efektifitas pengawasan hakim konstitusi oleh dewan …
TRANSCRIPT
EFEKTIFITAS PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI OLEH DEWAN ETIK DAN
MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Skripsi
DiajukanUntukMemenuhi Salah Satu syaratanMemperolehGelarSarjanaHukum (S.H)
Oleh:
Rabiatul Adabia Zahra
NIM: 11140480000083
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
RABIATUL ADABIA ZAHRA. NIM 11140480000083. EFEKTIFITAS
PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI OLEH DEWAN ETIK DAN MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bentuk pengawasan yang dilakukan
oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan juga untuk
mengetahui bagaimana efektifitas pelakasaan peran Dewan Etik Hakim Konstitusi
dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam pengawasan hakim konstitusi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan Statute
approach yang mana melakukan pengkajian mendasarkan pendekatan aspek-aspek:
implementasi ketentuan hukum normatif atau Undang-undang serta efektifitas dari
implementasi pengawasan hakim konstitusi yang berhubungan dengan tema sentral
skripsi ini dan buku-buku juga jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pengawasan internal yang dilakukan oleh
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi efektif, karena tidak
memenuhi kriteria teori Mas Ahcmad Santosa tentang lemahnya sebuah pengawasan
internal, namun bentuk atau fungsi pengawasan yang dilakukan Dewan Etik pasif
hanya sebatas uraian mengenai tugas dan wewenangnya saja. Dewan Etik tidak
menyebutkan secara spesifik bentuk pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, bentuk
pengawasannya hanya tersirat sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) huruf a
PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak ada
kejelasan bagaimana tatacara Dewan Etik melakukan pengawasan terhadap hakim
konstitusi jika tidak ada laporan terhadap masuk ke Dewan Etik.Selama ini
pengawasan internal hanya berfokus pada penanganannya saja.
Kata Kunci : Efektifitas, Pengawasan, Hakim Mahkamah Konstitusi,
Dewan Etik, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1980 sampai dengan 2016
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhamad Shallallahu
‘alaihi Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa.atnya di akhirat kelak.
Amin.
Skipsi ini disususn untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Hukum (S.H) pada Konsentrasi Kelembagaan Negara, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya peneliti mengucapkan terimakasih kepada
para pihak baik secara langsung maupun tidak lamgsung yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan dengan tulus dan
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Tamrin, S.H. M. Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan
penyelesaian skripsi
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H, Dosen Pembimbing, yang dengan
arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Kepala Perpuastakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengizinkan
vii
saya untuk mencari dan meminjam buku-buku refrensi dan sumber-sumber data
lainnya yang diperlukan
6. Pihakpihak lain yang telah memberi kontribusi kepada penulis dalam
penyelesaikan karya tulis ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan
studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. Memberikan pahala dan
balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti berharap
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para pembaca
umumnya. Amiin
Jakarta, Agustus 2018
Penulis,
Rabiatul Adabia Zahra
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………....i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………............ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI…………………………..iii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………….iv
ABSTRAK……………………………………………………………………v
KATA PENGANTAR……………………………………………………….vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………….1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah…………….4
C. Tujuan penelitian………………………………………………………6
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………..6
E. Kerangka Teori dan Konseptual……………………………………….6
F. Metode Penelitian……………………………………………………...9
G. Sistematika Penulisan………………………………………………….12
BAB II: TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI DAN
PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi di Indonesia……………………………………14
B. Sistem Pengawasan …………………………………………………...18
C. Konsep Pengawasan Hakim Konstitusi ……………………………….20
D. Teori Hukum ………………………………………………………….23
E. Tinjauan (Review) Terdahulu…………………………………………30
ix
BAB III: GAMBARAN UMUM LEMBAGA PENGAWAS HAKIM
KONSTITUSI
A. Profil Lembaga Pengawas Hakim Konstitusi…………………….32
B. Mekanisme Kinerja Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi…………………………………………………………38
BAB IV: BENTUK DAN EFEKTIFITAS DEWAN ETIK DAN MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Bentuk Pengawasan Hakim Konstitusi di Indonesia………….......52
B. Efektifitas Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi……………………….54
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………….61
B. Saran………………………………………………………………62
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...63-66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Awal gerakan reformasi, gemuruh suara untuk memberantas segala
bentuk penyelewengan, ternyata tidak disertai dengan langkah konkrit oleh
pemerintah dan aparat penegak hukum. Terjadinya campur tangan kekuasaan
dalam proses peradilan yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap institusi penegak hukum. Disadari bahwa untuk menciptakan
pemerintahan demokratis yang konstitusional, diperlukan adanya lembaga
Negara yang bertugas dan mempunyai kewenangan untuk melakukan control
yudisial. Kebutuhan lembaga yang dimaksud adalah Mahkamah konstitusi.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan, sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung.1
Rancangan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
oleh PAH 1 BP MPR muncul gagasan pembentukan Mahkaham Konstitusi
sebagai lembaga Negara dalam cabang kekuasaan yudikatif yang diatur dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar lebih kuat kedudukan dan
keberadaannya. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksud untuk
memperkuat pengawalan terhadap perkembangan demokrasi sehingga
diharapkan masa transisi dapat dilalui dengan lancar dan tercapai kehidupan
nasional baru yang demokratis dan terwujudnya supremasi hukum.
Pengaturan mengenai MK dalam UUD NRI 1945 terjadi melalui Perubahan
Ketiga (2001) dan Keempat (2002) UUD NRI tahun 1945. Pengaturan tentang
MK tercantum dalam pasal 24C UUD NRI tahun 1945. Pasca amandemen
inilah merupakan tonggak konstitusional bagi kemerdekaan kekuasaan
1 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Gramata Publishing, Bekasi, 2016, h. 119
2
kehakiman, pengertian tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat pasal
24 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 setalah amandemen ketiga tahun 2001,
berbunyi “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” hal ini
menjadikan MK sebagai lembaga tertinggi dalam kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka adalah komitmen dasar yang
dituangkan di dalam UUD NRI tahun 1945.2 Komitmen tersebut sebagai
bentuk perwujudan konsekuensi Negara hukum Indonesia. Kelahiran
Mahamah Konstitusi merupakan perwujudan atau realisasi dianutnya paham
Negara hukum sebagaimana termaksud dalam UUD NRI tahun 1945. Karena
itu, harus senantiasa memperhatikan, menghormati, menjaga, dan memelihara
UUD NRI tahun1945 sebagai sebuah Negara yang menganut paham
konstitusionalitas. Sejalan dengan MK sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman tertinggi tidak menutup kemungkinan terjadi masalah saat
menjalankan tugas dan kewenangannya.
Hakim konstitusi merupakan salah satu unsur pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan. Hakim sendiri memiliki prinsip-prinsip
pokok disamping prinsip lainnya, yaitu prinsip independensi dan prinsip
ketidakperpihakan. Prinsip indenpedensi adalah hakim merupakan jaminan
bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita
Negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin
dalalm proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara.
Sedangkan prinsip ketidak berpihakan adalah prinsip yang melekat alam
hakikat fungsi hakim, mencakup sikap netral, menjaga yang sama dengan
semua pihak yang terkait, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana
pun, disertai penghayatan yang mendalam mengenai keseimbangan antar
2 Patrialis Akbar, lembaga-lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar grafika, Jakarta,
2013. H. 177
3
kepentingan yang terkait dengan perkara. Sama seperti prinsip independensi,
prinsip ketidaberpihakan harus senantiasa melekat dan tercermin dalam setiap
tahapan proses berperkara sehingga keputusannya dapat benar-benar diterima
sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang berperkara maupun
masyarakat luas pada umumnya.3
Masalah yang terjadi berupa faktor internal dan exsternal. Faktor
internal yang mempengaruhi kemandirian atau kemerdekaan hakim dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berawal dari dalam diri hakim itu
sendiri. Dalam faktor internal ini, sumber manusialah yang paling
menentukan, dimulai dari rekuitmen hakim untuk menjadi hakim, pendidikan
hakim, dan kesejahteraan hakim. Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi terhadap proses penyelenggaraan peradilan yang merdeka,
berawal dari luar diri para hakim itu sendiri. Hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.4
Sejak diucapkannya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 pada
tanggal 23 Agustus 2006 dalam sidang terbuka untuk umum, hakim konstitusi
tidak memiliki pengawas yang bersifat eksternal, dan hanya diawasi oleh
pengawas internal yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (5) UU Nomor 24
Tahun 2003.5 Dari penjabaran tentang masalah-masalah yang terjadi, terutama
masalah atau faktor internal, melalui PMK Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Dewan Etik Hakim Konstitusi, Mahkamah menginisiasi terbentuknya Dewan
Etik Hakim Konstitusi yang merupakan perangkat Mahkamah untuk menjaga
3 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 316
4 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandeman Konstitusi. Kencana Perdana Media,
Jakarta, 2012, h. 312
5 Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi”.
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016, 722.
4
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta kode etik dan
pedoman perilaku hakim konstitusi yang bersifat tetap.6
Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran
martabat dan perilaku hakim konstitusi, serta kode etik dan pedoman perilaku
hakim konstitusi. Dewan Etik Hakim Konstitusi memberikan teguran kepada
hakim yang di duga melakukan pelanggaran, atas usul Dewan Etik Hakim
Konstitusi di bentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi untuk memeriksa
dan mengambil keputusan terhadap hakim terlapor atau yang di duga
melakukan pelanggaran etik yang cukup berat. Menurut peraturan MK nomor
2 tahun 2014 Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi adalah salah satu
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, dan kode etik hakim konstitusi
terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan
oleh hakim terlapor atau terduga yang disampaikan oleh dewan etik.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dalam skripsi yang berjudul: EFEKTIFITAS PENGAWASAN HAKIM
KONSTITUSI OLEH DEWAN ETIK DAN MAJELIS KEHORMATAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
B. Identifikasi, Batasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya,
maka identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Gagasan pembentukan Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawas internal Hakim
Konstitusi
6 Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi”.
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016, 723.
5
b. Sejumlah hakim melakukan pelanggaran penyalahgunaan wewenang
sebagai Hakim Konstitusi
c. Perbedaan pandangan antara Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam pengawasan Hakim
Konstitusi
d. Tumpang tindih pelaksanaan tugas pengawasan Dewan Etik Hakim
Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
e. Pelakasaan tugas Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dalam menindak pelanggaran yang
dilakukan oleh hakim konstitusi
2. Batasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah di atas, maka penelitian hanya
akan terfokus pada Bentuk Pengawasan dan Efektifitas Pengawasan Hakim
Konstitusi oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas maka peneliti merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana bentuk pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan Etik
dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi?
b. Bagaimana efektifitas pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan Etik
Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan Etik
dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
6
2. Untuk mengetahui efektifitas pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan
Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Secara teoritis, penelitian ini memberikan tambahan dokumentasi dari segi
ilmu hukum dalam rangka membahas efektifitas pengawasan hakim
konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi
2. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum
tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam menganalisis tentang
pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi
3. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar
Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum konsenterasi Hukum
Kelembagaan Negara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Kerangka Teori dan konseptual
1. Kerangka Teroritis
Sebuah penelitian hal, yang sangat penting karena memuat teori-teori
yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti, kemudian
kerangka teori ini lah yang menjadi landasan teori atau dasar pemikiran
dalam penelitian yang dilakukan7. Kerangka teori dalam penulisan karya
ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b)
asas-asas hukum, (c) doktrin hukum, dan (d) ulasan pakar hukum
7 H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1995. h. 39-40
7
berdasarkan pembidangan kekhususannya8. Dalam penelitian ini teori yang
akan dijadikan landasan oleh peneliti adalah teori efektivitas hukum, sebagai
berikut:
1. Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek
keberhasilan atau kemanjuran, dalam keefektifan hukum tentu tidak
terlepas dari penganalisisan terhadap krakteristik 2 (dua) variabel terkait9.
Menurut seorjono seokanto taraf kepatuhan yang tinggi adalah indikator
suatu berfungsinya suatu sistem hukum dan berfungsinya hukum
merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu
berusaha mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaualan
hidup10
.
2. Teori Pengawasan
Lembaga Administrasi Negara mengungkapkan bahwa
pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang
merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan
menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas organisasi akan dan
telah terlaksana dengan baik sesuai rencana, kebijakan, instruksi, dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Hakikat
pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan,
dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta
pelaksanaan tugas organisasi.
8 Zainudi Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2010
9 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, Cet. 3, 2013, h.
67 10
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peran Saksi, Remaja Karya, Bandung, 1985, h.
7
8
3. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah
yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah11
. Beberapa istilah-
islital yang digunakan di skripsi ini perlu dijabarkan pengertiannya sebagai
berikut:
a. Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan
menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau
pekerjaan, apakah sudah semestinya atau tidak12
b. Hakim adalah Pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang.
c. Hakim konstitusi menurut PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis
kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah seseorang yang memangku
jabatan hakim pada Mahkamah Konstitusi yang bertugas memeriksa
mengadili dan memutus perkara yang menjadi kewenangan dan
kewajiban mahkamah konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Mahkamah konstitusi menurut pasal 1 UU No. 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
e. Kode etik hakim konstitusi adalah norma moral yang harus dipedomani
oleh setiap hakim konstitusi.
f. Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi adalah panduan moral dan etik
bagi setiap Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya maupun dalam pergaulan di masyarakat sebgaimana
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-press, Jakarta, cet. 3, 2014, h. 132
12
Sujanto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 53
9
dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006
tentang Pemberlakukan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.
g. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut majelis
kehormatan menurut PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis
kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakan kehormatan,
keluhuran martabat, dank ode etik hakim konstitusi terkait dengan
laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim
terlapor atau hakim terduga yang disampaikan oleh dewan etik.
h. Dewan Etik Hakim Konstitusi menurut PMK No. 2 Tahun 2014 tentang
Majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang
dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluruhan, martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki di dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti dapat menemukan
informasi dari beberapa aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pendekatan yang digunakan yaitu: Pendekatan Undang-undang
(Statute approach), Pendekatan Kasus (case approach), Pendekatan Historis
(historical approach), Pendekatan Komparatif / Perbandingan (comparative
approach), Pendekatan Konseptual (conceptual approach).
Pada skripsi ini penulis menggunakan pendekatan Statute approach
atau pendekatan undang-undang, karena isi dari skripsi ini adalah untuk
mengetahui bentuk serta efektifitas pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan
10
Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, pendekatan Statute
approach peneliti perlu memahami hirarki dan asas dalam peraturan
perundang-undangan. Menurut pasal 1 angka 2 UU no. 10 tahun 2004,
peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang tertulis yang dibentuk
oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum. Dari pengertian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi. Jika demikian,
pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi.13
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
dimati.
3. Bahan Hukum
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang
diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap
berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau
materi penelitian yang memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan
hukum primer14
. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada
tiga jenis, antara lain:
b. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 119
14
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan
Empiris, Pustak Pelajar, Jakarta,2010, h. 156.
11
mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat15
. Bahan hukum
yang digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
2) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2014
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2013
tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi
c. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh
dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel16
yang berkaitan
dengan penelitian ini, yang memberikan penjelasan mendalam
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku,
skripsi, tesis, dan disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di
internet untuk memperkaya sumber data dalam penulisan
penelitian ini.
d. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia
dan lain-lain.
4. Metode Analisis Bahan Hukum
Adapaun metode analisis bahan hukum yang penulis pakai pada
skripsi ini adalah metode normatf – yuridis dilakukan berdasarkan
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-press, Jakarta, cet. 3, 2014, h.52
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-press, Jakarta, cet. 3, 2014, h.52
12
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep,
asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Metode ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,
peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penelitian ini. baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan
5. Pedoman Penulisan
Teknik pedoman penulisan yang digunakan penulis dalam skripsi
ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan
cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-
masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
BAB I: Bab I merupakan Pendahuluan yang memuat latar belakang,
identifikasi masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka
dan sistematika penelitian.
BAB II: Bab II berisis mengenai Landasan Teoritis terkait dengan judul
yang diambil, tinjauan umum tentang Tinjauan umum
Mahkamah Konstitusi dan Pengawasan Hakim Konstitusi
13
serta kajian (review) studi terdahulu terkait dengan penelitian
ini.
BABIII: Bab III membahasa secara lebih mendalam dan spesifik
tentang Gambaran Umum Lembaga Pengawas Hakim
Konstitusi.
BAB IV: Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang
disertai dengan uraian mengenai hasil penelitian yang
merupakan paparan uraian atas permasalahan yang ada bab ini
membahas Bentuk dan Efektifitas Lembaga Pengawas
Hakim Konstitusi.
BAB V: Bab V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan atau
jawaban atas permasalahan yang ada disertai dengan
rekomendasi.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGAWASAN
HAKIM KONSTITUSI
A. Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Di Indonesia perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan warna baru dalam sistem
ketatanegaraan. Salah satu perubahan mendasar dalam UUD NRI tahun 1945
adalah perubahan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan
ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilakukan menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar1. Selain itu perubahan UUD NRI tahun
1945 melahirkan gagasan suatu lembaga yang berfungsi sebagai pengawal dan
penafsir konstitusi yaitu Mahkamah konstitusi pada pembahasan amandemen
ke-3 UUD NRI tahun 1945. Menurut Jimly Asshiddiqie, gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi oleh suatu Negara umumnya
dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman krisis konstitusional dan baru keluar
dari sistem pemerintahan yang otoriter2. Krisis konsitusional biasanya
menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dan dalam proses perubahan
itulah Mahkamah Konstitusi dibentuk3.
Konstitusi berasal dari bahasa prancis (constiture) yang berarti
membentuk. Pemakaian istilh konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan
1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, h. 318.
2 Acmad Surkarti,”Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusional Ditinjau dari
Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman,
dan Thailand)”, Jurnal Equality, Vol. 11 No. 1, (Februari, 2006), h. 59.
3 Bachtiar, Problema Implementasi Putusan Mahkamah Konstutusi Pada Pengujian UU
Terhadap UUD, Penebar Swadaya Grup, Jakarta, 2015, h. 75
15
suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara4, istilah konstitusi
pada umumnya dipergunakan untuk menunjukan kepada seluruh peraturan
mengenai ketatanegaraan suatu Negara yang secara keseluruhan akan
menggambarkan sistem ketatanegaraan5. Sejarah berdirinya lembaga
Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK
(Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Perubahan Ketiga yang
disahkan pada 9 Nopember 2001.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III
Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat DPR dan Pemerintah
kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah
menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk
pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para
hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran
perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada
tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
4 Wiyono Prodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta,
1989, h. 10
5 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, Fajar
Media, Bandung, 2013, h. 207
16
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 19456.
Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dalam pasal 24 ayat 1 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan salah satunya oleh mahkamah konstitusi. Berdasarkan hal tersebut
mahkamah konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
tertinggi, karena konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi
tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi juga untuk
mewujudkan tujuan tertinggi seperi keadilan, ketertiban, dan nilai-nilai ideal
seperti kemerdekaan atau kebebasan dan kesejahteraan atau kemakmuran
bersama, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri Negara7.
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga peradilan dan cabang yudikatif
mengadili sebuah perkara tertentu maka ada beberapa wewenang dan tugas
mahkamah konstitusi yang harus dijalankan sesuai aturan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Secara konseptual, gagasan pembentukan
Mahkamah Konstitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Mengadili tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final dalam hal menguji undang-undang terhadap
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kewenangan lain yang
dimilikinya8. Indonesia sebagai Negara hukum memerlukan mahkamah
6 Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi, Diakses Dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 (Pada Tanggal 12 April
pukul 21.46_
7 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, h. 10
8 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, h. 263.
17
sebagai benteng yang senantiasa menjaga prinsip-prinsip konstitusionalitas9,
Indonesia sendiri merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah
Konstitusi, pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena negara
modern abad ke-2010
. Kewenangan Makamah Konstitusi dalam hal mengadili
putusannya bersifat final pada tingkat pertama dan terakhir, menguji undang-
undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, memutuskan sengketa kewenangan
antar lembaga yang kewenangannya diberikan atau diatur oleh UUD NRI
Tahun 1945, membubarkan partai politik dan memutuskan perselisihan. Pada
prinsipnya tujuan konsitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan
pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat11
.
Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi
kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen baik secara struktural
maupun fungsional untuk mendukung indenpendensinya, Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya juga tidak tidak
menutup kemungkinan terjadi masalah atau penyalah gunaan wewenangnya.
Salah satu alat kelengkapan Mahkamah Konstitusi yang berperan penting
dalam menjalankan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
Hakim konstitusi, maka dari itu guna menegakan hukum dan keadilan,
Mahkamah Konstitusi juga perlu membentuk pengawasan terhadap Hakim
Konstitusi agar terjaganya kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku
Hakim Konstitusi itu sendiri sebagai salah satu penyelenggara peradilan
tertinggi di Negara ini.
9 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Gramata publishing, Bekasi, 2016, h. 124
10
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, h. 5.
11
Koerniatmanto Soeprawiro, konstitusi: pengertian dan perkembangannya, pro justitia, no. 2
tahun tahun V, mei 1987. h. 23
18
B. Sistem Pengawasan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia pengawasan berasal dari kata
„awas‟ yang berarti „penjagaan‟. Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar
manajemen yang dalam bahasa inggris disebut controlling, menurut Sujanto
fungsi controlling itu mempunyai dua pandangan yaitu pengawasan dan
pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk
mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan
tugas atau pekerjaan, apakah sudah semestinya atau tidak. Sedangkan
pengendalian pengertiannya lebih forceful dari pada pengawasan yaitu sebagai
suatu usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan
tugas atau pekerjaan berjalan dengan semestinya12
.
Dalam konteks hukum, pengawasan disini berbeda dengan
pengawasan dalam prespektif administrasi dan manajemen. Didalam
prespektif hukum pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun termasuk pejabat
Negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain
untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah kekuasaan absolut,
keseweangan dan penyalahgunaan wewenang13
. Pengawasan juga bertujuan
untuk mengetahui apakah pelaksanaan sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang
dijumpai pelaksana agar kemudian diambil langkah perbaikan14
. Menurut
Prayudi, ada beberapa asas untuk tercapainya pelaksanaan pengawasan antara
lain:
12
Sujanto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 53
13
Yohanes Usfunan, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial,
Jakarta, h. 207
14
Y.W, Sumandhia, Praktek Penyelenggara Pemerintah di Daerah, Rineka Cipta, Jakarta,
1996, h. 103
19
1. Asas tercapainya tujuan, ditujukan ke arah tercapainya tujuan yaitu
dengan mengadakan perbaikan untuk menghindari penyimpangan-
penyimpangan atau deviasi perencanaan.
2. Asas efisiensi, yaitu sedapat mungkin menghindari deviasi dari
perencanaan sehingga tidak menimbulkan hal-hal lain diluar dugaan.
3. Asas tanggung jawab, asas ini dapat dilaksanakan apabila pelaksana
bertanggung jawab penuh terhadap pelaksana perencanaan.
4. Asas pengawasan terhadap masa depan, maksud dari asas ini adalah
pencegahan penyimpangan perencanaan yang akan terjadi baik di
waktu sekarang maupun di masa yang akan datang.
5. Asas langsung, adalah mengusahakan agar pelaksana juga melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan.
6. Asas refleksi perencanaan, bahwa harus mencerminkan karakter dan
susunan perencanaan.
7. Asas penyesuaian dengan organisasi, bahwa pengawasan dilakukan
sesuai dengan struktur organisasi dan kewenangan masing-masing.
8. Asas individual, bahwa pengawasan harus sesuai kebutuhan dan
ditujukan sesuai dengan tingkat dan tugas pelaksana.
9. Asas standar, bahwa pengawasan yang efektif dan efisien memerlukan
standar yang tepat, yang akan digunakan sebagai tolak ukur
pelaksanaan dan tujuan.
10. Asas pengawasan terhadap strategis, bahwa pengawasan yang efektif
dan efisien memerlukan adanya perhatian yang ditujukan terhadap
faktor-faktor yang strategis.
11. Asas kekecualiaan, bahwa efisiensi dalam pengawasan membutuhkan
perhatian yang di tujukan terhadap faktor kekecualian yang dapat
terjadi dalam keadaan tertentu, ketika situasi berubah atau tidak sama.
12. Asas pengendalian fleksibel bahwa pengawasan harus untuk
menghindarkan kegagalan pelaksanaan perencanaan.
20
13. Asas peninjauan kembali, bahwa pengawasan harus selalu ditinjau,
agar sistim yang digunakan berguna untuk mencapai tujuan.
14. Asas tindakan, bahwa pengawasan dapat dilakukan apabila ada
ukuran-ukuran untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan
rencana, organisasi dan pelaksanaan15
.
Pengawasan kelembagaan yang dikontrol dan melaksanakan kontrol
tersebut bisa diklarifikasikan dalam 2 segi, yaitu kontrol intern dan kontrol
ekstern. Kontrol intern adalah pengawasan yangdilakukan oleh
badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi dalam
lingkup pemerintahan, sedangkan kontrol ekstern adalah pengawasan
yangdilakukan oleh badan/organ yang secara struktur organisasi berada di
luar pemerintah dalam arti ekskutif. Pengawasan menurut sifatnya
dibedakan menjadi 2 yaitu, pengawasan preventif dimana pengawasan
yang sifatnya dalam rangka mecegah penyimpangan, dan pengawasan
respresif merupakan kelanjutan dari mata rantai pengawasa preventif yang
sifatnya mengoreksi atau memulihkan tindakan-tindakan yang keliru16
.
Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan, agar diperoleh umpan
balik (feed back) untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat kekeliruan
atau penyimpangan sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki.
C. Konsep Pengawasan Hakim Konstitusi
Hakim Konstitusi merupakan salah satu organ penting dalam
pelaksanaan peradilan di Mahkamah Konstitusi. Pengertian hakim konstitusi
itu sendiri adalah salah satu unsur pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
dalam wilayah peradilan konstitusi. Sebagai salah satu unsur pelaku
15
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981 , h. 86-87
16
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, PT. Grasindo, Jakarta, 2006, h. 133
21
kekuasaan yang merdeka Hakim Konstitusi perlu suatu konsep pengawasan
agar tugas dan kewenangannya berjalan sesuai dengan peraturan yang ada dan
untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
konstitusi itu sendiri. Hakim sendiri memiliki prinsip-prinsip pokok, yaitu
prinsip independensi dan prinsip ketidakperpihakan. Prinsip indenpedensi
adalah hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan
prasyarat bagi terwujudnya cita-cita Negara hukum, sedangkan prinsip ketidak
berpihakan adalah prinsip yang melekat alam hakikat fungsi hakim, mencakup
sikap netral, menjaga yang sama dengan semua pihak yang terkait, dan tidak
mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang
mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan
perkara17
Pada awal pembentukan Mahkamah Konstitusi pengawasan hakim
konstitusi berada dalam kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga
pengawasan external mulai dari hakim dibawah Mahkamah Agung, Hakim
Agung, hingga Hakim Mahkmakah Konstitusi, hal ini tertulis pada pasal 24B
ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi :
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku
hakim”
Selain Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi juga memiliki
pengawasan internal yaitu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau
yang biasa disingkat MKMK. Namun, kewenangan Komisi Yudisial dalam
pengawasan hakim konstitusi berkurang sejak diucapkannya Putusan MK
Nomor 005/PUU-IV/2006 judicial review undang-undang nomor 22 tahun
2004 tentang Komisi Yudisial pada tanggal 23 Agustus 2006 dalam sidang
terbuka untuk umum, yang diusulkan oleh 31 orang hakim agung. Dalam
17
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h.
316
22
amar putusan tersebut menyatakan beberapa hal. Permohonan para pemohon
menyangkut perluasan pengertian hakim menurut pasal 24B ayat (1) UUD
1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentang dengan UUD 1945. Dengan
demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang
perilaku etiknya diawasi oleh KY. Pertama, pengawasan KY terhadap hakim
konstitusi akan mengganggu dan memandulkan MK sebagai lembaga pemutus
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Kedua, permohonan
para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tidak cukup beralasan. Maka dari itu, permohonan para pemohon
menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk
mengabulkannnya. MK tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapusnya
pengawasan KY terhadap hakim agung. Ketiga, menyangkut fungsi
pengawasan, MK berpendapat bahwa segala ketentuan dalam UUKY yang
menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempuntai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan
ketidak pastian hukum.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 secara
subtansial membatalkan beberapa pasal antara lain pasal 1 angka 5, pasal 20,
pasal 21, pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, serta pasal 34
ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 20054 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai ketuatan
hukum mengikat, pembatalan terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman ini, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum
yang berfungsi sebagai dasar pijakan lembaga pengawasan hakim konstitusi
untuk melaksanakan pengawasan, sehingga diperlukan secepatnya
pembentukan terhadap aturan hukum yang berkaitan dengan fungsi
23
pengawasan terhadap hakim konstitusi18
. Kekosongan hukum tersebut,
Mahkamah Konstitusi hanya memiliki pengawas internal yaitu Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang dalam
mengawasi hakim konstitusi, namum kini Mahkamah Konstitusi mempunyai
lembaga pengawasan yang bersifat tetap yaitu Dewan Etik Mahkamah
Konstitusi lembaga ini juga sebagai penawas harian Hakim Konstitusi, untuk
lebih jelasnya peneliti akan menjabarkannya pada sub bab pengertian Dewan
etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi.
D. Teori Hukum
1. Teori Efektifitas Hukum
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Efektif artinya ada
efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), Manjur atau mujarab, dapat
membawa hasil, berhasil guna (tentang usaha guna, atau tindakan), mulai
berlaku (tentang undang-undang, peraturan), sedagkan kefektifan artinya
keadaan berpengaruh, hal berkesan, kemanjuran, kemujaraban, keberhasilan
(usaha, tindakan) dan mulai berlakunya (undang-undang-peraturan)19
. Berikut
pandangan Teori Efektifitas Hukum menurut beberapa Pakar Hukum:
a. Hans Kelsen
Hans Kelsen menyajikan definisi tentang efektivitas hukum, efektivitas
hukum adalah:
“apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk
menghindari sangsi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan
18
Titik Triwulan Tutuk, “Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Sistem Pengawasan Hakim
Menurut UUDRI 1945”, Jurnal Dinamika Hukum, vol. 12, no. 2, (mei, 2012), h. 298
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hal. 284
24
apakah sangsi tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi
atau tidak terpenuhi”. Konsep efektivitas dalam definisi Hans Kelsen
difokuskan pada subjek dan sanksi. Subjek yang melaksanakannya, yaitu
orang-orang atau badan hukum. Orang-orang tersebut harus melaksanakan
hukum sesuai dengan bunyi norma hukum. Bagi orang-orang yang dikenai
sanksi hukum, maka sanksi hukum benar-benar dilaksanakan atau tidak.
b. Anthony Allot
Anthony Allot juga mengemukakan tentang efektivitas hukum, bahwa:
“ hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya
dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat
menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat
membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan, jika suatu kegagalan,
maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi
keharusan untuk melaksakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru
yang berbeda, hukum akan menyelesaikannya”. Konsep Anthony Allot ini
difokuskan pada perwujudannya, hukum yang efektif secara umum dapat
membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Kedua pandangan diatas hanya menyajikan tentang
konsep efektivitas namun tidak mengkaji konsep teori efektivitas hukum.
Dengan melakukan sintesis terhadap dua pandangan tersebut maka dapat
dikemukakan konsep tentang teori efektivitas hukum. Teori Efektivitas
hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisisi tentang keberhasilan,
kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan
penerapan hukum. Ada tiga fokus dalam kajian teori ini, yang meliputi:
a. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum.
b. Kegagalan didalam melaksakannya, dan
25
c. Faktor-faktor yang mempengaruhinya20
Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan bahwa
dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum
apabila didukung oleh tiga pilar, yaitu:
a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan
b. Peraturan hukum yang jelas sistematis
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi21.
Faktor-faktor yang mengukur ketaatan terhadap hukum secara umum antara
lain:
a. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari
orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu
b. Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum.
c. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu
d. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka
seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat
mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih
mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan
(mandatur)
e. Sanksi yang diancam oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan
sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut
f. Berat ringannya sanksi yang diancam dalam aturan hukum harus
proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan
20
https://www.beritatransparansi.com/pengertian-teori-efektivitas-hukum/ (diakses pada 03
mei 2018 21.00)
21
Raida L Tobing, dkk, (Hasil Penelitian), Efektivitas Undang-Undang Monrey Loundering,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011, H. 11.
26
g. Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi
pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang
memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi,
memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya
memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan penghukuman)
h. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan,
relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang
bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang
menjadi target diberlakukannya aturan tersebut
i. Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan profesional tidak aparat penegak hukum
untuk menegakkan aturan hukum tersebut
j. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga
mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di
dalam masyarakat22.
Sedangkan jika direlevansikan dengan pembahasan skripsi ini, menurut mas
Menurut Mas Ahcmad Santosa ada beberapa faktor efektif atau tidaknya sebuah
pengawasan internal antara lain:
a. Kualitas dan integritas yang tidak memadai
b. Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan
c. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya
d. Semangat membela sesama korps
22
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009
H. 376
27
e. Tidak terpadat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan
Jadi, efektifitas mengandung arti keefektifan yaitu pengaruh efek
keberhasilan atau kemanjuran, dalam keefektifan hukum tentu tidak terlepas
dari penganalisisan terhadap krakteristik 2 (dua) variabel terkait. Untuk
mengetahui sejauh mana efektivitas suatu aturan hukum, maka kita harus
mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh sebagian orang-orang yang
menjadi latarbelakang terbentuknya peraturan itu sendiri23
. Maka dalam
penelitian ini penulis memakai teori efektifitas hukum yang untuk mengukur
bagaimana Dewan Etik dan Majleis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
melakukan pengawasan Hakim Konstitusi seperti apa yang dimaksud dalam
Undang-undang dan peraturan Mahkmah Konstitusi itu sendiri.
2. Teori Pengawasan
Lembaga Administrasi Negara mengungkapkan bahwa pengawasan
adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses
kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan
sasaran serta tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai
rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dan yang berlaku. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah
sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan,
hambatan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran
serta pelaksanaan tugas organisasi.24
23
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009,
Hal. 375
24
Titik Triwulan, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 449.
28
Menurut Manullang, pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan
pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu
dengan maksud agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.25
Menurut Nawawi (1993:6) fungsi pengawasan dapat dilakukan setiap saat, baik
selama proses manajemen/administrasi berlangsung, maupun setelah berakhir,
untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan suatu organisasi/unit kerja. Fungsi
pengawasan harus dilakukan terhadap perencanaan dan pelaksanaannya.26
Pengawasan dapat di klasifikasikan seperti berikut ini:27
a. Pengawasan dipandang dari “kelembagaan” yang di kontrol dan yang
melaksanakan kontrol dapat di klasifikasikan:
1. Kontrol intern (internal control), yaitu: Pengawasan yang dilakukan oleh
suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi
dalam lingkungan pemerintah.
2. Kontrol ekstern (external control), yaitu: Pengawasan yang dilakukan
oleh badan/organ yang secara struktur organisasi berada di luar
pemerintah dalam arti eksekutif.
b. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan pengawasan, meliput hal-hal
berikut:
1. Konrol a-priori
Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau
dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau
peraturan lainnya yang menjadi wewenang pemerintah. Kontrol ini
25
Titik Triwulan, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia, h. 450. 26
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Mandiri, Jakarta 2010, h. 140.
27
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Mandiri, Jakarta, 2010, h. 145.
29
mengandung unsur pengawasan preventif yaitu untuk mencegah atau
menghindarkan terjadinya kekeliruan.
2. Kontrol a-posteriori
Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau
ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Sifat
pengawasan ini represif yang bertujuan mengoreksi tindakan yang
keliru.
c. Pengawasan dipandang dari aspek yang diawasi, dapat diklasifikasikan atas:
1. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas)
Pengawasan dimaksudkan untuk menilai segi-segi hukumnya saja
(rechtmatigheid).
2. Pengawasan dari segi “kemanfaatan” (opportunitas)
Pengawasan dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya
(doelmatigheid). Kontrol internal secara hierarkhis oleh atasan adalah
jenis penilaian segi hukum (rechtmatigheid) dan sekaligus segi
(opportunitas).
d. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan dibedakan atas:
1. Pengawasan “negatif represif”.
Pengawasan yang dilakukan setelah suatu tindakan dilakukan.
2. Pengawasan “negatif preventif” atau positif.
Pengawasan yang dilakukan dengan cara badan pemerintah yang lebih
tinggi menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah yang lebih rendah.
30
E. Tinjauan (Review) Terdahulu
Untuk memperkuat refrensi penelitian ini penulis menampilkan judul studi
terdahulu yang berkaitan dengan skripsi yang penulis tulis:
1. Skripsi :
Sakti Lazuardi, Universitas Indonesia, 2011, judul skripsi
“Pengawasan Hakim Konstitusi Pasca Judicial Review Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Republik Indonesia dan
Kaitannya dengan Independendi Kekuasaan Kehakiman” dalam skripsinya
ini, Sakti Lazuardi menemukan bahwa mewujudkan independensi
kekuasaan kehakiman srta peradilan yang bebas dan tidak memihak, perlu
diadakannya pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial.
Sedangkan temuan penulis pengawasan internal yang dilakukan Dewan
Etik dan Majelis Kehormatan sudan efektif dalam penanganan hakim
konstitusi.
2. Skripsi:
Masripattunnisa, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014, judul skripsi “Efektifitas Pelaksanaan Fungsi Pengawasan oleh
Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim dan Pengaruhnya dalam
Kekuasaan Kehakiman” dalam skripsinya ini, Masripattunnisa menemukan
bahwa Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim konstitusi masih belum
cukup efektif karena masih terkendala beberapa faktor, yaitu faktor
resistensi Mahkmamah Agung, faktor regulasi dalam hal ini terbatasnya
wewenang pengawasan, dan faktor internal. Sedangkan, temuan penulis
berupa bentuk dan efektifitas pengawasan hakim konstitusi oleh Dewan
Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
3. Jurnal:
Wiryanto, Jurnal Hukum vol. 13, 2016, “Penguatan Dewan Etik
Dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi” dalam jurnalnya
31
ini, wiyanto menjelaskan tentang Dewan Etik sebagai pengawas internal
Hakim Konstitusi serta gagasan pembentukannya dan mendungkung penuh
penguatan lembaga tersebut. Kemudian, ia juga mendukung adanya
pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi. Sedangkan, dari temuan
penulis penulis setuju dengan pendapat Wiryanto bahwa perlu ada
penguatan terhadap lembaga pengawas internl terutama bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh Dewan etik, namum penulis menemukan
bahwa pengawasan internal efektif jadi tidak perlu pengawasan eksternal.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA PENGAWAS HAKIM KONSTITUSI
A. Profil Lembaga Pengawas Hakim Konstitusi
1. Dewan Etik Mahkamah Konstitusi
a. Pengertian Dewan Etik Mahkamah Konstitusi
Menurut peraturan Mahkamah Kontistusi Nomor 2 tahun 2013
tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi, disebutkan Dewan Etik adalah
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim
konstitusi, serta kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi.
Keberadaan Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah sebagai perangkat
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Makna kata “menjaga”
mengandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, yang berarti
mencegah atau menghindari adanya pelanggaran Kode Etik Hakim
Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
Sedangkan kata “menegakkan” mengandung pengertian tindakan
secara represif, yaitu penindakan yang berupa pemberian sanksi
terhadap hakim yang terbukti melanggar Kode Etik.
Dewan Etik memiliki kewenangan memeriksa dan memutus
laporan pengaduan masyarakat dan informasi media/masyarakat
terkait dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi
serta pelanggaran terhadap UU MK mengenai larangan dan kewajiban
Hakim Konstitusi1. Anggota Dewan Etik dipilih oleh panitia seleksi
yang bersifat independen, pembentukan panitia seleksi dan calon
1 Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi”.
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016, h. 725
33
anggota dewan Etik di tetapkan dengan keputusan Ketua Mahkamah.
Karena Dewan Etik adalah perangkat yang bersifat tetap yaitu dalam
rangka melakukan tugas sehari-hari, berarti Dewan Etik akan terus
mengawasi dan memastikan bahwa seluruh hakim konstitusi dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya berjalan sesuai dengan aturan
hukum yang datur dalam peraturan perundang-undangan dan aturan
etika sebagaimana termuat dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku.
Sedangkan dalam hal terjadi pelanggaran berat atas dasar laporan
masyarakat dan/atau informasi yang disampaikan atau diterima Dewan
Etik, kemudian Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaannya Dewan
Etik dibantu oleh secretariat yang ditetapkan oleh Sekretarian Jederal
Mahkamah. Berikut Tugas dan Kewenangan Dewan Etik menurut
PMK Nomor 2 Tahun 2014:
1) Tugas Dewan Etik
a) Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penelaahan
laporan dan informasi tentang perilaku Hakim Konstitusi;
b) Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis
setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi.
c) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
dan Kode Etik Hakim Konstitusi agar Hakim Konstitusi
tidak melakukan pelanggaran.
2) Kewenangan Dewan Etik:
a) Menyampaikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan
Hakim Konstitusi mengenai suatu perbuatan yang dianggap
melanggar
b) Memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga untuk memberikan penjelasan dan pembelaan,
serta untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain
34
c) Memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi atau
pihak lain yang terkait, dengan dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
d) Menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang terbukti melakukan
pelanggaran
e) Mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk
memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga yang telah melakukan
pelanggaran berat atau telah mendapat teguran lisan
sebanyak 3 (tiga) kali
f) Mengusulkan pembebastugasan Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga yang telah melakukan pelanggaran berat
atau telah mendapat teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali.
b. Keanggotaan, Masa Jabatan dan Susunan Dewan Etik
Menurut PMK Nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis
Kehormaytan Mahkamah Konstitusi Keanggotaan Dewan Etik terdiri
atas unsur:
1) 1 orang mantan Hakim Konstitusi
2) 1 orang Guru Besar dalam bidang hukum
3) 1 orang Tokoh Masyarakat
Keanggotaan Dewan Etik memiliki masa jabatan selama 3 (tiga) tahun
dan tidak dapat dipilih kembali hal ini di atur dalam pasal 15 ayat (2)
PMK nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi. Anggota Dewan Etik juga harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1) Jujur, adil dan tidak memihak;
35
2) Berusia palin rendah 60 (enam puluh) tahun;
3) Berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim;
4) Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Mengenai dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik, dewan Etik
membedakan dalam pelanggaran ringan dan pelanggaran berat, untuk
pelanggaran ringan yaitu pelanggaran yang menurut penilaian Dewan Etik
sifatnya ringan dan pelanggaran yang dimaksud dilakukan kurang dari 3 (tiga)
kali. Sedangkan pelanggaran berat merupakan pelanggaran ringan yang telah
dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali atau pelanggaran yang berdasarkan penilaian
Dewan Etik bersifat berat karena mencemarkan nama baik dan martabat
hakim konstitusi, bahkan membahayakan eksistensi dan fungsi Mahkamah.
Dalam pelanggaran berat Dewan Etik berwenang mengusulkan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai Majelis yang mampu mengadili
pelanggaran berat tersebut.
2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
a. Pengertian Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Dalam peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2014
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi di jelaskan bahwa
Majelis Mahkamah Konstitusi atau yang biasa di singkat MKMK
adalah salah satu perangkat untuk menjaga dan meneggakan
kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik Hakim Konstitusi
terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Telapor atau hakim Terduga yang disampaikan
oleh Dewan Etik. Didalam UU Nomor 8 tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi dalam pasal 1 angka 4 juga disebut pengertian
MKMK yaitu perangkat yang dibentuk oleh mahkamah konstitusi
untuk memantau, memeriksa, dan merekomendasikan tindakan
terhadap hakim konstitusi yang diduga melanggar kode etik dan
36
pedoman perilaku Hakim Konstitusi. Dalam pelaksanaannya MKMK
dibentuk olek Mahkamah Konstitusi atas usulan dari Dewan Etik, usul
pembentukan Majelis Kehormatan disampaikan kepada Mahkamah
Konstitusi secara tertulis disertai dengan usul pembebastugasan Hakim
Terlapor atau Hakim Terguga, Mahkamah Konstitusi membentuk
Majelis Kehormatan dan pembebastugasan Hakim terlapor maupun
terduga dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya usul Dewan Etik dan ditetapkan dengan keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi.
b. Keanggotaan dan Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstutusi
Keanggotaan Majelis Kehormatan tidak tetap, anggota Majelis
kehormatan yang telah ditetapkan hanya bertugas pada saat
pengusulan tersebut. Calon anggota MKMK dipilih dalam rapat pleno
hakim yang bersifat tertutup dan ditugaskan oleh Komisi Yudisial
sesuai permintaan Mahkamah Konstitusi, kemudian ditetapkan dengan
keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Anggota Majelis Kehormatan
terdiri dari 5 orang yang terdiri atas unsur:
1) 1 (satu) orang Hakim Konstitusi
2) 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial
3) 1 (satu) orang manyan Hakim Konstitusi
4) 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum
5) 1 (satu) orang tokoh msyarakat
Ada beberapa syarat keanggotaan bagi anggota MKMK yaitu:
1) Jujur, adil, dan tidak memihak
2) Berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun untuk mantan
hakim konstitusi, guru besar dalam bidang hukum, dan tokoh
masyarakat
3) Berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim
37
4) Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Adapula susunan keanggotan Majelis Kehormatan sebagaimana tertera
dalam pasal 8 ayat (1) PMK nomor 2 tahun 2014, yang terdiri atas:
1) 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota
2) 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota
3) 3 (tiga) orang anggota
Susunan ini ditetapkan dengan keputusan ketua Mahkamah Konstitusi.
c. Tugas dan Kewewenang Majelis Kehormatan
Dalam pelaksanaannya Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi juga memiliki tugas dan kewenangan. Berikut tugas Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi:
a. Melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang
diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat
yang dilakukan oleh hakim terlapor atau terduga, serta
mengenai hakim terlapor atau terduga yang telah mendapatkan
teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali
b. Menyampaikan keputusan Majelis Kehormatan kepada
Mahkamah Konstitusi
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Mejelis
Kehormatan juga mempunyai wewenang, yaitu:
a. Memanggil dan memeriksan hakim terlapor atau terduga yang dijukan
oleh Dewan Etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan,
termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain
b. Memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan pihak lain
yang terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh
hakim terlapor atau terduga untuk dimintai keterangan, termasuk
dokumen atau alat bukti lain
c. Menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
38
B. Mekanisme Kinerja Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Dewan Etik Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi mempunyai tatacara dalam melakukan
tugasnya Dewan Etik mengawasi dan memastikan bahwa seluruh hakim
konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berjalan sesuai dengan
aturan hukum yang datur dalam peraturan perundang-undangan dan aturan
etika2 sebagaimana termuat dalam Kode Etik
3 dan Pedoman Perilaku.
Sedangkan dalam hal terjadi pelanggaran berat atas dasar laporan masyarakat
dan/atau informasi yang disampaikan atau diterima Dewan Etik, kemudian
Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
Dewan Etik dan Majleis Kehormatan mempunyai prinsip-prinsip sebagaimana
di atur dalam pasal 55 PMK nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkmah Konstitusi, yaitu:
a. Prinsip Independensi
Yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
b. Prinsip Objektivitas
Yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya menggunakan kriteria, parameter, data, informasi,
dan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan
c. Prinsip Impersialitas
2 Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. 3, 1980, h. 7
3 Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 13
39
Yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya tidak memihak kepada siapapun dan kepentingan
apapun
d. Prinsip Penghormatan Kepada Profesi Hakim Konstitusi
Yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya wajib menjaga kehormatan dan keluhuran martabat
Hakim Konstitusi
e. Prinsip Praduga Tidak Bersalah
Hakim terlapor atau terduga dianggap tidak bersalah sampai dengan
dibuktikan sebaliknya berdasarkan keputusan Dewan Etik atau
keputusan Majelis Kehormatan
f. Prinsip Transparasi
Masyarakat dapat mengakses data, informasi, keputusan Dewan Etik ,
dan keputusan Majelis Kehormatan, kecuali hal-hal yang ditentukan
lain dalam PMK nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi
g. Prinsip Akuntabilitas
Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
Berikut adalah penjabaran mekanisme kinerja Dewan Etik dan Majeleis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi:
1. Dewan Etik
Pada pelaksanaan tugasnya Dewan Etik memeriksa perkara terkait
dugaan pelanggaran kode etik baik yang berasal dari laporan masyarakat
maupun berdasarkan informasi media. Terhadap laporan dari masyarakat
yaitu laporan yang diajukan oleh perseorangan, kelompok orang, lembaga
atau organisasi mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan
oleh Hakim Terlapor, baik terkait dengan proses penanganan perkara
40
konstitusi maupun di luar penanganan perkara konstitusi. Sedangkan
berdasarkan informasi adalah informasi mengenai dugaan pelanggaran
Kode Etik yang dilakukan oleh Hakim Terduga berdasarkan pemberitaan
media massa baik cetak maupun elektronik dan dari masyarakat. Adapun
tahapan penanganan perkara dugaan pelanggaran kode etik:
a. Rapat pemeriksaan (pemeriksaan laporan)
1) Penjelasan laporan oleh pelapor
2) Perbaikan laporan oleh pelapor apabila dipandang perlu
3) Pengesahan alat bukti
b. Rapat pemeriksaan (pembuktian)
1) Pembuktian pelapor dan terlapor
2) Dewan etik dapat memanggil Hakim terlapor dan pihak
lain yang terkait dengan perkara
c. Rapat Dewan Etik
1) Membahas dan memusyawarahkan perkara
2) Pengambil putusan
3) Penyusunan draft Berita Acara Hasil Pemeriksaan
d. Penyampaian Berita Acara Hasil Pemeriksaan
Berita acara hasil pemeriksaan disampaikan kepada Ketua dan
Wakil ketua Mahkamah, Hakim terlapor atau terduga dan pelapor.
Rapat Dewan Etik dilakukan secara tertutup untuk melakukan pemeriksaan
terhadap hakim terlapor atau terduga, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28
PMK nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan mahkamah Konstitusi.
Dalam hasil rapat Dewan Etik akan menghasilkan 3 (tiga) kesimpulan yaitu:
a. Tidak terdapat pelanggaran
Dewan Etik menyimpulkan tidak terdapat pelanggaran, apabila
terbukti Hakim terlapor atau terduga tidak melalukan pelanggaran, hal itu
tertuang dalam berita acara pemeriksaan Dewan Etik, yang akan
41
disampaikan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim terlapor atau
terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak berita
acara Dewan Etik ditandatangani.
b. Pelanggaran ringan
Dewan Etik menyimpulkan terdapat pelanggaran ringan, Dewan Etik
mengambil keputusan untuk mejatuhkan sanksi berupa teguran lisan. Hal
ini juga dituangkan dalam berita acara pemeriksaan Dewan Etik dan
disampaikan kepada Ketua Mahkmaha Konstitusi dan Hakim terlapor atau
terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak berita
acara ditandatangani.
c. Dugaan pelanggaran berat
Dewan Etik menyimpulkan terdapat dugaan pelanggaran berat yakni
Hakim terlapor atau terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3
(tiga) kali, dituangkan dalam berita acara pemeriksaan Dewan Etik,
disampaikan kepada Ketua Mahkmaha Konstitusi dan Hakim terlapor atau
terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak berita
acara ditandatangani. Penyampaian berita acara pemeriksaan Dewan Etik
disertai dengan usul pembentukan Majelis Kehormatan dan
pembebastugasan Hakim terlapor atau terduga.
Dalam pelaksanaan tugasnya putusan Dewan Etik terhadap laporan tersebut
berupa Berita Acara Pemekriksaan yang dilakukan oleh anggota Dewan Etik
terhadap hakim terlapor atau terduga dan penyelesaiannya diadakan di dalam
rapat Dewan Etik. Berikut adalah data anatomi perkara, baik berupa Laporan
maupun informasi masyarakat tentang dugaan pelanggaran Kode Etik oleh
hakim konstitusi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. Perkara masuk sejumlah 25 perkara yang terdiri atas 15 perkara
Pemilukada, 5 (lima) perkara Pemilu Legislatif, satu perkara Pemilu
42
Presiden, dua perkara pengujian Undang-Undang, dan dua perkara
lain-lain.
b. Perkara yang ditindaklanjuti sebanyak 9 (sembilan) perkara, terdiri
atas 2 (dua) perkara Pemilukada, 4 (empat) perkara Pemilu Legislatif,
satu perkara pengujian undang-undang, dan dua perkara lain-lain.
Dari sembilan perkara yang ditindaklanjuti tidak ada sanksi yang
dijatuhkan oleh Dewan Etik, melainkan beberapa saran dan/atau
rekomendasi sebagai berikut:
a. Agar Pimpinan MK menertibkan pemberian izin kepada Hakim
Konstitusi yang melakukan kegiatan di luar tugas pokoknya;
b. Agar Pimpinan MK menyempurnakan penerapan Hukum Acara
MK, khususnya mengenai Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
dan membuat pertimbangan hukum;
c. Agar Putusan MK yang dimaksudkan sebagai Putusan Sela
disebutkan secara eksplisit dalam putusan supaya tidak
menimbulkan kesalah pahaman;
d. Agar Hakim Konstitusi lebih mengontrol sikap dan ucapannya
supaya tidak menimbulkan salah paham sehingga menduga
sebagai pelanggaran etik;
e. Agar MK terus menerus memperbaiki sistem penanganan perkara
Perselisihan Hasil Pemilu Umum (PHPU) dengan menekankan
pada peranan hakim dan panitera khususnya dalam proses
pembuktian;
f. Agar Hakim Konstitusi lebih hati-hati berbicara, meskipun dalam
forum ilmiah, atas suatu masalah yang berpotensi menjadi perkara
konstitusi di MK;
g. Agar MK mengkaji ulang diperbolehkannya pemohon
perseorangan dalam PHPU Legislatif, sebab peserta dalam Pemilu
43
DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan seperti
halnya pemilu anggota DPD. Hal itu penting agar tidak
menimbulkan perpecahan dalam internal partai politik.
h. Agar para Hakim Konstitusi dan Panitera lebih cermat dan hati-
hati dalam menangani perkara PHPU, sebab ketidakcermatan
berpotensi untuk pelanggaran etik.
Penanganan Perkara Tahun 2015:
a. Sejak Januari sampai dengan Desember 2015, Dewan Etik telah
menerima laporan masyarakat sebanyak 3 (tiga) laporan. Dari laporan
masyarakat yang masuk, sebanyak 2 (dua) laporan memenuhi syarat
untuk ditindak lanjuti, dengan rincian sebagai berikut:
1) Laporan yang diajukan oleh Nico Indra Sakti terhadap dugaan
pelanggaran Kode Etik yang dituduhkan kepada Hakim
Konstitusi Suhartoyo tatkala menjadi Hakim dan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Laporan tersebut
ditindaklanjuti dalam Rapat Pemeriksaan oleh Dewan Etik;
2) Laporan yang diajukan oleh Forum Aliansi Masyarakat Anti
Gerakan Menodai Konstitusi (Forum Amankan MK) tentang
dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi Anwar
Usman dan Suhartoyo kerena menghadiri acara pelantikan
Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Malang pada tanggal 31
Juli 2015. Laporan tersebut tidak secara lengkap
mencantumkan identitas lengkap Pelapor, sehingga dapat
dikategorikan sebagai surat kaleng yang tidak dapat diketahui
secara jelas siapa pengirimnya. Format laporan pelapor tidak
memenuhi salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014
tentang Mekanisme Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Laporan
44
dan Informasi, sehingga tidak dapat diproses dan
ditindaklanjuti;
3) Laporan yang diajukan oleh Gerakan Mahasiswa Hukum
Jakarta (GMHJ) tentang dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim
Konstitusi Arief Hidayat, Anwar Usman, Suhartoyo, dan
Manahan M.P. Sitompul dalam Penanganan Perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 43/PUU-XIII/2015. Laporan tersebut
ditindaklanjuti dalam Rapat Pemeriksaan oleh Dewan Etik.
b. Pelaksanaan tugas terkait penanganan dugaan pelanggaran Kode Etik
yang berdasarkan informasi sejak Januari s.d Desember 2015 belum
ada, karena belum ada informasi yang yang diduga terdapat
pelanggaran Kode Etik oleh Hakim Konstitusi.
c. Laporan masyarakat yang ditindaklanjuti dalam Rapat Pemeriksaan
Dewan Etik pada periode Januari s.d. Desember 2015 dan kemudian
kesimpulan dan keputusannya dituangkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan berjumlah 2 (dua) perkara, yaitu sebagai berikut :
1) Berita Acara Pemeriksaan Nomor 10/Lap-II/BAP/DE/2015
(Laporan Nico Indra Sakti);
2) Berita Acara Pemeriksaan Nomor 11/Lap-II/BAP/DE/2015
(Laporan Organisasi Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta)
d. Pelaksanaan tugas terkait penyampaian pendapat tertulis atas
pertanyaan Hakim Konstitusi belum ada, karena belum ada permintaan
dari Hakim Konstitusi. Akan tetapi, baik dalam Berita Acara
Pemeriksaan maupun dalam surat resmi, Dewan Etik selalu
menyampaikan rekomendasi untuk berbagai perbaikan kepada MKRI
dalam menangani perkara-perkara konstitusi, khususnya Pengujian
Undang-Undang dan Perselisihan Hasil Pemilihan Gebernur, Bupati,
dan Walikota.
45
Sejak Dewan Etik dibentuk sampai sekarang, Dewan Etik telah
memberikan rekomendasi yang dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), yaitu sebagai berikut:
a. Rekomendasi dalam BAP No. 01/Info-1/BAP/DE/2014: “Pimpinan
MK agar menertibkan perizinan bagi Hakim Konstitusi yang akan
melakukan kegiatan di luar tugas pokoknya agar tidak mengganggu
sidang MK”.
b. Rekomendasi dalam BAP No. 02/Lap-1/BAP/DE/2014:
“penyempurnaan dalam penerapan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, khususnya dalam masalah Rapat Permusyawaratan Hakim
dan Pertimbangan Mahkamah dalam Putusan suatu perkara
Konstitusi”.
c. Rekomendasi dalam BAP No. 03/Lap-1/BAP/DE/2014: “Meskipun
tidak terdapat pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
namun untuk perbaikan di masa depan, hendaknya Mahkamah selalu
menyebut dengan tegas bahwa Putusan yang memerintahkan pemilu
ulang, penghitungan suara ulang, dan verifikasi ulang sebagai Putusan
sela, agar pihak-pihak yang berperkara lebih mudah memahaminya”.
d. BAP No. 04/Lap-1/BP/DE/2014: tidak ada rekomendasi.
e. BAP No. 05/Lap-1/BAP/DE/2014: tidak ada rekomendasi.
f. Rekomendasi dalam BAP No. 06/Lap-1/BAP/DE/2014:
1) Hakim Konstitusi harus mengontrol sikap dan ucapannya agar
tidak menimbulkan kesalahpahaman dari pihak-pihak yang
tingkat sensitifitasnya berbeda-beda agar tidak dinilai
melanggar Kode Etik;
2) Bahwa Mahkamah harus terus menerus memperbaiki dan
menyempurnakan sistem penanganan PHPU agar lebih efektif
dan efisien, tetapi tidak mengurangi esensi penanganan suatu
46
perkara yang merupakan ranah kewenangan Hakim yang
dibantu oleh Panitera, terutama terkait dengan proses
pembuktian.
g. Rekomendasi dalam BAP No. 07/Lap-1/BAP/DE/2014: “Bahwa
meskipun Hakim Terlapor tidak melakukan pelanggaran Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi, tetapi Dewan Etik perlu mengingatkan
agar Hakim terlapor lebih hati-hati dalam berbicara meskipun dalam
forum kegiatan ilmiah, karena Penerapan Butir 10 huruf a Prinsip
Kepantasan dan Kesopanan Kode Etik telah memenentukan bahwa:
Dengan tetap mengutamakan dan terikat pada aturan-aturan tentang
tugas-tugasnya di bidang peradilan serta dengan tetap
mempertahankan prinsip independensi dan ketakberpihakan, Hakim
Konstitusi boleh: menulis, memberi kuliah, mengajar, dan turut serta
dalam kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang hukum dan peradilan atau
hal-hal-hal yang terkait dengannya”.
h. Rekomendasi dalam BAP No. 08/Lap-1/BAAP/DE/2014:
1) Mahkamah perlu mengkaji ulang tentang diperbolehkannya
permohonan PHPU perseorangan, sebab hal itu tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 yang
menyatakan bahwa peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD
adalah partai politik, yang berarti sesungguhnya pemegang
legal standing dalam PHPU DPR dan DPRD adalah partai
politik. Ditiadakannya pemohon perseorangan akan
mengurangi jumlah perkara PHPU DPR dan DPRD yang
sangat banyak yang harus diselesaikan dalam waktu yang
sangat singkat dan sekaligus mengurangi konflik internal
partai politik peserta Pemilu;
47
2) Mahkamah perlu terus menerus menyempurnakan mekanisme
penyelesaian PHPU DPR, DPD, dan DPRD agar lebih efektif dan
efisien.
i. Rekomendasi dalam BAP No. 09/Lap-1/BAP/DE/2014: “agar para
Hakim Terlapor lebih cermat dan hati-hati dalam memutus perkara
PHPU, karena kekurangcermatan akan berpotensi pelanggaran Kode
Etik”.
j. BAP No. 10/Lap-II/BAP/DE/2015: tidak ada rekomendasi.
k. Rekomendasi dalam BAP No. 11/Lap-II/BAP/DE/2015: “di masa
datang pola komunikasi antara hakim dengan para pihak dalam
persidangan perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan miskomunikasi
dan kesalahpahaman yang dapat berakibat terjadinya pelanggaran
Kode Etik.”
l. BAP No. 12/Lap-III/BAP/DE/2016: tidak ada rekomendasi.
m. BAP No. 13/Info-III/BAP/DE/2016: Dewan Etik menjatuhkan
keputusan dengan sanksi “Teguran Lisan”.4
2. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Dalam mekanisme kinerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,
MKMK menerima laporan terkait dugaan pelanggaran berat yang
dilakukan oleh Hakim Konstitusi terlapor atau terduga dari Dewan Etik.
Berbeda dengan Dewan Etik yang mengadakan rapat Dewan etik untuk
memeriksa Hakim terlapor atau terduga, MKMK mengadakan
persidangan Majelis Kehormatan hal ini diatur dalam bab VII PMK nomor
2 tahun 2014 tentang Majleis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dalam
persidangan Majelis Kehormatan terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu:
4 Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016, h. 729-734
48
a. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan untuk
pemeriksaan pendahuluan terhadap hakim terlapor atau terdduga yang
diduga melakukan pelanggaran berat, sidang ini dilakukan tertutup
untuk umum kecuali ditentukan lain oleh Majelis kehormatan.
Namum, untuk membacakan keputusan Majelis Kehormatan
dilakukan terbuka untuk umum. Sidang ini juga dihadiri oleh anggota
Dewan Etik, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan meliputi:
1) Mendengarkan keterangan Dewan Etik
2) Mendengarkan keteranga pelapor
3) Memeriksa alat bukti
4) Mendengarkan penjelasan dan pembelaan hakim terlapor atau
terduga
Sidang pemeriksaan pendahuluan dilaksanakan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi tentang pembentukan Majelis Kehormatan,
diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) dan dapat
diperpanjang dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja dengan
diterimanya perpanjangan pembebastugasan hakim Konstitusi terlapor
atau terduga dari Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan menghasilkan kesimpulan Majelis
Kehormatan yang menyatakan bahwa:
1) Hakim terlapor atau terduga tidak terbukti melakukan
pelanggaran :
Hakim terlapor atau terduga tidak melakukan pelanggaran,
Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa hakim
terlapor atau terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran dan
memberikan usul merehabilitasi yang bersangkutan.
49
2) Hakim terlapor atau terduga terbukti melakukan pelanggaran
ringan:
Keputusan majelis kehormatan memuat penjatuhan sanksi
berupa terugaran lisan.
3) Hakim terlapor atau terduga terbukti melakukan pelanggaran
berat:
Jika hakim terlapor atau terduga diduga melakukan
pelanggaran berat, Majelis kehormatan mengambil keputusan
melanjutkan pemeriksaan terhadap hakim terlapor atau terduga
dalam sidang pemeriksaan lanjutan disertai rekomendasi
pemberhentian sementara.
b. Sidang Pemeriksaan Lanjutan
Sidang pemeriksaan lanjutan dilakukan untuk pemeriksaan
lanjutan terhadap hakim terlapor atau terduga melakukan pelanggaran
berat yang telah menerima teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali. Setiap
sidang pemeriksaan lanjutan dihadiri oleh Dewan Etik. Persidangan ini
bersifat tertutup untuk umum, kecuali ditentukan oleh Majelis
Kehormatan. Sedangkan untuk pembacaan keputusan terbuka untuk
umum. Sidang pemeriksaan lanjutan berisi:
1) Mendengarkan keterangan Dewan Etik
2) Mendengarkan keteranga pelapor
3) Memeriksa alat bukti
4) Mendengarkan penjelasan dan pembelaan hakim terlapor atau
terduga
Pengajuan Majelis Kehormatan untuk sidang pemeriksaan lanjutan di
sertai dengan surat pemberhentian sementar. Mahkamah konstitusi
mengajukan permintaan pemberhentian sementara Hakim terlapor
atau terduga kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
50
hari kerja sejak diterimanya keputusan Majelis Kehormatan. Setelah
ditetapkan Keputusan Presiden tentang pemberhentian sementara baru
lah sidang pemeriksaan lanjutan dapat dilaksanakan. Sidang
pemeriksaan lanjutan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Dalam sidang
pemeriksaan pendahuluan menghasilkan kesimpulan Majelis
Kehormatan yang menyatakan bahwa:
1) Hakim terlapor atau terduga tidak terbukti melakukan
pelanggaran :
Dalam hal hakim terlapor atau terduga tidak melakukan
pelanggaran, Majelis Kehormatan mengambil keputusan
bahwa hakim terlapor atau terlapor tidak terbukti melakukan
pelanggaran dan memberikan usul merehabilitasi yang
bersangkutan.
2) Hakim terlapor atau terduga terbukti melakukan pelanggaran
ringan:
Dalam hal ini keputusan majelis kehormatan memuat
penjatuhan sanksi berupa terugaran lisan.
3) Hakim terlapor atau terduga terbukti melakukan pelanggaran
berat:
Jika hakim terlapor atau terduga diduga melakukan
pelanggaran berat, Majelis kehormatan mengambil keputusan
yaitu penjatuhan sanksi berupa teguran lisan atau
pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim terlapor
atau terduga, kemudian Mahkamah Konstitusi mengajukan
permintaan pemberhentian tidak dengan hormat kepada
51
Presiden dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sejak
diterimanya keputusan Majelis Kehormatan.
c. Rapat Pleno Majelis Kehormatan
Rapat pleno dilaksanakan untuk mengambil keputusan Majelis
Kehormatan, rapat pleno adalah rangkaian terakhir dari pelaksanaan
Persidangan Majelis Kehormatan sebagai lembaga yang diusulkan
oleh Dewan Etik untuk memeriksa Hakim terlapor atau terdua
pelanggaran berat. Dalam rapat pleno dibicarakan atau
memusyawarahkan keputusan Majelis Kehormatan dari persidangan
Majelis Kehormatan. Rapat pleno tertutup untuk umum sebagai mana
di atur dalam pasal 54 ayat 2 PMK nomor 2 tahun 2014 tentang
Majelis Kehormanatan Mahkamah Konstitusi.
Dalam kinerjanya MKMK telah mengeluarkan 3 (tiga) putusan yaitu:
a. Putusan No. 01/MKMK/X/2013 tentang pemberhentian tidak dengan hormat
kepada Hakim terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar., S.H., M.H.
b. Putusan No. 01/MKMK/SLP/II/2017 tentang pemberhentian tidak dengan
hormat kepada Hakim terduga Dr. H. Patrialis Akbar., S.H., M.H.
c. Putusan No. 01/MKMK/SPP/II/2017 tentang pemberhentian sememtara
terhadap Hakim terduga Dr. H. Patrialis Akbar., S.H., M.H.
52
BAB IV
BENTUK DAN EFEKTIFITAS DEWAN ETIK DAN MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Bentuk Pengawasan Hakim Konstitusi di Indonesia
Menurut Mahkamah konstitusi, independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemerdekaan hakim. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan
dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam
pemeriksaan maupun pengambilan keputusan. Kemerdekaan hakim juga harus
dimaknai tetap dalam batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum untuk
menciptakan keadilan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan
bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya1. Maka, penting
adanya lembaga pengawasan terhadap hakim konstitusi agar tetap terjaga
kehormatan serta keluhuran martabatnya, agar selaras antara prinsip
indenpendesi serta perilaku hakim itu sendiri agar senantiasia selalu dalam
kaedah-kaedah kehormatan hakim.
Sejak diucapkannya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 judicial
review Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial pada
tanggal 23 Agustus 2006 dalam sidang terbuka untuk umum, Komisi Yudisial
telah berkurang wewenangnya dalam pengawasan terhadap hakim konstitusi,
dimana dalam amar putusan tersebut disebutkan bahwa pengawasan KY
terhadap hakim konstitusi akan mengganggu dan memandulkan MK sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara. Hal
ini mengakibatkan kekosongan hukum bagi Pengawasan Hakim Konstitusi.
Dalam kekosongan hukum tersebut Mahkamah Konstitusi hanya memiliki
pengawas internal yaitu Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai
lembaga yang berwenang dalam mengawasi hakim konstitusi, juga kode etik
1 P. Wignjosumarto, “Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum
pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Varia Peradilan, No. 251 Okrober 2006, h. 69
53
dan pedoman perilaku hakim Konstitusi yang dideklarasikan dan ditanda
tangani oleh 9 (Sembilan) hakim Konstitusi pada tanggal 17 Oktober 2006.
Deklarasi ini kemudian berlaku dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi
(PMK) Nomor 07 Tahun 2005 tanggal 18 Oktober 2005. Deklarasi tersebut
digunakan sebagai pedoman bagi Hakim Konstitusi dan tolak ukur guna
menilai perilaku hakim Konstitusi, serta membantu masyarakat termasuk
lembaga Negara lain agar memiliki pengertian tentang fungsi dan kinerja
Mahkamah Konstitusi.2
Sejak Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap
Ketua hakim Konstitusi Akil Mochtar pada tahun 2013, membuat paradigma
bahwa pengawasan yang dilakukan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi selama ini tidak dapat menjadi upaya Preventif mahkamah
konstitusi dalam pengawasan internal, karena pengawasan yang dilakukan
Majelis Kehormatan bukan upaya mencegah tetapi hanya dalam batas
mengatasi, jika sudah terjadi barulah Majelis Kehormatan bertindak sebagai
peradilan perilaku Hakim Konstitusi. Pada tahun 2014 Mahkamah Konstitusi
memperbaruhi PMK tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
dimana Mahkamah Konstitusi kembali menjabarkan kinerja Majelis
Kehormatan serta Dewan Etik Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
pengawas harian yang anggotanya bersifat tetap. Dewan Etik berperan untuk
mencegah perilaku-perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan kaedah kode
etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi. Masyarakat juga dapat
memberikan laporan melalui surat maupun email kepada Mahkamah
konstitusi. Hakim konstitusi yang diduga melanggar pedoman tersebut diberi
sanksi berupa teguran lisan dan surat pembebastugasan sementara, jika
pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran berat maka Dewan Etik
2 Achmad Roestadi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 23-24
54
mengusulkan dibentuknya Majelis Kehormatan sebagai lembaga Pengawas
yang berhak mengadili hal tersebut.
Sebagai lembaga pengawas Internal Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan memiliki bentuk pengawasan sebagai tolak ukur dalam penilaian
etik dan perilaku hakim konstitusi. Membahas tentang bentuk pengawasan
yang dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, dilihat dari pasal 21 ayat (1) huruf a PMK No. 2 Tahun 2014
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah penulis menemukan bahwa bentuk
pengawasan yang dilakukan Dewan Etik bukan sebagai pelaksana fungsi
pengawas melaikan lebih kepada pelaksanaan penangan. Hal ini sama dengan
fungsi Majelis Kehormatan. Berikut isi pasal 21 ayat (1) huruf a PMK No. 2
Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah:
“Dewan etik melalukan pengumpulan, pengelolaan dan penelaahan laporan
atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi”.
Dari kutipan tersebut penulis menemukan bahwa bentuk pengawasan Hakim
konstitusi baru dilakukan jika ada laporan, barulah Dewan Etik mengelola dan
menelaah laporan tersebut, lalu bagaimana jika tidak ada laporan mengenai
pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi? Pasalnya dewan etik
merupakan lembaga pengawas harian yang anggotanya bersifat tetap dalam
menjalankan Fungsi pengawasan terhadap Hakim Konstitusi.
B. Efektifitas Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan,
definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana pada pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan,
hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian
55
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam
hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah salah satu
unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat).
Untuk mewujudkan Negara hukum yang sebenarnya dimana prinsip-prinsip
hak asasi manusia dihargai oleh karena itu hanya pengadilan yang memenuhi
kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang
dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim
sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi
mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim
dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan
warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan
keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim
ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-
irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini
menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan
Yang Maha Esa3.
Begitu besarnya peran hakim untuk mewujudkan sebuah Negara
hukum yang ideal, maka integritas dan indepedensi hakim itu sendiri haruslah
dijaga agar tujuan kekuasaan kehakiman tetap berada pada jalurnya demi
mewujudkan keadilan di masyarakat. Sebesar apapun peran hakim di
lingkungan masyarakat, hakim tetaplah manusia biasa yang bisa lalai dalam
pekerjaannya. Untuk mencegah atau meminimalisir kemungkinan tersebut
dirasa perlu aturan yang ketat dalam pengawasan hakim yang efektif sehingga
kehormatan serta keluhuran martabatnya tetap terjaga. Upaya tersebut
3 Pembukaan Pedoman Perilaku Hakim yang disusun pada tahun 2006 oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia
56
tentunya tidak boleh sampai mengintervensi prinsip indepedensi kekuasaan
kehakiman. Hal ini juga termasuk profesi hakim Konstitusi, menurut pasal 1
angka 7 UU nomo 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang
dimaksud hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah konstitusi. Hakim
konstitusi memiliki kebebasan untuk memutus perkara tanpa harus takut
adanya intervensi dari luar pengadilan. Namum sebagai konsekuensi
kebebasan tersebut hakim konstitusi harus tetap menjalani proses pengawasan
dan menaati peraturan yang ada dan berlaku, hal ini dilakukan untuk
mempertahankan martabat dan intregritas hakim konstitusi.
Setelah adanya Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa
pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh KY terhadap hakim
konstitusi dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945, maknanya bahwa
hakim konstitusi tidaklah termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku
etiknya diawasi oleh KY. Sehingga pengawasan terhadap perilaku kode etik
hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai
dengan ketentuan Pasal 23 UU MK (sebelum dilakukan perubahan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003) sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6)
Undang-Undang Dasar 1945.4 Dari penjabaran diatas diketahui Mahkamah
Konstitusi tidak memiliki pengawasan secara eksternal. Pengawasan eksternal
dinilai belum mampu melakukan fungsi pengawasan tanpa mengurangi
prinsip indepedensi dan integritas Hakim Konstitusi itu sendiri. Jadi,
Mahkamah Konstitusi melakukan pengawasan secara internal. Hal tersebut
yaitu dengan adanya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitu yang diatur
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013. Kini PMK no 2
tahun 2013 digantikan PMK No 2 Tahun 2014. Dalam PMK No. 2 Tahun
2014 dimasukan Dewan Etik Sebagai Lembaga Pengawas Harian yang
4 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Buku Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi,Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2004,
hlm.121
57
anggotanya bersifat tetap. Secara substansi tidak banyak perubahan yang
diatur dalam PMK no 2 tahun 2014. Bahkan dapat dikatakan PMK No 2
Tahun 2014 secara substansi hanya menggabungkan saja ketentuan yang
terdapat dalam PMK No. 2 Tahun 2013 ditambah dengan peraturan mengenai
Dewan Etik. Hal ini untuk menyiasati keberadaan Dewan Etik yang memang
tidak diatur dalam UU Mahkamah Konstitusi. Menurut Mas Ahcmad Santosa
ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya pengawasan internal antara
lain:5
a. Kualitas dan integritas yang tidak memadai
b. Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan
c. Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya
d. Semangat membela sesama korps
e. Tidak terpadat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan
Dari pendapat diatas pada poin a - e jika diselaraskan dengan
pengawasan internal yang dilakukan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
selama ini menurut penulis sebagai berikut:
a. Poin a kualitas dan integritas yang kurang memadai, menurut penulis dari
sisi kualitas dan integritas yang dimiliki oleh lembaga pengawas internal
Mahkamah Konstitusi sudah memadai dilihat dari sistem keanggotaannya
dimana dalam pasal 8 ayat (1), pasal 11, pasal 15 ayat (1), dan pasal 19
PMK nomor 2 tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi disebutkan siapa saja dan syarat apa saja yang harus dipenuhi
oleh calon anggota dewan etik dan majelis kehormatan, bahkan untuk
anggota Dewan Etik sendiri, ada panitia seleksi yang keanggotaanya juga
5 Hermansyah, “Peran Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Hakim,” (http://www.
pemantauperadilan.com), 8 April 2006, (Diakses pada 28 juni 2018 pukul 20.46).
58
harus berkualitas dan berintegritas seperti yang tertulis dalam pasal 20
ayat (3) PMK no 2 tahun 2014 tentang MKMK.
b. Poin b proses pemeriksaan yang disiplin yang tidak transparan, dari poin
ini memang dalam proses rapat pemeriksaan di Dewan Etik sifatnya
tertutup untuk umum namun masyarakat dapat mengunduh hasil
pemeriksaan tersebut via web Mahkamah Konstitusi, begitu juga sidang
pemeriksaan Majelis Kehormatan kecuali ditentukan lain oleh Majelis
Kehormatan. Hal ini terdapat dalam pasal 35 PMK no 2 tahun 2014
tentang MKMK.
c. Poin c Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya. Mahkamah
Konstitusi telah memudahkan masyarakat untuk melakukan pengaduan
bisa dengan menelfon, datang langsung, atau via email. Semua informasi
tersebut sudah disedia di laman web Mahkamah Konstitusi dan hasilnya
pun di unduh dalam web tersebut.
d. Poin d Semangat membela sesama korps, dengan adanya pengawasan
internal yang dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
sebenarnya sudah bentuk membela sesama korps. Namun, penulis
menemukan bahwa Dewan Etik dan Majelis Kehormatan kinerjanya
professional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, ditambah lagi
keanggotaan DE dan MKMK yang tidak sepenuhnya berasal dari dalam
Mahkmah Konstitusi.
e. Poin e Tidak terpadat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak
hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan, dalam pelaksanaannya di
Mahkamah Konstitusi pelanggaran ringan dan berat yang dilakukan oleh
hakim konstitusi selalu ditindak lanjuti oleh ketua mahkamah konstitusi,
laporan dari Dewan Etik yang masuk segera di proses hal ini dapat dilihat
dalam bab III tentang mekanisme kinerja Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan,
59
Jika dinilai dari sisi efektifnya sebuah pengawasan, pengawasan
sendiri berarti salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan
yang bersih, sehingga siapapun termasuk pejabat Negara tidak boleh menolak
untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain untuk melakukan pengendalian
yang bertujuan mencegah kekuasaan absolut, keseweangan dan
penyalahgunaan wewenang. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan
Etik dan Majelis Kehormatan sudah efektif, dilihat dari teori mas Ahcmad
Santosa bahwa Dewan Etik dan Majelis Kehormatan tidak memenuhi kriteria
lemahnya bentuk sebuah pengawasan internal. Namun, sangat disayangkan
bentuk pengawasan terutama yang dilakukan Dewan Etik kurang jelas
spesifikasinya, hanya sebatas uraian mengenai tugas dan wewenang yang
dilakukan oleh lembanga pengawasan tersebut. tidak ada bentuk lembaga
tersebut dalam melakukan fungsi pengawasan, selama ini fungsi penangannya
yang lebih berperan .
Karenan lemahnya bentuk fungsi pengawasan di Dewan Etik
penguatan perannya sebagai pengawas harian dirasa perlu, diketahui bahwa
pembentukan Dewan Etik tidak memiliki pijakan Undang-Undang. Dewan
Etik pertama kali muncul dengan dasar hukum PMK no 2 tahun 2013.
Kelahiran Dewan Etik tersebut merupakan reaksi internal MK dalam
menyikapi tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar. Karena tidak memiliki
pijakan Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengeluarkan peraturan
sebagai dasar kerja MKMK dan Dewan Etik yaitu tertuang dalam PMK no 2
tahun 2014. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai konstruksi Dewan Etik
yang otomatis berada dalam MKMK atau sebagai pelaksana harian yang tetap.
Dengan demikian, Dewan Etik juga memiliki peran yang cukup sentral dalam
penegakan kode etik Hakim Konstitusi. Dewan Etik memiliki peran untuk
melakukan pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi. saat dibentuknya
Dewan Etik dapat disimpulkan sejatinya MK masih membutuhkan lembaga
60
pengawas dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku Hakim Konstitusi.6
Dalam upaya penguatan bentuk atau fungsi pengawasan terutama yang
dilakukan oleh Dewan Etik revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi bisa
menjadi salah satu cara dalam mengatasi lemahnya bentuk pengawasannya
hakim konstitus, agar dapat diperjelas atau dispesifikasikan bentuk
pengawasannya dalam Undang-undang. Supaya lebih kuat kedudukannya
bukan hanya terdapat tugas dan kewenangannya saja seperti yang tertulis
dalam pertauran mahkamah konstitusi. Kareana Dewan Etik memiliki peranan
yang besar dalam sistem pengawasan etik, sebab terbentuk atau tidaknya
MKMK akan sangat bergantung pada usul yang disampaikan oleh Dewan
Etik. Karena, selain peran pengawasan internal yang efektif, seorang hakim
juga perlu memiliki kepribadian yang baik seperti yang tertera dalam Pasal
24B ayat (5) UUD 1945, yang berbunyi “hakim konstitusi juga harus memiliki
integritas, kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, sesuai yang dimaksud dalam UUD 1945.” Hal
utama yang menjadi sorotan masyarakat untuk mempercayai hakim adalah
perilaku hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam
kesehariannya. Pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi adalah mutlak
adanya dan merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Terlepas dari
pengawas interal atau eksternal pengawasan itu sendiri haruslah efektif.
6 Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi”.
Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016, h. 740
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di bab-bab sebelumnya yang dilakukan
oleh penulis mengenai peran Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dalam pengawasan Hakim Konstitusi dapat ditarik kesimpulan:
1. Bentuk pengawasan yang dilakukan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi pasif terutama Dewan Etik sebagai lembaga pengawas
harian yang anggotanya bersifat tetap, karena Dewan Etik tidak menyebutkan
secara spesifik bentuk pengawasanya terhadap Hakim Konstitusi, bentuk
pengawasan tersebut hanya tersirat di dalam pelaksanaan tugas Dewan Etik
dalam pasal 21 ayat (1) huruf a PMK No. 2 Tahun 2014 dimana pengawasan
yang dilakukan Dewan Etik sekarang hanya melakukan pengumpulan,
mengelola dan menelaah jika ada laporan pelanggaran kode etik terhadap
Hakim Konstitusi yang diduga bermasalah, tidak ada kejelasan bagaimana
tatacara dewan etik dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi
jika tidak ada laporan terhadap hakim tersebut.
2. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sudah efektif, hal ini penulis temukan dan
merelevansikannya dengan teori mas Ahcmad Santosa bahwa Dewan Etik dan
Majelis Kehormatan tidak memenuhi kriteria ukuran lemahnya sebuah
pengawasan internal, yaitu : kualitas dan integritas yang tidak memadai,
proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, belum adanya kemudahan
bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau
proses serta hasilnya, semangat membela sesama korps, dan tidak terpadat
kehendak yang kuat dari lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti
hasil pengawasan
62
B. Saran
1. Sebagai lembaga pengawas Internal Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
harus mempunyai bentuk pengawasan sebagai tolak ukur dalam penilaian
etik dan perilaku hakim konstitusi, bukan hanya menangani saat ada
laporan masuk mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi. Bentuk pengawasannya bisa berupa rapat evaluasi yang
dilakukan Dewan Etik bersama Hakim Konstitusi, ada disetiap
persidangan guna mengawasi perilaku Hakim Konstitusi, dan berkerja
sama dengan lembaga Negara lain untuk mencegah pelanggaran yang
berat seperti korupsi
2. Sebagai upaya penguatan bentuk pengawasan internal yang pasif penulis
rasa perlu ada revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi, terutama
tentang Dewan Etik agar dapat diperjelas atau dispesifikasikan bentuk
pengawasannya dalam Undang-undang, agar lebih kuat kedudukannya
bukan hanya terdapat tugas dan kewenangannya saja seperti yang tertulis
dalam pertauran mahkamah konstitusi. Kareana Dewan Etik memiliki
peranan yang besar dalam sistem pengawasan etik, sebab terbentuk atau
tidaknya MKMK akan sangat bergantung pada usul yang disampaikan
oleh Dewan Etik
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshidiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali pers: Jakarta, 2014
_____, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Konstitusi Press: Jakarta,
2006
_____, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2010
_____, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Sinar Grafika: Jakarta, 2014
Akbar, Patrialis, Lembaga-lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Sinar grafika:
Jakarta, 2013
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Sinar grafika: Jakarta, 2010
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Kencana: Jakarta, 2009
Bachtiar, Problema Implementasi Putusan Mahkamah Konstutusi Pada Pengujian
UU terhadap UUD, Penebar Swadaya Grup: Jakarta, 2015
B Taneko, Soleman, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Press:
Jakarta, 1993
Charis Zubair, Ahmad, Kuliah Etika, Cet. III, Rajawali Pers: Jakarta, 1980
DR. Munir, Teori-Teori Besar dalam Hukum, Prenadamedia: Jakarta, 2013
Fajar Nur Dewata, Mukti, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris, Pustaka Pelajar: Jakarta, 2010
H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta, 1995
Kadir Muhammad, Abdul, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 1997
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 2002
L Tobing, Raida, dkk, (Hasil Penelitian), Efektivitas Undang-Undang Monrey
Loundering, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan
HAM RI: Jakarta, 2011
64
Maggalatung, A Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Gramata publishing: Bekasi, 2016
Maggalatung. A Salman, Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara, Fajar
Media: Bandung, 2013
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Prenada Media: Jakarta, 2005
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta, 2010
Nawawi Arief, Barda Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, III, Citra Aditya: Bandung
2013
Prodikoro, Wiyono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat:
Jakarta, 1989
Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1981
Pembukaan Pedoman Perilaku Hakim, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandeman Konstitusi. Kencana Perdana
Media: Jakarta, 2012
Roestadi, Achmad, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta, 2006
Soekanto, Soerjono, Efektivitas Hukum dan Peran Saksi, Remaja Karya: Bandung,
1985
______, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, UI-press: Jakarta, 2014
______, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta, 2008
______, Sosiologi Suatau pengantar, Rajawali Pers: Bandung, 1996
Sujanto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 1996
Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,
Pradnya Paramita: Jakarta, 2006
65
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Buku Cetak Biru
Membangun Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi: Jakarta, 2004
Sumandhia, Y. W, Praktek Penyelenggara Pemerintah di Daerah, Rineka Cipta:
Jakarta, 1996
Tjandra, W. Riawan, Hukum Keuangan Negara, PT. Grasindo: Jakarta, 2006
Usfunan, Yohanes, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi
Yudisial: Jakarta
Jurnal
Wiryanto, “Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim
Konstitusi”. Jurnal Konstitusi, Volume 13 No 4, Desember 2016
Surkarti, Acmad, ”kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusional Ditinjau dari
Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara
(Indonesia, Jerman, dan Thailand)”, Jurnal Equality, Volume 11 No. 1,
Februari, 2006
Soeprawiro, Koernianmanto, “Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya”, Pro
Justitia, Volume V No 2, Mei 1987.
Triwulan Tutuk, Titik “Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Sistem Pengawasan
Hakim Menurut UUDRI 1945”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12 No 2,
Mei, 2012
Wignjosumarto, P. “Peran Hakim Agung dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan
Hukum pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Varia Peradilan, No. 251
Okrober 2006
66
Undang-undang
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Dewan Etik
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi
Internet
Mahkamah konstitusi, sejarah pembentukan mahkamah konstitusi, diakses dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=
1 (diakses pada tanggal 12 April pukul 21.46)
https://www.beritatransparansi.com/pengertian-teori-efektivitas-hukum/ (diakses
pada 03 mei 2018 21.00)
Mahkamah konstitusi, profil Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, diakses dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilDewanEti
k&menu=7 (diakses pada tanggal 18 Mei pukul 20.52)
Hermansyah, “Peran Lembaga Pengawas Eksternal terhadap Hakim,”
(http://www.pemantauperadilan.com), 8 April 2006, (diakses pada 28 juni
2018 pukul 20.46)