evaluasi lingkungan pemeliharaan...
TRANSCRIPT
EVALUASI LINGKUNGAN PEMELIHARAAN PETERNAKAN SAPI
BALI PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DESA PENGADANGAN
KECAMATAN PRINGGASELA KABUPATEN LOMBOK
TIMUR-NTB
SKRIPSI
BAIQ TUTIK YULIANA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
Baiq Tutik Yuliana. D14063113. 2010. Evaluasi Lingkungan Pemeliharaan
Peternakan Sapi Bali pada Peternakan Rakyat di Desa Pengadangan
Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur-NTB. Skripsi. Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.
Pembimbing Anggota : Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc.Agr.
Desa Pengadangan hampir seluruh penduduknya bekerja sebagai petani-
ternak dan rata-rata memiliki jumlah ternak antara 1 sampai 3 ekor. Desa ini
memiliki potensi dalam penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT), pemanfaatan
limbah pertanian, keadaan topografi dan luas daerah guna mendukung
pengembangan peternakan sapi Bali. Kondisi tersebut sangat potensial namun tidak
didukung oleh keadaan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut menjadi
permasalahan yang menarik untuk dikaji. Manajemen lingkungan pemeliharaan
sangatlah penting dalam peningkatan produktivitas ternak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek teknis pemeliharaan
(pengetahuan pemuliabiakan, makanan ternak, tata laksana, kesehatan ternak,
kandang dan peralatan) dari peternakan sapi Bali rakyat di Desa Pengadangan
Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur-NTB. Penelitian ini
menggunakan 80 orang peternak sebagai responden dan 196 ekor sapi Bali untuk
dilakukan pengukuran. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah Pengadangan, karakteristik
peternak responden sebagai tenaga kerja, jumlah dan komposisi sapi Bali, aspek
pengetahuan pemuliabiakan, pakan ternak, tata laksana, kesehatan ternak, serta
kandang dan peralatan.
Perolehan nilai dari sub-sub aspek dari aspek pengetahuan pemuliabiakan
yang diamati yaitu perbandingan jantan dan betina (14,3%), sistem perkawinan
(75%), pemilihan pejantan yang digunakan (58,2%) dan pemilihan betina yang
digunakan (41,8%) memberikan hasil chi-square yang sangat nyata (P<0,01). Sub
aspek kelahiran per induk setiap tahun (99,4%) dan jarak beranak (94,3%) serta
jumlah perkawinan untuk menjadi bunting (96,7%) memperlihatkan perhitungan chi-
square mempunyai nilai yang tidak nyata (P>0,01). Perolehan nilai dari sub-sub
aspek dari aspek makanan ternak menunjukan sub aspek pemberian konsentrat (2%),
usaha pengawetan makanan ternak (2%), pemberian mineral (25,2%), pemberian air
minum (49,8%), serta penanaman hijauan makanan ternak (60,3%). Hasil chi-square
menunjukkan nilai yang sangat nyata (P<0,01). Sub aspek jumlah hijauan yang
diberikan (94%) dan jenis hijauan yang diberikan (79%), menunjukkan hasil chi-
square tidak nyata (P>0,01).
Seluruh sub aspek dari aspek tata laksana menunjukkan hasil chi-square yang
sangat nyata (P<0,01). Pemanfaatan kotoran (18,2%), pengetahuan tentang usaha
peternakan (27,5%), pencatatan (28%), pengetahuan reproduksi (36,5%), kebersihan
ternak (49,4%) dan pemanfaatan tenaga kerja (68,4%). Perolehan nilai dari sub-sub
aspek dari aspek kesehatan ternak yaitu sub aspek vaksinasi (6,1%), pengetahuan
tentang obat-obat ringan (11,6%) dan pengetahuan tentang penyakit (39,1%)
memberikan hasil chi-square yang sangat nyata (P<0,01). Sub aspek kematian ternak
(92%), usaha dan tanggapan terhadap sapi yang sakit (83%) dan tindakan terhadap
kematian sebesar (74,7%), mendapatkan nilai chi-square yang tidak nyata (P>0,01).
Perolehan nilai dari sub-sub aspek dari aspek kandang dan peralatan menunjukan sub
aspek kebersihan kandang (38,7%), kontruksi kandang (41%) dan peralatan kandang
(63%) bahwa nilai chi-squarenya adalah sangat nyata (P<0,01). Sub aspek penilaian
kandang (95%) dan lokasi kandang (77,6%) memperoleh nilai chi-square yang tidak
nyata (P>0,01).
Keseluruhan aspek mempunyai rataan sebesar 90,82 sedangkan rataan nilai
pengharapannya adalah 185 sehingga nilai chi-squarenya menjadi sangat nyata
(P<0,01). Disimpulkan bahwa baru sebesar 51,66% faktor penentu komoditi sapi
potong yang diterapkan oleh peternak rakyat sapi Bali di Pengadangan berdasarkan
rekomendasi Dirjen Peternakan (1983).
Kata-kata kunci : Sapi Bali, Lingkungan Pemeliharaan, Aspek Teknis, Desa
Pengadangan.
ii
ABSTRACT
The Environmental assessment of Balinese Cattle Living Condition on
Traditional Farming at Pengadangan Rural Area, East Lombok- NTB.
Yuliana, B. T, B. P. Purwanto, and S. Jayadi
Mostly, people at Pengadangan rural area work as stock farmer and the
average of cattle is one to six. The major potential was forage, usage of agricultural
waste, topographic, and rangy area to support development on Bali Cattle. The aims
of this research were carried to evaluate the aspect technique of maintenance. This
research were using 80 farmer as respondents and 196 Bali cattle were measured.
Data used primer and secondary data. Data was collected including description of
area and characteristic of farmers, Bali cattle composition, breeding awareness,
feeding, management, animal health, house and equipments. The result of this
reaserch showed that the total of all aspects was 454,09 and the expected value was
885. The calculation of chi-square showed significant different (P<0,01). From this
research, can be conclude that 260% the determinant factors which have been
applicated in Pengadangan Rural Area is suitable with the directory of Animal
Science. The highest aspect technique was breeding awareness. Then, it followed by
house and equipments, animal health, feeding and the last was management.
Keywords : Bali Cattle, Environmental assessment, Pengadangan Rural Area
EVALUASI LINGKUNGAN PEMELIHARAAN PETERNAKAN SAPI
BALI PADA PETERNAKAN RAKYAT DI DESA PENGADANGAN
KECAMATAN PRINGGASELA KABUPATEN LOMBOK
TIMUR-NTB
BAIQ TUTIK YULIANA
D14063113
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul Evaluasi Lingkungan Pemeliharaan Peternakan Sapi Bali pada
Peternakan Rakyat di Desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela
Kabupaten Lombok Timur-NTB
Nama : Baiq Tutik Yuliana
NIM : D14063113
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
(Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr) (Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc.Agr.)
NIP: 19600503 198503 1 003 NIP: 19660226 199003 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)
NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 21 Oktober 2010 Tanggal Lulus :
:
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Baiq Tutik Yuliana. Penulis dilahirkan pada tanggal
19 Juli 1987 di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penulis merupakan anak ke
tiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Lalu Amir dan Ibu Baiq Kismawati.
Pendidikan dasar ditempuh di SD Negeri 5 Wanasaba-Aikmel, Kabupaten Lombok
Timur dan diselesaikan di SD Negeri Impress Na’e-Bima, Kota Bima pada tahun
2000. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP
Negeri 1 Raba, Kota Bima dan pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun
2006 di SMA Negeri 1 Bima, Kota Bima-NTB.
Status mahasiswa pada Jurusan Teknologi Produksi Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor diperoleh melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun
2006. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif pada Badan Eksekutif Mahasiswa
Peternakan (BEM-D) pada tahun 2007 dan 2008, Famn Al-An’am pada tahun 2008,
Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI Wilayah II) pada tahun
2007-2009, ISMAPETI Pusat pada tahun 2008-2010, Forum Mahasiswa Indonesia
Tanggap Flu Burung (FMITFB) pada tahun 2007-2008, Forum Komunikasi
Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasional (FKPKHN) pada tahun 2007-2008.
Penulis juga pernah terlibat pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun
2008. Tahun 2010 penulis berkesempatan menjadi finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa
Nasional (PIMNAS XXIII) di Bali.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas besarnya limpahan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi,
penelitian, seminar dan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “Evaluasi Lingkungan Pemeliharaan Peternakan Sapi
Bali pada Peternakan Rakyat di Desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela
Kabupaten Lombok Timur-NTB” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor. Selain itu, penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan
kontribusi penulis dalam dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat
memberi informasi atau gambaran mengenai aspek teknis pemeliharaan peternakan
sapi Bali di Desa Pengadangan dan menjadi bahan pertimbangan dalam perbaikan
manajemen pemeliharaan sapi Bali sehingga mampu meningkatkan produksi sapi
potong di peternakan rakyat serta dapat meningkatkan pemeliharaan yang baik untuk
para peternak di Desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok
Timur-NTB.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran,
sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata semoga karya ini bermanfaat
dalam bidang pendidikan umumnya dan peternakan khususnya.
Bogor, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .................................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .... ........................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii
PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Latar Belakang ....................................................................................... 1
Tujuan .................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 3
Peternakan Sapi Potong Rakyat ............................................................. 3
Sapi Bali ................................................................................................. 5
Faktor Penentu Komoditi Ternak Sapi Potong ...................................... 7
Pengetahuan Pemuliabiakan ....................................................... 7
Makanan Ternak ......................................................................... 9
Tata Laksana .............................................................................. 11
Kesehatan Ternak ....................................................................... 12
Kandang dan Peralatan ............................................................... 13
MATERI DAN METODE ................................................................................. 15
Lokasi dan Waktu ................................................................................. 15
Materi ..................................................................................................... 15
Ternak ......................................................................................... 15
Peralatan .................................................................................... 15
Prosedur .................................................................................................. 15
Persiapan Kuesioner .................................................................. 15
Survei dan Wawancara .............................................................. 15
Pengamatan ............................................................................... 16
Rancangan Percobaan dan Analisis Data .............................................. 17
Rancangan .................................................................................. 17
Analisis Data .............................................................................. 17
Analisis Deskriptif .......................................................... 17
Analisis Statistik ............................................................. 18
Peubah ....................................................................................... 18
Struktur Kepemilikan Ternak ........................................ 18
Pengetahuan Pemuliabiakan ........................................... 18
Makanan Ternak ............................................................. 19
Tata Laksana ................................................................... 19
Kesehatan Ternak ........................................................... 19
Kandang dan Peralatan ................................................... 19
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 25
Keadaan Umum Lokasi .......................................................................... 25
Karakteristik Peternak Responden ........................................................ 27
Umur Responden ....................................................................... 27
Tingkat Pendidikan ................................................................... 28
Kepemilikan Ternak dan Komposisi Sapi Bali ..................................... 29
Faktor Penentu Komoditi Peternakan Sapi Bali (Sapi Potong) ............ 30
Pengetahuan Pemuliabiakan ....................................................... 32
Makanan Ternak ......................................................................... 38
Tata Laksana .............................................................................. 44
Kesehatan Ternak ....................................................................... 48
Kandang dan Peralatan ............................................................... 50
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 54
Kesimpulan ............................................................................................ 54
Saran ....................................................................................................... 54
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 57
LAMPIRAN ...................................................................................................... 62
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Faktor Penentu Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan Ternak Sapi
Potong .................................................................................................... 20
2. Faktor Aspek Makanan Ternak Penentu Ternak Sapi Potong ............... 21
3. Faktor Penentu Aspek Tata laksana Ternak Sapi Potong .... .................. 22
4. Faktor Aspek Kesehatan Ternak Penentu Ternak Sapi Potong ............. 23
5. Faktor Penentu Aspek Kandang dan Peralatan Ternak Sapi Potong ...... 24
6. Mata Pencaharian Penduduk Pengadangan ............................................ 26
7. Jumlah Ternak di Kecamatan Pringgasela Dirinci Per Desa dan
Jenisnya ................................................................................................... 26
8. Jumlah Populasi Ternak di Desa Pengadangan Dirinci Berdasarkan
Dusun dan Jenisnya ................................................................................ 27
9. Umur dan Pendidikan Peternak Responden di Desa Pengadangan ........ 29
10. Rataan Komposisi Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Pengadangan 30
11. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Teknis
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan ............................... 31
12. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Pengetahuan
Pemuliabiakan Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80
Responden) .............................................................................................. 33
13. Penerapan Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan Sapi Bali di Desa
Pengadangan ........................................................................................... 37
14. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Makanan
Ternak Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80
Responden) .............................................................................................. 39
15. Penerapan Aspek Makanan Ternak Sapi Bali di Desa Pengadangan ..... 43
16. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Tata Laksana
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80 Responden) ..... 44
17. Penerapan Aspek Tata Laksana Sapi Bali di Desa Pengadangan .......... 47
18. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Kesehatan
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80 Responden) .... 48
19. Penerapan Aspek Kesehatan Ternak Sapi Bali di Desa Pengadangan .. 50
20. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Kandang dan
Peralatan Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80
Responden) .............................................................................................. 51
21. Penerapan Aspek Kandang dan Peralatan Sapi Bali di Desa
Pengadangan ........................................................................................... 53
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Interaksi antara Peternak dan Ternaknya ............................................ 28
2. Wawancara dengan Peternak .............................................................. 29
3. Perkawinan Alam Teratur pada Sapi Bali ........................................... 34
4. Kelahiran Sapi Bali ............................................................................. 35
5. Indukan Sapi Bali Bunting dan Pedet ................................................. 35
6. Indukan Sapi Bali Bunting .................................................................. 36
7. Pejantan Sapi Bali ............................................................................... 36
8. Calon Indukan Sapi Bali ..................................................................... 36
9. Penimbangan Hijauan yang Akan Diberikan pada Ternak ................. 40
10. a-e. Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian yang Dijadikan Makan
Ternak oleh Peternak di Pengadangan ................................................ 40
11. Batang Pisang Sebagai Pakan dan Sumber Air untuk Sapi Bali ......... 42
12. a dan b. Lahan dan Pematang Sawah yang Dimanfaatkan untuk
Menanam Rumput Gajah .................................................................... 42
13. Sapi Bali yang Kotor ........................................................................... 45
14. Indukan Sapi Bali yang Dipergunakan untuk Membajak Sawah ....... 45
15. Pemanfaatan Kotoran Menjadi Gas Bio dan Kompos ........................ 46
16. Contoh Kandang yang Baik ................................................................ 51
17. Kandang yang Ada di Peternakan Sapi Bali Rakyat Desa Pengadangan
.............................................................................................................. 51
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuesioner Evaluasi Teknis Pemeliharaan Peternakan Sapi Bali Rakyat
di Desa Pengadangan Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok
Timur-NTB .......................................................................................... 63
2. Hasil Penilaian Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan di Desa
Pengadangan ........................................................................................ 67
3. Hasil Penilaian Aspek Pakan Ternak di Desa Pengadangan ............... 70
4. Hasil Penilaian Tata Laksana di Desa Pengadangan ........................... 73
5. Hasil Penilaian Aspek Kesehatan Ternak di Desa Pengadangan ......... 76
6. Hasil Penilaian Aspek Kandang dan Peralatan di Desa Pengadangan 79
7. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................... 82
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sapi merupakan sumberdaya lokal masyarakat Nusa Tenggara
Barat (NTB) yang berkembang menjadi kebudayaan dan memberikan sumbangan
terhadap kesejahteraan masyarakat pedesaan serta meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Populasi sapi menempati urutan pertama, sekitar empat kali lipat
dibandingkan populasi kerbau, enam kali lipat dibandingkan populasi kuda, dan
sekitar dua kali lipat dari populasi kambing (Pemerintah Provinsi NTB, 2009).
Peternakan sapi memiliki peran signifikan dan strategis dalam membangun
perekonomian masyarakat pedesaan di NTB.
Populasi ternak sapi pada tahun 2008 mencapai 546.114 ekor, dengan
pertumbuhan rata-rata sebesar 6,41% setiap tahunnya. Berdasarkan wilayah
penyebarannya, sebanyak 48% ternak sapi dipelihara di Pulau Lombok dan 52% di
pelihara peternak di Pulau Sumbawa. Jenis sapi di wilayah NTB beraneka ragam
dimulai dari sapi ras Bali, Hissar, Simmental, Brangus, Limousin, Frisian Holstein
dan sapi-sapi hasil persilangan dari berbagai jenis tersebut. Jenis sapi yang paling
banyak dipelihara oleh peternak rakyat di NTB adalah jenis sapi Bali. Hal tersebut
karena sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia, sehingga paling mampu bertahan
pada daerah tropis dan kemampuannya dalam memanfaatkan pakan berkualitas
rendah.
Pola pengembangan peternakan sapi Bali yang diterapkan di Pulau Lombok
berupa sistem kelompok kandang kolektif. Penerapan pengembangan peternakan
dengan sistem tersebut berdasarkan pertimbangan kultur pemeliharaan sapi di Pulau
Lombok yang lebih intensif. Ternak sapi dipelihara dalam kandang siang dan malam,
luas lahan relatif sempit dibandingkan dengan Pulau Sumbawa dan jumlah pemilikan
sapi relatif kecil antara 2-3 ekor.
Hal yang sama terjadi di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) Kecamatan
Pringgasela tepatnya di Desa Pengadangan. Hampir seluruh penduduk bekerja
sebagai petani-ternak dan rata-rata memiliki jumlah ternak yang tidak banyak antara
1-3 ekor. Namun potensi daerah sangat besar dalam pengembangan peternakan
terutama dalam penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan pemanfaatan
limbah pertanian yang berlimpah serta keadaan topografi dan luas daerah pun masih
sangat mendukung dalam pengembangan peternakan sapi Bali.
Kondisi Sumber Daya Alam (SDA) tersebut berpotensi untuk dikembangkan
namun tidak didukung oleh keadaan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut
menjadi menarik untuk dikaji, sehingga penelitian ini mencoba untuk menganalisis
kinerja usaha peternakan sapi Bali rakyat melalui evaluasi lingkungan pemeliharaan
guna mengidentifikasi perbaikan budidaya dan faktor-faktor pendukung maupun
penghambat pengembangan usaha ternak sapi Bali rakyat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek lingkungan teknis
pemeliharaan (pengetahuan pemuliabiakan, pakan ternak, tata laksana, kesehatan
ternak, serta kandang dan peralatan) dari peternakan sapi rakyat di Desa
Pengadangan Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur-NTB.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Peternakan Sapi Potong Rakyat
Struktur industi peternakan untuk semua komoditas ternak domestik sebagian
besar (60-80%) tetap merupakan usaha rakyat. Rahmanto (2004) menyatakan bahwa
pengusahaan ternak sapi potong rakyat dilihat dari sistem pemeliharaannya terbagi
kedalam dua pola, yaitu yang berbasis lahan (landbase) dan yang tidak berbasis
lahan (non landbase). Pola pemeliharaan yang bersifat landbase memiliki ciri-ciri
sebagai berikut 1) pemeliharaan ternak dilakukan di padang-padang pengembalaan
yang luas dan tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian, sehingga pakan ternak
hanya mengandalkan rumput yang tersedia dipadang pengembalaan tersebut 2) pola
ini umumnya terdapat di wilayah yang tidak subur, sulit air, bertemperatur tinggi,
dan jarang penduduk seperti Pulau Sumbawa (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT),
sebagian Kalimantan dan sebagian Sulawesi 3) teknik pemeliharaan dilakukan secara
tradisional, kurang mendapat sentuhan teknologi dan 4) pengusahaan tidak bersifat
komersial, tetapi cenderung bersifat sebagai simbol status sosial.
Pola pemeliharaan yang bersifat non landbase memiliki ciri-ciri sebagai
berikut 1) pemeliharaan ternak lebih banyak dikandangkan dengan pemberian pakan
dalam kandang 2) terkait dengan usahatani sawah atau ladang sebagai sumber
hijauan pakan ternak 3) pola ini umumnya dilakukan pada wilayah padat penduduk
seperti di Jawa, Sumatra, dan pulau sebagian di NTB (Pulau Lombok), Kalimantan,
dan Sulawesi dan 4) pengusahaan pada pola non landbase relatif lebih intensif
dibandingkan dengan pola landbase dengan tujuan umumnya untuk tabungan dan
sebagian lagi untuk tujuan komersial. Skala pemilikan ternak pada pola landbase
pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan pola non landbase. Studi yang
dilakukan Ilham et al. (2001) menunjukkan bahwa peternak di lombok-NTB dan di
Jawa Timur yang menerapkan pola non landbase umumnya mengusahakan ternak
dengan skala kepemilikan di bawah 5 ekor, bahkan lebih dari 50 persen peternak
hanya memiliki skala usaha di bawah 5 ekor.
Usaha peternakan sapi potong rakyat memiliki posisi dan sangat peka
terhadap perubahan (Yusdja et al., 2001). Menurut Azis (1993), karakteristik usaha
peternakan rakyat dicirikan oleh kondisi sebagai berikut 1) skala usaha relatif kecil
2) merupakan usaha rumah tangga 3) merupakan usaha sampingan 4) menggunakan
teknologi sederhana dan 5) bersifat padat karya dengan basis organisasi
kekeluargaan. Tentang karakteristik usaha peternakan tradisional (peternakan rakyat)
telah banyak diungkap oleh para ahli. Keragaman usaha rakyat ini akan terungkap
dalam tiga dimensi yaitu, dari sisi petani sebagai pengelola, ternak yang diusahakan,
dan dari segi motivasi serta cara pengusahaannya.
Menurut Birowo (1973) dan Mubyarto et al. (1975) usaha ternak tradisional
memiliki ciri-ciri sebagai berikut 1) diusahakan oleh sebagian besar petani dalam
skala kecil sebagai usaha keluarga, 2) rendahnya tingkat keterampilan peternak dan
kecilnya modal usaha, 3) belum memanfaatkan bibit unggul dan kecilnya jumlah
ternak yang produktif, 4) cara penggunaan ransum tidak efisien dan tidak disediakan
secara khusus, 5) kurang memperhatikan usaha pencegahan penyakit, 6) motivasi
pengusahaannya belum bersifat komersial dan sebagian masih berfungsi melayani
pekerjaan mengolah tanah, pengangkut hasil pertanian, penghasil pupuk, dan kurang
memperhatikan nilai korbanan dan keluaran.
Dengan karakteristik tersebut tujuan usaha ternak tradisional ditekankan pada
maksimalisasi keuntungan materi sehingga mengakibatkan respon terhadap stimulus
yang dibuat oleh harga sangat rendah (Suradisastra, 1977 dan Sabrani, 1979).
Meskipun permintaan terhadap daging dan ekspor ternak meningkat, namun produksi
tidak akan beranjak naik (Mubyarto, 1974). Atmadilaga (1974) mengungkapkan
bahwa peningkatan permintaan terhadap daging yang disebabkan oleh perbaikan
tingkat ekonomi dan sadar gizi penduduk, memang meningkatkan penawaran ternak
dipasaran, tetapi melalui pengurasan populasi yang ada. Pengurasan dimaksudkan
tingkat pemotongan ternak melebihi tingkat pertambahan populasi.
Wharton (1969) mengemukakan beberapa kriteria menerangkan konsepsi
petani subsisten (melakukan beberapa kegiatan atau pekerjaan yang terintegrasi)
sebagai berikut :
1). Kriteria ekonomi : a) Petani subsisten adalah petani yang mengkonsumsi
sebagian besar produksi yang dihasilkannya. Tingkat subsistensi petani
dapat ditentukan dari nisbah produksi yang dijual terhadap produksi total. b)
Pemanfaatan tenaga kerja keluarga dan masukan dari lingkungan sendiri
adalah ciri umum petani subsisten. Karenanya integrasi petani dengan dunia
4
luar, dapat diketahui dari nisbah tenaga kerja yang disewa atau nisbah
masukan yang dibeli, c) Tingkat pemanfaatan teknologi umumnya masih
rendah, yang ditunjukkan oleh pemanfaatan alat-alat dan cara berproduksi
yang tradisional, d) Petani subsisten dapat dikenal dari tingkat pendapatan
dan taraf hidupnya yang masih rendah dan miskin. Secara relatif, tingkat
hidupnya mengalami perbaikan dengan sangat lamban, dan e) Kemampuan
petani subsisten dalam mengambil kepustusan umumnya sangat terbatas.
Kendala yang dihadapi petani misalnya adalah penguasaan lahan yang
sempit, sistem penguasaan lahan, kurangnya alternatif pilihan yang dimiliki
petani dan keluarganya.
2). Kriteria sosio-kultural : Sistem komoditi yang menyangkut proses produksi,
konsumsi dan distribusi tidak lepas dari ketergantungan sosial budaya yang
dihadapai petani. Pemilikan aset yang masih terkaitan dengan simbol status
dan kebiasaan konsumsi yang fanatik mempunyai pengaruh besar dalam
pengelolaan usahataninya.
3). Kriteria pembangunan : Petani subsisten kurang peka dan tanggap terhadap
introduksi inovasi baru, dan proses adopsi berjalan sangat lamban. Petani
cenderung melestarikan cara-cara berproduksi yang telah membudaya dan
takut menanggung resiko sebagai konsekuensi dari penerapan ide-ide baru.
Sapi Bali
Asal Usul Sapi Bali
Sapi Bali adalah banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi sejak
berabad-abad yang lalu (Hardjosubroto, 1994). Ada dua pendapat mengenai asal usul
sapi Bali. Payne dan Hodges (1997) menyatakan bahwa sapi Bali sebenarnya sub-
famili dengan sapi-sapi lain yaitu famili Bovinae, tapi berlainan genus karena sapi
Bali termasuk genus Bibos sedangkan sapi-sapi lain termasuk genus Bos. Menurut
Hardjosubroto (1994), sapi Bali termasuk satu famili dengan sapi lain yaitu Bovinae,
genus Bos dan sub genus Bibovine. Sapi-sapi yang termasuk dalam subgenus
Bibovine tersebut adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus, jadi
dengan Bos taurus dan Bos indicus berbeda genusnya sehingga perbedaan ini diduga
5
sebagai penyebab perkawinan sapi Bali dengan Bos taurus dan Bos indicus
menghasilkan anak jantan yang umumnya steril.
Sapi Bali diduga berasal dari Pulau Bali walaupun sapi Bali banyak juga di
temukan di Sulawesi, Pulau Lombok, Timor dan dalam jumlah kecil ditemukan di
beberapa daerah lain di Indonesia. Sejumlah kecil sapi Bali juga ditemukan di
Malaysia dan Philipina, dan juga ditemukan di Semenanjung Cobourg di sebelah
Utara Australia (Kirby, 1979).
Karakteristik Sapi Bali
Warna bulu sapi Bali adalah merah bata, tetapi pada jantan dewasa warna
tersebut berubah menjadi warna kehitaman. Perubahan warna bulu menjadi hitam
terlihat mulai umur 51 minggu mengikuti pola warna tertentu dengan empat titik
awal perubahan yaitu leher bawah, hidung, tengkuk dan carpus. Selanjutnya secara
lamban perubahan warna tersebut menyebar ke belakang dan akhirnya mencapai
bawah perut dan kaki belakang (Haryana, 1989). Tanda-tanda khusus sapi Bali murni
menurut Hardjosubroto (1994), adalah warna putih pada belakang paha, pinggiran
bibir atas dan pada kaki bawah mulai dari tarsus dan carpus sampai pinggir atas
kuku. Bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih. Terdapat
garis hitam yang jelas di bagian atas punggung mulai dari belakang gumba sampai
ekor. Jika sapi Bali jantan dikastrasi, empat bulan kemudian warna hitam tersebut
berangsur-angsur berubah menjadi merah bata kembali mulai dari belakang ke depan
dan akan menjadi merah bata sempurna setelah lebih kurang satu tahun (Haryana,
1989).
Dibandingkan dengan sapi Madura dan sapi Ongole, sapi Bali merupakan
ternak yang sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki kelebihan-
kelebihan antara lain mempunyai daging berkualitas baik dengan dengan kadar
lemak rendah (kurang lebih 4% ) (Payne dan Hodges, 1997), warna lemak pada
daging cenderung kuning dan lebih lembut jika dibandingkan dengan sapi lain
(Kirby, 1979). Persentase karkas yang tinggi yaitu 55,85%-60,80% (Soehadji, 1991)
dengan rasio karkas daging/tulang 6,5:1 (Payne dan Hodges, 1997). Sapi Bali juga
mempunyai fertilitas yang tinggi yaitu 83-86% (Pastika dan Darmadja, 1976;
Darmadja 1980). Sapi Bali dapat memanfaatkan pakan kualitas rendah (Martojo,
1990), masa estrus yang lebih panjang (Kirby, 1979), angka kebuntingan yang tinggi
6
(Sastradipradja, 1990) dengan rata-rata tingkat kebuntingan 90-100%. Angka
kelahiran sapi Bali juga tinggi yaitu 72,6%-92,6% (Soehadji, 1991) dan memiliki
daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungan yang kritis. Sapi Bali merupakan ternak
tipe kerja dan potong yang cocok untuk digunakan sebagai tenaga kerja di petak-
petak sawah yang kecil. Sapi Bali lebih mudah dilatih dari pada sapi Ongole dan
kondisi badannya lebih cepat pulih setelah dipakai kerja jika dibandingkan dengan
bangsa sapi lain dan hanya sedikit mempengaruhi produksinya.
Sapi Bali mempunyai beberapa kelemahan antara lain sapi Bali murni sangat
rentan terhadap penyakit Jembrane dan penyakit ingus akut (MCF) yang diduga
ditularkan melalui domba sehingga menghambat perkembangan populasi sapi Bali di
daerah-daerah yang mempunyai populasi domba yang tinggi (Martojo, 1990). Angka
kematian anak tinggi, berkisar antara 20% sampai 50% (Wirdahayati dan Bamualim
1990). Rataan produksi susu induk sapi Bali rendah walaupun telah diberikan pakan
tambahan. Berlawanan dengan sapi-sapi lain yang menghentikan aktivitas
reproduksinya untuk pertumbuhan anaknya, sapi Bali mengalami estrus setelah
kurang lebih 3 bulan postpartum (Talib et al., 1998). Penurunan bobot badan induk
yang banyak (±53 kg) pada masa menyusui mengakibatkan anak pada kelahiran
berikutnya mempunyai bobot lahir yang kecil (kurang lebih 10 kg) sehingga tingkat
kematian tinggi (Talib et al., 1998). Pertumbuhan sapi lamban dan bobot badan
dewasanya rendah jika dibandingkan dengan bangsa sapi Bos indicus maupun Bos
taurus (Kirby, 1979).
Faktor Penentu Komoditi Ternak Sapi Potong
Pengetahuan Pemuliabiakan
Nilai pemuliaan sangat penting terutama untuk menilai keunggulan seekor
pejantan yang akan digunakan sebagai sumber semen. Pelaksanakan seleksi,
biasanya diusahakan untuk memilih ternak yang mempunyai nilai pemuliaan yang
paling tinggi dari semua ternak untuk dijadikan tetua. Hal ini diharapkan dapat
menghasilkan kemungkinan rata-rata performa tertinggi pada keturunan dari orang
tua yang diseleksi. Jika diketahui dengan pasti nilai pemuliaan dari tiap-tiap ternak,
maka usaha untuk memberikan peringkat ternak menurut nilai pemuliaan yang
sesungguhnya dapat dilakukan dengan efisien. Pendugaan yang akurat dari nilai
7
pemuliaan akan menghasilkan urutan peringkat yang akurat juga (Falconer, 1981;
Warwick et al., 1987). Memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya dengan
menerapkan teknik pemuliaan dan pemurnian sapi Bali melalui kegiatan :
pembentukan populasi dasar, uji penampilan, uji keturunan, pemanfaatan pejantan
unggul melalui inseminasi buatan dan embrio transfer (Soehadji, 1990).
Untuk pemilihan calon pejantan uji performa dapat dilakukan pada setiap
periode yaitu : saat lahir, disapih, umur setahun, pubertas, dan pasca pubertas. Uji
performa dilakukan dengan memilih individu-individu yang menunjukkan prestasi di
atas nilai pertumbuhan tubuh dan perkembangan reproduksi rata-rata. Seleksi terus
menerus pada setiap periode terhadap calon pejantan dan keturunannya, maka akan
dihasilkan pejantan-pejantan unggul. Cara ini dapat dilakukan dengan biaya yang
lebih murah, waktu lebih cepat, dan lebih sederhana. Seleksi pejantan yang unggul
dan berhak mendapatkan sertifikat seperti halnya di negara yang telah maju
peternakannya, perlu dilanjutkan dengan uji keturunan (Martojo, 1990).
Estrus dan siklus estrus merupakan suatu kejadian fisiologis pada hewan
betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin. Internal
antara awal timbulnya satu periode estrus ke awal periode estrus berikutnya pada
hewan yang tidak bunting dan normal disebut siklus estrus (Toelihere, 1985).
Selanjutnya dinyatakan bahwa terdapat perbedaan lama periode estrus maupun siklus
estrus pada berbagai jenis ternak. Pada ternak sapi, panjangnya siklus estrus antara
18 sampai 24 hari (rata-rata 21 hari) dengan lama estrus antara 18-19 jam.
Sapi Bali birahi pertama kali pada umur 395 hari (13 bulan), dikawinkan
pertama kali pada umur 490,5 hari (±16 bulan ) (Sutedja et al., 1976). Lama birahi
rata-rata 34 jam dengan masa kebuntingan 286±15 hari, selang beranak 528±155 hari
dan dikawinkan kembali 242,45 hari (±8 bulan) setelah melahirkan (Darmadja,
1980). Sedangkan lama bunting 284,87±0,33 hari, selang kawin setelah beranak 125,
99±5,97 hari dengan selang beranak 400,88±6,24 hari (Ardika, 1995). Dari penelitian
Ardika (1995) didapatkan selang kawin setelah beranak secara nyata dipengaruhi
oleh kelompok pejantan dan lokasi, musim kelahiran yang berhubungan dengan
ketersediaan pakan. Induk-induk sapi yang melahirkan pada musim kemarau
mempunyai selang kawin yang lebih pendek dibandingkan dengan sapi-sapi yang
melahirkan pada musim hujan.
8
Makanan Ternak
Siregar (1996) mengungkapkan bahwa pakan ternak terdiri dari hijauan dan
konsentrat yang dapat diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan produksinya. Hijauan diartikan sebagai bahan pakan ternak yang kandungan
serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif tinggi. Secara umum penggolongan
hijauan pakan ternak adalah rumput-rumputan, leguminosa dan limbah pertanian.
Rumput terbagi menjadi dua yaitu rumput alam dan rumput kultur. Rumput alam
umumnya tumbuh sendiri tanpa perawatan, contohnya ialah rumput lapang, rumput
sawah, rumput gunung, dan rumput hutan. Rumput kultur yaitu jenis rumput yang
memang sengaja ditanam dan dipelihara dengan tambahan pupuk serta pemangkasan
pada waktu-waktu tertentu. Contoh rumput kultur antara lain King grass (rumput
raja), Pennisetum purpureum (rumput gajah), Brachiaria ruzizinensis (rumput ruzi),
Panicum maximum (rumput benggala), Euchlena mexicana (teosinte), Setaria
spacelata (rumput padi), Setaria splendida, Paspalum dilatatum (rumput Australia),
dan lain-lain.
Legunimosa dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan penampakannya yaitu
leguminosa berbentuk pohon, semak dan merambat. Leguminosa berbentuk pohon
relatif besar dan bercabang banyak contohnya ialah kaliandra, Grilicidia sepium
(gamal), Sesbania grandiflora (turi), Sesbania sesban (jayanti, sunda), dan Leucaena
leucocephala (petai cina). Leguminosa semak tidak begitu tinggi, contohnya antara
lain Stylosanthes sp (stylo), Cajanus cajan (kacang gude), Clitoria tenatea (bunga
telang), dan lain-lain. Leguminosa merambat adalah leguminosa yang tidak
mempunyai batang kuat, contohnya ialah Macroptilium atropurpureum (siratro)
Centrocema pubescens (centro), Calopogonium muconoides (puero) dan lain-lain
(Wina, 1992).
Leguminosa pada umumnya mempunyai kandungan protein yang cukup
tinggi sehingga dapat dipakai sebagai sumber protein terhadap ruminansia yang
diberi rumput. Gamal atau lirik sidia (Gliricidia sepium (jacq.) Kunth ex Walp.)
dikenal dengan sinonim G. Maculata (Kunth ex Walp.). Jenis ini termasuk kedalam
suku polong-polongan (leguminosae) yang berbunga kupu-kupu. Sebagai pakan yang
banyak digunakan, daun gamal mengandung 3-5% N, 13-30% serat kasar, 6-10%
abu, dan sedikit karoten dengan kecernaan 48-77% (Sutarno, 1993). Umur tanaman,
9
musim, dan genotipe sangat berpengaruh terhadap kualitas pakan. Kandungan N
tertinggi terdapat pada daun yang paling muda. Semakin bertambah umur, kadar N
menurun, sedangkan serat kasar meningkat. Bau yang tidak sedap menyebabkan
kurang disukai ternak. Gamal merupakan tanaman leguminosa yang peranannya
dapat menggantikan lamtoro dalam campuran pakan ternak. Gamal dilaporkan
mempunyai tingkat degradasi yang lebih tinggi dari lamtoro. Gamal mengandung
senyawa fenolat yaitu kumarin (senyawa sekunder).
Bahan yang tergolong limbah pertanian antara lain jerami padi, daun jagung,
daun kacang-kacangan, daun ubi jalar, daun sorgum dan pucuk tebu. Sedangkan
bahan pakan yang tergolong pakan konsentrat adalah bahan pakan yang kandungan
serat kasar atau bahan yang sulit dicerna relatif rendah. Bahan pakan konsentrat
diantaranya dedak padi, bungkil kelapa, polar, bungkil kelapa sawit, tepung jagung,
tepung gaplek, onggok, ampas tahu, dan ampas bir (Wina, 1992).
Menurut survei Lebdosoekoyo (1982), pemanfaatan limbah pertanian untuk
pakan ternak ruminansia baru sekitar 39% dari potensinya. Selebihnya dibuang,
dibakar, atau untuk keperluan nonpeternakan. Limbah pertanian belum dimanfaatkan
secara optimal disebabkan waktu panen yang tidak kontinu, hanya pada bulan-bulan
tertentu saja. Oleh karena itu, untuk persediaan sepanjang tahun maka harus
dilakukan pengawetan pada waktu musim panen.
Limbah pertanian di luar Jawa dan Madura hanya sebagian kecil saja yang
digunakan untuk hijauan pakan ternak ruminansia. Hal ini dikarenakan masih
besarnya potensi sumber hijauan di luar Jawa dan Madura. Pengawetan HMT yang
sudah lama dikenal oleh para peternak adalah jenis silase dan hay.
Silase (silage) adalah hijauan pakan ternak yang diawetkan dengan cara
peragian atau fermentasi asam laktat. Hijauan masih dalam keadaan segar dapat
diberikan kepada ternak tanpa mengganggu proses pencernaannya dan tidak
menimbulkan efek negatif lainnya. Proses fermentasi asam laktat itu disebut dengan
proses ensilase atau ensilage. Pengawetan dengan cara silase merupakan alternatif
yang paling sesuai untuk menjaga ketersediaan pakan ternak yang berlebihan pada
musim hujan. Cara silase ini dapat pula mengolah sekaligus mengawetkan limbah
pertanian. Hijauan yang baik untuk pembuatan silase adalah daun jagung, daun
shorgum, leguminosa, dan rumput-rumputan berupa rumput alam dan rumput kultur.
10
Hay adalah hijauan pakan ternak yang diawetkan melalui pengeringan agar
dapat disimpan lama sehingga dapat digunakan pada musim kemarau. Jenis hijauan
yang baik untuk hay adalah hijauan pakan ternak yang bertekstur halus, lunak dan
tidak mempunyai batang yang keras seperti rumput alam, rumput kultur Setaria sp,
Brachiaria mutica, Brachiaria brizantha, leguminosa Centrosema pubescens,
Desmodium intortum dan lain-lain.
Pemberian mineral pada ternak juga dibutuhkan. Mineral berperan penting
dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan
kesehatan. Beberapa unsur mineral berperan penting dalam penyusunan struktur
tubuh, baik untuk perkembangan jaringan keras seperti tulang dan gigi maupun
jaringan lunak seperti hati, ginjal, dan otak. Unsur mineral makro seperi Ca, P, Mg,
Na, dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh,
sedangkan unsur mineral mikro seperti besi (Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan
(Mn), dan kobalt (Co) diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 1985). Semua
mineral esensial baik mikro maupun makro sangat penting untuk kehidupan ternak.
Kekurangan salah satu atau lebih mineral tersebut akan mengganggu sistem
fisiologis ternak dan menyebabkan penyakit yang disebut defisiensi mineral. Fe dan
Cu mempunyai sifat yang sama dalam sistem pembentukan darah, yaitu Fe sebagai
pembentuk hemoglobin dan Cu sebagai pembentuk seruloplasmin. Bila ternak
mengalami defisiensi Fe maka absorpsi Cu dan Pb, yang merupakan mineral non-
esensial, meningkat sehingga ternak akan mengalami gejala toksisitas Cu atau Pb
(Chung et. al, 2004).
Tata Laksana
Menurut Santoso (1995) pencatatan pada peternakan mutlak dilakukan
karena merupakan data berharga untuk menilai perkembangan suatu usaha
peternakan, untuk menentukan kebijaksanaan dan tatalaksana yang harus diambil dan
dikerjakan selanjutnya. Hal ini dilakukan pula untuk mengungkapkan serta
menelusuri latar belakang sejarah atau silsilah ternak yang dipelihara. Mempelajari
catatan, seleksi dapat dilakukan lebih efektif dan efisien, penjualan produk dapat
tercapai tidak jauh dari yang diharapkan, dan ramalan terhadap keadaan di masa
mendatang akan tergambar.
11
Catatan yang perlu dibuat pada usaha peternakan sapi potong adalah catatan
mengenai kesehatan ternak, perkawinan atau berahi, penyapihan, kebutuhan pakan,
penjualan dan silsilah. Pencatatan penting yang berkaitan dengan data produksi suatu
perusahaan peternakan sapi daging adalah :
1. Data produktivitas pedet
2. Data produktivitas pejantan
3. Data produktivitas induk.
Data produktivitas pedet biasanya tercantum mengenai tetuanya, data
kelahirannya, data penyapihanya, data produksi sampai umur 1-2 tahun dan data
penjualannya. Data produktivitas pejantan mencakup identitasnya, jumlah pedet
yang dihasilkan melalui induk yang dikawininya termasuk jenis kelamin pedet dan
catatan prestasi pedet yang dihasilkan. Data tersebut biasanya dicatat pertahun
sehingga akan tampak prestasi pejantan tersebut dalam peranannya untuk
memproduksikan anak.
Data produktivitas induk disusun lebih lengkap, biasanya mencakup data
individual induk, data produksi total dari pedet-pedet yang dihasilkannya sampai
disapih dan indeks produksinya. Catatan tersebut akan memperlihatkan prestasi
induk, sampai kapan dipertahakan di perusahaan, bagaimana prestasi pedet yang
dihasilkannya, serta kemungkinan dihasilkannya pedet untuk replacement (bibit
pengganti).
Kesehatan Ternak
Wiltbank (1978) menyatakan ada empat masalah pada reproduksi yang
dihadapi ternak sapi potong yaitu a) lama bunting yang panjang b) interval dari lahir
sampai estrus pertama yang panjang c) tingkat konsepsi yang rendah d) kematian
anak dari lahir sampai sapih yang tinggi dan bervariasi.
Kematian ternak dipengaruhi oleh banyak faktor yang antara lain seperti
makanan kurang, iklim dan keadaan daerah serta penyakit yang berjangkit. Kejadian
keguguran dan lahir mati pada sapi Bali adalah sebesar 3,65% (Pastika dan
Darmadja, 1976). Kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi Bali berturut-
turut adalah 7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Sutedja, 1976). Menurut Sumbung et
al. (1978) persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7%.
12
Kandang dan Peralatan
Fungsi Kandang. Menurut Rasyid dan Hartati (2007), fungsi kandang adalah 1)
Melindungi ternak dari perubahan cuaca atau iklim yang ekstrem (panas, hujan dan
angin) 2) Mencegah dan melindungi ternak dari penyakit 3) Menjaga keamanan
ternak dari pencurian 4) Memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi
seperti pemberian pakan, minum, pengelolaan kompos dan perkawinan 5)
Meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja.
Pemilihan lokasi. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi kandang antara
lain Rasyid dan Hartati (2007) a) Tersedianya sumber air, terutama untuk minum,
memandikan ternak dan membersihkan kandang b) Dekat dengan sumber pakan c)
Transportasi mudah, terutama untuk pengadaan pakan dan pemasaran d) Areal yang
ada dapat diperluas.
Letak bangunan. Menurut Rasyid dan Hartati (2007), letak bangunan yang baik
adalah a) Mempunyai permukaan yang lebih tinggi dengan kondisi sekelilingnya,
sehingga tidak terjadi genangan air dan pembuangan kotoran lebih mudah b) Tidak
berdekatan dengan bangunan umum atau perumahan, minimal 10 meter c) Tidak
menggangu kesehatan lingkungan d) Agak jauh dari jalan umum e) Air limbah
tersalur dengan baik.
Konstruksi. Konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, mempunyai
sirkulasi udara yang baik, tidak lembab dan mempunyai tempat penampungan
kotoran beserta saluran drainasenya. Kontruksi kandang harus mampu menahan
beban benturan dan dorongan yang kuat dari ternak, serta menjaga keamanan ternak
dari pencurian. Penataan kandang dengan perlengkapannya dapat memberikan
kenyamanan pada ternak serta memudahkan kerja bagi petugas dalam memberi
pakan dan minum, pembuangan kotoran dan penanganan kesehatan ternak (Rasyid
dan Hartati, 2007).
Desain konstruksi kandang sapi potong harus didasarkan pada agroekosistem
wilayah setempat, tujuan pemeliharaan dan status fisiologis ternak. Model kandang
sapi potong di dataran tinggi, diupayakan lebih tertutup untuk melindungi ternak dari
cuaca yang dingin, sedangkan untuk dataran rendah yaitu bentuk kandang yang lebih
13
terbuka. Tipe dan bentuk kandang dibedakan berdasarkan status fisiologis dan pola
pemeliharaan. Hal ini dibedakan menjadi kandang pembibitan, penggemukan,
pembesaran, kandang beranak/menyusui, kandang pejantan, kandang paksa dan lain-
lain (Rasyid dan Hartati, 2007).
14
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di daerah peternakan Sapi Bali rakyat di Desa
Pengadangan yang terdiri dari delapan Dusun yaitu Dusun Gubuk Timuk, Dusun
Bawak Paok, Dusun Gubuk Jero, Dusun Gubuk Semodek, Dusun Kwang Sawi,
Dusun Tibu Petung, Dusun Sukatain dan Dusun Timba Nuh yang berada di
Kecamatan Pringgasela Kabupaten Lombok Timur-Nusa Tenggara Barat pada bulan
Februari sampai Maret 2010.
Materi
Ternak
Ternak yang digunakan adalah Sapi Bali (murni dan tidak murni) sebanyak
196 ekor yang terdiri atas Sapi Bali pedet, dara, induk dan jantan.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, timbangan
gantung, peternak sebagai responden dan kuesioner yang digunakan untuk
mengetahui keterampilan peternak dan lingkungan pemeliharaan Sapi Bali.
Prosedur
Persiapan Kuesioner
Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data. Kuesioner disusun untuk
mengetahui karakteristik peternak dan keterampilan teknis peternak dalam mengelola
usaha beternak sapi potong. Aspek teknis tersebut meliputi 1) Pemuliaan dan
reproduksi 2) Pakan ternak 3) Tata laksana 4) Kesehatan ternak serta 5) Kandang
dan peralatan. Setiap aspek terdiri dari sub aspek seperti yang ditampilkan pada
Tabel 1 sampai 5.
Survei dan Wawancara
Sebelum penelitian dimulai terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan
berupa survei untuk menginventarisasi peternak rakyat yang ada di Desa
Pengadangan. Berdasarkan penelitian pendahuluan, diperoleh satu kelompok ternak
yang menjadi leader atau pioneer berkembangnya usaha peternakan di Desa
Pengadangan. Pemilihan Desa Pengadangan sebagai tempat responden karena
populasinya yang tinggi dibandingkan desa lain yang berada di wilayah Kecamatan
Pringgasela. Pemilihan sampel dipilih secara acak oleh pemangku desa (pengurus
kantor desa) Pengadangan.
Sampel diambil mewakili setiap peternak di dusun, kemudian wawancara
dilakukan kepada setiap responden. Wawancara dilakukan dengan menggunakan
kuesioner atau daftar pertanyaan yang disusun berdasarkan kriteria faktor penentu
ternak sapi potong sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1 sampai 5.
Pengamatan
Pengamatan langsung pada objek penelitian dilakukan bersamaan dengan
wawancara. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas
mengenai keterampilan teknis peternak. Pengukuran langsung di lapangan yaitu :
1. Lingkar dada (LD) dan panjang badan untuk mengetahui bobot badan ternak
berdasarkan (Guntoro, 2002) :
Rumus Bobot Badan (BB) Sapi Bali
Lingkar dada diukur dengan cara melingkarkan pengukur sekeliling rongga dada
di belakang sendi Os scapula, sedangkan panjang badan diukur mulai dari
benjolan bahu (tuberosity of humerus) sampai tuber ischii. Lingkar dada dan
panjang badan diukur menggunakan pita ukur (cm).
2. Umur sapi dilihat dari pertumbuhan gigi.
3. Makanan ternak (pakan) pakan hijauan diukur dengan mengunakan timbangan
pada saat peternak akan memberikannya pada ternak. Timbangan yang digunakan
adalah timbangan gantung.
Sapi Jantan : BSB = (P x L²) : 11045
Sapi Betina : BSB = (P x L²) : 11050
16
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan
Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei adalah metode
informasi (data) dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak. Ukuran sampel atau jumlah peternak responden sapi
Bali yang diambil dalam penelitian sebanyak 80 peternak dari 8 dusun, masing-
masing diambil 10 sampel peternak setiap dusun sebagai responden.
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
atau daftar pertanyaan yang disusun berdasarkan kriteria faktor penentu sapi potong
(Direktorat Jendral Peternakan, 1983). Teknik observasi yaitu pengumpulan data
dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui
fenomena atau gejala yang ada pada objek-objek penelitian dan pengukuran langsung
di lapangan (pengukuran lingkar dada, pengukuran panjang badan, penimbangan
hijauan yang di berikan peternak dan melihat umur dari gigi sapi). Data sekunder
diperoleh dari kelompok ternak setempat, Kantor Desa, Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Propinsi NTB, Badan Klimatologi Kabupaten Lombok Timur.
Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah Pengadangan,
karakteristik peternak responden sebagai tenaga kerja, jumlah dan komposisi sapi
Bali, aspek pengetahuan pemuliabiakan, pakan ternak, tata laksana, kesehatan ternak,
serta kandang dan peralatan.
Analisis Data
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskiptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik peternak
responden dengan bantuan tabulasi frekuensi. Karakteristik peternak yang diamati
meliputi umur, pendidikan, kepemilikan ternak, keterampilan dan teknis beternak.
17
2. Analisis Statistik
Hasil uji chi-square digunakan untuk membandingkan nilai hasil pengamatan
dengan nilai harapan faktor penentu ternak sapi potong (sapi Bali) menurut
Direktorat Jendral Peternakan (1983). Bentuk persamaan menurut Walpole (1995)
adalah sebagai berikut :
Keterangan :
oi = Nilai Pengamatan
ei = Nilai Harapan
χ² = Chi-kuadrat
Peubah
1. Struktur Kepemilikan Ternak
Populasi ternak dihitung berdasarkan satuan ternak sapi potong. Komposisi
ternak yang diamati adalah :
a). Anak Sapi (pedet) yaitu sapi jantan atau betina yang berumur kurang dari 1
tahun, dihitung sama dengan 0,25 satuan ternak.
b). Sapi dara yaitu, sapi betina yang berumur lebih dari 1 tahun dan belum pernah
beranak, dihitung sama dengan 0,50 satuan tenak.
c). Sapi dara, yaitu sapi jantan yang berumur lebih dari 1 tahun dan kurang dari 2
tahun yang belum dikawinkan, dihitung sama dengan 0,50 satuan tenak.
d). Sapi jantan dewasa yaitu sapi yang telah berumur ≥2 tahun, dihitung dengan
1,00 satuan ternak.
e). Sapi indukan yaitu sapi yang telah beranak dan berumur ≥2 tahun, dihitung
dengan 1,00 satuan ternak.
2. Pengetahuan Pemuliabiakan
Peubah yang diamati meliputi perbandingan pejantan dengan betina, sistem
perkawinan, kelahiran per induk setiap tahun, jarak beranak, jumlah perkawinan
18
untuk menjadi bunting, pemilihan pejantan yang digunakan, serta pemilihan betina
yang digunakan.
3. Makanan Ternak
Peubah yang diamati meliputi jumlah hijauan yang diberikan, jenis hijauan
yang diberikan, pemberian konsentrat, pemberian mineral, pemberian air minum,
penanaman hijauan makanan ternak, serta usaha pengawetan makanan ternak.
4. Tata Laksana
Peubah yang diamati meliputi pencatatan, kebersihan ternak, pemanfaatan
tenaga kerja, pemanfaatan kotoran sapi, pengetahuan reproduksi dan pengetahuan
tentang usaha peternakan.
5. Kesehatan Ternak
Peubah yang diamati meliputi vaksinasi, pengetahuan tentang penyakit, usaha
dan tanggapan terhadap sapi yang sakit, kematian ternak, serta tindakan terhadap
kematian.
6. Kandang dan Peralatan
Peubah yang diamati meliputi penilaian kandang, lokasi kandang, kontruksi
kandang, kebersihan kandang dan peralatan kandang.
19
Tabel 1. Faktor Penentu Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan Ternak Sapi Potong
No. Faktor Penentu Alternatif Jawaban Nilai
1. Perbandingan jantan dengan
betina
a) < 10 ekor 35
b) > 10 ekor 5
2. Sistem perkawinan a) Inseminasi Buatan (IB) 40
b) Kawin alam yang teratur 30
c) Kawin alam yang tidak
teratur
10
3. Kelahiran per induk setiap
tahun
a) 1,5 40
b) 1,5 30
c) > 1, 5 10
4. Jarak beranak a) 12-14 bulan 40
b) 15-17 bulan 35
c) > 17 bulan 10
5. Jumlah perkawinan untuk
menjadi bunting
a) I kali 30
b) 2-3 kali 20
c) > 3 kali 10
6. Pemilihan pejantan yang
digunakan
a) Berdasarkan keturunan
(silsilah)
35
b) Berdasarkan berat badan 20
c) Sembarang pejantan 10
7. Pemilihan Betina yang
digunakan
a) Berdasarkan keturunan
(silsilah)
35
b) Berdasarkan berat badan 20
c) Sembarang induk betina 10
Sumber: Direktoral Jendral Peternakan (1983)
20
Tabel 2. Faktor Penentu Aspek Makanan Ternak Sapi Potong
No. Faktor Penentu Alternatif Jawaban Nilai
1. Jumlah hijauan yang
diberikan
a) Lebih dari cukup (≥ 10% bobot
badan)
50
b) Cukup (10% bobot badan) 30
c) Kurang (≤ 10 bobot badan) 10
2. Jenis hijauan yang diberikan a) Rumput unggul + leguminosa 50
a) Rumput+limbah pertanian 40
b) Rumput unggul 30
c) Rumput lapangan 10
3. Pemberian konsentrat a) Selalu 50
b) Kadang-kadang 30
c) Tidak ada 1
4. Pemberian mineral a) Campuran mineral pabrik 50
b) Garam dapur+kapur+tepung
tulang
30
c) Garam dapur 20
d) Tidak memberikan 1
5. Pemberian air minum a) Selalu tersedia 20
b) Kadang-kadang 10
c) Tidak ada 1
6. Penanaman hijauan makanan
ternak
a) Cukup untuk memenuhi
kebutuhan sapi Bali
40
b) Sebagai tambahan 20
c) Tidak ada 1
7. Usaha pengawetan makanan
ternak
a) Selalu 40
b) Kadang-kadang 20
c) Tidak pernah 1
Sumber: Direktoral Jendral Peternakan (1983)
21
Tabel 3. Faktor Penentu Aspek Tata Laksana Ternak Sapi Potong
No. Faktor Penentu Alternatif Jawaban Nilai
1. Pencatatan a) Lengkap 30
b) Kurang lengkap 20
c) Tidak ada 1
2. Kebersihan ternak a) Baik 20
b) Cukup 10
c) kurang 5
3. Pemanfaatan tenaga kerja a) Dipekerjakan 25
b) Tidak dipekerjakan 15
c) Dipekerjakan dalam keadaan
bunting 5
4. Pemanfaatan kotoran a) Seluruhnya 20
b) Sebagian 10
c) Tidak ada 1
5. Pengetahuan reproduksi a) Baik 40
b) Sedang 30
c) kurang 10
6. Pengetahuan tentang usaha
peternakan a) Baik 40
b) Sedang 30
c) Kurang 10
Sumber: Direktoral Jendral Peternakan (1983)
22
Tabel 4. Faktor Penentu Aspek Kesehatan Ternak Sapi Potong
No. Faktor Penentu Alternatif Jawaban Nilai
1. Vaksinasi a) Selalu 20
b) Kadang-kadang 10
c) Tidak ada 1
2. Pengetahuan tentang penyakit a) Baik 15
b) Cukup 10
c) Kurang 5
3. Usaha dan tanggapan terhadap
kerbau yang sakit
a) Melaporkan pada
petugas 20
b) Berusaha mengatasi
secara tradisionil 15
c) dibiarkan 1
4. Kematian ternak a) Tidak ada 15
b) Seekor 10
c) Dua ekor atau lebih 5
5. Tindakan terhadap kematian a) Melaporkan pada
petugas 15
b) Dikubur 10
c) Di makan 1
6. Pengetahuan obat-obatan ringan a) Selalu 25
b) Kadang-kadang 15
c) Tidak pernah 1
Sumber: Direktoral Jendral Peternakan (1983)
23
Tabel 5. Faktor Penentu Aspek Kandang dan PeralatanTernak Sapi Potong
No. Faktor Penentu Alternatif Jawaban Nilai
1. Penilaian kandang a) Ada 10
b) Alakadarnya 6
c) Tidak ada 1
2. Lokasi kandang a) Terpisah dari rumah dengan jarak ≥ 5 m 10
b) Terpisah dekat dengan rumah dengan
jarak 1-4 m 6
c) Bersatu dengan rumah 1
3. Kontruksi kandang a) Baik 10
b) Sedang 6
c) kurang 2
4. Kebersihan kandang a) Baik 10
b) Sedang 6
c) kurang 1
5. Peralatan kandang a) Lengkap 10
b) Kurang 6
c) Tidak ada 1
Sumber: Direktoral Jendral Peternakan (1983)
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Kecamantan Pringgasela merupakan salah satu kecamatan di Lombok Timur
yang mempunyai luas wilayah 134,25 km² dengan ibukota Kecamatan adalah Desa
Pringgasela. Adapun batas-batas Kecamatan Pringgasela adalah Kecamatan
Sembalun di sebelah Utara, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Suralaga, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Masbagik, dan di sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Aikmel. Jumlah penduduk Kecamatan
Pringgasela sebanyak 48.342 jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS, 2008). Kecamatan
Pringgasela memiliki 4 (empat) buah desa yaitu Desa Rempung, Pringgasela, Jurit
dan Pengadangan. Jika dilihat dari segi luas wilayah, desa yang memiliki proporsi
wilayah terluas adalah Desa Pengadangan yang mencapai 72,05% dari total luas
wilayah kecamatan atau sekitar 96,73 km².
Desa Pengadangan sendiri terdiri dari delapan dusun diantaranya Dusun
Gubuk Timuk, Dusun Bawak Paok, Dusun Gubuk Jero, Dusun Semodek, Dusun
Sukatain, Dusun Tibu Petung, Dusun Kwang Sawi dan Dusun Timba Nuh. Desa
Pengadangan mempunyai topografi sebagai wilayah yang termasuk dataran tinggi,
ketinggian desa mencapai 400-700 dpl dan termasuk desa yang mempunyai
ketinggian yang paling tinggi diantara desa-desa yang ada di Kecamatan Pringgasela.
Suhu udara di Desa Pengadangan terjadi antara 20-28ºC. Desa Pengadangan
dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades). Dusun di Pengadangan masing-masing
dipimpin oleh seorang Kepala Dusun (Kadus). Desa Pengadangan mempunyai satu
Kades dan delapan Kadus. Jumlah penduduknya sebanyak 13.631 jiwa.
Mata pencaharian penduduk Desa Pengadangan didominasi sebagai petani,
petani ternak dan buruh tani. Pendidikan di Desa Pengadangan penduduknya lebih
banyak lulus SD, diikuti lulusan SMP, selanjutnya lulusan SMA, diikuti buta huruf
dan tidak tamat SD, serta Sarjana. Sangat terlihat stratifikasi pendidikan
penduduknya masih sangat rendah. Sebagian besar penduduk Pengadangan
menggunakan bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari sehingga dalam
wawancara responden, peneliti mengalami sedikit kesulitan dalam berkomunikasi.
Tabel 6. Memperlihatkan sumber pendapatan masyarakat Pengadangan.
Tabel 6. Mata Pencaharian Penduduk Pengadangan
No Dusun Petani Peternak Buruh
Tani Pedagang
Tukang
Kayu Pengrajin Guru
1 Gubuk
Timuk
696 472 189 28 7 21 9
2 Bawak
Paok
898 420 192 26 8 13 10
3 Gubuk
Jero
599 282 105 14 15 11 8
4 Gubuk
Semodek
504 254 144 20 3 4 6
5 Kuang
Sawi
913 453 397 20 12 5 5
6 Tibu
Petung
764 355 173 14 6 2 4
7 Gubuk
Sukatain
895 351 279 27 5 1 2
8 Timba
Nuh
884 424 273 25 9 10 7
Jumlah 6153 3011 1752 174 65 67 51
Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa/BPMD (2009)
Perkembangan terus terjadi pada usaha peternakan sapi Bali rakyat di
Pengadangan. Data Kecamatan Pringgasela seperti terlihat pada Tabel 7 mencatat
total populasi ternak sapi di Kecamatan Pringgasela pada tahun 2008 mencapai 3.611
ekor. Desa Pengadangan mempunyai posisi ke dua setelah Desa Pringgasela.
Tabel 7. Jumlah Ternak di Kecamatan Pringgasela Dirinci Per Desa dan Jenisnya
No Desa Kuda
(ekor) Sapi (ekor) Kerbau (ekor)
Kambing
ekor)
1 Rempung 20 14 0 36
2 Pringgasela 15 1476 0 46
3 Jurit 14 698 0 32
4 Pengadangan 8 3611 0 104
Jumlah 57 5799 0 218
Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa/BPMD (2008)
26
Pada tahun 2009 seperti yang terlihat pada Tabel 8 bahwa terjadi peningkatan
populasi sapi di Pengadangan hingga mencapai 4.176 ekor. Jumlah ternak bertambah
dari tahun 2008.
Tabel 8. Jumlah Populasi Ternak di Desa Pengadangan Dirinci Berdasarkan Dusun
dan Jenisnya
No Dusun
Kuda
(ekor) Sapi (ekor)
Kerbau
(ekor)
Kambing
(ekor)
1 Gubuk Timuk 4 372 3 34
2 Bawak Paok 0 385 0 18
3 Gubuk Jero 0 383 0 5
4 Gubuk Semodek 0 452 0 7
5 Kuang Sawi 1 606 0 21
6 Tibu Petung 0 489 0 185
7 Gubuk Sukatain 0 847 0 53
8 Timba Nuh 0 642 0 11
Jumlah 5 4176 3 334
Sumber : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa/BPMD (2009)
Karakteristik Peternak Responden
Umur Responden
Berdasarkan Tabel 9 ditunjukkan bahwa peternak responden yang melakukan
usaha peternakan sapi Bali rakyat mempunyai umur terkecil adalah 19 tahun dan
umur tertua adalah lebih dari 67 tahun. Manalu (2008) menyatakan bahwa umur
petani-ternak adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan kerja
dalam melaksanakan kegiatan usaha tani. Umur dapat dijadikan sebagai tolak ukur
dalam melihat aktivitas seseorang dalam bekerja dimana dengan kondisi umur yang
masih produktif maka kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan
maksimal. Nuraeni dan Purwanta (2006) menyatakan bahwa umur di bawah 20 tahun
belum bisa dikatakan usia produktif karena dikategorikan dalam usia sekolah,
sedangkan umur di atas 55 tahun tingkat produksinya telah melewati titik optimal
dan akan menurun seiiring dengan bertambahnya umur. Peternak responden di
Pengadangan yang mempunyai usia produktif sebanyak 73,75%. Rasyaf (1995)
dalam Nuraeni dan Purwanta (2006) menyatakan bahwa umur produktif berada
diantara umur 25-55 tahun. Sehingga dari segi usia peternak responden, usaha
27
peternakan rakyat sapi Bali di Pengadangan kemungkinan lebih bisa berkembang
lagi. Gambar 1 menunjukan interaksi antara peternak dan ternaknya.
Gambar 1. Interaksi Peternak dan Ternaknya
Tingkat Pendidikan
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebesar 60% dari jumlah peternak responden
tidak pernah mengenyam pendidikan baik setara SD atau sejenisnya. Selanjutnya
sebesar 28,75% responden lulusan SD, lulusan SMA sebesar 7,5%, lulusan SMP
sebesar 3,75% serta tidak ada peternak responden yang belajar di tingkat universitas
dan berprofesi sebagai peternak. Pendidikan adalah kegiatan yang sangat penting
untuk membantu dalam memajukan usaha yang ingin dijalani baik skala kecil,
menengah maupun industri. Menurut Manalu (2008), tingkat pendidikan formal yang
dimiliki petani-ternak akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang
luas untuk petani-ternak, penerapan apa yang diperolehnya untuk kemudian dapat
meningkatkan usahatani-ternaknya. Pendidikan yang masih relatif rendah di tingkat
peternak responden di Pengadangan menjadi indikasi perkembangan peternakan
yang lamban. Hasil penelitian Syaf (1993) mengatakan semakin tinggi pendidikan
peternak maka curahan jam kerja akan semakin besar, karena apabila peternak
mempunyai pendidikan yang cukup baik maka peternak tersebut akan lebih mudah
menerima dan mencoba metode baru dalam pemeliharaan ternak seperti pemberian
hijauan, melakukan pencatatan produksi dan inseminasi buatan. Agar perkembangan
peternakan sapi Bali rakyat di Pengadangan terus meningkat, perlu adanya campur
tangan pemerintah untuk menempatkan tenaga penyuluh tetap yang proaktif di
Pengadangan. Gambar 2 menunjukan wawancara dengan peternak mengenai
peternak sebagai tenaga kerja, termasuk pendidikan yang pernah ditempuh.
28
Gambar 2. Wawancara dengan Peternak
Tabel 9. Umur dan Pendidikan Peternak Pesponden di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1. Umur (tahun)
≤19 1 1,25
20-34 (muda) 16 20
35-50 (sedang) 43 53,75
51-66 (tua) 19 23,75
≥67 2 2,5
2. Pendidikan
Tidak Sekolah 48 60
SD 23 28,75
SMP 3 3,75
SMA 6 7,5
Universitas 0 0
Kepemilikan Ternak dan Komposisi Sapi Bali Responden
Tabel 10 memperlihatkan bahwa peternak responden di Pengadangan
memelihara sapi Bali mulai dari sapi indukan dan pejantan, sapi dara jantan dan
betina, serta sapi pedet jantan dan betina. Total pedet yang di pelihara sebesar 7,82%
dengan jumlah pejantan sebesar 4,87% dan betina sebesar 2,95%. Total sapi dara
dipelihara sebesar 12,87%, dengan rincian pejantan sebesar 5,91% dan betina sebesar
6,96%. Komposisi sapi Bali pedet dan dara betina yang dipelihara sebesar 9,91%
menandakan bahwa peternak di Pengadangan kurang memperhatikan replacement
stock atau biasa disebut ternak pengganti. Nadjib (1985) mengungkapkan bahwa
jumlah anak sapi betina sebagai pengganti indukan afkir sebaiknya berjumlah 20-
25% dari total sapi betina dewasa.
29
Total indukan dan pejantan yang dipelihara sebesar 79,31%, dengan jumlah
pejantan 6,96% dan indukan sebesar 72,35%. Jumlah persen indukan yang dipelihara
peternak responden cukup baik karena jumlah indukan sangat menentukan dalam
perkembangan pemuliabiakan di suatu usaha peternakan.
Tabel 10. Rataan Komposisi Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Pengadangan
Kelompok Ternak Jumlah
Ekor ST %
Pedet
Jantan 28 7 4,87
Betina 17 4.25 2,95
Dara
Jantan 17 8,5 5,91
Betina 20 10 6,96
Dewasa
Induk 104 104 72,35
Pejantan 10 10 6,96
Jumlah 196 143,75 100
Usaha ternak sapi di NTB sebagian besar peternakan rakyat, dengan skala
kepemilikan 2-5 ekor. Berbagai sistem pemeliharaan yang dilakukan petani-ternak
mulai dari sistem tradisional (digembalakan) hingga sistem yang lebih intensif yaitu
dikandangkan. Perlakuan dan perawatan ternak sangat bergantung pada biaya dan
tenaga, serta pengalaman yang dimiliki peternak (Panjaitan et al., 2003). Hal yang
sama terjadi di peternak rakyat Desa Pengadangan, jumlah keseluruhan sapi yang
dipelihara oleh peternak responden adalah sebanyak 196 ekor dan setara dengan
143,75 Satuan Ternak (ST). Potensi luas wilayah, kepadatan penduduk, dan potensi
daerah untuk menghasilkan pakan, dapat mendukung peternak meningkatkan jumlah
ternak yang dipelihara.
Faktor Penentu Komoditi Peternakan Sapi Potong (Sapi Bali)
Faktor penentu ternak sapi potong merupakan indikator untuk melihat
pengetahuan dan keterampilan teknis beternak sapi Bali dari peternak. Pengetahuan
terhadap aspek teknis beternak meliputi lima aspek sesuai standar penilaian
30
Direktorat Jendral Peternakan (1983) yaitu 1) Pengetahuan Pemuliabiakan, 2) Pakan
ternak, 3) Tata laksana, 4) Kesehatan ternak, serta 5) Kandang dan peralatan.
Teknis pemeliharaan sapi Bali di Pengadangan banyak dipengaruhi oleh kultur sosial
penduduknya. Wharton (1969) mengungkapkan sistem komoditi yang menyangkut
proses produksi dan konsumsi tidak lepas dari ketergantungan sosial budaya yang
dihadapi petani. Pemilikan aset yang masih terkait dengan simbol status dan
kebiasaan konsumsi yang fanatik mempunyai pengaruh besar dalam pengelolaan
usahataninya.
Tabel 11 menunjukan bahwa penerapan aspek teknis dari yang tertinggi
hingga terendah berturut-turut adalah aspek pengetahuan pemuliabiakan (68,7%),
diikuti aspek kandang dan peralatan (62,6%), aspek kesehatan hewan (51,6%), aspek
pakan ternak (38,7%) serta terakhir aspek tata laksana (36,7%). Capaian aspek
pengetahuan pemuliabiakan lebih tinggi dibandingkan dengan aspek yang lain
mungkin disebabkan oleh pengalaman beternak para peternak yang rata-rata lebih
dari sembilan tahun sehingga secara pengalaman walaupun tidak menempuh
pendidikan yang tinggi peternak mampu mengetahui kapan ternak birahi, siap kawin,
calon jantan yang baik calon induk yang baik dan lain-lain.
Tabel 11. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Teknis Peternakan
Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan
No Aspek Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Pengetahuan Pemuliabiakan 171,74** ± 10,58 250 68,7
2. Pakan Ternak 135,35** ± 29,86 300 45,1
3. Tata Laksana 64,14** ± 21,3 175 36,7
4. Kesehatan Ternak 51,57** ± 9,32 110 46,9
5. Kandang dan Peralatan 31,29** ± 8,87 50 62,6
Total 454,09 885 260
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0,01)
Keseluruhan aspek mempunyai total sebesar 454,09 sedangkan total nilai
pengharapannya adalah 885 sehingga baru sebesar 260% faktor penentu komoditi
sapi potong yang diterapkan oleh peternak responden sapi Bali di Pengadangan
berdasarkan rekomendasi Direktorat Jendral Peternakan (1983).
31
Pengetahuan Pemuliabiakan
Pengamatan aspek pengetahuan pemuliabiakan meliputi 1) Perbandingan
pejantan dengan betina, 2) Sistem perkawinan, 3) Kelahiran per induk setiap tahun,
4) Jarak beranak, 5) Jumlah perkawinan untuk menjadi bunting, 6) Pemilihan
pejantan yang digunakan, serta 7) Pemilihan betina yang di gunakan. Perolehan nilai
dari sub aspek yang diamati yaitu pada sub aspek perbandingan jantan dan betina,
sistem perkawinan, pemilihan pejantan yang digunakan dan pemilihan betina yang
digunakan memberikan nilai yang sangat nyata (P<0,01).
Perbandingan sapi Bali jantan dengan betina pada peternak responden di
Pengadangan tidak ideal. Hasil pengamatan yang diperoleh untuk perbandingan
jantan dan betina adalah 14,3% sangat jauh dari nilai harapan. Menurut Ditjennak
(1990) perbandingan antara betina dan jantan dalam populasi yang ideal adalah 85%
betina dengan 15% jantan. Hasil nilai dari sub aspek sistem perkawinan yang
diterapkan mendapatkan nilai sebesar 75%. Hasil chi-square menunjukkan bahwa
nilai tersebut belum dapat dikatakan baik. Namun hasil tersebut, menunjukkan
bahwa peternak responden di Pengadangan cukup mempunyai kesadaran dalam
penerapan sistem perkawinan pada ternaknya. Pemilihan pejantan dan betina yang
digunakan oleh peternak responden di Pengadangan adalah berdasarkan berat badan.
Hasil pengukuran langsung baik jantan maupun betina. Hasil pengukuran berat rata-
rata betina adalah 322 kg dan berat rata-rata jantan adalah 395 kg. Nilai pengamatan
yang diperoleh untuk pejantan sebesar 58,2% sedangkan betina sebesar 41,8%.
Sub aspek kelahiran per induk setiap tahun dan jarak beranak serta jumlah
perkawinan untuk menjadi bunting mempunyai nilai pengamatan sebesar 99,4%,
94,3% dan 96,7%. Nilai pengamatan tidak jauh berbeda dengan nilai harapan
sehingga pada perhitungan chi-square menunjukan bahwa ketiga aspek diatas
mempunyai nilai yang sangat tidak nyata (P>0,01). Pada sub aspek kelahiran per
induk pertahun mempunyi nilai yang paling tinggi. Hal ini berbanding lurus dengan
jumlah sapi yang ada di Pengadangan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut Hidayat (2010), kemampuan sapi Bali menghasilkan anak dalam setahun
berkisar 80-86%, dengan kematian anak yang relatif rendah, yaitu berkisar 1,87%.
Kemampuan reproduksi sapi Bali sangat baik, sapi betina dikawinkan pertama kali
pada umur 2-2,5 tahun.
32
Sub aspek jarak beranak juga mempunyai kisaran persen nilai pengamatan
tidak jauh dengan nilai harapan yaitu nilai jarak beranak rata-rata dari sapi Bali yang
dipelihara peternak responden di Pengadangan antara 12-14 bulan. Hasil penelitian
ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (2010) bahwa jarak melahirkan anak sapi
potong berkisar 12-14 bulan, tergantung dengan cara pengelolaannya.
Sub aspek pengetahuan pemuliabiakan yang terakhir adalah aspek jumlah
perkawinan untuk menjadi bunting yaitu peternak di Pengadangan rata-rata
mengawinkan ternaknya sebanyak satu kali sudah menjadi bunting. Hal ini
dikarenakan peternak masih menggunakan kawin alam yang teratur. Hidayat (2010)
melaporkan bahwa indeks kebuntingan sapi Bali kira-kira 1,2 yang artinya sapi
betina menjadi bunting setelah dikawinkan 1,2 kali (paling tidak sekali). Peternak
responden di Pengadangan pernah mencobakan Inseminasi Buatan, namun sering
terjadi kegagalan bunting dan keguguran sehingga IB kurang diminati di kalangan
peternak.
Tabel 12. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Pengetahuan
Pemuliabiakan Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80
Responden)
No Uraian Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Perbandingan jantan dengan
betina
5** ± 0 35 14,3
2. Sistem perkawinan 30** ± 2,75 40 75
3. Kelahiran per induk setiap
tahun
39,75 ± 1,57 40 99,4
4. Jarak beranak 33 ± 4,02 35 94,3
5. Jumlah perkawinan untuk
menjadi bunting
29 ± 3,01 30 96,7
6. Pemilihan pejantan yang
digunakan
20,37** ± 3,87 35 58,2
7. Pemilihan betina yang
digunakan
14,62** ± 5,01 35 41,8
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0,01)
33
Tabel 13 memperlihatkan sub aspek perbandingan jantan dengan betina tidak
diambil berdasarkan jumlah sapi yang dimiliki peternak responden melainkan hasil
blok dari keseluruhan jumlah sapi yang ada di Pengadangan. Hasil blok yang
dimaksud adalah data sekunder total jumlah sapi baik jantan maupun betina dari
Kantor Desa. Pengolahan data kembali dilakukan dengan cara menghitung kembali
jumlah ternak jantan dan jumlah ternak betina, kemudian dibandingkan jumlah dari
total jantan dengan total betina sehingga di peroleh data seperti yang tampak pada
Tabel 13. Perbandingan ternak sapi jantan dengan betinanya lebih dari 10 ekor.
Seperti yang sudah dijelaskan perbandingan yang ideal antara jumlah betina dengan
pejantan adalah 85% : 15%.
Sistem perkawinan pada ternak potong yang dipelihara secara intensif pada
umumnya menggunakan perkawinan alam yang teratur dan Inseminasi Buatan (IB).
Sebanyak 96,25% peternak responden menggunakan kawin alam teratur, sebanyak
2,5% mengawinkan ternaknya secara IB dan 1,25% mengawinkan secara kawin alam
yang tidak teratur. Perkawinan secara IB dapat membantu dalam perbaikan performa
ternak, tapi peternak di Pengadangan lebih suka menggunakan kawin alam teratur
yang mempunyai resiko yang relatif kecil. Wharton (1969) menyampaikan bahwa
kriteria petani-ternak rakyat adalah takut menanggung resiko sebagai konsekuensi
dari penerapan ide-ide baru. Sistem perkawinan IB di Pengadangan membutuhkan 2
hingga 5 kali suntik untuk sapi betina dapat bunting sehingga memaksa peternak
mengeluarkan dana untuk kawin kembali, sehingga peternak di Pengadangan lebih
suka memilih cara perkawinan alam yang teratur dibanding IB. Gambar 3
menunjukkan Perkawinan alam teratur oleh sapi Bali.
Gambar 3. Perkawinan Alam Teratur pada Sapi Bali Sumber : BPTP NTB
Peternak responden di Pengadangan mempunyai pesentase kelahiran ternak
per tahun yang kurang dari 1,5 tahun mencapai 97,5%, mencapai 1,5 tahun sebesar
34
2,5% dan tidak ada ternak yang melahirkan lebih dari 1,5 tahun. Kesadaran tinggi
dalam pengadaan anakan setiap tahunnya sangat tinggi. Gambar 4 menunjukkan
induk sapi Bali yang melahirkan anakannya kembali kurang dari 1,5 tahun.
Gambar 4. Kelahiran Sapi Bali
Jarak beranak antara 12-14 bulan oleh peternak responden di Pengadangan
mencapai 80%. Terlihat pada Gambar 5, indukan yang telah bunting kembali. Usia
pedet yang berada pada Gambar 5 adalah 1 tahun, sedangkan usia kandungan
indukan adalah 8 bulan. Jarak beranak 15-17 bulan mencapai 20%, tidak ada ternak
di Pengadangan yang mempunyai jarak beranak lebih dari 17 bulan. Hal ini
dimungkinkan karena peternak di Pengadangan sudah cukup tahu mengenai ciri-ciri
sapi yang birahi. Pencirian peternak di Pengadangan terhadap sapi Bali yang birahi
yaitu 1) Suka jalan kiri-kanan (tidak tenang), 2) Menaiki sapi yang lain, 3) Keluar
cairan (keluar cairan bening pada vulva bagian luar), 4) Kemaluannya bengkak
(vulva membengkak dan berwarna lebih kemerahan dari biasanya), 6) Tidak mau
makan (nafsu makannya turun).
Gambar 5. Indukan Sapi Bali Bunting dan Pedet
Sebanyak 90% peternak responden mengatakan bahwa hanya dalam satu kali
perkawinan alam, ternak mereka sudah menjadi bunting. Gambar 6 menunjukan sapi
Bali yang bunting hasil dari kawin alam yang teratur. Sebanyak 10% peternak
35
responden yang menyatakan ternak mereka dapat bunting setelah 2-3 kali melakukan
perkawinan. Peternak yang melakukan perkawinan sebanyak 2-3 kali biasanya
karena menggunakan perkawinan secara IB atau peternak melakukan perkawinan
terhadap ternaknya terlalu dini (terlalu dekat dari jarak beranak) sehingga
menyebabkan kegagalan bunting pada indukan.
Gambar 6. Indukan Sapi Bali Bunting
Pemilihan pejantan dan betina yang digunakan oleh peternak responden di
Pengadangan adalah sebanyak 91,25% pejantan dan 46,25% betina yang memilih
berdasarkan berat badan. Sebanyak 3,75% pejantan dan 53,75% betina yang dipilih
peternak responden berdasarkan sembarang pejantan dan betina. Peternak responden
menggunakan sembarang pejantan karena pada saat sapi betina birahi, tidak tersedia
pejantan yang baik di sekitar dusun peternak responden. Peternak juga menggunakan
sembarang indukan disebabkan pada saat pembelian bibit indukan. Betina yang baik
harganya terlampau mahal sehingga peternak membeli calon indukan yang sesuai
dengan modal yang dimiliki. Sebanyak 5% jantan dan 0% betina berdasarkan silsilah
(genetik). Gambar 7 dan 8 menunjukan pejantan dan indukan yang digunakan
berdasarkan bobot badan sapi.
Gambar 7. Pejantan Sapi Bali Gambar 8. Calon Indukan Sapi Bali
Pejantan yang berdasarkan silsilah biasanya diperoleh peternak dari bantuan
pemerintah setempat. Peternak di NTB dan termasuk peternak yang berada di
Pengadangan sangat susah menemukan atau mencirikan ternak berdarah murni sapi
36
Bali. Umumnya ternak sapi Bali yang berada di NTB adalah sapi Bali yang
mempunyai darah yang bercampur dengan jenis sapi lainnya atau dapat dikatakan
tidak murni lagi.
Tabel 13. Penerapan Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan Sapi Bali di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1 Perbandingan jantan dengan betina
a) < 10 ekor 0 0
b) > 10 ekor 80 100
2 Sistem perkawinan
a) Inseminasi Buatan (IB) 2 2,5
b) Kawin alam yang teratur 77 96,25
c) Kawin alam yang tidak teratur 1 1,25
3 Kelahiran per induk setiap tahun
a) < 1,5 78 97,5
b) 1,5 2 2,5
c) > 1,5 0 0
4 Jarak beranak
a) 12-14 bulan 64 80
b) 15-17 bulan 16 20
c) > 17 bulan 0
5 Jumlah perkawinan untuk menjadi bunting
a) 1 kali 72 90
b) 2-3 kali 8 10
c) > 3 kali 0 0
6 Pemilihan pejantan yang digunakan
a) Berdasarkan keturunan (silsilah) 4 5
b) Berdasarkan berat badan 73 91,25
c) Sembarang pejantan 3 3,75
7 Pemilihan Betina yang digunakan
a) Berdasarkan keturunan (silsilah) 0 0
b) Berdasarkan berat badan 37 46,25
c) Sembarang induk betina 43 53,75
37
Makanan Ternak
Pengamatan pada aspek makanan ternak meliputi 1) Jumlah hijauan yang
diberikan, 2) Jenis hijauan yang diberikan, 3) Pemberian konsentrat, 4) Pemberian
mineral, 5) Pemberian air minum, 6) Penanaman hijauan makanan ternak, serta 7)
Usaha pengawetan makanan ternak.
Tabel 14 menunjukan sub aspek yang memiliki nilai pengamatan yang
mendekati nilai harapan adalah jumlah hijauan yang diberikan yang mencapai 94%
dan jenis hijauan yang diberikan yang mencapai nilai 79%. Hasil chi-square pada
kedua sub aspek tersebut sangat tidak nyata (P>0,01). Peternak di Pengadangan
memberikan ternaknya hijauan rata-rata lebih dari 10% bobot badan. Hal ini
dikarenakan peternak memberikan ternaknya 100% hijauan. Blakely dan Bade
(1985) menyatakan bahwa pemberian pakan yang berlebih menyebabkan pubertas
yang lebih awal dan tidak mengganggu fertilitas ternak, tetapi tidak ekonomis.
Sedangkan untuk jenis hijauan yang diberikan mendapatkan nilai sebesar 79%.
Hijauan dan limbah pertanian yang paling sering digunakan dan diberikan oleh
peternak responden di Pengadangan adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum),
batang pisang, jerami padi, daun gamal dan rumput lapang.
Tabel 14 memperlihatkan urutan nilai pengamatan yang rendah adalah
pemberian konsentrat mencapai nilai 2%, usaha pengawetan makanan ternak
mencapai 2%, pemberian mineral mencapai 25,2%, pemberian air minum mencapai
49,8%, serta penanaman hijauan makanan ternak mencapai 60,3%. Kelima sub aspek
diatas dapat dikatakan mempunyai nilai pengamatan yang relatif kecil, sehingga hasil
chi-square menunjukkan nilai yang sangat nyata (P<0,01). Pada sub aspek pemberian
konsentrat, mendapatkan nilai pengamatan yang sangat jauh dari nilai harapan. Hal
tersebut disebabkan karena peternak tidak mengenal pakan penguat atau biasa yang
dikenal dengan istilah konsentrat.
Sub aspek pengawetan makanan ternak mempunyai persen pengamatan yang
sama dengan sub aspek pemberian konsentrat yaitu 2%. Penyebab rendahnya nilai
pengamatan yang didapat oleh sub aspek usaha pengawetan makanan ternak yaitu
introduksi teknologi di Pengadangan sangat berjalan lambat. Padahal teknologi
pakan sebenarnya telah banyak ditemukan baik oleh balai penelitian maupun oleh
perguruan tinggi, namun peternak responden belum memanfaatkannya. Banyak
38
faktor yang berperan sebagai penyebab ketidakberdayaan peternak ruminansia
melakukan penerapan teknologi dalam hal penyediaan pakan, faktor tersebut
berperan secara sendiri atau interaksi satu sama lain. Skala usaha pemilikan ternak
umumnya pada peternakan rakyat sangat rendah, permodalan sangat terbatas,
pemilikan akan peralatan dan fasilitas pendukung sangat minim, pengetahuan dan
keterampilan sering sekali kurang memadai (Hasnudi et al., 2004).
Tabel 14. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Makanan Ternak
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80 Responden)
No. Uraian Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Jumlah hijauan yang diberikan 47 ± 9,59 50 94
2. Jenis hijauan yang diberikan 39,5 ± 5,25 50 79
3. Pemberian konsentrat 1** ± 0 50 2
4. Pemberian mineral 12,6** ± 15,4 50 25,2
5. Pemberian air minum 9,95** ± 5,26 20 49,8
6. Penanaman hijauan
makanan ternak
24,12** ± 12,65 40 60,3
7. Usaha pengawetan makanan
ternak
1,2** ± 2,1 40 2
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0.01)
Tabel 15 menunjukan bahwa peternak responden di Pengadangan
memberikan hijauan pada ternaknya sebanyak 91,25% yang memberikan lebih dari
10% bobot badan, 5% yang memberikan sebesar 10% bobot badan, dan sebanyak
3,75% responden yang memberikan kurang dari 10% dari bobot ternak. Pemberian
hijauan yang cukup tinggi yang dilakukan oleh peternak responden di Pengadangan
akibat dari tidak adanya pemberian pakan penguat atau konsentrat. Kebutuhan energi
untuk ternak potong berkisar 60-70% total digestible nutrient (TDN) (Abidin,
2002).
Sapi Bali yang ada di Pengadangan diberikan 100% hijauan dan limbah
pertanian, sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kebutuhan energi sudah
mencukupi kebutuhan ternak sapi yang ada di Pengadangan. Hijauan yang diberikan
sebesar 10% bobot badan dan kurang dari 10% bobot badan biasanya dilakukan oleh
39
peternak yang dititipkan sapi. Terlihat pada Gambar 9, peternak responden
melakukan penimbangan pada hijauan yang akan diberikan pada ternak sapi mereka.
Gambar 9. Penimbangan Hijauan yang Akan Diberikan pada Ternak
Hijauan yang diberikan kepada Sapi Bali di Pengadangan adalah rumput gajah,
jerami segar, batang pisang, daun gamal dan rumput lapang. Tampak pada Gambar
10 a sampai e, jenis hijauan dan limbah pertanian yang digunakan sebagai pakan sapi
Bali. Komposisi pemberian berbeda-beda oleh masing-masing peternak responden.
Terlihat pada Tabel 15, sebanyak 92,5% responden yang memberikan jenis hijauan
berupa campuran rumput unggul dengan limbah pertanian, 3,75% responden yang
memberikan campuran rumput unggul dengan leguminosa, 2,5% responden yang
memberikan ternaknya rumput lapang dan sebesar 1,25% responden yang
memberikan ternaknya hanya rumput unggul. Jenis rumput unggul yang diberikan
adalah rumput gajah, sedangkan untuk jenis leguminosa yang diberikan dan dikenal
oleh peternak rakyat pengadangan adalah daun gamal.
10 a. Rumput Lapang 10 b. Rumput Gajah 10 c. Cacahan Batang Pisang
10 d. Daun Gamal 10 e. Jerami Padi
Gambar 10 a-e. Jenis Hijauan dan Limbah Pertanian yang Dijadikan Makan
Ternak oleh Peternak di Pengadangan
40
Peternak responden di Pengadangan tidak mengenal pakan konsentrat,
sehingga terlihat pada Tabel 15 yaitu 100% responden tidak ada yang memberikan
ternaknya konsentrat. Laporan hasil penelitian Pamungkas et al. (1994) menyatakan
bahwa pada umumnya sapi dipelihara oleh peternak bermodal kecil (skala usaha
pemeliharaan kecil) dan di dalam pemeliharaannya tanpa disertai dengan pemberian
pakan konsentrat. Hal ini tentunya selama periode pertumbuhan ternak dapat
mengalami kekurangan gizi. Sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat
dan juga terlambatnya umur pubertas (Vandeplassche, 1982).
Penambahan mineral bertujuan untuk meningkatkan kinerja mikroba rumen
sehingga menghasilkan enzim yang dapat mencerna pakan, baik yang mudah larut
maupun yang sulit larut. Georgievskii et al, (1981) melaporkan bahwa suplementasi
mineral sulfur dapat meningkatkan ketersediaan N dan pemanfaatan N oleh mikroba
untuk diubah menjadi protein seluler. Peternak responden di Pengadangan kurang
memperhatikan pentingnya mineral bagi ternak, sehingga dapat dilihat pada Tabel 15
sebanyak 55% peternak responden tidak memberikan ternaknya mineral, sebanyak
10% responden yang memberikan ternaknya mineral komersil, sebanyak 35%
responden yang memberikan ternaknya mineral dalam bentuk garam dapur.
Pemberian atau penyediaan air minum ternak di kandang oleh peternak
responden di Pengadangan tidak dilakukan. Sebesar 1,25% responden yang selalu
menyediakan air didalam kandang secara ad libitum. Sebesar 91,25% peternak
kadang-kadang memberikan ternaknya air minum dan sebesar 7,5% responden yang
tidak pernah memberikan ternaknya air minum. Kadang kala pemberian air minum
dilakukan ketika ternak akan dimandikan. Ternak digiring ke pematang sawah atau
sungai terdekat untuk dimandikan sekaligus pemberian minum. Peternak responden
di Pengadangan tidak menyediakan air minum pada kandang. Sumber air minum
didapatkan dari hijauan, selain itu peternak responden memberikan batang pisang
yang telah dipotong kecil-kecil. Batang pisang mempunyai kadar air yang cukup
tinggi untuk diberikan pada ternak sapi mereka. Gambar 11 menunjukan batang
pisang yang digunakan sebagai pengganti air minum ternak di Pengadangan. Cara
pemberian dilakukan dengan memotong batang pisang menjadi potongan-potongan
kecil sehingga memudahkan sapi untuk memakannya.
41
Gambar 11. Batang Pisang Sebagai Pakan dan Sumber Air untuk Sapi Bali
Penanaman hijauan makanan ternak mempunyai persentase pengamatan
cukup tinggi yaitu 60,3% namun belum dapat dikatakan sesuai dengan harapan.
Penanaman yang dilakukan sesuai untuk memenuhi kebutuhan ternaknya sebanyak
32,5%, yang menanam hanya sebagai tambahan pakan ternak saja sebesar 55%, dan
yang tidak menanam sama sekali sebesar 12.5%. Peternak responden di Pengadangan
pada umumnya masing-masing mempunyai tempat penanaman hijauan atau rumput
unggul (rumput gajah). Peternak responden yang tergabung dalam kelompok ternak
mempunyai lahan yang cukup luas untuk penanaman hijauan makanan ternak.
Biasanya lahan diperoleh dari bantuan pemerintah. Peternak responden yang tidak
tergabung dalam kelompok ternak, biasanya menanam hijauan di pinggiran atau
pematang sawah masing-masing. Gambar 12 a dan b menunjukkan lahan dan
pematang sawah yang dijadikan areal penanaman rumput gajah.
12 a. Lahan Tempat Menanam Rumput Gajah
12 b. Pematang Sawah Untuk Menanan Rumput Gajah
Gambar 12 a dan b. Lahan dan Pematang Sawah yang Dimanfaatkan untuk
Menanam Rumput Gajah
42
Tabel 15. Penerapan Aspek Makanan Ternak Sapi Bali di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1 Jumlah hijauan yang diberikan
a) Lebih dari cukup (≥ 10% bobot badan) 73 91,25
b) Cukup (10% bobot badan) 4 5
c) Kurang (≤ 10 bobot badan) 3 3,75
2 Jenis hijauan yang diberikan
a) Rumput unggul + leguminosa 3 3,75
b) Rumput+limbah pertanian 74 92,5
c) Rumput unggul 1 1,25
d) Rumput lapangan 2 2,5
3 Pemberian konsentrat
a) Selalu 0 0
b) Kadang-kadang 0 0
c) Tidak ada 80 100
4 Pemberian mineral
a) Campuran mineral pabrik 8 10
b) Garam dapur+kapur+tepung tulang 0 0
c) Garam dapur 28 35
d) Tidak memberikan 44 55
5 Pemberian air minum
a) Selalu tersedia 1 1,25
b) Kadang-kadang 73 91,25
c) Tidak ada 6 7,5
6 Penanaman hijauan makanan ternak
a) Cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi bali 26 32,5
b) Sebagai tambahan 44 55
c) Tidak ada 10 12,5
7 Usaha pengawetan makanan ternak
a) Selalu 0 0
b) Kadang-kadang 1 1,25
c) Tidak pernah 79 98,75
43
Akibat sentuhan teknologi yang kurang dan rendahnya pendidikan yang ada
pada peternak responden di Pengadangan serta ketiadaan penyuluh peternakan
menjadi indikasi tidak adanya inovasi yang terjadi pada pemanfaatan limbah
pertanian yang dihasilkan peternak. Wharton (1969) menyatakan bahwan kriteria
petani-ternak dalam proses pembangunannya yaitu kurang peka dan tanggap
terhadap introduksi inovasi baru, dan proses adopsi berjalan sangat lamban. Petani
cenderung melestarikan cara-cara berproduksi yang telah membudaya. Sebesar
98,75% responden tidak ada yang mencoba melakukan usaha pengawetan makanan
ternak dan sebesar 1,25% responden atau setara dengan satu orang responden yang
kadang-kadang melakukan pengawetan makanan ternak.
Tata Laksana
Pengamatan pada aspek tata laksana meliputi 1) Pencatatan, 2) Kebersihan
ternak, 4) Pemanfaatan tenaga kerja, 5) Pemanfaatan kotoran sapi, 6) Pengetahuan
reproduksi dan 7) Pengetahuan tentang usaha peternakan. Tabel 16 memperlihatkan
aspek tata laksana adalah aspek yang paling tidak mendapat perhatian dari peternak
responden di Pengadangan. Keseluruhan sub aspek tata laksana menunjukkan
persentase nilai pengamatan yang rendah. Semua sub aspek mendapatkan hasil chi-
square yang menunjukkan nilai sangat nyata (P<0,01). Urutan dari aspek yang
mempunyai persen harapan paling rendah sampai yang tertinggi adalah pemanfaatan
kotoran (18,2%), pengetahuan tentang usaha peternakan (27,5%), pencatatan (28%),
pengetahuan reproduksi (36,5%), kebersihan ternak (49,4%) dan pemanfaatan tenaga
kerja (68,4%).
Tabel 16. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Tata Laksana
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80 Responden)
No. Uraian Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Pencatatan 8,4** ± 10,4 30 28
2. Kebersihan ternak 9,87** ± 5,73 20 49,4
3. Pemanfaatan tenaga
kerja
17,1** ± 4,11 25 68,4
4. Pemanfaatan kotoran 3,63** ± 5,15 20 18,2
5. Pengetahuan reproduksi 14,6** ± 9,13 40 36,5
6. Pengetahuan tentang
usaha Peternakan
11** ± 3,1 40 27,5
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0.01)
44
Pendidikan menjadi suatu hal yang penting untuk memajukan peternakan di
Pengadangan, umur peternak responden di Pengadangan termasuk umur kerja
produktif namun rendahnya pendidikan menjadi faktor penting yang dalam
menjalankan suatu usaha peternakan. Sebagian besar peternak responden di
Pengadangan tidak SD sehinggga tidak banyak peternak yang menerapkan
pencatatan atau dokumentasi perkembangan pada ternaknya. Peternak yang biasa
menerapkan pencatatan pada ternaknya adalah peternak yang sempat mengenyam
pendidikan di tingkat SMP dan SMA. Kesadaran dokumentasi atau pencatatan pada
ternaknya berbanding lurus dengan tingkat pendidikan yang diperoleh. Terlihat pada
Tabel 17 sebanyak 63,75% peternak tidak melakukan pencatatan terhadap ternaknya.
Peternak responden di Pengadangan secara umum membersihkan ternaknya
pada saat peternak merasa ternaknya mulai kotor dengan membawa ternak ke tepi
sungai untuk dimandikan. Terlihat pada Tabel 17 masih banyak peternak responden
yang kurang menyadari kebersihan ternak yaitu sebanyak 45% peternak responden
masih kurang peduli mengenai kebersihan ternak. Tampak pada Gambar 13 sapi Bali
yang tidak terlalu diperhatikan dari segi kebersihannya.
Gambar 13. Sapi Bali yang Kotor
Ternak yang dipelihara di Pengadangan pada umumnya masih digunakan
untuk membantu membajak sawah, namun tidak sedikit pula peternak yang tidak
memberikan ternaknya bekerja. Ternak yang dipekerjakan pada umumnya indukan
yang sudah beranak lebih dari 2 kali.
Gambar 14. Indukan Sapi Bali yang Dipergunakan untuk Membajak Sawah
45
Ternak yang dipekerjakan dengan nilai nutrisi tubuhnya terpenuhi akan
menambah performa yang baik pada ternak tersebut. Gambar 14 menunjukan
indukan sapi Bali yang digunakan membantu membajak sawah petani-ternak di
Pengadangan.
Pemanfaatan kotoran oleh peternak responden di Pengadangan sangat rendah.
Kotoran ternak rata-rata dibuang disaluran selokan yang berujung pada pengairan
persawahan, ada pula yang dibuang langsung ke sungai. Terdapat beberapa peternak
responden yang bergabung dalam kelompok ternak yang memanfaatkan kotoran
ternak menjadi biogas (terlihat pada Gambar 15). Peternak responden yang tidak
tergabung dalam kelompok ternak mengalami kesulitan dalam pemanfaatan kotoran
menjadi biogas disebabkan karena kepemilikan yang masih skala kecil yaitu berkisar
2-3 ekor. Peternak yang tidak tergabung dalam kelompok ternak lebih memilih
kotoran ternaknya dijadikan kompos saja, seperti yang terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Pemanfaatan Kotoran Sapi Menjadi Bio Gas dan Kompos
Pengetahuan reproduksi peternak di Pengadangan cukup baik namun belum
memenuhi nilai harapan. Peternak mengetahui proses reproduksi dari ternaknya.
Pengetahuan dan pengalaman diperoleh dari cerita turun temurun dari orang tua yang
dulunya juga memelihara sapi. Peternak menyebutkan ciri-ciri birahi ternaknya
dengan istilah mereka masing-masing.
Pengetahuan tentang usaha peternakan memiliki nilai yang relatif kecil. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor. Peternak hanya mampu menjelaskan mengenai
tujuan usahanya. Menurut Mosher (1987) tujuan usaha tani-ternak adalah
memperoleh keuntungan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik antara lain
dengan memperoleh keuntungan dari usaha tani-ternaknya. Saat wawancara
berlangsung kebanyakan peternak saat ditanyai untuk apa mereka beternak yaitu
untuk menyambung hidup, menabung untuk keperluan kelak, keperluan anak
sekolah. Kendala pengembangan yang dihadapi adalah tidak adanya pengetahuan
46
teknologi dalam pemanfaatan pengolahan pakan ternak dan modal yang sangat kecil,
sehingga usaha peternakan rakyat walaupun terus berkembang dan jumlah ternak
semakin bertambah tapi cenderung berjalan lambat.
Tabel 17. Penerapan Aspek Tata Laksana Sapi Bali di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1 Pencatatan
a) Lengkap 6 7,5
b) Kurang lengkap 23 28,75
c) Tidak ada 51 63,75
2 Kebersihan ternak
a) Baik 17 21,25
b) Cukup 27 33,75
c) kurang 36 45
3 Pemanfaatan tenaga kerja
a) Dipekerjakan 17 21,25
b) Tidak dipekerjakan 63 78,75
c) Dipekerjakan dalam keadaan bunting 0 0
4 Pemanfaatan kotoran
a) Seluruhnya 4 5
b) Sebagian 15 18,75
c) Tidak ada 61 76,25
5 Pengetahuan reproduksi
a) Baik 3 3,75
b) Sedang 14 17,5
c) kurang 63 78,75
6 Pengetahuan tentang usaha peternakan
a) Baik 0 0
b) Sedang 3 3,75
c) Kurang 78 97,5
47
Kesehatan Ternak
Pengamatan pada aspek kesehatan meliputi 1) Vaksinasi, 2) Pengetahuan
tentang penyakit, 3) Usaha dan tanggapan terhadap sapi yang sakit, 4) Kematian
ternak, serta 5) Tindakan terhadap kematian. Tabel 18 menunjukan bahwa nilai chi-
square dari sub aspek vaksinasi, pengetahuan tentang penyakit dan pengetahuan
tentang obat-obat adalah sangat nyata (P<0,01). Berturut-turut mulai dari nilai yang
paling rendah adalah vaksinasi sebesar (6,1%), pengetahuan tentang obat-obat ringan
sebesar (11,6%), dan pengetahuan tentang penyakit sebesar (39,1%). Ketiga sub
aspek di atas masih kurang perhatian dari peternak responden di Pengadangan atau
penerapan aspek belum sesuai seperti yang direkomendasikan Direktorat Jendral
Peternakan (1983).
Aspek usaha dan tanggapan terhadap sapi yang sakit, kematian ternak dan
tindakan terhadap kematian mempunyai nilai chi-square yang sangat tidak nyata
(P>0,01) dengan besar persen pengamatan berturut-turut dari yang tertinggi sampai
terendah adalah kematian ternak sebesar 92%, usaha dan tanggapan terhadap sapi
yang sakit sebesar 83% dan tindakan terhadap kematian sebesar 74,7%.
Tabel 18. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Kesehatan
Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80 Responden)
No. Uraian Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Vaksinasi 1,22** ± 1,41 20 6,1
2. Pengetahuan tentang penyakit 5,87** ± 2,07 15 39,1
3. Usaha dan tanggapan terhadap
sapi yang sakit
16,6 ± 2,99 20 83
4. Kematian ternak 13,8 ± 2,57 15 92
5. Tindakan terhadap kematian 11,2 ± 2,14 15 74,7
6. Pengetahuan obat-obatan ringan 2,9** ± 4,9 25 11,6
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0,01)
Tabel 19 menunjukan bahwa peternak responden di Pengadangan sebanyak
97,5% tidak pernak melakukan vaksinasi pada ternaknya. Sebesar 2,5% peternak
responden yang kadang-kadang melakukan vaksinasi dan tidak ada peternak yang
secara kontinu memberikan vaksin pada ternaknya. Vaksinasi merupakan tindakan
memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, untuk merangsang
48
kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu tersebut terhadap infeksi
penyakit di dalam (Tizard, 2000).
Sebanyak 85% peternak responden yang kurang pengetahuannya mengenai
penyakit ternaknya. Sebanyak 15% yang mempunyai pengetahuan cukup mengenai
penyakit ternaknya dan tidak ada peternak responden yang mengetahui secara jelas
penyakit-penyakit yang terjangkit pada ternaknya. Usaha dan tanggapan terhadap
sapi yang sakit oleh peternak responden di Pengadangan antara lain sebanyak 36%
peternak responden yang melaporkan pada petugas kesehatan hewan jika mendapati
ternaknya sakit. Sebanyak 63% yang berusaha mengobati ternaknya yang sakit
secara tradisional dan sebesar 1,25% peternak responden atau setara dengan 1 orang
yang membiarkan ternaknya yang sakit tanpa diberi pengobatan secara tradisionil
atau melaporkan pada petugas kesehatan hewan.
Kasus kematian ternak di Pengadangan tidak terlalu banyak, terlihat pada
Tabel 19 bahwa sebesar 78,75% peternak responden tidak pernah mengalami
kematian pada ternaknya. Sebesar 17,5% peternak responden pernah mengalami
kematian ternak sebanyak 1 ekor. Sebanyak 3,75% peternak responden yang
mengalami kematian ternak antara 2-3 ekor.
Tindakan terhadap kematian pada ternak oleh peternak responden di
Pengadangan yaitu sebesar 24% peternak responden melapor terlebih dahulu pada
petugas kesehatan hewan. Sebanyak 76% peternak responden yang langsung
mengubur ternaknya dan tidak ada peternak responden yang sengaja memakan ternak
yang mati akibat sakit. Menurut Pastika dan Darmadja (1976) kematian ternak
dipengaruhi oleh banyak faktor yang antara lain seperti makanan kurang, iklim dan
keadaan daerah serta penyakit yang berjangkit. Kasus kematian ternak di
Pengadangan pada umumnya bukan disebabkan oleh terjangkitnya penyakit pada
ternak, namun kematian yang terjadi saat indukan melahirkan. Kejadian keguguran
dan lahir mati pada sapi Bali adalah sebesar 3,65% (Pastika dan Darmadja, 1976).
Pengunaan obat-obat ringan oleh peternak responden di Pengandang sangat
jarang dilakukan. Sebanyak 86% peternak responden tidak pernah memberikan
ternaknya berupa obat-obat ringan, sebanyak 14% yang kadang-kadang memberikan
dan tidak ada peternak responden yang memberikan obat-obat ringan pada ternaknya
secara kontinu.
49
Tabel 19. Penerapan Aspek Kesehatan Ternak Sapi Bali di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1 Vaksinasi
a) Selalu 0 0
b) Kadang-kadang 2 2,5
c) Tidak ada 78 97,5
2 Pengetahuan tentang penyakit
a) Baik 0 0
b) Cukup 12 15
c) Kurang 68 85
3 Usaha dan tanggapan terhadap sapi yang sakit
a) Melaporkan pada petugas 29 36
b) Berusaha mengatasi secara tradisionil 50 63
c) Dibiarkan 1 1,25
4 Kematian ternak
a) Tidak ada 63 78,75
b) Seekor 14 17,5
c) Dua ekor atau lebih 3 3,75
5 Tindakan terhadap kematian
a) Melaporkan pada petugas 19 24
b) Dikubur 61 76
c) Dimakan 0 0
6 Penggunaan obat-obatan ringan
a) Selalu 0 0
b) Kadang-kadang 11 14
c) Tidak pernah 69 86
Kandang dan Peralatan
Pengamatan pada aspek kandang dan peralatan meliputi 1) Penilaian
kandang, 2) Lokasi kandang, 3) Kontruksi kandang, 4) Kebersihan kandang, dan 5)
Peralatan kandang. Tabel 20 menunjukan bahwa nilai chi-square dari sub aspek
kontruksi kandang, kebersihan kandang dan peralatan kandang adalah sangat nyata
50
(P<0,01). Sehingga dapat dikatakan untuk sub aspek kontruksi kandang, kebersihan
kandang dan peralatan kandang, perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari
peternak responden di Pengadangan dan dapat dikatakan penerapan aspek belum
sesuai seperti yang direkomendasikan Direktorat Jendral Peternakan (1983). Sub
aspek penilaian kandang dan lokasi kandang memperoleh nilai chi-square yang
sangat tidak nyata (P>0,01) dengan persentase pengamatan sebesar 95% untuk
penilaian kandang dan 77,6% untuk lokasi perkandangan.
Tabel 20. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamantan Aspek Kandang dan
Peralatan Peternakan Sapi Bali Rakyat di Desa Pengadangan (80
Responden)
No. Uraian
Nilai
Pengamatan Harapan Pengamatan (%)
1. Penilaian kandang 9,5 ± 1,5 10 95
2. Lokasi kandang 7,76 ± 2,38 10 77,6
3. Kontruksi kandang 4,1** ± 2,84 10 41
4. Kebersihan kandang 3,87** ± 3,6 10 38,7
5. Peralatan kandang 6,3** ± 1,6 10 63
Keterangan : ** : sangat nyata (P<0.01)
Gambar 16. Contoh Kandang yang Baik Sumber : BPTP NTB
Gambar 17. Kandang yang ada di Peternakan Sapi Bali Rakyat Desa Pengadangan
Peternak responden di Pengadangan kebanyakan sudah memiliki kandang
sendiri untuk ternaknya. Sebanyak 82,5% peternak responden yang mempunyai
kandang yang baik. Sebanyak 17,5% peternak responden yang memiliki kandang
51
alakadarnya dan tidak ada peternak responden di Pengadangan yang tidak
mempunyai kandang untuk ternaknya. Kandang yang dimiliki oleh peternak
responden yang tergabung dalam suatu kelompok ternak biasanya mempunyai
kontruksi yang lebih baik dibandingkan dengan kandang ternak yang tidak tergabung
dalam usaha kelompok ternak. Gambar 16 menunjukan contoh kandang yang baik.
Gambar 17 menunjukan kandang yang dibangun oleh peternak di Pengadangan baik
secara kelompok maupun individu.
Lokasi perkandangan di Desa Pengadangan umumnya tidak dekat dengan
rumah meski masih dilingkungan pekarangan namun penduduk setempat biasanya
mempunyai pekarangan yang cukup luas sehingga kebanyakan dimanfaatkan untuk
perkandangan ternaknya agar mudah untuk di jangkau. Sesuai dengan persyaratan
impact point yang digunakan sebagai acuan lokasi perkandangan yang baik. Tabel 21
memperlihatkan bahwa lokasi penempatan kandang peternak responden di
pengadangan antara lain sebanyak 48,75% peternak responden yang kandangnya
terpisah dari rumah dengan jarak ≥5 m. Sebanyak 74,5% peternak responden yang
kandangnya terpisah dekat dengan rumah dengan jarak 1-4 m. Sebanyak 3,75%
peternak responden yang mempunyai kandang bersatu dengan rumah.
Kontruksi kandang yang dimiliki oleh peternak responden di Pengadangan
adalah sebanyak 60% peternak responden yang memiliki kandang yang masih
kurang baik. Sebanyak 27,5% peternak responden yang memiliki kandang yang
cukup baik. Sebanyak 12,5% peternak responden yang memiliki kontruksi kandang
yang baik. Peternak responden di Pengadangan kurang memperhatikan kebersihan
kandang. Terlihat pada Tabel 21 kebersihan yang baik hanya mencapai 18,75%.
Peternak responden yang cukup memperhatikan sebanyak 23,75% dan yang tidak
memperhatikan kebersihan kandang sebanyak 57,5%.
Peralatan kandang merupakan alat pendukung dalam usaha peternakan.
Menurut Hidayat (2010) yang termasuk dalam perlengkapan kandang adalah tempat
pakan dan minum yang paling utama. Perlengkapan lain yang perlu disediakan
adalah sapu, sikat, sekop, sabit dan tempat untuk memandikan sapi. Semua peralatan
tersebut adalah untuk membersihkan kandang agar sapi terhindar dari gangguan
penyakit sekaligus bisa dipakai untuk memandikan sapi. Sebanyak 11,25% peternak
responden yang memiliki peralatan kandang yang lengkap. Sebanyak 85% peternak
52
responden yang memiliki peralatan kandang yang kurang lengkap dan sebanyak
3,75% peternak responden yang tidak memiliki peralatan kandang.
Tabel 21. Penerapan Aspek Kandang dan Peralatan Sapi Bali di Desa Pengadangan
No Uraian Jumlah Peternak
Orang %
1 Penilaian kandang
a) Ada 66 82,5
b) Alakadarnya 14 17,5
c) Tidak ada 0 0
2 Lokasi kandang
a) Terpisah dari rumah dengan jarak ≥ 5 m 39 48,75
b) Terpisah dekat dengan rumah dengan jarak 1-4 m 38 47,5
c) Bersatu dengan rumah 3 3,75
3 Kontruksi kandang
a) Baik 10 12,5
b) Sedang 22 27,5
c) kurang 48 60
4 Kebersihan kandang
a) Baik 15 18,75
b) Sedang 19 23,75
c) kurang 46 57,5
5 Peralatan kandang
a) Lengkap 9 11,25
b) Kurang 68 85
c) Tidak ada 3 3,75
53
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Nilai penerapan aspek pemeliharaan sapi Bali di Pengadangan masih relatif
rendah dengan nilai rata-rata pengamatan sebesar 51.66%. Sehingga penerapan
aspek pemeliharaan sapi Bali (sapi potong) pada peternakan rakyat di Pengadangan
belum sesuai dengan nilai harapan pemeliharaan teknis yang berdasarkan Direktorat
Jendral Peternakan (1983).
Saran
1. Pengaktifan kembali tim penyuluh sehingga mempermudah peternak dalam
edukasi pemeliharaan aspek teknis sapi Bali.
2. Dalam Pemeliharaan sebaiknya peternak menyediakan air untuk ternaknya di
dalam kandang secara ad libitum.
3. Peternak diharapkan lebih memperhatikan kembali kebersihan sapinya, sebaiknya
sapi dimandikan 1x seminggu.
4. Perlu pendamping (penyuluh) agar peternak mampu memanfaatan kotoran ternak
menjadi sesuatu yang lebih bernilai (kompos, pupuk. bio gas dan briket).
5. Perlu pemdamping (penyuluh) agar peternak mampu memanfaatkan limbah
pertaniannya menjadi pakan ternak (pengawetan makanan ternak).
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis lafazkan ke kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala
dengan karunia dan Rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan
hanya dengan pertolongan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam
tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta para
keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr.
selaku pembimbing utama dan Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc.Agr. selaku pembimbing
anggota yang telah membimbing, memberi saran, mengarahkan mulai dari
penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi ini. Kepada Ir. Afton
Atabany, M.Si. dan Ir. Abdul Djamil Hasjmy, M.S. sebagai penguji sidang. Terima
kasih kepada Ir. Dwi Djoko Setyono M.Si. selaku dosen pembimbing akademik, Dr.
Rudi Afnan S.Pt,M.Sc.Agr. dan Ir. Lucia Cyrilla ENSD, M.Si. sebagai penguji
komprehensif dan panitia sidang, Iyep Komala, S.Pt. sebagai penguji seminar, Ir.
Zulfikar Moesa, M.S. atas semua nasehat, motivasi dan bimbingannya.
Ucapan banyak terima kasih Penulis sampaikan kepada Mamiq Laki Lalu
Amir & Mamiq Bini Baiq Kismawati dan Abah Lalu Sulhan & Bunda Baiq Hayinah
atas motivasi, doa, kasih sayang dan semua bantuan baik materi, moral dan spiritual.
Terima kasih untuk kakak Penulis Baiq Tien Dianawati & suami Apid, Baiq Endang
Mardiana, Baiq Ratna Utami Pratiwi & suami Fred Darmawan, Baiq Yuliati atas
semua kebahagiaan, motivasi dan dukungannya selama penulis menjalani kuliah.
Terima kasih untuk adik-adik Penulis Lalu Intaran Wira Jagat, Baiq Nurul Mustika
Noviana, Baiq Deviya Wulandari, Lalu Kharisma Bramantia, Baiq Andriani
Halimah, Rina, dan keponakan Penulis Nabila Hasna Taqiya yang sudah memberi
semangat, perhatian dan pengertian. Kepada keluarga besar Desa Pengadangan,
Bapak Nurahadi & keluarga, Kades, seluruh Kadus, kelompok ternak, para
responden, dan seluruh peternak yang telah membantu selama Penulis menjalani
Penelitian. Kepada Keluarga besar Bapak Nana Mahdi & Wiwik Mulyawati, Ndut
dan Dea (Sindi) yang selalu siap sedia membantu Penulis, terima kasih atas seluruh
bantuan yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih yang terdalam kepada Febriwendi Firdaus dan Windi Al
Zahra telah menjadi orang-orang yang setia. Terima kasih teman-teman ISMAPETI
Ka Salim, Novia, Kang Alip, Riski, Boby, Aab, Simaw, Mba Suri, Ka duta, Ka Jefri,
Icha, atas pengertian, bantuan dan perhatiannya. Teman-teman IPTP 43, Teman-
teman di asrama terutama asrama A2 lorong 2 Rieska, Eva-Evi, Ncum, Dina, Dini,
Cubby, Buret Erni, Uti, dan Nna. Teman-teman Gentra Kaheman, Tim Basket
TPB’06, kelas TPB B23-B24, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu
persatu atas kesenangan dan kebahagiaan yang kita ciptakan bersama.
56
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Ardika, I. N.1995. Parameter fenotipik dan genetik sifat produksi dan reproduksi sapi
Bali pada Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3 Bali) di Bali.
Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Atmadilaga, D. 1974. Beef production and trade in Indonesia. Seminar on Research
and Animal Production Development in Indonesia. Directorat General of
Animal Husbandry, Jakarta.
Azis, A. M. 1993. Starategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong.
Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES, Jakarta.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). 2009. Daftar isian potensi
Desa/Kelurahan Pengadangan. Lombok Timur, NTB.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Pringgasela district in figure. Statistics of
Lombok Timur Regency with Regional Development Planning Board of
Lombok Timur Regency. NTB.
Birowo, A. T. 1973. Kebijaksanaan dan Strategi Pertanian Tanaman Pangan dalam
Pelita II (1974-1979). Ditjen Pertanian dan Badan Pengendalian Bimas,
Jakarta.
Blakely, J. & D. H. Bade. 1985. The Science of Animal Husbandry. 4th
Ed. Prentice
Hall. Inc. A Division of Simon and Soluster. Engelwood Cliffs. New Jersey.
USA.
Chung, J., D.J. Haile, & M. Wessling-Resnick. 2004. Ferroportin-l is not upregulated
in copper-deficient mice. J. Nutr. 134: 517-521.
Darmadja, S. G. N. D. & P. Sutedja. 1976. Masa kebuntingan dan interval beranak
pada sapi Bali. Proc. Seminar Reproduksi dan Performans Sapi Bali. Dinas
Peternakan Daerah Tingkat I Bali. Denpasar.
Darmadja, S. G. N. D. 1980. Setengah abad peternakan sapi tradisional dalam
ekosistem pertanian di Bali. Disertasi. Universitas Padjajaran Bandung.
Direktur Jenderal Peternakan. 1990. Upaya menciptakan kerangka landasan
pembangunan peternakan menyongsong era lepas landas Pelita V.
Disampaikan pada Seminar Nasional Peternakan. Mukernas I (SMAPET),
Yogyakarta.
Direktorat Jendral Peternakan. 1983. Pengembangan usaha peternakan melalui
peningkatan koperasi. Rapat Kerja Tahun1982/83, Jakarta.
Falconer, D. S. 1981. Introduction to Quantitative Genetic. 2nd
Ed. Longman Scientie
and Technical. London.
Georgievskii, V., B. N. Annenkov & V. T. Samokhin. 1981. Mineral Nutrition of
Animal. Butter Worth, London.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan : Sapi Bali. Kanisius, Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia
Pustaka. Jakarta.
Haryana, I. G. N. R. 1989. Beberapa aspek biologi reproduksi sapi bali jantan muda.
Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Hasnudi, I. Sembiring & S. Umar. 2004. Pokok-Pokok Pemikiran Bidang
Peternakan. Fakultas Pertanian, Jurusan Peternakan. USU Repository, Medan.
Hidayat. 2010. Beternak Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ilham, N., B. Wiryono, I.K. Kariyasa, M. N. A. Kirom & Sri Hastuti. 2001. Analisis
penawaran dan permintaan komoditas peternakan unggulan. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Kirby, G. W. M. 1979. Bali Cattle in Australia. World Animal Review. FAO. 31; 24-
29.
Lebdosoekoyo, S. 1982. Pemanfaatan limbah pertanian untuk menunjang kebutuhan
pakan ternak rumunansia. Prosiding pertemuan ilmiah ruminansia besar,
Puslitbang Peternakan, Bogor.
Manalu, H. 2008. Skripsi : Analisis usaha tani wortel (Studi Kasus : Desa Sukadame,
Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo). USU Repository, Medan.
Martodjo, H. 1990. Perkembangan sapi Bali sepuluh tahun terakhir (1980-1990).
Proc. Seminar Nasional Sapi Bali; Denpasar. 20-22 September Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Bali.
McDowell, L.R. 1985. Nutrition of Grazing Ruminants in Warm Climates. Academic
Press, Inc. Orlando, Florida. 756 pp.
Mosher, A.T. 1987. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Yasaguna, Jakarta.
Mubyarto. 1974. Economic Aspects of Animal Husbandry in Indonesia. Economic
and Finance in Indonesia. Vol.23. LPEM-Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Mubyarto, M. Munandar, Indriyo & Wismaji. 1975. Feasibility studi pilot proyek
PUTP di Propinsi Bali, NTB, NTT dan SULSEL. Kerjasama antara Ditjen
Peternakan dengan Lembaga Penelitian Ekonomi. Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Nadjib, H. 1985. Upaya meningkatkan produksi susu dengan perbaikan tatalaksana
peternakan sapi perah. Prosiding Pertemuan konsultan Peternakan Sapi Perah
58
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Pemerintah DT II Sukabumi dan Lembaga
Pengabdian Pada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nuraeni & Purwanta. 2006. Potensi sumber daya dan pendapatan usaha peternakan
sapi perah di Kabupaten Sinjai. Jurnal Agrisistem 2 (1):8- 17.
Pamungkas. D., Mariyono & A. Musofie. 1994. Eksistensi sapi perah dara dalam
usaha peternakan sapi perah rakyat (studi kasus di Kecamatan Tutur
Kabupaten Pasuruan). Proc. Pertemuan lImiah Pengolahan dan Komunikasi
Hasil-hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balitnak Grati.
Panjaitan, T. S., W. R. Sasongko, A. Muzani, Mashur & W. Arief. 2003. Manajemen
Terpadu Pemeliharaan Sapi Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa
Tenggara Barat (BPTP NTB). NTB.
Pastika, I. M, & S. G. N. D. Darmadja.1976. Performans produksi sapi Bali. Proc.
Seminar Reproduksi dan Performans Sapi Bali. Dinas Peternakan Daerah
Tingkat I Bali. Denpasar.
Payne, W. J. & A., J Hodges, 1997. Tropical Cattle : Origin, Breeds and Breeding
Policies. Blackwell Science.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2009. Blue print NTB : Bumi Sejuta Sapi.
NTB
Rahmanto, B. 2004. Analisis usaha peternakan sapi potong rakyat. Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Peranian,
DEPTAN.
Rasyid, A. & Hartati. 2007. Perkandangan Sapi Potong. Pusat penelitian dan
Pengembangan petern akan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian
Sabrani, M. 1979. Estimasi Elastisitas harga penawaran daging sapi di JABAR, DIY,
dan JATIM. Lembaran LPP Thn. IX No. 3-4, Bogor.
Santoso, U.1995. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sastradipradja, D. 1990. Potensi internal sapi Bali sebagai salah satu sumber plasma
nutfah untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong dan ternak
kerja secara nasional. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali Suradisastra, K.
1977. Peranan Sapi Potong dalam Usahatani di Kec. Kalijati dan Situraja.
Lembaran LPP Thn.7 No.4, Bogor.
Siregar, S. B.1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soehadji, 1990. Pembangunan dan peternakan di Indonesia ditinjau dari segi
perbaikan mutu ganetik. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali; Denpasar. 20-22
September Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Bali.
59
Soehadji, 1991. Pembangunan dan Peternakan di Indonesia ditinjau dari segi
perbaikan mutu ganetik. Seminar Sehari Bersama Pemuliaan Ternak. Fakultas
Peternakan, IPB. Bogor.
Sumbung, F. P., J. T, Batosamma, B. R. Ronda, & S. Garantjang. 1978. Performans
Reproduksi Sapi Bali. Proc. Seminar Ruminansia Besar. Ditjennak & P-4 dan
Fapet IPB. Bogor. (85-88)
Suradisastra, K. 1977. Peranan sapi potong dalam usahatani di Kecamatan Kalijati
dan Situraja (Jawa Barat) dan Pancar serta Playen (Jawa Tengah). Lembaran
LPP Th. 7 No. 4, Bogor.
Sutarno, H. 1993. Pendayagunaan tanaman pakan pada lahan kritis. Seri
Pengembangan PROSEA 4. Yayasan PROSEA UNESCO/ROSTSEA. MAB
Indonesia. Jakarta.
Sutedja, P. M. Kota, I. B. Mantra, & D. Darmadja. 1976. Beberapa performans pada
sapi Bali, suatu progress report. Proc. Seminar Reproduksi dan Performans
Sapi Bali; Denpasar, 5-6 April. Dinas Peternakan Daerah TK. I Bali. Hlm 43-
56.
Thalib, C, S. Sivarajasingam, G. N. Hinch & A. Bamualim. 1998. Factor influencing
preweaning ang weaning weingt of Bali (Bos sondaicus) calves. Proc of the
6th
World Congress on Genetics Applied to Livestock Production.
Tizard, I. 2000. Veteriner Immunology an Introduction. W. B. Sanders Company,
Canada.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa Bandung.
Vandeplassehe. 1982. Reproduction Efficiency in Cattle: A. Guideline for Project in
Developing countries. F.A.O. Rome.
Warwick, E. J., M. Astuti, & W. Hardjosubroto. 1987. Pemuliaan Ternak. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Wiltbank, J. N. 1978. Management of heifer replacements and the bood cow herd
through the calving and breeding period. In: Commercial Beef Cattle
Production. Ed. C. C. O’Mary and I. A. Dyer. 2nd Ed. Lea and Febiger
Philadelphia. (158-208).
Wina, E. 1992. Nilai gizi Kaliandra, Gamal, dan Lamtoro sebagai suplemen untuk
domba yang diberi pakan rumput gajah. Pros. Pengolahan dan Komunikasi
Hasil-hasil penelitian Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan. Balai Penelitian
Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Cisarua, Bogor.
Wirdahayati, R. B. & A. Bamualim.1990. Penampilan produksi dan struktur populasi
sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Proc. Seminar Nasional Sapi
Bali; Denpasar. 20-22 September Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Bali.
60
Wharton, C. R. J. 1969. Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine
Publishing Company, Chicago.
Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, R. Sayuti, & A. S. Bagyo. 2001. Analisis
kebijaksanaan pengembangan agribisnis komoditas unggulan peternakan.
Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
61
Lampiran 1. Kuesioner Evaluasi Teknis Pemeliharaan Peternakan Sapi Bali Rakyat
Di Desa Pengadangan Kabupaten Pringgasela Kabupaten Lombok
Timur-NTB
A. IDENTITAS RESPONDEN :
Nama Peternak
Alamat
Kelompok Peternak
Tanggal Kunjungan
Umur
Pengalaman
Pendidikan
B. KEPEMILIKAN TERNAK
Kelompok Ternak Jumlah (Ekor) Keterangan
1. Pedet
Jantan
Betina
2. Dara
3. Induk
4. Jantan
C. PEMULIAAN DAN REPRODUKSI
1. Perbandingan jantan dengan betina
a) < 10 ekor
b) > 10 ekor
2. Sistem perkawinan
a) Inseminasi Buatan (IB)
b) Kawin alam yang teratur
c) Kawin alam yang tidak teratur
3. Kelahiran per induk setiap tahun
a) < 1,5 tahun sekali
b) 1,5 tahun sekali
c) > 1, 5 tahun sekali
4. Jarak beranak
a) 12-14 bulan
b) 15-17 bulan
c) > 17 bulan
63
5. Jumlah perkawinan untuk menjadi bunting
a) I kali
b) 2-3 kali
c) > 3 kali
6. Pemilihan pejantan yang digunakan
a) Berdasarkan keturunan (silsilah)
b) Berdasarkan berat badan
c) Sembarang pejantan
7. Pemilihan induk yang digunakan
a) Berdasarkan keturunan (silsilah)
b) Berdasarkan berat badan
c) Sembarang induk betina
D. MAKANAN TERNAK
1. Jumlah hijauan yang diberikan
a) Lebih dari cukup (≥ 10% bobot badan)
b) Cukup (10% bobot badan)
c) Kurang (≤ 10 bobot badan)
2. Jenis hijauan yang diberikan
a) Rumput unggul + leguminosa
a) Rumput+limbah pertanian
b) Rumput unggul
c) Rumput lapangan
3. Pemberian konsentrat
a) Selalu
b) Kadang-kadang
c) Tidak ada
4. Pemberian mineral
a) Campuran mineral pabrik
b) Garam dapur+kapur+tepung tulang
c) Garam dapur
d) Tidak memberikan
5. Pemberian air minum
a) Selalu tersedia
b) Kadang-kadang
c) Tidak ada
6. Penanaman hijauan makanan ternak
a) Cukup untuk memenuhi kebutuhan sapi bali
b) Sebagai tambahan
c) Tidak ada
64
7. Usaha pengawetan makanan ternak
a) Selalu
b) Kadang-kadang
c) Tidak pernah
E. TATA LAKSANA
1. Pencatatan
a) Lengkap
b) Kurang lengkap
c) Tidak ada
2. Kebersihan ternak
a) Baik
b) Cukup
c) kurang
3. Pemanfaatan tenaga kerja
a) Dipekerjakan
b) Tidak dipekerjakan
c) Dipekerjakan dalam leadaan bunting
4. Pemanfaatan kotoran (kompos, gas bio, dll)
a) Seluruhnya
b) Sebagian
c) Tidak ada
5. Pengetahuan reproduksi
a) Baik
b) Sedang
c) kurang
6. Pengetahuan tentang usaha peternakan ( tujuan usaha peternakan sapi
bali)
a) Baik
b) Sedang
c) Kurang
F. KESEHATAN
1. Vaksinasi
a) Selalu
b) Kadang-kadang
c) Tidak ada
2. Pengetahuan tentang penyakit
a) Baik
b) Cukup
c) Kurang
65
3. Usaha dan tanggapan terhadap sapi yang sakit
a) Melaporkan pada petugas
b) Berusaha mengatasi secara tradisionil
c) dibiarkan
4. Kematian ternak
a) Tidak ada
b) Seekor
c) Dua ekor atau lebih
5. Tindakan terhadap kematian
a) Melaporkan pada petugas
b) Dikubur
c) Di makan
6. Penggunaan obat-obatan ringan
a) Selalu
b) Kadang-kadang
c) Tidak pernah
G. KANDANG DAN PERALATAN
1. Pemilikan kandang
a) Ada
b) Alakadarnya
c) Tidak ada
2. Lokasi kandang
a) Terpisah dari rumah dengan jarak ≥ 5 m
b) Terpisah dekat dengan rumah dengan jarak 1-4 m
c) Bersatu dengan rumah
3. Kontruksi kandang
a) Baik
b) Sedang
c) kurang
4. Kebersihan kandang
a) Baik
b) Sedang
c) kurang
5. Peralatan kandang
a) Lengkap
b) Kurang
c) Tidak ada
66
Lampiran 2. Hasil Penilaian Aspek Pengetahuan Pemuliabiakan
No Dusun Timba Nuh 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah
1 Bapak Dendi 5 30 40 35 30 20 20 180
2 Amaq Khamarudin 5 30 40 25 30 20 10 160
3 Inaq Ramli 5 30 40 25 30 10 10 150
4 Amaq Herman 5 30 40 35 30 20 10 170
5 Amaq Anggi 5 30 40 35 30 20 20 180
6 Inaq Irun 5 30 40 25 30 10 10 150
7 Amaq Kedah 5 30 40 35 30 20 20 180
8 Sahni 5 30 40 35 20 20 10 160
9 Amaq Majnin 5 30 40 35 30 20 20 180
10 Amaq Adi 5 30 40 25 30 20 20 170
Bawak Paok
11 Amaq Anoar 5 30 40 35 30 20 20 180
12 Amaq Maeni 5 30 40 35 30 20 20 180
13 Amaq Saniah 5 30 40 35 30 20 10 170
14 Amaq Surya 5 30 40 35 30 20 20 180
15 Amaq Khusnul 5 30 40 35 30 20 20 180
16 Amaq Maedi 5 30 40 25 30 20 10 160
17 Amaq Rina 5 30 40 25 30 20 20 170
18 Bapak Sahepuddin 5 30 40 35 30 20 10 170
19 Amaq Masyuhur 5 30 40 35 30 20 20 180
20 Amaq Dedi 5 30 40 35 30 20 20 180
Tibu Petung
21 Amaq Sari 5 30 40 35 30 20 20 180
22 Amaq Nurmin 5 30 40 25 30 20 20 170
23 Inaq Linawati 5 30 40 25 30 20 20 170
24 Inaq Sucimah 5 30 40 35 30 20 20 180
25 Amaq Rohman 5 30 40 35 30 20 20 180
26 Amaq Masni 5 30 40 35 20 20 10 160
27 Amaq Rijal 5 30 40 35 30 20 20 180
28 Inaq Rosa 5 30 40 35 30 20 20 180
29 Amaq Seha 5 30 40 25 30 20 20 170
30 Amaq Ida 5 30 40 25 30 20 20 170
Sukatain
31 Amaq Lia 5 30 40 35 20 20 20 170
32 Amaq Rahman 5 30 40 35 30 20 20 180
33 Asrul 5 30 40 35 30 20 20 180
34 Bapak Anoar 5 30 40 35 30 20 20 180
35 Amaq Arni 5 30 40 35 30 20 20 180
36 Inaq Nurfitri 5 30 40 35 30 20 20 180
37 Amaq Hardini 5 30 40 35 30 20 20 180
38 Amaq Nika 5 30 40 35 30 20 20 180
39 Amaq Ahyar 5 30 40 35 30 20 20 180
40 Amaq Serliana 5 30 40 35 30 20 20 180
67
Gubuk Jero
41 Amaq Sanimah 5 30 40 35 30 20 10 170
42 Amaq Sanep 5 30 40 35 30 20 20 180
43 Inaq Najib 5 30 40 25 30 20 10 160
44 Bapak Sahrip 5 30 40 35 30 20 10 170
45 Amaq Jaharudin 5 30 40 35 30 20 10 170
46 Amaq Sahlep 5 30 40 35 30 35 20 195
47 Amaq Anji 5 30 40 35 30 20 20 180
48 Amaq Asipudin 5 30 40 35 30 20 10 170
49 Bapak Nurahadi 5 30 40 35 30 35 20 195
50 Amaq Ririn 5 30 40 35 30 20 10 170
Gubuk Timuk
51 Amaq Uwirsan 5 30 40 35 20 20 10 160
52 Papuq Rini 5 30 40 35 30 20 10 170
53 Amaq Adi Kumin 5 30 40 35 30 20 10 170
54 Amaq Rianep 5 30 40 35 30 20 10 170
55 Inaq Atun 5 30 40 25 30 20 10 160
56 Salman 5 30 40 35 30 20 10 170
57 Amaq Juminah 5 30 40 35 30 20 10 170
58 Amaq Sidah 5 30 40 35 30 20 10 170
59 Amaq Adi 5 30 40 35 30 20 10 170
60 Amaq Aminudin 5 40 40 35 30 20 20 190
Gubuk Semodek
61 Amaq Juhaeni 5 30 40 35 30 20 10 170
62 Amaq Sahuni 5 30 40 35 20 20 10 160
63 Amaq Hukmi 5 30 40 35 30 10 20 170
64 Amaq Anoar 5 30 40 35 30 35 10 185
65 Amaq Samin 5 30 40 35 30 35 10 185
66 Amaq Wahyu 5 10 30 25 30 20 10 130
67 Amaq Nur 5 30 30 25 30 20 10 150
68 Amaq Jiahman 5 30 40 35 30 20 10 170
69 Amaq Isti 5 30 40 35 30 20 10 170
70 Amaq Anwar 5 30 40 25 30 20 10 160
68
Kuang Sawi
71 Amaq Adnan 5 30 40 35 30 20 10 170
72 Amaq Sri 5 30 40 35 30 20 10 170
73 Inaq Firman 5 30 40 35 30 20 10 170
74 Amaq Rita 5 30 40 35 20 20 10 160
75 Amaq Kurniati 5 40 40 35 30 20 10 180
76 Amaq Rofik 5 30 40 25 20 20 10 150
77 Amaq Saniyah 5 30 40 35 30 20 10 170
78 Sahrul 5 30 40 35 20 20 10 160
79 Amaq Surya 5 30 40 35 30 20 10 170
80 Bapak Sahlim 5 30 40 35 30 20 10 170
RATAAN 5 30 39,75 33 29 20,37 14,62 171,74
SD 0 2,75 1,57 4,02 3,01 3,87 5,01 10,58
Keterangan :
1. Perbandingan jantan dengan betina
2. Sistem perkawinan
3. Kelahiran per induk setiap tahun
4. Jarak beranak
5. Jumlah perkawinan untuk menjadi bunting
6. Pemilihan pejantan yang digunakan
7. Pemilihan Betina yang digunakan
69
Lampiran 3. Hasil Penilaian Aspek Pakan Ternak
No Dusun Timba Nuh 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah
1 Bapak Dendi 50 40 1 1 1 20 1 114
2 Amaq Khamarudin 50 40 1 1 10 1 1 104
3 Inaq Ramli 50 30 1 1 10 20 1 113
4 Amaq Herman 50 40 1 1 1 40 1 134
5 Amaq Anggi 10 10 1 1 1 1 1 25
6 Inaq Irun 50 40 1 50 10 40 1 192
7 Amaq Kedah 50 40 1 1 10 20 1 123
8 Sahni 50 40 1 1 1 1 1 95
9 Amaq Majnin 50 40 1 1 10 40 1 143
10 Amaq Adi 50 10 1 1 10 1 1 74
Bawak Paok
11 Amaq Anoar 50 40 1 20 10 20 1 142
12 Amaq Maeni 50 40 1 1 10 40 1 143
13 Amaq Saniah 50 40 1 1 10 20 1 123
14 Amaq Surya 30 40 1 1 10 40 1 123
15 Amaq Khusnul 50 40 1 50 10 20 1 172
16 Amaq Maedi 50 40 1 20 10 40 1 162
17 Amaq Rina 50 40 1 1 10 40 1 143
18 Bapak Sahepuddin 50 40 1 1 10 1 1 104
19 Amaq Masyuhur 50 40 1 20 10 40 1 162
20 Amaq Dedi 50 40 1 1 10 20 1 123
Tibu Petung
21 Amaq Sari 50 40 1 20 10 40 1 162
22 Amaq Nurmin 50 40 1 20 10 20 1 142
23 Inaq Linawati 50 40 1 50 10 40 1 192
24 Inaq Sucimah 50 40 1 1 10 20 1 123
25 Amaq Rohman 50 40 1 1 10 20 1 123
26 Amaq Masni 10 40 1 1 10 1 1 64
27 Amaq Rijal 50 40 1 1 10 1 1 104
28 Inaq Rosa 30 40 1 1 10 20 1 103
29 Amaq Seha 50 40 1 1 10 20 1 123
30 Amaq Ida 50 40 1 20 10 40 1 162
Sukatain
31 Amaq Lia 50 40 1 20 10 20 1 142
32 Amaq Rahman 50 40 1 20 10 40 1 162
33 Asrul 30 50 1 20 10 20 1 132
34 Bapak Anoar 50 40 1 20 10 20 1 142
35 Amaq Arni 50 40 1 20 10 40 1 162
36 Inaq Nurfitri 50 40 1 1 10 40 1 143
37 Amaq Hardini 50 40 1 1 10 40 1 143
38 Amaq Nika 50 40 1 1 10 40 1 143
39 Amaq Ahyar 50 40 1 20 10 1 1 123
40 Amaq Serliana 50 40 1 20 10 40 20 181
70
Gubuk Jero
41 Amaq Sanimah 50 50 1 1 10 20 1 133
42 Amaq Sanep 50 40 1 50 10 40 1 192
43 Inaq Najib 50 40 1 20 10 40 1 162
44 Bapak Sahrip 50 40 1 20 10 40 1 162
45 Amaq Jaharudin 50 40 1 20 10 40 1 162
46 Amaq Sahlep 50 40 1 1 10 40 1 143
47 Amaq Anji 50 40 1 1 10 20 1 123
48 Amaq Asipudin 50 50 1 1 10 40 1 153
49 Bapak Nurahadi 50 40 1 1 10 40 1 143
50 Amaq Ririn 50 40 1 20 10 20 1 142
Gubuk Timuk
51 Amaq Uwirsan 50 40 1 20 10 20 1 142
52 Papuq Rini 50 40 1 50 10 20 1 172
53 Amaq Adi Kumin 50 40 1 1 10 20 1 123
54 Amaq Rianep 50 40 1 20 10 20 1 142
55 Inaq Atun 50 40 1 1 20 1 1 114
56 Salman 50 40 1 20 10 20 1 142
57 Amaq Juminah 30 40 1 1 10 20 1 103
58 Amaq Sidah 10 40 1 1 10 20 1 83
59 Amaq Adi 50 40 1 1 10 20 1 123
60 Amaq Aminudin 50 40 1 20 10 20 1 142
Gubuk Semodek
61 Amaq Juhaeni 50 40 1 20 10 20 1 142
62 Amaq Sahuni 50 40 1 20 10 20 1 142
63 Amaq Hukmi 50 40 1 1 10 20 1 123
64 Amaq Anoar 50 40 1 50 10 40 1 192
65 Amaq Samin 10 40 1 1 10 20 1 83
66 Amaq Wahyu 50 40 1 1 10 20 1 123
67 Amaq Nur 50 40 1 1 10 20 1 123
68 Amaq Jiahman 50 40 1 1 10 20 1 123
69 Amaq Isti 50 40 1 50 10 40 1 192
70 Amaq Anwar 50 40 1 1 10 20 1 123
71
Kuang Sawi
71 Amaq Adnan 50 40 1 20 10 20 1 142
72 Amaq Sri 50 40 1 20 10 20 1 142
73 Inaq Firman 50 40 1 20 10 20 1 142
74 Amaq Rita 50 40 1 1 10 20 1 123
75 Amaq Kurniati 50 40 1 20 10 20 1 142
76 Amaq Rofik 50 40 1 20 10 20 1 142
77 Amaq Saniyah 50 40 1 1 1 20 1 114
78 Sahrul 50 40 1 1 10 1 1 104
79 Amaq Surya 50 40 1 50 1 20 1 163
80 Bapak Sahlim 50 40 1 1 10 20 1 123
RATAAN 47 39,5 1 12,55 9,95 24,12 1,23 135,35
SD 9,59 5,25 0 15,36 5,26 12,65 2,12 29,86
Keterangan :
1. Jumlah hijauan yang diberikan
2. Jenis hijauan yang diberikan
3. Pemberian konsentrat
4. Pemberian mineral
5. Pemberian air minum
6. Penanaman hijauan makanan ternak
7. Usaha pengawetan makanan ternak
72
Lampiran 4. Hasil Penilaian Aspek Tata Laksana No Dusun 1 2 3 4 5 6 Jumlah
1 Bapak Dendi 1 5 15 1 10 10 42
2 Amaq Khamarudin 1 5 15 1 10 10 42
3 Inaq Ramli 1 10 15 1 10 10 47
4 Amaq Herman 1 5 15 1 10 10 42
5 Amaq Anggi 1 5 15 1 10 10 42
6 Inaq Irun 1 10 15 1 10 10 47
7 Amaq Kedah 1 10 15 1 10 10 47
8 Sahni 1 5 15 1 10 10 42
9 Amaq Majnin 1 10 15 1 10 10 47
10 Amaq Adi 1 5 15 1 10 10 42
Bawak Paok
11 Amaq Anoar 20 20 15 10 10 10 85
12 Amaq Maeni 1 20 15 1 10 10 57
13 Amaq Saniah 20 20 25 10 10 10 95
14 Amaq Surya 20 20 15 10 10 10 85
15 Amaq Khusnul 30 10 15 1 10 10 76
16 Amaq Maedi 1 5 25 20 10 10 71
17 Amaq Rina 20 20 15 1 10 10 76
18 Bapak Sahepuddin 1 10 25 10 30 10 86
19 Amaq Masyuhur 20 10 15 10 30 10 95
20 Amaq Dedi 30 20 15 10 30 10 115
Tibu Petung
21 Amaq Sari 1 10 15 1 10 10 47
22 Amaq Nurmin 1 5 15 1 10 10 42
23 Inaq Linawati 1 10 15 1 10 10 47
24 Inaq Sucimah 1 5 15 1 10 10 42
25 Amaq Rohman 1 10 15 1 10 10 47
26 Amaq Masni 1 10 15 1 10 10 47
27 Amaq Rijal 1 10 15 1 10 10 47
28 Inaq Rosa 1 5 15 1 10 10 42
29 Amaq Seha 1 5 15 1 10 10 42
30 Amaq Ida 1 10 15 10 30 10 76
Sukatain
31 Amaq Lia 1 5 25 1 10 10 52
32 Amaq Rahman 20 5 25 1 10 10 71
33 Asrul 1 5 25 1 30 10 72
34 Bapak Anoar 30 20 15 1 10 10 86
35 Amaq Arni 1 10 25 1 10 10 57
36 Inaq Nurfitri 1 5 15 1 10 10 42
37 Amaq Hardini 1 5 15 1 10 10 42
38 Amaq Nika 20 10 15 1 10 10 66
39 Amaq Ahyar 20 5 15 1 10 10 61
40 Amaq Serliana 20 5 15 1 10 10 61
73
Gubuk Jero
41 Amaq Sanimah 20 5 15 20 10 10 80
42 Amaq Sanep 20 5 15 10 10 10 70
43 Inaq Najib 20 20 15 1 30 10 96
44 Bapak Sahrip 20 10 25 10 40 10 115
45 Amaq Jaharudin 20 10 25 10 10 10 85
46 Amaq Sahlep 20 20 15 1 30 10 96
47 Amaq Anji 20 5 15 1 10 10 61
48 Amaq Asipudin 20 10 25 10 10 10 85
49 Bapak Nurahadi 20 10 25 10 10 10 85
50 Amaq Ririn 30 20 15 20 40 10 135
Gubuk Timuk
51 Amaq Uwirsan 1 20 15 1 10 10 57
52 Papuq Rini 20 5 25 1 10 10 71
53 Amaq Adi Kumin 1 10 15 10 10 10 56
54 Amaq Rianep 20 5 15 10 10 10 70
55 Inaq Atun 20 10 15 1 10 10 66
56 Salman 1 5 15 1 10 10 42
57 Amaq Juminah 1 20 15 1 10 10 57
58 Amaq Sidah 1 20 15 1 10 10 57
59 Amaq Adi 1 20 25 1 10 10 67
60 Amaq Aminudin 30 20 15 10 10 10 95
Gubuk Semodek
61 Amaq Juhaeni 20 5 15 1 10 10 61
62 Amaq Sahuni 1 10 15 1 10 10 47
63 Amaq Hukmi 1 5 15 1 10 10 42
64 Amaq Anoar 30 10 15 20 30 10 115
65 Amaq Samin 1 20 25 1 30 10 87
66 Amaq Wahyu 1 5 15 1 30 10 62
67 Amaq Nur 1 5 15 1 30 10 62
68 Amaq Jiahman 1 10 15 1 30 10 67
69 Amaq Isti 1 10 15 1 10 30 67
70 Amaq Anwar 1 5 15 1 10 10 42
74
Kuang Sawi
71 Amaq Adnan 1 5 15 1 30 10 62
72 Amaq Sri 1 10 15 1 10 10 47
73 Inaq Firman 1 5 25 1 10 10 52
74 Amaq Rita 1 5 15 1 40 30 92
75 Amaq Kurniati 1 5 15 1 10 10 42
76 Amaq Rofik 1 10 25 1 10 10 57
77 Amaq Saniyah 1 5 15 1 10 10 42
78 Sahrul 1 20 25 1 10 10 67
79 Amaq Surya 1 5 15 1 10 10 42
80 Bapak Sahlim 1 5 15 1 30 10 62
RATAAN 8,4 9,87 17,12 3,63 14,62 10,5 64,14
SD 10,43 5,73 4,11 5,15 9,13 3,14 21,3
Keterangan :
1. Pencatatan
2. Kebersihan ternak
3. Pemanfaatan tenaga kerja
4. Pemanfaatan kotoran
5. Pengetahuan reproduksi
6. Pengetahuan tentang usaha peternakan
75
Lampiran 5. Hasil Penilaian Aspek Kesehatan Ternak No Dusun 1 2 3 4 5 6 Jumlah
1 Bapak Dendi 1 10 15 15 10 1 52
2 Amaq Khamarudin 1 5 15 15 10 1 47
3 Inaq Ramli 1 5 15 15 10 1 47
4 Amaq Herman 1 5 15 15 10 1 47
5 Amaq Anggi 1 5 1 15 10 1 33
6 Inaq Irun 1 5 15 10 10 1 42
7 Amaq Kedah 1 5 15 10 10 1 42
8 Sahni 1 5 15 15 10 1 47
9 Amaq Majnin 1 5 15 15 10 1 47
10 Amaq Adi 1 5 15 15 10 1 47
Bawak Paok
11 Amaq Anoar 1 5 15 15 10 1 47
12 Amaq Maeni 1 5 20 15 15 1 57
13 Amaq Saniah 1 5 20 15 15 1 57
14 Amaq Surya 1 5 20 15 15 1 57
15 Amaq Khusnul 1 5 20 15 15 15 71
16 Amaq Maedi 1 5 15 10 10 1 42
17 Amaq Rina 1 5 20 15 15 1 57
18 Bapak Sahepuddin 1 5 20 15 15 1 57
19 Amaq Masyuhur 1 10 20 15 15 1 62
20 Amaq Dedi 1 5 20 15 10 15 66
Tibu Petung
21 Amaq Sari 1 5 15 10 10 1 42
22 Amaq Nurmin 1 5 15 15 10 1 47
23 Inaq Linawati 1 5 15 10 10 1 42
24 Inaq Sucimah 1 5 15 5 10 1 37
25 Amaq Rohman 1 5 15 15 10 1 47
26 Amaq Masni 1 5 15 15 10 15 61
27 Amaq Rijal 1 5 15 15 10 1 47
28 Inaq Rosa 1 5 15 15 10 1 47
29 Amaq Seha 1 5 15 15 10 1 47
30 Amaq Ida 1 5 15 15 10 15 61
Sukatain
31 Amaq Lia 1 5 15 15 10 1 47
32 Amaq Rahman 1 5 15 15 10 1 47
33 Asrul 1 5 15 10 10 1 42
34 Bapak Anoar 1 5 15 10 10 1 42
35 Amaq Arni 1 5 15 5 10 1 37
36 Inaq Nurfitri 1 5 15 5 10 1 37
37 Amaq Hardini 1 5 20 15 10 1 52
38 Amaq Nika 1 5 20 10 10 1 47
39 Amaq Ahyar 1 5 15 15 10 1 47
40 Amaq Serliana 1 10 15 10 10 1 47
76
Gubuk Jero
41 Amaq Sanimah 1 5 20 15 15 15 71
42 Amaq Sanep 1 5 20 15 15 15 71
43 Inaq Najib 10 5 20 15 15 15 80
44 Bapak Sahrip 10 10 20 15 15 1 71
45 Amaq Jaharudin 1 10 20 15 15 1 62
46 Amaq Sahlep 1 5 20 15 15 1 57
47 Amaq Anji 1 5 20 15 15 1 57
48 Amaq Asipudin 1 5 20 10 15 1 52
49 Bapak Nurahadi 1 10 20 15 15 1 62
50 Amaq Ririn 1 15 20 10 10 15 71
Gubuk Timuk
51 Amaq Uwirsan 1 5 20 15 10 1 52
52 Papuq Rini 1 5 15 15 10 1 47
53 Amaq Adi Kumin 1 5 15 15 10 1 47
54 Amaq Rianep 1 5 20 15 10 1 52
55 Inaq Atun 1 5 15 15 10 1 47
56 Salman 1 5 15 15 10 1 47
57 Amaq Juminah 1 5 15 15 10 1 47
58 Amaq Sidah 1 5 15 10 10 1 42
59 Amaq Adi 1 5 15 15 10 1 47
60 Amaq Aminudin 1 5 15 15 10 1 47
Gubuk Semodek
61 Amaq Juhaeni 1 5 15 15 10 1 47
62 Amaq Sahuni 1 5 20 15 10 1 52
63 Amaq Hukmi 1 10 20 15 10 1 57
64 Amaq Anoar 1 10 20 10 10 15 66
65 Amaq Samin 1 5 15 15 10 1 47
66 Amaq Wahyu 1 5 15 15 10 1 47
67 Amaq Nur 1 5 15 15 10 1 47
68 Amaq Jiahman 1 10 15 15 10 1 52
69 Amaq Isti 1 10 20 15 10 1 57
70 Amaq Anwar 1 5 15 15 10 1 47
77
Kuang Sawi
71 Amaq Adnan 1 5 15 15 15 1 52
72 Amaq Sri 1 5 15 15 15 1 52
73 Inaq Firman 1 5 15 15 15 1 52
74 Amaq Rita 1 5 15 15 10 1 47
75 Amaq Kurniati 1 5 15 15 10 1 47
76 Amaq Rofik 1 10 20 15 10 15 71
77 Amaq Saniyah 1 5 15 15 10 1 47
78 Sahrul 1 5 15 15 10 1 47
79 Amaq Surya 1 5 20 15 10 1 52
80 Bapak Sahlim 1 10 20 10 10 15 66
RATAAN 1,22 5,87 16,63 13,75 11,18 2,92 51,57
SD 1,41 2,07 2,99 2,57 2,14 4,85 9,32
Keterangan :
1. Vaksinasi
2. Pengetahuan tentang penyakit
3. Usaha dan tanggapan terhadap kerbau yang sakit
4. Kematian ternak
5. Tindakan terhadap kematian
6. Pengetahuan obat-obatan ringan
78
Lampiran 6. Hasil Penilaian Kandang dan Peralatan No Dusun 1 2 3 4 5 Jumlah
1 Bapak Dendi 6 6 2 1 6 21
2 Amaq Khamarudin 6 10 2 1 6 25
3 Inaq Ramli 10 6 2 1 6 25
4 Amaq Herman 6 10 2 1 6 25
5 Amaq Anggi 10 6 2 1 6 25
6 Inaq Irun 10 10 2 1 6 29
7 Amaq Kedah 10 6 6 6 6 34
8 Sahni 10 6 2 1 6 25
9 Amaq Majnin 10 6 6 1 6 29
10 Amaq Adi 10 10 2 1 6 29
Bawak Paok
11 Amaq Anoar 10 10 10 10 10 50
12 Amaq Maeni 10 10 10 10 10 50
13 Amaq Saniah 10 10 10 10 10 50
14 Amaq Surya 10 10 10 10 10 50
15 Amaq Khusnul 10 10 10 10 10 50
16 Amaq Maedi 10 6 6 6 6 34
17 Amaq Rina 10 10 10 10 10 50
18 Bapak Sahepuddin 10 10 10 10 10 50
19 Amaq Masyuhur 10 10 10 10 10 50
20 Amaq Dedi 10 10 10 10 10 50
Tibu Petung
21 Amaq Sari 10 1 2 6 6 25
22 Amaq Nurmin 10 6 2 1 6 25
23 Inaq Linawati 10 6 6 6 6 34
24 Inaq Sucimah 10 6 2 6 6 30
25 Amaq Rohman 6 6 2 1 6 21
26 Amaq Masni 10 6 2 1 6 25
27 Amaq Rijal 10 6 2 1 6 25
28 Inaq Rosa 10 6 2 1 6 25
29 Amaq Seha 10 6 2 1 6 25
30 Amaq Ida 10 6 6 1 6 29
Sukatain
31 Amaq Lia 6 6 6 10 6 34
32 Amaq Rahman 10 6 2 10 6 34
33 Asrul 10 6 2 1 6 25
34 Bapak Anoar 10 6 2 10 6 34
35 Amaq Arni 6 6 2 1 6 21
36 Inaq Nurfitri 10 10 2 1 6 29
37 Amaq Hardini 10 10 2 1 6 29
38 Amaq Nika 10 10 2 1 6 29
39 Amaq Ahyar 6 6 2 1 6 21
40 Amaq Serliana 10 6 2 1 6 25
79
Gubuk Jero
41 Amaq Sanimah 10 10 6 1 6 33
42 Amaq Sanep 10 10 6 6 6 38
43 Inaq Najib 10 10 6 10 6 42
44 Bapak Sahrip 10 10 6 6 6 38
45 Amaq Jaharudin 10 10 6 10 6 42
46 Amaq Sahlep 10 10 6 10 6 42
47 Amaq Anji 10 10 6 6 6 38
48 Amaq Asipudin 10 10 2 6 6 34
49 Bapak Nurahadi 10 10 6 6 6 38
50 Amaq Ririn 10 1 6 6 6 29
Gubuk Timuk
51 Amaq Uwirsan 10 6 6 1 6 29
52 Papuq Rini 10 10 2 1 6 29
53 Amaq Adi Kumin 6 6 2 1 6 21
54 Amaq Rianep 10 6 2 1 6 25
55 Inaq Atun 6 6 2 1 6 21
56 Salman 6 6 2 1 6 21
57 Amaq Juminah 6 10 2 1 6 25
58 Amaq Sidah 6 6 2 1 6 21
59 Amaq Adi 10 6 6 6 6 34
60 Amaq Aminudin 10 6 10 6 6 38
Gubuk Semodek
61 Amaq Juhaeni 10 10 2 1 6 29
62 Amaq Sahuni 10 10 2 1 6 29
63 Amaq Hukmi 10 6 2 1 6 25
64 Amaq Anoar 10 6 6 6 6 34
65 Amaq Samin 10 10 2 6 6 34
66 Amaq Wahyu 10 10 2 1 6 29
67 Amaq Nur 10 10 2 6 6 34
68 Amaq Jiahman 10 6 2 1 6 25
69 Amaq Isti 10 6 6 1 6 29
70 Amaq Anwar 10 10 2 1 6 29
80
Kuang Sawi
71 Amaq Adnan 10 10 2 1 6 29
72 Amaq Sri 10 10 2 1 6 29
73 Inaq Firman 10 6 6 6 6 34
74 Amaq Rita 10 10 2 1 6 29
75 Amaq Kurniati 6 10 2 1 1 20
76 Amaq Rofik 10 6 2 1 6 25
77 Amaq Saniyah 10 10 6 6 6 38
78 Sahrul 10 6 2 1 1 20
79 Amaq Surya 6 1 2 1 1 11
80 Bapak Sahlim 10 10 6 6 6 38
RATAAN 9,3 7,76 4,1 3,87 6,26 31,29
SD 1,52 2,38 2,84 3,6 1,64 8,87
Keterangan :
1. Penilaian kandang
2. Lokasi kandang
3. Kontruksi kandang
4. Kebersihan kandang
5. Peralatan kandang
81