emfisema paru

9
Etiologi Emfisema pulmonari adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai oleh perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding alveolar. Peneyebab emfisema tidak diketahui, namum demikian bukti menunjukkan bahwa adanya keterlibatan dari protease yang dilepaskan oleh leukosit polimorfo nukleus atau makrofag alveolar terhadap pengerusakan jaringan ikat paru (Asih et al, 2003). Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Kumar et al, 2007) Asih, Niluh G.Y . Effendy, Christantie. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem pernapasan. Jakarta : EGC Patogenesis Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan-antioksidan.

Upload: m-haris-yoga-iswantoro

Post on 11-Dec-2014

34 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Emfisema Paru

Etiologi

Emfisema pulmonari adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang

ditandai oleh perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan

dinding alveolar. Peneyebab emfisema tidak diketahui, namum demikian bukti

menunjukkan bahwa adanya keterlibatan dari protease yang dilepaskan oleh

leukosit polimorfo nukleus atau makrofag alveolar terhadap pengerusakan

jaringan ikat paru (Asih et al, 2003).

Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua

ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan

ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu

terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat

dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Kumar et al, 2007)

Asih, Niluh G.Y . Effendy, Christantie. 2003. Keperawatan Medikal

Bedah Klien dengan Gangguan Sistem pernapasan. Jakarta : EGC

Patogenesis

Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua

ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan

ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu

terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat

dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Kumar et al, 2007).

Hipotesis keseimbangan protease-antiprotease didasarkan pada

pengamatan bahwa pasien dengan defisiensi genetik antiprotease antitripsin- α1

memperlihatkan kecenderungan besar mengalami emfisema paru, yang diperparah

merokok. Sekitar 1% dari semua pasien dengan emfisema menderita defisiensi ini.

Antitripsin-α1, yang secara normal terdapat dalam serum, cairan jaringan, dan

makrofag, merupakan inhibitor utama protease (terutama elastase) yang

dikeluargak oleh netrofil sewaktu peradangan. Enzim tersebut dikode oleh gen

yang diekspresikan secara kodominan di lokus inhibitor protease (Pi) pada

kromosom 14. Lokus Pi bersifat sangat polimorfik, dengan banyak alel yang

Page 2: Emfisema Paru

berlainan. Yang tersering adalah alel normal (M) dan fenotipe nya PiMM. Sekitar

0,012% populasi AS bersifat homozigot untuk alel Z(PiZZ), yang berkaitan

dengan penurunan mencolok kadar antitripsin- α1, serum. Banyak dari mereka

yang kemudian menderita emfisema sistomatik (Kumar et al, 2007).

Dipostulasikan terjadi rangkaian berikut (Kumar et al, 2007) :

1. Neutrofil(sumber utama protease sel) secara normal mengalami sekuestrasi

dikapiler perifer , termasuk diparu , dan beberapa memperoleh akses ke

ronggal alveolus.

2. Setiap rangsangan yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil dan

makrofag) di paru maupun pelepasan granula yang mengandung protease,

meningkatkan aktivitas proteolitik.

3. Pada kadar antitripsin-α1 serum yang rendah, destruksi jaringan elastik

menjadi tidak terkendali dan timbul emfisema.

Oleh karena itu, emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif

peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antripsin yang rendah.

Hipotesis ini didukung kuat oleh penelitian pada hewan percobaan yang penetesan

enzim proteolitik papaiannya dan, yang lebih penting, elastase neutrofil manusia

intratrakea menyebabkan degradasi elastin yang disertai dengan timbulnya

emfisema (Kumar et al, 2007).

Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu

menjelaskan efek merokok dalam terjadinya emfisema , terutama bentuk

sentriasinar pada orang dengan kadar antitripsin- α1 yang normal (Kumar et al,

2007).

Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus. Mekanisme

peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin menimbulkan efek

kemoatraktin langsung dari nikotin serta efek spesies oksigen reaktif yang

terdapat di dalam asap rokok. Hal ini mengaktifkan transkripsi nuklear faktor KB

(NF- KB), yang mengaktifkan gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) dan

Interleukin-8 (IL-8). Hal ini kemudian,menarik dan mengaktifkan neutrofil

(Kumar et al, 2007).

Page 3: Emfisema Paru

Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktifan dan membebaskan

granulanya, yang kaya akan beragam protease sel (elastase neutrofil, proteinase 3,

dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kumar et al, 2007).

Merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag; elastase

makrofag tidak dihambat oleh antitripsin- α1 , bahkan dapat secara proteolitis

mencerna antiprotease ini. Kini semakin banyak bukti bahwa selain elastase,

metaloproteinase matriks yang berasal dari makrofag dan neutrofil juga berperan

pada kerusakan jaringan (Kumar et al, 2007).

Merokok juga mungkin berperan dalam memperpanjang

ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan. Dalam keadaan normal, paru

mengandung sejumlah antioksidan (superoksida dismutase glutation) yang

menekan kerusakan oksidatif tingkat minimum. Asap rokok mengandung banyak

spesies oksigen reaktif (radikal bebas) , yang menghabiskan mekanisme

antioksidan ini sehingga terjadi kerusakan jaringan. Neutrofil aktif juga

menambah jumlah spesies oksigen reaktif di alveolus. Akibat sekunder cedera

oksidatif ini adalah inaktivasi antiprotease yang terdapat dalam paru sehingga

terjadi defisiensi “fungsional” antitripsin- α1 , bahkan pada pasien yang

mengalami defisiensi enzim (Kumar et al, 2007).

Secara singkat, tumbukan partikel asap , terutama dipercabangan

bronkiolus respiratorik, mungkin menyebabkan influks neutrofil dan makrofag;

kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai protease. Pengingkatan aktivitas

protease yang terletak diregio sentriasinar menyebabkan terbentuknya emfisema

pola sentriasinar seperti yang ditemukan pada para perokok. Kerusakan jaringan

diperhebat oleh inaktivasi antiprotease (yang ebrsifat protektif) oleh spesies

oksigen reaktif yang terdapat dalam asap rokok. Skema ini juga menjelaskan

pengaruh merokok dan defisiensi antitripsin- α1 dalam memperparah penyakit

obstruksi jalan napas yang serius (Kumar et al, 2007).

Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S, Robbins, Stanley L. 2007. Buku Ajar Patologi

Anatomi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : EGC

Page 4: Emfisema Paru

Patofisiologi

Emfisema paru ditandai dengan meningkatnya volume jalan napas

dibagian distal sampai ke bronkiolus. Emfisema sentrilobular ditandai dengan

pelebaran yang dominan dari duktus alveolaris dan bronkiolus respiratorik, yang

dibedakan dari emfisema panlobular, ditandai dengan pelebaran terutama di

daerah alveolus terminalis. Pada paru yang flasid, kemampuan elastisitas paru

hampir menghilang. Penyakit ini dapat mengenai daerah tertentu saja(emfisema

lokal) atau seluruh paru (generalisata). Emfisema merupakan salah satu penyebab

yang paling sering menimbulkan kematian (Silbernagl, 2006).

Emfisema sentrilobular terutama disebabkan oleh penyakit paru obstruktif:

pada paru yang flasid , jaringan ikat menghilang oleh sebab yang belum

diketahui ; pada emfisema panlobular ditambah dengan kehilangan septa alveolus.

Pada orang tua biasanya terjadi peningkatan volume alvelous terhadap permukaan

alveolus. Pada beberapa oasien (sekita 20%) terdapat defisiensi penghambat

proteinase-α1(antitripsin α1) yang biasanya menghambat kerja proteinase

(misalnya, leukosit elastase). Enzim ini dihasilkan di hati; mutasi pada enzim ini

dapat mengaruhi sekresinya dan/atau fungsinya. Pada kedua keadaan ini,

penurunan penghambatan terhadap proteinase mengakibatkan penguraian

sehingga menghilangkan elastisitas jaringan paru. Jika sekresinya terganggu,

penimbunan protein yang rusak di sel hati dapat menimbulkan kerusakan hati.

Akhirnya, kekurangan penghambatan proteinase dapat pula memengaruhi jaringan

lain, seperti glomerulus ginjal dan pankreas dapat menjadi rusak. Antitripsin- α1

dioksidasi dan dihambat oleh merokok sehingga mengakibatkan pembentukan

emfisema , bahkan pada orang yang tidak memiliki predisposisi genetik

(Silbernagl, 2006).

Selain kekurangan penghambat, peningkatan pembentukan elastase dapat

pula menyebabkan emfisema (misalnya, serin elastis dari granulosit, metaloestase

dari makrofag alveolus, dan berbagai proteinase dan patogen). Kelebihan elastase

Page 5: Emfisema Paru

pada penyakit inflamasi kronis, contohnya, menyebabkan penguraian serabut

elastis di paru (Silbernagl, 2006).

Bila kita memerhatikan efek emfisema paru, akibatnya pada penurunan

elastisitas paru merupakan hal yang penting. Pada akhirnya, elastisitas jaringan

paru menimbulkan tekanan positif di alveolus bila dibandingkan dengan udara

sekitar yang diperlukan untuk ekspirasi normal. Meskipun tekanan positif

dialveolus dapat juga dihasilkan oleh tekanan dari luar, yaitu melalui kontraksi

otot ekspirasi hal ini juga akan menekan bronkiolus sehingga menyebabkan

peningkatan resistensi aliran udara yang sangat hebat. Kecepatan aliran ekspirasi

maksimal (Vmax) merupakan fungsi dari perbandingan antara elastisitas (K) dan

resistensi (RL). Jadi penurunan elastisitas dapat menyebabkan efek yang sama

seperti penyakit paru obstruktif, elastisitas dapat ditingkatkan dengan

meningkatakan volume inspirasi, yang akhirnya menyebabkan pergeseran posisi

istirahat menuju inspirasi. Jika volume tidal tetap konstan, kapasitas fungsional

dan volume residu akan meningkat, kadang – kadang juga terjadi pada ruang

rugi. Namun, kapasitas vital berkurang karena ekspirasi menurun. Kehilangan

dinding alveolus menimbulkan pengurangan area difusi, kehilangan kapiler paru

menyebabkan peningkatkan ruang rugi fungsional serta peningkatab tekanan arteri

pulmonalis dan resistensi vaskular dengan pembentukan kor pulmonal. Pada tipe

emfisema sentrilobular, bukan tipe panlobular, dapat pula terjadi gangguan

distribusi karena resistensi yang berbeda – beda pada berbagai bronkilous.

Gangguan distribusi menimbulkan hipoksemia. Pasien dengan emfisema

sentrilobular akibat penyakit paru obstruktif disebut “blue bloaters”. Sebaliknya ,

pasien dengan emfisema panlobular pada saat istirahat disebut “pink puffers”

karena pembesaran ruang rugi fungsional memaksa pasien bernapas lebih dalam.

Hal ini hanya terjadi jika kapasitas difusi sangat berkurang atau pemakaian

oksigen meningkat (misalnya, pada aktivitas fisik) sehingga gangguan difusi akan

mengakibatkan hipoksemia (Silbernagl, 2006).

Silbernagl, Stefan. Lang, Florian. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.

Jakarta : EGC

Page 6: Emfisema Paru

Gambaran Histopatologi

Mikroskopik tampak rongga-rongga alveoli melebar penuh berisi udara, sebagian

bergabung menjadi satu gelembung yang besar.

Panah Hitam : Rongga alveoli yang penuh dengan udara