e-issn : 2252 - 4797 volume 3 - no.1 2014 journal polingua
TRANSCRIPT
![Page 1: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/1.jpg)
34
E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014
Journal Polingua Scientific Journal of Linguistics, Literature and Education
Mitos Wacana Pendidikan Karakter Perempuan Minangkabau, Studi Kasus
Kabupaten Padang Pariaman
M. Yunis
Universitas Andalas, Indonesia E-mail: [email protected]
Abstract— This study titled 'Myth For Women Character Education Discourse of Minangkabau; Case Study of Padang
Pariaman '' is one of the studies that tried to reformulate the old wisdom and knowledge that is useful for the creation of models to
learning and character education of young generation in the future, especially women. In the formulation of this model, the authors
use qualitative methods ethnometodology approach in the collection and analysis of data, with the hope of purity assessment is
maintained.The data can be by way of participation and interview. The processing and data analysis, deconstruction required readings. Deconstruction is not just unload but re-download-
destructs (evaluation) with the help of linguistics that speech acts (elaboration) and semiotics (significance). The way it works, the data that has been collected will enter the stage of processing; grouping based on the research objectives; analyzed by speech act
theory; pared with the theory of semiotics; and to formulate a model of learning as a result of the evaluation.
Keywords— Myth, Character, Women, Pariaman, and Etnometodology
I. PENDAHULUAN
Minangkabau merupakan sebuah wilayah
adat istiadat dan secara kebudayaan termasuk
salah suku bangsa yang tergolong unik dari sekian
banyak suku bangsa di Indonesia. Realitas
kehidupan masyarakat di sini identik dengan apa
yang disebut oleh masyarakat modern sebagai
kebiasan dan tradisi lama ‘mitos’, terlebih lagi
masyarakat yang melakukan rutinitas di daerah
kabupaten. Masyarakat tradisional memiliki
kepercayaan bahwa mitos merupakan kesucian
yang tidak boleh dipandang sebagai doktrin benar
salah, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran dari
generasi kegenerasi.
Mengutip pendapat Hamilton, mitos
merupakan ilmu pengetahuan yang paling awal,
sebagai hasil usaha pertama manusia yang
mencoba menjelaskan apa yang mereka saksikan
di sekitar mereka (Hamilton, 2009: xix). Sebagai
pengetahuan awal, mitos mampu mengcover dan
menyerap nilai-nilai positif yang ditawarkan alam
semesta dan kemudian menjadikannnya filosofi
hidup pembentuk karakter. Pandangan Hamilton
di atas, sejalan dengan pandangan hidup
Masyarakat Minangkabau yang menjadikan alam
semesta sebagai bimbingan hidup yang dikenal
dengan filosofi alam takambang jadi guru.
Keserasian hidup dengan alam semesta mampu
menghadiahi masyarakat ini dengan etos kerja
yang tercermin di dalam kebiasan marantau1.
Sebagai wilayah yang masih kental dengan
kebudayaan tradisional, Minangkabau hidup di
1
Merantau adalah pola imigrasi suku di Minangkabau,
kebiasaan ini dikuti dengan meninggalkan kampung halaman
dalam waktu yang relatif lama, dengan kemauan sendiri,
mencari penghidupan dan pengalaman, dan dengan maksud
untuk membangun kampung halaman ( Naim, 2012: 3)
![Page 2: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/2.jpg)
35
dalam kebisaan matrilineal 2
, yang mana garis
keturunan di tarik dari garis ibu. Oleh karenanya,
anak-anak yang dilahirkan mengikuti garis
keturunan ibu, dan pendidikan terhadap anak
termasuk di dalamnnya (Navis, 1886). Jadi, di
dalam sistem ini kaum perempuan diberi
keistimewaan tertentu, keistimewaan tersebut di
antaranya: pemilik harta pusaka kaum, pendidikan
anak, amban puruak aluang bunian (tempat
konsultasi), dan limpapeh rumah gadang
(penguasa rumah). Perempuan yang mendapat
keistimewaan ini disebut di dalam Filosofi Adat
Minangkabau sebagai Bundo Kanduang.
Untuk menempati posisi sebutan Bundo
Kanduang tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Posisi itu didapatkan melalui proses yang
sangat panjang, mulai dari pendidikan-pendidikan
informal dan seleksi alam yang sangat ketat
(seleksi sosial masyarakat). Salah satu cara
pendidikan tersebut disalurkan melalui pencitraan
cerita rakyat yang kemudian disebut dengan mitos.
Cerita rakyat yang disebut mitos ini se akan-akan
kekal dan hidup di dalam keseharian masyarakat,
sehingga masyarakat sendiri lebih takut melanggar
larangan di dalam mitos ketimbang aturan-hukum
formal yang berlaku. Hal inilah yang menjadi
alasan bagi penulis untuk mengkaji kesadaran
2
Menurut Santos, matrilineal merupakan sistem paguyuban
masyarakat tertua, sistem ini lebih dahulu lahir dibandingkan
patrilineal, kajiannya ini juga didukung oleh fakta-fakta
linguistik. Bahkan ditegaskan kembali, bahwa sistem
kebudayaan ini juga berlaku pada masa purba seperti
Kebudayaan di Benua Atlantis. Hal itu dijelaskan dalam
kutipannya ‘’Demikianlah sang Ibu Agung juga
melambangkan Atlantis Lemuria, menciptakan peradaban
sendirian, tanpa bantuan dari ’’benih’’ laki-laki’’. Hal juga
terjadi pada semua peradaban setelah itu, tanpa kecuali
(Santos, 2010:155).
etnisitas, logika dan genius local yang termaktub
di dalam wacana mitos, ditelusuri, dan diteliti
secara ilmiah.
Namun begitu, Minangkabau merupakan
sebuah republik etnis yang sangat luas. Seperti
yang diceritakan dalam tambo, bahwa secara
kebudayaan daerah Minangkabau meliputi negri
jiran Malaysia. Agar penelitian ini sesuai dengan
tingkat keetisan, kelogisan, dan keilmiahan kajian,
maka dalam penelitian ini hanya akan membahas
mitos yang berbentuk larangan dan pantangan bagi
kaum perempuan di Kabupaten Padang Pariaman,
baik yang masih gadis maupun yang sudah
menikah.
Di Minangkabau mitos mampu
menciptakan keteraturan di tengah masyarakat.
Fakta di lapangan mitos mampu membentuk
karakter dan kepribadian generasi. Hal ini
dibuktikan adanya ketakukan masyarakat untuk
melanggar doktrin yang disampaikan di dalam
mitos. Oleh karena itu mitos dianggap sebagai
pranata dan simbol primordial yang mempunyai
nilai-nilai pembelajaran dalam hidup
bermasyarakat.
Di lapangan ditemukan beberapa bentuk
pengkodean awal pengetahuan tentang sistim nilai
masyarakat. Pengetahuan tersebut diperkenalkan
pada kaum perempuan dalam bentuk tuturan mitos
dan tuturan itu diwariskan secara turun-temurun.
Bentuk pengkodean tersebut di antaranya;
pengenalan jodoh, perawatan diri, pengenalan
rezki, pengenalan penyakit, melatih kesabaran,
sosok ibu, bencana alam, dan mengenal yang gaib.
II. STRUKTUR DAN MAKNA
![Page 3: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/3.jpg)
36
2.1 Struktur Mitos
Menurut Levi-Strauss (2011:75-79) di
dalam mitos terdapat logika primitif dan prinsip-
prinsip dasar pemikiran manusia tradisional.
Prinsip dasar ini tentunya dibentuk oleh budaya
lingkungan yang diciptakannya, jika yang hadir
dalam keseharian budaya tradisional dengan
keterbatasan teknologi sudah barang tentu pola
berpikir masyarakat ini jauh berbeda dengan
masyarakat yang hidup dalam modernitas. Hal
yang menarik dari masyarakat tradisional adalah
logika pikir yang masih alami dan jauh dari
pengaruh budaya teknologi virtual yang mana
budaya virtual ini hanya ada dan hadir di tengah
masyarakat modern. Mitos termask hal yang
disucikan oleh masyarakat tradisional, tetapi hal
yang dianggap suci ini belum tentu suci bagi
masyarakat lain. Perbedaan pandangan ini tentu
juga disebabkan oleh budaya yang membentuknya
juga berbeda.
Mitos disampaikan melalui bahasa, di
sinilah kemampuan nalar masyarakat pemilik
mitos bisa ditelusuri. Tanpa bahasa, peneliti akan
mengalami kesukaranmenelusuri pesan yang
disampaikan melalui teks naratif sebuah mitos.
Tidak gampang menelusuri pesan yang terselip di
balik mitos, tanpa terlebih dahulu mengenali
struktur bahasa mitos tersebut. Untuk itu terdapat
kaidah-kaidah ternetu yang harus ditempuh dan
dipecahkan sebelum kita merumuskan makna serta
pesan yang disampaikannya.
Sausure dalam linguistik strukturalnya
pernah menawarkan bahwa di dalam bahasa
terdapat beberapa konsep yang harus diperhatikan
(Hoed, 2013:42—50). Konsep tersebut pertama
langue dan parole, di sini dapat kita lihat bahwa
bahasa tidak hanya terdiri dari susunan kata-kata
tanpa makna tetapi di dalam bahasa terdapat
system dan struktur yang abstrak yang hanya ada
dalam pikiran masyarakat. Sistem dan struktur
tersebut menurut Sausure terdapat dalam langue,
sedangkan penerapan sistem tersebut di dalam
masyarakat disebut oleh Sausure dengan parole.
Tuturan mitos yang memuat semua larangan
merupakan langue seperti yang dikatakan Sausure.
Sedangkan tindakan mematuhi dan menghormati
larangan tersebut disebut parole.
Kedua sintagmatik dan paradigamtik,
dalam hal ini kita berbicara persoalan sifat relasi
antar stuktur dalam bahasa sehingga bahasa itu
bermakna. Relasi sintagmatik merupakan relasi
antara komponen yang berada di dalam struktur
yang sama. Struktur yang sama memberi
penekanan pada tema yang sama, budaya yang
sama, dan makna yang sama. Sedangkan relasi
paradigamtik merupakan relasi antar komponen di
dalam suatu struktur dengan komponen lain di luar
struktur itu. Hal ini menjelaskan relasi yang terjadi
antar kompnen yang berbeda struktur
pembentuknya, bisa juga dikatakan keterjalinan
hubungan khusus dengan kompnen lain di dalam
budaya dan pencitran lain, dan tentunya demi
kepentingan pemaknaan. Relasi sintagmatik dan
paradigmatik juga terdapat di dalam tuturan mitos
yang berwujur larangan.
Ketiga sinkronis dan diakronis, melihat
gejala bahasa berdasarkan pada lapisan dan ruang
tertentu disebut sinkronis, namun jika kita melihat
![Page 4: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/4.jpg)
37
bahasa antar lapisan ruang terntentu disebut
dengan diakronis. Sinkronis dapat dijelaskan
bahwa gejala bahasa yang menjadi tumpuan utama
merupakan gejala yang terjadi pada kurun waktu
tertentu saja. Misalnya kajian mitos perkawinan,
mitos kematian, kelahiran, mitos remaja, dan lain
sebagainya. Diakronis berkaitan dengan perbedaan
masa dan waktu, sama halnya dengan konsep
paradigmatik yang beroreantasi pada struktur yang
berbeda. Jadi, diakronis berhungan erat dengan
perbedaan waktu dan masa terbentuknya sebuah
bahasa (tuturan mitos).
Keempat signifiant dan signifie,
merupakan relasi pemaknaan dari bahasa..
Signifiant merupakan citra akustik yang
mempunyai relasi dengan konsep objek, dan
Signifie merupakan acuan dari citra akustik.
Antara signifiant dengan signifie berposisi setara
dengan langue dengan parole, hanya saja langue
dengan parole lebih membahas relasi bahasa di
dalam struktur yang sama sedang signifiant
dengan signifie relasi yang terbangun antar
struktur yang berbeda, dan terkadang struktur itu
berada di luar bahasa.
Keempat konsep struktural di atas dapat
ditemukan dalam tuturan mitos di Kabupaten
Padang Pariaman. Tuturan mitos yang berbentuk
kalimat singkat dapat memperlihatkan hubungan
antara langue dengan parole, sintagmatik dengan
paradigmatik, sinkronis dengan diakronis, dan
signifiant dengan signifie. Namun begitu, terdapat
penggabungan waktu di dalam tuturan mitos ini,
seperti yang disebut oleh Levi-Strauss dengan
sindiakronis (2001:82). Sindiakronis berarti
sinkronis dengan diakronis sama sekali tidak
terpisah, melainkan dia hadir secara bersamaan.
Mengacu pada konsep di atas, terdapat
beberapa temuan dalam analisis struktural tuturan
mitos. Temuan tersebut dapat dijelaskan seperti
dibawah ini;
a. Ketiadaan Sindiakronisasi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya
temuan dalam analisis stuktur tuturan mitos
berbentuk ketiadaan sindiakronisasi. ‘Ketiadaan
sindiakronisasi’ dimaksudkan untuk menjelaskan
ketiadaan periode waktu, ketika dan masa, dan
juga ketiadaan sinkronis maupun diakronis. Di sini
terjadi peleburan masa dan waktu, yang mana
hubungan keduanya tidak memperhitungkan
waktu tempat kejadin peristiwa. Teks naratif mitos
di sini tidak mengunakan nama tokoh, tidak ada
cerita yang panjang untuk menceritakan sesuatu
kejadian, tetapi hanya berbentuk tuturan singkat
untuk menjelaskan apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Satu item struktur dari
mitos (sinkronis dan diakronis ala Sausure) dan
sindiaakronisasi (ala Levi-Strauss) tidak
ditemukan dalam teks naratif mitos perempuan di
Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini wajar, sebab
objek kajian mitos Levi-Strauss berbetuk cerita
panjang yang menjelaskan tentang suatu kejadian
peristiwa.
b. Struktur direktif
Direktif merupakan tindak tuturan yang
menyuruh petutur atau lawan tutur melakukan
sesuatu tindakan sesuai dengan apa yang
disebutkan oleh tuuran itu. Tindakan itu termasuk
menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,
![Page 5: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/5.jpg)
38
No Penanda Petanda Denotatum
1 mandi malam laki tuo Laki Tuo
(jodoh yang
tidak layak) 2 madok makan ka
dapua balaki urang gaek
3 mamacik sapu tabaliak
balaki urang gaek
4 banyanyi-nyanyi di dapua
balaki urang tuo
5 malangkahi kakak padusi
payah nyo mancari laki
Tidak
berjodoh
6 duduak dipintu payah mancari laki
7 karajo indak salasai dak dapek laki
dan menantang. Fitur ini ditemukan di semua
tuturan mitos di Kabupaten Padang Pariaman.
Terkesan bahwa terdapat tuturan secara tidak
langsung yang mengharuskan lawan tutur untuk
melakukan sesuatu, prilaku direktif ini ditemukan
pada tuturan untuk pengenalan jodoh, perawatan
diri, pengenalan rezki, pengenalan penyakit,
menahan diri, pengenalan tanggungjawab,
pengenalan perkawinan, pengenalan bahaya, dan
pengenalan pada yang gaib.
c. Struktur komisif
Komisif yaitu tindak ujaran yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan dalam ujaran. Tindakan komisif seperti
tuturan yang memiliki fitur sematis [+tawaran,
+masa datang], seperti berjanji, menawarkan, dan
mengancam. Di dalam tuturan mitos di Kabupaten
Padang Pariaman ditemukan pada tuturan mitos
yang terkategori ke dalam pengenalan jodoh,
perawatan diri, pengenalan rezki, pengenalan
penyakit, menahan diri, pengenalan
tanggungjawab, pengenalan perkawinan,
pengenalan bahaya, dan pengenalan pada yang
gaib.
2.2. Makna Mitos
1. Jodoh
Terdapat enam item yang berkaitan dengan
jodoh, di antaranya mandi malam, madok makan
ka dapua, duduak di pintu, karajo indak salasai,
macik sapu tabaliak, dan malangkahi kakak
padusi. Semua item tersebut terdapat logika
pendidikan yang saling berkaitan dan tumpang
tindih. Pertama tiga logika kesehatan yaitu; a)
kebiasaan mandi pada waktu malam hari
merupakan tindakan yang merugikan kesehatan,
kebiasaan ini bisa menimbulkan dan memancing
penyakit menghinggapi tubuh. Penyakit yang
biasa di derita masyarakat dari perbuatan ini
adalah paru-paru basah. b) madok makan ka dapua,
juga berkaitan dengan kesehatan. Sarana dapua
(dapur tradisional Minangkabau) merupakan
tempat yang yang sarat dengan dengan debu sisa
pembakaran dan asap. Tentunya unsur debu dan
asap ini sangat merusak pernapasan dan penderita
akan menderita penyakit seperti asma. c)
mamacik sapu labaliak juga berkaitan dengan
kesehatan, sapu lantai yang banyak mengadung
kuman penyakit akan berterbangan dan dihirup
oleh hidung.
Kedua logika moralitas, kebiasan gadis
minang menutup aurat dan memang tidak
diperbolehkan mengubar aurat apalagi mengumbar
kecantikan ke khalayak ramai. Gadis Minang yang
suka duduk di pintu akan selalu dipandang dan
dilihat oleh orang yang selalu lalu lalang di depan
rumah. Dari sini image negative akan terbangun
dalam pikiran setiap orang yang sering lewat dan
cerita lisan pun akan berkembang dari mulut ke
mulut tentang seorang gadis yang belum laku,
sudah tua, dan suka melihat lelaki yang lewat.
![Page 6: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/6.jpg)
39
Ketiga logika tanggungjawab terlihat
diwaktu gadis Minang selalu menuntaskan suatu
pekerjaan. Seorang gadis yang pemalas tentunya
tidak diminati oleh laki-laki sebagai pasangan
hidup. Di sini karakter gadis minang mulai
dibentuk menjadi orang yang cekatan, terampil
dalam bekerja, dan disiplin.
Keempat logika etika sangat menjadi
perhatian utama di dalam masyarakat Padang
Pariaman. Hal ini diperlukan untuk menjaga
hubungan yang harmonis di dalam keluarga.
Penanda ini dibuktikan adanya larangan
mendahului kakak perempuan menikah, sebab
masyarakat meyakini bahwa si kakak akan susah
menemukan jodohnya. Pada hakikatnya bukanlah
si adik yang menyebabkan si kakak susah
menemukan jodohnya, tetapi gunjingan
masyarakat yang mendominasi psikologi si kakak.
Atas dasar ini si kakak akan malu diri dan
menutup diri dari informasi yang datang dari luar.
Resiko penyakit (penyakitan) yang
dijelaskan di atas merupakan suatu tindakan
komisif yang menghadirkan janji yang akan
dialami oleh pelaku. Penanda orang tua
menghadirkan petanda penyakit, dan jodoh
merupakan fitur tanda yang berfungsi sebagai
pertalian referen antara orang tua dengan penyakit.
Di sini terdapat teks terselubung yang diusung
oleh teks jodoh yang menghasilkan evaluasi (hasil
dekonstruksi) berupa penyakit, perempuan
rendahan, pemalas, dan bahan gunjingan.
Evaluasi selanjutnya dari tuturan ini
berbentuk ketakutan masyarakat untuk melanggar.
Direktifitas masyarakat bertindak untuk mematuhi
dalam arti kata tidak membiasakan diri mandi
tengah malam, menuntaskan semua pekerjaan,
tidak memegang sapu terbalik, menghindari aura
dapur ketika makan, dan mehindarkan diri dari
gunjingan. Kedekatan antara penyakit dengan
tubuh di umpamakannya sebagai sosok kedekatan
diri dengan pasangam hidup, artinya penyakit
dianggap pendamping hidup yang tentunya akan
selalu berjodoh dengan manusia. Kemudian segala
sikap yang jelek seperti pemalas, tak punya rasa
tanggungjawab dan tak bisa menjaga kehormatan
sangat menentukan siapa jodoh si gadis di
kemudian hari.
2. Perawatan diri
Pada sesi perawatan diri (wajah) terdapat
enam item tingkah laku perempuan yang sangat
dilarang secara adat Minangkabau. Item tersbut di
antaranya;
No Penanda Petanda Denotatum
1 makan kalang ayam
hitam kaniang kalau baralek
Hilangnya
kecantikan
2 makan kalang ayam
hitam mukoe jadi anak daro
3 makan kaki ayam
bariang-bariang mukoe jadi anak daro
4 makan karak kanji
hitam kaniangnyo jadi anak daro
5 mancukua bulu mato
hilang ancak e jadi anak daro
6 main jo kuciang dak jadi baralek Tidak sehat
dan melanggar
agama
Lima item di atas diakaitkan dengan
perawatan wajah tujuannya untuk menimbulkan
kejeraan bagi pelaku. Namun secara maknawi
semiotika memakan kalang ayam, kaki ayam,
mancukua bulu mato, dan main jo kuciang tidak
lebih hanya sebagai referen penghubung antara
penanda dengan petanda kecantikan. Dari
hubungan tersebut melahirkan makna: a)
menghindarkan diri dari kolesterol, b) penetral
![Page 7: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/7.jpg)
40
No Penanda Petanda Denotatum
1 makan karambia kukua
dek sisiak Moral
2 Pasan urang indak basampaikan
dek tunggua bisan mato
Kepercayaan
racun di dalam tubuh, dan c) menghindari cacat
tubuh. Makna semiotis ini disampaikan melalu
perumpamaan yang kemudian disebut dengan
mitos zaman modern.
Sejalan dengan makna semiotis di atas,
juga terdapat selubung teks yang mengharuskan
evaluasi nilai dari prilaku masyarakat. Prilaku
tersebut tak hayal berkemungkinan besar terjadi,
prilaku yang suka memakan kalang ayam (jeroan)
dan kaki ayam memang berdampak buruk bagi
kesehatan. Kebiasan ini juga dapat membuat libido
bergejolak dan larangan yang logis bagi
perempuan yang belum menikah. Kemudian
pelarangan mencukur bulu mata mengajarkan pada
perempuan yang masih gadis untuk merawat
kesehatan mata, sebab keringat yang keluar melaui
pori-pori tempat tumbuhnya bulu mata disertai
dengan racun yang mampu merusak bola mata dan
di dalam Islam adanya larangan terhadap prilaku
tersebut. Selanjutnya kehadiran kucing sebagai
mahluk yang lembut ternyata dapat merusak
memalui kelembutannya, kucing memiliki kuku
yang sangat tajam dan mampu merobek-robek
sasarannya.
3. Pengenalan Rezki
digunakan sebagai tempat masuk keluar rumah
sesungguhnya tidak boleh ditutup, hal ini
digunakan untuk menanggulangi dampak dari
musibah atau bencana alam seperti gempa bumi
dan saat gempa bumi datang orang yang berada di
dalam rumah bisa dengan gampang berlarian
keluar rumah. Oreantasi rezqi di sini adalah
keberlangsungan kehidupan angota di dalam
rumah tersebut.
Pintu sebagai sarana keluar masuk rumah
adalah jalan utama bagi tamu yang datang
berkunjung ke rumah tersebut. Kebiasaan duduk di
pintu tentunya memanghambat atau melarang ses
orang bertamu, sementara itu konsep tamu di
dalam pandangan masyarakat dianggap seabagai
sosok pembawa berkah dan rezqi. Oleh karena itu
sangat logis sekali masyarakat menyebut duduk di
pintu dapat mengahambat rezqi.
Sementara itu evaluasi dari nilai-nilai
diharapakan dapat membentuk karakter dan
kepribadian ramah kepada tamu. Di sini dapat juga
kita lihat sikap soaial sebagai anggota masyarakat.
Orang yang suka menerima tamu memlambangkan
seorang yang berbudi pekerti luhur dan disenangi
oleh banyak orang.
4. Pengenalan Penyakit
No Penanda Petanda Denotatum
1 duduak di pintu
ta ambek razaki
Sosial
Terdapat satu mitos yang dipergunakan
masyarakat Kabupaten Padang Pariaman untuk
memberi penekanan kepada rezqi. Penanda
duduak di pintu digunakan untuk menyampaikan
petanda ‘peyempitan rahmat’. Pintu yang
Secara semiotik karambia kukua memang
tidak ada kaitan langsung dengan penyakit sisik.
Penyakit sisik itu sendiri merupakan penyakit
kekeringan pada kulit, biasanya kulit menjadi
kering (tangan dan kaki) sehingga berbentuk
![Page 8: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/8.jpg)
41
seperti sisik ikan. Karambia kukua yaitu kelapa
yang sengaja diperas dengan secara tradisional dan
dilakukan di dapur waktu memasak lauk-pauk
pelengkap makanan. Keterkaitan antara keduanya
(penanda dan petanda) terhubung oleh etika
seorang perempuan, jika kelapa yang diperas habis
dimakan tentunya akan mengurangi santan untuk
memasak lauk pauk. Sementara itu antara pesan
dengan penyakit tunggua bisan (mata bengkak)
juga tidak ada keterkaitan secara langsung. Dalam
hal ini masih berkaitan pada tanggungjawab
sebagai penyampai pesan.
Evaluasi nilai yang diharapkan dari kedua
tuturan mitos ini secara berkisar pada etika
(beradat) dan rasa tanggungjawab dalam
melaksanakan pekerjaan yang diamanahkan oleh
orang lain. Meskipun begitu di antara kedua
penanda di atas terdapat teks tersembunyi yang
dihadirkan memalui teks naratif mitos. Teks
tersebut ialah pertama keseriusan dalam bekerja
sangat menentukan masa depan dalam berumah
tangga dan kedua menjadi penyampai pesan
merupakan salah satu perbuatan yang mulia baik
secara adat maupun agama. Oleh karenanya
kepercayaan yang telah diamanahkan hendaknya
ditunaikan dengan sebaik mungkin.
5. Melatih kesabaran
No Penanda Petanda Denotatum
1 mangiringi anak daro
Badaruih Etika dan
Moral
2 pai batimbang tando Badaruih
3 mancaliak urang manikah
Badaruih
Pada item di atas terdapat tiga penanda
tetapi satu muara (petanda), mangiriang anak daro
(pengiring mempelai wanita), pai batimbang
tando (mengikuti prosesi pertunangan), dan
mancaliak urang manikah (menyaksikan
pernikahan) dan denotatumnya badaruih. Bagi
anak yang masih perawan prilaku ini sangat
dilarang, resikonya dikatakan badaruih. Badaruih
merupakan sitilah yang diberikan pada seseorang
yang telah melakukan perbuatan sebelum
waktunya, bisa dikatakan kawin sebelum
menempuh prosesi pernikahan. Berdasarkan
penjelasan ini petanda yang muncul dari tiga
penanda di atas adalah kesabaran, menunggu
giliran lebih baik dari pada maju tetapi merusak
nama baik.
Evaluasi nilai dati teks di atas berupa
pengajaran etika pada anak perempuan yang masih
gadis. Sehingga adanya keharusan yang harus
dipatuhi, di antaranya menghindarkan diri dri
sikap yang tidak terpuji, menjauhkan diri dari
prilaku menyimpang (berduan dengan bukan
muhrim), dan membatasi pergaulan dengan lawan
jenis.
6. Sosok Ibu
No Penanda Petanda Denotatum
1 main kalumun kain mati induak Penanaman
Kasih Sayang 2 maambuang- ambuang kain
mati induak
3 tidua bakacimpuang mati induak
Jika diperhatikan antara penanda dan
petanda pada fitur di atas tidaklah seimbang, hal
ini dibuktikan tiga penanda yang bermuara pada
satu petanda yaitu mati induak (meninggalnya
orang tua perempuan). Secara langsung memang
tidak terdapat hubungan antara penanda dengan
petanda, tetapi terdapat logika yang ditawarkan
sehingga dapat membentuk hubungan antara
penanda dengan petanda. Kain dengan ibu
![Page 9: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/9.jpg)
42
memiliki kedekatan hubungan makna, kain yang
biasanya digunakan untuk selimut melakukan
fungsi seperti ibu yang melindungi. Oleh
karenanya kain selayaknya digunakan sesuai
dengan fungsinya dan bukan untuk dijadikan
sebagai bahan permainan.
Sedangkan hubungan yang terjalin antara
penanda bakacimpuang (tidur telungkup sembari
kaki diayun-ayunkan ke atas) dengan ibu juga
tidak terdapat hubungan secara langsung.
Meskipun begitu juga terdapat logika yang
ditawarkan di sini, logika tersebut terbangun atas
dasar kedekatan ibu dengan dada sebagai tempat
jantung berfungsi. Antara jantung dengan ibu
sama-sama memiliki fungsi yang setara, ibu
dianggap sebagai jantung kehidupan dan harus
dijaga.
Evaluasi nilai yang diharapkan antara
penanda dan petanda diatas berkisar tentang
penanaman kasih sayang pada orang tua kepada si
anak. Sosok ibu di dalam kebudayaan
Minangkabau lebih unggul jika dibandingkan
dengan sosok ayah, hal ini logis karena fungsi
ayah akan tetap menjadi tamu di dalam keluarga
batih.
7. Bencana Alam
No Penanda Petanda Denotatum
1 bapayuang di tangah rumah
ditembak patuih
Etika
Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
kehadiran halilintar menjadi tema pembentukan
salah satu mitos di Kabupaten Padang Pariaman.
Hal ini menggambarkan bahwa kehadiran
halilintar menjadi saksi hidup keseharian
masyarakat di sana. Maka dari itu, halilintar
terkesan pun dihormati oleh masyarakat, tindakan
ini tergambar di dalam teks naratif mitos yang
diciptakannya.
Bapayung di dalam rumah sebagai unsur
penanda di dalam teks di posisikan sebagai referen
petanda ditembak patuih. Hubungan langsung
antara penanda dan petanda ini tidak ada, tetapi
terdapat teks simbolik yang diwarnainya. Teks
tersebut berupa ‘warna hitam’ yang identik dengan
daya penyerapan panas. Warna hitam melekat
pada simbol payung dalam konsep Minangkabau
berupa payung warna hitam. Memakai payung di
dalam rumah dapat memancing daya serap panas
yang tinggi salah satunya daya panas yang
dipantulkan oleh energi listrik dari halilintar.
Struktur perjalanan mitos sengaja menciptakan
hubungan yang logis antara penggunaaan payung
di dalam rumah dengan serangan halilintar.
Sementara itu, evaluasi nilai yang
diharapakan bukan serta merta seperti yang
diinginkan struktur yang membangun teks naratif
mitos. Melainkan terdapat nilai-nilai yang mulai
dibangun di dalam diri anak perempuan sejak dini.
Pertama nilai etika, nilai prilaku ini sengaja
dipupuk untuk membentuk anak tidak ‘ganjen’
(mantiak). Mantiak dalam istilah bahasa
Minangkabau disamakan dengan suka mengobral
kecantikan dan keunggulan tubuh yang
dimilikinya. Kedua nilai raso pareso, nilai ini
diharuskan ada di dalam setiap diri perempuan
Minangkabau yang mana proyeksinya menuju
![Page 10: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/10.jpg)
43
bundo kanduang ideal dalam konseptual
keminangkabauan. Ketiga alua jo patuik,
berpayung di tengah rumah tidak sesuai dengan
alua jo patuik keminangkabauan. Alua identik
dengan proses perjalanan dan patuik ialah terbiasa
dilakukan oleh semua orang.
8. Mengenal yang gaib
No Penanda Petanda Denotatum
1 kalua sanjo dicilok hantu Etika dan
Moral 2 mandi malam dipiciak hantu
3 kalua sanjo tapijak anak bilih
Tiga varian penanda di atas masih
menggunakan struktur yang sama. Struktur sama
yang dimaksud ialah kesimpulan denotata hantu
dan ibilih. Hantu merupakan istilah yang
digunakan oleh orang Minangkabau untuk
menyebut mahluk halus yang suka menggangu
dan ibilih digunakan untuk menyebut mahluk raja
dari hantu. Antara hantu dan ibilih sebenarnya
sama-sama keturungan bangsa Jin tetapi di dalam
masyarakat Minangkabau di antara mereka
dibedakan fungsinya.
Di cilok hantu di istilahkan untuk orang
yang selalu di ganggu oleh mahluk halus dan
terkdang hilang kesadarannya. Penyakit ini lebih
sering disebut dengan orang bunian, si penderita
sering mengalami penampakan mahluk halus dan
sering diajak berpergian oleh mahluik tersebut. Di
piciak hantu dimaknai oleh masyarakat dengan
sebutan tasapo, penyakit ini digunakan untuk
mengkategorikan penyakit demam dan suhu badan
naik secara drastis. Tapijak anak bilih merupakan
istilah yang digunakan untuk menegaskan
penyakit tatagua. Tatagua merupakan penyakit
yang dianggap berbahaya oleh masyarakat karena
dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia.
Ilmu kesehatan bisa menyebutnya demam panas
tinggi, tipus, dan lain-lain.
Sementara itu evaluasi yang diharapakan
berupa pendidikan karakter; pertama untuk
membiasakan diri menjaga kesehatan tubuh dan
kedua menjaga degradasi moral seorang anak
perempuan. Tidaklah menjadi kebiasan bagi
masyarakat Minangkabau untuk meninggalkan
rumah pada senja hari atau waktu magrib. Prilaku
tersebut dianggap melanggar adat dan kebiasan
yang berlaku di tengah masyarakat. Kebiasaan ini
disebut dalam pituah’ayam putiah tabang malam’,
maksudnya wanita yang melanggar kebiasaan ini
dilabeli bagaikan seekor ayam putih yang terbang
malam hari (wanita tidak baik).
III. MODEL PEMBELAJARAN
Jauh sebelum kedatangan Ilmu
Pengetahuan Moderen, masyarakat Minangkabau
sudah memiliki sarana informal untuk mendidik
generasinya menjadi manusia-manusia tangguh
dan bahkan lebih tangguh dari generasi sekarang.
Sarana pendidikan tersebut dikenal oleh
masyarakat sekarang dalam sebutan pendidikan
surau untuk kaum laki-laki dan kedua pendidikan
rumah gadang untuk kaum perempuan.
Pendidikan rumah gadang bukan berarti
generasi perempuan Minangkabau di dididik
hnaya di dalam rumah gadang tetapi pendidikan
yang dimaksud adalah pendidikan yang sesauai
dengan alua jo patuik seperti yang berlaku di
dalam rumah gadang. Alua jo patuik menjadi dasar
![Page 11: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/11.jpg)
44
1 Anak gadih Dak buliah mandi malam Beko dapek laki tuo
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
2 Anak gadih Dak buliah madok makan ka dapua
Beko dapek laki gaek
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
3 Anak gadih Dak buliah duduak di pintu Beko payah mancari laki
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
4 Anak gadih kalau karajo harus salasai Beko dak dapek laki
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
5 Anak gadih Dak buliah mamacik sapu tabaliak
Beko balaki urang gaek
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
6 Anak gadih Dak buliah banyanyi- nyanyi di dapua
Beko balaki urang tuo
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
7 Anak gadih indak buliah makan kalang ayam.
beko hitam kaniang kalau baralek
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
8 Anak gadih Indak buliah kalua sanjo beko tapijak anak bilih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
9 Anak gadih indak buliah mandi malam beko dipiciak hantu
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
10 Anak gadih indak buliah kalua sanjo beko dicilok hantu
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
11 Anak gadih Dak buliah tidua bakacimpuang
Beko mati induak
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
12 Dak buliah maambuang-ambuang kain Beko mati induak
berpijak yang logis dalam pewarisan sistem nilai
untuk kaum perempuan yang notabenenya akan
menduduki posisi bundo kanduang.
Berdasarkan itu, pada tuturan mitos
ditemukan struktur direktif dan komisif, direktif
merupakan tindakan yang menghendaki penutur
untuk melakukan sesuatu dan komisif yang
memberikan lawan tutur sebuah janji. Dalam hal
ini di Minangkabau sendiri tidak menyebutnya
seperti demikian, tetapi ditemukan logika yang
sama yang dinamakan kato bayang. Penggunaan
kato bayang mengehndaki generasi muda untuk
membentengi diri bagi beberapa tindakan sebagai
yang merugikan.
Kato bayang merupakan kata yang
mengandung makna kias dan nilai kearifan yang
dalam. Kato bayang juga bisa dimaknai sebagai
kato nan sabana kato (kata yang sarat dengan
pengajaran nilai). Dalam penyampaiannya bisa
berbentuk pepatah, mamangan adat, pertentangan
antar kata, dan tuturan tidak langsung.
Dalam bahasan teks naratif Mitos di
Kabupaten Padang Pariaman secara keseluruhan
menggunakan kato bayang dalam bentuk tuturan
tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung
(indirect speech act) ialah tindak tutur untuk
memerintah seseorang melakukan sesuatu secara
tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan
memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya
agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya
diperintah.
Misalnya seorang laki-laki yang kehabisan
rokok dan dia berusaha meminta rokok pada
temannya dengan mengucapkan; Rokok saya habis!
Bank sudah tutup!. Kalimat tersebut disampaikan
dengan modus berita tetapi memiliki muatan
semantis imperatif, yakni agar seseorang memberi
penutur sebatang rokok seperti pada (1) dan agar
pengunjung tidak lagi atau dilarang memasuki
sebuah bank seperti pada kalimat (2). Modus
kalimat berita tetapi juga memiliki muatan
semantis introgatif. Fakta itu terjadi dalam kondisi
tertentu, yang mana seseorang kehabisan uang dan
mengucapkan pernyataan pada lawan tuturnya
seperti kalimat (2).
Berdasarkan struktur di atas teks naratif
mitos dapat dijelaskan menjadi;
![Page 12: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/12.jpg)
45
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
13 Anak gadih Dak buliah bapayuang di tangah rumah
beko ditembak patuih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
14 Dak buliah main kalumun kain beko mati induak
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
15 Anak gadih indak buliaah mangiringi anak daro
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
16 Anak gadih indak buliah mancaliak urang manikah
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
17 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
18 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
19 anak gadih indak buliah makan kalang ayam
beko hitam mukoe jadi anak daro
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
20 anak gadih dak buliah makan kaki ayam
beko bariang-bariang mukoe jadi anak daro
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
21 Anak gadih indak buliah mancaliak urang manikah
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
22 Anak gadih indak buliah banyanyi- nyanyi di dapua
beko balaki urang tuo
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
23 Anak gadih kalau karajo harus salasai beko dak dapek laki
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
24 Anak gadih Indak buliah malangkahi kakak padusi baralek
beko payah nyo mancari laki
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
25 Anak gadih nan sadang maetong hari indak buliah main jo kuciang
beko dak jadi baralek
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
26 Anak gadih dak buliah makan karambia kukua
beko dek sisiak
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
27 Pasan urang indak basampaiakan dek tunggua bisan mato
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
28 Anak gadih indak buliaah mangiringi anak daro
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
29 Anak gadih indak buliah pai batimbang tando
beko badaruih
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
30 anak gadih indak buliah makan karak kanji
beko hitam kaniangnyo jadi anak daro
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
31 anak gadih indak buliah mancukua bulu mato
hilang ancak e jadi anak daro
Isi kalimat imperatif Maknanya memberitakan
IV. KESIMPULAN
Dari hasil analisis teks naratif mitos bisa
disimpulkan bahwa masyarakat Kapupaten Padang
Pariaman khususnya telah mengenal dan memiliki
nilai-nilai kearifan lokal yang selalu terpatri dari
tindakannya. Nilai-nilai ini ditransfer kepada
generasi kaum perempuan melalui pembentukan
mitos di dalam kehidupannya. Nilai-nilai ini
ditemukan dalam bentuk;
a. Mempersiapkan diri untuk mendapatkan
jodoh yang baik, di dalam prosesnya si
perempuan dibatasi oleh benteng etika,
moral, dan sopan-santun.
b. Pengenalan cinta kasih terhadap seorang ibu
diajarkan sejak dini seperti yang tergambar
di dalam teks naratif mitos yang
diciptakannya.
c. Menghargai saudara yang juga tergambar di
dalam salah satu mitos pernikahan.
d. Mengenali penyakit, mahluk gaib, perawatan
diri, dan bencana alam juga diperkenlakan
melalui teks naratif mitos yang dimilikinya.
Sementara itu, terdapat satu bentuk model
pembelajaran yang diperkenalkan pada generasi
perempuan. Bentuk tersebut penulis namakan
dengan pengajaran kato bayang yang di
realisasikan dengan tuturan tidak langsung
(imperatif/deklaratif).
Dari hasil analisis bentuk pembelajaran dari teks
naratif mitos dapat di simpulkan bahwa
pembentukan karakter dan pewarisan nilai-nilai
dilakukan dengan ungkapan kalimat imperatif.
1. Saran Kajian terhadap teks naratif mitos sebagai
wacana pendidikan karakter perempuan yang
penulis lakukan masih dikategorikan kajian yang
prematur. Oleh karena ini, dalam kajian ini masih
terdapat berbagai macam kekurangan yang patut
![Page 13: E-ISSN : 2252 - 4797 Volume 3 - No.1 2014 Journal Polingua](https://reader031.vdocuments.net/reader031/viewer/2022012423/61782a8c0557a228e847925a/html5/thumbnails/13.jpg)
46
diperbaiki dalam penelitian lanjutan. Namun
begitu, kajian ini dapat dijadikan sebagai pintu
pembuka untuk melakukan kajian yang lebih
dalam yang sesuai dengan waktu, kesempatan
yang lebih lama, dan dengan ketersediaan materi
yang mencukupi.
Di samping itu, masih banyak mitos-mitos
lain yang hidup dalam keseharian masyarakat
tradisional dan dapat dijadikan pembelajaran
untuk generasi muda, dan belum mendapat
sentuhan dari peneliti. Oleh karena itu, kajian
terhadap mitos hendaknya menjadi salah satu
kajian yang utama dalam dalam memperbaiki
akhlak generasi muda menjadi lebih baik.
REFERENCES
[1] Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yokyakarta: LKIS.
[2] Barthes, Roland. 2003. Terjemahan; Mitologi. Padang: Dian Aksara Press.
[3] Batuah, Amad Dt dan Dt. Madjoindo. 1956. Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka.
[4] Drakard, Jane. 1999. A Kingdom of Words, Language and Power in Sumatra. New York: Oxford University Press.
[5] Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.
[6] Dnandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
[7] Eliade, Mircea. 2002. Terjemahan; Mitos Gerak Kembali yang Abadi
Kosmos dan Sejarah. Yokyakarta: Ikon. [8] Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika, Signifikasi Komunikasi, Teori
Kode Serta Teori Produksi-Tanda. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
[9] Fairclough, Norman. 2003. Language and Power, Relasi Bahasa, Kekuasan, dan Ideologi. Gresik: Boyan Publishing.
[10] Gunarwan, Asim. 2007. Pragmatik. Jakarta: Universitas Atma Jaya.
[11] Hamilton, Edith. 2009. Mitologi Yunani. Yogyakarta: Pustaka Logung.
[12] Jaszi, Peter, dkk. 2009. Kebudayaan Tradisional, suatu Langkah
Maju untuk Perlindungan di Indonesia. Jakarta: LSPP. [13] Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. [14] Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa. Yokyakarta: Paradigma Offset. [15] Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan
INDONESIATERA. [16] Leech, G. 1993. Terejemahan; Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta:
UI-Press.
[17] Moleong, Lexy J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[18] Zoest. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.