evaluasi nilai gizi dan karakteristik protein daging sapi dan hasil olahannya

24
evaluasi nilai gizi dan karakteristik protein daging sapi dan hasil olahannya DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI.............................................................. ........................................ ii DAFTAR TABEL............................................................ ................................. iii BAB 1. PENDAHULUAN Latar belakang......................................................... ................................ 1 Tujuan........................................................... ........................................... 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Protein.......................................................... ............................................ 2 Daging........................................................... .......................................... 2 Teknik pengolahan....................................................... ............................ 3 Produk olahan dan daging sapi............................................................. ... 3 Reaksi protein pada proses pengolahan................................................... 4 Analisis protein.......................................................... .............................. 6 BAB III. METODE PENELITIAN

Upload: marina-lucuh

Post on 01-Feb-2016

82 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

,.nm,b

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

evaluasi nilai gizi dan karakteristik protein daging sapi dan hasil olahannya

DAFTAR ISI

     HalamanHALAMAN JUDULDAFTAR ISI...................................................................................................... iiDAFTAR TABEL............................................................................................. iii

BAB 1. PENDAHULUANLatar belakang......................................................................................... 1Tujuan...................................................................................................... 1BAB II. TINJAUAN PUSTAKAProtein...................................................................................................... 2Daging..................................................................................................... 2Teknik pengolahan................................................................................... 3Produk olahan dan daging sapi................................................................ 3Reaksi protein pada proses pengolahan................................................... 4Analisis protein........................................................................................ 6BAB III. METODE PENELITIANAlat dan bahan......................................................................................... 8Prosedur................................................................................................... 8BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASANKadar Protein Kasar................................................................................ 10Daya Cerna Protein Secara In Vitro........................................................ 12Protein Tercerna....................................................................................... 13DAFTAR PUSTAKA

Page 2: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

DAFTAR TABEL

Tabel                                                                                                        HalamanTabel 2.1 Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing, dan Babi.................... 2Tabel 2.2 Komposisi Asam Amino Esensial Daging Sapi..................................... 3Tabel 4.1 Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro, dan Kadar Protein Tercerna Pada

Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya............................................................... 10

Page 3: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangSalah satu nutrien yang sangat penting untuk tubuh adalah protein yang berfungsi sebagai

zat pembangun dan pengatur. Protein juga dapat berfungsi sebagai sumber energi jika

karbohidrat dan lemak tidak tersedia lagi. Protein secara umum dibagi menjadi protein hewani

dan protein nabati. Protein hewani memiliki keistimewaan bila dibandingkan dengan protein

nabati, karena protein hewani lebih kompleks susunan asam aminonya.

Daging merupakan sumber nutrisi yang berkualitas bagi manusia terutama sebagai

sumber protein. Selain kandungan proteinnya yang tinggi, juga memiliki kualitas yang tinggi.

Kualitas protein dapat dilihat dari komposisi asam amino penyusun dan daya cerna protein yang

menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daging dapat diolah dengan berbagai

cara. Pengolahan bahan makanan dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya meningkatkan

nilai tambah, memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi, meningkatkan penerimaan

terhadap produk menganekaragamkan produk olahan pangan  dan meningkatkan daya cerna

protein, akan tetapi di satu sisi dapat pula menurunkan nilai gizi proteinnya. Peningkatan daya

cerna protein pada proses pemasakan dapat terjadi sebagai akibat terdenaturasinya protein dan

inaktivasi senyawa-senyawa antinutrisi. Penurunan nilai gizi suatu protein dapat disebabkan oleh

perlakuan suhu yang tidak terkontrol yang dapat merusak asam-asam amino bahan pangan hasil

ternak.

1.2. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari nilai gizi protein produk

olahan daging yang meliputi kadar dan kecernaan protein, serta karakteristiknya melalui

elektroforesis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA        

Page 4: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

2.1. Protein

Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari

setengah berat kering yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein

terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%),

nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%)

(Anggorodi, 1979). Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh,

sebagai zat pengatur, mengganti bagian tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari

serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu protein dapat juga digunakan sebagai sumber

energi (kalori) bagi tubuh, bila energi yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi

(Muchtadi, 1993).

Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam amino essensial.

Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam-asam amino tersebut secara biologis. Proses

pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein, dapat pula menurunkan nilai

gizinya (Muchtadi, 1989). Kebutuhan protein setiap manusia adalah 1 g/kg berat badan yang

seperempat dari kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari protein hewani, salah satunya adalah dari

daging (Winarno, 1980).

2.2. Daging

            Daging sapi merupakan daging merah yang sering dikonsumsi oleh rakyat Indonesia.

Komponen bahan kering yang terbesar dari daging adalah protein sehingga nilai nutrisi

dagingnya pun tinggi (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Komposisi protein daging sapi dapat dilihat

pada Tabel 2.1. Selain itu bila ditinjau dari asam aminonya, daging memiliki komposisi asam

amino yang lengkap dan seimbang hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Kinsman et al., 1992).

Tabel 2.1. Komposisi Gizi Daging Ayam, Sapi, Kambing dan BabiJenis Daging Komposis Daging

Protein Air LemakAyam  18,20  55,9  25,0Domba  17,1  66,3  14,8

Sapi 18,8 66,0 14,0Kambing 16,6 70,3 9,2

Babi 11,9 42,0 45,0Sumber: Departemen Kesehatan RI (1995)

Tabel 2.2. Komposisi Asam Amino Essensial Daging SapiJenis Asam Amino Esensial Kadar (g/100g N)

Histidin 21

Page 5: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

Isoleusin 28Leusin 49Lisin 52

Metionin+Sistin 23Phenilalanin+tirosin 45

Threonin 27Triptofan 77

Valin 30Sumber : Kinsman et al. (1992)

2.3. Teknik Pengolahan

Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat pula

menurunkan nilai gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan berprotein yang tidak

terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya karena protein merupakan

senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagai sisi aktif dapat bereaksi dengan

komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produk oksidasinya serta bahan

kimia aditif seperti alkali, belerang oksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi, 1989).

2.4. Produk Olahan Daging Sapi

2.4.1. Bakso

Definisi bakso menurut BSN (1995), bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan

atau lain, yang diperoleh dari campuran daging lemak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan

pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.

2.4.2. Sosis

Sosis merupakan produk daging giling yang diberi bumbu dan dapat juga mengalami

proses curing, pemanasan, dan pengasapan (Muchtadi, 1989). Menurut

(BSN, 1995) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus

(mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa

penambahan bumbu-bumbu dan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke

dalam selubung sosis.

2.4.3. Dendeng

Dendeng merupakan produk hasil olahan pengawetan daging secara tradisional yang

secara umum dibuat dari daging sapi (Purnomo, 1997). Menurut Winarno (1980) dendeng

merupakan satu produk awetan daging yang dikelompokkan sebagai daging curing.

Page 6: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

2.4.4. Abon

Abon didefinisikan sebagai suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari

daging yang direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres (BSN, 1995) sedangkan

menurut Sudarisman dan Elvina (1996) abon adalah hasil olahan yang terwujud gumpalan-

gumpalan serat daging yang halus dan kering.

2.4.5. Daging Panggang

Pemanggangan merupakan metode dengan cara mengalirkan panas secara konveksi

menggunakan oven tertutup yang dipanaskan terlebih dahulu (Kinsman et al., 1994).

2.5. Reaksi Protein pada Proses Pengolahan

2.5.1. Denaturasi Protein

Denaturasi merupakan suatu perubahan struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap

molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen.

Perlakuan panas, pH ekstrim, empera gangguan fisik dan kimia dapat memicu terjadinya

denaturasi (Brown, 2000). Davidek et al.  (1990) menyatakan bahwa proses penggilingan daging

menyebabkan protein terdenaturasi.  Denaturasi oleh panas dapat mempermudah hidrolisis

protein oleh protease dalam usus halus. Akan tetapi panas juga dapat menurunkan mutu protein

akibat perombakan dan terperisainya gugus amino-epsilon dari lisin protein asli yang

menghambat hidrolisis oleh tripsin (Karmas and Harris, 1989). Suhu antara 530C-630C

menyebabkan kolagen terdenaturasi. Protein otot mengalami denaturasi pada kisaran suhu antara

500C-800C (1220F dan 1760F) (Tornberg, 2004).

2.5.2. Koagulasi Protein

Menurut Winarno (1997) koagulasi terjadi setelah pengembangan molekul

protein yang terdenaturasi. Setelah protein terdenaturasi unit ikatan gugus reaktif

pada rantai polipeptida yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak terdispersi lagi

sebagai suatu koloid. Koagulasi dapat terjadi pada suhu di atas 900C (Tornberg, 2004). Koagulasi

maksimum terjadi pada saat Temperatur antara 600C-650C yang dicapai selama pemanasan

(Davidek et al., 1990).

2.5.3. Rasemisasi Protein

Selama pemanasan bahan pangan berprotein terjadi rasemisasi asam amino dan reaksi

antar asam amino, rasemisasi asam amino yaitu terbentuknya ikatan L-D, D-L atau D-D

Page 7: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

(Muchtadi, 1993).  Rasemisasi asam amino adalah perubahan konfigurasi asam amino dari

bentuk L ke bentuk D (Astawan, 2005). Proses pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang

lama serta perlakuan alkali menyebabkan terjadinya rasemisasi (Astawan, 2005 ; Muchtadi,

1993). Rasemisasi yang disebabkan perlakuan alkali lebih menyebabkan penurunan daya cerna

bila dibandingkan dengan rasemisasi yang disebabkan perlakuan panas (Muchtadi, 1993).

2.5.4. Pembentukan Lisinoalanin dan Lantionin

Lisinoalanin merupakan reaksi antar asam amino yang ditemukan pada bahan pangan

berprotein yang diberi perlakuan alkali dan pemanasan dalam waktu lama. Pembentukan

lisinoalanin dapat berperan dalam penurunan daya cerna protein, karena apabila didegradasi

senyawa tersebut tidak menghasilkan asam amino lisin dan alanin dan apabila diserap tubuh akan

terbuang sebagai urin. Lantionin dibentuk dari reaksi dehidro alanin dengan sistein (Muchtadi,

1993). Pembentukan lantionin juga terjadi pada kondisi dengan perlakuan panas dan alkali.

Adanya pembentukan lantionin menyebabkan sistein yang tersedia pada bahan pangan berkurang

separuhnya (Kelly et al., 1980).

2.5.5.Reaksi Maillard

Sumber utama penyebab menurunnya nilai gizi protein selama pengolahan dan

penyimpanan adalah reaksi browningnon enzimatis (reaksi Maillard), yaitu reaksi antara protein

dengan gula pereduksi (Muchtadi, 1993). Belitz and Grosch (1999) menyatakan bahwa reaksi ini

berlangsung antara gula-gula pereduksi dengan gugus amino dari asam-asam amino atau protein

(terutama e-amino dari lisin, dan α-amino dari asam amino N-terminal). Secara umum, reaksi

non-enzimatis browning hanya terjadi jika ada asam amino bebas dan grup karbonil gula

pereduksi yang diakhiri dengan pembentukan melanoidin (Muchtadi dan Setiawaty, 1985). Suhu,

waktu, kelembaban, pH, konsentrasi dan reaktan alami mempengaruhi terjadinya reaksi

pencoklatan atau Maillard (Shahidi, 1998). Reaksi Maillard efektif terjadi pada suhu tinggi

(Muchtadi dan Setiawaty,1985). Penurunan nilai gizi ini terutama disebabkan terjadinya reaksi

pencoklatan (Maillard) selamaproses pengolahan. De Man (1997) menyatakan bahwa asam

amino lisin merupakan asam amino yang peka terhadap kerusakan terutama pencoklatan non

enzimatis, karena asam amino ini cenderung untuk terikat pada senyawa karbonil melalui gugus

ε-asam amino bebas.

2.6. Analisis Protein

Page 8: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

2.6.1. Protein Kasar

Protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung dapat dilakukan menggunakan

analisis kjeldhal (Budiyanto,2002). Dikatakan secara tidak langsung karena menurut Budiyanto

(2002) yang dianalisis dengan metode ini adalah kadar nitrogennya.

2.6.2. Daya Cerna

Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim

pencernaan (protease) dikenal dengan istilah daya cerna atau nilai kecernaan (Muchtadi, 1993).

Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam–asam amino.

Protein tidak dapat masuk ke dalam sel karena ukuran  molekulnya tidak memungkinkan kecuali

asam amino sebagai unit monomernya (Hawab, 2002). Protein harus terlebih dahulu dihidrolisis

menjadi asam amino oleh enzim pencernaan agar dapat masuk kedalam sel dan dapat

dimanfaatkan oleh sel tubuh. Pengukuran kualitas kecernaan protein dapat dilakukan salah

satunya dengan metode in vitro yang menggunakan enzim protease. Enzim-enzim yang

digunakan adalah pepsin–pankreatin, kimotripsin, peptidase campuran dari beberapa macam

enzim (multi enzim) (Muchtadi, 1989).

2.6.3.Elektroforesis

Salah satu cara atau teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi enzim atau

protein adalah elektroforesis (Thohari et al., 1993). Prinsip yang digunakan dalam elektroforesis

untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan yang berbeda adalah molekul-molekul

biologis yang bermuatan listrik, yang besarnya tergantung pada jenis molekul, pH, dan

komponen medium pelarutnya dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya

berlawanan dengan muatan molekul (Nur dan Adijuwana, 1987).

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1. Alat Dan Bahan

Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pengolahan bakso, sosis, abon, dendeng

dan daging panggang. Selain itu dipergunakan pula alat-alat analisis laboratorium yang meliputi

peralatan analisis kadar protein kasar (labu Kjeldhal 30 ml, pemanas Kjeldhal, alat destilasi, labu

Page 9: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

erlenmeyer 125 ml, kondensor), daya cerna protein secara in vitro (labu erlenmeyer 50 ml,

shaker, sentrifuse, kertas Whatman 41, oven) dan alat yang digunakan untuk elektroforesis terdiri

atas alat elektroforesis dan penangas air.

Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan utama, bahan tambahan dan bahan untuk

analisis kimia. Bahan utama yang digunakan adalah daging sapi bagian paha belakang (knuckle)

sebanyak 5,5 kg. Bahan-bahan untuk analisis laboratorium meliputi bahan untuk analisis protein

kasar (K2SO4, HgO, H2SO4, HCl 0,01 M, NaOH, H3BO3, HCl 0,043664 N), kecernaan protein

secara in vitro (HCl 0,1 N, NaOH 0,5 N, larutan buffer fosfat 0,2 M pH 8 ) dan bahan untuk

elektroforesis.

3.2. Prosedur

3.2.1. Preparasi Sampel

Daging yang berasal dari ternak sapi diolah menjadi bakso, sosis, dendeng, abon dan

daging panggang. Produk olahan dan daging segar dari ternak sapi tersebut kemudian dianalisis

mutu dan karakteristik proteinnya.

3.2.2. Perubah yang Diamati

            Adapun perubahan yang diamati dalam percobaan ini meliputi :

1.      Protein Kasar (metode Kjeldahl-Mikro) (Apriyantono et al., 1988).

2.      Kecernaan Protein secara In Vitro (Saunders et al., 1973).

3.      Elektroforesis (Laemmli, 1970).

3.2.3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola  searah

dengan satu faktor perlakuan yaitu berbagai proses pengolahan. Perlakuan yang dilakukan yaitu

pembuatan produk olahan bakso (T1), sosis (T2), dendeng (T3), abon (T4), daging panggang

(T5) dengan (T0) adalah daging segar. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Pengujian peubah dilakukan dengan cara komposit yaitu dengan mengambil 1/3 bagian dari

setiap ulangan sampel kemudian dicampur. Sampel hasil komposit diaduk rata kemudian diambil

sampel untuk dianalisa sesuai peubah yang diamati. Interpretasi data dilakukan secara deskriptif.

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

Page 10: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

Penelitian ini menggunakan berbagai macam teknik pengolahan yaitu pembuatan bakso,

sosis, abon, dendeng dan daging panggang. Proses tersebut melibatkan pemanasan dengan

metode yang berbeda. Semua produk tersebut dianalisis kadar protein kasar, daya cerna protein

secara in vitro dan kadar protein

tercerna. Hasil dari analisis tersebut disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Kadar Protein Kasar, Daya Cerna Protein Secara In Vitro dan Kadar Protein Tercerna pada Daging Sapi Segar dan Produk Olahannya.

Jenis produk Protein kasar (% b/b)

Daya cerana in vitro (% b/b)

Kadar protein tercerna (% b/b)

Daging Segar 19,0 79,03 15,02Bakso 11,16 83,27 9,29Sosis 12,41 89,60 11,12Abon 38,98 58,87 22,95Dendeng 24,58 61,59 15,14Daging Panggang 28,97 59,73 17,30

4.1 Kadar Protein Kasar

      Bakso dan Sosis

Kandungan protein kasar pada bakso menurun dari nilai protein kasar daging segar

19,0% menjadi 11,16% untuk protein bakso. Penurunan ini disebabkan karena pada pengolahan

menjadi bakso terjadi proses penggilingan, pembumbuan, penambahan tepung, penambahan

garam, pembekuan daging dan perebusan. Proses penggilingan menyebabkan denaturasi protein

karena proses penggilingan menyebabkan kenaikan suhu akibat panas. Namun demikian,

denaturasi karena proses penggilingan dapat dicegah dengan menambahkan es pada saat proses

penggilingan agar suhu adonan dibawah 200C. Hasil ini dibuktikan dengan suhu adonan bakso

hanya mencapai 170C. Kandungan protein sosis lebih rendah bila dibandingkan dengan

kandungan protein daging segar. Hal ini disebabkan dalam pembuatan sosis ditambahkan

beberapa bahan selain daging seperti tepung tapioka sehingga persentase kadar protein menjadi

menurun. Menurut Ridwanto (2003) penambahan tepung pada pembuatan sosis meningkatkan

kandungan karbohidrat, sehingga lebih tinggi dari kandungan karbohidrat daging segar.

      Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Kadar protein kasar dalam berat basah abon meningkat dibandingkan nilai protein daging

segarnya. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini menambahkan santan dalam proses

pembuatan abon, setelah itu abon digoreng dan terakhir dikeringkan dengan oven. Hal tersebut

Page 11: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

dilakukan karena menurut Widiyanto (2002) pembuatan abon dengan santan diperlukan proses

lanjutan dengan cara digoreng atau dikeringkan dengan oven, yang berfungsi untuk mengurangi

kadar air. Proses penggorengan menyebabkan kerusakan struktur protein yang terjadi mungkin

lebih banyak karena suhu pemanasan yang digunakan lebih tinggi. Namun karena hanya sedikit

air yang diuapkan selama penggorengan, komponen hasil dekomposisi protein yang larut air pun

hanya sedikit yang terlepas sedangkan senyawa nitrogen hasil dekomposisi yang tidak larut air

tetap dalam bahan sehingga masih terukur dalam analisis kadar protein dengan metode Kjeldhal

(Pramono et al., 1985). Kadar protein dendeng lebih tinggi dibandingkan kandungan pada daging

segar hal ini disebabkan proses pengeringan. Proses pengeringan dendeng dilakukan dengan

menggunakan oven pada suhu 700C selama 7 jam. Sebelum dianalisis, dendeng digoreng pada

suhu 1200C selama 2 menit hingga matang. Menurut Winarno (1980) dengan mengurangi kadar

air, bahan pangan akan mengandung senyawa–senyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan

mineral dalam konsentrasi yang lebih  tinggi. Apabila dibandingkan kadar air daging segar

(75,13%) dan dendeng (32,29%) maka terbukti bahwa kadar air mempengaruhi persentase

protein. Nilai protein kasar daging panggang lebih tinggi dibandingkan daging segar karena

pengolahan dengan cara pengeringan akan mempengaruhi persentase protein. Semakin kecil

kadar air dalam bahan pangan maka semakin tinggi persentase protein yang dikandungnya.

Kadar air daging panggang 43,26% sedangkan kadar air daging segar adalah 75,13%. Rendahnya

kadar air daging panggang menyebabkan persentase protein lebih tinggi. Kandungan protein

daging panggang pada penelitian ini adalah 28,97% lebih tinggi bila dibandingkan kadar protein

daging panggang dalam daftar komposisi zat gizi pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI

(1995) menetapkan kandungan protein daging panggang adalah 15,7%.

4.2 Daya Cerna Protein Secara In Vitro

      Bakso dan Sosis

Pengolahan menjadi bakso dan sosis menyebabkan nilai kecernaan protein meningkat

dibandingkan dengan daging segarnya. Adanya penambahan garam, perebusan dan penggilingan

menyebabkan terjadinya denaturasi. Peningkatan daya cerna ini disebabkan pada pengolahan

bakso pemanasan yang digunakan hanya mencapai 800C dan sosis hanya mencapai 650C,

kemungkinan yang terjadi adalah denaturasi protein. Protein otot akan terdenaturasi pada suhu

500C-800C (Tornberg, 2004). Denaturasi protein menyebabkan terbukanya lipatan protein

Page 12: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

sehingga enzim pencernaan lebih mudah untuk menghidrolisis dan mudah memecah protein

menjadi monomer-monomer.

      Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Nilai kecernaan protein abon, dendeng dan daging panggang lebih kecil dari daging

segar. Nilai kecernaan ketiga produk dalam penelitian ini digolongkan protein yang kurang baik

karena daya cerna abon kurang dari 80%. Rendahnya daya cerna abon disebabkan pengolahan

abon sangat kompleks. Proses ini menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama,

sehingga menyebabkan protein terdegradasi dan daya cerna menurun. Pembuatan abon

menggunakan panas yang tinggi dan waktu yang lama, menyebabkan tidak hanya terjadi

denaturasi akan tetapi terjadi juga rasemisasi, reaksi Maillard dan terbentuknya ikatan silang

dalam protein seperti lisinoalanin dan lantionin. Menurut Kasir (1999) terbentuknya ikatan silang

akan menurunkan kecernaan. Menurut Muchtadi (1989) reaksi Maillard sangat nyata

menurunkan daya cerna protein. Reaksi Maillard yang disebabkan oleh bereaksinya gula

pereduksi dan protein dengan menghasilkan produk akhir berupa melanoidin yang tidak dapat

kita cerna. Penambahan bumbu pada produk juga dapat menyebabkan terhambatnya kecernaan

seperti pada dendeng dengan penambahan gula merah dapat memicu terjadinya reaksi Maillard

yang dapat menurunkan kecernaan protein dendeng. Selain itu, penggunaan suhu pemasakan

lebih dari 100oC menyebabkan menurunnya kecernaan. Suhu tinggi menyebabkan tidak hanya

membuka lipatan protein akan tetapi sudah sampai memotong protein menjadi bagian–bagian

kecil yang mungkin sudah menjadi protein asing bagi enzim. Menurut Winarno (1997)

denaturasi berat menyebabkan protein terpotong dan bersifat irreversible. Protein yang telah

terdegradasi tidak dikenali lagi oleh enzim. Enzim memiliki daya kerja yang spesifik sehingga

hanya memecah protein-protein yang dikenalinya saja. Daging panggang yang telah mengalami

proses pembumbuan dan pengeringan pun mengalami proses penurunan daya cerna enzim.

Kemungkinan disebabkan telah terbentuknya melanoidin sebagai hasil akhir reaksi Maillard

yang ditandai dengan warna coklat yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, sehingga

nilai kecernaan daging panggang 59,73% sangat rendah bila dibandingkan dengan kecernaan

daging segar yang mencapai 79,03%.

4.3 Protein Tercerna

Page 13: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

Protein tercerna merupakan hasil perkalian antara protein kasar dan daya cerna in vitro. Protein

tercerna menunjukkan jumlah protein yang dapat digunakan atau dimanfaatkan oleh tubuh.

      Bakso dan Sosis

Menurunnya protein tercerna ini disebabkan oleh menurunnya kadar protein bakso dan

sosis dibandingkan dengan daging segar. Rendahnya nilai protein kasar menyebabkan rendahnya

pula nilai protein tercerna, begitu pula dengan daya cerna. Walaupun daya cerna pada bakso dan

sosis cukup tinggi, tetapi protein yang dapat dimanfaatkan dalam bakso dan sosis sangat rendah.

Nilai protein tercerna sangat dipengaruhi oleh kadar protein kasar dan daya cerna yang

hubungannya berbanding lurus. Nilai protein tercerna tinggi dicapai bila kadar protein kasar dan

daya cerna suatu produk tinggi.

      Abon, Dendeng dan Daging Panggang

Abon, dendeng dan daging panggang mengalami proses pengeringan dengan oven.

Ketiga produk ini memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari kadar protein daging segar. Daya

cerna abon, dendeng, dan daging panggang lebih kecil bila dibandingkan dengan daya cerna

pada daging segar, akan tetapi kadar protein yang sangat tinggi menyebabkan protein tercerna

pada setiap produk tersebut menjadi tinggi.

Page 14: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati. dan S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan.

Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Astawan, M. 2005. http://www.waspada.co.id/serbaserbi/kesehatan/artikel.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Abon. SNI 01-3707-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Santan. SNI 01-3816-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso. SNI 01-3818-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. Sosis.SNI 01-3820-1995. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Brown, A. 2000. Understanding Food, Principle and Preparation. Wad Sworth Thomson Learning,

Hawai.

Belitz and Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer- Verlag, Berlin.

Budiyanto, M. A. K. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang.

Davidek, J., J. Vellisek and J. Pokorny. 1990. Chemical Change During Food Processing. Departement

of Food Chemistry and Analysis. Institute Chemical Technology, New York.

De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan

RI, Indonesia, Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat

Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia, Jakarta.

Hawab, H. M. 2002. Pembebasan asam amino dari protein berkeratin tinggi secara in vitro. Jurnal Ilmu-

ilmu Kimia Vol 2 No. 2.

Karmas, E. dan R. Harris. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Terjemahan: Achmadi,

S. Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.

Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan organoleptik abon sapi, ayam, kelinci. Skripsi.

Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kelly, R. B., David and John W. F. 1980. Studies on the utilization of lysinoalanin and lanthionine. J.

Nutr. 110 : 907-915.

Kinsman, D. M., A. W. Kotula and B. C. Breindenstein. 1994. Muscle Food, Meat, Poultry and Seafood

Technology. Chapman and Hall, London.

Page 15: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

Laemmli, U. K. 1970. Cleavage en struktural proteins during the assembly of the head of bactioriophage

T 4. Nature 227:680-685.

Lehninger, A. L. 1998. Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan : Thenawidjaja, M. Erlangga, Jakarta.

Muchtadi, D dan E. Setiawaty. 1985. Studies on dendeng an Indonesian traditional preserved meat

product. Media Teknologi Pangan. 2(1) : 23-29.

Muchtadi, D. 1989. Petunjuk Laboratorium Evaluasi Nilai Gizi Protein. Pusat Antar Universitas Pangan

dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, D. 1989. Protein : Sumber-Sumber dan Teknologi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Insitut Pertanian Bogor,

Bogor.

Muchtadi, D., Astawan, M. dan N. S Palupi. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi dan

Kebutuhan bagi Kebutuhan Manusia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Nur, M. dan H. Adijuwana.1987. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pramono, A. I., D. Muchatdi, T. R. Muchtadi. 1985. Pembuatan dan evaluasi tahu bercita rasa daging.

Media Teknologi Pangan 2(1):44-54.

Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitasprotein daging kering dan dendeng selama penyimpanan.

Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.

Ridwanto, I. 2003. Kandungan gizi dan palatabilitas sosis daging sapi dengan substitusi tepung tulang

rawan ayam pedaging sebagai bahan pengisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Saunders R. M, M. A. Connor, A. N. Booth, E.M. Bickoff and G.O. Kohler. 1972. Measurement of

digestibility of alfalfa protein concentrates by in vivoand in vitro methods. J. Nut. 103:530-535.

Setiawaty, E. 1985. Mempelajari beberapa sifat protein dendeng sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi

Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Shahidi, S. 1998. Flavor of Meat, Meat Products and Sea Food. Thomson Science, London.

Page 16: Evaluasi Nilai Gizi Dan Karakteristik Protein Daging Sapi Dan Hasil Olahannya

Sudarisman, T dan Elvina A. R. 1996. Petunjuk Memilih Produk Ikan dan Daging. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Thohari, M, B. Masyud, S. Supraptini. dan M. Cece. 1993. Analisis Perbandingan Polimorfisme Protein

Darah dan Berbagai Jenis Rusa di Indonesia dengan Menggunakan Elektroforesis. Konservasi

Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tornberg. 2004. Effect of heat on meat proteins-implication on stucture and quality of meat product. J.

Meat Sci 70:493-508.

Widayanto, H. 2002. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik abon daging domba dan daging

kambing yang dimasak dengan metode pemasakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Winarno , F. G. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.