efektivitas konsorsium mikroba sebagai pengendali …repository.ub.ac.id/7164/1/ana waumrina.pdf ·...

47
EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT MERAH AKIBAT ALGA Cephaleuros sp. PADA PEMBIBITAN CENGKEH DI WONOSALAM, JOMBANG oleh ANA WAUMRINA UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN MALANG 2017

Upload: others

Post on 09-Nov-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT MERAH AKIBAT ALGA Cephaleuros sp. PADA PEMBIBITAN

CENGKEH DI WONOSALAM, JOMBANG

oleh

ANA WAUMRINA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN

MALANG

2017

Page 2: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT MERAH AKIBAT ALGA Cephaleuros sp. PADA PEMBIBITAN

CENGKEH DI WONOSALAM, JOMBANG

OLEH

ANA WAUMRINA

135040201111052

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

MINAT HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS PERTANIAN

JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

MALANG

2017

Page 3: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini merupakan

hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi dosen pembimbing. Skripsi

ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun

dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang ditunjukkan rujukannya dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Malang, Agustus 2017

Ana Waumrina

Page 4: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT
Page 5: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT
Page 6: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

Skripsi ini aku persembahkan untuk

Kedua orang tuaku tercinta

Juga kakak dan adikku tersayang

Page 7: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

i

RINGKASAN

Ana Waumrina (135040201111052): Efektivitas Konsorsium Mikroba Sebagai Pengendali Penyakit Karat Merah Akibat Alga Cephaleuros sp. pada Pembibitan Cengkeh di Wonosalam, Jombang. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. dan Restu Rizkyta Kusuma, SP, M.Sc.

Penyakit karat merah akibat alga Cephaleuros banyak ditemukan menyerang daun tua pada bibit cengkeh di Kec. Wonosalam, Jombang. Pengendalian penyakit karat merah yang efisien hingga kini belum dilakukan oleh pembibit. Aplikasi mikroba antagonis merupakan solusi pengendalian yang ramah lingkungan dan sudah terbukti efektif untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Mikroba dalam bentuk konsorsium merupakan penggabungan beberapa mikroba yang memiliki hubungan sinergisme sehingga dapat menekan perkembangan penyakit lebih efektif. Penelitian terkait penggunaan mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit dan menstimulasi pertumbuhan tanaman perlu dilakukan lebih mendalam karena setiap mikroba antagonis memberikan respon yang berbeda-beda untuk wilayah, waktu, tanaman dan sasaran patogen yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi mikroba tunggal dan konsorsium dalam kombinasi Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma sp. dalam mengendalikan penyakit karat merah serta pengaruhnya dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman cengkeh.

Penelitian dilakukan pada bulan Februari - Juli 2017 di lahan pembibitan cengkeh yang terletak di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Kec. Wonosalam, Jombang untuk mengetahui efektivitas perlakuan pengendalian dan di laboratorium Penyakit Tumbuhan Universitas Brawijaya untuk mengidentifikasi patogen. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter yang diamati yaitu: tinggi tanaman, jumlah daun dan intensitas penyakit. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam dan diuji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. Data parameter pertumbuhan, intensitas penyakit dan faktor cuaca dianalisis menggunakan analisis regresi dan korelasi untuk mengetahui hubungan antar parameter.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi mikroba dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman, namun mampu menekan perkembangan penyakit karat merah lebih baik dibandingkan kontrol. Intensitas penyakit sebelum aplikasi mikroba antagonis adalah 31,23% – 50,23%. Efektivitas pengendalian oleh mikroba dalam bentuk konsorsium lebih baik daripada mikroba tunggal maupun fungisida tembaga yaitu sebesar 49%. Penyakit karat merah memiliki pengaruh dalam menurunkan jumlah daun sebesar 63,2% dengan koefisien korelasi sebesar -0,805 (korelasi kuat). Peningkatan intensitas penyakit karat merah dipengaruhi oleh cuaca terutama penigkatan curah hujan sebesar 57,4% dengan koefisien korelasi 0,792 (korelasi kuat).

Page 8: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

ii

SUMMARY

Ana Waumrina (135040201111052): The Effectiveness of Microbial Consortia as Red Rust Disease Control caused by Cephaleuros sp. on Cloves Seedling in Wonosalam, Jombang. Supervised by Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. and Restu Rizkyta Kusuma, SP., M.Sc.

Red rust is a disease caused by Cephaleuros sp. that was found attack mature leaf of cloves seedling in Wonosalam, Jombang. An eficient control to decrease the intensity of disease are not applied yet by farmers. Application of antagonistic microbes is being considered as an alternative and ecofriendly way to control plant diseases and was evident to control many plant diseases. Microbial consortia is association of many microbes that have sinergism relation to control disease effectively. The research about application antagonistic microbes to control red rust and stimulate plant growth need to do because antagonistic microbes will give different responses when applied on different region, time, plant and pathogen target. The purpose of this reseach is to study any effect of single microbe and consortia on Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens and Trichoderma sp. combination to control red rust disease and stimulate cloves growth.

This reseach was from February to July 2017 on cloves seedling field in Ganten, Wonomerto, Wonosalam, Jombang to test effectiveness of treatments, and at Plant Diseases laboratory in University of Brawijaya to identification the pathogen. The field was conducted with randomized design block with 6 treatments and 4 replications. Parameters of the observation are high of plant, total leaves and disease intensity. The data was analyzed by analysis of variance, then used advanced test with Least Significant Difference test (LSD) at 5%. The data of plant growth, disease intensity and weather factor were analyzed by regression and correlation analysis to calculate relation between parameters.

The result showed that application both single microbe or consortia can not give the different significant to influence plant vegetative growth, but can decrease red rust disease better than control. The intensity of disease before application of antagonistic microbes was 31,23% – 50,23%. Aplication of consortia was able to suppress the development of algae disease which can reach 49% better than application of single microbe and copper fungicide. Red rust decreased the number of leaves of 63,2%, with strong correlation of -0,805. The increasing disease intensity was influence by weather, especially increasing of rainfall equal to 57,4% with coefficient correlation 0,792 (strong correlation).

Page 9: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk

dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Efektivitas Konsorsium Mikroba Sebagai Pengendali Penyakit Karat Merah Akibat

Alga Cephaleuros sp. pada Pembibitan Cengkeh di Wonosalam, Jombang.”.

Kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini,

penulis mengucapkan terimakasih, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. dan Ibu Restu Rizkyta Kusuma, SP.,

M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

2. Ibu Dr. Ir. Ludji Pantja Astuti, MS. Selaku Ketua Jurusan Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

3. Kedua orang tua tercinta Bapak Sudarno dan Ibu Warsinah serta kakak dan

adik (Adi dan Bima) yang selalu memberikan dukungan dan doa.

4. Heni Ambaryanti, Agus Vinasari, Roaita Mustika H. dan Agus Winarko sebagai

sahabat yang selalu memberikan dukungan.

5. Teman-teman mahasiswa Hama dan Penyakit Tumbuhan 2015.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan

sumbangan pemikiran untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Malang, Agustus 2017

Ana Waumrina

Page 10: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

iv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 6 Februari 1995 sebagai putri

kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Sudarno dan Ibu Warsinah. Penulis

menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gadungan 1, Puncu, Kediri pada tahun

2001-2007, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri

3 Pare pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 hingga 2013 penulis menempuh

pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Pare. Pada Tahun 2013 penulis

terdaftar sebagai mahasiswa strata satu di Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya Program studi Agroekoteknologi melalui jalur SNMPTN. Pada tahun

2015 penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum

mata kuliah pemuliaan tanaman pada tahun 2015 dan 2016 dan asisten praktikum

rancangan percobaan pada tahun 2016. Penulis juga terdaftar sebagai anggota

bela diri Merpati Putih Universitas Brawijaya.

Page 11: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

v

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN ......................................................................................... i SUMMARY ............................................................................................ ii KATA PENGANTAR ............................................................................. iii RIWAYAT HIDUP.................................................................................. iv DAFTAR ISI .......................................................................................... v DAFTAR TABEL ................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii

I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 2 1.3 Tujuan ......................................................................................... 2 1.4 Manfaat ....................................................................................... 3 1.5 Hipotesis ..................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4 2.1 Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) ........................................... 4 2.2 Cephaleuros sp. Penyebab Penyakit Karat Merah ...................... 5 2.3 Pengendalian Penyakit ............................................................... 8 2.4 Pengendalian Hayati ................................................................... 9 2.5 Konsorsium Mikroba ................................................................... 11

III. METODE PENELITIAN .................................................................... 13 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 13 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 13 3.3 Rancangan Penelitian ................................................................. 13 3.4 Persiapan Penelitian ................................................................... 14 3.5 Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 14 3.6 Pengamatan ............................................................................... 15 3.7 Analisis Data ............................................................................... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 18 4.1 Deskripsi Kondisi Wilayah Lahan Percobaan .............................. 18 4.2 Identifikasi Patogen ..................................................................... 18 4.3 Pengaruh Mikroba Antagonis Hayati Terhadap Pertumbuhan ..... 22 4.4 Pengaruh Aplikasi Mikroba AntagonisTerhadap Serangan

Penyakit ..................................................................................... 25 4.5 Hubungan Serangan Penyakit Terhadap Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman ..................................................................................... 28 4.6 Hubungan Faktor Cuaca Terhadap Intensitas Penyakit .............. 29

V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 33 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 33 5.2 Saran .......................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 32 LAMPIRAN ........................................................................................... 35

Page 12: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1 Perlakuan penelitian ................................................................... 13 2 Skala serangan penyakit karat merah ........................................ 16 3 Rata-rata pertambahan tinggi bibit cengkeh ............................... 23 4 Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh .......................................... 24 5 Rata-rata intensitas serangan penyakit (IP) ................................ 26 6 Rata-rata efektifitas pengendalian penyakit ................................ 28

Lampiran

1 ANOVA pertambahan tinggi bibit 1 minggu setelah aplikasi ....... 36 2 ANOVA pertambahan tinggi bibit 3 minggu setelah aplikasi ....... 36 3 ANOVA pertambahan tinggi bibit 5 minggu setelah aplikasi ....... 36 4 ANOVA pertambahan tinggi bibit 7 minggu setelah aplikasi ....... 37 5 ANOVA pertambahan tinggi bibit 8 minggu setelah aplikasi ....... 37 6 ANOVA jumlah daun sebelum aplikasi ....................................... 37 7 ANOVA jumlah daun pada 2 minggu setelah aplikasi ................. 37 8 ANOVA jumlah daun pada 4 minggu setelah aplikasi ................. 37 9 ANOVA jumlah daun pada 6 minggu setelah aplikasi ................. 38 10 ANOVA jumlah daun pada 8 minggu setelah aplikasi ................. 38 11 ANOVA IP sebelum aplikasi perlakuan ...................................... 38 12 ANOVA IP pada 2 minggu setelah aplikasi ................................. 38 13 ANOVA IP pada 4 minggu setelah aplikasi ................................. 38 14 ANOVA IP pada 6 minggu setelah aplikasi ................................. 39 15 ANOVA IP pada 8 minggu setelah aplikasi ................................. 39 16 ANOVA efektifitas pengendalian penyakit karat merah .............. 39 17 Rata-rata intensitas penyakit karat merah .................................. 40 18 Hasil analisis regresi IP terhadap jumlah daun ........................... 41 19 Hasil analisis regresi IP terhadap tinggi tanaman ....................... 41 20 Hasil analisis regresi faktor cuaca terhadap IP ........................... 41 21 Hasil analisis regresi curah hujan terhadap IP ............................ 42 22 Hasil analisis korelasi IP, jumlah daun dan tinggi tanaman ........ 43 23 Hasil analisis korelasi IP, suhu, kelembaban dan curah hujan .... 43 24 Interval koefisien korelasi dan kekuatan hubungan (korelasi) ..... 44 25 Data iklim bulan Februari-April ................................................... 44

Page 13: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1 Morfologi bibit tanaman cengkeh ................................................ 5 2 Talus Cephaleuros pada permukaan daun dan penampakan

mikroskopis Cephaleuros sp. ...................................................... 6 3 Gejala serangan Cephaleuros sp. pada daun cengkeh .............. 8 4 Gejala serangan penyakit ........................................................... 19 5 Perkembangan penyakit dari atas permukaan daun ................... 20 6 Perkembangan penyakit dari bawah permukaan daun ............... 21 7 Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp. ........................ 22 8 Grafik hubungan IP terhadap jumlah daun ................................. 29

Lampiran

1 Skema pengacakan perlakuan ................................................... 35 2 Lahan penelitian pada pembibitan cengkeh ............................... 35 3 Kelompok skoring intensitas serangan penyakit karat merah ..... 36

Page 14: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cengkeh merupakan komoditas perkebunan yang banyak dibudidayakan

di Kecamatan Wonosalam, Jombang disamping komoditas durian dan kopi. Bunga

cengkeh merupakan bagian tanaman utama yang dijual dalam bentuk kering

maupun basah, selain itu daun dan ranting juga dimanfaatkan untuk diekstrak

karena mengandung minyak atsiri yang memiliki nilai jual tinggi. Kecamatan

Wonosalam merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Jombang yang memiliki

produktifitas bunga cengkeh paling banyak. Wilayah ini memiliki luas perkebunan

cengkeh sebesar 2.106 ha dari luas keseluruhan yaitu 12.163 ha. Berdasarkan

karakteristik lahan, Kecamatan Wonosalam dapat dikategorikan daerah yang

memiliki kondisi fisiografis yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman cengkeh

(Faizzah dan Budiyanto, 2014).

Upaya peningkatan produksi tanaman cengkeh tidak dapat terlepas dari

serangan organisme pengganggu tanaman yang mampu menyerang tanaman di

pembibitan maupun di kebun, sehingga mampu menurunkan kualitas dan

kuantitas produksi. Menurut Ari (2015) penyakit yang ditemukan menyerang

tanaman cengkeh yaitu penyakit cacar daun cengkeh (Phylosticta syzygii), bakteri

pembuluh kayu cengkeh (Pseudomonas syzygii), dan jamur akar putih

(Rigidoporus lignosus). Mariana (2013) menyebutkan adanya penyakit karat

merah yang disebabkan oleh alga Cephaleuros sp. ditemukan pada semua stadia

umur baik pada pembibitan maupun perkebunan.

Penyakit karat merah sangat menggangu tanaman cengkeh di Kec.

Wonosalam terutama pada fase pembibitan di musim hujan. Menurut Asman

(1988) pada serangan berat penyakit karat merah mengakibatkan daun gugur

meskipun tidak mematikan pohon. Pangarso (2000) menjelaskan bahwa jika

tanaman cengkeh terserang berat penyakit tersebut, maka daun-daunnya akan

gugur secara cepat. Pengendalian yang dilakukan petani pada pembibitan

tanaman cengkeh di daerah tersebut adalah eradikasi pada bibit dengan tingkat

kerusakan yang parah. Bibit-bibit yang terserang dengan tingkat kerusakan yang

rendah dibiarkan berada di area pembibitan, padahal tindakan tersebut dapat

menjadikan inokulum penyakit selalu berada di lahan sehingga memicu infeksi

penyakit berikutnya yang lebih parah.

Pengendalian penyakit menggunakan mikroba antagonis merupakan

solusi untuk menekan serangan penyakit karat merah pada pembibitan cengkeh

Page 15: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

2

yang efektif dan ramah lingkungan. Salah satu teknik aplikasi yang dapat

digunakan adalah konsorsium mikroba. Konsorsium mikroba merupakan

penggabungan beberapa mikroba bermanfaat yang terdiri dari jamur atau bakteri

dalam bentuk komunitas. Kemampuan konsorsium mikroba dalam mengendalikan

penyakit tanaman dapat melalui sifat antagonistik, kompetisi, mikoparasit,

menginduksi ketahanan tanaman dan mensistesis fitohormon (Nurhayati, 2011).

Aplikasi mikroba antagonis Pseudomonas fluorescens, Bacillus subtilis,

dan Trichoderma sp. dalam bentuk tunggal efektif menekan perkembangan

penyakit karat merah pada teh sebesar 33,4-44,4% (Ramya et al., 2013).

Penurunan kejadian penyakit karat merah dengan aplikasi mikroba antagonis

dapat terjadi karena adanya efek antagonis mikroba dengan menghambat

pertumbuhan dan reproduksi patogen Cephaleuros parasiticus.

Pada tanaman musiman penggunaan konsorsium mikroba sudah terbukti

lebih efektif dalam menekan berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur

maupun bakteri dibandingkan aplikasi mikroba tunggal. Mikroba antagonis

Pseudomonas, Bacillus dan Trichoderma juga mampu berperan untuk memacu

pertumbuhan tanaman (Husen et al., 2006). Oleh karena itu penelitian tentang

pemanfaatan mikroba antagonis dalam bentuk konsorsium perlu dilakukan lebih

mendalam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penurunan intensitas

penyakit akibat alga dan kemampuannya dalam memicu pertumbuhan tanaman

tahunan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana gejala penyakit karat merah pada pembibitan tanaman cengkeh di

Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang?

2. Apakah aplikasi mikroba dalam bentuk tunggal maupun konsorsium dapat

mengendalikan penyakit karat merah dan memicu pertumbuhan vegetatif

tanaman pada pembibitan cengkeh?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui gejala serangan penyakit karat merah pada pembibitan tanaman

cengkeh di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang.

2. Mengetahui pengaruh aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal

maupun konsorsium dalam kombinasi B. subtilis, P. fluorescens dan

Page 16: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

3

Trichoderma sp. untuk mengendalikan penyakit karat merah pada pembibitan

cengkeh.

3. Mengetaui pengaruh aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan

konsorsium terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cengkeh di pembibitan.

1.4 Manfaat

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan mikroba

antagonis.

2. Sebagai referensi pengendalian penyakit karat merah pada pembibitan

cengkeh yang efektif dan ramah lingkungan.

3. Sebagai acuan dalam memilih jenis mikroba yang paling efektif dalam

mengendalikan penyakit karat merah dan memicu pertumbuhan vegetatif bibit

cengkeh.

1.5 Hipotesis

1. Aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium dapat

menekan penyakit karat merah di pembibitan cengkeh dan mampu memicu

pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh.

2. Mikroba dalam bentuk konsorsium lebih efektif dalam menekan penyakit karat

merah dan mampu memicu pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh lebih baik

daripada aplikasi mikroba tunggal.

Page 17: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)

Cengkeh (S. aromaticum L.) tergolong tanaman yang masuk kedalam

divisi: Spermatophyta, subdivisi: Angiospermae, kelas: Dicotyledonae, ordo:

Myrtales, famili: Myrtaceae, genus: Syzygium, spesies: S. aromaticum (L.) Merr. &

Perry (Tjitrosoepomo, 1994).

Tanaman cengkeh tergolong tanaman yang semua bagiannya dapat

dimanfaatkan. Bunga cengkeh adalah salah satu bahan baku pembuatan rokok,

selain itu daun, ranting, dan bunga cengkeh dapat dimanfaatkan menjadi minyak

cengkeh yang digunakan dalam industri parfum, farmasi, makanan, dan minuman.

Produk cengkeh berupa eugenol juga telah dikembangkan menjadi fungisida

nabati, terutama untuk jenis penyakit tanah antara lain Phytophthora capsici

(penyebab busuk pangkal batang pada merica), R. lignosus, Sclerotium sp., dan

Fusarium oxysporum (Wahyuno dan Martini, 2015).

Penanaman bibit cengkeh dapat dilakukan dengan menanam di bedengan

maupun menggunakan polybag. Ciri-ciri bibit cengkeh yang siap tanaman antara

lain: Sehat (tidak terdapat gejala serangan hama dan penyakit), ukuran tinggi bibit

60 cm (1 tahun) dan 90 cm (2 tahun), jumlah percabangannya 6-7 pasang, daun

berwarna hijau tua, mempunyai batang tunggal dan mempunyai akar tunggang

yang lurus (Wahyuno dan Martini, 2015).

Penyakit yang banyak menyerang tanaman cengkeh dipembibitan adalah:

1. Bercak Cylindrocladium (Cylindrocladium quinqueseptatum). 2. Bercak

Botryodiplodia (Botryodiplodia theobromae). 3. Bercak daun Pestalotia (Pestalotia

versicolor). 4. Bercak sooty mold (Capnodium sp. dan Limacinula samoensis). 5.

Bercak antraknose (Colletotrichum gloeosporioides). 6. Bercak Coniella (Coniella

castaneicola). 7. Bercak Cephaleuros (Cephaleuros virescens). 8. Gugur daun

cengkeh (GDC). 9. Mati bujang (Wahyuno dan Martini, 2015).

Page 18: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

5

Gambar 1. Morfologi bibit tanaman cengkeh (Wahyuno dan Martini, 2015)

2.2 Cephaleuros sp. Penyebab Penyakit Karat Merah

Cephaleuros merupakan alga yang termasuk dalam kingdom: Plantae,

filum: Chlorophyta, kelas: Ulvophyceae, ordo: Trentepohliales, famili:

Trentepohliaceae, genus: Cephaleuros, spesies: Cephaleuros sp. (Guiry dan

Guiry, 2017).

Cephaleuros sering disalah artikan sebagai jamur karena gejala yang

ditimbulkan mirip seperti jamur. Karat merah bukan termasuk jamur karat

(Uredinales) seperti yang menyebabkan penyakit karat pada umumnya. Tetapi

suatu alga yang termasuk dalam kelas alga hijau (Chlorophyta) yang memiliki zat

warna merah didalam sel-selnya (Semangun, 1988).

Cephaleuros dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya,

meskipun dengan cara itu tidak dapat dibedakan ciri antar spesiesnya (Sunpapao

et al., 2016). Identifikasi spesies Cephaleuros menggunakan ciri morfologi sangat

sulit dilakukan, sehingga untuk menentukan spesies digunakan tanda dari nomor

kromosom (Brooks et al., 2015). Langkah untuk menentukan bahwa Cephaleuros

sp. merupakan patogen tanaman (Postulat koch’s) tidak dapat dilakukan. Hal ini

dimungkinkan karena sulitnya alga memproduksi zoospora untuk diinokulasikan

kembali pada media buatan (Brooks, 2015).

Page 19: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

6

Gambar 2. A. Talus Cephaleuros pada permukaan daun (Brooks et al., 2015) B. Penampakan mikroskopis ordo Cephaleuros (Sunpapao et al., 2015)

2.2.1 Bioekologi penyakit

Alga tidak memiliki akar, batang dan daun sejati, sehigga disebut tumbuhan

bertalus. Alga memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya memiliki pigmen fotosintesis

seperti klorofil atau karotenoid. Bahan dinding sel alga terdiri dari polisakarida, lipid

dan protein. Sel alga tidak memiliki membran yang memisahkan nukleus,

pembagian nukleus tidak terjadi secara mitosis dan terdapat dinding sel yang

melindungi nukleopeptida tertentu sebagai komponen yang menguatkan sel alga

(Siregar dan Hermana, 2009).

Talus alga akan memproduksi filamen yang seringkali tumbuh diantara

kutikula dan epidermis daun tanamanan inang, namun pada kondisi tertentu

filamen juga dapat tumbuh diantara sel palisade dan mesofil daun. Filamen yang

terbentuk diikuti dengan diproduksinya zoosporangium yang akan menghasilkan

zoospora. Zoospora dapat disebarkan oleh angin, percikan air hujan dan angin

yang membawa hujan. Zoospora dapat menginfeksi daun baru, pucuk dan buah

tanaman.

Berdasarkan pengamatan morfologi Cephaleuros secara mikroskopis

ditemukan struktur yang menyerupai miselium berbentuk silindris hingga tidak

beraturan. Gametangia berbentuk bulat hingga oval yang terbentuk dari ujung sel

miselium, gamet yang dihasilkan akan berubah bentuk menjadi bulat dan

mengeluarkan flagella sebagai struktur istirahat. Alga ini memiliki sporangiofor,

biasanya pada ujung sporangiofor terdapat sel kepala dan membentuk sporangia

tepi yang akan memproduksi spora (Brooks et al. 2015).

Cephaleuros dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual.

Siklus aseksual alga menghasilkan zoospora. Sporangiofor dibentuk di ujung talus

dan menghasilkan sporangia tepi, ketika hujan atau lembab akan dihasilkan

B A

Page 20: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

7

zoospora sebagai inokulum utama (Guiry dan Guiry, 2017). Pada beberapa

spesies zoospora memiliki bentuk yang sama seperti gamet. Reproduksi seksual

pada alga melibatkan konjugasi gamet (sel seks) dan dihasilkan zigot. Jika

morfologi gamet yang akan berkonjugasi sama maka disebut dengan isogami,

nemun jika berbeda ukuran disebut heterogami. Ovum yang dimiliki alga

berukuran besar dan tidak bergerak, sedangkan gamet jantan berukuran kecil dan

aktif bergerak. Proses seksual ini dinamakan oogami (Siregar dan Hermana,

2009).

Pada tanaman cengkeh penyakit karat merah ditemukan menyerang pada

semua stadia umur baik di pembibitan maupun di kebun. Intensitas hujan dan

kelembaban yang tinggi mendukung perkembangan dari penyakit ini. Keadaan

tanaman yang kurang nutrisi, drainase tanah yang kurang atau terlalu basah,

kurang pemeliharaan, lahan yang terlalu gelap atau terlalu terik dapat

menyebabkan timbulnya penyakit akibat alga hijau ini (Mariana, 2013). Pada satu

tanaman, Cephaleuros sp. menimbulkan infeksi lebih parah pada daun tua

dibandingkan daun muda. Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun

menunjukkan suatu epidemi. Epidemi Cephaleuros sp. didukung oleh kesehatan

tanaman yang rendah. Kesehatan tanaman yang rendah disebabkan oleh

rendahnya kesuburan tanah, kekurangan air, pemanenan yang berlebihan, dan

sanitasi kebun yang buruk (Suwandi, 2007).

2.2.2 Kisaran inang penyakit

Cephaleuros virescens merupakan spesies yang banyak ditemukan

sebagai patogen tanaman (Nelson, 2008), C. virescens dapat menyerang lebih

dari 200 spesies tanaman terutama di daerah tropis. Beberapa tanaman penting

yang terserang penyakit ini adalah tanaman teh, kopi, kakao, lada hitam, jeruk dan

mangga (Agrios, 2005). Menurut Mariana (2013) selain menyerang tanaman

cengkeh, Cephaleuros sp. sering ditemukan menyerang tanaman tropis lain

seperti teh, lada, kopi, kelapa sawit, alpukat, jambu, kelapa, kakao dan beberapa

kultivar jeruk.

2.2.3 Gejala penyakit

Gejala serangan dari penyakit karat merah berupa bercak-bercak nekrosis

kemerahan berbentuk bulat tidak beraturan berukuran 1-3 mm dan tidak dibatasi

oleh tulang daun. Kebanyakan nekrosis yang diakibatkan oleh alga terbatas pada

Page 21: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

8

sel epidermis, namun terkadang juga meliputi parenkim dan palisade hingga

permukaan bawah daun. Koloni alga yang menembus jaringan menyebabkan

terbentuknya spora di permukaan bawah daun (Brooks et al., 2015.

Gejala yang ditimbulkan oleh Cephaleuros sp. yaitu tedapat bercak kecil

seperti karat pada permukaan daun. Bercak tersebut berwarna oranye yang akan

berkembang dan berubah warna menjadi hijau. Perkembangan selanjutnya bercak

akan berubah warna menjadi putih, kering dan mengakibatkan daun berlubang

(Ayuwati, 2015). Jika bercak diartikan sebagai nekrosis akibat reaksi tanaman

terhadap serangan penyakit maka bercak alga tersebut disebut dengan gejala,

namun jika bercak diartikan sebagai talus dari alga maka disebut dengan tanda.

Gambar 3. Gejala serangan Cephaleuros sp. pada daun cengkeh: A. Permukaan atas daun. B. Permukaan bawah daun (Mariana, 2013)

2.3 Pengendalian Penyakit

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit karat merah

adalah memperbaiki kondisi tanaman, cara ini dapat dilakukan dengan

memperbaiki teknik budidaya, untuk meningkatkan vigor tanaman dapat dilakukan

melalui pemberian air dan nutrisi yang tepat, penjarangan untuk memperbaiki

aerasi, teknik panen yang tepat dan pengontrolan hama dan penyakit.

Pengendalian lainnya adalah penggunaan varietas tahan dan aplikasi fungisida

maupun agens hayati (Brooks et al., 2015).

Pengendalian penyakit karat merah alga dapat dilakukan melalui tindakan-

tindakan perbaikan kesehatan tanaman dan sanitasi lingkungan. Upaya

peningkatan kesehatan atau ketahanan tanaman terhadap penyakit, dapat

dilakukan dengan penyemprotan tanaman menggunakan ekstrak kompos yang

mengandung chitosan dan dengan memperbaiki kesuburan tanah melalui

pemberian bahan organik (pupuk kandang atau kompos) dan pemulsaan,

menghindari panen yang berlebihan di musim kemarau serta membakar cabang

sakit dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini. Jika penyakit masih tetap

B A

Page 22: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

9

menyerang, penyemprotan dengan fungisida tembaga dianjurkan untuk

pengendalian penyakit karat merah akibat alga (Suwandi, 2003).

2.4 Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah suatu bentuk pengendalian yang

memanfaatkan organisme selain tanaman dan patogen untuk mengurangi

kerugian yang diakibatkan oleh patogen pada tanaman inang atau mengurangi

daya tahan patogen (Sastrahidayat, 2011). Pengendalian penyakit hayati oleh

mikroorganisme dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme seperti

antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu pertumbuhan

tanaman (Nurhayati, 2011). Efektivitas pengendalian patogen oleh agens hayati

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan mikroba yang spesifik

untuk mengendalikan penyakit tertentu, curah hujan dan konsentrasi antibiotik

yang dihasilkan mikroba yang terlalu rendah atau adanya antibiotik yang terurai

oleh air hujan (Pal et al., 2006).

Pengendalian hayati menggunakan mikroba antagonis dapat menurunkan

kejadian penyakit karat merah pada tanaman teh yang ditunjukkan oleh perlakuan

mikroba antagonis P. fluorescens, B. subtilis, T. atroviride dan T. Harzianum.

Mikroba antagonis dapat mengkolonisasi filamen C. Parasiticus dan juga dapat

melisis dinding sel patogen. Zoosporangium yang mengandung zoospora dari C.

Parasiticus menjadi keriput dan pecah akibat perlakuan mikroba antagonis. Hal ini

membuktikan bahwa mikroba antagonis yang digunakan berpotensi untuk

memparasit patogen. Mikroba antagonis tersebut juga dapat bertahan pada daun

teh sebagai endofit dan efektif untuk mencegah masuknya infeksi patogen baru

(Ramya et al., 2013).

2.4.1 Manfaat Bacillus subtilis

Bakteri B. subtilis dan P. fluorescens merupakan bakteri dari kelompok

PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang berperan dalam memicu

pertumbuhan tanaman. PGPR mampu mensintesis dan mengatur konsentrasi

berbagai zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (AIA), giberelin, sitokinin,

dan etilen dalam lingkungan akar. PGPR juga berperan sebagai penyedia hara

dengan menambat nitrogen dan melarutkan hara pospor. PGPR mampu

menghasilkan berbagai senyawa metabolit anti patogen seperti siderophore, β-

Page 23: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

10

1,3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida yang berpotensi untuk

mengendalikan patogen (Husen et al., 2006).

B. subtilis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan

mikroorganisme lain. Kemampuan B. subtilis menghasilkan endospora yang tahan

terhadap kondisi lingkungan ekstrim dan dapat bertahan hidup lama menjadi

keunggulan utama. Bakteri ini juga mudah diformulasi dalam berbagai produk.

Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa B. subtilis dapat mengkolonisasi

berbagai spesies tanaman (Suriani dan Muis, 2016). Penyemprotan menggunakan

B. subtilis dapat menurunkan infeksi penyakit daun bergores pada apel oleh

Nectria galligena dan pada anggur oleh Eutypa lata. Penyemprotan pada kacang

tanah atau tembakau dapat menurunkan penyakit bercak Cercospora dan

Alternaria (Agrios, 2005). Secara in vitro, B. subtilis dapat menekan pertumbuhan

Colletotrichum gloeosporioides penyebab bercak pada buah kakao sebesar

52,23% (Aini et al., 2013).

2.4.2 Manfaat Pseudomonas fluorescens

Bakteri P. fluorescens mampu memproduksi zat antibiotik serin yang dapat

menghambat pertumbuhan alga berbahaya di lingkungan laut. Zat antibiotik

tersebut digunakan P. fluorescens dalam mekanisme lisis untuk menghancurkan

sel alga (Kim et al., 2007). Bakteri antagonis diketahui mampu mengendalikan

penyakit dengan cara memproduksi antibiotik, enzim, siderophore, hidrogen

sianida (HCN), katalase, bakteriosin, substrat toksin dan senyawa volatil (Trivedi

et al., 2012).

Juliatra el al. (2015) melaporkan hasil pengamatan yang dilakukan

terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cengkeh seperti tinggi tanaman, jumlah

daun, dan panjang akar dan didapatkan hasil bahwa diantara semua perlakuan

yang diuji coba pada bibit cengkeh menunjukkan bahwa penggunaan bakteri P.

fluorescens mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dari tanaman cengkeh

dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

2.4.3 Manfaat Trichoderma sp.

Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis yang berpotensi

menekan perkembangan patogen tanaman. Menurut Nurhayati (2011) mekanisme

pengendalian jamur Trichoderma sp. adalah mikoparasit, kompetisi, antibiotik dan

enzimatik, jamur tersebut dapat bersifat antagonis terhadap patogen tanaman

Page 24: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

11

yang terdapat di dalam tanah, permukaan inang seperti biji, benih dan didekat

bagian terinfeksi. Agen hayati Trichoderma sp. mampu mendekomposisi lignin,

selulosa, dan kitin dari bahan organik menjadi unsur hara yang dapat diserap

tanaman, sehingga dapat memicu pertumbuhan tanaman (Suryanti et al., 2003).

Potensi jamur untuk mengendalikan penyakit tanaman antara lain seperti

yang dilaporkan Juliatra el al. (2015) bahwa Trichoderma sp. yang diaplikasikan

pada tanaman cengkeh menyebabkan derajat kerusakan sangat ringan

dibandingkan dengan perlakuan yang lain, hal tersebut menunjukkan bahwa

Trichoderma sp. berpengaruh untuk menekan jamur patogen Rigidoporus sp.

penyebab penyakit layu pada tanaman cengkeh. Penyakit tanaman yang sudah

terbukti dapat dikendalikan oleh jamur Trichoderma sp. antara lain Rigidiporus

lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii. Secara in vitro

Thrichoderma sp. dapat menekan perkembangan jamur Colletotrichum

gloeosporioides penyebab bercak pada buah kakao sebesar 83% (Aini et al.,

2013).

2.5 Konsorsium Mikroba

Konsorsium mikroba merupakan kumpulan mikroba bermanfaat yang

terdiri dari jamur maupun bakteri dalam bentuk komunitas yang mempunyai

hubungan kooperatif, komensalisme, dan mutualistik. Tujuan utama dalam

penggunaan mikroba sebagai agens hayati yaitu untuk mengendalikan penyakit

tanaman ataupun sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. Kemampuan

konsorsium mikroba dalam mengendalikan penyakit tanaman dapat melalui sifat

antagonistik, kompetisi, mikoparasit dan menginduksi ketahanan tanaman serta

dapat mensistesis fitohormon (Nurhayati, 2011).

Sebagian besar mikroba yang dikombinasikan dalam bentuk konsorsium

dipilih berdasarkan kemampuan mikroba tunggal dalam meningkatkan

pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan penyakit. Diasumsikan

dengan mencampur mikroba tunggal yang sudah terbukti mampu menurunkan

penyakit akan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit. Pemilihan mikroba

yang tepat tidak hanya dapat melindungi tanaman dari patogen namun juga

memicu pertumbuhan tanaman lebih baik (Sarma et al., 2015).

Pengendalian menggunakan mikroba antagonis tunggal untuk

mengendalikan penyakit tertentu dilaporkan memiliki kinerja yang tidak konsisten.

Hal ini diakibatkan karena agens hayati tunggal tidak mungkin aktif dalam semua

Page 25: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

12

lingkungan tanah atau terhadap semua patogen berbeda-beda yang menyerang

tanaman. Penggunaan konsorsium saat ini dirancang untuk pengelolaan tanaman

karena keberhasilan konsorsium dalam mengendaliakan penyakit yang lebih baik

dibandingkan agens hayati tunggal. Namun demikian penggunaan konsorsium

harus memperhatikan kompleksitas interaksi antar mikroba yang digunakan

(Rajasekhar et al. 2016).

Mikroba dalam bentuk konsorsium dapat berkejasama dengan cara yang

kompleks dan bersinergi. Penggunaan PGPR dalam bentuk konsorsium dapat

menurunkan penggunaan pupuk sintesis dan tetap mampu memaksimalkan

pertumbuhan tanaman. Dampak positif penggunaan mikroba tunggal untuk

memicu pertumbuhan tanaman pada tanah dengan kesuburan rendah dapat

ditingkatkan dengan pencampuran mikroba. Penggunaan konsorsium mikroba

lebih efektif daripada penggunaan mikroba tunggal karena beragamnya

kemampuan metabolisme mikroba (Sundhari et al., 2014).

Aplikasi konsorsium mikroba terbukti efektif mengendalikan berbagai

penyakit terutama pada tanaman hortikultura. Konsorsium mikroba antagonis

secara nyata menekan presentase kejadian penyakit rebah semai pada

persemaian tanaman kedelai. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan

terbaik untuk menekan kejadian penyakit rebah kecambah pada tanaman kedelai

adalah konsorsium mikroba antagonis Bacillus sp., Pseudomonas sp., serta

Trichoderma sp. (Silaban et al., 2015).

Page 26: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2017 di lahan

pembibitan tanaman cengkeh di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Kecamatan

Wonosalam, Jombang untuk pengujian efektivitas perlakuan mikroba antagonis

pada bibit cengkeh dan pengamatan perkembangan penyakit. Identifikasi

penampakan mikroskopis patogen dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan,

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop, objek dan

cover glass, pipet, gunting, jarum Ose, selotip, sprayer, gelas ukur, penggaris dan

alat tulis.

Bahan yang digunakan yaitu: biakan mikroba antagonis berupa bakteri B.

subtilis dan P. fluorescens dengan kerapatan 108 cfu/ml, serta jamur Trichoderma

sp. dengan kerapatan 108 spora/ml, bibit tanaman cengkeh varietas lokal

Wonosalam dengan umur tanam 1 tahun setelah tanam yang terserang penyakit

karat merah, air, aquades dan sampel daun yang terserang penyakit karat merah.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan di lahan pembibitan tanaman cengkeh tanpa naungan.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan 6 perlakuan dan 4 kali ulangan, setiap satuan percobaan digunakan 5

tanaman sampel. Perlakuan penelitian yang digunakan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan penelitian

Perlakuan Waktu Aplikasi

P1 B. subtilis 1 x / 2 minggu

P2 P. fluorescens 1 x / 2 minggu

P3 Trichoderma sp. 1 x / 2 minggu

P4 Konsorsium (B. Subtilis, P. fluorescens,

dan Trichoderma sp.) 1 x / 2 minggu

P5 Kontrol positif (Nordox 56 WP) 1 x / 2 minggu

P6 Kontrol negatif (tanpa aplikasi)

Page 27: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

14

3.4 Persiapan Penelitian

3.4.1 Persiapan mikroba antagonis

Jenis mikroba antagonis yang digunakan adalah bakteri B. subtilis dan P.

fluorescens dengan kerapatan 108 cfu/ml, serta jamur Trichoderma sp. dengan

kerapatan 108 spora/ml yang berasal dari Laboratorium Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

3.4.2 Pengadaan bibit cengkeh sebagai tanaman uji

Bibit tanaman cengkeh yang digunakan adalah bibit lokal Wonosalam yang

berumur lebih kurang satu tahun dan terinfeksi penyakit karat merah. Bibit

didapatkan dari hasil pembibitan tanaman cengkeh oleh pembibit di Dusun

Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang.

3.4.3 Persiapan lahan percobaan

Persiapan lahan percobaan yang dilakukan adalah pembersihan gulma

pada lahan dan polybag bibit serta penyusunan bibit sesuai dengan rancangan

yang digunakan.

3.4.4 Pengadaan data cuaca

Data faktor cuaca yang digunakan adalah data suhu (oC), kelembaban

udara (%) dan curah hujan harian (mm) wilayah Wonosalam, Jombang pada bulan

Februari hingga April 2017. Data tersebut didapatkan dari database BMKG yang

diakses secara online.

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1 Pengamatan parameter sebelum aplikasi perlakuan

Pengamatan sebelum aplikasi perlakuan pada parameter tinggi tanaman,

jumlah daun dan intensitas penyakit dilakukan karena pengamatan dimulai pada

bibit yang berumur satu tahun sehingga memiliki nilai tinggi tanaman, jumlah daun

dan intensitas serangan awal atau tidak dimulai dari nol. Data awal yang

didapatkan kemudian dibandingkan dengan data setelah aplikasi perlakuan, untuk

mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati.

3.5.2 Aplikasi mikroba antagonis

Mikroba antagonis diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke seluruh

permukaan daun tanaman uji secara merata, dan diupayakan tidak menetes ke

Page 28: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

15

tanah. Mikroba antagonis diaplikasikan 1 kali dalam 2 minggu selama 2 bulan.

Aplikasi dilakukan pada pagi hari saat kondisi lingkungan masih lembab sehingga

mikroba yang diaplikasikan dapat berkembang dengan baik.

Sebelum mikroba antagonis diaplikasikan, dilakukan kalibrasi untuk

mengetahui volume semprot per tanaman, dengan cara menyemprotkan mikroba

antagonis pada 30 bibit cengkeh dan didapatkan volume semprot yang dibutuhkan

adalah 4 ml/tanaman. Konsorsium diaplikasikan dengan mengkombinasikan B.

subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp. dengan perbandingan 1:1:1.

Konsentrasi fungisida kontak Nordox 56 WP sebagai kontrol positif diaplikasikan

sesuai anjuran yaitu 5 gram Nordox 56 WP yang dilarutkan dalam 1 liter air dengan

volume semprot 4 ml/tanaman.

3.5.3 Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman yang dilakukan satu kali dalam

satu hari atau disesuaikan dengan intensitas hujan. Pemeliharaan tanaman yang

lain adalah penyiangan gulma yang dilakukan 2-3 kali dalam satu bulan atau

disesuaikan dengan pertumbuhan gulma.

3.5.4 Identifikasi patogen penyebab penyakit karat merah

Penyakit karat merah yang ditemukan menyerang daun tanaman cengkeh

diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi secara

makroskopis dilakukan dengan mengamati gejala dan tanda yang di tunjukkan

mulai awal keluar tanda atau ciri khas gejala dan perkembangan gejala hingga

gejala terparah dari penyakit karat merah di lahan.

Identifikasi secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengidentifikasi

talus yang didapatkan dari daun bergejala. Talus diambil dengan cara diselotip

kemudian diletakkan di objek glass dan ditetesi aquades dan diinkubasi selama 5

menit untuk mengetahui struktur talus dan zoospora alga. Pengamatan morfologi

alga dilakukan menggunakan mikroskop. Hasil yang didapatkan kemudian

dibandingkan dengan literatur.

3.6 Pengamatan

Variabel yang diamati adalah persentase intensitas serangan penyakit

karat merah serta tinggi dan jumlah daun bibit cengkeh. Pengamatan dilakukan 1

minggu 1 kali selama 2 bulan.

Page 29: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

16

3.6.1 Intensitas Penyakit (IP)

Penghitungan IP dilakukan dengan menggunakan skoring dengan cara

menghitung jumlah daun yang terserang penyakit pada skala tertentu (Tabel 2)

dan memberikan nilai (skoring) berdasarkan persentase luas permukaan atas

daun yang tertutupi talus alga, pengelompokan skoring daun bergejala yang

digunakan berdasarkan Brooks (2015).

Tabel 2. Skala serangan penyakit

Skor Keterangan Derajat Kerusakan

0 Tidak ditemukan talus Sehat

1 Permukaan atas daun tertutupi talus < 5 % Ringan

2 Permukaan atas daun tertutupi talus 6-25 % Sedang

3 Permukaan atas daun tertutupi talus > 25 % Berat

Hasil skoring kemudian dihitung menggunakan rumus persentase

serangan penyakit:

I = Σ (n x V)

N x Z 𝑥 100%

Keterangan :

I = Intensitas serangan

n = Jumlah daun yang terserang dengan skala kerusakan tertentu

v = Nilai skala kerusakan

N = Jumlah daun yang diamati

Z = Nilai skala tertinggi

Perhitungan efektivitas pengendalian oleh mikroba antagonis dilakukan

untuk mengetahui besar kemampuan mikroba antagonis dalam menekan penyakit

karat merah. Perhitungan dilakukan setelah didapatkan data intensitas penyakit

pada minggu ke-1 hingga minggu ke-8. Efektivitas pengendalian oleh mikroba

antagonis dihitung menggunakan rumus :

EI = 𝐶𝑎 − 𝑇𝑎

𝐶𝑎 𝑥 100%

Keterangan :

EI = Efektivitas pengendalian oleh mikroba antagonis

Ca = Intensitas penyakit pada tanaman kontrol

Ta = Intensitas penyakit pada tanaman non kontrol

Page 30: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

17

3.6.2 Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah daun

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga titik tumbuh tertinggi

bibit cengkeh menggunakan penggaris, sedangkan jumlah daun dihitung dari

banyaknya daun yang telah membuka sempurna.

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan kemudian dianalisis

menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada taraf 5%, jika hasil analisis ragam

data jumlah daun, tinggi tanaman dan intensitas penyakit menunjukkan berbeda

nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%. Uji

lanjut data efektivitas pengendalian oleh agens hayati menggunakan uji lanjut BNJ

(Beda Nyata Jujur) taraf 5%. Pada penelitian ini juga dilakuakan uji regresi dan

kolerasi untuk mengetahui hubungan antar parameter, uji dilakukan menggunakan

SPSS ver. 21.

Page 31: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kondisi Wilayah Lahan Percobaan

Wonosalam merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jombang

yang memiliki luas lahan 2.105,65 ha untuk perkebunan cengkeh. Lokasi

penelitian berada di lahan pembibitan cengkeh di dusun Ganten, desa Wonomerto,

Wonosalam, Jombang. Berdasarkan letak geografisnya Wonomerto berada lebih

kurang 500 m dpl dengan curah hujan rata-rata perbulan adalah 187,7 mm (BPS,

2015).

Pada lahan pembibitan tersebut juga dibudidayakan bibit lain yaitu: durian

dan sengon. Batas lahan percobaan sebelah barat: rumah, utara: tempat

penyulingan cengkeh, timur: lahan pembibitan sengon dan durian, dan selatan:

lahan pembibitan cengkeh. Menurut petani cengkeh setempat, di daerah tersebut

terdapat beberapa penyakit penting dan merugikan yang hingga kini belum

ditemukan solusi pengendaliannya, misalnya penyakit pada tanaman di

perkebunan adalah Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) dan jamur akar

putih, sementara penyakit yang banyak ditemukan pada pembibitan adalah bercak

daun yang disebabkan oleh alga Cephaleuos sp. Berdasarkan pengamatan petani,

penyakit ini banyak menyerang daun pada pembibitan di musim hujan, meskipun

tetap ditemukan gejala penyakit karat merah pada musim kemarau.

4.2 Identifikasi Patogen

4.2.1 Gejala serangan penyakit

Gejala penyakit karat merah yang ditemukan menyerang daun cengkeh

pada lahan pembibitan adalah nekrosis pada bagian yang terdapat talus alga

diatasnya, talus tersebut diameter 0,5-1,5 cm, tinggi 0,5 – 2 mm dan berwarna

oranye. Talus akan berkembang dan mengakibatkan matinya sel daun (nekrosis)

yang diiringi dengan mengeringnya daun dibawah talus. Daun tanaman yang

terserang penyakit karat merah akan menguning dan lebih cepat gugur

dibandingkan daun sehat. Pada satu tanaman, serangan penyakit karat merah

lebih banyak ditemukan pada daun tua dibandingkan dengan daun muda (Gambar

4) dan tidak ditemukan menyerang batang dan ranting bibit.

Gejala yang tampak di lapang sesuai dengan pernyataan Suwandi (2003)

bahwa pada daun bergejala penyakit karat merah ditemukan bintik-bintik kecil

berwarna cokelat kemerahan, seiring dengan bertambahnya umur daun, bintik-

Page 32: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

19

bintik berkembang menjadi bercak-bercak tidak beraturan berukuran 1-3 mm yang

pusatnya berwarna cokelat kemerahan. Pada serangan parah, bercak-bercak

tersebut dapat menyatu sehingga mengakibatkan nekrosis pada daun. Daun yang

terserang parah penyaki karat merah akan gugur sebelum waktunya.

Brooks et al. (2015) mengungkapkan bahwa tanda dari penyakit ini adalah

adanya talus berwarna kuning kehijauan hingga kemerahan. Talus ini memiliki

struktur yang lebih tinggi dibandingkan permukaan daun, warna kemerahan

ditunjukkan baik pada sporangiofor maupun miselium steril yang tumbuh pada

kutikula daun.

Gambar 4. Gejala serangan penyakit: Serangan penyakit lebih banyak ditemukan pada daun tua dibandingkan daun muda (A) Gejala penyakit karat merah (B)

4.2.2 Perkembangan gejala penyakit

Perkembangan gejala penyakit karat merah yang disebabkan oleh alga

Cephaleuros sp. dapat diamati dari permukaan atas dan bawah daun cengkeh.

Tanda dari penyakit ini adalah adanya becak beludru yang merupakan talus alga

berwarna oranye. Pada awal kemunculannya talus berwarna oranye segar

(Gambar 5a) dengan diameter 0,5-1,5 cm dan tidak ditemukan pada permukaan

bawah daun (Gambar 6a) lama-kelamaan talus akan melebar dan berwarna

oranye pudar (Gambar 5b). Bercak beludru ini timbul mulai dari atas permukaan

daun dan berkembang hingga bawah permukaan daun yang diikuti dengan gejala

nekrosis berwarna cokelat kemerahan pada permukaan daun yang diatasnya

terdapat talus alga (Gambar 6b).

Perkembangan penyakit selanjutnya adalah perubahan ukuran talus yang

semakin melebar dan warna berubah menjadi oranye pucat (Gambar 5c). Bagian

tengah bercak terdapat titik nekrosis yang merupakan awal mula daun berlubang,

A B

Page 33: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

20

adanya titik tersebut diikuti dengan mengeringnya alga pada permukaan atas

daun, sedangkan pada permukaan bawah terlihat nekrosis yang lebih parah

dibandingkan nekrosis sebelumnya.

Perkembangan selanjutnya adalah adanya nekrosis pada permukaan atas

hingga permukaan bawah daun. Pada permukaan atas daun, talus semakin

menyempit dan mengering, sebaliknya, pada permukaan bawah daun talus

berkembang dan meluas dengan warna kuning kehijauan. Nekrosis pada daun

akan semakin berkembang dan mengakibatkan daun berlubang.

Menurut Brooks et al. (2015) gejala serangan alga Cephaleuros sp. adalah

nekrosis yang terjadi di bawah talus. Talus pada kebanyakan inang akan

mengering dan menunjukkan adanya nekrosis. Kebanyakan nekrosis hanya

terbatas pada sel epidermis, namun pada kondisi tertentu dapat berkembang

hingga sel parenkim dan permukaan bawah daun.

Berdasarkan hasil pengamatan, pada awalnya talus hanya terdapat pada

permukaan atas daun, kemudian talus berkembang dan mengakibatkan nekrosis

hingga permukaan bawah daun. Pada tanaman inang di Jepang ditemukan C.

japonicus yang mengakibatkan nekrosis berwarna cokelat kemerahan dibawah

talus pada permukaan daun atas dan ditemukan nekrosis berwarna kuning pada

permukaan daun bagian bawah.

Gambar 5. Perkembangan penyakit tampak dari atas permukaan daun

a b

B

c

d

e

Page 34: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

21

Gambar 6. Perkembangan penyakit tampak dari bawah permukaan daun

4.2.3 Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp.

Hasil pengamatan mikroskopis talus alga penyebab penyakit karat merah

pada pembibitan cengkeh menunjukkan struktur berwarna kecokelatan (Gambar

6). Penampakan mikroskopis yang diperlihatkan sesuai dengan literatur yang

dikemukakan oleh Brooks et al. (2015) yang menunjukkan morfologi alga

penyebab penyakit karat merah termasuk kedalam genus Cephaleuros.

Menurut Sunpapao et al. (2015) bagian-bagian dari struktur alga tersebut

antara lain sporangiofor, sel kepala (head cell) dan sporangium. Sporangiofor

berkembang dari talus yang terletak diatas permukaan daun, pada ujung

sporangiofor terdapat sel kepala yang akan memproduksi sporangium.

Cephaleuros dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya,

meskipun dengan cara itu tidak dapat dibedakan ciri antar spesiesnya (Sunpapao

et al., 2016). Menurut Brooks et al. (2015) identifikasi spesies Cephaleuros

menggungakan ciri morfologinya sangat sulit karena strukturnya dipengaruhi oleh

lingkungan, sehingga untuk menentukan spesies digunakan tanda dari nomor

kromosom.

a b

c

d

e

Page 35: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

22

Gambar 7. Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp.: Sporangiofor, Sel kepala, Sporangium

4.3 Pengaruh Aplikasi Mikroba Antagonis Terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh

4.3.1 Tinggi Tanaman

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tinggi bibit cengkeh

didapatkan hasil yang tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antar

perlakuan. Pemberian B. subtilis, P. fluorescens, Trichoderma sp., dalam bentuk

tunggal dan konsorsium memberikan pengaruh yang sama dengan pemberian

fungisida tembaga 50% dan kontrol terhadap tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan

bahwa aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak

dapat mempengaruhi tinggi bibit cengkeh.

Pertambahan tinggi bibit diukur dengan menentukan selisih antara tinggi

tanaman sebelum dan sesudah diaplikasikan agens hayati, sehingga pada

pengamatan ke-0 tinggi tanaman adalah 0 cm, pada pengamatan sesudah aplikasi

mikroba antagonis dihitung selisih pengamatan ke-n dengan pengamatan ke-0

sehingga didapatkan pertambahan tinggi bibit pada masing-masing perlakuan.

Rata-rata pertambahan tinggi bibit cengkeh paling baik yang dapat dilihat dari

pengamatan ke-1 hingga ke-8 berturut-turut adalah aplikasi Trichoderma sp., P.

fluorescens, konsorsium mikroba, B. subtilis, kontrol dan fungisida tembaga.

Pertambahan tinggi bibit cengkeh pada masing-masing perlakuan disajikan dalam

tabel 3.

Sporangiofor

Sel

Kepal

a

Sporangium

Page 36: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

23

Tabel 3. Pertambahan tinggi bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis

Perlakuan

Pertambahan tinggi bibit cengkeh (cm) pada pengamatan minggu ke-

0 2 4 6 8

P1 0 1,16 ± 0,646 2,07 ± 1,069 3,09 ± 1,244 4,00 ± 1,426

P2 0 1,30 ± 0,240 2,21 ± 0,455 3,24 ± 1,214 4,25 ± 1,316

P3 0 1,09 ± 0,294 2,06 ± 0,623 2,98 ± 0,902 3,94 ± 1,046

P4 0 1,45 ± 0,316 2,60 ± 0,451 3,60 ± 0,475 4,43 ± 0,726

P5 0 1,07 ± 0,190 1,76 ± 0,220 2,53 ± 0,592 3,02 ± 0,707

P6 0 1,62 ± 0,767 2,68 ± 0,803 3,80 ± 0,779 4,64 ± 0,847

tn tn tn tn

4.3.2 Jumlah daun

Aplikasi 3 jenis mikroba antagonis tunggal dan aplikasi konsorsium

menunjukkan hasil yang sama dengan kontrol. Berdasarkan analisis yang

dilakukan, masing-masing perlakuan tidak dapat menunjukkan perbedaan dalam

mempengaruhi jumlah daun bibit cengkeh. Berdasarkan data jumlah daun yang

diperoleh dari pengamatan ke-1 hingga ke-8 dapat diketahui bahwa aplikasi

perlakuan mikroba antagonis memberikan pengaruh yang fluktuatif, namun

demikian aplikasi mikroba dalam bentuk konsorsium dapat memicu pertumbuhan

jumlah daun lebih banyak dibanding aplikasi mikroba tunggal. Jumlah daun

terbanyak berikutnya terjadi pada bibit yang diaplikasikan Trichoderma sp. dan

fungisida tembaga yang menunjukkan rata-rata jumlah daun yang sama,

sedangkan kontrol menunjukkan rata-rata jumlah daun paling rendah sejak awal

pengamatan. Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh pada semua perlakuan

disajikan pada tabel 4.

Keterangan : Notasi “tn” menunjukkan bahwa nilai F hitung tidak berbeda nyata dengan nilai F tabel 5%.

P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi).

Page 37: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

24

Tabel 4. Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis

Perlakuan Jumlah daun (helai) pada pengamatan minggu ke-

0 2 4 6 8

P1 20 ± 5,013 21 ± 5,867 22 ± 7,349 23 ± 7,595 22 ± 8,456

P2 19 ± 3,065 20 ± 3,689 20 ± 3,607 21 ± 4,920 21 ± 4,597

P3 20 ± 4,846 24 ± 6,579 25 ± 7,019 27 ± 7,885 28 ± 8,470

P4 23 ± 5,348 24 ± 6,485 26 ± 6,627 28 ± 6,190 28 ± 5,549

P5 22 ± 4,069 23 ± 5,507 25 ± 5,470 27 ± 7,907 28 ± 8,230

P6 14 ± 3,083 15 ± 4,559 15 ± 4,932 15 ± 5,890 17 ± 6,236

tn tn tn tn tn

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa

aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan konsorsium tidak dapat

memicu pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh. Tanaman cengkeh merupakan

tanaman tahunan, dengan pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan

tanaman musiman. Menurut Runtunuwu et al. (2011) pertambahan rata-rata tinggi

bibit cengkeh selama 4 bulan lebih kurang adalah 21,13 cm, sehingga dalam 1

minggu bibit cengkeh hanya mengalami pertambahan tinggi lebih kurang 1,32 cm.

Faktor lain yang diduga mempengaruhi ketidakmampuan mikroba dalam memicu

pertumbuhan vegetatif tanaman adalah lambatnya pertumbuhan bibit secara

normal, tinggi tanaman rata-rata yang diperoleh selama penelitian adalah 36 cm,

sedangkan menurut Wahyuno dan Martini (2015) salah satu kriteria bibit cengkeh

yang baik adalah ukuran tinggi bibit lebih kurang 60 cm pada umur 1 tahun.

Efektivitas mikroba antagonis sebagai pemicu pertumbuhan tanaman

diduga memiliki respon yang berbeda-beda pada tanaman dan lingkungan yang

berbeda. Keberhasilan mikroba untuk menstimulasi pertumbuhan tanaman diduga

tergantung pada cara aplikasi, konsentrasi dan ketersediaan hormon

pertumbuhan. Husen et al., 2006 juga menjelaskan bahwa mikroba memiliki

respon yang relatif berbeda untuk tiap rentang kondisi lingkungan yang berbeda.

Berdasarkan hasil yang didapatkan, diduga cara aplikasi dengan penyiraman

mikroba antagonis ke daerah perakaran dapat memicu pertumbuhan tanaman

lebih baik, karena mikroba dapat berkembang lebih optimal di daerah perakaran

dibandingkan di permukaan daun. Menurut Husen et al. (2006) PGPR merupakan

Keterangan : Notasi “tn” menunjukkan bahwa nilai F hitung tidak berbeda nyata dengan nilai F tabel 5%.

P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi).

Page 38: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

25

kelompok bakteri menguntungkan yang agresif mengkolonisasi rizosfir,

kemampuan mikroba dalam membentuk hormon pertumbuhan juga dipengaruhi

oleh bahan organik tanah. Selain itu kemungkinan hormon pertumbuhan pada

mikroba tercuci oleh air hujan lebih rendah jika diaplikasikan ke tanah

dibandingkan dengan disemprotkan ke permukaan daun.

Ketidaksesuaiam kerapatan mikroba antagonis yang digunakan diduga

dapat mengakibatkan tidak efektifnya mikroba dalam memicu pertumbuhan

vegetatif tanaman. Kerapatan yang digunakan merupakan kerapatan yang banyak

digunakan terutama jika aplikasi mikroba antagonis dilakukan dengan cara

penyiraman, dengan konsentrasi yang sama, kemampuan mikroba diduga

berbeda ketika disemprotkan ke permukaan daun.

Mikroba yang digunakan merupakan mikroba yang didalamnya terkandung

hormon pertumbuhan. Namun demikian, diduga tidak tersedianya atau tersedia

dalam konsentrasi rendah hormon-hormon pertumbuhan yang terkandung

didalam mikroba sehingga tidak mampu memicu pertumbuhan tanaman. Menurut

Husen et al. (2006) didalam Bacillus, Pseudomonas, dan Trichoderma terkandung

beberapa hormon pertumbuhan diantaranya hormon auksin dengan bentuk aktif

AIA (Asam Indol Asetat), pengaruh peningkatan pertumbuhan tanaman juga terkait

dengan kemampuan mikroba dalam menghasilkan hormon AIA. Demikian pula

ketersediaan hormon etilen, yang juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba

dalam membentuk hormon AIA. Efektivitas pemicu pertumbuhan oleh hormon

auksin yang dihasilkan oleh PGPR sangat tergantung pada konsentrasinya,

senyawa ini dapat meningkatkan dan menghambat pertumbuhan tanaman.

4.4 Pengaruh Aplikasi Mikroba Antagonis Terhadap Serangan Penyakit Pada Bibit Cengkeh

4.4.1 Intensitas Penyakit

Aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium

serta penyemprotan fungisida berbahan aktif tembaga 50% dapat mengendalikan

penyakit karat merah pada bibit cengkeh. Berdasarkan pengamatan yang

dilakukan hingga minggu ke-8 aplikasi konsorsium mikroba memberikan pengaruh

paling baik dalam mengendalikan penyakit karat merah. Penurunan intensitas

penyakit paling baik selanjutnya berturut-turut adalah aplikasi Trichoderma sp. B.

subtilis, fungisida tembaga dan P. fluorescens. Penurunan intensitas penyakit

pada tanaman kontrol diduga diakibatkan oleh gugurnya daun yang bergejala,

Page 39: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

26

terutama daun yang memiliki skor tinggi. Rata-rata intensitas penyakit karat merah

yang menyerang tanaman cengkeh disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata intensitas penyakit (IP) bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis

Perl.

IP (%) pada pengamatan minggu ke-

0 2 4 6 8

P1 38,75 ± 9,176 35,97 ± 8,952 a 33,19 ± 9,619 a 29,93 ± 12,76 a 30,00 ± 11,84 a

P2 38,29 ± 6,584 39,85 ± 7,272 a 37,69 ± 7,970 a 32,46 ± 10,28 a 33,00 ± 10,90 a

P3 35,37 ± 7,346 33,13 ± 9,647 a 32,62 ± 5,424 a 28,60 ± 3,932 a 29,24 ± 9,007 a

P4 31,23 ± 7,772 29,35 ± 7,724 a 29,21 ± 7,558 a 22,86 ± 6,860 a 22,02 ± 4,394 a

P5 34,82 ± 8,355 37,43 ± 9,093 a 34,97 ± 7,205 a 32,27 ± 7,564 a 29,34 ± 6,260 a

P6 50,23 ± 10,71 53,38 ± 9,878 b 52,90 ± 6,694 b 49,92 ± 6,769 b 46,85 ± 8,374 b

BNT tn 7,74 7,31 8,37 7,95

Mikroba antagonis yang diaplikasikan memiliki potensi untuk

mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh. Intensitas penyakit karat

merah sebelum aplikasi mikroba antagonis berkisar 31,23% – 50,23%. Meskipun

mikroba antagonis yang diaplikasikan merupakan jenis PGPR yang aktif

berkembang ditanah, namun diduga mikroba tersebut memiliki kemampuan

antagonis terhadap penyakit karat merah. Mekanisme antagonis yang terjadi pada

Cephaleuros sp. akibat aplikasi mikroba antagonis menurut Ramya et al. (2013)

adalah kolonisasi sel dan melisis dinding sel alga. Selain itu, sporangium yang

mengandung zoospora menjadi keriput dan pecah sebagai efek penghambatan

dari mikroba antagonis B. subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp.

Mikroba dalam bentuk konsorsium memiliki kemampuan mengendalikan

penyakit paling baik. Hal ini diakibatkan karena semua mikroba yang terkandung

dapat bersinergi, sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap

penekanan penyakit karat merah. Ariswanto et al. (2016) menjelaskan bahwa sifat

dan karakteristik konsorsium mikroba yang saling bersinergi membuat mikroba

dalam bentuk konsorsium dapat menjalankan fungsinya masing-masing.

Keterangan : Data ditransformasi menggunakan transformasi arc sin untuk keperluan analisis statistik

Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda signifikan pada uji BNT 5%

tn : tidak nyata

P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi)

Page 40: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

27

Penggunaan fungisida tembaga sebagai kontrol positif tidak dapat

mengendalikan penyakit karat lebih baik dibandingkan dengan konsorsium.

Fungisisda yang digunakan merupakan fungisida kontak yang didalamnya

mengandung 50% tembaga. Menurut Sumardiyono (2008) fungisida kontak

berperan sebagai protektan untuk melindungi tanaman dari serangan patogen

pada tempat aplikasi (permukaan tanaman). Fungisida kontak berbahan aktif

tembaga (Cu) bekerja dengan cara denaturasi protein yang menyebabkan

kematian sel pada jamur.

Fungisida tembaga dalam penelitian ini kurang efektif untuk mengendalikan

penyakit akibat alga, diduga alga memiliki mekanisme ketahanan yang berbeda

dengan jamur. Menurut Mann dan Hutchinson, 1907 (dalam Brooks et al., 2015)

zoospora alga akan berkecambah dipermukaan daun dan membentuk talus primer

yang kemudian menembus kutikula daun. Kebanyakan talus yang berada pada

permukaan daun akan mati dan hanya spora yang pecah dalam kutikula dan spora

yang berkembang dibawah talus alga yang dapat hidup, sehingga dimungkinkan

fungisida kontak kurang efektif dalam mengendalikan zoospora alga yang

berkembang di dalam kutikula daun. Sumardiyono (2008) mengungkapkan bahwa

struktur sel dan kekuatan membran sel juga mempengaruhi ketahanan patogen

terhadap fungisida.

Menurut Pal et al. (2006) pengendalian menggunakan agens hayati dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan. Kondisi

lingkungan yang baik adalah lingkungan yang terkontrol sehingga agens hayati

secara preemptif dapat berkembang di area terinfeksi patogen. Penggunaan

mikroba antagonis tertentu untuk mengendalikan penyakit spesifik juga

mempengaruhi efektivitas pengendalian. Cook dan Baker (1974) juga menyatakan

bahwa keberhasilan pengendalian hayati sangat ditentukan oleh jenis dan

inokulum antagonis yang diberikan, jenis patogen yang akan dikendalikan, faktor

lingkungan yang mempengaruhi dan cara aplikasinya.

Penyakit karat merah merupakan penyakit monosiklik, Pal et al. (2006)

menjelaskan bahwa pengendalian penyakit monosiklik menggunakan agens

hayati lebih efektif jika diaplikasikan sebagai bioprotektan yang berfungsi untuk

mencegah infeksi penyakit. Aplikasi mikroba antagonis sebelum terjadi penyakit

karat merah diduga lebih efektif dalam menekan perkembangan penyakit

dibanding aplikasi setelah terserang penyakit. Aplikasi mikroba antagonis juga

dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman sehingga perkembangan penyakit

Page 41: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

28

dapat dihambat. Suwandi (2003) menduga bahwa epidemi penyakit karat merah

pada tanaman gambir disebabkan oleh rendahnya kesehatan tanaman. Menurut

Ramya et al., (2013) kemampuan saprofit dari Bacillus, Pseudomonas dan

Trichoderma yang dapat bertahan pada daun dapat berfungsi secara efektif

sebagai penghalang inokulasi patogen yang baru.

4.4.2 Efektivitas Pengendalian

Efektivitas pengendalian (%) menunjukkan besar kemampuan mikroba

antagonis dalam mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh.

Mikroba antagonis yang diaplikasikan dalam bentuk konsorsium terbukti mampu

mengendalikan penyakit karat merah lebih baik dibandingkan dengan aplikasi

mikroba tunggal. Secara berturut-turut mikroba antagonis yang paling efektif dalam

mengendalikan penyakit karat merah adalah aplikasi konsorsium mikroba,

Trichoderma sp., B. subtilis, Fungisida tembaga dan P. fluorescens. Rata-rata

efektivitas pengendalian penyakit karat merah oleh agens hayati disajikan dalam

Tabel 6.

Aplikasi konsorsium diduga memiliki dampak yang dikombinasikan dan

disempurnakan dari masing-masing mikroba yang digunakan dalam penekanan

penyakit. Penggunaan spesies mikroba yang berbeda dalam bentuk kombinasi

memiliki keuntungan dapat meningkatkan kemampuan biokontrol karena memiliki

relung yang berbeda dengan membatasi persaingan antar mikroba yang

digunakan. Keragaman yang ditimbulkan dapat membantu dalam meningkatkan

penekanan penyakit. Penerapan konsorsium yang terdiri dari mikroba-mikroba

unggul lebih baik daripada mikroba tunggal dalam mengelola penyakit tanaman

(Sarma et al., 2015).

Tabel 6. Rata-rata efektivitas pengendalian penyakit karat merah akibat perlakuan mikroba antagonis

Perlakuan Efektivitas Pengendalian (%)

B. subtilis 36,44 bc P. fluorescens 29,48 a Trichoderma sp. 39,15 c Konsorsium 49,00 d Fungisida tembaga 33,86 b Kontrol 00,00

Keterangan : Data ditransformasi menggunakan transformasi arc sin untuk keperluan analisis statistik

Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan pada uji BNJ 5%

Page 42: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

29

4.5 Hubungan Serangan Penyakit Terhadap Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman

Hasil analisis kolerasi dan regresi antara intensitas serangan penyakit

akibat alga dengan parameter vegetatif tanaman yaitu tinggi tanaman dan jumlah

daun memiliki hubungan yang berbeda. Penyakit karat merah memiliki pengaruh

yang besar dalam menurunkan jumlah daun sebesar 63,2% (Tabel Lampiran 18),

namun tidak signifikan mempengaruhi tinggi tanaman. Berdasarkan hasil analisis,

regresi menunjukkan koefisien negatif yang berarti semakin tinggi nilai intensitas

penyakit (x) maka jumlah daun dan tinggi tanaman (y) akan menurun. Berdasarkan

analisis korelasi jumlah daun dan intensitas serangan penyakit memiliki hubungan

yang erat yaitu 0,805 (-) (Tabel Lampiran 22).

Gambar 8. Grafik hubungan regresi IP terhadap jumlah daun

Gejala penyakit karat merah adalah bercak nekrosis yang menyerang

daun, menurut Asman (1988) pada serangan berat daun bisa gugur tetapi tidak

mematikan pohon. Pangarso (2000) menjelaskan bahwa jika tanaman cengkeh

terserang berat penyakit tersebut, maka daun-daunnya akan gugur secara cepat.

Menurut Sunpapao et al. (2016) penyakit karat merah dapat menurunkan produksi

jika serangannya mampu menurunkan proses fotosintesis atau memicu penuaan

dini pada daun.

4.6 Hubungan Faktor Cuaca Terhadap Intensitas Penyakit

Cuaca merupakan salah satu aspek lingkungan yang erat kaitannya

dengan perkembangan penyakit tanaman. Menurut Semangun (1979) dalam

Sastrahidayat (2015) diketahui bahwa di alam terjadi interaksi tiga komponen,

yaitu: patogen, faktor luar (cuaca) dan tumbuhan atau hospes (host) untuk

terjadinya wabah penyakit.

y = 53,12 – 0,853 x

Page 43: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

30

Data cuaca harian yang diperoleh dari BMKG pada tahun 2017

menunjukkan suhu harian rata-rata di daerah percobaan pada bulan Februari

hingga April adalah 24,1 oC, curah hujan rata-rata 11,7 mm/hari dan kelembaban

udara rata-rata 82,47 %. Hubungan faktor cuaca dengan intensitas penyakit (IP)

dianalisis menggunakan analisis regresi dan korelasi. Hasil analisis regresi

menunjukkan bahwa faktor cuaca signifikan mempengaruhi intensitas serangan

penyakit sebesar 45,5 %, (Tabel Lampiran 20) namun demikian faktor cuaca yang

paling berpengaruh terhadap perkembangan IP adalah curah hujan yaitu sebesar

57,4 % (Tabel Lampiran 21).

Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara

variabel bebas (curah hujan) dengan variabel terikat (IP), berdasarkan analisis

korelasi didapatkan nilai 0,792 (+) (Tabel Lampiran 23) nilai korelasi tergolong

korelasi kuat dengan tanda positif yang menunjukkan korelasi positif yang berarti

semakin tinggi curah hujan maka terjadi peningkatan IP.

Menurut Wiyono (2007) pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa

terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan dan reproduksi

patogen. Berdasarkan keterangan petani yang melakukan pembibitan cengkeh,

penyakit karat merah akan muncul dengan intensitas yang tinggi pada musim

hujan meskipun tetap ditemukan adanya gejala penyakit pada musim kemarau.

Brooks et al. (2016) juga menjelaskan bahwa serangan penyakit karat merah

diperparah dengan lingkungan yang lembab dan panjangnya periode hujan.

Page 44: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Gejala serangan penyakit karat merah akibat alga Cephaleuros adalah nekrosis

dibawah permukaan daun yang tertutupi talus alga, perkembangan nekrosis

dimulai dari permukaan atas daun dan meluas hingga terlihat pada permukaan

bawah daun, nekrosis yang terjadi akan mengakibatkan daun berlubang dan

gugur lebih cepat daripada daun sehat.

2. Mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan konsorsium dapat mengendalikan

penyakit karat merah pada pembibitan cengkeh, efektivitas pengendalian paling

baik oleh mikroba dalam bentuk konsorsium sebesar 49%.

3. Berdasarkan parameter pertumbuhan vegetatif, aplikasi mikroba antagonis

dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak dapat mempengaruhi jumlah

daun dan tinggi bibit cengkeh.

5.2 Saran

1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mikroba antagonis dalam bentuk

konsorsium dalam kombinasi B. subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp.

terbukti lebih baik dalam menekan perkembangan penyakit karat merah

daripada fungisida tembaga 50%, oleh karena itu disarankan untuk

menggunkan mikroba antagonis dalam bentuk konsorsium untuk

mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh.

2. Saran teknis untuk pelaksanaan penelitian tentang perhitungan intensitas

penyakit karat merah akibat alga adalah menghitung jumlah daun secara

kumulatif termasuk jumlah daun yang gugur, untuk meminimalisir penurunan

intensitas penyakit akibat gugurnya daun sakit terutama daun sakit dengan skor

tinggi.

Page 45: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

32

DAFTAR PUSTAKA

Agrios G.N. 2005. Plant Pathology Fifth Edition. Elsevier Academic Press. San Diego, California.

Aini, F.N., S. Sukamto, D. Wahyuni, R.G. Suhesti, dan Q. Ayunin. 2013. Penghambatan Pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides oleh Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens. Jurnal Pelita Perkebunan 29 (1): 44-52.

Ari, V. 2015. Fluktuasi OPT Tanaman Cengkeh [Online] Ditjenbun.pertanian.go.id. Diunduh tanggal 21 Desember 2016.

Ariswanto, J., A.L. Abadi dan R.R. Kusuma. 2016. Efektivitas Aplikasi Teknologi Konsorsium Mikroba Sebagai Stimulator Pertumbuhan dan Pengendali Penyakit Akibat Jamur Patogen Pada Cabai Besar (Capsicum annum L.) di Dataran Rendah. Skripsi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Brawijaya.

Asman, A. 1988. Perkembangan penelitian penyakit tanaman cengkeh. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 4 (2): 48-54.

Ayuwati, P.B. 2015. Teknik Pembibitan dan Organisme Pengganggu Bibit Durian Menoreh Kuning Di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Skripsi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statisik. 2016. Kecamatan Wonosalam dalam Angka [Online] https://jombangkab.bps.go.id/. Diunduh tanggal 29 April 2017.

Baker, K.F. dan R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. Freeman and Company. San Fransisco.

Brooks, F. 2015. Plant Parasitic Algae (Trentepohliales, Chlorophyta) In America Samoa. Pacific Science 58 (3) :419-428.

Brooks, F., F. Rindi, Y. Suto, S. Ohtani, dan M. Green. 2015. The Trentepohliales (Ulvophyceae, Chlorophyta): An Unusual Alga Order and its Novel Plant Pathogen, Cephaleuros. The American Phytopathological Society. Plat Disease 99 (6): 740-751.

Faizzah, N. dan E. Budiyanto. 2015. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dan Data Penginderaan Jauh Untuk Kajian Kondisi Tanaman Cengkeh Berdasarkan Nilai Ndvi Di Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. E-Journal UNESA 2 (2): 25-33.

Guiry, M.D. dan G.M. Guiry. 2017. AlgaeBase. World-wide electronic publication, National University of Ireland [Online] http://www.algaebase.org. Diunduh tanggal 2 Juni 2017.

Husen, E., R. Saraswati dan R.D. Hastuti. 2006. Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan [Online] http://balittanah.go.id. Diunduh tanggal 9 Juni 2017.

Juliatra, I.K., M. Sudana dan W. Adiartayasa. 2015. Pengendalian Jamur Akar Putih (Rigidoporus sp.) Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) secara Hayati dan Nabati di Rumah Kaca. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika 4 (2): 93-99.

Page 46: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

33

Kim, J.D., Kim, dan B., Lee C.G. 2007. Alga lytic activity of Pseudomonas fluorescens against the red tide causing marine alga Heterosigma akashiwo. Science direct 41 (3): 296-303.

Mariana, L. 2013. Hama dan Penyakit Cengkeh di Wilayah Kabupaten Kediri Jawa Timur. Skripsi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor.

Nelson, S. 2008. Cephaleuros Species, the Plant-Parasitic Green Algae. College of Tropical Agriculture and Human Resources University of Hawai’i at Manoa.

Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur dan Bakteri dalam Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Hayati yang Ramah Lingkungan. Dalam Prosiding Semirata Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2011.

Nuryanti. 2015. Sejarah dan Manfaat Cengkeh. BBPPTP Surabaya [Online] http://ditjenbun.pertanian.go.id/. Diunduh tanggal 17 Januari 2017.

Pal, K.K. dan B.M. Gardener. 2006. Biological Control of Plant Pathogens. The Plant Health Instructor.

Pangarso, N. 2000. Hama dan Penyakit pada Tanaman Cengkeh. PD Nasional. Sidoarjo.

Putro, N.S., L.Q. Aini, dan A.L. Abadi. 2014. Pengujian Konsorsium Mikroba Antagonis Untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa Pada Cabai Merah Besar (Capsicum Annuum L.). Jurnal HPT 2 (4): 44-53.

Rajasekhar., S. K. Sain, dan Divya. 2016. Evaluation Of Microbial Consortium For Plant Health Management of Pigeon Pea. IJPAES 6: 107-109.

Ramya, M., P. Ponmurugan dan D. Savanan. 2013. Management of Cephaleuros parasiticaus Karst (Trentepohliales: Trentepohliaceae), an algal pathogen of tea plant, Camellia sinsensis (L) (O. Kuntze). Crop Protection 44: 66-74.

Runtunuwu, S.D., R. Mamarimbing, P. Tumewu dan T. Sondakh. 2011. Konsentrasi Paclobutrazol dan Pertumbuhan Tinggi Bibit Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Merryl & Perry). Eugenia 17 (2): 138-139.

Sarma, B.K., S.K. Yadav, S. Singh dan H.B. Singh. 2015. Microbial consortium-mediated plant defense against phytopathogens: Readdressing for enhancing efficacy. Science direct 87: 25-33.

Sastrahidayat, I.R. 2011. Fitopatologi (Ilmu Penyakit Tumbuhan). Malang. UB Press.

Semangun, H. 1988. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Silaban, I.C., L.Q. Aini dan M.A. Syib’li. 2015. Pengujian Konsorsium Mikroba Antagonis Untuk Mengendalikan Jamur Sclerotium rolfsii penyebab Penyakit Rebah Semai Pada Kedelai (Glycine Max L.). Jurnal HPT 3 (2): 135.

Siregar, B.I.T. dan J. Hermana . 2009. Identifikasi Dominasi Genus Alga pada Air Boezem Morokembrangan sebagai Sistem High Rate Algae Pond (HRAP). Paper Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Page 47: EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI …repository.ub.ac.id/7164/1/ANA WAUMRINA.pdf · 2020. 5. 5. · EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT

34

Sumardiyono, C. 2008. Ketahanan Jamur Terhadap Fungisida di Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 14 (1): 1-5.

Sundhari, R., M.K. Shivaprakash dan M.K.Prabhavathi. 2014. Role of Consortia of Biocontrol Agents And PGPR S in The Production of Cabbage Under Nursery Condition. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci 3 (6): 1055-1064.

Sunpapao, A. dan M.K. Pitaloka. 2015. Short Communication: A New Record of Plant Parasitic Green Algae, Cephaleuros diffusus (Trentepohliaceae, Chlorophyta), on Acacia auriculiformis host in Thailand. Biodiversitas 16 (2): 116-120.

Sunpapao, A., M.K. Pitaloka dan S. Arikit. 2016. Algal leaf spot associated with Cephaleuros virescens (Trentepohliales, Ulvophyceae) on Nephelium lappaceum in Thailand. Biodiversitas 17 (32): 31-35.

Suriani dan A. Muis. 2016. Prospek Bacillus subtilis Sebagai Agen Pengendali Hayati Patogen Tular Tanah Pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang 35 (1): 37-45.

Suryanti, T. Martoedjo, A.H. Tjokrosoedarmono dan E. Sulistyaningsih. 2003. Pengendalian Penyakit Akar Merah Anggur pada Teh dengan Trichoderma spp. Prosiding Kongres Nasional XVII dan Seminar Nasional FPI.

Suwandi. 2007. Peledakan penyakit karat merah alga pada tanaman gambir (Uncaria gambi) Di Babat Tomat, Sumatera Selatan. Pet Tropical Journal 1 (1): 6-10.

Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Trivedi, P., A. Pandey dan L.M.S. Palni. 2012. Bacterial Inoculants for Field Applications Under Mountain Ecosystem: Present Initiatives and Future Prospects.

Wahyuno, D., dan E. Martini. 2015. Budidaya Cengkeh di Kebuh Campur. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat (Balittro, Badan Litbang Pertanian) Bekerja Sama Dengan Agfor Sulawesi.

Wiyuno, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.