalah metode dimana densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva dapat dinilai.

Pada orang normal, sel goblet paling banyak ditemukan di kuadran infranasal. Sel goblet berkurang pada

keratoconjunctivitis sicca, trachoma, sikatriks okular pada Stevens-Johnson syndrome dan avitaminosis

A.

Fluoresein Staining

Menyentuh konjungtiva dengan strip kering fluoresein adalah indikator yang baik untuk menilai

kelembaban, dan meniscus air mata akan mudah dilihat. Fluoresein akan mewarnai the eroded and

denuded areas, defek mikroskopik epitel kornea.

Uji Rose Bengal dan Lissamine Green

Rose Bengal merupakan zat warna yang bila diberikan pada permukaan mata akan diambil oleh sel

epitel yang mati. Pewarnaan positif konjungtiva oleh Rose bengal and lissamine green, akan selalu

terlihat pada diagnosis mata kering. Kedua pewarna akan mewarnai sel – sel epitel kornea yang tidak

vital juga sel – sel pada konjungtiva..

Pemeriksaan lisozim air mata

Penurunan konsentrasi lisozim biasanya terdapat pada sindroma syorgen stadium awal dan dapat

membantu menegakkan diagnosis penyakit tersebut. Metode yang digunakan adalah

spectrophotometric assay.

Pemeriksaan osmolaritas air mata

Hiperosmolalitas air mata terjadi pada keratoconjungtivitis sika and pemakai kontak lensa dan ini

disebabkan karena penurunan sensitivitas kornea. Ada yang melaporkan bahwa hiperosmolalitas adalah

tes yang paling spesifik untuk keratokonjungtivitis sicca, bahkan disaat tes schirmer, pewarnaan rose

Bengal dan lissamine green hasilnya normal.

Lactoferrin tear test

Page 4: dry-eyes

LTT merupakan spesifisitas sangat tinggi, sensitivitas baik bila dilakukan bersamaan dengan tes air mata

kualitatif. Kandungan Laktoferin dalam air mata rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar

lakrimal.

Komplikasi

Komplikasi awal adalah penglihatan menjadi terganggu. Bila keadaan menjadi memburuk dapat terjadi

ulkus kornea, infeksi sekunder oleh bakteri, dan parut kornea dan neovaskularisasi kornea.

Pengobatan

1. Edukasi pasien

Pasien sebaiknya memahami bahwa mata kering adalah kondisi kronik dan penyembuhan secara

total sangat sulit kecuali pada kasus ringan dimana perubahan epitel konjungtiva dan kornea

bersifat reversibel.

2. Air mata buatan

Air mata buatan adalah pengobatan yang utama. Salep biasa digunakan untuk lubrikasi jangka

panjang, khususnya pada waktu tidur.

3. Penutupan punctum lakrimal

Penutupan punctum lakrimal untuk mencegah sekresi lakrimal. Penutupan ini dapat bersifat

temporer, reversibel maupun permanen. Penutupan permanen dari punctum dan kanalikuli dapat

dilakukan dengan thermal, elektrokauter, atau laser.

4. Anti inflamasi, misalnya steroid topikal dosis rendah, siklosporin topikal, tetrasiklin sistemik

5. Kontak lensa

.

Page 5: dry-eyes

CYCLOSPORIN A

Cyclosporine adalah agen imunomodulator yang menghambat aktivasi sel T. cyclosporine akan

menurunkan inflamasi di kelenjar lakrimal, meningkatkan produksi air mata, dan meningkatkan

penglihatan dan kenyamanan.

Siklosporin menurunkan inflamasi jaringan lakrimal yang dimediasi ooleh sel T, sehingga meningkatkan

jumlah sel goblet dan mengembalikan metaplasia sel squamosa konjungtiva.

STRUKTUR KIMIA

Cyclosporine A adalah polipepetida siklik yang terdiri dari 11 asam amino. Of note, all amide nitrogens

are either hydrogen bonded or methylated, the single D-amino acid is at position 8, the methyl amide

between residues 9 and 10 is in the cis configuration, and all other methyl amide moieties are in the

trans form (Figure 52-1). Cyclosporine A bersifat lipofilik dan sangat hidrofobik.

VITAMIN A

Integritas dan fungsi sel epitel di seluruh tubuh tergantung pada kandungan vitamin A yang adekuat.

Vitamin A memegang peranan penting dalam induksi dan mengontrol diferensiasi epitel jaringan keratin

dan penghasil mucus. Dengan adanya retinol atau asam retinoat, sel epitel basal distimulasi untuk

menghasilkan mucus. Kelebihan konsentrasi retinoid akan meningkatkan produksi musin, menghambat

keratinisasi dan menghasilkan sel goblet.

Page 6: dry-eyes

Tidak adanya vitamin A, maka sel goblet akan menghilang dan digantikan oleh sel basal yang distimulasi

untuk berproliferasi. Hal ini akan mengganti sel epitel normal menjadi epitel berlapis dan berkeratin.

Supresi sekresi normal akan mengakibatkan iritasi dan infeksi. Perubahan ini dapat dikembalikan dengan

pemberian retinol, asam retinoat, atau retinoid lainnya. Jika proses ini terjadi pada kornea maka

hiperkeratinisasi akan menyebabkan kebutaan.

Topical cyclosporine — Topical cyclosporine is an immunosuppressive agent that has been found to be relatively safe, well-tolerated, and to significantly improve signs and symptoms of dry eyes in some populations [40]. As examples:

In two six-month trials of cyclosporine (0.05% or 0.01% one drop twice daily) versus vehicle in a combined 877 patients with moderate to severe dry eye disease, those randomly assigned to either dose of cyclosporine had significantly greater improvements in corneal staining, Schirmer values, and blurred vision compared to those receiving vehicle [41]. All patients were allowed to use artificial tears as frequently as needed.

In a prospective cohort study of 158 patients with persistent dry eye symptoms despite artificial tears, patients in all three severity groups (mild, moderate, severe) receiving cyclosporine showed improvement in symptoms, Schirmer scores, and mean tear breakup times compared to baseline [40].

Despite the available evidence, we have not seen such a degree of beneficial results in our practice.

A 0.05% emulsion of cyclosporin (Restasis®) is available for treatment of dry eye disease. Cyclosporine membutuhkan waktu 6 minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil yang nyata. Pada beberapa pasien, cyclosporine dapat menghasilkan resolusi jangka panjang sindroma mata kering. [42]. Konsentrasi cyclosporine dalam serum tidak terdeteksi dengan penggunaan topical, dan tidak pernah dialporkan adanya toksisitas sistemik. Cyclosporine kadang – kadang dapat menyebabkan sensasi terbakar pada mata yang bersifat sementara. Keterbatasan penggunaan cyclosporine adalah harganya mahal. [32].

As patients may have other concurrent problems such as infection leading to eye irritation, they should have a complete ophthalmological examination prior to receiving cyclosporine.

Penyakit mata kering adalah penyakit multifactor dari permukaan mta dan air mata yang dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan gangguan penglihatan. [1]. Dry eye is also known as keratoconjunctivitis sicca, dry eye syndrome, and dysfunctional tear syndrome.

The epidemiology, pathophysiology, clinical presentation, diagnosis, and treatment options for dry eye will be reviewed here. Various conditions associated with dry eye are discussed separately. (See "Classification and diagnosis of Sjögren's syndrome" and "Allergic conjunctivitis" and "Blepharitis".)

EPIDEMIOLOGY

Page 7: dry-eyes

Prevalence — prevalensi yang tepat dari sindroma mata kering tidak diketahui dengan pasti dikarenakan kesukaran dalam mendefinisikan penyakit ini dan kurangnya uji diagnostic tunggal untuk memastikan diagnosisnya. Bagaimanapun, prevalensi sindroma mata kering meningkat sesuai dengan usia dan diperkirakan 5 – 30 % terdapat pada usia 50 tahun keatas. [2,3]. Prevalensi ini diperkirakan akan terus meningkat karena adanya peningkatan lansia di negara maju dan berkembang.

1. The definition and classificationof dry eye disease: reportof the Definition and Classification Subcommittee of the International Dry eye Workshop (2007). Ocul Surf 2007; 5:75.

2. The epidemiology of dry eye disease: report of the Epidemiology Subcommittee of the International Dry eye Workshop (2007). Ocul Surf 2007; 5:93.

3. Moss, SE, Klein, R, Klein, BE. Prevalence of and risk factors for dry eye syndrome. Arch Ophthalmol 2000; 118:1264

4. 32. Drugs for some common eye disorders. Treat Guidel Med Lett 2010; 8:1

5. 42. Wilson, SE, Perry, HD. Long-term resolution of chronic dry eye symptoms and signs after topical cyclosporine treatment. Ophthalmology 2007; 114:76