eksistensi hukum adat gayo dalam menyelesaikan …
TRANSCRIPT
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 67
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
EKSISTENSI HUKUM ADAT GAYO DALAM MENYELESAIKAN
PERKARA DI KUTACANE ACEH TENGGARA
Oleh:
Misran
Abstrak
Hukum adat Gayo merupakan suatu perilaku yang mengikat masyarakat Gayo
secara luas dengan berbagai nilai norma. Masyarakat Gayo sejak zaman dahulu
sudah menerapkan hukum adat untuk mengatur masyarakatnya, hal ini dibuktikan
dengan begitu banyaknya terdapat istilah-istilah adat Gayo. Masyarakat Gayo di
Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, tidak menerapkan hukum adat Gayo dalam
menyelesaikan sengketa. Tetapi masyarakat suku Gayo di Kutacane
menggunakan hukum adat Alas dalam menyelesaikan segala sengketa/perkara
dalam masyarakat. Terdapat empat kriteria hukum adat yang dijatuhkan kepada
pelaku pelanggar adat, yaitu: (1) Opat (empat); yaitu nilai bilangan rupiah yang
jumlahnya diawali dengan angka empat, boleh jadi empat puluh ribu rupiah,
empat ratus ribu rupiah, empat juta rupiah dan empat puluh juta rupiah. (2)
Waluh Delapan); yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan
angka delapan, boleh jadi delapan puluh ribu rupiah, delapan ratus ribu rupiah,
delapan juta rupiah dan delapan puluh juta rupiah; (3) Enam Belas; yaitu nilai
bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan seratus enam puluh ribu rupiah,
satu juta enam ratus rupiah, enam belas juta rupiah dan seratus enam puluh juta
rupiah, dan (4)Tige Due: yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali
dengan seratus tiga puluh dua ribu rupiah, dan tiga puluh dua juta rupiah.
Besaran denda adat ini sesuai dengan kondisi dan kesepakatan atau keputusan
peradilan adat. Dengan demikian, eksistensi hukum adat Gayo di Kutacane Aceh
Tenggara tidak direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Gayo. Namun
demikian Pelaksanaan hukum adat Kutacane dalam menyelesaikan
sengketa/perkara, tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena dalam hukum
adat tesebut terintegrasi nilai hukum Islam, yakni azas perdamaian, azas
kemaafan, azas menghilangkan dendam. Di samping itu, juga sesuai dengan
konsep hukuman ta’zir dalam teori hukum pidana Islam. Hukuman ta’zir adalah
hukuman yang diputuskan oleh pemimpin, untuk mewujudkan kemaslahatan.
Kata Kunci: Integrasi-hukum Islam-hukum adat
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 68
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
A. PENDAHULUAN
Di provinsi Aceh terdapat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat.
Lebih rinci tentang kewenangan hukum Adat Aceh, diatur dalam Qanun
Nomor 9 Tahun 2008, tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat, dalam pasal
13 ayat (1) mengatur ada 18 kasus/perselisihan yang dapat diselesaikan melaui
mekanisme adat, yaitu meliputi:
1. Perselisihan dalam rumah tangga;
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. Perselisihan antar warga;
4. Khalwat meusum;
5. Perselisihan tentang hak milik;
6. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. Perselisihan harta sehareukat;
8. Pencurian ringan;
9. Pencurian ternak peliharaan;
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. Persengketaan di laut;
12. Persengketaan di pasar;
13. Penganiayaan ringan;
14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. Pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman);
Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Dalam kehidupan masyarakat Gayo, jauh sebelum qanun-qanun di atas
lahir, sudah ada hukum adat terlebih dahulu lahir yang mengatur tentang
kehidupan masyarakat Gayo, demikian juga di daerah Aceh lainnya. Keberadaan
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, UUPA Nomor 6 Tahun 2006, Qanun
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 69
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
Nomor 9 tahun dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 adalah sebagai payung hukum
terhadap hukum adat yang sudah terlebih dahulu ada.
Lebih lanjut, Secara sosiologis penerapan Syariat Islam di Aceh didukung
oleh sistem sosial dan budaya masyarakat yang kental dengan nilai-nilai
keislaman (Abbas, 2014). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa antara hukum
Islam dan hukum adat sangat menyatu seperti dalam istilah pepatah Gayo “edet
urum agama lagu empus urum senuen, agama ken empose senuen edet kin
pegere” (Ibrahim, 2013). Artinya adat dengan agama bagaikan hubungan antara
kebun dengan tanaman, agama sebagai kebun, adat sebagai pagarnya. Keduanya
tidak dapat dipisahkan. Ketika seorang mengatakan “sifat” sekaligus juga
dipahami itu pula “zatnya”. Demikian pula sebaliknya, bila seorang mengatakan
ini zatnya, maka dipahami sifatnya sekaligus. Dalam pepatah Aceh juga
disebutkan adat ngen hukom lage zat nge sifet, yang maknanya hukum adat
dengan hukum Islam seperti zat dengan sifat. Dengan pengertian bahwa kedua
hukum tersebut tidak dapat dipisahkan.
Hukum adat Gayo merupakan suatu perilaku yang mengikat masyarakat
Gayo secara luas dengan berbagai nilai norma, yang berlaku di masyarakat pada
umumnya. Pada dasarnya masyarakat Gayo sejak zaman dahulu sudah
menerapkan hukum adat untuk mengatur masyarakatnya, meskipun harus diakui
bahwa semakin hari hukum adat semakin terkikis oleh perkembangan waktu dan
tempat. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya terdapat istilah-istilah adat
yang berkaitan dengan hukum dalam masyarakat Gayo.
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 70
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
Bukti lain adalah tentang keberadaan Lembaga Sarak Opat juga dapat
dilihat dari keberadaan peraturan adat yang di buat oleh kerajaan Linge sekitar
tahun 450 H. atau 1115 M. Dalam rumusan ke 45 pasal ini materi peraturannya
memuat: tentang cara-cara pemberhentian aparatur Sarak Opat, tentang kejahatan,
pembunuhan , peraturan tentang kekeluargaan, perceraian (Ali, 1985). Untuk
pertama sekali norma adat ini dirumuskan oleh penduduk negeri Linge disebut
Pute Merhum Mahkota Alam, norma adat ini dirumuskan bersama tokoh Ulama,
serta pemimpin masyarakat (Mahmud Ibrahim, 2003).
Peraturan adat di atas dituliskan kembali pada tahun 1940 yang terdiri dari
45 pasal. Dalam ketentuan peraturan adat ini, bahwa Lembaga Sarak Opat dalam
pasal 2 norma adat tersebut dirumuskan tentang keberadaan Lembaga Sarak Opat
sebagai unsur kepemimpinan adat di tingkat kampung. MJ Melalatoa dalam
penelitiannya Tentang Kebudayaan Masyarakat Gayo, menuliskan bahwa
peraturan adat yang telah dirumuskan kedalam 45 pasal yang pada mulanya tidak
tertulis, akan tetapi hanya tersimpan sebagai pengetahuan dari anggota masyarakat
pada umumnya atau pada ahli-ahli adat pada khususnya, kemudian aturan adat ini
baru dilakukan penulisan dalam bentuk peraturan yang dimasukkan ke dalam
pasal-pasal yang berjumlah 45 pasal, yakni pada tahun 1940 yang diberi nama
Resam Peraturan di Negeri Gayo, kemudian ada juga sumber lain yang memberi
nama Perundang-Undangan Masyarakat Hukum Negeri Linge. (Melalatoa, 2006)
Bunyi rumusan pasal 2 dari peraturan Adat negeri Linge ini adalah sebagai
berikut:
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 71
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
Kampung musarak, negeri mureje
Sarak Opat pintu Opat
Reje musuket sipet, penggawe (imem) muperlu sunet
Petue musidik sasat,
Rakyat genap mupakat
Terjemahannya:
Kampung ada wilayahnya, negeri ada rajanya, Negeri dipimpin oleh
empat unsur pemerintahan: Raja menegakkan keadilan, imam memimpin
amal fardhu dan sunat, petue meneliti keadaan masyarakat dan rakyat
genap mupakat.
Melalui isi pasal di atas dapat diketahui bahwa setiap kampung
mempunyai wilayah tersendiri, memiliki pemimpin yang mengatur urusan
kemasyarakatan, dalam masyarakat Gayo dikenal dengan sebutan Sarak Opat;
yang meliputi Reje (raja), imem (imam), petue (penyelidik) dan rakyat.
Mayoritas suku Gayo tinggal di daerah wilayah provinsi Aceh, yaitu
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan sebagian wilayah Aceh
Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur. Melalatoa, Memahami Aceh Sebuah
Perspektif Budaya dalam Aceh kembali ke Masa Depan, 2006). Namun yang
menjadi wilayah penelitian adalah kabupaten Aceh Tenggara, mengingat wilayah
ini adalah daerah perbatasan dengan Sumatera Utara, yang sarat dengan
multikultural etnis dan budaya dari berbagai daerah, sehingga peneliti merasa
penting untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang keberadaan hukum adat
Gayo di wilayah ini.
B. PEMBAHASAN
Hukum adat Gayo merupakan suatu perilaku yang mengikat masyarakat
Gayo secara luas dengan berbagai nilai norma, yang berlaku di masyarakat pada
umumnya. Pada dasarnya masyarakat Gayo sejak zaman dahulu sudah
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 72
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
menerapkan hukum adat untuk mengatur masyarakatnya, meskipun harus diakui
bahwa semakin hari hukum adat semakin terkikis oleh perkembangan waktu dan
tempat. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya terdapat istilah-istilah adat
yang berkaitan dengan hukum dalam masyarakat Gayo.
Bukti lain adalah tentang keberadaan Lembaga Sarak Opat juga dapat
dilihat dari keberadaan peraturan adat yang di buat oleh kerajaan Linge sekitar
tahun 450 H. atau 1115 M (Ali, 1985). Untuk pertama sekali norma adat ini
dirumuskan oleh penduduk negeri Linge disebut Pute Merhum Mahkota Alam,
norma adat ini dirumuskan bersama tokoh Ulama, serta pemimpin masyarakat
(Mahmud Ibrahim, 2003).
Mayoritas suku Gayo tinggal di daerah wilayah provinsi Aceh, yaitu
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan sebagian wilayah Aceh
Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur (Melalatoa, 2006). Namun yang
menjadi wilayah penelitian adalah kabupaten Aceh Tenggara, mengingat wilayah
ini adalah daerah perbatasan dengan Sumatera Utara, yang sarat dengan
multikultural etnis dan budaya dari berbagai daerah, sehingga peneliti merasa
penting untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut tentang keberadaan hukum adat
Gayo di wilayah ini, khususnya persepsi tokoh adat Gayo tentang integrasi nilai-
nilai hukum Islam dalam hukum adat Gayo dan implementasinya.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini ada dua
bentuk, yaitu Field Research (penelitian lapangan) dan juga menggunakan
Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian lapangan diperlukan
mengumpulkan informasi terkait dengan objek penelitian, sebagai sumber data
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 73
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
primer melalui observasi dan wawancara serta telaah dokumentasi (Sandjaja,
2006).
Melalui tiga sumber informasi ini, berusaha untuk memuat informasi yang
akurat dan apa adanya, sedangkan penelitian kepustakaan diperlukan untuk
menelaaah permasalahan lapangan tersebut dengan konsep dan teori yang ada
dalam beberapa literatur sebagai sumber data sekunder yang relevan dengan akar
masalah, studi kepustakaan digunakan sebagai data sekunder untuk menjelaskan
berbagai fenomena di lapangan, khususnya mengenai topik penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ternyata berbeda dengan asumsi
awal, bahwa penyelesaian sengketa dalam masyarakat Gayo Kutacane Aceh
Tenggara diselesaikan dengan hukum adat Gayo. Meskipun masyarakat suku
Gayo mayoritas ketiga di Kutacane kabupaten Aceh Tenggara, ternyata untuk
penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat Kutacane secara umum
diselesaikan dengan hukum adat suku Alas. Walaupun sengketa itu terjadi antar
suku atau berbeda suku. Demikian menurut penjelasan bapak ketua Majelis Adat
Aceh (MAA) Kutacane Aceh Tenggara. (Suhardi, 2019)
Pernyataan di atas dikuatkan oleh petue edet (tokoh adat) dari kalangan
tokoh adat Gayo yang dianggap paling senior saat ini desa rikit bukit kecamatan
Bambel Kutacane Aceh Tenggara. Beliau menyatakan, memang betul bahwa
penyelesaian sengketa di Kutacane secara umum adalah dengan hukum adat Alas,
kecuali suku Batak yang mempunya cara tersendiri dalam menyelesaikan sengketa
atau menggabungkan hukum adat Alas dan Batak dalam sengekta yang terjadi
antar suku. Lebih lanjut beliau menyatakan, meskipun penyelesaian sengketa
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 74
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
dengan hukum adat alas, tetapi beliau menganggap bahwa ini bukan saja sebagai
hukum adat Alas, tetapi juga merupakan hukum adat Gayo di Kutacane karena
sudah diterapkan secara turun temurun oleh masyarakat suku Gayo. Bahkan beliau
sendiri tidak mengerti kriteria dan mekanisme hukum adat Gayo di kabupaten
Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam menyelesaikan suatu sengketa
yang terjadi di masyarakat. (Jamin, 2019)
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, meskipun terdapat mayoritas
ketiga jumlah penduduk di Kutacane kabupaten Aceh Tenggara adalah suku
Gayo, namun dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat, baik
antar suku dan bahkan berbeda suku adalah dengan hukum adat Alas, kecuali suku
Batak, mereka mempunya adat tersendiri dalam menyelesikan sengketa, atau
menggabungkan antara hukum adat Alas dan Batak menyelesaikan sengketa bila
sengketa terjadi antar suku, bukan dalam sesama suku Batak.
Menurut bapak Ramadhan, sekretaris Majelis Adat Aceh (MAA) Kutacane
Aceh Tenggara, bahwa penyelesaian sengketa dengan hukum adat Alas di
Kutacane diselesaikan oleh atau di lembaga adat Alas. Lembaga adat Alas ini
disebut dengan jema opat (empat orang), kalau di daerah gayo disebut sara kopat
(fungsionaris hukum dalam lembaga adat Sarakopat adalahReje (kepala
kampung), yang dibantu oleh beberapa aparaturnya yaitu: Imem (yang memimpin
hukum syari‟at), Petue (yang menyelidiki dan meneliti suatu masalah), dan Rayat
(yang berkewajiban bermusyawarah mufakat dalam kehidupan kemasyarakatan)
(Armiyadi, 2018). Di daerah Aceh pesisir secara umum menyebutnya dengan
istilah tuha peut. Fungsionaris hukum yang terdapat dalam lembaga jema opat ini
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 75
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
berbeda dengan sara kopat dan tuha peut dan beberapa istilah lembaga lainnya di
Aceh. Fungsionaris hukum atau anggota yang ada dalam lembaga adat jema opat
ini adalah:
1. Sudere (saudara), yaitu kawan mufakat yang dipilih dari atau di antara
keluarga.
2. Urang Tue (orang yang dituakan), yang dimaksud di sini adalah orang tua
yang ahli dalam bidang hukum adat.
3. Pegawe. Yaitu tengku imem atau imam desa. Dan
4. Pengulu/pengulunte. Yaitu kepala gampong atau kepala desa. (Ramadhan,
2018)
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa di provinsi Aceh mempunyai
lembaga adat yang berbeda penyebutan istilanya sesuai dengan masing-masing
adat atau suku di setiap kabupaten, namun demikian makna dari istilah lembaga
adat tersebut memiliki makna yang sama, seperti istilah tuha Peut, Sarakopat dan
Jema Opat mempunyai makna yang sama yaitu empat unsur orang. Hanya saja
unsur-unsur orang yang ada dalam masing-masing lembaga adat tersebut sedikit
berbeda satu sama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat, lembaga jema opat
sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai peranan yang sangat penting untuk
mewujudkan perdamaian di antara pihak yang bersengketa. Lembaga Jema Opat
mempunyai pedoman tersendiri dalam menentukan kebijakan yang akan diambil
dalam prsoses perdamaian. Pedoman tersebut telah ada sejak zaman dahulu dan
dilaksanakan secara turun temurun. Bentuk pedoman tersebut adalah berupa
denda yang akan dibebankan kepada orang yang dianggap bersalah dan pihak
yang bersalah wajib memenuhi ketentuan adat tersebut.
Denda adat yang dimaksud terdiri dari:
1. Opat (empat); yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan
angka empat, boleh jadi empat puluh ribu rupiah, empat ratus ribu rupiah,
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 76
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
empat juta rupiah dan empat puluh juta rupiah. Besaran denda adat ini
sesuai dengan kondisi dan kesepakatan atau keputusan peradilan adat;
2. Waluh Delapan); yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali
dengan angka delapan, boleh jadi delapan puluh ribu rupiah, delapan ratus
ribu rupiah, delapan juta rupiah dan delapan puluh juta rupiah;
3. Enam Belas; yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan
seratus enam puluh ribu rupiah, satu juta enam ratus rupiah, enam belas
juta rupiah dan seratus enam puluh juta rupiah ;
4. Tige Due: yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan
seratus tiga puluh dua ribu rupiah, dan tiga puluh dua juta rupiah (Jamin,
2019).
Lebih lanjut bapak M. Jamin menjelaskan bahwa kriteria hukuman denda
di atas, diberlakukan untuk semua jenis sengketa dalam masyarakat, seperti
kesalahan hubungan muda-mudi (khalwat dan sejenisnya), caci mencaci dan
bahkan sampai berkelahi serta terjadinya pembunuhan, maka berat atau besarnya
denda tergantung kepada besarnya sengketa atau kesalahan yang dilakukan dan
hukumannya tidak terlepas dari empat kriteria hukuman adat di atas. Namun
khusus untuk kriteria denda yang keempat, yakni Tige Due, ketentuan ini khusus
diberikan kepada reje atau pengulu yang melalukan kesalahan. Untuk kasus
pembunuhan dikenakan kriteria denda adat yang ketiga. Sedangkan untuk
penganiayaan yang menyebabkan luka ringan sampai luka berat dikenakan kriteria
denda adat kedua. Dan untuk sengketa yang ringan dikenakan denda adat kriteria
yang pertama (Jamin, 2019).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, berat ringannya denda
adat yang dibebankan kepada pelaku yang bersalah dalam suatu sengketa adalah
sesuai dengan akibat perbuatan yang ditimbulkan. Jika hanya kesalahan ringan
atau pemukulan ringan dikenakan denda adat opat, jika kesalahan sedang dan
berat dikenakan denda waluh dan enam belas. Khusus bagi kepala desa atau
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 77
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
aparatur pemerintahan desa yang melakukan kesalahan dikenakan hukuman adat
kriteria keempat yaitu tige due, yaitu hukuman adat yang paling berat di antara
keempat hukuman denda adat tersebut.
Untuk kasus-kasus sengketa yang dihukum dengan denda adat yang paling
berat jarang terjadi. Yang paling sering terjadi adalah sengketa-sengketa ringan.
Menurut penjelasan bapak M Jamin, terdapat beberapa kasus ringan yang terjadi
pada tahun 2017 dan tahun 2018, sengketa warga yang diselesaikan dengan
hukum adat. Bapak M. Jamin tidak menyebutkan namanya atau inisialnya dalam
kasus ini. Ia menjelaskan bahwa pada kasus yang terjadi pada tahun 2017, yaitu
kasus seseorang membuka aib orang, sehingga pelakunya dikenakan denda adat
kriteria hukum adat atau denda adat waluh, yaitu pelakunya dibebankan
membayar delapan puluh ribu rupiah dan memohon maaf kepada korban atau
orang yang sebelumnya dibicarakan aibnya kepada orang lain. Kasus berikutnya
terjadi pada tahun 2018, perkelahian anak-anak yang berujung kepada perkelahian
ibu dari masing-masing kedua anak tersebut. Dimana salah seorang ibu dari anak
tersebut memukul atau menampar ibu dari anak yang berkelahi sebelumnya
(Jamin, 2019).
Di samping kasus-kasus ringan di atas, pernah juga terjadi kasus berat
yaitu pembunuhan di desa Lawe Serke karena pengeroyokan atau perbuatan main
hakim sendiri terhadap dua orang pelaku pencurian. Kasus ini terjadi antar suku
Gayo dan suku Alas dalam kurun waktu kejadiannya antara tahun 1993 sampai
tahun 2008, kasus ini terjadi pada pemerintahan bapak bupati Hasanuddin Broh.
Dua orang suku Alas melakukan pencurian di kampung Lawe Serke, desa yang
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 78
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
masyoritas masyarakatnya adalah suku Gayo. Dua pelaku pencurian tersebut
diduga sudah melakukan pencurian yang berulang-ulang, sehingga membuat
masyarakat desa Lawe Serke melakukan tindakan beringas sampai kedua pelaku
pencurian dimassa atau dihakimi secara ramai-ramai sehingga meninggal. Oleh
karena kasus ini termasuk kasus yang sangat berat, maka penyelesaiannya oleh
bapak bupati secara langsung menanganinya. Di antara kriteria hukum adat di
atas, kriteria hukum adat yang keempatlah yang diberikan kepada para pelaku
pembunuhan tersebut, yakni kriteria tige due. Akan tetapi karena korbannya
adalah dua orang, maka tige due dikalikan dua, yaitu onom opat. Kepada para
pelaku pada masa itu dibebankan membayar denda adat sebesar seratus enam
puluh juta rupiah (Jamin, 2019).
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, ruanglingkup
penyelesaian sengketa dengan hukum adat Alas adalah mulai dari sengketa yang
paling ringan, seperti membuka aib, berkelahi dan pembunuhan serta sengketa
lainnya. Meskipun perbuatan pembunuhan merupakan tindak pidana besar, dan
merupakan bukan delik aduan, tetapi jika dikehendaki oleh kedua belah pihak
untuk berdamai, maka tidak tertutup kemungkinan kasus pembunuhan dapat
diselesaikan dengan hukum adat alas, di Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara.
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa dengan hukum adat atau dengan
Peradilan Adat Kutecane Kabupaten Aceh Tenggara, adalah sebagaimana tertulis
dalam Berita Acara dan Putusan Peradilan Adat Kute atau Majelis Peradilan Adat
Kute Sepakat Kemukiman Alas Maju, Nomor Perkara: 04. Jenis Perkara dalam
sengketa ini adalah Kelalaian Menjaga Ternak Sehingga Menimbulkan
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 79
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
Pemukulan. Adapun para pihak yang pertama adalah Ayadin, umur 45 tahun,
pekerjaan Tani, alamat Kute Sepakat, sebagai pelapor.
Selanjutnya Ajirin umur 50 tahun, pekerjaan tani, alamat yang sama yaitu
Kute Sepakat, sebagai terlapor. Duduk perkara dalam sengketa ini adalah karena
kelalaian Dani , yaitu anak dari Ayadin menjaga lembu sehingga memakan
sebahagian dari kebun jagung Ajirin. Karena panik dan emosi, Ajirin memukul
Dani, sehingga mulutnya mengeluarkan darah.
Menurut keterangan para pihak dalam hal ini keluarga korban atau ayah
korban (Ayadin) sebagai pelapor memberi keterangan pada hari minggu tanggal
11 Februari 2018 bahwa: Anak saya Dani dipukul oleh Ajirin sehingga mulutnya
mengeluarkan darah. Selanjutnya menurut keterangan terlapor (Ajirin) , pada hari
minggu tanggal 11 Februari 2018, bahwa: Melihat kebun jagung saya sudah
dimakan oleh lembu Ayadin yang dijaga oleh anaknya sehingga saya khilaf
hingga menampar Dani anak dari Ayadin.
Selanjutnya adalah keterangan saksi sebagai saksi pertama oleh nama
M.Aris, umur 40 tahun, pekerjaan tani, alamat Kute Sepakat memberikan
keterangan bahwa: Benar bahwa saya melihat Ajirin memukul Dani sehingga
mulut Dani berdarah. selain sakasi pertama, juga ada saksi kedua yaitu Amat,
umur 43 tahun, pekerjaan tani, alamat Kute Kati Jeroh memberikan keterangan
bahwa: Saya melihat Ajirin memukul Dani dan saya jugalah yang memisahkan
mereka.
Sementara alat bukti yang diajukan pelapor dalam sengketa/perkara ini
adalah sebagai berikut: mulut Dani berdarah dan pipi Dani merah bekas
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 80
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
tamparan. Selanjutnya alat bukti yang diajukan oleh terlapor dalam
sengketa/perkara ini adalah: Kebun jagung yang sudah dimakan oleh lembu
Ayadin.
Pertimbangan Ketua Majelis Peradilan Adat Kute Sepakat adalah sebagai
berikut:
1. Pengulu/Pimpinan Sidang Kute:
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018 Pengulu selaku Ketua
dan merangkap anggota Majelis memberi pertimbangan sebagai
berikut, bahwa: Laporan saudara (Ayadin) dan keterangan para saksi
sudah kami terima dan akan kami pertimbangkan dengan anggota
majelis.
2. Tokoh Agama:
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018, tokoh agama selaku
anggota majelis memberi pertimbangan sebagai berikut: Setelah kita
mendengarkan dari kedua belah pihak dan keterangan saksi-saksi,
mari kita pertimbangkan bersama-sama bagaimana supaya kedua
belah pihak dapat menerima keputusan dari majelis.
3. Tokoh Adat:
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018 selaku anggota majelis
memberi pertimbangan sebagai berikut, bahwa: mengingat kebun
jagung Ajirin mau berbunga tentunya modal sudah banyak tertanam di
situ, untuk itu maka Ayadin menggantikan kerugian Ajirin sepanjang
dimakan lembu Ayadin.
4. Tokoh Masyarakat
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018 tokoh masyarakat selaku
anggota majelis memberi pertimbangan sebagai berikut, bahwa:
Setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari anggota majelis,
maka Ayadin menggantikan bibit, pupuk dan ongkos tanam Ajirin
5. Semetua Debekhu Kute
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018 Semetue Debekhu Kute
selaku anggota majelis memberi pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut, bahwa:
Setelah mendengar pertimbangan dari teman majelis, maka Ayadin
menggantikan sebagian dari kerugian Ajirin.
6. Ketua BPK
Pada hari ini Minggu tangal 11 Februari 2018 Ketua BPK selaku
anggota majelis memberi pertimbangan sebagai berikut, bahwa:
Setelah mendengarkan pendapat-pendapat dari anggota majelis maka
saya selaku Ketua BPK membuat keputusan sebagai berikut:
Ayadin menggantikan bibit, pupuk, dan ongkos tanam kebun Ajirin.
Kemudian Ajirin membawa serantang nasi beserta lauknya, sekaligus
permintaan maaf kepada keluarga Ayadin.
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 81
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
7. Putusan Perdamaian
1. Hari : Minggu
2. Tanggal : 11 Februari 2018
3. Isi Putusan Perdamaian
Ayadin menggantikan bibit, pupuk, dan ongkos tanam kebun Ajirin.
Kemudian Ajirin membawa serantang nasi beserta lauknya,
sekaligus permintaan maaf kepada keluarga Ayadin.
8. Penerimaan/Penolakan Para Pihak:
a. Pihak Yang Pertama Menyatakan : Saya menerima keputusan
majelis
b. Pihak Yang Kedua menyatakan : Menerima
Pernyataan di atas merupakan Berita Acara putusan peradilan adat di
Kutacane kabupaten Aceh Tenggara dalam menyelesaikan kasus sengketa
pemukulan di antara warga. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh para pihak
yang terlibat dalam menangani atau menyelesaikan sengketa tersebut. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan adanya penyelesaian
sengketa tersebut dengan sistem peradilan adat yang melahirkan kedamaian antara
kedua belah pihak, maka permusuhan yang sebelumnya terjadi sudah tidak ada
lagi karena sudah saling memaafkan dan tidak ada lagi dendam untuk masa yang
akan datang. Ketentuan hukum adat alas ini berlaku umum untuk setiap penduduk
Kutacane kabupaten Aceh Tenggara dengan berbagai latar belakang suku dan
agama masyarakatnya. Termasuk suku Gayo yang terkenal kental dalam
berpedoman dengan hukum adatnya sendiri, seperti di daerah tetangganya yaitu
kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener meriah. Namun tidak demikian
dengan masyarakat suku Gayo di Kutacane, mereka dalam menyelesaikan
sengketa/perkara dalam mayarakat, tidak menggunakan hukum adat Gayo, tetapi
berpegang dengan hukum adat Alas Kutacane kabupaten Aceh Tenggara dengan
kriteria hukum adat yang sudah disebutkan di atas. Berbeda halnya dengan adat
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 82
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
perkawinan, masyarakat suku Gayo di Kutacane Aceh Tenggara dalam hal ini,
masih berpegang teguh dengan adat Gayo, bukan dengan adat Alas (adat
pemananen).
C. PENUTUP
Masyarakat suku Gayo di Kutacane menggunakan hukum adat Alas dalam
menyelesaikan segala sengketa/perkara dalam masyarakat. Terdapat empat kriteria
hukum adat yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggar adat, yaitu: (1) Opat
(empat); yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan angka empat,
boleh jadi empat puluh ribu rupiah, empat ratus ribu rupiah, empat juta rupiah
dan empat puluh juta rupiah. (2) Waluh Delapan); yaitu nilai bilangan rupiah
yang jumlahnya diawali dengan angka delapan, boleh jadi delapan puluh ribu
rupiah, delapan ratus ribu rupiah, delapan juta rupiah dan delapan puluh juta
rupiah; (3) Enam Belas; yaitu nilai bilangan rupiah yang jumlahnya diawali
dengan seratus enam puluh ribu rupiah, satu juta enam ratus rupiah, enam belas
juta rupiah dan seratus enam puluh juta rupiah, dan (4)Tige Due: yaitu nilai
bilangan rupiah yang jumlahnya diawali dengan seratus tiga puluh dua ribu
rupiah, dan tiga puluh dua juta rupiah. Besaran denda adat ini sesuai dengan
kondisi dan kesepakatan atau keputusan peradilan adat.
Dengan demikian, eksistensi hukum adat Gayo di Kutacane Aceh
Tenggara tidak direalisasikan dalam kehidupan masyarakat Gayo. Namun
demikian Pelaksanaan hukum adat Kutacane dalam menyelesaikan
sengketa/perkara, tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena dalam hukum
adat tesebut terintegrasi nilai hukum Islam, yakni azas perdamaian, azas
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 83
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
kemaafan, azas menghilangkan dendam. Di samping itu, juga sesuai dengan
konsep hukuman ta’zir dalam teori hukum pidana Islam.
DAFTAR PUSTAKA
(EMTAS), M. U. (2006). Peradaban Aceh (Tamadun) I. Dalam M. Umar,
Peradaban Aceh (Tamadun) I (hal. 83). Banda Aceh: Buboen Jaya.
„Awdah, „. a.-Q. (1997). Al-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami Muqa ranah bi al-Qanun
al-Wad‘i. Beirut: Mua‟assasah al-Risalah.
Aceh, M. A. (2008). Pedoman Peradilan Adat di Aceh, Untuk Peradilan Adat
yang Adil dan Akuntabel. Dalam M. A. Aceh, Pedoman Peradilan Adat
di Aceh, Untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel (hal. 19-20).
Banda Aceh: Bappenas.
Aceh, M. A. (2008). Pedoman Umum Adat Aceh (Peradilan dan Hukum Adat).
Banda Aceh: Majelis Adat Aceh (MAA).
ajah, I. (t.thn.). CD Kutub al-Tis‘ah.
al-„Awwa, M. S. (1999). Fi ‘Usul al-Nizam.a-Jina’i al-Islami. Kairo: Dar al-
Ma„arif.
al-Hanbali, „. a.-D. (1973). Mu‘in al-Hukkam Fi Ma Yataraddadu Bayn al-
Khasmayn Min al-Ahkam . (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi Wa
Awladuh.
Ali, M. D. (1985). Hukum adat Gayo Penelitian awal hubungan Hukum adat
dengan Hukum Islam dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: t.tp.
Al-Jaziri. (t.t). Kitab al-Fiqh ‘ala Madhahib al-’Arba‘ah (V ed.). Beirut: Dar al-
Fikr.
al-kahlani, M. I. (1960). Subul al-Salam, juz III. Mesir: Syarikah wa Mathba‟ah
Mushtafa al-Baby al-Halaby.
Al-Sabuni, M. '. (1980). Rawā’i‘ al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur’ān,
Juz 1. Suriah, Damsyik: Maktabah al-Ghajali.
al-Zarqa', M. A. (1968). Al-Madkhal al-Fiqh al-'Amiy. Beirut: Dar al-Fikr.
al-Zarqa‟, M. A. (1967). Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Ami. Damaskus: Dar al-Fikr.
Ardi, S. (2019, juli 4). bagaimana kesesuaian hukum adat dengan hukum Islam
dalam menyelesaikan sengketa dengan hukum adat. (Misran,
Pewawancara)
Misran: Eksistensi Hukum Adat… P a g e | 84
LEGITIMASI, Vol. 9 No.1, Januari-Juni 2020
Armiyadi. (2018). Peran Lembaga Sarak Opat Dalam Menyelesaikan Kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Banda Aceh: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry.
Ash-Shiddeqy, H. (1979). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Bajuri, S. I. (t.th). al-Bajuri. t.tp: Dar al-Ihya.
Dahlan, A. A. (2005). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve.
Dahlan, A. A. (2005). Ensiklopedi Islam 365. Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve.
Dimyathi, A.-S. M. (t.th). I’anat Thalibin. t.tp: t.p.
Djalil, B. (2006). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Doi, A. I. (2000). Syari‘ah the Islamic Law (I ed.). (Z. d. Sulaiman, Penerj.)
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendi, S. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Fakhrudin, F. M. (1993). Halal atau Haram Bier. Bandung: Diponegoro.
Haidar, M. A. (1997). Problemantika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Haliman. (1971). Hukum Pidana Syari‘at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah (I
ed.). Jakarta: Bulan Bintang.
Hanafi, A. (1993). Asas-asas hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Husaini, T. a.-D. (t.th). Kifayah al-Akhyar. t.tp: t.p.
Ibn Hazm, A.-M. (1347 H). Al-Muhalla (IX ed.). Mesir: Dar al-Fikr.
Ibrahim, S. (996). Qanun Jinayah Syar‘iyyah dan Sistem Kehakiman Dalam
Perundangan Islam Berdasarkan Qur’an dan Hadits. (Kuala Lumpur:
Darul Ma„rifah.