emfisema paru
TRANSCRIPT
Etiologi
Emfisema pulmonari adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang
ditandai oleh perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan
dinding alveolar. Peneyebab emfisema tidak diketahui, namum demikian bukti
menunjukkan bahwa adanya keterlibatan dari protease yang dilepaskan oleh
leukosit polimorfo nukleus atau makrofag alveolar terhadap pengerusakan
jaringan ikat paru (Asih et al, 2003).
Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua
ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan
ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu
terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat
dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Kumar et al, 2007)
Asih, Niluh G.Y . Effendy, Christantie. 2003. Keperawatan Medikal
Bedah Klien dengan Gangguan Sistem pernapasan. Jakarta : EGC
Patogenesis
Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua
ketidakseimbangan penting ketidakseimbangan protease-antiprotease dan
ketidakseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu
terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat
dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Kumar et al, 2007).
Hipotesis keseimbangan protease-antiprotease didasarkan pada
pengamatan bahwa pasien dengan defisiensi genetik antiprotease antitripsin- α1
memperlihatkan kecenderungan besar mengalami emfisema paru, yang diperparah
merokok. Sekitar 1% dari semua pasien dengan emfisema menderita defisiensi ini.
Antitripsin-α1, yang secara normal terdapat dalam serum, cairan jaringan, dan
makrofag, merupakan inhibitor utama protease (terutama elastase) yang
dikeluargak oleh netrofil sewaktu peradangan. Enzim tersebut dikode oleh gen
yang diekspresikan secara kodominan di lokus inhibitor protease (Pi) pada
kromosom 14. Lokus Pi bersifat sangat polimorfik, dengan banyak alel yang
berlainan. Yang tersering adalah alel normal (M) dan fenotipe nya PiMM. Sekitar
0,012% populasi AS bersifat homozigot untuk alel Z(PiZZ), yang berkaitan
dengan penurunan mencolok kadar antitripsin- α1, serum. Banyak dari mereka
yang kemudian menderita emfisema sistomatik (Kumar et al, 2007).
Dipostulasikan terjadi rangkaian berikut (Kumar et al, 2007) :
1. Neutrofil(sumber utama protease sel) secara normal mengalami sekuestrasi
dikapiler perifer , termasuk diparu , dan beberapa memperoleh akses ke
ronggal alveolus.
2. Setiap rangsangan yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil dan
makrofag) di paru maupun pelepasan granula yang mengandung protease,
meningkatkan aktivitas proteolitik.
3. Pada kadar antitripsin-α1 serum yang rendah, destruksi jaringan elastik
menjadi tidak terkendali dan timbul emfisema.
Oleh karena itu, emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif
peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antripsin yang rendah.
Hipotesis ini didukung kuat oleh penelitian pada hewan percobaan yang penetesan
enzim proteolitik papaiannya dan, yang lebih penting, elastase neutrofil manusia
intratrakea menyebabkan degradasi elastin yang disertai dengan timbulnya
emfisema (Kumar et al, 2007).
Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu
menjelaskan efek merokok dalam terjadinya emfisema , terutama bentuk
sentriasinar pada orang dengan kadar antitripsin- α1 yang normal (Kumar et al,
2007).
Pada perokok, neutrofil dan makrofag berkumpul di alveolus. Mekanisme
peradangan masih belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin menimbulkan efek
kemoatraktin langsung dari nikotin serta efek spesies oksigen reaktif yang
terdapat di dalam asap rokok. Hal ini mengaktifkan transkripsi nuklear faktor KB
(NF- KB), yang mengaktifkan gen untuk faktor nekrosis tumor (TNF) dan
Interleukin-8 (IL-8). Hal ini kemudian,menarik dan mengaktifkan neutrofil
(Kumar et al, 2007).
Neutrofil yang berkumpul mengalami pengaktifan dan membebaskan
granulanya, yang kaya akan beragam protease sel (elastase neutrofil, proteinase 3,
dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kumar et al, 2007).
Merokok juga meningkatkan aktivitas elastase di makrofag; elastase
makrofag tidak dihambat oleh antitripsin- α1 , bahkan dapat secara proteolitis
mencerna antiprotease ini. Kini semakin banyak bukti bahwa selain elastase,
metaloproteinase matriks yang berasal dari makrofag dan neutrofil juga berperan
pada kerusakan jaringan (Kumar et al, 2007).
Merokok juga mungkin berperan dalam memperpanjang
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan. Dalam keadaan normal, paru
mengandung sejumlah antioksidan (superoksida dismutase glutation) yang
menekan kerusakan oksidatif tingkat minimum. Asap rokok mengandung banyak
spesies oksigen reaktif (radikal bebas) , yang menghabiskan mekanisme
antioksidan ini sehingga terjadi kerusakan jaringan. Neutrofil aktif juga
menambah jumlah spesies oksigen reaktif di alveolus. Akibat sekunder cedera
oksidatif ini adalah inaktivasi antiprotease yang terdapat dalam paru sehingga
terjadi defisiensi “fungsional” antitripsin- α1 , bahkan pada pasien yang
mengalami defisiensi enzim (Kumar et al, 2007).
Secara singkat, tumbukan partikel asap , terutama dipercabangan
bronkiolus respiratorik, mungkin menyebabkan influks neutrofil dan makrofag;
kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai protease. Pengingkatan aktivitas
protease yang terletak diregio sentriasinar menyebabkan terbentuknya emfisema
pola sentriasinar seperti yang ditemukan pada para perokok. Kerusakan jaringan
diperhebat oleh inaktivasi antiprotease (yang ebrsifat protektif) oleh spesies
oksigen reaktif yang terdapat dalam asap rokok. Skema ini juga menjelaskan
pengaruh merokok dan defisiensi antitripsin- α1 dalam memperparah penyakit
obstruksi jalan napas yang serius (Kumar et al, 2007).
Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S, Robbins, Stanley L. 2007. Buku Ajar Patologi
Anatomi Edisi 7 Volume 2. Jakarta : EGC
Patofisiologi
Emfisema paru ditandai dengan meningkatnya volume jalan napas
dibagian distal sampai ke bronkiolus. Emfisema sentrilobular ditandai dengan
pelebaran yang dominan dari duktus alveolaris dan bronkiolus respiratorik, yang
dibedakan dari emfisema panlobular, ditandai dengan pelebaran terutama di
daerah alveolus terminalis. Pada paru yang flasid, kemampuan elastisitas paru
hampir menghilang. Penyakit ini dapat mengenai daerah tertentu saja(emfisema
lokal) atau seluruh paru (generalisata). Emfisema merupakan salah satu penyebab
yang paling sering menimbulkan kematian (Silbernagl, 2006).
Emfisema sentrilobular terutama disebabkan oleh penyakit paru obstruktif:
pada paru yang flasid , jaringan ikat menghilang oleh sebab yang belum
diketahui ; pada emfisema panlobular ditambah dengan kehilangan septa alveolus.
Pada orang tua biasanya terjadi peningkatan volume alvelous terhadap permukaan
alveolus. Pada beberapa oasien (sekita 20%) terdapat defisiensi penghambat
proteinase-α1(antitripsin α1) yang biasanya menghambat kerja proteinase
(misalnya, leukosit elastase). Enzim ini dihasilkan di hati; mutasi pada enzim ini
dapat mengaruhi sekresinya dan/atau fungsinya. Pada kedua keadaan ini,
penurunan penghambatan terhadap proteinase mengakibatkan penguraian
sehingga menghilangkan elastisitas jaringan paru. Jika sekresinya terganggu,
penimbunan protein yang rusak di sel hati dapat menimbulkan kerusakan hati.
Akhirnya, kekurangan penghambatan proteinase dapat pula memengaruhi jaringan
lain, seperti glomerulus ginjal dan pankreas dapat menjadi rusak. Antitripsin- α1
dioksidasi dan dihambat oleh merokok sehingga mengakibatkan pembentukan
emfisema , bahkan pada orang yang tidak memiliki predisposisi genetik
(Silbernagl, 2006).
Selain kekurangan penghambat, peningkatan pembentukan elastase dapat
pula menyebabkan emfisema (misalnya, serin elastis dari granulosit, metaloestase
dari makrofag alveolus, dan berbagai proteinase dan patogen). Kelebihan elastase
pada penyakit inflamasi kronis, contohnya, menyebabkan penguraian serabut
elastis di paru (Silbernagl, 2006).
Bila kita memerhatikan efek emfisema paru, akibatnya pada penurunan
elastisitas paru merupakan hal yang penting. Pada akhirnya, elastisitas jaringan
paru menimbulkan tekanan positif di alveolus bila dibandingkan dengan udara
sekitar yang diperlukan untuk ekspirasi normal. Meskipun tekanan positif
dialveolus dapat juga dihasilkan oleh tekanan dari luar, yaitu melalui kontraksi
otot ekspirasi hal ini juga akan menekan bronkiolus sehingga menyebabkan
peningkatan resistensi aliran udara yang sangat hebat. Kecepatan aliran ekspirasi
maksimal (Vmax) merupakan fungsi dari perbandingan antara elastisitas (K) dan
resistensi (RL). Jadi penurunan elastisitas dapat menyebabkan efek yang sama
seperti penyakit paru obstruktif, elastisitas dapat ditingkatkan dengan
meningkatakan volume inspirasi, yang akhirnya menyebabkan pergeseran posisi
istirahat menuju inspirasi. Jika volume tidal tetap konstan, kapasitas fungsional
dan volume residu akan meningkat, kadang – kadang juga terjadi pada ruang
rugi. Namun, kapasitas vital berkurang karena ekspirasi menurun. Kehilangan
dinding alveolus menimbulkan pengurangan area difusi, kehilangan kapiler paru
menyebabkan peningkatkan ruang rugi fungsional serta peningkatab tekanan arteri
pulmonalis dan resistensi vaskular dengan pembentukan kor pulmonal. Pada tipe
emfisema sentrilobular, bukan tipe panlobular, dapat pula terjadi gangguan
distribusi karena resistensi yang berbeda – beda pada berbagai bronkilous.
Gangguan distribusi menimbulkan hipoksemia. Pasien dengan emfisema
sentrilobular akibat penyakit paru obstruktif disebut “blue bloaters”. Sebaliknya ,
pasien dengan emfisema panlobular pada saat istirahat disebut “pink puffers”
karena pembesaran ruang rugi fungsional memaksa pasien bernapas lebih dalam.
Hal ini hanya terjadi jika kapasitas difusi sangat berkurang atau pemakaian
oksigen meningkat (misalnya, pada aktivitas fisik) sehingga gangguan difusi akan
mengakibatkan hipoksemia (Silbernagl, 2006).
Silbernagl, Stefan. Lang, Florian. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : EGC
Gambaran Histopatologi
Mikroskopik tampak rongga-rongga alveoli melebar penuh berisi udara, sebagian
bergabung menjadi satu gelembung yang besar.
Panah Hitam : Rongga alveoli yang penuh dengan udara