ekstraksi dan evaluasi gelatin dari kulit sapi...
TRANSCRIPT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EKSTRAKSI DAN EVALUASI GELATIN DARI KULIT
SAPI YANG TELAH MENGALAMI PROSES BUANG
BULU MENGGUNAKAN HIDROLISIS ASAM
SKRIPSI
HANA YOULANDA
NIM: 1112102000033
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EKSTRAKSI DAN EVALUASI GELATIN DARI KULIT
SAPI YANG TELAH MENGALAMI PROSES BUANG
BULU MENGGUNAKAN HIDROLISIS ASAM
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
HANA YOULANDA
NIM: 1112102000033
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2016
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Hana Youlanda
Program Studi : Farmasi
Judul : Ekstraksi dan Evaluasi Gelatin dari Kulit Sapi yang telah
Mengalami Proses Buang Bulu Menggunakan Hidrolisis Asam
Gelatin digunakan secara luas di bidang industri makanan, farmasi, kosmetik dan
fotografi. Permintaan gelatin di Indonesia semakin meningkat, namun belum ada
industri di Indonesia yang memproduksi gelatin secara komersial. Hingga kini
Indonesia masih harus mengimpor gelatin dari berbagai negara untuk memenuhi
kebutuhan gelatin. Indonesia memiliki potensi bahan baku untuk menghasilkan
gelatin, misalnya kulit sapi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan ekstraksi
dan karakterisasi gelatin kulit sapi yang telah mengalami proses buang bulu secara
perendaman dengan air panas. Gelatin kulit sapi dihidrolisis dengan asam asetat
0,2 M selama 48 jam dan diekstraksi dengan air panas pada suhu 60°-70°C selama
9 jam. Nilai rendemen yang dihasilkan yaitu 4,475 ± 1,120%. Gelatin yang
dihasilkan dikarakterisasi dan dibandingkan dengan gelatin komersial. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gelatin kulit sapi memiliki warna kekuningan,
transparan dan bau sedikit amis, pH 5,559 ± 0,034 (P >0,05), viskositas 60 cP,
tinggi busa 176,667 ± 3,055 (P <0,05), stabilitas busa setelah 10 menit
169,333±2,309 (P <0,05), stabilitas busa setelah 30 menit 160 (P <0,05), stabilitas
busa setelah 60 menit 153,333 ± 4,619 (P <0,05), indeks aktivitas emulsi
426,720±131,002 (P >0,05), indeks stabilitas emulsi 21,336 ± 4,053 (P <0,05),
kandungan hidroksiprolin 4,345 ± 0,414 mg (P >0,05), kejernihan 50,622 ± 1,256
(P >0,05), kadar air 4,3043%, kadar abu 0,3637%, daya serap air 1,132 ± 0,557
ml/g (P >0,05) dan daya serap lemak 1,132 ± 0,463 ml/g (P >0,05).
Kata kunci : ekstraksi dan karakterisasi, gelatin, kulit sapi
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Hana Youlanda
Major : Pharmacy
Title : Extraction and Evaluation of Gelatin from Bovine Skin
Unhaired with Acid Hydrolysis
Gelatin is widely used in food, pharmacy, cosmetic and photography industries.
The requirement of gelatin in Indonesia is increasing, but there is no industry in
Indonesia which produces gelatin commercially. Until now, Indonesia still has to
import gelatine from various countries to meet gelatin requirements. Indonesia has
the potential of raw materials to produce gelatin, for example from bovine skin.
The aims of this study were to extraction and characterization of gelatin from
bovine skin unhaired in hot water. Bovine skin gelatin can be hydrolysed using
acetic acid 0,2 M for 48 hours and extracted with hot water at a temperature 60°-
70°C for 9 hours. The extraction yield for bovine skin gelatin is 4,475 ± 1,120%.
Gelatin produced were characterized and compared with a commercial gelatin.
The results showed that bovine skin gelatin has yellow colour, transparent and a
little bovine odor, pH 5,559 ± 0,034 (P >0,05), viscosity 60 cP, foaming
expansion 176,667 ± 3,055 (P<0,05), foam stability after 10 minutes 169,333
±2,309 (P <0,05), foam stability after 30 minutes 160 (P <0,05), foam stability
after 60 minutes 153,333 ± 4,619 (P <0,05), emusion activity index 426,720
±131,002 (P >0,05), emulsion stability index 21,336 ± 4,053 (P <0,05),
hydroxyproline 4,345 ± 0,414 mg (P >0,05), clarity 50,622 ± 1,256 (P >0,05),
moisture content 4,3043%, ash content 0,3637%, water binding capacity 1,132
±0,557 ml/g (P >0,05) and fat binding capacity 1,132 ± 0,463 ml/g (P >0,05).
Keywords : extraction and characterization, bovine skin, gelatin
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan serta
segala anugerah-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada Nabi
Muhammdad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Skripsi ini berjudul
Ekstraksi dan Evaluasi Gelatin dari Kulit Sapi yang telah Mengalami Proses
Buang Bulu Menggunakan Hidrolisis Asam yang telah diajukan sebagai
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Program Studi Farmasi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selesainya penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan sebesar-besarnya atas ilmu
pengetahuan, bimbingan, pengarahan, bantuan materi, semangat dan motivasi
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada:
1. Ibu Zilhadia, M.Si., Apt selaku Pembimbing I dan ibu Ismiarni
Komala, PhD, Apt selaku Pembimbing II yang telah memberikan ilmu,
nasehat, waktu, tenaga, pikiran, dukungan, kepercayaan, serta
kesabaran dalam membimbing selama proses penelitian sampai
penulisan skripsi, sehingga penulis dapat menjadi lebih baik.
2. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Kedua orang tua, ibunda tercinta Zanti Ubaya, ayahanda tercinta
Kusladi, adik-adik tersayang Tareq Albar, Dhia Silmi Atiyah,
Dzakiyya Fathiaturrahma, serta Andi Al Qastolani atas segala cinta
dan kasih sayang, doa yang selalu dicurahkan untuk penulis, semangat,
dukungan moral, material serta nasehat sehingga penulis dapat kuat
dalam menyelesaikan studi di Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Sahabat surga dan Tulip Lover (Umi, Afra, Echa, Elsa, Uyuy, Pite,
Ani, Fafa, Yuli, Ratnika, lilis, ehong), Keluarga besar Kas_3G,
Sahabat IAIC 5th yang telah menjadi teman penyemangat dan menjadi
teman terbaik penulis.
7. Partner “Hidroksiprolin” Sani, Remawati (partner sejati dari pertama
kali masuk kuliah, roommate sejati dari semester pertama sampai
akhir, partner seperjuangan PKL, skripsi) atas masukan, bantuan,
kesabaran dan semangat selama masa penelitian hingga penyusunan
skripsi.
8. Teman-teman farmasi khususnya Farmasi Angkatan 2012 kelas BD
yang telah memberikan sebuah persahabatan, kekeluargaan dan
persaudaraan selama ini.
9. Dan kepada semua pihak yang banyak membantu penulis dalam
penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Gelatin ................................................................................................... 4
2.1.1 Definisi Gelatin ........................................................................... 4
2.1.2 Komposisi Kimia Gelatin ............................................................ 5
2.1.3 Sifat Fisika Kimia Gelatin ........................................................... 7
2.1.3.1 pH .................................................................................... 8
2.1.3.2 Viskositas ........................................................................ 9
2.1.3.3 Sifat Busa ........................................................................ 9
2.1.3.4 Sifat Emulsifikasi .......................................................... 10
2.1.3.5 Kejernihan ..................................................................... 11
2.1.3.6 Kadar Air ....................................................................... 11
2.1.3.7 Kadar Abu ..................................................................... 11
2.1.3.8 Kemampuan Mengikat Air dan Lemak ........................ 12
2.1.4 Aplikasi Penggunaan Gelatin .................................................... 12
2.2 Protein ................................................................................................. 13
2.3 Asam Amino ....................................................................................... 15
2.4 Kolagen ............................................................................................... 18
2.5 Spektrofotometer Ultraviolet dan Visibel ........................................... 19
2.5.1 Teori Spektrofotometri .............................................................. 19
2.5.2 Sampel Spektrofotometri UV-Vis ............................................. 20
2.5.3 Komponen Spektrofotometri UV-Vis ....................................... 21
2.5.4 Analisis Kualitatif ..................................................................... 22
2.5.5 Analisis Kuantitatif ................................................................... 22
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 25
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 25
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 25
3.2.1 Alat ............................................................................................ 25
3.2.2 Bahan ......................................................................................... 25
3.3 Tahapan Penelitian .............................................................................. 25
3.3.1 Penyiapan Sampel ..................................................................... 25
3.3.2 Ekstraksi dan Pembuatan Lembaran Gelatin ............................ 26
3.3.3 Karakterisasi Sifat Fisikokimia Gelatin .................................... 26
3.3.3.1 Nilai Rendemen ............................................................ 26
3.3.3.2 pH ................................................................................. 27
3.3.3.3 Viskositas ...................................................................... 27
3.3.3.4 Sifat Busa ...................................................................... 27
3.3.3.5 Sifat Emulsifikasi .......................................................... 28
3.3.3.6 Hidroksiprolin ............................................................... 28
3.3.3.7 Kejernihan ..................................................................... 29
3.3.3.8 Kadar Air ...................................................................... 29
3.3.3.9 Kadar Abu ..................................................................... 30
3.3.3.10 Daya Serap Air ........................................................... 30
3.3.3.11 Daya Serap Lemak ...................................................... 30
3.3.4 Analisis Statistik ......................................................................... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 32
4.1 Pembuatan Lembaran Gelatin Kulit Sapi ............................................. 32
4.1.1 Rendemen ................................................................................... 34
4.2 Karakterisasi Gelatin Kulit Sapi ........................................................... 35
4.2.1 Organoleptik ............................................................................... 35
4.2.2 pH ............................................................................................... 36
4.2.3 Viskositas ................................................................................... 36
4.2.4 Sifat Busa ................................................................................... 38
4.2.5 Sifat Emulsifikasi ....................................................................... 39
4.2.6 Hidroksiprolin ............................................................................ 40
4.2.7 Kejernihan .................................................................................. 41
4.2.8 Kadar Air .................................................................................... 41
4.2.9 Kadar Abu .................................................................................. 42
4.2.10 Daya Serap Air ......................................................................... 42
4.2.11 Daya Serap Lemak ................................................................... 43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 44
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 44
5.2 Saran ..................................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 45
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Komposisi asam amino gelatin kulit sapi dan kulit babi .............. 6
Tabel 2 Komposisi asam amino gelatin tipe A dan gelatin tipe B dari
sumber kulit babi, kulit sapi dan tulang ....................................... 7
Tabel 3 Sifat gelatin berdasarkan tipenya ................................................. 8
Tabel 4 Contoh-contoh senyawa kromofor ............................................... 20
Tabel 5 Sifat busa gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial ............... 38
Tabel 6 Nilai indeks aktivitas emulsi (IAE) dan indeks stabilitas emulsi
(ISE) gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial pada
konsentrasi 1% ............................................................................. 39
Tabel 7 Nilai kejernihan gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial ..... 41
Tabel 8 Hasil daya serap air gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial . 42
Tabel 9 Hasil daya serap lemak gelatin kulit sapi dan gelatin sapi
komersial ...................................................................................... 43
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Serbuk gelatin ............................................................................... 5
Gambar 2 Struktur kimia gelatin ................................................................... 5
Gambar 3 Proses yang dapat terjadi pada emulsi .......................................... 10
Gambar 4 Tingkat struktur protein ................................................................ 15
Gambar 5 Struktur umum asam amino ......................................................... 16
Gambar 6 Reaksi asam amino ketika larut dalam air ..................................... 16
Gambar 7 Struktur asam amino dalam bentuk zwitterion .............................. 17
Gambar 8 Struktur asam amino dalam bentuk basa ....................................... 17
Gambar 9 Struktur asam amino dalam bentuk asam ...................................... 17
Gambar 10 Struktur tropokolagen .................................................................... 19
Gambar 11 Komponen spektrofotometer UV-Vis .......................................... 22
Gambar 12 Perubahan rantai helik-gulungan pada kolagen ............................ 33
Gambar 13 Reaksi pemutusan ikatan hidrogen tropokolagen.......................... 34
Gambar 14 Lembaran gelatin .......................................................................... 35
Gambar 15 Grafik perbandingan nilai viskositas gelatin kulit sapi dan
gelatin sapi komersial pada kecepatan 10 rpm ............................. 37
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kerangka penelitian ................................................................. 51
Lampiran 2 Perhitungan rendemen gelatin kulit sapi ................................. 52
Lampiran 3 Nilai pH gelatin kulit sapi ........................................................ 52
Lampiran 4 Nilai pH gelatin sapi komersial ............................................... 52
Lampiran 5 Analisis statistik nilai pH gelatin menggunakan SPSS ........... 53
Lampiran 6 Nilai viskositas gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial .. 53
Lampiran 7 Data dan perhitungan tinggi dan stabilitas busa gelatin kulit
sapi ........................................................................................... 54
Lampiran 8 Data dan perhitungan tinggi dan stabilitas busa gelatin sapi
komersial ................................................................................. 55
Lampiran 9 Analisis statistik uji sifat busa gelatin menggunakan SPSS .... 55
Lampiran 10 Data dan perhitungan indeks aktivitas emulsi dan indeks
stabilitas emulsi gelatin kulit sapi ............................................ 56
Lampiran 11 Data dan perhitungan indeks aktivitas emulsi dan indeks
stabilitas emulsi gelatin sapi komersial ................................... 56
Lampiran 12 Analisis statistik indeks aktivitas emulsi dan indeks Stabilitas
emulsi gelatin menggunakan SPSS ......................................... 56
Lampiran 13 Kurva panjang gelombang maksimum hidroksiprolin ............ 57
Lampiran 14 Kurva kalibrasi hidroksiprolin ................................................. 57
Lampiran 15 Perhitungan kandungan hidroksiprolin gelatin kulit sapi ........ 58
Lampiran 16 Perhitungan kandungan hidroksiprolin gelatin sapi komersial 58
Lampiran 17 Analisis statistik konsentrasi hidroksiprolin menggunakan
SPSS ........................................................................................ 58
Lampiran 18 Hasil kejernihan gelatin kulit sapi ........................................... 59
Lampiran 19 Hasil kejernihan gelatin sapi komersial ................................... 59
Lampiran 20 Analisis statistik kejernihan gelatin menggunakan SPSS ....... 59
Lampiran 21 Perhitungan kadar air gelatin kulit sapi ................................... 60
Lampiran 22 Perhitungan kadar abu gelatin kulit sapi ................................. 60
Lampiran 23 Hasil daya serap air gelatin kulit sapi ...................................... 60
Lampiran 24 Hasil daya serap air gelatin sapi komersial ............................. 61
Lampiran 25 Analisis statistik daya serap air gelatin menggunakan SPSS .. 61
Lampiran 26 Hasil daya serap lemak gelatin kulit sapi ................................ 61
Lampiran 27 Hasil daya serap lemak gelatin sapi komersial ........................ 61
Lampiran 28 Analisis statistik daya serap lemak gelatin menggunakan
SPSS ........................................................................................ 62
Lampiran 29 Rumus-rumus .......................................................................... 62
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gelatin merupakan campuran heterogen suatu polipeptida yang
diperoleh dengan cara hidrolisis kolagen dari jaringan ikat hewan (Gelatin
Manufactures Institute of America, 2012). Gelatin memiliki sifat yang
unik sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan farmasi.
Dalam industri makanan, gelatin bisa ditemukan dalam produk seperti
jelly, marshmallow, gummy bear, yogurt, margarin ataupun es krim
(Schrieber dan Gareis, 2007). Dalam industri farmasi, gelatin bisa
digunakan dalam proses pembuatan produk kosmetik, pembuatan kapsul
keras dan lunak, serta produk farmasi lainnya. Selain itu, gelatin juga
dapat digunakan pada bidang fotografi (Nhari et al., 2012).
Seiring dengan perkembangan trend pola konsumsi masyarakat,
permintaan gelatin di Indonesia semakin meningkat, namun belum banyak
direspon oleh industri dalam negeri untuk memproduksinya sendiri secara
komersial. Hingga kini, Indonesia masih harus mengimpor gelatin dari
berbagai negara seperti Perancis, Jepang, India, Brazil, Jerman, Cina,
Argentina dan Australia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2014, impor serbuk gelatin dalam satu tahunnya mencapai
255.822 kg dengan nilai US$ 2.059.329.
Dalam proses pembuatan gelatin, sumber bahan baku yang
digunakan yaitu kulit babi 44%, kulit sapi 28%, tulang 27%, dan sumber
lainnya 1% (Ahmad dan Benjakul, 2010). Menurut data dari Badan Pusat
Statistik tahun 2015 jumlah populasi sapi potong di Indonesia yaitu
sebanyak 15.494.288 ekor. Berdasarkan data tersebut, potensi sapi potong
yang dimiliki Indonesia cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan baku pembuatan gelatin. Di pasar tradisional maupun
supermarket yang ada di Indonesia, bagian sapi yang dijual yaitu daging,
tulang, kulit serta bagian lainnya. Kulit sapi yang dijual di pasaran berupa
kulit yang masih ada bulu dan yang sudah dibuang bulu oleh pedagang
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melalui proses perebusan menggunakan air panas. Belum ada penelitian
sebelumnya yang membahas tentang pembuatan dan karakterisasi gelatin
kulit sapi yang telah mengalami proses buang bulu secara perebusan. Oleh
karena itu, pada penelitian ini dilakukan proses ekstraksi dan karakterisasi
gelatin kulit sapi yang telah mengalami proses buang bulu secara
perebusan.
Teknik isolasi gelatin meliputi variasi asam dan variasi basa.
Larutan asam yang sering digunakan dalam proses isolasi gelatin yaitu
asam organik dan asam anorganik. Larutan asam organik yang dapat
digunakan yaitu asam asetat, asam sitrat, asam fumarat, asam askorbat,
asam malat, asam suksinat dan asam tartarat. Sedangkan larutan asam
anorganik yang dapat digunakan yaitu asam klorida, asam perklorat, asam
fosfat dan asam sulfat. Isolasi dengan menggunakan pelarut basa yang
umum digunakan yaitu natrium karbonat, natrium hidroksida, kalium
karbonat dan kalium hidroksida (Choi dan Regenstein, 2000). Pada
penelitian sebelumnya (Yang et al., 2008) telah dilaporkan bahwa gelatin
kulit ikan patin atau catfish spesies Ictalurus punctatus yang dihidrolisis
menggunakan larutan asam menunjukkan gel strength, nanostruktur dan
tekstur yang lebih baik dibandingkan menggunakan larutan basa. Menurut
Ward dan Court (1977), proses pengolahan larutan asam mampu
mengubah serat kolagen triple-helix menjadi rantai tunggal, sedangkan
pengolahan larutan basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini
menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis
oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Pada proses
perendaman dengan larutan basa dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menghidrolisis kolagen. Sehingga dalam penelitian ini, larutan asam
digunakan untuk menghidrolisis kulit sapi yang telah mengalami proses
buang bulu secara perebusan dengan air panas untuk menghasilkan gelatin.
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana metode pembuatan gelatin kulit sapi yang telah mengalami
proses buang bulu secara perebusan dengan air panas yang ada di pasar
tradisional?
2. Apakah sifat fisikokimia gelatin yang dihasilkan memenuhi
persyaratan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Melakukan ekstraksi gelatin kulit sapi yang telah mengalami proses
buang bulu secara perebusan dengan air panas yang ada di pasar
tradisional.
2. Menguji sifat fisikokimia gelatin kulit sapi yang mengalami proses
buang bulu dengan cara perebusan yang beredar di pasar tradisional
sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
metode ekstraksi dan karakterisasi gelatin yang diperoleh dari sumber atau
bahan baku yang belum digunakan secara optimal dalam industri farmasi.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gelatin
2.1.1 Definisi Gelatin
Gelatin merupakan campuran heterogen polipeptida yang diperoleh
dengan cara hidrolisis secara parsial dari kolagen yang diekstrak dari jaringan ikat
dan tulang hewan (Zhang et al., 2009). Gelatin merupakan istilah umum untuk
campuran fraksi protein murni yang dihasilkan baik dengan hidrolisis parsial asam
(gelatin tipe A) atau dengan hidrolisis parsial basa (gelatin tipe B) dari kolagen
hewan yang diperoleh dari sapi dan tulang babi, kulit sapi (hide), kulit babi, dan
kulit ikan (Rowe et al., 2009). Tipe gelatin yang berbeda mempunyai sifat suhu
dan reologi yang berbeda misalnya titik leleh, suhu menjadi gel dan kekuatan
mengembang (Ahmad dan Benjakul, 2010).
Istilah gelatin mulai populer kira-kira tahun 1700 dan berasal dari bahasa
Latin yaitu “gelatus” yang berarti kuat atau kokoh. Secara fisik gelatin berbentuk
padat, kering, tidak berasa, dan transparan. Ada tiga sifat yang paling menonjol
pada gelatin yaitu kemampuan untuk membentuk gel atau viskositas, kekenyalan
dan kekuatan lapisan yang tinggi. Gelatin merupakan sebuah polimer tinggi alami
yang memiliki berat melekular (untuk gelatin komersial) dari 20.000 sampai
70.000. Gelatin dipersiapkan dari bahan yang mengandung kolagen (termasuk
kulit, tulang dan tendon) dengan cara pemecahan hidrolis melalui pendidihan
dengan air atau dengan menggunakan uap. Dalam hal ini, gelatin yang dibutuhkan
untuk sebuah produk harus murni dan tanpa bau dan berbentuk setengah padat
seperti agar-agar dalam larutan berair. (Perwitasari, 2008).
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 1. Serbuk gelatin (Sumber : Schrieber dan Gareis, 2007)
2.1.2 Komposisi Kimia Gelatin
Gelatin kaya akan asam amino glisin (Gly) yaitu hampir sepertiga dari
total asam amino, yang diikuti dengan prolin (Pro) dan 4-hidroksiprolin (4Hyd).
Struktur gelatin pada umumnya yaitu: -Ala-Gly-Pro-Arg-Gly-Glu-4Hyd-Gly-Pro-.
Kandungan 4-hidroksiprolin dapat berpengaruh terhadap kekuatan gel gelatin,
yaitu semakin tinggi kandungan asam amino 4-hidroksiprolin maka kekuatan gel
gelatin akan lebih baik (Jaswir, 2007).
Gambar 2. Struktur kimia gelatin (Sumber : Tazwir et al., 2007)
Meskipun diturunkan dari protein hewani, gelatin tergolong sebagai
protein dengan nilai biologis yang rendah dan sering juga dianggap protein yang
tidak lengkap. Hal ini disebabkan karena tidak adanya asam amino triptophan
(Trp) yang merupakan asam amino essensial, serta rendahnya kandungan sistein
(Cys) dan tirosin (Tyr) (Jaswir, 2007). Protein yang terkandung dalam gelatin
yaitu sekitar 85% sampai 92% (Schrieber dan Gareis, 2007).
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 1. Komposisi asam amino gelatin kulit sapi dan kulit babi (Sumber : Hafidz et al., 2011)
Asam amino
Gelatin kulit sapi
(residu per 1000 total
residu asam amino)
Gelatin kulit babi
(residu per 1000 total
residu asam amino)
Non polar hidrofobik
Alanin
Valin
Leusin
Isoleusin
Fenilalanin
Metionin
Prolin
Total
33
10
12
7
10
4
63
139
80
26
29
12
27
10
151
335
Polar tidak berbuatan
Glisin
Serin
Threonin
Tirosin
Total
108
15
10
2
135
239
35
26
7
307
Asam polar
Asam aspartat
Asam glutamat
Total
17
34
51
41
83
124
Basa polar
Lisin
Arginin
Histidin
Total
11
47
Tidak terdeteksi
58
27
111
Tidak terdeteksi
138
Komposisi asam amino dapat mempengaruhi sifat fisika dan kimia gelatin.
Analisis asam amino gelatin menunjukkan bahwa struktur molekul gelatin
memiliki perbedaan yang terlihat pada kandungan asam amino (Hafidz et al.,
2011). Komposisi asam amino kulit sapi dan babi memiliki kandungan glisin,
prolin dan arginin dalam jumlah yang tinggi dibandingkan dengan asam amino
lainnya. Pada kulit sapi, jumlah asam amino glisin, prolin dan arginin yang
terkandung lebih rendah dibandingkan dengan kulit babi. Kedua gelatin memiliki
jumlah tirosin yang rendah dan histidin tidak terdeteksi pada keduanya (Hafidz et
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
al., 2011). Gelatin juga mengandung 50,5% karbon, 6,8% hidrogen, 17% nitrogen
dan 25,2% oksigen (Gelatin Manufactures Institute of America, 2012).
Tabel 2. Komposisi asam amino gelatin tipe A dan tipe B dari sumber kulit
babi, kulit sapi dan tulang (Sumber : Gelatin Manufactures Institute of America, 2012)
Asam amino Tipe A (kulit babi) Tipe B (kulit sapi) Tipe B (tulang)
Alanine 8,6 – 10,7 9,3 – 11,0 10,1 – 14,2
Arginine 8,3 – 9,1 8,55 – 8,8 5,0 – 9,0
Asam aspartate 6,2 – 6,7 6,6 – 6,9 4,6 – 6,7
Sistin 0,1 Sedikit Sedikit
Asam glutamate 11,3 – 11,7 11,1 – 11,4 8,5 – 11,6
Glisin 26,4 – 30,5 26,9 – 27,5 24,5 – 28,8
Histidin 0,9 – 1,0 0,74 – 0,8 0,4 – 0,7
Hidroksilisin 1,0 0,91 – 1,2 0,7 – 0,9
Hidroksiprolin 13,5 14,0 – 14,5 11,9 – 13,4
Isoleusin 1,4 1,7 – 1,8 1,3 – 1,5
Leusin 3,1 – 3,3 3,1 – 3,4 2,8 – 3,5
Lisin 4,1 – 5,2 4,5 – 4,6 2,1 – 4,4
Metionin 0,8 – 0,9 0,8 – 0,9 0,0 – 0,6
Fenilalanin 2,1 – 2,6 2,2 – 2,5 1,3 – 2,5
Prolin 16,2 – 18,0 14,8 – 16,4 13,5 – 15,5
Serin 2,9 – 4,1 3,2 – 4,2 3,4 – 3,8
Treonin 2,2 2,2 2,0 – 2,4
Tirosin 0,4 – 0,9 0,2 – 1,0 0,0 – 0,2
Valin 2,5 – 2,8 2,6 – 3,4 2,4 – 3,0
2.1.3 Sifat Fisika Kimia Gelatin
Gelatin memiliki warna kuning, seperti kaca (vitreous), berbentuk padat
dan rapuh. Gelatin tidak berbau dan tidak berasa, dan bisa dalam bentuk lembaran
translusen atau tembus cahaya, granul, atau dapat dalam bentuk serbuk kasar
(Rowe et al., 2009). Kelembaban gelatin yaitu 8-13% dan memiliki berat jenis
1,3-1,4 g/cm3. Gelatin larut dalam larutan alkohol polihidrat seperti gliserol dan
propilen glikol. Gelatin juga dapat larut dalam pelarut organik seperti asam asetat,
trifluoroetanol dan formamida (Gelatin Manufactures Institute of America, 2012).
Gelatin dapat larut dalam gliserin, asam dan basa walaupun asam kuat dan basa
kuat dapat menyebabkan pengendapan (Rowe et al., 2009). Gelatin tidak larut
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam pelarut organik yang kurang polar seperti benzena, aseton, alkohol primer
dan dimetilformamida (Gelatin Manufactures Institute of America, 2012). Gelatin
memiliki berat molekul yang bervariasi yaitu 20.000 Da sampai 200.000 Da.
Gelatin praktis tidak larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), eter dan
metanol. Sifat kekuatan gel dan viskositas gelatin secara bertahap dapat berkurang
akibat adanya pemanasan yang lama pada suhu di atas 40°C. Selain itu, degradasi
gelatin juga dapat disebabkan oleh pH ekstrim dan enzim proteolitik yang
dihasilkan oleh mikroorganisme (Gelatin Manufactures Institute of America,
2012). Gelatin dapat bereaksi dengan asam dan basa, aldehid, gula aldehid,
polimer anionik dan kationik, elektrolit, ion logam, beberapa plasticizer, bahan
pengawet dan surfaktan. Gelatin bersifat tidak toksik dan tidak mengiritasi (Singh
et al., 2002).
Gelatin terbagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses
pengolahannya, yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan
baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal
dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B,
perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa. Proses ini disebut proses
alkali (Miskah et al., 2010).
Tabel 3. Sifat Gelatin Berdasarkan Tipenya (Sumber: Gelatin Manufactures Institute of America, 2007)
Sifat Tipe A Tipe B
Kekuatan gel (Bloom) 50-300 50-300
Viskositas (cP) 15-75 20-75
Kadar abu (%) 0,3-2 0,5-2
pH 3,8-5,5 5-7,5
Titik isoelektrik 7-9 4,7-5,4
2.1.3.1 pH
pH merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses lebih
lanjut dari gelatin. Misalnya, pH sangat berpengaruh terhadap pembentukan busa
dan mempengaruhi interaksi gelatin dengan komponen yang ada pada formulasi
(Schrieber dan Gareis, 2007).
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengukuran pH dilakukan untuk menentukan kondisi dan jenis muatan
yang terdapat pada gelatin. Gelatin merupakan rantai polipeptida yang terdiri atas
berbagai macam asam amino. Asam amino mempunyai sifat zwitter ion atau
dipolar karena dalam struktur kimianya mempunyai gugus fungsi negatif (COO-)
dan gugus fungsi positif (NH3+). Asam amino juga bersifat amfoter, yaitu dapat
bersifat asam, netral atau basa sesuai dengan kondisi lingkungannya (Winarno,
2002).
2.1.3.2 Viskositas
Viskositas merupakan kemampuan menahan dari suatu cairan untuk
mengalir (Said et al.,2014). Viskositas merupakan parameter yang berhubungan
dengan kekuatan gel. Viskositas dapat berbanding lurus dengan kekuatan gel
(Ulfah, 2011). Sifat kekuatan gel dan viskositas gelatin secara bertahap dapat
berkurang akibat adanya pemanasan yang lama pada suhu di atas 40°C. Selain itu,
degradasi gelatin juga dapat disebabkan oleh pH ekstrim dan enzim proteolitik
yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Gelatin Manufactures Institute of America,
2012).
Viskositas yang tinggi diperlukan dalam stabilitas makanan, produk
farmasetik dan emulsi fotografi. Pada industri pembuatan permen, gelatin yang
memiliki viskositas yang rendah lebih disukai sehingga dapat menghindari efek
“tailing” yang tidak diinginkan (Schrieber dan Gareis. 2007).
2.1.3.3 Sifat Busa
Sifat busa merupakan salah satu parameter yang penting untuk gelatin.
Ada beberapa produk yang memanfaatkan kemampuan busa dan stabilitas busa
misalnya pada pembuatan permen, marshmallows serta pembuatan kapsul atau gel
(Schrieber dan Gareis. 2007).
Pembentukan busa dapat terjadi karena kekuatan protein dalam
mengadsorpsi diantarmuka. Sedangkan stabilitas busa dipengaruhi oleh besarnya
interaksi protein-protein dalam matriks film yang mengelilingi gelembung udara.
Stabilitas busa juga berhubungan dengan fleksibilitas protein atau struktur peptida
(Gimenez et al., 2008).
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3.4 Sifat Emulsifikasi
Emulsi merupakan dispersi dari dua larutan yang tidak dapat bercampur
misalnya air dan minyak dimana salah satu larutan terdispersi dalam bentuk
droplet dalam larutan lainnya. Sifat emulsi ini penting digunakan dalam bidang
farmasetik dan produk makanan, misalnya susu, mayonnaise, dan margarin. Tipe
emulsi yang banyak digunakan adalah tipe emulsi air dalam minyak (A/M), yaitu
larutan air terdispersi dalam larutan minyak. Rentang ukuran droplet yang
terdispersi biasanya antara 0,1 sampai 10 µm. tipe emulsi yang terbentuk
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya surfaktan, volume fraksi minyak dan
air, suhu, dan faktor lainnya (Molnes, 2013).
Emulsi bersifat tidak stabil secara termodinamika. Creaming dan
sedimentasi terjadi ketika densitas droplet yang terdispersi lebih besar atau lebih
kecil dibandingkan dengan mediumnya. Flokulasi dan koalesens terjadi fluktuasi
secara konstan dari dispersi droplet.
Gambar 3. Proses yang dapat terjadi pada emulsi (Sumber : Molnes, 2013)
Gambar di atas menunjukkan proses yang terjadi pada emulsi. Pada
keadaan creaming droplet yang terdispersi berpindah karena adanya gaya gravitasi
dan konsentrasi droplet meningkat pada daerah atas ataupun dasar dari wadah.
Pada flokulasi atau agregasi, droplet yang terdispersi berkumpul secara bebas
Creaming
Flokulasi/Agregasi
Koalesens/Fase
terpisah
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tanpa kehilangan integritasnya. Kemudian, kedua mekanisme yang terjadi yaitu
creaming dan flokulasi atau agregasi akan membentuk koalesens dan membentuk
fase yang terpisah (Molnes, 2013).
2.1.3.5 Kejernihan
Kejernihan dari suatu larutan gelatin merupakan salah satu sifat yang
diinginkan. Tingkat kejernihan yang tinggi dapat dicapai tanpa adanya larutan
partikel yang dapat menyebarkan cahaya sehingga dapat menyebabkan kekeruhan
dalam suatu larutan. Idealnya, kejernihan suatu larutan gelatin harus sama dengan
air destilasi, tetapi hal ini menjadi tidak mungkin dikarenakan berbagai alasan
teknis. Sehingga perlu memahami dan mengukur berapa besar penyimpangan
yang terjadi dan dapat diukur menggunakan evaluasi turbiditas (Cole, 2012).
2.1.3.6 Kadar Air
Kadar air gelatin merupakan salah satu parameter yang penting dan perlu
diperhatikan, karena kadar air berhubungan erat dengan waktu simpan gelatin
sehingga dapat mempengaruhi mutu dan kualitas suatu bahan (Ulfah, 2011).
Selain itu, air yang terkandung dalam bahan juga dapat mempengaruhi tekstur,
cita rasa dan penampakan bahan tersebut (Idiawati et al., 2014).
Kandungan air gelatin yang dipersyaratkan yaitu 8% sampai 12%.
Dikarenakan gelatin dapat menyerap dan mengeluarkan kelembaban, maka
penentuan kadar air sangat dibutuhkan. Jika kadar air melebihi 16%, maka gelatin
dapat menggumpal dan memungkinkan untuk pertumbuhan mikroba (Schrieber
dan Gareis, 2007).
2.1.3.7 Kadar Abu
Kadar abu merupakan parameter mutu gelatin yang penting, terutama pada
industri makanan (Ulfah, 2011). Kadar abu dalam suatu bahan menunjukkan
adanya mineral (Idiawati et al., 2014).
Abu adalah zat anorganik yang tidak ikut terbakar dalam dalam proses
pembakaran zat organik (Haris, 2008). Kadar abu gelatin bervariasi, tergantung
pada bahan baku dan metode yang digunakan dalam menghasilkan gelatin.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gelatin kulit babi mengandung sedikit klorida dan sulfat. Sedangkan ossein dan
kulit sapi mengandung terutama garam kalsium yang berasal dari asam yang
digunakan pada proses netralisasi (Gelatin Manufactures Institute of America,
2012).
2.1.3.8 Daya Serap Air dan Lemak
Daya serap air dan lemak merupakan sifat fungsional yang berhubungan
dengan tekstur karena adanya interaksi antar komponen seperti air, minyak dan
komponen lainnya (Balti et al., 2010). Besarnya daya serap air berhubungan
dengan tingginya komponen asam amino hidrofilik dan hidroksiprolin, sedangkan
besarnya daya serap lemak berhubungan dengan derajat hidrofobik dan tingginya
tirosin yang terkandung (Shyni et al., 2013).
2.1.4 Aplikasi Penggunaan Gelatin
Gelatin memiliki sifat yang unik, sehingga gelatin digunakan secara luas
dibidang makanan, farmasetika, kosmetik, obat-obatan dan produk fotografi
(Molnes, 2013). Penggunaan gelatin dibidang makanan misalnya digunakan
sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai pembentuk gel, pembentuk busa,
pengental, plasticizer, pengemulsi, untuk memperbaiki tekstur dan sebagai bahan
pengikat. Berdasarkan fungsi gelatin tersebut, gelatin banyak digunakan dalam
produk susu dan roti terutama pada pembuatan es krim, yogurt, keju dan kue.
Selain itu, gelatin juga digunakan dalam industri makanan lainnya seperti agar-
agar, cokelat, marshmallow, permen, permen karet, mentega dan sosis (Sahilah et
al., 2012).
Pada produk kesehatan, gelatin digunakan dalam pembuatan produk yang
mudah dicerna, rendah kalori dan tidak mengandung kolesterol. Pada industri
farmasetik, gelatin digunakan dalam pembuatan kapsul lunak, tablet salut gula,
tablet dan vitamin enkapsulasi. Pada bidang kosmetik, gelatin digunakan dalam
pembuatan krim, lotion, masker wajah dan produk kosmetik lainnya (Sahilah et
al., 2012). Pada pembuatan sediaan obat, gelatin dapat digunakan dalam
pembuatan larutan, sirup, tablet, tablet salut gula, pasta, suppositoria, inhalant,
dental, vaginal, topikal dan injeksi (Singh et al., 2002). Penggunaan gelatin dalam
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bidang farmasi bertujuan untuk melindungi obat-obatan terhadap pengaruh cahaya
dan oksigen (Sahilah et al., 2012).
2.2 Protein
Protein berasal dari kata protos atau proteos yang artinya pertama atau
utama. Protein merupakan komponen penting atau komponen utama sel hewan
ataupun manusia. Dikarenakan sel merupakan pembentuk tubuh manusia, maka
protein yang ada dalam makanan dapat berfungsi sebagai zat utama dalam
pembentukan dan pertumbuhan tubuh (Poedjiadi, 1994).
Protein merupakan molekul organik yang terbanyak di dalam sel. Lebih
dari 50% berat kering sel terdiri atas protein. Secara kimia, protein merupakan
heteropolimer dari asam-asam amino, yang terikat satu sama lain dengan ikatan
peptida (Bagian Biokimia FKUI, 2001).
Protein dapat diperoleh dari makanan yang berasal dari hewan atau
tumbuhan. Protein yang berasal dari hewan disebut sebagai protein hewani,
sedangkan protein yang berasal dari tumbuhan disebut sebagai protein nabati.
Contoh makanan yang mengandung protein yaitu daging, telur, susu, ikan, beras,
kacang, kedelai, gandum, jagung, dan buah-buahan. Protein umumnya
mengandung karbon 50%, hidrogen 7%, oksigen 23%, nitrogen 16%, belerang 0-
3% dan fosfor 0-3%. Protein memiliki molekul yang besar, bobot molekul protein
bervariasi yaitu 5000 hingga jutaan. Selain memiliki berat molekul yang berbeda-
beda, protein juga memiliki sifat yang berbeda-beda. Ada protein yang mudah
larut dalam air dan ada pula yang sukar larut dalam air. Dengan adanya hidrolisis
asam oleh enzim, protein akan menghasilkan asam-asam amino. Terdapat 20 jenis
asam amino yang ada dalam molekul protein. Asam-asam amino ini terikat antara
satu dengan lainnya melalui ikatan peptida (Poedjiadi, 1994). 20 asam amino
tersebut memiliki atom karbon pusat (Cα) yang mengikat satu atom hidrogen,
gugus amino (NH2) dan gugus karboksil (COOH) (Ngili, 2013). Protein dapat
dipengaruhi dengan mudah oleh suhu yang tinggi, pH dan pelarut organik
(Poedjiadi, 1994).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ada empat tingkatan struktur dasar protein (Gambar 4.), yaitu struktur
primer, sekunder, tersier dan kuartener menurut Dr. Yohanis Ngili, M. Si dalam
bukunya yang berjudul “Protein dan Enzim” yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Struktur primer merupakan urutan asam amino rantai polipeptida suatu
protein
2. Struktur sekunder merupakan urutan asam amino rantai polipeptida suatu
protein yang membentuk struktur alpha (α) heliks atau untai beta (β)
3. Struktur tersier merupakan suatu struktur yang dibentuk dengan cara
mengemas unsur-unsur struktur sekunder ke dalam satu atau beberapa unit
globular kompak yang disebut domain
4. Struktur kuartener merupakan protein akhir yang mengandung beberapa
rantai polipeptida yang disusun dalam struktur kuartener. Asam amino
yang terpisah jauh dalam urutannya dibawa mendekat dalam tiga dimensi
untuk membentuk daerah fungsional yaitu sisi aktif.
Berdasarkan fungsi biologisnya, protein dapat diklasifikasikan sebagai enzim
(dehidrogenase, kinase), protein penyimpanan (feritin, mioglobin), protein
pengatur (protein pengikat-DNA, hormon peptida), protein struktural (kolagen,
proteoglikan), protein pelindung (faktor pembekuan darah, imunoglobin), protein
pengangkut (hemoglobin, lipoprotein plasma) dan protein kontraktil/motil (aktin,
tubulin) (Murray et al., 2003).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4. Tingkatan struktur protein (Sumber: Drug Development Services, 2009)
2.3 Asam Amino
Asam amino merupakan asam karboksilat yang memiliki gugus amino.
Asam amino merupakan komponen penyusun protein dan memiliki gugus –NH2
pada atom karbon α dari posisi gugus –COOH (Poedjiadi, 1994).
Struktur Primer
Struktur Sekunder
Struktur Tersier Struktur kuartener
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rumus umum untuk asam amino yaitu:
Gambar 5. Struktur umum asam amino (Sumber: Study.com)
Asam-asam amino yang terdapat dalam protein merupakan asam α-amino,
yaitu baik gugus amino maupun gugus karboksil keduanya mengikat atom karbon
yang sama yaitu atom karbon α. Atom karbon α merupakan pusat kiral, sehingga
asam amino memiliki aktivitas optik (kecuali bila rantai samping asam amino
merupakan atom H) (Ngili, 2013).
Pada umumnya asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut
organik non polar seperti eter, aseton dan kloroform. Sifat asam amino ini berbeda
dengan asam karboksilat maupun dengan amina. Asam karboksilat alifatik
maupun aromatik yang terdiri dari beberapa atom karbon umumnya kurang larut
dalam air tetapi larut dalam pelarut organik. Demikian pula amina pada umumnya
tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik (Poedjiadi, 1994).
Apabila asam amino larut dalam air, gugus karboksilat akan melepaskan
ion H+, sedangkan gugus amina akan menerima ion H
+, seperti pada Gambar 6.
-COOH ↔ -COO- + H
+
-NH2 + H+ ↔ -NH3
+
Gambar 6. Reaksi asam amino ketika larut dalam air (Sumber: Poedjiadi, 1994)
Dikarenakan adanya kedua gugus tersebut, asam amino dalam suatu larutan dapat
membentuk ion yang memiliki muatan positif dan juga muatan negatif dan biasa
disebut zwitterion atau ion amfoter (Gambar 7.) (Poedjiadi, 1994).
Gugus Amino
Gugus Karboksil
Rantai Samping
α
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 7. Struktur asam amino dalam bentuk zwitterion (Sumber: Poedjiadi, 1994)
Keadaan tersebut sangat bergantung pada pH larutan. Jika larutan asam
amino dalam air ditambah dengan basa, maka asam amino tersebut dalam bentuk
basa (Gambar 8.) dikarenakan konsentrasi ion OH- yang tinggi dapat mengikat
ion-ion H+ yang ada pada gugus –NH3
+.
Gambar 8. Struktur asam amino dalam bentuk basa (Sumber: Poedjiadi, 1994)
Demikian pula sebaliknya, jika larutan asam amino dalam air ditambah
dengan asam, maka asam amino tersebut dalam bentuk asam (Gambar 9.)
dikarenakan konsentrasi ion H+ yang tinggi dapat berikatan dengan ion –COO
-
sehingga membentuk gugus –COOH (Poedjiadi, 1994).
Gambar 9. Struktur asam amino dalam bentuk asam (Sumber: Poedjiadi, 1994)
Asam amino dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembentukan asam
amino dan bedasarkan struktur asam amino. Bila dilihat dari segi proses
pembentukan, asam amino dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu asam amino
esensial dan non-esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang
tidak dapat dibuat atau disintesis dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan
sumber protein. Sedangkan asam amino non-esensial merupakan asam amino
yang dapat dibuat dalam tubuh (Poedjiadi, 1994).
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sedangkan pengklasifikasian asam amino berdasarkan struktur yaitu
ditinjau terutama dari struktur gugus –R atau rantai samping yang terikat pada
bagian inti molekul asam amino. Oleh karena itu, berdasarkan rantai samping
yang terikat maka asam amino dapat diklasifikasikan menjadi 7 kelompok, yaitu
asam amino dengan rantai samping yang merupakan rantai karbon alifatik,
mengandung gugus hidroksil, mengandung atom belerang, mengandung gugus
asam atau amida, mengandung gugus basa, mengandung cincin aromatik, dan
membentuk ikatan dengan atom N pada gugus amino (Poedjiadi, 1994).
2.4 Kolagen
Kolagen merupakan komponen protein utama yang banyak dalam tubuh
hewan. Lebih dari sepertiga protein dalam tubuh merupakan kolagen yang
terdapat dalam seluruh organisme bertulang belakang, karena kolagen dapat
dijumpai pada ruas-ruas tulang belakang jaringan kulit, urat / otot (tendon), jangat
dan ossein serta di seluruh membran dasar pada tulang (Perwitasari, 2008). Pada
mamalia, kolagen terdapat di kulit, tendon, tulang rawan dan jaringan ikat.
Demikian juga pada burung dan ikan, sedangkan pada invertebrata kolagen
terdapat pada dinding sel (Bailey dan Light, 1989).
Di dalam tubuh, kolagen memiliki fungsi sebagai bantalan antar sel,
lapisan penguat tendon misalnya penyokong kulit dengan organ-organ bagian
dalam, kolagen juga berfungsi sebagai penjaga bentuk dan struktur tubuh
(Perwitasari, 2008).
Kolagen memiliki kandungan asam amino glisin yang tinggi dan dua asam
amino yang lain yaitu prolin dan hidroksiprolin yang berfungsi sebagai penstabil
struktur kolagen, dimana setiap rantai polipeptida membentuk pilinan ganda tiga
dari rangkaian asam yang berulang yaitu glisin, prolin dan hidroksiprolin
(Perwitasari, 2008). Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzimatis dan
kimiawi. Perlakuan alkali menyebabkan kolagen mengambang dan menyebar,
yang sering dikonvensi menjadi gelatin. Disamping pelarut alkali, kolagen juga
larut dalam pelarut asam (Bennion, 1980).
Terdapat 27 tipe kolagen yang berbeda yang telah diidentifikasi. Kolagen
tipe I berfungsi sebagai penghubung jaringan seperti kulit, tulang dan tendon.
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kolagen tipe II terdapat pada jaringan kartilago. Kolagen tipe III bergantung
dengan usia, pada kulit yang masih sangat muda mengandung sekitar 50%, tetapi
seiring berjalannya waktu dapat menurun sekitar 5% sampai 10%. Sedangkan
kolagen tipe lainnya sangat sedikit dan hanya ada pada organ spesifik (Schrieber
dan Gareis, 2007).
Molekul dasar pembentuk kolagen disebut tropokolagen yang mempunyai
struktur batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai
polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks. Setiap
tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks
tersendiri, bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara gugus -NH dari residu
glisin pada rantai yang satu dengan gugus -CO pada rantai lainnya. Cincin
pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida
dan memperkuat tripel heliks (Wong, 1989).
Gambar 10. Struktur tropokolagen (Sumber: Encrypted-tbn2.gstatic.com)
2.5 Spektrofotometer Ultraviolet dan Visibel
2.5.1 Teori Spektrofotometri
Spektrofotometri UV-Vis merupakan pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan
elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Spektrum UV-Vis memiliki bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi
tentang struktur yang dapat diperoleh dari spektrum ini. Tapi penggunaan
spektrum ini sangat bermanfaat dalam pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi
analit dalam suatu larutan dapat ditentukan dengan mengukur absorban pada
panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer
(Dachriyanus, 2004). Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang antara 200-
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
400 nm, sedangkan sinar tampak memiliki panjang gelombang antara 400-800 nm
(Dachriyanus, 2004).
2.5.2 Sampel Spektrofotometri UV-Vis
Analisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis hanya dapat dilakukan
pada senyawa yang memiliki gugus kromofor dan ausokrom. Kromofor adalah
semua gugus atau atom dalam suatu senyawa organik yang mampu menyerap
sinar ultraviolet dan sinar tampak (Gandjar dan Rohman, 2007).
Tabel 4. Contoh-contoh senyawa kromofor (Sumber: Gandjar dan Rohman, 2007)
Kromofor Senyawa λmax (nm)
C-H CH4 122
C-C C2H6 135
C=C C2H4 103
174
C=C=C C3H4 170
227
C=C R-C=C-R’
178
196
223
C-O R-O-R 180
C-O R-O-R’ 180
C-N Amino 190-200
C-S R-S-H 195
C=O Aldehid/Keton
166
189
270
C=O Asam karboksilat 200
C=O Karboksilat 210
C=O Ester 210
C=O Amida 205
C=N (NH2)2C=NH 265
C=N CH3C=N <170
N=N Me-N=N-Me 350-370
N=O Me3NO 300
665
N=O Me3NO2 276
C=C=O Et2C=C=O 227
375
C-Cl 173
C-Br 208
C-I 259
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel
dalam bentuk larutan, gas atau uap. Untuk sampel yang dalam bentuk larutan
menurut M. Suharman Mulja dalam bukunya yang berjudul “Analisis
Instrumental” ada beberapa yang harus diperhatikan terkait pelarut yang
digunakan, yakni:
1. Pelarut yang digunakan tidak mengandung sistem ikatan rangkap
terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna
2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang akan dianalisis
3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
2.5.3 Komponen Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan
fotometer merupakan alat untuk mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
atau yang diabsorbsi. Adapun komponen-komponen pokok yang terdapat pada
spektrofotometer UV-Vis yaitu:
1. Sumber cahaya, untuk ultraviolet umumnya digunakan lampu deuterium
(D2O) sedangkan untuk sinar tampak umumnya digunakan lampu tungsten
xenon (Auc)
2. Monokromator, merupakan alat yang digunakan untuk mengubah cahaya
polikromatik menjadi cahaya monokromatik
3. Sel absorbsi, pada pengukuran menggunakan spektrofotometer UV-Vis sel
absorbsi disebut juga dengan kuvet
4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem pencatat. Peranan
detektor penerima yaitu memberikan respon terhadap cahaya pada
berbagai panjang gelombang
5. Pengolah data, untuk spektrofotometer modern biasanya dilengkapi
dengan komputer (Khopkar, 1990).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 10. Komponen Sperktofotometer UV-Vis (Sumber: Khopkar, 1990)
2.5.4 Analisis Kualititatif
Data spektra UV-Vis yang dihasilkan belum mampu untuk
mengidentifikasi secara kualitatif suatu senyawa obat atau metabolitnya, harus ada
penggabungan dengan menggunakan metode lainnya seperti spektroskopi infra
merah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa. Data yang didapat dari
spektroskopi UV-Vis yaitu panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH dan
pelarut. Dari semua data yang didapat, kemudian dibandingkan dengan data yang
sudah dipublikasikan (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.5.5 Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dengan metode spektrofotometer UV-Vis dapat
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Analisis zat tunggal atau analisis satu komponen
Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang
gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama, kemudian absorbansi dari
masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu
garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaan Lambert-Beer yaitu:
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
A=abc
Keterangan : A = Absorbansi
a = Absorptivitas
b = Tebal kuvet
c = Konsentrasi
Jika garis grafik yang dihasilkan berupa garis lurus, maka dapat
dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi
yang diamati (Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Analisis kuantitatif campuran dua macam zat atau analisis dua komponen
Pada pengukuran dua komponen secara bersama-sama dengan
menggunakan spektrofotometer, maka dapat dilakukan pada 2 panjang
gelombang dimana masing-masing komponen tidak saling mengganggu.
Dua buah kromofor yang berbeda akan memiliki kekuatan absorbsi cahaya
yang berbeda pula pada satu daerah panjang gelombang.
Pengukuran dua komponen ini dilakukan masing-masing pada 2
panjang gelombang, sehingga diperoleh dua persamaan hubungan antara
absorbansi dengan konsentrasi pada dua panjang gelombang, sehingga
konsentrasi masing-masing komponen dapat dihitung.
Pengukuran campuran 2 senyawa dilakukan baik pada panjang
gelombang 1 (λ1) maupun pada panjang gelombang 2 (λ2), sehingga
absorbansi pada kedua panjang gelombang tersebut merupakan jumlah
dari absorbansi senyawa 1 dan absorbansi senyawa 2, yang secara
matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
A λ1 = (a1c1) λ1 + (a2c2) λ1
A λ2 = (a1c1) λ2 + (a2c2) λ2
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan : c1 = konsentrasi senyawa 1
c2 = konsentrasi senyawa 2
(a1) λ1 = absorptivitas senyawa 1 pada panjang gelombang
pertama
(a1) λ2 = absorptivitas senyawa 1 pada panjang gelombang
kedua
(a2) λ1 = absorptivitas senyawa 2 pada panjang gelombang
pertama
(a2) λ2 = absorptivitas senyawa 2 pada panjang gelombang
kedua
A λ1 = absorbansi senyawa campuran pada panjang
gelombang pertama
A λ2 = absorbansi senyawa campuran pada panjang
gelombang kedua (Gandjar dan Rohman, 2007).
3. Analisis kuantitatif campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi
komponen) (Gandjar dan Rohman, 2007).
25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Januari-Juli 2016 di Laboratorium Kimia
Obat, Laboratorium Penelitian II program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
Laboratorium Farmasetika Universitas Indonesia.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong plastik, gunting,
baskom, lemari pendingin, erlenmeyer, corong butchner, vacuum filtration,
aluminium foil, pH meter F-52 Horiba, batang pengaduk, Nissei AM 11
homogenizer, gelas piala, gelas ukur, penggaris, termometer, stopwatch,
Spektrofotometer UV-Vis Hitachi U-2910, vortex, pipet tetes, penangas air Eyela
Digital SB-1000, hot plate, cetakan gelatin, oven Memmert, timbangan analitik
Kern, magnetic stirrer, spatula, pH universal, sentrifuge Hettich-EBA 20
Zentrifugen, Brookfield digital viscometer, spidle No. 1, kertas perkamen, kuvet,
labu ukur, kertas saring Whatman No. 1, tabung reaksi, cawan, desikator, lemari
asam, cawan pengabu, tanur, tissue, tabung sentrifugasi.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit sapi, air destilasi,
asam asetat 0.2 M, NaOH 6 N, HCl 6 N, minyak kedelai, SDS 0.1%, buffer
asetat/sitrat, NaCl 0.3 M, isopropanol, kloroamin T 7%, p-dimetil-alanin
benzaldehid, asam perklorat 60%, larutan standar hidroksiprolin.
3.3 Tahapan Penelitian
3.3.1 Penyiapan Sampel
Bahan baku yang digunakan yaitu kulit sapi yang diperoleh dari pedagang
daging sapi di pasar tradisional Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan baku yang
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
telah diperoleh sebanyak 1 kg kemudian dikemas dalam kantong plastik dan
dimasukkan ke dalam freezer.
3.3.2 Ekstraksi dan Pembuatan Lembaran Gelatin
Ekstraksi gelatin dari kulit sapi dilakukan menggunakan metode asam
Shyni et al. (2014) dengan sedikit modifikasi. Pertama, kulit sapi dipotong kecil
dengan ukuran ± 15x15 cm. Kemudian, kulit sapi dicuci menggunakan air dan
dibersihkan kotoran serta lemak yang masih menempel pada kulit tersebut.
Kemudian kulit yang sudah bersih dibilas menggunakan aquadest. Kulit yang
sudah bersih tersebut ditiriskan dan dipotong kecil-kecil ukuran 2x2 cm dan
ditimbang sebagai berat basah. Kemudian, 200 g kulit direndam dengan
menggunakan 1 L asam asetat 0,2 M dan dimasukkan dalam lemari pendingin
suhu 4°C selama 48 jam dan sesekali dikocok. Kulit diambil dan dialirkan dengan
air hingga pH netral (6,0-7,0). Kulit diangkat dan ditimbang, kemudian kulit
dipanaskan dengan aqudest pada suhu 60°-70°C selama 9 jam. Ekstrak disaring
menggunakan kertas saring Whatman No.1 dengan bantuan vacuum filtration
yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada di dalam ekstrak gelatin,
kemudian filtrat yang didapat diukur. Filtrat tersebut lalu dimasukkan dalam oven
selama 2 jam pada suhu 70°C dan dimasukkan dalam lemari pendingin pada suhu
4°C hingga membentuk gel. Setelah dituangkan ke dalam cetakan, gel dioven
pada suhu 60°C selama 48 jam atau hingga terbentuk lembaran gelatin yang
kering. Lembaran gelatin kemudian ditimbang dan disimpan dalam wadah
tertutup rapat.
3.3.3 Karakterisasi Sifat Fisikokimia Gelatin
3.3.3.1 Nilai Rendemen
Nilai rendemen ekstraksi gelatin dapat dihitung menggunakan persamaan
Alfaro et al. (2013):
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.3.2 pH
pH sampel gelatin dapat dianalisis menggunakan pH meter. Larutan
gelatin dibuat dalam konsentrasi 1% (b/v) dengan menggunakan air destilasi pada
suhu 60°C, kemudian diaduk secara konstan selama 30 menit dan didinginkan
pada suhu ruang (~25°C). pH larutan gelatin diukur menggunakan alat pH meter.
(Alfaro et al., 2013)
3.3.3.3 Viskositas
Viskositas gelatin diukur menggunakan metode Shyni et al. (2014) dengan
sedikit modifikasi. Larutan gelatin dibuat pada konsentrasi 6,67% (b/v) dengan
cara sampel gelatin dicampurkan dalam air destilasi kemudian dipanaskan pada
suhu 60°C. Viskositas (cP) dari 250 ml larutan gelatin diukur menggunakan alat
Brookfield digital viscometer dengan menggunakan spindle No. 1 pada suhu 30°C
± 0,5°C.
3.3.3.4 Sifat Busa
Sifat busa diukur menggunakan metode Jellouli et al. (2011) dengan
sedikit modifikasi. Larutan gelatin dibuat dalam konsentrasi 1% (b/v)
menggunakan air destilasi dengan cara melarutkan 0,5 gram sampel gelatin dalam
50 ml aquadest pada suhu 60°C, kemudian didinginkan hingga suhu 31°C.
Campuran dihomogenisasi selama 5 menit pada suhu ruang (~25°C)
menggunakan homogenizer dengan kecepatan 10.000 rpm. Kemudian campuran
yang sudah homogen dimasukkan ke dalam gelas ukur dan diamati pada waktu 0,
10, 30 dan 60 menit. Tinggi busa (TB) dan stabilitas busa (SB) dihitung
menggunakan persamaan 1 dan 2 dimana VT merupakan total volume setelah
homogenisasi (ml), Vo merupakan volume sebelum homogenisasi dan Vt
merupakan total volume setelah didiamkan pada suhu ruang (~25°C) pada menit
ke-10, 30 dan menit ke-60 (ml).
( ) -
(1)
( ) -
(2)
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.3.5 Sifat Emulsifikasi
Indeks aktivitas emulsi (IAE) dan indeks stabilitas emulsi (ISE) gelatin
diuji menggunakan metode Ahmad dan Benjakul (2010). Minyak kedelai 2 ml dan
larutan gelatin 6 ml (1% gelatin) dihomogenisasi menggunakan homogenizer
dengan kecepatan 20.000 rpm selama 1 menit. Emulsi yang terbentuk diambil
menggunakan mikropipet sebanyak 50 µl pada menit ke-0 dan ke-10 dan
dicampur dengan 5 ml SDS 0,1%. Campuran tersebut dicampur supaya homogen
menggunakan vortex selama 10 detik. Kemudian diukur menggunakan
Spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm. Indeks aktivitas emulsi (IAE)
dan indeks stabilitas emulsi (ISE) dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut:
⁄
Keterangan: A = absorbansi (A500)
DF = dilution factor (faktor pengenceran) 100
L = panjang kuvet (m)
= volume fraksi minyak (ml)
C = konsentrasi protein pada fase air (g/m3)
( )
Keterangan: A0 = absorbansi (A500) pada waktu ke-0 menit
A10 = absorbansi (A500) pada waktu ke-10 menit
3.3.3.6 Hidroksiprolin
Hidroksiprolin dari gelatin diuji menggunakan metode Balti et al., 2010.
Gelatin 10 mg dihidrolisis menggunakan 5 ml HCl 6 N pada suhu 110°C selama
12 jam menggunakan oven. Setelah dihidrolisis, larutan sampel dinetralisasi
menggunakan NaOH 6 N, 2 ml larutan buffer asetat/sitrat ditambahkan dan
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larutan sampel ditambahkan NaCl 0,3 M hingga volume 25 ml. Larutan sampel
dimasukkan 1 ml ke dalam tabung uji dan isopropanol 300 µl dan larutan oksidan
600 µl (campuran kloroamin T 7% (b/v) dan buffer asetat/sitrat, pH 6,0 dengan
perbandingan 1:4 (v/v)) ditambahkan kedalam tabung serta dicampur homogen.
Setelah 4 menit, 4 ml E c ’ c -dimetil-
alanin benzaldehid dan 3 ml asam perklorat 60% (v/v) (b/v)) ditambahkan dan
campuran diaduk selama 25 menit dengan menggunakan shaker pada suhu 60°C.
Kemudian absorbansi larutan diukur menggunakan Spektrofotometer pada
panjang gelombang maksimum. Kandungan hidroksiprolin larutan sampel
dihitung dengan menggunakan kurva kalibrasi larutan standar hidroksiprolin.
3.3.3.7 Kejernihan
Kejernihan dapat diuji menggunakan metode Shyni et al., 2013. Larutan
gelatin dibuat pada konsentrasi 6,67% (b/v) dan dipanaskan menggunakan
penangas air pada suhu 60°C selama 1 jam kemudian dilakukan pengukuran
transmittan (%T) pada panjang gelombang 620 nm dengan menggunakan
Spektrofotometer.
3.3.3.8 Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan menggunakan metode Setiawati (2009).
Sampel gelatin sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kosong yang
sebelumnya telah ditimbang, cawan serta tutupnya yang telah dikeringkan di
dalam oven serta didinginkan di dalam desikator. Sampel gelatin dimasukkan ke
dalam cawan kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
100°-102°C selama 6 jam. Cawan tersebut lalu didinginkan di dalam desikator
dan kemudian ditimbang. Kadar air dihitung menggunakan rumus:
( )
Keterangan : W1 = bobot (sampel + cawan) sebelum dikeringkan
W2 = bobot (sampel + cawan) setelah dikeringkan
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.3.9 Kadar Abu
Pengujian kadar abu dilakukan menggunakan metode Setiawati (2009).
Sampel gelatin sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan pengabuan
yang sebelumnya telah ditimbang dan dibakar di dalam tanur dengan suhu 600°C
serta didinginkan dalam desikator. Sampel gelatin dimasukkan ke dalam cawan
pengabuan kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dan
dibakar hingga didapat abu yang berwarna keabu-abuan. Proses pengabuan ini
dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu tahap pertama pada suhu 400°C selama 1 jam
dan tahap kedua pada suhu 550°C selama 5 jam. Cawan tersebut lalu didinginkan
di dalam desikator dan kemudian ditimbang. Kadar abu dapat dihitung
menggunakan rumus:
3.3.3.10 Daya Serap Air
Pengujian daya serap air dilakukan menggunakan metode Razali et
al.,2014. Sampel gelatin sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi. Kemudian, air destilasi sebanyak 10 ml ditambahkan ke dalam
tabung tersebut dan divortex selama 30 detik. Kemudian, dispersi gelatin
didiamkan pada suhu ruang (~25°C) selama 30 menit sebelum disentrifugasi pada
kecepatan 4800 rpm selama 25 menit. Supernatan disaring menggunakan kertas
saring Whatman No. 1 dan volume hasil penyaringan dihitung. Hasil dinyatakan
sebagai ml air yang terabsorpsi per gram gelatin.
⁄ ( )
3.3.3.11 Daya Serap Lemak
Pengujian daya serap lemak dilakukan menggunakan metode Razali et
al.,2014. Sampel gelatin sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam tabung
sentrifugasi. Kemudian, minyak kelapa sawit sebanyak 10 ml ditambahkan ke
dalam tabung tersebut dan divortex selama 30 detik. Kemudian, dispersi gelatin
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 25 menit. Supernatan disaring
menggunakan kertas saring Whatman No. 1 dan volume hasil penyaringan
dihitung. Hasil dinyatakan sebagai ml minyak yang terabsorpsi per gram gelatin.
⁄ ( )
3.3.4 Analisis Statistik
Data karakterisasi gelatin yang telah diukur seperti uji pH, sifat busa, sifat
emulsifikasi, hidroksiprolin, kejernihan, daya serap air dan daya serap lemak
dianalisis dengan menggunakan Software statistika, yaitu SPSS 16.0 dengan uji T-
Test sehingga dapat diketahui apakah perbedaan rata-rata gelatin kulit sapi dan
gelatin sapi komersial yang diperoleh bermakna atau tidak.
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Lembaran Gelatin Kulit Sapi
Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam,
yaitu proses asam dan proses basa. Pada penelitian ini dilakukan proses asam, yaitu
menggunakan asam asetat 0,2 M. Proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga
tahap:
1. Tahap persiapan bahan baku yaitu penghilangan komponen non kolagen dari
bahan baku.
2. Tahap konversi kolagen menjadi gelatin.
3. Tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan (Dewati dan
Fulanah, 2012).
Pada tahap persiapan dilakukan tahap pembersihan (degreasing) yang
bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan lemak yang masih menempel pada kulit
sapi dan dilakukan pemotongan kulit sapi menjadi lebih kecil (Marzuki et al., 2011).
Kandungan lemak akan lebih mudah dibersihkan jika sebelumnya kulit sapi
dipanaskan pada air mendidih selama 1-2 menit. Pengecilan ukuran kulit dilakukan
untuk memperluas permukaan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan
sempurna (Junianto et al., 2006).
Selanjutnya pada kulit dilakukan tahap perendaman dengan asam asetat 0,2 M
selama 48 jam dan didiamkan di lemari pendingin pada suhu 4°C. Tahap perendaman
bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi bentuk yang sesuai untuk diekstraksi,
yaitu dengan adanya interaksi ion H+ dari larutan asam dengan kolagen. Sebagian
ikatan hidrogen dalam tropokolagen serta ikatan-ikatan silang yang menghubungkan
tropokolagen satu dengan tropokolagen lainnya dihidrolisis menghasilkan rantai-
rantai tropokolagen yang mulai kehilangan struktur tripel heliksnya (menjadi rantai
tunggal) (Idiawati et al., 2014). Selain itu, proses perendaman juga mengakibatkan
terjadinya penggembungan (swelling) yang dapat membuang material-material yang
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak diinginkan, seperti lemak dan protein non-kolagen pada kulit dengan kehilangan
kolagen yang minimum (Zhou dan Regenstein, 2005).
Penggunaan asam asetat pada penelitian ini dikarenakan asam asetat
merupakan asam organik, dimana asam organik merupakan asam lemah dan bersifat
ramah lingkungan. Selain itu, asam asetat juga dapat diterima sebagai bahan
tambahan pada makanan. Bila dibandingkan dengan asam anorganik, keamanan
bekerja menggunakan asam asetat lebih tinggi karena pada konsentrasi <50% tidak
bersifat korosif, tidak toksik dan tidak menyebabkan iritasi (Rowe et al., 2009).
Kulit sapi yang telah direndam dengan asam asetat 0,2 M dicuci dengan air
mengalir hingga mencapai pH netral (6,0-7,0), karena umumnya pH tersebut
merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non-kolagen pada kulit
sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan (Martianingsih dan Atmaja, 2009).
Kemudian dilakukan ekstraksi gelatin dalam sistem penangas air pada suhu
60°-70°C selama 9 jam. Saat jaringan yang mengandung kolagen diperlakukan secara
asam dan diikuti dengan pemanasan dalam air, maka struktur fibril kolagen akan
dipecah secara irreversible (Martianingsih dan Atmaja, 2009). Ekstraksi gelatin
menggunakan air hangat dilakukan karena gelatin dapat larut dalam air hangat.
Pemanasan dilakukan pada suhu 60°-70°C bertujuan untuk memecah serabut tripel
heliks menjadi lebih panjang sehingga gelatin yang dihasilkan akan lebih banyak
(Idiawati et al., 2014). Ekstraksi dengan air hangat akan melanjutkan perusakan
ikatan-ikatan silang, serta untuk merusak ikatan hidrogen yang menjadi faktor
penstabil struktur kolagen (Martianingsih dan Atmaja, 2009).
Gambar 12. Perubahan rantai helik-gulungan pada kolagen (Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009)
dipanaskan
Dalam air
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ikatan-ikatan hidrogen yang dirusak dan ikatan-ikatan kovalen yang dipecah
akan mendestabilkan tripel helik melalui transisi helik ke gulungan dan menghasilkan
konversi yang larut air. Tropokolagen yang diekstraksi mengalami reaksi hidrolisis
yang sama dengan reaksi hidrolisis tropokolagen yang terjadi saat perendaman dalam
larutan asam (Martianingsih dan Atmaja, 2009).
Gambar 13. Reaksi pemutusan ikatan hidrogen tropokolagen (Sumber: Martianingsih dan Atmaja, 2009)
Gelatin yang diperoleh dari ekstraksi disaring menggunakan kertas saring
Whatman No. 1 untuk mendapatkan filtrat yang jernih (Marzuki et al., 2011). Filtrat
yang dihasilkan kemudian di keringkan di dalam oven pada suhu 70°C selama 2 jam,
kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin hingga membentuk gel. Tujuan
dimasukkan ke dalam lemari pendingin adalah untuk pemekatan sehingga dapat
meningkatkan total solid larutan gelatin dan dapat mempercepat proses pengeringan
(Dewati dan Fulanah, 2012). Gel yang terbentuk dituang ke dalam cetakan dan
dioven pada suhu 60°C hingga terbentuk lembaran gelatin yang kering. Lembaran
gelatin yang diperoleh kemudian dikarakterisasi sifat fisika dan kimianya berdasarkan
Gelatin Manufactures Institute of America (2012).
4.1.1 Rendemen
Rendemen gelatin merupakan jumlah gelatin kering yang dihasilkan dari
sejumlah bahan baku kulit dalam keadaan bersih melalui proses ekstraksi (Agustin
dan Sompie, 2015). Nilai rendemen dari suatu pengolahan bahan merupakan
parameter yang penting diketahui untuk dasar perhitungan analisis finansial,
Rantai polipeptida
Rantai polipeptida
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
memperkirakan jumlah bahan baku untuk memproduksi produk dalam volume
tertentu, dan mengetahui tingkat efisiensi dari suatu proses pengolahan (Junianto et
al., 2006).
Nilai rendemen gelatin kulit sapi yang diekstraksi menggunakan asam asetat
0,2 M yaitu 4,475 ± 1,120%. Rendahnya nilai rendemen gelatin yang dihasilkan dapat
dikarenakan hilangnya kolagen pada saat proses pencucian atau hidrolisis kolagen
yang tidak sempurna (Aisyah et al., 2014).
4.2 Karakterisasi Gelatin Kulit Sapi
4.2.1 Organoleptik
Karakteristik organoleptik merupakan salah satu faktor penilaian selain sifat
fisik dan kimia dari suatu produk. Uji organoleptik memiliki hubungan yang tinggi
dengan mutu produk karena berhubungan langsung dengan selera konsumen (Agustin
dan Sompie, 2015).
Gelatin kulit sapi yang dihasilkan yaitu transparan, memiliki warna
kekuningan dan sedikit amis (Gambar 14). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan standar mutu yang dipersyaratkan oleh SNI yakni produk
gelatin tidak berwarna sampai kekuningan serta tidak memiliki bau dan rasa (Agustin
dan Sompie, 2015).
Gambar 14. Lembaran gelatin
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.2 pH
Nilai pH merupakan derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan (Agustin dan
Sompie, 2015). Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena pH
larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin lainnya seperti viskositas, kekuatan
gel, dan berpengaruh juga terhadap aplikasi gelatin dalam produk (Junianto et al.,
2006).
Nilai pH larutan gelatin dapat dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang
dilakukan (Alfaro et al.,2014). Menurut Ockerman dan Hansen (2000), saat dilakukan
proses perendaman (curing), maka serabut kolagen kulit akan mengalami proses
pembengkakan (swelling), sehingga terjadi penurunan sifat kohesi internal dari
serabut kulit tersebut. Saat terjadi pembengkakan, struktur ikatan asam amino pada
molekul kolagen mengalami pembukaan dan bahan curing atau asam asetat
“terperangkap” diantara ikatan tersebut. Asam asetat yang terperangkap dalam
struktur ikatan tersebut dan tidak larut saat proses netralisasi, sehingga secara
langsung akan mempengaruhi nilai pH pada akhir produk gelatin (Agustin dan
Sompie, 2015).
Nilai pH berpengaruh terhadap gelatin. Gelatin dengan pH netral
diaplikasikan untuk produk daging, farmasi, kromatografi, cat dan lainnya. Gelatin
dengan pH rendah digunakan untuk produk juice, jelly, sirop dan lainnya. Nilai pH
gelatin sangat dipengaruhi oleh jenis larutan perendam yang digunakan untuk
mengekstrak gelatin tersebut (Agustin dan Sompie, 2015).
Hasil pengukuran pH gelatin kulit sapi yaitu 5,559 ± 0,034. Nilai tersebut
memenuhi persyaratan nilai pH gelatin (Tipe A) yaitu 3,8-5,5 (Rowe et al., 2009).
Sedangkan nilai pH gelatin sapi komersial yaitu 6,311 ± 0,022. Tidak ada perbedaan
yang bermakna (P >0,05) antara gelatin kulit sapi dengan gelatin sapi komersial.
4.2.3 Viskositas
Viskositas merupakan pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir.
Semakin kental suatu cairan maka semakin besar pula kekuatan yang diperlukan
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk digunakan supaya cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu.
Pengentalan cairan terjadi akibat absorpsi dan pengembangan koloid (Junianto et al.,
2006). Viskositas merupakan parameter yang berhubungan dengan kekuatan gel.
Viskositas dapat berbanding lurus dengan kekuatan gel (Ulfah, 2011).
Viskositas yang tinggi diperlukan dalam stabilitas makanan, produk
farmasetik dan emulsi fotografi. Pada industri pembuatan permen, gelatin yang
memiliki viskositas yang rendah lebih disukai sehingga dapat menghindari efek
“tailing” yang tidak diinginkan (Schrieber dan Gareis, 2007).
Hasil pengukuran viskositas gelatin kulit sapi dibandingkan dengan nilai
viskositas gelatin sapi komersial (Gambar 15).
Keterangan : 1 (Gelatin kulit sapi), 2 (Gelatin sapi komersial)
Gambar 15. Grafik perbandingan nilai viskositas gelatin kulit sapi dan
gelatin sapi komersial pada kecepatan 10 rpm
Berdasarkan Gelatin Manufactures Institute of America (2012), nilai
viskositas gelatin tipe A yaitu 15-75 cP, sehingga nilai viskositas gelatin kulit sapi
yang dihasilkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Pengukuran viskositas terhadap larutan gelatin sangat penting artinya untuk
menentukan mutu dan penggunaan gelatin tersebut. Viskositas juga merupakan
parameter untuk mengukur kemampuan suatu produk emulsifier untuk mengabsorpsi
air dan untuk membentuk koloid. Semakin tinggi kemampuan produk emulsifier
untuk mengentalkan dan membentuk koloid, maka nilai viskositasnya akan semakin
60 cP
72 cP
50
55
60
65
70
75
1 2
Vis
kosi
tas
(cP
)
Sampel Gelatin
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tinggi dan kualitasnya juga akan semakin tinggi. Tingginya nilai viskositas atau
kekentalan larutan gelatin sangat erat kaitannya dengan kadar air gelatin kering.
Semakin rendah kadar air gelatin kering maka kemampuannya untuk mengikat air
akan semakin tinggi. Semakin banyak air yang terikat oleh gelatin maka gel akan
semakin kental dan nilai viskositasnya akan semakin tinggi (Idiawati et al., 2014).
Selain itu, viskositas larutan gelatin dapat meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi gelatin dan penurunan temperatur (Gelatin Manufactures Institute of
America, 2012).
4.2.4 Sifat Busa
Sifat busa merupakan salah satu parameter yang penting untuk gelatin. Ada
beberapa produk yang memanfaatkan kemampuan busa dan stabilitas busa misalnya
pada pembuatan permen, marshmallows serta pembuatan kapsul atau gel (Schrieber
dan Gareis, 2007).
Hasil tinggi busa (% TB) dan stabilitas busa (% SB) gelatin sapi dan gelatin
sapi standar akan dijabarkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Sifat busa gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial
Gelatin Tinggi busa (%) Stabilitas busa (%)
0 (menit) 10 (menit) 30 (menit) 60 (menit)
Gelatin sapi 176,67 ± 3,05 169,33 ± 2,30 160 153,33 ± 4,61
Gelatin sapi
standar 190,67 ± 9,23 178,67 ± 9,23 169,33 ± 8,32 158,67 ±2,30
Keterangan: Nilai rata-rata ± standar deviasi dari tiga percobaan.
Berdasarkan tabel di atas, terdapat perbedaan yang bermakna (P <0,05) pada
tinggi busa dan stabilitas busa menit ke-10, 30 dan 60 dari gelatin kulit sapi dan
gelatin sapi komersial. Semakin lama waktu pengujian, stabilitas busa gelatin
semakin menurun. Nilai stabilitas busa dilakukan pada menit ke-10, 30 dan 60.
Sedangkan nilai pembentukan busa dilihat pada menit ke-0.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembentukan busa dapat terjadi karena kekuatan protein dalam mengadsorpsi
diantarmuka. Sedangkan stabilitas busa dipengaruhi oleh besarnya interaksi protein-
protein dalam matriks film yang mengelilingi gelembung udara. Stabilitas busa juga
berhubungan dengan fleksibilitas protein atau struktur peptida (Gimenez et al., 2008).
4.2.5 Sifat Emulsifikasi
Gelatin merupakan senyawa kimia yang mempunyai kemampuan sebagai
emulgator dalam sistem emulsi minyak dalam air. Hal ini disebabkan adanya bagian
hidrofobik pada rantai peptida dari gelatin yang mampu bertindak sebagai emulsifier,
stabilizer dan foaming agent (Marzuki et al., 2011).
Sebagai emulgator, gelatin mengelilingi tetesan fase dalam sebagai suatu
lapisan tipis atau film yang diadsorpsi pada permukaan dari tetesan fase terdispersi.
Lapisan tersebut mencegah terjadinya kontak atau berkumpulnya kembali globul atau
fase terdispersi, sehingga kestabilan emulsi terjaga (Marzuki et al., 2011).
Indeks aktivitas emulsi (IAE) dan Indeks stabilisa emulsi (ISE) dari gelatin
sapi dan gelatin sapi standar pada konsentrasi 1% akan dijabarkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Indeks aktivitas emulsi (IAE) dan Indeks stabilitas emulsi (ISE)
gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial pada konsentrasi 1%
Gelatin IAE (m2/g) ISE (menit)
Gelatin sapi 1% 426,720 ± 131,002 21,33 ± 4,05
Gelatin sapi standar 1% 304,661 ± 6,478 20,00 ± 1,91
Keterangan: - Nilai rata-rata ± standar deviasi dari tiga percobaan
- IAE adalah indeks aktivitas emulsi
- ISE adalah indeks stabilitas emulsi
Indeks aktivitas emulsi (IAE) mencerminkan kemampuan protein untuk
membantu dalam pembentukan dan stabilitas emulsi pada unit daerah antarmuka
yang stabil per unit berat protein (Gimenez et al., 2008).
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang bermakna (P >0,05) pada nilai
indeks aktivitas emulsi dan ada perbedaan yang bermakna (P <0,05) pada nilai indeks
stabilitas emulsi gelatin kulit sapi yang dibandingkan dengan gelatin sapi komersial.
4.2.6 Hidroksiprolin
Kolagen kulit sapi mengandung komponen asam amino yang bervariasi.
Asam amino hidroksiprolin dapat mempengaruhi kekuatan gel dan titik leleh gelatin
yang dihasilkan. Gelatin dengan tingkat asam amino hidroksiprolin dan prolin yang
tinggi cenderung memiliki kekuatan gel dan titik leleh yang tinggi (Alfaro et al.
2014). Asam amino hidroksiprolin memiliki peran penting terhadap rigiditas struktur
kolagen dan dapat mempengaruhi sifat dinamik gelatin (Irwandi et al., 2009). Asam
amino hidroksiprolin memiliki peran yang unik dalam menstabilkan struktur tripel
heliks kolagen karena kemampuannya mengikat hidrogen melalui gugus –OH (Alfaro
et al., 2014).
Kandungan hidroksiprolin diukur menggunakan instrumen spektrofotometri
UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 563,5 nm. Kandungan hidroksiprolin
gelatin kulit sapi yaitu 4,345 ± 0,414 mg dalam 10 mg gelatin sedangkan kandungan
hidroksiprolin gelatin sapi komersial yaitu 2,101 ± 0,179 mg dalam 10 mg gelatin.
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang bermakna (P >0,05) pada gelatin kulit
sapi yang dibandingkan dengan gelatin sapi komersial.
4.2.7 Kejernihan
Kekeruhan gelatin penting bagi sifat estetika gelatin. Kekeruhan dan warna
gelap pada gelatin umumnya dikarenakan adanya komponen inorganik, protein, dan
kontaminasi mukosubstan selama proses pembersihan kontaminan (Alfaro et al.
2014).
Kejernihan dari suatu larutan gelatin merupakan salah satu sifat yang
diinginkan. Tingkat kejernihan yang tinggi dapat dicapai tanpa adanya larutan
partikel yang dapat menyebarkan cahaya sehingga dapat menyebabkan kekeruhan
dalam suatu larutan. Idealnya, kejernihan suatu larutan gelatin harus sama dengan air
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
destilasi, tetapi hali ini menjadi tidak mungkin dikarenakan berbagai alasan teknis
(Cole, 2012).
Kejernihan yang dihasilkan oleh gelatin sapi yang dibandingkan dengan
gelatin sapi standar akan dijabarkan pada tabel 7.
Tabel 7. Nilai kejernihan gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial
Sampel %T
Gelatin sapi 50,62 ± 1,25
Gelatin sapi standar 71,03 ± 0,46
Keterangan: - Nilai rata-rata ± standar deviasi dari tiga percobaan
- %T adalah % Transmitan
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang bermakna (P >0,05) pada nilai
kejernihan gelatin kulit sapi yang dibandingkan dengan gelatin sapi komersial. Nilai
gelatin sapi lebih kecil daripada gelatin sapi standar. Hal ini dapat dikarenakan masih
ada pengotor pada gelatin sapi yang tertinggal pada saat proses penyaringan.
4.2.8 Kadar Air
Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap mutu atau kualitasnya
(Junianto et al., 2006). Kadar air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi aktivitas enzim, mikroba, kimia, serta reaksi-reaksi non
enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan pada sifat-sifat organoleptik,
penampakan, tekstur, citarasa, nilai gizi dan masa simpannya (Astawan dan Aviana,
2003). Air dalam bahan terdapat dalam tiga bentuk yaitu air yang ada dalam bentuk
terikat secara kimia, fisik serta air dalam bentuk bebas (Junianto et al., 2006).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) (1995), kadar air maksimal
yang diperkenankan yaitu 16%. Kadar air gelatin kulit sapi yang diperoleh yaitu
4,3043 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar air gelatin kulit sapi masih
berada dalam rentang nilai yang dipersyaratkan.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.9 Kadar Abu
Kadar abu merupakan parameter mutu gelatin terutama untuk industri
makanan (Ulfah, 2011). Kadar abu suatu bahan menunjukkan kualitas keberadaan
mineral dalam bahan tersebut. Hasil pengukuran terhadap kadar abu gelatin kulit sapi
yang dihasilkan yaitu 0,3637%. Nilai kadar abu tersebut masih berada dalam kisaran
kadar abu yang diperkenankan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) (1995) untuk
produk gelatin yaitu maksimum 3.25%.
Nilai kadar abu yang tinggi dapat disebabkan masih adanya komponen
mineral yang terikat pada kolagen, yang belum terlepas saat proses pencucian
sehingga ikut terekstraksi dan terbawa pada gelatin yang dihasilkan (Astawan dan
Aviana, 2003). Mineral yang terkandung di dalam gelatin ketika dilakukan proses
pengabuan tidak akan hilang tetapi ikut menjadi abu sehingga akan menyumbang
kadar abu gelatin. Beberapa mineral yang terkandung dalam gelatin antara lain
kalsium fosfat, kalsium karbonat, dan magnesium fosfat (Ulfah, 2011).
4.2.10 Daya Serap Air
Daya serap air (DSA) merupakan sifat fungsional yang berhubungan dengan
tekstur karena adanya interaksi antar komponen seperti air, minyak dan komponen
lainnya (Balti et al., 2010).
Hasil daya serap air gelatin sapi akan dibandingkan dengan gelatin sapi
standar yang akan dijabarkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil daya serap air gelatin kulit sapi dan gelatin sapi komersial
Sampel DSA (ml/g)
Gelatin sapi 1,13 ± 0,57
Gelatin sapi standar 2,59 ± 0,34
Keterangan: - Nilai rata-rata ± standar deviasi dari tiga percobaan
- DSA adalah daya serap air
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Besarnya daya serap air berhubungan dengan tingginya komponen asam
amino hidrofilik dan hidroksiprolin (Shyni et al., 2013). Berdasarkan data, tidak ada
perbedaan yang bermakna (P >0,05) daya serap air pada gelatin kulit sapi yang
dibandingkan dengan gelatin sapi komersial.
4.2.11 Daya Serap Lemak
Daya serap lemak (DSL) merupakan sifat fungsional yang berhubungan
dengan tekstur karena adanya interaksi antarkomponen seperti air, minyak dan
komponen lainnya (Balti et al., 2010).
Hasil daya serap lemak gelatin kulit sapi akan dibandingkan dengan gelatin
sapi komersial yang akan dijabarkan pada Tabel 9.
Table 9. Hasil daya serap lemak gelatin kulit sapi dan gelatin sapi
komersial
Sampel DSL (ml/g)
Gelatin sapi 1,13 ± 0,46
Gelatin sapi standar 1,26 ± 0,11
Keterangan: - Nilai rata-rata ± standar deviasi dari tiga percobaan
- DSL adalah daya serap lemak
Besarnya daya serap lemak berhubungan dengan derajat hidrofobik dan
tingginya tirosin yang terkandung (Shyni et al., 2013). Berdasarkan data, tidak ada
perbedaan yang bermakna (P >0,05) daya serap lemak pada gelatin kulit sapi yang
dibandingkan dengan gelatin sapi komersial.
44 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Gelatin kulit sapi dapat dihasilkan dengan menggunakan metode
hidrolisis asam, yaitu kulit sapi yang telah mengalami buang bulu
secara perebusan direndam menggunakan asam asetat 0,2 M selama
48 jam dalam lemari pendingin pada suhu 4°C. Nilai rendemen yang
dihasilkan yaitu 4,475 ± 1,120%.
2. Hasil pengujian karakteristik fisikokimia gelatin memiliki warna
kekuningan, transparan dan bau sedikit amis, uji pH 5,559 ± 0,034 (P
>0,05), viskositas 60 cP, tinggi busa 176,667 ± 3,055 (P <0,05),
stabilitas busa setelah menit ke-10 169,333 ± 2,309 (P <0,05),
stabilitas busa setelah menit ke-30 160 (P <0,05), stabilitas busa
setelah menit ke-60 153,333 ± 4,619 (P <0,05), indeks aktivitas emulsi
426,720 ± 131,002 (P >0,05), indeks stabilitas emulsi 21,336 ± 4,053
(P <0,05), kandungan hidroksiprolin 4,345 ± 0,414 (P >0,05),
kejernihan 50,622 ± 1,256 (P >0,05), kadar air 4,3043%, kadar abu
0,3637%, daya serap air 1,132 ± 0,557 (P >0,05) dan daya serap
lemak 1,132 ± 0,463 (P >0,05).
2.2 Saran
Perlu dilakukan optimasi terkait konsentrasi, waktu dan suhu penyimpanan
pada saat proses hidrolisis kolagen kulit sapi menjadi gelatin menggunakan asam
asetat.
45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, A.T., dan M. Sompie. 2015. Kajian Gelatin Kulit Ikan Tuna (Thunnus
albacares) yang Diproses Menggunakan Asam Asetat. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 1(5): 1186-1189
Ahmad, M. dan S. Benjakul. 2010. Characteristics Of Gelatin From The Skin Of
Unicorn Leatherjacket (Aluterus monoceros) As Influenced By Acid
Pretreatment And Extraction Time. Food Hydrocolloids, 25(2011): 381-388
Aisyah, N. M. N., Nurul, H., Azhar, M. E. dan Fazilah, A. 2014. Poultry as an
Alternative Source of Gelatin. Health and the Environment Journal, 5(1):
37-49
Alfaro, A. D. T., G. G. Fonseca, E. Balbinot, A. Machado dan C. Prentice, 2013.
Physical And Chemical Properties Of Wami Tilapia Skin Gelatin. Food
Science and Technology Campinas, 33(3): 592-595
Alfaro, A. T., F. C. Biluca, C. Marquetti, I. B. Tonial dan N. E. de Souza. 2014.
African Catfish (Clarias gariepinus) Skin Gelatin: Extraction Optimization
and Physical-Chemical Properties. Food Research International, 65(2014):
416-422
Astawan, M., dan T. Aviana. 2003. Pengaruh Jenis Larutan Perendam serta
Metode Pengeringan terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Fungsional Gelatin dari
Kulit Cucut. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 14(1): 7-13
Badan Pusat Statistik. Tabel Impor Menurut Komoditi Tahun 2014.
http://www.bps.go.id /all _newtemplate.php. 03 Desember 2015 (11:50)
Badan Pusat Statistik. Populasi Sapi Potong Menurut Provinsi pada tahun 2009-
2015. http:// www.bps .go.id/linkTableDinamis/view/id/1016. 15 Maret
2016 (13:16)
Bagian Biokimia FKUI. 2001. Biokimia: Eksperimen Laboratorium. Widya
Medika. Jakarta
Bailey, A. J., dan N. D. Light. 1989. Connective Tissue in Meat and Meat
Products. Elsevier Science Publishers, Ltd, 26(4): 6-325
Balti, R., M. Jridi, A. Sila, N. Souissi dan N. N. Arroume. 2010. Extraction and
Functional Properties of Gelatin from The Skin of Cuttlefish (Sepia
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
officinalis) using Smooth Hound Crude Acid Protease-Aided Process. Food
Hydrocolloids, 25(5): 943-950
Bennion M. 1980. The Science of Food. John Wiley & Sons, USA, 314-316
Choi, S. S. dan J. M. Regenstein. 2000. Physicochemical and Sensory
Characteristics of Fish Gelatin. Journal of Food Science, 65(2): 194-199
Cole, C. G. B. 2012. Gelatine Clarity. http://www.gelatin.co.za/Gelatine %20
Clarity ..pdf. 26 Januari 2016 (15:04)
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik secara Spektrofotometri.
Cetakan pertama. Padang. CV. Trianda Anugrah Pratama
Dewati, C. C., dan D. Fulanah. 2012. Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Kakap
Merah. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2015. Mengenal Gelatin, Kegunaan
dan Pembuatannya. http://kesmavet.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/
berita/tulisan-ilmiah-populer/139-mengenal-gelatin-kegunaan-dan
pembuatannya. 03 Desember 2015 (12:06)
Drug Development Devices. 2009. Protein Structure. Particle Sciences. USA
Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Pertama.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Gimenez, B., A. Aleman, P. Montero dan M. C. G. Guillen. 2008. Antioxidant
and Functional Properties of Gelatin Hydrolysates Obtained from Skin of
Sole and Squid. Food Chemistry. 114(2009): 976-983
Glicksman, M. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academy Press.
New York
Gelatin Manufactures Institute of America, 2012. Gelatin Handbook. Gelatin
Manufacturers Institute of America. USA
Hafidz, R. M. R. N., Yaakob, C. M., Amin, I. dan Noorfaizan, A. 2011. Chemical
And Functional Properties Of Bovine And Porcine Skin Gelatin.
International Food Research Journal, 18: 813-817
Haris, M. A. 2008. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) sebagai Gelatin dan Pengaruh Lama Penyimpanan pada Suhu
Ruang. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Idiawati, N., R. Maulida dan L. Arianie. 2014. Pengaruh Konsentrasi Asam
Klorida pada Ekstraksi Gelatin dari Ikan Tulang Tenggiri. Jurnal Sains dan
Teknologi Kimia, 5(1): 1-9
Irwandi, J., Faridayanti, S., Mohamed, E. S. M., Hamzah, M. S., Torla, H. H. dan
Che Man, Y. B. 2009. Extraction and Characterization of Gelatin From
Different Marine Fish Species in Malaysia. International Food Research
Journal, 16: 381-389
Jaswir, I. 2007. Memahami Gelatin. http//www.BeritaIptek.com. 03 Desember
2015 (13:00)
Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmidet, A. Barkia dan M. Nasri. 2011.
Chemical Composition and Characteristics of Skin Gelatin from Grey
Triggerfish (Balistes capriscus). LWT-Food Science and Technology,
44(2011): 1965-1970
Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin dari Tulang Ikan dan
Pemanfaatannya sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul.
Disertasi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.
Bandung
Kamble, R., Shrangdher, S.T., dan Koli, J. M. 2014. Physico-Chemical Properties
Of Gelatin Extracted From Catla Skin (Catla catla) (Hamilton, 1822).
Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences. 4(4): 328-337
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia.
Jakarta
Martianingsih, N. dan L. Atmaja. 2009. Analisis Sifat Kimia, Fisik dan Termal
Gelatin dari Ekstraksi Kulit Ikan Pari (Himantura gerrardi) Melalui Variasi
Jenis Larutan Asam. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Marzuki, A., E. Pakki dan F. Zulfikar. 2011. Ekstraksi dan Penggunaan Gelatin
dari Limbah Tulang Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) sebagai
Emulgator dalam Formulasi Sediaan Emulsi. Majalah Farmasi dan
Farmakologi, 15(2): 63-68
Miskah, S., I. M. Ramadianti dan A. F. Hanif. 2010. Pengaruh Konsentrasi
CH3COOH dan HCl sebagai Pelarut dan Waktu Perendaman pada
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembuatan Gelatin Berbahan Baku Tulang/Kulit Kaki Ayam. Jurnal Teknik
Kimia, 17(1): 1-6
Molnes, S. N. 2013. Physical Properties of Gelatin Based Solid Emulsions:
Effects on Drug Release in The GI Tract. Norwegian University of Science
and Technology
Mulja, M. Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University Press.
Surabaya
Ngili, Y. 2013. Protein dan Enzim. Rekayasa Sains. Bandung
Nhari, R. M. H. R., A. Ismail dan Y. B. C. Man. 2012. Analytical Methods for
Gelatin Differentiation from Bovine and Porcine Origins and Food Products.
Journal of Food Science, 71(1): 42-46
Perwitasari, D. S. 2008. Hidrolisis Tulang Sapi Menggunakan HCl untuk
Pembuatan Gelatin. Makalah Seminar Nasional Soebardjo Brotohardjono:
1978-0427
Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia (UI-Press).
Jakarta
Ratnasari, I., Yuwono, S. S., Nusyam, H., dan Widjanarko, S. B. 2013. Extraction
and Characterization of Gelatin From Different Fresh Water Fishes as
Alternative Sources of Gelatin. International Food Research Journal, 20(6):
3085-3091
Razali, A. N., Amin, A.M. dan Sarbon, N. M. 2014. Antioxidant Activity ang
Functional Properties of Fractionated Cobia Skin Gelatin Hydrolisate at
Different Molecular Weight. International Food Research Journal, 22(2):
651-660
Rowe, R. C., P. J. Sheskey dan M. E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Sixth Edition. Pharmaceutical Press and American Pharmacists
Association. USA
Sahilah, A.M., Mohd, F. L., Norrakiah, A. S., Aminah, A., Wan, A. W. M.,
Ma’ruf, A. G. dan Mohd, K. A. 2012. Halal Market Surveillance of Soft and
Hard Gel Capsules in Pharmaceutical Products using PCR and Southern-
Hybridization on the Biochip Analysis. International Food and Research
Journal, 19(1): 371-375
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Said, M. I., S. Triatmojo, Y. Erwanto dan A. Fudholi. 2014. Pengaruh
Perendaman Kulit dalam Larutan Asam Asetat Terhadap Sifat-Sifat Gelatin
Berbahan Baku Kulit Kambing Bligon. Jurusan Produksi Ternak Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin, 3(2): 119-128
Schrieber, R., dan H. Gareis. 2007. Gelatine Handbook: Theory and Industrial
Practice.WILEY-VCH Verlag GmbH & Co.KgaA. German
See, 2010. Physicochemical Properties of Gelatins Extracted From Skins of
Different Freshwater Fish Species. International Food Research Journal,
17: 809-816
Setiawati, I. H. 2009. Karakterisasi Mutu Fisika Kimia Gelatin Kulit Ikan Kakap
Merah (Lutjanus sp.) Hasil Proses Perlakuan Asam. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor
Shyni, K., G. S. Hema, G. Ninan, S. Mathew, C. G. Joshy dan P. T. Lakshmanan.
2013. Isolation And Characterization Of Gelatin From The Skins Of
Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis), Dog Shark (Scoliodon sorrakowah),
And Rohu (Labeo rohita). Food Hydrocolloids, 39(2014): 68-76
Singh, S., K. V. R. Rao, K. Venugopal, dan R. Manikandan. 2002. Alteration in
Dissolution Characteristics of Gelatin-Containing Formulations: A Review
of the Problem, Test Methods and Solutions. Pharmaceutical Technology:
36-43
Syafiqoh, F. 2014. Analisis Gelatin Sapi dan Gelatin Babi pada Produk Cangkang
Kapsul Keras Obat dan Vitamin Menggunakan FTIR dan KCKT. Skripsi.
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Tazwir, D. L. A. dan R. Peranginangin. 2007. Optimasi Pembuatan Gelatin dari
Tulang Ikan Kaci-Kaci (Plectorhynchus chaetodonoides Lac.)
Menggunakan Berbagai Konsentrasi Asam dan Waktu Ekstraksi. Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 2(1): 35-43
Ulfah, M. 2011. Pengaruh Konsentrasi Larutan Asam Asetat dan Lama Waktu
Perendaman terhadap Sifat-Sifat Gelatin Ceker Ayam. Agritech, 31(3): 161-
167
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ward,A.G. dan Court. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic
Press. New York
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Wong, D. W. S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Academic
Press. New York
Yang, H., Y. Wang, P. Zhou, J. M. Regenstein. 2008. Effects of Alkaline and
Acid Pretreatment on The Physical Properties and Nanostructures of The
Gelatin from Channel Catfish Skins. Food Hydrocolloids, 22(8):1541-1550
Zhang, G., T. Liu, Q. Wang, L. Chen, J. Luo, G. Ma, Z. Su. 2009. Mass
Spectrometric Detection of Marker Peptides in Tryptic Digests of Gelatin: A
New Method to Differentiate Between Bovine and Porcine Gelatin. Food
Hydrocolloids, 23(2009): 2001-2007
Zhou, P. dan J. M. Regenstein. 2005. Effects of Alkaline and Acid Pretreatment
on Alaska Pollock Skin Gelatin Extraction. Journal of Food Science, 70(6):
C392-C396
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Kerangka Penelitian
Keterangan:
Produk
Proses
Kulit sapi
Preparasi
Ekstraksi
Lembaran gelatin
Karakterisasi
Analisis hasil
Kesimpulan
Rendemen Sifat emulsifikasi Hidroksiprolin
pH Kejernihan Daya serap air
Viskositas Kadar air Daya serap lemak
Sifat busa Kadar abu
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Gelatin Kulit Sapi
Sampel Perhitungan Rendemen (%)
A
B
C
D
Rata-rata 4,475
SD 1,120
Lampiran 3. Nilai pH Gelatin Kulit Sapi
Sampel Bobot sampel (g) pH
A 0.1008 5.578
B 0.1005 5.52
C 0.1007 5.579
Rata-rata 5.559
SD 0.034
Lampiran 4. Nilai pH Gelatin Sapi Komersial
Sampel pH
A 6.313
B 6.288
C 6.332
Rata-rata 6.311
SD 0.022
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Analisis Statistik Nilai pH Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
pH 10.465 1 .061 3.935000 -.84253 8.71253
Hasil statistik pH gelatin menggunakan metode T-Test
Lampiran 6. Nilai Viskositas Gelatin Kulit Sapi dan Gelatin Sapi Komersial
Kecepatan
(rpm)
Viskositas gelatin kulit
sapi (cPs)
Viskositas gelatin komersial
(cPs)
0,5 160 40
1 120 100
2 80 90
2,5 80 80
5 64 80
10 60 72
20 80 75
20 80 75
10 60 76
5 68 80
2,5 80 80
2 80 100
1 100 100
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Data dan Perhitungan Tinggi dan Stabilitas Busa Gelatin Kulit Sapi
Sampel Volume awal
(ml)
Menit ke-0
(ml)
Menit ke-10
(ml)
Menit ke-30
(ml)
Menit ke 60
(ml)
A 50 138 134 130 128
B 50 137 134 130 128
C 50 140 136 130 124
Sampel % TB
(0 menit)
% SB
(10 menit)
% SB
(30 menit)
% SB
(60 menit)
A
B
C
Rata-rata 176,667 169,333 160 153,333
SD 3,055 2,309 0 4,619
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data dan Perhitungan Tinggi dan Stabilitas Busa Gelatin Sapi
Komersial
Sampel Volume awal
(ml)
Menit ke-0
(ml)
Menit ke-10
(ml)
Menit ke-30
(ml)
Menit ke 60
(ml)
A 50 140 134 130 128
B 50 148 142 136 130
C 50 148 142 138 130
Sampel % TB
(0 menit)
% SB
(10 menit)
% SB
(30 menit)
% SB
(60 menit)
A
B
C
Rata-rata 190,667 178,667 169,333 158,667
SD 9,238 9,238 8,327 2,309
Lampiran 9. Analisis Statistik Uji Sifat Busa Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Menit_ke_0 25.952 1 .025 181.667000 92.72357 270.61043
Menit_ke_1
0 36.855 1 .017 172.000000 112.70014 231.29986
Menit_ke_3
0 34.858 1 .018 162.666500 103.37300 221.96000
Hasil statistik tinggi busa dan stabilitas busa pada menit ke-10, 30 dan 60
menggunakan metode T-Test
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Data dan Perhitungan Indeks Aktivitas Emulsi dan Indeks Stabilitas
Emulsi Gelatin Kulit Sapi
Sampel IAE (m2/g) ISE (menit)
A
B
C
Rata-rata 426,720 21,336
SD 131,002 4,053
Lampiran 11. Data dan Perhitungan Indeks Aktivitas Emulsi dan Indeks Stabilitas
Emulsi Gelatin Sapi Komersial
Sampel IAE (m2/g) ISE (menit)
A
B
C
Rata-rata 304,661 20,001
SD 6,478 1,912
Lampiran 12. Analisis Statistik Indeks Aktivitas Emulsi dan Indeks Stabilitas
Emulsi Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
IAE 5.959 1 .106 363.690500 -411.76282 1139.14382
ISE 27.968 1 .023 18.668500 10.18711 27.14989
Hasil statistik indeks aktivitas emulsi dan indeks stabilitas emulsi gelatin 1%
menggunakan metode T-Test
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Kurva Panjang Gelombang Maksimum Hidroksiprolin
Lampiran 14. Kurva Kalibrasi Hidroksiprolin
y = 0,0304x + 0,0007
R² = 0,9992
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 5 10 15 20
ab
sorb
an
si
konsentrasi (ppm)
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Perhitungan Kandungan Hidroksiprolin Gelatin Kulit Sapi
Sampel Absorbansi Konsentrasi (ppm) Kandungan Hidroksiprolin (mg)
A 0,500 16,424
B 0,587 19,296
C 0,500 16,424
Rata-rata 4,345
SD 0,414
Lampiran 16. Perhitungan Kandungan Hidroksiprolin Gelatin Sapi Komersial
Sampel Absorbansi Konsentrasi (ppm) Kandungan Hidroksiprolin (mg)
A 0,248 8,124
B 0,281 9,220
C 0,24 7,872
Rata-rata 2,101
SD 0,179
Lampiran 17. Analisis Statistik Konsentrasi Hidroksiprolin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Kandunga
n_Hidroks
iprolin
1.090 1 .473 1.223000 -13.03336 15.47936
Hasil statistik konsentrasi hidroksiprolin menggunakan metode T-Test
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Hasil Kejernihan Gelatin Kulit Sapi
Sampel % Transmittan
A 51,800
B 50,767
C 49,300
Rata-rata 50,622
SD 1,256
Lampiran 19. Hasil Kejernihan Gelatin Sapi Komersial
Sampel % Transmittan
A 70,500
B 71,300
C 71,300
Rata-rata 71,033
SD 0,462
Lampiran 20. Analisis Statistik Kejernihan Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Kejernihan 5.771 1 .109 58.812500 -70.67008 188.29508
Hasil statistik kejernihan gelatin menggunakan metode T-Test
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Perhitungan Kadar Air Gelatin Kulit Sapi
% Kadar air = -
x 100%
= -
x 100%
=
x 100%
= 4,3043%
Keterangan : W1 = bobot (sampel + cawan) sebelum dikeringkan
W2 = bobot (sampel + cawan) setelah dikeringkan
Lampiran 22. Perhitungan Kadar Abu Gelatin Kulit Sapi
% Kadar abu =
x 100%
= -
x 100%
=
x 100%
= 0,3637%
Lampiran 23. Hasil Daya Serap Air Gelatin Kulit Sapi
Sampel Daya serap air (ml/g)
A 0,800
B 0,799
C 1,799
Rata-rata 1,132
SD 0,577
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Hasil Daya Serap Air Gelatin Sapi Komersial
Sampel Daya serap air (ml/g)
A 2,199
B 2,798
C 2,799
Rata-rata 2,599
SD 0,346
Lampiran 25. Analisis Statistik Daya Serap Air Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df
Sig. (2-
tailed) Mean Difference
95% Confidence Interval of
the Difference
Lower Upper
Daya_serap_
air -.183 1 .885 -.134500 -9.45450 9.18550
Hasil statistik daya serap air menggunakan metode T-Test
Lampiran 26. Hasil Daya Serap Lemak Gelatin Kulit Sapi
Sampel Daya serap lemak (ml/g)
A 1,400
B 1,399
C 0,597
Rata-rata 1,132
SD 0,463
Lampiran 27. Hasil Daya Serap Lemak Gelatin Sapi Komersial
Sampel Daya serap lemak (ml/g)
A 1,400
B 1,200
C 1,200
Rata-rata 1,266
SD 0,116
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 28. Analisi Statistik Daya Serap Lemak Gelatin Menggunakan SPSS
One-Sample Test
Test Value = 2
t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Daya_serap_lem
ak
-
11.95
5
1 .053 -.801000 -1.65232 .05032
Hasil statistik uji daya serap lemak gelatin menggunakan metode T-Test
Lampiran 29. Rumus-rumus
Uji Formula
Rendemen (%)
Tinggi busa (%)
Stabilitas busa (%)
Indeks aktivitas emulsi (m2/g)
Indeks stabilitas emulsi (menit)
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Daya serap air (ml/g) ( )
Daya serap lemak (ml/g) ( )