evaluasi trichoderma dalam mengendalikan penyakit rebah...

30
Volume 10, Nomor 3, Juni 2014 Halaman 73–80 DOI: 10.14692/jfi.10.3.73 Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Kecambah Tanaman Cabai Evaluation of Trichoderma Isolated from Lowland Swampy Soil Against Damping-off in Pepper Ahmad Muslim*, Komar Palimanan, Harman Hamidson, Abdullah Salim, Nirwati Anwar Universitas Sriwijaya, Ogan Ilir 30662 ABSTRAK Dalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan faktor pembatas yang sangat penting dalam produksi. Penelitian ini bertujuan menentukan kemampuan 14 isolat Trichoderma yang diisolasi dari lahan rawa lebak di Sumatera Selatan dalam mengendalikan serangan penyakit rebah kecambah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Trichoderma dapat menghambat perkembangan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Trichoderma dapat menghambat pre-emergence damping-off, post-emergence damping-off, dan keparahan penyakit berturut-turut sebesar 51.8–100%, 80–100%, dan 51.90–96.96%. Perlakuan Trichoderma juga mampu meningkatkan tinggi dan bobot basah tanaman cabai, berturut-turut 45.45–64.37% dan 37.78–81.19%. Kata kunci: agens pengendali hayati, Rhizoctonia solani, lahan rawa lebak, pemacu pertumbuhan tanaman ABSTRACT Damping-off disease is commonly occurred in chili pepper field and always caused significant effect on chili production. This experiment was conducted to determine the ability of 14 isolates of Trichoderma isolated from lowland swampy area in South Sumatera against damping-off disease. The result showed that treatment of Trichoderma significantly inhibited damping-off disease caused by Rhizoctonia solani. Treatment of Trichoderma effectively reduced the percentage of pre-emergence damping- off, post-emergence damping-off, and disease severity by 51.8–100%, 80–100%, and 51.90–96.96%, respectively. The treatment was also capable to increase percentage of height and fresh weight of chili pepper seedling, i.e. 45.45–64.37% and 37.78–81.19%, respectively. Key words: biological control agent, lowland swampy area, plant growth promotin, Rhizoctonia solani *Alamat penulis korespondensi: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya Jalan Raya Palembang-Prabumulih, KM 32, Indralaya, Ogan Ilir 30662 Tel: 0711-580663, Faks: 0711-580059, Surel: [email protected] 73 ISSN: 0215-7950 PENDAHULUAN Lahan rawa lebak di Sumatera Selatan pada musim hujan, dominan untuk budi daya padi, sementara pada saat musim kemarau untuk tanaman sayuran di antaranya cabai. Rhizoctonia merupakan salah satu patogen yang biasanya menimbulkan penyakit rebah kecambah di persemaian cabai. Penyakit ini sangat merugikan, terutama pada bibit yang berumur 1–21 hari setelah semai. Pengendalian hayati merupakan alternatif pengendalian yang potensial untuk di- kembangkan karena aman bagi lingkungan

Upload: tranthuy

Post on 29-Apr-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

Volume 10, Nomor 3, Juni 2014Halaman 73–80

DOI: 10.14692/jfi.10.3.73

Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah Kecambah Tanaman Cabai

Evaluation of Trichoderma Isolated from Lowland Swampy SoilAgainst Damping-off in Pepper

Ahmad Muslim*, Komar Palimanan, Harman Hamidson, Abdullah Salim, Nirwati AnwarUniversitas Sriwijaya, Ogan Ilir 30662

ABSTRAK

Dalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan faktor pembatas yang sangat penting dalam produksi. Penelitian ini bertujuan menentukan kemampuan 14 isolat Trichoderma yang diisolasi dari lahan rawa lebak di Sumatera Selatan dalam mengendalikan serangan penyakit rebah kecambah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Trichoderma dapat menghambat perkembangan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Trichoderma dapat menghambat pre-emergence damping-off, post-emergence damping-off, dan keparahan penyakit berturut-turut sebesar 51.8–100%, 80–100%, dan 51.90–96.96%. Perlakuan Trichoderma juga mampu meningkatkan tinggi dan bobot basah tanaman cabai, berturut-turut 45.45–64.37% dan 37.78–81.19%.

Kata kunci: agens pengendali hayati, Rhizoctonia solani, lahan rawa lebak, pemacu pertumbuhan tanaman

ABSTRACT

Damping-off disease is commonly occurred in chili pepper field and always caused significant effect on chili production. This experiment was conducted to determine the ability of 14 isolates of Trichoderma isolated from lowland swampy area in South Sumatera against damping-off disease. The result showed that treatment of Trichoderma significantly inhibited damping-off disease caused by Rhizoctonia solani. Treatment of Trichoderma effectively reduced the percentage of pre-emergence damping-off, post-emergence damping-off, and disease severity by 51.8–100%, 80–100%, and 51.90–96.96%, respectively. The treatment was also capable to increase percentage of height and fresh weight of chili pepper seedling, i.e. 45.45–64.37% and 37.78–81.19%, respectively.

Key words: biological control agent, lowland swampy area, plant growth promotin, Rhizoctonia solani

*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas SriwijayaJalan Raya Palembang-Prabumulih, KM 32, Indralaya, Ogan Ilir 30662Tel: 0711-580663, Faks: 0711-580059, Surel: [email protected]

73

ISSN: 0215-7950

PENDAHULUAN

Lahan rawa lebak di Sumatera Selatan pada musim hujan, dominan untuk budi daya padi, sementara pada saat musim kemarau untuk tanaman sayuran di antaranya cabai.Rhizoctonia merupakan salah satu patogen

yang biasanya menimbulkan penyakit rebah kecambah di persemaian cabai. Penyakit ini sangat merugikan, terutama pada bibit yang berumur 1–21 hari setelah semai.

Pengendalian hayati merupakan alternatif pengendalian yang potensial untuk di-kembangkan karena aman bagi lingkungan

Page 2: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

Trichoderma merupakan agens hayati yang sudah dibuktikan mampu melindungi tanaman dari serangan berbagai penyakit-penyakit busuk pascapanen pada buah pisang (Adebesin et al. 2009), layu fusarium pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici (Segarra et al. 2010), layu fusarium pada tanaman hutan Dalbergia sissoo yang disebabkan oleh Fusarium solani sp. dalbergiae ( Basak dan Basak 2011), penyakit rebah kecambah pada tanaman mentimun yang disebabkan oleh Rhizoctonia (Huang et al. 2011), penyakit busuk batang tanaman kentang yang disebabkan oleh Sclerotinia sclerotiorum (Ojaghian 2011).

Mengingat betapa merusaknya penyakit rebah kecambah pada tanaman cabai maka penelitian ini bertujuan menentukan ke-mampuan isolat Trichoderma yang diisolasi dari lahan rawa lebak untuk mengendalikan serangan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani.

BAHAN DAN METODE

BahanTrichoderma yang digunakan merupakan

isolat dari tanah rizosfer lahan rawa lebak di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan yang sudah diuji kemampuannya sebagai cendawan pemicu pertumbuhan tanaman (PPT) (Muslim et al. 2006). R. solani diisolasi dari akar tanaman cabai yang terserang penyakit rebah kecambah yang ditanam di lahan rawa lebak. Trichoderma dan R. solani disiapkan sebagai inokulum menggunakan substrat campuran dedak, bungkil jagung, dan merang padi kering dengan perbandingan bobot (40:30:10).

Sebanyak 80 g substrat campuran dedak, jagung, merang padi ditambah air destilasi dengan perbandingan 1:0.8 b/v. Substrat ini disterilkan menggunakan autoklaf.

Trichoderma dan R. solani masing-masing diremajakan pada medium agar-agar dekstrosa kentang (ADK) selama 3 hari pada suhu kamar. Selanjutnya 5–7 koloni cendawan dengan diameter 5 mm diinokulasikan ke substrat untuk digunakan sebagai inokulum.

Masing-masing biakan diinkubasikan selama 10–14 hari pada suhu kamar. Biakan digoyang setiap hari supaya cendawan merata dalam seluruh substrat. Selanjutnya, cendawan dikeringanginkan selama 7 hari dan disimpan pada suhu 4 °C sebelum digunakan (Muslim et al. 2003).

Uji Kemampuan Trichoderma dalam Menekan Penyakit Rebah Kecambah

Kemampuan Trichoderma menekan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh R. solani pada tanaman cabai dilakukan secara in vivo di rumah kaca. Aplikasi dan uji kemampuan Trichoderma dalam menekan penyakit rebah kecambah mengikuti Shivanna (1995) yang dimodifikasi pada inokulumnya. Masing-masing inokulum Trichoderma dan R. solani dicampur dengan tanah steril pada wadah yang berbeda. Konsentrasi inokulum Trichoderma ialah 2% (b/b) dan R. solani ialah 1% (b/b).

Aplikasi inokulum Trichoderma dalam menekan penyakit rebah kecambah dilakukan dengan meletakkan tanah yang telah diinfestasi dengan Trichoderma dan patogen R. solani secara berselang-seling dengan lebar masing-masing 5 cm pada waktu yang bersamaan di baki plastik ukuran 30 cm x 27 cm x 7 cm. Benih disterilkan dengan alkohol 70% selama 3 menit lalu dicuci dengan air steril sampai aroma alkohol hilang. Selanjutnya benih disemai pada tanah yang telah diinfestasi Trichoderma dengan jarak penyemaian antarbenih pada setiap baris ialah 2.5 cm.

Peubah yang diamati ialah persentase rebah kecambah sebelum mencapai per-mukaan tanah (pre-emergence damping-off), persentase rebah kecambah setelah tanaman mencapai permukaan tanah (post emergence damping off), keparahan penyakit, tinggi dan bobot basah bibit.

Persentase benih terserang sebelum muncul ke permukaan tanah dihitung berdasarkan jumlah benih yang gagal berkecambah. Perhitungan dimulai sejak hari ke-1 sampai ke-10 setelah semai menggunakan rumus:

74

S = [ ]D100100A

B-A0

00

0 −−

×= A–B

A [ ]D100100A

B-A0

00

0 −−

×= × 100% –[100% – D], dengan

Page 3: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

S, persentase pre-emergence damping-off; A, jumlah benih yang disemai; B, jumlah kecambah muncul ke permukaan tanah; D, persentase daya kecambah benih.

Persentase post-emergence damping-off dihitung berdasarkan banyaknya kecambah yang rebah, setelah benih muncul di atas permukaan tanah. Penghitungan dimulai sejak munculnya kecambah ke permukaan tanah sampai hari ke-21 setelah semai menggunakan rumus:

K, persentase bibit terserang post-emergence damping-off; n, jumlah bibit terserang; N, jumlah benih yang tumbuh.

Persentase keparahan penyakit dihitung dengan rumus:

I, keparahan penyakit; n, jumlah bibit yang terserang; Z, harga numerik dari nilai kategori tertinggi; N, jumlah benih yang disemai; v, harga numerik dari setiap nilai kategori (0–5), yaitu: 0, tidak ada penyakit; 1, lesion muncul pada leher akar sepanjang 1 mm; 2, lesion cokelat sampai cokelat gelap sepanjang 2–10 mm mengelilingi akar; 3, lesion cokelat gelap sepanjang 10–25 mm dimana miselia mengolonisasi koleoptil; 4, >25 mm area akar menjadi hitam dan busuk pada koleoptil; 5, bibit busuk secara menyeluruh atau bibit mati.

Penekanan terhadap pre-emergence damping-off, post-emergence damping-off, dan keparahan penyakit dihitung berdasarkan rumus:

K, nilai pada kontrol; P, nilai pada perlakuan.

Tinggi tanaman dan bobot basah diamati pada hari terakhir pengamatan, yaitu ketika bibit berumur 21 hari setelah semai. Persentase peningkatan tinggi tanaman dan bobot basah dihitung berdasarkan pada rumus: K, nilai pada kontrol; P, nilai pada perlakuan.

Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap dengan 15 perlakuan, yang terdiri atas kontrol dan 14 perlakuan isolat Trichoderma (galur T1, T2, T3, T4, T5, T6, T7, T8, T9, T10, T11, T12, T13, dan T14). Masing-masing perlakuan diulang 3 kali dan masing-masing ulangan sebanyak 30 bibit.

Data yang diperoleh dianalisis meng-gunakan analysis of variance dan jika per-lakuan berbeda nyata dengan kontrol maka antarperlakuan diuji menggunakan uji beda nyata jujur. Analisis dilakukan menggunakan SAS 9.0.

HASIL

Penyakit Rebah Kecambah Perlakuan semua Trichoderma memberikan

pengaruh nyata dalam menghambat pre-emergence damping-off pada bibit cabai. Hampir semua perlakuan Trichoderma efektif menghambat pre-emergence damping-off, bahkan Trichoderma galur T5, T10, T12, dan T13 dengan sempurna menghambat pre-emergence damping-off (Tabel 1).

Perlakuan Trichoderma pada pembibitan cabai memberikan pengaruh yang nyata terhadap post-emergence damping-off. Per-lakuan Trichoderma sangat efektif menghambat perkembangan post-emergence damping-off dengan persentase penghambatan yang tinggi, bahkan Trichoderma galur T4, T7, dan T8 menghambat dengan sempurna 100% (Tabel 2).

Keparahan PenyakitPerlakuan Trichoderma yang diaplikasikan

bersamaan waktunya dengan patogen R. solani juga menunjukkan pengaruh yang nyata dalam menghambat keparahan penyakit. Keparahan penyakit pada perlakuan Trichoderma jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Semua perlakuan Trichoderma, kecuali Trichoderma galur T8, sangat efektif meng-hambat perkembangan penyakit (Tabel 3).

Tinggi dan Bobot Basah BibitPerlakuan Trichoderma pada pembibitan

juga memberikan pengaruh nyata terhadap

75

K = nN × 100%, dengan

I = n × vZ × N

× 100%, dengan∑

Persentase penekanan = K–PK × 100%, dengan

Persentase peningkatan = K–PK

× 100%, dengan

Page 4: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

peningkatan tinggi dan bobot basah bibit. Sebagian besar perlakuan Trichoderma meningkatkan tinggi bibit, 2 galur yang mampu meningkatkan tinggi bibit di atas 60%, yaitu galur T13 dan T14 (Tabel 4).

Perlakuan Trichoderma juga sangat efektif meningkatkan bobot basah bibit dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan Trichoderma sangat nyata meningkatkan bobot basah bibit, kecuali galur T3, T4, dan T8 yang mampu mampu meningkatkan bobot basah bibit di atas 60% (Tabel 5).

PEMBAHASAN

Perlakuan Trichoderma yang diaplikasikan pada pembibitan sangat efektif menghambat serangan penyakit rebah kecambah, baik serangan rebah kecambah sebelum mencapai permukaan tanah, rebah kecambah setelah muncul ke permukaan tanah, maupun keparahan penyakit dengan persentase peng-hambatan masing-masing sebesar 52–100%, 80–100%, dan 52–97%. Beberapa isolat

76

Tabel 3 Perlakuan Trichoderma dalam peng-hambatan terhadap keparahan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi arc sin.

Galur TrichodermaKontrolT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10T11T12T13T14

Penghambatan (%)

Keparahan penyakit (%)

87.78 a* 6.89 c 3.78 c14.44 bc16.67 bc 3.56 c 7.56 bc10.00 bc42.22 b13.78 bc 5.11 c 8.00 bc 2.67 c 8.89 c 9.11 bc

92.1595.7083.5481.0195.9591.3988.6151.9084.3094.1890.8996.9689.8789.62

Tabel 1 Perlakuan Trichoderma dalam peng-hambatan terhadap penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi arc sin.

Galur Trichoderma

KontrolT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10T11T12T13T14

Penyakit rebah kecambah

77.22 a* 2.78 c 0.56 c 6.67 c11.67 bc 0.00 c 3.33 c 5.56 c37.22 ab10.00 c 0.00 c 7.78 c 0.00 c 0.00 c 1.67 c

96.40 99.28 91.37 84.89100.00 95.68 92.81 51.80 87.05100.00 89.93100.00100.00 97.84

Penghambatan (%)

Pre-emergence (%)

Tabel 2 Perlakuan Trichoderma dalam peng-hambatan terhadap penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Data dianalisis setelah ditransformasi arc sin.

Galur Trichoderma

KontrolT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10T11T12T13T14

Penghambatan (%)

Penyakit rebah kecambahPost-emergence

(%) 50.00 a* 4.62 b 2.38 b 7.22 b 0.00 b 3.41 b 2.22 b 0.00 b 0.00 b 1.67 b 6.74 b10.00 b 2.26 b 7.82 b 7.15 b

90.77 95.24 85.56100.00 93.18 95.56100.00 100.00 96.67 86.51 80.00 95.48 84.37 85.70

Page 5: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

Tabel 4 Perlakuan Trichoderma terhadap tinggi bibit tanaman cabai

77

Tabel 5 Perlakuan Trichoderma terhadap bobot basah bibit tanaman cabai

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak ber-beda nyata pada taraf 5%.

Galur TrichodermaKontrolT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10T11T12T13T14

Peningkatan (%)

Tinggi bibit (cm)

2.54 d*5.52 bc5.72 abc4.88 c4.65 c5.69 abc5.44 bc4.98 c4.98 c5.93 abc5.78 abc5.88 abc5.80 abc7.12 a6.77 ab

54.0455.5947.9645.4555.4053.3048.9749.0757.1956.0456.7956.2464.3762.52

*Angka yang diikuti huruf yang sama tidak ber-beda nyata pada taraf 5%.

Galur TrichodermaKontrolT1T2T3T4T5T6T7T8T9T10T11T12T13T14

Peningkatan (%)

Bobot bibit (g)

2.22 g* 9.07 abcd 7.85 abcdef 5.52 defg 4.48 efg 7.51 bcdef 6.49 cdefg 6.22 cdefg 3.57 fg 8.33 abcde10.86 ab 6.00 cdefg 9.92 abc11.82 a11.29 ab

75.5071.6959.7250.3770.4165.7664.2637.7873.3079.5262.9777.5981.1980.31

bahkan menghambat serangan pre-emergence damping-off dan post-emergence damping-off dengan penghambatan 100%. Efektivitas galur Trichoderma yang digunakan dalam penelitian ini jauh lebih efektif dibandingkan

dengan hasil Huang et al. (2011). Mereka menggunakan 8 g Trichoderma harzianum SQR-T37 per g tanah dan hanya mampu menghambat R. solani dengan persentase penghambatan 45% dan menurun menjadi 27% ketika aplikasi yang diberikan diturun-kan 4 g per tanah. Dalam penelitian mereka penghambatan meningkat tajam menjadi 82% ketika perlakuan Trichoderma dikombinasi-kan dengan pupuk bio-organik. Segarra et al. (2013) juga melaporkan bahwa aplikasi T. asperellum T34 sangat efektif menghambat serangan penyakit busuk akar pada tanaman cabai yang disebabkan Phytophthora capsici dengan persentase penekanan 71% dan persentase penekanannya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan penggunaan etridiazole (Terrazole®). Oleh karena itu, Trichoderma diharapkan dapat menggantikan pengendalian menggunakan pestisida di masa yang akan datang.

Fase pre-emergence damping-off dan post-emergence damping-off merupakan fase yang sangat kritis bagi benih maupun kecambah. Penyakit rebah kecambah sangat berbahaya bagi bibit yang berumur kurang dari 3 minggu karena pada fase ini bibit dalam keadaan lemah dan rentan terhadap serangan patogen. Sebagian besar galur Trichoderma sangat efektif menekan persentase pre-emergence damping-off dan post-emergence damping-off. Shivanna (1995) membuktikan bahwa galur cendawan PPT seperti Phoma sp. dan cendawan steril yang terbukti mampu menekan penyakit tanaman disebabkan kemampuannya dalam mengolonisasi akar tanaman sangat efektif. Dewan dan Sivasithamparam (1990) juga membuktikan bahwa cendawan steril mampu menginfeksi akar tanaman sampai bagian dalam jaringan, dapat membantu tanaman menyerap nutrisi dari tanah, dan melindungi tanaman dari penyakit.

Rendahnya serangan penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh R. solani mungkin disebabkan karena galur Trichoderma uji merupakan cendawan PPT yang mampu mempercepat berkecambahnya benih sehingga kecambah lebih cepat tumbuh dan terlepas dari serangan R. solani.

Page 6: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

Efektivitas yang tinggi dari agens Trichoderma dalam menghambat serangan berbagai macam patogen termasuk R. solani disebabkan mekanisme yang dimiliki Trichoderma begitu lengkap. Munir et al. (2013) melaporkan bahwa genus Trichoderma merupakan spesies yang umum ditemukan di tanah dan berinteraksi dengan akar, tumbuh dengan sangat cepat sehingga sangat efsien berkompetisi dengan cendawan lain termasuk patogen dan juga menghasilkan enzim perusak sel. Selanjutnya T. viride dilaporkan sangat efektif menekan pertumbuhan miselium patogen Sclerotium rolfsii dan Macrophomina phaseolina secara in vitro dengan persentase penghambatan masing-masing mencapai 75% dan 71% (Doley dan Jite 2012). Almeida et al.(2007) melaporkan bahwa T. harzianum mampu melilit hifa R. solani dengan frekuensi pelilitan yang tinggi sehingga menyebabkan hifa R. solani rusak. Selain itu, T. harzianum juga menghasilkan enzim yang dapat men-degredasi sel R. solani seperti kitinase, N-acetyl-b-D-glucosaminidase, dan b-1,3-glukanase. Mereka melaporkan juga bahwa tidak ada hubungan positif antara kemampuan melilit hifa patogen dan kemampuan memproduksi enzim pendegradasi sel patogen. Selanjutnya Harman et al. (2004) menambahkan bahwa Trichoderma sangat potensial meningkatkan ketahanan tanaman baik secara lokal maupun sistemik. Gallou et al. (2009) menyatakan bahwa perlakuan T. harzianum pada tanaman kentang dapat meningkatkan ketahanan tanaman dengan menginduksi ekpresi gen pertahanan lipoxygenase (Lox), pathogenesis related 1 (PR1), pathogenesis related 2 (PR2), phenylalanine ammonia lyase (PAL) dan gluthatione-S-transferase 1 (GST1).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perlakuan Trichoderma tidak hanya menghambat serangan penyakit rebah kecambah tanaman cabai, tetapi juga me-ningkatkan tinggi dan bobot basah bibit dengan persentase peningkatan masing-masing berkisar antara 45.45–64.37% dan 37.78–81.19%. Shivanna et al. (1994)

menyatakan bahwa cendawan PPT yang diperbanyak dalam bentuk inokulum biji barlei ternyata kemampuannya dalam me-ningkatkan tinggi dan bobot basah tanaman bervariasi bergantung pada jenis cendawan PPT. Peningkatan pertumbuhan tanaman oleh cendawan PPT melalui pengaruh tidak langsung ialah menekan atau menghambat mikrob penyebab penyakit tanaman dengan kompetisi di daerah akar atau melalui kemampuan antagonis dari cendawan pemacu pertumbuhan itu sendiri (Hyakumachi 1994). Genus Trichoderma sangat efektif mengolonisasi akar dengan melindungi akar dari serangan penyakit, juga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan akar, produktivitas tanaman, dan serapan hara tanaman (Harman et al. 2004; Contreras-Cornejo et al. 2009). Mereka juga mengemukakan bahwa Trichoderma juga dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap kondisi abiotik atau lingkungan yang tidak menguntungkan. Di samping itu juga, Javaid dan Ali (2011) melaporkan bahwa T. harzianum dan T. pseudokoninggii dapat bertindak sebagai herbisida melalui aplikasi filtrat biakan cendawan tersebut dalam menekan pertumbuhan pucuk dan akar gulma Avena futua. Dari hasil penelitian yang kami lakukan dan didukung laporan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Trichoderma merupakan agens pengendalian hayati yang sangat potensial untuk menanggulangi pe-nyakit rebah kecamah yang disebabkan oleh R. solani. Trichoderma diharapkan dapat diaplikasikan sebagai agens pengendalian hayati di lahan rawa lebak dalam mendukung pertanian berkelanjutan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini dengan nomor kontrak: 026/SP2H/PP/DP2M/III/2007.

78

Page 7: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

79

DAFTAR PUSTAKA

Adebesin A, Odebode C, Ayodele A. 2009. Control of postharvest rots of banana fruits by conidia and culture filtrates of Trichoderma asperellum. J Plant Protect Res. 49:302–308. DOI: http://dx.doi.org/10.2478/v10045-009-0049-6.

Almeida FBDR, Cerqueira FM, Silva RDN, Ulhoa CJ, Lima AL. 2007. Mycoparasitism studies of Trichoderma harzianum strains against Rhizoctonia solani: evaluation of coiling and hydrolytic enzyme production. Biotechnol Lett. 29:1189–1193. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10529-007-9372-z.

Basak AC, Basak SR. 2011. Biological control of Fusarium solani sp. dalbergiae, the wilt pathogen of Dalbergia sissoo, by Trichoderma viride and T. harzianum. J Trop Forest Sci. 23:460–466.

Contreras-Cornejo HA, Macías-Rodríguez L, Cortés-Penagos C, López-Bucio J. 2009. Trichoderma virens, a plant beneficial fungus, enhances biomass production and promotes lateral root growth through an auxin-dependent mechanism in Arabidopsis. Plant Physiol. 149:1579–1592. DOI: http://dx.doi.org/10.1104/pp. 108.130369.

Dewan M, Sivasithamparam K. 1990. Effect of a plant growth-promoting sterile red fungus on viability of seed and growth and anatomy of wheat roots. Mycol Res. 94:553–577. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/S0953-7562(10)80022-X.

Doley K, Jite PK. 2012. In vitro efficacy of Trichoderma viride against Sclerotium rolfsii and Macrophomina phaseolina. Not Sci Biol. 4:39–44.

Gallou A, Cranenbrouck S, Declerck S. 2009. Trichoderma harzianum elicits defence response genes in roots of potato plantlets challenged by Rhizoctonia solani. Eur J Plant Pathol. 124:219–230. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10658-008-9407-x.

Harman GE, Howell CR, Viterbo A, Chet I, Lorito M. 2004. Trichoderma species-opportunistic, avirulent plant symbionts.

Nat Rev Microbiol. 2:43–56. DOI: http://dx.doi.org/10.1038/nrmicro797.

Huang X, Chen L, Ran W, Shen Q, Yang X. 2011. Trichoderma harzianum strain SQR-T37 and its bio-organic fertilizer could control Rhizoctonia solani damping-off disease in cucumber seedlings mainly by the mycoparasitism. App Microbiol Biotech. 91:741–755. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00253-011-3259-6.

Hyakumachi M. 1994. Plant growth promoting fungi from turfgrass rhizosphere with potential for disease suppression. Soil Microorganism. 44:53–68.

Javaid A, Ali S. 2011. Alternative management of a problematic weed of wheat Avena fatua L. by metabolites of Trichoderma. Chil J Agri Res. 71:205–211. DOI: http://dx.doi.org/10.4067/S0718-58392011000200004.

Munir S, Jamal Q, Bano K, Sherwani SK, Bothari TZ, Khan TA, Khan RA, Jabbar A, Anees M. 2013. Biocontrol ability of Trichoderma. Intl J Agr Crop Sci. 6:1246–1252.

Muslim A, Horinouchi H, Hyakumachi M. 2003. Control of fusarium crown and root rot of tomato with hypovirulent binucleate Rhizoctonia in soil and rock wool systems. Plant Dis. 87:739–747. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS.2003.87.6.739.

Muslim A, Suwandi, Hamidson H. 2006. Evaluasi cendawan rizosfer asal lahan rawa lebak sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Agria. 2:26–33.

Ojaghian MR. 2011. Potential of Trichoderma spp. and Talaromyces flavus for biological control of potato stem rot caused by Sclerotinia sclerotiorum. Phytoparasitica. 39:185–193. DOI: http://dx.doi.org/10.10 07/s12600-011-0153-9.

Segarra G, Avilés M, Casanova E, Borrero C, Trillas I. 2013. Effectiveness of biological control of Phytophthora capsici in pepper by Trichoderma asperellum strain T34. Phytopathol Medit. 52:77–83. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s00248-009-9545-5.

Segarra G, Casanova E, Avilés M, Trillas I. 2010. Trichoderma asperellum strain T34 controls fusarium wilt disease in

Page 8: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Muslim et al.

80

tomato plants in soilless culture through competition for iron. Microbial Ecol. 59: 141–149.

Shivanna MB. 1995. The dual role of rhizozosphere fungi as plant growth promotion and biocontrrol agents [disertasi]. Gifu (JP): University Japan.

Shivanna MB, Merra MS, Hyakumachi M. 1994. Sterile fungi from Zoysiagrass rhizosphere as plant growth promoters in spring wheat. Can J Microbiol. 40:637–644. DOI: http://dx.doi.org/10.11 39/m94-101.

Page 9: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

Volume 10, Nomor 3, Juni 2014Halaman 81–86

DOI: 10.14692/jfi.10.3.81

Efisiensi Tular Benih Squash mosaic virus pada Cucurbitaceae

Seed Transmission Efficiency of Squash mosaic virus on Cucurbitaceae

Susanti Mugi Lestari, Endang Nurhayati*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Infeksi virus pada tanaman Cucurbitaceae dapat menyebabkan kegagalan panen dan kerugian ekonomi yang tinggi. Salah satu virus utama yang terbawa benih tanaman Cucurbitaceae ialah Squash mosaic virus (SqMV). Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan beberapa virus pada tanaman Cucurbitaceae dan menguji efisiensi tular benih SqMV. Deteksi Cucumber mosaic virus (CMV), SqMV, Watermelon mosaic virus-2 (WMV-2), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV), dan Tobacco ringspot virus (TRSV) pada sampel daun dan benih Cucurbitaceae dilakukan dengan menggunakan metode Indirect-ELISA. Infeksi CMV, SqMV, dan ZYMV terdeteksi pada sampel daun dari lapangan. Persentase SqMV tertular melalui benih komersial oyong, semangka, zucchini, kabocha, mentimun, dan melon berturut-turut adalah 13, 13, 33, 73, 100, dan 100%. Infeksi ZYMV hanya ditemukan pada benih oyong dan zucchini berturut-turut sebanyak 13% dan 27%. Infeksi SqMV terbawa benih keturunan kedua (F2) ditemukan pada biji mentimun, oyong, dan melon berturut-turut 93, 100, dan 100% benih. Status SqMV sebagai organisme pengganggu tumbuhan karantina A1 perlu ditinjau kembali karena SqMV telah ditemukan di Jawa Barat.

Kata kunci: Cucumber mosaic virus, indirect-ELISA, Zucchini yellow mosaic virus

ABSTRACT

Infection of viruses on Cucurbitaceae may cause high yield and economic losses. Squash mosaic virus is a seed borne virus and among the most important virus infecting Cucurbitaceae. The aims of these research was to detect infection of several viruses on Cucurbitaceae and to examine seed transmission efficiency of SqMV. Detection of Cucumber mosaic virus (CMV), Squash mosaic virus (SqMV), Watermelon mosaic virus-2 (WMV-2), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV), and Tobacco ringspot virus (TRSV) from field samples and seeds was conducted using Indirect-ELISA method. Infection of CMV, SqMV and ZYMV was detected from field samples. Seed transmission of SqMV on commercial seeds of bottle gourd, watermelon, zucchini, cabocha, cucumber, and melon was 13, 13, 33, 73, 100, and 100%, respectively. Seed transmission of ZYMV was only occurred on bottle gourd and zucchini, i.e. 13.3% and 26.67%, respectively. Infection of SqMV through F2 seed was determined from cucumber, bottle gourd, and melon, i.e. 93, 100, and 100%, respectively. Therefore, the status of SqMV as quarantine pest should be evaluated since SqMV was already found in West Java.

Key words: Cucumber mosaic virus, indirect-ELISA, Zucchini yellow mosaic virus

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorKampus Darmaga, Jalan Kamper, Bogor 16680Tel: 0251- 8629364, Faks: 0251- 8629362, Surel: [email protected]

81

ISSN: 0215-7950

Page 10: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Lestari dan Nurhayati

PENDAHULUAN

Infeksi virus pada tanaman Cucurbitaceae merupakan salah satu kendala produksi yang sangat penting. Sekitar 32 virus berbeda dilaporkan dapat menginfeksi tanaman Cucurbitaceae di dunia, di antaranya Cucumber mosaic virus (CMV), Papaya ringspot virus (PRSV), Squash mosaic virus (SqMV), Watermelon mosaic virus (WMV), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV) (Coutts dan Jones 2005), Tobacco ringspot virus (TRSV) (Jossey dan Babadoost 2008), Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV), dan Melon necrotic spot virus (MNSV) (Ali et al. 2012). SqMV diketahui bersifat tular benih (Sevik dan Toksoz 2008), selain dapat ditularkan secara mekanis dan melalui serangga sehingga memiliki potensi untuk memencar secara meluas ke seluruh dunia. Benih yang terinfestasi oleh virus dapat menjadi sumber inokulum primer di pertanaman, dan infeksi virus pada benih dapat menyebabkan perubahan rasa dan kandungan nutrisi, daya kecambah benih, bobot buah, dan jumlah produksi buah.

Menurut Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian RI (Kepmentan 2006) SqMV dikategorikan sebagai organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) kategori A1, jadi virus ini belum terdapat di wilayah Negara Republik Indonesia. Kenyataannya, Aulia (2004) berhasil men-deteksi SqMV di Bogor pada beberapa tanaman Cucurbitaceae baik secara tunggal maupun bersamaan dengan virus lainnya. Tanaman mentimun terinfeksi oleh SqMV dan CMV, oyong oleh SqMV, ZYMV, dan TRSV, dan labu siam oleh SqMV dan ZYMV. Status SqMV di Indonesia masih perlu dipastikan berkaitan dengan semakin banyaknya benih tanaman dari luar negeri.

Penelitian dilakukan untuk mendeteksi keberadaan beberapa virus pada beberapa jenis tanaman Cucurbitaceae dan menguji potensi SqMV terbawa benih.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Pengambilan Sampel Tanaman SakitSampel tanaman sakit terdiri atas beberapa

jenis tanaman Cucurbitaceae yang berasal dari lokasi yang berbeda. Mentimun (Cucumis sativus) diambil dari Desa Situ Gede, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor; oyong (Luffa acutangula) dari Desa Petir Cibereum, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor; melon (Cucumis melo) dari kebun Taman Buah Mekarsari, Desa Mekarsari, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor; zucchini (Cucurbita pepo) dan labu siam (Sechium edule) dari kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat; serta kabocha (Cucurbita maxima) dari Desa Cibedug, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Deteksi Virus dengan Indirect Enzyme–Linked Immunosorbent Assay (I–ELISA)

Deteksi virus dilakukan menggunakan metode I-ELISA menurut Dijkstra dan de Jager (1998). Antiserum yang digunakan, ialah CMV (1:200), SqMV (1:200), TRSV (1:1000), WMV (1:200), dan ZYMV (1:1000) (Agdia, USA).

Pengujian Virus Tular Benih Benih yang digunakan untuk pengujian,

yaitu benih mentimun, oyong, melon, semangka, zucchini, dan kabocha yang berasal dari benih-benih komersial yang umum di-gunakan oleh para petani. Jumlah benih yang diuji untuk masing-masing jenis tanaman ialah 15 benih. Benih tersebut ditumbuhkan pada medium tanah steril yang mengandung kompos dengan perbandingan 1:1. Setelah kemunculan daun pertama uji dilakukan untuk mendeteksi keberadaan SqMV dan ZYMV dengan antiserum spesifik menggunakan metode I-ELISA.

Tanaman muda yang positif terinfeksi oleh SqMV atau ZYMV dipelihara sampai

82

Page 11: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Lestari dan Nurhayati

menghasilkan buah dan diamati gejala yang muncul selama pertumbuhan tanaman. Biji diekstrak dari buah dari masing-masing tanaman, kemudian ditanam sampai muncul daun pertama dan selanjutnya dilakukan deteksi SqMVdan ZYMV dengan antiserum spesifik menggunakan metode I-ELISA.

HASIL

Gejala Infeksi Virus pada Tanaman Cucurbitaceae

Gejala infeksi virus pada tanaman mentimun memperlihatkan mosaik hijau-kuning dengan warna hijau tua lebih banyak berada di sekitar tulang daun (vein banding), daun menjadi kaku dan berkerut serta mengalami penyempitan ukuran daun, dan tanaman menjadi kerdil. Tanaman oyong yang terinfeksi virus menunjukkan gejala mosaik hijau-kuning, terjadi penyempitan ukuran daun, dan kerdil. Gejala infeksi virus pada tanaman melon berupa mosaik hijau tua-hijau muda pada daun, klorosis, melepuh, keriting, kaku, penyempitan ukuran daun, tepi daun mengalami perubahan bentuk menjadi lebih bergerigi, dan kerdil. Pada tanaman zucchini, gejala mosaik tidak terlihat jelas, tetapi daun menjadi kaku, mengalami sedikit pelepuhan dan perubahan bentuk walaupun ukuran daun tetap normal. Pada tanaman kabocha terlihat gejala mosaik ringan, ukuran dan bentuk daun tidak mengalami perubahan tetapi daun kabocha mengalami sedikit perubahan bentuk. Pada tanaman labu siam terdapat gejala klorosis pada daun, perubahan bentuk dan

pengurangan ukuran daun, tetapi tidak terjadi mosaik.

Deteksi Virus pada Tanaman Cucurbitaceae dan Benih

Virus-virus pada tanaman Cucurbitaceae yang berhasil dideteksi ialah CMV, SqMV, dan ZYMV (Tabel 1). SqMV merupakan virus yang paling banyak ditemukan, yaitu pada tanaman mentimun, zucchini, kabocha, dan labu siam; bahkan pada tanaman kabocha, semua sampel yang diuji terinfeksi SqMV.

Keberadaan SqMV serta ZYMV pada benih Cucurbitaceae komersial berturut-turut berkisar antara 13% dan 100% serta 0% dan 27%. Infeksi SqMV dideteksi pada semua jenis benih dan mencapai 100% pada benih mentimun dan melon, sedangkan infeksi ZYMV hanya dideteksi dari benih oyong dan zucchini (Tabel 2).

Infeksi SqMV Asal Benih pada Beberapa Tanaman Cucurbitaceae di Rumah Kaca

Gejala yang terlihat pada tanaman Cucurbitaceae yang berasal dari benih terinfeksi SqMV bervariasi dari ringan (oyong dan semangka) hingga berat (kabocha). Gejala ringan umumnya berupa sedikit pengerutan pada tulang daun mosaik ringan. Gejala paling berat terlihat pada kabocha, yaitu daun mengalami mosaik kuning-hijau, vein banding, pemucatan tulang daun, daun menjadi kaku, keriting, mengalami perubahan bentuk daun, ukuran daun lebih sempit, daun pada pucuk yang baru tumbuh menangkup ke atas seperti mangkuk tetapi daun yang sudah tua

Tanaman Antiserum

CMV SqMV TRSV WMV-2 ZYMVMentimun 0/7* 3/7 0/7 0/7 0/7Oyong 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3Melon 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3Zucchini 0/2 1/2 0/2 0/2 0/2Kabocha 0/3 3/3 0/3 0/3 0/3Labu siam 0/3 1/3 0/3 0/3 1/3

Tabel 1 Infeksi beberapa virus pada tanaman Cucurbitaceae di lapangan berdasarkan deteksi menggunakan antiserum spesifik

*a/b: a, jumlah sampel bereaksi positif terhadap antiserum; b, jumlah total sampel yang diuji.

83

Page 12: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Lestari dan Nurhayati

menangkup ke bawah dan terjadi pertumbuhan cabang vegetatif yang berlebihan (Gambar 1a dan b).

Gejala infeksi virus tidak hanya terlihat pada bagian daun, tetapi juga tampak pada buah (Gambar 1c, d, dan f). Buah mentimun menunjukkan gejala berupa penggentingan pada pangkal buah dan bentuk buah yang tidak teratur. Gejala pada oyong ialah perubahan bentuk alur-alur yang tidak teratur, walaupun sebagian besar buah tidak menunjukkan gejala. Gejala pada buah melon ialah perubahan bentuk buah, corak permukaan kulit buah yang tidak rata atau tidak bercorak. Tanaman kabocha, zucchini dan semangka dapat menghasilkan bunga tetapi tidak membentuk

buah sehingga gejala pada buah tidak dapat diamati.

Infeksi SqMV pada benih mentimun, oyong, dan melon yang berasal dari tanaman terinfeksi dapat dideteksi dengan I-ELISA dengan persentase infeksi berkisar antara 93% dan 100% (Tabel 3). Persentase infeksi SqMV pada benih turunan kedua (F2) lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi pada benih F1, terutama terjadi pada benih oyong. Persentase infeksi SqMV pada benih oyong meningkat dari 13% pada benih F1 menjadi 100% pada benih F2.

PEMBAHASAN

Gejala infeksi virus pada tanaman Cucurbitaceae yang ditemukan di lapangan bervariasi dari ringan hingga berat. Beberapa faktor yang mempengaruhi variasi gejala

Tanaman Persentase benih terinfeksiMentimun 93 (14/15)*

Oyong 100 (10/10)Melon 100 (15/15)

Tabel 3 Infeksi SqMV pada benih mentimun, melon dan oyong asal tanaman terinfeksi

*a/b: a, jumlah sampel bereaksi positif terhadap anti serum; b, jumlah total sampel yang diuji.

84

Gambar 1 Gejala pada tanaman Cucurbitaceae yang berasal dari benih terinfeksi SqMV. a, mosaik dan perubahan bentuk pada daun kabocha; b, perubahan bentuk daun pada pucuk tanaman kabocha; c, perubahan bentuk buah mentimun; d, perubahan bentuk alur oyong; e, perubahan bentuk buah melon.

A B

C D E

A B

C D E

a b

d ec

Tabel 2 Infeksi SqMV dan ZYMV pada benih komersial beberapa tanaman Cucurbitaceae

*a/b: a, jumlah sampel bereaksi positif terhadap anti serum; b, jumlah total sampel yang diuji.

Tanaman Persentase benih terinfeksiSqMV ZYMV

Mentimun 100 (15/15)* 0 (0/15)Oyong 13.3 (2/15) 13.3 (2/15)Melon 100 (15/15) 0 (0/15)Zucchini 33.3 (5/15) 26.67 (4/15)Kabocha 73.3 (11/15) 0 (0/15)Semangka 13.3 (2/15) 0 (0/15)

Page 13: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Lestari dan Nurhayati

tersebut ialah jenis dan virulensi virus, jenis tanaman inang, kondisi lingkungan tumbuh tanaman dan lokasi terjadinya penyakit tersebut. Jossey dan Babadoost (2008) melaporkan bahwa 6 virus utama yang menginfeksi Cucurbitaceae ialah CMV, SqMV, ZYMV, WMV, PRSV, dan TRSV. Hasil yang sama dilaporkan oleh Aulia (2004) yang berhasil mendeteksi CMV, PRSV-W, SqMV, TRSV, WMV-2, dan ZYMV dari tanaman Cucurbitaceae di Bogor dengan persentase infeksi SqMV yang paling banyak ditemukan.

Ali et al. (2012) melaporkan persentase tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi SqMV hanya sebesar 3.8%. Sementara itu, Sevik dan Toksoz (2008) melaporkan bahwa infeksi SqMV pada labu (Cucurbita moschata dan C. maxima) sebanyak 21.11% dan pada zucchini sebanyak 20%, sedangkan Dikova dan Hristova (2002) menyatakan bahwa SqMV yang terbawa benih pada benih Cucurbitaceae mencapai 91%.

Alvarez dan Campbell (1978) menjelaskan bahwa keberadaan SqMV pada benih tidak hanya terdapat pada embrio, tetapi juga pada protoplasma kotiledon, embrio, jaringan palisade, dan jaringan mesofil. Persentase virus tertular melalui benih ditentukan oleh persentase embrio terinfeksi, selanjutnya embrio yang terinfeksi selalu menghasilkan benih terinfeksi. Virus yang ditularkan melalui benih ini sangat berpotensi dalam penyebaran penyakit karena benih yang terinfestasi virus dapat menjadi sumber inokulum primer. Selain itu, infeksi virus sejak tanaman masih muda dapat menyebabkan gejala yang berat (Coutts 2006), misalnya tanaman menjadi kerdil, tanaman dapat mengalami rebah dan kematian pada masa pesemaian, dapat tidak berbuah bila tanaman terinfeksi pada masa pembungaan, dan mengalami perubahan bentuk buah.

Keberadaan SqMV pada tanaman dan benih Cucurbitaceae di Bogor dan Bandung ini merupakan bukti bahwa SqMV telah berada di Indonesia. Peningkatan infeksi SqMV di Indonesia kemungkinan besar disebabkan oleh adanya benih impor Cucurbitaceae dari negara-negara dengan tingkat kejadian

penyakit yang tinggi. Pembuktian yang dilakukan pada penelitian ini dan penelitian Aulia (2004) tentang keberadaan SqMV di beberapa tempat di Jawa Barat dapat menjadi landasan untuk menentukan penurunan status SqMV dari OPTK A1 menjadi OPTK A2, yaitu jenis-jenis organisme pengganggu tumbuhan karantina yang sudah terdapat di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi terbatas pada lokasi atau daerah tertentu (Kepmentan 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Mohammad O, Khattab A. 2012. Distribution of viruses infecting cucurbit crops and isolation of potential new virus-like sequences from weeds in Oklahoma. Plant Dis. 96(2):243–248. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-05-11-0419.

Alvarez M, Campbell RN. 1978. Transmission and distribution of squash mosaic virus in seeds of cantaloupe. Phytopathol 68:257–263. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/Phyto-68-257.

Aulia R. 2004. Inventarisasi dan deteksi virus penyebab mosaik pada famili Cucurbitaceae di Kotamadya Bogor, Pasir Muncang dan Cibodas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Coutts BA, Jones RAC. 2005. Incidence and distribution of viruses infecting cucurbit crops in the Northern Territory and Western Australia [abstrak]. Aus J Agric Res. 56(8):847–858. DOI: http://dx.doi.org/10.1071/AR04311.

Dijkstra J, de Jager CP. 1998. Practical Plant Virology. Protocol and Exercise. Berlin (DE): Springer–Verlag Berlin Heidelberg. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/978-3-642- 72030-7.

Dikova B, Hristova D. 2002. Detection of squash mosaic virus, zucchini yellow mosaic virus and cucumber mosaic virus in cucurbit seeds. Bulg J Agric Sci. 8:201–210.

Jossey S, Babadoost M. 2008. Occurrence and distribution of pumpkin and squash

85

Page 14: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Lestari dan Nurhayati

viruses in Illinois. Plant Dis. 92:61–68. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-92-1-0061.

[Kepmentan] Keputusan Menteri Pertanian. 2006. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 38/KPTS/HK.060/1/2006 tentang Jenis-Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I Kategori A1 dan A2, Golongan II Kategori A1 dan

A2, Tanaman Inang, Media Pembawa dan Daerah Sebarnya. Jakarta (ID): Menteri Pertanian.

Sevik MA, Toksoz Y. 2008. Occurrence of Squash mosaic virus (SqMV) infecting pumpkin and squash growing in Samsun, Turkey. J Turk Phytopathol. 37(1-3):15–25.

86

Page 15: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

Volume 10, Nomor 3, Juni 2014Halaman 87–92

DOI: 10.14692/jfi.10.3.87

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

87

Identifikasi Carmovirus pada Tanaman Anyelir melalui Teknik Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction

dan Analisis Sikuen Nukleotida

Identification of Carmovirus Infecting Carnation Using Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction

and Analysis of Nucleotide Sequences

Rizki Haerunisa, Erniawati Diningsih, Gede Suastika*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Gejala belang pada daun tanaman anyelir (Dianthus caryphyllus) ditemukan di daerah Cianjur dan Bandung, Jawa Barat. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit belang pada tanaman anyelir dengan menggunakan teknik reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dan analisis sikuen nukleotida. Pita DNA berukuran 1000 pb berhasil diamplifikasi menggunakan primer spesifik protein selubung Carmovirus (BC57/BC58). Produk PCR tersebut digunakan untuk mendapatkan sikuen nukleotida. Analisis sikuen nukleotida membuktikan bahwa penyakit belang pada tanaman anyelir disebabkan oleh infeksi Carnation mottle virus (CarMV). Analisis filogenetika menunjukkan bahwa isolat CarMV asal Indonesia memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan isolat CarMV asal Belanda, Brazil, India, Iran, Israel, dan Spanyol.

Kata kunci: Carnation mottle virus, filogenetika, penyakit belang, protein selubung

ABSTRACT

Mottle disease of carnation (Dianthus caryophyllus) was observed in cultivation areas in Cianjur and Bandung, West Java. This study aimed to identify the virus causing leaf mottling on carnation using reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) method and nucleotide sequence analysis. Fragment DNA of 1000 bp was successfully amplified using specific primers for coat protein of Carmovirus (BC57/BC58). Direct sequencing was proceeded using PCR products. Nucleotide sequence analysis confirmed the infection of Carnation mottle virus (CarMV) from leaves showing mottle symptom. Furthermore, phylogenetic analysis showed that CarMV isolates from Indonesia have close relationship with those from Brazil, Israel, Iran, India, Netherland, and Spain.

Key words: Carnation mottle virus, coat protein, mottle disease, phylogenetic

PENDAHULUAN

Anyelir (Dianthus caryophyllus) merupakan salah satu tanaman bunga potong dengan nilai ekonomi tinggi di dunia. Permintaan anyelir meningkat untuk berbagai keperluan seperti

hiasan, dekorasi ruangan, dan ucapan selamat (Tah dan Mamgain 2013). Salah satu kendala produksi bunga anyelir ialah adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Infeksi virus dapat menyebabkan penurunan kualitas bunga hingga mempengaruhi

ISSN:0215-7950

Page 16: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Haerunisa et al.

88

produksi, penjualan, dan keuntungan pasar. Carnation mottle virus (CarMV) merupakan virus utama pada pertanaman anyelir dan sudah tersebar luas di seluruh pertanaman anyelir di dunia (Singh et al. 2005; Cevik et al. 2010). Kisaran inang CarMV terbatas hanya pada tanaman anyelir, namun CarMV dilaporkan juga menginfeksi anggrek Phalaenopsis dan Calla lily di Taiwan (Chen dan Ko 2003; Zheng et al. 2011).

Di Indonesia beberapa tanaman anyelir ditemukan menunjukkan gejala infeksi virus. Gejala yang timbul berupa mosaik ringan pada daun, belang kuning kehijauan pada lamina daun, tulang daun berwarna hijau tua, serta tepi daun terlihat sedikit melekuk. Gejala tersebut sangat mirip dengan deskripsi gejala infeksi CarMV yang dilaporkan sebelumnya di beberapa negara. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi CarMV pada tanaman anyelir melalui metode reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) dan analisis sikuen nukleotida.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Sampel Tanaman Anyelir Sampel tanaman anyelir bergejala penyakit

yang disebabkan oleh virus diperoleh dari kebun petani di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung dan dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias Desa Cipanas dan Desa Ciputri di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Sampel tersebut disimpan pada suhu -80 °C.

Deteksi Carmovirus melalui RT-PCREkstraksi RNA total dilakukan

menggunakan Bench-Top Protocols for Xprep Plant RNA Mini Kit (PKT Korea). Hasil ekstraksi RNA total digunakan sebagai templat pada tahap transkripsi balik untuk memperoleh cDNA (complementary DNA). Setiap reaksi transkripsi balik (total volume 10 µL) terdiri atas 2 µL total RNA, 3.7 µL H2O, 2 µL bufer enzim M-MuLV Rev 10 x, 0.35 µL 50 mM DTT, 0.5 µL 10 mM dNTP, 0.35 µL enzim M-MuLV Rev, 0.35 µL RNase inhibitor, dan 0.75 µ Loligo d(T) 10 mM. Reaksi transkripsi

balik dilakukan menggunakan automated thermal cycler (Gene Amp PCR System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada suhu 25 °C selama 5 menit, 42 °C selama 60 menit, dan 70 ºC selama 15 menit. Hasil akhir transkripsi balik berupa cDNA digunakan sebagai DNA templat dalam reaksi amplifikasi.

Amplifikasi cDNA virus dilakukan dengan metode PCR dengan pasangan primer spesifik untuk mendeteksi sebagian gen protein selubung Carmovirus, yaitu BC57 (5’ GATCGCGATGAATCCCACTGTGC 3’) dan BC58 (5’ TCACATCCTATAAACAACCAT TG 3’), dengan perkiraan ukuran produk amplifikasi sebesar 1000 pb. Reaksi amplifikasi (total volume 25 µL) terdiri atas 1 µL DNA templat, 1 µL primer BC57 (10 µm), 1 µL primer BC58 (10 µm), 12.5 µL Go Taq Green Master Mix 2 x (Promega, Madison, USA), dan 9.5 µL H2O. Amplifikasi DNA menggunakan automated thermal cycler dengan diawali tahapan denaturasi awal pada 94 °C selama 3 menit. Tahapan selanjutnya ialah sebanyak 35 siklus yang terdiri atas denaturasi pada 94 °C selama 30 detik, penempelan primer pada 50 °C selama 1 menit, sintesis pada 72 °C selama 1 menit 10 detik dan ditambahkan 10 menit pada 72 °C untuk tahap sintesis akhir (Cevik et al. 2010).

Visualisasi hasil amplifikasi DNA meng-gunakan gel agarosa 1% dalam 25 mL bufer Tris-Borat EDTA (TBE) 0.5 x. Sebanyak 7 µL penanda DNA (1 kb) dan 7 µL DNA hasil amplifikasi dimasukkan ke dalam sumuran gel agarosa. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 volt selama 30 menit dan hasil elektroforesis diamati di bawah transluminator ultraviolet.

Analisis Sikuen NukleotidaHasil amplifikasi DNA dikirim ke

PT Macrogen Inc. (Seoul, Korea) untuk sikuensing. Hasil sikuensing digunakan untuk analisis kesejajaran dengan sikuen Carmovirus pada GenBank dengan program basic local alignment search tool (BLAST) pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI), kemudian dianalisis lanjut dengan

Page 17: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Haerunisa et al.

89

program clustal W multiple alignment pada software BioEditV7.0.5. Analisis filogenetika dilakukan dengan program molecular evolutionary genetics analysis (MEGA 5.05).

HASIL

Penyakit Belang pada Tanaman Anyelir di Lapangan

Pertanaman anyelir di Cianjur dan Bandung yang bergejala infeksi virus diamati dengan gejala khas penyakit berupa belang daun berwarna hijau muda dengan batas yang tidak jelas (Gambar 1a), belang pada lamina daun berwarna kuning kehijauan dan tulang daun berwarna hijau tua yang cukup jelas dengan tepi daun sedikit melekuk (Gambar 1b). Gejala tersebut banyak ditemukan pada tanaman di pembibitan seperti yang ditemukan di

Cipanas dan Ciputri, tetapi gejala serupa tidak ditemukan di daerah Cihideung, Parongpong (Gambar 1c).

Deteksi Carmovirus melalui RT-PCRPita DNA berukuran 1000 pb berhasil

diamplifikasi dari sampel daun asal Cipanas, Ciputri dan Cihideung (Gambar 2). Dari daerah Cipanas diperoleh 4 jenis anyelir sebagai sampel untuk deteksi, pita DNA hanya berhasil diamplifikasi dari sampel klon RS 0313 dan klon MD 761, tidak berhasil diamplifikasi dari sampel klon Dianthus barbatus Jatim dan klon RS 83.1. Pita DNA berhasil diamplifikasi dari sampel asal Ciputri dan Cihideung, yaitu berturut-turut anyelir tipe standar ‘White Candy’ dan tipe standar ‘Salem’. Hasil deteksi dengan metode RT-PCR menggunakan primer spesifik Carmovirus memastikan bahwa gejala

Gambar 1 Gejala Carnation mottle virus pada tanaman anyelir (Dianthus caryophyllus) berupa belang daun: a, Cipanas; b, Ciputri; dan c, Cihideung.

a b c

Gambar 2 Pita DNA hasil amplifikasi dari tanaman anyelir menggunakan primer spesifik Carmovirus. M, penanda DNA 1 kb (Promega, USA); K-, kontrol negatif (tanaman sehat); 1, 2, 3, dan 4 tanaman anyelir asal Cipanas, berturut-turut varietas Dianthus barbatus Jatim, klon RS 0313, klon MD 76113, dan klon RS 83.1; 5, tanaman anyelir asal Ciputri (tipe standar ‘White Candy’); 6, tanaman anyelir asal Cihideung (tipe standar ‘Salem’).

1000 pb

M K (-) 1 2 3 4 5 6

Page 18: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Haerunisa et al.

90

belang pada tanaman anyelir merupakan gejala infeksi Carmovirus. Penelitian lanjut digunakan tiga isolat virus yang berbeda asalnya, selanjutnya disebut isolat virus Cipanas, Ciputri, dan Cihideung.

Identifikasi Spesies Carmovirus berdasarkanHomologi Sikuen Nukleotida

Berdasarkan analisis menggunakan program BLAST berhasil diidentifikasi isolat Carmovirus asal tanaman anyelir dari Cipanas, Ciputri, dan Cihideung yang memiliki tingkat homologi tinggi (>97%) dengan CarMV dari Australia, Belanda, Brazil, Jepang, Spanyol, India, Iran, Israel, Kolombia, dan Perancis (Tabel 1). Persentase homologi tertinggi (98.7%) adalah antarisolat Ciputri, Cihideung, dan Cipanas. Hal ini menunjukkan bahwa isolat virus asal Cipanas, Ciputri, dan Cihideung merupakan kelompok virus yang kekerabatannya sangat dekat. Jika dibandingkan dengan isolat virus dalam GenBank, isolat Cipanas memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan CarMV isolat Nl-2 (Belanda), yaitu 98.3%. Isolat Ciputri memiliki tingkat homologi tertinggi (97.9%) dengan CarMV isolat Nl-2 dan CarMV isolat Mahallat-2 (Iran). Isolat Cihideung memiliki tingkat homologi tertinggi (97.9%) dengan CarMV isolat Isr-2 (Israel). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa spesies Carmovirus yang menginfeksi tanaman anyelir di daerah Cianjur dan Bandung adalah CarMV.

Analisis Filogenetika Spesies Carmovirus Analisis kekerabatan berdasarkan sikuen

nukleotida menunjukkan bahwa isolat CarMV membentuk dua kelompok utama (Gambar 3). Pada kelompok pertama, isolat Indonesia yang berasal dari Cipanas, Ciputri, dan Cihideung membentuk satu subkelompok, sedangkan isolat CarMV asal Brazil, Israel, Iran, India, Belanda, dan Spanyol membentuk subkelompok yang terpisah. Kelompok 2 terdiri atas isolat CarMV asal Australia, Jepang, Kolombia, dan Perancis. Analisis filogenetika ini menunjukkan bahwa CarMV isolat Cipanas, Ciputri, dan Cihideung

memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan kelompok spesies CarMV dari negara lain.

PEMBAHASAN

Gejala belang pada tanaman anyelir di Cipanas dan Ciputri banyak ditemukan pada fase pembibitan. Gejala serupa pernah dilaporkan Waterworth dan Kaper (1972) pada Dianthus barbatus di Maryland, Amerika Serikat, yaitu berupa mosaik ringan. Pertanaman di daerah Cihideung sudah memasuki fase generatif dan gejala belang tidak ditemukan, namun sampel daun yang tidak bergejala tersebut telah dikonfirmasi positif terinfeksi Carmovirus melalui deteksi PCR. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa gejala infeksi Carmovirus pada pertanaman anyelir berupa mosaik ringan pada daun muda yang tidak begitu jelas, sedangkan pada tanaman yang telah berbunga tidak terlihat adanya gejala (Lommel et al. 1983; Singh et al. 2005). Infeksi CarMV tidak menginduksi gejala atau hanya menimbulkan gejala ringan, namun akan mengakibatkan tanaman menjadi lemah sehingga dapat diinfeksi oleh patogen lainnya (Safari et al. 2009). CarMV dapat ditularkan melalui organ perbanyakan tanaman, alat-alat pertanian, kontak antartanaman, namun tidak dapat ditularkan melalui vektor serangga (Singh et al. 2005; Safari et al. 2009).

Di Indonesia belum ada laporan mengenai insidensi penyakit belang yang disebabkan oleh CarMV, namun beberapa penelitian mulai dilakukan sebagai upaya pengendalian penyakit ini. Stone (2008) melaporkan ke-berhasilan eleminasi CarMV dari tanaman anyelir melalui teknik kultur meristem. Distribusi stek tanaman sebagai bahan propagasi anyelir dari satu daerah ke daerah lain dapat menyebabkan penyebaran CarMV. Oleh karena itu, rekomendasi pengendalian penyakit belang pada anyelir ialah dengan penggunaan benih bebas virus yang diperoleh melalui teknik kultur jaringan.

Page 19: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Haerunisa et al.

91

Tabe

l 1 H

omol

ogi s

ikue

n nu

kleo

tida

seba

gian

gen

pro

tein

selu

bung

Car

natio

n m

ottle

vir

us is

olat

isol

at d

ari I

ndon

esia

dan

neg

ara

lain

.

Isol

at

Car

MV

No

akse

siA

sal

Ting

kat s

imila

ritas

(%)

12

34

56

78

910

1112

1314

Cip

anas

-C

ipan

asID

Cip

utri

-C

iput

ri98

.6ID

Cih

ideu

ng-

Cih

ideu

ng98

.798

.7ID

Jap

AJ3

0949

5Je

pang

97.9

97.5

97.4

IDA

usA

J309

492

Aus

tralia

97.9

97.5

97.4

100

IDM

g 16

69

JX20

7141

Bra

zil

98.1

97.7

97.6

97.2

97.2

IDIs

r-2A

J309

501

Isra

el98

.297

.897

.997

.397

.398

.1ID

Nl-2

AJ3

0949

7B

elan

da98

.397

.997

.897

.597

.598

.298

.2ID

Sp-m

AJ3

0950

9Sp

anyo

l98

.197

.797

.697

.197

.197

.697

.699

.0ID

Mah

alla

t-2D

Q09

2486

Iran

98.2

97.9

97.7

97.1

97.1

97.9

97.8

98.4

98.0

IDFr

AJ3

0949

4Pe

ranc

is98

.097

.697

.599

.999

.997

.397

.497

.697

.297

.2ID

Col

AJ3

0949

3K

olom

bia

98.0

97.6

97.5

99.9

99.9

97.3

97.4

97.6

97.2

97.2

100

IDSo

lan

AJ8

4454

9In

dia

98.2

97.8

97.7

97.5

97.5

98.3

98.6

98.6

98.1

98.3

97.6

98.2

IDM

NSV

*A

B23

2925

Jepa

ng41

.441

.441

.441

.641

.641

41.5

40.9

41.1

41.3

41.6

41.6

41.3

ID*M

elon

nec

rosi

s spo

t vir

us (M

NSV

) dis

erta

kan

seba

gai o

utgr

oup

Page 20: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Haerunisa et al.

92

DAFTAR PUSTAKA

Cevik B, Bakir T, Koca G. 2010. First report of Carnation mottle virus in Turkey. Plant Pathol. 59(2):394. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-3059.2009.02181.x.

Chen CC, Ko WF. 2003. First report of Carnation mottle virus in Calla lily (Zantedeschia spp.). Plant Dis. 87(12):1539. DOI: http://dx.doi.org/10.10 94/PDIS.2003.87.12.1539C.

Lommel SA, McCain AH, Mayhew DE, Morris TJ. 1983. Survey of commercial carnation cultivars for four viruses in California by indirect enzyme-linked immunosorbent assay. Plant Dis. 67(1):53–56. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-67-53.

Safari M, Habibi MK, Mosahebi G, Dizadji A. 2009. Carnation mottle virus, an important viral agent infecting carnation cut-flower crops in Mahallat of Iran. Commun Agric Appl Biol Sci. 74(3):861–865.

Singh HP, Hallan V, Raikhy G, Kulshrestha S, Sharma ML, Ram R, Garg ID, Zaidi AA. 2005. Characterization of an Indian

isolate of Carnation mottle virus infecting carnations. Current Sci. 88(4):594–601.

Stone OM. 2008. The elimination of four viruses from carnation and sweet william by meristem-tip culture. Ann Appl Biol. 62(1):119–122. DOI: http://dx.doi.org/10. 1111/j.1744-7348.1968.tb03855.x.

Tah J, Mamgain A. 2013. Variation in different agronomical characters of some carnation (Dianthus caryophyllus) cultivars. Res J Biol. 1:10–23.

Waterworth HE, Kaper JM. 1972. Purification and properties of Carnation mottle virus and its ribonucleic acid. Phytopathology. 62(9):959–964. DOI: http://dx.doi.org/10. 1094/Phyto-62-959.

Zheng YX, Chen CC, Jan FJ. 2011. First report of Carnation mottle virus in Phalaenopsis Orchids. Plant Dis. 95(3):354. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-10-10-0757.

Gambar 3 Kladogram berdasarkan sikuen nukleotida sebagian gen protein selubung Carnation mottle virus isolat Cipanas, Cihideung, dan Ciputri dari Indonesia dan negara lain menggunakan program MEGA 5.05. Melon necrosis spot virus (MNSV) disertakan sebagai out group.

CipanasCihideng

CiputriBrazilIsrael

Belanda

Spanyol

IndiaBrazil

JepangAustraliaPerancis

KolombiaMNSV

Page 21: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

Volume 10, Nomor 3, Juni 2014Halaman 93–97

DOI: 10.14692/jfi.10.3.93

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

93

Identifikasi Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Jeruk

Identification of Citrus Basal Stem Rot DiseaseEka Retnosari, Julinda Bendalina Dengga Henuk, Meity Suradji Sinaga*

Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) menjadi kendala utama dan faktor pembatas produksi jeruk nasional. Penelitian bertujuan mengidentifikasi penyebab BPB pada tanaman jeruk dari 11 daerah produksi jeruk di Indonesia. Metode identifikasi patogen dilakukan melalui pengamatan karakter morfologi secara makroskopi dan mikroskopi. Uji Postulat Koch dilakukan untuk meyakinkan penyebab penyakit. Dua jenis patogen, yaitu Botryodiplodia theobromae, dan Phytophthora citrophthora terbukti sebagai penyebab penyakit BPB. B. theobromae ditemukan dari semua sampel tanaman, sedangkan P. citrophthora hanya ditemukan dari sampel tanaman asal Soe (Nusa Tenggara Timur). Uji Postulat Koch membuktikan bahwa dua spesies cendawan tersebut menyebabkan gejala penyakit busuk pangkal batang pada tanaman jeruk yang diinokulasi.

Kata kunci: Botryodiplodia theobromae, karakter morfologi, Phytophthora citrophthora, Postulat Koch

ABSTRACT

One major disease of citrus is basal stem rot which may cause significant constraint on citrus production in Indonesia. Research was initiated to identify the causal agent of basal stem rot disease from 11 citrus growing areas in Indonesia. Identification of fungal pathogens was based on macroscopic and microscopic observation of morphological characters. Koch Postulate was conducted to confirm the causal agent of the disease. Two fungal pathogens, Botryodiplodia theobromae, and Phytophthora citrophthora were found associated with basal stem rot disease. B. theobromaewere isolated from all plant samples, whereas P. citrophthorawas only isolated on samples from Soe (East Nusa Tenggara). Characteristic symptoms of basal stem rot disease was developed on plants inoculated with B. theobromae and P. citrophthora; this confirmed that two fungal isolates was the causal agent of basal stem rot disease.

Key words: Botryodiplodia theobromae, Koch postulate, morphological character, Phytophthora citrophthora

PENDAHULUAN

Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura penting dan bernilai ekonomi tinggi. Salah satu kendala utama produksi jeruk ialah gangguan hama dan penyakit.

Sejak tahun 1970 kondisi pertanaman jeruk di Indonesia mengalami degradasi dan hampir mengalami kehancuran karena terserang penyakit yang sangat membahayakan, yaitu penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD) dan Tristeza. Penyakit CVPD

ISSN: 0215-7950

Page 22: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Retnosari et al.

94

dilaporkan menyebar secara luas di Indonesia dan menyebabkan penurunan produksi jeruk (Taufik et al. 2010).

Akhir-akhir ini dilaporkan adanya insidensi penyakit busuk pangkal batang (BPB) di beberapa sentra penanaman jeruk di Indonesia. Penyakit BPB atau disebut juga penyakit blendok menyebar sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian tanaman saat masih di pembibitan maupun tanaman yang sudah berproduksi di lapangan. Tanaman jeruk yang terserang menunjukkan gejala busuk pada pangkal batang disertai terbentuknya “blendok” (gumosis) dan mengeluarkan aroma asam (Verniere et al. 2004). Savita et al. (2012) melaporkan bahwa Phytophthora parasitica (P. nicotianae ), P. palmivora, dan P. citrophthora merupakan spesies penting yang menginfeksi jeruk.

Gejala mirip busuk pangkal batang juga sering ditemukan pada tanaman jeruk di Indonesia. Penyakit kulit batang yang disebabkan oleh Botryodiplodia spp. menyebabkan gejala berupa blendok berwarna kuning yang keluar dari batang atau cabang-cabang besar. Kulit batang yang sakit akan terkelupas, penyakit terus berkembang sehingga pada kulit batang terjadi luka yang tidak teratur, meluas tetapi dangkal. Umumnya infeksi baru diketahui jika daun-daun telah menguning sehingga batang atau cabang yang sakit sudah mengalami kematian (Sado et al. 2008; Gusnawaty dan Mariadi 2013)

Sampai saat ini belum ada identifikasi yang tepat mengenai patogen utama BPB di sentra produksi jeruk di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab BPB jeruk dengan metode konvensional berdasarkan karakter morfologi cendawan patogen. Identifikasi penyebab penyakit yang akurat sangat diperlukan sebagai dasar menyusun strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien.

BAHAN DAN METODE

Sampel Tanaman SakitPengumpulan bahan tanaman sakit

dilakukan dari 11 daerah sentra produksi jeruk

yang ada di Indonesia, yaitu Garut (Jawa Barat), Jember dan Malang (Jawa Timur), Kintamani (Bali), Soe (Nusa Tenggara Timur), Banjarmasin dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan), Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muara Jambi (Jambi), dan Tulang Bawang Barat (Lampung). Bahan tanaman sakit berupa batang jeruk yang menunjukkan gejala serta tanah di sekitar pertanaman jeruk yang terserang.

Isolasi Patogen dari Bahan Tanaman SakitIsolasi dari batang dilakukan dengan

metode penanaman jaringan. Sampel batang dicuci dengan air mengalir, kemudian dipotong dan didesinfeksi dengan merendamnya dalam kloroks 0.5% selama satu menit. Potongan batang dibilas menggunakan air steril sebanyak tiga kali, kemudian ditanam pada medium agar-agar kentang dekstrosa (ADK). Koloni isolat cendawan yang tumbuh dan menunjukkan ciri koloni Phytophthora spp. dibiakkan pada medium agar-agar V8 untuk merangsang sporulasinya .

Isolasi sampel tanah dilakukan dengan metode pengumpanan buah apel. Pengumpanan dilakukan dengan cara melubangi buah apel dengan pembor gabus sedalam ± 1 cm, sebelumnya buah apel diberi perlakuan desinfeksi dengan NaOCl 1%. Sampel tanah dimasukkan ke dalam lubang pada buah apel, kemudian lubang ditutup dengan selotip, dan diinkubasi selama 2–3 hari pada suhu ruang. Jika terlihat gejala bercak yang muncul pada buah, bagian yang bergejala tersebut diambil dan dibiakkan pada medium ADK dan medium selektif agar-agar V8.

Identifikasi Patogen Berdasarkan Karakter Morfologi

Identifikasi patogen secara makroskopi dilakukan dengan mengamati warna koloni, tipe koloni, dan lama pertumbuhan cendawan pada medium ADK dan agar-agar V8. Identifikasi secara mikroskopi dilakukan untuk menentukan karakter morfologi Phytophthora yang meliputi bentuk dan ukuran sporangium, sporangiofor, papila, septum hifa, dan klamidospora. Karakter

Page 23: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Retnosari et al.

95

morfologi Botryodiplodia atau Diplodia yang diamati meliputi hifa, stroma, piknidium, konidiofor, klamidospora, bentuk dan ukuran konidium. Kunci identifikasi Phytophthora menggunakan Erwin dan Ribeiro (1996) dan Botryodiplodia menggunakan Barnett dan Hunter (1998).

Uji Postulat KochUji ini dilakukan menggunakan batang

planlet dan bibit jeruk varietas Japanese citroen. Batang disemprot dengan air steril, dibersihkan menggunakan kloroks 0.5%, dan dibilas dengan air steril. Permukaan batang dilukai dengan jarum sebanyak 5 kali tusukan. Potongan biakan murni patogen berumur 6 hari ditempelkan pada bagian luka tersebut, kemudian ditutup dengan kapas yang dibasahi air steril dan diselotip. Insidensi penyakit ditentukan berdasarkan gejala yang muncul.

HASIL

Penyebab Penyakit Botryodiplodia spp. ditemukan dari

semua sampel tanaman sakit, sedangkan Phytophthora spp. hanya ditemukan dari sampel asal Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur.

Koloni Botryodiplodia spp. awalnya berwarna putih dan pertumbuhannya aerial, namun setelah hari ke-4 miselium menjadi abu-abu sampai kehitaman dan setelah 7 atau

8 hari menjadi berwarna hitam. Secara umum pertumbuhan Botryodiplodia spp. sangat cepat pada medium ADK. Hifa Botryodiplodia spp. bersekat, hialin dan menjadi kecokelatan sejalan umur. Pembentukan klamidospora secara interkalar. Pertumbuhan piknidium pada medium ADK sangat lambat, yaitu ± 30 hari setelah isolasi. Ketika koloninya dipindahkan ke medium agar-agar air yang diberi potongan jerami padi steril maka piknidium dibentuk pada hari ke-14. Pembentukan piknidium terjadi secara berkelompok dalam stroma. Piknidium berisi banyak konidium muda dan konidium matang, keduanya berbentuk ovoid dan elipsoid. Konidium muda berwarna hialin, dindingnya terdiri atas dua lapisan, berbentuk granular dan tidak bersekat. Konidium matang berwarna cokelat, dinding selnya hanya satu lapisan dan memiliki satu sekat sehingga membentuk dua sel. Ukuran konidium bervariasi dengan panjang 18.8 – 31.9 μm dan lebar 11.3–18.8 μm (Tabel 1). Berdasarkan karakter morfologi yang diamati secara mikroskopi, isolat tersebut merupakan B. theobromae.

Koloni Phytophthora spp. yang dibiakkan pada medium ADK dapat tumbuh memenuhi cawan berdiameter 9 cm pada 12 hari setelah inokulasi; sedangkan pada medium agar-agar V8 pertumbuhan koloni lebih cepat, yaitu 10 hari setelah inokulasi. Hifa tidak bersekat, bercabang, hialin, terdapat bagian yang membengkak. Klamidospora membulat

Tabel 1 Ukuran konidium Botryodiplodia theobromae

Asal isolat Panjang (p) (μm)

Lebar (l) (μm)

Rata-rata p x l (μm)

Nisbah p : l

Berastagi 26.3–30.0 13.1–15.0 27.8 x 14.3 2.0Kampar 26.3–28.1 13.1–16.9 27.4 x 14.6 1.9Muara Jambi 24.4–28.1 13.1–16.9 26.3 x 15.0 1.8Tulang Bawang Barat 24.4–28.1 15.0–16.9 26.3 x 15.4 1.7Garut 26.3–30.0 15.0–16.9 27.8 x 16.1 1.7Jember 28.1–30.0 15.0–18.8 28.5 x 16.9 1.7Malang 22.5–26.3 13.1–15.0 24.8 x 14.3 1.7Kintamani 18.8–24.4 11.3–15.0 21.8 x 13.1 1.7Soe 18.8–26.3 11.3 22.5 x 11.3 2.0Banjarbaru 24.4–26.3 15.0 25.5 x 15.0 1.7Banjarmasin 28.1–31.9 15.0–18.8 29.6 x 16.5 1.8

Page 24: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Retnosari et al.

96

dibentuk secara interkalar. Bentuk sporangium tidak beraturan atau asimetris, dapat dibedakan menjadi 3 jenis (Gambar 1). Sporangium tipe c berukuran lebih besar dibandingkan dengan sporangium tipe a dan b (Tabel 2). Berdasarkan kunci identifikasi Erwin dan Ribeiro (1996), isolat Phytophthora spp. yang berasal dari Kabupaten Soe (NTT) ialah P. citrophthora.

Uji Postulat KochPada tanaman kontrol tidak terlihat

munculnya gejala, sedangkan tanaman yang diinokulasi menunjukkan gejala berupa nekrosis pada titik inokulasi setelah permukaan batang disayat. Planlet Japanese citroen yang diinokulasi menunjukkan gejala klorosis yang berkembang menjadi nekrotik dan membentuk gumosis, akhirnya mengalami kematian. Perkembangan pertumbuhan dan infeksi B. theobromae lebih cepat dibandingkan dengan P. cithrophthora meskipun gejala awal berupa klorosis terbentuk pada waktu yang sama, yaitu 3 hari setelah inokulasi. Gejala pada bibit berupa gejala cekung pada permukaan kulit batang dan mengeluarkan gumosis yang terlihat bening ketika basah dan menjadi cokelat keemasan setelah mengering. Bercak meluas sampai mengelilingi batang dan akar membusuk sehingga bibit mengalami kematian.

PEMBAHASAN

Penyakit BPB yang menyerang tanaman jeruk tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan kehilangan hasil. Penyakit tersebut menyebabkan daun, bunga, dan buah mengering dan rontok pada semua stadium pertumbuhan tanaman di pembibitan maupun di lapangan. Gejala khas penyakit BPB berupa busuk pada batang bawah atau di sekitar mahkota akar dekat dengan permukaan tanah. Busuk batang ditandai oleh jaringan batang dan kambium berwarna cokelat kekuningan. Pada permukaan batang, infeksi sering tampak seperti terlokalisasi atau sering kelihatan tidak meluas walaupun sebenarnya infeksi sudah meluas pada kambium dan menyebabkan jaringan batang retak, hancur dan mengeluarkan gumosis. Pada batang di atas permukaan tanah, gumosis dapat terjadi berlebihan, sedangkan di bawah permukaan tanah pembentukan gumosis berkurang karena biasanya terserap oleh air tanah (Savita et al. 2012).

Pengendalian penyakit BPB terutama dilakukan secara kultur teknis dan kimiawi. Efisiensi pestisida nabati dari kulit biji mete untuk menekan penyakit kulit diplodia telah diteliti Gusnawaty dan Mariadi (2013). Pengendalian secara kultur teknis yang

Tabel 2 Ukuran sporangium Phytophthora citrophthora

* Bentuk sporangium P. citrophthora ialah asimetris (distorsi).

Tipe sporangium*

Panjang (p) (μm)

Lebar (l) (μm)

Rata-rata p x l (μm)

Nisbah p : l

a 14.2–19.3 11.3–16.9 18.8 x 15.0 1.3b 11.3–16.9 9.1–14.2 15.0 x 13.1 1.1c 24.4–28.1 14.2–19.3 26.3 x 18.8 1.4

Gambar 1 Bentuk asimetri sporangium Phytophthora citrophthora.

a b c

Page 25: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Retnosari et al.

97

dianjurkan ialah melalui penanaman jeruk di atas gundukan-gundukan setinggi 20–25 cm, tetapi tanaman tidak dibumbun agar batang atas tidak berhubungan dengan tanah. Benih disarankan menggunakan mata tempel setinggi 30–35 cm dari permukaan tanah untuk mengurangi kemungkinan batang atas yang rentan terinfeksi cendawan tanah. Selama pertumbuhan tanaman harus diupayakan untuk mengurangi kelembapan kebun dan mengatur drainase, memperhatikan sanitasi lingkungan atau kebun. Pelukaan pada akar dan pangkal batang harus dihindari. Apabila ditemui gejala tanaman yang terserang berat harus segera dibongkar dan dibakar. Demikian pula, bagian tanaman yang menunjukkan gejala awal harus dipotong dan dibakar. Setelah dipotong, bagian kulit batang yang sehat di sekitarnya diolesi fungisida karbendazim 6.2% ditambah dengan mankozeb atau tembaga oksiklorida 73.8%. Tindakan pencegahan penyakit secara kimiawi umumnya dilakukan dengan pengolesan ter (Carbolineum plantarum 50%) pada pangkal batang dan akar-akar yang tampak dari luar sampai setinggi 50 cm. Perlakuan tersebut dianjurkan dimulai pada tahun ketiga setelah penanaman dan setiap awal musim hujan (Alvarez et al. 2008; Savita et al. 2012).

Hasil identifikasi cendawan membuktikan bahwa B. theobromae merupakan patogen penyebab penyakit BPB di 11 daerah (Garut, Jember, Malang, Kintamani, Soe, Banjarmasin, Banjarbaru, Berastagi, Kampar, Muara Jambi, dan Tulang Bawang Barat) serta P. citrophthora di daerah Soe (Nusa Tenggara Timur. Dari daerah Banjarmasin juga diperoleh isolat Gliocladium sp., tetapi isolat tersebut terbukti bukan penyebab penyakit BPB. Hasil ini merupakan konfirmasi bahwa penyebab utama BPB pada jeruk di Indonesia ialah B. theobromae.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez LA, Vincent A, De la Reca E, Bascon J, Abad-Campos P, Aremongal J. 2008. Branch cankers on citrus tress in Spain caused by Phytophthora citrophthora. Plant Pathol. 57(1):84–91. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-3059.2007.01702.x.

Barnett HL, Hunter BB. 1998. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4.Minnesota (US): Burgess Publishing Company.

Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. Minnesota (US): APS Press.

Gusnawaty HS, Mariadi. 2013. Pengendalian penyakit diplodia (Botryodiplodia theobromae Pat.) pada tanaman jeruk dengan pestisida nabati (Phymar C) di Sulawesi Tenggara. Agriplus. 23(2):98–102.

Sado F, Yumi I, Keisuke T, Satoshi T, Atsushio, Kazuko T. 2008. Black band of jew’s marrow caused by Lasiodiplodia theobromae. J Gen Plant Pathol. 74:91–93. DOI: http://dx.doi.org/10.1007/s10327-00 7-0056-2.

Savita, Virk GS, Nagpal A. 2012. Citrus diseases caused by Phytophthora species. GERF Bull Biosci. 3(1):18–27.

Taufik M, Kharuni A, Pakki T, Giyanto. 2010. Deteksi keberadaan citrus vein phloem degeneration (CVPD) dengan teknik polymerase chain reaction (PCR) di Sulawesi Tenggara. J HPT Tropika. 10(1):73–79.

Verniere C, Cohen S, Raffanel B, Dubois A, Venars P, Panabieres F. 2004. Variability in pathogenicity among Phytophthora spp. isolated from citrus disease in Corsica. J Phytopathol. 152(8–9):476–483. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1439-0434. 2004.00878.x.

Page 26: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

Volume 10, Nomor 3, Juni 2014Halaman 98–102

DOI: 10.14692/jfi.10.3.98

KOMUNIKASI SINGKAT

Penyakit Keriting Pada Tanaman Pepaya Di Bogor

Leaf Curl Disease of Papaya in Bogor

Maria Ulfa Putri Yoeshinda, Widodo*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Pepaya termasuk salah satu tanaman buah yang banyak ditanam dan dikonsumsi di Indonesia. Sejak tahun 2011 dilaporkan munculnya penyakit baru, yaitu penyakit keriting yang disebabkan oleh Cladosporium cladosporioides. Penelitian dilakukan untuk mengamati keadaan serangan penyakit keriting pada tanaman pepaya di Bogor dan menentukan faktor-faktor cara budi daya tanaman yang dapat berpengaruh terhadap insidensi penyakit keriting. Berdasarkan pengamatan lapangan di Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja diketahui bahwa penyakit keriting sudah menyebar secara merata, dengan insidensi penyakit berturut-turut mencapai 87% dan 96% dan rata-rata keparahan penyakit berkisar 24-28%. Secara umum, tingkat insidensi penyakit pada pepaya tipe sedang (Caliporan) atau pola tanam monokultur lebih rendah dibandingkan dengan pepaya tipe besar (Bangkok) atau pola tanam tumpang sari. Tingkat keparahan penyakit tidak menunjukkan perbedaan berdasarkan jenis pepaya dan pola tanam. Cara-cara budi daya yang lain tidak menunjukkan pengaruh yang menonjol, baik terhadap tingkat insidensi maupun keparahan penyakit.

Kata kunci: insidensi penyakit, keparahan penyakit, monokultur, tumpangsari

ABSTRACT

Papaya is widely grown and consumed in Indonesia as a favorite fruit. Since 2011, a new disease was reported in Bogor, i.e. leaf curl disease caused by Cladosporium cladosporioides.Therefore, a survey was conducted in Bogor to determine the status of leaf curl disease of papaya and to identify some agricultural practices that may affect disease development. Based on field observation conducted in Bogor, subdistricts Rancabungur and Sukaraja, it was evidenced that leaf curl disease has been widely spread, with disease incidence reached 87 % and 96%, respectively and disease severity in both areas reached 24–28%. Although disease severity was not different, disease incidence was generally lower in papaya field cultivating var. Caliporan (medium type fruit)or in monoculture cropping system compared to those cultivating var. Bangkok (large type fruit) or multiple cropping system. Other cultivated practices did not seem to cause significant effect on disease incidence and severity.

Key words: disease incidence, disease severity, monoculture, multiple cropping system

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Produktivitas tanaman pepaya sangat ditentukan oleh gangguan hama dan penyakit. Penyakit-penyakit penting yang sering dilaporkan menyerang tanaman pepaya di Indonesia ialah penyakit busuk akar dan

pangkal batang, bercak daun cercospora, bercak daun corinespora, penyakit tepung, antraknosa, mosaik, bercak cincin dan busuk rhizopus. Akhir-akhir ini dilaporkan adanya penyakit baru di pertanaman pepaya di

98

ISSN: 0215-7950

Page 27: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Yoeshinda dan Widodo

daerah Bogor, yaitu penyakit keriting yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. Gejala serangan penyakit ini terutama terlihat pada daun muda berupa bintik-bintik kuning yang selanjutnya bintik tersebut mengalami nekrosis sehingga daun berlubang. Jika serangan berat daun-daun muda tersebut akan mengeriting dan tajuk tanaman tidak berkembang sempurna (Widodo dan Wiyono 2012).

Penyakit keriting masih tergolong penyakit baru di Indonesia. Survei penyakit untuk mengetahui status serangan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit di lapangan perlu dilakukan. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk mengamati keadaan serangan penyakit keriting di beberapa sentra pertanaman pepaya di daerah Bogor dan menentukan faktor-faktor cara budi daya yang mungkin berpengaruh terhadap penyakit tersebut.

Daerah survei di Bogor meliputi Kecamatan Rancabungur dan Kecamatan Sukaraja. Pada masing-masing kecamatan tersebut ditentukan 3 desa yang memiliki area penanaman pepaya paling luas, selanjutnya ditentukan 3 kebun pepaya dengan luas lahan berkisar antara 200 sampai 2000 m2 pada setiap desa. Penghitungan insidensi dan keparahan penyakit dilakukan berdasarkan pengamatan pada tanaman contoh yang ditentukan secara sistematis, yaitu mengambil tanaman yang terdapat pada baris genap. Persentase insidensi penyakit dihitung sebagai proporsi jumlah tanaman bergejala terhadap jumlah seluruh tanaman contoh pada baris tanaman yang ditentukan. Keparahan penyakit dihitung dengan rumus sebagai berikut:

KP, keparahan penyakit; ni, jumlah tanaman yang terserang pada kategori ke-i; vi, kategori

kerusakan ke-i; N, jumlah tanaman yang diamati; V, nilai kategori serangan tertinggi dengan nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan tiap tanaman contoh (Tabel 1).

Wawancara terstruktur dengan petani melibatkan 8 petani dari Kecamatan Rancabungur dan 5 petani dari Kecamatan Sukaraja. Wawancara yang dilakukan meliputi aspek cara-cara budi daya dan tindakan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dilakukan oleh petani pepaya.

Varietas pepaya yang umum ditanam oleh petani di Kecamatan Rancabungur ialah varietas Caliporan, sedangkan di Kecamatan Sukaraja ialah varietas Bangkok. Varietas Caliporan memiliki keunggulan pada keseragaman bentuk dan ukuran buah sehingga harga jualnya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Bangkok. Menurut petani responden varietas Bangkok lebih mudah perawatannya dan lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan varietas Caliporan. Sebanyak 77% petani memperoleh benih dari hasil panen sebelumnya, sedangkan lainnya membeli benih dari petani yang lain. Benih yang dibuat sendiri oleh petani biasanya diambil dari buah pepaya yang penampilannya bagus.

Sebanyak 31% petani menanam pepaya secara monokultur dan lainnya secara tumpang sari dengan tujuan memanfaatkan lahan sebelum tanaman pepaya berproduksi sehingga menambah pendapatan petani. Biasanya tanaman yang dipilih untuk pola tanam tumpang sari adalah tanaman yang cepat panen, diantaranya cabai, terung, kunyit, talas, singkong, bengkoang, dan pisang. Pupuk yang digunakan oleh petani dalam budi daya tanaman pepaya ialah pupuk kandang, urea, NPK, KCl, TSP, dan ZA. Sebagian besar

Skor Keadaan serangan Kriteria0 Tidak ada daun yang menunjukkan gejala Sehat1 0–25% tajuk menunjukkan gejala Ringan2 26–50% tajuk menunjukkan gejala Sedang3 51–75% tajuk menunjukkan gejala Berat4 76–100% tajuk menunjukkan gejala Sangat berat

Tabel 1 Nilai kategori kerusakan tanaman

99

KP = Σ(ni.vi)/N.V x 100% , dengan

Page 28: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Yoeshinda dan Widodo

petani (92%) menggunakan pupuk kandang dan pupuk sintetis, sedangkan sebagian kecil hanya menggunakan pupuk kandang saja. Selain itu petani juga menggunakan pupuk daun Gandasil B dan Gandasil D. Frekuensi penyiangan gulma dilakukan petani responden bervariasi: < 3 bulan sekali (38.5%), 3 bulan sekali (38.5%), dan tidak tentu (23.1%). Pengendalian gulma dilakukan dengan cara konvensional menggunakan cangkul dan tidak ada yang memakai herbisida.

Sebagian besar petani menggunakan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit dan hanya 31% petani yang tidak menggunakan pestisida selama budi daya. Beberapa petani menggunakan pestisida bergantung pada kondisi serangan hama dan penyakit. Dalam praktiknya pestisida diaplikasikan bersamaan dengan aplikasi pupuk daun. Jenis pestisida yang paling banyak digunakan ialah insektisida untuk mengendalikan hama kutu. Sebanyak 15% petani hanya menggunakan fungisida, 46% petani menggunakan insektisida saja, 8% petani menggunakan kedua jenis pestisida. Pestisida yang banyak digunakan petani mengandung bahan aktif imidakloprid, dimetoat, deltametrin, mankozeb atau karbaril. Frekuensi aplikasi pestisida yang dilakukan petani responden, yaitu 1 bulan sekali (23% petani) atau> 1 bulan sekali (46% petani).

Gejala penyakit keriting pada pepaya diawali dengan terbentuknya bercak-bercak kecil berwarna kuning pada daun, kemudian diikuti dengan nekrosis pada bagian tengah bercak, selanjutnya bagian nekrosis tadi akan luruh dan terbentuk lubang-lubang. Gejala penyakit terutama terlihat pada daun pepaya, tetapi penyakit ini berpotensi mengakibatkan kehilangan hasil. Serangan berat yang terjadi pada daun muda menyebabkan daun yang baru terbentuk tidak dapat berkembang dengan sempurna sehingga proses fotosintesis juga tidak berjalan maksimum dan buah tidak dihasilkan secara optimum. Penyakit yang sama di Taiwan dilaporkan menyebabkan gejala penggabusan jaringan pada bagian buah pepaya sehingga penyakit tersebut dinamakan penyakit kudis (Chen et al. 2009).

Spesies C. cladosporioides sebagai kompleks spesies telah berhasil diisolasi dari berbagai substrat, baik dari tanaman budi daya gandum, kacang panjang, kapri, biji kapas, pepaya, apel, maupun dari tanah (Grabowski 2007; Bensch et al. 2010; Mansour AMA 2010). Beberapa spesies lain, C. cladosporioides, C. oxysporum, dan C. sphaerospermum, dilaporkan sebagai patogen pada tanaman tomat, cabai merah, dan paprika, serta dapat terbawa benih pada masing-masing tanaman (Sati et al. 1989). Spesies C. cladosporioides juga telah diisolasi dari produk pascapanen seperti mentimun dan melon yang menunjukkan gejala busuk (Fatima et al. 2009). Dengan demikian, kemungkinan cendawan ini juga dapat bertahan pada jaringan tanaman pepaya yang gugur ke lahan.

Upaya pengelolaan penyakit yang disebabkan oleh genus cendawan tersebut telah dilaporkan, diantaranya menghindari naungan yang terlalu banyak agar tidak terjadi pengembunan berlebih, penggunaan benih yang bebas patogen atau perendaman benih dalam air dengan suhu 50 °C selama 25 menit, mengatur aliran udara sebaik mungkin dan aplikasi fungisida berbahan aktif mankozeb, chorotolanil, atau tembaga (Kwon et al. 2000).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyakit keriting pada pepaya sudah menyebar di Bogor dengan insidensi dan keparahan penyakit yang hampir seragam. Insidensi penyakit mencapai >90%, kecuali di Desa Rancabungur (Tabel 2). Walaupun insidensi penyakit tergolong tinggi, rata-rata keparahan penyakit hanya tergolong ringan sampai sedang, yaitu berkisar antara 22.1% dan 31.9%. Insidensi penyakit tampak lebih tinggi pada kebun-kebun yang ditanami varietas Bangkok (96.5%) dibandingkan dengan kebun-kebun yang ditanami varietas Caliporan (82.8%) (Tabel 3). Perbedaan insidensi penyakit juga terlihat pada kebun-kebun dengan pola tanam yang berbeda. Insidensi penyakit pada pola tanam tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Pola tanam tumpangsari memberikan peluang bagi patogen untuk menginfeksi lebih banyak

100

Page 29: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Yoeshinda dan Widodo

tanaman inangnya. Salah satu jenis tanaman tumpang sari yang digunakan oleh petani ialah cabai merah yang diketahui merupakan tanaman inang C. cladosporioides (Sati et al. 1989). Faktor frekuensi penyiangan gulma yang lebih sering dan teratur (3 bulan sekali) terlihat dapat menurunkan tingkat insidensi penyakit karena tindakan tersebut akan mengurangi tingkat kelembapan kebun.

Penggunaan fungisida disarankan dalam pengendalian penyakit ini, tetapi karena hanya 15% petani yang menggunakan fungisida maka keadaan tingkat insidensi penyakit ini di lokasi pengamatan relatif tinggi. Meskipun belum ada laporan tentang terbawanya patogen ini oleh benih pepaya, tetapi

Sati et al. (1989) melaporkan adanya potensi spesies cendawan ini dapat terbawa oleh benih tomat, cabai dan paprika. Mengingat sebagian besar petani responden menggunakan benih dari buah di pertanaman sendiri maka ada peluang hal ini akan menyebabkan insidensi penyakit yang selalu tinggi di lahan.

Meskipun penyakit keriting dianggap tidak terlalu penting, tetapi sebaiknya tetap diwaspadai karena penyakit ini dapat mengurangi hasil produksi, terutama jika serangan terjadi pada bagian daun pucuk. Beberapa faktor budi daya tanaman, terutama pemilihan varietas pepaya dan pola tanam, dapat berpengaruh terhadap insidensi penyakit. Sifat C. cladosporioides yang dapat

Faktor budi daya tanaman Insidensi penyakit (%) Keparahan penyakit (%)Varietas

Caliporan 82.8 25.5Bangkok 96.5 26.2

Pola tanamMonokultur 82.5 28.3Tumpangsari 95.5 24.7

Jenis PupukKandang 95.4 25.3Kandang dan sintetis 90.7 26.0

Penyiangan Gulma<3 bulan sekali 93.6 25.5Setiap 3 bulan 86.3 26.9Tidak menentu 96.0 24.6

Tabel 3 Rata-rata insidensi dan keparahan penyakit keriting pepaya berdasarkan beberapa faktor budi daya tanaman di Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, Bogor

101

Lokasi Insidensi penyakit (%) Keparahan penyakit (%)Kecamatan Rancabungur

Desa Rancabungur 63.6 22.1Desa Pasir Gaok 96.3 31.9Desa Mekarsari 100.0 28.8

Kecamatan SukarajaDesa Cikeas 96.9 24.7Desa Nagrak 96.6 24.6Desa Sukatani 93.7 23.4

Tabel 2 Rata-rata insidensi dan keparahan penyakit keriting pada pepaya di Kecamatan Rancabungur dan Sukaraja, Bogor

Page 30: Evaluasi Trichoderma dalam Mengendalikan Penyakit Rebah ...fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/vol-10-no.3.pdfDalam budi daya tanaman cabai, penyakit rebah kecambah merupakan

J Fitopatol Indones Yoeshinda dan Widodo

hidup dalam bahan organik, terutama sisa-sisa tanaman di tanah, dapat meningkatkan insidensi penyakit saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bensch K, Groenewald JZ, Dijksterhuis J, Starink-Willemse M, Andersen B, Summerell BA, Shin HD, Dugan FM, Shcroers HJ, Braun U, Croups PW. 2010. Species and ecological diversity within the Cladosporium cladosporioides complex (Davidiellaceae, Capnodiales). Studies Mycol. 67:1–94. DOI: http://dx.doi.org/10. 3114/sim.2010.67.01.

Chen RS, Li JC, Wang YY, Tsay JG. 2009. First report of papaya scab caused by Cladosporium cladosporioides in Taiwan. Plant Dis. 93(4):426. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PDIS-93-4-0426C.

Fatima N, Batool H, Sultana V, Ara J, Haqu SE. 2009. Prevalence of post-harvest rot of vegetables and fruits in Karachi, Pakistan. Pak J Bot. 41(6):3185–3190.

Grabowski M. 2007. The study of new fungusspecies causing apple sooty blotch. Fol Hort. 19(2):89–97.

Mansour AMA. 2010. Contribution to knowledge of some soil fungi in eastern region in Lybia. J Product Dev. 15(3):395–404.

Sati MC, Dhyani AP, Khulbe RD. 1989. Distribution and seed-plant transmission of Cladosporium spp. in red pepper, bell pepper and tomato crops of Kumaun Himalaya, UP, India. Proc Indian Natn Sci Acad. B55(4):291–294.

Widodo, Wiyono S. 2012. Penyakit keriting daun pepaya yang disebabkan Cladosporium cladosporioides. J Fitopatol Indones. 8(2):28–29. DOI: http://dx.doi.org/10.14692/jfi.8.1.28.

102