endotracheal tube perioperatif
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia memerlukan oksigen untuk hidup. Respirasi sebagai salah satu sistem berfungsi
memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke
jaringan/sel untuk beberapa saat akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang
pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sel. Kerusakan otak yang permanen dapat
terjadi jika aliran darah terhenti lebih 4-6 menit. Pemutusan aliran oksigen ke otak dan
seluruh organ dapat menjadi penyebab ataupun sebagai konsekuensi henti
kardiosirkulasi.1,2
Sumbatan jalan nafas, henti nafas dan syok bahkan henti jantung cepat sekali
menimbulkan kematian bila tidak mendapat pertolongan dengan segera. Penguasaan jalan
nafas yang cepat dan tepat merupakan hal terpenting untuk berhasilnya penanganan pasien
gawat darurat. Pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan yang tepat,
cermat dan cepat untuk mencegah kematian atau kecacatan. Kedaruratan medis yang dapat
mengancam nyawa dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan dapat menimpa siapa saja
Doktrin dasar yang digunakan ialah “time saving is life saving” dimana waktu adalah
nyawa. Jika pasien mengalami hipoksemia sebelumnya, batas waktu itu jadi lebih pendek.
Bantuan hidup dasar yang dilakukan dengan cara yang benar akan menghasilkan cardiac
output 30 % dari cardiac output normal.1
Indikasi penggunaan pipa endotrakeal pada pasien sadar adalah untuk menjaga
impatensi jalan nafas, sedangkan pada pasien tidak sadar adalah untuk melakukan teknik
anastesi perioperatif maupun postoperatif. Pembahasan kali ini akan lebih bayak mengulas
mengenai penggunaan perioperatif, yang sering kali digunakan.
1

BAB II
JALAN NAFAS
2.1. Anatomi Laring
Jalan nafas dan dunia luar dihubungkan melalui dua jalur yaitu hidung yang menuju
nasofaring dan mulut yang menuju orofaring. Hidung dan mulut di bagian depan
dipisahkan oleh palatum durum dan palatum molle dan di bagian belakang bersatu di
hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring yang dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea.3
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago yang
berpasangan ataupun tidak. Di sebelah superior terdapat os hioideum, struktur yang
berbentuk U dan dapat di palpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring
lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus hioideum adalah
suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu prosesus pendek
yang mengarah ke superior. Kartilgo krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit,
melekat pada kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Kartilago krikoidea
berbentuk lingkaran penuh dan tidak mampu mengembang. Permukaan posterior atau
lamina krikoidea cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Intubasi
yang lama sering kali merusak lapisan mukosa cincin yang dapat menyebabkan stenosis
subglotis.4
Pada permukan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea, yang
masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Sedangkan kartilago epiglotika
merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bat pingpong. Laring juga
disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior, pada kedua sisi laring terdapat
membrana kuardrangularis yang meluas ke belakang dari tepi lateral epoiglotis higga tepi
lateral kartilago aritenoidea.4
2.2. Fisiologi Laring
Walaupun biasanya laring dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
mempunyai tiga fungsi utama-proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Kenyataannya
secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi
saluran pernafasan, sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi
belakangan.4
2

Perlindungan jalan nafas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme
berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam
plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu. Elevasi laring dibawah pangkal lidah
melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke
bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjahui aditus
laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot
krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus
sehingga tidak masuk ke laring. Disamping itu, respirasi juga dihambat selama proses
menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis.
Hal ini mencegah inhalasi makanan atau saliva.4
2.3. Tanda dan Gejala Obstruksi
Untuk bertahan hidup manusia memerlukan oksigen. Obstruksi jalan nafas merupakan
salah satu penyebab dari gagal nafas akut.1 Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke
jaringan akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang pada gilirannya akan
menimbulkan kerusakan sel.5 Sebab-sebab obstruksi jalan nafas yang paling sering antara
lain jatuhnya lidah ke hipofaring pada pasien yang tidak sadar serta adanya benda asing,
seperti muntahan, lendir atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat ditelan atau
dibatukkan keluar oleh pasien, atau gigi palsu yang terlepas dan mengakibatkan sumbatan
pada jalan nafas.1,2,3 Spasme laring pada saat anesthesia ringan juga dapat mengakibatkan
obstruksi. Disamping itu sumbatan jalan nafas bawah dapat disebabkan oleh
bronkospasme, sekresi bronkus, sembab mukosa, inhalasi isi lambung atau benda asing.2
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara parsial atau total.1,2 Pada sumbatan parsial
jalan nafas, masih terdapat usaha nafas, suara nafas masih terdengar dan desiran udara
ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui dengan
merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga dekat
mulut atau hidung pasien. Disamping itu gejala lain yang diberikan berupa adanya :
- stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur atau
melengking.
- Retraksi otot dada kedalam daerah supraklavikular, suprasternal, sela iga dan
epigastrium selama inspirasi.
- Nafas paradoksal (pada watu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar bukannya
mengembang/membesar).
- Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas tambahan meningkat).
3

- Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstrusi jalan nafas yang lebih berat.
Obstruksi total serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan
stridor justru menghilang. Suara nafas sama sekali tidak terdengar, tidak terasa desiran
udara dari mulut atau hidung pasien.
- Retraksi lebih jelas
- Gerak paradoksal lebih jelas
- Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas
- Sianosis lebih cepat timbul.2
Bila keadaan ini tidak segera ditangani dapat menyebabkan asfiksia (hipoksemia ditambah
hiperkarbia) henti nafas dan henti jantung karena hipoksia berat (jika tidak dikoreksi)
dalam waktu 5 sampai 10 menit. Sumbatan parsial berisik dan harus pula dikoreksi segera,
karena dapat menyebabkan kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan penyulit
lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti nafas dan henti jantung sekunder.1 Secara
klinis, salah satu tanda/gejala tersebut di atas sudah merupakan suatu peringatan untuk
segera mengatasinya, dan bila mungkin terlebih daulu dicari penyebab dari sumbatan jalan
nafas.1,3
2.4. Tindakan Penguasaan Jalan Nafas
Terdapat beberapa prosedur untuk melapangkan jalan nafas secara maksimal. Manuver
tripel jalan nafas terdiri dari :
1. Eksetensi kepala
2. Mendorong mandibula ke depan
3. Membuka mulut.1,3,6,7
Gambar 2.
Ekstensi kepala dan mengangkat dagu5
4

Gambar 3.
Membuka mulut5
Manuver ini diindikasikan bagi penderita yang tidak sadar tanpa adanya patah tulang leher.
Ekstensi kepala, pendorongan mandibula ke depan atau keduanya, mencegah sumbatan
hipofaring oleh dasar lidah. Kedua gerak tersebut meregangkan jaringan antara laring dan
mandibula sehingga dasar lidah terangkat dari dinding posterior faring.4,6
Pada kira-kira 20% pasien tidak sadar, ekstensi kepala saja tidak cukup untuk
membuka jalan nafas. Pada keadaan demikian mandibula perlu didorong ke depan sebagai
tambahan untuk membuka jalan nafas. Bahkan bila kedua gerak inipun dilakukan bersama
masih mungkin terjadi sumbatan waktu ekspirasi di nasofaring pada kira-kira sepertiga
pasien tidak sadar jika mulut tertutup. Karena itu mulut hendaknya sedikit dibuka.
Sehubungan dengan ini perlu dicatat bahwa jika mulut terbuka lebar keregangan leher akan
berkurang, sehingga sumbatan total atau parsial di hipofaring kembali lagi. Akan tetapi
keregangan leher yang diperlukan dapat diperoleh kembali dengan mendorong mandibula
ke depan.1
Jika pasien bernafas spontan, tempatkanlah diri anda pada verteksnya. Peganglah
kedua ramus asenden mandibula di depan daun telinganya dengan mengguanakan jari 2-5
(atau 2-4) kedua tangan dan tarik dengan paksa ke atas (ke depan). Ini akan mendorong
mandibula sehingga gigi geligi bawah berada di depan gigi geligi atas. Retraksikan bibir
bawah dengan kedua ibu jari. Jangan memegang ramus horizontal mandibula kerena ini
dapat menutup mulut.
Tindakan ini menyebabkan nyeri. Kerena itu selain membuat jalan nafas paten ini
juga berguna menilai dalamnya ketidaksadaran. Pasien yang tidak memberikan tanggapan
yang bertujuan dapat dianggap berada dalam koma.
5

Untuk ventilasi mulut ke mulut langsung dengan ekstensi kepala ditambah
pendorongan mandibula, tempatkan diri anda pada posisi kepala pasien. Sesuaikan tangan
pada posisi nyaman (misal: kedua siku bertopang pada tanah), lingkarilah mulut pasien
seluasnya dengan kedua bibir dan tutup hidung pasien dengan pipi ketika meniup. Untuk
ventilasi mulut ke hidung lingkari seluruh hidung dengan bibir dan tutup mulut pasien
dengan pipi atau ibu jari. 6
Pada pasien dengan kecurigaan cedera leher ekstensi kepala maksimum dapat
memperberat cedera medulla spinalis (fleksi dan rotasi kepala merupakan indikasi kontra
mutlak), maka pendorongan mandibula ke depan dengan ekstensi kepala sedang
merupakan cara terbaik penguasaan jalan nafas selain daripada intubasi trakea. 1,6
Bila sumbatan tetap terjadi walaupun telah dilakukan ekstensi kepala, pembukaan
mulut dan pendorongan mandibula dan dicurigai adanya benda asing di jalan nafas atas,
maka mulut harus dibuka dengan paksa dan dibersihkan dari benda asing baik secara
manual dengan menggunakan jari serta memiringkan kepala atau dengan alat penghisap.
Gambar 4. Mengorek keluar benda asing pada rongga mulut5
Pada anestesia umum, hal utama yang harus diperhatikan adalah menjaga agar jalan
nafas selalu bebas dan nafas dapat berjalan lancar dan teratur.2 Salah satu caranya adalah
dengan memasang pipa khusus atau pipa endotrakea ke dalam trakea. Pemasangan pipa ini
memerlukan ketrampilan dan tenaga anestesi yang terlatih. Sehingga di daerah-daerah
kadang-kadang anestesia umum dilakukan tanpa pemasangan pipa endotrakea.
Pada anestesia umum tanpa pemasangan pipa endotrakea ada kalanya terjadi
gangguan nafas yang disebabkan obstruksi di jalan nafas atas (JNA). Bila obstruksi ini
berat dan akut, dapat berakibat fatal. Karena itu harus dipahami gejala-gejalanya, cara
pencegahan maupun penanggulangannya. Gejala obstruksi jalan nafas sebenarnya mudah
dikenal dan apapun penyebabnya langkah-langkah penanggulangannya hampir sama, yaitu:
6

BAB III
PIPA ENDOTRAKEA PERIOPERATIF
3.1. Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas, mempertahankan
patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
Gambar 5. Pipa endotrakea12
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang bebas
lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk melindungi
jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang
memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung didapatkan ukuran dengan
jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.12
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea
yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis
tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada
penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa
endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai
pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa
tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara
inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis)
tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga
disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop
serat optik
7

Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa
balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena
dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama
dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan
terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa cuff.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil
pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Size PLAIN
Size CUFFED
2.5 mm 4.5 mm3.0 mm 5.0 mm3.5 mm 5.5 mm4.0 mm 6.0 mm4.5 mm 6.5 mm
7.0 mm7.5 mm8.0 mm8.5 mm9.0 mm
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan
trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.13 Kerusakan pada
laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi
trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan
dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk
mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini.6
3.2. Indikasi Intubasi Perioperatif
Intubasi trakea merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.2 Dapat
merupakan tindakan pertolongan darurat (penyelamatan hidup) dan sangat sering dilakukan
di unit terapi intesif untuk pasien yang refleks laringnya terganggu serta gagal nafas akut. 7,8
Intubasi endotrakea diindikasikan sebagai pilihan terakhir penguasaan jalan nafas darurat
8

pada pasien tidak sadar. Intubasi tersebut dapat dikerjakan dengan mengunakan pipa
orotrakeal, nasotrakeal atau trakeostomi.
Indikasi utama dilakukannya intubasi pada anestesia umum bertujuan untuk:
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mempertahankan kelancaran
pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung (pada keadaan-keadaan tidak sadar,
lambung penuh, tidak ada refleks batuk).
4. Memudahkan pengisapan sekret trakeo bronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
Anestesia umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada operasi-operasi lama yang
memerlukan nafas kendali, operasi daerah leher-kepala, operasi dengan posisi miring,
tengkurap atau duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan.2
Intubasi yang sulit dapat diperkirakan pada pasien dengan leher pendek berotot,
mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol, uvula tidak terlihat (malampati 3 atau
4), gerak sendi temporo-mandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas, adanya
massa di faring atau laring.
3.3. Teknik Intubasi
Alat-alat yang digunakan pada intubasi yaitu :
1. Laringoskop: yaitu alat untuk melihat laring. Terdiri dari bagian pegangan atau
batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4 ukuran bilah (ukuran bayi, anak, dewasa
normal dan yang besar)
Jenis-jenis laringoskop :
1.1. Tipe magil (bilah lurus), sering digunakan oleh ahli THT pada waktu
laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi. Jarang dipakai intubasi karena trumatis.
1.2. Tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering dipakai untuk tindakan intubasi
karena kurang traumatis dan lapangan pandangan luas serta kemungkinan timbul
refleks vagal berkurang.
1.3. Laringoskop serat optik digunakan untuk kasus intubasi yang sulit dilakukan
dengan laringoskop biasa.
2. Pipa khusus (pipa endotrakea).
Ada bermacam-macam jenis yang disesuaikan menurut kebutuhannya, yaitu :
9

2.1. Dengan atau tanpa balon (“cuff”), berfungsi mencegah aspirasi isi faring ke dalam
trakea dan memastikan tidak ada kebocoran selama ventilasi bertekanan positif.
Tekanannya antara 20-30mm H2O diukur dengan manometer.10
2.2. Jenis nasal atau oral
2.3. Terbuat dari bahan karet, PVC (plastik) atau diperkuat dengan kawat spiral.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi
trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
1. Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
2. Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
3. Relaksasi otot yang baik.
.
Prosedur persiapan :
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang
disebut SALT, yaitu :
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat
benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi
dari paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke
bagian belakang faring.
Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan
pipa endotracheal.
Tube. Pipa Endotrakea memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang
dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9
Cara intubasi : (pada waktu induksi anestesia)
1. Pastikan bahwa alat-alat yang diperlukan sudah lengkap dan baik.
2. Bila perlu sediakan oksigen dan diperiksa bahwa tabung oksigen masih berisi
dan dapat dipakai (manometer, flowmeter dan pipa oksigen).
3. Setelah pasien tidur (biasanya dengan pemberian obat induksi intravena,
tiopental 5 mg/kgBB atau ketamin 1,5 mg/kgBB) berikan obat pelemas otot
suksinilkolin 1 mg/kgBB intravena.
Akan nampak fasikulasi pada otot kerangka tubuh yang kadang-kadang hebat.
10

4. Bila fasikulasi sudah mulai berkurang, berikan ventilasi buatan dengan
oksigen kurang lebih selama 30 detik.
5. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan yang lain
mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan mulut pasien akan dengan
sendirinya membuka. Bila mulut tidak juga membuka, maka setelah melakukan
ekstensi kepala, mulut dibuka dengan tangan (jempol, telunjuk dan atau dengan
jari tengah). Salah satu tangan tetap memegang laringoskop.
6. Setelah lampu laringoskop kita nyalakan, masukkan bilah ke dalam mulut
berawal dari sudut mulut sebelah kanan.
7. Bilah dimasukkan sedikit demi sedikit sedemikian rupa, sehingga
menyelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser lidah ke kiri. Hendaknya
jangan meletakkan bilah dipertengahan lidah, karena akan mengganggu
pandangan.
8. Sambil memasukkan bilah kedalam carilah epiglotis. Bila bilah bengkok,
tempatkan ujung bilah di valekula.
9. Dengan sedikit mengangkat laringoskop (arah gerakan sama dengan sumbu
batang laringoskop) maka akan tampak rima glotis (jangan dicongkel). Bila perlu
orang lain menekan trakea dari luar untuk melihat rima glotis.
10. Bila nampak rima glotis, maka akan nampak pita suara berwarna putih tidak
bergerak karena henti nafas dan sekitarnya berwarna merah.
11. Bila perlu berikan obat analgetik dengan semprotan (lidokain 10%) pada
laring dan trakea.
12. Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glotis.
13. Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesia atau alat resusitasi dan
pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali spontan dan adekuat.2
Bila sebelum melakukan tindakan intubasi kita sudah sangsi akan keberhasilan
intubasi, maka hendaknya tidak memberi obat-obatan yang membuat pasien tidur,
melainkan cukup diberi sedatif saja dengan lebih dulu memberi analgetik topikal
dalam mulut, faring, laring sebelum intubasi. Dapat juga pasien di buat tidur dengan
cukup dalam tetapi biarkan bernafas spontan (tanpa pelemas otot).2
Bila dengan cara tidak lihat (blind) dan laringoskop serat optik juga gagal baru
dipertimbangkan trakeostomi. Namun saat ini cara intubasi blind sebaiknya tidak
dilakukan lagi.4
11

Pada keadaan-keadaan tertentu dimana kesulitan intubasi tidak dapat diduga
sebelumnya maka pada waktu tindakan intubasi sedang berlangsung hendaknya
selalu diperhatikan nadi dan perifer/mukosa mulut. Bila timbul bradikardia dan atau
sianosis hendaknya tindakan dihentikan. Berikan kembali bantuan nafas dan oksigen.
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk :
1. Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai
stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan
sehingga bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit,
lalu periksa kembali dengan stetoskop.
2. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat
diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
3. Pasang alat pencegah tergigitnya pipa.
4. Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak
bergerak (malposisi).2
Pada umumnya intubasi endotrakeal dibatasi, tidak lebih dari 2 minggu.
Tindakan trakeostomi sebaiknya dihindari, kecuali bila bantuan jalan nafas masih
diperlukan untuk jangka waktu tertentu. Keuntungan intubasi lama ialah bahwa
komplikasi trakeostomi dapat dihindari, walaupun diketahui bahwa intubasi sendiri
memiliki berbagai komplikasi, diantaranya komplikasi selama intubasi berupa trauma
gigi geligi; laserasi bibir, gusi, laring; merangsang saraf simpatis (hipertensi-
takikardi); intubasi bronkus; intubasi esofagus; aspirasi; spasme bronkus. Komplikasi
setelah ekstubasi berupa spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glotis-
subglotis, infeksi laring, infeksi faring dan infeksi trakea.3,7
12

Gambar 6. Perlengkapan intubasi endotrakea
Kebanyakan pipa endotrakea terlalu panjang dan harus dipotong. Panjang pipa
yang dibutuhkan dapat diperkirakan dengan meletakkannya disamping muka dan leher
pasien dengan bifurkasio trakea terletak pada pertemuan manubrium-sternum. Diameter
pipa yang tepat sangat penting, terutama dalam pemilihan pipa untuk anak, tetapi dapat
diperkirakan dari besarnya diameter jari kelingking anak. Untuk meja resusitasi persediaan
pipa dengan diameter 6-10 mencukupi.
Stilet plastik atau logam berujung tumpul yang dapat dibentuk membuat lengkung
pipa dapat diatur. Bila digunakan, ujung stilet hendaknya tidak keluar dari ujung distal
pipa. Pemakaian stilet lurus yang dibengkokkan 450 pada seperlima bagian distal , bersama
dengan daun laringoskop bengkok memudahkan intubasi pada keadan sulit, bahkan jika
hanya epiglotis yang dapat dilihat.6
Pasien dengan lambung yang penuh yang memerlukan anestesia umum atau dalam
koma akibat penyakit atau cedera, mungkin memerlukan intubasi cepat. Persiapkan
pengisap untuk regurgitasi. Pilihan antara posisi terlentang atau setengah duduk
kontroversi. Posisi terlentang (terutama jika kepala direndahkan) dapat mengatasi aspirasi,
sedangkan posisi setengah duduk dapat mengurangi kemungkinan regurgitasi. Sesudah
preoksigenasi (lebih disukai dengan oksigen 100% tanpa tekanan positif), tutuplah
esofagus pasien dengan tekanan pada krikoid (Sellick) dan lumpuhkan pasien dengan
suksinilkolin. Intubasi secepatnya.
Pasien asfiksia yang kejang dengan cedera kepala merupakan contoh tantangan.
Pasien ini mungkin harus diintubasi dengan pelumpuh otot, karena batuk dan mengedan
13

pada keadaan memar otak, dapat menambah sembab otak dan perdarahan. Intubasi cepat
mungkin berbahaya jika ditangani tenaga yang tidak berpengalaman. Intubasi endotrakea
pasien sadar oleh beberapa orang dianggap diindikasikan sebelum anestesia umum pada
risiko aspirasi dan insufisiensi paru berat.6
3.4. Ekstubasi Perioperatif
Setelah opersi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu pengembalian fungsi
respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat setelah obat bius
dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas
spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi komplikasi.
Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada central atau perifer.
Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya
pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan
adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi
hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien
mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai
kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan
jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar
diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien
menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau
nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manufer standar.
14

BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Evaluasi Pra Anestesia
I. Identitas pasien
Nama : Ni Kt Murni
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Br. Belong Sanur, Kaja, Denpasar Selatan
Status : Menikah
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Pendidikan : Tamat SLTA
Tanggal operasi : 4 Juni 2007
Diagnosis Bedah : Soliter Nodul Tiroid bilateral
Tindakan : Total tiroidektomi
II. Anamnesis
II.1. Anamnesis Khusus
Keluhan benjolan pada kedua leher sejak ± 8 tahun yang lalu. Benjolan timbul
perlahan-lahan dan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan ikut
bergerak sewaktu menelan dan tidak dikeluhkan gangguan bicara maupun
menelan. Pasien tidak merasakan nyeri pada benjolan tersebut. Keluhan dada
berdebar-debar dan berkeringat malam disangkal. Pasien mengatakan nafsu
makannya meningkat, tetapi berat badannya dirasakan menurun. Keluhan
diare dan tremor tidak didapatkan.
Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan maupun pembedahan untuk
keluhannya saat ini. Keluhan bola mata menonjol tidak didapatkan.
II.2. Anamnesis Umum
Riwayat penyakit sistemik tidak ada
Riwayat pemakaian obat tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada
Kebiasaan merokok, alkohol, maupun pemakaian obat terlarang tidak ada
15

Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada
III. Status Present
Kesadaran : Composmentis (E4V5M6)
Respirasi : 20 kali/menit
Sirkulasi : Tek darah: 120/80 mmHg, Nadi : 80 kali/menit
Temperatur aksila : 36,8 0 c
Berat badan : 55 Kg
Tinggi : 160 Cm
VAS : 0 ( Tidak nyeri )
IV. Pemeriksaan Fisik
4.1. Pemeriksaan fisik umum
1. SSP : Normal
2. Respirasi : Sumbatan jalan nafas tidak ada
3. Sirkulasi : Normal
4. Hematologi : Normal
5. Urinari : Normal
6. Saluran cerna : Normal
7. Hepatobilier : Normal
8. Metabolik : Peningkatan Basal Metabolisme Rate (penurunan berat
badan)
9. Otot Rangka : Mallampati I f/d normal
4.2.Pemeriksaan fisik khusus
1. Keadaan gigi : Normal
2. Kemampuan membuka mulut : Normal
3. Fleksi dan ekstensi leher : Normal
4. Deskripsi massa: Massa padat berjumlah 2 buah, masing-masing pada
leher kanan dan kiri. Konsistensi kenyal, mobile, ukuran 6x6cm dan 5x4cm.
V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
WBC : 7,41 . 10 –6 /μL ( 4,5-11 . 10 –6 /μL)
HGB : 13,4 g/dL (12-16 g/dL)
16

HCT : 38,9 % (36-48 %)
PLT : 312 . 10 –3 /μL ( 150-440 . 10 –3 /μL)
Bleeding time : 1’ 00” (1’-3’)
Clothing time : 7’ 00” (5’-15’)
Fungsi hati ( Normal )
AST : 19 Iμ/L ( 11-32 Iμ/L )
ALT : 17 Iμ/L ( 4-36 Iμ/L )
Fungsi ginjal ( Normal )
BUN : 12,5 mg/dL ( 5-23 mg/dL )
SC : 0,81 mg/dL ( 0,5-1,2 mg/dL )
Metabolik endokrin
BS : 98 mg/dL ( 70-110 mg/dL )
Alb : 4,3 g/dL ( 4-5,7 g/dL )
FT4 : 1,32 ng/dL ( 0,71-1,85 ng/dL )
TsHs : 0,625 mcIU/mL ( 0,47-4,64 mcIU/mL )
Kardiovaskuler
Foto Thoraks : Kesan thoraks normal
Fr. lama costae S posterior multiple (3-7)
EKG : Irama sinus
VI. Kesimpulan : ASA 1
B. Persiapan Pra-Anestesia
I. Persiapan di ruangan
Surat perjanjian operasi sudah ditandatangani
Persiapan psikis : penjelasan mengenai rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakankepada pasien dan keluarga, pemberian obat sedatif : Diazepam 2
x 5 mg per oral (malam dan pagi hari)
Persiapan fisik : puasa 8 jam sebelum operasi, melepaskan aksesoris yang
dipakai (cincin, gelang, kalung), penderita mandi bersih kemudian
menggunakan pakaian khusus untuk operasi
II. Persiapan di ruang persiapan IBS
Memeriksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi
17

Memberikan premedikasi sedatif dan analgetik ( Midazolam 5 mg dan Pethidin
70 mg intramuskuler ).
Memasang infus di tangan kiri
RL 500 cc
kebutuhan cairan : I. 110 cc + 50% X 1100 cc = 6600 cc.
III. Persiapan di kamar operasi
Persiapan mesin anestesia dengan sistem aliran gasnya
Persiapan alat dan obat anestesia : Pentotal 250 mg
Persiapan alat dan obat resusitasi
Persiapan alat pantau dan kartu anestesia
4.1. Pengelolaan Anestesia :
o Jenis Anestesia : General Anestesia- Oro-Tracheal Tube
o Teknik Anestesi :
Pasien tidur telentang, dipasang monitor. Preoksigenasi dengan oksigen 100 %
8L/mnt selama 3-5 menit. Prekurarisasi dengan atrakurium 2 mg iv à induksi
dengan propofol 150 mg ivà suksinilkholin 60 mg iv à laringoskopi- intubasi
dengan PET 7, cuff (+) à hubungkan dengan sirkuit nafas à maintenance
dengan O2 1 Lt/menit, N2O 2 Lt/menit, Isofluran 1 vol %
Medikasi yang lain : petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D 5% 20 tts/mnt
o Respirasi : kendali
o Lama operasi : 2 jam 45 menit
o Lama Anestesi : 3 jam 5 menit
o Fase Pemulihan : Ekstubasi sadar, pasien sadar baik dan tanpa komplikasi.
o Keadaan akhir pembedahan :
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 92 x/menit
o Rekapitulasi :
Cairan masuk : RL 1000 cc, Petidin 175 mg + ketorolac 60 mg dalam D5%.
3.4 Pemantauan pasca Anestesia :
o Aldrette score dari kamar operasi ke ruang pemulihan : 8
18

o Aldrette score dari kamar pemulihan ke ruangan : 10
o Terpasang IVFD RL
o Instruksi di ruangan :
Bila kesakitan : IVFD D 5% + petidin 175 mg + ketorolac 60 mg 20 tts/mnt
Bila mual-muntah : ondansetron 4 mg iv
Makan dan minum bebas bila sudah sadar baik.
BAB V
19

PEMBAHASAN
Perempuan 38tahun, keluhan benjolan pada kedua leher sejak 8tahun yang lalu dengan
semakin lama semakin membesar. Benjolan tersebut dirasakan ikut bergerak sewaktu
menelan, nyeri dan gangguan bicara maupun menelan disangkal. Di keluhkan penurunan
berat badan tanpa sebab yang jelas seiring dengan pembesaran kedua benjolan tersebut.
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada, riwayat penyakit sistemik tidak ada, riwayat
pemakaian obat tidak ada, riwayat alergi obat tidak ada. Pasien didiagnosa dengan soliter
nodul tiroid bilateral, dengan hasil histopatologi folokular neoplasia. Dari status present
dalam batas normal dan pemeriksaan fisik umum dan penunjang dalam batas normal.
Kesimpulan pada pasien ini adalah Status Fisik ASA 1.
Pasien ini dilakukan total tiroidektomi. Pada prosedur ini menggunakan tehnik
anestesi dengan general anestesi dengan pemasangan pipa endotrakea. Pemilihan teknik
anestesi tersebut dengan pertimbangan: lokasi lapangan operasi, posisi pasien pada kondisi
ini harus telentang dan durasi operasi yang cukup lama (2jam 45 menit). Sebelum operasi
dilakukan persiapan rutin di ruangan yang meliputi persiapan psikis dengan memberi
penjelasan kepada pasien dan keluarga perihal rencana anestesi dan pembedahan, dan
persiapan fisik.
Di ruang persiapan pasien diberikan premedikasi yaitu berupa Midazolam 5 mg
(dosis 0,05-0,1 mg/kg BB) dan petidin 50 μg (dosis1 mg/kg BB) yang diberikan secara
intravena. Midazolam merupakan sedatif yang memberikan ketenangan pasien dan petidin
pada dosis tersebut diberikan sebagai analgetik untuk pembedahan.
Pemberian pelumpuh otot pada pasien ini digunakan untuk memudahkan intubasi.
Dipilih suksinilkholin karena obat ini mula kerjanya cepat dan masa kerja yang singkat,
untuk mengatasi efek fasikulasinya diberi prekurarisasi dengan atrakurium. Induksi
digunakan propofol karena disamping onset dan pemulihannya cepat, efek mual muntah
post operasi lebih jarang karena propofol memiliki efek antiemetik. Maintenance dengan
memberi Anestesi inhalasi (N2O, O2, dan isofluran) dengan pipa endotrakea. Pemberian
Anestesi inhalasi untuk memiliki beberapa keuntungan yaitu kedalaman Anestesi dapat
dikontrol dengan menyesuaikan vaporizer output, pola ventilasi, dan total flow rate,
oksigen dengan konsentrasi tinggi diberikan bersama dengan obat Anestesi inhalasi selama
pemeliharaan anestesi, hal ini akan menambah kandungan oksigen di darah. SSelain itu
penggunaan pipa endotrakea memberikan keuntungan berupa proteksi jalan nafas.
DAFTAR PUSTAKA
20

1. Mangku G. Bantuan Hidup Dasar. dalam : Diktat Kuliah Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.
2. Mulyono I. Jalan Nafas Atas Pada Anestesia Umum. Dalam : Muhiman M., Thaib
MR., Sunatrio S., Dahlan R. Editors. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, 1989.
3. Latief SA., Suryadi KA., Dachlan MR., Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 2002.
4. Boeis. Anatomi dan Fisiologi Laring. dalam : Buku Ajar Penyakit THT edisi ke-6.
EGC. Jakarta, 1997; 369-377.
5. Washington J. Airway Management. Available at :
http://www.continuingeducation.com/nursing/airway/airway.pdf . Acccesed: 3rd
June 2007
6. Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981
7. Muhardi., Mulyono I., Susilo. Intubasi Endotrakeal Dan Trakeostomi. Dalam :
Muhiman M. Editor. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit, Edisi kedua.
Jakarta : Sagung Seto, 2001.
8. Hadiwakarta A., Rusmarjono., Soepardi E. Penanggulangan Sumbatan Laring.
Dalam : Soepardi EA., Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tengorok Kepala Leher, Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2003.
9. Prazeres GA. Orotracheal Intubation. Available at :
http://www.medstudents.com.br/proced5/intubat.htm . Accessed : 3rd June 2007
10. Sengupta P, et all. Endotracheal Tube Cuff Pressure in Three Hospitals, and the
Volume Required to Produce an Appropriate Cuff Pressure. Available at:
http://www.biomedcentral.com/1471-2253/4/8. Accessed: 3rd June 2007
11. Endotracheal Tube. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Endotracheal_tube.
Accessed: 3rd June 2007
12. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at: http://www.suru.com/endo.htm.
Accessed: 3rd June 2007
13. Friedland DR, et all. Bacterial Colonization of Endotracheal Tubes in Intubated
Neonatal in Arch Otolaringol Head and Neck Surg 2001;127:525-528. Available at:
http://www.archoto.com. Accessed: 3rd June 2007
21