efektifitas penggunaan beberapa mikro organisme lokal mol dalam pengolahan limbah kakao menjadi...
DESCRIPTION
jurnal penelitianTRANSCRIPT
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BEBERAPA MIKRO ORGANISME LOKAL (MOL) DALAM PENGOLAHAN LIMBAH KAKAO MENJADI PUPUK ORGANIK DAN APLIKASINYA
PADA TANAMAN KAKAO PRODUKTIF
Basir Nappu, dkk
ABSTRAK
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah kakao menjadi pupuk organik secara mudah dan murah adalah dengan menggunakan mikro organisme lokal (MOL). MOL
dapat diperoleh dengan biaya murah bahkan tanpa biaya, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di sekitar lingkungan kita, antara lain : buah-buahan busuk seperti pisang, mangga, pepaya, atau limbah sayuran, rebung bambu, buah maja atau keong mas.
Peran MOL selain sebagai dekomposer juga merupakan bioreaktor yang berfungsi menjaga proses tumbuh tanaman secara optimal. Fungsi bioreaktor yakni penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi
tanah menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dan kontrol terhadap penyakit yang menyerang tanaman. Berkaitan dengan hal itu, dilakukan kajian efektivitas penggunaan beberapa MOL dalam pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik dan aplikasinya pada
tanaman kakao produktif. Pengkajian dilaksanakan di desa Baji Minasa, kecamatan Gantarang Keke, kabupaten Bantaeng, berlangsung mulai bulan Maret hingga Desember 2011. Tujuan kegiatan yaitu (1) untuk mengetahui jenis MOL yang efektif dalam pengolahan limbah kakao
menjadi pupuk organik yang diaplikasikan pada kakao produktif dan (2) untuk mengetahui kombinasi penggunaan pupuk organik dan an-organik dalam peningkatan mutu dan hasil tanaman kakao. Lingkup kegiatannya, terdiri atas : (1) pengolahan limbah kakao
(menggunakan MOL) menjadi pupuk organik dan (2) aplikasi pupuk organik limbah kakao (POLK) pada tanaman kakao produktif. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa jenis MOL yang paling efektif dalam pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik yang diaplikasikan pada
kakao produktif adalah MOL Pepaya. Sedangkan penggunaan dosis 2 t POLK/ha + 300 NPK kg/ha merupakan kombinasi pupuk yang dapat meningkatkan produktivitas kakao. Intensitas serangan hama PBK di lokasi penelitian tergolong ringan. Pemberiaan POLK dengan
menggunakan bioaktivator MOL pepaya dapat menekan penggunaan pupuk anorganik. Kata Kunci : limbah kakao, MOL, pupuk organik, tanaman kakao
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara pengekspor kakao ketiga terbesar di dunia dengan
volume mencapai 655.429 t atau senilai US$ 950,6 juta, dan sebagai penghasil devisa
terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan (BPS, 2008). Disamping itu, komoditas kakao
juga berperan penting sebagai sumber mata pencaharian bagi ratusan keluarga tani dan
penggerak roda perekonomian terhadap sektor-sektor lain (Herman, 2000). Pemerintah
sampai saat ini masih menaruh perhatian besar terhadap komoditas ini dan tetap berupaya
terus meningkatkan pengembangannya.
Sulawesi Selatan termasuk penghasil kakao terbesar di Indonesia, dengan produksi
19% dari produksi nasional atau 27% produksi kakao Sulawesi (Dinas Perkebunan Sulawesi
Selatan, 2008). Luas areal penanaman kakao yang tercatat di Sulawesi Selatan sekitar
250.233 ha, produksi 117,118 t, dan produktivitas 470 kg/ha. Produktivitas tersebut
tergolong sangat rendah dibandingkan dengan potensi hasil yang bisa dicapai 2-3 t/ha (Puslit
Kopi dan Kakao, 2004). Selain produktivitas rendah, masalah lain yang dihadapi adalah
rendahnya kualitas biji (berat biji < 1 g, cita rasa lemah). Penyebab utamanya adalah
kurangnya pemeliharaan tanaman, terutama pemupukan, tingkat serangan hama dan
penyakit serta tindakan pasca panen.
Kebijakan pemerintah beberapa tahun terakhir secara bertahap mengurangi subsidi
terhadap pupuk Urea, TSP dan KCl, mengakibatkan harga pupuk terus meningkat dan
menjadi langka sehingga berdampak pada pengurangan penggunaan pupuk termasuk dalam
usahatani kakao, akibatnya produksi menurun. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan
pupuk alternatif untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi lahan agar tetap subur dan
produktif melalui pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal. Salah satunya adalah
pemanfaatan pupuk organik, terutama bahan organik potensial yang ada di pertanaman
kakao atau limbah tanaman dan buah berupa dedaunan yang gugur, kulit buah kakao dan
plasenta/pulpa. Limbah-limbah tersebut belum banyak dimanfaatkan oleh petani kakao
sebagai bahan-bahan yang berguna dalam pertanaman kakao. Melalui penggunaan mikro
organisme lokal, limbah-limbah tersebut dalam waktu yang relatif singkat dapat dijadikan
kompos yang siap diaplikasikan ke tanaman sebagai pupuk organik. Dengan demikian
2
kebutuhan pupuk pada tanaman kakao dapat dipenuhi dari pemanfaatan limbah tanaman
kakao, sehingga diharapkan mampu meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas kakao.
Lahan perkebunan kakao sebagian besar diperkirakan memiliki kandungan bahan
organik rendah (Puslit Kopi dan Kakao, 2000). Rendahnya kandungan bahan organik tanah di
perkebunan kakao disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penambahan dan hilangnya
bahan organik dari tanah terutama melalui proses oksidasi biologis dalam tanah. Karena itu,
perlu diupayakan untuk peningkatan kandungan bahan organik tanah melalui pemberian
pupuk organik. Pupuk organik merupakan bahan yang ditambahkan ke tanah atau tanaman
yang berasal dari bahan-bahan alamiah organik (sisa tanaman, hewan, manusia) yang telah
melapuk untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman.
Bahan Organik tanah merupakan bahan esensial yang tidak dapat digantikan dengan
bahan lain didalam tanah, selain peranannya dapat mempertahankan atau memperbaiki sifat
fisik tanah baik tekstur maupun struktur tanah juga peranan bahan organik dapat mendukung
kehidupan mikro organisme/makro organisme tanah dan sebagai sumber nutrisi bagi
beberapa mahluk hidup di dalam tanah termasuk tumbuhan (Syaifuddin, 2010; Abdullah,
1996).
Potensi limbah kakao sebagai sumber bahan organik cukup besar. Limbah dapat
berupa daun guguran, kulit buah dan plasenta. Bobot kering daun gugur pada tanaman
kakao meningkat menurut umur. Pada umur 10 tahun diperkirakan 5,5 t/ha/tahun (Ling,
1984), sementara itu kulit dan plasenta bobotnya sebanding dengan biji yang dihasilkan
(Shepheerd dan Ngau, 1984).
Limbah kakao mengandung sejumlah unsur hara penting. Jumlah unsur hara setara
pupuk pada daun gugur dan kulit buah dengan produktivitas 1000 kg biji kering/ha yaitu 200
kg Urea, 75 kg TSP, 640 kg KCl, dan 210 kg Kiserit per ha. Jika limbah ini dimanfaatkan
sebagai pupuk, petani telah ikut berperan membantu program pemerintah dalam hal
penghematan penggunaan energi (pupuk buatan) dan pembangunan berwawasan
lingkungan. Jika luas tanaman kakao di Sulawesi Selatan sekitar 200.000 ha, dengan hasil
1000 kg/ha dan pemanfaatan limbah kakao setara pupuk sekitar 1000 kg, sementara harga
pupuk diperkirakan Rp 2.500/kg, maka jumlah penghematan atas penggunaan limbah kakao
ditaksir sekitar Rp 500 Milyar/tahun, suatu jumlah yang cukup banyak. Dengan demikian
pendapatan petani akan meningkat Rp 2.500.000/ha, lahan pertanaman kakao tetap terjamin
kesuburannya dan produksi kakao diharapkan meningkat dan stabil.
3
Untuk dapat menjadi pupuk organik, limbah kakao harus mengalami dekomposisi
(pelapukan), melalui pemanfaatan mikro organisme tanah (dekomposer). Beberapa mikro
organisme lokal (MOL) teridentifikasi potensial sebagai dekomposer dan beberapa produk
MOL sudah beredar/dipasarkan di lapang dan di antaranya dapat dikembangkan secara
sederhana oleh petani.
1. 2. Tujuan
a. Tujuan Tahunan :
1) Untuk mengetahui jenis MOL yang efektif dalam pengolahan limbah kakao menjadi
pupuk organik yang diaplikasikan pada kakao produktif
2) Untuk mengetahui kombinasi penggunaan pupuk organik dan an-organik dalam
peningkatan mutu dan hasil tanaman kakao.
b. Tujuan Akhir : Untuk mengetahui pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik
dengan menggunakan MOL dan aplikasinya pada tanaman kakao
produktif.
1.3. Output (Keluaran)
a. Keluaran Tahunan :
1) Tersedianya MOL yang efektif dalam pengolahan limbah kakao menjadi pupuk
organik sebagai alternatif subsitusi pupuk anorganik pada tanaman kakao
produktif.
2) Tersedianya paket teknologi pemupukan organik dan an-organik dalam
peningkatan mutu dan hasil tanaman kakao.
b. Keluaran Tahunan :
Termanfaatkannya paket teknologi penggunaan MOL dalam pengolahan limbah kakao
menjadi pupuk organik untuk diaplikasikan pada tanaman kakao produktif.
1.4. Outcome (Hasil)
1. Peningkatan mutu dan produktivitas kakao > 1,5 ton/ha/thn
2. Berkurangnya penggunaan pupuk an-organik 50% (pemanfaatan pupuk organik
dari limbah kakao sebagai alternatif substtitusi pupuk an-organik)
4
3. Penurunan biaya produksi > 10%
4. Paket teknologi yang dihasilkan dari kegiatan ini terdiri dari :
a. Teknologi pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik dengan
menggunakan MOL
b. Teknologi aplikasi penggunaan pupuk organik limbah kakao pada tanaman kakao
produktif
1.5. Benefit (Manfaat)
1. Meningkatnya kesadaran petani akan manfaat limbah kakao yang diolah menjadi
pupuk organik
2. Meningkatnya pengetahuan dan skill petani kakao dalam pembuatan pupuk organik
limbah kakao melalui penggunaan MOL efektif
3. Meningkatnya pengetahuan dan skill petani dalam penerapan pemupukan pupuk
organik guna peningkatan mutu dan hasil kakao
4. Meningkatkan pendapatan dan kesejateraan petani
1.6. Impact (Dampak)
1. Terpeliharanya kesuburan tanah baik fisik, kimia maupun biologis
2. Terciptanya produk kakao yang sehat untuk dikonsumsi
3. Terciptanya sistem pertanian berkelanjutan (sustainable Agriculture)
4. Meningkatnya pendapatan regional
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah dari perkebunan kakao. Apabila tidak
dimanfaatkan dapat mencemarkan lingkungan di sekitar perkebunan. Salah satu cara untuk
memanfaatkan kulit buah kakao adalah dijadikan kompos yang dapat digunakan sebagai
pupuk organik (Sudirja, 2005).
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai
sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan
sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan
senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao
sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono dkk, 1997). Menurut
Didiek dan Yufnal (2004), kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C
organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa organisme hidup yang telah
melapuk. Menurut Sutanto (2002), keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan
pupuk organik adalah memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Kompos adalah
bahan organik mentah yang telah mengalami proses dekomposisi secara alami. Salah satu
limbah pertanian yang baru sedikit dimanfaatkan adalah limbah dari perkebunan kakao yaitu
kulit buah kakao. Selanjutnya Opeke (1984) melaporkan bahwa kulit buah kakao
mengandung protein 9,69%, glukosa 1,16%, sukrosa 0,18%, pektin 5,30%, dan Theobromin
0,20%.
Hakim, dkk. (1986), menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dapat menambah
cadangan unsur hara di dalam tanah, memperbaiki struktur tanah dan menambah kandungan
bahan organik tanah. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah di antaranya, dapat
memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan C-organik meningkatkan KTK tanah karena
bahan organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar daripada koloid liat dan dapat
melepaskan P dari P terfiksasi menjadi P-tersedia bagi tanaman.
Untuk mengolah dan memproduksi pupuk organik secara mandiri perlu dilakukan
dengan menggunakan mikro organism lokal (MOL). Cara ini akan meminimalisasi
6
penggunaan senyawa kimia sintetis sehingga kualitas lahan tetap terjaga. Fungsi mikroba
lokal yang digunakan membantu pertumbuhan tanaman, kesehatan ekosistem, dan mikroba
tersebut telah beradaptasi baik dengan ekosistemnya.
Salah satu aplikasi dari prinsip pertanian berwawasan lingkungan adalah
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya lahan, termasuk biodiversitas, siklus biologi, dan
aktivitas biologi tanah, melalui penggunaan pupuk alami hasil dekomposisi mikroba. Sumber-
sumber bahan organik yang tersedia di lokasi perlu dioptimalkan penggunaannya (Rosita,
2007). Bahan-bahan mikro organisme lokal mengandung zat yang diduga berupa zat yang
dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan zat yang mampu mendorong perkembangan
tanaman seperti zyberlin, sitoxinin, auxin, dan inhibitor (Mauludin, 2009).
Larutan MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai
sumber daya yang tersedia setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan
makro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan, dan sebagai agens pengendali hama dan penyakit tanaman,
sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati dan pestisida organik
terutama sebagai fungisida (Purwasasmita, 2009). Amalia (2008) juga melaporkan bahwa
keunggulan penggunaan MOL adalah dapat diperoleh dengan biaya murah bahkan tanpa
biaya. Dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar seperti buah-
buahan busuk (pisang, mangga, pepaya), limbah sayuran (bayam, kangkung), rebung
bambu, buah maja dan keong mas.
Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan sebagai
komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh tanaman secara optimal. Fungsi
bioreaktor antara lain penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat, kontrol mikroba sesuai
kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi yang ideal bagi
pertumbuhan tanaman dan kontrol terhadap penyakit yang menyerang tanaman (Kurnia,
2009).
7
III. METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengkajian meliputi :
a. Pengolahan Limbah Kakao menjadi pupuk organik
b. Aplikasi Pupuk Organik Limbah Kakao (POLK) pada tanaman Kakao Produktif
3.2. Waktu dan Lokasi
Kajian ini dilaksanakan di desa Baji Minasa, kecamatan Gantarang Keke, kabupaten
Bantaeng, berlangsung mulai bulan Maret – Desember 2011. Pengujian laboratorium
untuk kandungan unsur hara MOL dilaksanakan di Laboratorium Tanah BPTP Sulawesi
Selatan, sedangkan untuk pengujian identifikasi dan konsentrasi mikroba setiap jenis MOL
dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Kesehatan Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor.
3.3. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Bahan : bahan kimia laboratorium, pupuk NPK, pestisida, gula pasir, dan air kelapa.
Alat : Ember plastik, drum, karung, tali rafiah dan peralatan lapangan.
3.3. Metode Pengkajian
Ada 2 tahap rangkaian kegiatan yang dilakukan yaitu :
A. Pengolahan Limbah Kakao Menjadi Pupuk Organik
Prosedur pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik adalah sebagai berikut :
limbah kakao (dedaunan dan kulit buah) dikumpulkan pada tempat yang sudah disiapkan,
kemudian dicampurkan dengan kotoran. Limbah kakao berukuran besar dan panjang
dipotong-potong/dicincang). Selanjutnya, ditambahkan Mikro Organisme Lokal (MOL) yaitu
produk mikroba pada setiap tumpukan 30 cm hingga mencapai + 1 meter. Untuk 1 ton
limbah kakao diberikan aktivator 5 liter. Ada 4 jenis MOL yang akan dicobakan yakni MOL
8
limbah hijauan bayam, MOL limbah pepaya, MOL rebung bambu dan MOL keong mas. Jenis
MOL yang paling cepat menghancurkan limbah kakao merupakan MOL yang tingkat
efektivitasnya tinggi sebagai dekomposer/sebagai aktivator. Dari proses tersebut dihasilkan
kompos, kemudian disaring secara fisik dengan cara mengayak kompos. Selanjutnya siap
diaplikasikan pada tanaman kakao produktif. Sebelum diaplikasi kompos dianalisis di
laboratorium untuk mengetahui kandungan haranya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram alir berikut (Gambar 1) :
…………..
MOL
Limbah Bayam Limbah Pepaya Limbah Rebung Keong Mas
MOL Limbah Sayuran
MOL Limbah Pepaya
MOL
Limbah Rebung
MOL Limbah Bayam
Limbah Kakao +
Kotoran hewan
MOL Keong Mas
Limbah Kakao +
Kotoran hewan
Limbah Kakao +
Kotoran hewan,
KOMPOS (Pupuk Organik)
Jenis MOL yang efektivitasnya tinggi sebagai
dekomposer adalah MOL Pepaya
TANAMAN KAKAO PRODUKTIF
KOMPOS (Pupuk Organik)
KOMPOS (Pupuk Organik)
KOMPOS (Pupuk Organik)
Limbah Kakao +
Kotoran hewan
9
Gambar 1. Diagram Alir Pengolahan Limbah Kakao menjadi Pupuk Organik
B. Aplikasi Pupuk Organik Limbah Kakao (POLK) pada Tanaman Kakao Produktif
Aplikasi pupuk organik limbah kakao difokuskan pada tanaman kakao produktif.
Kegiatan ini mengkaji kombinasi perlakuan Pupuk Organik Limbah Kakao (POLK) dan pupuk
an-organik, dengan melibatkan 4 petani kooperator sebagai ulangan. Pemberian pupuk
organik dan an-organik akan dilakukan 2 kali dalam setahun, yakni pada awal musim hujan
dan pada akhir musim hujan. Pupuk diberikan secara sebar dan dicampur dengan tanah
sekitar pohon (batang).
Perlakuan yang dikaji adalah :
A = POLK 2 t/ha + 900 kg NPK/ha
B = POLK 2 t/ha + 600 kg NPK/ha
C = POLK 2 t/ha + 300 kg NPK/ha
D = POLK 5 t/ha
E = 600 kg NPK/ha (tanpa POLK)
Setiap perlakuan diaplikasikan pada 49 tanaman kakao dengan jarak tanam
3 m x 3 m. Sedangkan jumlah pohon untuk sampel pengamatan dari tiap perlakuan adalah
9 pohon, yang berada di tengah pertanaman. Perlakuan disusun dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 orang petani sebagai ulangan.
3.4. Pengumpulan/Pengolahan dan Analisis Data
Parameter yang diamati, meliputi komponen hasil yakni jumlah bantalan buah, jumlah
buah yang dipanen/pohon, berat buah, jumlah biji/buah, berat biji/buah, berat biji (100 biji)
dan berat biji kering/ha, serta kondisi serangan hama dan penyakit.
Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan sidik ragam, sedangkan
pengaruh perbedaan antar perlakuan diuji dengan “Duncan-test”.
Laporan ilmiah sebanyak 2 buah yang disusun dari kegiatan tersebut akan
dipublikasikan baik melalui prosiding maupun jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan di
lingkungan Badan Litbang Pertanian.
10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pengolahan Limbah Kakao Menjadi Pupuk Organik
Hasil uji identifikasi dan konsentrasi mikroba dalam 4 jenis MOL yang dikaji disajikan
pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Hasil uji laboratorium identifikasi dan konsentrasi mikroba MOL Keong, MOL Nasi, MOL Bayam, dan MOL Pepaya
No Parameter
Hasil (CFU/mL)
Mol
Keong Mol Nasi Mol Bayam
Mol
Pepaya
Total sel hidup
Total Actinomycetes (≥104) Mikroba Majemuk :
Bakteri Selulolitik (≥105) Fungi Selulolitik (≥104) Fungi Lignolitik (≥104)
1,0 x 104
4,0 x 103 1,1 x 102
*ttd
5,4 x 104
2,6 x 104 2,2 x 104
*ttd
1,0 x 104
1,0 x 104 8,0 x 102
*ttd
1,2 x 103
2,4 x 102 8,0 x 104
*ttd Ket : ttd = tidak terdeteksi
Berdasarkan hasil uji identifikasi dan konsentrasi mikroba MOL diatas menunjukkan
bahwa masing-masing MOL memiliki konsentrasi sel hidup yang meliputi total Actinomycetes,
bakteri selulotik dan fungi selulotik yang beragam kecuali mikroba majemuk fungi lignolitik
yang tidak terdeteksi. Mikroorganisme merombak bahan organik, melepas hara anorganik
yang dibutuhkan tanaman. Jika mikroorganisme tidak ada maka bahan organik akan
berakumulasi, unsur hara tidak tersedia. Mikroorganisme dapat menghasilkan asam-asam
organik seperti asam glukonat (bakteri), asam sitrat, asam oksalat (fungi) dapat melarutkan
mineral, namun fosfat besi, fosfat aluminium resisten terhadap asam-asam tersebut, tetapi
dapat larut oleh as.hidrogen sulfida yang juga dihasilkan oleh mikrooranisme. Sebagian besar
pengurai silikat dan fosfat ditemukan di dalam tanah yang cukup bahan organik sebagai
substrat mikroorganisme. Kobus (1962), mengestimasi bahwa 8 – 95% m.o yang diteliti dari
berbagai contoh tanah dapat menguraikan kalsiumdifosfat.
Hasil uji laboratorium kadar hara pada masing-masing jenis MOL maka didapatkan
hasil sebagai berikut :
11
Tabel 2. Hasil Uji Kadar N, C dan C/N kompos limbah buah kakao dengan menggunakan
dekomposer MOL Keong, MOL Nasi, MOL Bayam, dan MOL Pepaya terhadap
No Parameter Hasil
Mol Keong Mol Nasi Mol Bayam Mol Pepaya
1
2
3
N-Total, %
C-organik, %
C/N, ratio
0,51
10,02
20
0,54
15,63
29
0,64
10,80
21
0,64
10,80
17
Berdasarkan hasil uji kadar hara pada Tabel 1, menunjukkan bahwa diantara 4 jenis MOL
yang diujikan, MOL buah-buahan yang memiliki ratio C/N yang terendah paling efektif untuk
dijadikan sebagai bahan dekomposer kompos. Nilai C/N dapat dijadikan indikator untuk
mengetahui tingkat dekomposisi dimana makin rendah C/N maka semakin efektif suatu bahan
untuk mendekomposisi kompos.
Hasil uji hara pupuk kompos yang berasal dari limbah kulit kakao dengan
menggunakan dekomposer MOL Pepaya disajikan sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil laboratorium uji kadar hara pupuk kompos
No Parameter Hasil
1
2
3
4
5
6
N-total, % (Kjeldahl)
P2O5, % (Spektrofotmetri)
K2O, % (AAS)
pH (Elektrometri)
C-Organik (Churmies)
C/N Ratio
1,38
0,18
1,01
7,73
5,39
4
Berdasarkan hasil analisis kandungan hara yang terdapat dalam kompos dengan
menggunakan dekomposer MOL Pepaya maka kandungan N-total (1,38 %), kandungan P2O5
(0,18%), Kandungan K2O (1,01%), pH tanah (7,73), kandungan C-Organik (5,39 %),
C/N Ratio (4). Kandungan hara yang terkandung dalam POLK tersebut diatas layak untuk
digunakan sebagai pupuk organik.
Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan
air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan
12
penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap unsur hara
dari tanah. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi
serangan penyakit.
Komponen Hasil Tanaman
Pengaruh budidaya organik yang lebih penting adalah terhadap komponen hasil
terutama terhadap hasil buah. Untuk melihat sejauh mana pengaruh POLK terhadap
komponen hasil kakao maka dilakukan perbandingan data sebelum dan sesudah aplikasi
perlakuan. Hasil pengamatan awal pada tanaman kakao 6 (enam) bulan sebelum aplikasi
pemupukan disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4. Pengamatan awal tanaman (6 bulan sebelum aplikasi)
Perlakuan Bantalan buah
Jumlah buah
Berat buah
(g)
Jumlah biji/buah
Berat biji/buah
(g)
Berat 100 biji
(g)
Provitas (t/ha/
6 bln)
A 23,17 a 21,79 a 126,34 a 21,22 a 30,24 a 64,53 a 0,658 a
B 23,37 a 21,49 a 126,33 a 23,60 a 30,14 a 65,51 a 0,647 a
C 23,33 a 21,55 a 126,46 a 23,16 a 30,19 a 64,11 a 0,650 a
D 23,22 a 21,68 a 126,52 a 22,17 a 30,21 a 63,44 a 0,654 a
E 23,49 a 21,46 a 126,99 a 23,80 a 30,15 a 62,25 a 0,647 a
Komponen bantalan buah, komponen jumlah buah, berat buah, jumlah biji, berat
biji dan berat 100 biji pada pertanaman kakao yang dikaji menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata pada setiap perlakuan sebelum aplikasi. Demikian juga pada produktivitas
tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan yang dicobakan.
Produktivitas tanaman pada awal pengamatan berkisar 0,647 – 0,658 t/ha. Selanjutnya,
pada Tabel 5 disajikan pengamatan pada 6 bulan selama aplikasi pemupukan.
Tabel 5. Pengamatan pada 6 bulan selama aplikasi pemupukan
Perlakuan Bantalan
buah
Jumlah
buah
Berat buah
(g)
Jumlah
biji/buah
Berat
biji/buah (g)
Berat
100 biji (g)
Provitas
(t/ha/ 6 bln)
A 32,17 a 29,63 a 136,44 b 31,32 a 33,64 a 84,60 ab 0,997 a
B 32,37 a 29,77 a 146,33 a 26,70 a 32,04 a 81,22 b 0,954 a
C 32,33 a 30,19 a 143,77 ab 48,88 a 33,46 a 83,10 ab 1,001 a
D 32,22 a 29,76 a 150,60 a 29,19 a 31,08 a 85,58 ab 0,924 a
E 32,49 a 27,61 a 148,26 a 32,04 a 31,24 a 87,54 a 0,862 a
13
Pengamatan terhadap komponen produksi tanaman selama aplikasi pemupukan
menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan data awal sebelum aplikasi.
Hasil analisis statistik terhadap komponen jumlah bantalan buah menunjukkan tidak ada
perbedaan nyata antar setiap perlakuan, walaupun demikian perlakuan E (600 kg NPK/ha)
memberikan rata-rata tertinggi yaitu 32,49.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman kakao amat responsif terhadap
pemberian bahan organik (POLK) tanah. Produktivitas tanaman berkisar antara
0,862 – 1,001 t/ha. Meskipun analisis statistik menunjukan bahwa produktivitas tanaman
tidak berbeda nyata antar setiap perlakuan, akan tetapi pemberian 2 t POLK/ha + 300 kg
NPK/ha mampu meningkatkan 41% - 54% produktivitas tanaman jika dibandingkan sebelum
aplikasi pemupukan. Penyebab dari peningkatan hasil buah kakao tersebut merupakan
akumulasi dari pengaruh positif pupuk organik terhadap kadar bahan organik tanah,
kandungan hara makro dan mikro dalam kebun, serta terhadap populasi hama dan penyakit
tanaman. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya
daripada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia.
Serangan Hama dan Penyakit
Serangan hama penggerek buah kakao (PBK) hingga saat ini masih menjadi
masalah serius dalam budidaya secara nasional. Areal serangan PBK sudah merambah ke
seluruh wilayah Indonesia walaupun dengan tingkat kerusakan yang beragam di masing-
masing daerah. Pada lokasi kajian, persentase serangan hama PBK masih dalam kategori
ringan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase buah terserang hama PBK
Perlakuan Persentase buah terserang
A 0,18 a
B 0,18 a
C 0,07 a
D 2,22 a
E 2,49 a
14
Hama PBK merupakan serangga berukuran mikro, namun memiliki daya rusak yang
cukup besar karena bagian yang dirusak adalah buah kakao yang secara langsung
mempengaruhi produksi dan mutu biji kakao. Buah kakao yang telah terserang PBK
mengakibatkan biji tidak berkembang, lengket satu dengan lainnya, sulit dipisahkan dengan
kulit buah dan apabila dilakukan pengolahan biji akan terjadi fermentasi tidak sempurna.
Kedaan ini mengakibatkan harga kakao dipasaran menjadi rendah dan kurang disukai oleh
konsumen (Baharuddin, 2005).
Analisis Usaha Tani
Analisis ekonomi usaha tani kakao dengan pemberian POLK dilakukan dengan
memperhitungkan faktor-faktor input dan output berdasarkan pada standar harga tahun 2011
di lokasi pengkajian. Komponen biaya yang digunakan terbatas pada biaya langsung. Bahan
POLK yang digunakan sebagai pupuk organik merupakan limbah in-situ yang dianggap tidak
memerlukan biaya langsung. Analisis usahatani penggunaan POLK disajikan sebagai berikut :
Tabel 7. Analisis Usaha Tani
No Uraian Jenis Pemupukan
A B C D E 1. Hasil (kg/ha) 997 954 1.001 924 862
2. Biaya Produksi (Rp/ha) :
Pupuk an-organik 1.800.000 1.200.000 600.000 - 1.200.000
Pestisida/herbisida 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000
Lain-lain 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000
Jumlah Biaya 2.800.000 2.200.000 1.600.000 1.000.000 2.200.000
3. Penerimaan (Rp/ha) 19.940.000 19.080.000 20.020.000 18.480.000 17.240.000
4. Pendapatan (Rp/ha) 15.940.000 16.880.000 18.420.000 17.480.000 14.840.000
B/C 6.1 7.6 11.5 17.5 6,7
Berdasarkan analisis usaha tani pada Tabel 7 tampak bahwa subtitusi POLK secara umum
dapat mengurangi biaya produksi. Dengan demikian pendapatan yang diperoleh petani lebih
tinggi. Hasil perhitungan B/C ratio tersebut di atas tampak bahwa usaha tani kakao dengan
subtitusi pupuk organik lebih menguntungkan dari usahatani yang hanya menggunakan
pupuk an-organik tanpa subtitusi pupuk organik. Perlakuan pemberian POLK 5 t/ha
menghasilkan B/C ratio tertinggi yaitu 17,5. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian POLK
sebagai substitusi pupuk an-organik berpeluang untuk diaplikasikan pada tanaman kakao
dalam usaha meningkatkan pendapatan petani kakao.
15
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Jenis MOL yang paling efektif dalam pengolahan limbah kakao menjadi pupuk organik
yang diaplikasikan pada kakao produktif adalah MOL Pepaya
2) Penggunaan dosis 2 t POLK/ha + 300 NPK kg/ha merupakan kombinasi pupuk yang
dapat meningkatkan 41 – 54 % produktivitas kakao
3) Intensitas serangan hama PBK di lokasi penelitian tergolong ringan
4) Pemberian POLK dengan bioaktivator MOL buah pepaya dapat menekan penggunaan
pupuk an-organik
5.2. Saran
Guna meningkatkan implementasi penggunaan MOL dalam pengolahan limbah buah kakao
dan atau limbah pertanian lainnya menjadi pupuk organik, perlu upaya sosialisasi dan kegiatan
demonstrasi teknologi yang lebih luas di tingkat petani.
16
VI. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., 1996. Bahan Organik Peranannya Bagi Perkebunan Kopi dan Kakao. Warta
Puslit Kopi dan Kakao, 2 (22) : 70-80.
Amalia, A., 2008. Pembuatan Starter/MOL (Mikro Organisme Lokal) oleh Petani.
http://organicfield.wordpress.com. (Diakses pada tanggal 16 Mei 2010)
Baharuddin, 2005. Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian.
BPS. 2008. Statistik Perdagangan. BPS, Jakarta.
Didiek H.G dan Y. Away., 2004. Orgadek, Aktivator Pengomposan. Pengembangan Hasil Penelitian Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor.
Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan. 2008. Laporan Tahunan. Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, Makassar.
Goenadi., 1997. Kompos Bioaktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Kumpulan Makalah
Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan Untuk Praktek. Bogor. 18-27.
Hakim, Adiningsih, Rochayati S., 1986. Peranan Bahan Organik dalam Meningkatkan Efisiensi Pupuk dan Produktivitas Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk.
Puslittan, Bogor.
Herman, 2000. Peranan dan Prospek Pengembangan Komoditas Kakao dalam Perekonomian Regional Sulawesi Selatan. Warta Puslit Kopi dan Kakao 16 (1) : 21 – 31
Kunia, K., 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus Kehidupan dalam Bioreaktor
Tanaman. Pusat Penelitian Bioteknologi ITB. Bandung. 7 hlm.
Ling, A.H., 1984. Cocoa Nutrition and Manuring on Inland Soil in Peninsular Malaysia. The Planter 60 (694) : 12-24
Mauludin, 2009. Pengembangan Bahan Organik Melalui Mikro Organisme Lokal, Kompos dan Pestisida Nabati. http://gofreedomindonesia.com. (Diakses pada tanggal 16 Mei 2010)
Opeke., L.K. 1984. Optimising Economic Returns (Profit) from Cacao Cultivation Through Efficient Use of Cocoa By Products. Proceeding. 9th International Cocoa Research Conference.
Purwasasmita, M., 2009. Mengenal SRI (System of Rice Intensification). http://sukatani-
banguntani.blogspot.com. (Diakses pada tanggal 25 Juni 2010)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2000. Laporan Kegiatan Penelitian Tahun Anggaran
1999/2000.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka, Jakarta. 328 hlm.
Puslitkoka, 2008. Budidaya Tanaman Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember
17
Rosita, S.M.D., 2007. Kesiapan Teknologi Mendukung Pertanian Organik Tanaman Obat. Kasus Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Shepherd, R and Y.T. Ngau, 1984. Utilization of by Product of Cocoa Bean Processing. Int. Conf. On Cocoa and Coconut, Malaysia. 17 p.
Soedarsono, S. Abdoellah, E. Aulistyowati., 1997. Penebaran Kulit Buah Kakao Sebagai
Sumber Bahan Organik Tanah dan Pengaruhnya terhadap Produksi Kakao. Pelita Perkebunan 13(2):90-99
Spillane, J., 1995. Komoditi Kakao, Peranannya dalam Perekonomian Indonesia. Kanisius.
Yogyakarta.
Sudirja R., Solihin M.A., Rosniawaty S., 2005. Pengaruh Kompos Kulit Buah Kakao dan Kascing Terhadap Perbaikan Beberapa Sifat Kimia Fluventic Eutrudepts. Lembaga
Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung. 43 hlm.
Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.
Syaifuddin A., Mulyani L., Sulastri E., 2010. Pemberdayaan Mikroorganisme Lokal Sebagai Upaya Peningkatan Kemandirian Petani. Ringkasan Karya Tulis. 14 hlm.