edisi mei 2015

122
Volume 1, No. 1, Mei 2015 ISSN 2442-6954 Jurnal Agraria dan Pertanahan BHUMI Volume 1 Nomor 1 Halaman 1-116 Yogyakarta Mei 2015 ISSN 2442-6954 Daftar Isi Pengantar Redaksi Manusia dan Tanah: Kehilangan dan Kompensasi dalam Kasus Lapindo Anton Novenanto 1-11 Analisis Kritis Substansi dan Implementasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bidang Pertanahan Kus Sri Antoro 12-32 Memahami Reorganisasi Ruang Melalui Perspektif Politik Agraria Noer Fauzi Rachman 33-44 Masa Depan Anak Muda Pertanian di Tengah Liberalisasi Pertanahan Ahmad Nashih Luthf i & Surya Saluang 45-58 Peta P4T Hasil Pemetaan Partisipatif sebagai Instrumen Identifikasi Tanah Absentee Mujiati 59-68 Pentingnya Peta Desa Fisko 69-73 Interaksi Kepentingan dalam Penentuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Priyo Katon Prasetyo 74-83 Pengaturan Zoning sebagai Pengendali Pemanfaatan Ruang (Studi Kasus Kawasan Preservasi Budaya Kotagede) Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami 84-98 Rekonstruksi Batas Bidang Tanah Menggunakan Jaringan Referensi Satelit Pertanahan Kariyono, Eko Budi Wahyono, & Tanjung Nugroho 99-112 Review Buku: Kapitalisme Pedalaman dan Praktik Politik Etnograf i Darmanto 113-116

Upload: hubbeb-el-quthbi

Post on 06-Sep-2015

219 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jurnal bumi edisi mei 2015

TRANSCRIPT

  • Volume 1, No. 1, Mei 2015 ISSN 2442-6954

    Jurnal Agraria dan Pertanahan

    BHUMI Volume 1 Nomor 1Halaman

    1-116

    Yogyakarta

    Mei 2015

    ISSN

    2442-6954

    Daftar Isi

    Pengantar Redaksi

    Manusia dan Tanah: Kehilangan danKompensasi dalam Kasus Lapindo

    Anton Novenanto1-11

    Analisis Kritis Substansi dan ImplementasiUndang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentangKeistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

    dalam Bidang PertanahanKus Sri Antoro

    12-32

    Memahami Reorganisasi Ruang MelaluiPerspektif Politik Agraria

    Noer Fauzi Rachman33-44

    Masa Depan Anak Muda Pertanian di TengahLiberalisasi Pertanahan

    Ahmad Nashih Luthf i & Surya Saluang45-58

    Peta P4T Hasil Pemetaan Partisipatif sebagaiInstrumen Identif ikasi Tanah Absentee

    Mujiati59-68

    Pentingnya Peta DesaFisko69-73

    Interaksi Kepentingan dalam Penentuan BeaPerolehan Hak Atas TanahPriyo Katon Prasetyo74-83

    Pengaturan Zoning sebagai PengendaliPemanfaatan Ruang (Studi Kasus KawasanPreservasi Budaya Kotagede)Ayu Wahyuningtyas & Westi Utami84-98

    Rekonstruksi Batas Bidang TanahMenggunakan Jaringan Referensi SatelitPertanahanKariyono, Eko Budi Wahyono, & Tanjung Nugroho99-112

    Review Buku:Kapitalisme Pedalaman dan Praktik PolitikEtnograf iDarmanto113-116

  • DASDSAD

  • PENGANTAR REDAKSI

    Jurnal BHUMI yang diterbitkan oleh SekolahTinggi Pertanahan Nasional mulai tahun 2015 inimemiliki deskripsi lebih luas menjadi BHUMI,Jurnal Agraria dan Pertanahan. Didalamnyaditambahkan kata agraria. Semula nama jurnaladalah Bhumi, Jurnal Pertanahan STPN yangterbit pertama kali tahun 2001. Jurnal yang seka-rang ini memuat karangan ilmiah dalam bentukhasil penelitian, tinjauan teori dan konsep, sertatinjauan buku bertemakan agraria dan perta-nahan. Perubahan deskripsi ini memiliki maksudpenegasan bahwa dengan penambahan katatersebut secara ontologis kajian Bhumi mencakupapa yang secara formal disebut dalam UUPA 1960dengan kata agraria sebagai penerjemahan daripasal 33 ayat 1 UUD 1945, yakni bumi, air dan keka-yaan alam yang terkandung di dalamnya.

    Telaah spesif ik obyek material pertanahan danagraria dilakukan melalui kajian teknis, adminis-tratif dan manajemennya, perpetaan, tata ruang,kajian hukum, dan secara luas melalui kajian ilmusosial, sejarah dan budaya. Hal ini tidak terlepasdari bangun pengetahuan yang ingin dikem-bangkan oleh Jurnal Bhumi ini berupa kajianpertanahan dan agraria secara multidimensional,serta memahami bahwa soal tanah dan agrariaadalah lebih merupakan persoalan manusiaketimbang soal alam itu sendiri. Oleh karena itutulisan-tulisan yang tersaji didalamnya tidakdibingkai oleh disiplin ilmu tertentu, namun men-cakup semua isu pertanahan dan agraria yangkami anggap relevan.

    Arah perubahan di atas memerlukan beberapapenyesuaian teknis seperti penomoran edisi jur-

    nal, standardisasi penulisan, dan beberapa peru-bahan teknis lainnya. Pada edisi ini kami memu-lainya dengan Volume 1, Nomor 1, Mei 2015. Edisikali ini memuat sepuluh tulisan yang merupakanhasil penelitian, telaah gagasan, dan tinjauanbuku.

    Dari tulisan Anton Novenanto kita disodorianalisa bahwa proses ganti rugi pelepasan tanahmelalui berbagai proses dan mekanisme tidakmampu mengganti kehilangan yang ditimpa olehmasyarakat yang semula hidup di atas tanah terse-but. Administrasi pertanahan (dan pihak ap-praisal) hanya ma(mp)u menjangkau pema-haman hubungan tanah dengan masyarakatsebagai hubungan ekonomi semata, sehingga ni-lai ganti rugi tersebut menafikan aspek kehilanganhubungan sosial-kultural dan historis. Akibatlanjutannya, tindakan mengganti rugi korbansecara substantif bukan lagi berupa kewajibankompenasi, namun dapat jatuh pada tindakanjual beli atas tanah antara negara atau swastadengan pemilik tanah yakni masyarakat. Demi-kianlah yang dihasilkan dari kajian mengenaikompensasi terhadap masyarakat yang terkenasemburan lumpur Lapindo di Sidoarjo JawaTimur.

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentangKeistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta mem-pengaruhi secara mendasar masalah pertanahandi Yogyakarta. Penetapan Kasultanan/Kadipaten(Pakualaman) sebagai badan hukum khususdengan sebutan Badan Hukum Warisan dinya-takan dapat memiliki tanah. Dalam kajian KusAntoro ini, digaris-bawahi bahwa badan hukum

  • tersebut bersifat swasta (privat) dan bukan badanhukum publik, namun berperan seperti badanhukum publik yang merepresentasikan negaradalam mengatur dan memiliki tanah-tanah yangdinyatakan sebagai tanah kasultanan danpakualamanan. Penafsiran dan kebijakan yanglahir pasca UU No. 13 Tahun 2012 tersebut mem-buat hubungan antara masyarakat beserta hak atastanah yang dimilikinya, desa dengan segenap hakdan kewenangannya terhadap tanah, denganlembaga keraton dan negara menjadi tidak jelas.Maka lebih jauh penulis mengusulkan perlunyadilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atasUU tersebut.

    Noer Fauzi Rachman yang berangkat dariperspektif politik agraria mengajak kita memi-kirkan proses longitudinal pembentuk perubahanruang-spasial berupa kekuatan pasar melaluiproduksi komoditas yang bersifat kapitalistik.Melalui gagasan Meikson Wood tentang pasarsebagai kekuatan pemaksa, alih-alih bekerja secaranormal dan alamiah, pemenuhan terus meneruskebutuhan komoditas global itu mereproduksihubungan sosial yang bersifat menyingkirkan satusama lain dan secara ekologis bersifat merusak.Telaah ini senada dengan apa yang ditunjukkanoleh Darmanto atas tinjaunnya terhadap bukuLands End: Capitalist Relations in an IndigenousFrontier karya Tania M. Li. Di bagian akhir jurnalini, penulis menunjukkan bahwa buku ini berhasilmeyakinkan terjadinya pembentukan produksikapitalistik yang berlangsung dari bawah, apayang senyatanya terjadi bahwa masyarakat secaraaktif terlibat dalam perubahan yang diakibatkanhadirnya komoditas kakao di Lauje, SulawesiTengah. Terjadi perebutan tanah antar merekasecara intim yang berlangsung sunyi dan sehari-hari. Buku ini sekaligus memantik gugatanmengenai adanya kekosongan politik agraria padakonteks terjadinya capitalism from belowtersebut.

    Gambaran optimistik dalam hubungan masya-

    rakat dengan tanahnya disajikan oleh AhmadNashih Luthfi dan Surya Saluang. Berangkat daripandangan Alexander Chayanov yang menaruhperhatian pada kemampuan dan keberlanjutanpetani kecil, penulis mengajak melihat komposisidemografis keluarga masyarakat tani, khususnyaperan generasi muda mereka dalam pertanian.Kajiannya terhadap dua kasus di dua desa di kepu-lauan Halmahera dan satu desa di Kulonprogo,Yogyakarta, memperkuat argumen bahwagenerasi muda pertanian akan tumbuh ketikasegenap akses terbuka luas bagi mereka, yakniberupa tanah, keterlibatan dalam produksi, pasar,pengetahuan pertanian, serta kebijakan pertanianskala rumah tangga.

    Tulisan Mujiati dan tulisan ringkas Fiskomemiliki kesamaan perhatian mengenai penting-nya peta desa yang memuat data spasial maupundata tekstual (yuridis). Peta desa tidak hanyadiperlukan untuk memberi informasi mengenaibatas wilayah desa, namun secara lebih dalamsemestinya bisa digunakan untuk mengidenti-f ikasi penguasaan-pemilikan tanah masyarakat,sehingga akan dapat diketahuai lebih lanjut ada-tidaknya tanah abseente di wilayah desa tersebut.Kebijakan lanjutan berupa landreform berangkatdari kesiapan peta desa tersebut. Pembuatan petadesa penting dilaksanakan secara partisipatifmelibatkan masyarakat, baik sebagai penyupaliinformasi maupun pelaku pelaksana pembuatanpeta dan identif ikasi P4T.

    Administrasi pertanahan mendapat porsidalam kajian Priyo Katon Prasetyo mengenai pajakatas Bea Perolehan Hak Atas Tanah danBangunan di Magelang. Kebijakan desentralisasikategori perpajakan ini masih menciptakankondisi yang tidak sinergis antara pelaksana dipemerintahan kabupaten dengan pihak PejabatPembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal pe-mungutan pajak maupun penetuan Nilai JualObjek Pajak (NJOP).

    Salah satu fungsi penataan ruang yang utama

  • adalah pengendalian, ini sejalan dengan peru-bahan perspektif kebijakan lembaga pertanahanyang semula berbasis bidang menjadi berbasiskewilayahan (ruang). Model zonasi adalah salahsatu kontrol yang bisa dilakukan dalam memper-tahankan wilayah Kotagede Yogyakarta sebagaidaerah preservasi budaya. Tulisan yang disajikanoleh Ayu Wahyuningtyas dan Westi Utami inimasih di luar kerangka politik (sesuatu yangsemestinya muncul mengingat soal tata ruangadalah soal politik), untuk menguji misalnyakeseimbangan antara arus perpindahan pendu-duk, pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan

    kebutuhan sarana prasarana f isik dengan kebi-jakan dalam mempertahankan Kotagede sebagaipreservasi budaya dimaksud.

    Tinjauan teknis pertanahan melalui tulisanKariyono, Eko Budi Wahyono dan TanjungNugroho menelaah bahwa penggunaan JaringanReferensi Satelit Pertanahan (JRSP) dalam pelak-sanaan rekonstruksi batas bidang tanah harusdioptimalkan lebih lanjut di Kementerian Agrariadan Tata Ruang/BPN.

    Demikian yang dapat kami sajikan untuk parapembaca. Selamat menelaah.

    Redaksi

  • ASDASDSA

  • MANUSIA DAN TANAH:KEHILANGAN DAN KOMPENSASI DALAM KASUS LAPINDO

    Anton Novenanto1

    Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The paper is trying to discuss on how land forms social relation and what happens when the relation is forced to beended. Two types of social relationship will be discussed. They are human-human and human-land relationship. The tworelations are getting more sophisticated due to the lost of land. Based on Lapindo case, the discussion on how the compen-sation is given to those undergoing the lost of land. This causes a new problem. There is a unique relation between man and hisland- that is not only the relation on economic value but also on cultural value. This paper, later on, is offering the agrarianreflective thinking on the lost of land and its compensation.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: land, compensation, lost, sense of belongs, Lapindo case

    AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Artikel ini membahas bagaimana tanah membentuk relasi sosial dan apa yang terjadi bila relasi itu diputus paksa. Artikelini mengangkat dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antar-aktor manusia dan antara manusia dengan tanah. Kedua relasi tersebutsemakin kompleks seiring dengan hilangnya tanah secara paksa. Berangkat dari kasus Lapindo, artikel ini mendiskusikan bagaimanakompensasi yang diterapkan untuk mengganti kehilangan yang dialami manusia justru memunculkan permasalahan baru.Argumen yang diangkat sangat umum, bahwa relasi manusia dengan tanahnya sangat unik karena pada tanah manusia tidakhanya melekatkan nilai ekonomi tapi juga nilai sosial dan budaya. Dengan demikian, artikel ini hendak menawarkan bahan refleksibagi studi agraria untuk memikirkan kembali tentang konsep kehilangan dan kompensasi atas tanah.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: tanah, kompensasi, kehilangan, rasa memiliki, kasus Lapindo

    A. Pendahuluan

    Bagaimana rasanya kehilangan? Pada sebuahperjumpaan, saya bertanya pada seorang informanperempuan korban Lapindo tentang apakah diamenyimpan foto rumah lamanya yang tenggelamdalam luapan lumpur. Sang informan yangsebelumnya bergelora menyampaikan pada sayatentang ketidakadilan yang bertubi-tubi

    Untuk semua yang sudah kamu hilangkan, kamumemperoleh sesuatu; dan untuk semua yang sudah kamu

    peroleh, kamu kehilangan sesuatu. Ralph Waldo Emerson

    menderanya selama menuntut haknya sebagaikorban Lapindo, sebagai warganegara yangterabaikan, tiba-tiba terdiam. Air matanya menetes,dia menangis. Saya tidak tahu apa yangdipikirkannya sekaligus khawatir atas apa yang akanterjadi bila berusaha menenangkannya. Sayamemilih diam, menunggu. Setelah emosinyamereda, dia mulai bercerita bahwa semua fotorumah lama mereka, disembunyikan suaminya.Alasannya, sang suami tidak ingin melihatnyamenangis begitu teringat rumah mereka yangsudah terendam lumpur. Sang suami memutuskanmenyembunyikan seluruh foto rumah mereka dan

    1 Penulis adalah pengajar pada Jurusan Sosiologi,FISIP, Universitas Brawijaya, Malang; kandidat doktorpada Institut fr Ethnologie, Ruprecht-Karls-Universitt Heidelberg, Jerman; dapat dihubungi [email protected]

    Diterima: 3 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 21 Mei 2015

  • 2 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    berusaha memutus segala kenangannya atas rumahitu. Sang informan melanjutkan cerita tentang biayapembangunan rumah yang diperolehnya dari hasilkeringatnya selama bekerja sebagai tenaga kerjawanita (TKW) di Hong Kong. Setiap bulan diamenyisihkan sebagian upahnya untuk dikirimkepada sang suami guna membangun rumah diDesa Siring, Kecamatan Porong, KabupatenSidoarjo. Setelah rumah itu berdiri, dia pulang keIndonesia, kembali bergabung bersama suami dananaknya. Tapi belum genap dua tahun dia meng-huninya, lumpur Lapindo menyembur danmenenggelamkan rumah hasil jerih payahnya itu.

    Dalam kasus konflik/sengketa agraria, kitasering menjumpai gagasan bahwa kompensasi atastanah perlu mempertimbangkan faktor sosial danbudaya dari tanah tersebut. Namun, dalampraktiknya di Indonesia, kompensasi atas tanahtidak pernah melampaui fungsi tanah sebagaikomoditas yang punya nilai tukar denganmengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP) yangberlaku di suatu daerah. Jual beli adalah praktikyang umum dan juga diberlakukan pada korbanLapindo, nilai kompensasi yang diterima korbandihitung berdasarkan luas tanah dan bangunanyang dimilikinya.

    Praktik semacam ini mengandung beberapapermasalahan mendasar. Pertama, penerimakompensasi adalah pemilik aset, orang yangnamanya tertera di atas sertif ikat tanah danbangunan, yang belum tentu menghuninya.Kedua, kompleksitas problem semakin berlipatkarena sebagian besar warga hanya berpegang padaberkas ekstra-legal (letter C atau pethok D) dan tidakmemiliki sertipikat resmi (keluaran BPN) atas asettersebut itu. Ketiga, mengacu pada UUPA 5/1960,setiap petak tanah yang dibeli perusahaan(termasuk Lapindo) status kepemilikannya akanmenjadi tanah negara, yang memunculkanpertanyaan serius sehubungan dengan rencanapemerintah menyita tanah tersebut sebagaijaminan memberi pinjaman pada Lapindo.

    Dari kisah informan di awal tadi, kita menda-patkan contoh riil tentang bagaimana manusiamelekatkan pada objek lebih dari sekadar nilaiekonomis atas fungsinya sebagai komoditas yangmemiliki nilai tukar. Pada tanah, manusia mele-katkan nilai sosial dan budaya yang tak dapatsemudah itu hilang dan justru semakin meningkatmenyusul hilangnya. Oleh karenanya, kita tidakberbicara sekadar tentang hilangnya tanah sebagaiobjek, namun juga perasaan kehilangan.

    Artikel ini merepetisi argumen Stuart Kirschtentang (perasaan) kehilangan, yang sepertihalnya (perasaan) memiliki, adalah manifestasidari relasi sosial (2001a, 1689). Mengambil contohkasus Lapindo, artikel ini hendak mengangkatbahwa perasaan kehilangan cenderung menguatakibat pemutusan paksa manusia dari tanahhuniannya. Cerita informan dalam paragrafpembuka hanyalah satu dari pelbagai kisah yangdapat ditemukan pada kasus pemindahan paksa ditempat lain (bdk. Oliver-Smith 2010). Belajar darikasus Lapindo, artikel ini hendak menawarkansebuah bahan refleksi yang mungkin berguna bagipeminat studi agraria untuk memikirkan kembalitentang kehilangan dan kompensasi atas tanah.

    B. Kompensasi bagi Korban Lapindo2

    Sepanjang sejarah berdirinya republik inimungkin tidak ada fitur ekologi yang lebih menarikdikaji dengan kacamata politik-ekologi diban-dingkan kemunculan lumpur panas di Porong, Jawa

    2 Bagian ini hanya memberi gambaran sekilas ten-tang kasus Lapindo untuk memberi konteks relasi ma-nusia dan tanah yang akan dibahas. Di antara beragamliteratur yang membahas tentang kasus Lapindo, adabeberapa yang layak dipertimbangkan berdasar tema:dampak ekonomi dan ekologi (McMichael 2009),politik-ekonomi (Batubara & Utomo 2012; Schiller etal 2008), identitas korban (Drake, 2012, 2013), konstruksimedia massa (Novenanto et al 2013), organisasi non-pemerintah (Hamdi, Hafidz, & Sauter 2009). Bagipembaca yang berniat untuk menelusuri kasus Lapindodisarankan untuk merujuk literatur tersebut.

  • 3Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

    Timur. Lumpur Lapindo adalah gunung lumpur3

    terbesar di dunia; yang pertama diterima manusiasebagai bencana (Novenanto 2010).

    Sejak lahirnya, pada 29 Mei 2006, lumpurLapindo telah menenggelamkan lebih dari 800hektar wilayah terdiri dari kawasan permukiman,lahan pertanian, pabrik, sekolah, masjid, danfasilitas publik lainnya. Pada setahun pertama,pemerintah menghitung kerugian ekonomi makroyang diderita mencapai Rp.28,3 trilyun (BPK 2007;Bappenas 2007).

    Penanganan bencana lumpur Lapindo menjadilebih rumit daripada bencana yang lain karenabanyak orang meyakininya sebagai antropogenik,disebabkan oleh kelalaian Lapindo Brantas Inc saatmelakukan pengeboran sumur gas alam BanjarPanji 1. Sementara itu, Lapindo dan pemerintahberusaha untuk menggiring opini publik padapemahaman bahwa lumpur itu muncul secaraalamiah, dipicu oleh gempa bumi.

    Lapindo adalah satu anak perusahaan GrupBakrie dan posisi ini menguntungkan Lapindo.Posisi strategis Aburizal Bakrie, f igur pentingkeluarga Bakrie, adalah kunci bagi Lapindomenghadapi krisis akibat lumpur itu (Schiller, Lucas& Sulistiyanto 2008). Saat semburan, Aburizalduduk sebagai Menteri Koordinator KesejahteraanRakyat (2004-2009) dan sekalipun tidak lagi dudukdi kabinet sejak 2009, Aburizal terpilih sebagaiketua umum Partai Golkar. Dengan posisi semacamitu, sangat mudah bagi Aburizal untuk mengin-tervensi politik bencana lumpur Lapindo melaluipenempatan kader Golkar di eksekutif maupun di

    legislatif (Novenanto 2015). Selain itu, Grup Bakrieadalah induk dari sebuah stasiun televisi beritabesar di Indonesia, TVOne, yang semakin memu-dahkan Lapindo mengendalikan opini publiktentang kelalaian yang dilakukannya di Banjar Panji1 (Andriarti & Novenanto 2013).

    Sampai sekarang, semburan lumpur Lapindodan permasalahan yang melekat pada dandiakibatkan olehnya belum juga berakhir. Para ahligeologi memperkirakan bahwa lumpur masih akanterus menyembur dalam volume yang sama sampaitiga dekade dan masih akan terus keluar denganjumlah lebih kecil selama ratusan tahun lagi(Davies, Mathias; Swarbrick & Tingay 2011).Sementara itu, tanah di sekitar semburan terusmengalami amblesan (Abidin, Davies; Kusuma,Andreas; & Deguchi 2009) mengakibatkandegradasi kualitas tanah di wilayah yang lebih luaslagi. Kini, luapan lumpur Lapindo telah menga-kibatkan pengosongan wilayah yang mencakup 15(lima belas) desa/kelurahan di tiga kecamatan diKabupaten Sidoarjo, yang merupakan hunian bagilebih dari 150.000 penduduk. Kelima belas desa/kelurahan itu adalah: Gempolsari, Kedungbendo,Kalitengah, dan Ketapang di Kecamatan Tang-gulangin; Renokenongo, Glagaharum, Siring,Gedang, Jatirejo, Mindi, dan Porong di KecamatanPorong; serta Kedungcangkring, Pejarakan, danBesuki di Kecamatan Jabon. Para penduduk harusmencari hunian baru dan membuka lembaran barukehidupannya, bersamaan dengan itu mereka jugaharus mengatasi perasaan kehilangan tanah yangterbenam lumpur.

    Sebagai pengganti kerugian dan kehilanganyang dideritanya, warga mendapatkan kompen-sasi yang bentuk dan besarannya muncul daripenghitungan spontan Wakil Bupati (sekarangBupati Sidoarjo Saiful Ilah) pada pertengahan Sep-tember 2006 (Karib 2012, hlm. 6768). Konteksnya,ada kebutuhan mendesak untuk membanguntanggul di Desa Jatirejo agar luberan lumpur tidakmeluas. Saiful, dikawal oleh aparat militer,

    3Gunung lumpur (mud volcano) adalah fenomenaalam yang jamak ditemui di bumi ini. Keberadaannyaselalu berdekatan dengan sumber-sumber hidrokarbon(minyak dan gas bumi) (Higgins & Saunders 1974).Berdasarkan catatan kolonial, di Pulau Jawa sendiri ter-catat beberapa gunung lumpur yang dinamai oleh pen-duduk lokal bledug. Salah satu yang paling terkenalmungkin Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah(Goad 1817).

  • 4 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    menemui 12 (dua belas) warga Jatirejo dan mem-bujuk mereka untuk menjual tanah dan rumahnyauntuk keperluan penanggulan itu. Dia menawar-kan harga satu juta rupiah per meter persegi tanahkering dan 1,5 juta rupiah per meter persegibangunan. Alasannya, harga itu sudah jauh di atasrata-rata ketentuan pemerintah untuk mengom-pensasi pembangunan ataupun bantuan bencana.Warga yang berada di bawah ancaman f isik darilumpur panas dan tekanan psikologis daripemerintah tak punya pilihan lagi selain menerimatawaran tersebut.

    Informasi tentang transaksi aset kedua belaswarga itu menyebar luas ke korban lainnya dandesakan mereka menuntut kompensasi dariLapindo semakin menguat. Negosiasi berlangsungalot dan baru pada awal Desember 2006 usahatersebut berbuah hasil. Melalui surat yangditujukan pada Tim Nasional PenanggulanganLumpur Panas Sidoarjo (Timnas), tertanggal 4Desember 2006, Lapindo menyatakan kesang-gupannya untuk memenuhi tuntutan warga itusebagai bentuk kepedulian sosial dan tanggung-jawab moral perusahaan. Lapindo akan membeliaset (tanah dan bangunan) warga didasarkan padapenghitungan nilai tukar yang berlaku pada duabelas warga Jatirejo dengan ditambah ketentuannilai tukar tanah sawah sebesar 120 ribu rupiah permeter persegi. Keputusan Lapindo tersebut men-dapatkan legalitas hukum setelah keluarnya Perpres14/2007 yang mencantumkan tentang kewajibanLapindo membeli tanah dan bangunan warga(Pasal 15 ayat 1).

    Dengan ketentuan ini, yang diperhitungkansebagai korban bukanlah manusia, melainkanaset (i.e. tanah dan bangunan). Juga, tidak adapembedaan penghitungan berdasarkan jenisperuntukkan aset, apakah itu aset produktif ataukonsumtif. Berdasarkan hasil wawancara denganbeberapa korban, harga tanah kering sebelumlumpur menyembur rata-rata berkisar antara 75.000dan 150.000 rupiah per meter persegi. Kalau pun

    ada yang lebih mahal dari harga itu biasanya karenaberada di pinggir jalan besar ataupun untukkeperluan industri. Dengan demikian, nilai tukaryang ditawarkan pada warga atas aset mereka yangterbenam lumpur Lapindo jauh di atas NJOP diPorong, bahkan di Kabupaten Sidoarjo. Kenyataanini berulang kali dilontarkan pihak Lapindo untukmengklaim bahwa nilai tukar yang ditawarkan olehperusahaan jauh dari harga normal.

    Perpres 14/2007 juga mengatur pembatasantanggung jawab Lapindo hanya pada wilayah yangtercantum di dalam peta area terdampak 22 Maret2007, sementara wilayah di luar peta adalah ke-wajiban pemerintah (Pasal 15 ayat 3). Dan begitulahadanya, seiring dengan meluasnya dampak luapanlumpur Lapindo, pemerintah merevisi Perpres 14/2007 dengan menerbitkan peraturan baru. Hinggatulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahanyaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 Sep-tember 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011(Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Setiap revisi menan-dakan perluasan wilayah yang akan dibeli olehpemerintah, tidak lagi oleh Lapindo.

    C. Aktor, Objek, dan Kompensasi

    Ada dua pendekatan yang dapat digunakanuntuk membahas persoalan pertanahan. Pertama,pendekatan politik-ekologi4 yang menekankan padaperan aktor manusia dan bagaimana merekaterlibat dalam relasi-relasi kuasa memperebutkanakses terhadap tanah. Pendekatan semacam ini,yang cukup populer di kalangan peneliti persoalanagraria di Indonesia belakangan ini, saya sebutdengan pendekatan aktor dan cenderung bersifatsosiologis. Pendekatan ini perlu dipahami sebagaisatu dimensi dalam studi politik-ekologi yangdiusulkan oleh duo geografer Inggris Raymond

    4 Saya sengaja menggunakan istilah politik-ekologi, bukan ekologi politik seperti halnya sayalebih sepakat penggunaan istilah politik-ekonomiketimbang ekonomi politik.

  • 5Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

    Bryant dan Sinad Bailey (1997)5 yang berangkat daripendekatan neo-Marxist dalam menganalisis peranaktor, utamanya negara dalam pengaturan(pengubahan/pelestarian) ekologi. Selain negara,juga ada aktor lain, yaitu lembaga dan perusahaantrans dan multi-nasional, organisasi non-peme-rintahan di Dunia Pertama dan di Dunia Ketiga,dan komunitas akar rumput.

    Pendekatan aktor berguna untuk mengurairelasi kuasa para aktor yang dipicu oleh keberadaanobjek tertentu (yakni, tanah), akan tetapi konklusiyang ditarik nyaris seragam: negara tidak pernahaktif mengatasi konflik agraria, karena terdapatmotif akumulasi kapital. Alih-alih mengatasinya,negara justru membiarkan konf lik itu terusberlanjut dan menunggunya tuntas melalui meka-nisme pasar. Jika pun negara hadir, perannyacenderung represif mendukung akumulator kapitaldemi terlaksananya pembangunan untuk kepen-tingan umum sekalipun itu harus dilakukandengan mengabaikan eksistensi masyarakat akarrumput. Solusi yang ditawarkan adalah memantap-kan posisi negara untuk bersikap tegas menun-taskan segala konflik agraria di republik ini, sebuahsolusi yang, seolah-olah, menempatkan negarasebagai satu-satunya aktor yang mampu menye-lesaikan permasalahan yang ada (Afandi 2013,Aprianto 2013, Cahyati 2014a, 2014b, Rachman 2013,Tohari 2013).

    Dengan demikian, pendekatan aktor cenderungmengabaikan analisis tentang tanah (objek yangmenjadi alasan bagi terjadinya relasi kuasa) karenapendekatan ini memfokuskan pada relasi antar-manusia dan mengabaikan pembahasan soal relasi

    antara manusia dan objek. Stuart Kirsch (2001b,hlm. 147) menyebut relasi antar-manusia itu sebagaitransaksi dan relasi manusia dan objek sebagaikepemilikan. Pada relasi transaksi, tanah diang-gap sebagai objek yang pasif, yang dipolitisasiolehmanusia (bdk. Bryant & Bailey 1997, hlm. 26, Bryant1998, hlm. 8283) sehingga persoalan hilangnyakepemilikan atas suatu objek dan kompensasi ataskehilangan itu tidak bisa diurai dengan baik. Untukitu, dalam mendiskusikan kehilangan dankompensasi tulisan ini juga akan mempertim-bangkan pendekatan objek.Sekalipun masihantroposentris, pendekatan kedua ini cenderungmelihat bagaimana aktor terikat atau mengikatkandiri pada suatu objek, d.h.i. tanah.

    Pendekatan objek akan sangat membantudalam menggali nilai-nilai yang dilekatkan manusiapada tanah dan membahas kadar kehilanganketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Nilaiadalah persoalan budaya dan dengan demikian jugaadalah persoalan identitas suatu komunitas.Argumen saya sederhana: kekhawatiran utamamanusia bukanlah soal hilangnya tanah, melainkanlebih pada kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilaiyang sudah dilekatkan pada tanah tersebut.Argumen semacam ini ditujukan untuk memper-soalkan penyederhanaan yang selama ini dilakukanatas kehilangan dan kompensasi.

    Secara umum, kompensasi adalah bagaimanamengatasi ketidakseimbangan akibat kehilangansesuatu/seseorang yang terjadi secara mendadak(Bckman & Dixon 1992, Faure 2007, Sugarman2007). Akan tetapi, berangkat dari kacamata filsafathukum, kompensasi terkait dengan hukumanyang diberikan pada aktor-pelaku yang telahmengakibatkan ketidakseimbangan (Fletcher 1981,hlm. 693). Sementara hukuman titik tolaknyaadalah pada aktor-pelaku, orientasi kompensasiadalah aktor-korban yang dirugikan akibatketidakseimbangan yang terjadi. Mengacu padaargumen itu, kita dapat mendef inisikankompensasi sebagai hak yang harus diterimakan

    5 Bryant dan Bailey menulis buku berjudul ThirdWorld Political Ecology yang lahir dari kuliah yang di-asuh oleh Raymond Bryant, pengajar di JurusanGeografi, Kings College, London, dengan judul yangsama. Sepanjang 1990an, Bryant telah menulis beberapaartikel yang menjadi bahan dasar penulisan bukutersebut. Sinad Bailey adalah salah satu murid Bryantyang kemudian menjadi partner penelitian dan penu-lisan buku tersebut.

  • 6 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    pada aktor-korban dari aktor-pelaku menyusulketidakseimbangan akibat penghilangan sesuatu/seseorang yang bernilai bagi aktor-korban olehaktor-pelaku.

    Dengan demikian, kompensasi tidak samadengan bantuan karena yang terakhir ini dapatberasal dari pihak manapun,tidak harus dari sipelaku, dan sifatnya sukarela. Tulis Fletcher, kitadapat membantu korban dengan uang kita, tapisecara konseptual kita tidak sedang mengompen-sasi mereka (1981, hlm. 699), sehingga sekalipunbentuk dan jumlahnya sama hakikat keduanyaberbeda.

    D. Relasi Para Aktor

    Sekalipun terdapat perbedaan pendapat tentangpemicu semburan (kesalahan pengeboran ataugempa bumi), sebagian besar warga meyakinibahwa lumpur panas yang menghancurkan tanahmereka itu disebabkan oleh kelalaian Lapindo.Wacana kelalaian Lapindo telah mengendapmenjadi kebenaran karena diperkuat pernyataan-pernyataan awal yang dilontarkan oleh aktor pen-ting dari pemerintah, ahli, dan bahkan dari pihakLapindo sebelum akhirnya banyak yang berpin-dah haluan (Batubara 2013; Mudhoff ir 2013;Novenanto 2013a, 2013b). Dalam konteks semacamini, warga sedang menuntut pelaku untuk meng-ganti segala kerugian yang diderita sebagai akibatdari ulahnya itu; mereka tidak sedang memintabantuan, tapi menuntut kompensasi. Sayangnya,tidak demikian yang terjadi dalam perjalanan kasusLapindo.

    Seperti sudah dibahas pada bagian sebelum ini,terdapat perbedaan mendasar antara kompensasidan bantuan. Sementara kompensasi mengan-daikan relasi antara korban (warga) dan pelaku(Lapindo), bantuan mengandaikan relasi antarakorban (warga) dan non-pelaku(pemerintah).Kedua bentuk relasi itu berubah total pasca diterap-kannya mekanisme jual beli, yang berarti relasiyang melibatkan penjual (warga) dan pembeli

    (Lapindo/pemerintah) dengan objek transaksinyaadalah aset di dalam peta dan luar peta. Yangdimaksud peta adalah peta area terdampak 22Maret 2007, lampiran Perpres 14/2007.

    Transaksi tanah di dalam peta menjadi sangatrumit untuk diurai karena tidak hanya melibatkanaktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (Lapin-do), tapi juga aktor-pengatur (pemerintah). Sepertidibahas pada bagian sebelumnya, bentuk danbesaran kompensasi bagi korban Lapindo meru-pakan turunan dari kalkulasi spontan Wakil BupatiSidoarjo, Saiful Ilah, untuk membeli tanah danbangunan dua belas warga Jatirejo guna mem-bangun tanggul. Model jual beli dan nilai tukar asetitu diadopsi warga untuk mendesak Lapindo untukmengompensasi mereka atas kelalaiannya. Legiti-masi atas transaksi tanah dalam peta adalah Per-pres 14/2007, yang secara sederhana dapatdiilustrasikan seperti berikut:

    Bagan .1. Relasi aktor berbasis tanahdalam peta

    Perpres 14/2007 mengatur agar Lapindomembayar secara bertahap: 20 persen uang mukadan sisanya dibayarkan sekaligus tidak lebih dariwaktu dua tahun setelah pembayaran pertama.Untuk mengurusi proses itu, Lapindo mendirikananak perusahaan, Minarak Lapindo Jaya (MLJ).Pada kenyataannya, proses itu tidaklah semulus dansesederhana seperti bayangan warga. Sepertibanyak dibahas sebelumnya, jual beli tanah yangdiatur Perpres 14/2007 bertentangan dengan UUPA5/1960 (Gustomy 2012, Kurniawan 2012). Perusa-haan (Lapindo) bukanlah subjek hukum yangberhak membeli tanah. Mengacu UUPA, segalapraktik jual beli tanah yang melibatkan perusahaanakan batal secara hukum dan status tanah akan

  • 7Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

    berubah menjadi tanah negara. Dengan demi-kian, Perpres 14/2007 membuka peluang bagiberagam tafsir hukum dan sosial atas apa yangdimaksudkan Lapindo membeli tanah danbangunan dari warga. Pada 24 Maret 2008, BPNPusat menerbitkan petunjuk pelaksanaan yangmerinci alur mekanisme jual beli tanah dalampeta berdasarkan status tanah (tanah hak milik,tanah yasan/letter c/petok d/gogol, hak gunabangunan, dan aset pemerintah pusat/daerah).Dalam setiap alur itu disebutkan bahwa setelahterjadi ikatan jual beli status tanah akan menjaditanah negara dan kemudian pemerintah akanmemberikan hak guna bangunan pada Lapindoatas tanah tersebut (lih. Bagan 2).

    Bagan .2. Proses perubahan status tanah dalampeta

    Pada pertengahan 2008, MLJ menyatakan tidaksanggup melunasi seluruh sisa pembayaran secaratunai dan mengangkat kembali opsi relokasidengan membarter nilai tukar aset warga denganunit rumah baru di Kahuripan Nirvana Village(KNV), sebuah perumahan elite di bawah benderaBakrieland. Dengan dalih transaksi jual beli tanahmembutuhkan sertif ikat resmi dari BPN, MLJmemaksa warga tanpa sertif ikat tanah untukmengambil opsi yang populer dengan istilah cashand resettlement. Sebagian besar warga yang ter-gabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo(GKLL) menerima opsi itu melalui mediasibudayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Semen-tara itu, banyak juga warga yang menolak tawaranMLJ itu. Mereka menuntut pembayaran dilakukansesuai Perpres 14/2007, yaitu tunai sekaligus.Kepada kelompok warga ini, pada Desember 2008,MLJ berjanji akan membayar kekurangan dengan

    cara cicilan sejumlah Rp 30 juta/bulan/berkas. PadaFebruari, janji itu berubah menjadi Rp 15 juta/bulan/berkas.

    Mulai Januari 2013, pembayaran cicilan ituberhenti karena MLJ menyatakan tidak punya uanglagi. Hingga kini, MLJ masih menunggak padawarga sebesar lebih dari Rp 700 milyar dan berharappemerintah mau menalangi tunggakan itu. MelaluiAPBN Perubahan 2015, pemerintah menganggar-kan dana sebesar Rp.781,7 milyar untuk menalangikekurangan pembayaran MLJ pada korban. DanaAPBN itu sifatnya bukanlah bantuan (bail out),melainkan pinjaman bersyarat dan Lapindo/MLJberkewajiban mengembalikannya. Sebelum men-cairkan dana itu, pemerintah harus mendapatkanjaminan dari Lapindo/MLJ berupa seluruh berkastanah dalam peta yang akan diambil alih peme-rintah bila Lapindo/MLJ tidak dapat mengem-balikan dana pinjaman itu dalam kurun empattahun.

    Jika keputusan itu betul dilaksanakan, makaterjadi perubahan drastis dalam relasi antara paraaktor dalam transaksi tanah dalam peta: wargasebagai penjual, Lapindo sebagai pembeli, danpemerintah sebagai talang/makelar dalam prosesjual beli itu (lih. Bagan 3). Kelanjutan status tanahdalam peta akan amat tergantung pada apakahpemerintah akan memberikan hak gunabangunan tanah tersebut pada Lapindo atau me-nahannya.

    Bagan.3. Relasi bila pemerintah menalangipembayaran tanah dalam peta

    Proses jual beli tanah di luar peta cenderunglebih mudah diurai karena Lapindo tidak lagiterlibat di dalamnya dan relasi hanya melibatkanaktor-penjual (warga) dan aktor-pembeli (peme-rintah).Tidak hanya itu, menurut Perpres 48/2008,status tanah setelah transaksi pun lebih jelas, yaitu

  • 8 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    menjadi barang milik negara di bawah MenteriKeuangan dan dipergunakan oleh BPLS (Pasal 15c).Namun, transaksi tersebut masih menyisakanpertanyaan seputar dasar bagi pemerintah mem-beli tanah tersebut karena Pasal 15 ayat 4 Perpres48/2008 menyebutkan bahwa dalam transaksi ituPerpres 36/2005 jo Perpres 65/2006 tentangPengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum tidakberlaku. Terlepas dari itu, secara sederhana relasiyang terjadi atas tanah di luar peta dapat diilus-trasikan seperti Bagan 4.

    Bagan .4.Relasi aktor berbasis tanah luar peta

    E. Relasi Manusia dan Tanah

    Cernea (1997, 2003) menyebutkan bahwaberagam jenis kehilangan yang dialami korbanpemindahan paksa, namun artikel ini hanya akanmembahas ihwal kehilangan yang terkait denganrelasi manusia dan tanah. Berkaca pada kasusLapindo, ada tiga hal yang patut kita catat berpo-tensi untuk ikut hilang menyusul hilangnya tanah.Pertama, hilangnya kehidupan sosial/keseharianterkait dengan tanah yang hilang itu. Secara kasatmata, lumpur Lapindo tidak menghilangkan tanah,namun mengalihkan fungsi tanah, dari tanahproduktif menjadi tanah mangkrak. Yang hilang,kemudian, adalah kehidupan sosial/keseharianyang pernah terjadi di atas tanah itu.

    Pada sebuah petang di pertengahan Juni 2012,saya diantarkan oleh seorang pemuda korbanLapindo pergi ke titik 25.6 Di sana kami bertemudengan beberapa wisatawan lokal yang dipandu

    oleh beberapa ojek tanggul. Sementara parawisatawan itu mengambil gambar senja di atastanggul, satu tukang ojek bertindak seperti seorangpemandu wisata profesional menjelaskan padamereka tentang bencana lumpur Lapindo. Diamenunjuk beberapa titik di atas permukaan danaulumpur yang diklaimnya sebagai lokasi bekasdesanya. Sekarang semua hilang, ujarnya. Begituhari mulai gelap, kami turun dari tanggul. Sambilmengemudikan sepeda motornya, pengantar sayabercerita tentang kenangan masa kecilnya bermaindi wilayah yang sekarang terbenam lumpur.Dahulu ada rumah dan sekolah, tapi sekarangsemua sudah tiada, katanya.

    Kedua, hilangnya objek membuka kemung-kinan bagi hilangnya pengetahuan tentang objektersebut (Kirsch 2001a, hlm. 173174). Karena objekyang hilang adalah tanah tempat kehidupan sosial/keseharian terjadi, yang hilang bukan sekadarpengetahuan tentang tanah melainkan jugakehidupan sosial/keseharian yang pernah terjaditerkait tanah itu. Setiap subjek berkesempatanuntuk membangun pengetahuan intersubjektiftentang tanah dan kehidupan sosial/keseharianyang hilang itu. Pengetahuan itu tersimpan dalamingatan setiap subjek yang mengalaminya danhanya dikeluarkan pada momentum tertentu.Namun, tidak semua orang punya peluang yangsama dalam mereproduksi dan mengartikulasikanpengetahuannya itu kepada orang lain, kalaupunada peluang belum tentu juga orang lain itu akanmenerimanya begitu saja (Drake 2013).

    Hal ini membawa kita kembali pada kisahinforman di awal tulisan ini. Dari kisah itu kita dapatmenyaksikan fungsi foto sebagai medium pemicureproduksi pengetahuan tentang sebuah rumahyang secara f isik sudah tiada, namun masih eksisdalam ingatan informan. Perasaan memilikirumah dari informan tersebut justru semakin kuatkarena objek itu sudah tiada lagi. Objek bisa sajahilang, namun pengetahuan tentangnya itu tidakbegitu saja hilang dari ingatan subjek. Namun,

    6 Titik 25 adalah titik terdekat dengan semburanutama yang dapat diakses oleh publik. Untuk memu-dahkan pembangunan tanggul, Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo (BPLS) mengode dengan sebutantitik menggantikan nama desa/dusun administratifyang terendam lumpur.

  • 9Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

    karena subjek itu telah terputus dari objek danpengetahuan bersifat intersubjektif, konstruksipengetahuan tentang objek itu akan berubahbersamaan dengan proses interaksi subjek denganobjek baru.

    Kisah informan itu menunjukkan bahwa tanahbukan objek sembarangan. Bagi f ilsuf Jerman Mar-tin Heidegger (1971), tanah adalah hunian (Jer.Wohnung)yang merujuk bukan sekadar tempatyang kita diami atau tinggali tapi juga tempat yangkita pelihara dan rawat seperti halnya kitamemelihara dan merawat diri kita sendiri. Padalevel ini kita tidak sedang berbicara tentang kepe-milikan, tapi lebih tentang perasaan memilikitanah. Kondisi ini membawa kita pada kehilanganketiga yang patut kita catat, yaitu hilangnyaidentitas kolektif dan intersubjektif yang terbentukdari kehidupan sosial/keseharian bersama tanahitu. Tanah adalah objek yang turut membentukidentitas para aktor yang terikat dan mengikatkandiri padanya. Hilangnya tanah berarti juga hilang-nya nilai-nilai lama yang dilekatkan pada tanah itutergantikan oleh nilai-nilai baru.

    Keunikan relasi manusia dan tanah pada kasusLapindo adalah kenyataan bahwa nilai yang dile-katkan warga pada tanah jauh lebih besar justrusetelah f isik tanah itu hilang dan tidak lagi dapatdipergunakan untuk hunian. Melepas kepemi-likan, tidak sama dengan melepas perasaan memi-liki tanah. Perasaan itu bukanlah sesuatu yangdapat dengan mudah tergantikan oleh penggantianberdasarkan nilai tukar atas tanah itu. Kom-pensasi yang didapatkan korban hanya berfungsisebagai perantara untuk mendapatkan tanah barumenggantikan tanah lama yang terendam lumpur.Caranya adalah dengan melepas kepemilikan atastanah lama dan menggantinya dengan kepe-milikan atas tanah baru. Sementara lumpurmenghilangkan objek tanah, jual beli melepaskankepemilikan atas tanah. Akan tetapi, proseskompensasi melalui mekanisme jual beli tidakpernah bisa mengganti perasaan memiliki tanah.

    E. Kesimpulan

    Hubungan antara manusia dan tanah adalahunik karena pada tanah manusia melekatkan nilaiekonomi, sosial, dan budaya. Tanah merupakanbasis bagi dua jenis relasi sosial, yaitu relasi antaraaktor manusia dan relasi antara manusia dan tanah,dan artikel ini membahas keduanya. Artikel inimendiskusikan kedua jenis relasi itu denganmengangkat proses kehilangan dan kompensasidalam kasus Lapindo.

    Selama ini, persoalan kehilangan tanah akibatlumpur Lapindo diselesaikan melalui mekanismejual beli yang menandakan pencabutan kepemi-likan atas tanah yang hilang itu dengan nilai tukartertentu. Mekanisme itu dilegitimasi melalui pener-bitan Perpres 14/2007 yang membagi tanggungjawab pembelian pada Lapindo dan pemerintahdengan acuan peta 22 Maret 2007. Lapindo berke-wajiban membeli tanah di dalam peta dan peme-rintah menanggung pembelian tanah di luar peta.Relasi sosial dalam transaksi tanah luar petamudah diurai, sementara relasi sosial yang terben-tuk dalam transaksi tanah dalam peta menjadi rumitkarena sejak awal melibatkan interrelasi tiga aktor(penjual, pembeli, dan pengatur) dan dalam proses-nya terjadi perubahan peran yang cukup signif ikan.

    Berkaca pada kasus Lapindo ada tiga hal yangpotensial hilang menyusul hilangnya tanah:1)kehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanahyang hilang itu, 2) pengetahuan atas tanah dankehidupan sosial/keseharian terkait dengan tanahitu, dan 3) identitas yang terbentuk dari interaksimanusia dan tanah itu. Keunikan relasi manusiadan tanah terbukti pada persoalan melepas kepe-milikan yang tidak pernah sama dengan melepasperasaan memiliki tanah. Perasaan memilikibukanlah sesuatu yang dapat dengan mudahtergantikan oleh penggantian berdasarkan nilaitukar, bahkan tak jarang perasaan itu semakin kuatketika manusia diputus paksa dari tanahnya. Halini dipicu oleh fakta bahwa tanah bukanlah objeksembarangan, di atas tanah manusia menghuni

  • 10 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    yang berarti memelihara dan merawatnya sepertimanusia memelihara dan merawat dirinya sendiri.

    Konsep kehilangan tanah perlu didiskusikanlebih serius untuk menemukan cara mengom-pensasi kehilangan-kehilangan yang terjadi ketikamanusia diputus paksa dari tanahnya. Selama ini,kompensasi atas kehilangan tanah hanya mem-perhitungkan nilai ekonomis semata dan belummenyentuh pertimbangan nilai sosial dan budayayang dilekatkan manusia pada tanah. Saya melihatadanya kebutuhan yang mendesak bagi peminatstudi agraria untuk menggali pelbagai gagasanseputar ihwal yang potensial hilang ketika manusiadiputus paksa dari tanahnya dan bagaimana caramengompensasi kehilangan semacam itu.Untukitu, fokus kajian studi agraria perlu melampauisekadar analisis relasi kuasa antar-aktor manusia(pendekatan aktor), tapi juga mengurai relasi-relasiunik yang terjadi antara manusia dengan tanahnya(pendekatan objek).

    Daftar Pustaka

    Abidin, H. Z., Davies, R. J., Kusuma, M. A., Andreas,H., & Deguchi, T, 2009, Subsidence and upliftof Sidoarjo (East Java) due to the eruption ofthe Lusi mud volcano (2006 present). Envi-ronmental Geology, 57, 833844.

    Afandi, M, 2013, Perlawanan Ekstra-Legal:Transformasi Perlawanan Petani MenghadapiKorporasi Perkebunan. Bhumi, 12(37), 6395.

    Andriarti, A., & Novenanto, A, 2013, Kasus Lapindodi balik layar tivi merah. In A. Novenanto(Ed), Membingkai Lapindo: Pendekatan Kon-struksi Sosial atas Kasus Lapindo (pp. 6791),Jakarta & Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

    Aprianto, T. C, 2013, Perampasan Tanah danKonflik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep.Bhumi, 12(37), 157168.

    Bckman, L., & Dixon, R. A, 1992, PsychologicalCompensation: A Theoretical Framework.Psychological Bulletin, 112 (2), 259283.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 2007, LaporanPemeriksaan atas Penanganan Semburan

    Lumpur Panas Sidoarjo, Jakarta, Badan Peme-riksa Keuangan.

    Badan Perencanaan Pembangunan Nasional(Bappenas), 2007, Laporan Awal PenilaianKerusakan dan Kerugian akibat SemburanLumpur Panas Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei2006, Jakarta, Bappenas.

    Batubara, B, 2013, Perdebatan tentang penyebablumpur Lapindo. In A. Novenanto (Ed.),Membingkai Lapindo: Pendekatan KonstruksiSosial atas Kasus Lapindo (pp. 116). Jakarta &Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

    Batubara, B., & Utomo, P. W, 2012, Kronik LumpurLapindo: Skandal Bencana Industri PengeboranMigas di Sidoarjo. (H. Prasetia, Ed.), Yog-yakarta, INSIST Press.

    Bryant, R. L, 1998, Power, knowledge and politicalecology in the third world: a review. Progressin Physical Geography, 22 (1), 7994.

    Bryant, R. L., & Bailey, S, 1997, Third World PoliticalEcology, New York: Routledge.

    Cahyati, D. D, 2014a, Konflik Agraria di Urutsewu: Pen-dekatan Ekologi Politik, Yogyakarta: STPN Press.

    Cahyati, D. D, 2014b, Pertarungan Aktor dalamKonflik Penguasaan Tanah dan PenambanganPasir Besi di Urut Sewu Kebumen, Bhumi,13(39), 369386.

    Cernea, M. M, 1997, The risks and reconstructionmodel for resettling displaced populations.World Development, 25(10), 15691587.

    Cernea, M. M, 2003, For a new economics of re-settlement: a sociological critique of the com-pensation principle. International Social Sci-ence Journal, 55(175), 3745.

    Davies, R. J., Mathias, S., Swarbrick, R. E., & Tingay,M. (2011). Probabilistic longevity estimate forthe LUSI mud volcano, East Java. Journal ofthe Geological Society, London, 168, 517523.

    Drake, P, 2012, The goat that couldnt stop the mudvolcano: sacrif ice, subjectivity, and IndonesiasLapindo mudflow. Humanimalia, 4(1), 80111.

    Drake, P, 2013, Under the Mud Volcano: IndonesiasMudflow Victims and the Politics of Testimo-ny, Indonesia and the Malay World, 41, 299321.

    Faure, M. G, 2007, Financial compensation for vic-tims of catastrophes: a law and economics per-

  • 11Anton Novenanto: Manusia dan Tanah: 1-11

    spective. Law and Policy, 29(3), 339367.Fletcher, G. P, 1981, Punishment and Compensa-

    tion, Creighton Law Review, 14(1893), 691705.Goad, S. T, 1817, Miscellanous observations on the

    volcanic eruptions at the islands of Java andSumbawa, with a particular account of themud volcano at Grobogan, Journal of Science& the Arts, 1, 245258.

    Gustomy, R, 2012, Menjinakkan negara, menun-dukkan masyarakat: menelusuri jejak strategikuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpurpanas di Sidoarjo. In H. Prasetia (Ed.), LumpurLapindo: Kekalahan Negara dan MasyarakatSipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (pp.3197). Depok: Yayasan Desantara.

    Hamdi, M., Hafidz, W., & Sauter, G, 2009, UplinkPorong: responses to the mud volcano disasterin Sidoarjo, Gatekeeper, London, InternationalInstitute for Environment and Development(IIED).

    Heidegger, M, 1971, Building Dwelling Thinking. InA. Hofstadter (Trans.), Poetry, Language,Thought. New York: Harper Colophon Books.

    Higgins, G. E., & Saunders, J. B, 1974, Mud volca-noes - their nature and origin. VerhandlungenDer Naturforschenden Gesellschaft in Basel,1(30), 101152.

    Karib, F, 2012, Programming Disaster: SwitchingNetwork, Village Politics and Exclusion be-yond Lapindo Mudflow. Unpublished Thesis,University of Passau, Germany.

    Kirsch, S, 2001a, Lost Worlds: Environmental Di-saster, Cultural Loss, and the Law. CurrentAnthropology, 42(2), 167198.

    Kirsch, S, 2001b, Property Effects: Social Networksand Compensation Claims in Melanesia. So-cial Anthropology, 9(2), 147163.

    Kurniawan, J. A, 2012, Lumpur Lapindo: sebuahpotret mitos tentang negara hukum Indone-sia. In H. Prasetia (Ed.), Lumpur Lapindo:Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalamPenanganan Lumpur Lapindo (pp. 99148),Jakarta, Yayasan Desantara.

    McMichael, H, 2009, The Lapindo mudflow disas-ter: environmental, infrastructure and eco-nomic impact. Bulletin of Indonesian Economic

    Studies, 45(1), 7383.Mudhoffir, A. M, 2013, Berebut kebenaran: politik

    pembentukan subjek pada kasus Lapindo. InA. Novenanto (Ed.), Membingkai Lapindo:Pendekatan Konstruksi Sosial atas KasusLapindo (pp. 1748), Jakarta & Yogyakarta,MediaLink & Kanisius.

    Novenanto, A. 2010, Melihat Kasus Lapindo sebagaiBencana Sosial. Masyarakat, Kebudayaan, DanPolitik, 23(1 (Jan-Mar)), 6375.

    Novenanto, A, 2013, Kasus Lapindo oleh mediaarusutama, In A. Novenanto (Ed.), Membing-kai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atasKasus Lapindo (pp. 93115). Jakarta & Yogya-karta, MediaLink & Kanisius.

    Novenanto, A, 2013b, Menguak ketertutupan infor-masi kasus Lapindo, In A. Novenanto (Ed.),Membingkai Lapindo: Pendekatan KonstruksiSosial atas Kasus Lapindo (pp. vxviii). Jakarta& Yogyakarta, MediaLink & Kanisius.

    Novenanto, A, 2015, April 8, Golkar dan Lapindo,IndoProgress.com, Retrieved April 11, 2015,from http://indoprogress.com/2015/04/golkar-dan-lapindo.

    Novenanto, A., Batubara, B., Mudhoff ir, A. M.,Andriarti, A., Suryandaru, Y. S., & Kriyantono,R. (2013), Membingkai Lapindo: PendekatanKonstruksi Sosial atas Kasus Lapindo, (A.Novenanto, Ed.), Jakarta & Yogyakarta,MediaLink & Kanisius.

    Oliver-Smith, A, 2010, Defying Displacement:Grassroot Resistance and the Critique of De-velopment, Austin, TX: University of Texas Press.

    Rachman, N. F, 2013, Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria yang Kronis, Sistemik danMeluas di Indonesia. Bhumi, 12(37), 114.

    Schiller, J., Lucas, A., & Sulistiyanto, P, 2008, Learn-ing from the East Java mudflow: disaster poli-tics in Indonesia, Indonesia, 85 (April), 5177.

    Sugarman, S. D, 2007, Roles of Government in Com-pensating Disaster Victims, Issues in LegalScholarship, 6(3), 133.

    Tohari, A, 2013, Land Grabbing dan Potensi Inter-nal Displacement Persons (IDP) dalamMerauke Integrated Food and Energy Estate(MIFEE) di Papua, Bhumi, 12(37), 4962.

  • ANALISIS KRITIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANGNOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN

    DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM BIDANG PERTANAHANKus Sri Antoro1

    AbstractAbstractAbstractAbstractAbstract: The structure of land tenure and ownership in Special Province of Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY) haschanged radically since The Law No 13/2012 on Yogyakartas Special Status (UUK DIY) was enacted.. The changes include 1)establishment of both the Sultanate (Kasultanan) and Pakualaman Regency as special legal bodies allowed to possess lands,according to this article by the name of Culture Heritage Legal Body (Badan Hukum Warisan Budaya/BHWB); 2) establishmentof the existence of lands categorized as Sultans (Sultanaat Grond/SG) and Pakualamans (Paku Alamanaat Grond/PAG). Thispaper is the result of a community desk study conducted from September 2014 to February 2015, and is aimed at showing:1) the legal position of SG and PAG; 2) the legal position of state-controlled lands; 3) the legal position of lands belonging tosociety, either individual or communal (village-owned lands), 4) the position of agrarian law to UUK DIY. The analysis of officialdocuments carried out using historical; legal; and social-cultural approaches to critically analyze the substance and implemen-tation of UUK DIY.KKKKKeyworeyworeyworeyworeywordsdsdsdsds: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat Grond

    AbstrakAbstrakAbstrakAbstrakAbstrak: Struktur penguasaan dan kepemilikan tanah di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahanmendasar sejak UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK DIY) disahkan. Perubahan tersebut meliputi 1)penetapan Kasultanan/Kadipaten (Pakualaman) sebagai badan hukum khusus yang dapat memiliki tanah, dalam tulisan ini disebutBadan Hukum Warisan Budaya (BHWB); 2) pengukuhan eksistensi tanah-tanah yang digolongkan sebagai Sultanaat Grond (SG)dan Paku Alamanaat Grond (PAG). Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian pustaka oleh komunitas masyarakat yang dilakukandari September 2014 hingga Februari 2015, dan bertujuan untuk menunjukkan 1) kedudukan hukum dari tanah dengan statusSG dan PAG; 2) kedudukan hukum dari tanah yang dikuasai negara, 3) kedudukan hukum dari tanah yang dimiliki masyarakat,baik individu maupun komunitas (tanah desa), 4) kedudukan hukum agraria terhadap UUK DIY. Analisis terhadap isi dokumen-dokumen resmi dilakukan dengan pendekatan sejarah, hukum, dan sosial budaya untuk menelaah secara kritis substansi danimplementasi UUK DIY.Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: UUK DIY, Kasultanan, Pakualaman, Sultanaat Grond, Paku Alamanaat Grond

    A. Pendahuluan

    Sistem politik otonomi daerah membukakesempatan bagi kebangkitan kekuasaan bekasswapraja tanpa kecuali Kasultanan dan Kadipaten(Pakualaman) di Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1mengenai gerakan kebangkitan bekas swapraja di

    Yen butuh mbenerake UU Keistimewaan, dhasare Sabdatama lan ngowah-owahi Undang-undange. Jika perlumerevisi UU Keistimewaan, landasannya adalah Sabdatama (ucapan raja) dan mengubah Undang-undangnya.

    (Sultan HB X, Sabdatama 7 Maret 2015)

    beberapa daerah di Indonesia (van Klinken 2010).Di ranah hukum, Pasal 18 B UUD 1945 merupakanjaminan konstitusional yang dapat ditafsirkan dandimanfaatkan oleh keturunan penguasa bekasswapraja untuk memperjuangkan hak danwewenang swapraja atas sumberdaya agraria2 dan

    1 Penulis adalah Relawan Peneliti pada ForumKomunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), email:[email protected]

    2Hak dan Wewenang Swapraja atas sumberdayaagraria telah dihapuskan melalui Diktum IV UU No 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria(UUPA)

    Diterima: 1 April 2015 Disetujui: 30 Mei 2015Direview: 20 Mei 2015

  • 13Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

    eksistensi feodalisme dalam pemerintahan3. Yaitumenggunakan argumentasi bahwa swapraja tidakberbeda dengan masyarakat hukum adat yangdiatur hukum adat. Secara khusus di DIY, swaprajadan masyarakat hukum adat jelas terbedakanmenurut sejarah kemunculannya, posisi politikterhadap kolonial, kedaulatan, watak dalampenguasaan sumberdaya, pola pengambilankeputusan, dan eksistensi keduanya di dalamproduk hukum4, sebagaimana ditunjukkan padaTabel 2. Di ranah ekonomi, kepentingan ekonomiglobal juga mendorong kebangkitan kembalikekuasaan swapraja. Khusus di DIY, MasterplanPercepatan dan Perluasan Pembangunan EkonomiIndonesia (MP3EI) memotivasi pewaris swaprajauntuk melakukan organisasi ekonomi dan politikagar menjadi bagian dalam sirkuit kapital5, yangakhirnya melahirkan model tatanan baru yaitufeodalisme kapitalistik6 (Antoro 2010, p. 95; Yanuar-

    di 2012, p.17; Aditjondro 2013, p. 91-94).Dibandingkan dengan swapraja di daerah lain,

    Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta mampumengambil kesempatan pada setiap pergantianrezim kekuasaan baik pada masa Revolusi Kemer-dekaan, Orde Demokrasi Terpimpin, Orde Baru,hingga Orde Reformasi. Raja atau bangsawanKasultanan dan Pakualaman mengambil bagiandalam momentum-momentum nasional dan men-duduki posisi penting dalam panggung politik,sehingga keduanya mampu mempertahankanpengaruh di tingkat nasional dan lokal7. Salah satumomentum nasional yang penting adalah pernya-taan Kasultanan dan Pakualaman untuk menjadibagian dari NKRI melalui Amanat 5 September19458 yang kemudian menjadi modal politik bagiupaya organisasi ekonomi dan politik.

    Puncak dari upaya organisasi politik danekonomi tersebut adalah penerbitan UU No. 13

    3Sekitar 177 perwakilan raja dan sultan hadir dalamSilaturahmi Nasional (Silatnas) Raja dan SultanNusantara IV digelar di Puri Agung Klungkung, Bali,Selasa 28 April 2015, menyepakati lima poin sikap,yaitu: 1) Meminta pemerintah mengembalikan sejarahyang ada di Bumi Nusantara, 2) Mengharapkan supayaRaja dan Sultan dilibatkan dalam proses pembahasan-nya Rencana Undang-Undang (RUU) PMA (Perlin-dungan Masyarakat Adat), 3) Pemerintah melakukanpemberdayaan ekonomi terhadap Raja dan Sultan.Artinya, ada perbaikan ekonomi dan pemberdayaanterhadap Raja atau Sultan sebagai tokoh masyarakat,4) Pemerintah melakukan pengendalian dan pengem-balian posisi raja dan sultan sebagai tokoh masyarakata-nya di daerah-daerahnya, dan 5) Raja dan Sultansebagai mitra pemerintah. Pertemuan tersebut jugadihadiri oleh perwakilan Kerajaan Klantan Malaysia,Philipina, dan Jerman. Lihat http://bali.tribunnews.com/2015/04/28/ini-5-sikap-yang-diajukan-silatnas-raja-dan-sultan-iv-ke-pemerintah.

    4UUPA melindungi hukum adat namun menia-dakan swapraja dengan tujuan mengakhiri feodalismewarisan kolonial.

    5Dua Megaproyek MP3EI di DIY adalah Pertam-bangan Pasir Besi dan Bandara Internasional di KulonProgo.

    6 Pola yang terjadi di DIY mengarah pada modelFeodalisme Kapitalistik, yaitu swapraja menggunakan

    kultur feodalisme untuk memegang kendali ataspenguasaan agraria dan tata ruang, birokrasi, dansistem politik-pemerintahan lokal yang steril dariintervensi negara dan masyarakat sipil demi akumulasilaba dan reproduksi kapital. Pola FeodalismeKapitalistik membutuhkan legitimasi secara legal,sehingga dapat diterima sebagai bagian dari prosesdemokratisasi hukum dan politik. Lihat Wicaksanti,(2014: 22-28) dalam Majalah BALAIRUNG: Dualismedalam Gerak Tranformasi Agraria

    7 Sultan HB IX pernah menjabat sebagai WakilPresiden, Paku Alam VIII pernah menjabat sebagaiGubernur Propinsi DIY; Sultan HB X merupakantokoh reformasi dan kini menjabat Gubernur PropinsiDIY, dan Paku Alam IX sebagai wakil Gubernur DIYsaat ini. Tokoh lain misalnya Ki Hajar Dewantara danSoerjopranoto.

    8Amanat 5 September 1945 dikeluarkan oleh Sul-tan HB IX dan Paku Alam VIII, dengan bunyi yangsama:

    1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang ber-sifat keradjaan adalah daerah istimewa dari NegaraRepublik Indonesia.

    2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegangsegala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Ha-diningrat, dan oleh karena itu berhubung dengankeadaan pada dewasa ini segala urusan peme-

  • 14 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah IstimewaYogyakarta (UUK DIY) yang menjamin hak danwewenang Kasultanan dan Pakualaman dalam halpemerintahan dan pertanahan. Tidak hanyadipengaruhi oleh mobilisasi massa yang menuntutkeistimewaan DIY, UUK DIY juga diperjuangkandengan argumentasi-argumentasi, antara lain ialah:1) Argumentasi sejarah bahwa Kasultanan danPakualaman merupakan negeri yang berdaulatsebelum kemerdekaan RI serta memiliki tatahukum sendiri9 (Antoro 2014, p. 2) Argumentasihukum bahwa kedudukan istimewa dari hak sertawewenang Kasultanan dan Pakualaman belumdiatur UU sehingga di DIY masih terjadi keko-songan hukum terutama di bidang pertanahan(Sembiring 2012 dan Munsyarief 2013); 3) Argu-mentasi politik bahwa revitalisasi UUPA diperlukanuntuk mengakomodasi hak swapraja atas tanah10.Studi-studi terdahulu tentang DIY juga mengu-atkan argumentasi di atas, yang dihadirkan untukmeluhurkan citra feodalisme-kolonialisme11

    (Soemardjan 2009) dan mengawetkan eksistensidualisme hukum pertanahan12 (Suyitno 2006).

    Tabel 1 Gerakan Kebangkitan Swapraja diIndonesia

    Sumber: Van Klinken (2010, p. 169)

    rintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningratmulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.

    3. Bahwa perhubungan antara Negeri NgajogjakartaHadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Re-publik Indonesia, bersifat langsung dan Kami ber-tanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepa-da Presiden Republik Indonesia.Kami memerintahkan supaja segenap penduduk

    dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindah-kan Amanat Kami ini.

    9Sabdatama Hamengku Buwono X tanggal 10 Mei2012, lihat Antoro 2014, p. 436.

    10Rapat Dengar Pendapat Panja RUUK DPR RIdengan pihak Kasultanan, lihat Ibid, 2014, p. 437.

    11 Pangeran Mangkubumi, saudara kandung Susu-hunan, menawarkan diri secara sukarela [untuk mem-basmi gerakan RM Said yang akan mengubah kebi-jakan Susuhunan yang berpihak pada VOC, denganimbalan daerah Sukowati, keterangan: alinea sebelum-nya] akan tetapi, Susuhunan tidak memenuhi janjiPangeran Mangkubumi dan sekelompok bangsawanyang sangat kecewa terhadap pengingkaran janji itusecara diam-diam meninggalkan istana pada 19 Mei1796 (semestinya sebelum Giyanti 1755, catatan

    penulis) dan Anugerah ini [perlindungan dariPemerintah Inggris kepada Pangeran Paku Alam]diberikan kepada Pangeran Paku Alam untuk jasa-jasanya kepada pemerintah Inggris dalam usahanyamemantapkan kekuasaan (yang dimaksud semestinyapemerintah kolonial) di Jawa Lihat (Soemardjan 2009,p.12, 15). Argumentasi ini menyembunyikan faktabahwa posisi Kasultanan dan Pakualaman sejatinyasubordinat kolonial, daripada sebagai negara merdekaberdaulat.

    12 Dengan telah berlakunya UUPA secara penuhdi DIY berdasar Kepress RI No 33/1984, yang antaralain ditindaklanjuti dengan keputusan Mendagri No69 tahun 1984 .maka yang dimaksud dengan tanah-tanah Hak Adat sebagaimana dimaksud dalam PasalII Ketentuan Konversi UUPA dan selanjutnyadikonversi Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria(PMPA) No 2 Tahun 1962, adalah hak-hak atas tanahadat DIY sebagaimana diatur dalam Perda DIY No 5Tahun 1954. Dengan demikian terhadap tanah-tanahHak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta-KadipatenPakualaman yang selama ini belum pernah dilepaskan,masih hak milik atau merupakan domein bebas dariKasultanan Yogyakarta-Kadipaten Pakualaman danhingga kini belum terjangkau ketentuan-ketentuanUUPA Lihat Suyitno (2006, p. 7).

    Daerah Kabupaten

    TahunKeruntuhan (defacto)/ Pewaris

    terakhir

    TahunKebangkitanKembali

    Jawa

    Jawa Barat Kasepuhan - -

    Jawa Barat Banten 1832 1985

    Jawa Barat Cirebon - 2002

    DIY Yogyakarta - 2001

    Jawa Tengah Surakarta - 2000

    SumateraSumatera Utara Deli 2001

    Sumatera Utara Serdang 2002

    Sumatera Selatan Palembang 1825 2003

    Sumatera Barat Minangkabau 1815 2002

    NAD Aceh 1903 1976

    Kalimantan

    Kalimantan Barat Mempawah - 2002

    Kalimantan Barat Landak 1944 2000

    Kalimantan Barat Pontianak 1950 2004

    Kalimantan Barat Sambas 1950 2001Kalimantan Timur Kutai 1960 2001

    Kalimantan Timur Bulungan 1964 2002

    Sulawesi (SulawesiSelatan)

    Gowa- 2001

    NTT Kupang - 2003

    Maluku

    Maluku utara Bacan 1983 1998Maluku utara Ternate 1974 1986

    Maluku utara Tidore 1967 1999

    Maluku utara Jailolo 1656 2002

  • 15Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

    Tabel 2 Perbedaan Swapraja di DIY danMasyarakat Hukum Adat

    a. Permasalahan Agraria Terkait Isu TanahSwapraja Di DIY

    UUK DIY mengatur lima kewenangan istimewa,yaitu: 1) tata cara pengisian jabatan, kedudukan,tugas, dan wewenang Gubernur dan WakilGubernur; 2) kelembagaan Pemerintah DaerahDIY; 3) kebudayaan; 4) pertanahan; dan 5) tataruang. Segera setelah UUK DIY disahkan, GubernurDIY menerbitkan kebijakan-kebijakan pertanahanyang berdampak pada ketidakpastian hukum,

    antara lain:1) Penerbitan Surat Gubernur kepada Kepala

    Kanwil BPN DIY No 593/4811 (12 Nopember2012) dan No 593/0708 (15 Februari 2013) tentangPengendalian Permohonan Hak Atas TanahNegara yang Dikuasai Pemerintah Daerah DIY.Surat itu diterbitkan dalam rangka inventarisasidan penataan tanah negara yang dikuasai olehPemda DIY yang diberikan kepada Perorangan,Lembaga Pemerintah, Lembaga Swasta, danYayasan yang didasarkan pada SK Gubernuruntuk semua tahun. Akibatnya, setiap permo-honan perpanjangan Hak Pakai dan Hak GunaBangunan (HGB), peningkatan hak dan pera-lihan hak terhenti hingga inventarisasi danpenataan tanah tersebut selesai dilaksanakan.HGB yang digunakan sebagai agunan bank danhabis masa berlakunya tidak dapat diperpan-jang, sehingga berpotensi memacetkan usahaatau sanksi terhadap bank yang telah menge-luarkan pinjaman tanpa agunan. Perpanjangandapat dilakukan dengan perubahan status dariHGB di atas tanah negara menjadi HGB di atastanah hak milik Kasultananan atau Pakualamansebagai Badan Hukum Warisan Budaya(BHWB)13 yang bersifat swasta (bukan badanhukum publik). Bukti otentik dari implementasikebijakan ini ialah penambahan stempel padaSertif ikat HGB salah satu pemegang hak14 yang

    Pembeda SwaprajaMasyarakat Hukum

    Adat

    Sejarahkemunculan

    Kontrak politik denganVOC/pemerintah kolonial(Antoro, 2014; PerjanjianGiyanti 1755 dan PerjanjianPaku Alam-Rafles 1813)

    Sistem asli komunitasnusantara yang masihhidup sampai saat ini(Zakaria, 2014)

    Posisi politikterhadapkolonial

    Kepanjangan kolonial(Ranuwidjaja, 1955 danShiraisi, 1997)

    Tidak diakomodasihukum kolonial(Fitzpatrick, 2010)

    Kedaulatan

    Tidak penuh, di bawahkontrol pemerintah kolonial(Perjanjian Politik HB IX danBelanda 1940 dan Luthfi et al,2009)

    Penuh, hukum adatmendahului hukumbarat(Burns, 2010)

    WatakPenguasaanSumberdaya

    Individual, menganut sistemkepemilikan(Rijksblad Kasultanan No 16Tahun 1918 dan RijksbladPakualaman No 18 Tahun1918)

    Komunal,penguasaan bersama(Topatimasang, 2005)

    Eksistensi didalam hukum

    Didudukkan sebagai warisanbudaya(UU No 13 Tahun 2012)

    Didudukkan sebagaikesatuan masyarakat(Putusan MK No 35Tahun 2012)

    Kepmendagri No 69 Tahun 1984 tentang Pene-gasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Mi-lik Perorangan berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1954di Propinsi DIY menegaskan bahwa bahwa Hak MilikPerorangan (individu) atas tanah berdasarkan PerdaNomor 5 Tahun 1954 di Propinsi DIY adalah Hak Miliksebagaimana dimaksud dalam ketentuan Konversiyang diatur UU Nomor 5 Tahun 1960 (eigendom men-jadi hak milik). PMPA No 2 Tahun 1962 juga tidakmengatur tentang pendaftaran bagi tanah adat atautanah swapraja (yang hapus dengan Diktum IVUUPA). Maksud istilah Grand Sultan pada KetentuanKonversi II UUPA kiranya mengacu pada hak milikSultan sebagai individu (bukan Sultanaat Grond), jelasberbeda antara hak eigendom Sultan yang bisa diwaris-kan dan Sultanaat Grond yang tak dapat diwariskan. DiDIY, terdapat tanah-tanah yang asal mulanya eigendomindividu Sultan, misal: Ambarukmo Plaza (HB VII),Hastorenggo (HB VIII), DPRD DIY (HB VII).

    13Istilah Badan Hukum Warisan Budaya (BHWB)digunakan dalam tulisan ini untuk membedakan kedu-dukan hukum dari subyek hukum Kasultanan dan Pa-kualaman yang dilahirkan oleh UUK DIY dengan Ka-sultanan dan Pakualaman yang dilahirkan olehPerjanjian Giyanti 1755 dan Perjanjian PA I-Rafless 1813sebagai Badan Hukum Swapraja yang sudah diakhirioleh HB IX da PA VIII baik secara hukum maupunpolitik pada 5 September 1945. Istilah Badan HukumWarisan Budaya merujuk pada Pasal 1 huruf 5 dan 6serta Pasal 32 ayat (1) UUK DIY.

    14Sertifikat sebagai contoh terjadi di Klitren, KotaYogyakarta dengan nomor 13.01.03.03.3.001113 (berakhir15 April 2010) dan 13.01.03.03.3.001112 (berakhir 15 April2010).

  • 16 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    berbunyi: AKTA PERJANJIAN No. 186 Tanggal20/08/1986 Tanah SULTAN GROND yangtersaji dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

    2) Pengambilalihan Hak Menguasai Negara(HMN) terhadap tanah negara dengan cara ser-tifikasi tanah-tanah negara menjadi tanah milikBHWB Kasultanan dan Pakualaman menggu-nakan dana yang bersumber APBN. Akibatnya,APBN berpeluang dipergunakan untuk mem-perkaya badan hukum swasta berupa akumulasiaset tanah. Dasar hukum sertif ikasi terhadaptanah-tanah negara tersebut masih perlu dikaji,mengingat bahwa Kewenangan Istimewasebagaimana disebut dalam Pasal 1 huruf 3 danPasal 49 UUK DIY adalah kewenangan tam-bahan dalam ruang lingkup UU PemerintahanDaerah. Dengan demikian, UUK DIY adalah lexspecialis (aturan khusus) dari UU PemerintahanDaerah.

    3) Pengambilalihan Hak Milik masyarakat atastanah desa sebagai aset publik menjadi hak milikBHWB dengan cara penerbitan Peraturan Gu-bernur DIY No 112 Tahun 2014 tentang Peman-faatan Tanah Desa yang bertentangan denganUU No 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 76 danUUK DIY Pasal 16.

    4) Penerbitan Rancangan Perda Istimewa bidangPertanahan (Rancangan Perdais Pertanahan)yang menyatakan bahwa tanah swapraja yangdisebut sebagai Sultan Grond (SG) dan PakuAlaman Grond (PAG) masih tunduk padaRijksblad15. Rijksblad Kasultanan No 16 Tahun1918 dan Rijksblad Pakualaman No 18 Tahun 1918sudah dihapus dengan Perda DIY No 3 Tahun1984 tentang Pelaksanaan Berlaku SepenuhnyaUndang-Undang No 5 Tahun 1960 Di PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta. Upaya penghi-dupan Rijksblad ini bertentangan dengan UUD1945 Pasal 33 ayat (3), UU No 5 Tahun 1960

    (UUPA) Diktum IV, dan UUK DIY Pasal 4, Pasal16, dan Pasal 32.Kebijakan pertanahan di DIY dengan alasan

    implementasi UUK DIY ternyata tidak sesuaidengan harapan masyarakat terhadap keistime-waan16 dan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.Wacanatentang ketiadaan tanah negara di DIY dan atautidak berlaku UUPA di DIY mulai dikampanyekandi berbagai forum oleh pihak kasultanan danpengambil kebijakan17.

    Bahkan, pada tahun 2008 telah terjadi pem-batalan sepihak terhadap kurang lebih 100 sertifikatHak Milik penduduk di Gunungkidul hasil PRONA

    15 Lihat Bagian Penjelasan Rancangan PerdaisPertanahan.

    16 Sebuah forum masyarakat yang menamai diriForum Darurat Agraria mencatat sekurang-kurangnyasepuluh masalah agraria struktural di DIY (beberapadi antaranya termanifestasikan sebagai persoalan tataruang) yang berpotensi atau sudah menimbulkankonflik dengan disertai korban, antara lain 1) Per-tambangan Pasir Besi dan Pembangunan Pabrik Bajadi Kulon Progo; 2) Pembangunan Bandara Interna-sional di Kulon Progo; 3) Ancaman penggusuran wargadi Parangkusumo; 4) Ancaman penggusuran tambakrakyat di pesisir Bantul; 5) Diskriminasi rasial/etnisterhadap WNI yang dikategorikan Non Pribumidengan pelarangan Hak Milik atas tanah secara turun-temurun; 6) Pembalikan nama sertifikat Hak Milik atastanah desa menjadi hak milik badan hukum swasta; 7)Pembangunan apartemen di tengah padat penduduk;8) Ancaman penggusuran warga di sepanjang Suryat-majan; 9) Penggusuran warga Suryowijayan; 10)Perampasan Hak Tanah melalui perubahan status daritanah negara menjadi hak milik badan hukum swasta.Selengkapnya dapat dicermati diwww.selamatkanbumi.com

    17Diantaranya ialah a) Public Hearing RancanganPerdais Induk di DPRD DIY September 2013, Peng-hageng Panitikismo (badan pengurus pertanahanKasultanan) menyatakan tidak berlaku UUPA diDIY, kasultanan adalah pemerintahan dan pemerin-tahan adalah kasultanan. b)Menurut Sultan HB Xdi DIY ini tidak berlaku UUPA, sedangkan Hak tanahSultan Ground dan PA Ground berlangsung terusmenerus sehingga rakyat tidak bisa meminta hak miliksertifikat (Sultan: Permintaan PPLP Soal SertifikasiTanah Tidak Dapat Dipenuhi, Harian Jogja, 16 Juli 2012)c) Apabila dari hasil pendataan tersebut ditemukan

  • 17Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

    BPN RI18, dengan cara pencoretan status hak milikmenjadi berstatus hak pakai sebagaimana tersajipada Gambar 3.

    b. Nilai Penting Penelitian terhadapSubstansi dan Implementasi UUK DIY

    Mengingat hak atas agraria adalah hak atasruang hidup dan sumber penghidupan, maka hakatas tanah tidak lain adalah hak asasi manusia.Perubahan-perubahan struktur penguasaan tanah

    di DIY pasca pengesahan UUK DIY mengubahsistem pertanahan secara radikal karena polanyamengarah pada hilangnya tanah negara dan tanahmilik masyarakat (individu dan komunal/desa),serta BHWB berpotensi menjadi satu-satunyasubyek hak milik atas tanah di DIY, terutama yangdikategorikan sebagai SG/PAG. UUK DIY ber-dampak pada ketidakpastian hukum ketikaditafsirkan dan diimplementasikan untuk melayanikepentingan tertentu yang merugikan masyarakatdan negara.

    Gambar 1 Sertifikat HGB di atas TanahNegara diubah menjadi HGB di atas tanah SG

    No 00113. Gambar 2 Sertifikat HGB di atasTanah Negara diubah menjadi HGB di atas

    tanah SG No 00112

    Gambar 3 Sertifikat Hak Milik diubah menjadiHak Pakai dengan cara dicoret

    SG maupun PAG yang sudah menjadi hak milik atautelah diperjualbelikan tetap akan didata kembali danmendapatkan sertifikat tanah hak milik kraton.Upayaini hanya untuk menertibkan kembali tanah-tanah mi-lik kraton meskipun sudah dilepas menjadi hak mi-lik.Tetapi tetap dicantumkan asal-muasalnya merupa-kan SG atau PAG ujar Kepala BPN Kanwil DIY (BPNDIY Siap Sertifikat Tanah SG dan PAG, KadaulatanRakyat, 2 Oktober 2013). d) Masyarakat tahunya hanyamenggunakan tanah itu dan tiba-tiba ada pendataantanah dan sosialisasi, tidak tahu itu SG/PAG. Saatdidata ada yang menjawab itu tanah negara, padahaldi DIY kan tidak ada tanah negara dan Pemda DIYtidak boleh menguasai tanah negara ujar Kepala BiroTata Pemerintahan Sekda DIY (Cegah Jual Beli SG danPAG, Pemda DIY Targetkan Buat 1000 Sertifikat, Kedau-latan Rakyat, 12 November 2014), e) Penghageng Pani-tikismo, KGPH Hadiwinoto hanya mengatakan yangmenjadi pegangan Kraton adalah Rijksblad 1918, bahwatanah di DIY adalah tanah Kraton kecuali yang telahmenjadi hak milik.Logikanya ya, Sultan Grond ituadalah tanah di DIY dikurangi jumlah luas tanah hakmilik yang ada di BPN, kata Gusti Hadi dalam wa-wancaranya dengan Harian Jogja beberapa waktu lalu.Biro Tata Pemerintahan dan Kanwil Badan PertanahanNasional DIY tengah mengiventarisasi Sultan Gronddan Pakualaman Grond. Inventarisasi akan dilakukandengan mencocokan pendataan tanah pada buku Legger(buku kewilayahan zaman Belanda) dengan pendataanpertanahan di desa-desa kemudian memastikan lang-sung di lapangan (Tanah Kraton Ngayogyakarta DataTanah Kraton Masih Mentah, Harian Jogja, 6 Septem-ber 2013).

    18Sertifikat sebagai contoh terjadi di Desa Pun-dungsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkiduldengan perubahan nomor 13.02.13.04.1.00582 (SuratKeputusan 420.3/489/KPTS/68/BPN/2007) menjadi13.02.13.04.2.00014 (Surat Keputusan No 420.3/185A/KPTS/68/BPN/2008, tertanggal 22 Agustus 2008berlaku hingga 21 Agustus 2033).

  • 18 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    B. Metodologi

    Tulisan ini merupakan hasil penelitian pustaka(desk study) yang dilakukan oleh komunitasmasyarakat dan bersifat swadaya19, bertujuan untukmenelaah secara kritis 1) Substansi UUK DIYdengan perspektif hukum dan politik dan 2)Implementasi UUK DIY beserta argumentasi yangmendasarinya. Di ranah hukum, telaah kritisterhadap substansi dan implementasi UUK DIYmendasarkan pada koherensi antara kondisisesungguhnya (de facto) dan kenyataan hukum (dejure). Sedangkan di ranah politik, telaah kritisterhadap isu tersebut menekankan pada situasipolitik yang melatari kelahiran produk hukumpertanahan dari masa-masa tertentu. Penelitianyang dilakukan September 2014 - Februari 2015 inihendak menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:1) Seberapa jauh UUK DIY dapat menjadi landasan

    hukum bagi pengaturan pertanahan?2) Seberapa kuat argumentasi yang digunakan

    untuk mengukuhkan eksistensi tanahKasultanan dan Pakualaman dalam perspektifsejarah, hukum, dan sosial budaya?

    3) Sejauh mana UUK DIY mampu memberikankepastian hukum bagi hak-hak atas tanah yangdijamin UUD 1945 dan UUPA?

    C. Pembahasan

    Bagian ini akan dimulai dengan menguraikana) Sejarah dan perkembangan hukum pertanahandi DIY untuk memperoleh gambaran yang utuhmengenai kebijakan pertanahan di DIY, b)Substansi UUK DIY dengan perspektif hukum danpolitik, dan c) Implementasi UUK DIY danargumentasi yang melandasinya sebagai pemban-ding dua poin sebelumnya. Hasil penelitian iniberupaya menunjukkan 1) kedudukan hukum dari

    tanah-tanah dengan status SG dan PAG, 2) kedu-dukan hukum dari tanah negara, 3) kedudukanhukum dari tanah hak milik baik individu maupuntanah desa, dan 4) kedudukan hukum agrariaterhadap UUK DIY.

    1. Sejarah dan Perkembangan HukumPertanahan di DIY

    Sejarah Mataram di DIY harus dibatasi dariPerjanjian Giyanti 1755 sebagai titik permulaankarena sebelum era tersebut adalah Mataram islamdan pendahulunya yang tidak ada hubungannyadengan urusan keistimewaan DIY di masa sekarang.

    a. Masa Pra Kemerdekaan RI

    Kasultanan Yogyakarta lahir dari PerjanjianGiyanti 13 Februari 175520, dengan status BadanHukum Swapraja di bawah kedaulatan VOC. IsiPerjanjian Giyanti 1755 antara lain:1. Pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi

    Sultan Hamengku Buwono (HB) I sebagaipemimpin dari wilayah yang dipinjamkankepadanya21, dengan hak mewariskan pengelo-

    19Forum Komunikasi Masyarakat Agraris wilayahDIY. FKMA digagas dan dibentuk oleh organisasi akarrumput dari 8 kabupaten se-Jawa pada 2012 dan keang-gotaan telah bertambah 15 kabupaten yang tersebar diJawa, Sumatera, dan Sulawesi pada 2013.

    20Perjanjian Giyanti 1755 disetujui oleh HamengkuBuwono I yang diangkat oleh VOC (Generaale Vere-nigde Nederlanden Nicolaas Hartingh), sebagai bentukpenyelesaian konflik kekuasaan antara PangeranMangkubumi (HB I) dengan Paku Buwana (PB) IIIraja Mataram Surakarta. Perjanjian Giyanti 1755 dila-tarbelakangi oleh penyesalan Sultan HB I karena telahterlibat dalam pemberontakan terhadap KasunananSurakarta dan permohonan Sultan HB I agar mem-peroleh perlindungan dan dukungan dari VOC. IsiPerjanjian Giyanti 1755 versi bahasa Belanda dan terje-mahannya begitu pula Perjanjian Ponorogo 11 Desem-ber 1749; Perjanjian PA I Rafless 1813, Perjanjian PolitikHB IX Gubernur Jenderal Hindia Belanda 18 Maret1940 dapat dicermati di www.forpetankri.com

    21 Pada masa PB II, wilayah kerajaan Mataramsudah diserahkan secara sukarela kepada VOC melaluiSurat Perjanjian 11 Desember 1749, yang dikenal denganPerjanjian Ponorogo (Antoro 2014, p.430) :

    Punika serat prakawis dening hangutjulaken sarttahannrahaken menggah karaton Matawis saking KangdjengSusuhanan Paku Buwana Sennapati Hangalaga Ngabudul-rahman Sajidin Panatagama, hinggih hawit saking hingkang

  • 19Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

    laan kepada ahli warisnya dengan kewajibanmenjaga itikad baiknya terhadap VOC dan Sul-tan HB I menerima isi perjanjian sebagai hukumabadi yang tidak terputus dan mutlak (Pasal 1).

    2. Sultan berkewajiban menjalin persahabatandengan warga VOC dan rakyat Jawa, dalamhubungan yang saling menguntungkan (Pasal2), untuk menjamin hal tersebut maka semuapejabat pemerintahan maupun bupati danseluruh penguasa dataran tinggi yang diangkatoleh Sultan berkewajiban melakukan sumpahsetia secara pribadi kepada VOC di Semarang(Pasal 3).

    3. Sultan dilarang mengangkat pejabat tanpapersetujuan VOC (Pasal 4) dan tidak akan meng-ganggu gugat bupati yang pernah bersengketadengannya, dengan imbalan VOC memaafkankesalahan Sultan (Pasal 5).

    4. Sultan wajib melepaskan pulau Madura dandaerah pesisir yang telah diduduki VOC danmembantu VOC untuk mempertahankankepemilikannya atas provinsi laut, imbalannyaSultan digaji 2000 real Spanyol per tahun oleh

    VOC (Pasal 6). Sultan juga wajib membantuSunan Paku Buwana penguasa SurakartaHadiningrat dengan imbalan dilindungi darimusuh dari dalam dan luar negeri (Pasal 7).

    5. Sultan mengukuhkan dan mengesahkan semuakontrak, perikatan, dan perjanjian yang telahdiadakan sebelumnya antara VOC dan para rajaMataram, khususnya yang disepakati padatahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749, sejauh tidakmenentang Perjanjian Giyanti 1755. Apabila Sul-tan dan keturunannya melanggar isi perjanjianmaka diberi sanksi berupa pelepasan wilayahyang telah dipinjamkan (Pasal 9)22.Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799,

    kontrak politik terhadap Kasultanan Yogyakartadilanjutkan oleh Pemerintah Kolonial HindaBelanda hingga tahun 1940, pengecualian padamasa pemerintahan Hamengku Buwono IIIKasultanan Yogyakarta di bawah kedaulatanPemerintah Kolonial Inggris. Isi dari PerjanjianPolitik HB IX dengan Gubernur Jenderal HindiaBelanda (Dr. Lucien Adam) 18 Maret 1940 antaralain adalah:1. Pasal 1 ayat (1) Kesultanan merupakan bagian

    dari wilayah Hindia Belanda dan karenanyaberada di bawah kedaulatan Baginda RatuBelanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.(2) Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakartadiselenggarakan oleh seorang Sultan yangdiangkat oleh Gubernur Jenderal.

    2. Pasal 3 ayat (1) Kesultanan meliputi wilayah yangbatas-batasnya telah diketahui oleh kedua belahpihak yang menandatangani Surat Perjanjianini. (2) Kesultanan tidak meliputi daerah laut.(3) Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas wilayah, maka keputusan berada di tanganGubernur Jenderal.

    parentah Kangdjeng Kumpni kangageng wahu, karatonpunuka kasrah dateng Kangdjeng Tuwan Gupernur sarttaDirektur hing tanah Djawi Djohan Handrijas Baron VanHohendoref. Kawula Kangdjeng Susuhunan Paku BuwanaSennapati Hangalaga Ngabudulrahman Sajidin Panatagamahangngakenni sertta hamratelakaken kalajan iklasing manahjenning make hawit saking sangette gerrah kawula, sakingkarsaning Allah kawula sangsaja saja boten kengingjennajekkelia karaton Matawis kalajan parentah kangng-apenned, hinggih rehning hamrih dadosa kapenneeddanpaparentahhan karaton Matawis punika, sartta saweweng-konanipun sadaja, kang hing make sampun kawula hasta,punnika sadaja sami kahaturaken dumateng Kumpnikangngageng kawula mboten pisan jennaderbeja karsahagadaha malih. (Surat perjanjian Paku Buwana II-Kompeni, 11 Desember 1749).

    Konsekuensi politik dari perjanjian ini ialah men-dudukkan VOC sebagai pemilik seluruh wilayah kera-jaan pada masa itu serta pemegang kedaulatan kerajaan.Hal ini berlanjut hingga Perjanjian Giyanti (13 Februari1755) yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta.Lihatibid.

    22 Hal ini terjadi pada akhir masa pemberontakanPangeran Diponegoro (1825-1830), Kasultanan Yogya-karta melepas daerah Kedu, Magelang, dan Banyumasmelalui Perjanjian Klaten 27 September 1830. LihatAdjikoesoemo (2012, p.9).

  • 20 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    3. Pasal 6 ayat (1) Sultan akan dipertahankan dalamkedudukannya selama ia patuh dan tetapmenjalankan kewajiban-kewajibannya yangdiakibatkan oleh perjanjian ini ataupun yangakan ditandatangani kemudian berikutperubahan-perubahannya ataupun penam-bahan-penambahannya, dan ia bertindaksebagaimana layaknya seorang Sultan.

    4. Pasal 12 ayat (1) Bendera Kesultanan, Sultan danpenduduk Kesultanan adalah bendera NegeriBelanda. (2) Pengibaran bendera Kesultananataupun bendera atau panji-panji lain pengenalkebesaran Sultan di samping bendera Belandatunduk di bawah ketentuan-ketentuan yangditetapkan oleh atau atas nama GubernurJenderal.

    5. Pasal 25 ayat (1) Peraturan-peraturan yangditetapkan Sultan memerlukan persetujuanGubernur Yogyakarta sebelum dinyatakanberlaku. (2) Peraturan-peraturan itu tidak ber-sifat mengikat sebelum diumumkan sebagai-mana mestinya dalam Lembaran Kerajaan(Rijksblad).Adapun Pakualaman lahir dari Perjanjian Paku

    Alam (PA) I dengan Thomas Stamford Raffles 18Maret 1813, Raffles adalah Gubernur Jenderal HindiaBelanda ketika Belanda jatuh kepada Inggris. Isiperjanjian tersebut antara lain:1. Paku Alam dan keluarganya memperoleh

    perlindungan dari Inggris (Pasal 1) dan PakuAlam memperoleh gaji bulanan sebesar 720 Realyang harus dikelola bersama Sultan, Paku Alammendapat penguasaan atas wilayah seluas 4000cacah (Pasal 2)

    2. Wilayah tersebut di bawah jaminan PemerintahInggris, dan menjadi subyek administrasi danpemerintah serta harus disediakan sewaktudiperlukan untuk modif ikasi oleh pemerintah(Pasal 3). Terhadap tanah-tanah tersebut tidakdikenakan pajak baru (Pasal 4)

    3. Atas keuntungan yang diperolehnya, Paku Alamharus membantu Pemerintah Inggris satu Korps

    yang terdiri atas 100 pasukan berkuda (Pasal 6)Isi perjanjian Giyanti 1755, Perjanjian Politik HB

    IX-Lucien Adam 1940, dan Perjanjian PA I Rafless1813 menunjukkan posisi subordinat kasultanandan pakualaman terhadap Pemerintah Kolonialdaripada posisi sebagai kekuasaan yang otonom,bahkan kasultanan dan pakualaman memerankanperpanjangan tangan dari kolonialisme melaluikontrak politik sebagaimana ditunjukkan olehShiraishi (1997, p.1), Ranuwidjaja (1955) dan Luthfiet al. (2009, p.32). Hal ini bertolak belakang denganSabdatama HB X pada 10 Mei 2012:

    Aku yang bertahta di negara Mataram mengucapkansabda:

    Bahwa Kraton Yogyakarta dan KadipatenPakualaman itu keduanya satu kesatuan.

    Mataram adalah negeri yang merdeka danmempunyai hukum dan tata pemerintahan sendiri.

    Seperti yang dikehendaki dan diperbolehkan,Mataram memimpin nusantara, mendukung

    tegaknya negara, tetapi tetap menggunakan hukumdan tata pemerintahan sendiri.

    Yang seperti itu sebagaimana dikehendaki SultanHamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yangbertahta, ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil

    Gubernur.

    Otonomi kasultanan dan pakualaman tam-paknya terbatas pada penerbitan rijksblad (lembarkerajaan) yang pernah dilakukan pada masareorganisasi tanah 1918 untuk menghemat biayasipil Pemerintah Kolonial, termasuk gaji Sultan.Pada 1918 itulah kasultanan dan pakualamanmemiliki klaim atas kepemilikan wilayah (domeinverklaring) yang dimaksudkan untuk dapat men-cukupi kebutuhan kerajaan (Adjikoesoemo 2012,p. 11). Meskipun, jika merujuk pada isi PerjanjianGiyanti 1755-Perjanjian 1940 wilayah yang dikuasaitetap berstatus hak pengelolaan di bawah Peme-rintah Kolonial.

    Rijksblad adalah istilah bagi aturan hukum yangberlaku di wilayah kasultanan dan pakualamandengan persetujuan pemerintah kolonial. Dalambidang pertanahan terdapat dua rijksblad yang

  • 21Kus Sri Antoro: Analisis Kritis Substansi dan Implementasi ...: 12-32

    penting, yaitu Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918dan Rijksblad Pakualaman No 18 tahun 1918menyatakan bahwa:

    Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektinekadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadibumi kagungane keraton Ingsun. Artinya, semuatanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hakeigendom (hak milik, menurut Agrarische Wet 1870),maka tanah itu adalah milik kerajaanku.

    Kedua rijksblad tersebut merupakan dasarhukum bagi status tanah swapraja di Yogyakarta,yang dianggap masih ada hingga saat ini, yangdikenal sebagai Sultanaat Grond (SG) dan PakuAlamanaat Grond (PAG), kedudukannya samaseperti Domein Verklaring (Sembiring 2012, p. 19-22). Kedua Rijksblad 1918 itu juga menjadi sumberhukum bagi tanah Kas Desa dan Bengkok/lungguh(keduanya hak anggaduh), serta pangarem-arem(pensiun perangkat desa, hak anganggo/pakai).Pada periode reorganisasi tanah selanjutnya,kepada penduduk kotapraja diberikan hak andarbemenurut Rijksblad Kasultanan No. 23 Tahun 1925dan Rijksblad Pakualaman No. 25 Tahun 1925.

    b. Masa Kemerdekaan dan PascaKemerdekaan

    Pada 1945, kasultanan dan pakualaman sebagaibadan hukum swapraja diakhiri oleh HB IX dan PAVIII melalui Amanat 5 September 1945. Secarasepihak, keduanya tidak lagi terikat dengan isiPerjanjian Giyanti 1755 maupun PA-Rafles 1813 danjustru memilih menyatu dengan NKRI dan tundukpada konstitusi23. Sebagai bentuk penghargaan atas

    sikap politik kedua republikan tersebut, pemerintahpusat menerbitkan UU No 3 Tahun 1950 jo UU No19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahIstimewa Yogyakarta (UU Pembentukan DIY).

    UU Pembentukan DIY mengatur bahwa Sultandan Paku Alam adalah kepala daerah yangmempunyai kewenangan-kewenangan khusus diDIY. Salah satu kewenangan khusus yang diatur UUPembentukan DIY adalah di bidang agraria, yaituwewenang otonomi untuk mengatur pertanahanyang bersumber dari Agrarische Wet 1870 (Pasal4)24. Peraturan Daerah (Perda) DIY No 5 Tahun 1954tentang Hak atas Tanah di DIY diterbitkan sebagaipelaksanaan UU Pembentukan DIY, isinya antaralain:1. Hak atas tanah di kota praja Yogyakarta buat

    sementara masih berlaku Rijksblad KasultananNo 23 Tahun 1925 dan Rijksblad Paku AlamanNo 25 Tahun 1925 (Pasal 2).

    2. DIY memberikan hak milik perseorangan turuntemurun (erfelijk individueel bezitsrecht) atassebidang tanah kepada WNI, dengan tanda hak

    23Pada masa pendudukan Jepang, kedudukan Sul-tan HB IX dan Paku Alam VIII tidak berubah namundalam pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (GubernurJepang) yang bekantor di Gedung Tjokan Kantai(Gedung Agung). Pada saat Jepang kalah, Belanda(NICA) kembali menduduki Hindia Belanda. ApabilaSultan HB IX dan Paku Alam VIII tidak bergabungmenjadi bagian dari NKRI maka DIY kembalikedudukan semula, yaitu menjadi wilayah HindiaBelanda, sebagaimana daerah Swapraja yang lain. Sikap

    politik Sultan HB IX dan Paku Alam VIII inilah yangmenyelamatkan eksistensi Kasultanan dan PakuAlaman sebagai entitas warisan budaya dan politikyang dihormati hingga hari ini karena sejarah Kasul-tanan dan Pakualaman prakemerdekaan Indonesiasama seperti swapraja yang lain, yaitu sebagai negaraprotektorat (negara yang berada di bawah kekuasaannegara lain) atau Vazal Koninkrijk (kerajaan bagian).dengan status Zelfbesturende Landschappen (otonomi).Lihat: Adjiekoesoemo op.cit p. 3-4.

    24Penjelasan Pasal 4 UU Pembentukan DIY, we-wenang otonomi (medebewind) meliputi: a) penerimaanpenyerahan hak eigendom (milik) atas tanah eigendomkepada negeri (medebewind); b) penyerahan tanahNegara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatanatau kementerian lain atau kepada daerah otonom(medebewind); c) pemberian idzin membalik nama hakeigendom dan hak opstal (hak guna bangunan) atastanah, jika salah satu pihak atau keduanya masukgolongan bangsa asing (medebewind); d) pengawasanpekerjaan daerah otonom dibawahnya (sebagian adayang medebewind). Kewenangan ini berakhir pada 1984dengan Perda DIY No 3 Tahun 1984 tentang Pelak-sanaan Berlaku Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960.

  • 22 Bhumi Vol. 1, No. 1, Mei 2015

    milik (Pasal 4)3. Kelurahan sebagai badan hukum mempunyai

    hak milik atas tanah, yang disebut tanah desa,dengan fungsi meliputi: Lungguh, Kas Desa, danPengarem-arem (Pasal 6)

    4. Hak memakai turun temurun menjadi hak milik(Pasal 10)Wewenang dan hak-hak atas tanah di wilayah

    swapraja Y