eiko san oid
TRANSCRIPT
Eikosanoid, Intoleransi Aspirin dan Saluran Nafas Atas –
Standar Terkini dan Kemajuan Terbaru Terapi Desensitisasi
O. Pfaar, L. Klimek
Pusat Rhinologi dan Alergi, Wiesbaden, Jerman
Pada tahun 1992, Widal, dkk. pertama kali mendeskripsikan reaksi intoleransi terhadap asam
asetilsalisilat (ASA, aspirin) dan terhadap obat anti inflamasi nonsteroid lainnya (NSAIDs). Gambaran
klinisnya mempunyai gejala trias klasik (Trias Samters) yaitu aspirin menginduksi asma bronkial
(dengan serangan asma akut yang berat), sensitivitas aspirin serta rhinosinusitis kronis dan polip nasal.
Pada beberapa kasus, polip nasal merupakan gejala awal sensitivitas ASA yang mengindikasikan
saluran nafas atas terlibat dalam proses patogenesis. Karena itu, fokus pada artikel ini pada saluran
nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA. Pada dekade terakhir, tidak adanya bukti menunjukkan
bahwa intoleransi ASA berhubungan dengan metabolisme abnormal asam arakidonat yang
menyebabkan produksi leukotrien (LTs) yang berlebihan. Hasil ketidakseimbangan eikosanoid
leukotrien dan prostaglandin dapat menjadi kunci penting patofisiologi penyakit ini. Insidensi
hipersensitivitas aspirin populasi keseluruhan mulai dari 0,6% sampai 2,5% dan pada pasien asma dari
4,3% sampai 11%. Selain riwayat pasien, challenge tests dengan Lysin-aspirin dilakukan sebagai
pilihan diagnostik. Selain terapi farmakologi dan bedah, terapi desensitisasi ASA merupakan satu-
satunya terapi spesifik. Seperti dijelaskan pertama kali oleh Stevenson, dkk. pada awal 1984,
pemberian oral dengan maksud desensitisasi awal dimana dosis aspirin naik bertahap diikuti dosis
tetap tiap harinya. Beberapa tahun terakhir ini, banyak publikasi berbagai protokol desensitisasi dan
rute pemberian. Saat ini, rute intravena sebagai awal desentisisasi telah dijelaskan dimana dapat
memberikan kemungkinan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien dengan intoleransi ASA.
Key words: Trias Samter, polip nasal, sensitif aspirin, intoleransi aspirin, desensitisasi aspirin, rute
intravena.
1
PENDAHULUAN
Segera setelah aspirin (asam asetilsalisilat: ASA) ditemukan pada kasus reaksi
anafilaktoid berat setelah meminum aspirin yang dijelaskan oleh Hirschberg pada
tahun 1899 (1). Widal, dkk. adalah yang pertama menggambarkan hubungan
sensitivitas aspirin, Aspirin-induced Asthma (AIA) dan polip nasal pada tahun 1922 (2). Gambaran klinis secara keseluruhan kemudian ditunjukkan dalam studi Samter
dan Beers (3). Pada beberapa kasus, polip nasal muncul sebagai gejala awal
sensitivitas ASA (4). Ini dapat mengindikasikan bahwa saluran nafas atas terlibat
dalam proses patogenesis. Karena itu, penekanan pada artikel ini terfokus pada
saluran nafas atas pada pasien dengan intoleransi ASA.
Intoleransi ASA: eikosanoid dan metabolisme asam arakidonat.
Dekade terakhir ini, pengetahuan tentang mekanisme patofisiologi yang
mendasari intoleransi ASA difokuskan dalam beberapa studi. Telah ditemukan bukti
bahwa patogenesis intoleransi aspirin bukan reaksi yang dimediasi IgE tetapi karena
metabolisme abnormal asam arakidonat yang mengimplikasi jalur Lipooksigenase
(LO) dan siklooksigenase (CO) (4,5). Deviasi ini menghasilkan ketidakseimbangan
sintesis kedua eikosanoid, leukotrien dan prostaglandin. Prostaglandin anti inflamasi,
terutama E2, menurun dan sintesis sisteinil-leukotrien seperti leukotrien-A4, -B4, -C4, -
D4 meningkat (5,6) (Gambar. 1).
Membran Fosfolipid2
Fosfolipase A2
Asam Arakidonat
5-Lipoxygenase COX 1
Leukotrien LTA4 Prostaglandin A2
PGD2 PGE2 = Bronkodilatasi
PGF2α Vasodilatasi
Gambar. 1. Mekanisme pasti intoleransi aspirin dan juga terapi desensitisasi ASA masih belum jelas.
Buktinya bahwa intoleransi ASA tidak berhubungan dengan reaksi IgE tetapi karena metabolisme
abnormal asam arakidonat melibatkan jalur Lipoxygenase (LO) dan Cyclooxygenase (CO). Deviasi ini
menghasilkan ketidakseimbangan sintesis eikosanoid terhadap leukotrien proinflamasi yang dominan.
Prevalensi intoleransi ASA
Intoleransi ASA seharusnya diabaikan: pada populasi 500 pasien dengan AIA
dipelajari di European Network of Aspirin-Induced Asthma (AIANE), 18% tidak
diketahui intoleransi aspirin sebelum meminum aspirin (7). Yang lebih menarik, pasien
dengan AIA juga menderita rhinosinusitis walaupun 34% tidak tahu penyakitnya
sebelum dilakukan percobaan (8,9). Data lain mengungkapkan rata-rata insidensi dari
0,6% sampai 2,5% dan dewasa dengan asma 4,3% sampai 11% (8).
3
Leukotrien LTA4
LTB4 = Kemotaksis
LTC4 = Vasokontriksi
Bronkospasme
Permeabilitas ↑
LTE4 = Permeabilitas ↑
PGD2
PGF2α
PGE2 = Bronkodilatasi
Vasodilatasi
Gejala Klinis
Pada kebanyakan kasus sensitivitas ASA didapatkan pola khas: rhinitis sering
menjadi gejala klinis pertama selama tiga dekade, sering setelah infeksi pernafasan
akibat virus. Setelah beberapa bulan seiring kongesti nasal kronik, hiposmia, rhinore
kronik, polip nasal dapat dijumpai (8,9). Akhirnya, penyakit dengan AIA: 20% pasien
AIA mengalami asma ringan dan intermiten, 30% asma sedang yang dapat dikontrol
dengan steroid inhalasi dimana 50% pasien menjadi kronik, asma ketergantungan
kortikoid sering dihubungkan oleh reaksi anafilaktoid sistemik (9).
Saluran Nafas Atas: “key-area” intoleransi ASA
Rhinosinusitis ditemukan sebagai gejala dominan pada 500 pasien dengan
intoleransi ASA pada berbagai pusat survei Szczeklik dan Nizankowska (10).
Menariknya, gejala nasal ditemukan pada rata-rata umur 30 tahun, sering sebagai
hasil infeksi virus pernafasan. Pada kasus ini sekret dari hidung menahun dan sering
berair. Sensasi hiposmia ditemukan pada 55%. Pada umumnya gejala pertama asma
muncul dua tahun kemudian.
Polip Nasal
Pada 70% pasien dengan intoleransi ASA dapat ditemukan polip nasal,
sedangkan pada populasi keseluruhan prevalensi polip nasal hanya sekitar 4% (10,11).
Tipe polip pasien intoleransi ASA adalah pertumbuhan agresifnya yang melibatkan
semua sinus paranasal bilateral (12). Dengan cara CT-Scan pansinus dapat
membuktikan secara radiologi pada semua kasus dengan AIA pada studi Amerika (9).
Hubungan patogenesis antara intoleransi ASA dan asal mula polip nasal
masih belum jelas: agen infeksius seperti virus, bakteri atau jamur sebagai faktor
primer yang dapat mengaktivasi epitel sel nasal dan sitokin proinflamasi seperti
eotaksin dan faktor pertumbuhan, dan memicu proses inflamasi (11,13,14). Penjelasan
lebih lanjut yang mungkin adalah perbedaan gen HLA (15), penurunan angka apoptosis
sel inflamasi lokal seperti eosinofil (16) atau peranan berbeda dari siklooksigenase 1 4
dan siklooksigenase 2 yang mempunyai fungsi regulasi khusus dalam patogenesis
polip nasal (17).
Yang menarik, angka rekurensi polip nasal setelah reseksi pada pasien
intoleransi ASA sangat tinggi: dalam studi Jantii-Alanco, dkk. angka rekurensi
hampir tiga kali lebih besar pada AIA daripada asma intrinsik nonintoleran (18).
Diagnosis
Empat temuan khas dari riwayat pasien sesuai terhadap intoleransi aspirin dan
NSAID lainnya (5,6,7): i) gejala khas reaksi pernafasan setelah pemberian aspirin; ii)
serangan asma disertai kongesti nasal kronik dan rhinore yang cair dan banyak; iii)
frekuensi tinggi serangan asma berat; iv) frekuensi tinggi polip nasal.
Sejauh ini, validasi dan tingkat kepercayaan tes in vitro tidak tersedia untuk
diagnosis intoleransi aspirin. Tes provokasi masih sebagai alat diagnostik yang valid
terhadap sensitivitas aspirin: namun, challenge test diragukan dan hanya digunakan
pada keadaan klinis khusus yang dipersiapkan untuk reaksi anafilaksis. Empat tipe tes
aspirin dapat dipakai tergantung cara pemberian: oral, inhalasi, nasal dan intravena (7).
Pada kasus dengan gejala nasal yang dominan, nasal challenge test dengan
aspirin merupakan metode pilihan karena tingkat keamanannya dan kehandalannya (19). Pada kasus dengan hasil tes negatif pada nasal challenge test tetapi dugaan kuat
AIA dari riwayat pasien, bronkial dan atau oral challenge test harus dipakai (5,7).
Terapi
Prevensi dengan COX-1 selektif
Aturan umum terhadap penatalaksanaan AIA sesuai dengan petunjuk
penanganan asma. Lebih lanjut, serangan asma pada AIA sering berat, dan berpotensi
diterapi seumur hidup. Ini mendasari pentingnya mengedukasi pasien untuk
menghindari ASA dan semua reaksi lainnya, nonselektif inhibitor COX (Tabel 1) (5,6).
Namun, COX-2 selektif aman digunakan pada sebagian besar pasien yang sensitif
aspirin (20).5
Tabel 1. NSAID yang bereaksi dengan aspirin (5).
Jalur Penghambat NSAID
Inhibitor dominan COX-1 dan COX-2
Piroxicam
Indomethacin
Sulindac
Tolmetin
Diclofenac
Naproxen
Naproxen sodium
Ibuprofen
Fenoprofen
Ketoprofen
Flubiprofen
Asam Mefenamat
Meklofenamat
Ketorolac
Etodolac
Diflunisal
Oksifenbutazon
Fenilbutazon
Inhibitor lemah COX-1 dan COX-2Asetaminofen
Salsalat
Inhibitor relatif COX-2Nimesulide
Meloxicam
Inhibitor selektif COX-2Celecoxib
Rofecoxib
Pembedahan
Pertumbuhan polip di nasal dan sinus paranasal yang sangat besar di reseksi
secara endoskopi atau teknik mikroskopi. Namun, angka rekurensi cukup tinggi: studi
prospektif 227 pasien operasi polip nasal antara 1993 dan 2001 membuktikan angka
6
rekurensi yang sangat tinggi pada grup AIA dibandingkan dengan pasien yang toleran
ASA (21).
Desensitisasi Aspirin
Pada tahun 1976, Zess dan Lockey menjelaskan penemuan paradoksal bahwa
pasien intoleransi ASA mengalami 3 hari periode refrakter setelah diberi aspirin oral (22). Laporan ini menandai pilihan terapi baru dalam penatalaksanaan pasien sensitif
aspirin: apakah mungkin menangani proses inflamasi saluran nafas dengan
medikamentosa yang sama, yang disangka menyebabkan gejala. Berdasarkan temuan,
beberapa protokol desensitisasi dan rute pemberian telah diuraikan dua dekade
terakhir: bronkial, endonasal, oral, rute intravena.
i) Pemberian bronkial
Rute pemberian ini dikembangkan dengan dasar toleransi refrakter dapat
dicapai dengan provokasi ulang menggunakan inhalasi lysin-aspirin (23).
ii) Pemberian endonasal
Pada kasus dengan gejala nasal yang dominan seperti polip rhino-nasal rute
ini menunjukkan efektifitasnya. Sebuah studi Patriarca, dkk. 43 pasien mengalami
polip nasal desensitisasi intranasal ditunjukkan dengan peningkatan dosis lisin
asetilsalisilat (LAS) dari 20, 200, dan 2000 mikrogram aspirin sampai dosis
maksimum 2000 mikrogram tiap minggu dicapai (24). Pemantauan selama 5 tahun,
angka rekurensi polip nasal rendah pada kelompok yang diberi aspirin
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Saat ini, first randomized, double-blind,
kontrol plasebo, percobaan cross-over desensitisasi topikal dengan dosis rendah
(16 mg) pemberian intranasal pada pasien sensitif aspirin dengan polip nasal telah
dilaporkan (25). Studi ini menunjukkan hanya efek klinis buruk dengan terapi
desensitisasi endonasal tetapi peningkatan yang signifikan di tingkat mikroskopik.
iii) Pemberian oral7
Stevenson, dkk. yang pertama menjelaskan dua kasus pasien AIA yang
menjalani terapi desensitisasi dengan peningkatan dosis aspirin diikuti dengan
terapi harian (26). Menariknya, kedua pasien menunjukkan perbaikan terhadap
asma sensitif aspirin sebaik penurunan polip nasal. Hanya 4 tahun kemudian
kelompok yang sama dari first randomized, double-blind, kontrol plasebo,
percobaan cross-over desensitisasi aspirin pada 25 pasien dengan asma sensitif
aspirin dengan dosis harian antara 325 dan 1300 mg setelah 3 bulan periode (27).
Survei ini dapat menjelaskan perbaikan signifikan gejala rhino-nasal sebaik
penurunan kebutuhan kortikosteroid nasal dari kelompok ASA yang diterapi
dibandingkan dengan plasebo. Namun, hanya setengah pasien mengalami
perbaikan gejala asma.
Sejumlah 107 pasien yang didiagnosa sensitif aspirin dengan gejala
rhinosinusitis dan AIA dilibatkan dalam survei retrospektif 6 tahun yang lalu.
Studi ini, 65 pasien yang diterapi dengan desensitisasi aspirin dimana 42 pasien
kelompok kontrol dihindari semua NSAID. Data ini, jelas menunjukkan
keuntungan klinis terapi desensitisasi pasien sensitif aspirin berdasarkan
penurunan jumlah kunjungan rumah sakit dan IGD, infeksi saluran nafas atas dan
operasi sinus sebaik perbaikan sensasi penciuman. Menariknya, 20% dari 65
pasien kelompok terapi dilaporkan mengalami keluhan di perutnya.
Antara 1988 dan 1994 studi pantauan jangka panjang pada desensitisasi
aspirin dengan dosis oral harian 1300 mg telah dilantik (29). Pentingnya studi ini
adalah penemuan bahwa desensitisasi aspirin kenyataannya mengurangi
pertumbuhan agresif dan angka rekurensi polip sinunasal pasien sensitif aspirin
setelah waktu yang lama. Kebutuhan operasi sinunasal menurun dari 1 operasi per
3 tahun menjadi 1 operasi per 9 tahun. Namun, jumlah kunjungan IGD dan
kebutuhan kortikosteroid inhalasi tidak berubah dalam studi ini.
Studi selanjutnya pada 172 pasien dengan desain studi yang sama
menjelaskan penurunan angka sinusitis purulen dari rata-rata 5 kali per tahun
sebelum terapi menjadi kurang dari setengahnya (30). Menariknya, respon klinis 8
angka terapi dari 67% terbukti segera 6 bulan yang menunjukkan bahwa efek
terapi awal terapi desensitisasi. Lebih lanjut, hasil ini bertahan selama 1 sampai 5
tahun.
Disisi lain, 9% terhentinya terapi jangka panjang karena gejala gastritis yang
rendah dibandingkan data dari kelompok yang sama dari 1996 (26). Penulis
menghubungkan temuan ini terhadap penggunaan misoprostol dan proton pump
inhibitor, keduanya tersedia saat ini.
iv) Pemberian intravena
Publikasi studi saat ini efek samping yang mungkin dengan menggunakan rute
intravena telah dipelajari untuk desensitisasi ASA (31). Sebanyak 36 pasien dengan
riwayat jelas intoleransi ASA, polip sinunasal (rekuren) dan hasil tes yang positif
menggunakan sel darah putih perifer (32) diterapi dengan menaikkan dosis lysine-
aspirin intravena dibawah kondisi rumah sakit (Tabel. 2a dan Tabel. 2b). Jumlah
total reaksi sistemik diobservasi sebanyak n = 27 atau 6,6% dari semua dosis
terapi. Semua reaksi sistemik, 81% reaksi derajat 1 dan 19% reaksi derajat 2.
Reaksi sistemik dari derajat 3 dan 4 tidak ditemukan.
Tabel 2a. Adapsi desensitisasi oleh aplikasi i.v. pada pasien dengan intoleransi tingkat rendah (31).
Hari (Rumah Sakit) Dosis harian lysin-aspirin dalam mg (diberikan pagi dan sore)
1
2
3
4
5
50 50
100 100
200 200
300 300
400 400
Dosis maintenance 300 mg aspirin tiap hari, peroral
Tabel 2b. Adaptasi desensitisasi oleh aplikasi i.v. pada pasien dengan intoleransi tingkat tinggi (31).
Hari (Rumah Sakit) Dosis harian lysin-aspirin dalam mg (diberikan pagi dan sore)
1 25 25
9
2
3
4
5
6
50 50
100 100
200 200
400 400
500 500
Dosis maintenance 300 mg aspirin tiap hari, peroral
Survei ini menunjukkan rute intravena untuk fase peningkatan awal
desensitisasi ASA sebagai prosedur aman tanpa komplikasi berat dibandingkan
dengan rute peroral. Kontras dengan rute oral, rute intravena mempunyai
keuntungan memutus aplikasi ASA dengan menghentikan terapi infus dalam
kasus (permulaan) reaksi sistemik. Tidak diragukan, banyak studi dibutuhkan
investigasi aplikasi intravena melihat aspek keamanannya dan perbandingan
terhadap aplikasi oral dalam fase awal terapi.
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Hirschberg VG. Anaphylactoid reaction to aspirin (1902) (classical article). Allergy Proc
1990; 11: 249-252.
2. Widal MF, Abrami P, Lenmoyez J. Anaphylaxie et idiosyncrasie. Presse Med 1922; 30:
189-192.
3. Samter M, Beers RF. Intolerance to aspirin. Clinical studies and consideration of its
pathogenesis. Ann Intern Med 1968; 68: 975-983.
4. Szczeklik A, Stevenson DD. Aspirin-induced asthma: Advances in pathogenesis,
diagnosis, and management. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: 913-921.
5. Babu KS, Salvi S. Aspirin and Asthma. Chest 2000; 118: 1470-1478.
6. Pfaar O, Klimek L. Aspirin desensitization in aspirin intolerance: update on current
standards and recent improvements. Curr Opin Allerg Clin Immunol 2006; 6: 161-166.
7. Szczeklik A, Nizankowska E, Duplaga M. Natural history of aspirin-induced asthma.
AIANE Investigators. European Network on Aspirin-Induced Asthma. Eur Respir J
2000; 16(3): 432-436.
8. Szczeklik A, Sanak M, Niz E, Kielbasa B. Aspirin intolerance and the cyclooxygenase-
leukotriene pathways. Curr Opin Pulm Med 2004; 10: 51-56.
9. Berges-Gimeno MP, Simon RA, Stevenson DD. The natural history and clinical
characteristics of aspirin-exacerbated respiratory disease. Ann Allergy Asthma Immunol
2002; 89(5): 474-478.
10. Szczeklik A, Nizankowska E. Clinical features and diagnosis of aspirin induced asthma.
Thorax 2000; 55 (Suppl 2): 42-44.
11. Bachert C, Watelet JB, Gevaert P, Van Cauwenberge P. Pharmacological management of
nasal polyposis. Drugs 2005; 65(11): 1537-1552.
12. Picado C, Mullol J. The nose in aspirin-sensitive asthma. In Eicosanois, aspirin and
asthma. A Szczeklik, RJ Gryglewski, J Vane (eds). New York, Marcel Dekker 1998 pp.
493-505.
13. Pawliczak R, Lewandowska-Polak A, Kowalski ML. Pathogenesis of nasal polyps: an
update. Curr Allergy Asthma Rep 2005; (6): 463-471.
14. Min JW, Jang AS, Park SM, et al. Comparison of plasma eotaxin family level in aspirin-
induced and aspirin-tolerant asthma patients. Chest 2005; 128(5): 3127-3132.
11
15. Molnar-Gabor E, Endreffy E, Rozsasi A: HLA-DRB1. –DQA1, and –DQB1 genotypes in
patients with nasal polyposis. Laryngoscope 2000; 110(3 Pt 1): 422-425.
16. Kowalski ML, Grzegorczyk J, Pawliczak R, Kornatowski T, Wagrowska-Danilewicz M,
Danilewicz M. Decreased apoptosis and distinct profile of infiltrating cells in the nasal
polyps of patients with aspirin hypersensitivity. Allergy 2002; 57(6): 493-500.
17. Gosepath J, Brieger J, Mann WJ. New immunohistologic findings on the differential role
of cyclooxygenase 1 and cyclooxygenase 2 in nasal polyposis. Am J Rhinol 2005; 19(2):
111-116.
18. Jantii-Alanco S, Holopainen E, Malmberg H. Recurrence of nasal polyps after surgical
treatment. Rhinology 1989; 8: 59-64.
19. Milewski M, Mastalerz L, Nizankowska E. Nasal provocation test with lysine-aspirin for
diagnosis of aspirin-sensitive asthma. J Allergy Clin Immunol 1998; 101: 581-586.
20. Stevenson DD, Simon RA. Lack of cross reactivity between Rofecoxib and aspirin-
sensitive patients with asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 108: 47-51.
21. Albu S, Tornescu E, Mexca Z, Nistor S, Necula S, Cozlean A. Recurrence rates in
endonasal surgery for polyposis. Acta Otorhinolaryngol Belg 2004; 58(1): 79-86.
22. Zeiss CR, Lockey RF. Refractory period to aspirin in a patient with aspirin-induced
asthma. J Allergy Clin Immunol 1976; 57(5): 440-448.
23. Schmitz-Schumann M, Schaub E, Virchow C. Inhalation provocation test with lysine-
acetylsalicylic acid in patients with analgetics-induced asthma. Prax Klin Pneumol 1982;
36(1): 17-21.
24. Patriarca G, Schiavino D, Nucera E, Papa G, Schinco, Fais G. Prevention of relapse in
nasal polyposis. Lancet 1991; 337(8755): 1488.
25. Parikh AA, Scadding GK. Intranasal lysine-aspirin in aspirin-sensitive nasal polyposis: a
controlled trial. Laryngoscope 2005; 115(8): 1385-1390.
26. Stevenson DD, Simon RA, Mathison DA. Aspirn-sensitive asthma: tolerance to aspirin
after positive oral aspirin challenges. J Allergy Clin Immunol 1980; 66: 82-88.
27. Stevenson DD, Pleskow WW, Simon RA, Mathison DA, Lumry WR, Schatz M. Aspirin-
sensitive rhinosinusitis asthma: a double blind cross over study of treatment with aspirin.
J Allergy Clin Immunol 1984; 73: 500-507.
12
28. Sweet J, Stevenson DD, Simon RA, Mathison DA. Long-term effects of aspirin
desensitization – treatment for aspirin-sensitive rhinosinusitis-asthma. J Allergy Clin
Immunol 1990; 85: 59-65.
29. Stevenson DD, Hankammer MA, Mathison DA, Christiansen SC, Simon RA. Aspirin
desensitization treatment of aspirin-sensitive patients with rhinosinusitis-asthma: long-
term outcomes. J Allergy Clin Immunol 1996; 98(4): 751-758.
30. Berges-Gimeno P, Simon RA, Stevenson DD. Long-term treatment with aspirin
desensitization in asthmatic patients with aspirin-exacerbated respiratory disease. J
Allergy Clin Immunol 2003; 111: 180-186.
31. Pfaar O, Spielhaupter M, Wrede H, et al. Aspirin desensitization on patients with aspirin
intolerance and nasal polyps – a new therapeutic approach by the intravenous route.
Allergologie 2006; 8: 322-331.
32. Schaefer D, Lindethal U, Wagner M, Bolcskei PL, Baenkler HW. Effect of prostaglandin
E2 on eicosanoid release by human bronchial biopsy specimens from normal and
inflamed mucosa. Thorax 1996; 51(9): 919-923.
13