epilepsi case novi neuro fatma
DESCRIPTION
epilepsiTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
EPILEPSI
PEMBIMBING
Dr. Hastari, SpS
PENYUSUN
Tri Novia Maulani
030.08.243
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI
RSUP FATMAWATI
PERIODE 10 JUNI 2013 – 14 JULI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum
terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi
medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun
keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi
masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 1
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan
permasalahan yang komplek. Epilepsi memiliki beban sakit yang
signifikan,terutama dinegara-negara berkembang dimana menunjukkan bahwa
tingkat cedera dan kematian lebih tinggi pada penyandang epilepsy dibanding
populasi normal. Epilepsi juga dihubungkan dengan konsekuensi psikososial yang
lebih berat bagi para panyandangnya. Stigma sosial yang melekat pada epilepsi
juga menghambat panyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga ,
pekerjaan, pendidikan dan pernikahan.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. 3 Oleh
karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi
epilepsi
BAB II
STATUS NEUROLOGI
I. IDENTITAS PASIENNo RM : 00902181
Nama : Tn. W
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 5 Juli 1951
Pekerjaan : Pensiunan
Pendidikan terakhir : SMA
Status pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Alamat : Jl.Gunung Merbabu
Agama : Islam
Tanggal Kunjungan RS : 17 Juni 2013
II. ANAMNESISTanggal 17 Juni 2013 pasien masuk Poli Saraf & dilakukan anamnesis pukul 09.00 WIB
Keluhan Utama : -
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang kontrol dengan riwayat kejang berulang
Pasien datang ke poli saraf untuk kontrol karena obat habis.
Terakhir kali kejang sekitar 2 tahun yang lalu. Kejang terjadi dikarenakan
pasien tidak meminum obat. Kejang terjadi 1 kali. Dengan durasi sekitar
10 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu
perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun merasakan perubahan
pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai pencetus kejang.
Kejang dideskripsikan oleh istri pasien sebagai “kelojotan”.
Didahului dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti kelojotan,
seluruh anggota gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada saat kejang
pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang berbusa.
Pasie juga selalu megompol pada saat kejang. Setelah selesai serangan,
pasien mengaku tidak ingat apa yang telah terjadi pada dirinya lalu pasien
terasa sangat mengantuk. Pasien mengaku selama ini rajin kontrol
sebulan sekali dan minum obat secara teratur.
Penyakit yang menyertai seperti pusing, demam, mual, serta
muntah proyektil disangkal. Pandangan ganda(-), bicara pelo (-),
kesemutan (-), kelemahan tiba-tiba (-). Rasa tidak nyaman ketika melihat
cahaya yang terang maupun mendengar suara yang bising disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pertama kali kejang pada tahun 2005. Karakteristik kejang
yang terjadi selalu sama setiap serangan, seperti yang telah dijelaskan di
riwayat penyakit sekarang. Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUP
Fatmawati pada tanggal 8 april 2005. Setelah itu pasien rutin kontrol
setiap bulan ke poli saraf RSUP Fatmawati. Sejak tahun 2005 sampai
2011, pasien rata-rata mengalami bangkitan kejang setiap 6 bulan sekali,
namun sudah 2 tahun terakhir pasien tidak mengalami bangkitan kejang.
Pasien mengaku pernah terbentur di bagian kepala saat berusia 13
tahun, saat itu pasien terjatuh lalu kepala terbentur lantai hingga pingsan.
Riwayat kejang demam saat kecil disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Anak laki-laki pasien pernah mengalami kejang disertai demam
saat usia 6 bulan, kemudian berulang sampai kira-kira 5 kali serangan
sampai usia 4 tahun. Saat ini anak pasien berusia 30 tahun dan tidak
pernah mengalami serangan kejang lagi.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Keadaan Umum : Baik
Status gizi : Baik
Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit,regular,isi cukup
Suhu : 36,3o C
Pernafasan :20x/menit regular
Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : -
Perdarahan perifer : Capillary refill time < 2 detik
Pulsasi arteri karotis : cukup, regular –equal kanan kiri
KGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Columna Vertebralis : Lurus ditengah, tidak ada nyeri tekan
Kepala : rambut hitam, tidak mudah dicabut, jejas (-), nyeri tekan perikranial (-)
Mata : conjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (-)/(-). Pupil bulat isokhor, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+)
THT
Telinga :Deformitas (-)/ (-): serumen minimal
Hidung : Pernafasan cuping hidung ( - ): Deformitas (-)
Tenggorokan : T1/T1 Tidak hiperemis
Gigi & Mulut : Oral trush ( - )
Leher : Tiroid tidak teraba, JVP 5-2 cmH20
Penggunaan otot pernafasan tambahan m. sternokleidomastoideus (-): pembesaran KGB (- ) nyeri tekan (-)
Paru
Inspeksi : gerakan nafas simetris dalam statis & dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), emphysema subkutis (-) vocal fremitus sama pada lapang paru dextra et sinistra
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas lapang paru dextra et sinistra vesikuler; Tidak ada suara nafas tambahan. Ronkhi ataupun wheezing pada kedua lapang paru
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba Ictus ordis pada 2 jari medial Linea Midclavicula ICS 5 sinistra
Perkusi : Pinggang jantung ICS III Linea parasternalis sinistra
: Batas kanan ICS 4 linea parasternalis dextra
: Batas Kiri 2 jari medial Linea midclavicularis sinistra ICS 5 sinistra
Auskultasi : BJ I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak buncit.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defanse muscular (-), hepatoslenomegali (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal
Punggung :deformitas (-), gibus (-)
Genitalia Eksterna : tidak diperiksa
Ekstremitas : perfusi baik, akral hangat +/+,edem pitting -/-, sianosis -/-,clubbing finger -/-
Kelenjar Getah Bening : Tidak ada kelainan
Status Neu r ologis
GCS : E4M6V5
TRM :
Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (- / -)
Brudzinski II (- / - )
Laseque >70o/>70o
Kernig >135o/>135o
Saraf Kranialis
N.I - Olfaktori : baik
N.II - Optikus
Acies Visus : kesan baik Dextra et Sinistra
Visus Campus : kesan baik Dextra et Sinistra
Lihat warna : kesan baik Dextra et Sinistra
Funduskopi : tidak diperiksa
N. III (oculomotor) ,IV (tokhlearis) dan VI (absusen)
Kedudukan bola mata : Ortophori Dextra et Sinistra
Pergerakan bola mata : Baik ke segala arah
Eksoftalmus : Dextra et Sinistra -/-
Nistagmus : Dextra et Sinistra -/-
Pupil bulat, isokor, Ø 3mm/3mm RCL +/+ RCTL +/+
Akomodasi : Dextra et Sinistra +/+
Konvergensi : Dextra et Sinistra +/+
N. V (trigeminus)
Cab. Motorik
Gerakan Rahang : Dextra et Sinistra baik
Menggigit : Dextra et Sinistra baik
Cab. Sensorik
Opthalmicus : Dextra et Sinistra baik
Maksilaris : Dextra et Sinistra baik
Mandibularis : Dextra et Sinistra baik
Reflek
Corneal reflex : Dextra et Sinistra +/+
Jaw refleks : Dextra et Sinistra -/-
N. VII (fasialis)
Motorik orbitofrontal: baik
Motorik orbikularis: baik
Pengecap lidah : baik
N.VIII (vestobulochoclear)
Vestibular : Dextra et Sinistra baik
Koklear : Dextra et Sinistra baik
N. IX (glosofaringeus), X (vagus)
Motorik : Dextra et Sinistra baik
Sensorik : Dextra et Sinistra baik
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu: baik
Menoleh : baik
N. XII (Hipoglosus)
Pergerakkan lidah : baik
Atrofi :-
Fasikulasi : -
Tremor : -
Trofi :Eutrofi
Tonus : Normotonus
Sistem Motorik : Ekstremitas : Atas 5555 | 5555
: Bawah 5555 | 5555
Sistem Sensorik
Propioseptif : Dextra et Sinistra baik
Eksteroseptif : Dextra et Sinistra baik
Fungsi Otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Sekresi Keringat : Baik
Reflek Fisiologis
Biseps : +2 |+ 2
Triseps : +2 |+ 2
Radius : +2 |+ 2
Patella : +2 |+ 2
Achiles : +2 |+ 2
Reflek Patologi
Hoffman tromer : - | -
Babinski : - | -
Chaddok : - | -
Oppenhein : - | -
Schafer : - | -
Gonda : - | -
Mendel-Bechterew : - | -
Klonus Patella : - | -
Klonus Achiles : - | -
Gerakan Involunter
Tremor : - | -
Khorea : - | -
Atetose : - | -
Mioklonik : - | -
Tik : - | -
Fungsi Serebelar
Ataksia : - | -
Disdiadokinesis : - | -
Jari-jari : - | -
Jari-hidung : - | -
Tumit-lutut : - | -
Fenomena Rebound : - | -
Hipotoni : - | -
Fungsi Luhur
Astereognosia : - | -
Apraksia : - | -
Afasia : - | -
Keadaan Psikis
Inteligensia : baik
Tanda regresi : -
Demensia : -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. EEG
Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.
V. RESUMEPasien datang kontrol dengan Riwayat kejang.
Pasien datang ke poli saraf untuk kontrol karena obat habis. Terakhir kali
kejang sekitar 2 tahun yang lalu. Kejang terjadi dikarenakan pasien tidak
meminum obat. Kejang terjadi 1 kali. Dengan durasi sekitar 10 menit. Sebelum
kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu perasaan yang aneh, baik mencium
sesuatu maupun merasakan perubahan pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu
sebagai pencetus kejang.
Kejang dideskripsikan oleh istri pasien sebagai “kelojotan”. Didahului
dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti kelojotan, seluruh anggota
gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Mata
mendelik keatas disertai mulut yang berbusa. Pasie juga selalu megompol pada
saat kejang. Setelah selesai serangan, pasien mengaku tidak ingat apa yang telah
terjadi pada dirinya lalu pasien terasa sangat mengantuk. Pasien mengaku selama
ini rajin kontrol sebulan sekali dan minum obat secara teratur.
Pasien pertama kali kejang pada tahun 2005 dengan karakterisik serupa.
Sejak tahun 2005 sampai 2011 rata-rata mengalami serangan 6 bulan sekali,
namun dalam 2 tahun terakhir ini tidak pernah mengalami serangan.
Riwayat benturan kepala hingga pingsan diakui pasien pada usia 13 tahun.
Anak laki-laki pasien pernah mengalami kejang disertai demam saat usia 6
bulan, kemudian berulang sampai kira-kira 5 kali serangan sampai usia 4 tahun.
Saat ini anak pasien berusia 30 tahun dan tidak pernah mengalami serangan
kejang lagi.
Pemeriksaan penunjang
EEG
Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.
VI. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis : Bangkitan epilepsi umum tipe tonik klonik
Diagnosis Etiologis : idiopatik
Diagnosis Topis : Korteks lobus temporalis
VII. TATALAKSANAFarmakologi
• Depakote 2 x 250 mg• Luminal 2x 3 ½ • Asam folat 2 x 1
Non-Farmakologi
• Hindari pemicu bangkitan • Minum obat teratur
VIII. PROGNOSISQuo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan
sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5
Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit
atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua
serangan kejang.5
2.2 . EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.7
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus). 9
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Pendataan secara global
ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan
dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.2,3
Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik
abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuron-neuron
kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah
ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran
ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter.
Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya
ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang
berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta
mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri
2.3. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11
1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil
2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik
2.4. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik, tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Absens
B. Mioklonik
C. Tonik
D. Atonik
E. Klonik
F. Tonik-klonik
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
2.5. PATOFISIOLOGI
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak.13
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
2.6 GEJALA
Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan
mengalami gejala berupa:
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat dijelaskan
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubih tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu
- Halusinasi
Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak
yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar
sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal), merupakan tipe kejang yang paling
sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau
kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik
atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan
perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan
kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang,
berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada
saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat
pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah
serangan semacam ini.14
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan penggunaan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
a) Pola / bentuk serangan
b) Lama serangan
c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan
d) Frekueensi serangan
e) Faktor pencetus
f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g) Usia saat serangan terjadinya pertama
h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-
sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2.7.3 Pemeriksaan penunjang
a) Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold
standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama
di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
b) Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan
dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus
kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.
VIII. TERAPI
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:
OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
Terapi dimulai dengan monoterapi
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas
pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala
disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :
Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)
Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,
Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter.
Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap
merupakan problem medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh
gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental
dalam hal gangguan kognitif.
Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan
kognitif. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah
penting mengingat efek obat yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik
tapi juga bisa berefek pada gangguan memori. Levetirasetam salah satu obat
antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan protein SVA2 di
presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan
kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang mengidap penyakit
termasuk ansietas dan depresi.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka
mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium,
penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi
eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok
inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai
sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium),
klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin
(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital
(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat
(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).10
Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi
benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin
bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok
loncatan listrik.11
Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai
efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang.12-14 Melihat banyaknya efek samping dari
obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu
mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap
jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron
sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang
bisa menstimulasi kematian dari sel.6
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut.15,16 Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor
NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).17 Pada hewan percobaan
ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat
tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.18
Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan
pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti
pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak
berinteraksi dengan obat CNS lainnya.19-21 Salah satu andalan dari levetirasetam
yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan
levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang
mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein
SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.22
Sedangkan jika pasien sedang mengalami serangan sikap kita adalah jangan
panik , Biarkan serangan berlalu karena serangan akan berhenti dengan sendirinya ,
amankan penderita dari lingkungan yang membahayakan penderita, longgarkan pakaian
yang ketat, posisi kepala dimiringkan (bila kejang sudah berhenti), serta bila serangan
berkepanjangan: kirim ke RS
Nama obat Dosis/kgBB ESO
Fenobarbital 2-5 mg/kgBB/Hari Mengantuk
Difenilhidantoin [DFH]
(Phenitoin,Dilantin)
4-10mg/kgBB 1-2dd Sedasi, nistagmus,
ataksia
Karbamazepin (Tegretol,
temporol)
400-1600mg/kgBB /hari Efek psikotropik
Diazepam
(valium,stesolid)-status
epilepsi
Penghentian pemberian OAE
Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas
serangan .
Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai
dari satu OAE yang bukan utama
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press. 2005. p119-127.
2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and
Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing
Ltd. 2005
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
8. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
9. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau
neotransmiter.Departemen Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta
10. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta
. 2008