eritroderma

Upload: elli

Post on 02-Mar-2016

48 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

eritroderma

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiEritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai adanya eritema universalis (90-100%) dan biasanya disertai skuama (Djuanda, 2007).

Eritroderma atau dermatitis eksfoliativa merupakan gangguan inflamatori dimana terjadi eritem dan skuama yang distribusinya generalis melibatkan lebih dari 90% permukaan tubuh (Hulamni et al., 2014).Eritroderma merupakan kelainan kulit berupa eritema difus dan skuama yang melibatkan lebih dari 90% permukaan tubuh (Goldmith, et. al, 2012).B. Etiologi

Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. 1) Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat biasanya secara sistemik.

Untuk menetukan eritroderma yang disebabkan oleh obat ini diperlukan anamnesis yang teliti. Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi dapat segera sampai 2 minggu. Bila ada obat lebih dari satu yang masuk kedalam badan yang disangka sebagai penyebabnya adalah obat yang paling sering menyebabkan alergi (Djuanda, 2007). Pada beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional (Kurniawan, 2007).

Gambar 2.1. Obat penyebab Eritroderma (Goldmith, et. al, 2012).2) Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit.Penyakit kulit dapat menimbulkan eritroderma diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%, alergi obat 15%, CTCL atau syndrome sezary 5%.

Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat misalnya pengobatan topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi (Sehgal, 2004). Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita psoriasis. Penyakit tersebut bersifat menahun dan residif, kelaianan kulit berupa skuama yang berlapis-lapis dan kasar diatas kulit yang eritematosa dan sirkumskrip. Umunya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis kelainan lebih eritematosa dan agak meninggi dari pada sekitarnya dan skuama pada tempat tersebut lebih tebal. Kuku juga perlu dilihat apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar (Djuanda, 2007).

Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20 minggu. Ptyriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus (Djuanda, 2007).3) Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan

Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Limfoma secara umum dan T sel limfoma ( mikosis fungoides dan sindrom sesari) dilaporkan sering berhubungan dengan terjadinya eritroderma. Terdapat 25-40% kasus keganasan dilaporkan berhubungan dengan terjadinya eritroderma. Retikular sel karsinoma, akut dan kronik leukimia hanya sedikit berhubungan dengan terjadinya eritroderma. Karsinoma kolon, paru, prostat, tiroid, laring dan esofagus diduga juga berhubungan denga terjadinya eritroderma (Sehgal, 2004).

Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks) untuk melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati (Djuanda, 2007).4) Eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya

Eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya ini yakni sekitar 5-10%

dari semua kasus eritroderma. Sebagian para penderita eritroderma yang mula-mula tidak diketahui penyebabnya ini kemudian berkembang menjadi sindrom sezary. Sindrom sezary termasuk dalam cutaneus T cell limfoma. Merupakan penyakit yang ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang disertai skuama yang sangat gatal. Selain itu terdapat pula infiltrat pada kulit dan edama. Pada beberapa pasien ditemukan splenomegali, limfadenopati superfisisal, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris serta kuku yang dismorfik. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukakn leukositosis dengan eusionifilia dan limfositosis. Selain itu terdapat pula limfosit atipik yang disebut sel sezary. Sel dengan inti 10-20 , homogen, lobular dan tak teratur. Selain dalam darah sel tersebut juga ada dalam kelenjar getah bening dan kulit. Disebut sindrom sezary jika sel sezary yang beredar 1000/mm3 (Djuanda, 2007).

Gambar 2.2. Penyakit yang Berhubungan dengan Eritroderma (Goldmith, 2012)

C. PatofisiologiDermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi yang kronik dan kambuh- kambuhan yang ditandai dengan eritema dan skuama. Etiologi utama dari dermatitis seboroik ini adalah Malassezia sp. Tempat predileksi pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung, ketiak (Schwartz, 2013).

Gambar 2.3. Patofisiologi Dermatitis Seboroik (Schwartz, 2013).Terdapat empat fase dalam patofisiologi dermatitis seboroik :1. Ekosistem Malassezia dan interaksinya dengan epidermis

Pada fase ini terjadi infiltrasi Malassezia pada stratum korneum dan terjadi modifikasi dari sebum. Fase ini dipengaruhi oleh faktor virulensi dan sistem pertahanan dari pasien. Malassezia mempunyai kemampuan untuk meproduksi lipase yang mengawali terjadinya inflamasi yang direspon dengan pengeluaran oleic dan arachidonic acid dari sebum, yang kemudian akan mengiritasi dan menyebabkan deskuamasi keratinosit.2. Inisiasi dan perkembangan inflamasi

Fase ini ditandai dengan gejala skuama, eritem, gatal, panas dan penurunan kualitas rambut (rambut kecil, kusam dan rontok). Pada pemeriksaan histologi dan imunokemistri didapatkan peningkatan sitokin : IL1, IL1, IL2, IL 4, IL6, IL 10, IL 12, TNF dan IFN . Secara histologi ditemukan MHC limpoid, sel natural killer, dan infiltrasi neutrofil.3. Gangguan proliferasi dan differensiasi epidermis

Malassezia berkaitan dengan terjadinya skuama dan parakeratosis. Pada fase ini juga terjadi hiperproliferasi dari epidermis. Epidermis menjadi tebal dan peningkatan turnover rate. Perubahan pada struktur korneosit yang menjadi ireguler dan berinvaginasi dikarenakan tidak seimbangnya proliferasi dan diferensiasi. Secara molekuler terjadi perubahan pada struktur lamelar yang terbentuk oleh ceramides yang berubah menjadi lebih lebar, material lipid tidak terstruktur, juga terdapat tetesan lipid yang diduga berasal dari aktifitas malassezia derivid lipase. 4. Terjadinya gangguan barier epidermis

Marker molekular dari integritas barier dilihat dari adanya human serum albumin (HSA) dan epidermal intercellular lipids. Dengan adanya HSA pada pada lapisa luar stratum korneum menunjukan penurunan integritas barier dan penurunan fungsi epidermis (Schwartz, 2013).Secara umum dapat dikatakan bahwa patofisologi eritroderma berdasarkan patofisiologi penyakit yang mendasarinya. Namun belum sepenuhnya diketahui mekanisme bagaimana penyakit yang mendasari tersebut dapat berkembang menjadi eritroderma. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan, ditemukan sel T helper pada penderita eritroderma. Sitokin, kemokin dan reseptornya, diduga berperan penting dalam terjadinya eritroderma. Penelitian terbaru terkait dengan pafisiologi eritroderma menunjukan hal ini merupakan proses sekunder dari interaksi kompleks antara molekul sitokin dan molekul adhesi seluler yaitu Interleukin (IL-1, IL-2, IL-8), molekul adhesi interselular 1 (ICAM-1), tumor necrosis faktor, dan interferon- yang merupakan sitokin yang berperan dalam timbulmya peningkatan proliferasi epidermal dan produksi mediator inflamasi. Sitokin yang menginfiltrasi dermis dapat timbul dari berbagai penyakit yang mendasarinya. Sitokin ini diduga berperan dalam pelebaran pembuluh darah dan peningkatan epidermis turnover rate, peningkatan laju mitosis sehingga sel matur hanya dalam waktu yang singkat berada dalam epidermis. Hal ini menyebabkan hilangnya material epidermis secara cepat bersama dengan hilangnya protein dan folat khusunya pada eritroderma karena psoriasis (Sehgal, 2004).Normalnya kulit mempunyai sistem pertahanan imunologi. Sistem ini akan aktif jika terdapat stimulator berupa luka, bakteri, atau antigen yang kemudian akan di kenali oleh sel dendririk yang berperan sebagai antigen presenting sel. Sel dendritik ini terdapat pada dermis yang disebut langerhans cell dan pada dermis yang disebut dermal dendritic cell. Dari sel dentritik tersebut akan mengaktifkan sel T pada limfe nodi dan akan menstimulasi pengeluaran sitokin (Goldmith, et. al, 2012). Interleukin dan tumor necrosis factor yang merupakan sitokin primer mempunyai peran yang besar dalam proses inflamasi. Proses imunologi ini merupakan sistem normal dalam respons terhadap antigen dan lingkungan, namun terjadinya abnormalitas fungsi sel T pada penyakit kulit termasuk eritroderma masih belum diketahui sebabnya (Robert, 2000).

Gambar 2.4. Mekanisme imunologi pada kulit (Goldmith, et. al, 2012).D. Gejala KlinisSitokin yang meningkat pada penderita eritroderma menyebabkan pelebaran pembuluh darah. Pelebaran pembuluh darah inilah yang menyebabkan aliran darah kekulit meningkat sehingga terjadi eritema universal dan kehilangan panas bertambah. Akibatnya penderita merasa dingin dan menggigil. Eritema umumnya terjadi pada area genitalia, ekstrimitas, atau kepala. Eritema ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari atau minggu seluruh permukaan kulit akan terkena, yang akan menunjukkan gambaran yang disebut red man syndrome (Mystri et.al, 2015)Pada eritroderma terjadi peningkatan epidermal turnover rate, kecepatan mitosis dan jumlah sel kulit germinatif meningkat lebih tinggi dibanding normal. Sehingga menyebabkan keratinosit pada epidermis lebih pendek. Akibat penggantian yang cepat ini beberapa zat tidak dapat dimetabolisme dan diserap secara normal pada stratum korneum. Selain itu, proses pematangan sel melalui epidermis menurun yang menyebabkan hilangnya sebagian besar material epidermis. Secara klinis ditandai dengan skuama dan pengelupasan yang hebat. Skuama muncul setelah eritema, biasanya setelah 2-6 hari (Sofyan, 2013). Skuama berkonsistensi mulai dari halus sampai kasar. Ukuran skuama bervariasi, pada proses akut akan berukuran besar, sedangkan pada proses kronik akan berukuran kecil. Warna skuama yang bervariasi, mulai dari putih hingga kekuningan. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh (Mystri dkk, 2015). Eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat sehingga pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal (Earlia, 2009).

Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m permukaan kulit atau lebih sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin merupakan kelainan khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler. Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku yang menyebabkan kerontokan rambut dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif (Harahap, 2000).Pada penderita eritroderma juga dapat terjadi (Goldmith, et. al, 2012).1. Takikardi, dikarenakan peningkatan aliran darah ke kulit dan kehilangan cairan. 2. Gagal jantung, yang disebabkan karena tinggina output cardiac.

3. Gangguan termoregulasi, sebagai kompensasi dari kehilangan panas yang berlebih.4. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali.

5. Edema dikarenakan gangguan pada protein.

6. Rambut dapat rontok, kuku beridge, menipis dan lepas. E. DiagnosisAnamnesis yang lengkap merupakan hal terpenting dalam diagnosis eritroderma. Seperti riwayat pemakaian obat atau medikasi lain. Pasien dengan penyakit kulit sebelumnya (psoriasis, dermatitis) dapat berkembang menjadi eritroderma. Pada beberapa kasus eritroderma, penyakit yang mendasari dapat ditegakkan dengan mudah, namun sebaliknya banyak kasus eritroderma cukup sulit ditegakkan kausanya. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat biasanya berkembang lebih cepat. Sedangkan eritroderma yang disebabkan oleh psoriasis atau dermatitis lebih gradual (Umar, 2011).Pada pemeriksaan fisik awalnya menunjukan eritema yang general. Skuama timbul 2-6 hari setelah onset eritema. Dapat juga dijumpai pruritus yang menyebabkan ekskoriasi. (Umar, 2011).

Gambar 2.5. Pendekatan Diagnosis Eritroderma (Goldmith, et. al, 2012).

Gambar 2.6. Perbedaan klinis eritroderma berdasarakan penyakit yang mendasari (Goldmith et.al.2012)Pada eritroderma yang disebabkan oleh dermatitis seboroik, menurut penelitian yang dilakukan oleh Okada (2014) dilihat dari tanda yang muncul awal berupa skuama dengan eritema yang gatal terutama pada daerah yang mempunyai kelenjar sebasea. Eritema dan skuama ini makin lama makin menyebar keseluruh badan dan ekstremitas. Dari hasil pemeriksaan biopsi didapatkan dermatitis spongiotik dan parakeratosis (Okada, 2014).

Gambar 2.7. Histologi Dermatitis yang Berkembang Menjadi Dermatitis Seboroik (Okada, 2014)F. Diagnosis BandingAda beberapa diagnosis banding pada eritorderma 1. Psoriasis

Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak- bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner (Djuanda, 2007).Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat menghilang dimana plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal universal. Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Pada psoriasis ini faktor genetik ikut berperan. Bila orang tuanya tidak menderita psoriasis resiko mendapat psoriasis 12 %, sedangkan jika salah seseorang orang tuanya menderita psoriasis resikonya mencapai 34 39%.

Gambar 2.8 . Psoriasis (Goldmith, 2012)2. Dermatitis seboroik

Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi yang kronik dan kambuh- kambuhan yang ditandai dengan eritema dan skuama. Etiologi utama dari dermatitis seboroik ini adalah Malassezia sp. Tempat predileksi pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung, ketiak (Schwartz, 2013). Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun. Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki daripada wanita dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan minum alkohol (Imtikhananik, 1992). Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh ploriferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan sterss emosional infeksi, atau defisiensi imun (Umar, 2011).

Gambar 2.9. Dermatitis Seboroik (Habif, 2006)

G. Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium tidak spesifik pada eritroderma. Kelainan laboratorium yang ditemukan yaitu anemia, limfositosis, eosinopilia, peningkatan IgE, penurunan albumin serum dan kenaikan laju endap darah dan peningkatan ureum kreatinin dikarenakan kehilangan keseimbangan cairan (Goldmith, et. al, 2012).2. Histopatologi

Pemeriksaan histologi dari eritroderma sering menunjukan gambaran yang tidak spesifik yang terdiri dari ortokeratosis (hiperkeratosis, parakeratosis), akantosis dan inflamatori infiltrat kronik perivaskular dengan atau tanpa eosinofil. Pada sindroma sezary sulit untuk ditegakan dengan histologi, diagnosis dapat ditegakan dengan adanya sel T pada darah (Sehgal,2004).

Fase penyakit dapat menunjukan gambaran histologi yang berbeda. Pada fase akut spongiosis dan parakeratosis lebih prominen. Sedangkan pada fase kronik akantosis dan elongasi rete ridge lebih terlihat. Pemeriksaan histologi ini lebih digunakan untuk melihat penyakit yang mendasari (Sehgal, 2004).

Biopsi limpadenopati disarankan jika limpanode membesar, konsistensinya kenyal dan sebab dari eritroderma tidak diketahui (Umar, 2011). Immunophenotyping, flow citometry dan analisis T cell jika dicurigai kearah limfoma (Goldmith, et. al, 2012).H. PengobatanUmumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg- sampai 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I (Djuanda, 2007). Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2- 6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan juga diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu juga diolesi emolien, misalnya dengan salep lanolin 10%. Dapat digunakan juga topikal steroid misalnya (triamcinocolone cream 0.025-0.5%). Antibiotik sistemik jika terjadi infeksi sekunder dan antihistamin dapat membantu mengurangi pruritus (Umar, 2011).

Penatalakasanaan secara nonmedikamentosa juga sangat penting. Prinsipnya dengan menjaga kelembapan kulit, menjaga dari luka garukan, menghindari faktor pencetus dan mengobati penyebab serta komplikasi. Asupan cairan juga harus diperhatikan mengingat pasien eritroderma sangat mudah mengalami dehidrasi. Monitor suhu tubuh untuk menjaga pasien dari hipotermi (Umar, 2011).

Gambar 2.10. Terapi Eritroderma (Goldmith, et. al, 2012).I. Komplikasi

Gambar 2.11. Komplikasi eritroderma (Criado, 2004)J. PrognosisBanyak faktor yang mempengaruhi prognosis eritroderma. Diantaranya etiologi yang mendasari. Faktor komorbid penderita, usia, kecepatan onset dan terapi yang segera (Goldmith et.al, 2012).

Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah obat penggunaan obat dihentikan dan diberikan terapi yang sesuai. Prognosis kasus akibat gangguan sistemik yang mendasarinya seperti limfoma akan tergantung pada kondisi keberhasilan pengobatan. Eritroderma disebabkan oleh dermatosa dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi mungkin timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu yang lama, sering kali disertai dengan kondisi yang lemah (Djuanda, 2007).

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini yang tercepat dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan kortikosteroid (Imtikhananik, 1992).

Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita pria umumya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan penderita wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides (Imtikhananik, 1992).

20