efek dexmedetomidine 0,2mcg/kgbb terhadap...

73
i EFEK DEXMEDETOMIDINE 0,2mcg/KGBB TERHADAP KEJADIAN DELIRIUM SAAT PULIH SADAR DARI ANESTESI UMUM PADA PASIEN PEDIATRIK EFFECT OF DEXMEDETOMIDINE 0,2 UG KG -1 INTRAVENOUS TO THE INCIDENCE OF EMERGENCE DELIRIUM AFTER GENERAL ANESTHESIA IN PEDIATRIC CAHYA HENDRAWAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: truongquynh

Post on 03-Jul-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

EFEK DEXMEDETOMIDINE 0,2mcg/KGBB TERHADAP KEJADIAN DELIRIUM

SAAT PULIH SADAR DARI ANESTESI UMUM PADA PASIEN PEDIATRIK

EFFECT OF DEXMEDETOMIDINE 0,2 UG KG-1 INTRAVENOUS TO THE INCIDENCE

OF EMERGENCE DELIRIUM AFTER GENERAL ANESTHESIA IN PEDIATRIC

CAHYA HENDRAWAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2013

ii

EFEK DEXMEDETOMIDINE 0,2mcg/KGBB TERHADAP KEJADIAN DELIRIUM

SAAT PULIH SADAR DARI ANESTESI UMUM PADA PASIEN PEDIATRIK

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Spesialis

Program Studi

Ilmu Anestesi

Disusun dan diajukan oleh

CAHYA HENDRAWAN

kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

iii

HALAMAN PENGESAHAN

EFEK DEXMEDETOMIDINE 0,2 ug/kgBB INTRAVENA TERHADAP

INSIDEN DELIRIUM SAAT PULIH SADAR DARI ANESTESI UMUM PADA PASIEN PEDIATRIK

KARYA TULIS ILMIAH AKHIR

PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1

BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF

DAN MANAJEMEN NYERI

Oleh :

CAHYA HENDRAWAN

No. Pokok : C113208103

TELAH DIAJUKAN DAN DISETUJUI UNTUK DIBACAKAN OLEH :

DR. dr. Syafri K. Arif,Sp.An-KIC-KAKV (…………………………) Pembimbing Materi

DR. dr. Syafri K. Arif,Sp.An-KIC-KAKV (…………………………)

Ketua Program Studi Ilmu Anestesi,

Perawatan intensif dan Manajemen Nyeri

Fakultas Kedokteran UNHAS

DR. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KAP-KMN (………………………….)

Kepala Bagian Ilmu Anestesi,

Perawatan intensif dan Manajemen Nyeri

Fakultas Kedokteran UNHAS

iv

PERNYATAAN KARYA TULIS

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : dr. CAHYA HENDRAWAN

No.Stambuk : C113208103

Program Studi : Anestesiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau

pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa

sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima

sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 12 Maret 2013

Yang menyatakan,

dr. CAHYA HENDRAWAN

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha

Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan karya akhir ini.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dan merupakan karya

akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis pada Program Pendidikan Spesialis I

(PPDS I) dibagian Anestesiologi, Unit Perawatan Instensif dan Manajemen Nyeri

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa karya akhir ini tidak akan terselesaikan

tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis

dengan tulus menyampaikan terima kasih pada Bapak DR. dr. Syafri K. Arif,Sp.An-KIC-

KAKV, dan Bapak DR. dr. Burhanuddin Bahar, MS pembimbing karya akhir yang telah

banyak membimbing dengan penuh perhatian dan kesabaran, senantiasa memberikan

dorongan kepada penulis sejak awal penyusunan hingga penelitian ini rampung.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Direktur Pasca Sarjana dan Dekan Fakultas

Kedokteran yang telah member kesempatan pada saya untuk mengikuti

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Anestesi,Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri

2. Ketua Bagian, Ketua Program Studi, dan seluruh staff pengajar di Bagian

Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri FK UNHAS.

Rasa hormat dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan atas

vi

bantuan dan bimbingan yang telah diberikan selama ini, kiranya dapat menjadi

bekal hidup dalam mengabdikan ilmu saya di kemudian hari.

3. Direktur dan staf RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar atas segala

bantuan fasilitas dan kerjasama yang diberikan selama penulis mengikuti

pendidikan.

4. Semua Teman sejawat PPDS-1 Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan

Manajemen Nyeri FK UNHAS atas bantuan dan kerja samanya selama ini.

5. Para penata anestesi dan perawat ICU serta semua paramedis di Bagian

Anestesiologi, Unit Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri atas bantuan

dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan.

Akhirnya penulis berharap semoga karya akhir ini dapat berguna bagi

perkembangan Ilmu anestesi dimasa yang akan datang. Tidak lupa penulis juga mohon

maaf bilamana ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penulisan tesis ini, karena

penulis menyadari sepenuhnya tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Makassar, 12 Maret 2013

dr. Cahya Hendrawan

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR GRAFIK ix

ABSTRAK x

ABSTRACT xi

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 4

D. Hipotesis 5

E. Manfaat Penelitian 6

II. Tinjauan Pustaka 7

A. Pulih Sadar dari Anestesi Umum 7

B. Dexmedetomidine 10

C. Delirium saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum 14

D. Kerangka Teori 25

III. Kerangka Konsep 26

IV. Metode Penelitian 28

A. Desain Penelitian 28

B. Tempat dan Waktu Penelitian 28

C. Populasi dan Sampel Penelitian 28

viii

D. Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel 28

E. Perkiraan Besaran Sampel 29

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 30

G. Izin Penelitian dan Rekomendasi Persetujuan Etik 31

H. Metode Kerja 31

1. Alokasi Subyek 31

2. Cara Penelitian 31

I. Alur Penelitian 33

J. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel 34

1. Identifikasi Variabel 34

2. Klasifikasi Variabel 34

K. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 35

1. Defenisi Operasional 35

2. Kriteria Obyektif 38

L. Pengolahan dan Analisa Data 40

M. Jadwal Penelitian 40

O. Personalia Penelitian 40

V. Hasil Penelitian 41

A.Karakteristik Sampel Penelitian 41

B.Emergence Delirium Score 42

C.Objective Pain Scale 44

D.Waktu Ekstubasi dan Pulih Sadar dari Anestesi Umum 45

E. Kejadian Efek Samping 47

VI. Pembahasan 48

VII. Kesimpulan dan Saran 56

Daftar Pustaka 58

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tahap-Tahap Anestesi Umum 7

2. Tahap-Tahap Pulih Sadar Anestesi Umum 9

3. Skala PAEDS 23

4. Objective Pain Scale 37

5. Karakteristik Dasar Sampel 42

6. Score Delirium Saat Pulih Sadar dari Anestesi Umum 43

7. Penilaian Nyeri Objektif Post Operasi 45

8. Waktu Ekstubasi dan Pulih Sadar dari Anestesi Umum 46

9. Kejadian Efek Samping 47

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Teori 25

2. Kerangka Konsep 26

3. Alur Penelitian 33

xi

DAFTAR GRAFIK

Nomor Halaman

1. ED Score di PACU pada Kelompok D 44

2. ED Score di PACU pada Kelompok S 44

3. Waktu Ekstubasi dan Pulih Sadar 46

xii

Abstrak

Latar Belakang : Dexmedetomidine memberikan efek sedasi, analgesia, dan anxiolitik setelah pemberian intravena. Isofluran dan sevofluran dihubungkan dengan angka kejadian delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik. Pada penelitian dengan menggunakan placebo sebagai kontrol, kami mengevaluasi efek dari dosis tunggal dexmedetomidine pada delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik yang menjalani pembedahan elektif menggunakan anestesi umum dengan isofluran.

Metode : Pada penelitian acak tersamar ganda ini , 46 anak (usia 3-10tahun) dipilih secara acak mendapatkan dexmedetomidin 0,2ug/kgBB atau placebo pada akhir pembedahan. Semua pasien mendapatkan obat anestesi yang standar. Setelah pembedahan, nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum diukur sampai 1 jam post operatif. Waktu ekstubasi, waktu pulih sadar, dan efek samping dari dexmedetomidin dicatat. Setelah pembedahan nyeri pasien diukur dengan menggunakan objective pain scale (OPS) .

Hasil : Nilai delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada kelompok dexmedetomidine lebih baik daripada kelompok placebo (P<0,05). Nilai nyeri sama pada kedua kelompok (P>0,05). Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar lebih panjang pada kelompok dexmedetomidin tetapi tidak bermakna secara statistik (P>0,05). Dan tidak ada efek samping (hipotensi dan bradikaria) pada kedua kelompok.

Kesimpulan : Kami menyimpulkan bahwa Dexmedetomidine 0,2ug/kgBB intravena dapat mengurangi insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi umum dengan isofluran pada anak yang menjalani pembedahan elektif.

Kata kunci : dexmedetomidine, delirium, isofluran, anesthesia

xiii

Abstract: Backgrounds: Dexmedetomidine has shown sedative, analgesic, and anxiolitic effect after intravenous (IV) administration. Isofluran is ascociated with incidence of emergence delirium similar to sevofluran in pediatric patient. In this placebo controlled study, we examined the effect of single dose dexmedetomidine on emergence delirium in pediatric patient undergoing elective surgery with general anesthesia based on isofluran.

Methods: In a doubled blinded trial, 46 children (age 3-10 years) were randomly assigned to receive dexmedetomidine 0,2 ug/kg or placebo at the end of surgery. All patient received a standardized anestetic regimen. For induction we used sevofluran and for maintenance anesthesia we used isofluran. After surgery, the emergence delirium scores was measured 1 hour postoperatively. The time of extubation, the time of emergence, and the side effect of dexmedetomidine were recorded. After surgery the children pain were assessed with a objective pain scale (OPS)

Results: The emergence delirium scores in the dexmedetomidine group were better than those in the placebo group (P<0,05). A scores of pain were same at the two groups (p>0,05). The time of extubation and the time of emergence were longer at dexmedetomidine group but not significantly by statistics (p>0,05). And there were no side effect (hypotension and bradycardi) in both groups.

Conclusions: We conclude that 0,2 ug/kg dexmedetomidine reduce emergence delirium after isofluran based anesthesia in children undergoing an elective surgery.

Keywords: dexmedetomidine; delirium; isofluran; anesthesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pulih sadar dari anestesi umum merupakan suatu hal yang dapat

bersifat rumit apabila terdapat suatu keadaan delirium yang terjadi pada

beberapa kasus dan hal ini merupakan suatu tantangan bagi petugas

ruang pemulihan. Kejadian delirium pada saat pulih sadar pada anak

merupakan suatu fenomena yang bersifat akut yang bersifat dapat

berhenti sendiri (5-15 menit) namun dapat bertambah parah apabila tidak

ditangani dengan segera dan dapat mengakibatkan trauma yang berarti

pada anak.1,2

Delirium pada saat pulih sadar merupakan suatu fenomena klinis yang

sering terjadi pada anak yang dikarakteristikkan sebagai suatu keadaan

kebingungan, cengeng, disorientasi, tidak dapat dihibur atau ditenangkan

dan histeria yang berlebihan. Dalam pengertian lain delirium diartikan

sebagai suatu bentuk kebingungan yang bersifat akut yang disertai

dengan gangguan kognitif (gangguan persepsi dan halusinasi).3,4

Delirium pada keadaan pulih sadar dari anestesi umum terjadi sejak 30

menit pertama di ruang pemulihan . dan biasanya bersifat sembuh sendiri

namun bisa bertahan sampai 2 hari apabila tidak ditangani. Insiden dari

kejadian ini antara 10-80%.4

2

Selama terjadinya delirium pada keadaan pulih sadar, maka pasien

anak akan beresiko untuk melukai diri sendiri dengan jalan mencabut

akses intravena dan drain, merusak skin graft, menambah resiko

perdarahan pada daerah operasi, meningkatkan intensitas nyeri , melukai

perawat, dan memperpanjang masa pemulihan.5

Meng Tao Qing dkk (2012) melaporkan bahwa penggunaan

dexmedetomidine aman dan efektif untuk menurunkan insiden dari

delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada anak setelah operasi

tonsilektomi. Dengan menggunakan dosis inisial 1 mcg/kgbb bolus diikuti

oleh dosis pemeliharaan sebesar 0,4 mcg/kgbb/jam merupakan pilihan

yang lebih baik pada anak yang akan menjalani operasi tonsilektomi.6

Shukry dkk (2005) melaporkan bahwa dosis pemeliharaan

dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb/jam dapat menurunkan insiden dan

frekuensi dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum pada

pasien anak setelah menjalani suatu anestesi umum dengan agen inhalasi

sevofluran tanpa terjadinya pemanjangan waktu ekstubasi dan waktu

pemulihan.7

Guller dkk (2005) melaporkan bahwa pemberian dexmedetomidine 0,5

mcg/kgbb sebagai dosis tunggal yang diberikan 5 menit sebelum

ekstubasi pada operasi tonsilektomi dapat menimbulkan suatu keadaan

pulih sadar yang lebih tenang dengan skor nyeri yang lebih baik bila

dibandingkan dengan kelompok placebo.8,9

3

Ibacache dkk (2004) membandingkan dosis kecil dexmedetomidine 0,3

mcg/kgbb yang diberikan pada permulaan suatu prosedur operasi

dibandingkan dengan kelompok placebo. Mereka menemukan bahwa

pada kelompok dengan dexmedetomidine terdapat suatu keadaan pulih

sadar yang lebih lembut. Penelitian ini menggunakan bolus

dexmedetomidine tanpa dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan, dan

dilaporkan juga terdapat stabilitas dari tanda vital pasien selama

pemberian dexmedetomidine.8,10

Berrin Issik dkk (2005) melakukan penelitian pada 42 anak berumur 18

bulan sampai 10 tahun yang akan menjalani prosedur MRI. Sesaat

setelah induksi anestesi dengan agen inhalasi sevofluran pasien

menerima dexmedetomidine dengan dosis 1 mcg/kgbb. Insiden dari

delirium pada saat pulih sadar terjadi 47,6% pada group placebo dan

4,8% pada group dexmedetomidine. Namun waktu pencabutan dari LMA

dan buka mata pada pasien ini lebih lama pada group

dexmedetomidine.8,11

Benjamin J pieter dkk (2010) melaporkan bahwa pemberian anestesi

dengan propofol tidak mempengaruhi agitasi setelah operasi tonsilektomi,

penelitian ini menggunakan Post anesthesia emergence delirium score

(PAEDS) sebagai alat pengukuran. Dmana skor PAEDS ≥ 10 digunakan

untuk mengidentifikasi adanya suatu delirium pada saat pulih sadar dari

anestesi umum. Namun demikian pemeliharaan anestesi dengan propofol

dikaitkan dengan berkurangngnya kebutuhan obat untuk nyeri di ruang

4

pemulihan dan menurunnya insiden dari mual dan muntah setelah operasi

dibandingkan dengan hanya menggunakan agen inhalasi sevofluran.12

Uraian diatas merupakan dasar dari penelitian ini, namun dari seluruh

penelitian mengenai delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

yang dipublikasikan, belum pernah dilakukan tehnik pemberian

dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb dosis tunggal sebelum ekstubasi untuk

menilai efek pemberian obat tersebut dalam mengurangi insiden dari

delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum pada pediatrik.

B. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang penelitian diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah pemberian dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb intravena dosis

tunggal sebelum ekstubasi dapat menurunkan insiden delirium pada saat

pulih sadar dari anestesi umum pada pediatrik?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Menilai pengaruh dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb intravena dosis

tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden dari delirium pada saat pulih

sadar dari anestesi umum pada pediatrik.

5

2. Tujuan khusus

a. Membandingkan insiden kejadian delirium pada saat pulih sadar

dari anestesi umum pada pediatrik antara dexmedetomidine 0,2

mcg/kgbb intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dengan Nacl

0,9%.

b. Membandingkan waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar dari

anestesi umum pada pediatrik antara dexmedetomidine 0,2

mcg/kgbb intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dengan Nacl

0,9%.

c. Mencatat kejadian efek samping.

D. Hipotesa Penelitian

1. Insiden kejadian delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

pada pediatrik lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine 0,2

mcg/kgbb intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dibandingkan

dengan kelompok Nacl 0,9% dosis tunggal intravena sebelum

ekstubasi.

2. Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar dari anestesi umum pada

pediatrik lebih lama pada kelompok dexmedetomidine 0,2 mcg/kgbb

intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dibandingkan dengan

kelompok Nacl 0,9% dosis tunggal intravena sebelum ekstubasi.

6

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh dexmedetomidine 0,2

mcg/kgbb intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden

dan derajat delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum pada

pasien pediatrik.

2. Dapat diterapkan secara klinis sebagai salah satu tehnik pengelolaan

delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum pada pediatrik.

3. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut .

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pulih Sadar Dari Anestesi Umum

Pulih sadar dari anestesi umum dapat didefinisikan sebagai suatu

keadaan transisi dari status tidur ke status kesadaran penuh. Pulih sadar

dari anestesi umum seharusnya merupakan transisi yang bersifat lembut

dan tidak menyakitkan melalui keempat fase dari anestesi. Walaupun juga

dapat ditemui adanya delirium pada saat pulih sadar dari anestesi

umum.13

Tabel 1. Tahap tahap anestesi umum

Tahap Deskripsi

I Amnesia, Induksi anestesi untuk menghilangkan

kesadaran

II

Delirium, eksitasi, potensial untuk muntah, spasme

laryng, hipertensi, takikardi, gerakan tak terkontrol,

dilatasi pupil

III

Anestesi pada tahap pembedahan, pupil konstriksi,

respirasi reguler, kedalaman anestesi yang adekuat,

hilangnya pergerakan

IV Overdosis, tanpa pernapasan, pupil dilatasi dan tidak

bereaksi, hipotensi

Dikutip: Shari M, Burns, RN. Delirium during emergence from anesthesia: A case study. Critical Care Nurse. 2003; 23(1): 102-10.

8

Pulih sadar dari anestesi umum merupakan suatu proses yang bersifat

pasif yang tergantung dari jumlah obat anestesi yang diberikan; tempat

kerja mereka, potensi dan farmakokinetik; karakteristik fisiologis pasien,

dan tipe serta durasi dari operasi. Pulih sadar dari anestesi umum

biasanya dinilai dengan monitoring tanda-tanda fisiologis sikap.

Kembalinya pernapasan spontan biasanya merupakan salah satu tanda

klinis yang pertama, yang menandakan bahwa pelumpuh otot sudah tidak

bekerja lagi. Laju jantung dan tekanan darah biasanya meningkat, salivasi

dan airmata mulai muncul, yang diikuti oleh respon terhadap stimulasi

nyeri yang tidak terlokalisir. Pada saat tonus otot rangka kembali muncul,

pasien mulai merintih, menelan, batuk, dan membuat suatu gerakan

bertahan seperti mencoba meraih endotracheal tube. Pada titik inilah

seorang ahli anestesi akan melakukan ekstubasi, dan menilai munculnya

kembali reflek batang otak yang berfungsi untuk menjaga pernapasan

spontan dan proteksi jalan napas.14

Pada saat pasien pulih sadar dari anestesi umum,

Electroenchephalografi (EEG) menunjukkan perubahan dari fase 2 atau 3

sebagai suatu periode pemeliharaan anestesi menuju ke tahap aktif dari

EEG yang konsisten yang menunjukkan suatu tahap kesadaran penuh.

Antara saat ekstubasi dengan pindahnya pasien ke ruang pemulihan,

pasien akan melalui suatu tahap kesadaran yang minimal.14

9

Tabel 2. Tahap-tahap pulih sadar dari anestesi umum

Anestesi Umum

Pemberian obat anestesi

Mata tertutup dengan pupil reaktif, tidak responsif, analgesia,

akinesia.

Tekanan darah dan denyut jantung sepenuhnya dikontrol oleh

obat

Ventilasi terkontrol secara mekanik

Pulih sadar tahap 1

Dihentikkannya pemberian obat anestesi

Reversal obat pelumpuh otot

Transisi dari apneu ke pernapasan yang ireguler menuju

pernapasan yang reguler

Meningkatnya aktivitas alpha dan beta pada EEG

Pulih sadar tahap 2

Meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah

Kembalinya respon saraf autonom

Respon terhadap stimulus nyeri

Salivasi, air mata

Menelan, batuk

Kembalinya tonus otot

Semakin meningkatnya aktivitas gelombang alpha dan beta

Ekstubasi sudah dapat dilakukan

Pulih sadar tahap 3

Buka mata

Respon terhadap perintah oral

Pola sadar pada EEG

Ekstubasi dapat dilakukan

Dikutip dari: Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General anesthesia, sleep, and coma. N ENGL J MED; 2010. 363;27.

10

B. Dexmedetomidine

α 2 adrenergik agonis dapat diklasifikasikan menjadi 3 group yaitu

imidazolines, phenylethylamines, dan oxalozepines. Dexmedetomidine

dan clonidine merupakan anggota dari subklas imidazole.

Dexmedetomidine mempunyai waktu paruh yang pendek yaitu berkisar

antara 2 sampai 3 jam, dan secara komersial tersedia dalam bentuk

sediaan intravena. Efek fisiologisnya diperantarai melalui reseptor α 2

adrenergik post sinaptik dan aktivasi dari G protein yang menghasilkan

penurunan aktivitas adenyl siklase. Penurunan intraseluler dari cyclic

adenosyne monophosphate (cAMP) dan aktivitas protein kinase cAMP

menghasilkan defosforilasi dari ion chanel. Perubahan dari fungsi ion

chanel, translokasi ion, dan konduktan membran, menyebabkan

penurunan aktivitas neuronal yang akan mempunyai efek klinis sebagai

sedasi dan anxiolitik. Efek sentral dari α 2 adrenergik agonis ini adalah

juga mengaktifkan reseptor pada pusat vasomotor medula yang

menurunkan pelepasan dari noreepinefrin yang akan menghasilkan efek

simpatolitik sentral yang akan menyebabkan penurunan tekanan darah

dan denyut jantung.15

Stimulasi sentral dari parasimpatis dan inhibisi simpatis dari locus

cereleus di batang otak memegang peranan penting dalam menghasilkan

efek sedasi dan anxiolitik. Efek analgesik primer dan potensiasi opioid

yang menghasilkan analgesia adalah melalui aktivasi dari reseptor α 2

11

adrenergik di dorsal horn dari spinal cord dan menghambat pelepasan dari

substan P.15

Farmakokinetik dari obat ini adalah termasuk mempunyai efek

distribusi yang cepat (distribusi paruh waktu sekitar 6 menit); dengan

eliminasi waktu paruh sekitar 2 jam. Pada dosis berkisar antara 0,2-

0,7μg/kgbb/jam yang diberikan melalui jalur intravena kontinyu dalam

jangka waktu sampai 24 jam, didapatkan efek farmakokinetik yang bersifat

linier. Dexmedetomidine 94% bersifat terikat terhadap protein yaitu

terhadap serum albumin dan α 1 glikoprotein. Metabolisme dari obat ini

berlangsung di hati. Data yang mempelajari tentang farmakokinetik

dexmedetomidine pada populasi pediatrik telah dikemukakan dalam

beberapa penelitian terkini. Semua penelitian ini mengambarkan

farmakokinetik yang sama seperti pada orang dewasa. Petroz GC dkk

melakukan penelitian terhadap 36 anak dengan umur berkisar antara 2

sampai 12 tahun yang menerima infus dexmedetomidine selama 10 menit

dengan dosis (0,33 μg/kgbb/jam, 0,6 μg/kgbb/jam dan 1 μg/kgbb/jam).

Melalui dua model kompartemen, mereka melaporkan tidak terdapat

perbedaan yang bermakna pada tiap dosis yang diberikan.15

Hemodinamik efek dari dexmedetomidine dihasilkan melalui

mekanisme sentral dan perifer. α 2 adrenoreseptor agonis

memperlihatkan efek bifasik, tergantung dosis, efek tekanan darah. Pada

dosis yang rendah aksi dominan dari α 2 adrenoreseptor agonis adalah

dengan menurunkan tonus simpatis, yang dimediasi oleh penurunan

12

pelepasan noreepinefrin dan penghambatan neurotransmisi pada sistem

saraf simpatis. Efek akhir dari dexmedetomidine ini adalah penurunan

yang signifikan dari katekolamin yang terdapat pada sirkulasi. Hipotensi

yang signifikan biasanya ditemukan pada pasien dengan keadaan

hipovolemia. Bradikardi biasanya ditemukan setelah pemberian

dexmedetomidine dikarenakan aksi dari simpatolitik sentral dan sebagian

disebabkan karena reflek baroreseptor dan peningkatan aktivitas vagal.16

Tidak seperti opioid, dexmedetomidine mampu memberikan efek

sedasi, hipnotik, dan analgesik tanpa menyebabkan depresi pernapasan,

bahkan dengan plasma level sampai 15 kali dari dosis normal yang

diterima selama terapi. Pemberian dexmedetomidine selama anestesi

umum dengan sevofluran atau desfluran dengan ventilasi spontan tidak

mempunyai efek terhadap end tidal karbondioksida. Saturasi arteri lebih

baik pada pasien anak dengan dexmedetomidine dibandingkan propofol

pada prosedur MRI.17

Berbanding terbalik dengan pemberian opioid, benzodiazepine, atau

propofol, dexmedetomidine dapat secara aman digunakan secara

kontinyu untuk memfasilitasi ekstubasi. Dexmedetomidine juga telah

sukses digunakan dalam memfasilitasi ekstubasi pasien yang sebelumnya

gagal diekstubasi karena agitasi yang berlebihan. Dexmedetomidine

efektif dalam memberikan sedasi yang baik tanpa disertai adanya depresi

pernapasan selama intubasi dengan fiberoptik atau prosedur kesulitan

jalan napas yang lain. Kondisi intubasi sangat baik karena

13

dexmedetomidine menurunkan produksi saliva dan sekresi jalan napas

yang lain.17

Dexmedetomidine, seperti halnya α 2-adrenoreseptor agonis yang lain

nya mempunyai efek sedasi, anxiolitik, dan analgetik. Efek sedasi

didapatkan oleh α 2-adrenoreseptor agonis tidak bergantung secara

primer terhadap aktivasi dari γ-aminobutyric acid (GABA) reseptor, seperti

yang dihasilkan oleh sedatif lainnya seperti benzodiazepines dan propofol.

Tempat aksi primer dari α 2-adrenoreseptor agonis ini adalah pada locus

cereleous bukan pada kortek serebral. Hal inilah yang menjadi alasan

kenapa obat golongan ini menghasilkan jenis sedasi yang berbeda

dibandingkan benzodiazepines dan propofol.16

Sedasi yang dihasilkan oleh dexmedetomidine bersifat cukup unik,

obat ini menghasilkan bentuk kooperatif yang tidak biasanya dimana

pasien akan bersikap tenang dan mudah dibangunkan dari keadaan tidur

menuju kesadaran penuh untuk memenuhi perintah yang diberikan

selama terintubasi dan terventilasi dan akan segera kembali tertidur bila

tidak diberikan stimulasi.16

Dexmedetomidine juga telah banyak dipelajari mempunyai efek

analgetik yang signifikan dan secara konsisten dapat menurunkan

kebutuhan opioid. Telah dipercaya bahwa spinal cord merupakan tempat

aksi utama dari analgetik, dimana aktivasi dari α 2-adrenoreseptor agonis

terlihat dapat meningkatkan aksi analgetik dari opioid dalam menurunkan

transmisi dari signal nosisepsi menuju ke pusat otak. Dexmedetomidine

14

juga menghambat pelepasan substansi P dari dorsal horn spinal cord ,

yang menyebabkan efek analgetik primer.16

Aplikasi penggunaan dexmedetomidine pada pasien pediatrik telah

banyak dilakukan. Satu dari dua penelitian pertama mempelajari

penggunaan dexmedetomidine pada 4 pasien pediatrik dalam berbagai

macam skenario klinis termasuk sedasi selama pemberian ventilasi

mekanik. Kombinasi dengan remifentanil sebagai adjuvan dalam

menciptakan hipotensi kendali pada operasi fusi spinal posterior.16

Dexmedetomidine juga digunakan di pediatric intensive care unit

(PICU) sebagai sedasi selama ventilasi spontan tanpa kontrol jalan napas

pada pasien anak umur 4 tahun dengan status asmatikus yang mengalami

agitasi. Pada dua kasus lain juga diberikan dosis tunggal

dexmedetomidine (0,4 - 0,5 μg/kgbb) untuk mengontrol delirium pada saat

pulih sadar dan untuk mengatasi mengiggil post operatif.16

C. Delirium Saat Pulih Sadar Dari Anestesi Umum

Delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum atau yang

disamakan dengan agitasi pada saat pulih sadar merupakan suatu

fenomena yang tidak jarang terjadi pada anak dan dewasa pada periode

segera setelah operasi. Delirium pada saat pulih sadar didefinisikan

sebagai suatu keadaan dimana terjadi disosiasi dari kesadaran dimana

anak menjadi tidak bisa ditenangkan, cengeng, tidak kooperatif,

menangis.2,3

15

Delirium pada saat pulih sadar bukan merupakan suatu fenomena

baru, fenomena ini sudah dilaporkan setelah perkenalan setiap agen

anestesi baru termasuk agent inhalasi dan intravena seperti midazolam,

remifentanil, dan propofol.2

Insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

berkisar sekitar 5,3%, dengan frekuensi terbanyak terjadi pada anak-anak,

yaitu sekitar 12-13%. Sementara insiden dari delirium pada saat pulih

sadar dari anestesi umum setelah penggunaan halothan, isofluran,

sevofluran dan desfluran berkisar antara 2-55%.2

1. Faktor-Fakor yang mempengaruhi kejadian delirium

Beberapa faktor telah dilaporkan mempunyai kaitan sebagai penyebab

dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum, dan efek dari

beberapa faktor ini telah banyak diteliti dalam banyak literatur dengan

berbagai macam penelitian :

1. Umur

Aeno dkk pada tahun 1997 menyatakan bahwa anak prasekolah yaitu

yang berumur antara 2-6 tahun mempunyai frekuensi yang tinngi

terhadap delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

dibandingkan anak sekolah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

adanya imaturitas dari psikologis.4

2. Preoperatif anxietas; pasien dan orang tua

Anxietas preoperatif telah banyak dikaitkan dapat meningkatkan

insiden terjadinya delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum.

16

Kain dkk pada suatu penelitian yang melibatkan 791 anak

memperlihatkan bahwa anxietas preoperatif pada anak merupakan

faktor prediktif dalam berkembangnya tingkah laku yang menyimpang

pada masa post operatif, termasuk delirium pada saat pulih sadar dari

anestesi umum. Tidak ada suatu hubungan yang jelas antara anxietas

yang dialami orang tua terhadap insiden kejadian delirium pada saat

pulih sadar. Namun Fortier dkk memperlihatkan bahwa anxietas dari

orang tua merupakan faktor resiko yang tinggi untuk terjadinya delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum.

3. Temperamen dari anak

Temperamen dari anak termasuk status emosional, aktivitas,

sosialibilitas, dan impulsivitas merupakan faktor yang tidak dapat di

modifikasi. Voepel dkk menemukan bahwa anak dengan tingkat

adapatasi yang rendah mempunyai faktor resiko terhadap kejadian

delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum. Kain dkk juga

memperlihatkan bahwa frekuensi delirium pada saat pulih sadar dari

anestesi umum lebih tinggi pada anak dengan tingkat emosional lebih

tinggi, impulsive dan sosiabilitas yang rendah.4

4. Kehadiran orang tua saat masa pemulihan

Sebagian besar penelitian mempelajari efek dari anxietas preoperatif

dari pasien dan orang tua terhadap kejadian delirium saat pulih sadar,

hanya sedikit penelitian yang mempelajari tentang efek dari kehadiran

orang tua di ruang postanesthesia care unit (PACU). Weldon dkk

17

memperlihatkan bahwa insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari

anestesi umum menurun seiring dengan kehadiran dari orang tua di

PACU. Demirbilek dkk melakukan observasi bahwa insiden dari

delirium pada saat pulih sadar menurun dengan kehadiran orang tua

meskipun terdapat nyeri postoperatif. Efek positif dari kehadiran orang

tua yang telah disebutkan diatas hanya merupakan suatu observasi

belaka, bukan merupakan suatu hasil dari pembelajaran.4,18

5. Jenis Operasi

Jenis operasi termasuk operasi pada daerah mata, telinga, tonsil,

tiroid, dan pembedahan urologi merupakan jenis operasi yang telah

banyak dihubungkan dengan kejadian tinggi delirium pada saat pulih

sadar dari anestesi umum. Pada saat Eckenhoff dkk pertama kali

menggambarkan suatu delirium pada saat pulih sadar dari anestesi

umum pada tahun 1961. Kemudian pada tahun 2003, Voepel-Lewis

dalam suatu penelitian prospektif memperlihatkan bahwa operasi

otolaryngologic merupakan faktor resiko independent terhadap

kejadian delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum.

Peningkatan insiden yang terjadi selama prosedur pembedahan mata

kemungkinan bisa disebabkan karena adanya distorsi atau

berkurangnya kemampuan dalam melihat lingkungan luar.4

6. Nyeri

Sebagian besar jenis pembedahan yang disebutkan diatas merupakan

prosedur yang bersifat nyeri, dan nyeri telah diakui sebagai faktor

18

resiko mayor untuk delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efek kausal

dari nyeri dan delirium pada saat pulih sadar dan untuk menurunkan

insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum dengan

jalan menangani nyeri dengan berbagai macam modalitas yang

berbeda, termasuk dengan pemberian NSAID, ketorolac, α 2 agonis

seperti clonidin dan dexmedetomidine, regional anestesi termasuk blok

kaudal dan narkotika. Insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari

beberapa penelitian ini mengalami penurunan setelah penanganan

nyeri yang adekuat dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun

tidak meniadakan kejadian ini. Hal ini secara tidak langsung

menggambarkan bahwa delirium pada saat pulih sadar dari anestesi

umum bisa tetap terjadi meskipun dengan penanganan nyeri yang

adekuat. Cravero dkk menemukan bahwa insiden delirium pada saat

pulih sadar dari anestesi umum lebih tinggi pada penggunaan

sevofluran dibandingkan halotan pada pasien anak yang menjalani

prosedur intervensi yang tidak bersifat nyeri seperrti MRI. Oleh karena

itu nyeri tidak bisa ditunjuk sebagai satu satunya penyebab dari

delirium pada saat pulih sadar. 4

7. Agen anestesi

Sevofluran telah banyak diteliti berkaitan dengan insiden yang tinggi

terhadap munculnya delirium pada saat pulih sadar dari anestesi

umum terutama pada pasien anak. Pulih sadar yang cepat yang

19

disebabkan oleh sevofluran diduga merupakan penyebab munculnya

delirium pada saat pulih sadar dari agen ini. Namun juga diteliti bukan

hanya sevofluran yang dapat menyebabkan fenomena ini, desfluran

dan isofluran juga diduga dapat menyebabkan hal ini dengan insiden

berkisar antara 50-80%. Namun Cohen dkk membandingkan pulih

sadar dari sevofluran dan propofol, mereka menemukan bahwa pulih

sadar dari propofol bersifat cepat, lembut, dan menyenangkan

dibandingkan dengan sevofluran dan menyimpulkan bahwa delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum tidak berhubungan dengan

kecepatan dari pulih sadar. Dan Oh dkk melakukan studi dengan

memperlambat pulih sadar dari sevofluran dengan cara menurunkan

sevofluran secara bertahap, namun hal ini juga tidak menurunkan

insiden dari delirium pada saat pulih sadar.4,17

8. Premedikasi

Midazolam merupakan agen anestesi yang umum digunakan sebagai

premedikasi pada pasien anak untuk mencegah terjadinya delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum. Namun penggunaan

midazolam masih bersifat kontroversi, Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan midazolam dapat menurunkan

insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum dengan

sevofluran, sementara beberapa penelitian lain juga menunjukkan

tidak ada efek, bahkan dikatakan midazolam dapat meningkatkan

insiden dari fenomena ini. Kemungkinan midazolam dapat menurunkan

20

insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum karena

efek sisa sedasi pada akhir prosedur singkat seperti yang dilaporkan

oleh Lapin dkk. Obat premedikasi lain yang digunakan yaitu

penggunaan clonidin oral 4 μg/kgbb diberikan 30 menit sebelum

induksi anestesi dengan sevofluran pada pasien anak prasekolah yang

berhubungan dengan penurunan yang signifikan dari delirium pada

saat pulih sadar dibandingkan dengan penggunaan midazolam 0,5

mg/kgbb (25% versus 60%).17

2. Pencegahan dan pengobatan

Seperti telah disebutkan sebelumnya secara detail, beberapa obat

telah banyak dipelajari baik untuk mencegah atau menurunkan insiden

dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien anak-

anak. Tidak ada satu metode yang dianggap superior terhadap metode

lain. Sangat sulit untuk membandingkan karena setiap penelitian

menggunakan alat penilaian yang berbeda, tipe pembedahan yang

berbeda atau bahkan tehnik anestesi yang berbeda.4,19,20

Opioid telah banyak digunakan secara sukses untuk memperbaiki

kejadian delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum postoperatif.

Namun pemberian morphine secara rutin pada saat intraoperatif tidak

menunjukkan adanya suatu penurunan dari delirium pada saat pulih

sadar.19,20

Pemberian fentanyl 2,5 μg/kgbb, bagaimanapun dapat menyebabkan

penurunan yang signifikan dari delirium pada saat pulih sadar setelah

21

prosedur adenotonsilektomi. Pemberian dosis yang lebih kecil yaitu 1

μg/kgbb tidak memperlihatkan efektifitas yang sama dibandingkan dengan

dosis yang lebih besar.Namun pemberian fentanyl 1μg/kgbb 10 menit

sebelum akhir prosedur dari MRI menunjukkan suatu penurunan insiden

dari delirium pada saat pulih sadar setelah anestesi umum dengan

menggunakan sevofluran.19

Beberapa agent non opioid baik yang bersifat analgetik atau sedatif

maupun kedua-duanya telah banyak digunakan akhir-akhir ini untuk

menurunkan insiden dari delirium pada saat pulih sadar dari anestesi

umum. Clonidine intravena bahkan yang terbaru yaitu dexmedetomidine

telah memperlihatkan penurunan insiden yang bermakna dari delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum. Kulka dkk melakukan

penelitian dengan menggunakan clonidine 2 μg/kgbb intravena selama

anestemi umum dengan menggunakan sevofluran pada prosedur

sirkumsisi. Mereka menemukan penurunan yang bermakna dari delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum. (10% versus 80% pada

kelompok placebo). Ibacache dkk menemukan adanya penurunan insiden

yang bermakna dari delirium pada saat pulih sadar dengan pemberian

dexmedetomidine 0,3 μg/kgbb intravena selama proses pembedahan

abdomen bagian bawah dan genetalia. Penurunan insiden ini tidak terlihat

dengan dosis yang lebih kecil yaitu 0,15 μg/kgbb.19

22

3. Instrumen penilaian delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

Pediatric anesthesia emergence delirium scale (PAEDS) merupakan

suatu instrumen yang mudah, dan menjanjikan tanpa adanya kriteria

ekslusi sebelumnya. Instrumen ini berusaha untuk membedakan delirium

dengan nyeri dan penyebab lain dari agitasi dengan menggunakan

beberapa item yang mengukur aspek psikiatrik dari delirium dengan

meminimalisir akan adanya overlapping dengan items yang sudah

ditetapkan sebagai skala perilaku nyeri seperti Children,s hospital of

eastern ontario scale (CHEOPS).21,22

PAEDS yang mengukur segi-segi perilaku yang merefleksikan adanya

gangguan kesadaran, tidak perhatian, perubahan emosional dan kognitif

dan gangguan psikomotor. Menilai dengan istrumen ini hanya perlu

melakukan observasi selama 1 menit dan membutuhkan pelatihan yang

minimal.21 Ada 5 poin yang dapat diukur dengan menggunakan skala ini

yaitu :

1. Anak melakukan kontak mata dengan perawat

2. Anak melakukan aksi yang bertujuan

3. Anak sadar akan lingkungan sekitarnya

4. Anak gelisah

5. Anak tidak bisa ditenangkan

Item 1, 2, dan 3 dapat dinilai lagi dengan beberapa skor yaitu: 4= tidak

sama sekali, 3= hanya sedikit, 2= agak banyak, 1= sangat banyak, 0=

ekstrim. Sedangkan item 4 dan 5 dinilai lagi dengan interpretasi 0= tidak

23

sama sekali, 1= hanya sedikit, 2= agak banyak, 3= sangat banyak, 4=

ekstrim.21

Setiap skor dari masing-masing item kemudian dijumlahkan untuk

memperoleh nilai total dari PAEDS. Skor antara 0-6 memberi kesan tidak

adanya delirium dan tidak memerlukan evaluasi ulang lagi, skor 7-9

mengindikasikan pasien dalam keadaan subsyndroma dan sangat penting

untuk melakukan evaluasi ulang setelah 1 jam. Sementara skor ≥ 10

mengambarkan suatu keadaan delirium.21,22,23,24

Tabel 3. Skala PAEDS

Kriteria Skor

Anak membuat kontak mata dengan

perawat

4 = Tidak sama sekali

Anak membuat aksi yang bertujuan 3 = Hanya sedikit

Anak sadar akan lingkungan

disekitarnya

2 = Agak banyak

1 = Sangat banyak

0 = Ekstrim

Anak gelisah 0 = Tidak sama sekali

Anak tidak bisa ditenangkan 1 = Hanya sedikit

2 = Agak banyak

3 = Sangat banyak

4 = Ekstrim

Dikutip dari:Aarts A, Hagen VV, Russchen H. Does pharmacologic treatment prevent children from emergence agitation after sevofluran anesthesia? A systematic review. Erasmus Journal of Medicine. 2012; 2(2): 24-8.

Selain menggunakan skor PAED ada juga skor yang diperkenalkan

oleh Watcha dkk dengan perincian sebagai berikut :

24

1. 0 = Anak tidur

2. 1 = Anak tenang

3. 2 = Anak menangis tapi masih dapat ditenangkan

4. 3 = Anak menangis dan susah ditenangkan

5. 4 = Agitasi dan atau delirium

Anak dengan skor 3 atau 4 dikatakan mempunyai episode delirium

pada saat pulih sadar dari anestesi umum. Dan frekuensi dari episode

dihitung bila delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

berlangsung selama 3 menit. Jika waktu antara dua episode kurang dari 1

menit, maka hal ini dapat dikatakan sebagai suatu episode yang sama.

Menurut Samira dkk (2010) yang meneliti tentang perbandingan skala

delirium pada saat pulih sadar dari anestesi dengan menggunakan 3 skala

yang berbeda yaitu skala PAEDS, skala menurut Watcha, dan skala

menurut Cravero, mereka menyimpulkan bahwa ketiga skala yang

digunakan masing-masing mempunyai korelasi yang saling berhubungan

dan mempunyai keterbatasan masing-masing dalam menilai delirium pada

saat pulih sadar dari anestesi umum. Namun skala menurut Watcha

merupakan skala yang paling sederhana yang dapat digunakan dalam

praktik klinis dan mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang lebih tinggi

dibandingkan skala yang lain.25,26

25

D. Kerangka Teori

Ekstubasi Endotrakeal

Pulih sadar dari anestesi umum

Aktivasi α 2 adrenergik→ mencegah pelepasan substan P

Aktivasi pusat vasomotor medula→menurunkan pelepasan katekolamin

Efek sedasi pada locus cereleus di batang otak

NYERI PENINGKATAN KATEKOLAMIN

ANXIETAS

DELIRIUM

DEXMEDETOMIDINE

26

BAB III

KERANGKA KONSEP

Gambar 2. Kerangka konsep

Dexmedetomidine 0,2

Ekstubasi

Pulih Sadar

Umur

NaCl

PS ASA

Lama Operasi

Emergence

Delirium

27

Keterangan :

: Variabel bebas

: Variabel antara

: Variabel kendali

: Variabel tergantung

28

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji klinis acak tersamar

ganda (double blind).

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS dr. Wahiddin Sudirohusodo dan RS

Universitas Hasanuddin, mulai bulan Januari 2013 sampai dengan

sampel terpenuhi.

C. Populasi

Populasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah pasien pediatrik

berumur 3 - 10 tahun yang akan menjalani prosedur pembedahan elektif

dengan tehnik anestesi umum di ruangan bedah sentral RSUP Dr

Wahiddin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin selama masa

penelitian.

D. Sampel Penelitian Dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel diseleksi secara acak konsekutif dari semua populasi yang

memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan setuju ikut serta dalam penelitian

ini.

29

E. Perkiraan Besaran Sampel

Pada penelitian ini dengan menggunakan penelitian analitik kategorik

tidak berpasangan. Dengan demikian rumus besar sampel yang

digunakan adalah : (27)

Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2 2 n1 = n2 = P1 - P2

Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5% hipotesis satu arah, Zα = 1,96

Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ = 0,84

P2 = angka kesembuhan pada obat standar, berdasarkan

kepustakaan adalah 0,2

Q2 = 1 - 0,2 = 0,8

P1 - P2 = selisih minimal proporsi kesembuhan antara obat A dan

B yang dianggap bermakna. Peneliti menetapkan nilai 0,4

Dengan demikian :

P1 = P2 + 0,4 = 0,2 + 0,4 = 0,6

Q1 = 1 - P1 = 1- 0,6 = 0,4

P = (P1 + P2) / 2 = (0,6 + 0,2) / 2 = 0,4

Q = 1 - P = 1- 0,4 = 0,6

Dengan memasukkan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh nilai n1 =

n2 = 22,2 ≈ 23, jadi jumlah sampel pada masing-masing kelompok

adalah 23 pasien.

30

F. Kriteria Inklusi Dan Ekslusi

1. Kriteria inklusi

a. Akan menjalani pembedahan elektif dengan tehnik anestesi general

anestesi

b. PS ASA 1-2

c. Usia 3-10 tahun

d. Setuju ikut serta dalam penelitian

e. Belum pernah menjalani proses pembedahan sebelumnya

f. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawatnya

2. Kriteria ekslusi

a. Riwayat alergi terhadap obat yang digunakan

b. Menderita retardasi mental

c. Menderita gangguan pertumbuhan

d. Menderita penyakit neurologis dan atau psikiatrik

e. Adanya gangguan hati dan ginjal

3. Kriteria drop out

a. Komplikasi pembedahan

b. Durasi operasi lebih dari 3 jam

c. Perubahan tehnik anestesi

31

G. Ijin Penelitian Dan Rekomendasi Persetujuan Etik

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta rekomendasi

persetujuan etik ( ethical clearance ) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis

pada manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan no

register UH13010008. Semua orang tua penderita yang memenuhi kriteria

inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar

persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu

alasan ,orang tua penderita berhak mengundurkan diri dari penelitian ini.

H. Metode Kerja

1. Alokasi subyek

Subyek penelitian terdiri dari :

a. Kelompok perlakuan yang mendapatkan general anestesi dan

pada akhir pembedahan menerima dexmedetomidin 0,2 μg/kgbb

intravena dosis tunggal.

b. Kelompok kontrol yang mendapat General anestesi dan pada akhir

pembedahan menerima Nacl 0,9% (Placebo).

2. Cara Penelitian

a. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur

persiapan operasi elektif yang berlaku.

b. Pasien dibawa ke kamar operasi dan diinduksi dengan sevofluran

32

c. Jalur intravena dipasang, pasien diberikan premedikasi dengan

Sulfat atropin (SA) 0,1% sebanyak 0,01 mg/kgbb intravena,

fentanyl 1 μg/kgbb.

d. Jalan napas diamankan dengan intubasi endotrakeal dengan

fasilitasi atrakurium 0,5 mg/kgbb intravena sebagai pelumpuh otot.

e. Pemeliharaan anestesi dengan dengan isofluran 1-1,5 vol % dan

fentanyl 0,5 mcg/kgbb/30 menit, dan diberikan paracetamol 10

mg/kgbb intravena

f. Operasi selesai, kelompok perlakuan diberikan dexmedetomidine

0,2 mcg/kgbb intravena dosis tunggal yang dilarutkan dengan NaCl

0,9% menjadi 5 cc dan diberikan dalam waktu 5 menit dan

kelompok kontrol diberikan Nacl 0,9 % ( Placebo ) intravena

dengan volume yang sama dan diberikan dalam waktu 5 menit

g. Pasien diekstubasi dan ditransfer ke PACU

h. Di PACU Denyut jantung, MAP, SpO2, skor delirium pada saat

pulih sadar dicatat pada saat PO (masuk di PACU), P5 (PO + 5

menit), P10 (P0+10 menit), P15 (PO + 15 menit) kemudian tiap 15

menit sampai 1 jam

i. Skor delirium pada saat pulih sadar dinilai dengan menggunakan

skor yang diperkenalkan oleh Watcha dkk.dan skor nyeri obyektif

diukur berdasarkan Hanallah dkk

33

I. Alur Penelitian

Gambar 3. Alur penelitian

Pasien yang sesuai kriteria inklusi

Consecutive random sampling

Induksi sevofluran, pasang jalur intravena, premedikasi dengan SA 0,1% sebanyak 0,01 mg/kgbb/iv, fentanyl 1 ug/kgbb/iv

Intubasi dengan fasilitasi pelumpuh otot atracurium 0,5 mg/kgbb/iv

Pemeliharaan anestesi dengan isofluran 1-1,5 vol% dan fentanyl 0,5 mcg/kgbb/30 menit, paracetamol 10mg/kgbb intravena

Operasi selesai, stop agen inhalasi inhalasi

Kelompok Perlakuan Dexmedetomidine 0,2 ug/kgbb/iv volume

5 ml diberikan dalam waktu 5 menit

Kelompok Kontrol NaCl 0,9% dengan volume yang sama diberikan dalam 5 menit

Ekstubasi sadar

PACU dan dinilai skor delirium menurut sistem Watcha et al dan skor nyeri obyektif menurut hanallah dkk pada P0, P5, P15 dan tiap

34

J. Identifikasi Variabel Dan Klasifikasi Variabel 1. Identifikasi variabel

a. Dexmedetomidine 0,2 μg/kgbb

b. Nacl 0,9%

c. PS ASA

d. Umur

e. Agen inhalasi

f. Lama operasi

g. ED score

h. Objektive pain score (OPS)

2. Klasifikasi variabel

a. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya

1) Variabel kategorikal

a) Variabel nominal

Dexmedetomidine 0,2 μg/kgbb, Nacl 0,9%

b) Variabel ordinal

PS ASA, ED Score

2) Variabel numerik

a) Variabel rasio

Umur, lama operasi

35

b. Berdasarkan jenis data dan skala pengukurannya

1) Variabel bebas

Dexmedetomidine 0,2 μg/kgbb iv dan NaCL 0,9%

2) Variabel tergantung

Delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

3) Variabel kendali

Umur, PS ASA, lama operasi,

4) Variabel antara

Ekstubasi dan Pulih sadar dari anestesi umum

K. Definisi Operasional

1. Kelompok perlakuan

Kelompok pasien yang mendapatkan dexmedetomidine 0,2 μg/kgbb

intravena sesaat setelah operasi selesai, anestesi dengan general

anestesi dan setelah di ekstubasi ditransfer ke PACU.

2. Kelompok kontrol

Kelompok pasien yang mendapatkan NaC0 0,9% (plasebo) intravena

sesaat setelah operasi selesai, anestesi dengan general anestesi dan

setelah ekstubasi ditransfer ke PACU.

36

3. EDS (Emergence delirium scale)

EDS diukur oleh residen anestesi yang bertugas di PACU dengan

memperhatikan keadaan pasien setelah berada di PACU pada saat baru

masuk ( P0 ), 5 menit setelah dari PACU ( P5 ), dan 15 menit setelah dari

PACU ( P15 ) dan tiap 15 menit sampai 1 jam. Skor berdasarkan Watcha

dkk yaitu:

1. 0 = Anak tidur

2. 1 = Anak tenang

3. 2 = Anak menangis tapi masih dapat ditenangkan

4. 3 = Anak menangis dan susah ditenangkan

5. 4 = Agitasi dan atau delirium

4. Efektivitas obat

Adalah keadaan klinis dimana obat yang diberikan menghasilkan skala

delirium pada saat pulih sadar kurang dari 3 menurut skala

berdasarkan Watcha dkk.

5. Objective pain scale (OPS)

Suatu skala pengukuran nyeri secara objektif setelah operasi yang

pertama kali dikembangkan oleh Hannallah dan kawan-kawan dimana

nyeri dikatakan bermakna bila skor ≥6 dengan perincian sebagai

berikiut :

37

Tabel 4. Objektive pain scale

Observasi Kriteria Poin Tekanan darah - 10% dari nilai

basal - >20% dari nilai

basal - >30% dari nilai

basal

- 0

- 1

- 2

Menangis - Tidak menangis - Menangis,

namun berhenti dengan bujukan

- Menangis, dan tidak berhenti dengan bujukan

- 0

- 1

- 2

Pergerakan - Tidak ada - Gelisah - Tak terkendali

- 0 - 1 - 2

Agitasi - Tidur atau tenang

- Agitasi ringan - Histeria

- 0 - 1 - 2

Verbal akan nyeri - Tidur atau tanpa keluhan nyeri

- Mengeluh ada nyeri namun tidak bisa menunjukkan

- Mengeluh ada nyeri dan bisa menunjukkan

- 0

- 1

- 2

Dikutip dari: Syukry M, Clyde MC, Kalarickal PL, Ramadyani U. Does dexmedetomidine prevent emergence delirium in children after sevofluran-based general anesthesia? Pediatr Anest J 2005;15(12):1098-1104.

6. Umur

Dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam status

penderita dan dikonfirmasi dengan orang tua penderita.

38

7. Waktu Ekstubasi

Waktu yang dihitung sejak dimatikannya gas anestesi inhalasi sampai

dilakukan ekstubasi yang dinyatakan dalam menit

8. Waktu pulih sadar dari anestesi umum

Waktu yang dihitung sejak dimatikannya gas anestesi inhalasi sampai

pasien membuka mata dengan perintah dan dinyatakan dalam menit

9. Lama operasi

Adalah rentan waktu antara insisi kulit sampai jahitan terakhir kulit,

satuan yang digunakan adalah menit.

10. Hipotensi

Adalah penurunan tekanan darah ≥ 30% dari tekanan darah

sebelumnya.

11. Bradikardi

Adalah penurunan denyut nadi ≥ 30% dari denyut nadi sebelumnya

L. Kriteria Objektif

1. Skala delirium (berdasarkan Watcha dkk)

a. 0 : Tidur

b. 1 : Tenang

c. 3 : Menangis, tapi masih dapat ditenangkan

d. 4 : Menangis dan susah ditenangkan

e. 5 : Agitasi dan atau delirium

39

2. Panjang badan

Dinyatakan dalam satuan cm.

3. Umur

Dinyatakan dalam tahun.

4. Berat badan

Dinyatakan dalam kilogram (kg).

5. Status Gizi

a. Gizi buruk : < 70%

b. Gizi kurang : 70%-90%

c. Gizi cukup : 90%-110%

d. Overweight : 110%-120%

e. Obesitas : > 120%

6. Status Fisik ASA

a. PS ASA 1 : Sehat, tidak ditemukan masalah medis

b. PS ASA 2 : Menderita penyakit sistemik ringan

c. PS ASA 3 : Menderita penyakit sistemik berat, namun tidak

mengakibatkan berkurangnya kapasitas hidup.

d. PS ASA 4 : Menderita penyakit sistemik yang berat dan dapat

mengancam jiwa.

e. PS ASA 5 : Morbid, tidak memiliki harapan hidup dalam 24 jam.

f. PS ASA 6 : Cangkok organ.

40

M. Pengolahan Dan Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk

narasi, tabel atau grafik. analisis statistik menggunakan program SPSS 17

for windows. Data diuji dengan uji T dan uji Mann Whitney. Tingkat

kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p < 0,05.

N. Jadwal Penelitian

1. Persiapan

Penyusunan proposal 4 minggu.

2. Pelaksanaan

a. Pengumpulan data : 8 minggu

b. Analisa data dan penyusunan : 1 minggu

c. Pelaporan : 1 minggu

O. Personalia penelitian

1. Pelaksana : dr. Cahya Hendrawan

2. Pembimbing materi : Dr. dr. Syafri K. Arif, Sp.An-KIC-KAKV

3. Pembimbing statistik : Dr. dr. Burhanuddin, MS

4. Pembantu pelaksana : Peserta PPDS Anestesiologi UNHAS,

perawat RS dr. Wahiddin Sudirohusodo dan

RS Universitas Hasanuddin

41

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan mulai bulan januri 2013 sampai dengan jumlah

sampel terpenuhi. Jumlah sampel yang diikutsertakan adalah 46 pasien

yang bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi kriteria inklusi. Empat

puluh enam pasien tersebut kemudian dibagi dalam dua kelompok, yaitu

yang menjalani pembedahan elektif dengan tehnik anestesi umum dan

mendapatkan dexmedetomidine 0,2 mcg/kgBB sesaat setelah operasi

berakhir (disebut kelompok D) dan yang mendapatkan normal saline 0,9%

sesaat setelah operasi berakhir (disebut kelompok S). Masing-masing

kelompok terdiri atas 23 subyek penelitian.

1. Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel penelitian kedua kelompok yaitu umur, PS ASA,

jenis kelamin, durasi operasi, jenis operasi dan status gizi dapat dilihat

pada tabel 5. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada karakteristik

dasar dari kedua kelompok penelitian. Karenanya, karakteristik 46 subyek

penelitian dapat dinyatakan homogen secara statistik.

42

Tabel 5. Karakteristik dasar sampel

Parameter Kelompok D (n = 23)

Kelompok S (n = 23) P

Umur (tahun)1 7,17 ± 2,146 7,17 ± 2,289 1,000

Jenis kelamin (L/P)2 15 / 8 18 / 5 0,526

ASA PS (I/II)2 2 / 21 3 / 20 0,386

Status gizi (1/2/3/4/5)2 0 / 2 / 20 / 1 / 0 0 / 2 /20 / 1 / 0 1,000

Durasi operasi (menit)1 85,65 ± 21,122 80,96 ± 21,438 0,458

Jenis operasi (1/2/3/4/5)2 2 / 4 / 6 / 7 / 4 2 / 3 / 6 / 8 / 4 0,451

1Uji t – independent, 2uji mann – whitney U

2. Emergence Delirium Score (ED Score)

Hasil penelitian terhadap nilai dari skor delirium saat pulih sadar dari

anestesi umum yang diukur mulai dari saat pasien masuk ruang PACU

(P0), kemudian 5 menit setelahnya (P5), 10 menit setelah di PACU (P10),

15 menit setelah di PACU (P15), dan setiap 15 menit sampai 1 jam pasien

berada di PACU. Yang dinilai oleh dokter anestesi yang bertugas di PACU

Pada penelitian ini didapatkan pasien yang mengalami episode delirium 1

orang pada kelompok D (4,3%) dan 11 orang pada kelompok S (47%) dan

hanya 1 orang yang mendapatkan resque midazolam pada kelompok S

karena skor delirium 4. Dan didapatkan perbedaan yang bermakna

(P<0,05) pada skor pulih sadar dari anestesi umum (ED score) pada

setiap waktu observasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.

43

Pada grafik 1 dapat dilihat hubungan antara waktu pengamatan

dengan jumlah pasien dengan tingkat delirium masing-masing pada

kelompok Dexmedetomidine, pada grafik ini dapat dilihat pada setiap

waktu observasi sebagian besar sampel memiliki skala 0 sampai 1, hanya

1 orang yang memiliki skala 3. Hal ini sangat berbeda dengan yang dilihat

pada grafik 2, dimana sebagian pasien pada awal waktu observasi

(sampai P 15) memiliki ED score ≥ 3 .

Tabel 6. Score delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

Variabel Kelompok D Kelompok S

P 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

ED0 15 4 4 0 0 9 0 2 10 2 0,009

ED5 11 8 3 1 0 4 4 3 10 2 0,000

ED10 5 10 7 1 0 3 7 2 10 1 0,007

ED15 3 15 4 1 0 2 8 6 7 0 0,018

ED30 4 16 3 0 0 0 9 10 4 0 0,000

ED45 4 17 2 0 0 0 12 9 2 0 0,001

ED60 3 19 1 0 0 0 12 10 1 0 0,000

Uji mann-whitney; p<0,05 dinyatakan bermakna pada setiap waktu observasi.

44

Grafik 1. ED Score di PACU pada kelompok D

Grafik 2. ED Score di PACU pada kelompok S

3. Objective Pain Scale (OPS)

Hasil penelitian terhadap nilai nyeri yang digunakan pada penelitian ini

yaitu berupa pengukuran nilai nyeri obyektif (objective pain scale) yang

dikembangkan oleh Hannallah dkk yang diukur dalam waktu observasi

0

5

10

15

20

ED0 ED5 ED10 ED15 ED30 ED45 ED60

15

11

53

4 43

4

810

1516

1719

43

7

43

21

0

1

2

3

4

Waktu observasi

Juml

ah

0

2

4

6

8

10

12

ED0 ED5 ED10 ED15 ED30 ED45 ED60

9

43

2

0 0 0

23

2

6

109

1010 10 10

7

4

21

2 21

0 0 0 0

0

1

2

3

4

Waktu observasi

Jumlah

45

yang sama saat mengukur nilai skor pulih sadar dari anestesi umum.

Dimana nilai OPS ≥ 6 dikatakan mempunyai nilai nyeri yang signifikan dan

harus mendapatkan rescue berupa pemberian analgetik fentanyl 0,5-1

ug/kgBB. Pada penelitian ini didapatkan nilai nyeri objektif sama pada

setiap waktu observasi (<6) dan tidak bermakna secara statistik (p>0,05)

pada setiap kelompok penelitian dan tidak ada satupun sampel penelitian

yang memerlukan rescue analgetik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 7 .

Tabel 7. Penilaian nyeri objektif post operasi.

Variabel Kelompok D Kelompok S

p < 6 ≥ 6 < 6 ≥ 6

OPS0 23 0 23 0 1,000

OPS5 23 0 23 0 1,000

OPS10 23 0 23 0 1,000

OPS15 23 0 23 0 1,000

OPS30 23 0 23 0 1,000

OPS45 23 0 23 0 1,000

OPS60 23 0 23 0 1,000

Uji mann-whitney; p>0,05 dinyatakan tidak bermakna pada setiap waktu observasi

4. Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar dari anestesi umum

Pada penelitian ini dilakukan juga pengukuran waktu ekstubasi yaitu

waktu yang dihitung mulai dari saat gas anestesi inhalasi dimatikan

46

sampai pasien diekstubasi yang dinyatakan dalam menit. Waktu pulih

sadar dari anestesi umum yaitu waktu yang dihitung mulai dari saat gas

anestesi inhalasi dimatikan sampai pasien membuka mata dengan

perintah. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang bermakna

secara statistik baik pada waktu ekstubasi (p 0,559) maupun waktu pulih

sadar dari anestesi umum (p 0,062). Hal ini dapat dilihat pada tabel 8.

Pada grafik 3 dapat dilihat adanya perbedaan waktu ekstubasi antara

kelompok D (8,26 menit) dan kelompok S (7,91 menit) dan waktu pulih

sadar antara kelompok D (12,65 menit) dan kelompok S (11,3 menit)

Tabel 8. Waktu ekstubasi dan pulih sadar dari anestesi umum

Variabel Kelompok D (mean ± SD)

Kelompok S (mean ± SD) P

Waktu ekstubasi 8,26 ± 1,936 7,91 ± 2,065 0,559

Waktu pulih sadar 12,65 ± 2,080 11,30 ± 2,653 0,062

Uji t-independent; p>0,05 dinyatakan tidak bermakna

Grafik 3. Waktu ekstubasi dan pulih sadar

0

5

10

15

Ekstubasi Pulih sadar

8.26

12.65

7.91

11.3

D

S

Wakt

47

5. Kejadian efek samping

Pada penelitian ini juga dicatat apakah terdapat efek samping akibat

pemberian obat dexmedetomidine yaitu berupa bradikardi dan hipotensi,

dmana hipotensi dinyatakan apabila tekanan darah turun ≥30% dari

tekanan darah awal sebelum penyuntikan obat dan bradikardi dinyatakan

apabila denyut nadi turun≥30% dari denyut nadi awal sebelum

penyuntikan obat. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya insiden efek

samping baik berupa hipotensi maupun bradikardi pada kedua kelompok

sampel penelitian. Hal ini dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 9. Kejadian efek samping

Variabel Kelompok D Kelompok S

Hipotensi 0 0

Bradikardi 0 0

48

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk menilai pengaruh dexmedetomidine

0,2 mcg/kgBB intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden

dari delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek dexmedetomidine dosis minimal

sebagai obat tambahan terhadap insiden delirium saat pulih sadar dari

anestesi umum pada pasien pediatrik.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa dexmedetomidine dosis

minimal yaitu 0,2 ug/kgBB intravena dosis tunggal yang diberikan sebelum

ekstubasi memiliki efek dalam menurunkan insiden delirium pada saat

pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik. Hasil ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gueller dkk. Yang

menunjukkan bahwa dexmedetomidine efektif dalam menurunkan insiden

delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik.

Populasi penelitian pada penelitian Gueller dkk (2005) adalah pasien anak

anak umur 3-7 tahun yang akan menjalani prosedur pembedahan elektif

adenotonsilektomi dengan anestesi umum dengan pemeliharaan anestesi

sevofluran, sementara populasi pada penelitian ini adalah pasien anak-

anak umur 3-10 tahun yang akan menjalani prosedur pembedahan elektif

dengan pemeliharaan anestesi dengan isofluran. Delirium saat pulih sadar

dari anestesi umum merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

49

pasien populasi anak yang menjalani proses pembedahan dengan

anestesi umum dengan perkiraan frekuensi antara 18-80%.12 hal ini

disebabkan oleh adanya beberapa faktor antara lain karena adanya

imaturitas psikologis dari pasien anak.4,9 Oleh karena itulah pada

penelitian ini diambil populasi pasien pediatrik. Selain banyak ditemukan

pada pasien pediatrik insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi

umum banyak dikaitkan dengan penggunaan gas anestesi inhalasi

sevofluran yang dinilai dapat meningkatkan resiko terjadinya delirium saat

pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik hal ini dikarenakan

oleh karena sevofluran mempunyai solubilitas dalam darah yang rendah

sehingga proses eliminasi dari sisa gas anestesi ini akan menjadi cepat

sehingga pasien akan menjadi cepat bangun dan merasa sulit untuk

beradaptasi dengan lingkungan yang dianggapnya aneh dan baru.17

Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Meyer RR dkk (2007) mereka

menyimpulkan bahwa insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi

umum pada pasien pediatrik sama yaitu 30% untuk sevofluran dan 34%

untuk isofluran. baik pada penggunaan sevofluran maupun isofluran

sebagai gas anestesi inhalasi pada penelitian Meyer dkk.25 Pada

penelitian ini digunakan gas anestesi inhalasi isofluran untuk

pemeliharaan anestesi dimana untuk proses induksi digunakan gas

anestesi inhalasi sevofluran. Peneliti melakukan ini karena menganggap

bahwa isofluran juga tidak mempunyaI perbedaan yang berarti dalam

menimbulkan insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada

50

pasien pediatrik, dan penelitian tentang delirium saat pulih sadar dari

annestesi umum dengan menggunakan gas anestesi inhalasi isofluran

masih sangat sedikit, selain itu juga penggunaan gas anestesi inhalasi

isofluran lebih sering digunakan sebagai gas anestesi inhalasi untuk

pemeliharaan anestesi dibandingkan dengan gas anestesi inhalasi yang

lainnya di pusat pendidikan peneliti.

Delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum dapat

didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi disosiasi dari

kesadaran dimana anak menjadi tidak bisa ditenangkan, cengeng, tidak

kooperatif, menangis.2,3 Banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhi

timbulnya delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien

pediatrik selain karena faktor usia dan gas anestesi inhalasi seperti yang

telah dijelaskan diatas antara lain kehadiran orang tua pada saat

pemulihan. Weldon dkk memperlihatkan bahwa insiden delirium pada saat

pulih sadar dari anestesi umum menurun seiring dengan kehadiran orang

tua di PACU.28 Namun pada penelitian ini kami tidak menghadirkan orang

tua pasien sama sekali di PACU karena selain untuk menyeragamkan

perlakuan pada kedua kelompok penelitian juga karena aturan di PACU

rumah sakit peneliti yang tidak memperbolehkan orang tua pasien

mendampinggi pasien di PACU.

Jenis operasi juga merupakan faktor yang diduga dapat menjadi

faktor resiko munculnya delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

pada pasien pediatrik. Voepel lewis dkk (2003) melakukan suatu

51

penelitian prospektif yang memperlihatkan bahwa operasi otolaryngologic

merupakan faktor resiko independen terhadap kejadian delirium saat pulih

sadar dari anestesi umum. Pada penelitian ini, peneliti tidak dapat

membuat sampel penelitian mempunyai jenis operasi yang sama karena

kurangnya kasus operasi otolaryngologic pada pasien pediatrik di rumah

sakit peneliti. Namun dari data penelitian sebaran jenis operasi pada

kedua kelompok penelitian dapat dikatakan sama dan tidak bermakna

secara statistik. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Syukry dkk (2005) yang melakukan penelitian pada 50 pasien anak umur

1-10 tahun, pada penelitian ini mereka tidak menyeragamkan hanya pada

satu jenis operasi namun sebaran jenis operasi pada kedua kelompok

penelitian dapat dinyatakan seragam.8

Nyeri juga dikatakan sebagai faktor resiko munculnya delirium saat

pulih sadar dari anestesi umum. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

mempelajari efek kausal dari nyeri dan delirium saat pulih sadar dan untuk

menurunkan insiden dari delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

dengan jalan menangani nyeri dengan berbagai modalitas yang berbeda

seperti pemberian NSAID dan paracetamol seperti yang dilakukan oleh

Gueller dkk (2005). Pada penelitian ini Gueller dkk memberikan analgetik

paracetamol.9 Pada penelitian ini peneliti juga memberikan paracetamol

10 mg/kgBB intravena intraoperasi yang diharapkan dapat menurunkan

resiko faktor nyeri. Selain paracetamol opioid intravena 0,5-1 ug/kgBB tiap

30 menit intravena juga diberikan untuk menghindari nyeri pada

52

intraoperatif. Peneliti juga menyimpulkan bahwa pemberian

Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB sebelum ekstubasi mempunyai efek

analgetik pada kelompok perlakuan.

Untuk menilai nyeri paska operasi pada sampel kelompok

penelitian, peneliti menggunakan skor yang diciptakan oleh Hannalah dkk

yang banyak digunakan pada berbagai macam penelitian termasuk juga

pada penelitian yang berhubungan dengan delirium. Pada skor ini

terdapat 5 kategori yaitu tekanan darah, menangis, pergerakan, agitasi,

dan verbal akan nyeri. Dimana masing-masing kategori mempunyai 3

skala penilaian mulai dari 0 sampai 2. Masing masing kategori dinilai dan

dijumlahkan untuk mendapatkan skor akhir dan dapat diinterpretasi.

Interpretasi dari skor ini terdiri dar 2 parameter yaitu kurang dari 6 yang

berarti pasien dinilai tidak nyeri dan lebih atau sama dengan 6 dikatakan

nyeri dan dibutuhkan suatu analgetik tambahan.24 Pada penelitian ini

peneliti menggunakan skor yang diperkenalkan oleh Hannalah dkk dalam

menilai skala nyeri secara objektif pada pasien penelitian dimana pada

penelitian ini semua kelompok penelitian mempunyai skor nyeri objektif

kurang dari 6 dan tidak ada yang memerlukan suatu dosis tambahan

analgetik di PACU. Hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Syukri

dkk (2005) dimana mereka mendapatkan skor nyeri obyektif yang sama

pada 50 pasien anak umur 1-10 tahun yang menjalani psosedur

pembedahan dengan anestesi umum untuk operasi elektif.7

53

Banyak instrumen atau alat bantu yang digunakan untuk menilai

delirium saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik.

Antara lain Pediatric anesthesia emergence delirium scale (PAEDS), skor

menurut Watcha dkk, dan skor menurut Cravero dkk. Samira dkk (2010)

meneliti tentang perbandingan skala delirium pada saat pulih sadar dari

anestesi umum dengan menggunakan 3 skala yang berbeda yaitu skala

PAEDS, skala menurut Watcha, dan skala menurut Cravero, mereka

menyimpulkan bahwa ketiga skala yang digunakan masing-masing

mempunyai korelasi yang saling berhubungan dan mempunyai

keterbatasan masing-masing dalam menilai delirium saat pulih sadar dari

anestesi umum. Namun skala menurut Watcha dkk merupakan skala yang

paling sederhana yang dapat digunakan dalam praktik klinis dan

mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang lebih tinggi dibandingkan

dengan skala yang lain.26 Oleh karena inilah peneliti memilih skala

menurut Watcha karena dianggap paling sederhana dan mudah

diterapkan di rumah sakit kami.

Pada penelitian ini digunakan skor menurut Watcha dkk untuk

menilai skala delirium pada pasien anak paska anestesi umum. Penilaian

dilakukan di PACU oleh seorang penilai independen dalam hal ini oleh

residen anestesi yang bertugas di PACU. Penilaian dilakukan pada saat

pasien masuk PACU, 5 menit setelahnya (P5), 10 menit setelah di PACU,

15 menit setelah di PACU, dan kemudian tiap 15 menit sampai waktu 1

jam. Dari hasil penelitian terhadap 2 kelompok sampel penelitian

54

ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok D dan

kelompok S (P<0,05). Hal ini membuktikan bahwa Dexmedetomidine

dosis 0,2 ug/kgBB dapat menurunkan insiden dari delirium saat pulih

sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik, hal ini disebabkan

karena Dexmedetomidine mempunyai beberapa efek yaitu efek terhadap

aktivasi α2 adrenergik di dorsal horn dan spinal cord yang dapat

menghambat pelepasan substansi P dan akan mengurangi nyeri, selain

itu dexmedetomidine juga mempunyai efek sentral berupa aktivasi pusat

vasomotor medula yang akan menurunkan katekolamin sehingga akan

dapat mencegah peningkatan katekolamin akibat gas anestesi inhalasi,

pembedahan, dan proses ekstubasi. Selain itu Dexmedetomidine

mempunyai efek defosforilasi ion chanel yang akan menurunkan aktivitas

neuronal yang akan menyebabkan sedasi dan anxiolitik, juga dapat

menstimulasi parasimpatis dan inhibisi simpatis di batang otak akan juga

dapat menyebabkan sedasi dan anxiolitik. Efek dari Dexmedetomidine

inilah yang merupakan salah satu penyebab waktu ekstubasi dan waktu

pulih sadar dari anestesi umum pada kelompok D menjadi lebih lama

namun tidak bermakna secara statistik yaitu waktu ekstubasi (p 0,559)

dan waktu pulih sadar (p 0,062). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Gueller dan kawan kawan (2005).9 Namun berbeda dengan

yang ditemukan oleh Ibacache ME (2004) dimana dia melakukan

penelitian dengan menggunakan Dexmedetomidine 0,3 ug/kgBB dosis

tunggal sesaat setelah induksi dan tidak mendapatkan adanya

55

pemanjangan waktu ekstubasi maupun pulih sadar.10 Hal ini

kemungkinan diisebabkan karena adanya perbedaan waktu penyuntikan

dexmedetomidine, dimana peneliti menyuntikkan Dexmedetomidine

sebelum ekstubasi, sementara Ibacache menyuntikkan Dexmedetomidine

sesaat setelah induksi anestesi.

Ada beberapa kelemahan dari penelitian ini antara lain:

1. Kami tidak bisa menyeragamkan jenis operasi sampel penelitian

dikarenakan kurangnya kasus operasi pada pasien pediatrik di

rumah sakit kami.

2. Pada penelitian ini kami tidak bisa menghadirkan orang tua di

PACU untuk menilai pengaruh kehadiran orang tua terhadap

insiden delirium pada sampel penelitian kami.

3. Penelitian ini menggunakan agen dexmedetomidine yang dari

segi biaya cukup mahal.

56

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Insiden kejadian delirium pada saat pulih sadar dari anestesi umum

pada pasien pediatrik lebih rendah pada kelompok Dexmedetomidine

0,2 ug/kgBB intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi dibandingkan

dengan kelompok normal saline 0,9%.

2. Waktu ekstubasi dan waktu pulih sadar dari anestesi umum pada

pasien pediatrik pada kelompok Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB lebih

lama secara klinis namun tidak bermakna secara statistik.

3. Tidak ditemukan adanya efek samping berupa hipotensi dan

bradikardi dengan pemberian Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB

intravena dosis tunggal.

B. Saran

1. Dexmedetomidine 0,2 ug/kgBB dapat diaplikasikan secara klinis untuk

menurunkan insiden delirium saat pulih sadar dari anestesi umum

pada pasien pediatrik.

57

2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan

penelitian lain yang berhubungan dengan delirium saat pulih sadar

dari anestesi umum.

58

DAFTAR PUSTAKA

1. Lewis TV, Malviya S. A prospective cohort study of emergence

agitation in the pediatric postanesthesia care unit. Anesth Analg 2003;96:1625-30.

2. Mason LJ. Emergece delirium. In: Pitfalls of pediatric anesthesia, New York: Loma Linda University Publisher;2010.p.150-5.

3. Braz GL, Muniz LD, Modolo SN. Emergence agitation in pediatric

anesthesia: current features. J pediatr (Rio J) 2008;84(2):107-113.

4. Nasr VG, Hannallah RS. Emergence agitation in children: a review. M.E. J. Anesth 2011;21(2):175-9.

5. Mountain BW, Smithson L, Cramolini M, Wyatt TH, Newman M. Dexmedetomidine as a pediatric anesthetic premedication to reduce anxiety and to deter emergence delirium. AANA J 2011;79(3):219-23.

6. Meng QT, Xia ZY, Luo T, Wu Y, Tang LH, Zhao B, Chen JH, Chen X. Dexmedetomidine reduce emergence agitation after tonsillectomy in children by sevofluran anesthesia: a case-control study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2012;28(3);1-6.

7. Syukry M, Clyde MC, Kalarickal PL, Ramadyani U. Does dexmedetomidine prevent emergence delirium in children after sevofluran-based general anesthesia?. Pediatr Anest J 2005;15(12):1098-104.

8. Syukry M, Cain JG. Dexmedetomidine prevents and treats agitation, delirium, and withdrawl. Int J Trauma 2007;17(1):24-6.

9. Guler G, Akin A, Tosun Z, Ors S, Esmaoglu A, Boyaci A. Single-dose dexmedetomidine reduces agitation and provides smooth extubation after pediatric adenotonsillectomy. Pediatric Anesthesia 2005;15:762-6

10. Ibacache ME, Munoz HR, Brandez V, Morales AR. Single dose

dexmedetomidine reduce agitation after sevofluran anesthesia in children. Anesth Analg 2004;98(1):60-63.

11. Isik B, Arslan B, Tunga AD, Kurtipek O, Dexmedetomidine decrease

emergence agitation in pediatric patients after sevofluran anesthesia without surgery. Pediatr anesth 2006;16(7):748-53.

65

59

12. Pieters BJ, Penn E, Nicklaus P, Bruegger D, Mehta B, Wheaterly R. Emergence delirium and postoperative pain in children undergoing adenotonsillectomy: a comparison of propofol vs sevofluran anesthesia. Pediatr Anesth J 2010;10(3):1-7.

13. Shari M, Burns, RN. Delirium during emergence from anesthesia: a case study. J Crit Care Nurs 2003;23(1):102-10.

14. Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General anesthesia, sleep, and coma. N Engl J Med 2010;36(3):27-30.

15. Tobias JD. Dexmedetomidine: Applications in pediatric critical care and pediatric anesthesiology. Pediatr Crit Care Med 2007;8:115-131.

16. Maldonado JR. Delirium in the acute care setting characteristics, diagnosis, and treatment. J Crit Care Clin 2008;24:657-722.

17. Kim JH. Mechanism of emergence agitation induced by sevoflurane anesthesia. Korean J Anesth 2011;60(2):73-4.

18. Weldon BC, Watcha MF, White PF. Oral midazolam in children: effect of time and adjunctive theraphy. Anesth Analg 1992;75(5)51-55.

19. Easley B, Tobias JD. Pro: Dexmedetomidine should be used for infants

and children undergoing cardiac surgery. J Cardiothorasic Anesth 2008;22(1):147-51.

20. McClain BC. Newer modalities for pain managements. Presented at SPA Annual Meeting. 2006: 1-6.

21. Schieveld JNM. Paediatric delirium: where do we go from here?. an update on key issues and research questions. Neth J Crit Care 2010; 14(5):330-34.

22. Panzer O, Moitra V, Sladen R. Pharmacology of sedative-analgesic: dexmedetomidine, remifentanil, ketamin, volatile anesthetics, and the role of peripheral mu antagonists. J Anesth Clinics 2011;29(4):250-65.

23. Aarts A, Hagen VV, Russchen H. Does pharmacologic treatment prevent children from emergence agitation after sevofluran anesthesia? a systematic review. Eras J Med 2012;2(2):24-8.

24. Malviya S. Assessment of pain in children. Presennted at SPA annual meeting. 2006: 3-6.

66

60

25. Meyer RR, Munster P, Werner C, Barmbrink AM. Isofluran is associated with a similar incidence of agitation/delirium as sevofluran in young children: a randomised controlled study. Pediatr Anesth 2007;17(1):56-60.

26. Samira A, Bajwa FR, Fanzcha DC, Allan M. A Comparison of

emergence delirium scales following general anesthesia in children. Pediatr Anaesth J 2010;20(8):704-11

27. Dahlan MS. Menentukan besaran sampel dalam langkah-langkah membuat proposal penelitian bidang kedokteran dan kesehatan. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto;2012.p.79-85.

67