faktor -faktor yang berhubungan dengan...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR
DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR
TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH :
ASTRIANDA
NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2012 M
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR
DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR
TAHUN 2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
ASTRIANDA
NIM : 108101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2012
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Astrianda
Tempat, Tanggal Lahir : Bogor, 26 Oktober 1991
Alamat : Jalan M. Tadjir Rt: 04 Rw: 06 No.7
Kelurahan: Serua
Kecamatan: Bojongsari
Kota: Depok
Kode Pos : 16517
Agama : Islam
Golongan Darah : A
No. Telepon : (021) 7430415 / 085710556254
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
1996 – 2002 : SDN Serua 03, Depok
2002 – 2005 : SMP Al-Hasra, Depok
2005 – 2008 : SMA Al-Hasra, Depok
2008 – 2013 : S1 – Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Oktober 2012 Astrianda, NIM : 108101000054 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 xii+116 Halaman, 11 Tabel, 4 gambar, 3 Lampiran
ABSTRAK
Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari penyakit kulit akibat kerja. Salah satu pekerja yang berisiko untuk mengalami dermatitis kontak adalah pekerja bengkel motor, yang diakibatkan dari paparan penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Disain studi penelitian ini yaitu cross sectional. Sampel penelitian ini adalah seluruh total populasi yaitu sebanyak 101 pekerja bengkel. Analisis data yang digunakan yaitu uji Chi Square, uji t-independent dan uji Mann-Whitney. Variabel yang diteliti yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene.
Pekerja bengkel motor yang mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 37,6%, sedangkan pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar 62,4%. Ada dua faktor yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat alergi (P value 0,018).
Untuk mengantisipasi risiko dermatitis kontak, sebaiknya pemilik bengkel menyediakan fasilitas cuci tangan yang memadai, mengawasi personal hygiene pekerja dan menyediakan APD bagi pekerja terutama sarung tangan. Sedangkan untuk pekerja, meningkatkan personal hygiene dan menggunakan sarung tangan selama bekerja.
Daftar Bacaan : 42 (1996-2012)
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SIENCES
PUBLIC HEALTH DEPARTMENT
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
Thesis, October 2012 Astrianda, NIM : 108101000054 Related Factors of Contact Dermatitis Incident on Motorcycle Repair Workers at East Ciputat Region in 2012 xii + 116 pages, 11 table, 4 image, 3 attachment
ABSTRACT
Contact dermatitis is one type of occupational skin disease. One of the workers at risk for contact dermatitis is motorcycle repair workers, caused of exposure to use battery acid (sulfuric acid), petroleum products such as degreasers, lubricants, oil, petrol, and cooling system fluid. Based on the results of a preliminary study at East Ciputat region in 2012, there are 7 (70%) of the 10 motorcycle repair workers with contact dermatitis.
The purpose of this study was to find out the factors related to contact dermatitis on motorcycle repair workers at East Ciputat region in 2012. The design of this study was cross sectional. Sample of this study is the total population of as many as 101 repair workers. Data analysis is used by the chi-square test, t-independent test and Mann-Whitney test. The variables studied is prolonged of contact, frequency of contact, working period, age, history of atopy, history of skin disease, history of allergy, and personal hygiene.
Motorcycle repair workers with contact dermatitis are 37,6%, and workers who did not have contact dermatitis are 62.4%. There are two factors that have a significant relationship with contact dermatitis, that is a history of skin disease (P value 0.000) and history of allergy (P value 0.018).
To anticipate the risk of contact dermatitis, workshop owners should provide an adequate hand washing facilities, oversee the personal hygiene of workers, and provide of PPE for workers, especially gloves. As for the workers, improving personal hygiene and use of gloves during work.
The reading list : 42 (1996-2012)
iii
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga membuat penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012”.
Adapun penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan akademis
dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam Kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan ridha-Nya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
2. Prof. Dr (Hc). dr. MK. Tadjudin, SP.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Ketua Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Sekretaris Program Studi Kesehatan
Masyarakat.
5. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku penanggung jawab peminatan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja sekaligus sebagai pembimbing pertama yang
telah memberikan ilmunya, dan banyak membantu dalam memberi masukan dan
dukungan kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai.
6. Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA selaku pembimbing kedua yang telah banyak
membantu dalam memberi masukan dan dukungan kepada penulis hingga
skripsi ini dapat selesai.
iv
7. Para dosen penguji skripsi yaitu ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Bp. dr. Yuli
Prapanca Satar, MARS dan ibu dr. Rahmania Diandini, MKK. Terimakasih atas
saran dan masukan yang telah diberikan selama menguji sidang skripsi.
8. Semua dosen pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. Terimakasih atas
ilmu-ilmu yang kalian berikan selama penulis kuliah di UIN Jakarta.
9. Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan dukungan,
serta kakaku Mareny dan abangku Reggy terimakasih atas do’a dan support
kalian semua.
10. Keluarga dan juga sahabatku dirumah Sarah, Ayu, & Gita. Terimakasih atas
semangat dan dukungan yang diberikan.
11. Team penelitian DK yaitu Sofia, Riska, Via yang juga merupakan sahabat
terbaik, serta Niswah sahabat terbaik juga yang selalu bersama-sama berjuang
dengan penulis selama mengerjakan skripsi dan turun lapangan penelitian,
terimakasih atas semangat, dukungan, dan bantuan akomodasinya.
12. Rahmi, Aresh, Nadya, Dea dan semua teman Kesmas UIN Jakarta angkatan
2008 (Stoopelth) khususnya peminatan K3, terimakasih atas semangat dan
support kalian semua.
13. Terimakasih kepada bapak Gozali selaku Adm. pada prodi Kesmas, dan untuk
semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
14. Dan juga terimakasih kepada someone special “M” yang turut membantu
penulis dalam hal waktu, tenaga dan meteril serta tidak pernah bosan
memberikan nasihat, saran, support dan semangatnya kepada penulis.
Penulis menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, namun semoga
skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Oktober, 2012
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ………………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. . v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….. 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ……………………………………………. 9
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum ……………………………………………… 10
1.4.2 Tujuan Khusus ……………………………………………... 10
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel. ........................................................ 11
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ..................... 12
1.5.3 Bagi Peneliti ... ................................................................... 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pekerjaan Bengkel Motor ……………………………………….. 14
2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja ………………………………... 14
2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja …………………………………… 15
vi
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja .. ........................................................ 16
2.2.1 Penyebab Penyakit Kulit Akibat Kerja …………………… 17
2.2.2 Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja …………………… 18
2.2.2.1 Anamnesis ………………………………………….. 18
2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis …………………………………. 19
2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium …………………………. 19
2.2.2.4 Uji Tempel/Patch Test ………………………………. 20
2.3 Dermatitis Kontak . ........................................................................ 21
2.3.1 Anatomi Kulit ……………………………………………… 21
2.3.1.1 Epidermis …………………………………………… 22
2.3.1.2 Dermis ………………………………………………. 22
2.3.1.3 Lapisan Subkutis ……………………………………. 23
2.3.2 Fungsi Kulit ………………………………………………... 24
2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja …………………………… 24
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan ……………………………. 26
2.3.3.1.1 Patogenesis ……………………………………. 27
2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis …………………………….. 28
2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik ………………………….. 29
2.3.3.2.1 Patogenesis ……………………………………. 30
2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis …………………………….. 31
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
2.4.1 Lama Kontak ………………………………………………. 32
2.4.2 Frekuensi Kontak ………………………………………….. 33
2.4.3 Bahan Kimia ………………………………………………. 34
2.4.4 Masa Kerja ……………………………………………….. . 35
2.4.5 Usia ………………………………………………………… 37
2.4.6 Jenis Kelamin ……………………………………………… 37
2.4.7 Ras ………………………………………………………… 38
vii
2.4.8 Riwayat Atopi …………………………………………….. 39
2.4.9 Riwayat Penyakit Kulit ……………………………………. 40
2.4.10 Riwayat Alergi ……………………………………………. 41
2.4.11 Musim ……………………………………………………. 42
2.4.12 Tipe Kulit ………………………………………………… 42
2.4.13 Pengeluaran Keringat …………………………………….. 43
2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan …………………………………….. 43
2.4.15 Suhu dan Kelembaban …………………………………… 44
2.4.16 Personal Hygiene ………………………………………… 44
2.4.17 Pemakaian APD ………………………………………….. 46
2.5 Kerangka Teori . ............................................................................ 47
BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................... 49
3.2 Definisi Operasional .................................................................... 55
3.3 Hipotesis ………………………………………………………... 58
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Disain Penelitian .......................................................................... 59
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………….. 59
4.3 Populasi dan Sampel …………………………………………… 59
4.4 Instrumen Penelitian
4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak …………… 64
4.4.2 Kuesioner …………………………………………………. 64
4.4.3 Lembar Observasi ………………………………………… 64
4.5 Pengumpulan Data ……………………………………………… 65
4.6 Pengolahan Data
4.6.1 Coding ……………………………………………………. 65
viii
4.6.2 Editing (Penyuntingan Data) ……………………………… 66
4.6.3 Entry ………………………………………………………. 66
4.6.4 Cleaning ………………………………………………….. 66
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat ………………………………………… 67
4.7.2 Analisis Bivariat ………………………………………….. 67
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian …………………………………… 69
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak …………………. 72
5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Dermatitis Kontak ……………………………………….. 72
5.2.2.1 Lama Kontak …………………………………….. 73
5.2.2.2 Frekuensi Kontak ………………………………… 73
5.2.2.3 Masa Kerja ……………………………………….. 74
5.2.2.4 Usia ………………………………………………. 74
5.2.2.5 Riwayat Atopi ……………………………………. 75
5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit ………………………….. 76
5.2.2.7 Riwayat Alergi …………………………………… 76
5.2.2.8 Personal Hygiene ………………………………. 76
5.3 Analisis Bivariat ……………………………………………….. 77
5.3.1 Hubungan Antara Lama Kontak dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 78
5.3.2 Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 79
ix
5.3.3 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 79
5.3.4 Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis
Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah
Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………………. 80
5.3.5 Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82
5.3.6 Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 82
5.3.7 Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor
di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …….. 83
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ………………………………………... 84
6.2 Kejadian Dermatitis Kontak …………………………………… 85
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis
Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012 …………………………………….. 92
6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan
Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………. 92
6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan
Kejadian Dermatitis Kontak ……………………………. 95
6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian
Dermatitis Kontak ………………………………………. 98
x
6.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian
Dermatitis Kontak ………………………………………. 102
6.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak ………………………………………. 105
6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan
Kejadian Dermatitis Kontak …………………………….. 108
6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian
Dermatitis Kontak ……………………………………….. 110
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ………………………………………………………… 114
7.2 Saran …………………………………………………………….. 115
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi ……………….. 25
Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja …………… 27
Tabel 2.3 Jenis Alergen yang Umum Terdapat di Tempat Kerja …. …….. 30
Tabel 3.1 Definisi Operasional …………………………………………… 55
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ……………………………………… 63
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………………………………….. 72
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia dan Masa Kerja) Pada Pekerja Bengkel Motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………… 73
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Alergi, dan personal hygiene) Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………… 75
Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 ………………………... 78
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………… 80
Tabel 5.6 Analisis Hubungan Antara (riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012 …………………………………….. 81
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ………………………………………………. 21
Bagan 2.1 Kerangka Teori ………………………………………………… 48
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ……………………………………………… 54
Gambar 6.1 Kelainan Kulit Tangan Pekerja Bengkel Motor …………….. 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai sistem organ tubuh yang paling luas, kulit tidak bisa terpisahkan
dari kehidupan manusia. Kulit membangun sebuah barrier yang memisahkan
organ-organ internal dengan lingkungan luar, dan turut berpartisipasi dalam banyak
fungsi tubuh yang vital. Kulit merupakan cerminan dari keadaan umum pasien,
banyak kondisi sistemik dapat disertai dengan manifestasi dermatologik (Smeltzer
& Bare, 2001). Masalah pada kulit merupakan salah satu penyakit yang termasuk
kedalam penyakit akibat kerja.
Terjadinya penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit
akibat kerja sering terjadi pada pekerja, terutama pada kelompok pekerja sektor
informal. Penelitian WHO pada pekerja tentang penyakit kerja di 5 (lima) benua
tahun 1999, memperlihatkan bahwa penyakit gangguan otot rangka (Musculo
Skeletal Disease) pada urutan pertama 48 %, kemudian gangguan jiwa 10-30 %,
penyakit paru obstruksi kronis 11 %, penyakit kulit (Dermatosis) akibat kerja 10 %,
gangguan pendengaran 9 %, keracunan pestisida 3 %, cedera dan lain-lain.
Berdasarkan data tersebut, penyakit kulit akibat kerja menempati urutan ke-empat
dalam penyakit akibat kerja (Lestari, 2008).
Dermatosis akibat kerja/penyakit kulit akibat kerja adalah proses
patologis kulit yang timbul pada waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh-
2
pengaruh yang terdapat dalam lingkungan kerja. Gangguan kesehatan berupa
dermatosis akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan
akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu
proses pembangunan secara keseluruhan. Di Indonesia, dermatosis akibat kerja
belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan
walaupun jenis dan tingkat prevalensinya cukup tinggi (Siregar, 1996). Penyakit
kulit akibat kerja merupakan salah satu kelompok utama penyakit akibat kerja
dalam hal prevalensi. Meskipun penyakit kulit akibat kerja tidak mengancam jiwa,
dampak ekonominya sangat besar. Dermatitis kontak merupakan salah satu bentuk
dari dermatosis akibat kerja sekaligus bagian terbesar yang paling sering terjadi
dari kelompok penyakit kulit (Ket & Leok, 2001).
Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama,
yaitu 50- 70 kasus per 100.000 pekerja pertahun (Fathiya, 2011). Health and Safety
Executive/HSE dalam Budiyanto (2010) menyatakan bahwa antara tahun 2001
sampai 2002 terdapat sekitar 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja.
Menurut Trihapsoro (2003), di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat
kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi ke
dokter kulit sebesar 4-7% diakibatkan oleh dermatitis kontak. Dermatitis tangan
mengenai 2% dari populasi dan 20% wanita akan terkena setidaknya sekali seumur
hidupnya. Anak-anak dengan dermatitis kontak 60% akan positif hasil uji
tempelnya.
3
Sedangkan untuk prevalensi dari dermatitis kontak tidak diketahui secara
pasti, tetapi dari hasil survai sebelumnya menunjukkan proporsi yang bermakna
penyakit terkait-pekerjaan (hampir 50%) disebabkan oleh cedera akibat kerja, dan
yang paling sering terkena adalah tangan. Dermatitis kontak memberikan beban
ekonomik yang bermakna. Pada tahun 1975, survai di California menunjukkan
bahwa 95% dari semua penyakit kulit terkait kerja adalah dermatitis kontak, yang
pada gilirannya merupakan hampir dari 50% klaim pekerjaan pada tahun itu
(Isselbacher et al, 1999). Dari seluruh penderita dermatitis kontak, 80% disebabkan
karena dermatitis kontak iritan, sedangkan 10-20% disebabkan karena dermatitis
kontak alergik. Berdasarkan laporan dari bagian Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado, dari tahun 1988-1991
insiden dermatitis kontak di Indonesia tercatat sebesar 4,45% (Sumantri dkk, 2008).
Di Indonesia banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan
dermatitis kontak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo
(2007) dari 80 responden pada industri otomotif terdapat sebanyak 48,8% pekerja
mengalami dermatitis kontak. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Nuraga, dkk
(2008) pada industri otomotif dan didapatkan hasil bahwa pekerja yang mengalami
dermatitis kontak yaitu sebesar 74% dari 54 responden.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut
Schnuch & Carlsen (2011), diantaranya yaitu dermatitis atopik/riwayat atopik, jenis
kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan menurut
Djuanda dan Sularsito (2002), faktor yang mempengaruhi yaitu lama kontak,
4
frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis
kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi). Berdasarkan hasil
penelitian Lestari dan Utomo (2007), ada 4 faktor yang memiliki hubungan
bermakna dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yaitu, jenis pekerjaan,
usia, lama bekerja, dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya. Sedangkan
menurut Nuraga dkk (2008), ada faktor lain yang memiliki hubungan paling
berpengaruh yaitu pemakaian APD terhadap pekerja yang mengalami dermatitis
kontak.
Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya dapat
disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor
biologis (Siregar, 1996). Dari faktor-faktor tersebut, faktor yang paling banyak
disebabkan karena faktor kimiawi. Berdasarkan penelitian di United Kingdom
(UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis
kontak alergi adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel
(18,2%), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatik (8.6%), krom dan
kromat (8.1%), pewangi dan kosmetik (8.0%), dan pengawet (7.3%). Sedangkan
sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%),
pelarut/solvent (8.0%), dan cutting oil dan pendingin (7.8%) adalah agen yang
paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer et al, 2000).
Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara mengubah pH nya, bereaksi
dengan protein-proteinnya (denaturasi), mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya,
5
atau merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi
kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat (Anies, 2005).
Motor sebagai alat transportasi yang murah dan cepat merupakan pilihan
utama kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Jumlah kendaraan di
wilayah Polda Metro Jaya yang membawahi wilayah Jakarta, Bekasi, Depok, dan
Tangerang, tiap harinya bertambah 890 unit sehingga pada bulan September 2010
jumlahnya sudah mencapai 8,3 juta unit (Prambudi, 2010). Berdasarkan data dari
AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) (2012), penjualan sepeda motor
pada tahun 2011 tercatat mecapai 8 juta unit. Jumlah kepemilikan sepeda motor
yang besar ini dapat memunculkan banyaknya layanan berbagai kebutuhan
otomotif ataupun usaha bengkel perbaikan sepeda motor. Hal tersebut juga dapat
memberikan peluang kepada orang lain yang juga ahli dalam menangani motor
untuk bekerja sebagai mekanik dibengkel motor yang telah didirikan.
Pekerja di bengkel motor merupakan salah satu pekerja yang memiliki
risiko besar untuk terpapar dengan bahan kimia. Bahaya dan risiko yang ada harus
diantisipasi oleh para pekerja bengkel motor yang bergerak pada sektor informal
karena tidak adanya perhatian khusus dalam menangani masalah kesehatan yang
terjadi. Salah satu penyakit yang bisa menjadi masalah untuk kesehatan pekerja
bengkel motor adalah masalah yang terjadi pada kulit yaitu dermatitis kontak akibat
kerja. Dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor diakibatkan oleh paparan
penggunaan air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi seperti minyak
pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin.
6
Accu zuur (H2SO4 pekat) merupakan salah satu contoh bahan kimia yang
dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Berdasarkan
data yang diperoleh dari dermatologis di UK, dari bulan Februari 1993 sampai
bulan Januari 1999 terdapat 152 kasus dermatitis kontak pada mekanik motor
dengan insiden rate 12,7/100.000 pekerja. Agen penyebab tertinggi kejadian
dermatitis kontak pada pekerja mekanik motor yaitu dari produk minyak bumi
sebesar 35,6% (Meyer et al, 2000). Penelitian di Indonesia menunjukkan angka
prevalensi dermatitis kontak iritan (DKI) sebesar 2% dan prevalensi yang pernah
mengalami riwayat DKI subjektif sebesar 64% pada pekerja bengkel mobil di
Jakarta. Didapatkan perbedaan bermakna riwayat DKI subjektif antara pekerja
yang kebersihan dirinya tidak baik dengan pekerja yang kebersihan dirinya baik
(Lestari, 2009).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurzakky (2011) pada pekerja
bengkel motor didapatkan hasil bahwa sebesar 65,7% pekerja bengkel motor
menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang menderita dermatitis
kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk. Pekerja yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis
kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang baik.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni
2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis
7
kontak setelah mereka terpapar atau kontak dengan bahan kimia. Dari 7 pekerja
tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas pada kulit, 14,3% kulit
memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja bengkel tidak memakai
APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciputat Timur karena Ciputat
Timur merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang tertinggi
berdasarkan data BPS Kota Tangerang Selatan tahun 2011 mencapai 11.589
jiwa/Km2 dengan penduduk berjumlah 178.818 jiwa. Dan sebagian besar usaha di
Ciputat Timur terkonsentrasi pada pelayanan jasa. Berdasarkan hal tersebut
memungkinkan banyaknya kepemilikan kendaraan bermotor di Ciputat Timur dan
memunculkan banyaknya berbagai layanan service motor (bengkel). Pada observasi
awal diketahui bahwa di Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor
informal. Selain itu, UIN Syarif Hidayatullah terletak pada Kecamatan Ciputat
Timur, sehingga hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base
pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di
wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan dilakukannya
penelitian tersebut diharapkan dapat menemukan langkah-langkah upaya
pencegahan dan pengendalian, agar kesehatan para pekerja bengkel motor terutama
untuk kesehatan kulit dapat terjamin dan bisa bekerja dengan lebih produktif.
8
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian dermatitis kontak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
menurut Schnuch & Carlsen (2011), Djuanda dan Sularsito (2002), Lestari dan
Utomo (2007), dan Nuraga, dkk (2008) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, bahan
kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit lain, riwayat
alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, masa kerja, jenis pekerjaan,
personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Juni
2012 terhadap pekerja bengkel motor di Kecamatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan, terdapat 7 (70%) dari 10 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis
kontak. Dari 7 pekerja tersebut 85,7% merasakan gatal, 71,4% merasakan panas
pada kulit, 14,3% kulit memerah, dan 14,3% kulit mengelupas. Seluruh pekerja
bengkel tidak memakai APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannya.
Pekerjaan yang dilakukan oleh mekanik motor pada bengkel informal di Ciputat
Timur terbatas pada pelayanan servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan,
tune-up, Spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Jenis paparan bahan kimia
yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak
bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur.
9
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor
di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
2. Bagaimana gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat
atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene pada pekerja
bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun
2012?
5. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
6. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
7. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun
2012?
9. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012?
10
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat
Timur tahun 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel
motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
2. Diketahuinya gambaran lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia,
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun
2012.
3. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
4. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
5. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
11
6. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
7. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
8. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan
Ciputat Timur tahun 2012.
9. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Pekerja Bengkel
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada para pekerja bengkel mengenai gambaran kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel, selain itu dapat diketahui juga bagaimana upaya
pencegahan dan pengendaliannya agar masalah kesehatan tersebut dapat
teratasi sehingga membuat pekerja bengkel dapat bekerja dengan lebih baik
dan produktif.
12
1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai data base
pelaksanaan program intervensi khususnya untuk pekerja sektor informal di
wilayah terdekat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi keilmuan K3, khususnya
mengenai dermatitis kontak pada pekerja. Selain itu juga dapat dijadikan
sebagai informasi penelitian dan menambah referensi hasil penelitian untuk
mahasiswa keselamatan dan kesehatan kerja.
1.5.3 Bagi Peneliti
Dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dan pengalaman
dalam melakukan penelitian bidang keselamatan dan kesehatan kerja,
khusunya terkait dengan dermatitis kontak. Selain itu dapat menambah
wawasan keilmuan mengenai dermatitis kontak dan faktor penyebab serta
faktor yang mempengaruhinya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa semester VIII peminatan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Juli-September 2012 untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
13
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan
disain studi cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pekerja
bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur dengan jumlah sampel 101
pekerja. Data penelitian didapatkan dengan cara pengambilan data primer melalui
kuesioner, observasi, dan pemeriksaan fisik. Data tersebut kemudian dianalisis
dengan uji univariat untuk memperoleh frekuensi jumlah dan persentase, dan
analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square, uji t-independent, dan uji
Mann-Whitney.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pekerjaan Bengkel Motor
Pekerjaan bengkel dapat dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan jenis
mesin atau peralatan yang digunakan dan jumlah pekerja yang dipekerjakan.
Misalnya, beberapa bengkel yang berada dalam satu perusahaan dengan 100 atau
lebih karyawan, sementara bengkel lainnya sangat kecil, terutama yang terlibat
dalam menjual bahan bakar dan membuat perbaikan kecil dan mempekerjakan satu
atau dua pekerja. Ada juga bengkel yang dijalankan oleh pekerja keluarga saja.
Selain dari perusahaan, ada juga bengkel yang bergerak pada sektor informal
(Ghebreyohannes, 2005).
Bengkel motor yang berskala kecil atau bengkel motor informal
merupakan bengkel yang melayani melayani servis kendaraan roda dua, mulai dari
servis ringan, tune-up, spare parts, sampai servis besar (turun mesin). Selain itu
juga melayani reparasi hingga penggantian bahan pelumas/oli.
2.1.1 Bahaya Keselamatan Kerja
Bahaya keselamatan didefinisikan sebagai zat (bahan baku),
mesin atau peralatan yang bisa menyebabkan luka sederhana atau serius
yang berpengaruh untuk ketidakhadiran kerja yang berlangsung setidaknya
24 jam. Jenis-jenis kecelakaan yang biasa terjadi adalah luka bakar pada
15
tangan dan kaki karena asam dehidrasi berat, kelelahan, amputasi, injeksi,
pemotongan, abrasi, patah tangan atau endapan dan cedera mata (karena
benda terbang).
2.1.2 Bahaya Kesehatan Kerja
Bahaya kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi patologis,
apakah disebabkan oleh fisik, kimia atau biologis agen, yang muncul sebagai
konsekuensi dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan atau lingkungan
tempat dia bekerja. Bahaya kesehatan kerja di bengkel diantaranya yaitu
pelarut organik dan anorganik, bahan kimia yang digunakan dalam
membersihkan atau mencuci bagian mesin, dari pengisian baterai, lead yang
digunakan dalam pengelasan, lead filler dan molten lead cair yang digunakan
untuk mengisi keretakan dan penyok. Kejadian dermatitis sensitisasi telah
dilaporkan dari penggunaan primer kromat seng dalam mereparasi bagian
logam.
Dermatitis kontak merupakan salah satu bahaya kesehatan yang
terdapat pada pekerja bengkel. Jenis paparan bahan kimia yang ada di
bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta produk-produk minyak bumi
seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan pendingin
(Frosh & John, 2011).
16
2.2 Penyakit Kulit Akibat Kerja
Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada
waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam
lingkungan kerja (Siregar, 1996). Penyakit kulit dapat ditandai dengan ruam yang
memiliki kesamaan letak yang terbatas ke daerah serangan eksternal. Menggaruk
ruam karena gatal dapat menyebabkan perluasan daerah yang terpapar. Penggunaan
berbagai salep dalam kombinasi dapat memperburuk daripada mengurangi gejala.
Penggunaan sarung tangan dapat melindungi terhadap kontak dengan bahan kimia
penyebab, tetapi penggunaan sarung tangan yang tidak tepat dapat menyebabkan
bahan kimia dapat masuk diantara sarung tangan dan kulit tangan. Hal ini dapat
memperburuk dermatitis kontak. Beberapa orang juga alergi terhadap lateks dan
komponen lain dalam sarung tangan (Gardiner & Harrington, 2007). Di negara-
negara industri, sekitar 90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas
pada tangan dan lengan bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian
tubuh lainnya juga kadang-kadang dapat mengalami dermatitis kontak.
Kebanyakan kasus didiagnosis sebagai eksim atau dermatitis kontak (Waldron &
Edling, 2004).
Jenis penyakit kulit akibat kerja adalah sebagai berikut (Waldron &
Edling, 2004):
Subtipe eksim / dermatitis kontak
Acne kontak dan folikulitis
17
Depigmentasi dan hyperpigmentasi
Infeksi
tumor jinak dan ganas - berbagai penyakit misalnya lichenoid reaksi.
2.2.1 Penyebab penyakit kulit akibat kerja
Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor
(Siregar, 1996):
1. Faktor kimiawi, dapat berupa iritasi primer, allergen atau karsinogen.
2. Faktor mekanis/fisik, seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas,
dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.
3. Faktor biologis, seperti jasad renik (mikroorganisme) hewan dan
produknya, jamur, parasit dan virus.
4. Faktor psikologis (kejiwaan), ketidakcocokan pengelolaan perusahaan
sering menghambat konflik diantara pegawai dan dapat menimbulkan
gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.
Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri
dari serangan/rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan
air yang berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar.
Pigmen didalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahari. Selain
itu kulit mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi
sebagai alat penjaga keseimbangan cairan tubuh, mempermudah timbulnya
kelainan kulit.
18
2.2.2 Diagnosis Penyakit Kulit Akibat Kerja
Untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit kulit akibat kerja,
sebagaimana penyakit lain, dilakukan (Siregar, 1996):
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan klinis
c. Pemeriksaan laboratorik
d. Percobaan temple/uji temple
2.2.2.1 Anamnesis
Yang perlu ditanyakan antara lain ialah:
Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di perusahaan
yang sekarang.
Jenis pekerjaan penderita.
Pengaruh libur/istirahat terhadap penyakitnya.
Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama.
Riwayat alergi penderita atau keluarganya.
Proses produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang digunakan di
tempat pekerjaan.
Apakah kelainan terjadi di tempat-tempat yang terpajan.
Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi yang
dipakai.
19
Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan
dan temperatur.
Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya penyakit,
dan lain-lain.
2.2.2.2 Pemeriksaan Klinis
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai, yang tersering ialah daerah yang terpajan,
misalnya tangan, lengan, muka atau anggota gerak. Kemudian tentukan
ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut dapat terlihat berupa
eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan kulit yang kronis
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan skuamasi. Bila ada
infeksi terlihat pustulasi. Bila ada pertumbuhan tampak tumor, eksudasi,
lesi verukosa atau ulkus.
2.2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, tinja hendaknya dilakukan secara
lengkap. Bila ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan
selanjutnya dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa
kerokan kulit dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak dalam media
Sabouraud agar. Pemeriksaan biopsy kulit kadang-kadang perlu
dilakukan.
20
2.2.2.4 Uji Tempel/ Patch Test
Karena penyakit kulit akibat kerja sebagian besar berbentuk
dermatitis kontak alergik (80%), maka uji tempel perlu dikerjakan untuk
memastikan penyebab alergennya. Bahan tersangka dilarutkan dalam
pelarut tertentu dengan konsentrasi tertentu. Sekarang sudah ada bahan
tes tempel yang sudah standard an disebut unit uji tempel. Unit ini terdiri
atas filter paper disc, yang dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji.
Bahan yang akan diuji diteteskan diatas unit uji tempel, kemudian
ditutup dengan bahan impermeabel, selanjutnya ditutup lagi dengan
plester yang hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96
jam. Setelah penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk
menghilangkan efek plester.
Hasil 0 : bila tidak ada reaksi
+ : bila hanya ada eritema
++ : bila ada eritema dan papul
+++ : bila ada eritema, papul, dan vesikel
++++ : bila ada edema, vesikel
Dalam penilaian ini harus dapat dibedakan antara reaksi iritasi
dan reaksi alergi, reaksi negatif semu dan reaksi positif semu, untuk itu
diperlukan pengalaman dan penilaian khusus.
21
2.3 Dermatitis Kontak
2.3.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah massa jaringan terbesar di tubuh. Kulit bekerja
melindungi dan enginsulasi struktur-struktur dibawahnya dan berfungsi
sebagai cadangan kalori. Kulit mencerminkan emosi dan stress yang kita
alami, dan berdampak pada penghargaan orang lain merespon kita. Selama
hidup, kulit dapat teriris, tergigit, mengalami iritasi, terbakar, atau terinfeksi.
Kulit memiliki kapasitas dan daya tahan yang luar biasa untuk pulih. Kulit
terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing tersusun dari berbagai jenis sel
dan fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut afalah epidermis,
dermis, dan subkutis (Corwin, 2009).
Sumber : Craecker, 2008
Gambar 2.1 Anatomi Kulit
22
2.3.1.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan kulit terluar. Sel-sel epidermis terus
menerus mengalami mitosis, dan diganti sel baru sekurang-kurangnya setiap
30 hari. Epidermis mengandung reseptor sensorik untuk sentuhan, suhu,
getaran, dan nyeri. Komponen utama epidermis adalah protein keratin, yang
dihasilkan oleh sel keratinosit. Keratin mencegah hilangnya air tubuh dan
melindungi epidermis dari iritan dan mikroorganisme penyebab infeksi.
Melanosit (sel pigmen) terdapat dibagian dasar epidermis. Melanosit
mensintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respon terhadap rangsangan
hormon hipifisis anterior. Sel-sel imun, yang disebut sel Langerhans, terdapat
diseluruh epidermis. Sel langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit, dan member sinyal pada limfosit T atas
keberadaan partikel atau mikroorganisme tersebut untuk memulai suatu
serangan imun (Corwin, 2009).
2.3.1.2 Dermis
Dermis terletak tepat dibawah epidermis. Jaringan ini dianggap
jaringan ikat longgar dan terdiri atas sel-sel fibroblast yang mengeluarkan
protein kolagen dan elastin. Diseluruh dermis dijumpai pembuluh darah, saraf
sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel rambut, serta kelenjar keringan
dan palit (sebasea). Sel mast, yang mengeluarkan histamine selama cedera
atau peradangan, dan makrofag, yang memfagositosis sel-sel mati dan
23
mikroorganisme, juga terdapat di dermis. Pembuluh darah di dermis
menyuplai makanan dan oksigen dermis dan epidermis, dan membuang
produk-produk sisa. Aliran darah dermis memungkinkan tubuh mengontrol
temperaturnya (Corwin, 2009).
Dermis membentuk bagian terbesar kulit dengan memberikan
kekuatan dan struktur pada kulit. Lapisan ini tersusun dari dua lapisan yaitu
papilaris dan retikularis. Lapisan papilaris dermis berada langsung dibawah
epidermis dan tersusun terutama dari sel-sel fibroblast yang dapat
menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari jaringan
ikat. Lapisan retikularis terletak dibawah lapisan papilaris dan juga
memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastic. Dermis sering
disebut sebagai “kulit sejati” (Smeltzer & Bare, 2001).
2.3.1.3 Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri
atas lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan
insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori selain
lemak, dan dapat dipecah menjadi sumber energy jika diperlukan (Corwin,
2009). Lapisan subkutis/jaringan subkutan ini terutama berupa jaringan
adiposa yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal
seperti otot dan tulang. Jaringan ini memungkinkan mobilitas kulit, perubahan
kontur tubuh dan penyekatan panas tubuh (Smeltzer & Bare, 2001).
24
2.3.2 Fungsi Kulit
Fungsi kulit menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu diantaranya
sebagai perlindungan, sensibilitas, keseimbangan air, pengaturan suhu,
produksi vitamin, dan fungsi respon imun.
2.3.3 Dermatitis Kontak Akibat Kerja
Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari semua kasus
gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini dapat dibagi ke dalam
dermatitis kontak iritan, yang terjadi pada 80% kasus, dan dermatitis kontak alergi.
Dalam kebanyakan kasus, kedua jenis akan hadir sebagai lesi eczematous pada
bagian tubuh yang terkena, terutama tangan (Sasseville, 2008).
Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan
reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis
mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis
kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik terjadi akibat
pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang
disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi
pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera
diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret.
Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi
dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta
pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-
25
menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi
(perubahan warna) akan terjadi.
Ada dua tipe dermatitis kontak akibat kerja yaitu:
1. Dermatitis kontak iritan
2. Dermatitis kontak alergik
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan dan Alergi
Dematitis kontak iritan Dermatitis Kontak Alergik Patogenesis Efek sitotoksik langsung
Reaksi imun yang diperantai sel T
Individu yang terkena
Semua orang Hanya orang yang alergik
Onset Langsung atau setelah paparan berulang terhadap iritasi lemah
12-48 jam
Tanda Subakut atau kronis ekzema dengan deskuamasi, fisura
Akut hingga subakut ekzema dengan vesiculation
Gejala Nyeri atau rasa kulit terbakar gatal Konsentrasi kontaktan
tinggi rendah
Pemeriksaan Tidak ada Tes patch atau prick
Sumber : Sasseville (2008)
26
2.3.3.1 Dermatitis Kontak Iritan
Dalam Partogi (2008) dermatitis kontak iritan (DKI) adalah
suatu proses inflamasi lokal pada kulit jika berkontak dengan zat yang
bersifat iritan. Secara umum terdapat dua macam DKI yang bergantung
dari jenis bahan iritannya, yaitu DKI akut dan kumulatif. Pada DKI
akut, kerusakan kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali
pajanan. Zat yang menyebabkan DKI akut adalah zat yang cukup iritan
untuk menyebabkan kerusakan kulit bahkan dalam satu pajanan.
Mencakup didalamnya adalah asam pekat, basa pekat, cairan pelarut
kuat, zat oksidator dan reduktor kuat.
Sedangkan pada DKI kumulatif, kerusakan terjadi setelah
beberapa kali pajanan pada lokasi kulit yang sama, yaitu terhadap zat-
zat iritan lemah seperti: air, deterjen, zat pelarut lemah, minyak dan
pelumas. Zat-zat ini tidak cukup toksik untuk menimbulkan kerusakan
kulit pada satu kali pajanan, melainkan secara perlahan-lahan hingga
pada suatu saat kerusakannya mampu menimbulkan inflamasi.
Penyebab DKI kumulatif biasanya bersifat multifaktorial.
27
Tabel 2.2 Jenis Iritan yang Umum Terdapat di Tempat Kerja
No Iritan 1 Asam dan Basa (Alkali) 2 Pelarut
Alifatik : Minyak bumi, Minyak tanah, Bensin Aromatik : Benzena, Toluena, Xylene/Xilena Halogenasi : Kloroform, Trikloroetilen, Metil klorida Beberapa macam lainnya : Air, Alkohol, Keton, Glikol, Terpentin
3 Sabun dan Deterjen 4 Plastik dan Resin
Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina katalis Styrene, Benzoil peroksida
5 Logam Nikel, Kromium, Kobalt, Platina, Arsenik
6 Tanaman Bulu, Duri Kalsium oksalat : Dieffenbachia, Philodendron, Daffodil, Agave Fototoksik psoralen : Apiaceae, Rutaceae
7 Partikel Pasir, Serbuk gergaji, Fiberglass, Kikiran logam, dan lain-lain.
Sumber : Sasseville (2008)
2.3.3.1.1 Patogenesis
Mekanisme patogenesis DKI kumulatif dapat terjadi
melalui dua cara yaitu melalui mekanisme kerusakan fungsi sawar kulit
yang diperankan oleh stratum korneum dan pelepasan mediator akibat
kerusakan keratinosit. Stratum korneum memiliki banyak fungsi, salah
satunya adalah sebagai lapisan sawar pelindung yang mencegah
pelepasan cairan berlebih dari kulit. Fungsi integritas kulit bergantung
pada kadar kelembaban stratum korneum.
28
Kerusakan akibat pajanan zat iritan dimulai dengan
kerusakan lapisan lipid dan Natural Moisturizing Factor (NMF)
sehingga terjadi kekeringan kulit, kemudian kelainan stratum korneum
ini akan mengakibatkan kulit kehilangan fungsi sawarnya. Hal tersebut
akan menyebabkan terjadinya pajanan langsung sel kulit yang masih
hidup terhadap zat iritan tersebut. Jika zat iritan telah dapat mencapai
membrane lipid keratinosit, maka zat tersebut dapat berdifusi melalui
membrane untuk masuk lisosom, mitokondria, atau komponen inti.
2.3.3.1.2 Manifestasi Klinis
Penyebab kerusakan stratum korneum pada DKI kumulatif
adalah penurunan ambang kulit terhadap kerusakan berulang yang
terjadi lebih cepat daripada waktu untuk penyembuhan sempurna
fungsi sawar kulit. Gejala klinis baru terlihat jika kerusakan yang
terjadi melebihi “ambang manifestasi” tertentu, yang akan berbeda
untuk setiap individu. Nilai ambang bukan angka yang tetap bagi
individu, tetapi dapat menurun jika ada suatu penyakit.
Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering
terlihat oleh mata, secara histopatologik pada kulit sudah terjadi
kerusakan. Karena DKI kumulatif disebabkan oleh zat kimia lemah,
maka kelainan kulit yang diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi
yang terjadi dapat merupakan gejala yang dapat diobservasi oleh
penglihatan dan berupa keluhan subjektif. Lesi kulitnya berupa
29
eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hyperkeratosis, dan kulit
pecah dengan batas yang tidak tegas. Sedangkan keluhan yang timbul
dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang
hiperkeratotik. Lokasi kulit dimana saja dapat terkena, akan tetapi yang
terbanyak adalah tangan.
2.3.3.2 Dermatitis Kontak Alergik
Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak
alergika merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan
Antigen Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa
mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga
meskipun stratum korneum intak, tidak dapat mencegah terjadinya
dermatitis kontak alergi pada individu yang sensitif (Hakim, 2004).
30
Tabel 2.3 Jenis Alergens yang Umum Terdapat di Tempat Kerja
No Alergen 1 Logam
Nikel, Kromium, Kobalt, Merkuri, Emas, Platinum 2 Karet Aditif
Akselerator : Merkaptobenzotiazol, Karbamat, Thiurams, Tiourea Antioksidan : N-fenil-N-isopropil-paraphenylenediamine, dan lain-lain
3 Plastik dan Resin Epoxy, Fenolik dan Akrilik monomer Amina, Anhidrida, dan Katalis peroksida Colophony, Terpentin, Katekol
4 Biosida Formalin dan Formaldehid releasers Glutaraldehid Isothiazolinones Methyldibromoglutaronitrile Iodopropynyl butylcarbamate
5 Kosmetik Paraphenylenediamine Gliseril thioglycolate Cocamidopropylbetaine Paraben dan pengawet lainnya (lihat biosida) Wewangian dan minyak esensial
6 Tanaman Penta-dan Heptadecylcatehols Seskuiterpen lakton
Sumber : Sasseville (2008)
2.3.3.2.1 Patogenesis
Di sini yang berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan
Coombs). Reaksi ini di bagi dalam dua fase yaitu, fase sensitisasi dan
fase elisitasi. Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen
biasanya mempunyai berat molekul kecil, larut dalam lemak dan ini di
31
sebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus lapisan
korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis. Hapten ini akan
difagosit oleh sel Langerhans, kemudian hapten akan di ubah oleh
enzim lisosom dan sitosolik yang kemudian berikatan dengan HLA-DR
membentuk anti gen. HLA-DR dan anti gen ini akan di perkenalkan
kepada sel limfosit T melalui CD4 (cluster of differentiation-4) yang
akan mengenal HLA-DR dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang
akan mengenal anti gen tersebut. Sedangkan fase elisitasi di mulai
ketika anti gen yang serupa, setelah difagosit oleh sel Langerhans
dengan cepat akan di kenal oleh sel memori sehingga sel memori akan
mengeluarkan IFN-g (interferon gamma) yang akan merangsang
keratinosit yang akan menampakkan ICAM-1 dan HLA-DR pada
permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit
berikatan dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1
(lymphocyte associated-1).
2.3.3.2.2 Manifestasi Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut di
mulai dengan bercak eritea berbatas jelas, kemudian di ikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada kronis terlihat kulit
kering berskuama, papul likenifikasi dan mungkin juga fisura, batas
tidak jelas.
32
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak
Faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak yaitu lama kontak,
frekuensi kontak dan bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit lain, tipe/jenis kulit, riwayat alergi, riwayat pekerjaan, masa kerja,
jenis pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
2.4.1 Lama Kontak
Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak
akibat kerja (Djuanda dan Sularsito 2002). Lama kontak dengan bahan kimia
yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.
Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi
kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Pengendalian
risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama kontak yang terjadi
perlu dilakukan (Nuraga, 2008).
Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), ada hubungan antara
lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan
dengan bahan kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri
Cibitung Jawa Barat. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa pekerja
dengan lama kontak 8 jam//hari lebih banyak menderita dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Dari
penelitian Ruhdiat (2006) juga didapatkan bahwa perjalanan dermatitis
kontak akut, subakut, maupun kronis sering terjadi pada orang yang
33
mempunyai kontak selama 8 jam, dan lama kontak merupakan salah satu
faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian dermatitis kontak.
Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian
dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka
akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan
risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga
mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka
penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam
hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat.
2.4.2 Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kejadian dermatitis kontak akibat kerja (Djuanda dan Sularsito, 2002).
Menururt Cohen (1999), dermatitis kontak alergi dapat disebabkan karena
adanya frekuensi yang terus-menerus dan berulang khususnya untuk bahan
yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis
kontak alergi, dimana dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun
beratnya tidak proporsional biasanya disebabkan oleh bahan kimia dengan
jumlah sedikit. Menurut Nuraga dkk (2008), upaya menurunkan frekuensi
kontak pekerja dengan bahan kimia merupakan salah satu upaya yang baik
dilakukan untuk menurunkan kejadian dermatitis kontak.
34
Dalam penelitian Ruhdiat (2006), dermatitis kontak akut
terbanyak terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan
bahan kimia sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut
banyak terjadi pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/ hari.
Untuk dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak
bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan bahan
kimia, maka berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak hingga kronik.
Pada penelitian itu disebutkan bahwa ada hubungan antara frekuensi kontak
dengan kejadian dermatitis kontak.
2.4.3 Bahan Kimia
Bahan kimia dapat bergabung dengan protein kulit dan
menyebabkan kerusakan kulit (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Linins
dalam Ruhdiat (2006) mengatakan bahwa bahaya bahan kimia adalah korosif
(iritan) dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan langsung jaringan kulit
iritasi sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun yang sering
terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun
mata, iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan.
Bahan kimia korosif cairan basa merusak jaringan lunak lebih kuat dari pada
asam anorganik. Bahan ini merusak lebih dalam pada jaringan lunak kulit
dengan menimbulkan proses perlemakan dalam hitungan minggu, rasa nyeri
35
yang hebat dan melemahkan lapisan epidermis sehingga kulit menjadi lebih
rentan terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat permulaan terpapar
justru tidak timbul rasa sakit.
Bahan kimia cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang
mana asam menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dengan proses
perusakan jaringan lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan
pelindung. Pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan
membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan
masuk untuk terjadinya infeksi sekunder (Linins dalam Ruhdiat, 2006).
2.4.4 Masa Kerja
Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu
tempat. Analisis hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis
kontak menunjukan bahwa ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Pekerja yang
memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak yang terkena dermatitis
dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun. Hasil analisis
juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun memiliki
peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja
yang telah bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2007).
Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤
2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa
36
pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan
pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan
dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi
meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama
bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati
sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit.
Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang
dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja
yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap
bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada
kelompok ini cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja
kurang atau sama dengan 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang
mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang
cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati dan Budiono, 2011).
Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja
dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan
telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi
ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi
lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus-
menerus.
37
2.4.5 Usia
Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia
mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan
lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini
memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi
lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Usia pekerja yang lebih tua
menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi
kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis
kronik (Cronin dalam Lestari dan Utomo, 2007).
Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah
menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2007), pekerja dengan usia yang
lebih muda justru lebih banyak yang terkena dermatitis kontak. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih banyak
terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%, sedangkan
pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.
2.4.6 Jenis Kelamin
Dermatitis kontak sering terjadi pada perempuan (Wigger dalam
Avivah, 2005). Studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan di antara
pasien dengan iritasi eksim pada tangan tingkatnya lebih tinggi pada wanita,
tetapi kebanyakan penelitian eksperimental tidak dapat memastikan adanya
38
perbedaan antara kedua jenis kelamin dalam hal akut atau reaktivitas
kumulatif iritan. Persepsi umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih
sensitif dibandingkan dengan pria. Dalam studi yang lebih baru, pria
bereaksi terhadap paparan iritan yang lebih besar tingkatnya daripada wanita
(Schnuch & Carlsen, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Trihapsoro (2003), Dari 40 pasien yang diuji tempel bahwa ternyata jenis
kelamin yang terbanyak adalah perempuan yaitu 29 pasien (72,5%)
dibandingkan dengan laki-laki yaitu hanya 11 pasien (27,5%).
2.4.7 Ras
Variasi antar etnis dalam reaksi iritan telah dinilai antara orang
Asia dan Kaukasia, kulit hitam dan kulit putih, serta Hispanik dan Kaukasia.
Beberapa studi telah dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki perbedaan
reaktivitas iritan antara kulit hitam dan kulit putih. Studi dasar penilaian
visual, telah dilaporkan penurunan reaktivitas pada kulit hitam, sedangkan
studi dasar pada parameter obyektif telah menghasilkan peningkatan
reaktivitas, kesamaan reaktivitas, ataupun penurunan reaktivitas, tetapi untuk
sebagian besar penurunan reaktivitas pada kulit hitam dibandingkan dengan
kulit putih. Lapisan korneum memainkan peran utama dalam perbedaan
antar etnis yang diamati. Mungkin ada perbedaan struktural dalam stratum
korneum antara kulit hitam dan kulit putih. Jumlah lapisan sel dan kohesi
interseluler dari stratum korneum dilaporkan lebih besar pada kulit Hitam,
39
tetapi ketebalan stratum korneum sama. Lipid interseluler juga tampaknya
lebih besar pada kulit Hitam. Jadi dapat dikatakan, kulit putih lebih rentan
untuk terjadinya dermatitis (Schnuch & Carlsen, 2011).
2.4.8 Riwayat Atopi
Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, missal dermatitis
atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Ada pengaruh yang
signifikan antara riwayat atopik dengan timbulnya dermatitis kontak iritan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Sulistyani dkk (2010), didapatkan
bahwa orang dengan riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatistis
kontak iritan dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi.
Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan 41 orang (58,6%) menderita
dermatitis kontak iritan (DKI) dan 29 orang ( 41,4%) tidak menderita DKI.
Dari 41 orang yang menderita DKI, sebanyak 29 orang (41,4%) mempunyai
latar belakang riwayat atopi dan sebanyak 12 orang (17,1%) tidak
mempunyai latar belakang riwayat atopi. Dari hasil penelitian tersebut juga
dikatakan bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang
lebih besar yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki riwayat atopik.
Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah
memiliki riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan
40
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik. Schnuch &
Carlsen (2011) juga mengatakan bahwa pasien dengan riwayat dermatitis
atopi tetapi tidak ada lesi aktif tidak menunjukkan reaktivitas meningkat
dibandingkan dengan pasien dengan dermatitis atopi aktif. Hiperreaktivitas
yang diamati pada pasien dermatitis atopi mungkin juga berkorelasi positif
dengan keparahan penyakit. Kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada
orang yang memiliki riwayat/dermatitis atopi mungkin sebagian dikarenakan
oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh respon inflamasi
yang lebih besar.
2.4.9 Riwayat Penyakit Kulit
Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit
dermatitis, merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal
ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia.
Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi
kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Dari
hasil penelitian Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan bahwa faktor
riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan dengan
kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat
penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk
(2008) memgatakan bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi
tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat
41
menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah
memasuki dermis.
2.4.10 Riwayat Alergi
Riwayat alergi merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Riwayat
alergi dapat menjadikan kulit lebih rentan terhadap penyakit dermatitis
kontak. Analisis hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak
menunjukkan bahwa pekerja dengan riwayat alergi yang terkena dermatitis
sebanyak 15 orang (57,7%) dari 26 orang yang memiliki riwayat alergi.
Sedangkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terkena dermatitis
sebanyak 24 orang dengan persentase sebesar 44,4% dari 54 orang pekerja
(Lestari dan Utomo 2007).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cahyawati dan
Budiono (2011) sebagian besar responden yang tidak menderita dermatitis
tidak memiliki riwayat alergi sebelumnya. Dari data sebanyak 17 responden
(85%) responden yang tidak menderita dermatitis tidak memiliki alergi
sebelumnya, sebaliknya 10 responden (50%) yang menderita dermatitis
memiliki riwayat alergi sebelumnya.
42
2.4.11 Musim
Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), faktor musim dapat
mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Menururt Gilles L et al (1990)
dalam Situmeang (2008), musim panas dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan pengeluaran keringat oleh pekerja, selain itu dapat membuat
pekerja menghindari pemakaian APD dan memakai pakaian kerja yang
minim sehingga memungkinkan kontak langsung dengan bahan kimia secara
mudah. Pada cuaca yang dingin, pekerja biasanya lebih malas untuk
membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia.
2.4.12 Tipe kulit
Kulit manusia dapat berbeda berdasarkan pada status pigmentasi
dan kemampuan dalam penyamakan respon terhadap sinar matahari. Tidak
ada perbedaan nilai ambang respon dalam iritan akut yang telah dicatat
antara individu sesuai dengan jenis kulit mereka, tetapi pengukuran dosis
eritema minimal tampaknya berkorelasi terbalik dengan tingkat reaksi
terhadap paparan iritan (Schnuch & Carlsen, 2011). Ketebalan kulit juga
dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan kimia. Selain itu,
kulit yang berminyak lebih tahan terhadap at-zat yang larut dalam air,
dibandingkan dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan
yang bersifat asam atau basa (Gilles L et al (1990) dalam Situmeang, 2008).
43
2.4.13 Pengeluaran Keringat
Tingkat efek dermatitis kontak tergantung dari beberapa faktor,
salah satunya adalah berkeringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Gilles
L et al (1990) dalam Situmeang (2008) mengatakan bahwa bahan-bahan
iritan dapat diencerkan dan dihanyutkan oleh keringat yang keluar dari kulit,
dan akan memudahkan absorbs melalui pori-pori kulit.
2.4.14 Jenis Proses Pekerjaan
Jenis proses pekerjaan merupakan berbagai macam tahap
pekerjaan yang dilakukan pada suatu tempat pekerjaan yang sama. Jenis
proses pekerjaan dapat mempengaruhi dermatitis kontak karena diantara satu
pekerjaan dengan pekerjaan lainnya memungkinkan adanya paparan bahan
kimia yang berbeda jumlah konsentrasi dan lama paparannya. Semakin besar
jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar kemungkinan
pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Priatna dalam Lestari dan Utomo,
2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo
(2007), ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian dermatitis
kontak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang bekerja pada
proses realisasi lebih banyak yang mengalami dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja pada proses pendukung. Hasil
analisis juga menunjukkan bahwa pekerja pada proses realisasi memiliki
44
peluang 3,358 (3,4) kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan
pekerja di proses pendukung.
2.4.15 Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor fisik udara di
lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi dermatitis kontak (Djuanda &
Sularsito, 2002). NIOSH dalam Ruhdiat (2006) merekomendasikan tentang
kriteria untuk nyaman, suhu udara dalam ruang yang dapat diterima adalah
berkisar antara 20-240C untuk musim dingin dan 23-260C untuk musim
panas pada kelembaban 35-65%. Mc Beath dalam Ruhdiat (2006)
mengatakan semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat
dan asam kuat, sabun, dan detergen dan banyak bahan kimia organik
diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan
kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2006), menunjukkan bahwa
dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja didalam ruang
yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%.
2.4.16 Personal Hygiene
Personal hygiene juga merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007). Menurut
Lestari dan Utomo (2007), salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya
dermatitis kontak adalah personal hygiene. Dari hasil penelitiannya
menunjukkan ada perbedaan proporsi antara pekerja yang mengalami
45
dermatitis dengan personal hygiene yang baik dengan pekerja yang
mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang personal hygiene-nya
kurang baik. Dermatitis kontak lebih banyak terjadi pada pekerja yang
memiliki personal hygiene kurang baik. Dalam hal ini, yang dimungkinkan
menjadi penyebabnya personal hygiene kurang baik adalah masalah mencuci
tangan. Kebiasaan mencuci tangan seharusnya dapat mengurangi potensi
penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah bekerja,
tetapi nyatanya pekerja masih bisa berpotensi untuk mengalami dermatitis
meski sudah melakukan kebiasaan mencuci tangan. Hal tersebut bisa
disebabkan karena adanya kesalahan dalam mencuci tangan (kurang bersih
dalam mencuci tangan).
Dalam penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) juga
menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor personal hygiene dengan
kejadian dermatitis kontak. Ada kecenderungan bahwa responden yang
menderita dermatitis karena memiliki personal hygiene yang buruk,
sebaliknya responden yang tidak menderita dermatitis sebagian besar
memiliki personal hygiene baik.
Menurut hasil penelitian Nurzakky (2011) sebesar 65,7% pekerja
bengkel motor menderita dermatitis kontak akibat kerja, dari pekerja yang
menderita dermatitis kontak memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk.
Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki kebiasaan
mencuci tangan yang buruk memiliki risiko untuk mengalami dermatitis
46
kontak akibat kerja 18,791 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan yang baik.
2.4.17 Pemakaian APD
Sebaiknya para pekerja diperlengkapi dengan alat penyelamat
atau pelindung yang bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang
sifatnya dapat mengiritasi, merangsang atau karsinogen. Alat pelindung yang
dapat dipergunakan misalnya baju pelindung, sarung tangan, topi, kaca mata
pelindung, sepatu, krim pelindung dan lain-lain (Siregar, 1996).
Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat
akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah
maupun lama perjalanan dermatitis kontak. Besarnya risiko kelompok
pekerja yang kadang-kadang menggunakan APD dibandingkan dengan
kelompok pekerja yang menggunakan APD terhadap kejadian dermatitis
kontak (positif) adalah 8,556. Artinya pekerja yang kadang-kadang memakai
APD mempunyai risiko mengalamai dermatitis kontak 8,556 kali lebih besar
dari pekerja yang selalu menggunakan APD (Nuraga dkk, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cahyawati dan Budiono
(2011) membuktikan bahwa ada hubungan antara pemakaian APD dengan
kejadian dermatitis kontak. Pekerja yang cenderung memakai APD secara
lebih baik, hasilnya rendah untuk berisiko mengalami dermatitis kontak.
47
Pemakaian alat pelindung diri, maka akan menghindarkan seseorang kontak
langsung dengan agen-agen fisik, kimia maupun biologi.
Kesesuaian APD juga perlu untuk diperhatikan. APD yang baik
seharusnya dapat mengurangi potensi pekerja untuk terkena dermatitis
kontak. Jika pekerja masih merasakan adanya kontak dengan bahan kimia
walaupun telah mengenakan APD, hal ini menunjukan bahwa APD yang
digunakan tidak sesuai untuk melindungi kulit dari material bahan kimia
(Lestari dan Utomo, 2007).
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Djuanda dan
Sularsito (2002) yaitu lama kontak, frekuensi kontak, suhu dan kelembaban, serta
faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit, riwayat atopi.
Menurut Schnuch & Carlsen (2011), faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu
dermatitis atopi/riwayat atopi, jenis kelamin, usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya,
serta tipe kulit. Selain itu ada faktor lain yang mempengaruhi seperti masa kerja dan
jenis proses pekerjaan (Cohen, 1999), pemakaian APD (Siregar, 1996), riwayat
alergi, musim dan personal hygiene (Hipp dalam Utomo, 2007), serta bahan kimia
dan pengeluaran keringat (Gardiner Aw & Harrington, 2007). Hal tersebut dapat
digambarkan dalam bagan dibawah ini:
48
Bagan 2.1
Kerangka Teori
Djuanda dan Sularsito (2002), Cohen (1999), Gardiner Aw & Harrington (2007), Schnuch & Carlsen (2011), Siregar (1996), serta Hipp dalam Utomo (2007)
1. Lama Kontak
2. Frekuensi Kontak
3. Bahan Kimia
4. Masa Kerja
5. Usia
6. Jenis Kelamin
7. Ras
8. Riwayat Atopi
9. Riwayat Penyakit Kulit
10. Riwayat Alergi
11. Musim
12. Tipe Kulit
13. Pengeluaran Keringat
14. Jenis Proses Pekerjaan
15. Suhu
16. Kelembaban
17. Personal Hygiene
18. Pemakaian APD
Dermatitis Kontak
49
BAB III
KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi
kontak, bahan kimia, masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit lain, riwayat alergi, musim, tipe kulit, pengeluaran keringat, jenis
proses pekerjaan, personal hygiene, pemakaian APD, serta suhu dan kelembaban.
Variabel dependen dalam penelitian ini yaitu dermatitis kontak.
Sedangkan variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Lama Kontak
Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya dermatitis
kontak akibat kerja. Kontak yang lama dengan bahan kimia dapat menyebabkan
kulit lapisan luar mengalami peradangan, dan jika kontak dengan bahan kimia
semakin lama, akan semakin memungkinkan terjadinya peradangan pada kulit
lapisan dalam.
2. Frekuensi Kontak
Fekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan bahan kimia
50
terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit dari lapisan yang
paling luar hingga dalam.
3. Masa Kerja
Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak
akibat kerja. Masa kerja seseorang menentukan tingkat pengalaman seseorang
dalam menguasai pekerjaannya. Selain itu, pekerja yang lebih lama telah
memiliki resistensi terhadap bahan kimia, sehingga kulitnya lebih tahan. Maka
dari itu, pekerja yang belum lama bekerja memungkinkan untuk mengalami
kejadian dermatitis kontak.
4. Usia
Kejadian dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada pekerja yang lebih
tua, karena kulitnya lebih rentan. Semakin bertambahnya usia maka kulit
manusia akan mengalami degenerasi. Kulit akan menipis dan kehilangan lapisan
lemak sehingga menjadi lebih kering. Hal tersebut menyebabkan kulit lebih
mudah untuk mengalami dermatitis kontak.
5. Riwayat Atopi
Riwayat atopi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian
dermatitis kontak akibat kerja. Adanya riwayat atopi menjadikan kerentanan
pekerja terhadap rekasi iritasi. Pada orang yang memiliki riwayat atopi akan
dapat memperparah penyakit. Selain itu orang yang pernah memiliki dermatitis
atopi disebabkan karena permeabilitas barrier dan respon kulit yang lebih besar,
sehingga memudahkan terjadinya dermatitis.
51
6. Riwayat Penyakit Kulit
Pekerja yang sebelumnya pernah menderita penyakit kulit merupakan hal yang
utama untuk dapat terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Hal tersebut
dikarenakan kulit pekerja menjadi sensitif, khususnya terhadap bahan kimia.
Bahan kimia akan lebih mudah mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah
mengalami dermatitis.
7. Riwayat Alergi
Riwayat alergi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
dermatitis kontak akibat kerja. Riwayat alergi dapat menjadikan kulit lebih
rentan, sehingga dermatitis kontak akan lebih mudah terjadi pada orang yang
memiliki riwayat alergi.
8. Personal Hygiene
Personal hygiene juga dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat
kerja. Dermatitis kontak lebih mudah dialami oleh pekerja yang memiliki
personal hygiene yang tidak baik, khususnya dalam hal kebiasaan mencuci
tangan setelah kontak dengan bahan kimia.
Variabel independen yang tidak diteliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Bahan Kimia
Bahan kimia tidak menjadi variabel penelitian karena paparan bahan
kimia disetiap bengkel motor jenisnya sama. Konsentrasi dari bahan kimia itu
sendiri sulit untuk diteliti, karena dalam satu bengkel tidak hanya menggunakan
52
satu bahan kimia. Jenis paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air
aki (asam sulfat), minyak, minyak pelumas, bensin, serta cairan pendingin.
Kemudian kejadian dermatitis kontak itu sendiri ada yang bersifat kronik,
sehingga tidak dapat dipastikan jenis dan konsentrasi paparan bahan kimia yang
menyebabkan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel. Selain itu,
pekerja bengkel motor selalu kontak dengan bahan kimia selama menangani
motor, yang mana bahan kimia tersebut dapat menyebabkan dermatitis kontak.
Maka dari itu bahan kimia tidak dijadikan variabel penelitian.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin tidak diteliti karena jenis kelamin pekerja bengkel motor adalah
seluruhnya laki-laki.
3. Ras
Ras tidak diteliti karena pekerja bengkel di Kecamatan Ciputat Timur memiliki
ras yang sama.
4. Musim
Faktor musim tidak diteliti karena homogen. Musim yang terjadi di Kecamatan
Ciputat Timur sama.
5. Tipe Kulit
Tipe kulit tidak diteliti karena penentuan tipe kulit sulit untuk dilakukan.
Penentuan tipe kulit tidak cukup hanya secara subyektif berdasarkan
pemeriksaan fisik oleh dokter, namun harus dilakukan uji laboratorium.
53
6. Pengeluaran Keringat
Pengeluaran keringat tidak diteliti karena pada pekerja bengkel dimana
tangannya selalu basah saat bekerja akibat paparan dengan minyak atau bensin
pada alat bengkel akan sulit untuk menentukan kulit yang berkeringat secara
subyektif. Hal tersebut dikhawatirkan hasilnya terdapat bias/rancu.
7. Jenis Proses Pekerjaan
Jenis proses pekerjaan tidak diteliti karena dibengkel motor tidak ada pembagian
kerja atau spesifikasi kerja, artinya satu pekerja mengerjakan semua pekerjaan.
Jadi hasilnya akan homogen.
8. Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban tidak dijadikan variabel penelitian karena suhu dan
kelembaban lingkungan di bengkel motor homogen, karena semua bengkel
motor terletak di out door.
9. Pemakaian APD
Variabel pemakaian APD tidak diteliti karena semua pekerja bengkel tidak
menggunakan APD berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaan.
54
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Dermatitis Kontak
1. Lama Kontak
2. Frekuensi Kontak
3. Masa Kerja
4. Usia
5. Riwayat Atopi
6. Riwayat Penyakit Kulit
7. Riwayat Alergi
8. Personal Hygiene
55
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Dermatitis Kontak Peradangan pada kulit akibat paparan bahan kimia selama melakukan pekerjaan, dengan gejala berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit kering, mengelupas, kulit bersisik, dan terjadi penebalan pada kulit.
Lembar pemeriksaan fisik
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
0. Dermatitis
1. Tidak Dermatitis
Ordinal
2 Lama Kontak Lama waktu responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
Jam/hari Rasio
3 Frekuensi Kontak Jumlah kontak pekerja dengan bahan kimia dalam satu hari kerja
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
x/hari Rasio
4 Masa Kerja Kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
Bulan Rasio
56
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
5 Usia Lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian berlangsung. Dibulatkan ke atas bila > 6 bulan, dan dibulatkan ke bawah bila < 6 bulan
Kuesioner dan pengecekan KTP
Pengisian Kuesioner Tahun Rasio
6 Riwayat Atopi Penyakit pada pekerja yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi.
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
0. Berisiko jika ada atopi
1. Tidak berisiko jika tidak ada atopi
Ordinal
7 Riwayat Penyakit Kulit
Peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja.
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
0. Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
1. Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
Ordinal
57
No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
8 Riwayat Alergi Reaksi tubuh pekerja yang berlebihan terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja.
Kuesioner Pengisian Kuesioner & Self Administered
0. Berisiko jika ada alergi
1. Tidak berisiko jika tidak ada tidak alergi
Ordinal
9 Personal Hygiene Kebiasaan pekerja untuk membersihkan tangan sebelum dan setelah bekerja, mencuci pakaian yang digunakan setelah bekerja, dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia di pakaian pekerja saat bekerja. Dikatakan baik apabila pekerja memenuhi semua kriteria tersebut.
Lembar observasi
Pengamatan langsung oleh peneliti
0. Tidak baik
1. Baik
Ordinal
58
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
3. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
4. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja
bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
6. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012.
7. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
59
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan disain studi
cross sectional. Penelitian cross sectional adalah suatu penelitian dimana variabel-
variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek
diobservasi atau diteliti sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005).
Pada penelitian ini pengambilan variabel dependen dan variabel independen
dilakukan dalam waktu yang bersamaan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-September 2012 pada
bengkel motor yang terdapat di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah pekerja bengkel motor yang bekerja
pada bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan yang
berjumlah 101 pekerja. Sedangkan sampel yang diambil adalah pekerja bengkel
60
motor yang dapat mewakili populasi. Pengambilan besar sampel dihitung dengan
menggunakan rumus uji beda dua proporsi seperti dibawah ini:
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P : Rata-rata proporsi pada populasi {(P1 + P2)/2}
P1 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96
Z1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 95% = 1,64
Pada penelitian ini, tingkat kepercayaan yang digunakan peneliti adalah
95% dengan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 95%. Besar sampel yang
dibutuhkan dihitung berdasarkan variabel yang akan diteliti dengan mengacu pada
variabel yang diteliti oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun penjabarannya
adalah sebagai berikut:
1. Lama kontak
Berdasarkan hasil penelitian dari Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam/hari yaitu
61
sebesar 70,37%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis
kontak dengan lama kontak < 8 jam/hari yaitu sebesar 3,70%.
2. Frekuensi kontak
Berdasarkan hasil penelitian dari Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak > 7 jam/hari yaitu
sebesar 64,81%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis
kontak dengan frekuensi kontak ≤ 7 jam/hari yaitu sebesar 9,25%.
3. Masa kerja
Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak pada masa kerja ≤ 2 tahun yaitu sebesar
66,7%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak
pada masa kerja > 2 tahun yaitu sebesar 36,2%.
4. Usia
Berdasarkan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak pada pekerja yang berusia ≤ 30 tahun
sebesar 60,5%, dan proporsi pada populasi yang mengalami dermatitis kontak
pada pekerja yang berusia > 30 tahun sebesar 35,1%.
5. Riwayat atopik
Berdasarkan hasil penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi yang
mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat
atopik yaitu sebesar 46,2%, sedangkan proporsi pada populasi yang
62
mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat atopik
yaitu sebesar 27,7%.
6. Riwayat penyakit kulit
Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat
penyakit kulit yaitu sebesar 81,8%, sedangkan proporsi pada populasi yang
mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat
penyakit kulit yaitu sebesar 43,5%.
7. Riwayat alergi
Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak dengan pekerja yang memiliki riwayat
alergi yaitu sebesar 57,7%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami
dermatitis kontak dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi yaitu
sebesar 44%.
8. Personal hygiene
Berdasarkan hasil penelitian Lestari & Utomo (2007), proporsi pada populasi
yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang kurang baik
yaitu sebesar 51,8%, sedangkan proporsi pada populasi yang mengalami
dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik yaitu sebesar 41,7%.
Berdasarkan uraian diatas, telah didapatkan besar sampel yang dibutuhkan
berdasarkan variabel melalui perhitungan software sample size dengan hasil
perhitungan seperti dalam tabel 4.1.
63
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel dengan Uji Beda Dua Proporsi
Variabel Diketahui Sampel
total Lama kontak P1 = 70,37% = 0,7037
P2 = 3,70% = 0,037 P = 0,37
11
Frekuensi kontak P1 = 64,81% = 0,6481 P2 = 9,25% = 0,0925 P = 0,37
17
Riwayat atopik P1 = 46,2% = 0,462 P2 = 27,7% = 0,277 P = 0,365
174
Riwayat penyakit kulit P1 = 81,8% = 0,818 P2 = 43,5% = 0,435 P = 0,6265
39
Riwayat alergi P1 = 57,7% = 0,577 P2 = 44,4% = 0,444 P = 0,510
365
Personal hygiene P1 = 51,8% = 0,518 P2 = 41,7% = 0,417 P = 0,4675
632
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, jumlah besar sampel yang
memungkinkan untuk diambil yaitu sebanyak 39 pekerja. Kemudian dari hasil
tersebut dihitung kembali berdasarkan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian
Lestari & Utomo (2007). Dari penelitian itu, telah didapatkan pekerja yang tidak
mengalami dermatitis kontak sebesar 51,3%. Maka perhitungan sampelnya sebagai
berikut :
39 = (51,3 / 100) x N
N = 39 x (100 / 51,3)
N = 76
64
Jadi sampel minimum yang dapat diambil untuk mewakili populasi
adalah sebesar 76 orang. Namun untuk lebih dapat mengeneralisir maka sampel
yang diambil adalah seluruh total populasi yaitu 101 orang.
4.4 Instrumen Penelitian
4.4.1 Lembar Pemeriksaan Fisik Dermatitis Kontak
Untuk mengetahui atau mendiagnosis pekerja yang
mengalami/tidak mengalami dermatitis kontak, maka harus ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesis yang dilakukan oleh dokter
disertai dengan gejala-gejala klinis yang dirasakan oleh pekerja.
4.4.2 Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik
yang digunakan sebagai alat pengumpulan data untuk memperoleh suatu
informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2005).
Kuesioner dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden mengenai lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia,
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan riwayat alergi.
4.4.3 Lembar Observasi
Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mengetahui informasi mengenai personal hygiene. Lembar observasi
65
disiapkan dengan menggunakan daftar pertanyaan agar observasi dapat
terarah dan data yang diperlukan benar-benar diperoleh.
4.5 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pekerja bengkel motor dengan
menggunakan alat ukur berupa lembar pemeriksaan fisik, kuesioner, dan lembar
observasi. Lembar pemeriksaan fisik digunakan untuk mendiagnosa kejadian
dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor. Kuesioner digunakan untuk
mengetahui lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit, dan riwayat alergi. Sedangkan untuk lembar observasi digunakan
untuk mengetahui personal hygiene.
4.6 Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul kemudian dioleh melalui tahap-tahap
sebagai berikut :
4.6.1 Coding
Proses pemebrian kode kepada setiap variabel yang dikumpulkan agar
mempermudah pengolahan data selanjutnya. Pengkodean variabel tersebut
yaitu:
a. Dermatitis kontak : 0 = Dermatitis ; 1 = Tidak dermatitis
b. Riwayat atopi : 0 = Berisiko jika ada atopi ;
1 = Tidak berisiko jika tidak ada atopi
66
c. Riwayat penyakit kulit : 0 = Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
1 = Tidak berisiko jika tidak ada riwayat
penyakit kulit
d. Riwayat alergi : 0 = Berisiko jika ada alergi ;
1 = Tidak berisiko jika tidak ada alergi
e. Personal Hygiene : 0 = Tidak baik ; 1 = Baik
4.6.2 Editing (Penyuntingan Data)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti
kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban.
Penyuntingan data ini dilakukan sebelum proses pemasukan data.
4.6.3 Entry
Proses pemasukan data kedalam program atau fasilitas analisis data
didalam komputer berdasarkan klasifikasi.
4.6.4 Cleaning
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga data siap untuk diolah dan dianalisis.
67
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel dependen dan variabel independen.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen dengan melakukan uji Chi Square
untuk variabel dengan bentuk kategorik – kategorik. Variabel yang dianalisis
dengan uji Chi Square yaitu riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan
riwayat alergi. Uji T-test digunakan untuk menganalisis variabel bentuk
numerik – kategorik dengan data yang berdistribusi normal. Variabel yang
dianalisis menggunakan uji T-test yaitu usia. Sedangkan uji Mann-Whitney
untuk menganalisis variabel bentuk numerik – kategorik dengan data yang
tidak berdistribusi normal, variabelnya yaitu lama kontak, frekuensi kontak
dan masa kerja.
68
Persamaan Chi Square:
dF = (k-1) (b-1)
Keterangan :
X2 = Chi Square
O = Nilai observasi
E = Nilai ekspektasi
k = Jumlah kolom
b = Jumlah baris
Metode analisis ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya.
Jika P value ≥ 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada
hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya jika P value < 0.05 maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua
variabel.
69
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Semua bengkel motor informal di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
terletak di area outdoor. Pekerja bengkel yang terdapat pada satu bengkel berkisar
dari 1 hingga 13 mekanik, tergantung pada besar kecilnya bengkel motor tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, semua bengkel informal tersebut terbatas pada
pelayanan servis kendaraan roda dua, mulai dari servis ringan, tune-up, spare parts,
sampai servis besar (turun mesin), juga mengerjakan beberapa pekerjaan reparasi,
serta penggantian bahan pelumas/oli. Satu pekerja bengkel biasanya mengerjakan
semua jenis pelayanan tersebut. Jenis paparan bahan kimia yang terdapat di bengkel
motor berasal dari Accu Zuur dengan bahan dasar asam sulfat (H2SO4 pekat), air
accu (ammonium, nitrat, besi, tembaga) dengan pH 6-7, serta produk-produk
minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin, serta cairan
pendingin dimana bahan-bahan tersebut mengandung petroleum (minyak bumi) dan
gasoline.
Setelah melakukan observasi awal sebelum penelitian, di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur terdapat 43 bengkel motor informal dengan jumlah
keseluruhan pekerja sebanyak 112 orang. Namun pada saat penelitian berlangsung
populasinya menjadi 101 pekerja. Dari populasi pekerja bengkel di Ciputat Timur
tersebut, semua dimasukkan kedalam sampel penelitian ini.
70
Waktu kerja bagi pekerja bengkel di Ciputat Timur dapat dikatakan tidak
tentu, tidak mengikuti aturan jam kerja seperti 8 jam/hari. Bisa diperkirakan waktu
kerja mereka dimulai dari pukul 8 atau 9 pagi hingga pukul 4 atau 5 sore. Namun
ada juga beberapa bengkel yang buka dari pukul 8 hingga pukul 10 malam, sehingga
waktu kerja bagi pekerjanya bisa mencapai 13/14 jam/hari. Akan tetapi, dikarenakan
bengkel tersebut bukan jenis bengkel resmi, maka para pekerja bisa datang dengan
semaunya terutama bagi pemilik bengkel yang juga sebagai mekanik.
Proses atau unit kerja pada pekerja bengkel motor seperti dalam
melakukan servis motor, para pekerja biasanya terpapar dengan bahan kimia seperti
minyak pelumas, bensin, oli, serta gemuk. Peralatan bengkel yang digunakan untuk
servis terletak pada suatu wadah dan direndam dengan cairan bahan kimia tersebut.
Dari peralatan dan cairan pada wadah tersebutlah bahan kimia tersebut dapat
memapar pekerja bengkel. Selain itu pada saat pengisian air accu ataupun
penggantian bahan pelumas atau oli, akibat adanya cipratan atau tetesan bahan kimia
tersebut saat mengganti dan menuangkan air accu atau oli kedalam motor dapat
memapar tangan pekerja bengkel, karena pekerja tidak memakai sarung tangan.
Semua pemilik bengkel tidak menyediakan tempat cuci tangan yang
baik, seperti terdapat keran air sehingga ada air bersih yang mengalir, sabun cuci
tangan, hingga lap khusus tangan. Jika tersedia mungkin letaknya jauh dari tempat
mereparasi. Namun yang tersedia hanya berupa wadah berisi air untuk mencuci
tangan, dan mungkin jika dilihat air tersebut telah keruh oleh bahan-bahan kimia
71
yang terdapat dibengkel setelah pekerja mencuci tangan, kemudian air dalam wadah
tersebut tidak langsung kembali diganti dengan air bersih.
Berdasarkan hasil observasi pekerja mencuci tangan hanya ketika
istirahat dan makan, setelah melakukan reparasi tidak semua pekerja langsung
mencuci tangan. Pekerja mencuci tangannya tidak menggunakan air bersih yang
mengalir dan sabun cuci tangan, namun terlebih dahulu mereka mencuci tangan
dengan bensin untuk menghilangkan noda-noda, dan terkadang menggunakan sabun
lalu dibilas dengan air. Selain itu, setelah melakukan observasi diketahui bahwa
semua pekerja bengkel motor tidak ada yang menggunakan sarung tangan selama
bekerja.
72
5.2 Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kejadian Dermatitis Kontak
Hasil penelitian yang diperoleh mengenai kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di
Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Kejadian Dermatitis Kontak Frekuensi Persentase (%)
Ya 38 37,6
Tidak 63 62,4
Jumlah 101 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 101 pekerja bengkel,
38 (37,6%) pekerja mengalami dermatitis kontak sedangkan 63 (62,4%) pekerja
tidak mengalami dermatitis kontak.
5.2.2 Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak
Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis konak
diantaranya yaitu lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja, usia, riwayat atopi,
riwayat penyakit kulit, riwayat alergi, dan personal hygiene. Gambaran untuk
73
faktor lama kontak, frekuensi kontak, usia dan masa kerja dapat dilihat pada tabel
5.2 dibawah ini:
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi (Lama Kontak, Frekuensi Kontak, Usia dan Masa Kerja) pada
Pekerja Bengkel Motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel Mean SD Min-Max
1 Lama Kontak 5,19 jam/hari 1,815 jam/hari 2 jam/hari – 10 jam/hari
2 Frekuensi Kontak 6,49 kali/hari 2,759 kali/hari 2 kali/hari – 15 kali/hari
3 Masa Kerja 72,48 bulan 65,917 bulan 1 bulan – 300 bulan
4 Usia 28,91 tahun 7,915 tahun 15 tahun – 50 tahun
5.2.2.1 Lama Kontak
Lama kontak diketahui dari lamanya waktu pekerja kontak
dengan bahan kimia di tempat kerja dalam hitungan jam selama satu hari
kerja. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa rata-rata lama pekerja
bengkel motor kontak dengan bahan kimia adalah 5,19 jam/hari dengan
standar deviasi 1,815 jam/hari. Lama kontak terendah yaitu 2 jam/hari,
sedangkan lama kontak tertinggi yaitu 10 jam/hari.
5.2.2.2 Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak diketahui dari jumlah kontak pekerja bengkel
dengan bahan kimia di tempat kerja selama satu hari kerja. Berdasarkan tabel
di atas, diketahui bahwa rata-rata frekuensi kontak pekerja bengkel motor
74
dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari dengan standar deviasi 2,759
kali/hari. Frekuensi kontak terendah yaitu 2 kali/hari, sedangkan frekuensi
tertinggi yaitu 15 kali/hari.
5.2.2.3 Masa Kerja
Lama kerja diketahui dari lamanya bekerja sebagai pekerja
bengkel motor sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung dalam
hitungan bulan. Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa rata-rata masa
kerja pekerja bengkel motor yaitu 72,48 bulan dengan standar deviasi 65,917
bulan. Masa kerja terendah yaitu 1 bulan, sedangkan masa kerja tertinggi
yaitu 300 bulan.
5.2.2.4 Usia
Usia merupakan lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai
penelitian berlangsung. Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa rata-
rata usia pekerja bengkel motor adalah 28,91 tahun dengan standar deviasi
7,915 tahun. Usia pekerja bengkel motor terendah yaitu 15 tahun, sedangkan
usia tertinggi yaitu 50 tahun.
75
Untuk gambaran dari faktor riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, riwayat
alergi, dan personal hygiene dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini :
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi (Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit Kulit, Riwayat Alergi,
dan personal hygiene) pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel Kategori Frekuensi Persentase
(%)
1 Riwayat Atopi Ada 22 21,8
Tidak Ada 79 78,2
2 Riwayat Penyakit
Kulit
Ada 64 63,4
Tidak Ada 37 36,6
3 Riwayat Alergi Ada 23 22,8
Tidak Ada 78 77,2
4 Personal Hygiene Tidak Baik 101 100
Baik 0 0
5.2.2.5 Riwayat Atopi
Riwayat atopi merupakan penyakit pada pekerja yang
mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari
keluarganya, seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis
alergi. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pekerja bengkel
motor yang memiliki riwayat atopi adalah 22 (21,8%) pekerja, sedangkan
yang tidak memiliki riwayat atopi yaitu 79 (78,2%) pekerja.
76
5.2.2.6 Riwayat Penyakit Kulit
Riwayat penyakit kulit merupakan peradangan pada kulit yang
sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Berdasarkan tabel 5.3,
dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat
penyakit kulit yaitu 64 (63,4%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki
riwayat penyakit kulit yaitu 37 (36,6%) pekerja.
5.2.2.7 Riwayat Alergi
Riwayat alergi merupakan reaksi tubuh pekerja yang berlebihan
terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat,
atau makanan yang pernah dialami oleh pekerja. Berdasarkan tabel 5.3, dapat
diketahui bahwa pekerja bengkel motor yang memiliki riwayat alergi yaitu
23 (22,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki riwayat alergi yaitu 78
(77,2%) pekerja.
5.2.2.8 Personal Hygiene
Personal hygiene merupakan kebiasaan pekerja untuk
membersihkan tangan sebelum dan setelah bekerja, pakaian yang digunakan
dicuci setelah bekerja, dan tidak adanya noda atau cipratan bahan kimia pada
pakaian pekerja. Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 101 (100%)
pekerja memiliki personal hygiene yang tidak baik, dan variabel ini tidak
dilanjutkan pada uji bivariat.
77
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen yaitu faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan variabel dependen
yaitu kejadian dermatitis kontak. Uji yang digunakan untuk menganalisis variabel
yang berdata numerik seperti lama kontak, frekuensi kontak, masa kerja dan usia
yaitu dengan menggunakan uji T-independent. Namun sebelum diuji, keempat
variabel dilakukan uji normalitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel
lama kontak, frekuensi kontak, dan masa kerja tidak berdistribusi normal, sehingga
analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Sedangkan
untuk menganalisis variabel yang berdata kategorik seperti riwayat atopi, riwayat
penyakit kulit, dan riwayat alergi dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square.
Hasil dari analisis hubungan antara lama kontak, frekuensi kontak, dan
masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan digambarkan pada tabel 5.4.
78
Tabel 5.4 Analisis Hubungan antara (lama kontak, frekuensi kontak dan masa kerja) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel
Kejadian Dermatitis Kontak
P Value Ya Tidak
Mean Rank Mean Rank
1 Lama Kontak 50,16 51,51 0,820
2 Frekuensi Kontak 51,34 50,79 0,926
3 Masa Kerja 52,97 49,81 0,598
Tabel analisis hubungan antara lama kontak, frekuensi kontak, dan masa
kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan dijelaskan pada sub bab dibawah ini.
5.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama
kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 50,16, sedangkan
yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 51,51. Hasil uji statistik lama
kontak dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value sebesar 0,820,
artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara lama
kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
79
5.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama
kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 51,34, sedangkan
yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 50,79. Hasil uji statistik
frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value
sebesar 0,926, artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa Mean Rank lama
kontak pada pekerja yang mengalami dermatitis sebesar 52,97, sedangkan
yang tidak mengalami dermatitis kontak sebesar 49,81. Hasil uji statistik masa
kerja dengan kejadian dermatitis kontak didapatkan P value sebesar 0,598,
artinya pada α 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
80
Pada sub bab dibawah ini akan memaparkan hasil analisis hubungan
antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012.
5.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Tabel 5.5 Analisis Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja
Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Kejadian Dermatitis
Kontak N Mean (tahun) SD P value
Ya 38 29.63 7.841 0.480
Tidak 63 28.48 7.990
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa rata-rata usia pekerja
yang mengalami dermatitis kontak adalah 29.63 tahun dengan standar deviasi
sebesar 7.841, sedangkan rata-rata usia pekerja yang tidak mengalami
dermatitis kontak adalah 28.48 tahun dengan standar deviasi sebesar 7.990.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P value sebesar 0.480, yang artinya
pada 5% tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
81
Untuk hasil dari analisis hubungan antara riwayat atopi, riwayat penyakit
kulit, dan riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel
motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan digambarkan pada
tabel 5.6
Tabel 5.6
Analisis Hubungan antara (riwayat atopi, riwayat penyakit kulit dan riwayat alergi) dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan
Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel Kategori Kejadian Dermatitis Kontak Total P Value
Ya Tidak
N % N % N %
1 Riwayat
Atopi
Ada 10 45,5 12 54,5 22 100 0,543
Tidak Ada 28 35,4 51 64,6 79 100
2 Riwayat Penyakit
Kulit
Ada 34 53,1 30 46,9 64 100 0,000
Tidak Ada 4 10,8 33 89,2 37 100
3 Riwayat Alergi
Ada 14 60,9 9 39,1 23 100 0,018
Tidak Ada 24 30,8 54 69,2 78 100
Tabel analisis hubungan antara riwayat atopi, riwayat penyakit kulit, dan
riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 akan dijelaskan pada sub bab
selanjutnya.
82
5.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 22
pekerja yang memiliki riwayat atopi terdapat 10 (45,5%) pekerja mengalami
dermatitis kontak dan 12 (54,5%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak.
Sedangkan dari 79 pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi terdapat 28
(35,4%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 51 (64,6%) pekerja tidak
mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P
value sebesar 0,543, yang artinya pada 5% tidak ada hubungan antara
riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 64
pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 34 (53.1%) pekerja
mengalami dermatitis kontak dan 30 (46.9%) pekerja tidak mengalami
dermatitis kontak. Sedangkan dari 37 pekerja yang tidak memiliki riwayat
penyakit kulit terdapat 4 (10.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 33
(89.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji
statistik didapatkan P value sebesar 0,000, yang artinya pada 5% ada
83
hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
5.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis menunjukkan bahwa dari 23
pekerja yang memiliki riwayat alergi terdapat 14 (60.9%) pekerja mengalami
dermatitis kontak dan 9 (39.1%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak.
Sedangkan dari 78 pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terdapat 24
(30.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 54 (69.2%) pekerja tidak
mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan P
value sebesar 0.018, yang artinya pada 5% ada hubungan antara riwayat
alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
84
BAB VI
PEMBAHASAN
6.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan
penelitiannya yaitu :
1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional, sehingga tidak dapat
menjelaskan hubungan sebab akibat. Namun desain ini efektif dari segi waktu
dan biaya, serta sesuai dengan tujuan penelitian yang dilaksanakan, maka dari itu
peneliti memilih disain ini.
2. Diagnosa kejadian dermatitis kontak dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik
oleh dokter dengan hanya melihat gejala-gejala umum yang muncul, dan tidak
dilakukan uji tempel untuk melihat penyebabnya. Hal tersebut dikarenakan
keterbatasan biaya dan waktu penelitian.
3. Peneliti tidak meneliti konsentrasi dari setiap bahan kimia, sehingga tidak
diketahui kekuatan bahan kimia tersebut dalam menyebabkan dermatitis kontak.
Hal tersebut dikarenakan dalam satu bengkel banyak paparan bahan kimia
sehingga peneliti sulit dalam mengetahui konsentrasi bahan kimia.
4. Hasil penelitian dipengaruhi oleh kejujuran, ingatan, dan kepastian responden
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti pada variabel lama kontak,
frekuensi kontak, masa kerja, riwayat atopik, riwayat penyakit kulit, dan riwayat
alergi, sehingga sulit mengatasi bias informasi.
85
6.3 Kejadian Dermatitis Kontak
Penyakit kulit akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada
waktu melakukan pekerjaan serta pengaruh-pengaruh yang terdapat di dalam
lingkungan kerja (Siregar, 1996). Dermatitis kontak merupakan salah satu jenis dari
penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis kontak akibat kerja menyumbang 90% dari
semua kasus gangguan kulit yang berhubungan dengan pekerjaan (Sasseville, 2008).
Dermatitis kontak ialah reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau
biologi. Epidermis mengalami kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang
berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-
alergik terjadi akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis
kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitive terhadap
allergen kontak (Smeltzer & Bare, 2001).
Hasil penelitian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 menunjukkan bahwa 38 (37,6%) pekerja dari
101 pekerja bengkel motor mengalami dermatitis kontak, dan 63 (62,4%) tidak
mengalami dermatitis kontak. Dari 37,6% pekerja yang mengalami dermatitis
kontak terdapat beberapa gejala-gejala awal seperti kulit terasa gatal dan kemerahan,
hingga timbulnya kelainan kulit berupa papula, vesikel, kulit pecah-pecah (fissura),
likenifikasi dan kulit mengelupas. Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan reaksi
pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera
diikuti oleh gejala edema, papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret.
Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi
86
dan berubah menjadi pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta
pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-
menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi
(perubahan warna) akan terjadi.
Proses/unit kerja pada pekerja bengkel motor seperti dalam melakukan
servis motor, para pekerja biasanya terpapar dengan bahan kimia seperti minyak
pelumas, bensin, oli, serta gemuk. Peralatan bengkel yang digunakan untuk servis
terletak pada suatu wadah dan direndam dengan cairan bahan kimia tersebut. Dari
peralatan dan cairan pada wadah tersebutlah bahan kimia dapat memapar pekerja
bengkel. Selain itu pada saat pengisian air accu ataupun penggantian bahan
pelumas/oli, akibat adanya cipratan atau tetesan bahan kimia tersebut saat
mengganti/menuangkan air accu atau oli kedalam motor dapat memapar tangan
pekerja bengkel, karena pekerja tidak memakai sarung tangan.
Kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor terdapat pada
bagian tangan yaitu di telapak tangan dan punggung tangan. Hal tersebut
dikarenakan tangan merupakan bagian tubuh yang selalu berkontak dengan bahan
kimia di bengkel motor selama pekerja melakukan reparasi atau menangani motor.
Sama halnya dengan yang dikatakan oleh Waldron & Edling (2004), bahwa sekitar
90% dari semua bentuk penyakit kulit akibat kerja terbatas pada tangan dan lengan
bawah, terkadang juga terdapat pada wajah, serta bagian tubuh lain juga kadang-
kadang dapat mengalaminya. Dermatitis kontak yang terjadi pada pekerja bengkel
motor diakibatkan karena adanya kontak langsung dengan bahan kimia. Jenis
87
paparan bahan kimia yang ada di bengkel motor yaitu air aki (asam sulfat), serta
produk-produk minyak bumi seperti minyak pelumas, pelumas, minyak/oli, bensin,
serta cairan pendingin (Frosh & John, 2011).
Hasil distribusi frekuensi menunjukkan bahwa 100% pekerja bengkel
motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012 memiliki personal hygiene
yang tidak baik. Berdasarkan hasil observasi, hampir semua pemilik bengkel tidak
menyediakan tempat cuci tangan yang baik, seperti terdapat keran air sehingga ada
air bersih yang mengalir, sabun cuci tangan, hingga lap khusus tangan. Namun yang
tersedia hanya berupa wadah berisi air untuk mencuci tangan, dan mungkin jika
dilihat air tersebut telah keruh oleh bahan-bahan kimia yang terdapat dibengkel
setelah pekerja mencuci tangan, kemudian air dalam wadah tersebut tidak langsung
kembali diganti dengan air bersih. Nuraga (2006) mengatakan bahwa kebiasaan
mencuci tangan merupakan salah satu usaha pencegahan yang bermakna, namun
perlu dilihat kualitas mencuci tangan serta fasilitas mencuci tangan yang baik seperti
mudah terjangkau dan adanya sabun, dan lain-lain.
Pekerja mencuci tangan hanya ketika istirahat dan makan, setelah
melakukan reparasi tidak semua pekerja langsung mencuci tangan. Pekerja mencuci
tangannya tidak menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun cuci tangan,
namun terlebih dahulu mereka mencuci tangan dengan bensin untuk menghilangkan
noda-noda, dan terkadang menggunakan sabun lalu dibilas dengan air. Hal-hal
tersebut dimungkinkan dapat mempermudah terjadinya dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor. Menurut Cohen (1999), kebiasaan mencuci tangan yang
88
tidak sesuai prosedur akan menyebabkan kontak bahan kimia terhadap kulit menjadi
lebih lama sehingga dapat lebih merugikan kulit.
Terdapat beberapa pekerja yang setelah mencuci tangan tidak langsung
mengeringkan tangan, atau jika mengeringkan tangan tidak menggunakan lap
khusus tangan. WHO (2005) mengatakan bahwa, kebiasaan mengeringkan tangan
setelah mencuci tangan juga dapat berperan mencegah semakin parahnya kondisi
kulit karena tangan yg lembab. Kebiasaan mencuci tangan juga seharusnya dapat
mengurangi potensi penyebab dermatitis akibat bahan kimia yang menempel setelah
bekerja, namun pada kenyataanya potensi untuk terkena dermatitis itu tetap ada.
Kesalahan dalam melakukan cuci tangan dapat menjadi salah satu penyebabnya.
Misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan, sehingga masih terdapat sisa bahan
kimia yang menempel pada permukaan kulit pekerja.
Selain itu, semua pakaian pekerja tidak ada yang bersih dari noda-noda
minyak, pelumas, air aki, dan bahan kimia lainnya. Sebagian pekerja juga
mengatakan bahwa pakaian yang mereka gunakan biasanya baru akan dicuci setelah
2 kali dipakai dalam 2 hari. Hipp dalam Utomo (2007) berpendapat bahwa mencuci
pakaian juga merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya dermatitis
kontak. Sebaiknya pakaian kerja yang telah terkontaminasi bahan kimia tidak
digunakan kembali sebelum dicuci. Akan lebih baik lagi jika pencucian baju kerja
dilakukan setiap hari setelah digunakan. Selain itu cara pencucian perlu
diperhatikan. Jangan mencampur/merendam baju kerja dengan pakaian yang
dikenakan sehari-hari. Usahakan mencuci pakaian kerja dengan menggunakan mesin
89
cuci, namun cara manual tidak menjadi masalah asalkan setelah mencuci, tangan
dibersihkan kembali dengan baik.
Pencegahan dermatitis kontak seharusnya dimulai dari diri sendiri. Baik
bagi pemilik bengkel maupun pekerjanya mungkin tidak mengetahui bagaimana
menjaga kebersihan diri dengan baik. Jika mereka tahu dan mengerti mungkin
mereka mengabaikan dan menyepelekannnya, sehingga kesadaran untuk
memperhatikan personal hygiene yang baik itu kurang. Seharusnya pekerja
memiliki kesadaran yang tinggi akan kebersihan dirinya. Kesadaran dari pekerja
untuk menjaga kebersihan dirinya sangatlah penting. Namun untuk meningkatkan
kesadaran para pekerja bengkel, dibutuhkan juga kerjasama yang baik antara
pemilik bengkel dengan para pekerjanya.
Maka dari itu, disarankan pemilik bengkel menyediakan tempat khusus
cuci tangan yang baik seperti wastafel atau keran air, kemudian sabun dan lap kusus
untuk cuci tangan. Penyediaan sarana mencuci tangan tersebut diusahakan yang
dekat dan terjangkau dari pekerja bengkel, dengan begitu mungkin pekerja bengkel
akan lebih rajin untuk mencuci tangan sebelum ataupun setelah melakukan
reparasi/menangani motor. Selain itu pemilik bengkel juga sebaiknya menyediakan
sarung tangan yang sesuai untuk digunakan para pekerja bengkelnya saat melakukan
reparasi/menangai motor agar menghindari kontak langsung dengan bahan kimia.
Namun diikarenakan dalam penelitian di bengkel motor informal ini personal
hygiene serta pemakaian APD tidak dapat diteliti hubungannya, maka disarankan
90
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian pada bengkel yang bersifat formal
atau resmi jika dimungkinkan terdapat perbedaan dengan bengkel yang tidak resmi.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak meneliti konsentrasi dari masing-
masing bahan kimia yang digunakan. Untuk itu bagi peneliti selanjutnya disarankan
agar meneliti konsentrasi dari bahan-bahan kimia yang digunakan dalam bengkel
motor. Selain itu diagnosa dermatitis kontak disarankan ditentukan secara spesifik
antara dermatitis kontak iritan atau dermatitis kontak alergi.
Dalam penelitian ini ada 7 faktor yang diteliti hubungannya dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat
Timur tahun 2012. Namun hanya ada 2 faktor yang memiliki hubungan terhadap
kejadian dermatitis kontak yaitu riwayat penyakit kulit dan riwayat alergi. Hasil
penelitian dari faktor-faktor tersebut akan dijelaskan pada sub bab pembahasan
selanjutnya.
91
Gambar 6.1 Kelainan Kulit Tangan Pekerja Bengekel Motor
92
6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Bengkel Motor di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012
6.3.1 Hubungan antara Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Dalam penelitian ini, lama kontak dinyatakan dengan lamanya waktu
responden kontak dengan bahan kimia di tempat kerja dalam satu hari kerja.
Lama kontak pada pekerja bengkel diketahui dengan menanyakan lamanya
pekerja melakukan reparasi atau menangani motor dalam satu hari kerja.
Lama kontak dengan bahan kimia dapat meningkatkan terjadinya dermatitis
kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan kimia akan semakin
memungkinkan terjadinya dermatitis kontak.
Berdasarkan hasil penelitian, pada tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata
lama kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia selama satu hari kerja
yaitu 5,19 jam/hari, dengan standar deviasi 1,815 jam/hari. Sedangkan lama
kontak terendah yaitu 2 jam/hari dan yang tertinggi yaitu 10 jam/hari. Hasil
analisis bivariat didapatkan P value sebesar 0,820, hasil tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lama kontak dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Hasil penelitian tersebut tidak sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuraga dkk (2008), yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di
Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat.
93
Menurut Cohen (1999), lama kontak mempengaruhi kejadian
dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka
akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan yang lebih dalam dan
risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Agius (2004) juga
mengatakan bahwa semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka
penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit akan semakin luas dan dalam
hingga menyebabkan reaksi peradangan/iritasi yang lebih berat. Sama halnya
dengan pendapat Nuraga dkk (2008) bahwa lama kontak dengan bahan kimia
yang terjadi akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.
Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi
kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit.
Pada penelitian ini lama kontak tidak memiliki hubungan dengan
kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena lama kontak
pekerja dengan bahan kimia di bengkel motor sulit diukur. Kesulitan dalam
mengukur lama kontak dikarenakan lama paparan bahan kimia di bengkel
motor tidak tentu sehingga dimungkinkan adanya bias informasi dalam
mengetahui lama kontak pekerja dengan bahan kimia. Lamanya kontak
pekerja bengkel dengan bahan kimia selama melakukan reparasi/menangani
motor tidak selalu sama antara satu motor dengan motor lainnya dalam satu
hari, hal itu tergantung pada proses kerja yang dilakukan. Selain itu, lama
kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia juga tergantung pada jumlah
motor yang ditangani selama satu hari. Hal itu lah yang mungkin bisa
94
mempengaruhi lama kontak menjadi tidak berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor.
Hal lain yang mungkin dapat mempengaruhi tidak adanya hubungan
antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak yaitu dari hasil rata-
rata lama kontak pekerja bengkel dengan bahan kimia yang sebesar 5,19
jam/hari. Dalam penelitian Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa pekerja
dengan lama kontak 8 jam/hari lebih banyak menderita dermatitis kontak
dibandingkan pekerja dengan lama kontak < 8 jam/hari. Ruhdiat (2006) juga
mengatakan bahwa perjalanan dermatitis kontak akut, subakut, maupun
kronis sering terjadi pada orang yang mempunyai kontak selama 8 jam, dan
lama kontak merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap
kejadian dermatitis kontak. Dengan rata-rata lama kontak tersebut
dimungkinkan belum dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak pada
pekerja bengkel.
Dapat dimungkinkan lama kontak yang tidak berhubungan dengan
kejadian dermatitis kontak ini juga dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit
kulit sebelumnya. Pada pekerja dengan lama kontak dibawah rata-rata 5,19
jam/hari dan mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 21 (84%)
dari 25 pekerja tersebut telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya.
Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja dengan lama kontak
dibawah rata-rata 5,19 jam/hari dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu
didapatkan 17 (44,7%) dari 38 pekerja telah memiliki riwayat penyakit kulit
95
sebelumnya. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada
pekerja dengan lama kontak dibawah rata-rata dipengaruhi oleh adanya
riwayat penyakit kulit sebelumnya.
Sebagai upaya pencegahan terjadinya dermatitis kontak, maka selama
melakukan reparasi/menangani motor, para pekerja bengkel disarankan
untuk menjaga kebersihan diri khususnya mencuci tangan dengan air bersih
yang mengalir setiap kali selesai melakukan reparasi/menangani sebuah
motor, agar bahan kimia yang menempel pada tangan dapat hilang dan tidak
memapar kulit dengan lama. Selain itu para pekerja juga disarankan
menggunakan sarung tangan untuk menghindari adanya kontak langsung
dengan paparan yang lama terhadap kulit.
6.3.2 Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Frekuensi kontak merupakan jumlah kontak pekerja dengan bahan
kimia dalam satu hari kerja. Frekuensi kontak pada pekerja bengkel motor
diketahui dari jumlah motor yang direparasi atau ditangani dalam satu hari.
Frekuensi kontak merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak akibat kerja. Semakin banyaknya frekuensi paparan bahan kimia
terhadap kulit akan menyebabkan terjadinya kerusakan kulit.
Hasil penelitian rata-rata frekuensi kontak pekerja bengkel motor
dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari dengan standar deviasi 2,759
kali/hari. Frekuensi kontak terendah yaitu 2 kali/hari, sedangkan frekuensi
96
tertinggi yaitu 15 kali/hari, hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, P value dari frekuensi kontak
didapatkan sebesar 0,926, hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nuraga
dkk (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara
frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang
terpajan dengan bahan kimia di perusahaan industri otomotif.
Berdasarkan hasil penelitian Ruhdiat (2006) pada pekerja
laboratorium kimia di PT Sucofindo, dermatitis kontak akut terbanyak
terjadi pada pekerja yang mempunyai frekuensi kontak dengan bahan kimia
sebanyak 5 kali/hari. Sedangkan dermatitis kontak sub akut banyak terjadi
pada pekerja sebanyak 3 dan 5 kali kontak bahan kimia/hari. Untuk
dermatitis kontak kronik terjadi pada pekerja yang mempunyai kontak
bahan kimia diatas 6 kali, yaitu 7 dan 8 kali kontak. Dari hasil tersebut
dapat disimpulkan bahwa semakin banyak frekuensi kontak pekerja dengan
bahan kimia, maka semakin berpotensi untuk terjadinya dermatitis kontak
hingga kronik. Cohen (1999) mengatakan bahwa frekuensi kontak yang
berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan
terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan
97
jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya
maupun beratnya tidak proporsional.
Namun pada penelitian ini frekuensi kontak tidak memiliki hubungan
dengan kejadian dermatitis kontak. Sama halnya dengan lama kontak,
frekuensi kontak yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor karena frekuensi kontak pekerja dengan
bahan kimia di bengkel motor sulit diukur. Hal tersebut dikarenakan
frekuensi paparan bahan kimia di bengkel motor tidak tentu sehingga
dimungkinkan adanya bias informasi dalam mengetahui frekuensi kontak
pekerja dengan bahan kimia. Frekuensi kontak pada pekerja bengkel motor
tidak selalu konstan setiap harinya. Pada satu pekerja bengkel memiliki
frekuensi kontak yang berbeda antara hari yang satu dengan hari yang lain.
Frekuensi kontak tersebut tergantung pada jumlah motor yang ditangani
para pekerja bengkel dalam satu hari, sehingga frekuensi dari masing-
masing pekerja bengkel juga tidak dapat diketahui secara pasti.
Dilihat dari rata-rata frekuensi kontak bahan kimia pada pekerja
bengkel yaitu sebesar 6,49 kali/hari. Dapat dimungkinkan dengan rata-rata
frekuensi kontak tersebut belum dapat mempengaruhi pekerja bengkel
motor mengalami dermatitis kontak. Hal itu dimungkinkan frekuensi kontak
yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak dipengaruhi
oleh adanya riwayat alergi. Pada pekerja dengan frekuensi kontak dibawah
rata-rata 6,49 kali/hari dan mengalami dermatitis kontak didapatkan
98
sebanyak 8 (38,1%) dari 21 pekerja tersebut telah memiliki riwayat alergi.
Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja dengan frekuensi
kontak dibawah rata-rata 6,49 kali/hari dan tidak mengalami dermatitis
kontak yaitu sebanyak 5 (13,5%) dari 37 pekerja telah memiliki riwayat
alergi. Hal tersebut berarti bahwa kejadian dermatitis kontak pada pekerja
dengan frekuensi kontak dibawah rata-rata dipengaruhi oleh adanya riwayat
alergi
6.3.3 Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Masa kerja dalam penelitian ini merupakan kurun waktu atau
lamanya responden bekerja sebagai pekerja bengkel motor sejak awal
bekerja sampai penelitian berlangsung dalam hitungan bulan. Masa kerja
dilihat dari pertama kali pekerja bekerja sebagai mekanik motor di bengkel
yang saat penelitian berlangsung. Namun, jika sebelumnya pekerja pernah
bekerja sebagai mekanik motor pada bengkel lain, maka masa kerja
ditambahkan dari lama bekerja pada bengkel sebelumnya.
Pada tabel 5.2 dapat diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja
bengkel motor yaitu 72,48 bulan dengan standar deviasi 65,917 bulan
dengan masa kerja tertinggi yaitu 300 bulan. Hasil uji statistik bivariat
masa kerja menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
99
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Lestari dan
Utomo (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa kerja
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja di PT Inti Pantja Press
Industri. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama
bekerja ≤2 tahun memiliki peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak
dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja selama >2 tahun.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Cahyawati dan Budiono (2011) juga
menunjukkan hasil yang sama, bahwa masa kerja ternyata menjadi faktor
yang berhubungan dengan kejadian dermatitis pada nelayan yang bekerja di
tempat pelelangan ikan.
Cohen (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤ 2
tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja
tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan
pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan kesalahan
dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi
meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama
bekerja ≤ 2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati
sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit.
Jika dilihat dari perjalanan kejadian dermatitis kontak, pekerja yang
baru dengan pengalaman yang sedikit mungkin tidak mempengaruhi
terjadinya dermatitis kontak. Hal tersebut dikarenakan seharusnya masa
kerja yang lama yang lebih memungkinkan untuk bisa mempengaruhi
100
dermatitis kontak karena telah memiliki frekuensi kontak yang sering dan
lama. Namun pada penelitian ini masa kerja menjadi tidak berhubungan
dengan kejadian dermatitis kontak meski masa kerja pekerja bengkel yang
hampir semua lebih dari 2 tahun/24 bulan. Para pekerja tersebut rata-rata
telah bekerja sebagai pekerja bengkel motor sebelumnya, sehingga memiliki
masa kerja yang lama. Telah diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja
bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur adalah 72,48 bulan atau
berkisar sekitar 6 tahun.
Berdasarkan hal itu, peneliti berasumsi bahwa mungkin pekerja
bengkel motor dengan masa kerja yang lama telah memiliki resistensi
terhadap bahan kimia yang terpapar ke kulit karena seringnya kontak
dengan bahan kimia selama melakukan pekerjaannya. Hal tersebut
menjadikan pekerja lebih tahan terhadap paparan bahan kimia dan sehingga
pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Akan tetapi tidak semua pekerja
juga bisa mengalami resistensi.
Menurut Cahyawati dan Budiono (2011) bahwa masa kerja seseorang
menentukan tingkat pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya.
Hal ini dimungkinkan bahwa para pekerja yang telah bekerja lebih dari dua
tahun telah memiliki resistensi terhadap bahan iritan maupun alergen,
sehingga penderita dermatitis kontak pada kelompok ini cenderung sedikit
ditemukan. Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja
dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat
101
kimia. pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan
telah memiliki resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi
ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi
lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terus-
menerus.
Masa kerja yang tidak berhubungan dengan kejadian dermatitis
kontak dapat dimungkinkan juga dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi.
Pada pekerja dengan masa kerja dibawah rata-rata 72,48 bulan dan
mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 9 (42,9%) dari 21
pekerja tersebut telah memiliki riwayat alergi. Jumlah tersebut lebih besar
dibandingkan pada pekerja dengan masa kerja dibawah rata-rata 72,48
bulan dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 4 (9,1%) dari
44 pekerja telah memiliki riwayat alergi. Hal tersebut berarti bahwa
kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan masa kerja dibawah rata-
rata dipengaruhi oleh adanya riwayat alergi.
Namun bagi pekerja bengkel yang memiliki masa kerja lama dan
tidak mengalami resistensi terhadap bahan kimia dapat mengalami
dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena semua pekerja
bengkel memiliki personal hygiene yang tidak baik serta tidak memakai
pelindung berupa sarung tangan selama bekerja. Salah satu dari faktor
tersebutlah yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak
pada pekerja bengkel.
102
6.3.4 Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian dermatitis kontak. Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa
rata-rata usia pekerja bengkel motor adalah 28,91 tahun dengan standar
deviasi 7,915 tahun. Usia pekerja bengkel motor terendah yaitu 15 tahun,
sedangkan usia tertinggi yaitu 50 tahun.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami
dermatitis kontak memiliki rata-rata usia yaitu 29.63 tahun, sedangkan rata-
rata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 28.48
tahun. Dari hasil tersebut juga didapatkan P value sebesar 0,480 yang
berarti bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur
tahun 2012. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nuraga dkk
(2008) yang mengatakan bahwa faktor umur tidak mempunyai pengaruh
yang bermakna terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.
Berbeda dengan hasil penelitian Lestari dan Utomo (2007) yang
menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis
kontak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dermatitis kontak lebih
banyak terjadi pada pekerja dengan usia ≤ 30 tahun yaitu sebesar 60,5%,
sedangkan pada usia > 30 tahun kejadian dermatitis kontak sebesar 35,1%.
103
Namun menurut Cohen (1999) mengatakan bahwa kulit manusia
mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit
kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan
pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga
kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Cronin dalam Lestari dan
Utomo (2007) juga berpendapat yang sama bahwa, usia pekerja yang lebih
tua menjadi lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut
terjadi kegagalan dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul
dermatitis kronik.
Berdasarkan teori diatas, maka yang lebih memungkinkan untuk
mengalami dermatitis kontak yaitu pekerja dengan usia yang lebih tua.
Namun pada penelitian ini didapatkan pekerja yang mengalami dermatitis
kontak memiliki rata-rata usia yaitu 29.63 tahun, usia tersebut dapat
dikatakan usia muda. Menurut Health & Safety Executive/HSE (2000)
kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada usia
tersebut, sel kulit lebih sulit menjaga kelembapannya karena menipisnya
lapisan basal. Selain itu produksi sebum juga menurun tajam, sehingga
banyak sel mati yang menumpuk karena pergantian sel menurun.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kejadian dermatitis kontak
pada pekerja bengkel rata-rata berada pada usia muda. Hal tersebut
dikarenakan pekerja bengkel memiliki rata-rata usia sebesar 28,91 tahun,
bisa dikataka pekerja bengkel di wilayah Kecamatan Ciputat Timur berada
104
pada usia muda. Namun meski begitu, tidak menutup kemungkinan pada
pekerja yang lebih tua untuk mengalami dermatitis kontak, karena kulit
pada orang yang tua yang telah mengalami degenerasi hingga menjadi lebih
kering dan mudah untuk mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan hasil
observasi bahwa semua pekerja bengkel memiliki personal hygiene yang
tidak baik dan kebiasaan bekerja tidak memakai sarung tangan, maka hal itu
juga yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak, baik untuk pekerja
muda ataupun pekerja yang lebih tua.
Pada penelitian ini faktor umur menjadi tidak berhubungan dengan
kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut dimungkinkan karena rata-rata
umur pada pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan rata-rata
umur pada pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak hampir sama,
rata-ratanya hanya berselisih 1 tahun. Hal lain juga dimungkinkan karena
usia dipengaruhi oleh riwayat penyakit kulit sebelumnya. Pada pekerja
dengan usia dibawah rata-rata 28,91 tahun dan mengalami dermatitis kontak
didapatkan sebanyak 17 (89,5%) dari 19 pekerja tersebut telah memiliki
riwayat penyakit kulit sebelumnya. Jumlah tersebut lebih besar
dibandingkan pada pekerja dengan usia dibawah rata-rata 28,91 tahun dan
mengalami dermatitis kontak yaitu sebanyak 14 (42,4%) dari 33 pekerja
telah mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut berarti bahwa kejadian
dermatitis kontak pada pekerja dengan usia dibawah rata-rata dipengaruhi
oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya. Untuk mencegah terjadinya
105
dermatitis kontak baik pada pekerja muda ataupun pekerja tua, maka
disarankan para pekerja memiliki kesadaran untuk melakukan proteksi
terhadap kulitnya, dengan cara menggunakan sarung tangan yang sesuai dan
nyaman, serta menjaga kebersihan diri.
6.3.5 Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Riwayat atopi adalah sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, misal dermatitis
atopi, rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2007). Dalam penelitian ini
riwayat atopi dilihat dari penyakit pada pekerja yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti
asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi.
Dari hasil distribusi riwayat atopi dapat diketahui bahwa pekerja
bengkel motor yang memiliki riwayat atopi adalah 22 (21,8%) pekerja,
sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi yaitu 79 (78,2%) pekerja.
Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa dari 22 pekerja yang
memiliki riwayat atopi terdapat 10 (45,5%) pekerja mengalami dermatitis
kontak dan 12 (54,5%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak.
Sedangkan dari 79 pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi terdapat 28
(35,4%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 51 (64,6%) pekerja tidak
mengalami dermatitis kontak. Pada penelitian ini, hasil analisis bivariat
riwayat atopi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi
106
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ruhdiat (2006) bahwa tidak ada hubungan antara riwayat atopi terhadap
terjadinya dermatitis kontak. Penelitian ini juga sejalan dengan Nuraga dkk
(2008), yang mengatakan bahwa riwayat atopi keluarga tidak mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak, baik jumlah terjadinya
dermatitis kontak akibat kerja maupun perjalanan penyakit dermatitis
kontak. Hal ini dikarenakan bahan kimia langsung menyebabkan iritasi
pada kulit tanpa respons imun.
Namun hasil penelitian Sulistyani dkk (2010) menunjukkan bahwa
ada pengaruh antara riwayat atopi dengan timbulnya dermatitis kontak iritan
di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Hasil tersebut didapatkan
bahwa orang yang memiliki riwayat atopik memiliki peluang yang lebih
besar untuk terkena dermatitis kontak yaitu sebesar 5,37 kali dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik.
Sularsito (2007) menyatakan bahwa seseorang yang telah memiliki
riwayat atopi akan lebih mudah terkena dermatitis kontak iritan
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopi. Menurut
Schnuch & Carlsen (2011), kerentanan tinggi terhadap reaksi iritasi pada
orang yang memiliki riwayat atau dermatitis atopi mungkin sebagian
107
dikarenakan oleh permeabilitas barrier kulit yang lebih tinggi dan oleh
respon inflamasi yang lebih besar.
Riwayat atopi tidak memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis
kontak di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Hal tersebut dimungkinkan
karena jumlah pekerja yang memiliki riwayat atopi lebih sedikit mengalami
dermatitis kontak dibandingkan dengan jumlah pekerja yang tidak memiliki
riwayat atopi yang juga mengalami dermatitis kontak. Peneliti berasumsi
bahwa pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi namun mengalami
dermatitis kontak mungkin telah lupa atau bahkan tidak jujur memiliki
riwayat atopi.
Hal lain yang dapat dimungkinkan riwayat atopi yang tidak
berhubungan karena dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit
sebelumnya. Pada pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dan
mengalami dermatitis kontak didapatkan sebanyak 25 (89,3%) dari 28
pekerja tersebut telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya.
Persentase tersebut lebih besar dibandingkan pada pekerja yang tidak
memiliki riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak yaitu sebesar
25 (49%) dari 51 pekerja telah memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya.
Hal tersebut berarti kejadian dermatitis kontak pada pekerja yang tidak
memiliki riwayat atopi dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit
sebelumnya.
108
6.3.6 Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Pada penelitian ini riwayat penyakit kulit didefinisikan sebagai
peradangan pada kulit dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar,
kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit
mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, dan penebalan pada kulit atau
kelainan kulit lainnya yang sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh
pekerja. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011) riwayat penyakit
digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi
akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam
proses penyembuhan seseorang.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa pekerja bengkel motor
yang memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 64 (63,4%) pekerja, sedangkan
yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit yaitu 37 (36,6%) pekerja.
Berdasarkan hasil distribusinya menunjukkan bahwa dari 64 pekerja yang
memiliki riwayat penyakit kulit terdapat 34 (53.1%) pekerja mengalami
dermatitis kontak dan 30 (46.9%) pekerja tidak mengalami dermatitis
kontak. Sedangkan dari 37 pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit
kulit terdapat 4 (10.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 33
(89.2%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik
bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat penyakit kulit
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di wilayah
Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
109
Pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit menjawab bahwa tanda
dan gejala dari penyakit kulit tersebut berupa gatal, rasa panas (terbakar),
kemerahan, hingga kulit mengelupas. Lokasi dari penyakit kulit yang
mereka rasakan semua terbatas pada telapak tangan, punggung tangan, serta
sela-sela jari tangan. Selain itu, pekerja juga mengatakan bahwa tidak
pernah melakukan pengobatan, karena mereka menganggap penyakit kulit
tersebut hal yang biasa dan bisa sembuh dengan sendirinya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyawati dan Budiono
(2011) yang menyatakan bahwa faktor riwayat penyakit kulit ternyata
menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis. Sebagian
besar responden yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya
cenderung menderita dermatitis. Selain itu pada penelitian Lestari dan
Utomo (2007) mengatakan bahwa antara pekerja yang memiliki riwayat
dermatitis kontak akibat pekerjaan sebelumnya dengan yang tidak,
menunjukan perbedaan proporsi yang bermakna.
Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis,
merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini
karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia.
Jika terjadi inflamasi maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi
kulit, sehingga kulit lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Sejalan
dengan yang dikatakan oleh Sumantri dkk (2008) bahwa beberapa faktor
mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit. Adanya penyakit kulit
110
sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat membiarkan
iritan dengan mudah memasuki dermis.
Dengan adanya riwayat penyakit kulit, maka akan memudahkan
pekerja bengkel untuk mengalami dermatitis kontak. Terjadinya dermatitis
kontak tersebut juga mungkin didukung dari faktor personal hygiene yang
tidak baik dan kebiasaan tidak menggunakan sarung tangan pada pekerja
bengkel motor. Dalam menangani hal tersebut perlu didukung dari pihak
pemilik bengkel. Oleh sebab itu disarankan pemilik bengkel untuk
menyediakan sarana mencuci tangan yang baik dan terjangkau dari pekerja.
Selain itu, pemilik bengkel harus selalu mengawasi dan mengatur
pekerjanya untuk bekerja dengan aman, serta disediakannya sarung tangan
bagi para pekerjanya. Pemilihan jenis sarung tangan yang disediakan untuk
pekerja harus dengan mempertimbangkan sensitivitas individu. Sedangkan
bagi para pekerja, untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak yaitu
dengan menerapkan personal hygiene yang baik khususnya kebiasaan
mencuci tangan setelah bekerja bagi para pekerja bengkel dan
mengharuskan pekerja bengkel untuk menggunakan sarung tangan selama
melakukan reparasi/menangani motor.
6.3.7 Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Riwayat alergi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai reaksi tubuh
pekerja yang berlebihan terhadap benda asing/zat tertentu dari luar tubuh
111
misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh
pekerja. Lestari dan Utomo (2007) mengatakan bahwa riwayat alergi
merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan kulit lebih rentan
terhadap penyakit dermatitis kontak.
Pada penelitian ini didapatkan pekerja bengkel motor yang memiliki
riwayat alergi yaitu 23 (22,8%) pekerja, sedangkan yang tidak memiliki
riwayat alergi yaitu 78 (77,2%) pekerja. Selanjutnya dari 23 pekerja yang
memiliki riwayat alergi terdapat 14 (60.9%) pekerja mengalami dermatitis
kontak dan 9 (39.1%) pekerja tidak mengalami dermatitis kontak.
Sedangkan dari 78 pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi terdapat 24
(30.8%) pekerja mengalami dermatitis kontak dan 54 (69.2%) pekerja tidak
mengalami dermatitis kontak. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa
ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja bengkel motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012.
Sejalan dengan penelitian Cahyawati dan Budiono (2011) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian
dermatitis kontak. Namun, dalam penelitian Lestari dan Utomo (2007)
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian dermatitis
kontak yang bermakna antara pekerja dengan riwayat alergi dibandingkan
dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi.
Menurut Putro dalam Lestari dan Utomo (2007) beberapa pendapat
menyatakan bahwa dermatitis kontak (terutama dermatitis kontak alergi)
112
akan lebih mudah timbul jika terdapat riwayat alergi sebelumnya. Dalam
melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk
riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah
alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang
berhubungan dengan dermatitis.
Dari semua pekerja yang memiliki riwayat alergi menjawab bahwa
penyebab dari alergi tersebut berasal dari bahan kimia, makanan, serta obat-
obatan. Lokasi dari alergi yang mereka rasakan semua terbatas pada telapak
tangan, punggung tangan, lengan tangan, sela-sela jari tangan, leher, hingga
kaki. Selain itu, kebanyakan dari pekerja yang alergi mengatakan tidak
pernah melakukan pengobatan. Namun ada juga pekerja yang melakukan
pengobatan dengan memberikan salep hingga datang ke klinik untuk
melakukan pemeriksaan agar dapat sembuh serta gejala dapat berkurang
dan hilang.
Dalam penelitian ini riwayat alergi berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak. Walaupun jika dilihat dari distribusinya bahwa pekerja
yang memiliki riwayat alergi dan mengalami dermatitis kontak proporsinya
lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat
namun mengalami dermatitis kontak. Hal tersebut berarti menandakan
bahwa orang yang tidak memiliki riwayat alergi juga dapat mengalami
dermatitis kontak, mungkin disebabkan karena faktor lain seperti personal
113
hygiene yang buruk. Hal lain yang dapat mempengaruhi yaitu karena pada
pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi juga dapat mengalami dermatitis
kontak dikarenakan sebanyak 20 (83,3%) dari 24 pekerja tersebut telah
memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Hal tersebut berarti kejadian
dermatitis kontak pada pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi
dipengaruhi oleh adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya.
Untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak, disarankan pemilik
bengkel menyediakan sarung tangan kepada para pekerjanya untuk
menghindari terjadinya dermatitis kontak. Pemilihan jenis sarung tangan
yang disediakan tersebut harus dengan mempertimbangkan sensitivitas
individu. Penyediaan sarung tangan tersebut juga dapat ditujukan untuk
menghindari luka-luka lain pada tangan pekerja akibat tergores benda-
benda yang tajam selama melakukan reparasi. Selain itu disarankan bagi
pekerja untuk memakai sarung tangan agar bahan kimia tidak memapar
langsung ke kulit, khususnya bagi pekerja yang alergi terhadap bahan
kimia.
114
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja bengkel
motor di wilayah Kecamatan Ciputat Timur, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran pekerja yang mengalami dermatitis kontak dari 101 pekerja bengkel
yaitu 37,6% pekerja mengalami dermatitis kontak sedangkan 62,4% pekerja
tidak mengalami dermatitis kontak.
2. Gambaran dari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak
yaitu, rata-rata lama kontak dengan bahan kimia yaitu 5,19 jam/hari. Rata-rata
frekuensi kontak dengan bahan kimia yaitu 6,49 kali/hari. Rata-rata masa kerja
yaitu 72,48 bulan. Rata-rata usia pekerja yaitu 28,91 tahun. Pekerja yang
memiliki riwayat atopi yaitu sebesar 21,8%. Pekerja yang memiliki riwayat
penyakit kulit yaitu sebesar 63,4%. Pekerja yang memiliki riwayat alergi yaitu
sebesar 22,8%. Seluruh pekerja tidak memiliki personal hygiene yang baik.
3. Hasil uji statistik menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak adalah riwayat penyakit kulit (P value 0,000) dan riwayat
alergi (P value 0,018).
115
7.2 Saran
1. Bagi Pekerja
a) Para pekerja memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan dirinya selama
bekerja dan menerapkan personal hygiene yang baik yaitu seperti mencuci
tangan dengan benar, pakaian terhindar dari noda-noda dan pakaian selalu
dicuci setiap kali selesai bekerja.
b) Selama melakukan reparasi atau menangani motor, sebaiknya pekerja
menggunakan sarung tangan yang sesuai agar dapat menghindari paparan
langsung dari bahan kimia.
2. Bagi Pemilik Bengkel
a) Pemilik bengkel sebaiknya menyediakan tempat mencuci tangan yang
memadai seperti wastafel atau keran air serta sabun dan lap khusus tangan,
agar pekerja bengkel dapat mencuci tangan dengan benar setelah melakukan
reparasi motor. Sarana mencuci tangan tersebut juga disediakan dengan jarak
yang terjangkau.
b) Pemilik bengkel sebaiknya mengawasi dan mengatur para pekerjanya untuk
bekerja dengan aman serta memperhatikan pekerjanya untuk menjaga
kebersihan diri masing-masing.
c) Tersedianya alat pelindung diri berupa sarung tangan yang sesuai dan
nyaman, serta baju kerja untuk digunakan para pekerja bengkelnya selama
melakukan reparasi atau menangani motor.
116
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a) Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti konsentrasi bahan
kimia di bengkel motor.
b) Peneliti selanjutnya dapat mengelompokkan kejadian dermatitis kontak
secara spesifik, yaitu dermatitis kontak iritan atau dermatitis kontak alergi.
c) Penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada bengkel yang formal atau resmi
untuk mengetahui lebih jelas mengenai faktor personal hygiene dan
pemakaian APD jika dimungkinkan terdapat perbedaan dengan bengkel yang
bersifat tidak resmi.
DAFTAR PUSTAKA
Agius R. 2004. Practical Occupational Medicine. (online). http:// www.agius.com.
Anies. 2005. Penyakit Kulit Akibat Kerja. Suara Merdeka. http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/21/ragam01.htm diakses pada tanggal 19 Juni 2012
Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI). 2012. Statistic: Motorcycle Production Wholesales Domestic and Exports. http://www.aisi.or.id/statistic/ Diakses pada tanggal 25 November 2012.
Avivah. 2005. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Pada Petani Padi di Kecamatan Cilamaya Kulon Kabupaten Karawang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan. 2011. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka. Katalog BPS : 1102001.3674
Budiyanto, Cakro. 2010. Penyakit Kulit di Industri Percetakan. http://ackogtg.wordpress.com/2010/12/10/penyakit-kulit-di-industri-percetakan/#more-475 Diakses pada tanggal 19 Juni 2012.
Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Kesmas 6 (2) : 134-141.
Cohen DE. 1999. Occupational Dermatoses In: DiBerardinis LJ, editors. Handbook of Occupational Safety and Health, 2nd edition. Canada: John Wiley & Sons Inc: 697-737
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Alih Bahasa: Nike Budhi Subekti. Jakarta : EGC.
Craecker, Nele Roskams & Rik Op de Beeck. 2008. Occupational skin diseases and dermal exposure in the European Union (EU-25): policy and practice overview. Belgium : European Agency for Safety and Health at Work.
Djuanda, Suria & Sri Adi Sularsito. 2002. Dermatitis, dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketiga, editor: Adhi Djuanda. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Fathiya, Inda. 2011. Dermatitis Kontak Iritan dengan Sekunder Infeksi Ec Sabun. http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=DERMATITIS+KONTAK+IRITAN+DENGAN+SEKUNDER+INFEKSI+EC+SABUN Diakses pada tanggal 19 Juni 2012.
Frosh, P.J & S.M. John. 2011. Clinical Aspects of Irritans Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Gardiner Aw, T.C, K & J.M. Harrington. 2007. Pocket Consultant Occupational Health 5th edition. UK: Blackwell Publishing.
Ghebreyohannes, T. 2005. Occupational Health and Safety in Garages. Afr Newslett on Occup Health and Safety, 15: 43-45.
Hakim, Zainal. 2004. Penanganan Dermatitis Kontak Alergika. Majalah Kedokteran Andalas, Volume 28 No.1: 1-7.
Health & Safety Executive (HSE). 2000. The Prevalence of Occupational Dermatitis Among Work in The Printing Industry and Your Skin. Hsebooks.co.uk.
Isselbacher, Kurt J. et al. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13 Volume 1. Alih Bahasa : Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC
Ket, Ng See & Goh Chee Leok. 2001. The Principles and Practice of Contact and Occupational Dermatology in Asia Pacific Region. Singapore : Mainland Press.
Lestari, Fatma & Hari Suryo Utomo. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Makara Kesehatan, volume 11 No. 2 : 61-68.
Lestari, Ira Cinta. 2008. Penyakit Kulit Akibat Kerja. https://somelus.wordpress.com/2008/11/26/penyakit-kulit-akibat-kerja/ Diakses pada tanggal 26 Juni 2012.
Lestari, Tara. 2009. Hubungan Accu Zuur dan Berbagai Faktor Resiko dengan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Bengkel Mobil. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Meyer, J.D, et al. 2000. Occupational contact dermatitis in the UK: a surveillance report from EPIDERM and OPRA. Occupational Medicine Volume 50 No.4:265-273.
Notoatmodjo, soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nuraga, Fatma Lestari dan L. Meily Kurniawidjaja. 2008. Dermatitis Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan, volume 12 No. 2 : 63-69.
Nuraga, Wisnu. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di PT Moric Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Nurzakky, Muhammad. 2011. Pengaruh Kebiasaan Mencuci Tangan Terhadap Kejadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Tangan Pekerja Bengkel di Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=23621 Diakses pada tanggal 19 Juni 2012.
Partogi, Donna. 2008. Dermatitis Kontak Iritan. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU. Medan.
Prambudi, Shoim. 2010. Geliat Usaha Bengkel Motor. http://shoimprambudi.wordpress.com/2010/12/27/geliat-usaha-bengkel-motor/ Diakses pada tanggal 22 November 2012.
Ruhdiat, Rudi. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pekerja Laboratorium Kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Sasseville, Denis. 2008. Occuational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology, Vol 4, No 2: 59–65
Schnuch, Axel & B.C. Carlsen. 2011. Genetics and Individual Predispositions in Contact Dermatitis in: Johansen, J.D, Peter J Frosch, dan Jeane Pierre L, editors. Contact Dermatitis 5th Edition. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Siregar, RS. 1996. Dermatosis Akibat Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 107. Jakarta. Hal: 44-47.
Situmeang, Suryani M Florence. 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di PT X Medan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan
Smeltzer, Suzzane C & Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Alih Bahasa: Agung Waluyo. Jakarta : EGC.
Sularsito, SA. 2007. Dermatitis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Sulistyani, Fitria Indriani, dan Harijono Kariosentono. 2010. Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Biomedika, Volume 2 No.2: 42-47.
Sumantri, Hertanti Trias Febriani, dan Sriwahyuni T Musa. 2008. Dermatitis Kontak. Yogyakarta. Fakultas Farmasi UGM.
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Utomo, Hari Suryo. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak Pada Pekerja di Bagian Produksi dan Quality Control PT. Inti Pantja Press Industri. Skripsi. Universitas Indonesia Depok.
Waldron, H.A & C. Edling. 2004. Occupational Health Practice 4th Edition. New York: Oxford Univercity Press.
World Health Organization (WHO). 2005. WHO Guidelines on Hand Hygiene in Health Care (Advance Draft): A Summary. Switzerland: WHO Press.
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BENGKEL MOTOR
DI WILAYAH KECAMATAN CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012
Assalamualaikum Wr. Wb
Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian. Hasil penelitian ini merupakan
tugas akhir dari peneliti untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Untuk itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini
secara jujur dan lengkap.
Pengisian kuesioner ini tidak akan berpengaruh terhadap pekerjaan
Bapak/Saudara/i. Jawaban Bapak/Saudara/i dalam kuesioner ini akan dijaga
kerahasiaannya. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Saudara/i saya ucapkan terima
kasih.
Saya menyatakan bahwa saya telah membaca pernyataan diatas, dan saya setuju
untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ciputat Timur, Agustus 2012
Peneliti Responden
(Astrianda) ( )
No Responden
Tanggal
Identitas Responden Nama : Alamat : No. Telp./Hp : No Pertanyaan Kode A Lama Kontak A1 Pernahkah anda kontak/bersentuhan dengan bahan kimia
(minyak pelumas, air aki) selama proses pekerjaan anda? 1. Ya 2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan A2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan C1
[ ]
A2 Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia tersebut dalam satu hari? …………….jam/hari
[ ]
B Frekuensi Kontak B1 Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut dalam
1 hari? ………………x/hari
[ ]
C Usia C1 Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir?
Tanggal…….., bulan…………………., tahun………… [ ]
D Riwayat Atopi D1 Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat
keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi?
1. Ya 2. Tidak
Jika “ya” langsung ke pertanyaan E1, jika “tidak” lanjut ke pertanyaan D2.
[ ]
D2 Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
E Riwayat Penyakit Kulit E1 Apakah sebelumnya anda pernah mengalami
penyakit/peradangan pada kulit? 1. Ya 2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan E2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan F1
[ ]
E2 Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang pernah anda alami? (jawaban boleh lebih dari satu)
a. Gatal ( ) b. Rasa terbakar ( ) c. Kemerahan ( ) d. Bengkak ( ) e. Lepuh kecil pada kulit ( ) f. Kulit mengelupas ( ) g. Kulit kering ( ) h. Kulit bersisik ( ) i. Penebalan pada kulit ( )
[ ]
E3 Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ……………………….
[ ]
E4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
[ ]
F Riwayat Alergi F1 Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit?
1. Ya 2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan F2, jika “tidak” langsung ke pertanyaan G1.
[ ]
F2 Apakah penyebab alergi tersebut? a. Bahan kimia b. Debu c. Logam d. Tanaman e. Obat f. Lainnya ………………………………….
[ ]
F3 Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut? a. Telapak tangan ( ) b. Punggung tangan ( ) c. Lengan tangan ( ) d. Sela jari tangan ( ) e. Wajah ( ) f. Leher ( ) g. Punggung ( ) h. Kaki ( ) i. Lainnya ……………………….
[ ]
F4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut? a. Tidak melakukan pengobatan b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
[ ]
G Masa Kerja G1 Kapan anda mulai bekerja di bengkel motor ini?
Bulan……………………, tahun………………….
G2 Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain? 1. Ya 2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan H3.
[ ]
G3 Dimana anda bekerja sebelumnya? a. Bengkel motor ( ) b. Lainnya, sebutkan…………..
[ ]
G4 Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut? ………………
[ ]
G5 Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan anda kontak dengan bahan kimia?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
Lembar Observasi (dilakukan oleh peneliti) H Personal Hygiene Kode 1 Pekerja mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setelah
melakukan pekerjaan? 1. Ya 2. Tidak
[ ]
2 Pekerja mencuci tangan dengan benar? 1. Ya 2. Tidak
[ ]
3 Pekerja mengeringkan tangan setelah mencuci tangan? 1. Ya 2. Tidak
[ ]
4 Pekerja mengeringkan tangan menggunakan pengering/lap khusus tangan?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
5 Pakaian pekerja dicuci setelah melakukan pekerjaan? 1. Ya 2. Tidak
[ ]
6 Pakaian pekerja bersih dari noda-noda minyak, pelumas, air aki, dan bahan kimia lainnya?
1. Ya 2. Tidak
[ ]
Lembar Pemeriksaan Fisik No : Nama :
Tanggal Anamnesis/Pemeriksaan Lokasi
Dermatitis Diagnosis
Paraf & Nama Dokter
1. Keluhan utama (gejala klinis) :
Gatal Kemerahan Pembengkakan Vesikel/bullae Kulit kering bersisik Fissura (kulit pecah-pecah) Exudat (cairan bening / darah) Krusta/pengeringan dari krusta Lichenifikasi (kulit mengkilap) Sidik jari tidak tampak Hiperkeratosis (kapalen) Kerusakan kuku-kuku jari Infeksi
2. Riwayat keluhan :
Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan : ya/tidak Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat :
ya/tidak
Diisi oleh peneliti Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter Kode
0. Dermatitis 1. Tidak dermatitis
[ ]
1. Distribusi Frekuensi Kejadian Dermatitis Kontak dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Frequencies
Frequency Table
a. Dermatitis Kontak
Dermatitis Kontak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Dermatitis 38 37.6 37.6 37.6
Tidak Dermatitis 63 62.4 62.4 100.0
Total 101 100.0 100.0
b. Lama Kontak
Lama Kontak dengan Bahan Kimia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 2 4 4.0 4.0 4.0
3 16 15.8 15.8 19.8
4 17 16.8 16.8 36.6
5 26 25.7 25.7 62.4
6 14 13.9 13.9 76.2
7 12 11.9 11.9 88.1
8 8 7.9 7.9 96.0
9 2 2.0 2.0 98.0
10 2 2.0 2.0 100.0
Total 101 100.0 100.0
c. Frekuensi Kontak Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 2 1 1.0 1.0 1.0
3 13 12.9 12.9 13.9
4 8 7.9 7.9 21.8
5 25 24.8 24.8 46.5
6 11 10.9 10.9 57.4
7 12 11.9 11.9 69.3
8 9 8.9 8.9 78.2
10 19 18.8 18.8 97.0
15 3 3.0 3.0 100.0
Total 101 100.0 100.0
d. Usia
Usia Responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 15 1 1.0 1.0 1.0
17 6 5.9 5.9 6.9
19 1 1.0 1.0 7.9
20 4 4.0 4.0 11.9
21 4 4.0 4.0 15.8
22 7 6.9 6.9 22.8
23 3 3.0 3.0 25.7
24 6 5.9 5.9 31.7
25 9 8.9 8.9 40.6
26 2 2.0 2.0 42.6
27 6 5.9 5.9 48.5
28 3 3.0 3.0 51.5
29 5 5.0 5.0 56.4
30 10 9.9 9.9 66.3
31 5 5.0 5.0 71.3
32 4 4.0 4.0 75.2
33 2 2.0 2.0 77.2
34 2 2.0 2.0 79.2
36 2 2.0 2.0 81.2
37 2 2.0 2.0 83.2
38 4 4.0 4.0 87.1
40 3 3.0 3.0 90.1
42 4 4.0 4.0 94.1
44 3 3.0 3.0 97.0
50 3 3.0 3.0 100.0
Total 101 100.0 100.0
e. Riwayat Atopi
Riwayat Atopi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada atopi 22 21.8 21.8 21.8
Tidak berisiko jika tidak ada atopi
79 78.2 78.2 100.0
Total 101 100.0 100.0
f. Riwayat Penyakit Kulit
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
64 63.4 63.4 63.4
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
37 36.6 36.6 100.0
Total 101 100.0 100.0
g. Riwayat Alergi
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 23 22.8 22.8 22.8
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
78 77.2 77.2 100.0
Total 101 100.0 100.0
h. Masa Kerja
Masa Kerja Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 1 1 1.0 1.0 1.0
2 2 2.0 2.0 3.0
3 1 1.0 1.0 4.0
6 2 2.0 2.0 5.9
7 1 1.0 1.0 6.9
9 3 3.0 3.0 9.9
12 6 5.9 5.9 15.8
13 1 1.0 1.0 16.8
15 1 1.0 1.0 17.8
18 2 2.0 2.0 19.8
24 13 12.9 12.9 32.7
25 1 1.0 1.0 33.7
31 1 1.0 1.0 34.7
36 4 4.0 4.0 38.6
41 1 1.0 1.0 39.6
43 1 1.0 1.0 40.6
48 7 6.9 6.9 47.5
51 1 1.0 1.0 48.5
60 9 8.9 8.9 57.4
61 1 1.0 1.0 58.4
66 1 1.0 1.0 59.4
72 5 5.0 5.0 64.4
78 1 1.0 1.0 65.3
84 6 5.9 5.9 71.3
96 6 5.9 5.9 77.2
98 1 1.0 1.0 78.2
108 2 2.0 2.0 80.2
120 4 4.0 4.0 84.2
132 2 2.0 2.0 86.1
144 2 2.0 2.0 88.1
156 1 1.0 1.0 89.1
168 1 1.0 1.0 90.1
180 2 2.0 2.0 92.1
204 1 1.0 1.0 93.1
228 2 2.0 2.0 95.0
240 3 3.0 3.0 98.0
252 1 1.0 1.0 99.0
300 1 1.0 1.0 100.0
Total 101 100.0 100.0
2. Uji Normalitas Variabel Numerik
NPar Tests Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Lama Kontak dengan Bahan Kimia
101 5.19 1.815 2 10
Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
101 6.49 2.759 2 15
Usia Responden 101 28.91 7.915 15 50
Masa Kerja Responden 101 72.48 65.917 1 300
3. Analisis Hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Lama Kontak dengan Bahan Kimia
101 5.19 1.815 2 10
Dermatitis Kontak 101 .62 .487 0 1
Mann-Whitney Test
Ranks
Dermatitis Kontak N Mean Rank Sum of Ranks
Lama Kontak dengan Bahan Kimia
Dermatitis 38 50.16 1906.00
Tidak Dermatitis 63 51.51 3245.00
Total 101
Test Statisticsa
Lama Kontak dengan Bahan
Kimia
Mann-Whitney U 1165.000
Wilcoxon W 1906.000
Z -.228
Asymp. Sig. (2-tailed) .820
Test Statisticsa
Lama Kontak dengan Bahan
Kimia
Mann-Whitney U 1165.000
Wilcoxon W 1906.000
Z -.228
Asymp. Sig. (2-tailed) .820
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
4. Analisis Hubungan antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
101 6.49 2.759 2 15
Dermatitis Kontak 101 .62 .487 0 1
Mann-Whitney Test
Ranks
Dermatitis Kontak N Mean Rank Sum of Ranks
Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
Dermatitis 38 51.34 1951.00
Tidak Dermatitis 63 50.79 3200.00
Total 101
Test Statisticsa
Frekuensi Kontak dengan Bahan Kimia
Mann-Whitney U 1184.000
Wilcoxon W 3200.000
Z -.092
Asymp. Sig. (2-tailed) .926
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
5. Analisis Hubungan antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak
NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Masa Kerja Responden 101 72.48 65.917 1 300
Dermatitis Kontak 101 .62 .487 0 1
Mann-Whitney Test
Ranks
Dermatitis Kontak N Mean Rank Sum of Ranks
Masa Kerja Responden Dermatitis 38 52.97 2013.00
Tidak Dermatitis 63 49.81 3138.00
Total 101
Test Statisticsa
Masa Kerja Responden
Mann-Whitney U 1122.000
Wilcoxon W 3138.000
Z -.527
Asymp. Sig. (2-tailed) .598
a. Grouping Variable: Dermatitis Kontak
6. Analisis Hubungan antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak
T-Test
Group Statistics
Dermatitis Kontak N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Usia Responden Dermatitis 38 29.63 7.841 1.272
Tidak Dermatitis 63 28.48 7.990 1.007
7. Analisis Hubungan antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat Atopi * Dermatitis Kontak
101 100.0% 0 .0% 101 100.0%
Riwayat Atopi * Dermatitis Kontak Crosstabulation
Dermatitis Kontak
Total
Dermatitis Tidak
Dermatitis
Riwayat Atopi Berisiko jika ada atopi Count 10 12 22
% within Riwayat Atopi 45.5% 54.5% 100.0%
Tidak berisiko jika tidak ada atopi
Count 28 51 79
% within Riwayat Atopi 35.4% 64.6% 100.0%
Total Count 38 63 101
% within Riwayat Atopi 37.6% 62.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .735a 1 .391 Continuity Correctionb .370 1 .543 Likelihood Ratio .723 1 .395 Fisher's Exact Test .458 .269
Linear-by-Linear Association .728 1 .394 N of Valid Casesb 101 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.28.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Atopi (Berisiko jika ada atopi / Tidak berisiko jika tidak ada atopi)
1.518 .583 3.954
For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis
1.282 .743 2.214
For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis
.845 .558 1.279
N of Valid Cases 101
8. Analisis Hubungan antara Riwayat Penyakit Kulit dengan Kejadian Dermatitis Kontak Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat penyakit kulit * Dermatitis Kontak
101 100.0% 0 .0% 101 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 17.888a 1 .000 Continuity Correctionb 16.130 1 .000 Likelihood Ratio 19.942 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 17.710 1 .000 N of Valid Casesb 101 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.92.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat penyakit kulit (Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit / Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit)
9.350 2.967 29.469
For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis
4.914 1.893 12.753
For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis
.526 .396 .698
N of Valid Cases 101
9. Analisis Hubungan antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Crosstabs Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Riwayat Alergi * Dermatitis Kontak
101 100.0% 0 .0% 101 100.0%
Riwayat Alergi * Dermatitis Kontak Crosstabulation
Dermatitis Kontak
Total Dermatitis Tidak Dermatitis
Riwayat Alergi Berisiko jika ada alergi Count 14 9 23
% within Riwayat Alergi 60.9% 39.1% 100.0%
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
Count 24 54 78
% within Riwayat Alergi 30.8% 69.2% 100.0%
Total Count 38 63 101
% within Riwayat Alergi 37.6% 62.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.857a 1 .009 Continuity Correctionb 5.635 1 .018 Likelihood Ratio 6.684 1 .010 Fisher's Exact Test .014 .009
Linear-by-Linear Association 6.790 1 .009 N of Valid Casesb 101 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.65.
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.857a 1 .009 Continuity Correctionb 5.635 1 .018 Likelihood Ratio 6.684 1 .010 Fisher's Exact Test .014 .009
Linear-by-Linear Association 6.790 1 .009 N of Valid Casesb 101 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.65.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Alergi (Berisiko jika ada alergi / Tidak berisiko jika tidak ada alergi)
3.500 1.333 9.192
For cohort Dermatitis Kontak = Dermatitis
1.978 1.240 3.156
For cohort Dermatitis Kontak = Tidak Dermatitis
.565 .332 .961
N of Valid Cases 101
Select Cases Lama Kontak 1. Lama kontak < 5,19 & DK = 0
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 25 25
Missing 0 0
Mean .16 .64
Median .00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
21 84.0 84.0 84.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
4 16.0 16.0 100.0
Total 25 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 9 36.0 36.0 36.0
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
16 64.0 64.0 100.0
Total 25 100.0 100.0
2. Lama kontak < 5,19 & DK = 1 Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 38 38
Missing 0 0
Mean .55 .82
Median 1.00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17 44.7 44.7 44.7
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
21 55.3 55.3 100.0
Total 38 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 7 18.4 18.4 18.4
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
31 81.6 81.6 100.0
Total 38 100.0 100.0
Select Cases Frekuensi Kontak
1. Frekuensi Kontak < 6,49 & DK = 0 Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 21 21
Missing 0 0
Mean .19 .62
Median .00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17 81.0 81.0 81.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
4 19.0 19.0 100.0
Total 21 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 8 38.1 38.1 38.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
13 61.9 61.9 100.0
Total 21 100.0 100.0
2. Frekuensi Kontak < 6,49 & DK = 1
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 37 37
Missing 0 0
Mean .54 .86
Median 1.00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17 45.9 45.9 45.9
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
20 54.1 54.1 100.0
Total 37 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 5 13.5 13.5 13.5
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
32 86.5 86.5 100.0
Total 37 100.0 100.0
Select Cases Masa Kerja 1. Masa Kerja < 72,48 & DK = 0
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 21 21
Missing 0 0
Mean .10 .57
Median .00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
19 90.5 90.5 90.5
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
2 9.5 9.5 100.0
Total 21 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 9 42.9 42.9 42.9
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
12 57.1 57.1 100.0
Total 21 100.0 100.0
2. Masa Kerja < 72,48 & DK = 1
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 44 44
Missing 0 0
Mean .59 .91
Median 1.00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
18 40.9 40.9 40.9
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
26 59.1 59.1 100.0
Total 44 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 4 9.1 9.1 9.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
40 90.9 90.9 100.0
Total 44 100.0 100.0
Select Cases Usia 1. Usia < 28,91 & DK = 0
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 19 19
Missing 0 0
Mean .11 .74
Median .00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
17 89.5 89.5 89.5
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
2 10.5 10.5 100.0
Total 19 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 5 26.3 26.3 26.3
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
14 73.7 73.7 100.0
Total 19 100.0 100.0
2. Usia < 28,91 & DK = 1 Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 33 33
Missing 0 0
Mean .58 .88
Median 1.00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
14 42.4 42.4 42.4
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
19 57.6 57.6 100.0
Total 33 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 4 12.1 12.1 12.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
29 87.9 87.9 100.0
Total 33 100.0 100.0
Select Cases Riwayat Atopi 1. Atopi = 1 & DK = 0
Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 28 28
Missing 0 0
Mean .11 .68
Median .00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 9 32.1 32.1 32.1
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
19 67.9 67.9 100.0
Total 28 100.0 100.0
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
25 89.3 89.3 89.3
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
3 10.7 10.7 100.0
Total 28 100.0 100.0
2. Atopi = 1 & DK = 1 Statistics
Riwayat penyakit kulit Riwayat Alergi
N Valid 51 51
Missing 0 0
Mean .51 .82
Median 1.00 1.00
Minimum 0 0
Maximum 1 1
Riwayat penyakit kulit
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada riwayat penyakit kulit
25 49.0 49.0 49.0
Tidak berisiko jika tidak ada riwayat penyakit kulit
26 51.0 51.0 100.0
Total 51 100.0 100.0
Riwayat Alergi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko jika ada alergi 9 17.6 17.6 17.6
Tidak berisiko jika tidak ada alergi
42 82.4 82.4 100.0
Total 51 100.0 100.0
FOTO-FOTO TANGAN PEKERJA BENGKEL