edema pru akut kardiogenik.docx
DESCRIPTION
Edema pru akut kardiogenikTRANSCRIPT
![Page 1: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/1.jpg)
Edema Paru Kardiogenik
2 .3 .1 Et iologi dan Patof is iologi
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik
dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi
pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya
berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di
perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria,
2010) :
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya
semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan
semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida
melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channelsepitel yang
terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara
aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral
sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang
ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).
Gambar 2.4 Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
![Page 2: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/2.jpg)
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure
Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan
sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan
protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dansebagian kapiler paru.
Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil
akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1
distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat
memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada
keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat
terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan
peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah
besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda
septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara
pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,
dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan
dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia
berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi
klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tesebut, proses
pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar
yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan
mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan
volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat
perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila
keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila
pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah
diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat
(Harun dan Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edema
paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema
paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk
dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema
![Page 3: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/3.jpg)
interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara
aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi cedera epitel
alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005;
Maria, 2010).
2.3.2 Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan.
Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit
jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya
sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang
menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan
Sally, 2009; Maria, 2010).
Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa
meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih
baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan
fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi,
batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan
paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan
jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan
sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan
tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa,
analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan
prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi
gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery occlusion pressure, left ventricular
end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro
BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan
sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai
BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi
salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan
terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai
prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).
Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena
azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau
![Page 4: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/4.jpg)
alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel
vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel
vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm
dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto
thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika
dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan
Fujimoto, 2009).
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju
hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B
terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang
menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus
inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga
dan Fujimoto, 2009).
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru
non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas
dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al,
2005; Maria, 2010).
Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari
Lorraineet al, 2005)
NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non
Kardiogenik
1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada
![Page 5: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/5.jpg)
Gambar 2.5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 2.6 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi
dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab
edema paru (Maria, 2010).
EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard
akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan
![Page 6: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/6.jpg)
gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24
jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi
beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau
peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP) dianggap sebagai
pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu
algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada
sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh, pasien syok sepsis
dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria,
2010).
Gambar 2.7 Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari
Lorraine et al, 2005)
2.3.3 Penatalaksanaan
![Page 7: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/7.jpg)
Gambar 2.8 Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
Keterangan:
1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis
oral yang biasanya diberikan. Dapat dulang jika diperlukan.
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau PaO2 <60 dapat="dapat"
diberikan="diberikan" hipoksemia="hipoksemia" kpa="kpa" mengobati="mengobati"
mmhg="mmhg" oksigen="oksigen" po="po" span="span" untuk="untuk">2 < 90%), yang
terkait dengan peningkatan risiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan
secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan
penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko
retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi adanya depresi pernafasan,
dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit, bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung
respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit jarang sekali
![Page 8: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/8.jpg)
diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi beta-2
adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung, SpO2, tekanan darah sistolik,
produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon
(biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat (produksi urine >100
mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut
jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga
dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan
perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan pengobatan diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoea), komorbiditas
(misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi).
Menilai tanda-tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer,
frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi
(anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah
arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretik iv yang tidak
adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru
misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri
paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat
dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak
terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive intermittent positive pressure
ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen)
pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru
menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan
angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di
51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih
kecil. Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien
dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan
terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah,
kemungkinan pneumotoraks, dan depressed consciousness.
![Page 9: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/9.jpg)
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasif jika hipoksemia
memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll
17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥ dosis 250 mg harus diberikan
melalui infus lebih dari 4 jam).
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat
(baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis yang lebih
tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi edema paru maka
ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan.
Tabel 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in
Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
2. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51.
3. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-failure.html. (24 November
2012)
![Page 10: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/10.jpg)
4. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519
5. Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of
the European Society of Cardiology. Developed in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC
(HFA) and Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) . Eur J Heart Fail
2008;10:933–989.
6. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 . European
Heart Journal (2008) 29, 2388–2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309
7. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 . European
Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104
8. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework for Future Research . AHA
2005; 112; 3958-3968.
9. Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous Positive Airway Pressure and
Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency
Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial .Leeds.Health Technology
Assessment 2009; Vol. 13: No. 33
10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
11. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9, 2009
12. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia & Critical Care.Vol
28 No.2 Mei 2010.52
14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic Systems . In: McCance KL,
Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p.
1075.
15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart Failure . Circulation 2004 : 110 :
1091-1096
16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011.
FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19
17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute Cardiogenic Pulmonary Edema .
European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205
![Page 11: Edema pru akut kardiogenik.docx](https://reader035.vdocuments.net/reader035/viewer/2022071703/55cf9b61550346d033a5d57b/html5/thumbnails/11.jpg)