ellita skripsi elita

61
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak usia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (WHO, 2003) Depkes RI (2000) dalam Asrun (2006) menyatakan bahwa World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang angka kematian balita karena ISPA di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%- 20% pertahun pada golongan usia balita. Di Indonesia ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian bayi dan Balita. Dari data Depkes RI (2003), ISPA menempati urutan pertama dari 10 penyebab penyakit utama di Rumah Sakit Indonesia yaitu sebanyak 8,5%. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Tercatat sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30 % kunjungan berobat di bagian rawat jalan serta rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA (Susanto, 2009). Penderita ISPA pada balita di Provinsi Aceh, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, berturutturut adalah 13,5 %, 15,3 %, 7,58 %. Penderita ISPA pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 450 jiwa. Bila

Upload: riska-apriliana

Post on 24-Nov-2015

110 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

    penyebab kematian utama pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini

    menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak usia dibawah 5

    tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah

    bayi (WHO, 2003)

    Depkes RI (2000) dalam Asrun (2006) menyatakan bahwa World

    Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang angka

    kematian balita karena ISPA di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-

    20% pertahun pada golongan usia balita.

    Di Indonesia ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab

    kematian bayi dan Balita. Dari data Depkes RI (2003), ISPA menempati

    urutan pertama dari 10 penyebab penyakit utama di Rumah Sakit Indonesia

    yaitu sebanyak 8,5%. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab utama

    kunjungan pasien di sarana kesehatan. Tercatat sebanyak 40% - 60%

    kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30 % kunjungan berobat di bagian

    rawat jalan serta rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA (Susanto,

    2009).

    Penderita ISPA pada balita di Provinsi Aceh, sejak tahun 2006 sampai

    dengan tahun 2008, berturutturut adalah 13,5 %, 15,3 %, 7,58 %. Penderita

    ISPA pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 450 jiwa. Bila

  • 2

    dilihat pencapaian target penemuan penderita ISPA pada Balita baru mencapai

    7,58 % dari jumlah 41.780 target penderita (Profil Kesehatan Provinsi Aceh,

    2009).

    Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA yang dapat

    meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA, antara lain

    jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai,

    polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi

    vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir

    rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan

    kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat

    dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Syair, 2009).

    Memiliki anak yang sehat, kuat dan cerdas adalah dambaan setiap

    orang tua. Kunci untuk mendapatkan anak yang sehat adalah pemberian ASI

    selama 2 tahun, termasuk pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan. ASI

    merupakan makanan bayi yang tidak dapat digantikan oleh apapun, bahkan

    oleh susu formula yang paling hebat dan mahal sekalipun, karena kandungan

    gizinya yang tinggi. Meskipun ASI sudah terbukti memiliki banyak manfaat

    bagi anak dan keluarga, namun pemberian ASI masih kurang diperhatikan

    (Roesli Utami, 2000)

    Depkes RI (2009) dalam Agussalim (2011) menyatakan bahwa

    Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan

    kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi

    tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian,

  • 3

    udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan, terpapar polusi udara

    oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain.

    Menurut hasil penelitian Agussalim (2011) , menyatakan bahwa

    dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan dapat menjaga dan

    meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam pencegahan penyakit

    ISPA.

    Lebih lanjut menurut Notoatmodjo (2003), menyatakan pengetahuan

    kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah

    (intermadiate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku

    kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan

    masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.

    Pada tahun 2011 penderita ISPA di provinsi Aceh mencapai 43.628

    kasus, data dari Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh didapat

    data jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai bulan Desember 2012

    diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 1812 jiwa (66,06%) dari 2743 jiwa total

    seluruh kunjungan di Poli Anak. Dari total kunjungan ISPA tersebut 86,2%

    (1562 jiwa) adalah Balita dan terdapat 74,8% (1169 jiwa) yang berusia 2-5

    tahun. Jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai dengan April 2013

    diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 593 jiwa (68,7%) dari total seluruh

    kunjungan di poli anak sebanyak 862 jiwa, dari total kunjungan ISPA tersebut

    terdapat 371 jiwa (62,5%) balita dan terdapat 256 jiwa (69%) yang berusia 2-

    5 tahun.

  • 4

    Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Juli

    2013 di ruang poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh

    dari 17 ibu yang membawa anaknya untuk berobat, 7 diantaranya masih

    kurang memahami tentang penyakit ISPA, ibu-ibu tersebut masih menganggap

    bahwa ISPA adalah penyakit yang biasa dan lazim diderita oleh anak balita,6

    ibu diantaranya tidak memberikan ASI sampai usia anak mencapai 2 tahun

    dikarenakan faktor pekerjaan diluar rumah dan ASI mereka sedikit sehingga

    harus ditambah dengan susu formula serta kurang memahami cara menyusui

    yang benar

    Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian lebih

    lanjut tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan Pemberian ASI dengan

    kejadian ISPA pada balita di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah

    Aceh Tahun 2013.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah

    dalam penelitian ini adalah "Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu dan

    pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah

    Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013?"

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dan

    pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah

    Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.

  • 5

    2. Tujuan Khusus

    a. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

    ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013.

    b. Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA

    pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013.

    D. Manfaat Penelitian

    1. Bagi Tempat Penelitian

    Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan gambaran kepada

    petugas tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI

    dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun.

    2. Pendidikan Kebidanan

    Sebagai referensi, sumber bahan bacaan dan bahan pengajaran terutama

    yang berkaitan dengan hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian

    ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun

    3. Bagi peneliti

    Merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam

    mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan

    pengetahuan dalam hal cara-cara menyusun Skripsi.

  • 6

    4. Bagi Responden

    Diharapkan dapat memberikan informasi bagi ibu-ibu mengenai

    pengetahuan tentang penyakit ISPA dan pentingnya pemberian ASI

    sampai usia 2 tahun.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang ISPA

    1. Definisi ISPA

    ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

    Penyakit ini menyerang salah satu atau lebih dari saluran pernafasan

    mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk

    jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura

    (Depkes RI, 2001). Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai

    dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut

    meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA,

    proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Syair, 2009).

    Depkes RI (2002) menyebutkan ISPA adalah penyakit infeksi

    saluran pernapasan yang bersifat akut dengan adanya batuk, pilek, serak,

    demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas,

    yang berlangsung sampai 14 hari.

    Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan kriteria objektif :

    a. Menderita : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih

    pada catatan medis menunjukkan balita menderita ISPA.

    b. Tidak menderita : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih

    pada catatan medis menunjukkan balita tidak menderita ISPA.

  • 8

    2. Klasifikasi penyakit

    Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua

    kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai

    kurang dari 5 tahun (Depkes, 2002).

    Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan

    atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada

    bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai

    kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis

    pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing)

    dimana frekuensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya

    tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest

    indrawing) (Depkes, 2002).

    Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi

    tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup

    kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan

    adanya gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak ditemukan tarikan

    dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002).

    Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan ini dilakukan setelah

    penilaian tanda dan gejala yang diklasifikasi berdasarkan kelompok

    keluhan atau tingkat kegawatan (Hidayat, 2008).

  • 9

    Klasifikasi Pneumonia ini menutut Hidayat (2008) dapat

    dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

    a. Pneumonia berat, apabila ada tanda bahaya umum, tarikan dinding

    dada ke dalam, dan adanya stirdor (ngorok), mengi berat. Tanda

    bahaya penyakit yang sangat berat: tidak dapat minum, kejang, rasa

    kantuk yang tidak wajar atau sulit untuk bangun dan kurang gizi

    berat.

    b. Adanya Pneumonia apabila ditemukan pada frekuensi nafas yang

    sangat cepat (50 kali per menit atau lebih jika anak berusia 2 tahun

    hingga 12 bulan; 40 kali per menit jika anak berusia 1 hingga 5

    tahun) dan tanpa penarikan dada

    c. Klasifikasi batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada Pneumonia,

    tanpa tarikan nafas, tidak ada nafas cepat dan hanya keluhan batuk

    3. Tanda dan Gejala

    Menurut Depkes RI (2007) menyatakan begitu virus muncul dam

    berkembang biak, anak akan mengalami beberapa gejala dan tanda yang

    mudah dikenali:

    a. Hidung ingusan (pertama kali ingusnya jernih, kemudian kental dan

    sedikit berwarna).

    b. Bersin-bersin.

    c. Demam ringan (38,3 38,9 C), khususnya pada malam hari.

    d. Penurunan nafsu makan.

  • 10

    e. Mata merah

    f. Nyeri tenggorok dan mungkin sulit menelan.

    g. Batuk.

    h. Peka rangsang yang hilang timbul.

    i. Pembesaran kelenjar yang ringan.

    Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang

    kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang

    lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang,

    kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita

    adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan.

    Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih

    tinggi pada balita di negara berkembang (Dinkes, 2009).

    Batuk pada anak biasanya menunjukkan ISPA dan kadang-kadang

    penyakit paru. Sebagian besar penyakit pada anak-anak adalah infeksi,

    sebagian besar infeksi virus. ISPA digunakan untuk mendeskripsikan flu.

    Gejalanya adalah batuk, anoreksia dan demam. Pada bayi obstruksi hidung

    dapat menyebabkan sulit makan. Penyakit ini dapat mencetus kejang

    demam dan serangan asma dan kadang merupakan prekursor demam

    spesifik akut terutama campak atau Bronkiolitis (Roesli, 2000).

    Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3

    bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam tanpa adanya infeksi

    intrakranial atau penyebab yang jelas (Roesli, 2000).

  • 11

    Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2

    ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah

    balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai

    adanya peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur

    (Depkes, 2002).

    Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan ada beberapa

    tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan

    sebagai tanda bahaya :

    1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak

    bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing

    (bunyi napas), demam.

    2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun

    yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok)

    4. Penyebab Terjadinya ISPA

    Pilek/Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dapat disebabkan

    oleh virus, yaitu substansi sangat kecil penyebab infeksi (lebih kecil dari

    bakteri). Bersin atau batuk dapat menularkan virus secara langsung dari

    orang yang satu ke yang lainnya (Behrman et al, 2000)

    Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia,

    diantaranya bakteri Stavilococcus dan Streptococcus serta virus Influenza

    dan Sinsitialvirus yang akan masuk dan menempel pada saluran

    pernafasan atas, sehingga terjadi peradangan yang disertai demam. Infeksi

  • 12

    dapat menjalar ke paruparu dan menyebabkan pernafasan terhambat,

    kekurangan oksigen yang dihirup, sehingga menyebabkan kejang, bahkan

    jika tidak segera mendapat pertolongan akan menyebabkan kematian

    (Avicenna, 2009).

    Menurut Depkes RI (2002) Virus juga dapat menyebar secara tidak

    langsung, dengan cara sebagai berikut:

    a. Seorang anak yang terinfeksi virus akan batuk-batuk, bersin, atau

    memegang-megang hidungnya, memindahkan beberapa partikel virus

    ke tangannya.

    b. Kemudian dia akan menyentuhkan tangannya pada anak yang sehat.

    c. Anak yang sehat ini menempelkan tangannya yang baru terkontaminasi

    ke hidungnya sendiri, sehingga kuman menetap disana dan tumbuh

    serta berkembang biak pada hidung atau tenggorok. Ini akan

    menyebabkan munculnya gejala pilek.

    d. Siklus ini kemudian berulang dengan sendirinya, dengan cara virus

    berpindah dari anak yang baru saja terinfeksi ke anak yang rentan dan

    seterusnya .

    5. Faktor Risiko ISPA

    Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar

    (2007), berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA

    adalah:

    a. jenis kelamin laki-laki

  • 13

    b. umur di bawah 2 bulan

    c. tidak mendapat ASI memadai

    d. polusi udara

    e. kepadatan tempat tinggal

    f. imunisasi tidak memadai

    g. defisiensi vitamin A

    h. tingkat sosial ekonomi rendah

    i. gizi kurang

    j. berat badan lahir rendah

    k. tingkat pengetahuan ibu rendah

    l. tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, menderita penyakit

    kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian

    pengobatan yang salah

    6. Penatalaksanaan Penderita ISPA

    Menurut Depkes RI (2007) Kriteria yang digunakan untuk pola

    tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan gejala batuk

    dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri

    dari 4 bagian yaitu :

    a. Pemeriksaan

    Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada

    penderita.

    b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

  • 14

    Anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau petugas kesehatan

    terlatih jika ada tanda-tanda berikut:

    1) Anak bernafas lebih cepat dari biasanya.

    (a) Untuk anak berumur kurang dari 2 bulan: 60 kali per menit

    atau lebih.

    (b) Untuk anak umur 2 - 12 bulan: 50 kali per menit atau lebih.

    (c) Untuk anak umur 12 bulan sampai 5 tahun: 40 kali per menit

    atau lebih.

    2) Anak mengalami kesulitan bernafas atau sesak nafas.

    3) Dada bagian bawah tertarik ke dalam pada waktu anak menarik

    nafas atau tampak pada gerakan perut naik turun.

    4) Anak terserang batuk selama lebih dari dua minggu.

    5) Anak tidak dapat menyusu atau minum.

    6) Anak sering muntah-muntah

    c. Tindakan dan Pengobatan

    Anak-anak yang batuk, pilek, ingusan atau sakit tenggorokan

    yang nafasnya normal dapat dirawat di rumah dan mungkin sembuh

    tanpa obat. Mereka harus dijaga agar tetap hangat tetapi tidak

    berlebihan dan diberi makan dan minum yang banyak. Jika anak

    demam tinggi sebaiknya dikompres dengan air yang tidak terlalu

    dingin. Obat-obatan hanya diberikan atas petunjuk dokter atau petugas

    kesehatan (WHO. 2003)

  • 15

    Hidung anak yang pilek atau batuk harus sering dibersihkan,

    terutama sebelum anak makan atau tidur. Udara yang lembab

    memudahkan pernafasan dan akan sangat membantu bila anak tersebut

    menghirup hawa dari semangkuk air hangat (WHO. 2003)

    Anak yang masih menyusu dan terkena batuk atau pilek harus

    tetap diberi ASI. Pemberian ASI membantu memerangi penyakit yang

    penting bagi pertumbuhan anak. Jika anak tidak dapat menyusu, maka

    ASI diperas kedalam mangkuk yang bersih untuk disuapkan kepada

    anak (WHO. 2003)

    Anak-anak yang tidak diberi ASI harus sering diberi makan

    atau minum sedikit demi sedikit. Jika sudah sembuh, anak tersebut

    harus tetap diberi makanan tambahan setiap hari sekurang-kurangnya

    dalam seminggu. Anak belum dianggap pulih sebelum berat badannya

    kembali sama seperti sebelum sakit. Batuk dan pilek mudah menular.

    Orang yang sedang menderita batuk atau pilek harus menjauhkan diri

    dari anak-anak (WHO. 2003)

    Vitamin A membantu melindungi anak terhadap serangan

    batuk, pilek dan penyakit saluran pernafasan lainnya serta dapat

    mempercepat penyembuhan. Vitamin A terdapat pada ASI, hati,

    minyak kelapa, ikan, susu, telur, jeruk dan buah-buahan berwarna

    kuning, serta sayur-sayuran berwarna hijau. Suplemen vitamin A dapat

    juga diminta di Puskesmas. Paracetamol akan membantu menurunkan

    demam dan menghilangkan rasa tidak nyaman (Roesli 2000).

  • 16

    Pada umumnya batuk-batuk, pilek, sakit tenggorokan dan

    ingusan sembuh tanpa diobati. Tetapi kadang-kadang penyakit tersebut

    pertanda Pneumonia yang memerlukan antibiotik. Pemberian obat

    antibiotik pada anak yang menderita pnemonia harus sesuai dengan

    petunjuk dokter atau petugas kesehatan. Antibiotik harus diberikan

    sampai habis pada anak (Afrida, 2007).

    Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa

    pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi

    antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5

    tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di

    rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari

    atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam

    dan yang ada (Syair, 2009).

    Menurut WHO (2003) Perawatan di rumah terhadap anak yang

    menderita infeksi saluran pernafasan akut, meliputi :

    1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah

    jumlahnya setelah sembuh untuk menggantikan penurunan berat

    badan selama sakit. Melanjutkan pemberian makan akan membantu

    mencegah terjadinya kekurangan gizi. Hilangnya nafsu makan

    sering terjadi selama infeksi pernafasan akut. Usahakan agar makan

    sedikit dan sering. Jika anak menderita demam, menurunkan suhu

    tubuhnya dapat membantu anak untuk makan. Idealnya, makanan

  • 17

    yang diberikan selama infeksi pernafasan akut sebaiknya memiliki

    kandungan gizi dalam jumlah banyak dan kalori yang relatif besar.

    2) Bersihkan hidung tersumbat oleh mukus yang kering atau tebal,

    teteskan air bergaram ke dalam hidung atau gunakan lintingan kapas

    basah untuk membantu melunakkan mukus. Nasihati ibu untuk tidak

    membeli obat tetes hidung, hal ini dapat membahayakan.

    3) Anak yang mengalami infeksi pernafasan kehilangan cairan lebih

    banyak dari pada biasanya, khususnya jika mengalami demam.

    Doronglah anak untuk mendapatkan cairan tambahan yang akan

    membantu mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian cairan dengan

    minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.

    4) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan

    sederhana, seperti teh dengan gula dan sirup batuk buatan sendiri.

    Selanjutnya menurut WHO (2003) Anjuran terpenting pada

    perawatan dirumah adalah perhatikan tanda-tanda berikut dan

    membawa anak kembali segera kepetugas kesehatan apabila:

    a) Bernafas menjadi sulit

    b) Pernafasan menjadi cepat

    c) Anak tidak dapat minum

    d) Kondisi anak memburuk

    Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang

    terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana

  • 18

    rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun

    demam dan wheezing yang ada.

    Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali

    dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik,

    pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak

    berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana

    rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera dikirim ke

    sarana rujukan.

    Banyak anak yang terkena pnemonia meninggal karena

    orang tua atau ibu tidak sadar akan seriusnya penyakit tersebut dan

    penderita harus segera dibawa ke Puskesmas. Kematian anak

    karena pnemonia dapat dicegah jika:

    a) Orang tua dan pengasuh anak memahami bahwa nafas yang

    terengah-engah dan sesak adalah tanda bahaya dan perlu

    seegera meminta pertolongan petugas kesehatan.

    b) Orang tua dan pengasuh anak harus tahu kemana meminta

    pertolongan.

    c) Pelayanan kesehatan dan antibiotik yang harganya terjangkau

    selalu tersedia

    Selanjutnya WHO (2003) juga menyebutkan Pengobatan

    dikelompokkan menjadi:

    1. Pnemonia berat

    a. Rujuk segera kerumah sakit

  • 19

    b. Berikan antibiotik dosis awal

    c. Obati demam jika ada

    d. Obati mengi jika ada, (jika rujukan tidak memungkinkan,

    obati dengan antibiotik dan pantau dengan ketat

    2. Pnemonia

    a. Obati ibu untuk memberi perawatan di rumah

    b. Berikan antibiotik

    c. Obati demam dan mengi jika ada

    d. Nasihati ibu agar kembali dalam 2 hari untuk penilaian

    ulang atau kembali lebih awal jika kondisi anak memburuk

    3. Bukan pnemonia; batuk atau pilek

    a. Jika batuk lebih dari 30 hari rujuklah untuk dilakukan

    penilaian

    b. Nilai dan obati masalah telinga atau nyeri tenggorokan,

    mengi dan demam jika ada

    d. Pencegahan ISPA

    Arifin (2009), dalam artikelnya menyebutkan keadaan gizi dan

    keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan

    ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA

    adalah:

    1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik

    (a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah

    makanan yang paling baik untuk bayi.

  • 20

    (b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.

    (c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup

    yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat,

    lemak, vitamin dan mineral.

    (d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal.

    Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu,

    karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau

    minyak sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran,dan

    buah-buahan.

    (e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk

    mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan

    perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat

    pertumbuhan

    2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi

    Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak

    perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002).

    Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah

    penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran

    nafas

    3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

    Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama

    bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak

    mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit.

  • 21

    Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah

    sehat, desa sehat dan lingkungan sehat

    4) Pengobatan segera

    Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua

    tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit

    pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang

    mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan

    makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus

    segera dibawa ke dokter

    Jika bayi anda berusia dibawah tiga bulan, pencegahan

    terbaik terhadap ISPA adalah menjaganyan jauh dari orangorang

    yang sedang ISPA. Hal ini khususnya berlaku selama musim

    hujan, di saat banyak virus yang menyebabkan ISPA bersikulasi

    dalam jumlah besar. Virus yang menyebabkan penyakit ringan

    pada anak yang lebih besar atau orang dewasa dapat menyebabkan

    penyakit serius pada seorang bayi (Afrida, 2007)

    Jika anak dalam penitipan harian dan sedang menderita

    ISPA, anjurkan pada guru-gurunya untuk menjauhkan anak sebisa

    mungkin dari anak-anak lain sampai gejalanya menghilang. Hal ini

    akan mencegah anak menularkan infeksi ke yang lain sama seperti

    jika anak akan berkontak dengan anak-anak yang menderita ISPA

    dan orang tua dapat menjauhkannnya dari mereka (Afrida, 2007)

  • 22

    B. Tinjauan tentang pengetahuan

    Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

    orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi

    melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

    penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh

    melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

    Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil

    penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan

    (beliefe), takhayul (superstitions) dan penerangan-penerangan yang keliru

    (misinformations) (Soekanto, 2003).

    Sedangkan menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2004) Pengetahuan

    merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia.

    Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan penginderaan

    manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang

    dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya).

    Mubarak (2007) mengungkapkan pengetahuan adalah merupakan hasil

    mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah

    dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang

    melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu.

    Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara

    sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu

    dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu pengetahuan adalah

    lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan (Soekanto, 2003).

  • 23

    Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

    untuk terbentuknya tindakan seseorang. Notoatmodjo (2003), mengungkapkan

    bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam

    diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:

    a. Awarenes (Kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

    mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

    b. Interest (Merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu, di sini

    sikap subjek sudah mulai timbul.

    c. Evaluation (Menimbang-nimbang) terhadap baik buruknya stimulus

    terhadap bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik

    sekali.

    d. Trial (Mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu

    sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

    e. Adoption (Adopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

    pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

    Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang

    didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang

    tidak didasari oleh pengetahuan.

    Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

    angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek

    penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui

    atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.

    (Notoatmodjo, 2007).

  • 24

    Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan

    seperangkat alat tes/kuesioner tentang object pengetahuan yang mau

    diukur, selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban benar dari

    masing-masing pertanyaan diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai 0

    (Notoatmodjo, 2007).

    Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam

    domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu :

    a. Tahu (know)

    Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

    dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini

    adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh

    bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

    itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata

    kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari

    antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan

    dan sebagainya.

    b. Memahami (comprehension)

    Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

    menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

    menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

    paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

    menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

    terhadap objek yang dipelajari.

  • 25

    c. Aplikasi (application)

    Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

    materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

    Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan

    hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks

    atau situasi yang lain.

    d. Analisis (analysis)

    Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

    atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

    satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

    Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

    seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

    memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

    e. Sintesis (synthesis)

    Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

    atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

    keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

    kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi

    yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat

    meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori

    atau rumusan-rumusan yang telah ada.

  • 26

    f. Evaluasi (evaluation)

    Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

    justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

    penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,

    atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada

    C. Tinjauan tentang ASI

    Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan tunggal paling

    sempurna bagi bayi hingga berusia 6 bulan. ASI cukup mengandung seluruh

    zat gizi yang di butuhkan bayi. Selain itu, secara alamiah ASI dibekali enzim

    pencernaan bayi usia mudah mencerna dan menyerap gizi ASI. Dilain pihak,

    sistem pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim pencernaan

    makanan (Arief, 2009).

    Menyusui merupakan kewajiban bagi setiap ibu yang telah melahirkan

    bayi. Menyusui juga merupakan wujud kasih sayang yang diberikan seorang

    ibu kepada bayinya. Dengan menyusui berarti ibu sudah memberikan hal yang

    sangat berharga kepada bayinya karena ASI adalah satu-satunya makanan

    yang dibutuhkan oleh si kecil dan ASI merupakan makanan pertama, utama

    dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah (Moody, 2006).

    Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan

    kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit

    alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan lebih jarang

    sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI.

  • 27

    Meskipun khasiat ASI begitu besar dalam hal menurunkan mortalitas

    dan morbiditas bayi, namun tidak banyak ibu yang mau atau bersedia

    memberikan ASI. Seperti masa modern saat ini, sebagian ibu muda merasa

    enggan menyusui anaknya, sebenarnya gejala tersebut sudah membudaya

    sekian lama, terutama dikota-kota besar. Semula hal itu dilakukan oleh para

    ibu muda di Eropa dan Amerika pada awal abad ke 20. Tindakan ini

    menyebabkan anak mudah terserang penyakit, karena daya tahan tubuhnya

    lemah. Sedangkan para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat

    jika bayi hanya diberi ASI saja selama enam bulan pertama kehidupan yang

    didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup,

    pertumbuhan dan perkembangan bayi. (Roesli, 2000).

    Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah

    untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen dengan jumlah

    yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya

    tahan tubuh bayi.

    Menurut Arief (2009), ASI memiliki keunggulan dari beberapa aspek,

    diantaranya aspek imonologi, yaitu:

    1. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih, dan bebas kontaminasi.

    2. Imunologlobin A (IgA) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi.

    Sekretori IgA tidak diserap, tetapi dapat melumpuh bakteri patongen

    Ecoli dan berbagai virus pada saluran pencernaan.

    3. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan

    yang mengikat zat besi disaluaran pencernaan.

  • 28

    4. Lysosim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (Ecoli dan

    Salmonela) dan virus. Jumlah lisosim dalam ASI 300 kali lebih dari pada

    susu sapi.

    5. Sel darah merah pada ASI pada 2 minggu lebih dari 4000 sel mil. Terdiri

    atas 3 macam, yaitu Brochus-Asociated Lympocity Tissue (BALT) anti

    saluran pernapasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT)

    anti body jaringan payudara ibu.

    6. Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen,

    menunjang pertumbuhan Lactobacillus Bifidus, bakteri menjaga

    keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat bakteri yang

    merugikan.

    7. Menurut Arief (2009) ada beberapa jenis vitamin yang terkandung dalam

    ASI yaitu antara lain ; Vitamin A, Karotin, Vitamin D, Vitamin K,

    Vitamin E, Vitamin C (asam askorbat), biotin, kolin, Asam folat, Inositol,

    asam nikotinat (niasin), aam panthotenat, pridoksin (vitamin B3),

    riboflavin (B2), thiamin (B1), dan siasokolamin (vitamin B12).

    D. Kerangka Teoritis

    Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007)

    berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA adalah jenis

    kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai,

    polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi

    vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir

    rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan

  • 29

    kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat

    dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.

    Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA

    adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang,

    berat badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan

    pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita

    penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian

    pengobatan yang salah (Syair, 2009).

    Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah

    untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen dengan jumlah

    yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya

    tahan tubuh bayi.

    Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan

    kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit

    alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan lebih jarang

    sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI.

    Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA

    dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup,

    imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan

    hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan, terpapar

    polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain (Depkes RI, 2009)

    Menurut penelitian Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011), faktor

    resiko terjadinya ISPA pada balita adalah berat badan lahir (BBL), status gizi,

  • 30

    pemberian ASI, pendidikan ibu, kepadatan hunian, keadaan ventilasi, asap

    pembakaran, asap rokok dan letak dapur.

    Gambar 2.1 Kerangka Teoritis

    Menurut Ditjen PPM dan PL

    Depkes RI (2005) dalam Alkausar

    (2007)

    - jenis kelamin laki-laki - umur di bawah 2 bulan

    - tidak mendapat ASI memadai

    - polusi udara - kepadatan tempat tinggal - imunisasi tidak memadai - defisiensi vitamin A - tingkat sosial ekonomi rendah - gizi kurang, - berat badan lahir rendah

    - tingkat pengetahuan ibu rendah

    - tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah

    - menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat

    dalam praktek pencarian

    pengobatan yang salah.

    Menurut Syair (2009)

    - umur di bawah 2 bulan, - tingkat sosial ekonomi rendah, - gizi kurang, - berat badan lahir rendah,

    - tingkat pengetahuan ibu rendah,

    - tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah,

    - imunisasi yang tidak memadai, - menderita penyakit kronis, dan - aspek kepercayaan setempat

    dalam praktek pencarian

    pengobatan yang salah.

    Menurut Arief (2009)

    - Tidak mendapat ASI memadai

    Menurut Depkes RI (2009)

    - Pemberian ASI kurang cukup

    - Malnutrisi - imunisasi tidak

    lengkap

    - defisiensi vitamin A, - BBLR - umur muda - kepadatan hunian - udara dingin, - jumlah kuman yang

    banyak ditenggorokan

    - terpapar polusi udara oleh asap rokok

    - gas beracun

    Menurut Abdullah (2003)

    dalam Agussalim (2011) - Pemberian ASI

    kurang

    - berat badan lahir (BBL), - status gizi - pendidikan ibu - kepadatan hunian - keadaan ventilasi - asap pembakaran - asap rokok - letak dapur.

    Kejadian

    ISPA

  • 31

    E. Kerangka Konsep

    Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan berdasarkan konsep

    menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), dan

    Syair (2009) tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu yang rendah dengan

    kejadian ISPA pada anak. Dan berdasarkan konsep Ditjen PPM dan PL

    Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), Arief (2009), Depkes RI (2009),

    Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011) tentang berbagai faktor risiko yang

    meningkatkan kematian akibat ISPA salah satunya adalah tidak mendapat ASI

    memadai.

    Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep

    variabel yang diteliti sebagai berikut :

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 2.2 Kerangka Konsep

    Kejadian ISPA pada

    Anak Usia 2-5

    tahun

    Tingkat Pengetahuan Ibu

    Pemberian ASI

  • 32

    F. Hipotesis Penelitian

    a. Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada

    anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh

    Tahun 2013.

    b. Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5

    tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013

    G. Definisi Operasional

    Tabel 3.1

    Definisi Operasional dan Metode Pengukuran

    Terhadap Variabel Penelitian

    No Variabel

    Penelitian

    Definisi

    Operasional Cara Ukur

    Alat

    Ukur

    Hasil

    Ukur

    Skala

    Ukur

    Variabel Dependen

    1 Kejadian

    ISPA pada

    anak usia 2-

    5 tahun

    Suatu penyakit

    infeksi saluran

    pernafasan yang

    bersifat akut yang

    diderita anak usia 2-

    5 tahun dengan

    ditandai adanya

    batuk, pilek, serak,

    demam, baik disertai

    sesak nafas maupun

    tidak.

    Dengan melihat diagnosa

    dokter:

    - Menderita: bila hasil diagnosa dokter atau

    paramedik terlatih

    pada catatan medis

    menunjukkan Balita

    menderita ISPA.

    - Tidak menderita : bila hasil diagnosa

    dokter atau

    paramedic terlatih

    pada catatan medis

    menunjukkan Balita

    menderita ISPA

    Kuesioner - Menderita ISPA

    - Tidak menderita

    ISPA

    Ordinal

    Variabel Independen

    2 Tingkat

    pengetahuan

    ibu

    Segala sesuatu yang

    diketahui ibu tentang

    ISPA pada anak usia

    2-5 tahun.

    Wawancara dengan

    menggunakan kuesioner

    berisi 15 pertanyaan

    dengan kriteria:

    - Tinggi: : jika x 8,61 - Rendah : jika x < 8,61

    Kuesioner - Tinggi - Rendah

    Ordinal

  • 33

    3 Pemberian

    ASI

    Tindakan ibu

    memberikan Air

    Susu Ibu (ASI)

    kepada bayinya

    dari umur 0 2 tahun.

    Wawancara dengan

    menggunakan

    kuesioner dengan

    kriteria:

    - Cukup : jika ibu memberikan ASI

    kepada bayi

    sampai umur 2

    tahun.

    - Tidak cukup: jika ibu tidak

    memberikan ASI

    kepada bayi

    sampai umur 2

    tahun

    Kuesioner - Cukup - Tidak

    cukup

    Ordinal

  • 34

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Jenis Desain Penelitian

    Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross-

    sectional yaitu mengukur variabel dependen dan variabel independen secara

    bersamaan. Studi cross-sectional digunakan untuk mengetahui hubungan

    antara suatu penyakit dan variabel atau karakteristik yang terdapat di

    masyarakat pada suatu saat tertentu (Chandra, 2008).

    Desain cross-sectional dilakukan untuk melihat hubungan pengetahuan

    ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di

    Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh tahun 2013.

    B. Populasi dan Sampel Penelitian

    1. Populasi

    Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang

    memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit

    BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh pada bulan Januari sampai dengan

    April tahun 2013 berjumlah 256 orang.

    2. Sampel

    Sampel dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak usia

    2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dengan

    accidental sampling yaitu sampel yang tersedia atau kebetulan ada pada

  • 35

    saat peneliti melakukan pengumpulan data selama 10 hari. Perhitungan

    besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin

    (Notoadmodjo, 2007), sebagai berikut :

    n =

    Keterangan:

    N : Besar Populasi

    n : Besar sampel

    d : Tingkat Kepercayaan/Ketetapan yang di inginkan

    n = )(1 2dN

    N

    Keterangan:

    N = besar populasi

    n = besar sampel

    d = tingkat kepercayaan / ketetapan yang di inginkan (0,10).

    Maka berdasarkan rumus Slovin di atas, didapat jumlah sampel untuk

    penelitian ini berjumlah :

    n = )01,0(2561

    2562

    n = 56,21

    256

    n = 56,3

    256

    n = 71,9

    n = 72 sampel

  • 36

    Sehingga besar sampel yang di ambil dalam penelitian ini adalah

    sebanyak 72 sampel.

    Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Ibu yang mempunyai balita usia 2 sampai 5 tahun.

    2. Bersedia menjadi responden.

    3. Dapat berkomunikasi dengan baik.

    4. Dapat membaca dan menulis.

    C. Tempat dan Waktu Penelitian

    1. Tempat Penelitian

    Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit BLUD Ibu dan

    Anak Pemerintah Aceh.

    2. Waktu Penelitian

    Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan

    Desember 2013. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26 November

    sampai dengan 5 Desember 2013

    D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

    1. Jenis pengumpulan data

    Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh

    langsung di lokasi penelitian menggunakan kuesioner dengan metode

    wawancara.

  • 37

    2. Instrumen Penelitian

    Penelitian ini mengumpulkan data primer yang didapati langsung

    dari ibu-ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun menggunakan kuesioner

    dengan jumlah keseluruhan 17 pertanyaan yang terdiri dari :

    a. Satu pertanyaan tentang pemberian ASI dalam bentuk checklist

    b. Satu pertanyaan tentang kejadian ISPA

    c. Lima belas pertanyaan tentang pengetahuan dengan option jawaban

    pilihan a, b, c dan d, untuk jawaban benar diberi skor 1, jika tidak

    diberi skor 0. Dengan kriteria Tinggi apabila x 61,8 , rendah apabila

    x < 8,61.

    E. Pengolahan Data dan Analisa Data

    1. Pengolahan Data

    Menurut Budiarto (2002) setelah dilakukan pengungumpulan data,

    maka selanjutnya data tersebut diolah dengan cara sebagai berikut :

    a. Editing yaitu melakukan pengecekan terhadap hasil pengisian angket

    yang meliputi kelengkapan identitas dan jawaban yang diberikan oleh

    responden.

    b. Coding yaitu memberi kode jawaban secara angka atau kode tertentu

    sehingga lebih mudah dan sederhana.

    c. Transfering yaitu memindahakan jawaban responden kedalam berntuk

    tabel.

  • 38

    d. Tabulating yaitu mengelompokkan responden berdasarkan kategori

    yang telah dibuat untuk variabel yang diukur dan ditampilkan kedalam

    bentuk tabel.

    2. Analisa Data

    a. Analisis Univariat

    Menurut Budiarto (2002) Menggambarkan distribusi frekuensi

    dan persentase masing - masing variabel yang diteliti. Selanjutnya

    data yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi.

    %100 P n

    f

    Keterangan:

    P : Persentase

    f : Frekwensi Teramati

    n : Jumlah Responden

    Sedangkan Untuk menghitung rata-rata digunakan rumus :

    x = n

    x

    Keterangan :

    x = Mean (rata-rata)

    = Jumlah

    n = Jumlah responden

    x = Nilai responden

  • 39

    b. Analisis Bivariat

    Analisa bivariat merupakan analisis hasil dari variabel bebas

    yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Untuk

    menguji hipotesa yang dilakukan analisa statistik dengan

    menggunakan uji data chi-square pada tingkat kemaknaannya 95% (

    = 0,05), sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang

    bermakna secara statistik dengan menggunakan program komputer

    SPSS for window.

    Melalui uji chi-square test (X) berupa tabel kontingen 2x2

    untuk memperoleh hubungan yang signifikan antara variabel-variabel

    dengan menggunakan rumus:

    X = [{o - e}]

    e

    Jika salah satu dari tabel terdapat nilai e 5, maka rumusnya:

    X = [{o - e} 0,5]

    e

    Keterangan:

    X = Statistik Chi-Squere

    o = Nilai pengamatan

    e = Nilai yang diharapkan (Arikunto, 2006)

    Melalui perhitungan uji chi-square test selanjutnya ditarik pada

    kesimpulan dengan kriteria sebagai berikut :

    1. Jika nilai p < maka Ha diterima, berarti ada hubungan antara

    variabel dependen dengan independen.

  • 40

    2. Jika nilai p maka Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan antara

    variabel dependen dengan independen.

    Aturan yang berlaku pada uji chi-square adalah sebagai berikut

    ( Hastono, 2001 ):

    1. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai E (harapan) kurang dari 5, maka

    hasil yang dibaca di Fisher Exact.

    2. Bila pada tabel 2x2, dan tidak dijumpai nilai E kurang dari 5,

    maka hasil yang dibaca di Continuity Correction.

    3. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan sebagainya,

    maka hasil yang dibaca di Pearson Chi-square

  • 41

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Pemerintah Aceh yang dibentuk

    berdasarkan Qanun (Perda) Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2006 tentang

    Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Kesehatan Rumah

    Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selanjutnya dengan

    Qanun Nomor 5 Tahun 2007 terjadi perubahan nomenklatur menjadi Rumah

    Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

    RSIA Pemerintah Aceh adalah rumah sakit dengan tipe B khusus,

    kapasitas tempat tidur 98 TT, berdiri pada areal seluas 9.307 m dengan luas

    bangunan 8.575 m. Sesuai dengan fungsinya RSIA Pemerintah Aceh

    bertugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat

    khususnya kesehatan ibu dan anak dengan jenis pelayanan sebagai berikut :

    1. Pelayanan Medik : pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat jalan,

    pelayanan rawat inap, kamar bedah, rawat intensif, penunjang medik.

    2. Rawat Jalan : pelayanan dokter umum, pelayanan kesehatan ibu dan anak,

    pelayanan KB, pelayanan imunisasi.

    3. Rawat Inap : perawatan kebidanan, perawatan penyakit anak, perawatan

    bedah, perawatan penyakit dalam.

    4. Gawat Darurat : pelayanan trauma, pelayanan non trauma,

    5. Perawatan Intensif : NICU / PICU, ICU

  • 42

    6. Penunjang Medik : patologi klinik, anestesi, radiologi, instalasi farmasi,

    instalasi gizi, instalasi laundry, instalasi pemeliharaan sarana dan

    prasarana rumah sakit, ambulance dan kamar jenazah.

    B. Hasil Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26 November

    sampai dengan tanggal 05 Desember 2013, dengan jumlah sampel dalam

    penelitian ini sebanyak 72 orang dari jumlah populasi 256 ibu-ibu yang

    memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD

    Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan sampel

    dengan accidental sampling.

    1. Analisa Univariat

    a. Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ISPA

    Tabel 4.1

    Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang ISPA

    Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013

    No Tingkat

    Pengetahuan

    f %

    1 Tinggi 30 41,7

    2 Rendah 42 58,3

    Jumlah 72 100

    Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013

    Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden,

    terdapat 42 orang (58,3%) berada pada tingkat pengetahuan dengan

    kategori rendah.

  • 43

    b. Pemberian ASI

    Tabel 4.2

    Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Di Rumah Sakit BLUD

    Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013

    No Pemberian ASI f %

    1 Cukup 34 47,2

    2 Tidak Cukup 38 52,8

    Jumlah 72 100

    Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013

    Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden,

    terdapat 38 orang (52,8%) berada pada kategori tidak cukup pemberian

    ASI.

    c. Kejadian ISPA pada Anak Usia 2-5 Tahun

    Tabel 4.3

    Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA

    Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013

    No Kejadian ISPA f %

    1 Menderita 35 48,6

    2 Tidak Menderita 37 51,4

    Jumlah 72 100

    Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013

    Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden,

    terdapat 37 orang (51,4%) berada pada kategori tidak menderita ISPA.

  • 44

    2. Analisa Bivariat

    a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada

    anak usia 2-5 tahun

    Tabel 4.4

    Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan

    Kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD

    Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013

    Tingkat

    Pengetahuan

    Kejadian ISPA

    Jumlah

    p

    OR Menderita Tidak

    Menderita

    f % f % f %

    Tinggi 10 33,3 20 66,7 30 100

    0,050

    2,941 Rendah 25 59,5 17 40,5 42 100

    Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang

    berpengetahuan rendah terdapat 25 orang (59,5%) yang menderita ISPA dan

    hanya 17 orang (40,5%) yang tidak menderita ISPA.

    Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square ,

    didapat nilai p-value 0,050, yang berarti sama dengan -value (0,05). Dengan

    demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna

    antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun

    di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.

    Dari hasil analis diperoleh nilai OR 2,941 yang berarti bahwa anak usia 2-

    5 tahun dengan ibu yang berpengetahuan rendah tentang ISPA memiliki resiko

    2,941 kali lebih tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan dengan anak usia

    2-5 tahun dengan ibu yang berpengetahuan tinggi tentang ISPA.

  • 45

    b. Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA

    Tabel 4.5

    Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA Pada Anak

    Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD

    Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013

    Pemberian ASI

    Kejadian ISPA

    Jumlah

    p

    OR Menderita Tidak

    Menderita

    f % f % f %

    Cukup 8 23,5 26 76,5 34 100

    0,000

    7,977 Tidak Cukup 27 71,1 11 28,9 38 100

    Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 38 responden yang tidak

    cukup pemberian ASI terdapat 27 orang (71,1%) yang menderita ISPA dan

    hanya 11 orang (28,9%) yang tidak menderita ISPA.

    Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, didapat

    nilai p-value 0,000 yang berarti lebih kecil dari -value (0,05). Dengan

    demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI

    dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu

    dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.

    Dari hasil analis diperoleh nilai OR 7,977 yang berarti bahwa anak usia 2-

    5 tahun yang tidak cukup pemberian ASI memiliki resiko 7,977 kali lebih

    tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan dengan anak usia 2-5 tahun yang

    cukup diberikan ASI. Secara statistik dapat dilihat bahwa pemberian ASI pada

    bayi sampai berumur 2 tahun akan mengurangi resiko bayi tersebut untuk

    terkena ISPA, dengan kata lain, pemberian ASI pada bayi yang tidak sampai

    berumur 2 tahun akan berdampak pada anak di kemudian hari, seperti resiko

    terkena ISPA

  • 46

    C. Pembahasan

    1. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA

    Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya

    hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5

    tahun. Hal ini dapat dilihat dari 42 responden dengan pengetahuan rendah

    hanya 25 responden (59,5%) yang anaknya menderita ISPA dan 17

    responden (40,5%) yang tidak menderita ISPA. Dari hasil uji statistic

    dengan menggunakan uji chi-square , didapat nilai p-value 0,050, yang

    berarti sama dengan -value (0,05). Sedangkan perhitungan Odds Ratio

    didapat hasil OR (2,941).

    Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Agussalim

    (2011) tentang "Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan Keberadaan

    Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

    Pada Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar Tahun

    2011" yaitu penyakit ISPA pada respoden dengan pengetahuan baik

    adalah hanya 31,3%, sedangkan pada responden dengan pengetahuan

    kurang 75,7%. sehingga tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh

    Aggussalim bahwa dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan dapat

    menjaga dan meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam

    pencegahan penyakit ISPA.

    Hal ini juga tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan Depkes

    RI (2002) bahwa Pengetahuan tentang ISPA diharapkan dapat menjadi

    faktor pendorong bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan ISPA

  • 47

    dalam tingkatan keluarga. Dengan melakukan pencegahan ISPA maka

    kemungkinan terjadinya infeksi patogen ISPA pada anak dapat dicegah.

    Dari hasil penelitian dan paparan beberapa teori di atas dapat

    dilihat bahwa tingkat pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan

    kesehatan balita, dalam hal ini adalah kejadian ISPA. Sejalan dengan hasil

    penelitian ini peneliti berasumsi bahwa bukan berarti ibu dengan

    pengetahuan kurang akan selalu memiliki resiko tinggi terhadap balitanya

    untuk terkena ISPA, walaupun secara frekwensi distribusi terbanyak

    kejadian ISPA pada kategori menderita berada pada anak usia 2-5 tahun

    yang memiliki ibu dengan pengetahuan kurang. Namun juga terdapat 17

    responden (40,5%) dari 42 responden dengan pengetahuan rendah tetapi

    anaknya tidak menderita ISPA. Hal ini tidaklah mengherankan jika dilihat

    dari segi teori seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ditjen PPM dan

    PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007) yang menyatakan bahwa

    banyak faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA,

    diantaranya adalah jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak

    mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi

    tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi

    kurang, berat badan lahir rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan

    rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam

    praktek pencarian pengobatan yang salah.

    Dari hasil penelitian diatas terdapat 17 responden (40,5%) dengan

    tingkat pengetahuan rendah tetapi anaknya tidak menderita ISPA hal ini

  • 48

    diasumsikan karena pemberian ASI yang cukup sehingga daya tahan tubuh

    anak terhadap penyakit infeksi lebih tinggi walaupun pengetahuan ibu

    rendah tentang ISPA. Namun demikian dalam penelitian ini masih

    dijumpai 33.3% responden dengan pengetahuan tinggi tentang ISPA

    namun anaknya menderita ISPA hal ini diasumsikan karena adanya faktor

    lain yang mempengaruhi seperti terpapar polusi udara, asap rokok,

    pengaruh tempat tinggal yang padat, pemberian ASI yang tidak cukup,

    sehingga anak dapat dengan mudah terkena penyakit ISPA. Pada

    responden dengan pengetahuan tinggi terdapat 20 (66,7%) yang tidak

    menderita ISPA diasumsikan dengan pengetahuan yang tinggi tentang

    ISPA maka ibu dapat melakukan pencegahan terhadap penyakit ISPA dan

    setidaknya apabila anak menderita ISPA maka ibu dapat melakukan

    praktek penanganan dini bagi anaknya yang menderita ISPA sebab bila

    praktek penanganan ISPA pada tingkat keluarga yang kurang/buruk akan

    berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah

    berat.

    2. Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA

    Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya

    hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA anak usia 2-5

    tahun. Hal ini dapat dilihat dari persentase responden dengan pemberian

    ASI cukup adalah hanya 23,5% yang anaknya menderita ISPA sedangkan

    pada responden dengan pemberian ASI tidak cukup yang menderita ISPA

    sebanyak 71%. Dari hasil uji statistic dengan menggunakan uji chi-square

  • 49

    didapat nilai p-value 0,000, yang berarti lebih kecil dari -value (0,05).

    Sedangkan perhitungan Odds Ratio didapat hasil OR (7,977)

    Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

    Endang Setyowati (2009) dengan judul penelitian Hubungan Riwayat

    Pemberian ASI Eksklusif Dengan Frekuensi Kejadian ISPA Pada Anak

    Usia 1-2 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Purwodadi

    Kabupaten Purworejo. Dimana pada penelitian ini didapat bahwa status

    pemberian ASI pada anak yang mendapat ASI eksklusif sebanyak 12

    orang (31,57%) dan untuk frekuensi kejadian ISPA 29 orang (76,31%)

    jarang terkena ISPA, sehingga hasil dari perhitungan statistik diperoleh

    nilai signifikasi (P) besarnya 0,037 yang dibandingkan dengan nilai =

    5% dimana nilai P < 0,05, sehingga H0 ditolak, artinya ada hubungan

    antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA.

    Penelitian yang dilaksanakan oleh Endang Setyowati membuktikan bahwa

    pemberian ASI memberikan efek yang tinggi terhadap kejadian ISPA.

    Hal ini juga sejalan dengan teori Arief (2009) menyatakan bahwa

    ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi

    telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata

    akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang

    tidak mendapatkan ASI.

    Menurut Depkes RI (2002) ASI adalah suatu komponen yang

    paling utama bagi ibu dalam memberikan pemeliharaan yang baik

    terhadap bayinya, untuk memenuhi pertumbuhan dan perkembangan

    psikososialnya. Karena sesuatu yang baik tidaklah harus mahal bahkan

  • 50

    bisa sebaliknya, terbaik dan termurah yaitu ASI. Karena ASI bisa

    membuat anak lebih sehat, tapi juga cerdas dan lebih menyesuaikan diri

    dengan lingkungan.

    Selain merupakan makanan yang paling baik untuk bayi terutama

    pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ASI juga merupakan sumber

    nutrisi bagi bayi dan juga sebagai sumber zat anti mikroorganisme yang

    kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis

    membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif

    melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imun kompeten ke permukaan

    saluran pernafasan atas (Depkes RI, 2002).

    Berdasarkan hasil penelitian di atas peneliti berasumsi bahwa anak

    yang cukup pemberian ASI lebih sedikit yang menderita ISPA karena daya

    tahan tubuh anak dengan pemberian ASI cukup lebih baik dari pada anak

    yang pemberian ASI tidak cukup karena ASI mengandung anti infeksi

    yang penting dalam mencegah infeksi saluran pernapasan oleh bakteri dan

    virus. ASI merupakan makanan utama pada usia 0-2 tahun yang sangat

    baik dan tidak ada bandingnya, meskipun susu formula termahal dan

    terbaik tetapi terbukti bahwa ASI memang lebih unggul dibandingkan susu

    formula karena ASI mengandung zat- zat kekebalan yang tidak dimiliki

    oleh susu formula. Meskipun pemberian ASI telah banyak

    disosialisasikan, namun tidak sedikit ibu yang belum mengerti dan

    menganggap remeh hal itu. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan

    manfaat ASI yang luar biasa bagi pertumbuhannya, ASI mengurangi

    resiko infeksi. Zat antibodi yang terdapat dalam ASI melindungi bayi dari

  • 51

    serangan penyakit infeksi. Meningkatkan daya tahan tubuh, karena ASI

    mengandung imunoglobulin A sehingga anak tidak mudah terkena ISPA.

    Namun demikian dalam penelitian ini masih dijumpai 23,5%

    responden dengan pemberian ASI cukup namun anaknya menderita ISPA

    hal ini diasumsikan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti

    pengetahuan ibu yang kurang, imunisasi tidak memadai, tingkat sosial

    ekonomi rendah, gizi kurang, dan tingkat jangkauan pelayanan kesehatan

    rendah.

  • 52

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,

    maka dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu

    dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah

    Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 adalah sebagai

    berikut :

    1. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

    ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,050.

    2. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA Pada Anak

    Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh

    Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,000.

    B. Saran

    1. Bagi Tempat Penelitian

    Diharapkan bagi petugas kesehatan di Rumah sakit BLUD Ibu dan Anak

    Pemerintah Aceh untuk lebih meningkatkan penyuluhan-penyuluhan

    tentang kesehatan terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA dan

    penyuluhan tentang peningkatan pemberian ASI. serta mempersiapkan

    ibu-ibu hamil agar nantinya setelah melahirkan dapat memberikan ASI

  • 53

    dan melibatkan keluarga dalam mensukseskan pemberian ASI sampai

    usia 2 tahun.

    2. Institusi Pendidikan

    Diharapkan penelitian ini dapat menambah literatur atau bahan bacaan

    bagi perpustakaan STIKes U'Budiyah khususnya tentang hubungan tingkat

    pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak.

    3. Bagi Peneliti

    Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat lebih meningkatkan lagi

    konseling kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan tatalaksananya

    dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir, sampai umur 2 tahun.

    4. Bagi Responden

    Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada ibu-ibu yang memiliki

    anak usia balita untuk lebih meningkatkan lagi pengetahuan dan

    pemahamannya tentang penyakit ISPA dan manfaat pemberian ASI

    sampai anak usia 2 tahun tidak hanya dari tenaga kesehatan tetapi lebih

    aktif lagi untuk mencari informasi misalnya dari media cetak ataupun

    elektronik.

  • 54

    DAFTAR PUSTAKA

    Alkausar, 2007, Pengaruh Faktor-Faktor Resiko Terhadap Infeksi Saluran

    Pernafasan Akut pada Balita di Puskesmas Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun

    2007. Banda Aceh: Skripsi, Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu

    Keperawatan, Universitas Syiah Kuala.

    Arief, 2009, PANDUAN IBU CERDAS-ASI dan Tumbuh Kembang Bayi/Deti-

    Cet.1-Yogyakarta: Media Pressindo.

    Arifin, Yasir, 2009, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Keperawatan.

    http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/04/infeksi-saluran- pernafasan-

    akut-ispa.html. [10 juni 2013]

    Avicenna,2009, ISPA, Kesehatan Comments.

    http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/429.html?task=view. [17 Juni, 2013].

    Afrida L. 2007.Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit

    Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas

    Rantang Kec. Medan Petisah Kota Medan Tahun 2007. Skripsi Fakultas

    Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,Medan.

    Agussalim, 2011, Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan Keberadaan

    Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Ahut Pada

    Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, Jurnal Ilmiah Stikes

    U'Budiyah Indonesia

    Budiarto, 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat,

    Jakarta: EGC.

  • 55

    Behrman, et al, 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor Samik Wahab.

    Penerbit buku kedokteran EGC

    Chandra Budiman, 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan. Editor, Fema

    Solekhah Belawati

    Depkes R.I., Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.Jakarta: 2003

    _________, Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA.Jakarta: 2001

    _________ , Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

    Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP.

    Jakarta: 2002

    _________ , peningkatan kualitas anak, Jakarta: Ditjet PP2PI, 2009,

    http://www.ppl.depkes.go.id, 2009.[17 Juni, 2013].

    Dinkes Prov.Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2011.

    Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk

    Pendidikan Kebidanan.Jakarta: Salemba Medika

    Iqbal Mubarak Wahit, dkk, Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar

    Mengajar dalam Pendidikan, ed. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

    Moody Jane, Jane Britten, dan Karen Hogg,Menyusui: Cara Mudah, Praktis, dan

    Nyaman; alih bahasa, Susi Purwoko ;editor edisi bahasa indonesia, Lilian

    Juwono.-Jakarta : Arcan, 2005.

    Notoatmodjo Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.

    Rineka Cipta.

    _______________ , 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta:

    PT.Rineka Cipta,

  • 56

    _______________ , 2003, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT.

    Rineka Cipta.

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Panduan Perawatan

    Untuk Bayi dan Balita, ahli bahasa: Surya Satyanegara, Anton Cahaya Widjaja;

    editor edisi bahasa Indonesia, Lilian Juwono. Jakarta: Arcan, 2004.

    Roesli Utami,Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta: Trubus Agriwidya, 2000.

    Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Ed. Baru, cet. 36. Jakarta: PT.

    RajaGrafindo Persada, 2003.

    Susanto, C.E, Pneumonia Pembunuh Utama Balita Indonesia, Medi Indonesia,

    2009. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/02/103538/71/14/. [18 Juni,

    2013]

    Syair, Abdul., Faktor Resiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

    pada Balita,Kumpulan Pikiran: Dengan Berfikir Kita Membangun Hidup, 2009.

    http://syair79.wordpress.com/2009/04/26/faktor-risiko-kejadian- infeksi-saluran-

    pernapasan-akut-ispa-pada-balita/.[29 April, 2013]

    Taufik, M., Prinsip Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang Keperawatan.

    Jakarta : CV. Infomedika, 2007.

    WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara

    Berkembang. Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior. Alih

    Bahasa: C. Anton Widjaja. Penerbit Buku Kedoteran EGCJakarta.

    Lampiran 6

  • 57

    KUESIONER

    HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN PEMBERIAN ASI

    DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

    (ISPA) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DIRUMAH SAKIT

    BLUD IBU DAN ANAK PEMERINTAH ACEH

    A. Diisi oleh peneliti

    KODE RESPONDEN :

    TANGGAL WAWANCARA :

    DIAGNOSA : Menderita ISPA

    Tidak Menderita ISPA

    B. Berilah tanda chek list () pada pilihan yang sesuai.

    Apakah ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi sampai umur 2 tahun ?

    Ya

    Tidak

    C. Pengetahuan

    1. Seorang anak yang menderita batuk, pilek disertai demam dapat menular secara tidak langsung kepada anak yang sehat melalui: a. Bersin dan batuk b. Pemberian darah bagi orang yang membutuhkan c. Berganti-ganti pakaian d. Melalui sentuhan

    2. Apa saja resiko yang menyebabkan meningkatnya penderita batuk, pilek disertai demam ?

  • 58

    a. Umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, tingkat pengetahuan ibu rendah, polusi udara dan kepadatan tempat tinggal.

    b. Keracunan makanan, makanan yang pedas dan terlalu asam. c. Karena adanya timbunan BAB ( Buang Air Besar) yang keras. d. Karena minum air yang tidak dimasak sampai mendidih terlebih dahulu

    3. Bagaimana cara pencegahan batuk, pilek disertai demam ? a. Rumah sehat, pengendalian polusi udara, peningkatan gizi pada balita,

    peningkatan pengetahuan dan perilaku kesehatan. b. Mengubur barang bekas, menguras bak mandi, penyemprotan dan melipat

    pakaian. c. Mengalirkan air bersih yang tergenang d. Melakukan olah raga setiap hari

    4. Jika anak masih menyusu dan terkena batuk, pilek disertai demam, apakah harus tetap diberikan ASI ? a. Tidak perlu b. Harus tetap diberikan c. Pemberian ASI dihentikan pada saat anak sakit dan dilanjutkan ketika anak

    sembuh. d. Pemberian ASI dilakukan jika anak dapat menghisap

    5. Jika anak menderita batuk, pilek disertai demam, kapan dinyatakan anak telah sembuh ? a. Setelah anak diberikan obat selama 3 hari. b. Anak tidak demam lagi. c. Semua gejala telah hilang. d. Semua gejala telah hilang dan berat badan anak sudah kembali sama seperti

    sebelum sakit.

    6. Kapan anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit ? a. Jika anak bernafas lebih cepat dari biasa dan terserang batuk selama lebih dari 2

    minggu b. Jika tubuh anak terasa hangat tiba-tiba c. Jika anak mulai bersin-bersin d. Jika anak batuk-batuk tetapi masih mau makan dan minum

    7. Bagaimana cara melakukan perawatan batuk, pilek disertai demam dirumah ? a. Mengatasi panas (demam),mengatasi batuk,pemberian makanan dan minuman

    serta menjaga kesehatan lingkungan b. Membiarkan saja karena akan sembuh sendiri c. Pemberian makanan sembarangan d. Menbiarkan anak bermain diluar rumah

    8. Bagaimana cara mengatasi demam pada anak ?

  • 59

    a. Pemberian paracetamol b. Pemberian paracetamol dan dikompres c. Dengan cara dikompres d. memberikan ramuan tradisional

    9. Bagaimana cara pemberian makanan pada anak yang menderita batuk, pilek disertai demam ? a. Berikan makanan jika anak ingin makan b. Berikan makanan yang mengandung minyak c. Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit dan lebih sering dari biasa. d. Berikan makanan yang meningkatkan nafsu makan anak

    10. Jika anak positif terserang batuk, pilek disertai demam, makanan bagaimana yang tidak boleh diberikan? a. Makanan yang dapat merangsang sakit pada tenggorokan b. Makanan yang tidak mengandung bahan pewarna c. Memberikan makan yang bergizi d. Berikan madu sendok teh 3x sehari

    11. Bagaimana cara mencegah penularan batuk, pilek disertai demam jika anak Anda berada dalam penitipan harian dan anak Anda menderita batuk, pilek disertai demam ? a. Saat anak bersin dan batuk tidak perlu menutup mulut dan hidungnya b. Menganjurkan anak untuk menutup mulut serta hidungnya saat bersin dan

    batuk. c. Anjurkan pada gurunya untuk membiarkan anak anda seperti biasa d. Anak tidak perlu memakai pakaian yang tebal

    12. Kapan virus dan bakteri penyebab batuk, pilek disertai demam bersirkulasi dalam jumlah besar ? a. Pada musim kemarau b. Pada musim hujan c. Pada musim diare d. Pada lingkungan yang padat penduduk

    13. Yang merupakan tanda bahaya pada penderita batuk, pilek disertai demam adalah: a. Anak tidak bisa minum dan terdengar suara seperti ngorok,anak demam atau

    dingin, kesadaran menurun dan kejang serta mengalami kesulitan bernafas b. Anak masih bisa minum c. Anak tidak demam d. Anak masih bisa bernafas

    14. Bagaimana cara memberikan kompres yang benar ? a. Menggunakan handuk kecil dan air b. Anak dikompres dengan air es

  • 60

    c. Menggunakan kain bersih dan celupkan kedalam air hangat d. Kompres pada kening anak

    15. Jika bayi Anda berusia 3 bulan, pencegahan terbaik terhadap batuk, pilek disertai demam yang dapat Anda lakukan adalah ? a. Menjaganya jauh dari orang-orang yang sedang batuk, pilek disertai demam dan

    tetap berikan Asi b. Memberikan imunisasi agar terhindar dari batuk, pilek disertai demam c. Tidak memberikan ASI dan suplemen vitamin A d. Menghindari anak terkena hujan atau terik matahari

    Lampiran 7

    KUNCI JAWABAN

    1. A

    2. A

    3. A

    4. B

    5. D

    6. A

    7. A

    8. B

    9. C

  • 61

    10. A

    11. B

    12. B

    13. A

    14. C

    15. A