esai bung hatta
DESCRIPTION
All about Bung Hatta,,TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mohammad Hatta atau biasanya disebut dengan Bung Hatta adalah nama
salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan
dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan
hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat.
Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga beliau disebut
sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”. Berbagai tulisan dan
kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa
kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia.
Bung Hatta adalah seorang pahlawan nasional, seorang pejuang dan
negarawan sejati yang terus berpikir demi bangsa dan negara yang dicintainya.
Beliau adalah salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, dan juga Wakil
Presiden yang pertama, Menteri Luar Negeri, serta Perdana Menteri Indonesia
yang ke -3. Bung Hatta mempunyai riwayat kehidupan dan kisah perjuangan yang
menarik untuk dibahas. Karena itulah tujuan dari penulisan esai biografi
Muhammad Hatta ini selain untuk memenuhi tugas juga untuk lebih mengenal
riwayat kehidupannya beserta tinta emas yang telah ditorehkan beliau, sehingga
kita sebagai bangsa Indonesia dapat mengenangnya dan mengambil pesan atau
amanah dari kisah Bung Hatta ini serta dapat meneladaninya dalam kehidupan
kita.
1
Gambar 2.1.1 Bung Hatta
BAB II
ISI
2.1 Riwayat Awal Kehidupan
Mohammad Hatta yang
mempunyai nama lengkap Dr.
(H.C.).Drs.H.Mohammad Hatta dan
populer dengan nama Bung Hatta ini
lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi, Sumatera Barat,
Indonesia. Di kota kecil inilah Bung
Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji
Mohammad Djamil, meninggal ketika
Hatta berusia delapan bulan. Dari
ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki
satu-satunya. Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan
adalah Muhammad Athar.
Pada tanggal 18 Nopember 1945, Hatta menikah dengan Rahmi
Rachim di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dari pernikahannya ini beliau
mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan
Halidah Nuriah. Dua orang putrinya telah menikah. Yang pertama dengan
Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Anak perempuannya yang bernama Meutia Farida atau di
kenal dengan nama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan
Susilo Bambang Yhudoyono. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua
cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohammad Athar
Baridjambek.
2
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan
sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap
Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama
cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik,
tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika
Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya.
Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan
menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable.
Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum
harian Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk
menodainya melakukan tindak korupsi.
Bilamana Bung Hatta melakukan korupsi, barangkali bukan hanya
sepatu merek Bally yang mampu di beli oleh beliau. Ia bisa menggonta ganti
sepatu baru setiap harinya bahkan memiliki saham di pabrik sepatu. Namun,
pada kenyataan ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan
potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila
dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal
ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani
proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan
dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau
mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar
membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Bahkan, untuk membayar
rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang
pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk
membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai
pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga,
istri dan tiga orang anaknya.
3
Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap
sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta
memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum,
pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak
sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu
merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya
mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya
sendiri.
Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang
tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang
pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja
sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik
lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden.
Bagaimana mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan
perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan
usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung
Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri,
tetapi nama baik bangsa dan negara.
2.2 Latar Belakang Pendidikan
Dr. Mohammad Hatta lahir dari keluarga
ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di
Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan
studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13
tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA)
di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di
Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta
melanjutkan studi ke MULO (Meer Ultgebreid Lagere Ondewijs) di kota
Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah
Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan
4
hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi
ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland
Handels Hoge School (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini
menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11
tahun.
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar
kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul
"Lampau dan Datang".
2.3 Organisasi dan Kisah Perjuangannya
2.3.1 Bermula dari kota Padang dan Batavia
Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada
pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan
pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa.
dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen
Bond (JSB). Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal
perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca
berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia.
Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat
kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari
pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi
sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan
luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa
tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin
selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena
kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-
pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola
5
Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul
Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu
setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku
belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik
perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya.
Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis
partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat
dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia
Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah
(MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi
di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai
aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera,
“Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda
cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati
suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir
dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi
Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada
diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat
Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan
beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat,
perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal
Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan
temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan
Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling
kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah
air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal
memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu
diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan
6
itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada
pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan
perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada
soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena
berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta
lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin
kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus
berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai
koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa
yang mengemparkan Eropa, Turki yang di pandang
sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe)
memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris.
Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan
untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian
khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang
mengutip tulisan-tulisan Hatta.
2.3.2 Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar
pada Handels Hoge School di Rotterdam. Lalu, ia segera mendaftar
sebagai anggota Indische Vereniging. Saat itu, telah tersedia iklim
pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan
pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische
Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di
Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat
tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi
penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai
7
1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!
Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal
tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip
kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak
lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging
berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula,
nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan
kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang
secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah
mereka semua berasal.
Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging
pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu
berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian
pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh
Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti
penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka
memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi
Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama
Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa
yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang
anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang
kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau
Nederland Indie.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi
perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh
ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925.
Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu
dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif.
8
Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar
di bidang politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih
menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan
itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische
Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia
dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur
ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan
kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih
menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari
perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang
mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga
akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI), PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional
yang berada di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir
setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima
perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang
memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama
"Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi
Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak
oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama
"Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu
telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi
internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman
penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial,
9
suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15
Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-
pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen,
serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di
Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan
Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan
Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk
memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk
Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L
'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan
Persoalan Kemerdekaan).
Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap
pemerintah Belanda, bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali
Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara
selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah
pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala
tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan
pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan
sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij" (Indonesia Free), dan
kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku
dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada
studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan
kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri
studinya pada pertengahan tahun 1932.
2.3.3 Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di
Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir
10
tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis
berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat. `
Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik
bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau
juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan
Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik
beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa
melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai kemerdekaan.
Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan
bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk
mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari
propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan
kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi
keamanan organisasi ini membubarkan diri. Tak lama setetah PNI
(Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti
yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki
sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda.
Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat
dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional
Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta
diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “
kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan
menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan
mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat
dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “. Organisasi ini
berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung
1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah
memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut
dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam
pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan
11
Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini
makin memajukan organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia
waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan dilihat
Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai
penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa
ketetapan ditahun 1933 diantaranya: a. Polisi diperintahkan bertindak
keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan. b. 27 Juni 1933, pegawai
negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan. c. 1 Agustus 1933,
diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh
Indonesia. Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia
Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan
dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap
membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan
yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar
yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian,
Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan organisasinya telah
bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan
Indonesia. Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti
dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Reaksi Hatta yang keras
terhadap sikap Soekarno, sehubungan dengan penahanannya oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan
Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat
Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933),
"Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin"
(10 Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende,
Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada
Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke
Boven Digoel (Papua). Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari
kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. 12
Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka,
dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir
setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok,
Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”. Hal
ini dilakukan oleh Belanda dengan harapan terciptanya ketenangan
di daerah jajahan.
Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka
tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap
memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan
maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
2.3.4 Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di
Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana,
Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk
pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan
nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan
dengan menerima bahan makanan in natural, dengan tiada harapan
akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau
bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti
telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah
dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel
untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya
hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-
kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian,
Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran
kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi,
sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar 13
ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat
jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van
Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan
Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya
berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto
Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta
dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan
memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah,
tatabuku, politik, dan lain-Iain.
2.3.5 Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke
Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja
sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa
Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan
menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor
Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah.
Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam
pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri.
Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai
senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau
mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena
itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan
tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara.
Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang
14
Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan
banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan
imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi
jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya.
Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam
ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang
kembali."
2.3.6 Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari
wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa
dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di
rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir
pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri
dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti
Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks
proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks
proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang
menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu
selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota
lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut
ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
15
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia,
tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat
menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto
mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus
merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha
Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah
Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali
perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati
dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan
akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung
Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma
Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot
pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja
India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru
berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi
kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti.
September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948,
Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres
ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di
mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin
perjuangan bersenjata.
16
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang
mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk
menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara
Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi
Wakil Presiden.
2.3.7 Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif
memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan
tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku
ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing
gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi
ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato
radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya
aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17
Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada
Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta
mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang
berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila
parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan
mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk
mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat
kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan
kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi
oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua
Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan
jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha
mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.17
Alasan Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil
Presiden RI pada 1 Desember 1956 adalah karena ia merasa tidak
cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia menganggap Bung
Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin
segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima
perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilh sistem
demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi
semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum.
Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan
rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar.
Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di
satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk
di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap
Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah
dilakukan. Tetapi, Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak
menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak
mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih
mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno
untuk membuktikan konsepsinya. Publik kemudian tahu, konsepsi
Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh PKI
dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara menyakitkan.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar
kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu
hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan
itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul
“Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari
berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung
mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik
18
perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi.
Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di
bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul
“Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam
majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena
menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai
perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan
negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto
menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda
Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada
suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
2.4 Riwayat Akhir Kehidupan
Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr
Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di
Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980 di
kota Jakarta. Hatta memiliki gelar pahlawan yaitu , Proklamator
Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Beliau
bersama Bung Karno telah berani membubuhkan tanda tangannya pada
naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan
berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia.
2.5 Pesan yang dapat diambil
Sebagai tulisan mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di
organisasi dan partai politik yang pernah beliau geluti di sertai riwayat
kehidupan dan latar belakang pendidikannya, kita haruslah dapat mengambil
pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu
19
mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta
kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki
jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta
memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam”
atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah
sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan
sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan
panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam
lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan
cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita
bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang
jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataannya memunculkan nama-nama
baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai
partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama
yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah
mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?.
Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung
Hatta (yang bukan hanya berjiwa kepemimpinan tetapi juga seorang
pemimpin yang sangat sederhana dan mengedepankan pendidikan) kita
harus mampu melihat berapa persen diantara tokoh-tokoh, orang-orang
penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah
memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen diantara mereka yang
sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia
baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain. Dalam
kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-
tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan
kemajuan masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-
saat mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat
akan diadakannnya pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan
20
kepala daerah (Pilkada), setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai
meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun ada beberapa partai dan
tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan
memperhatikan masyarakat. Apakah kita masih menganggap bahwa seorang
penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari sergapan hukum sebagai tokoh
panutan kita di organisasi, partai politik, pemerintahan, atau kehidupan
sehari-hari?. Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan Muhammad Hatta
dalam kehidupan yang selalu bertindak demi kesejahteraan dan kemajuan
rakyat Indonesia.
21
BAB III
KESIMPULAN
Mohammad Hatta yang mempunyai nama lengkap Dr.(H.C.).Drs. H.
Mohammad Hatta dan di kenal dengan nama Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, pada tanggal 12 Agustus 1902, dan di beri nama Muhammad
Athar oleh orang tuanya ketika dilahirkan. Bung Hatta adalah nama salah seorang
dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan
Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat
Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran
beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga beliau disebut sebagai salah seorang
“The Founding Father’s of Indonesia”. Berbagai tulisan dan kisah perjuangan
Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja,
dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta senantiasa berperilaku menampilkan
sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Bung Hatta
bukan hanya saja terkenal kejujurannya tetapi ia juga uncorruptable. Kejujuran
hatinya membuat dia tidak rela untuk melakukan tindak korupsi. Selain itu Bung
Hatta sangat sederhana sekali dalam kehidupannya dan selalu menjaga nama baik
bangsa dan negaranya.
Dr. Mohammad Hatta merupakan pejuang, negarawan, dan juga Wakil
Presiden Indonesia yang pertama, Perdana Menteri Indonesia ke-3, serta Menteri
Luar Negeri pada masa pemerintahan Soekarno. Hatta menempuh pendidikannya
mulai dari kota Padang hingga Belanda. Di masa-masa ia menempuh pendidikan
itulah, kesadarannya politiknya makin berkembang. Keterlibatan Bung Hatta
dalam organisasi dan partai politik bukan hanya di luar negeri tetapi juga di dalam
negeri. Usai studi dari Belanda dan kembali ke Jakarta, beliau turut aktif dalam
PNI. PNI yang pada saat itu dibubarkan oleh Belanda, kemudian di dirikan
kembali oleh PNI Pendidikan. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan
Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini
22
memperhatikan “kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan
menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan mengorganisasikannya
sehingga bisa dijadikan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk
kemerdekaan”.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 usai memproklamasikan kemerdekaan
bersama Bung Karno, Bung Hatta di angkat menjadi Wakil Presiden Republik
Indonesia. Selama jadi Wapres beliau tetap aktif memberikan ceramah di lembaga
pendidikan tinggi, menulis buku dan karangan ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi, aktif membimbing gerakan koperasi. Tahun 1956, Bung Hatta
meletakkan jabatannya sebagai Wapres RI karena berselisih dengan Presiden
Soekarno.
Mohammad Hatta tidak hanya memperoleh gelar dalam bidang politik saja
tetapi ia juga memperoleh gelar dalam bidang akademis, antara lain Doctor
Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta,
Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar
dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato
pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Dari kisah sejarah ketokohan Mohammad Hatta ini kita haruslah mengambil
manfaat dan nilai-nilai positif di dalamnya. Munculnya seorang tokoh penting dan
memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak
serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam”
atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok
yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati
masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam
organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya
adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia
terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta
bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.23
24