evaluation of registration and documentation management based on museum directorate standard,...
DESCRIPTION
Discover the harmony between system of management registration and documentation which implemented by the Batik Museum of Yogyakarta with the standard or Directorate Museum, Department Of Culture And TourismTRANSCRIPT
Judul Skripsi:
Evaluasi Sistem Manajemen Registrasi Dan Dokumentasi Berdasarkan Standar
Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata (Studi Kasus:
Museum Batik Yogyakarta)
Title :
Evaluation Of Registration And Documentation Management Based On Museum Directorate Standard, Department Of Culture And Tourism
(Study Case: Yogyakarta’s Batik Museum)
ABSTRAKSI SKRIPSI
Evaluasi Sistem Manajemen Registrasi Dan Dokumentasi Berdasarkan Standar Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata (Studi Kasus: Museum Batik Yogyakarta). Penulis : Tulus Wichaksono Tahun lulus : 2008 Pembimbing : Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. Topik:
Mengetahui keserasian sistem registrasi dan dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta yang terletak di Jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta dengan sistem yang digunakan oleh Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan metode evaluasi sehingga nantinya akan memberikan rekomendasi untuk pengembangan museum di masa mendatang. Permasalahan dan tujuan: Permasalahan:
1. Bagaimanakah sistem registrasi dan dokumentasi koleksi di Museum Batik Yogyakarta?
2. Apakah sistem registrasi dan dokumentasi koleksi di Museum Batik Yogyakarta sudah sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum?
Tujuan: Mengetahui keserasian antara sistem manajemen registrasi dan dokumentasi
yang diterapkan Museum Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Metode: Penalaran : induktif Sifat penelitian: evaluatif. Pendekatan : evaluasi Kesimpulan:
Setelah melalui tahapan penilaian, maka penilaian untuk mengetahui keserasian antara sistem manajemen registrasi dan dokumentasi yang diterapkan Museum Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata mendapatkan kategori cukup.
Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah peneliti dapat memberikan model system manajemen dan dokumentasi yang sesuai dengan standar ICOM, sehingga museum ini nantinya dapat menggunakan system internasional. Kata kunci: arkeologi; museulogi
Abstracts Evaluation Of Registration And Documentation Management Based On Museum Directorate Standard, Department Of Culture And Tourism (Study Case: Yogyakarta’s Batik Museum) Writer : Tulus Wichaksono Graduation year : 2008 Counselor : Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. Topic:
To Know the relation between registration and documentation system in Yogayakarta’s Batik Museum, which is located on jalan Dr. Sutomo, Yogyakarta with the system that is used by the Museum Directorate, Department Of Culture And Tourism, with evaluation method so there will be a recommendation for museum development in near future. Problems and Purpose: Problems:
1. How are the registration and documentation system in Yogyakarta’s Batik Museum?
2. Are the registration and collection documentation system meets the standard issued by the Museum Directorate?
Purpose: Discover the harmony between system of management registration and
documentation which implemented by the Batik Museum of Yogyakarta with the standard or Directorate Museum, Department Of Culture And Tourism. Method: Reasoning : inductive Research characteristic : evaluative Rapprochement : evaluation Conclusion:
Following the appraisal step, to discover the harmony between system of management and documentation which implemented by Batik Museum of Yogyakarta with the standard of Directorate Museum, Department Of Culture And Tourism had achieve adequately category.
Researcher was expected to make a model system of management registration and documentation appropriate with ICOM’s standard, for later in the future the museum can apply the international standard system as a model. Key Word: archeology; museology.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Tulus Wichaksono
NIM : 00/140246/SA/11879
Jurusan : Arkeologi
Alamat : Jl. Meranti I, No.8, Kelurahan Jatiwaringin, Kecamatan
Pondok Gede, Kota Madya Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Dengan ini menyatakan bersedia mempublikasikan skripsi saya dengan judul
“Evaluasi Sistem Manajemen Registrasi Dan Dokumentasi Berdasarkan Standar
Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata (Studi Kasus:
Museum Batik Yogyakarta)”.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya untuk kemajuan
ilmu pengetahuan di Indonesia.
Yogyakarta, 17 April 2008
Tulus Wichaksono
EVALUASI SISTEM MANAJEMEN REGISTRASI DAN
DOKUMENTASI BERDASARKAN STANDAR
DIREKTORAT MUSEUM
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
(STUDI KASUS: MUSEUM BATIK YOGYAKARTA)
Oleh:
Tulus Wichaksono 00/140246/SA/11879
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2007
EVALUASI SISTEM MANAJEMEN REGISTRASI DAN
DOKUMENTASI BERDASARKAN STANDAR
DIREKTORAT MUSEUM
DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
(STUDI KASUS: MUSEUM BATIK YOGYAKARTA)
Oleh:
Tulus Wichaksono 00/140246/SA/11879
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
dalam Ilmu Arkeologi 2007
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar acuan pustaka.
Yogyakarta, Desember 2007
Tulus Wichaksono
ii
Skripsi ini diterima oleh Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Pada Tanggal ............... Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum.
Ketua
Drs. Tjahjono Prasodjo, M.A. Sekretaris
Drs. Tular Sudarmadi, M.A. Penguji Utama
iii
KATA PENGANTAR
Terima kasih penulis ucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan dengan judul: “Evaluasi Sistem Manajemen Registrasi dan Dokumentasi
Berdasarkan Standar Direktorat Museum Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
(Studi Kasus: Museum Batik Yogyakarta)”. Penulis menyadari masih terdapat
banyak kekurangan dalam skripsi ini. Dengan bantuan, kritikan, dan saran dari
berbagai pihak, kekurangan tersebut akhirnya dapat terpenuhi.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
bersedia memberikan dukungan baik moral maupun material, serta membantu
memberikan berbagai masukan dan kritikan yang membangun bagi penulis. Sekali
lagi penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing akademik
sekaligus dosen pembimbing skripsi yang selalu menyediakan waktunya
untuk terus membimbing penulis hingga mampu menyelesaikan tugas akhir
ini.
2. Dr. Inajati Adrisijanti, selaku Ketua Jurusan Arkeologi dan seluruh staff
pengajar Jurusan Arkeologi FIB UGM yang telah memberikan wawasan dan
pengetahuan tentang segala hal, baik akademis maupun non akademis.
3. Bapak Drs. Bejo Haryono yang telah banyak memberikan pengetahuan
tentang permuseuman.
4. Bapak Hadi Nugroho dan Ibu Dewi Hadi Nugroho selaku pemilik museum
yang telah memperkenankan penulis melakukan penelitian di Museum Batik
Yogyakarta, staff Museum Batik Yogyakarta Ibu Sri Purwani dan Bapak
Prayogo yang telah memberikan banyak kemudahan selama penulis
melakukan pengambilan data di lapangan.
iv
5. Staff Perpustakaan Balai Besar Batik Yogyakarta, perpustakaan Museum
Sonobudoyo unit I, perpustakaan UPT UGM unit I dan unit II, perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya UGM, perpustakaan Jurusan Arkeologi FIB UGM yang
telah menyediakan litelatur sehingga kebutuhan data sekunder dalam
penulisan skripsi ini dapat terpenuhi.
6. Keluarga Bapak H. Kardjono dan Ibu Hj. Endang Kusumaningsih yang tiada
henti mendorong penulis untuk terus tekun menjalankan studi serta
menemani penulis hingga akhir penulisan. Kedua kakakku Laksono
Kurniawan dan Yoga Wibowo, kakak ipar Silvy serta keponakanku Carren
Syafira yang telah memberikan semangat untuk terus menyelesaikan
penulisan skripsi.
7. Agustine Dwi Kurniawati yang telah menemani penulis dalam mencari, dan
menganalisis data di lapangan, serta menterjemahkan beberapa literatur
berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
8. Keluarga Bapak Rony Subijatno di Bantul yang telah menyediakan tempat
tinggal selama proses pengambilan data skripsi.
9. Keluarga Eyang Maria Sri Maryati di Kalasan yang telah menjadi wali selama
penulis menempuh studi di Yogyakarta.
10. Pengelola industri Batik Plentong, terutama Bapak Hadisuwito atas informasi
dalam wawancara proses pembuatan batik.
11. Teman-teman Jurusan Arkeologi angkatan 2000 Universitas Gadjah Mada
yang telah menjadi tempat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran selama
proses penulisan berlangsung.
12. Teman-Teman Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada dengan
misi tri darmanya yang telah menjadi tempat untuk bertukar pikiran dan
saran sehingga penulis memperoleh masukan selama proses penulisan.
v
13. Teman-Teman Pencinta Alam Lab School, terutama Tommy Schricandra
Satriatomo, Mahyuzar, Andono Nugrahadi, Ryan Febian, Muhammad Fahmi,
Annisa Anwar, Puti Maharani, Estu Prameswari atas dukungan, diskusi, dan
peminjaman buku-buku tentang museum, serta terjemahan literatur
berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia.
14. Teman-teman fotografi, Acink di Visual Solution, Dimas Susilohadi di
Perfect Circle, Blasius Bayu dan Barori Furqon di Mawa Art Photography
yang telah memberikan kritik foto selama proses pengambilan data skripsi.
15. Taufik Istiqhal di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata atas data-data
produk hukum tentang benda cagar budaya dan museum yang berkaitan
dengan penulisan skripsi ini.
16. Diniartha Ikha Muharram yang telah bersedia menyumbangkan keahliannya dalam
menggambar peta dan lampiran dalam skripsi ini.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….... iii
DAFTAR FOTO ………………………………………………………………….... viii
DAFTAR PETA ……………………………………………………………………. xi
DAFTAR DENAH ………………………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….. xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….. xiv
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………………… xv
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
C. Tinjauan Pustaka
D. Metode Penelitan
II. GAMBARAN UMUM MUSEUM BATIK YOGYAKARTA …………………. 18
A. Administrasi, geografis, dan lingkungan.
B. Sejarah Kain Batik .
C. Sejarah Berdirinya Museum Batik Yogyakarta .
D. Lingkungan Fisik dan Koleksi Museum Batik Yogyakarta .
III. SISTEM REGISTRASI dan DOKUMENTASI MUSEUM ………………... 67
A. Ruang Lingkup Studi Museologi.
B. Standard Direktorat Museum Tentang Sistem Registrasi dan
Dokumentasi
C. Sistem Registrasi dan Dokumentasi pada Museum Batik
Yogyakarta
vii
IV. EVALUASI SISTEM MANAJEMEN REGISTRASI DAN
DOKUMENTASI MUSEUM BATIK YOGYAKARTA ……………………... 108
A. Perbandingan dan Penilaian Sistem Manajemen Registrasi dan
Dokumentasi Museum Batik Yogyakarta Dengan Standar Direktorat
Museum
B. Rekomendasi Untuk Perkembangan Museum Batik Yogyakarta
V. PENUTUP ………………………………………………………………........ 123
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………. 125
DAFTAR NARASUMBER ………………………………………………………... 130
LAMPIRAN ………………………………………………………………………… 131
A. Buku Registrasi Koleksi
B. Buku Induk Inventaris Koleksi
C. Buku Inventaris Koleksi
D1. Kartu Registrasi Sisi Muka
D2. Kartu Registrasi Sisi Belakang
DAFTAR ISTILAH ………………………………………………………………… 136
viii
DAFTAR FOTO
Foto No. 2.1 : Batik motif kawung ………………........................... 28
Foto No. 2.2 : Batik motif parang rusak …………………………… 29
Foto No. 2.3 : Batik motif cemukiran ………………………………. 30
Foto No. 2.4 : Batik motif sawat ……………………………………. 30
Foto No. 2.5 : Batik motif udan liris ………………………………… 31
Foto No. 2.6 : Batik motif semen romo ……………………………. 32
Foto No.2.7 : Batik motif alas-alasan ……………………………... 33
Foto No. 2.8 : Kain panjang Indramayu …………………………… 34
Foto No. 2.9 : Batik cirebon motif mega mendung ………………. 36
Foto No. 2.10 : Kain panjang Pekalongan …………………………. 37
Foto No. 2.11 : Sarung bang-biron dari Lasem ……………………. 38
Foto No. 2.12 : Kain Tuban ………………………………………….. 39
Foto No. 2.13 : Kain panjang Madura motif buk …………………… 40
Foto No. 2.14 : Gawangan yang digunakan dalam proses
membatik pada industri batik Plentong …………...
41
Foto No. 2.15 : Anglo yang biasa digunakan dalam poses
membatik ……………………………………………..
42
Foto No. 2.16 : Anglo, wajan, dan malam serta canting sebagai
peralatan membatik …………………………………
43
Foto No.2.17 : Canting dalam berbagai bentuk dan kegunaan …. 44
Foto No. 2.18 : Malam sebagai bahan inti dalam teknik penahan
warna dalam membatik ……………………………..
45
Foto No. 2.19 : Proses nyorek pada industri batik Plentong ……... 46
Foto No. 2.20 : Proses medel pada industri batik Plentong ……… 47
Foto No. 2.1 : Proses soga pada industri batik Plentong ……….. 48
ix
Foto No. 2.22 : Proses nglorot pada industri batik Plentong ……... 48
Foto No. 2.23 : Proses batik cap pada industri batik Plentong …... 49
Foto No. 2.24 : Neraca yang digunakan dalam meracik pewarna
buatan pada indutri batik Plentong ………………..
50
Foto No. 2.25 : Pintu masuk samping pada Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………..
57
Foto No. 2.26 : Ruang Pengenalan dan Ruang Pasren pada
Museum Batik Yogyakarta ………………………….
58
Foto No. 2.27 : Ruang Jawa Solo pada Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………...
59
Foto No. 2.28 : Ruang Pesisiran pada Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………..
60
Foto No. 2.29 : Ruang Perawatan pada Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………...
61
Foto No. 2.30 : Toko Cendera Mata dan Galeri pada Museum
Batik Yogyakarta …………………………………….
62
Foto No. 2.31 : Museum Sulaman yang menjadi satu dengan
Museum Batik Yogyakarta ………………………….
63
Foto No. 2.32 : Aktivitas pada Ruang Batik Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………...
63
Foto No. 2.33 : Ruang Perpustakaan pada Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………...
64
Foto No.2.34 : Pencahayaan dan sistem sirkulasi udara pada
Museum Batik Yogyakarta ………………………….
66
Foto No. 3.1 : Pencahayaan di Museum TNI AU Dirgantara
Mandala, Yogyakarta ……………………………….
78
x
Foto No. 3.2 : display dengan media panil pada Museum Bank
Indonesia, Jakarta …………………………………..
81
Foto No. 3.3 : Display rekontruksi pada Museum Bank
Indonesia, Jakarta …………………………………..
82
Foto No. 3.4 : Display Audio Visual Pada Museum Bank
Indonesia, Jakarta …………………………………..
82
Foto No. 3.5 : Virtual Display pada Museum Bank Indonesia,
Jakarta ……………………………………………….
83
Foto No. 3.6 : Label pendahuluan pada Museum Bank
Indonesia, Jakarta …………………………………..
97
Foto No. 3.7 : label grup pada Museum Sonobudoyo,
Yogyakarta …………………………………………..
98
Foto No. 3.8 : Label individual pada Museum Sonobudoyo,
Yogyakarta …………………………………………..
98
Foto No. 3.9 : Label identifikasi pada koleksi Museum Pusat TNI
AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta ……………...
99
Foto No. 3.10 : Kartu registrasi pada Museum Batik Yogyakarta .. 103
Foto No. 3.11 : Label individu pada Museum Batik Yogyakarta …. 104
Foto No. 3.12 : Berita Acara pada Museum Batik Yogyakarta …... 106
xi
DAFTAR PETA
Peta No. 2.1 : Keletakan Museum Batik Yogyakarta terhadap
museum lain di Yogyakarta ………………………………
51
xii
DAFTAR DENAH
Denah No. 2.1 : Pembagian Ruangan di Museum Batik Yogyakarta ….. 56
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel No. 1.1 : Evaluasi rencana penelitian …………………………….. 12
Tabel No. 1.2 : Matriks rencana evaluasi penelitian …………………… 14
Tabel No. 1.3 : Proses evaluasi penelitian ……………………………… 17
Tabel No. 2.1 : Bahan alam untuk pembuatan pewarna alami batik ….. 50
Tabel No. 2.2 : Struktur pengurus Yayasan Batik Yogyakarta ………… 52
Tabel No. 2.3 : Alur tata pameran Museum Batik Yogyakarta ………… 55
Tabel No. 3.1 : Struktur organisasi museum ……………………………. 74
Tabel No. 3.2 : Kode inventaris jenis koleksi ……………………………. 88
Tabel No. 3.3 : Ukuran kolom buku registrasi dan koleksi ……………. 90
Tabel No. 3.4 : Ukuran kolom buku induk inventaris koleksi ………….. 91
Tabel No. 3.5 : Ukuran kolom buku inventaris koleks …………………. 91
Tabel No. 3.6 : Prosedur administrasi koleksi …………………………… 93
Tabel No. 3.7 : Struktur organisasi Museum Batik Yogyakarta ………... 101
Tabel No. 3.8 : Prosedur administrasi koleksi Museum Batik
Yogyakarta …………………………………………………
102
Tabel No. 4.1 : Matriks evaluasi penelitian ………………………………. 116
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Buku registrasi koleksi berdasarkan standar
Direktorat Musem, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata …………………………………………….
131
Lampiran B : Buku induk inventaris koleksi berdasarkan
standar Direktorat Musem, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata ……………………….
132
Lampiran C : Buku inventaris koleksi berdasarkan standar
Direktorat Musem, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata …………………………………………….
133
Lampiran D1 : Kartu registrasi sisi muka berdasarkan standar
Direktorat Musem, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata ……………………………………………
134
Lampiran D2 : Kartu registrasi sisi belakang berdasarkan
standar Direktorat Musem, Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata ……………………….
135
xv
DAFTAR SINGKATAN
°c : derajat celcius
BI : Bank Indonesia
BPS : Biro Pusat Statistik
cm : centimeter
Depbudpar : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
dkk. : dan kawan-kawan
DVD : Digital Compact Disc
FIB : Fakultas Ilmu Budaya
H. : Haji
ha : hektare
HB : Hamengku Buwana
Hj. : Hajah
hlm. : halaman
ICOM : International Council of Museum
JPEG : Joint Photographic Experts Group
km : kilometer
KRT. : Kanjeng Raden Tumenggung
mb : mili bar
mdpl : meter diatas permukaan laut
mm : mili meter
MURI : Museum Rekor Indonesia
PB : Paku Buwana
S.H. : Sarjana Hukum
SDM : Sumber Daya Manusia
xvi
TIFF : Tagged-Image File Format
TL : Tube Luminescent
tt : tanpa tahun
TV : Televisi
UGM : Universitas Gadjah Mada
UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural
Organization
UPT : Unit Pelaksana Teknis
VCD : Video Compact Disc
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hubungan manusia dengan masa lampau adalah hal yang mutlak karena
manusia tidak dilahirkan dalam kehampaan. Perkembangan biologis dan kultural
adalah hasil dan warisan manusia selama beribu tahun. Demi kemantapan
perkembangan manusia ke depan, pengetahuan mengenai masa lampau sama
pentingnya dengan pengetahuan mengenai lingkungan, jika manusia berpegang
pada prinsip tersebut maka semua kegiatan arkeologi yang berupa penelitian untuk
mengungkapkan masa lampau maupun pelestarian, sepenuhnya adalah
pengabdian kepada masyarakat.
Semua kegiatan dalam bidang arkeologis, khususnya di Indonesia dibiayai oleh
uang rakyat yang diperoleh pemerintah melalui pajak. Oleh karena itu setiap
individu yang bekerja dalam bidang arkeologi harus menyadari bahwa dalam
menjalankan kegiatan melayani masyarakat untuk memperoleh haknya
mengetahui masa lampau harus sepenuhnya disadari oleh orang yang bekerja
dalam bidang arkeologi dalam melaksanakan kegiatannya, dan bukan sekedar
melaksanakan tugas fungsional sebagai jawatan atau membuktikan keilmiahannya
(Direktorat Permuseuman 1997a, 41).
Davis (1992, 97) dalam satu tulisannya mengemukaan apakah tinggalan
arkeologi penting untuk sebuah ilmu pengetahuan? Jawabnya adalah hampir semua
tinggalan arkeologi untuk ilmu pengetahuan. Kemudian pertanyaan kedua adalah
apakah semua tinggalan arkeologi penting untuk publik? Maka, jawabannya adalah
tidak selalu, tetapi tergantung dari situs dan bagian apakah yang dibicarakan oleh
masyarakat umum.
2
Letak kepulauan Indonesia yang strategis di antara dua samudra dan dua benua,
pulau-pulau dengan muara sungai yang lebar, pantai-pantai dengan teluk-teluknya
menjadikan wilayah ini pada masa lalu sebagai pusat perdagangan. Selain rempah-
rempah yang menjadi komoditas utama perdagangan, barang-barang tekstil juga
menjadi salah satu primadona perdagangan di nusantara. Barang tekstil tersebut
dibawa oleh para pedagang yang berasal dari negeri Arab, Cina, dan India.
Selanjutnya barang tekstil tersebut diperjualbelikan dengan alat tukar uang ataupun
menggunakan sistem barter dengan barang lain yang dianggap senilai. Salah satu
contoh komoditas tekstil yang menjadi primadona perdagangan di nusantara adalah
kain batik.
Batik adalah kain bergambar yang pembuatannya dilakukan secara khusus
dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian
pengolahannya diproses dengan cara tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia
2001, 112). Teknik yang digunakan dalam pembuatan batik adalah penahan warna
(resist dye). Kain bergambar dari pengolahan khusus tersebut menjadikan kain batik
sebagai barang komoditas yang banyak diminati oleh pedagang untuk
diperjualbelikan, perdagangan tersebut kemudian dikaitkan dengan sejarah
masuknya batik di Indonesia.
Pendapat mengenai masuknya batik di Indonesia hingga saat ini dikelompokkan
menjadi dua. Pendapat pertama adalah yang mengatakan bahwa batik berasal dari
luar Indonesia seperti Cina dan India, sedangkan pendapat kedua mengatakan
bahwa batik berasal dari Indonesia.
Rouffaer dan Jaynboll adalah penganut pendapat pertama. Mereka mengatakan
bahwa batik Indonesia pertama kali dibawa oleh para pedagang dari Kalingga,
Koromandel, dan India. Pernyataan tersebut didasarkan pada teknik yang
digunakan untuk pencelupan batik yang hampir sama dengan yang ada di
Indonesia. Di Cina, pembuatan batik semacam itu sudah berlangsung sejak masa
3
T’ang (Laran) dan Suku Hmongnya yang sampai pertengahan abad XX M masih
membuat batik dengan semacam gips (Lombard 2000, 193).
Pendapat kedua dinyatakan oleh R.M. Sucipto Wiryosuparto yang menolak
pernyataan Rouffaer dengan alasan di Kalingga tidak ditemukan motif-motif
tradisional yang sama dengan batik di Indonesia, seperti motif ceplok, motif kawung,
dan motif lereng. Motif-motif tersebut merupakan motif yang terkenal pada abad
VIII-XIII M (Susanto 1980, 307).
Pendapat tersebut dikuatkan dengan pernyataan Kern bahwa batik merupakan
salah satu unsur kebudayaan bangsa Indonesia yang sudah berkembang sebelum
datangnya pengaruh Hindu. Menurut Kern, sebelum kedatangan pengaruh Hindu,
bangsa Indonesia telah mengenal sepuluh keterampilan, di antaranya adalah
astronomi, batik, gamelan, ilmu hitung, mata uang, pemerintahan yang teratur,
penanaman padi di sawah, pengerjaan logam, teknologi pelayaran, dan wayang
(Ayatrohaedi 1986, 156-159).
Perbedaan lain adalah proses pewarnaan yang dilakukan di India menggunakan
cairan panas mendidih, sedangkan di Indonesia menggunakan cairan dingin. Selain
itu perbedaan dapat ditemukan pula pada warna yang dihasilkan (Tirtaamidjaja
1966, 3).
Menurut KRT. Hardjonegoro, batik lahir di dalam kalangan petani. Biasanya para
petani melakukan pekerjaan membatik sebelum mereka turun ke sawah, dan
apabila telah datang musim panen, maka pekerjaan membatik dihentikan. Pada
zaman Kerajaan Mataram Islam, karena adanya perhatian khusus dari keraton,
maka batik masuk ke lingkungan keraton. Masuknya batik ke keraton merupakan
manifestasi dari pengabdian kepada raja. Setelah memasuki lingkungan keraton,
teknik pembuatan batik makin diperhalus, baik motif maupun teknik pewarnaannya.
Untuk mendukung hal tersebut perlu diciptakan motif-motif batik bermutu tinggi,
4
sehingga layak dipersembahkan kepada raja dan keluarga (Helmi dan Mujiyono
1992, 52).
Pemakaian alat memberi corak tersendiri pada corak batik. Batik Indonesia
dengan menggunakan canting merupakan salah satu penyebab tingginya mutu
kesenian kain batik yang dapat memperlihatkan keindahan yang sama pada sisi
dalam maupun sisi luar kain. Hal ini tidak terdapat dalam kain batik karya dari India
Selatan yang hanya menggunakan stempel atau pena kayu sebagai alat pembatik
yang hanya memperhatikan bagian luar saja (Tirtaamidjaja 1966, 3). Selain itu
teknik penahan warna tidak hanya terdapat pada daerah yang mengalami pengaruh
Hindu, tetapi juga terdapat di daerah lain seperti Toraja, Flores, Halmahera, bahkan
Papua.
Adapun daerah industri batik di Pulau Jawa antara lain: Jakarta, Cirebon,
Ciamis, Garut, Indramayu, Tasikmalaya, Purwokerto, Kebumen, Purworejo,
Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Solo, Wonogiri, Pekalongan, Lasem, Tegal, Kudus,
Tulungagung, Ponorogo, Mojokerto, Gresik, dan Sidoarjo.
Penggunaan kain berwarna dan bermotif hidup di masa klasik, kemudian
berkembang sampai masa Islam, dan penyebutan istilah batik mulai digunakan.
Kata batik tepatnya muncul pada tahun 1769 dalam sebuah aturan yang ditulis oleh
Sri Susuhunan Pakubuwono III dengan menggunakan bahasa Jawa. Kemudian
pada tahun 1820, kata batik juga digunakan dalam Serat Centhini yang ditulis oleh
Adipati Anom yang kemudian menjadi Sinuwun PB V. PB VIII juga menggunakan
kata batik dalam naskah yang berisi aturan penggunaan busana kebesaran Keraton
Yogyakarta, di antaranya adalah batik, payung, warna busana, dan ornamen
(Nurjanti 1993, 175).
Sebagai sebuah produk kebudayaan, batik merupakan warisan budaya yang
harus dilestarikan karena batik mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan sehingga layak disebut sebagai benda cagar
5
budaya. Bentuk pelestarian warisan tersebut salah satunya adalah melalui museum
sebagai lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan
benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna
menunjang perlindungan dan pelestarian kekayaan bangsa.
Ilmu tentang museum dan permuseuman, yang meliputi museum dan
lingkungannya serta sistem pengelolaannya disebut museologi. Museologi sebagai
studi tentang material culture, terutama benda-benda tinggalan kebudayaan yang
tersimpan dalam koleksi museum hakikatnya adalah mempelajari manajemen
koleksi. Oleh karena itu dasar-dasar museologi, registrasi dan dokumentasi,
konservasi, perancangan pameran, serta survei pengunjung dan evaluasi
dikelompokkan untuk mempertajam analisis kajian museologi (Dwiyanto 1998a, 4-
5).
Registrasi adalah kegiatan pencatatan suatu benda, setelah benda tersebut
ditentukan secara resmi menjadi koleksi museum, ke dalam buku induk registrasi.
Pencatatan dilakukan pula terhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan koleksi
tersebut, seperti berita acara, dan surat wasiat. Hasil pencatatan ini sangat
diperlukan untuk penelitian koleksi lebih lanjut, karena merupakan sumber informasi
awal dari koleksi tersebut. Registrasi diperlukan dalam proses peminjaman koleksi
atau koleksi yang untuk sementara tidak berada dalam pengawasan museum untuk
beberapa maksud, misalnya untuk pengujian atau identifikasi. Registrasi sebaiknya
disusun untuk membantu menginspeksi secara periodik terhadap koleksi untuk
terjaminnya ketepatan dalam menangani koleksi, serta mengetahui jumlah koleksi
yang dimiliki, titipan, atau yang dikeluarkan. Penyusunan dapat mencegah adanya
penipuan atau pengakuan dari seorang atas kepemilikan koleksi tersebut, dan dapat
membantu ilmuwan dalam penelitian (Direktorat Museum 2007, 7). Sedangkan
dokumentasi objek permuseuman adalah keterangan tertulis mengenai koleksi
museum. Setiap museum sebaiknya telah menetapkan sistem dokumentasi untuk
6
melindungi data koleksi (Direktorat Museum 2007, 5). Sedangkan dokumentasi
objek museum adalah keterangan tertulis mengenai koleksi museum untuk
melindungi koleksi museum, yang didalamnya terdapat fungsi registrasi dan
kuratorial (Direktorat Museum 2007, 5).
B. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Berbagai perundangan dan peraturan yang melindungi objek arkeologi dan
berbagai bentuk warisan budaya yang lain telah dihasilkan oleh pemerintah seperti:
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang
mencakup tujuan dan lingkup BCB; penguasaan, pemilikan, penemuan dan
pencarian BCB; perlindungan dan pemeliharaan BCB; pengelolaan BCB;
pemanfaatan BCB; pengawasan BCB; hingga ketentuan pidana (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 1992), 2. Peraturan Pemerintah Nomor 19
tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di
Museum dapat diartikan sebagai pencerminan usaha untuk menjamin agar
masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang masa lampau secara terus-
menerus. Pada Peraturan Pemerintah ini mencakup tujuan pemeliharaan,
penyimpanan, perawatan, pengamanan, pemanfaatan, persyaratan museum,
pembinaan, dan pengawasan, hingga peran serta masyarakat (Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata, 1995), 3. Surat Keputusan Menteri Nomor
KM.33/PL.303/MKP/2004 Tentang Pengelolaan Museum yang di dalamnya
mencakup berbagai hal dalam bidang permuseuman mulai dari pendirian,
pengelolaan, pendaftaran koleksi museum, pendanaan, hingga pembinaan di
museum (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004).
Museum dapat dibedakan berdasarkan koleksi yang disimpan, berupa museum
umum dan museum khusus. Museum dalam hal ini dapat didirikan oleh instansi
pemerintah, yayasan, atau badan usaha yang dibentuk berdasarkan hukum
7
Indonesia.
1. Museum Umum
Museum umum yang ciri koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material
hasil budaya manusia dan atau lingkungan yang berkaitan dengan berbagai
cabang seni, disiplin ilmu, dan teknologi.
2. Museum Khusus
Museum khusus yang ciri koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material hasil
budaya manusia dan atau lingkungan yang berkaitan dengan satu cabang ilmu
atau cabang teknologi.
Setiap museum memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Sifat ini terjadi karena koleksi
setiap museum berbeda. Kalaupun ada persamaan maka hal itu sangat terbatas,
sehingga jika terdapat adanya standarisasi permuseuman, maka hal itu hanya
merupakan arti administratif. Dalam fungsionalisasi, standar diartikan sebagai
tingkatan mutu. Filsafat dasar setiap museum berhubungan dengan tujuan
museum itu didirikan, dan jenis koleksi di antara berbagai museum merupakan
petunjuk akan persamaan filsafat dasar (Direktorat Permuseuman 1997b, 22).
Museum sebagai sebuah institusi yang di dalamnya pasti mempunyai struktur
yang bertujuan untuk memperlancar kinerja museum tersebut mencapai tujuan
pendiriannya, salah satunya adalah bidang registrasi dan dokumentasi.
Museum Batik Yogyakarta adalah salah satu museum khusus yang berada di
Yogyakarta. Museum ini merupakan museum swasta, dan dimiliki oleh keluarga
Hadi Nugroho, sebuah keluarga pengusaha batik. Museum ini beralamat di Jalan
Dr. Sutomo No. 13 Yogyakarta dan koleksi dari museum ini adalah khusus
menampilkan kain batik dan perlengkapannya yang telah dimiliki oleh tiga generasi
sebelumnya.
8
Dengan koleksinya yang mencapai ribuan, maka tentunya museum ini memiliki
sistem registrasi dan dokumentasi koleksi. Dengan adanya sistem tersebut, tujuan
dari museum ini sebagai museum pemberi kontribusi dalam upaya melestarikan,
mengembangkan, dan mengkomunikasikan batik sebagai karya cipta umat manusia
maupun sebagai khasanah budaya nusantara demi memperkaya akal budi dan
meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan dapat terwujud.
Berdasarkan latar belakang dan kondisi di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem registrasi dan dokumentasi koleksi di Museum Batik
Yogyakarta?
2. Apakah sistem registrasi dan dokumentasi koleksi di Museum Batik
Yogyakarta sudah sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Direktorat
Museum?
Berdasarkan pada rumusan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui keserasian antara sistem manajemen registrasi dan
dokumentasi yang diterapkan Museum Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat
Museum.
Standar acuan yang digunakan dalam evaluasi adalah standar dari Direktorat
Museum, karena instansi ini bertugas untuk melaksanakan penyiapan rumusan
kebijakan, standar, norma, kriteria, dan prosedur serta pemberian bimbingan teknis
dan evaluasi di bidang permuseuman (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2007). Penulis tidak menggunakan standar acuan yang dikeluarkan ICOM, karena
ICOM hanya mengeluarkan acuan yang menjadi rambu-rambu di bidang
permuseuman saja, sedangkan untuk pelaksanaannya diserahkan kepada masing-
masing negara anggota ICOM, karena kebijakan setiap negara akan hal ini
berbeda-beda.
9
A. TINJAUAN PUSTAKA
Museum menurut tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 766) mempunyai
pengertian yaitu gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap
benda-benda yang patut mendapatkan perhatian umum seperti peninggalan
sejarah, seni, dan ilmu. Definisi museum yang dikemukakan oleh Douglas Allan
yang dipergunakan dari tahun 1960 hingga tahun 1967 adalah suatu bangunan
yang berisi berbagai macam koleksi untuk diselidiki, dipelajari, dan dinikmati (Allan
1978, 13). Kemudian definisi dari ICOM sebelum tahun 1974, museum adalah:
Any permanent establishment set up for purpose of preserving, studying, enchanging by various means and, in particular, of exhibiting to the public for its delections and instruction, artistic, historical, scientific and technological collections (Sutaarga 1991, 33).
Pengertian museum yang tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri Nomor
KM.33/PL.303/MKP/2004 Tentang Museum, pasal satu ayat satu disebutkan bahwa
museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan
pemanfaatan benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan
lingkungannya guna menunjang perlindungan dan pelestarian kekayaan bangsa
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004).
Definisi resmi museum yang kini digunakan adalah definisi yang dikeluarkan
dalam rapat umum ICOM ke-10 di Copenhagen, museum adalah lembaga yang
bersifat badan hukum yang tetap, tidak mencari keuntungan dalam pelayanannya
kepada masyarakat, tetapi didirikan untuk kemajuan masyarakat dan
lingkungannya, serta terbuka untuk umum (International Council Of Museum 2007,
3).
Berangkat dari pengertian ICOM bahwa museum didirikan untuk kemajuan
masyarakat dan lingkungannya, maka telah dihasilkan kajian ilmu pengetahuan
mengenai permuseuman, salah satunya adalah sistem manajemen registrasi dan
10
dokumentasi. Kajian yang lengkap tentang evaluasi sistem manajemen registrasi
dan dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta sampai saat ini belum ditemukan.
Sumber pustaka yang ada hanya rata-rata menyajikan tulisan tentang ragam hias
koleksi museum tersebut. Tulisan mengenai Museum Batik Yogyakarta pernah
ditulis oleh Diorita Wijayanti dalam skripsinya menurut sudut pandang arsitektural
(Wijayanti, 2005). Dalam skripsinya ini, Diorita menjelaskan bahwa Museum Batik
Yogyakarta mempunyai landasan konseptual dalam perencanaan dan
perancangannya. Secara umum, Museum Batik Yogyakarta pernah dibahas dalam
booklet yang dikeluarkan oleh Badan Musyawarah Musea (BARAHMUS) DIY
bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia
pada tahun 2004. Sedangkan Alphaliyanri Lasria dalam proyek akhirnya,
membahas tentang optimalisasi media pelengkap pameran (supplementary
exhibition media) sebagai upaya peningkatan peran pendidikan di Museum Zoology
Bogor (Lasria, 2003).
B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang hendak diselesaikan, maka penelitian
ini menggunakan penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian
khusus ke umum.
Kajian khusus dalam penelitian ini adalah data arkeologis dan museologi. Kajian
arkeologis yang disajikan berupa koleksi dari Museum Batik Yogyakarta meliputi
kain-kain batik, dan peralatan membatik yang telah berumur puluhan tahun, serta
memiliki perkembangan gaya dan teknologi. Kajian museologi meliputi pengertian,
fungsi-fungsi dan organisasi museum, museum dan kepariwisataan, dan upaya
pengembangan museum. Adapun kajian yang bersifat umum pada penelitian ini
adalah sistem registrasi dan dokumentasi pada Museum Batik Yogyakarta.
Registrasi dan dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nomor
11
registrasi, buku induk registrasi, kartu registrasi, label registrasi, nomor inventaris,
buku inventaris, kartu inventaris, dan kartu katalog.
Sifat penelitian yang digunakan adalah evaluasi, yaitu penelitian yang
dimaksudkan untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada tolok ukur atau
kriteria tertentu (Arikunto 2005, 227). Kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah mengevaluasi apakah manajemen koleksi dan dokumentasi Museum Batik
Yogyakarta telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktorat Museum,
agar dapat ditarik sebuah kesimpulan akhir dari sebuah penelitian. Evaluasi
mengandung pengertian sebagai proses mengumpulkan informasi, penetapan
kriteria, analisis, pertimbangan, penarikan kesimpulan, dan pengambilan keputusan.
Evaluasi dapat digolongkan dalam tiga jenis evaluasi, yaitu evaluasi awal (pre-
evaluation), evaluasi proses, dan evaluasi akhir. Maka untuk menjawab tujuan
permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode evaluatif, dengan
jenis metode evaluasi proses.
Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan selama proses sedang
berlangsung. Pengamatan dilakukan terhadap komponen-komponen proses atau
unsur kegiatan. Sering pula evaluasi proses tidak dapat dilakukan pada saat proses
sedang berlangsung karena berbagai alasan, misalnya karena waktu yang terlalu
lama, atau juga karena biaya. Apabila hal ini terjadi maka dapat dilakukan evaluasi
terhadap komponen proses pada akhir program. Evaluasi ini lebih bersifat
menyeluruh terhadap semua komponen serta lebih ditujukan untuk melihat
keterkaitan berbagai komponen untuk mencapai tujuan. Evaluasi proses sering pula
disebut evaluasi pelaksanaan.
Metode evaluasi mempunyai prinsip yang sama dengan penelitian ilmiah dengan
ragam bobot mulai yang paling sederhana sampai yang paling ilmiah. Sebagai
suatu kegiatan yang formal dan ilmiah, prinsip dan prosedur ilmiah di dalam
evaluasi perlu diperhatikan. Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam melakukan
12
penelitian evaluasi dicirikan oleh berbagai karakteristik, yaitu: faktual, analisis,
imparsial, objektif, terpercaya.
Proses evaluasi yang dilakukan terhadap sistem manajemen registrasi dan
dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta melalui enam tahap (Irawan 2001, 9),
yaitu:
1. Penentuan Tujuan Evaluasi
Pada tahap pertama ini, semua tujuan evaluasi ditentukan. Proses ini sangatlah
penting karena tahap inilah yang menentukan corak dan proses evaluasi secara
keseluruhan. Dengan tujuan-tujuan yang jelas dan rinci, maka langkah-langkah
berikutnya dapat dengan mudah ditentukan siapa yang akan melakukan apa,
kapan, dan bagaimana.
Evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keserasian antara sistem manajemen registrasi dan dokumentasi yang diterapkan
Museum Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum.
Untuk mempermudah pekerjaan, akan dibuat matriks yang berisi informasi
tentang hal-hal yang berhubungan dengan tahap penentuan tujuan evaluasi ini.
Tabel evaluasi rencana penelitian dapat dilihat dibawah ini:
No Informasi yang dibutuhkan Rincian informasi yang dibutuhkan
1. Sistem manajemen registrasi dan
dokumentasi di Museum Batik
Yogyakarta.
a. Sistem manajemen registrasi Museum
Batik Yogyakarta.
b. Sistem manajemen dokumentasi
Museum Batik Yogyakarta.
2. Apakah sistem manajemen registrasi
dan dokumentasi di Museum Batik
Yogyakarta telah memenuhi standar
Direktorat Museum?
a. Sistem manajemen registrasi Direktorat
Museum.
b. Sistem manajemen dokumentasi
Direktorat Museum.
Tabel 1.1: Evaluasi rencana penelitian.
13
2. Desain Evaluasi
Desain evaluasi atau perancangan evaluasi baru dapat dilaksanakan apabila
telah ditentukan tujuan-tujuan evaluasi. Pada tahap ini, ada dua hal yang
ditentukan, yaitu pendekatan evaluasi apakah yang paling cepat agar tujuan-tujuan
evaluasi yang sudah ditentukan dapat tercapai secara optimal dan siapa yang akan
melakukan evaluasi (Irawan 2001, 11).
Pendekatan evaluasi pada tahap ini adalah penentuan siapa yang akan
melakukan evaluasi. Hal ini diperlukan setelah memperhatikan tingkat kesulitan
untuk mendapatkan sumber informasi. Penelitian evaluasi dapat dilakukan oleh
orang luar (external evaluator) atau orang dalam (internal evaluator). Penelitian
yang dilakukan oleh orang luar ataupun orang dalam mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri. Evaluasi yang dilakukan oleh orang luar, misalnya oleh
konsultan, ahli evaluasi, dan mahasiswa, maka akan memungkinkan proses
evaluasi yang berjalan atau yang dilakukan akan berjalan secara objektif dan akan
menghasilkan hasil-hasil yang lebih objektif pula. Kerugiannya adalah proses
evaluasi yang dilakukan mungkin akan berjalan lebih lama. Hal ini terjadi jika apa
yang akan dievaluasi itu cukup rumit, sehingga orang luar biasanya akan
memerlukan waktu yang lebih banyak untuk melaksanakan tugasnya. Kerugian
lainnya yaitu keterlibatan pihak luar mungkin dianggap sebagai intervensi kepada
pihak yang dievaluasi.
Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam, misalnya pegawai museum itu
sendiri, maka memungkinkan proses evaluasi yang dilakukan akan berlangsung
lebih cepat dan lebih sedikit memakan biaya. Kerugiannya adalah evaluasi ini akan
menghasilkan hasil-hasil yang lebih subjektif. Apalagi jika evaluatornya adalah
mereka yang mempunyai kepentingan pribadi, maka besar kemungkinan mereka
akan melaporkan kebenaran yang kira-kira tidak akan meninggalkan dampak
14
negatif (Irawan 2001, 12). Oleh karena itu untuk mengurangi beberapa tema yang
ada, biasanya evaluasi dilakukan oleh orang luar dan dalam secara bersama-sama.
Evaluasi pada penelitian ini dilakukan oleh penulis. Teknik dan instrumen
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan review
dokumen. Observasi dilakukan dengan cara observasi langsung yaitu, dengan
datang secara langsung ke objek yang akan dievaluasi, dalam hal ini adalah
Museum Batik Yogyakarta. Wawancara dilakukan kepada responden yang
mengetahui seluk beluk tentang sistem registrasi dan dokumentasi yang diterapkan
di Museum Batik Yogyakarta, misalnya Kepala Museum, Kurator, dan Registrar.
sedangkan review adalah cara untuk menggali informasi dengan cara meneliti
dokumen, misalnya dengan buku pedoman dari Direktorat Museum, Peraturan
Tertulis seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Surat Keputusan
Menteri Pariwisata dan Kebudayaan.
Matriks rencana evaluasi penelitian ini adalah sebagai berikut:
No. Subjek Standar
Direktorat Museum
Penerapan di Museum
Batik Yogyakarta Nilai
1. Buku Registrasi
2. Buku Induk Inventaris Koleksi
3. Buku Inventaris Koleksi
4. Katalogisasi Koleksi
5. Kartu Registrasi
6. Prosedur Administrasi Koleksi
7. Label
8. Pemotretan Koleksi
9. Pengukuran Koleksi
10. Berita Acara 11. Aplikasi Komputer
Tabel 1.2: Matriks rencana evaluasi penelitian.
15
3. Pengembangan Instrumen Evaluasi
Pengembangan instrumen evaluasi dilakukan setelah tujuan evaluasi ditentukan
dan desain umum diselesaikan. Setidaknya ada empat instrumen yang selama ini
lazim digunakan dalam suatu evaluasi, yaitu kuesioner, interviu, observasi, dan
review dokumen (Irawan 2001, 14).
Cara perolehan informasi kuesioner dan interviu pada dasarnya sama. Kedua
istilah ini digunakan hanya untuk membedakan bahwa pertanyaan-pertanyaan
dalam kuesioner cenderung tertutup dan terstruktur, sedangkan pertanyaan-
pertanyaan interviu biasanya terbuka dan fleksibel. Observasi atau pengamatan
sudah cukup popular dan sering digunakan dalam penelitian, sedangkan review
adalah cara untuk menggali informasi dengan cara meneliti dokumen, misalnya
dengan buku pedoman dari Direktorat Museum, Peraturan Tertulis seperti Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, dan Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan
Kebudayaan.
Pada tahap ini, harus mulai mengidentifikasi berbagai pertanyaan yang harus
dijawab oleh responden. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa semua pertanyaan
yang akan dibuat harus konsisten dengan informasi yang dibutuhkan serta rincian
yang sudah ditentukan sebelumnya (lihat tabel 1.2). Pertanyaan-pertanyaan yang
dibuat tersebut juga harus sesuai dengan teknik dan instrumen pengumpulan
datanya.
4. Pengumpulan Data
Data dan informasi bisa terkumpul hanya jika sumber informasi atau responden
mau memberikan informasinya kepada evaluator, sehingga evaluator dituntut untuk
dapat berkomunikasi yang baik dengan responden. Untuk mempermudah proses
pengumpulan data, hal yang penting penulis cek kembali adalah: responden,
instrumen penelitian, serta tempat dan waktu pengumpulan data.
16
Responden adalah pegawai museum yang terdiri dari pengelola museum dan
petugas tata usaha. Instrumen penelitian yang digunakan menggunakan data
sekunder berupa buku pedoman yang diterbitkan oleh Direktorat Museum. Waktu
dan tempat pengumpulan data dilakukan di Museum Batik Yogyakarta setiap waktu
berkunjung museum.
5. Analis dan Intrepretasi Data
Analis dan intepretasi data menggunakan komputer dengan alasan kecepatan,
kemudahan, dan ketelitian. Pada tahap ini evaluator dalam hal ini penulis, dituntut
untuk bersikap objektif.
6. Tindak Lanjut
Tujuan dari evaluasi ini adalah mengetahui keserasian antara sistem manajemen
registrasi dan dokumentasi yang diterapkan Museum Batik Yogyakarta dengan
standar Direktorat Museum, sehingga diharapkan hasil dari evaluasi ini dapat
dijadikan tolak ukur dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan Museum
Batik Yogyakarta dikemudian hari.
PROSES EVALUASI META EVALUASI ↓
↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ Penentuan
Tujuan Evaluasi
→ Perancangan
(Desain) Evaluasi
→ Pengembangan
Instrumen Evaluasi
→ Pengumpulan Data →
Analisis dan Interpretasi
Data → Tindak
Lanjut ↓ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
1. Tujuan evaluasi diadakan.
1. Pendekatan model evaluasi yang dipakai.
1. Kesesuaian instrumen dengan data yang dicari.
1. Sifat data kuantitatif.
1. Proses data dengan komputer.
1. Hasil evaluasi ini untuk tolak ukur pengambilan keputusan.
2. Evaluator oleh penulis.
2. Pengujian instrumen.
2. Data tertulis yang tersedia melalui buku pedoman Direktorat Museum.
2. Penafsiran hasil evaluasi.
2. Hasil evaluasi objektif dan absah.
3. Jadwal evaluasi.
3. Responden adalah pegawai museum.
4. Teknik dan instrumen pengumpulan data.
4. Data primer: Museum Batik Yogyakarta.
5. Anggaran. 5. Waktu dan tempat pengumpulan data.
Sumber: Irawan 2001, 9 Tabel 1.3: Proses evaluasi penelitian.
18
BAB II
GAMBARAN UMUM MUSEUM BATIK YOGYAKARTA
A. Administrasi, Geografis, dan Lingkungan
1. Letak dan Lokasi Museum Batik Yogyakarta
Museum Batik Yogyakarta terletak di wilayah Kelurahan Bausasran, Kecamatan
Danurejan, Kotamadya Yogyakarta, DIY. Letak ketinggiannya dari permukaan laut
kurang lebih 155 mdpl (Biro Pusat Statistik 2007, 1). Kecamatan Danurejan terdiri
dari tiga kelurahan, yaitu: Kelurahan Suryatmajan, Kelurahan Tegal Panggung, dan
Kelurahan Bausasran. Secara astronomis, Museum Batik Yogyakarta terletak
110°22’38,29’’ Bujur Timur dan 07°47’44,95” Lintang Selatan.
Secara administratif Museum Batik Yogyakarta dibatasi oleh: 1. sebelah utara
Kecamatan Gondokusuman, 2. sebelah timur kecamatan Gondokusuman, 3.
sebelah selatan Kecamatan Pakualaman, 4. sebelah barat Kecamatan Gedong
Tengen. Wilayah Kecamatan Danurejan dilintasi oleh Sungai Code di sisi barat.
2. Iklim
Secara umum, rata-rata curah hujan tertinggi di Kecamatan Danurejan adalah
586 mm/ tahun. Suhu temperatur udara tertinggi di Kecamatan Danurejan adalah
32° c, dan suhu temperatur udara terendah adalah 22° c (Biro Pusat Statistik 2007,
1).
3. Luas Wilayah
Museum Batik Yogyakarta yang terletak di wilayah Kelurahan Bausasran
merupakan wilayah terluas dengan luas 47,38 ha atau sekitar 42,95%. Sedangkan
wilayah kelurahan lain yaitu Kelurahan Suryatmajan memiliki luas 27,87 ha atau
19
25,27% dan Kelurahan Tegal Panggung dengan luas 35,06 ha atau 31,78 % (Biro
Pusat Statistik 2007, 2).
4. Demografi
Kelurahan Bausasran menempati urutan ke-dua dalam hal kepadatan penduduk
di wilayah Kecamatan Danurejan. Dengan luas 0,4738 km2, Kelurahan Bausasran
memiliki penduduk sejumlah 12.581 jiwa yang terdiri dari 6.893 pria dan 5.688
wanita (Biro Pusat Statistik 2007, 10). Di dalam Kelurahan Danurejan tersebut
terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial, yaitu fakir miskin 412 jiwa,
rumah tidak layak huni 51 buah, dan anak jalanan sejumlah lima jiwa (Biro Pusat
Statistik 2007, 40). Menurut data di kantor polisi, Kelurahan Danurejan merupakan
wilayah dengan tingkat kejahatan tertinggi, dengan rincian pencurian sembilan
kasus, dan penganiyaan tiga kasus (Biro Pusat Statistik 2007, 41).
B. SEJARAH KAIN BATIK
Data arkeologi yang digunakan untuk mendukung keberadaan kain batik adalah
data artefaktual dan data tekstual. Data artefaktual yang digunakan di antaranya
adalah arca dan relief. Adapun data tekstual adalah data yang berupa tulisan-tulisan
kuno baik yang berupa tulisan-tulisan kuno baik prasasti, dokumen-dokumen kuno,
naskah kesusastraan, ataupun berita Cina. Penggunaan data artefaktual dan
kontekstual tersebut didasarkan pada keberadaan indikasi adanya kain batik.
Kain yang digunakan saat ini merupakan hasil budaya manusia yang
berkembang dari masa ke masa. Indikasi awal keberadaan batik mulai muncul pada
masa klasik. Hal ini dibuktikan dengan adanya kain berwarna dan berornamen yang
disebut dalam prasasti. Dalam beberapa prasasti juga disebutkan bahwa kain
termasuk barang yang dikenai pajak dan menjadi salah satu yang diperdagangkan.
20
Pendapat mengenai asal mula batik dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama
adalah anggapan bawa batik berasal dari luar Indonesia (India, Cina) dan yang
kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa batik merupakan produk asli
Indonesia.
Tidak ditemukannya motif-motif tradisional yang sama dengan motif batik di
Indonesia seperti motif ceplok, motif kawung, motif lereng pada daerah Kalingga
merupakan alasan R.M Sucipto Wiryosuparto untuk menolak pernyataan Rouffaer
dan Jaynboll. Motif-motif tersebut adalah motif yang paling terkenal pada abad VIII-
XIII M (Susanto 1980, 307).
Menurut Kern, sebelum kedatangan orang-orang Hindu, Indonesia telah
mengenal sepuluh keterampilan. Keterampilan tersebut di antaranya adalah batik,
wayang, gamelan, pengerjaan logam, mata uang, metrik, teknologi pelayaran,
astronomi, penanaman padi di sawah, dan pemerintahan yang teratur (Ayatrohaedi
1986, 156-159).
Berbagai pengertian tentang batik coba diungkapkan oleh berbagai versi.
Hamzuri (1981, VI) mengatakan batik adalah lukisan atau gambar pada mori yang
dibuat dengan menggunakan alat bernama canting. Orang melukis atau
menggambar atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik. Menurut
tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 112), batik adalah kain bergambar yang
pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada
kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
Menurut KRT. Hardjonegoro dalam karya tulis ilmiah Helmi dan Mujiyono (1992,
52-53), batik lahir di dalam kalangan petani. Pada zaman Kerajaan Mataram,
karena adanya perhatian khusus dari keraton, maka batik masuk ke lingkungan
keraton. Masuknya batik ke keraton merupakan manifestasi dari pengabdian
kepada raja. Setelah memasuki lingkungan keraton, teknik pembuatan batik makin
diperhalus, baik motif maupun teknik pewarnaannya. Untuk mendukung hal tersebut
21
perlu diciptakan motif-motif batik bermutu tinggi, sehingga layak dipersembahkan
kepada raja dan keluarga.
Penciptaan motif-motif batik oleh para empu, tidaklah dilakukan dengan jalan
asal mencoret saja. Sama halnya dengan pembuatan keris, pencarian ilham untuk
sebuah motif batik dilakukan dengan meditasi dan mutih. Karena dalam proses
penciptaan motif-motif tersebut tidaklah dengan cara yang mudah, maka dalam
pemakaian batik yang bermotif sesuai dengan hasil ciptaan melalui meditasi, tidak
bisa digunakan oleh sembarang orang karena batik dibuat dengan motif-motif yang
mengandung magis tinggi. Maka pihak keraton dalam hal ini Sri Susuhunan Paku
Buwana III pada tahun 1769 mengeluarkan peraturan tentang larangan
penggunaannya.
1. Data Artefaktual
Motif batik ditinjau dari segi arkeologis sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-
Budha di Pulau Jawa. Data artefaktual ini dapat ditemukan pada relief candi, dan
atribut yang digunakan oleh arca-arca.
Hal ini dapat dilihat dari ragam hias batik di beberapa bangunan, antara lain
(Departemen Perindustrian 1986, 5-28):
a. Motif Dasar Lereng: terdapat pada pakaian Çiwa, di daerah Gemuruh,
Wonosobo, Jawa Tengah.
b. Motif Lereng: terdapat pada gambar pakaian Manjusri dari Ngemplak,
Semarang sekitar abad XX M.
c. Motif Dasar Ceplok: terdapat pada Arca Ganesa dari Candi Banon, dalam
kompleks Candi Borobudur; pada Arca Çiwa dan Arca Durga dari Candi
Singosari (abad XIII M).
d. Motif yang memakai titik-titik digambarkan pada pakaian Padmapani, dari
zaman kebudayaan Jawa Tengah (abad VIII-X M).
22
e. Motif Dasar Kawung terdapat pada Arca Hari-Hara di Blitar, Arca Çiwa di
Candi Singosari, Arca Budha Mahadewa dari Umpang, dan Bhrkuti dari Candi
Jago, Jawa Timur.
f. Motif Dasar Sidomukti, berbentuk segi empat yang diberi isen-isen garuda
pada Arca Ganesa dan Arca Durga di Candi Singosari.
g. Beberapa motif hias pada kain batik yang banyak dijumpai dalam relief antara
lain adalah motif kertas tempel. Penggunaan motif ini pada candi adalah
sebagai motif penghias pada bidang-bidang yang berbentuk persegi panjang.
Motif ini dapat dijumpai pada beberapa dinding candi di Jawa Tengah,
misalnya Candi Sewu, Candi Borobudur, dan Candi Prambanan.
2. Data Tekstual
Sementara itu, selain terdapat pada bangunan candi, ragam hias batik juga
disebutkan dalam naskah kesusastraan antara lain:
a. Naskah Pararaton yang ditulis antara tahun 1478-1486, disebutkan bahwa
ketika Raden Wijaya hendak maju berperang melawan pasukan dari Cina,
untuk menambah semangat prajuritnya, maka Raden Wijaya membagikan
kain gringsing kepada para prajuritnya sehelai seorang (Pitono dalam
Setiawan 2006, 28). Gringsing adalah motif isen batik klasik khas Yogyakarta.
b. Serat Centhini yang mulai digubah pada tahun 1820 oleh Adipati Anom
Amengku Negara III yang kemudian di sebut Sinuwun Pakubuwana V,
menunjukkan bahwa penggunaan kata mbatik telah digunakan pada masa ini
(Yasandalem Kanjeng Gusti 1985, 58).
Teks (dalam bahasa jawa dengan huruf latin):
21 pangkur 25. Kepek kekalih punika, kang setunggal pan isi
sinjang lurik, warna-warni corekanipun, miwah sinjang prausan, dhetar tepen renda myang praosanipun dene kepek satunggil, isi kampuh gadhung mlathi.
23
34 maskumbang
6. Nyumerepi sawuwaning angi-angi, pon-empon babakan, eron ingkang maedahi, ngektosi kanggening karya.
7. Nganlih nenun nyulam nyongket andondomi, angraronce sekar (m)batik (m)babar adi, mamantes isining wisma.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
21 Pangkur 25. Kedua kantung itu, yang satu berisi kain lurikl
bercorak warna-warni dan kain prada, ikat kepala dengan tepi berenda serta berprada pula, sedangkan kantung yang satu berisi kampuh (kain kebesaran ningrat) bermotif gadhung melati.
34 Maskumbang
6. Mengetahui penggunaan segala daun-daun yang bermanfaat untuk obat-obatan.
7. Bertenun, menyulam, membuat batik sampai dengan menyelesaikannya menjadi kain yang bagus, pandai mengatur rumah.
c. Dalam Layar Damarmulan, seperti yang dikutip oleh D. Hinloopen Laberton
dalam buku Ragam Hias dari Masa ke Masa disebutkan bahwa para prajurit
(ksatria-ksatria) Majapahit dan Blambangan dalam peperangan menunggang
kuda mengenakan kampuh khusus untuk punggawa tertentu di suatu kerajaan
Majapahit, dengan ragam hias motif alas-alasan” (Yusuf dkk. 1988, 5).
d. Naskah Sumanasantaka 19.6 dan naskah Maradahana 4.7 dan 25.10, juga
menyebutkan adanya berbagai jenis pekerjaan yang berhubungan dengan
kain. Penyebutannya adalah anglukis (seniman lukis), anulis (membatik),
asipet (tukang sulam), dan angjahit (tukang jahit) (Pinardi 1992, 211).
e. Undang-undang Manuskrip yang berbahasa Jawa dari Surakarta yang ditulis
oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III pada tahun 1769 berisi tentang peraturan
penggunaan batik di lingkungan keraton. Batik dalam proses penciptaan motif-
motif tersebut tidaklah dengan cara yang mudah sehingga tidak bisa
digunakan oleh sembarang orang karena batik dibuat dengan motif-motif yang
24
mengandung magis yang tinggi. Perundangan ini merupakan sumber tertulis
tertua yang menyebutkan istilah batik yang ditulis dalam Bahasa Jawa
(Soejoko dalam Setiawan 2006, 29).
Teks dalam Bahasa Jawa:
“Ana dene kang arupo jajarit kang kalebu ing
laranganingsun batik sawat lan batik parang rusak,
batik cemungkiri kang calacap, madang, bangun
tulak, lenga-teleng, daragem lan tumpal. Ana dene
batik cumangkirang ingkang a calacap lung-lungan
utama kekembangan, ingkang ingsung
kawenangaken angangoka pepatih-ingsunlan
sentaningsun, kawula ningsun, wedana.”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Adapun yang berupa kain panjang (jarit) yang
termasuk dalam laranganku adalah batik sawat dan
batik parang rusak, batik cemukiran terdiri dari
medang, bangun-tulak, lenga-teleng, daragem dan
tumpal. Adapun batik cemukiran yang terdiri dari
lung-lungan, atau stiliran kembang (bunga). Yang
kuijikan dipakai oleh patih dan kerabatku, hambaku
wedana.”
f. Serat yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII, menyebutkan
peraturan tentang penggunaan kain batik. Serat tersebut berisi aturan-aturan
tentang penggunaan busana kebesaran Keraton Yogyakarta Hadiningrat
terutama yang menggunakan ornamen. Serat ini aslinya ditulis dalam bahasa
dan huruf Jawa, kemudian disalin dalam Bahasa Jawa dengan huruf latin.
Teks dalam Bahasa Jawa dengan huruf latin yang terdapat dalam Bab 3
tersebut, kutipannya seperti berikut ini (Nurjanti 1993, 175):
25
Wujude batikan dodot, sarta bebet prajuritan kaya ing ngisor iki:
1. parang rusak barong gedene sak nduwure gendreh,
2. parang rusak gendreh, dene garisan jupuk saka tengah-tengah mlinjon,
nyiku bener ora luwih saka wolung sentimeter,
3. parang rusak klitik, gedene garisan uga kaya dene prang rusak gendreh,
ananging ora keno luwih saka patang sentimeter,
4. semen gede sawat gruda,
5. semen gede sawat lar kang dudu gruda,
6. udan riris,
7. rujak sente,
8. parang-parangan kang dudu parang rusak, gede cilike garisan hiya
miturut parang rusak,
Sedangkan kutipan yang terdapat dalam Bab 4, adalah sebagai berikut:
1. parang rusak baro,
2. parang rusak gendreh,
3. parang rusak kliti,
4. semen gede sawat gruda,
5. semen gede sawat lar kang dudu gruda,
6. udan liris,
7. rujak sente,
8. parang-parangan kang dudu parang rusak.
Terjemahan dari kutipan tersebut dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai
berikut:
Bab 3
Wujudnya batikan dodot, serta pakaian keprajuritan seperti di bawah ini:
1. parang rusak barong besarnya setinggi(nya) gendreh,
26
2. parang rusak gendreh, (jika) seperti penggaris diambil dari tengah-
tengahnya mlinjon, benar-benar siku tidak lebih dari delapan centimeter,
3. parang rusak klitik, besarnya garis juga seperti parang rusak gendreh,
tetapi tidak boleh lebih dari empat centimeter,
4. semen gede sawat gruda,
5. semen gede sawat lar yang bukan gruda,
6. udan riris,
7. rujak sente,
8. parang-parangan yang bukan parang rusak, besar kecilnya garis juga
menurut parang rusak.
Bab 4
1. parang rusak barong,
2. parang rusak gendreh,
3. parang rusak klitik,
4. parang gede sawat gruda,
5. semen gede sawat lar yang bukan gruda,
6. udan riris,
7. rujak sente,
8. parang-parangan yang bukan parang rusak.
Motif batik pada arca-arca dan relief candi tersebut membuktikan bahwa pada
abad IX-XVI M bangsa Indonesia telah mendapatkan motif lereng ceplok, kawung,
sidomukti, semen, pemakaian isen-isen cecek dan titik, sedangkan India Selatan
baru dimulai pada tahun 1516 dan mencapai puncaknya pada abad XVII-XIX M.
Pemakaian alat memberikan corak tersendiri pada motif batik. Batik Indonesia
dengan menggunakan canting merupakan salah satu wujud tingginya mutu
kesenian kain batik yang dapat memperlihatkan keindahan yang sama dengan pada
sisi luar maupun dalam. Hal ini tidak terdapat di India Selatan yang memakai
27
stempel sebagai alat pembatik sehingga hanya memperhatikan bagian luar saja
(Tirtaamidjaja 1996, 3).
Teknik penahan warna tidak hanya terdapat pada daerah yang mengalami
pengaruh Hindu saja, tetapi juga terdapat pada daerah seperti Toraja (Sulawesi
Selatan), Flores (NTT), Halmahera (Maluku), bahkan hingga Papua.
Motif batik pada umumnya dipengaruhi dan erat hubungannya dengan beberapa
faktor-faktor, antara lain (Djumena 1990,1):
1. Letak geografis daerah pembuatan batik yang bersangkutan,
2. Sifat dan tata kehidupan daerah yang bersangkutan,
3. Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah bersangkutan,
4. Keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna,
5. Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.
Sedangkan seni batik dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain: proses
pembatikan atau pembuatan, mutu pembatikan, ragam hias dan tata warna
(Djumena 1990,2).
C. PENGELOMPOKAN JENIS BATIK
Sejak zaman penjajahan Belanda, terdapat pengelompokan besar jenis batik
berdasarkan daerah pembatikan, yaitu:
1. Batik Keraton
Batik-batik dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta menurut G.B.R.A Murywati
Darmokusumo (1990, 31) mempunyai kekhasan dan keasrian masing-masing yang
bisa dibedakan berdasarkan wujudnya. Batik Yogyakarta lebih banyak berlatar putih
cerah dan menampilkan perbedaan warna yang tajam antara biru nila dan coklat
soga yang hangat. Sedangkan latar batik Surakarta putih Gading. Sekalipun
28
demikian keduanya sama-sama mempunyai nilai dan filsafat yang tinggi. Ragam
hias pada batik kraton bersifat simbolis berlatarkan kebudayaan Hindu-Jawa.
Perkembangan teknik yang menghasilkan kain batik bermutu tinggi di keraton-
keraton Jawa ditunjang dengan munculnya canting tulis. Suatu alat membatik yang
terdiri dari wadah kuningan bercorong yang dipasang pada sebuah gagang buluh
bambu kecil. Alat ini mampu menuliskan ragam hias yang paling rumit sesuai
keterampilan dan kemampuan pembatik. Walaupun adanya perkembangan zaman
di mana gaya hidup lama disesuaikan dengan yang baru, seni batik tetap
merupakan suatu lambang tingginya citra budaya yang terdapat dalam keraton-
keraton Jawa (Edleson dan Soedarmadji J.H Damais 1990, 7-8).
Beberapa contoh motif batik keraton dan simbolisme yang melatarbelakanginya
antara lain (Majalah Femina 1985, 8-10):
1.1. Kawung
Foto 2.1: Batik Motif Kawung.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Batik Klasik, hlm. 45)
29
Diinterpretasikan sebagai gambar bunga teratai dengan 4 lembar daun yang
sedang mekar. Bunga teratai melambangkan umur panjang dan kesucian.
Diperuntukkan bagi keluarga bangsawan sampai yang paling rendah yaitu Raden.
1.2. Parang
Motif ini mempunyai pola pedang yang menunjukkan kekuasaan atau kekuatan.
Menurut kepercayaan, motif parang harus dibatik tanpa salah, karena akan
menghilangkan kekuatan gaib dari kain ini. Komposisi miring pada parang
menandakan kekuatan dan gerak cepat, karena para ksatria diharapkan bergerak
dengan gesit. Yang mempunyai daya magis pada motif parang adalah bagian
“mlinjon”, yaitu pemisah pada komposisi miring yang berbentuk ketupat.
Foto 2.2: Batik Motif Parang Rusak.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik hlm. 62)
1.3. Cemukiran
Mirip motif parang, tetapi mempunyai pola seperti sinar. Pola yang mirip sinar itu
diibaratkan sebagai sinar matahari yang melambangkan kehebatan dan kebesaran
alam semesta atau Batara Guru. Batara Guru menurut kepercayaan Jawa menjelma
30
dalam diri raja. Oleh karena itu hanya raja dan putra mahkota yang boleh
menggunakan motif cemukiran.
Foto 2.3: Batik Motif Cemukiran.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik hlm. 62)
1.4. Sawat
Foto 2.4: Batik Motif Sawat.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik hlm. 62)
31
Motif ini ditandai dengan adanya lukisan sayap, baik sayap pasangan maupun
tunggal. Sayap ini diibaratkan burung garuda. Dalam mitologi Hindu Jawa, garuda
adalah jenis burung yang bertubuh dan berkaki manusia, tetapi bersayap dan
berkepala seperti burung. Garuda ini membawa terbang Dewa Wisnu ke nirwana.
1.5. Udan Liris
Motif ini berarti hujan gerimis. Motif ini adalah lambang kesuburan dan
berhubungan dengan pertanian.
Foto 2.5: Batik Motif Udan Liris.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik hlm. 62)
1.6. Semen
Berasal dari kata semi (bahasa Jawa) yang berarti tumbuh. Motif ini penuh
dengan simbolisme yang menunjukan pujaan terhadap kesuburan dan tata tertib
alam semesta.
32
Foto 2.6: Batik motif Semen Romo.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Batik Klasik, hlm. 73)
Lukisan yang terdapat dalam semen bermacam-macam, tetapi yang utama
adalah pohon atau tanaman dengan akar dan sulur-suluran.
1.7. Alas-alasan
Motif ini mirip dengan motif semen. Perbedaannya adalah banyak terdapat
lukisan hewan. Alas-alasan berarti seperti hutan. Ada motif alas-alasan yang
dilukiskan sebagai pinggiran dodot kembang (polos dengan warna-warna bunga).
Kain semacam ini disebut bangun tulak. Bangun tulak hanya dikenakan oleh Raja
Surakarta pada waktu upacara-upacara kerajaan.
Kain ini juga digunakan oleh para penari tarian kuno Bedoyo Ketawang, yang
merupakan tarian ungkapan percintaan antara Nyai Loro Kidul dengan
Panembahan Senopati.
33
Foto 2.7: Batik motif Alas-Alasan.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Batik Klasik, hlm. 73)
2. Batik Pesisiran
Batik pesisir adalah istilah yang digunakan pada produk-produk dari luar dinding
keraton. Keberadaanya tidak di bawah kendali dan dominasi aristokrasi keraton,
berikut segenap tata aturan, alam pikiran dan filsafat kebudayaan keraton Jawa.
Pertumbuhannya berangkat dari beberapa faktor yaitu masyarakat pelaku
produksinya, yakni rakyat jelata. Sifatnya cenderung merupakan komoditas dagang
berikut segenap dampak yang ditimbulkan pada teknologi produksinya, dan
ikonografi yang sarat dengan pengaruh etnis.
Sebagai produk perdagangan, batik ini banyak mengalami dinamika
perkembangan di kalangan pengusaha Cina dan Muslim, diikuti kelompok
keturunan Belanda (Indo). Bersama-sama mereka melengkapi sejarah
perkembangan perbatikan di wilayah nusantara (Anas dkk. 1997, 82).
Masyarakat nusantara yang beraneka ragam budaya, sebagai konsumen batik
juga turut mempengaruhi ragam hias dan warna, sehingga muncul berbagai
perbedaan ragam hias dan warna pada batik yang dibuat oleh masyarakat perajin
34
yang berbeda tempat. Perbedaan tempat ikut mempengaruhi perbedaan ragam hias
dan warna, karena didasari oleh faktor pengalaman yang dimiliki oleh perajin dan
wirausaha yang pada hakekatnya berbeda. Perbedaan ini dipertajam karena pilihan
segmen pasar dan mutu batik mempengaruhi babaran proses yang berbeda.
Pusat-pusat batik pesisir di Pulau Jawa adalah daerah pembatikan yang terdapat
pada jalur pesisir utara Jawa, dari barat ke timur meliputi kota-kota pembatikan
Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Juana, Rembang, Lasem, Tuban, Sidoarjo,
dan daerah Madura seperti Tanjung Bumi, Sampang, dan Sumenep.
2.1. Indramayu
Desa pembuatan yang dikenal terdapat di daerah Paoman. Teknik yang
digunakan umumnya batik tulis, dengan produk yang paling banyak dipakai untuk
jarit dan sarung. Batik Indramayu dibuat dengan teknik “babar pisan”, artinya hanya
sekali proses pelorodan, tidak ada proses ulang untuk sogan. Warna yang dipakai
umumnya warna gelap (tua) dan terang (putih).
Foto 2.8: Kain Panjang Indramayu.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 95)
35
Ciri yang menonjol dari batik Indramayu adalah langgam flora dan fauna
diungkap secara datar, dengan banyak bentuk lengkung dan garis-garis yang
meruncing (ririan), latar putih dan warna gelap, dan banyak titik yang dibuat dengan
teknik cacahan jarum, serta bentuk isen-isen (sawot) yang pendek dan kaku.
2.2. Cirebon
Daerah pembatikan Cirebon terletak di daerah Trusmi dan Kali Tengah.
Pengusaha Trusmi umumnya membuat batik untuk jarit, sarung dan ikat kepala
serta barang-barang rumah tangga seperti taplak, sarung bantal, dan sebagainya.
Ciri yang sangat menonjol pada batik Cirebon yaitu batik Keraton dan batik Bang-
Biron. Di samping itu, terdapat corak batik yang jarang dipakai untuk pakaian sehari-
hari dengan simbol spiritual, yakni batik yang dihias dengan kaligrafi Arab, berisi
bagian-bagian ayat Al-Quran atau doa-doa dalam bahasa Arab. Batik ini disebut
Kain Besurek yang dalam bahasa Indonesia berarti bersurat dan banyak diminati
oleh orang-orang Sumatera seperti Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi.
Batik keraton Cirebon memiliki ciri warna putih (dasar), biru (indigo), dan coklat
(soga). Ragam hias yang dipilih banyak terkait dengan mitologi yang berkembang di
Cirebon seperti Paksi Naga Liman, Singa Barong, Taman Arum, Naga Seba, dan
sebagainya.
36
Foto 2.9: Batik Cirebon Motif Mega Mendung.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 98)
Tata letak batik Cirebon umumnya tersusun horizontal dalam tiga lajur yang
menggambarkan jajaran atas, tengah, dan bawah. Sekarang pembatik Cirebon
telah banyak menggunakan pewarna buatan yang memungkinkan terciptanya
berbagai kombinasi warna untuk memperkaya ragam hias.
2.3. Pekalongan
Dikenal sebagai kota batik, karena memiliki potensi yang cukup besar sebagai
penghasil batik yang tersebar ke seluruh nusantara. Salah satu motif batik
Pekalongan yang terkenal adalah motif jlamprang yang saat ini sudah jarang
diproduksi lagi. Menurut Ninuk Mardiana Pambudi dalam artikelnya yang berjudul
Perjalanan Panjang Batik (2000, 236-237), motif jlamprang meniru motif patola yang
berasal dari Gujarat. Kehalusan motif yang dihasilkan ikat patola dengan cepat
menarik minat para bangsawan kerajaan Jawa. Namun karena kelangkaan
pasokan, maka para artisan batik dengan cepat meniru motif tersebut.
37
Foto 2.10: Kain Panjang Pekalongan.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 101)
Beberapa daerah pembatikan yang terkenal sebagai penghasil batik dengan ciri
ragam hias dan warna antara lain Kauman, Pesindan, Sampangan, Klego,
Sugihwaras, Keraton, Grogolan, Krapyak, Panjang, Bendan, dan Poncol.
Sedangkan di luar kota Pekalongan antara lain Buaran, Pekajangan, Kedungwuni,
Wonopringgo, Bojong, Wira Desa, Comal, dan Pencongan. Daerah batik di
Kabupaten Batang antara lain Setono, Warung Asem, Sukoharjo, Karanganyar,
Dracik, Kecepak, Klidang, Gamer, dan Slumprit.
Ciri yang menonjol pada batik Pekalongan adalah ragam hias dan tata warnanya
senantiasa silih berganti, dinamis, dan mengikuti perkembangan pasar. Berbagai
teknik pewarnaan diperkenalkan seperti teknik coletan, besutan, sinaran,
pewarnaan radian, formika, dan berbagai pengembangan zat pewarna seperti
naphtol, indigosol, cat basa, cat ergan, cat rapid, dan reaktif.
38
2.4. Lasem
Lasem, kota kecamatan di bagian timur Kabupaten Rembang, terletak kurang
lebih 13 km dari ibu kota kabupaten. Nama Lasem selama ini lebih dikenal
dibandingkan ibu kota kabupatennya sendiri, Rembang. Sebagian besar bus dari
luar daerah selalu transit di terminal Lasem dan menempatkan Lasem sebagai jalur
kendaraan, dan bukan Rembang, misalnya, bus jalur Semarang-Lasem (Nurbiajanti,
2004).
Foto 2.11: Sarung Bang-Biron dari Lasem.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 109)
Batik dari daerah ini memiliki corak khas, terutama pada warna merahnya yang
menyerupai merah darah ayam, yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari
daerah lain. Kekhasan lain terletak pada coraknya yang merupakan gabungan
pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara, dan budaya
keraton (Surakarta dan Yogyakarta).
Perajin di kota ini umumnya keturunan Cina dengan modal yang cukup besar,
sehingga dapat melakukan pembelian bahan-bahan pembatikan secara banyak,
langsung dari pabrik atau pedagang bahan impor, dengan tujuan efisiensi.
39
Ketika membuat desain untuk motif batik produksi mereka, para pengusaha
pembatikan Lasem dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan
legendanya. Ragam hias burung hong dan binatang legendaris Kilin (semacam
singa) dan sebagainya mereka masukkan dalam motif batik produksi mereka.
Bahkan, cerita percintaan klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tay pernah menjadi
motif batik di daerah ini. Tidak mengherankan bila kemudian batik produksi Lasem
sering disebut sebagai batik Encim. Encim adalah sebutan kaum Tionghoa
peranakan untuk wanita yang usianya telah lanjut (Wargatjie, 2003).
2.5. Tuban
Daerah pembatikan Tuban terdapat di beberapa desa di Kecamatan Kerek,
Merak, Urak, dan di kota Tuban sendiri. Batik di ketiga daerah ini memiliki ciri yang
berlainan.
Foto 2.12: Kain Tuban.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 111)
Di Kecamatan Kerek, khususnya di Desa Worgorejo, Kedung Rejo, dan Gaji
serta pembatikan di Kecamatan Warak dan Urak, pembatikan dilakukan diatas kain
gedok tenun tangan dengan benang pintal tangan, sedangkan di Waru Tuban tidak
40
biasa memakain kain gedok untuk batik, melainkan kain dari jenis katun prismissima
dan prima.
2.6. Sidoarjo
Batik Sidoarjo merupakan komuditas dagang yang ditujukan untuk segmen
masyarakat pesisir utara Jawa Timur dan Madura. Corak tradisional batik Sidoarjo
beragam jenis flora dengan paduan warna hitam, coklat, dan merah. Corak ini
terutama digemari oleh orang-orang Madura sehingga disebut batik Maduran. Corak
tradisional ini berpola agak besar-besar dengan isen-isen agak besar.
Pengusaha batik Sidoarjo sebagian besar golongan keturunan Cina, sehingga
kurang memperhatikan kaidah batik tradisional tetapi cenderung mengikuti
perubahan pasar.
2.7. Madura
Foto 2.13: Kain Panjang Madura Motif Buk.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari buku Indonesia Indah seri Batik, hlm. 113)
41
Batik Madura terutama dikerjakan oleh perajin batik dari Tanjung Bumi,
Sampang, Pamekasan, dan Bangkalan. Tanjung Bumi merupakan penghasil batik
yang beraneka ragam dan rumit.
2.8. Ciamis dan Tasikmalaya
Ragam hias dan warna batik Tasikmalaya dan Ciamis mendapat pengaruh kuat
dari batik keraton, yakni ragam hias lereng dan kawung dengan pewarnaan krem,
coklat, dan hitam. Belakangan, pengaruh batik pesisiran juga mewarnai batik
Tasikmalaya dan Ciamis, seperti tampak pada corak flora dan tata warnanya yang
menggunakan pewarna sintesis naphtol dan indigosol.
Dalam proses, pembuatan batik diperlukan beberapa peralatan, antara lain:
1. Gawangan
Gawangan ialah perkakas untuk menyangkutkan dan membentangkan mori
sewaktu dibatik. Gawangan dibuat dari bahan kayu atau bambu. Gawangan
dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah dipindah-pindah, tetapi harus kuat dan
ringan.
Foto 2.14: Gawangan pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
42
2. Bandul
Bandul dibuat dari timah atau kayu atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok
bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah bergeser
ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul,
pekerjaan tetap dapat dilaksanakan.
3. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan malam. Wajan dibuat dari logam baja,
atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan
diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan
yang dibuat dari tanah liat lebih baik dari pada yang logam, karena tangkainya
tidak mudah panas. Tetapi wajan dari bahan tanah liat lebih lama mencairkan
malam.
4. Anglo
Foto 2.15: Anglo yang biasa digunakan dalam poses membatik.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai
pemanas malam. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat
43
api ialah arang kayu. Jika menggunakan kayu bakar, anglo diganti dengan keren.
Keren inilah yang banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada
prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat.
5. Tepas
Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan, terbuat dari
bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama,
hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing
pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing
itu. Sedangkan ilir berbentuk bujur sangkar dan tangkainya terletak pada salah
satu sisinya serta memanjang ke samping.
6. Taplak
Taplak ialah kain untuk menutup paha si pembatik supaya tidak kena tetesan
malam panas sewaktu canting ditiup, atau waktu membatik. Taplak biasanya
dibuat dari kain bekas.
Foto 2.16: Anglo, wajan, dan malam serta canting sebagai peralatan membatik.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
44
7. Saringan malam
Saringan ialah alat untuk menyaring malam panas yang sangat banyak
kotorannya. Jika malam disaring, maka kotorannya dapat dibuang, sehingga
tidak menggangu jalannya malam pada cucuk canting sewaktu dipergunakan
untuk membatik.
8. Dingklik
Dingklik atau lincak pada prinsipnya sama, yaitu tempat duduk si pembatik.
Tetapi pembatik juga dapat duduk di atas tikar.
9. Canting
Foto 2.17: Canting dalam berbagai bentuk dan kegunaan.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Canting adalah alat pokok untuk membatik yang menentukan apakah hasil
pekerjaan itu dapat disebut batik, atau bukan batik. Canting dipergunakan untuk
menulis, membuat motif batik yang diinginkan. Sultan HB X dalam buku Sekaring
Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat mengatakan bahwa perkembangan teknik
yang menghasilkan kain batik bermutu tinggi di keraton-keraton Jawa ditunjang
dengan munculnya canting tulis. Suatu alat membatik yang terdiri dari wadah
kuningan bercorong dipasang pada sebuah gagang buluh bambu kecil. Alat ini
45
mampu menghasilkan ragam hias yang paling rumit sesuai keterampilannya dan
kemampuan si pembatik
10. Malam
Malam adalah bahan yang dipergunakan untuk membatik. Sebenarnya malam
tidak habis, karena akhirnya diambil kembali pada waktu proses mbabar. Malam
yang dipergunakan untuk membatik macam-macam kualitasnya. Kualitas ini
berpengaruh terutama pada daya serap, warna yang dapat mempengaruhi warna
mori (kain), halusnya cairan, dan sebagainya. Maka harganya pun akan berbeda-
beda, tetapi dalam pemakainnya tergantung pada kebutuhan.
Foto 2.18: Malam sebagai bahan inti dalam teknik penahan warna dalam membatik.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
11. Kain Mori
Mori adalah bahan baku batik dari katun. Kualitas mori bermacam-macam, dan
jenisnya sangat menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan, karena
kebutuhan mori dari macam-macam kain tidak sama. Jenis-jenis mori antara lain:
(a). mori primisima: merupakan kain mori terbaik dan halus, sering juga disebut
mori sen, (b). mori prima: merupakan kain mori dibawah kualitas mori primisima,
46
tetapi tetap halus, (c). mori biru: merupakan kain mori dengan kualitas dibawah
mori prima.
Untuk menghasilkan kain batik tulis dengan kualitas tinggi memerlukan sembilan
tahap/ proses (Hadisuwito, 2007). Sedangkan untuk pembuatan batik cap, terdapat
beberapa proses yang tidak dilalui, disebabkan proses tersebut telah diambil alih
oleh cap batik. Adapun tahapan membatik adalah:
1. nyorek
Adalah proses memindahkan desain motif batik ke bahan mori.
Foto 2.19: Proses nyorek pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Agustine Dwi Kurniawati)
2. ngegreng
Adalah menutup desain batik dengan malam, dan masih berupa kosongan.
3. klowongan
Adalah memberi isian dalam motif batik
4. nembok
Adalah menutup motif dengan malam khusus, supaya hasil akhirnya menjadi
putih.
47
5. medel
Adalah memberi warna biru atau indigo. Kain batik direndam dalam cairan
indigo selama 15 menit, kemudian di kerek selama 2 hari secara bergantian.
Foto 2.20: Proses medel pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
6. dilorot pertama
Adalah proses menghilangkan lilin dengan cara direbus. Pada proses ini batik
sudah setengah jadi.
7. digranit
Adalah proses memberi titik pada garis pensil.
8. mbironi
Adalah proses menutup cecek dengan malam.
48
9. disoga
Adalah proses memberi warna coklat dengan cara direndam.
Foto 2.21: Proses soga pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
10. dilorot terakhir
Adalah proses terakhir dengan cara direndam agar semua malam yang masih
melekat sebagai penahan warna hilang.
Foto 2.22: Proses nglorot pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Agustine Dwi Kurniawati)
49
Pada pembuatan batik cap, proses pembatikannya lebih singkat karena mulai
dari proses nyorek sampai klowongan dikerjakan dengan alat cap yang terbuat dari
kuningan, namun setelah itu dilanjutkan dengan proses seperti layaknya batik tulis.
Foto 2.23: Proses batik cap pada industri batik Plentong.
(difoto oleh: Agustine Dwi Kurniawati)
Dalam pewarnaan batik, dapat menggunakan pewarnaan alami maupun buatan.
Zaman sekarang kebanyakan indutri batik menggunakan pewarna buatan karena
mereka dapat menghewat waktu produksi. Sedangkan pewarna alami tetap
digunakan, namun hanya pada produksi kain batik tertentu saja.
50
Dalam pewarna alami, bahan dari alam yang digunakan antara lain (Setiawan
2006, 46-64):
a. nila atau tom (Indigofera tinctoria L) b. tingi (Ceriop tagal PEER)
c. jambal (Peltophorum pterocarpum DC) d. jalawe (Termalia belerica ROXB)
e. soga (Pelthorum pterocarpum backer) f. mengkudu (Morinda citrilofia L)
g. mahoni (Swetenia mahoni JACO) h. apokat (Persea Gratisima G)
i. ulin (Eusideroxylon zwageri T) j. bawang merah (Allium ascalonium L)
k. jati (Tectona grandis L) l. teh (Acalypha wilkesiana)
m. nangka (Artocarpus integra MEER) n. kenikir (Sonchus oleracheus LINN)
o. gambir (Uncaria gambir ROXB) p. mangga (Magifera indica LINN)
q. kepel (Stelechocarpus burahol HOOK) r. randu (Ceiba pentandra GAERTH)
s. jambu biji (Psidium gujavana L) t. kesumba (Bixa Orellama L)
u. srigading (Nyctanthes arbor tritis L) v. tembelekan (Lantana camara L)
w. senggani (melastoma malabathicum
LINN)
x. tegeran (Maclura cochinchinensis
LOUR)
y. kunyit (Curcuma domistica) z. secang (caesal pinia sappan LINN)
Tabel 2.1: Bahan alam untuk pembuatan pewarna alami batik.
Foto 2.24: Neraca untuk meracik pewarna buatan pada indutri batik Plentong.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
51
D. SEJARAH BERDIRINYA MUSEUM BATIK YOGYAKARTA
Secara administratif Museum Batik Yogyakarta terletak di Kotamadya
Yogyakarta, Kecamatan Danurejan, Kelurahan Bausasran, tepatnya di Jalan Dr.
Sutomo nomor 13. Museum ini terletak di dalam pemukiman yang padat penduduk
dan wilayah dengan tingkat kejahatan yang tertinggi di Kecamatan Danurejan.
Museum ini dapat dikunjungi setiap hari kerja mulai pukul sembilan pagi hingga
pukul tiga sore dan diselingi waktu istirahat pada pukul 12 hinggal pukul 13. Pada
hari Minggu dan Hari Besar, museum ini tutup.
Museum Batik Yogyakarta berdiri pada tanggal 12 Mei 1977, karena faktor
kesehatan yang diderita oleh Bapak Hadi Nugroho sebagai pemilik, maka museum
baru dapat diresmikan dua tahun setelahnya, pada tanggal 12 Mei 1979 oleh
pejabat dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang telah
berganti menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata), dengan akta notaris
nomor 22 tanggal 25 Mei 1977 dan pejabat pembuat akta adalah Daliso Rudianto,
S.H.
52
Peta 2.1: Keletakan Museum Batik Yogyakarta terhadap museum lain di Yogyakarta.
(digambar oleh: Diniartha Ikha Muharram)
Koleksi yang terdapat pada Museum Batik Yogyakarta berasal dari milik pribadi
dan pembelian yang dikumpulkan mulai tahun 1960. Koleksi yang berasal dari
pribadi diperoleh keluarga Bapak Hadi Nugroho yang pada masa itu merupakan
pengusaha batik di Yogyakarta, sedangkan beliau sendiri adalah generasi ketiga
dari keluarganya. Museum ini berdiri atas prakarsa keluarga Hadi Nugroho yang
merasa tergugah ketika banyak wisatawan mancanegara maupun wisatawan
nusantara yang mencari barang-barang antik, khususnya batik. Kemudian beliau
memulainya dengan mengumpulkan koleksi dari tiga generasi, yaitu dari eyang,
orang tua, dan beliau sendiri.
Bila dilihat dari jenis koleksinya, museum ini masuk ke dalam klasifikasi museum
khusus, dan bila dilihat dari aspek penyelenggaraannya Museum Batik Yogyakarta
53
merupakan museum swasta yang dimiliki oleh Yayasan Batik Yogyakarta dengan
struktur pengurus sebagai berikut:
Penasehat : GPPH Hadiningrat
Ketua : Hadi Nugroho
Sekretaris : Suharjono
: Dewi Hadi Nugroho
Komisaris
Ketua : KRT. Soebandi Kusumonegoro
Anggota : R. Ma’roef Soeprapto
: Ir. Sri Sudewi Samsi
: RnGT. Dewi Sukaningsih
Tabel 2.2: Struktur pengurus Yayasan Batik Yogyakarta.
Dengan visi “Memberikan Kontribusi dalam Upaya Melestarikan,
Mengembangkan dan Mengkomunikasikan Batik sebagai Karya Cipta Umat
Manusia maupun sebagai Khasanah Budaya Nusantara demi Memperkaya Akal
Budi dan Meningkatkan Nilai-nilai Kemanusiaan”, Museum Batik mempunyai misi,
yaitu:
1. Mengembangkan museum batik dengan koleksi yang bernilai tinggi melalui
sarana fisik yang representatif dan prasarana manajerial yang andal.
2. Mengembangkan fasilitas perawatan koleksi batik beserta perlengkapan
teknologinya sebagai dokumentasi seni dan budaya masyarakat
pendukungnya.
3. Mengembangkan diferensiasi daya tarik wisata edukasi berbasis museum.
4. Mengembangkan fasilitas rekreatif yang dipadu dengan fasilitas ekspresi seni
di Yogyakarta.
Dalam mencapai visi dan misinya tersebut, museum ini mengembangkan dua
pola kegiatan secara garis besar, yaitu kegiatan intern dan ekstern. Kegiatan intern
museum adalah mengadakan pameran rutin, mengadakan festifal batik, pertemuan
54
dengan para pelaku industri batik, lomba lukis motif batik serta kursus membatik.
Sedangkan untuk kegiatan ekstern yang dilakukan adalah mengadakan kerja sama
dengan instansi pemerintah, mengundang media masa untuk meliput koleksi dan
mempublikasikan kepada masyarakat, serta mengikuti pameran-pameran (Haryono,
2007)
Koleksi Museum Batik Yogyakarta merupakan kumpulan dari koleksi dengan
cakupan lokal dan nasional, dengan maksud agar museum ini dapat memberikan
wawasan nusantara kepada para pengunjung melalui koleksinya. Museum batik
Yogyakarta saat ini memiliki koleksi 1.219 buah koleksi yang terdiri dari 500 kain
batik yang terdiri dari batik kraton dan batik pesisir, 560 buah canting cap, 124
canting tulis, dan peralatan lain seperti wajan dan anglo sebanyak 35 buah. Koleksi
ini berumur sangat tua sampai pada batik yang pembuatannya yang diolah secara
modern antara lain: 1. Sarung isen-isen antik karya E.V. Zeuylen dari Belanda. Batik
ini berasal dari Pekalongan dengan tahun pembuatan sekitar tahun 1880-1890.
Sarung tersebut memiliki corak untaian bunga, tumpal blabakan, galar selinglung
daun dengan warna biru tom hijau warna kayu, dikerjakan dengan teknik proses
batik tulis dengan tingkat kesulitan sedang dan berbahan mori primisima, 2. Sarung
isen-isen antik (kelengan) karya seorang nyonya Belanda yang tidak diketahui
namanya. Batik ini berasal dari Pekalongan dengan tahun pembuatan sekitar tahun
1880-1890. Sarung tersebut memiliki corak buketan isen-isen, dasar galar seling
halus dan unik dengan warna biru tom kuning kayu hijau kombinasi, dikerjakan
dengan teknik proses batik tulis halus cecek jarum dan berbahan mori primisima, 3.
Sarung panjang soga jawa karya Lie Djing Kiem. Batik ini berasal dari Yogyakarta
dengan tahun pembuatan sekitar tahun 1920-1930. Sarung tersebut memiliki corak
boketan adu jago dasar polos dengan warna soga jawa, hitam, dan putih, dikerjakan
dengan teknik proses batik tulis sedang dan berbahan mori primisima. Koleksi tertua
yang dimiliki museum ini adalah kain pethuk manten, yaitu kain batik yang
55
digunakan pada waktu upacara srah-srahan pengantin jawa dengan tahun
pembuatan 1740 (Haryono, 2007).
Dalam pengembangannya, saat ini Museum Batik Yogyakarta sejak tahun 2004
telah merintis pengembangan Museum Batik Yogyakarta di Dusun Kaliwaru,
Kelurahan Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY.
Museum ini nantinya akan didirikan diatas tanah seluas 7.000 m2 dengan luas
bangunan 5.600 m2 dan saat ini sedang dalam tahap izin pemakaian tanah kas
desa di tingkat kelurahan. Rencananya museum ini akan dilengkapi dengan fasilitas
aula pameran temporer, aula penerima audio visual, ruang audio visual, gerai
cenderamata, aula kantor, ruang administrasi, ruang kurasi, restoran dan kafe,
ruang bermain untuk anak-anak, area bongkar muat, bengkel kerja, wisma tamu,
pendopo, gudang alat, aula museum, perpustakaan, ruang penyiapan pajang, ruang
pajang koleksi, dan gardu pandang (Dwiyanto dkk. 2004, 4).
C. LINGKUNGAN FISIK DAN KOLEKSI MUSEUM BATIK YOGYAKARTA
Bangunan Museum Batik Yogyakarta menempati areal seluas 400 m². Luas
tanah seluruhnya 600 m², merupakan rumah tinggal keluarga Hadi Nugroho. Secara
umum, tata pameran museum ini terkesan sempit. Pengunjung hanya bisa satu-
persatu untuk menikmati koleksi ketika melewati ruang Batik Pesisiran dan ruang
Batik Soga Yogya Solo. Hal ini disebabkan panil terletak di sebelah kiri dan kanan
pengunjung, sementara jarak antar panil di sisi kiri dan kanan tersebut hanya sekitar
satu meter, sehingga hanya cukup untuk dilewati oleh satu orang pengunjung
dewasa.
56
Alur tata pameran pada Museum Batik Yogyakarta pada mulanya adanya
sebagai berikut:
Pintu Masuk
↓
Ruang Pengenalan
↓
Ruang Batik Soga Yogya Solo
↓
Ruang Batik Pesisiran
↓
Ruang Cenderamata
↓
Pintu Keluar
Tabel 2.3: Alur tata pameran Museum Batik Yogyakarta.
Pembagian ruangan Museum Batik Yogyakarta adalah:
Denah 2.1: Pembagian Ruangan di Museum Batik Yogyakarta
(difoto oleh: Tulus Wichaksono, reproduksi dari surat kabar Kompas, hlm. H)
a. Pintu Masuk Utama
57
Pintu masuk utama museum berada di sebelah selatan, karena dinilai terlalu
banyak gangguan, akhirnya pada tahun 2003 pintu utama tersebut ditutup dan
akses masuk museum dipindah ke pintu samping yang terletak di sisi barat
museum.
b. Pintu Masuk Samping
Foto 2.25: Pintu masuk samping pada Museum Batik Yogyakarta
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Terletak di sisi barat museum, terlihat sepertinya dahulu ini merupakan akses
untuk pintu keluar, karena ketika kita masuk dari pintu samping ini, kita akan
langsung bertemu dengan toko cenderamata, yang pada museum umumnya
terletak pada bagian akhir rute kunjungan museum. Masuk dari pintu ini,
pengunjung langsung bertemu dengan meja administrasi pengunjung. Di meja ini
akan disambut dengan petugas museum yang akan siap menjadi pemandu.
Untuk menikmati koleksi dan semua pelayanan yang diberikan, setiap
pengunjung dikenakan biaya lima belas ribu rupiah.
c. Ruang Pengenalan
58
Merupakan ruangan untuk mengenalkan peralatan dan proses membatik.
Sebelum tahun 2004, ruangan ini merupakan ruangan pertama yang akan
dijumpai oleh pengunjung museum. Pada ruangan ini terdapat koleksi yang
menjelaskan tahap-tahap proses membatik, dan peralatan batik seperti canting-
canting mulai dari yang kuno hingga canting yang digunakan pada masa kini,
cap, dan pewarna alami, serta motif batik.
d. Pasren
Merupakan sebuah panggung kecil di depan pintu masuk yang lama, dan
menjadi satu bagian dari ruang pengenalan. Pada panggung ini terdapat patung
Loro Blonyo yang merupakan perlambang dari Dewi Sri, yang oleh masyarakat
Jawa di dalamnya terkandung konsep kematian, kelahiran, dan pertumbuhan
(Wibowo dkk. 1996, 42).
Foto 2.26: Ruang Pengenalan dan Ruang Pasren pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
e. Ruang Batik Soga Yogya Solo
59
Merupakan lorong dengan koleksi kain batik dengan gaya kraton. Didalamnya
terdapat sekitar tiga puluh satu buah koleksi kain batik gaya kraton. Pada Koleksi
di ruang batik soga Yogya Solo dan ruang Pesisiran semuanya merupakan
replika dari koleksi yang asli. Koleksi aslinya disimpan dalam vitrin di pojok
ruangan sisi barat ruang pesisiran. Sesuatu yang sebetulnya dilarang, dimana
koleksi asli berada di ruang pameran permanen.
Foto 2.27: Ruang Soga Yogya Solo pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Ruangan di sini bukan seperti ruangan yang sebenarnya biasa kita lihat dengan
berbatas atau terlingkung oleh bidang, tetapi merupakan lajur yang di sisi kiri dan
kanannya dibatasi oleh panil-panil dari koleksi tersebut.
f. Ruang Pesisiran
Merupakan kumpulan panil-panil yang memamerkan koleksi batik-batik motif
pesisiran dan beberapa motif Belanda. Di sini banyak ditemukan koleksi-koleksi
sejak abad XVIII M. Jumlah koleksi pada ruang pesisiran mencapai 37 buah.
60
Foto 2.28: Ruang Pesisiran pada Museum Batik Yogyakarta
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
g. Ruang Perawatan
Merupakan ruangan kecil berukuran 2 x 1 m. Di dalam ruangan ini, terdapat alat
perawatan batik secara manual, yaitu menggunakan ratus yang terbuat dari akar
wangi. Ratus atau dupa harum ini terbukti cukup efektif dalam proses
menghambat atau mematikan jamur yang biasa menyerang benda koleksi
museum, karena sama efektifnya dengan perawatan kimia menggunakan
fungisida, waktu yang diperlukan relatif lebih cepat, tingkat resiko terhadap
kesehatan dalam prosesnya lebih rendah dan biaya yang dikeluarkan lebih
murah.
61
Foto 2.29: Ruang Perawatan pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
h. Toko Cenderamata dan Geleri
Ruangan ini terletak di sisi timur meja resepsionis. Cendera mata yang
dipamerkan antara lain adalah canting, buku-buku panduan membatik, buku-
buku katalog koleksi batik yang tertata dalam tiga buah etalase kaca. Selain itu
juga terdapat pakaian batik dan yang dipajang dalam lemari gantung serta
beberapa sulaman.
62
Foto 2.30: Toko Cenderamata dan Galeri pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
i. Museum Sulaman
Museum ini baru berdiri pada tanggal 12 Mei 2001, menempati ruangan di sisi
paling barat dari ruang Museum Batik Yogyakarta. Di sini ditampilkan beberapa
koleksi dari sulaman Ibu Dewi. Salah satu dari koleksi Museum Sulaman ini
memperoleh piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI)
sebagai sulaman tangan terpanjang dengan ukuran 400 x 90 cm, dengan judul
Penyaliban Yesus di Bukit Golgota. Sebagian besar karya sulaman yang
dipajang adalah bermotif Yesus, Bunda Maria, dan mantan presiden Soekarno.
63
Foto 2.31: Museum Sulaman yang menjadi 1 dengan Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
j. Ruang Batik
Ruang ini terletak di sisi utara pintu masuk samping. Ruang ini digunakan untuk
kegiatan membuat duplikat koleksi batik yang merupakan pesanan para
pengunjung, juga digunakan sebagai tempat untuk membuat panil-panil baru.
Foto 2.32: Aktivitas pada Ruang Batik Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
64
k. Ruang Preparasi
Saat ini kegiatan preparasi banyak dilakukan di ruang batik karena sumber daya
manusia yang tersedia saat ini sedikit sehingga cukup dilakukan di ruang batik,
tidak seperti dulu, ketika museum ini memiliki banyak pegawai, sehingga ruang
ini saat ini menjadi tempat untuk menyimpan peralatan
l. Perpustakaan
Ruangan ini terletak di sisi utara Museum Sulaman. Di dalamnya terdapat dua
buah lemari buku dari kayu, sebuah lemari berbahan besi serta dua buah kursi
baca. Koleksi buku yang terdapat di museum ini antara lain: buku tentang
museum, buku tentang batik, dan buku tentang pengetahuan umum. Terdapat
pencahaan alami pada ruangan ini, karena menggunakan genting kaca, selain
sebuah lampu jenis TL.
Foto 2.33: Ruang Perpustakaan pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Pelayanan lain yang diberikan oleh museum ini adalah membuka kelas batik bagi
masyarakat umum. Hal ini merupakan salah satu terobosan untuk terus
melestarikan budaya batik, selain sebagai usaha pendamping untuk pendanaan
65
operasional museum di luar tiket masuk, penjualan cenderamata, dan layanan
perawatan koleksi batik.
Koleksi-koleksi tersebut diperoleh dengan berbagai cara, antara lain dengan
pembelian, hibah, dan warisan. Dalam prosesnya, koleksi yang akan dibeli atau
akan menjadi milik koleksi museum harus disetujui oleh tim ahli yang terdiri dari
seksi konservasi dan koleksi serta seksi edukasi dan preparasi.
Untuk mencegah tumbuhnya jamur, Museum Batik Yogyakarta sangat
memperhatikan tingkat temperatur ruangan dan kelembaban. Untuk temperatur
ruangan adalah 25°-28°C dan tingkat kelembaban adalah 45% - 65%. Dalam buku
Pedoman Pengelolaan Museum, disebutkan bahwa untuk museum di Indonesia
secara umum tingkat suhu udara yang cocok dalam ruang penyimpanan adalah
antara 20° - 24°C, sedangkan tingkat kelembaban adalah 45% - 60%. Penggunaan
air conditioner tidak dianjurkan khususnya untuk museum-museum di daerah. Lebih
dianjurkan menggunakan ventilasi yang baik sehingga suhu di dalam dan luar
ruangan tetap sama. Dengan ventilasi saja, dapat terjadi tingkat kelembaban di
dalam ruangan yang tinggi. Maka untuk menjaga tingkat kelembaban relatif di dalam
ruang penyimpanan dapat digunakan alat dehumidifier yang berfungsi sebagai
penyerap kelembaban udara yang berlebihan. Alat ini cocok digunakan di Indonesia
karena iklim tropisnya yang dikelilingi laut, sehingga pada musim kemarau pun
tingkat kelembaban tetap tinggi (Dinas Kebudayaan Provinsi DIY 2004, 39).
Pencahayaan dalam sebuah ruangan museum amatlah penting. Pada tempat
yang memiliki intensitas cahaya yang kurang, kehadiran lampu akan membantu
indera penglihatan kita. Tanpa cahaya, keunikan suatu arsitektur bangunan
museum, unsur dekoratif pada elemen yang memiliki bidang rata, detail tekstur, dan
ornamen akan hilang atau tidak tampak.
66
Foto 2.34: Pencahayaan dan sistem sirkulasi udara pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Cahaya juga dapat meningkatkan nilai estetika bangunan dan ruangan museum.
Detail dan elemen pada benda koleksi dapat ditonjolkan dengan jenis pencahayaan
tertentu sehingga koleksi tersebut menjadi lebih dominan. Cahaya juga dapat
menciptakan nuansa dan karakter pada ruangan museum, sehingga ruangan akan
terlihat lebih luas atau memberi kesan tertentu yang berpengaruh terhadap
pengunjungnya (Majalah Rumah tt, 4). Pada Museum Batik Yogyakarta
pencahayaan menggunakan lampu TL atau yang lebih dikenal dengan lampu neon.
Untuk mencegah pengaruh negatif dari intensitas cahaya, jarak pencahayaan pada
koleksi minimal adalah 40 cm.
67
BAB III
SISTEM REGISTRASI DAN DOKUMENTASI MUSEUM
A. RUANG LINGKUP STUDI MUSEOLOGI
Di antara ilmu-ilmu budaya atau humaniora yang telah dikenal adalah arkeologi
dan museologi. Kedua cabang ilmu ini saling berdekatan dan sangat erat
hubungannya, karena sama-sama mempelajari benda–benda yang menjadi
tinggalan kebudayaan manusia. Oleh karena itu hakikat mempelajari arkeologi dan
museologi adalah ingin mengetahui manusia dan kebudayaannya. Di dalam
pengertian ini keduanya merupakan cabang ilmu antropologi budaya (Dwiyanto
1998a, 2).
Arkeologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan
masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Oleh karena itu secara garis
besar kajian ilmu arkeologi diarahkan untuk (Dwiyanto 1998a, 2-3):
1. Melacak peristiwa yang terjadi di masa lalu.
2. Meneliti dan menafsirkan artefak untuk mengetahui proses perkembangan
kebudayaan.
3. Penyusunan sejarah kebudayaan.
Museologi adalah ilmu tentang museum dan permuseuman, yang meliputi
museum dan lingkungannya serta sistem pengelolaannya. Oleh karena itu
museologi sering diberikan tiga pengertian sesuai dengan pendekatannya, yaitu
(Dwiyanto 1998a, 3):
1. Museologi sebagai studi tentang hubungan yang khas antara manusia
terhadap realitasnya.
2. Museologi sebagai studi tentang implementasi dan integrasi dari sejumlah
aktivitas dasar yang meliputi warisan kebudayaan dan alam.
68
3. Museologi sebagai studi tentang tujuan dan organisasi museum.
Kedua cabang itu mempunyai persamaan yang mendasar, yaitu sebagai upaya
perlindungan, penyelamatan, dan pelestarian tinggalan kebudayaan masa lalu. Di
dalam perkembangannya, arkeologi menjadi ilmu yang mempelajari manajemen
sumber daya budaya, sedangkan museologi lebih ditekankan lagi sebagai ilmu yang
mempelajari manajemen koleksi karena lebih ditekankan pada artefak dan ekofak
yang dapat dipindahkan (Dwiyanto 1998a, 2-3).
Museologi sebagai studi tentang material culture dan natural material terutama
benda-benda tinggalan kebudayaan yang tersimpan dalam koleksi museum
hakekatnya adalah mempelajari manajemen koleksi. Oleh karena itu dasar-dasar
museologi, registrasi dan dokumentasi, konservasi, perancangan pameran, serta
survei pengunjung dan evaluasi dikelompokkan untuk mempertajam analisis kajian
museulogi (Dwiyanto 1998a, 5).
Dasar-dasar museologi meliputi pengertian, fungsi-fungsi, organisasi museum,
museum dan kepariwisataan, upaya pengembangan museum. Registrasi dan
dokumentasi meliputi sistem registrasi, pembuatan katalog, kartu inventaris,
sertifikat peminjaman, deskripsi benda koleksi, aplikasi komputer dalam registrasi
dan dokumentasi. Konservasi meliputi pengukuran benda koleksi, pengukuran suhu
dan kelembaban udara, penyinaran, mekanisme konservasi, restorasi dan
rekonstruksi, contoh konservasi benda koleksi. Perancangan pameran meliputi
penyusunan alur cerita, seleksi benda koleksi, teknik penyajian, evaluasi pameran
dan survei pengunjung, meliputi penyusunan instrumen survei, pengolahan data,
penulisan laporan, dan evaluasi program (Dwiyanto 1998a, 5).
69
1. Pengertian Museum
Museum menurut tim Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001, 766) mempunyai
pengertian gedung yang digunakan sebagai tempat untuk pameran tetap benda-
benda yang patut mendapatkan perhatian umum seperti peninggalan sejarah, seni
dan ilmu. Definisi museum yang dikemukakan oleh Douglas Allan yang
dipergunakan dari tahun 1960 hingga tahun 1967 adalah suatu bangunan yang
berisi berbagai macam koleksi untuk diselidiki, dipelajari, dan dinikmati (Allan 1978,
13). Kemudian definisi ICOM sebelum tahun 1974 adalah:
Any permanent establishment set up for purpose of preserving,
studying, enchanging by various means and, in particular, of
exhibiting to the public for its delections and instruction, artistic,
historical, scientific and technological collections (Sutaarga 1991,
33).
Sedangkan pengertian museum yang tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri
Nomor KM.33/PL.303/MKP/2004 Tentang Museum, pasal satu ayat satu disebutkan
bahwa museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan,
dan pemanfaatan benda-benda materiil hasil budaya manusia serta alam dan
lingkungannya guna menunjang perlindungan dan pelestarian kekayaan bangsa.
Definisi resmi museum yang kini digunakan adalah definisi yang dikeluarkan dalam
rapat umum ke-10 di Copenhagen, museum adalah lembaga yang bersifat badan
hukum tetap, tidak mencari keuntungan dalam pelayanannya kepada masyarakat
tetapi untuk kemajuan masyarakat dan lingkungannya, serta terbuka untuk umum
(International Council Of Museum 2007, 3).
Secara etimologis, museum berasal dari bahasa Yunani, mouseion, yang
sebenarnya merujuk kepada nama kuil pemujaan terhadap Muses, dewa yang
berhubungan dengan kegiatan seni. Bangunan lain yang diketahui berhubungan
70
dengan sejarah museum adalah bagian kompleks perpustakaan yang dibangun
khusus untuk seni dan sains, terutama filosofi dan riset di Alexandria oleh Ptolemy I
Soter pada tahun 280 SM. Museum berkembang seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan manusia semakin membutuhkan bukti-bukti otentik mengenai
catatan sejarah kebudayaan. Museion merupakan sebuah bangunan tempat suci
untuk memuja sembilan dewi seni dan ilmu pengetahuan. Salah satu dari sembilan
dewi tersebut ialah: Mouse, yang lahir dari maha Dewa Zous dengan isterinya
Mnemosyne. Dewa dan dewi tersebut bersemayam di Pegunungan Olympus.
Museion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk berkumpul para cendekiawan
yang mempelajari serta menyelidiki berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai
tempat pemujaan dewa dewi (Direktorat Museum, 2007).
Museum pertama yang dibuka untuk umum adalah The Ashmolean Museum,
yang dimiliki oleh Universitas Oxford di Inggris pada tahun 1683, kemudian disusul
oleh The British Museum yang dibuka di London pada tahun 1759 serta Museum
Lovre di Paris pada tahun 1793 (Lewis 2004, 2). Sebuah perkumpulan di Indonesia
pada masa penjajahan Belanda yang menamakan dirinya Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Batavia untuk
Kesenian dan Ilmu), berdiri pada tahun 1778 dan menjadi cikal bakal museum
umum di Asia dengan koleksi batu-batuan, perabot rumah tangga, dan gambar-
gambar dari masa lalu yang berkaitan dengan Jakarta (Heuken 1997, 59, 92).
Museum tertua di Indonesia adalah Museum Radya Pustaka di kota Solo, Jawa
Tengah. Museum Radya Pustaka didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 oleh
Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV yang menjabat sebagai patih pada masa
pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana IX, sedangkan museum koleksinya
paling lengkap di Indonesia adalah Museum Nasional yang lebih dikenal sebagai
Museum Gajah di Jakarta. Dasar hukum pendirian museum di Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya,
71
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan
Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.
Sedangkan dasar hukum pengelolaan museum diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.33/PL.303/MKP/2004 Tentang
Museum.
Tugas pokok Direktorat Museum adalah melaksanakan penyiapan rumusan
kebijakan, standar, norma, kriteria, dan prosedur, serta pemberian bimbingan teknis
dan evaluasi di bidang permuseuman. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat
Museum menyelenggarakan fungsi (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2007):
1. Pelaksanaan dan penyiapan bahan rumusan kebijakan di bidang
permuseuman.
2. Perumusan standar, norma, kriteria dan prosedur di bidang registrasi,
pengamanan dan pengendalian, pemeliharaan dan perawatan, serta
penyajian dan kerja sama permuseuman.
3. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang registrasi, pengamanan
dan pengendalian, pemeliharaan dan perawatan, serta penyajian dan kerja
sama permuseuman.
Visi Direktorat Museum adalah mewujudkan museum-museum di Indonesia yang
mandiri guna menunjang kebijaksanaan Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam
memajukan kebudayaan bangsa untuk tercapainya kemajuan adab, masyarakat
demokratis, dan persatuan bangsa. Untuk mencapai visi tersebut, misi
permuseuman adalah untuk membina dan mengembangkan museum-museum di
Indonesia sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan, menanamkan nilai-nilai
luhur, memperkokoh persatuan dan kesatuan, serta mempertebal jati diri bangsa.
72
ICOM merupakan singkatan dari International Council of Museum. Sebuah
organisasi permuseuman internasional di bawah UNESCO yang berdiri pada tahun
1946 dan berkedudukan di Paris, Perancis. Organisasi ini bertujuan menciptakan
standar etik dan profesional untuk aktivitas permuseuman, mengadakan pelatihan,
pengembangan pengetahuan, membuat rekomendasi untuk beberapa isu yang
sedang berkembang, serta membangun kepedulian budaya masyarakat melalui
jaringan global dan program kerja sama. Di Indonesia, tugas dan wewenang bidang
permuseuman dikelola oleh Direktorat Museum.
Museum terdiri dari berbagai macam dan dapat ditinjau dari berbagai aspek,
seperti aspek koleksi, aspek penyelenggaraan, dan aspek kedudukan. Klasifikasi
museum berdasarkan koleksi yang disimpan terbagi menjadi dua, yaitu museum
umum dan museum khusus. Museum umum adalah museum yang menyimpan
koleksi berupa kumpulan bukti material hasil budaya manusia dan lingkungan yang
berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan
museum khusus koleksinya hanya berkaitan dengan satu cabang seni, disiplin ilmu
atau teknologi.
Dilihat dari aspek penyelenggaranya, museum dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu museum pemerintah dan museum swasta. Museum pemerintah adalah
museum yang dikelola dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah. Sedangkan museum swasta adalah museum yang dikelola dan
diselenggarakan oleh pihak swasta. Menurut data yang dikeluarkan oleh
Departemen Budaya dan Pariwisata, sampai tahun 2005 Indonesia baru memiliki
museum sejumlah 269 buah yang terdiri dari tujuh buah UPT (dikelola oleh Unit
Pelaksana Teknis Depbudpar), departemen atau pemerintah daerah sebanyak 176
(dikelola oleh departemen atau pemerintah daerah) dan sisanya sebanyak 86 buah
dikelola oleh swasta (Direktorat Museum, 2006).
73
Bila dibedakan berdasarkan kedudukannya, maka museum dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu museum nasional, museum provinsi, dan museum lokal. Museum
nasional adalah museum yang koleksinya mewakili dan berkaitan dengan seluruh
wilayah negara dan bernilai nasional. Museum provinsi adalah museum yang
koleksinya mewakili dan berkaitan dengan salah satu provinsi tertentu, sedangkan
museum lokal adalah museum yang koleksinya mewakili dan berkaitan dengan
wilayah kabupaten atau kotamadya saja (Dinas Kebudayaan Provinsi DIY 2004, II-
3).
Sebagai badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan
menerbitkan hasil-hasil penelitian serta pengetahuan tentang benda-benda yang
penting bagi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, museum mempunyai fungsi antara
lain:
1. Pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah,
2. Pusat penyaluran ilmu untuk umum,
3. Pusat penikmatan karya seni,
4. Pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa,
5. Objek wisata,
6. Media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu pengetahuan,
7. Suaka alam dan suaka budaya,
8. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan,
9. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk menjalankan semua fungsinya tersebut, museum mempunyai struktur
organisasi secara sederhana, yaitu:
74
Kepala Museum
Kurator Koleksi Konservator Laboratorium
Preparator Studio Edukator, Bimbingan, dan
Penyuluhan
Tata Usaha dan Perpustakaan
Tabel 3.1: Struktur organisasi museum.
Adapun fungsi dari masing-masing jabatan adalah kepala museum berfungsi
sebagai koordinator dan penanggung jawab pengelolaan museum. Tata usaha dan
perpustakaan berfungsi sebagai pendokumentasian koleksi. Kurator koleksi
berfungsi sebagai penganalisis koleksi yang dimiliki dan akan menjadi milik
museum. Konservator laboratorium sebagai penanggung jawab terhadap proses
konservasi koleksi museum dan menilai pantas tidaknya sebuah koleksi dimiliki oleh
museum tersebut. Preparator studio berfungsi mempersiapkan pameran di
museum. Edukator, bimbingan, dan penyuluhan bertanggung jawab untuk
mempublikasikan koleksi museum kepada masyarakat dan media sehingga
diketahui oleh masyarakat luas. Sedangkan untuk kebutuhan pengembangan
museum yang semakin komplek diperlukan organisasi yang lebih membutuhkan
banyak sumber daya manusia agar semua dapat berjalan sinergis.
1. Museum dan Kepariwisataan
Museum dan kepariwasataan adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan sama
lain, karena museum merupakan objek pariwisata. Hal ini tercermin dari visi
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu terwujudnya kebudayaan dan
pariwisata yang maju, dinamis dan berwawasan lingkungan, yang mampu
75
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta meningkatkan peradaban, persatuan dan
persahabatan antar bangsa. Sedangkan visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY
adalah terwujudnya Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai daerah
wisata andalan, yang ditopang oleh budaya daerah, serta mampu memberikan
kontribusi positif bagi masyarakat dan daerah, serta turut mendukung pelestarian
nilai-nilai seni budaya dan kemanusiaan serta tertanamnya kebanggan jati diri
bangsa (Sulistyo 2002, 2-3).
Untuk mendatangkan penghasilan yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai
operasional serta pengembangan pelayanan, maka museum diharapkan
mengembangkan potensi-potensi jasa pelengkap untuk mendapatkan pemasukan
finansial. Dukungan dan pendanaan dari luar serta kegiatan yang menghasilkan
pemasukan seperti bantuan sponsor, donatur, toko, restoran, kemitraan dengan
swasta dan organisasi non pemerintah diperkenankan untuk dilakukan sepanjang
tidak bertentangan dengan kode etik museum. Manfaat bagi museum sebagai
institusi harus didapatkan dari penggalian pemasukan ini, namun tetap konsisten
dengan status non-profitnya. Dengan didukung profesionalisme dan panduan
pengelolaan, otonomi museum secara finansial dapat lebih diperbesar sejauh
maksud pelestarian pusaka dan pemanfaatannya bagi masyarakat tetap terjamin
(Utomo dan Indro Sulistyanto 2003, 3-4).
2. Konservasi di Museum
Kegiatan konservasi terkadang membutuhkan waktu lama dan biaya yang lebih
besar dibandingkan dengan kegiatan ekskavasi. Tanpa konservasi, artefak-artefak
hasil ekskavasi tersebut akan rusak bahkan data yang tersimpan didalamnya akan
hilang.
76
Untuk melakukan konservasi di bidang arkeologi dibutuhkan prosedur agar
berjalan sebagaimana mestinya. Prosedur tersebut antara lain (Hamilton 1999a,
12):
1. Mengantisipasi setiap hal yang mungkin terjadi pada penelitian arkeologi,
melakukan sebuah survei, pengujian, dan ekskavasi dalam skala besar.
2. Mewaspadai tipe-tipe kerusakan pada objek arkeologi, hasil dari
kerusakan, dan penurunan tingkat yang mungkin akan dialami oleh
material yang telah dikonservasi tersebut.
3. Mempekerjakan seorang ahli yang memiliki pengalaman ekskavasi
lapangan untuk memastikan bahwa artefak yang dikonservasi tersebut
diperlakukan sebagaimana mestinya.
4. Membuat rancangan dimana artefak tersebut kemungkinan bisa
dikonservasi kembali.
5. Peneliti menyadari bahwa ini adalah sebuah proyek penelitian arkeologi,
dan tidak hanya akan berhenti di lapangan saja, tetapi tetap berlanjut ke
laboratorium.
Dibandingkan dengan artefak berbahan dasar tulang, kaca, dan gerabah, artefak
yang terbuat dari bahan organik seperti kulit, kayu, dan tekstil adalah artefak yang
rentan terhadap kerusakan.
Penyimpanan artefak dari bahan tekstil, baik yang berasal dari hewan maupun
tumbuhan seperti wool, bulu, sutra, katun, rami, maupun rumput memerlukan
lingkungan yang khusus karena artefak tersebut rentan terhadap sinar ultra violet,
serangga, mikroorganisme, dan polusi udara. Kelembaban relatif untuk artefak
tekstil adalah 68% dan idealnya koleksi tekstil harus disimpan di dalam tempat
gelap dengan temperatur 10°c dan kelembaban 50% (Hamilton 1999b, 1, 9).
Pengaturan suhu dan kelembaban udara yang sesuai dengan sifat dan tuntutan
bahan dasar dari benda budaya sangat diperlukan. Untuk Indonesia secara umum,
77
tingkat suhu udara yang cocok dalam penyimpanan adalah antara 20°c sampai
24°c, sedangkan tingkat kelembaban antara 45% sampai 60%. Penggunaan AC
tidak dianjurkan khususnya untuk museum-museum daerah. Lebih dianjurkan untuk
menggunakan ventilasi yang baik sehingga suhu di dalam dan di luar gedung tetap
sama. Apabila hanya dengan ventilasi dapat terjadi tingkat kelembaban yang relatif
tinggi di dalam ruang penyimpanan, sehingga untuk mencegahnya dapat digunakan
alat dehumidifier. Alat ini lebih cocok digunakan daripada AC karena Indonesia
adalah negara tropis yang dikelilingi laut, sehingga pada musim kemarau pun
kelembaban udara relatif tinggi. Selain dehumidifier, penggunaan silica gel juga
sangat menolong. Sedangkan penggunaan airlock dapat mengurangi pencemaran
dengan cara menyaring debu gas yang dihasilkan zat-zat kimia, debu garam yang
dibawa angin laut dan sebagainya. Pemakaian airlock ini akan sangat membantu
kebersihan ruangan gedung secara keseluruhan (Dinas Kebudayaan Provinsi DIY
2004, 39).
3. Pencahayaan di Museum
Pencahayaan dalam sebuah ruangan museum amatlah penting. Pada tempat
yang memiliki intensitas cahaya yang kurang, kehadiran lampu akan membantu
indera penglihatan kita. Tanpa cahaya, keunikan suatu arsitektur bangunan
museum, unsur dekoratif pada elemen yang memiliki bidang rata, detail tekstur, dan
ornamen akan hilang atau tidak tampak. Cahaya juga dapat meningkatkan nilai
estetika bangunan dan ruangan museum. Detail dan elemen pada benda koleksi
dapat ditonjolkan dengan jenis pencahayaan tertentu sehingga koleksi tersebut
menjadi lebih dominan. Cahaya juga dapat menciptakan nuansa dan karakter pada
ruangan museum, sehingga ruangan akan terlihat lebih luas atau memberi kesan
tertentu yang berpengaruh terhadap pengunjungnya (Majalah Rumah t.t., 4).
78
Standar penyinaran untuk sebuah museum dengan koleksi tekstil dan berbahan
kertas, sebaiknya tingkat intensitas cahaya adalah 50 lux untuk koleksi bergambar
dan 150 lux untuk koleksi tidak bergambar. Untuk koleksi yang sensitif dengan
cahaya seperti bahan tekstil, manuskrip, cat air dapat menggunakan pencahayaan
dengan pengatur tingkat intensitas cahaya (Michalski 2004, 78).
Foto 3.1: Pencahayaan di Museum TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
4. Pameran di Museum
Penyajian benda koleksi yang paling tepat adalah dengan menggelar pameran.
Pameran museum adalah salah satu bentuk penyajian informasi tentang benda
koleksi yang dimiliki oleh museum, dan koleksi yang dipamerkan tidak hanya
diletakkan begitu saja, tetapi semua harus diatur sedemikian rupa dan terencana,
sehingga pameran tersebut mudah dipahami dan dimengerti oleh pengunjung.
Pameran di museum merupakan salah satu sarana belajar, maka harus diciptakan
suatu situasi di mana pengunjung mendapatkan rangsangan-rangsangan untuk
belajar sendiri. Untuk suatu pameran harus diperhatikan adanya hal-hal yang
berkaitan dengan kebutuhan fisik intelektual dan emosional dari publiknya. Tujuan
lain dari pameran adalah untuk memberikan informasi kepada pengunjung museum
79
tentang benda-benda koleksi yang dimiliki museum, sehingga dengan adanya
pameran dapat meningkatkan penghayatan terhadap warisan budaya dan
kesadaran akan sejarah bangsa (Direktorat Permuseuman 1986, 7).
Museum dengan pamerannya adalah situasi pendidikan informal yang dialami
sebagai situasi pengajaran langsung. Situasi pengajaran informal mengandung
unsur pemilihan yang bebas, setiap pengunjung menentukan sendiri tujuan-tujuan
kunjungannya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa penyajian koleksi dalam
bentuk tata pameran, selain memerlukan hal-hal yang berhubungan dengan estetika
dan teknik penyajian memerlukan psikologi pendidikan (Direktorat Permuseuman
1994a, 1).
Dalam memamerkan koleksinya tersebut, museum harus memenuhi standar
teknik penyajian, antara lain ukuran, tata cahaya, tata letak, tata pengamanan, label,
dan foto penunjang. Apabila standar tersebut sudah terpenuhi, maka penataan
dapat dilaksanakan sesudah dibuatkan desain penataan berdasarkan metode
penyajian estetis, intelektual, dan romantik.
Pendekatan estetis adalah cara penyajian benda-benda koleksi dengan
mengutamakan segi keindahan benda itu sendiri. Pendekatan intelektual adalah
cara penyajian benda-benda koleksi yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat
mengungkapkan suasana tertentu yang berhubungan dengan benda-benda yang
dipamerkan, sedangkan pendekatan romantika adalah cara penyajian benda-benda
koleksi yang disusun sedemikan rupa, sehingga dapat mengungkapkan suasana
tertentu yang berhubungan dengan benda-benda yang dipamerkan. Persentase
pembagian ruang mengikuti standar adalah evokatif: 10% x ruang; edukatif: 20% x
ruang; artistik: 30% x ruang; dan kosong: 40% x ruang (Dwiyanto 1998b, 5).
Dalam menyajikan koleksi pameran, sebaiknya tidak semua koleksi disajikan di
dalam ruang pameran permanen. Namun rotasi koleksi pameran harus tetap
diagendakan secara tetap dan tidak terlalu lama sehingga menghindarkan museum
80
dari citra statis dan tanpa gairah. Di dalam pembagiannya, koleksi yang dipamerkan
maksimal adalah 2/3 dari seluruh koleksi dan sisanya (1/3) disimpan di ruang
penyimpanan koleksi.
Pameran di museum terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu pameran tetap,
pameran khusus dan pameran keliling. Pameran tetap merupakan usaha atau
kegiatan penyajian koleksi untuk jangka waktu lima tahun, berdasarkan sistem dan
metode tertentu, dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap
bukti-bukti material manusia dan lingkungannya. Pameran khusus (temporer)
adalah pameran dengan jangka waktu tertentu dan variasi waktu yang relatif singkat
dengan mengambil tema khusus mengenai suatu unsur kebudayaan dan atau
kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan dan atau lingkungannya. Pameran
khusus bertujuan untuk memberikan dimensi tambahan informasi pameran tetap
kepada masyarakat dengan tema khusus dalam rangka meningkatkan apresiasi
masyarakat (Direktorat Permuseum 1986, 6).
Pameran pameran keliling sebagai usaha untuk menyajikan koleksi dalam jangka
waktu tertentu dan variasi waktu yang relatif singkat dengan mengambil tema
khusus mengenai suatu unsur kebudayaan atau suatu kegiatan yang berhubungan
dengan kebudayaan dan atau lingkungannya serta dilakukan di luar museum.
Pameran keliling bertujuan untuk memperkenalkan suatu unsur kebudayaan atau
suatu kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan dan atau lingkungannya
kepada masyarakat daerah tempat pameran keliling tersebut diselenggarakan
(Direktorat Permuseum 1986, 6).
Sementara itu, pendapat Michael Belcher yang dikutip dalam artikel Herreman
(2004, 92) membagi pameran menjadi 3 jenis berdasarkan lama waktunya.
Pameran jangka pendek untuk pameran dengan jangka waktu antara satu hingga
tiga bulan, pameran jangka menengah untuk pameran dengan jangka waktu antara
tiga hingga enam bulan, dan pameran jangka panjang untuk pameran dengan
81
jangka waktu diatas enam bulan hingga tak terbatas. Jenis displai yang disajikan
museum bermacam-macam, antara lain:
1. displai kontemplatif: mengajak pengunjung untuk merenungkan, berpikir,
2. didaktik: mengajarkan, menyampaikan sesuatu,
3. rekonstruksi,
4. grup: objek bersama-sama didisplay dengan sedikit penjelasan,
5. penyimpanan yang dapat dilihat,
6. displai penemuan: pengunjung diajak terlibat dengan objek.
Banyak cara yang digunakan pengelola museum dalam menyajikan informasi
baik yang berkaitan secara langsung dengan koleksi maupun dengan tema
pameran. Media yang digunakan dalam penyajian menggunakan alat peraga
antara lain:
1. Konvensional, yang menggunakan panil untuk foto, lukisan, poster, dan
gambar komik.
Foto 3.2: display dengan media panil pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
2. Tiga Dimensi Benda
a. bendanya
82
b. penataan ruang
c. rekontruksi
Foto 3.3: display rekontruksi pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
d. diorama
3. Audio Visual
Foto 3.4: display audio visual pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
83
4. Virtual Display
Foto 3.5: virtual display pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Penggunaan teknologi dalam bidang pameran saat ini sudah sangat maju.
Beberapa museum sudah menyediakan layanan QTVR atau Quick Time Virtual
Reality yaitu sebuah fasilitas teknologi yang disediakan oleh museum berupa
penyajian gambar tentang koleksi museum secara cuma-cuma kepada masyarakat
luas melalui jaringan internet, seperti yang telah dilakukan oleh Museum Louvre,
Paris sejak tahun 2004.
Museum sebagai wahana pengetahuan bagi publik diharapkan dapat terus
memberikan informasi yang mendidik lewat koleksi yang dimilikinya sehingga akan
mencerdaskan masyarakat dan lingkungannya. Selain itu program-program yang
diadakan di beberapa museum telah melibatkan pengunjung untuk aktif di
dalamnya, sehingga pengunjung dapat merasakan suasana yang berbeda dari
sekedar melihat koleksi dalam vitrin-vitrin museum. Dalam hal ini museum
84
merupakan sebuah wahana yang sangat penting dalam proses pertukaran,
pengayaan, dan pengembangan budaya.
Sebagai tempat bimbingan edukatif, museum bertujuan memberi stimulan
kepada pengunjung, khususnya kepada para pelajar untuk mengembangkan
imajinasi dan kepekaan. Pengembangan imajinasi dan kepekaan ini dapat dilakukan
melalui kegiatan:
1. Bimbingan keliling museum,
2. Kegiatan ceramah,
3. Kegiatan pemutaran audio visual,
4. Kegiatan bimbingan karya tulis,
5. Kegiatan museum keliling.
Sebelumnya, museum hanya dikunjungi oleh para pelajar, itupun karena program
dari sekolah yang mewajibkan mereka untuk mengunjungi museum. Saat ini di
Indonesia sudah mulai berkembang kesadaran untuk mengunjungi museum bagi
segala lapisan masyarakat. Salah satu contoh perkembangannya adalah Sahabat
Museum. Sahabat museum adalah sebuah komunitas pencinta sejarah, museum,
bangunan tua, dan suasana tempo dulu. Tujuan komunitas ini adalah sebagai
wahana untuk berbagi cerita, pengalaman mengunjungi museum atau situs-situs
sejarah hingga mengadakan kegiatan mengunjungi tempat wisata sejarah dengan
konsep edutaiment (education and entertaiment).
B. SISTEM REGISTRASI DAN DOKUMENTASI BERDASARKAN
STANDAR DIREKTORAT MUSEUM
1. Registrasi
Kegiatan registrasi pada dasarnya adalah suatu kegiatan pencatatan keluar
masuknya koleksi serta pendeskripsian koleksi tersebut secara singkat, jelas, dan
sesempurna mungkin.
85
Tujuan dibuat standar oleh Direktorat Museum adalah untuk menciptakan
keseragaman dan kelancaran pengelolaan koleksi sehingga administrasi koleksi
lebih baik serta tertib sesuai ilmu permuseuman. Apabila koleksi dikelola dengan
baik, maka koleksi akan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengamanan
koleksi sesuai dengan tujuan awal didirikannya sebuah museum, yaitu sebagai
tempat pendidikan, studi, dan rekreasi.
Awal penanganan benda setelah benda itu resmi menjadi milik koleksi adalah
dilakukannya suatu penanganan yang disebut registrasi. Registrasi merupakan
suatu kegiatan pencatatan tentang koleksi meseum yang sangat diperlukan untuk
penelitian lebih lanjut karena merupakan sumber informasi awal dari benda koleksi
tersebut. Kegiatan ini harus dilakukan oleh petugas pencatat koleksi yang biasa
disebut registrar dengan teratur dan kontinu.
Pencatatan data koleksi museum perlu ditertibkan, yang gunanya untuk
pengamanan dan mengetahui secara cepat seluruh kekayaan museum yang berupa
koleksi. Selain itu juga, registrasi merupakan pendataan yang pertama sebagai
dasar untuk penelitian lebih lanjut.
Setiap museum hanya memiliki satu macam buku registrasi koleksi yang
mempunyai kedudukan sebagai buku induk dan dikelola oleh seorang registrar, di
bawah tanggung jawab bagian tata usaha, serta dua macam buku inventaris
koleksi. Buku inventaris koleksi terdapat dua macam, yaitu buku induk inventaris
koleksi dan buku inventaris koleksi. Buku induk inventaris koleksi dikelola oleh
kepala seksi koleksi, sedangkan buku inventaris koleksi dikelola oleh staff koleksi
lainnya yang telah telah ditunjuk.
1. 1. Standar Buku Registrasi, Buku Induk Inventaris, dan Buku Inventaris Koleksi.
Buku Registrasi berfungsi untuk menertibkan administrasi pencatatan data
koleksi museum. Buku ini memuat semua data awal setiap benda yang sudah resmi
86
menjadi milik museum. Hal ini tidak mempermasalahkan apakah koleksi tersebut
hasil pembelian, hibah, titipan, sitaan, hasil penelitian, dan hasil tukar menukar.
Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa benda tersebut sudah diteliti dan
diseleksi sehingga menjadi koleksi museum dan benda itu resmi menjadi milik
museum.
Sedangkan fungsi dari buku induk inventaris koleksi dan buku inventaris koleksi
adalah (Direktorat Permuseman 1994b, 10):
1. Untuk mengetahui jenis dan jumlah koleksi museum.
2. Memudahkan pemanfaatan koleksi untuk penelitian dan menyebarluaskan
koleksi.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengadaan koleksi lebih lanjut.
4. Untuk mempermudah pelacakan bila terjadi kehilangan koleksi.
Agar mencapai hasil yang baik dalam pencatatan inventaris koleksi maka perlu
diketahui bahwa (Direktorat Permuseuman 1994b, 11):
1. Seorang pengelola koleksi sebaiknya memiliki pengetahuan tentang latar
belakang koleksi.
2. Koleksi yang diterima registrar harus segera dicatat dalam buku induk
inventaris koleksi berdasarkan catatan pada kartu yang diterima dari registrar.
3. Isi catatan pada kolom buku inventaris harus lengkap pada saat pengisian
(nomor registrasi, nomor inventaris, dan catatan lain pada kolom yang
tersedia).
4. Jika semua data telah dicatat, kartu yang berasal dari registrar harus
dilengkapi dengan nomor inventaris dan dikirimkan kembali ke registrar.
Nomor inventaris itu akan dicatat dalam buku registrasi oleh registrar.
5. Catatan pada kolom uraian singkat dalam buku inventaris harus lengkap/
berbobot, karena buku inventaris berfungsi sebagai panduan pemanfaatan
koleksi.
87
6. Nomor inventaris koleksi yang ditulis dalam buku inventaris harus sama
dengan yang dicantumkan pada koleksinya.
Dalam kegiatan registrasi dan inventarisasi dilakukan hal-hal sebagai berikut
(Direktorat Museum 2007, 8-10):
1. Penomoran
Penomoran yang diregistrasi dan inventarisasi diberi nomor registrasi dan
inventarisasi. Penomoran ini untuk mengamankan dan mempermudah dalam
pengelolaan koleksi. Penomoran pada registrasi koleksi adalah penomoran kepada
seluruh koleksi museum secara berurutan, berdasarkan masuknya koleksi ke
museum. Sedangkan penomoran inventarisasi koleksi didasarkan kepada jenis
klasifikasi dan jumlah koleksi dalam satu jenis koleksi, kemudian diikuti oleh nomor
urut koleksi dalam satu jenis klasifikasi.
2. Klasifikasi
Klasifikasi merupakan pengelompokan koleksi berdasarkan kriteria tertentu, yaitu
menurut disiplin ilmu, sub disiplin ilmu, serta berdasarkan jenis, bahan, asal daerah,
dan kronologi. Tujuan klasifikasi adalah untuk menciptakan pengelompokan dan
mempermudah dalam pengelolaan dan penelitian sehingga dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk kepentingan pendidikan, studi, dan rekreasi.
3. Katalogisasi Koleksi
Katalogisasi koleksi merupakan suatu kegiatan merekam, baik secara verbal
maupun visual, serta menguraikan indentifikasi koleksi pada lembaran kerja yang
mempunyai format tertentu. Katalogisasi bertujuan untuk menghasilkan kartu
katalog koleksi yang berisi bahan informasi tentang koleksi dan latar belakang
secara lengkap serta dapat dijadikan sumber penelitian dan bahan publikasi.
4. Pengukuran Koleksi
Pengukuran koleksi dilakukan oleh petugas museum, baik pada saat benda akan
dijadikan koleksi maupun sudah menjadi koleksi museum. Pengukuran dilakukan
88
oleh petugas museum yang bertugas sebagai tim survei dan pengadaan koleksi,
registrar, dan kurator.
5. Pemotretan Koleksi
pemotretan koleksi dilakukan mulai dari saat pengadaan koleksi (untuk laporan),
dokumentasi dalam pengelolaan koleksi, bahkan pada setiap koleksi yang akan dan
sesudah dikonservasi atau direstorasi. Pemotretan koleksi dapat menggunakan
media film analog maupun digital, baik dalam hitam putih maupun berwarna.
6. Berita Acara
Berita acara adalah sebuah keterangan resmi tentang status atau keberadaan
sebuah koleksi yang ditandatangani dua pihak beserta saksi, atas sepengetahuan
penanggung jawab koleksi. Berita acara biasanya dibuat dengan pihak luar atau
antar penanggung jawab pengelola koleksi di museum. Berita acara dibuat oleh tim
pengadaan koleksi ke bagian koleksi, kemudian dari bagian koleksi ke bagian
preparasi, untuk disajikan atau disimpan di gudang.
Di dalam museologi, jenis koleksi museum telah disepakati kode inventarisnya,
sehingga akan memudahkan inventarisasi, yaitu (Direktorat Permuseuman 1994b,
12):
No. Jenis Koleksi Kode Inventaris
1. Geologika/ Geografika 01
2. Koleksi Biologika 02
3. Koleksi Etnografika 03
4. Koleksi Arkeologika 04
5. Koleksi Historika 05
6. Koleksi Numismatika dan Heraldika 06
7. Koleksi Fisiologika 07
8. Koleksi Keramologika 08
9. Koleksi Seni Rupa 09
10. Koleksi Teknologika 10
tabel 3.2: Kode inventaris jenis koleksi.
89
Buku registrasi dan buku inventaris koleksi bersifat dokumentar dan monumental
sehingga harus dicetak khusus dengan huruf judul buku yang besar dan
proposional. Tulisan judul buku dan logo pada sampul pertama dengan tinta emas.
Logo Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ditempatkan pada bagian tengah
atas sampul.
Penulisan judul buku hanya dilakukan pada sampul pertama dan kedua. Sampul
pertama dari kerta tebal berlapis kain linen berwarna biru tua, sedangkan sampul
kedua dari kertas HVS polos minimal 80 gram.
Cara penulisan pada judul adalah pada sampul pertama hanya terdapat judul
dan logo. Kemudian pada sampul kedua, selain terdapat tulisan utama berupa judul
buku dan logo, pada bagian bawah terdapat tulisan Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, dan Direktorat Museum.
Tulisan tidak perlu besar, namun harus tetap proposional.
Luas bagian sampul buku adalah 50 x 32 cm dengan isi 250 lembar
menggunakan kertas HVS 80 gram. Pada lembar isinya terdapat kolom-kolom isian
dan tulisan kepala kolom yang sudah dicetak. Di luar kolom harus bersih, kecuali
tulisan nomor halaman di kanan atas. Luas halaman efektif setelah dikurangi
kelebihan sampul teknis adalah 49 x 31 cm (panjang mendatar). Dengan ukuran
kolom sebagai berikut (Direktorat Permuseuman 1994b, 5-6):
a. Garis horizontal pertama dobel (tebal dan tipis) 3 cm dari atas.
b. Garis horizontal penutup kolom pada tiap halaman 2 cm dari bawah.
c. Kolom horizontal untuk tulisan kepala atau jarak garis horizontal pertama
dan kedua adalah 1,5 cm.
d. Kolom halaman atau jarak garis isian adalah 0,7 cm. Garis isian jauh
lebih tipis dari garis kolom.
e. Kolom vertikal
90
1) Buku registrasi dan koleksi
Tulisan Kepala Kolom Lebar Kolom Nomor registrasi 4,5 cm
Nomor inventaris
(Kode jenis koleksi = 1,5 cm)
(nomor urut koleksi dalam jenis koleksinya
= 4,5 cm)
6 cm
Nama koleksi
Umum : 3 cm
Khusus : 3 cm
6 cm
Uraian singkat 8,5 cm
Tempat pembuatan 4 cm
Tempat perolehan 4 cm
Cara perolehan 3 cm
Ukuran 3 cm
Tanggal/ tahun masuk 3 cm
Harga 3 cm
Keterangan 4 cm +
Panjang halaman efektif horizontal 49 cm
Tabel 3.3: Ukuran kolom buku registrasi dan koleksi.
91
2) Buku induk inventaris koleksi
Tulisan Kepala Kolom Lebar Kolom Nomor registrasi 4,5 cm
Nomor inventaris
(Kode jenis koleksi = 1,5 cm)
(nomor urut koleksi dalam jenis koleksinya
= 4,5 cm)
6 cm
Nama koleksi
Umum : 3 cm
Khusus : 3 cm
6 cm
Uraian singkat 10,5 cm
Tempat pembuatan 4 cm
Tempat perolehan 4 cm
Cara perolehan 3 cm
Ukuran 3 cm
Tanggal/ tahun masuk 3 cm
Keterangan 5 cm +
Panjang halaman efektif horizontal 49 cm
Tabel 3.4: Ukuran kolom buku induk inventaris koleksi.
3) Buku inventaris koleksi
Tulisan Kepala Kolom Lebar Kolom Nomor registrasi 4,5 cm
Kode sub jenis koleksi 1,5 cm
Nomor registrasi 4,5 cm
Nama koleksi
Umum : 3 cm
Khusus : 3 cm
6 cm
Uraian singkat 8,5 cm
Tempat pembuatan 4 cm
Tempat perolehan 4 cm
Cara perolehan 3 cm
Ukuran 3 cm
Tanggal/ tahun masuk 3 cm
Penempatan 3 cm
Keterangan 4 cm +
Panjang halaman efektif horizontal 49 cm
Tabel 3.5: Ukuran kolom buku inventaris koleksi.
92
Dalam menentukan kebijakan pengadaan koleksi, museum perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
A. Prinsip dan persyaratan sebuah benda menjadi koleksi, antara lain:
1. Memiliki nilai sejarah dan nilai ilmiah (termasuk nilai estetika).
2. Dapat diidentifikasikan mengenai bentuk, tipe, gaya, fungsi, makna, asal
secara historis dan geografis.
3. Harus dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai bukti nyata dan
eksistensinya bagi penelitian ilmiah.
B. Prinsip skala prioritas, yaitu penilaian untuk benda-benda yang bersifat:
1. Masterpiece, merupakan benda yang terbaik mutunya.
2. Unik, merupakan benda yang memiliki ciri khas tertentu karena dalam jangka
waktu yang sudah terlalu lama tidak dibuat lagi.
3. Hampir punah, merupakan benda yang sulit ditemukan karena dalam jangka
waktu yang sudah terlalu lama tidak dibuat lagi;
4. Langka, merupakan benda-benda yang sulit ditemukan karena tidak dibuat
lagi atau karena jumlah hasil pembuatannya hanya sedikit.
2. Dokumentasi
Dokumentasi objek museum adalah keterangan tertulis mengenai koleksi
museum. Apabila objek museum tidak mempunyai keterangan tertulis perlu dicari
keterangan dengan jalan melaksanakan: studi perbandingan koleksi yang
menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan kebutuhan, penelitian
secara tipologis, penelitian secara historis, penelitian secara antropologis, dan
sebagainya. Setiap museum sebaiknya telah menetapkan sistem dokumentasi
untuk melindungi data koleksi. Dokumentasi koleksi dibagi dalam dua kategori
umum, yaitu (Direktorat Museum 2007, 5-6):
93
a. Dokumentasi yang disertai fungsi registrasi. Dokumen utama ini
merupakan stasus legal dari sebuah objek atau pada proses
peminjaman koleksi di museum, serta koleksi yang berpindah di
bawah pengawasan museum.
b. Dokumentasi yang disertai fungsi kuratorial, yaitu memberikan
informasi yang lebih luas mengenai sebuah objek dan menempatkan
objek pada tempat yang tepat dan penting di dalam kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. Dokumentasi koleksi sebaiknya disimpan di lokasi
yang aman, terpelihara, dan disertai dengan metode penyimpanan
yang baik. Pendokumentasian ini umumnya dilakukan dengan
pembuatan kartu simpan.
Adapun prosedur administrasi koleksi adalah (Direktorat Museum 2007, 6):
koleksi
↓
nomor registrasi
buku induk registrasi
nomor inventarisasi
kartu registrasi
label registrasi
↓
buku induk inventarisasi
kartu inventarisasi
↓
kartu katalog
↓
kartu simpan/ kartu kontrol
Tabel 3.6: Prosedur administrasi koleksi.
Prosedur administrasi koleksi museum adalah ketika koleksi akan dimasukkan
sebagai koleksi museum, calon koleksi tersebut akan diberikan nomor registrasi.
Selanjutnya calon koleksi akan diteliti oleh tim ahli yang terdiri dari seksi koleksi,
seksi edukasi, dan seksi preparasi. Apabila oleh tim ahli, calon koleksi tersebut
94
disetujui untuk menjadi koleksi museum, maka dicatat ke dalam buku induk
registrasi yang dikelola oleh registrar dan memperoleh nomor inventarisasi. Setelah
itu koleksi akan disertakan kartu registrasi dan label registrasi. Kemudian koleksi
akan disimpan sementara ke dalam ruang karantina.
Selanjutnya koleksi dicatat ke dalam buku induk inventaris yang dikelola oleh
koodinator koleksi. Kemudian data koleksi tersebut akan disalin secara singkat ke
dalam kartu inventarisasi. Apabila dikemudian hari koleksi tersebut diteliti secara
ilmiah, maka hasil penelitian koleksi tersebut akan disertakan pada kartu katalog.
Untuk memudahkan proses pencarian, maka pada tahap terakhir, koleksi akan
dicatat pada kartu simpan.
Awal penanganan benda setelah benda itu resmi menjadi milik koleksi adalah
dilakukannya suatu penanganan yang disebut registrasi. Registrasi merupakan
suatu kegiatan pencatatan tentang koleksi meseum yang sangat diperlukan untuk
penelitian lebih lanjut karena merupakan sumber informasi awal dari benda koleksi
tersebut. Kegiatan ini harus dilakukan oleh petugas pencatat koleksi yang biasa
disebut registrar dengan teratur dan kontinu.
Pencatatan data koleksi museum perlu ditertibkan, yang gunanya untuk
pengamanan dan mengetahui secara cepat seluruh kekayaan museum yang berupa
koleksi. Selain itu juga, registrasi merupakan pendataan yang pertama sebagai
dasar untuk penelitian lebih lanjut.
Untuk menertibkan administrasi pencatatan data koleksi museum perlu dibuat
buku yang disebut buku registrasi. Buku ini memuat semua data awal setiap benda
yang sudah resmi menjadi milik museum. Hal ini tidak mempermasalahkan apakah
koleksi tersebut hasil pembelian, hibah, titipan, sitaan, hasil penelitian, dan hasil
tukar menukar. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa benda tersebut sudah
diteliti dan diseleksi sehingga menjadi koleksi museum dan benda itu resmi menjadi
milik museum.
95
Buku inventaris terdiri dari buku induk inventaris koleksi dan buku inventaris
koleksi. Fungsi dari buku inventaris antara lain (Direktorat Permuseman 1994b, 10):
1. Untuk mengetahui jenis dan jumlah koleksi museum.
2. Memudahkan pemanfaatan koleksi untuk penelitian dan menyebarluaskan
koleksi.
3. Sebagai bahan pertimbangan untuk pengadaan koleksi lebih lanjut.
4. Untuk mempermudah pelacakan bila terjadi kehilangan koleksi.
Agar mencapai hasil yang baik dalam pencatatan inventaris koleksi maka perlu
diketahui bahwa (Direktorat Permuseuman 1994b, 11):
1. Seorang pengelola koleksi sebaiknya memiliki pengetahuan tentang latar
belakang koleksi.
2. Koleksi yang diterima registrar harus segera dicatat dalam buku induk
inventaris koleksi berdasarkan catatan pada kartu yang diterima dari
registrar.
3. Isi catatan pada kolom buku inventaris harus lengkap pada saat pengisian
(nomor registrasi, nomor inventaris dan catatan lain pada kolom yang
tersedia).
4. Jika semua data telah dicatat, kartu yang berasal dari registrar harus
dilengkapi dengan nomor inventaris dan dikirimkan kembali ke registrar.
Nomor inventaris itu akan dicatat dalam buku registrasi oleh registrar.
5. Catatan pada kolom uraian singkat dalam buku inventaris harus lengkap/
berbobot, karena buku inventaris berfungsi sebagai panduan pemanfaatan
koleksi.
6. Nomor inventaris koleksi yang ditulis dalam buku inventaris harus sama
dengan yang dicantumkan pada koleksinya.
96
3. Label
Prinsip-prinsip dalam membuat label meliputi (Direktorat Permuseuman 1993, 6-
7):
1. label harus memiliki “daya tarik”,
2. label harus memiliki “daya ikat”,
3. label harus membantu daya ingat pengunjung kepada sesuatu hal yang
pernah dilihat atau diketahuinya,
4. label harus memberikan informasi yang diperlukan oleh pengunjung,
5. label siap untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang ingin diketahui
oleh pengunjung,
6. label harus memberikan umpan balik.
Jenis label pada umumnya terdiri dari 6 jenis, yaitu (Direktorat Permuseuman
1993, 11-15):
1. Label Judul
Label judul sangat penting peranannya, karena sangat diperlukan agar
pameran lebih menarik dan memberikan informasi awal tentang tema apa
yang dipamerkan.
2. Label Sub Judul
Merupakan bagian kedua yang diperlukan untuk memberikan tambahan
keterangan dari label judul.
3. Label Pendahuluan
Label ini berisi tentang penjelasan penting pada suatu pameran, dan
merupakan penjelasan awal dari apa yang dipamerkan atau dari tema
pameran, serta merupakan ringkasan cerita dari pameran. Contoh label
pendahuluan terdapat pada salah satu ruang koleksi di Museum Bank
Indonesia, Jakarta. Melalui label pendahuluan ini diinformasikan tentang
97
datangnya bangsa asing pada abad ke XIV, barang-barang yang menjadi
primadona serta penjelasan tentang pengaruh syahbandar terhadap
pelabuhan itu sendiri, sehingga menjadikan nusantara pada waktu itu sudah
mengenal perniagaan internasional.
Foto 3.6: Label Pendahuluan pada Museum Bank Indonesia, Jakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
4. Label Grup
Merupakan pengembangan informasi yang diberikan untuk lebih menjelaskan
hubungan antara benda-benda yang dipamerkan di dalam vitrin. Dalam foto
3.8, label grup pada salah satu koleksi Museum Sonobudoyo ini memberikan
keterangan tujuh contoh pola geometris pada batik yang berasal dari
Yogyakarta.
98
Foto 3.7: label grup pada Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
5. Label Individual
Foto 3.8: Label individual pada Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
Berisi informasi yang cukup sederhana. Pada foto 3.8, label yang diberikan oleh
Museum Sonobudoyo terhadap salah satu koleksinya yang berada di ruang batik
sangat sederhana sekali.
99
6. Label Identifikasi Benda
Berisi tentang keterangan mendasar dari fakta benda tersebut seperti nama
benda, tanggal didapat atau dibeli, nama penyumbang, dan sebagainya. Seperti
pada foto 3.9, label yang diberikan oleh pihak Museum Pusat TNI AU Dirgantara
Mandala terhadap koleksi pesawat P-51 Mustang adalah memuat data tentang
negara asal, buatan pabrik, jenis, berat, panjang badan pesawat, tinggi terbang
maksimum, persenjataan, dan jumlah awak pesawat. Data dari label tersebut
pengunjung dapat memperoleh informasi yang bernilai penting walaupun hanya
disajikan secara sederhana.
Foto 3.9: Label indentifikasi pada Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
100
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan label antara lain adalah
(Direktorat Permuseuman 1993, 17-21):
a. Penempatan label dan pengunjung
Penempatan label hendaknya tidak menggangu alur pengunjung. Sebaiknya
label diletakkan sedemikan rupa sehingga pengunjung museum dapat membaca
label dari arah kiri ke kanan.
b. Materi atau isi label
Dalam mengisi label, hendaknya pegawai museum bisa memberikan informasi
yang menarik perhatian pengunjung, tidak hanya memberikan informasi yang
faktual dengan rumusan baku who, when, where, how dan way tetapi juga harus
bisa menuangkan esensi dari label ke dalam bahasa dan gaya bahasa yang
dapat dipahami oleh para pengunjung museum yang beraneka ragam latar
belakang. Namun, tidak semua pegawai museum memiliki kemampuan untuk
menyusun label dengan baik sehingga diperlukan latihan terus menerus dari
pegawai museum.
c. Format dan warna label
Warna pada label pada umumnya berwarna pastel seperti krem sehingga
memberikan kesan luas. Pada koleksi yang mencirikan benda religius atau
sakral, dapat menggunakan warna dasar merah atau hitam.
d. Penempatan letak label
Penempatan label hendaknya memperhatikan batas maksimal pandangan mata
manusia, sehingga pengunjung tidak cepat lelah dalam membaca label.
101
C. SISTEM REGISTRASI DAN DOKUMENTASI
PADA MUSEUM BATIK YOGYAKARTA
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi museum dalam Museum Batik Yogyakarta saat ini masih
menggunakan struktur organisasi yang sederhana.
Kepala Museum
Pengelola Museum
Kepala Tata Usaha
Seksi Edukasi
Tabel 3.7: Struktur organisasi Museum Batik Yogyakarta.
Struktur yang sederhana tersebut dikarenakan sedikitnya sumber daya manusia
dan pendanaan museum tersebut. Saat ini hanya terdapat 4 orang pegawai
museum. Dengan rincian kepala museum dijabat oleh Bapak Hadi Nugroho sebagai
pemilik museum, sedangkan kepala tata usaha dijabat oleh Ibu Sri Purwani, dan
pengelola museum dijabat oleh Bapak Bejo Haryono, dan satu orang lagi yaitu
Bapak Prayogo memiliki jabatan sebagai seksi edukasi.
2. Prosedur Administrasi Koleksi
Prosedur administrasi koleksi baru berjalan pada tahun 2003, sejak dikelola oleh
pegawai yang mengerti bidang museologi. Sebelumnya prosedur administrasi
koleksi, dilakukan tanpa melakukan pencatatan yang rinci tentang koleksinya
(Haryono, 2007). Saat ini prosedur administrasi koleksi adalah:
102
Koleksi
↓
Nomor inventarisasi
Buku induk
inventarisasi
Kartu inventarisasi
↓
Ruang pamer
Tabel 3.8: Prosedur administrasi koleksi Museum Batik Yogyakarta.
3. Buku Registrasi
Saat ini Museum Batik Yogyakarta belum memiliki buku registrasi, hal ini
disebabkan terbatasnya sumber daya manusia. Namun pengelola museum sedang
merencanakan pembuatan buku registrasi, sehingga nantinya pun akan
memudahkan kerja pengelola museum.
Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh Direktorat Museum, Kode
inventaris 03 yang merupakan jenis koleksi etnografika digunakan pada koleksi kain
batik, gawangan, bandul, timbangan, ngemplong. Kode inventaris 10 untuk
teknologika seperti koleksi canting, cap, talam, wajan, sarangan, kenceng,
cumplung, ekor, cucuk, luju, jegoal, cawuk, kuwuk.
4. Buku Induk Inventaris Koleksi
Buku induk yang dimiliki oleh Museum Batik Yogyakarta sedikit berbeda dengan
standar yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum. Namun hal tersebut bukan
menjadi masalah yang berarti, karena perbedaan hanya terletak di ukuran kertas
yang dipakai sedangkan isi seluruh kolom sama. Saat ini buku induk inventaris
koleksi di Museum Batik Yogyakarta menggunakan kertas ukuran kuarto.
103
5. Buku Inventaris Koleksi
Buku inventaris koleksi Museum Batik Yogyakarta terdiri dari belum mengalami
proses penjilidan. Buku ini masih berupa lembaran kertas ukuran kuarto. Lembaran
ini dikumpulkan dalam map. Sebagian besar koleksi museum sudah tercatat dalam
buku ini
6. Kartu Registrasi
Kartu registrasi pada Museum Batik Yogyakarta saat ini baru mencakup pada
seluruh koleksi batik saja yang berjumlah 500, sedangkan kartu simpan untuk
koleksi lain sedang dalam tahap pengerjaan. Pada bagian belakang kartu simpan
terdapat kolom uraian singkat yang biasanya memuat data tentang teknik
pembuatan, bahan, ragam hias, dan fungsi.
Foto 3.10: Kartu Registasi pada Museum Batik Yogyakarta, Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
104
7. Katalogisasi Koleksi
Pembuatan katalog pada Museum Batik Yogyakarta belum terlaksana, hal ini
dikarenakan katalogisasi memuat data ilmiah koleksi, sehingga diperlukan penelitian
pada koleksi tersebut. Sedangkan pada koleksi di Museum Batik Yogyakarta belum
dilakukan penelitian pada seluruh koleksinya, sehingga hal ini akan menjadi sia-sia
saja.
8. Label
Label yang digunakan dalam Museum Batik Yogyakarta menggunakan label jenis
individu karena semua koleksi berdiri sendiri. Label ini menggunakan warna dasar
putih dengan label yang berwana hitam, namun di beberapa label, warna label telah
memudar. Label ini memuat data nomor inventaris, objek, pola, warna, bahan,
teknik proses, daerah asal, ukuran, catatan, dan nama pembuat. Label ini dilengkapi
dengan bahasa Inggris.
Foto 3.11: Label Individual pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
105
9. Pemotretan Koleksi
Perekaman data koleksi dalam bentuk visual di museum belum dapat terlaksana.
Tidak tersedianya fasilitas berupa kamera dan mahalnya biaya produksi foto
menjadikan salah satu alasan kenapa pemotretan koleksi hingga saat ini belum
dapat terlaksana, padahal foto koleksi yang tercantum dalam kartu simpan sangat
penting dan akan memudahkan proses pencarian koleksi bila sewaktu-waktu koleksi
tersebut hilang.
Untuk museum yang sudah siap untuk memiliki sistem manajemen koleksi
menggunakan komputer, dalam rangka pendokumentasian koleksi museum dengan
media foto, sebaiknya menggunakan foto dengan resolusi yang tinggi minimal 3
mega piksel dan menggunakan format foto terbaik seperti TIFF. Format foto TIFF
tidak mengalami penurunan kualiatas sehingga warna dan detail gambar yang
diperoleh tetap sebaik benda aslinya. Foto dengan format ini, disimpan pada pusat
data sistem manajemen koleksi museum dan diduplikat ke dalam VCD atau DVD
dan lokasi penyimpanan berada di luar museum, sebagai sebuah tindakan preventif
bila terjadi musibah. Untuk penggunaan publikasi di internet, dapat menggunakan
foto dengan format JPEG yang telah mengalami kompresi sehingga ukuran filenya
lebih kecil.
10. Pengukuran Koleksi
Pengukuran di Museum Batik Yogyakarta hanya dikerjakan seorang diri oleh
pengelola museum, karena terdapat kendala internal dan eksternal. Kendala
eksternal adalah prosedur di dalam permuseuman yang menyatakan bahwa
pengukuran koleksi hanya dilakukan oleh tim survei dan pengadaan alat, registrar,
dan kurator. Kendala internal adalah sedikitnya SDM museum ini sendiri.
106
11. Berita Acara
Berita acara digunakan oleh pihak museum digunakan pada saat koleksi
museum dipinjam oleh pihak luar, sedang dilakukan perbaikan, atau sedang berada
di luar museum karena sedang mengikuti pameran keliling.
Foto 3.12: Berita Acara pada Museum Batik Yogyakarta.
(difoto oleh: Tulus Wichaksono)
107
12. Aplikasi Komputer
Keunggulan yang dimiliki dalam teknologi komputer belum dapat diaplikasikan
pada Museum Batik Yogyakarta. Sampai sat ini museum masih menggunakan
mesin tik yang berjumlah 1 unit. Padahal jika museum ini memiliki komputer, akan
banyak sekali kegiatan di museum yang dapat dilakukan dengan teknologi ini, mulai
dari proses administrasi museum, pembuatan label, penyiapan desain pameran,
penyimpanan data dalam format digital, dan banyak lagi keunggulan bila
menggunakan aplikasi komputer.
108
BAB IV
EVALUASI SISTEM MANAJEMEN REGISTRASI DAN DOKUMENTASI
MUSEUM BATIK YOGYAKARTA
A. Perbandingan dan Penilaian Sistem Manajemen Registrasi dan
Dokumentasi Museum Batik Yogyakarta Berdasarkan
Standar Direktorat Museum
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mencari keserasian antara sistem registrasi
dan dokumentasi yang diterapkan Musem Batik Yogyakarta dengan standar yang
dikeluarkan oleh Direktorat Museum. Sehingga diharapkan dengan adanya evaluasi
ini, dapat menjadi pijakan bagi pengelola museum untuk pengembangan museum di
masa yang akan datang.
Dalam bukunya, Arikunto menggolongkan evaluasi menjadi tiga jenis, yaitu:
evaluasi awal (pre-evaluasion), evaluasi proses, dan evaluasi akhir (2005, 224).
Evaluasi ini juga menggunakan pelaku dari luar program dalam hal ini dari luar
struktur Museum Batik Yogyakarta yaitu penulis sendiri, sehingga diharapkan
penilaian dan hasil yang dilaporkan bersifat objektif.
Pada penelitian ini penulis menggunakan instrumen penelitian berupa
wawancara dengan responden kurator Museum Batik Yogyakarta dan observasi
langsung ke lapangan untuk mencocokan data hasil wawancara serta review
dokumen.
Variabel yang akan diuji berjumlah 12 buah meliputi buku registrasi, buku induk
inventaris koleksi, buku inventaris koleksi, katalogisasi koleksi, kartu registrasi,
prosedur administrasi koleksi, label, pemotretan koleksi, pengukuran koleksi, berita
acara, dan aplikasi komputer.
Matriks Metode Evaluatif Sistem Registrasi dan Dokumentasi Berdasarkan Standar Direktorat Museum
No. Subjek Standar Direktorat Museum Penerapan di Museum Batik Yogyakarta Nilai
REGISTRASI
1. Buku Registrasi
a. buku dengan luas sampul 50 x 32 cm.
b. isi 250 halaman dengan kertas HVS
80 gram.
c. luas halaman efektif 49 x 31 cm.
d. dikelola oleh registrar.
e. memuat data:
1. nomor registrasi
2. nomor inventaris
3. nama koleksi
4. uraian singkat
5. tempat pembuatan
6. tempat perolehan
7. cara perolehan
Belum memiliki buku registrasi 1
8. ukuran
9. tanggal/ tahun masuk
10. harga
11. keterangan
INVENTARISASI
2. Buku Induk Inventaris Koleksi
a. Buku dengan luas sampul 50 x 32
cm, isi 250 halaman dengan kertas
80 gram.
b. Dikelola oleh koordinator koleksi.
c. Memuat data:
1. nomor registrasi
2. nomor inventaris
3. nama koleksi
4. uraian singkat
5. tempat pembuatan
6. tempat perolehan
7. cara perolehan
a. Buku dengan luas sampul 29.7 x
21.5 cm, isi 100 halaman dengan
kertas 70 gram.
b. Dikelola oleh curator.
c. Memuat data:
1. nomor registrasi
2. nomor inventaris
3. nama koleksi
4. uraian singkat
5. tempat pembuatan
6. tempat perolehan
7. cara perolehan
3
8. ukuran
9. tanggal/ tahun masuk
10. keterangan
8. ukuran
9. tanggal/ tahun masuk
10. keterangan
3. Buku Inventaris Koleksi
a. Buku dengan luas sampul 50 x 32
cm, isi 250 halaman dengan kertas
kertas 80 gram.
b. Memuat data:
1. nomor inventaris
2. kode sub jenis koleksi
3. nomor registrasi
4. nama koleksi
5. uraian singkat
6. tempat pembuatan
7. tempat perolehan
8. cara perolehan
9. ukuran
10. tanggal/ tahun masuk
a. Berupa lembaran kertas yang dijilid
dalam map.
b. Kertas menggunakan ukuran 33 x
21.5 cm, berat 60 gram.
c. Memuat data:
1. nomor inventaris
2. nomor registrasi
3. nama koleksi
4. tempat asal
5. keterangan singkat
6. ukuran
7. cara perolehan
8. literatur
9. tempat koleksi
2
11. penempatan
12. keterangan
10. petugas pencatat
11. dikeluarkan oleh
12. alasan pengoleksian
4. katalogisasi Koleksi
a. Memuat data:
1. nama dan alamat museum
2. nomor inventarisasi/ katalog
3. nama koleksi
4. deskripsi
5. ukuran dan timbangan
6. tempat asal
7. kurun waktu/ zaman
8. cara pengadaaan
9. tanggal pengadaan
10. lokasi penyimpanan
11. referensi publikasi
12. keterangan lain
Belum memiliki katalogisasi koleksi 1
5. Kartu Registrasi
a. Ukuran kartu 18 x 14 cm.
b. Memuat data:
1. nomor registrasi
2. nomor inventarisasi
3. nama koleksi
4. tempat pembuatan
5. tempat perolehan
6. cara perolehan
7. ukuran
8. tanggal/ tahun masuk
9. keterangan
a. Ukuran kartu 18 x 14 cm.
b. Memuat data:
1. nomor registrasi
2. nomor inventarisasi
3. nama koleksi
4. tempat pembuatan
5. tempat perolehan
6. cara perolehan
7. ukuran
8. tanggal/ tahun masuk
9. keterangan
3
DOKUMENTASI
6. Prosedur Administrasi
Koleksi
Koleksi
↓
Nomor registrasi
Buku induk registrasi
Koleksi
↓
Nomor inventarisasi
Buku induk inventarisasi
2
Nomor inventarisasi
Kartu registrasi
Label registrasi
↓
Buku induk inventaris
Kartu inventaris
↓
Kartu katalog
↓
Kartu simpan/ kartu kontrol
Kartu inventarisasi
↓
Kartu simpan
7. Label
a. Label harus memiliki “daya tarik”.
b. Label harus memiliki “daya ikat”.
c. Label harus membantu daya ingat
pengunjung kepada sesuatu hal yang
pernah dilihat atau diketahuinya.
d. Label harus memberikan informasi
yang diperlukan pengunjung.
a. Label sudah memiliki “daya tarik”.
b. Label sudah memiliki “daya ikat”.
c. Label sudah membantu daya ingat
pengunjung kepada sesuatu hal
yang pernah dilihat atau
diketahuinya.
d. Label sudah memberikan informasi
3
e. Label harus memberikan umpan
balik.
f. Label siap untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan yang ingin
diketahui oleh pengunjung.
yang diperlukan pengunjung.
e. Label sudah memberikan umpan
balik.
f. Label belum dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan yang ingin
diketahui oleh pengunjung.
8. Pemotretan Koleksi
a. Dilakukan saat pengadaan koleksi,
dalam pengelolaan koleksi dan
sesudah dikonservasi.
b. Mengunakan media film hitam putih,
berwarna ataupun slide.
Belum dilakukan pemotretan pada koleksi 1
9. Pengukuran Koleksi
a. Dilakukan oleh tim survei dan
pengadaan alat, registrar, dan
kurator.
a. Dilakukan oleh kurator.
2
10. Berita Acara
a. Ditandatangani kedua pihak beserta
saksi.
dibuat oleh tim pengadaan koleksi
a. Ditandatangani kedua pihak beserta
saksi.
dibuat oleh tim pengadaan koleksi
3
↓
bagian koleksi
↓
bagian preparasi
↓
Disimpan
↓
Kepala kurator
↓
disimpan
11. Aplikasi Komputer
a. Pekerjaan pendokumentasian di
museum menggunakan komputer
dengan program perkantoran
(Microsoft Office, Office Org, dan
program sejenis lainnya).
a. Pekerjaan pendokumentasian di
museum masih mengugunakan
mesin tik. 1
TOTAL 22
Tabel 4.1: Matrik evaluasi penelitian
117
Alasan penilaian dalam matrik metode evaluatif sistem registrasi dan dokumentasi
berdasarkan standar Direktorat Museum adalah:
1. Subjek Buku Registrasi mendapat nilai 1, karena standar dari Direktorat
Museum ini belum diterapkan pada Museum Batik Yogyakarta. Hal ini
disebabkan belum tersedianya media, yaitu buku registrasi dan kurangnya
sumber daya manusia di Museum Batik Yogyakarta.
2. Subjek Buku Induk Inventaris Koleksi mendapatkan nilai 3. Standar
Direktorat Museum ini sudah diterapkan di Museum Batik Yogyakarta, hanya
terdapat perbedaan pada ukuran, berat, dan jumlah kertas, serta buku yang
dikelola oleh kurator.
3. Subjek Inventaris Koleksi mendapatkan nilai 2, karena standar Direktorat
Museum ini sudah diterapkan pada Museum Batik Yogyakarta. Namun masih
terdapat kekurangan yaitu belum digunakannya buku beserta format yang
dianjurkan. Museum masih menggunakan kertas ukuran folio yang disatukan
dengan penjepit kertas.
4. Subjek Katalogisasi Koleksi mendapatkan nilai 1, karena standar Direktorat
Museum ini belum diterapkan pada Museum Batik Yogyakarta.
5. Subjek Kartu Registrasi mendapatkan nilai 3, karena standar Direktorat
Museum ini sudah diterapkan dengan baik oleh Museum Batik Yogyakarta.
6. Subjek Prosedur Administrasi Koleksi mendapatkan nilai 2, karena sudah
hampir mendekati standar Direktorat Museum. Hanya karena sedikitnya
sumber daya manusia yang dimiliki, maka tidak semua tahapan dapat
terlaksana.
7. Subjek Label mendapatkan nilai 3, karena standar Direktorat Museum ini
sudah diterapkan di museum ini. Namun beberapa label berada dalam
118
kondisi yang tulisannya sudah mulai memudar sehingga mengurangi minat
pengunjung untuk membaca label guna memperoleh informasi.
8. Subjek Pemotretan Koleksi mendapatkan nilai 1, karena standar Direktorat
Museum ini belum diterapkan. Gambar dari koleksi sangat penting artinya,
sehingga akan semakin melengkapi data yang berdapat pada koleksi
tersebut. Apabila terjadi kasus kehilangan koleksi, dengan adanya bentuk
visual dari koleksi ini, akan memudahkan tugas pihak yang berwajib untuk
menangani kasus tersebut.
9. Subjek Pengukuran Koleksi mendapatkan nilai 2, karena belum sesuai
standar Direktorat Museum. Minimnya SDM menyebabkan pekerjaan
pengukuran koleksi hanya dilakukan oleh seorang kepala kurator.
10. Subjek Berita Acara mendapatkan nilai 3, karena standar Direktorat Museum
sudah terpenuhi, sehingga ketika koleksi harus berpindah untuk sementara
ke luar museum, pihak museum telah memiliki dokumentasi serta memiliki
kekuatan secara hukum untuk menuntut kepada pihak berwajib bila terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
11. Subjek Aplikasi Komputer mendapatkan nilai 1, karena standar Direktorat
Museum untuk penggunaan komputer belum diterapkan pada Museum Batik
Yogyakarta.
119
Untuk memberikan penilaian dalam matrik metode evaluatif, penulis menggunakan
acuan yang dirumuskan sebagai berikut:
Ketentuan Nilai:
a. Nilai minimal setiap subjek : 1
b. Nilai maksimal setiap subjek : 4
c. Nilai minimal seluruh subjek : 11
d. Nilai maksimal seluruh subjek : 44
Ketentuan Kategori:
a. Kategori kurang : nilai 11-21
b. Kategori cukup : nilai 22-32
c. Kategori baik : nilai 33-43
d. Kategori sangat baik : nilai 44
Analisis data dinyatakan dalam sebuah predikat yang menunjuk pada pernyataan
keadaan, ukuran kualitas. Oleh karena itu, hasil penelitian yang berupa bilangan
tersebut harus diubah menjadi predikat, yaitu: kurang, cukup, baik, dan sangat baik.
Setelah melalui tahapan penilaian, maka penilaian untuk mengetahui keserasian
antara sistem manajemen registrasi dan dokumentasi yang diterapkan Museum
Batik Yogyakarta dengan standar Direktorat Museum mendapatkan total nilai 22,
sehingga bila disesuaikan dengan kategori, Museum Batik Yogyakarta dalam
melaksanakan sistem registrasi dan dokumentasi memiliki kategori Cukup.
120
B. REKOMENDASI UNTUK PERKEMBANGAN MUSEUM BATIK
YOGYAKARTA
Untuk mencapai bentuk museum dapat menarik minat masyarakat luas, bukan
saja para pencinta sejarah dan budaya batik saja, museum ini memerlukan
pembenahan pada sistem registrasi dan dokumentasi, antara lain:
1. Buku Registrasi.
Sebaiknya pihak museum batik yogyakarta memiliki buku registrasi, mengingat
fungsi buku ini yang sangat vital. Meskipun tidak sesuai dengan ukuran standar yang
dikeluarkan oleh pihak Direktorat Museum, minimal buku ini memiliki format yang
sama, sehingga informasi di dalamnya tetap dapat diperoleh.
2. Katalogisasi Koleksi
Katalogisasi koleksi merupakan tahapan lanjutan dari proses pendokumentasian
koleksi, karena pada tahapan ini merupakan kegiatan ilmiah, berupa penelitian lebih
lanjut dari koleksi museum. Sebaiknya pihak museum bekerja sama dengan instansi
pemerintah dalam pelaksanaannya, karena membutuhkan sumber pendanaan dan
SDM.
3. Label
Label pada Museum Batik Yogyakarta sebaiknya dikemas dengan baik lagi, dan
tidak hanya disajikan seperti saat ini, karena akan menambah minat pengunjung
untuk membacanya.
4. Pemotretan Koleksi
Pentingnya fungsi dokumentasi visual koleksi dan semakin murahnya harga
kamera seharusnya menjadi pertimbangan bagi Museum Batik Yogyakarta untuk
meningkatkan kualitas sistem registrasi dan dokumentasi. Dengan Koleksi museum
121
yang berukuran masif maka tidak membutuhkan peralatan dokumentasi khusus,
sehingga tidak memerlukan biaya yang tinggi.
5. Pengukuran Koleksi
Pengukuran koleksi merupakan faktor yang penting, karena akan berhubungan
dengan faktor lainnya seperti buku registrasi koleksi, buku induk inventaris koleksi,
buku inventaris koleksi, dan label. Sehingga dengan pembenahan di bidang ini, akan
meninggkatkan kuliatas data koleksi.
6. Aplikasi Komputer
Saat ini, hampir sebagian besar kegiatan administrasi dilakukan dengan komputer
karena keunggulan yang dimilikinya, antara lain: kecepatan, ketelitian, dan ukuran
penyimpanan yang praktis. Penggunaan aplikasi komputer oleh Museum Batik
Yogyakarta adalah sudah menjadi keharusan. Dengan jumlah koleksi yang
berjumlah 1.219 buah, akan sangat bijaksana bila Museum Batik Yogyakarta
memiliki teknologi pengolah dan penyimpan data ini.
Rekomendasi untuk bidang diluar sistem registrasi dan dokumentasi, antara lain:
1. SDM Pengelola Museum.
Sumber daya manusia di Musem Batik saat ini hanya memiliki 4 orang tenaga
tetap, dan beberapa tenaga kerja honorer. Di antara 4 orang tersebut, hanya 1 orang
yang memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang Museum, yaitu Bapak bejo
Haryono, karena beliau adalah mantan Kepala Museum Sonobuyodo. Bila hanya
ada 1 orang saja yang ahli dibidangnya tentunya perkembangan museum ke arah
yang lebih baik tetap belum dapat maksimal, sehingga diperlukan beberapa tenaga
museum untuk dapat melaksanakan fungsi museum.
122
2. Organisasi Museum
Sedikitnya SDM mengakibatkan kinerja museum tidak optimal. Untuk mencapai
kinerja yang optimal sebaiknya Museum Batik Yogyakarta menambah SDM dengan
memperhatikan struktur organisasi dibawah ini, sehingga dapat terlihat, struktur
mana sajakah yang membutuhkan tambahan SDM.
3. Manajemen Pengelolaan
Sebaiknya museumnya sudah mulai melakukan pengelolaan sesuai dengan
standar pengelolaan yang dikeluarkan oleh Direktorat Museum. Sesuai dengan
standar tersebut tentunya juga akan memberikan banyak kemudahan bagi pihak
museum untuk mengelola museum, khususnya koleksi di dalamnya. Penyesuaian
pembuatan buku registrasi, buku induk inventaris koleksi, katalogisasi koleksi, dan
penggunaan aplikasi komputer harus mendapat perhatian dari pengelola museum
agar hal-hal tersebut dapat diperbaiki.
Tentunya saran-saran tersebut dapat terlaksana dengan dukungan finansial yang
memadai, sehingga diharapkan kembali agar pihak Museum Batik Yogyakarta dapat
mengembangkan potensi-potensi jasa pelengkap untuk mendapatkan pemasukan
finansial sejauh maksud pelestarian pusaka dan pemanfaatannya bagi masyarakat
tetap terjamin
123
BAB V
PENUTUP
Museum Batik Yogyakarta yang berada di jalan Dr. Sutomo nomor 13 Yogyakarta
merupakan salah museum khusus yang menyimpan koleksi batik kuno hingga modern
dengan jenis batik keraton maupun pesisir. Koleksi yang tersimpan di museum ini
terdiri dari koleksi etnografi dan koleksi teknologika yang mencapai 1.219 buah. Koleksi
etnografi seperti kain batik, gawangan, bandul, timbangan, ngemplong. Koleksi
teknologika pada museum ini antara lain: canting, cap, talam, wajan, sarangan,
kenceng, cumplung, ekor, cucuk, luju, jegoal, cawuk, dan kuwuk.
Koleksi yang mencapai ribuan untuk sebuah museum swasta dengan luas 400 m2
membutuhkan sebuah sistem manajemen koleksi museum yang baik. Direktorat
Museum sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang
permuseuman telah menciptakan keseragaman dan kelancaran pengelolaan koleksi
sehingga administrasi koleksi lebih baik dan tertib sesuai ilmu permuseuman.
Dalam standar registrasi dan dokumentasi, Direktorat Museum mempunyai 11 subjek
yang harus diperhatikan, antara lain: buku registrasi, buku induk inventarisasi koleksi,
katalogisasi koleksi, kartu registrasi, prosedur administrasi koleksi, label, pemotretan
koleksi, pengukuran koleksi, berita acara, dan aplikasi komputer.
Museum Batik Yogyakarta sebagai museum yang berada dibawah naungan
Direktorat Museum wajib melaksanakan sistem registrasi dan dokumetasi tersebut, agar
peran museum sebagai: pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah, pusat penyaluran
ilmu untuk umum, pusat penikmatan karya seni, pusat perkenalan kebudayaan antar
daerah dan antar bangsa, objek wisata, media pembinaan pendidikan kesenian dan
ilmu pengetahuan, suaka alam dan suaka budaya, sarana untuk bertaqwa dan
bersyukur kepada Tuhan tetap dapat berfungsi.
124
Secara umum, sistem registrasi dan dokumentasi di Museum Batik Yogyakarta
sudah berjalan cukup baik walaupun masih terdapat kekurangan di beberapa bidang.
Beberapa standar dalam sistem registrasi dan dokumentasi belum dapat terlaksana di
museum ini, antara lain buku registrasi, katalogisasi koleksi, pemotretan koleksi dan
aplikasi komputer. Sistem lainnya seperti prosedur administrasi koleksi, dan pengukuran
koleksi sudah berjalan namun belum secara maksimal, hal ini dikarenakan beberapa hal
seperti kurangnya sumber daya manusia di museum dan keterbatasan dana untuk
dapat mewujudkan sistem permuseuman yang sesuai dengan standar Direktorat
Museum. Untuk penerapan buku inventaris koleksi, kartu registrasi, label, dan berita
acara sudah berjalan dengan baik di museum ini.
Namun begitu diharapkan Museum Batik Yogyakarta tetap terus berbenah diri untuk
terus meningkatkan kualitasnya, baik dari segi fisik maupun non-fisik sehingga akan
meningkatkan jumlah pengunjung museum, selain tugas pemerintah dalam hal ini
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk mempromosikan museum kepada
masyarakat luas.
125
DAFTAR ACUAN PUSTAKA
Allan, Douglas A. 1978. “The Museum And It’s Functions”. Dalam The Organization Of Museums: Practical Advice. Paris: UNESCO, Hlm. 13.
Anas, Binarul dkk. 1997. Indonesia Indah – Batik. Jakarta: Yayasan Harapan Kita. Arikunto, Suharsimi 2005. Manajemen Peneltian. Jakarta: Rineka Cipta. Ayatrohaedi 1986. Kebudayaan Indonesia Sebelum Datangnya Pengaruh India,
Dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 1992. Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Diperoleh dari http://www.bappenas.go.id/pesisir/frontend/dokumen.php?id=1247&PHPSESSID=913c1340d011a244c05f80fc6f5458f2. 6 Juni 2007.
Baskara, Bima 2006. “Jelajah Hikayat Batik di Museum Batik dan Sulaman”. Dalam
surat kabar Kompas. Jakarta: Kompas Media Nusantara, Hlm. H. Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta 2007. Kecamatan Danurejan Dalam Angka 2006.
Yogyakarta: Biro Pusat Statistik Kota Yogyakarta. Darmokusumo, GBRA Murywati 1990. Batik Kraton Yogyakarta. Jakarta: Himpunan
WASTAPRENA. Daryanto 1981. Teknik Pembuatan Batik dan Sablon. Semarang: C.V Aneka. Davis, Hester 1992. “Is An Archeological Site Important To Science Or To The Public,
An Is There A Difference”. Dalam Heritage Interpretation Vol.I, The Natural & Built Environment. Eds. David Uzzell. London: Belhaven Press, Hlm. 97.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 1995. Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1995 Tentang: Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum. Diperoleh melalui faksimile dari bagian Humas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 20 November 2007.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2004. Keputusan Menteri Nomor
KM.33/PL.303/MKP/2004 Tentang Museum. Diperoleh melalui faksimile dari Bagian Humas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. 20 November 2007.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2007. Tugas Pokok dan Fungsi Eselon 2
2007. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Diperoleh dari http://www.budpar.go.id/page.php?ic=572&id=1486. 12 November 2007.
Departemen Perindustrian, 1986. Sejarah Industri Batik di Indonesia. Yogyakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik.
126
Dinas Kebudayaan Provinsi DIY 2004. Pedoman Pengelolaan Museum. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.
Direktorat Permuseuman 1986. Buku Pinter Bidang Permuseuman. Jakarta:
Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta. Direktorat Permuseuman 1993. Petunjuk Penyusunan Label di Museum.
Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta. Direktorat Permuseuman 1994a. Pedoman Teknis Pembuatan Sarana Pameran
Di Museum. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta. ____________ 1994b. Pedoman Buku Registrasi, Buku Induk Inventaris dan Buku
Inventaris Koleksi Museum di Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman.
Direktorat Permuseuman 1997a. “Beberapa Pertimbangan Dalam Masalah
Pelestarian di Indonesia”. Dalam Bunga Rampai Permuseuman. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Hlm. 41.
____________ 1997b. “Museum sebagai komunikator”. Dalam Bunga Rampai
Permuseuman. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Hlm. 22.
Direktorat Museum 2006. Museum di Indonesia Tahun 2005-2006. Direktorat
Museum. Diperoleh dari http://www.budpar.go.id/page.php?id=156&ic=522. 12 November 2007.
Direktorat Museum 2007. Apakah itu Museum. Direktorat Museum. Diperoleh dari
http://www.museum-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2&Itemid=69. 22 November 2007.
Direktorat Museum 2007. Pengelolaan Koleksi Museum: Pengadaan dan
Administrasi, Registrasi, Inventarisasi, dan Penelitian Koleksi. Jakarta: Direktorat Museum.
Djumena, Nian S. 1990. Ungkapan Sehelai Batik: It’s Mistery and Meaning.
Jakarta: Djambatan. Djumena, Nian S.1990. Batik dan Mitra, Batik and it’s Kind. Jakarta: Djambatan. Dwiyanto, Djoko 1998a. Arkeologi dan Museulogi: Suatu Intruduksi. Makalah
disampaikan pada Ceramah Penyuluhan Kebudayaan dalam rangka liburan Cawu I siswa SMU se-Jawa Tengah.
____________1998b. Ruang Lingkup Kajian Museuologi Dan Museografi. Makalah
disampaikan dalam Penataran Permuseuman Tipe Dasar Angkatan II. Yogyakarta: 28 Oktober-2 November 1998.
Dwiyanto, Djoko dkk. 2004. “Proposal Pengembangan Museum Batik Yogyakarta”.
Tidak Diterbitkan. Yogyakarta.
127
Edleson, Marij dan Soedarmadji J.H Damais 1990. Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Jakarta: himpunan WASTRAPENA.
Hadisuwito 2007. Kepala Produksi Industri Batik PLENTONG. (Wawancara). 11 Juli. Hamilton, Donny L 1999a. Overview of Conservation in Archaeology; Basic
Conservation Procedures. Texas: Department of Anthropology Texas A&M University. Diperoleh dari http://nautarch.tamu.edu/class/anth605/File1.htm. 16 Desember 2007. Hlm. 12.
____________1999b. Textile Conservation. Texas: Department of Anthropology
Texas A&M University. Diperoleh dari http://nautarch.tamu.edu/class/anth605/File8.htm. 16 Desember 2007. Hlm. 1, 9.
Hamzuri 1981. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Haryono, Bejo 2007. Kepala Museum Batik Yogyakarta. (Wawancara). 16 Desember. Helmi, Ampri dan Mujiyono 1992. Batik Tradisional: Kemunduran dan
Pencegahannya. Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Tahun 1991/1992.
Herreman, Yani 2004. “Display, Exhibits and Exhibitions”. Dalam Running a
Museum : A Practical Handbook. Ed. Patrick J. Boylan. Paris: ICOM, Hlm. 92.
Heuken, Adolf 1997. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka. International Council Of Museum 2007. ICOM Statue. Paris: ICOM. Irawan, Prasetya 2001. Evaluasi Proses Belajar Mengajar, Proyek Pengembangan
Universitas Terbuka. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.
Lasria, Alphaliyanri 2003. “Optimalisasi Media Pelengkap Pameran (Supplementary
Exhibition Media) Sebagai Upaya Peningkatan Peran Pendidikan Di Museum Zoology Bogor”. Proyek Akhir. Manajemen Pariwisata. Bandung: Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.
Lewis, Geoffrey 2004. “The Role Of Museums And the Professional Code Of
Ethics”. Dalam Running a Museum: A Practical Handbook. Ed. Patrick J. Boylan. Paris: ICOM, Hlm. 2.
Lombard, Denys 2000. Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Jaringan Asia,
bagian II. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Majalah Femina, nomor 28/XIII-23 Juli 1985. Simbolisme, Motif, dan Warna Batik.
Jakarta: PT. Gramedia.
128
Majalah Rumah, tanpa tahun. Edisi Lighting: Mempercantik Interior dan Eksterior . Jakarta: PT. Gramedia.
Michalski, Stefan 2004. “Care and Preservationof Collections”. Dalam Running a
Museum: A Practical Handbook. Ed. Patrick J. Boylan. Paris: ICOM, Hlm. 78.
Nurbiajanti, Siwi 2004. Meraih Kembali Masa Kejayaan Batik Lasem. Kompas Cyber
Media. Diperoleh dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/22/ekora/970856.htm.10 Oktober 2007.
Nurjanti, Nunung 1993. “Batik Yogyakarta Abad XX, Fungsi dan Perkembangannya”.
Tesis. Program Pasca Sarjana. Yogyakarta: UGM. Pambudy, Ninuk Mardiana 2000. “Perjalanan Panjang Batik”. Dalam 1000
Tahun Nusantara. Ed. J.B. Kristanto. Jakarta: Kompas, Hlm. 236-237. Pinardi, Slamet 1992. “Sektor Industri Pada Masa Majapahit” dalam 700 Tahun
Majapahit, (1293-1993) Suatu Bunga Rampai. Surabaya: CV. Wisnu Murti Surabaya, Hlm. 211.
Setiawan, Adi Dian 2006. “Studi Etnoarkeologi Terhadap Pewarna Alami Batik di
Beberapa Industri Batik Tradisional di Yogyakarta”. Skripsi. Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: UGM.
Sulistyo, Djoko Budhi 2002. Visi Misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Pengelolaan Museum Se-DIY oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY. 24 Agustus. Yogyakarta.
Sumadio, Bambang 1997. “Museum Sebagai Komunikator”. Dalam Bunga
Rampai Permuseuman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Permuseuman, Hlm. 22.
Sumadio, Bambang 1997. “Beberapa Pertimbangan Dalam Masalah Pelestarian di
Indonesia”. Dalam Bunga Rampai Permuseuman. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Permuseuman, Hlm. 41.
Susanto, Sewan 1980. Seni Kerajinan Batik di Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian
Batik dan Kerajinan Pendidikan Industri. Sutaarga, Moh. Amir 1991. Studi Museuologia. Jakarta: Proyek Pembinaan
Permuseuman Jakarta. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tirtaamidjaja, N 1966. Batik, Pola dan Corak. Jakarta: Djambatan.
129
Utomo, Rizon Pamardhi dan Indro Sulistyanto 2003. Peran Swasta dan Masyarakat Dalam Pengembangan Museum di Provinsi DIY. Makalah disampaikan dalam Sarasehan Permuseuman Provinsi DIY. Yogyakarta: 16 Desember 2003.
Wargatjie, S.N. 2003. Batik Lasem, Nasibnya Kini. Kompas Cyber Media. Diperoleh
dari http://www.kompas.com/kompascetak/0305/25/keluarga/295393.htm. 10 Oktober 2007.
Wibowo, H.J., dkk. 1996. Sistem Pengetahuan Tradisional Dalam Bidang Mata
Pencaharian di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Wijayanti, Diorita 2005. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan
Museum Batik di Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Tehnik, Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Yasandalem Kanjeng Gusti Adipati Anom Amengkunegara (Ingkang Sinuwun Paku
buwana V Ing Surakarta) 1985. Serat Centhini; (Suluk Tembangraras), Transliterasi Latin oleh Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Yusuf, Achmad dkk. 1988. Ragam Hias Tradisional Dari Masa ke Masa. Yogyakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Permuseuman.
130
DAFTAR NARASUMBER
1. Nama : Drs. Bejo Haryono.
Usia : 59 tahun.
Pekerjaan : Pengelola Museum Batik Yogyakarta, Yogyakarta.
Alamat kantor : Jl. Dr. Sutomo No. 13, Yogyakarta.
2. Nama : Hadisuwito.
Usia : 68 tahun.
Pekerjaan : Kepala Produksi Batik Plentong.
Alamat kantor : Jl. Tirtodipuran No. 48, Yogyakarta.
NO. REGISTRASINO. INVENTARIS NAMA KOLEKSI
UMUM KHUSUS
URAIAN SINGKAT KETERANGANKODE JENIS
NO. URUT KOLEKSIDLM. JENIS KOLEKSINYA
TEMPATPEMBUATAN
TEMPATPEROLEHAN
CARAPEROLEHAN
UKURAN HARGATGL/THNMASUK
LAMPIRAN A
BUKU REGISTRASI KOLEKSI
dibuat oleh: Diniartha Ikha Muharram
NO. REGISTRASINO. INVENTARIS NAMA KOLEKSI
UMUM KHUSUS
URAIAN SINGKAT KETERANGANKODE JENIS
NO. URUT KOLEKSIDLM. JENIS KOLEKSINYA
TEMPATPEMBUATAN
TEMPATPEROLEHAN
CARAPEROLEHAN
UKURANTGL/THNMASUK
LAMPIRAN B
BUKU INDUK INVENTARIS KOLEKSI
dibuat oleh: Diniartha Ikha Muharram
NAMA KOLEKSI
UMUM KHUSUS
URAIAN SINGKATTEMPAT
PEMBUATANTEMPAT
PEROLEHANCARA
PEROLEHANUKURAN
TGL/THNMASUK
NO. REGISTRASINO. INVENTARIS KETERANGAN
KODE SUB
JENIS KOLEKSI
PENEMPATAN
LAMPIRAN C
BUKU INVENTARIS KOLEKSI
dibuat oleh: Diniartha Ikha Muharram
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tgl/thn masuk
Tempat Perolehan
Tempat Pembuatan
No. Registrasi
Keterangan
Ukuran
Cara Perolehan
Nama Koleksi
No. Inventaris
KARTU REGISTRASI
Skala
0 0,5 1 2 3 4
14 cm
18
cm
2 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
1,5 cm
4 cm
1LAMPIRAN D
SISI MUKA KARTU REGISTRASI
dibuat oleh: Diniartha Ikha Muharram
14 cm
18
cm
Skala
0 0,5 1 2 3 4
URAIAN SINGKAT
2LAMPIRAN D
SISI BELAKANG KARTU REGISTRASI
dibuat oleh: Diniartha Ikha Muharram
136
DAFTAR ISTILAH
Angjahit : Tukang jahit.
Anglukis : Seniman lukis.
Anulis : Membatik.
Asipet : Tukang sulam.
Batik : kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan
menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian
pengolahannya diproses dengan cara tertentu.
Canting : Alat untuk membatik yang terdiri dari wadah kuningan
bercorong untuk menempatkan malam yang dipasang pada
sebuah gagang buluh bambu kecil.
Kurator : Pengurus atau pengawas museum.
Lux : Satuan unit hitung untuk intensitas cahaya. 1 lux adalah 1
lumen per meter persegi.
Malam : Lilin penahan warna yang digunakan dalam proses
membatik.
Museologi : Ilmu tentang museum dan permuseuman, yang meliputi
museum dan lingkungannya serta sistem pengelolaannya.
Mutih : Ritual puasa, dengan hanya memakan dan minum nasi
putih dan air putih saja.
Registrar : Petugas pencatat pada proses registrasi koleksi museum.
Ririan : Garis meruncing pada motif batik