engkon k kertapati - makalah
DESCRIPTION
Engkon K Kertapati - Makalah HAKI 2009TRANSCRIPT
KAJIAN ASPEK KEGEMPAAN DAN REKAYASA GEMPA KOTA
BANDAR LAMPUNG SEBAGAI LATAR BELAKANG DESIGN
AND CONSTRUCTION KOTA
Engkon K.Kertapati *
PENDAHULUAN
Sebagai kota terbesar ke empat di Pulau Sumatera, dengan populasi 767.185 jiwa di wilayah Kota Bandarlampung dan sekitar 300.000 jiwa di wilayah sekitarnya, kota Bandar Lampung dianggap sebagai salah satu kota terpadat di Sumatera. Kepadatan penduduk mencapai 40 jiwa per ha dan diperkirakan pada tahun 2004 kepadatan penduduk berkembang menjadi 981.840 jiwa. Kota Bandar Lampung terletak di bagian tenggara dari Sumatera bagian selatan dan luasnya mencapai 19.200 ha. Di daerah Bandarlampung / Tanjungkarang dan sekitarnya terdapat singkapan batuan yang berumur Paleozoikum sampai resen (Andi Mangga drr., 1994 ). Oleh karena itu di daerah ini perkembangan tektonika terekam dengan baik dalam batuan-batuan tersebut. Bandar Lampung mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi dan bangsa. Pusat pemerintahan dan institusi pendidikan (Universitas Lampung – UNILA; Universitas Bandar Lampung – UBL, Universitas Malahayati dan Universitas Tulang Bawang) beberapa berpusat di Bandar Lampung. Pelabuhan strategis Tarahan (Pelabuhan Batubara). Disamping itu industri pakan ternak dan minyak goreng kota Bandar Lampung turut memberikan peran kota ini terhadap peningkatan nilai pertanian dan perekonomian Indonesia. Adanya lima fungsi kota seperti pusat pemerintahan, pendidikan, industri, pariwisata dan pelayanan, menjadikan kota Bandar lampung sebagai sebuah kota di Sumatera dengan berbagai macam kegiatan yang berpengaruh terhadap komplikasi masalah pengaturan tata guna lahan, adanya konflik antar tataguna lahan yang berdekatan, penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan tujuan, pola pembangunan yang tidak terkontrol dan dualisme. Kompleksitas pengaturan tataguna lahan dan kepadatan penduduk telah membuat Kota Bandar Lampung menjadi kota yang sangat rawan sehingga rentan terhadap berbagai bencana seperti tanah longsor, gempabumi, kebakaran dan lain – lain. Kota Bandar Lampung sendiri terletak dalam Zona II Wialayah Gempabumi Indonesia – WGI atau Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan – Revisi SNI – 1726 – 1989 – F dengan nilai percepatan puncak pada batuan dasar sebesar 0,25 - 0.30 g ( gravitasi ) pada perioda ulang 500 tahun. Nilai tersebut menunjukkan kondisi tinggi dalam zona itu dan dapat mengakibatkan kerusakan bangunan dan infrastruktur di Kota Bandarlampung Kondisi tanah yang mendominasi kota ini merupakan tanah-tanah bekas endapan pantai dan sungai yang tersebar disekitar Teluk Lampung, dan di sekitar Tanjung Karang didominasi oleh tanah lapukan hasil kegiatan gunung api muda dari Formasi Lampung yang umumnya batuan tuffa. Sementara di tengah-tengah Kota Bandar Lampung muncul bukit bukit mencuat dari tufa dan andesit. Disamping itu perkembangan penduduk, penambangan batu di sekitar kota yang tidak terkontrol,
perkembangan kota yang mengarah ke perbukitan yang sangat rentan terhadap bahaya longsor ( seperti di pusat rekreasi Bukit Randu di tengah kota ). Kerawanan kota di atas diperburuk oleh kenyataan tidak adanya pedoman dan kontrol perencanaan yang baik dalam pengembangan kota. Infra struktur, jaringan utilitas dan banyak gedung yang dibangun belum atau tanpa memperhatikan aspek gempa ( ataupun lainnya ) atau pun bahaya – bahaya alam lainnya sehingga jalan, gedung-gedung, jaringan listrik, telekomunikasi dan penyedian air bersih cenderung dapat tidak berfungsi dan tidak dapat melayani bilamana terjadi bencana gempa.
TEKTONIK KUARTER KOTA BANDAR LAMPUNG Dalam Sidarto dan S. Andi Mangga (2001), Harsa (1978) dan de Coster (1984) menyatakan bahwa terdapat 4 perioda tektonik di Sumatera bagian Selatan, yaitu:
Tektonik Mesozoikum Tengah,
Tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal,
Tektonik Miosen Tengah, dan
Tektonik Plio-Plistosen. Untuk tujuan ini kajian bahaya, tektonik pada masa Plio-Plestosin merupakan salah satu faktor utama dalam analisis kajian ini. Pada perioda Pliosin – Plestosin ini ditandai oleh meningkatnya percepatan konvergensi antara lempeng–lempeng Hindia – Australia dan Eurasia mencapai kecepatan sekitar 7 cm/tahun sehingga menyebabkan Pegunungan Bukit Barisan terangkat lagi, sementara Sesar Sumatera semakin berkembang, Sesar lain yang berkembang sejajar dengan arah sesar Sumatera. Sesar yang telah terbentuk pada periode akhir geologi menjadi obyek utama dalam kajian ini dan diantaranya:
Sesar Panjang,
Sesar Padang cermin, dan
Sesar Pantai Timur ( Sidarto dan S.Andi Mangga, 2001).
a. Pergeseran Sesar Panjang
Topografi sesar Panjang merupakan tebing memanjang baratlaut – tenggara dengan landai ke baratdaya. Bentuk lereng curam, kemiringan umumnya 500 atau lebih curam kecuali di beberapa tempat bervariasi dari landai sampai menengah seperti disekitar Tarahan dan Panjang. Batas tebing merupakan daerah perdataran pantai pada umumnya merupakan daerah-daerah permukiman dan persawahan serta ladang. Penampang memanjang memperlihatkan bahwa perbedaan kelandaian daerah perdataran pantai dimana melandai ke arah baratlaut dengan perbedaan ketinggian umumnya berbeda 1 meter namun di beberapa tempat terlihat bervariasi dari 7 meter sampai 5 meter.
Topografi lainnya yang menunjukkan adanya penyesaran, terdiri dari pergeseran sungai ataupun anak-anak sungainya serta pergeseran lembah-lembah, dan terpotongnya teras-teras sungai pada arah barat laut – tenggara. Lima sampai tujuh aliran sungai dan lembah serta teras-teras terpotong memperlihatkan pergeseran menganan. Keberadaan pergeseran tersebut dan gejala–gejala neo-tektonik lainnya diperlihatkan dalam Gambar 2 & 3 Pergeseran horizontal/mendatar tersebut bervariasi dari 5 meter sampai 25 meter dan diduga terjadi pada Holosin sekitar; 0.0 – 0.01 juta tahun lalu atau 10 000 tahun lalu (Tabel 1). Sehingga didapat kecepatan geser per tahun sekitar 0.2 mm.
Tabel 1:Komponen pergeseran mendatar Sesar Panjang
ALIRAN SUNGAI
PANJANG PERGESERAN
DALAM METER ( M )
Way Sebalang
Way Gerobak
Tanjung Selaki
Tebing tinggi
Way Bumijawa
Pasirputih
Sukamaju
Gegahan Salih
Serampok
Sribawono
25
20
10
7,5
20
15
5
10
7,5
15
Rata-Rata 13,5
Gambar 2
Peta Tentatif Morfo-Tektonik daerah telitian
Gambar 3 Sesar Panjang terlukiskan dalam Peta Tentatif Morfo-Tektonik selama pengamatan sedang mengalami pergeseran terindikasi
dalam pergeseran morfologi
Selain dari hal tersebut di atas, keberadaan sesar / patahan ini terindikasi dengan diketemukannya endapan teras-teras sungai pada ketinggian 8 meter, 15 meter yang tersebar memanjang pantai sekitar kampung Sebalang, Nabang. Gawir sesar di bukit Serampok, tebing Sebalam. Terumbu-terumbu karang yang mencuat terangkat di sekitar pasir putih. Berdasarkan data ini dan gerak vertikal di asumsi terjadi pada Holosin, maka rata–rata pengangkatan di sepanjang jalur tersebut mencapai 0.2 mm / tahun. Bagaimanapun, dari sejumlah fakta data tersebut dapat dinyatakan bahwa singkapan-singkapan ini mencerminkan adanya gejala-gejala kegiatan tektonik mutakhir yang merupakan kelanjutan dari kegiatan tektonik Plio-Plestosin di daerah telitian dan perlu dikaji lebih rinci dari aspek tektonik resen. Dari kenampakan gawir, pergeseran aliran sungai dan gejala-gejala neo-tektonik lainnya terlihat bahwa arah gerak geser dari sesar ini mengarah ke N 300 – 330 E, dengan perilaku gerak menganan “dextral”.
Gambar 4 Pola Sesar Padang Cermin di sekitar kampung Lempasing.
Kajian Potensi Bahaya Gempabumi Kota Bandar Lampung
Pengamatan lapangan dan penelitian menjelaskan bahwa Kota Bandar Lampung
memiliki potensi bahaya ikutan gempabumi colateral hazards: bahaya goncangan
gempabumi, pergeseran tanah “ ground – faulting”, bahaya pelulukan/likuifaksi,
longsor. dari sumber gempa dekat “near field sources”. Sumber–sumber gempabumi
jauh > 60 km yaitu sumber gempabumi patahan di sekitar Selat Sunda dan sumber
gempabumi zona penunjaman Lempeng Samudera Hindia – Australia.
Potensi sumber gempabumi dekat “near field sources” dihitung berdasarkan rumus
Watabe (1982), Crouse (1992); Well dan Copersmith (1994) dan akan menghasilkan
besaran tertinggi gempa (Mmax).
Mmax = 6.93 + 0.82 log rata-rata pergeseran ( AD )
Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, didapat harga besaran gempa
tertinggi untuk Sesar Panjang Mmax = 6.35; Mmax untuk Sesar Padang Cermin
mencapai 5.29 dan Mmax untuk sesar Pantai Timur Lampung sebesar 6.1.
Berdasarkan klasifikasi aktifitas sesar dari Watabe (1982) dan Crouse (1992) Sesar
Panjang dan Sesar Padang Cermin termasuk klasifikasi aktifitas sesar sedang sampai
rendah.
Kondisi geologi dan tanah setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan pengaruh suatu lokasi terhadap goncangan gempabumi. Gambar 10 - 11
memperlihatkan penampang geologi secara umum daerah Bandar Lampung terlihat
dimana endapan bekas pantai dan endapan bekas rawa dan sungai terdiri dari dari
tanah lempung lembek, tanah lempung bercampur pasir, semakin ke baratdaya
semakin tebal seperti di sekitar Pelabuhan Panjang dan Tarahan. Dari potongan
melintang bor dangkal (Sumber Seksi Inventarisasi- Subdit Geologi Teknik –
Direktorat dan Daerah Pertambangan) terlihat bahwa semakin ke baratlaut kedalaman
lapisan pasir semakin mendominasi. Di Kota Bandar Lampung dan sekitarnya
kedalaman muka air tanah sangat dangkal sekitar 1,5 meter dan ke arah utara
semakin dalam dari 5 meter sampai > 10 meter (Sub-Direktorat Hidro-Geologi, Dit.
GTL, 1984). Berdasarkan keterdapatan lapisan pasir, dan muka air tanah yang cukup
dangkal, maka di daerah–daerah tersebut sangat berpotensi terjadi peristiwa
pelulukan/likuifaksi, seperti di daerah–daerah Teluk Betung Selatan, dan Utara.
Gambar 10: Peta Geologi Kota Bandar Lampung ( Sumber: Seksi Inventarisasi-
Subdit Geologi Teknik – Direktorat dan Daerah Pertambangan, 2002)
Gambar 11 : Penampang Bor daerah Telitian
Salah satu kerusakan dominan akibat goncangan gempa “ ground – shaking “ adalah
akibat lapisan tanah yang kehilangan kekuatannya dan berperilaku seperti air,
sehingga tidak mampu lagi memikul bangunan ataupun lapisan tanah di atasnya,
fenomena ini dikenal sebagai peristiwa pelulukan / likuifaksi. Potensi pelulukan yang
tinggi diperkirakan pada daerah–daerah tepi pantai seperti daerh Teluk Betung,
dan Panjang. Seperti yang diperlihatkan darai data bor dangkal di atas. Di
daerah–daerah tersebut selain berpotensi pelulukan, juga sangat berpotensi
terjadinya tanah retak “ground – fracturing” / “ground – spreading”.
Potensi bahaya lain akibat gempa adalah tanah bergeser “ground – faulting”, daerah ini
terletak di sepanjang daerah–daerah yang dilewati oleh sesar–sesar potensi aktif
seperti Sesar Panjang dan Sesar Padang Cermin.
Perlu diketahui bahwa Kota Bandar Lampung pernah mengalami peristiwa
gempabumi penting dan sangat merusak yaitu yang terjadi pada tanggal 9
Januari 1852. Gempabumi mencapai intensitas kerusakan VIII MMI terjadi di Teluk
Betung, Tanjung Karang, dan Lempasing 19 Oktober 2008, gempa dengan besaran
5,1 terjadi 102 km baratdaya Tanjung Karang, Lampung pada posisi 6.19 LS – 104.73
BT kedalaman 19 km.
Perhitungan percepatan gempa dihitung berdasarkan analisis “deternimistik” dari
potensi bencana yang ada, yaitu sesar–sesar yang melintas dan yang berada di sekitar
kota Bandar Lampung hasil kajian lapangan. Dan analisis bahaya goncangan tanah ini
tidak diikuti dengan kajian / analisis probabilistik atau kebolehjadian yang biasa
dilakukan dalam analisis bahaya goncangan gempa “seismic hazard analysis” yang
berlaku dewasa ini.
Sementara fungsi atenuasi yang dipakai dalam perhitungan nilai percepatan gempa,
disesuaikan dengan kondisi sumber gempabumi dekat “near -field sources” yaitu dari
persamaan yang dikembangkan oleh Sadigh ( 1997 ) yang diberlakukan untuk batuan:
Ln ( PGA ) = c1 + c2 M + c3 ( 8.5 – M )2 .5 + c4 ln rrup + exp ( c5 + c6 M ) + c7 ln ( rrup +
2 )
Pada persamaan Sadigh ( 1997 ) di atas, PGA dinyatakan dalam g’ s = gravitasi, M =
Mmax dan rrup adalah untuk jarak terdekat ke bidang patahan / sesar dalam satuan
kilometer. Koefisien yang dipakai disesuaikan dengan besaran gempa / Mmax yang
dihasilkan dari kajian sesar sekitar dan yang melintas kota Bandar Lampung yaitu
Mmax 6.5 (Tabel 2 ) berikut:
Tabel 2: Koefisien Persamaan Atenuasi Sadigh untuk M 6.5
( sumber:Seismological Research Letters, 1997 )
Period ( s
)
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7
PGA -0.624 1.000 0.000 -2.100 1.2964 0.250 0.000
Perhitungan dengan rumus atenuasi dari Sadigh di atas diperoleh angka percepatan
gempa dan dalam satuan g = gravitasi, untuk setiap kecamatan di Kota Tanjung
Karang ( Tabel 3 ):
Tabel 3: Nilai Percepatan Gempa untuk “ Peak Basement Acceleration – PBA “
dengan metoda deterministik di setiap kecamatan di Kota Bandar
Lampung, pada kondisi batuan dan disetarakan untuk perioda ulang
500 tahun.
Nama Kecamatan RRup
dalam satuan kilometer
Harga Percepatan Gempa
(satuan g = gravitasi)
Teluk Betung Selatan 5.67 0.36
Teluk Betung Utara 6.39 0.34
Teluk Betung Barat 7.29 0.33
Tanjung Karang Barat 8.82 0.27
Tanjung Karang Timur 4.23 0.35
Tanjung Karang Pusat 10.35 0.31
Panjang 0.75 0.36
Sukarame 7.74 0.34
Kedaton 12.78 0.23
Unuversitas Bandar
Lampung UNILA
11.16 0.26
Gambar 11: Memperlihatkan kontur nilai percepatan gempabumi untuk Kota
Bandar Lampung
Dari kajian percepatan goncangan tanah “peak basement acceleration – PBA”,
percepatan maksimum berada di kecamatan Teluk Betung Selatan dan kecamatan
Panjang sebesar 0.36 g untuk perioda ulang 500 tahun, sedangkan minimum sebesar
0.23 g di daerah kecamatan Kedaton.
Sebaran percepatan goncangan tanah “PBA” untuk Kota Bandar Lampung dapat
dilihat pada Gambar 8. Sedangkan tingkat kerusakan akibat gempa untuk Kota Bandar
Lampung dapat diekpresikan dalam lima zona dengan skala MMI VIII sampai IX.
Tingkat kerusakan paling tinggi berada pada zona lima dengan skala MMI VIII sampai
IX Bandar Lampung Tenggara (Kecamatan Teluk Betung Selatan; Kecamatan Teluk
Betung Utara dan Kecamatan Tanjung Karang Pusat), intensitas kerusakan akan
berkurang secara bertahap ke arah barat , utara dan timur ) dimana sekala terendah
adalah di bawah VIII MMI untuk zona 1.
Secara keseluruhan, Gambar 8 memperlihatkan bahwa bagian tenggara kota Bandar
Lampung adalah wilayah yang paling rawan terhadap bencana goncangan
gempabumi, berikut dengan bahaya ikutan gempa “collateral hazard”, seperti pelulukan
dan bahaya kebakaran.
Bahaya pelulukan/likuifaksi akibat goncangan gempa diperkirakan dapat terjadi
disekitar kecamatan Teluk Betung Selatan, Kecamatan Teluk Betung Utara,
Kecamatan Panjang dan setempat di sekitar kecamatan Tanjung karang Pusat.
Didaerah tersebut endapan–endapan pasir lepas, berbutir halus terdapat pada
kedalaman satu sampai dua meter, dengan permukaan air tanah dangkal, setempat
seperti di daerah Langkapura kedalaman tufa pasiran lepas pada kedalaman 2,5 meter
sampai 3 meter.
Gambar 12: Peta Intensitas Skala Mercalli Kota Bandar Lampung
Bahaya tanah retak “ground – spreading” / “ground – fracturing”, diperkirakan terjadi
selain di Langkapura, juga diperkirakan terjadi di daerah–daerah: Teluk Betung,
Tanjung Karang, Kampung Baru – Kedaton. Di daerah–daerah tersebut tanah
lempung, lempung lanauan, lempung tufaan bersifat lunak, plastisitas rendah sampai
sedang mencapai kedalaman 1 ½ meter.
Bahaya tanah longsor akibat goncangan gempa diperkirakan akan terjadi di daerah
alur sungai dan setempat di kecamatan Tanjung Karang Pusat dimana bukit–bukit sisa
/ bukit bentukan struktur telah berubah fungsi menjadi daerah wisata seperti di daerah
Wisata Kapuk (di pusat kota), dan menjadi daerah penambangan batu.
Table 1 Risiko Bahaya Gempabumi Kota Bandar Lampung
No. Hazards Kriteria Probability Impact Risk
1. Active geological
faults
< 25 km jarak
terdekat dengan
patahan aktif
1 2 2
2. Seismic Peak Ground
acceleration at
Base Rock (PBA >
30 g untuk 500
tahun perioda
ulang)
2 4 8
Total 10
Risk Total : 10 Level Bahaya Gempabumi Tinggi. Bahaya tidak dapat tolelir
dan harus melakukan mitigasi (Lihat Gambar 6: Nilai matrik
Risiko).
ASPEK BANGUNAN TERHADAP NEAR FIELD SOURCES
Hasil dari kajian memperlihatkan bahwa rancangan struktur di daerah Bandrlampung
harus mempertimbangkan aspek beban kegempaan terhadap bangunan yang
dirancang. Khususnya dampak gempa yangditimbulkan oleh sumber dekat/near field
sources (Khususnya sesar Panjang,dan Lempasing). Identifikasi dan evaluasi terhadap
kedua sesar tersebut menunjukan bahwa sesar tersebut berpotensi menimbulkan
gempa. Sehingga memiliki risiko gempa tinggi terhadap bangunan di Kota
Baandarlampunn ini. Dampak dari sesar/patahan dekat/near faults, harus
dipertimbangkan terutama implikasi sumber dekat yang cenderung memiliki goncangan
tinggiterhadap bangunan.dan dari dampak pergeseran sesar tersebut.
PERTIMBANGAN ASPEK KEGEMPAAN SUMBER DEKAT TERHADAP
BANGUNAN
Pengalaman menunjukkan bahwa goncangan gempa yang timbul dari sumber dekat
akan menimbulkan dampak yang lebih besar daripada sumber gempa jauh Oleh
karena itu dalam peraturan gempa semua sumber gempa dekat dan jauh perlu
diperhitungka. Rekomendasi rancangan gempa untuk bangunan
Uniform Building Code / UBC- 1997
UBC 1997 merekomendasikan bahwa di dalam peraturan bangunan untuk
memasukkan dampak dari faktor-faktor amplifikasi Na dan Nv dari sumber dekat
goncangan gempa. Faktor faktor Na dan Nv akan menambah parameter
goncangan,Ca dan Cv, apabila sesar/patahan mampu menimbulkan gempa besar yan
berjarak sekitar 15 km dari Zone 4 (atau antara zone 5 and 6 peraturan Gempa
Indonesia).Berdasarkan slip rate dan MCE perturan UBC dibagi 3 tipe; A, B, and C,
The values of Na and Nv or the magnitude of amplification varies with distances of < 2
km, 5 km, and > 10 km to the active fault (Error! Reference source not found. and
Error! Reference source not found.). Oleh karena itu, menentukan sumber dekat
sangat penting dalam penentuan Na dan Nv. Peraturan ini juga menjelaskan bahwa
untuk bangunan-bangunan yang lokasinya dekat dengan sesar/patahan aktiv atau
sumber lainnya, harus mengacu kepada sumber dekat dan karakteristik tanah
setempat.
References
1. D.B. Slemmons and Craig M. Depolo: Evaluation of Active Faulting and
Associated Hazards
2. D.B. Slemmons: Procedure for Analyzing Fault-Controlled Lineaments and the
Activity of Faults
3. The Research Group for Active Faults of Japan, 1981; Active Faults in and
around Japan: The Distribution and the Dgree of Activity
4. UBC 1997 Uniform Building Code
5. Watabe, 1982, Licensing Procedures for Nuclear Power Plants in Japan
6. Wells and Coppersmith, 1994, New Empirical Relationships among Magnitude,
Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface Displacement