e-issn : 2252 - 4797 volume 3 - no.1 2014 journal polingua

13
34 E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua Scientific Journal of Linguistics, Literature and Education Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus Kabupaten Padang Pariaman M. Yunis Universitas Andalas, Indonesia E-mail: [email protected] AbstractThis study titled 'Myth For Women Character Education Discourse of Minangkabau; Case Study of Padang Pariaman '' is one of the studies that tried to reformulate the old wisdom and knowledge that is useful for the creation of models to learning and character education of young generation in the future, especially women. In the formulation of this model, the authors use qualitative methods ethnometodology approach in the collection and analysis of data, with the hope of purity assessment is maintained.The data can be by way of participation and interview. The processing and data analysis, deconstruction required readings. Deconstruction is not just unload but re-download- destructs (evaluation) with the help of linguistics that speech acts (elaboration) and semiotics (significance). The way it works, the data that has been collected will enter the stage of processing; grouping based on the research objectives; analyzed by speech act theory; pared with the theory of semiotics; and to formulate a model of learning as a result of the evaluation. KeywordsMyth, Character, Women, Pariaman, and Etnometodology I. PENDAHULUAN Minangkabau merupakan sebuah wilayah adat istiadat dan secara kebudayaan termasuk salah suku bangsa yang tergolong unik dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia. Realitas kehidupan masyarakat di sini identik dengan apa yang disebut oleh masyarakat modern sebagai kebiasan dan tradisi lama mitos, terlebih lagi masyarakat yang melakukan rutinitas di daerah kabupaten. Masyarakat tradisional memiliki kepercayaan bahwa mitos merupakan kesucian yang tidak boleh dipandang sebagai doktrin benar salah, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran dari generasi kegenerasi. Mengutip pendapat Hamilton, mitos merupakan ilmu pengetahuan yang paling awal, sebagai hasil usaha pertama manusia yang mencoba menjelaskan apa yang mereka saksikan di sekitar mereka (Hamilton, 2009: xix). Sebagai pengetahuan awal, mitos mampu mengcover dan menyerap nilai-nilai positif yang ditawarkan alam semesta dan kemudian menjadikannnya filosofi hidup pembentuk karakter. Pandangan Hamilton di atas, sejalan dengan pandangan hidup Masyarakat Minangkabau yang menjadikan alam semesta sebagai bimbingan hidup yang dikenal dengan filosofi alam takambang jadi guru. Keserasian hidup dengan alam semesta mampu menghadiahi masyarakat ini dengan etos kerja yang tercermin di dalam kebiasan marantau 1 . Sebagai wilayah yang masih kental dengan kebudayaan tradisional, Minangkabau hidup di 1 Merantau adalah pola imigrasi suku di Minangkabau, kebiasaan ini dikuti dengan meninggalkan kampung halaman dalam waktu yang relatif lama, dengan kemauan sendiri, mencari penghidupan dan pengalaman, dan dengan maksud untuk membangun kampung halaman ( Naim, 2012: 3)

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

34

E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014

Journal Polingua Scientific Journal of Linguistics, Literature and Education

Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus

Kabupaten Padang Pariaman

M. Yunis

Universitas Andalas, Indonesia E-mail: [email protected]

Abstract— This study titled 'Myth For Women Character Education Discourse of Minangkabau; Case Study of Padang

Pariaman '' is one of the studies that tried to reformulate the old wisdom and knowledge that is useful for the creation of models to

learning and character education of young generation in the future, especially women. In the formulation of this model, the authors

use qualitative methods ethnometodology approach in the collection and analysis of data, with the hope of purity assessment is

maintained.The data can be by way of participation and interview. The processing and data analysis, deconstruction required readings. Deconstruction is not just unload but re-download-

destructs (evaluation) with the help of linguistics that speech acts (elaboration) and semiotics (significance). The way it works, the data that has been collected will enter the stage of processing; grouping based on the research objectives; analyzed by speech act

theory; pared with the theory of semiotics; and to formulate a model of learning as a result of the evaluation.

Keywords— Myth, Character, Women, Pariaman, and Etnometodology

I. PENDAHULUAN

Minangkabau merupakan sebuah wilayah

adat istiadat dan secara kebudayaan termasuk

salah suku bangsa yang tergolong unik dari sekian

banyak suku bangsa di Indonesia. Realitas

kehidupan masyarakat di sini identik dengan apa

yang disebut oleh masyarakat modern sebagai

kebiasan dan tradisi lama ‘mitos’, terlebih lagi

masyarakat yang melakukan rutinitas di daerah

kabupaten. Masyarakat tradisional memiliki

kepercayaan bahwa mitos merupakan kesucian

yang tidak boleh dipandang sebagai doktrin benar

salah, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran dari

generasi kegenerasi.

Mengutip pendapat Hamilton, mitos

merupakan ilmu pengetahuan yang paling awal,

sebagai hasil usaha pertama manusia yang

mencoba menjelaskan apa yang mereka saksikan

di sekitar mereka (Hamilton, 2009: xix). Sebagai

pengetahuan awal, mitos mampu mengcover dan

menyerap nilai-nilai positif yang ditawarkan alam

semesta dan kemudian menjadikannnya filosofi

hidup pembentuk karakter. Pandangan Hamilton

di atas, sejalan dengan pandangan hidup

Masyarakat Minangkabau yang menjadikan alam

semesta sebagai bimbingan hidup yang dikenal

dengan filosofi alam takambang jadi guru.

Keserasian hidup dengan alam semesta mampu

menghadiahi masyarakat ini dengan etos kerja

yang tercermin di dalam kebiasan marantau1.

Sebagai wilayah yang masih kental dengan

kebudayaan tradisional, Minangkabau hidup di

1

Merantau adalah pola imigrasi suku di Minangkabau,

kebiasaan ini dikuti dengan meninggalkan kampung halaman

dalam waktu yang relatif lama, dengan kemauan sendiri,

mencari penghidupan dan pengalaman, dan dengan maksud

untuk membangun kampung halaman ( Naim, 2012: 3)

Page 2: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

35

dalam kebisaan matrilineal 2

, yang mana garis

keturunan di tarik dari garis ibu. Oleh karenanya,

anak-anak yang dilahirkan mengikuti garis

keturunan ibu, dan pendidikan terhadap anak

termasuk di dalamnnya (Navis, 1886). Jadi, di

dalam sistem ini kaum perempuan diberi

keistimewaan tertentu, keistimewaan tersebut di

antaranya: pemilik harta pusaka kaum, pendidikan

anak, amban puruak aluang bunian (tempat

konsultasi), dan limpapeh rumah gadang

(penguasa rumah). Perempuan yang mendapat

keistimewaan ini disebut di dalam Filosofi Adat

Minangkabau sebagai Bundo Kanduang.

Untuk menempati posisi sebutan Bundo

Kanduang tidaklah semudah membalik telapak

tangan. Posisi itu didapatkan melalui proses yang

sangat panjang, mulai dari pendidikan-pendidikan

informal dan seleksi alam yang sangat ketat

(seleksi sosial masyarakat). Salah satu cara

pendidikan tersebut disalurkan melalui pencitraan

cerita rakyat yang kemudian disebut dengan mitos.

Cerita rakyat yang disebut mitos ini se akan-akan

kekal dan hidup di dalam keseharian masyarakat,

sehingga masyarakat sendiri lebih takut melanggar

larangan di dalam mitos ketimbang aturan-hukum

formal yang berlaku. Hal inilah yang menjadi

alasan bagi penulis untuk mengkaji kesadaran

2

Menurut Santos, matrilineal merupakan sistem paguyuban

masyarakat tertua, sistem ini lebih dahulu lahir dibandingkan

patrilineal, kajiannya ini juga didukung oleh fakta-fakta

linguistik. Bahkan ditegaskan kembali, bahwa sistem

kebudayaan ini juga berlaku pada masa purba seperti

Kebudayaan di Benua Atlantis. Hal itu dijelaskan dalam

kutipannya ‘’Demikianlah sang Ibu Agung juga

melambangkan Atlantis Lemuria, menciptakan peradaban

sendirian, tanpa bantuan dari ’’benih’’ laki-laki’’. Hal juga

terjadi pada semua peradaban setelah itu, tanpa kecuali

(Santos, 2010:155).

etnisitas, logika dan genius local yang termaktub

di dalam wacana mitos, ditelusuri, dan diteliti

secara ilmiah.

Namun begitu, Minangkabau merupakan

sebuah republik etnis yang sangat luas. Seperti

yang diceritakan dalam tambo, bahwa secara

kebudayaan daerah Minangkabau meliputi negri

jiran Malaysia. Agar penelitian ini sesuai dengan

tingkat keetisan, kelogisan, dan keilmiahan kajian,

maka dalam penelitian ini hanya akan membahas

mitos yang berbentuk larangan dan pantangan bagi

kaum perempuan di Kabupaten Padang Pariaman,

baik yang masih gadis maupun yang sudah

menikah.

Di Minangkabau mitos mampu

menciptakan keteraturan di tengah masyarakat.

Fakta di lapangan mitos mampu membentuk

karakter dan kepribadian generasi. Hal ini

dibuktikan adanya ketakukan masyarakat untuk

melanggar doktrin yang disampaikan di dalam

mitos. Oleh karena itu mitos dianggap sebagai

pranata dan simbol primordial yang mempunyai

nilai-nilai pembelajaran dalam hidup

bermasyarakat.

Di lapangan ditemukan beberapa bentuk

pengkodean awal pengetahuan tentang sistim nilai

masyarakat. Pengetahuan tersebut diperkenalkan

pada kaum perempuan dalam bentuk tuturan mitos

dan tuturan itu diwariskan secara turun-temurun.

Bentuk pengkodean tersebut di antaranya;

pengenalan jodoh, perawatan diri, pengenalan

rezki, pengenalan penyakit, melatih kesabaran,

sosok ibu, bencana alam, dan mengenal yang gaib.

II. STRUKTUR DAN MAKNA

Page 3: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

36

2.1 Struktur Mitos

Menurut Levi-Strauss (2011:75-79) di

dalam mitos terdapat logika primitif dan prinsip-

prinsip dasar pemikiran manusia tradisional.

Prinsip dasar ini tentunya dibentuk oleh budaya

lingkungan yang diciptakannya, jika yang hadir

dalam keseharian budaya tradisional dengan

keterbatasan teknologi sudah barang tentu pola

berpikir masyarakat ini jauh berbeda dengan

masyarakat yang hidup dalam modernitas. Hal

yang menarik dari masyarakat tradisional adalah

logika pikir yang masih alami dan jauh dari

pengaruh budaya teknologi virtual yang mana

budaya virtual ini hanya ada dan hadir di tengah

masyarakat modern. Mitos termask hal yang

disucikan oleh masyarakat tradisional, tetapi hal

yang dianggap suci ini belum tentu suci bagi

masyarakat lain. Perbedaan pandangan ini tentu

juga disebabkan oleh budaya yang membentuknya

juga berbeda.

Mitos disampaikan melalui bahasa, di

sinilah kemampuan nalar masyarakat pemilik

mitos bisa ditelusuri. Tanpa bahasa, peneliti akan

mengalami kesukaranmenelusuri pesan yang

disampaikan melalui teks naratif sebuah mitos.

Tidak gampang menelusuri pesan yang terselip di

balik mitos, tanpa terlebih dahulu mengenali

struktur bahasa mitos tersebut. Untuk itu terdapat

kaidah-kaidah ternetu yang harus ditempuh dan

dipecahkan sebelum kita merumuskan makna serta

pesan yang disampaikannya.

Sausure dalam linguistik strukturalnya

pernah menawarkan bahwa di dalam bahasa

terdapat beberapa konsep yang harus diperhatikan

(Hoed, 2013:42—50). Konsep tersebut pertama

langue dan parole, di sini dapat kita lihat bahwa

bahasa tidak hanya terdiri dari susunan kata-kata

tanpa makna tetapi di dalam bahasa terdapat

system dan struktur yang abstrak yang hanya ada

dalam pikiran masyarakat. Sistem dan struktur

tersebut menurut Sausure terdapat dalam langue,

sedangkan penerapan sistem tersebut di dalam

masyarakat disebut oleh Sausure dengan parole.

Tuturan mitos yang memuat semua larangan

merupakan langue seperti yang dikatakan Sausure.

Sedangkan tindakan mematuhi dan menghormati

larangan tersebut disebut parole.

Kedua sintagmatik dan paradigamtik,

dalam hal ini kita berbicara persoalan sifat relasi

antar stuktur dalam bahasa sehingga bahasa itu

bermakna. Relasi sintagmatik merupakan relasi

antara komponen yang berada di dalam struktur

yang sama. Struktur yang sama memberi

penekanan pada tema yang sama, budaya yang

sama, dan makna yang sama. Sedangkan relasi

paradigamtik merupakan relasi antar komponen di

dalam suatu struktur dengan komponen lain di luar

struktur itu. Hal ini menjelaskan relasi yang terjadi

antar kompnen yang berbeda struktur

pembentuknya, bisa juga dikatakan keterjalinan

hubungan khusus dengan kompnen lain di dalam

budaya dan pencitran lain, dan tentunya demi

kepentingan pemaknaan. Relasi sintagmatik dan

paradigmatik juga terdapat di dalam tuturan mitos

yang berwujur larangan.

Ketiga sinkronis dan diakronis, melihat

gejala bahasa berdasarkan pada lapisan dan ruang

tertentu disebut sinkronis, namun jika kita melihat

Page 4: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

37

bahasa antar lapisan ruang terntentu disebut

dengan diakronis. Sinkronis dapat dijelaskan

bahwa gejala bahasa yang menjadi tumpuan utama

merupakan gejala yang terjadi pada kurun waktu

tertentu saja. Misalnya kajian mitos perkawinan,

mitos kematian, kelahiran, mitos remaja, dan lain

sebagainya. Diakronis berkaitan dengan perbedaan

masa dan waktu, sama halnya dengan konsep

paradigmatik yang beroreantasi pada struktur yang

berbeda. Jadi, diakronis berhungan erat dengan

perbedaan waktu dan masa terbentuknya sebuah

bahasa (tuturan mitos).

Keempat signifiant dan signifie,

merupakan relasi pemaknaan dari bahasa..

Signifiant merupakan citra akustik yang

mempunyai relasi dengan konsep objek, dan

Signifie merupakan acuan dari citra akustik.

Antara signifiant dengan signifie berposisi setara

dengan langue dengan parole, hanya saja langue

dengan parole lebih membahas relasi bahasa di

dalam struktur yang sama sedang signifiant

dengan signifie relasi yang terbangun antar

struktur yang berbeda, dan terkadang struktur itu

berada di luar bahasa.

Keempat konsep struktural di atas dapat

ditemukan dalam tuturan mitos di Kabupaten

Padang Pariaman. Tuturan mitos yang berbentuk

kalimat singkat dapat memperlihatkan hubungan

antara langue dengan parole, sintagmatik dengan

paradigmatik, sinkronis dengan diakronis, dan

signifiant dengan signifie. Namun begitu, terdapat

penggabungan waktu di dalam tuturan mitos ini,

seperti yang disebut oleh Levi-Strauss dengan

sindiakronis (2001:82). Sindiakronis berarti

sinkronis dengan diakronis sama sekali tidak

terpisah, melainkan dia hadir secara bersamaan.

Mengacu pada konsep di atas, terdapat

beberapa temuan dalam analisis struktural tuturan

mitos. Temuan tersebut dapat dijelaskan seperti

dibawah ini;

a. Ketiadaan Sindiakronisasi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya

temuan dalam analisis stuktur tuturan mitos

berbentuk ketiadaan sindiakronisasi. ‘Ketiadaan

sindiakronisasi’ dimaksudkan untuk menjelaskan

ketiadaan periode waktu, ketika dan masa, dan

juga ketiadaan sinkronis maupun diakronis. Di sini

terjadi peleburan masa dan waktu, yang mana

hubungan keduanya tidak memperhitungkan

waktu tempat kejadin peristiwa. Teks naratif mitos

di sini tidak mengunakan nama tokoh, tidak ada

cerita yang panjang untuk menceritakan sesuatu

kejadian, tetapi hanya berbentuk tuturan singkat

untuk menjelaskan apa yang boleh dan apa yang

tidak boleh dilakukan. Satu item struktur dari

mitos (sinkronis dan diakronis ala Sausure) dan

sindiaakronisasi (ala Levi-Strauss) tidak

ditemukan dalam teks naratif mitos perempuan di

Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini wajar, sebab

objek kajian mitos Levi-Strauss berbetuk cerita

panjang yang menjelaskan tentang suatu kejadian

peristiwa.

b. Struktur direktif

Direktif merupakan tindak tuturan yang

menyuruh petutur atau lawan tutur melakukan

sesuatu tindakan sesuai dengan apa yang

disebutkan oleh tuuran itu. Tindakan itu termasuk

menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,

Page 5: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

38

No Penanda Petanda Denotatum

1 mandi malam laki tuo Laki Tuo

(jodoh yang

tidak layak) 2 madok makan ka

dapua balaki urang gaek

3 mamacik sapu tabaliak

balaki urang gaek

4 banyanyi-nyanyi di dapua

balaki urang tuo

5 malangkahi kakak padusi

payah nyo mancari laki

Tidak

berjodoh

6 duduak dipintu payah mancari laki

7 karajo indak salasai dak dapek laki

dan menantang. Fitur ini ditemukan di semua

tuturan mitos di Kabupaten Padang Pariaman.

Terkesan bahwa terdapat tuturan secara tidak

langsung yang mengharuskan lawan tutur untuk

melakukan sesuatu, prilaku direktif ini ditemukan

pada tuturan untuk pengenalan jodoh, perawatan

diri, pengenalan rezki, pengenalan penyakit,

menahan diri, pengenalan tanggungjawab,

pengenalan perkawinan, pengenalan bahaya, dan

pengenalan pada yang gaib.

c. Struktur komisif

Komisif yaitu tindak ujaran yang mengikat

penuturnya untuk melaksanakan apa yang

disebutkan dalam ujaran. Tindakan komisif seperti

tuturan yang memiliki fitur sematis [+tawaran,

+masa datang], seperti berjanji, menawarkan, dan

mengancam. Di dalam tuturan mitos di Kabupaten

Padang Pariaman ditemukan pada tuturan mitos

yang terkategori ke dalam pengenalan jodoh,

perawatan diri, pengenalan rezki, pengenalan

penyakit, menahan diri, pengenalan

tanggungjawab, pengenalan perkawinan,

pengenalan bahaya, dan pengenalan pada yang

gaib.

2.2. Makna Mitos

1. Jodoh

Terdapat enam item yang berkaitan dengan

jodoh, di antaranya mandi malam, madok makan

ka dapua, duduak di pintu, karajo indak salasai,

macik sapu tabaliak, dan malangkahi kakak

padusi. Semua item tersebut terdapat logika

pendidikan yang saling berkaitan dan tumpang

tindih. Pertama tiga logika kesehatan yaitu; a)

kebiasaan mandi pada waktu malam hari

merupakan tindakan yang merugikan kesehatan,

kebiasaan ini bisa menimbulkan dan memancing

penyakit menghinggapi tubuh. Penyakit yang

biasa di derita masyarakat dari perbuatan ini

adalah paru-paru basah. b) madok makan ka dapua,

juga berkaitan dengan kesehatan. Sarana dapua

(dapur tradisional Minangkabau) merupakan

tempat yang yang sarat dengan dengan debu sisa

pembakaran dan asap. Tentunya unsur debu dan

asap ini sangat merusak pernapasan dan penderita

akan menderita penyakit seperti asma. c)

mamacik sapu labaliak juga berkaitan dengan

kesehatan, sapu lantai yang banyak mengadung

kuman penyakit akan berterbangan dan dihirup

oleh hidung.

Kedua logika moralitas, kebiasan gadis

minang menutup aurat dan memang tidak

diperbolehkan mengubar aurat apalagi mengumbar

kecantikan ke khalayak ramai. Gadis Minang yang

suka duduk di pintu akan selalu dipandang dan

dilihat oleh orang yang selalu lalu lalang di depan

rumah. Dari sini image negative akan terbangun

dalam pikiran setiap orang yang sering lewat dan

cerita lisan pun akan berkembang dari mulut ke

mulut tentang seorang gadis yang belum laku,

sudah tua, dan suka melihat lelaki yang lewat.

Page 6: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

39

Ketiga logika tanggungjawab terlihat

diwaktu gadis Minang selalu menuntaskan suatu

pekerjaan. Seorang gadis yang pemalas tentunya

tidak diminati oleh laki-laki sebagai pasangan

hidup. Di sini karakter gadis minang mulai

dibentuk menjadi orang yang cekatan, terampil

dalam bekerja, dan disiplin.

Keempat logika etika sangat menjadi

perhatian utama di dalam masyarakat Padang

Pariaman. Hal ini diperlukan untuk menjaga

hubungan yang harmonis di dalam keluarga.

Penanda ini dibuktikan adanya larangan

mendahului kakak perempuan menikah, sebab

masyarakat meyakini bahwa si kakak akan susah

menemukan jodohnya. Pada hakikatnya bukanlah

si adik yang menyebabkan si kakak susah

menemukan jodohnya, tetapi gunjingan

masyarakat yang mendominasi psikologi si kakak.

Atas dasar ini si kakak akan malu diri dan

menutup diri dari informasi yang datang dari luar.

Resiko penyakit (penyakitan) yang

dijelaskan di atas merupakan suatu tindakan

komisif yang menghadirkan janji yang akan

dialami oleh pelaku. Penanda orang tua

menghadirkan petanda penyakit, dan jodoh

merupakan fitur tanda yang berfungsi sebagai

pertalian referen antara orang tua dengan penyakit.

Di sini terdapat teks terselubung yang diusung

oleh teks jodoh yang menghasilkan evaluasi (hasil

dekonstruksi) berupa penyakit, perempuan

rendahan, pemalas, dan bahan gunjingan.

Evaluasi selanjutnya dari tuturan ini

berbentuk ketakutan masyarakat untuk melanggar.

Direktifitas masyarakat bertindak untuk mematuhi

dalam arti kata tidak membiasakan diri mandi

tengah malam, menuntaskan semua pekerjaan,

tidak memegang sapu terbalik, menghindari aura

dapur ketika makan, dan mehindarkan diri dari

gunjingan. Kedekatan antara penyakit dengan

tubuh di umpamakannya sebagai sosok kedekatan

diri dengan pasangam hidup, artinya penyakit

dianggap pendamping hidup yang tentunya akan

selalu berjodoh dengan manusia. Kemudian segala

sikap yang jelek seperti pemalas, tak punya rasa

tanggungjawab dan tak bisa menjaga kehormatan

sangat menentukan siapa jodoh si gadis di

kemudian hari.

2. Perawatan diri

Pada sesi perawatan diri (wajah) terdapat

enam item tingkah laku perempuan yang sangat

dilarang secara adat Minangkabau. Item tersbut di

antaranya;

No Penanda Petanda Denotatum

1 makan kalang ayam

hitam kaniang kalau baralek

Hilangnya

kecantikan

2 makan kalang ayam

hitam mukoe jadi anak daro

3 makan kaki ayam

bariang-bariang mukoe jadi anak daro

4 makan karak kanji

hitam kaniangnyo jadi anak daro

5 mancukua bulu mato

hilang ancak e jadi anak daro

6 main jo kuciang dak jadi baralek Tidak sehat

dan melanggar

agama

Lima item di atas diakaitkan dengan

perawatan wajah tujuannya untuk menimbulkan

kejeraan bagi pelaku. Namun secara maknawi

semiotika memakan kalang ayam, kaki ayam,

mancukua bulu mato, dan main jo kuciang tidak

lebih hanya sebagai referen penghubung antara

penanda dengan petanda kecantikan. Dari

hubungan tersebut melahirkan makna: a)

menghindarkan diri dari kolesterol, b) penetral

Page 7: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

40

No Penanda Petanda Denotatum

1 makan karambia kukua

dek sisiak Moral

2 Pasan urang indak basampaikan

dek tunggua bisan mato

Kepercayaan

racun di dalam tubuh, dan c) menghindari cacat

tubuh. Makna semiotis ini disampaikan melalu

perumpamaan yang kemudian disebut dengan

mitos zaman modern.

Sejalan dengan makna semiotis di atas,

juga terdapat selubung teks yang mengharuskan

evaluasi nilai dari prilaku masyarakat. Prilaku

tersebut tak hayal berkemungkinan besar terjadi,

prilaku yang suka memakan kalang ayam (jeroan)

dan kaki ayam memang berdampak buruk bagi

kesehatan. Kebiasan ini juga dapat membuat libido

bergejolak dan larangan yang logis bagi

perempuan yang belum menikah. Kemudian

pelarangan mencukur bulu mata mengajarkan pada

perempuan yang masih gadis untuk merawat

kesehatan mata, sebab keringat yang keluar melaui

pori-pori tempat tumbuhnya bulu mata disertai

dengan racun yang mampu merusak bola mata dan

di dalam Islam adanya larangan terhadap prilaku

tersebut. Selanjutnya kehadiran kucing sebagai

mahluk yang lembut ternyata dapat merusak

memalui kelembutannya, kucing memiliki kuku

yang sangat tajam dan mampu merobek-robek

sasarannya.

3. Pengenalan Rezki

digunakan sebagai tempat masuk keluar rumah

sesungguhnya tidak boleh ditutup, hal ini

digunakan untuk menanggulangi dampak dari

musibah atau bencana alam seperti gempa bumi

dan saat gempa bumi datang orang yang berada di

dalam rumah bisa dengan gampang berlarian

keluar rumah. Oreantasi rezqi di sini adalah

keberlangsungan kehidupan angota di dalam

rumah tersebut.

Pintu sebagai sarana keluar masuk rumah

adalah jalan utama bagi tamu yang datang

berkunjung ke rumah tersebut. Kebiasaan duduk di

pintu tentunya memanghambat atau melarang ses

orang bertamu, sementara itu konsep tamu di

dalam pandangan masyarakat dianggap seabagai

sosok pembawa berkah dan rezqi. Oleh karena itu

sangat logis sekali masyarakat menyebut duduk di

pintu dapat mengahambat rezqi.

Sementara itu evaluasi dari nilai-nilai

diharapakan dapat membentuk karakter dan

kepribadian ramah kepada tamu. Di sini dapat juga

kita lihat sikap soaial sebagai anggota masyarakat.

Orang yang suka menerima tamu memlambangkan

seorang yang berbudi pekerti luhur dan disenangi

oleh banyak orang.

4. Pengenalan Penyakit

No Penanda Petanda Denotatum

1 duduak di pintu

ta ambek razaki

Sosial

Terdapat satu mitos yang dipergunakan

masyarakat Kabupaten Padang Pariaman untuk

memberi penekanan kepada rezqi. Penanda

duduak di pintu digunakan untuk menyampaikan

petanda ‘peyempitan rahmat’. Pintu yang

Secara semiotik karambia kukua memang

tidak ada kaitan langsung dengan penyakit sisik.

Penyakit sisik itu sendiri merupakan penyakit

kekeringan pada kulit, biasanya kulit menjadi

kering (tangan dan kaki) sehingga berbentuk

Page 8: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

41

seperti sisik ikan. Karambia kukua yaitu kelapa

yang sengaja diperas dengan secara tradisional dan

dilakukan di dapur waktu memasak lauk-pauk

pelengkap makanan. Keterkaitan antara keduanya

(penanda dan petanda) terhubung oleh etika

seorang perempuan, jika kelapa yang diperas habis

dimakan tentunya akan mengurangi santan untuk

memasak lauk pauk. Sementara itu antara pesan

dengan penyakit tunggua bisan (mata bengkak)

juga tidak ada keterkaitan secara langsung. Dalam

hal ini masih berkaitan pada tanggungjawab

sebagai penyampai pesan.

Evaluasi nilai yang diharapkan dari kedua

tuturan mitos ini secara berkisar pada etika

(beradat) dan rasa tanggungjawab dalam

melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan oleh

orang lain. Meskipun begitu di antara kedua

penanda di atas terdapat teks tersembunyi yang

dihadirkan memalui teks naratif mitos. Teks

tersebut ialah pertama keseriusan dalam bekerja

sangat menentukan masa depan dalam berumah

tangga dan kedua menjadi penyampai pesan

merupakan salah satu perbuatan yang mulia baik

secara adat maupun agama. Oleh karenanya

kepercayaan yang telah diamanahkan hendaknya

ditunaikan dengan sebaik mungkin.

5. Melatih kesabaran

No Penanda Petanda Denotatum

1 mangiringi anak daro

Badaruih Etika dan

Moral

2 pai batimbang tando Badaruih

3 mancaliak urang manikah

Badaruih

Pada item di atas terdapat tiga penanda

tetapi satu muara (petanda), mangiriang anak daro

(pengiring mempelai wanita), pai batimbang

tando (mengikuti prosesi pertunangan), dan

mancaliak urang manikah (menyaksikan

pernikahan) dan denotatumnya badaruih. Bagi

anak yang masih perawan prilaku ini sangat

dilarang, resikonya dikatakan badaruih. Badaruih

merupakan sitilah yang diberikan pada seseorang

yang telah melakukan perbuatan sebelum

waktunya, bisa dikatakan kawin sebelum

menempuh prosesi pernikahan. Berdasarkan

penjelasan ini petanda yang muncul dari tiga

penanda di atas adalah kesabaran, menunggu

giliran lebih baik dari pada maju tetapi merusak

nama baik.

Evaluasi nilai dati teks di atas berupa

pengajaran etika pada anak perempuan yang masih

gadis. Sehingga adanya keharusan yang harus

dipatuhi, di antaranya menghindarkan diri dri

sikap yang tidak terpuji, menjauhkan diri dari

prilaku menyimpang (berduan dengan bukan

muhrim), dan membatasi pergaulan dengan lawan

jenis.

6. Sosok Ibu

No Penanda Petanda Denotatum

1 main kalumun kain mati induak Penanaman

Kasih Sayang 2 maambuang- ambuang kain

mati induak

3 tidua bakacimpuang mati induak

Jika diperhatikan antara penanda dan

petanda pada fitur di atas tidaklah seimbang, hal

ini dibuktikan tiga penanda yang bermuara pada

satu petanda yaitu mati induak (meninggalnya

orang tua perempuan). Secara langsung memang

tidak terdapat hubungan antara penanda dengan

petanda, tetapi terdapat logika yang ditawarkan

sehingga dapat membentuk hubungan antara

penanda dengan petanda. Kain dengan ibu

Page 9: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

42

memiliki kedekatan hubungan makna, kain yang

biasanya digunakan untuk selimut melakukan

fungsi seperti ibu yang melindungi. Oleh

karenanya kain selayaknya digunakan sesuai

dengan fungsinya dan bukan untuk dijadikan

sebagai bahan permainan.

Sedangkan hubungan yang terjalin antara

penanda bakacimpuang (tidur telungkup sembari

kaki diayun-ayunkan ke atas) dengan ibu juga

tidak terdapat hubungan secara langsung.

Meskipun begitu juga terdapat logika yang

ditawarkan di sini, logika tersebut terbangun atas

dasar kedekatan ibu dengan dada sebagai tempat

jantung berfungsi. Antara jantung dengan ibu

sama-sama memiliki fungsi yang setara, ibu

dianggap sebagai jantung kehidupan dan harus

dijaga.

Evaluasi nilai yang diharapkan antara

penanda dan petanda diatas berkisar tentang

penanaman kasih sayang pada orang tua kepada si

anak. Sosok ibu di dalam kebudayaan

Minangkabau lebih unggul jika dibandingkan

dengan sosok ayah, hal ini logis karena fungsi

ayah akan tetap menjadi tamu di dalam keluarga

batih.

7. Bencana Alam

No Penanda Petanda Denotatum

1 bapayuang di tangah rumah

ditembak patuih

Etika

Seperti yang dijelaskan sebelumnya,

kehadiran halilintar menjadi tema pembentukan

salah satu mitos di Kabupaten Padang Pariaman.

Hal ini menggambarkan bahwa kehadiran

halilintar menjadi saksi hidup keseharian

masyarakat di sana. Maka dari itu, halilintar

terkesan pun dihormati oleh masyarakat, tindakan

ini tergambar di dalam teks naratif mitos yang

diciptakannya.

Bapayung di dalam rumah sebagai unsur

penanda di dalam teks di posisikan sebagai referen

petanda ditembak patuih. Hubungan langsung

antara penanda dan petanda ini tidak ada, tetapi

terdapat teks simbolik yang diwarnainya. Teks

tersebut berupa ‘warna hitam’ yang identik dengan

daya penyerapan panas. Warna hitam melekat

pada simbol payung dalam konsep Minangkabau

berupa payung warna hitam. Memakai payung di

dalam rumah dapat memancing daya serap panas

yang tinggi salah satunya daya panas yang

dipantulkan oleh energi listrik dari halilintar.

Struktur perjalanan mitos sengaja menciptakan

hubungan yang logis antara penggunaaan payung

di dalam rumah dengan serangan halilintar.

Sementara itu, evaluasi nilai yang

diharapakan bukan serta merta seperti yang

diinginkan struktur yang membangun teks naratif

mitos. Melainkan terdapat nilai-nilai yang mulai

dibangun di dalam diri anak perempuan sejak dini.

Pertama nilai etika, nilai prilaku ini sengaja

dipupuk untuk membentuk anak tidak ‘ganjen’

(mantiak). Mantiak dalam istilah bahasa

Minangkabau disamakan dengan suka mengobral

kecantikan dan keunggulan tubuh yang

dimilikinya. Kedua nilai raso pareso, nilai ini

diharuskan ada di dalam setiap diri perempuan

Minangkabau yang mana proyeksinya menuju

Page 10: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

43

bundo kanduang ideal dalam konseptual

keminangkabauan. Ketiga alua jo patuik,

berpayung di tengah rumah tidak sesuai dengan

alua jo patuik keminangkabauan. Alua identik

dengan proses perjalanan dan patuik ialah terbiasa

dilakukan oleh semua orang.

8. Mengenal yang gaib

No Penanda Petanda Denotatum

1 kalua sanjo dicilok hantu Etika dan

Moral 2 mandi malam dipiciak hantu

3 kalua sanjo tapijak anak bilih

Tiga varian penanda di atas masih

menggunakan struktur yang sama. Struktur sama

yang dimaksud ialah kesimpulan denotata hantu

dan ibilih. Hantu merupakan istilah yang

digunakan oleh orang Minangkabau untuk

menyebut mahluk halus yang suka menggangu

dan ibilih digunakan untuk menyebut mahluk raja

dari hantu. Antara hantu dan ibilih sebenarnya

sama-sama keturungan bangsa Jin tetapi di dalam

masyarakat Minangkabau di antara mereka

dibedakan fungsinya.

Di cilok hantu di istilahkan untuk orang

yang selalu di ganggu oleh mahluk halus dan

terkdang hilang kesadarannya. Penyakit ini lebih

sering disebut dengan orang bunian, si penderita

sering mengalami penampakan mahluk halus dan

sering diajak berpergian oleh mahluik tersebut. Di

piciak hantu dimaknai oleh masyarakat dengan

sebutan tasapo, penyakit ini digunakan untuk

mengkategorikan penyakit demam dan suhu badan

naik secara drastis. Tapijak anak bilih merupakan

istilah yang digunakan untuk menegaskan

penyakit tatagua. Tatagua merupakan penyakit

yang dianggap berbahaya oleh masyarakat karena

dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia.

Ilmu kesehatan bisa menyebutnya demam panas

tinggi, tipus, dan lain-lain.

Sementara itu evaluasi yang diharapakan

berupa pendidikan karakter; pertama untuk

membiasakan diri menjaga kesehatan tubuh dan

kedua menjaga degradasi moral seorang anak

perempuan. Tidaklah menjadi kebiasan bagi

masyarakat Minangkabau untuk meninggalkan

rumah pada senja hari atau waktu magrib. Prilaku

tersebut dianggap melanggar adat dan kebiasan

yang berlaku di tengah masyarakat. Kebiasaan ini

disebut dalam pituah’ayam putiah tabang malam’,

maksudnya wanita yang melanggar kebiasaan ini

dilabeli bagaikan seekor ayam putih yang terbang

malam hari (wanita tidak baik).

III. MODEL PEMBELAJARAN

Jauh sebelum kedatangan Ilmu

Pengetahuan Moderen, masyarakat Minangkabau

sudah memiliki sarana informal untuk mendidik

generasinya menjadi manusia-manusia tangguh

dan bahkan lebih tangguh dari generasi sekarang.

Sarana pendidikan tersebut dikenal oleh

masyarakat sekarang dalam sebutan pendidikan

surau untuk kaum laki-laki dan kedua pendidikan

rumah gadang untuk kaum perempuan.

Pendidikan rumah gadang bukan berarti

generasi perempuan Minangkabau di dididik

hnaya di dalam rumah gadang tetapi pendidikan

yang dimaksud adalah pendidikan yang sesauai

dengan alua jo patuik seperti yang berlaku di

dalam rumah gadang. Alua jo patuik menjadi dasar

Page 11: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

44

1 Anak gadih Dak buliah mandi malam Beko dapek laki tuo

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

2 Anak gadih Dak buliah madok makan ka dapua

Beko dapek laki gaek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

3 Anak gadih Dak buliah duduak di pintu Beko payah mancari laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

4 Anak gadih kalau karajo harus salasai Beko dak dapek laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

5 Anak gadih Dak buliah mamacik sapu tabaliak

Beko balaki urang gaek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

6 Anak gadih Dak buliah banyanyi- nyanyi di dapua

Beko balaki urang tuo

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

7 Anak gadih indak buliah makan kalang ayam.

beko hitam kaniang kalau baralek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

8 Anak gadih Indak buliah kalua sanjo beko tapijak anak bilih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

9 Anak gadih indak buliah mandi malam beko dipiciak hantu

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

10 Anak gadih indak buliah kalua sanjo beko dicilok hantu

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

11 Anak gadih Dak buliah tidua bakacimpuang

Beko mati induak

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

12 Dak buliah maambuang-ambuang kain Beko mati induak

berpijak yang logis dalam pewarisan sistem nilai

untuk kaum perempuan yang notabenenya akan

menduduki posisi bundo kanduang.

Berdasarkan itu, pada tuturan mitos

ditemukan struktur direktif dan komisif, direktif

merupakan tindakan yang menghendaki penutur

untuk melakukan sesuatu dan komisif yang

memberikan lawan tutur sebuah janji. Dalam hal

ini di Minangkabau sendiri tidak menyebutnya

seperti demikian, tetapi ditemukan logika yang

sama yang dinamakan kato bayang. Penggunaan

kato bayang mengehndaki generasi muda untuk

membentengi diri bagi beberapa tindakan sebagai

yang merugikan.

Kato bayang merupakan kata yang

mengandung makna kias dan nilai kearifan yang

dalam. Kato bayang juga bisa dimaknai sebagai

kato nan sabana kato (kata yang sarat dengan

pengajaran nilai). Dalam penyampaiannya bisa

berbentuk pepatah, mamangan adat, pertentangan

antar kata, dan tuturan tidak langsung.

Dalam bahasan teks naratif Mitos di

Kabupaten Padang Pariaman secara keseluruhan

menggunakan kato bayang dalam bentuk tuturan

tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung

(indirect speech act) ialah tindak tutur untuk

memerintah seseorang melakukan sesuatu secara

tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan

memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya

agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya

diperintah.

Misalnya seorang laki-laki yang kehabisan

rokok dan dia berusaha meminta rokok pada

temannya dengan mengucapkan; Rokok saya habis!

Bank sudah tutup!. Kalimat tersebut disampaikan

dengan modus berita tetapi memiliki muatan

semantis imperatif, yakni agar seseorang memberi

penutur sebatang rokok seperti pada (1) dan agar

pengunjung tidak lagi atau dilarang memasuki

sebuah bank seperti pada kalimat (2). Modus

kalimat berita tetapi juga memiliki muatan

semantis introgatif. Fakta itu terjadi dalam kondisi

tertentu, yang mana seseorang kehabisan uang dan

mengucapkan pernyataan pada lawan tuturnya

seperti kalimat (2).

Berdasarkan struktur di atas teks naratif

mitos dapat dijelaskan menjadi;

Page 12: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

45

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

13 Anak gadih Dak buliah bapayuang di tangah rumah

beko ditembak patuih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

14 Dak buliah main kalumun kain beko mati induak

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

15 Anak gadih indak buliaah mangiringi anak daro

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

16 Anak gadih indak buliah mancaliak urang manikah

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

17 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

18 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

19 anak gadih indak buliah makan kalang ayam

beko hitam mukoe jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

20 anak gadih dak buliah makan kaki ayam

beko bariang-bariang mukoe jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

21 Anak gadih indak buliah mancaliak urang manikah

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

22 Anak gadih indak buliah banyanyi- nyanyi di dapua

beko balaki urang tuo

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

23 Anak gadih kalau karajo harus salasai beko dak dapek laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

24 Anak gadih Indak buliah malangkahi kakak padusi baralek

beko payah nyo mancari laki

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

25 Anak gadih nan sadang maetong hari indak buliah main jo kuciang

beko dak jadi baralek

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

26 Anak gadih dak buliah makan karambia kukua

beko dek sisiak

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

27 Pasan urang indak basampaiakan dek tunggua bisan mato

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

28 Anak gadih indak buliaah mangiringi anak daro

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

29 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando

beko badaruih

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

30 anak gadih indak buliah makan karak kanji

beko hitam kaniangnyo jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

31 anak gadih indak buliah mancukua bulu mato

hilang ancak e jadi anak daro

Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan

IV. KESIMPULAN

Dari hasil analisis teks naratif mitos bisa

disimpulkan bahwa masyarakat Kapupaten Padang

Pariaman khususnya telah mengenal dan memiliki

nilai-nilai kearifan lokal yang selalu terpatri dari

tindakannya. Nilai-nilai ini ditransfer kepada

generasi kaum perempuan melalui pembentukan

mitos di dalam kehidupannya. Nilai-nilai ini

ditemukan dalam bentuk;

a. Mempersiapkan diri untuk mendapatkan

jodoh yang baik, di dalam prosesnya si

perempuan dibatasi oleh benteng etika,

moral, dan sopan-santun.

b. Pengenalan cinta kasih terhadap seorang ibu

diajarkan sejak dini seperti yang tergambar

di dalam teks naratif mitos yang

diciptakannya.

c. Menghargai saudara yang juga tergambar di

dalam salah satu mitos pernikahan.

d. Mengenali penyakit, mahluk gaib, perawatan

diri, dan bencana alam juga diperkenlakan

melalui teks naratif mitos yang dimilikinya.

Sementara itu, terdapat satu bentuk model

pembelajaran yang diperkenalkan pada generasi

perempuan. Bentuk tersebut penulis namakan

dengan pengajaran kato bayang yang di

realisasikan dengan tuturan tidak langsung

(imperatif/deklaratif).

Dari hasil analisis bentuk pembelajaran dari teks

naratif mitos dapat di simpulkan bahwa

pembentukan karakter dan pewarisan nilai-nilai

dilakukan dengan ungkapan kalimat imperatif.

1. Saran Kajian terhadap teks naratif mitos sebagai

wacana pendidikan karakter perempuan yang

penulis lakukan masih dikategorikan kajian yang

prematur. Oleh karena ini, dalam kajian ini masih

terdapat berbagai macam kekurangan yang patut

Page 13: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua

46

diperbaiki dalam penelitian lanjutan. Namun

begitu, kajian ini dapat dijadikan sebagai pintu

pembuka untuk melakukan kajian yang lebih

dalam yang sesuai dengan waktu, kesempatan

yang lebih lama, dan dengan ketersediaan materi

yang mencukupi.

Di samping itu, masih banyak mitos-mitos

lain yang hidup dalam keseharian masyarakat

tradisional dan dapat dijadikan pembelajaran

untuk generasi muda, dan belum mendapat

sentuhan dari peneliti. Oleh karena itu, kajian

terhadap mitos hendaknya menjadi salah satu

kajian yang utama dalam dalam memperbaiki

akhlak generasi muda menjadi lebih baik.

REFERENCES

[1] Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yokyakarta: LKIS.

[2] Barthes, Roland. 2003. Terjemahan; Mitologi. Padang: Dian Aksara Press.

[3] Batuah, Amad Dt dan Dt. Madjoindo. 1956. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka.

[4] Drakard, Jane. 1999. A Kingdom of Words, Language and Power in Sumatra. New York: Oxford University Press.

[5] Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.

[6] Dnandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

[7] Eliade, Mircea. 2002. Terjemahan; Mitos Gerak Kembali yang Abadi

Kosmos dan Sejarah. Yokyakarta: Ikon. [8] Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika, Signifikasi Komunikasi, Teori

Kode Serta Teori Produksi-Tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

[9] Fairclough, Norman. 2003. Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasan, dan Ideologi. Gresik: Boyan Publishing.

[10] Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik. Jakarta: Universitas Atma Jaya.

[11] Hamilton, Edith. 2009. Mitologi Yunani. Yogyakarta: Pustaka Logung.

[12] Jaszi, Peter, dkk. 2009. Kebudayaan Tradisional, suatu Langkah

Maju untuk Perlindungan di Indonesia. Jakarta: LSPP. [13] Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. [14] Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa. Yokyakarta: Paradigma Offset. [15] Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan

INDONESIATERA. [16] Leech, G. 1993. Terejemahan; Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta:

UI-Press.

[17] Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

[18] Zoest. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.