faktor faktor yang berhubungan dengan...
TRANSCRIPT
Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stunting Anak Usia Sekolah Dasar Pada Siswa/Siswi
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Haurgeulis
Indramayu Tahun 2015
SKRIPSI
Oleh
Latanza Shima Dayyana
1111101000089
PEMINATAN GIZI KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1436H / 2015M
UNIVERSTAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SKRIPSI, OKTOBER 2015
Latanza Shima Dayyana, NIM : 1111101000089
Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Anak Sekolah
Pada Siswa / Siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Haurgeulis
Indramayu Tahun 2015
(xvi +132, 36 tabel, 4 bagan, 7 lampiran)
ABSTRAK
Latar belakang : Undernutrition atau gizi kurang merupakan satu dari tiga alasan
kematian anak. Data di dunia menunjukkan 90% anak mengalami stunting. Jika
stunting dibiarkan akan mempengaruhi perkembangan kognitif dan rendahnnya
prestasi akademik.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan desain studi case control dengan
jumlah sampel 70. Variabel eksogen terdiri dari jumlah anak, pengetahuan gizi
ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan pola asuh. Variabel intervenning
penyakit infeksi dan asupan energi, protein, lemak. Variabel endogen stunting.
Analisis data dengan univariat dan uji mann whitney, partial least square (PLS)
serta uji Arorian. Analisis PLS dan uji arorian hanya dilakukan pada variabel
eksogen pola asuh ibu, variabel intervenning dan variabel endogen.
Hasil :Univariat menggambarkan rata rata setiap variabel eksogen. Uji mann
whitney menunjukan tidak ada perbedaan rata rata antara kelompok case dan
control (sig > 0,05), energi (sig : 0,9) protein (sig : 0,5) lemak (sig : 0,5) infeksi
(sig : 0,3) pola asuh (sig : 0,9) pendapatan keluarga (sig : 0,6) pendidikan ibu (sig
: 0,5) pengetahuan ibu (sig : 0,09) dan jumlah (anak sig : 0,5). PLS tidak ada
hubungan (t test < 1,96) antara pola asuh (t test : 0,33), infeksi (t test : 0,83),
lemak ( t test : 0,92), protein (t test : 1,35), energi (t test : 0,55) terhadap stunting.
dan tidak ada hubungan antara pola asuh terhadap stunting melalui asupan energi
(t test : 0,35), protein (t test : 0,39), lemak (t test : 0,19) dan penyakit infeksi (T
Test : 0,69).
Kesimpulan : Tidak ada hubungan langsung antara variabel intervenning dan
variabel eksogen terhadap variabel endogen. Tidak ada hubungan antara variabel
eksogen terhadap variabel endogen melalui variabel intervenning.
Saran : Disarankan untuk meneliti lebih dalam faktor faktor dari ibu.
Daftar bacaan : 72 ( 2005 2015)
Kata kunci : Stunting, Anak Sekolah, Case Control.
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
UNDERGRADUATE THESIS, OCTOBER 2015
Latanza Shima Dayyana, NIM: 1111101000089
Factors - factors Related Events Stunting Children At School Students Islamic
Elementary School (MI) Muhammadiyah Haurgeulis Indramayu 2015
(xvi +132, 36 tables, 3 image, 7 attachment)
ABSTRACT
Background: Undernutrition is one of three reasons of child mortality. Worlds
data showed 90% of children got stunting. If the stunting doesnt well handled, it
could affects the cognitive development and decreasing academic achievement.
Methods: This study used a case-control study design with 70 samples. The
exogenous variabels consisted of number of children, mothers nutritional
knowledge, mothers education level, family income and parenting. Intervenning
variabels consists of infectious diseases, energy, protein, fat intake. The
endogenous variablesn is stunting. Data were analyzed by univariate and Mann
Whitney test, partial least square (PLS) and test Arorian. PLS analyzes and tests
arorian only done in maternal parentings exogenous variable, intervenning
variables and endogenous variable.
Results: Univariate describe the average of each exogenous variable. Mann
Whitney test showed no differences between the average of case and control
groups (sig> 0.05), energy intake (sig: 0.9) protein intake (sig: 0.5) fat intake (sig:
0.5) infection (sig : 0.3), parenting (sig: 0,9), family income (sig: 0.6) mothers
education (sig: 0.5), mothers knowledge (sig: 0.09) and the number of children
(sig children: 0.5 ). PLS found no relationship (t test
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERSONAL DATA
Nama : Latanza Shima Dayyana
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 23 Agustus 1993
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
PENDIDIKAN FORMAL
1999 2005 : SD Muhammadiyah Haurgeulis Indramayu
2005 2008 : Mts Pondok Pesantren Al- Zaytun Indramayu
2008 2011 : MA Pondok Pesantren Al Zaytun Indramayu
2011 2015 : Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Alhamdulillahirobbil alamin, puji sukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah,
sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul Faktor
Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Anak Sekolah Dasar
Pada Siswa/Siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah Haurgeulis
Indramayu Tahun 2015. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada
Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti.
Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan hanya karena usaha penulis
semata, namun banyak pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulisjuga ingin mengucapkan rasa
terimakasih kepada :
1. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Keehatan
Masyarakat.
3. Ratri Ciptaningtyas, MHS sebagai pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktunya, memberikan masukan dan saran perbaikan serta
semangat selama proses penyelesaian skripsi ini.
4. Riastuti Kusuma Wardani, MKM sebagai pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktunya, memberikan masukan dan saran perbaikan
serta semangat selama proses penyelesaian skripsi ini.
5. Para dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan dosen-dosen
Peminatan Gizi Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat dan berbagi pengalaman hidup yang
sangat berarti.
6. Ibu Nuur Sakinah dan Bapak J. Hafidh Dinillah yang selalu memberikan
dukungan, semangat, nasehat doa serta kepercayaan yang selalu diberikan
kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.
7. Ke 7 adik tersayang, Macia Hauna, Savana Najaha, Yais Fidau, Sacci
Dananda, Thutsiruna Hifdzu Sakinah, Sammy Dokhma Awaeil dan Asyla
Basaata Elayna yang selalu memberikan dukungan semangat, hiburan dan
doa selama proses penyelesaian skripsi ini.
8. Puput, Lidya, Aqma, Dwi Ramadhani, Harum, Yarra, Reni, Dwi
Rahmawati, Almen, Alifia, Rini, Ibnu, Danti, Putri PW, Sarah Islamiah
yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis dan selalu memberi
semangat selama penyelesaian skripsi ini. Terimakasih
9. Geng Panci 2011 (Puput, Lidya, Aqma, Dwi dhani, Dwi Rahma, Harum,
Yarra, Reni, Kiyah Abudan, Wulan, Mami, Ayu, Donna, Indah, Nana,
Umi, Kahfi, Muslim, Kang Mas Hattan, Ryan, Bunda Bintan) yang sudah
bersama sama berjuang dalam meraih SKM.
10. Anak WW, Anis, Eka, Ami, Zahra, Iyas, Ibu Indah, Nelly, Tiara, Dhillah,
Oby yang sudah memberikan motivasi dan semnagat untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
11. Anak Geng Bintaro Sony, Alip, Wifaq, Afif Umar, Arga, Jody yang sudah
memberikan dukungan, semangat dan hiburan selama proses penyelesaian
skripsi ini.
12. Seluruh abang Foto Copy, Staff Administrasi FKIK dan Prodi Kesmas
serta anak kesmas angkatan 2011 yang sudah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Ciputat, 22 Oktober 2015
Latanza Shima Dayyana
DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Pertanyaan Penelitian D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum 2. Tujuan Khusus
E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Siswa / Siswi MI Muhammadiyah Haurgeulis 2. Bagi Ibu atau Wali Siswa / Siswi MI Muhammadiyah Haurgeulis 3. Bagi Sekolah MI Muhammadiyah Haurgeulis 4. Bagi Puskesmas Haurgeulis 5. Bagi Peneliti Selanjutnya
F. Ruang Lingkup BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting (pendek) Pada Anak Sekolah 1. Penilaian Status Gizi
B. Faktor- Faktor Risiko Stunting Pada Anak 1. Asupan Makanan 2. Penyakit Infeksi
3. Akses Pangan Yang Tidak Terjangkau 4. Pola Asuh Anak 5. Pelayanan Kesehatan Dasar yang Tidak Terjangkau dan Lingkungan
Tidak Sehat.
6. Pendapatan Pendidikan Pengetahuan Ibu terkait Gizi dan banyaknya
Jumlah Anggota Keluarga a) Pendapatan b) Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu c) Jumlah Anak Dalam Keluarga
7. Krisis Ekonomi Sosial Dan Politik C. Argumentasi Jenis Analisis Data
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep B. Definisi Operasional
C. Hipotesis
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian B. Waktu dan tempat penelitian C. Populasi Dan Sampel Penelitian
1. Populasi a) Definisi Kelompok Total b) Definisi Kelompok Kasus c) Definisi Kelompok Kontrol
2. Sampel a) Kriteria inklusi sampel penelitian b) Kriteria eklusi sampel penelitian
3. Teknik Pengambilan Sampel 4. Besaran Minimal Sampel
D. Pengumpulan Data 1. Sumber data
a) Primer b) Sekunder
2. Alur pengumpulan Data a) Stunting (TB/U)
1) Instrumen Pengambilan Data Stunting
2) Cara Ukur
b) Tinggi Badan
1) Instrumen Pengambilan Data Tinggi Badan 2) Cara Ukur
c) Asupan Energi Protein Lemak 1) Instrumen Pengambilan Data Energi Protein Lemak 2) Cara Ukur
d) ISPA Dan Diare 1) Instrumen Pengukuran Riwayat Ispa Dan Diare 2) Cara Ukur
e) Pola Asuh Anak Pendapatan Keluarga Pengetahuan Ibu Terkait Gizi
Pendidikan Ibu Dan Jumlah Anggota Keluarga 1) Instrumen Pengambilan Data 2) Cara ukur
E. Pengolahan data 1. Manajeman Data
a) Entry Data b) Cleaning c) Coding
F. Analisis Data 1. Univariat 2. Bivariat dan Multivariat
a) Bivariat b) Multivariat
BAB V HASIL
A. Univariat B. Uji Mann Withney Test (Uji U)
1. Gambaran Wilayah Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. 2. Gambaran Siswa / Siswi MI Muhammdiyah Haurgeulis Indramayu Tahun
2015 3. Rata - Rata Asupan Energi Protein dan Lemak 4. Rata - Rata Penyakit Infeksi 5. Rata - Rata Pola Asuh
6. Rata - Rata Pendapatan Keluarga 7. Gambaran Pendidikan Ibu atau Wali Murid 8. Gambaran Pengetahuan Ibu
9. Gambaran Jumlah Anak Dalam Keluarga C. Bivariat
1. Analisis dengan Partial Least Square (PLS) 2. Evaluasi Outer Model 3. Evaluasi Inner Model 4. Hubungan Variabel Eksogen dan Variabel Intervenning terhadap Variabel
Endogen 5. Hubungan Antara Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen melalui
Variabel Intervenning BAB IV PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian B. Kejadian Stunting Pada Siwa/Siswi MI Muhammadiyah Haurgeulis
Indramayu tahun 2015 C. Rata - Rata Asupan Energi Protein Lemak D. Rata - Rata Riwayat Penyakit Infeksi E. Rata - Rata Pola Asuh Ibu Atau Wali Murid
F. Rata - Rata Pendapatan G. Rata - Rata Pendidikan dan Pengetahuaan Ibu Terkait Gizi H. Rata - Rata Jumlah Anak Dalam Keluarga I. Hubungan Variabel Intervenning Asupan Energi Protein Lemak Terhadap
Stunting J. Hubungan Variabel Intervenning Penyakit Infeksi Dengan Variabel Endogen
Stunting K. Hubungan Variabel Eksogen Pola Asuh Dengan Variabel Endogen
Stunting L. Hubungan Variabel Eksogen Terhadap Variabel Endogen Melalui Variabel
Intervenning BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No Tabel Nama Tabel Halaman
Tabel 2.1
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Energi 15
Tabel 2.2
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Protein 16
Tabel 2.3
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Lemak 18
Tabel 3.1 Definisi Operasional 42
Tabel 5.1 Rata - Rata Asupan Energi Protein Lemak Siswa /
Siswi MI Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 67
Tabel 5.2 Rata - Rata Asupan Kalsium Siswa / Siswi MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 67
Tabel 5.3 Rata - Rata Asupan Kalsium Siswa / Siswi MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 68
Tabel 5.4 Hasil Uji U Asupan Energi, Protein dan Lemak
Antara Kelompok Case dengan Kelompok Control
di MI Muhammadiyah tahun 2015
69
Tabel 5.5 Hasil Uji U Asupan Kalsium Antara Kelompok
Case dengan Kelompok Control di MI
Muhammadiyah tahun 2015.
69
Tabel 5.6 Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi Siswa MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 70
Tabel 5.7 Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi Siswa MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 71
Tabel 5.8 Hasil Uji U Penyakit Infeksi Antara Kelompuk
Stunting dengan Kelompok Tidak Stunting di MI
Muhammadiyah tahun 2015
71
Tabel 5.9 Distribusi Rata - Rata Pola asuh Siswa MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 72
Tabel 5.10 Gambaran Pekerjaan Ibu atau Wali Siswa / Siswi
Pada Kelompok Case dan Kelompok Control di MI
Muhammadiyah tahun 2015
72
Tabel 5.11 Hasil Uji U Pola Asuh Antara Kelompok Case
dengan Kelompok Control di MI Muhammadiyah
tahun 2015
73
Tabel 5.12 Distribusi Rata Rata Pendapatan Keluarga Siswa
MI Muhammaidyah tahun 2015 73
Tabel 5.13 Hasil Uji U Antara Kelompok Case dengan
Kelompok Control di MI Muhammadiyah tahun
2015
74
Tabel 5.14 Distribusi Rata Rata Lama Tahun Pendidikan 74
Oleh Ibu Atau Wali Murid, Siswa MI
Muhammadiyah tahun 2015
Tabel 5.15 Nilai Modus Lama Tahun Pendidikan Oleh Ibu
Atau Wali Murid, Siswa MI Muhammadiyah tahun
2015
75
Tabel 5.16 Hasil Uji U Antara Kelompok Case dengan
Kelompok Control di MI Muhammadiyah tahun
2015
75
Tabel 5.17 Distribusi Rata- Rata Pengetahun Ibu Siswa MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015 Terkait
Pengetahun Gizi
76
Tabel 5.18 Hasil Uji U Antara Kelompok Case dengan
Kelompok Control di MI Muhammadiyah tahun
2015
76
Tabel 5.19 Distribusi Jumlah Anak Dalam Keluarga atau
Rumah Siswa MI Muhammdaiyah Haurgeulis
Tahun 2015
77
Tabel 5.20 Urutan Anak yang Dilahirkan Dalam Keluarga atau
Rumah Siswa MI Muhammdaiyah Haurgeulis
Tahun 2015.
77
Tabel 5.21 Hasil Uji U Antara Kelompok Case dengan
Kelompok Control di MI Muhammadiyah tahun
2015
78
Tabel 5.22 Hasil Analisis Outer Model 79
Tabel 5.23 Hasil Analisis Inner Model 79
Tabel 5.24 Hubungan Variabel Eksogen dan Variabel
Intervenning terhadap Variabel Endogen di MI
Muhammadiyah Haurgeulis Tahun 2015
81
Tabel 5.25 Hubungan Variabel Eksogen terhadap Variabel
Intervenning pada MI Muhammadiayah tahun 2015 81
Tabel 5.26 Hubungan Variabel Eksogen terhadap Variabel
Intervenning pada MI Muhammadiayah tahun 2015 82
Tabel 5.27 Hubungan Variabel Eksogen terhadap Variabel
Intervenning pada MI Muhammadiayah tahun 2015 82
Tabel 5.28 Hubungan Variabel Eksogen terhadap Variabel
Intervenning pada MI Muhammadiayah tahun 2015 83
Tabel 5.29 Hasil Uji Arorian Pola Asuh dengan Stunting
Melalui Energi 86
Tabel 5.30 Hasil Uji Arorian Pola Asuh dengan Stunting
Melalui Protein 86
Tabel 5.31 Hasil Uji Arorian Pola Asuh dengan Stunting
Melalui Lemak 87
Tabel 5.32 Hasil Uji Arorian Pola Asuh dengan Stunting
Melalui Penyakit Infeksi 88
DAFTAR BAGAN
No Gambar Nama Bagan
Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Teori Bagan 3.1 Kerangka Konsep Bagan 4.1 Teknik Pengambilan Besar Sampel Desain Studi
Case control
Bagan 4.2 Alur Sobel Test
Bagan 5.1 Bagan Evaluasi Outer dan Inner Model
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undernutrition atau gizi kurang merupakan satu dari tiga alasan yang
mendasari semua kematian anak. Fenomena peningkatan harga pangan dan
penurunan pendapatan yang terjadi tahun lalu, berdampak terhadap
meningkatnya risiko kekurangan gizi, terutama pada kalangan anak anak
(WHO, 2010). Data dunia menunjukan 90% anak yang mengalami stunting
atau pendek berada di Asia dan Afrika, hal ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang belum terselesaikan (Wardlaw dkk., 2012).
Stunting merupakan gambaran kurangnya tinggi badan untuk umur yang
disebabkan oleh kekurangan gizi kronis (Sharlin dan Edelstein, 2011). Stunting
pada anak sekolah dapat diketahui dari indikator TB/U, timbulnya kondisi
seperti ini erat kaitannya dengan kegagalan pertambahan tinggi badan yang
tidak mencapai batas angka pertumbuhan tinggi badan sesuai umur (SMERU
dkk., 2010).
Menurut teori tahap perkembangan Ericson, anak sekolah dasar ialah anak
yang berada pada tahapan usia 6 12 tahun (Thalib, 2010). Masa usia sebelum
Madrasah Ibtidaiyah dan usia Madrasah Ibtidaiyah mengalami penurunan laju
pertumbuhan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan masa bayi
(Almatsier dkk., 2011). Oleh karena itu, penelitian setelah periode bayi relatif
diabaikan, padahal nutrisi tetap memiliki peran terhadap perkembangan
kognitif pada usia anak sekolah (Bryan dkk., 2004).
Gangguan perkembangan kognitif seperti penurunan IQ, apatis, tidak
percaya diri, sulit berkonsentrasi sehingga mengalami penurunan prestasi
akademik di sekolah merupakan dampak dari anak sekolah yang mengalami
stunting (Nency dan Arifin, 2005).
Menurut UNICEF, banyak faktor yang saling mempengaruhi terjadinya
anak mengalami stunting. Faktor tersebut terdiri dari faktor langsung yaitu
asupan makanan dan penyakit infeksi, serta faktor tidak langsung yaitu akses
terhadap pangan, akses terhadap pelayanan kesehatan, lingkungan yang sehat,
perawatan untuk anak dan wanita serta kebijakan pemerintahan (SMERU dkk.,
2010). Sehingga diketahui, anak mengalami stunting secara langsung
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan bergizi atau terkena infeksi
(Nency dan Arifin, 2005).
Asupan makanan yang dimaksud adalah makanan yang kaya akan nutrisi.
Energi, protein dan lemak merupakan nutrisi penting dalam pertumbuhan anak,
energi membantu anak untuk mancapai berat badan dan tinggi badan yang
sesuai periode pertumbuhanya. Protein membantu pembentukan jaringan tubuh
seperti otot dan organ tubuh lainnya. Sedangkan lemak berperan dalam
pertumbuhan otak anak, setidaknya 60% pembentukan saraf pusat dan saraf
tepi dibentuk oleh lemak (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi gizi buruk adalah Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan diare (Ernawati, 2006). ISPA dapat
menurunkan nafsu makan (Ernawati, 2006), padahal ISPA pada anak biasanya
diikuti dengan kenaikan suhu tubuh sehingga anak membutuhkan asupan
makanan lebih besar (Anshori, 2013). Akhirnya, pada anak yang mengalami
ISPA memiliki risiko lebih besar untuk mengalami gizi kurang.
Diare dapat mengubah status gizi seseorang, berdasarkan pernyataan
Brown (2003) bahwa di saat diare, terjadi penurunan asupan makanan dan
absorpsi di usus, selain itu diare juga meningkatkan katabolisme dan
sekuestransi nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan sintesa jaringan
(Yusuf dan Abidin, 2011).
Prevalensi nasional ISPA tahun 2013 sebesar 25% (KEMENKES, 2013),
dan prevalensi ISPA menurut periode prevelence ISPA pada usia 5 14 tahun
berdasarkan diagnosis / gejala sebanyak 27,8%. Prevalensi ISPA berdasarkan
diagnosis / gejala di Jawa Barat sebesar 24,8% (KEMENKES, 2014), dan
prevalensi ISPA di Indramayu berdasarkan diagnosis gejala sebesar 27,3 %
(KEMENKES, 2009).
Prevalensi nasional diare tahun 2013 sebesar 3,5%, dan periode
prevelence diare untuk usia 5 14 tahun berdasarkan diagnosis / gejala sebesar
3,0% (KEMENKES, 2013), prevalanesi diare di Jawa Barat berdasarkan
periode prevelence gejala sebesar 7.5% (KEMENKES, 2014), dan prevalensi
diare di Indramayu berdasarkan diagnosis gejala sebesar 13,3% (KEMENKES,
2009).
Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang mendasar dalam membantu
berkembangan dan pertumbuhan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin
baik kontak fisik dan psikis antara ibu dan anak maka semakin baik
perkembangan dan status gizi seorang anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Ibu memiliki peran besar dalam penyusunan menu makanan di rumah,
sehingga ibu diharapkan untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan
pengetahuan dasar tentang gizi (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Ibu yang
memiliki pengetahuan dalam penyusunan menu yang baik, akan dapat
menyajikan makanan yang baik pula dalam keluarga, sehingga pada akhirnya
anak akan memiliki risiko yang lebih kecil untuk mengalami kurang gizi
(Pratama dan Zain, 2012).
Jumlah anak dalam satu keluarga dapat mempengaruhi jumlah banyak dan
sedikit asupan setiap anggota keluarga. Hal ini terjadi terutama pada keluarga
yang berada dalam kondisi ekonomi kurang (Candra, 2011).
Pendapatan secara tidak langsung memiliki hubungan yang kuat dan
universal dengan status gizi (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Seseorang yang
memiliki pendapatan rendah akan cenderung membelanjakan sumber makanan
serelia, sedangkan untuk keluarga yang memiliki pendapatan tinggi akan lebih
membelanjakan sumber makanan olahan susu (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Karena terdapat faktor penyebab secara langsung dan tidak langsung
terhadap kejadian stunting. Oleh karena itu, dalam penelitian ini menggunakan
analisis dengan Partial Least Square (PLS). PLS menupakan alat bantu analisis
untuk melihat hubungan langsung dan tidak langsung penyebab stunting
tersebut. Penelitian terkait stunting yang dilakukan sebelumnya oleh (Anshori,
2013), (Rosha dkk., 2012) serta (Oktaviana dan Sudiarti, 2013) menggunakan
analisis dengan chi square. Oleh karena itu, menggunakan jenis penelitian
dengan PLS merupakan salah satu perbedaan penelitian ini.
Dalam penelitian ini stunting merupakan masalah gizi karena kekurang
gizi dalam waktu yang lama/ panjang. Hal ini yang mendasari peneliti
menggunakan desain case control dalam penelitian. Case control merupakan
desain penelitian yang dilakukan terhadap penelitian terhadap kasus yang masa
laten panjang (Suradi dkk., 2002). Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
oleh (Oktaviana dan Sudiarti 2013), (Ulfani dkk., 2011), (Najahah dkk., 2013)
menggunakan desain cross sectional. Sehingga, menggunakan desain case
control merupakan perbedaan lain dalam penelitian ini.
Beberapa penelitian (Nador, 2011), (Wardani, 2007) dan (Arifin dkk.,
2012) dengan desain penelitian case control menyatakan bahwa asupan gizi
dan riwayat penyakit memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
stunting (p = 0,013 dan OR = 4,14), (p = 0,00) dan (p = 0,021, OR = 2,2 dan p
= 0,007 dan OR = 2,6).
Prevalensi nasional untuk kategori Stunting (TB/U) pada anak usia sekolah
dasar yaitu 5 12 tahun sebesar 30,7% dengan rincian, 12,3% kategori sangat
pendek dan 18,4% kategori pendek (KEMENKES, 2013b). Prevalensi stunting
di Jawa Barat pada anak usia 5 12 tahun sebesar 30% (KEMENKES, 2013).
Prevalensi stunting di Indramayu sebesar 35,4% (KEMENKES, 2009).
Berdasarkan dengan pernyataan, bahwa dikatakan masalah kesehatan
masyarakat untuk kategori stunting adalah apabila ditemukan masalah disebuah
populasi mecapai angka > 20 % (WHO, 2013), maka besar angka kejadian
stunting di Indramayu sudah melawati angka 20%, sehingga di Indramayu
memiliki masalah kesehatan masyarakat terkait kejadian stunting pada anak
usia 6 14 tahun.
Haurgeulis merupakan kecamatan yang berada di Indramayu. Berdasarkan
data puskesmas Haurgeulis terdapat 20,8% anak sekolah mengalami stunting.
MI Muhammadiyah merupakan salah satu sekolah yang memiliki masalah
kesehatan untuk kategori stunting di Haurgeulis, yaitu sebanyak 35 anak
sekolah mengalami stunting (20,21%) dengan rincian 4 (2,3%) anak kategori
sangat pendek dan 31 (17,8) anak kategori pendek. Oleh karena itu, peneliti
ingin mengetahui hubungan faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting anak usia sekolah dasar pada siswa / siswi MI di Madrasah Ibtidaiyah
(MI) Muhammadiyah Haurgeulis, Indramayu.
B. Rumusan Masalah
Sebesar 20,21% anak sekolah di MI Muhammadiyah, Haurgeulis,
Indramayu mengalami stunting, dimana jika dibandingkan dengan standar
WHO yaitu dikatakan menjadi masalah kesehatan masyarakat jika dalam
populasi kejadian stunting > 20%. Sehingga dapat disimpulkan, MI
Muhammadiyah mengalami masalah kesehatan masyarakat terkait stunting.
Stunting merupakan hasil dari kekurangan asupan nutrisi dan penyakit infeksi
secara terus menurus, yang mana jika stunting dibiarkan akan mempengaruhi
perkembangan kognitif, penurunan IQ, apatis, tidak percaya diri, sulit
berkonsentrasi dan rendahnnya prestasi akademik. Sehingga, sebagai tindakan
pencegahan dan penanggulangan stunting perlu dilakukan penelitian terkait
faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran variabel endogen (stunting) pada siswa/siswi
MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu tahun 2015?
2. Bagaimana rata rata dan apakah ada perbedaan rata - rata variabel
intervenning (asupan energi, protein, lemak dan penyakit infeksi)
pada siswa/siswi MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu
tahun 2015?
3. Bagaimana rata rata dan apakah ada perbedaan rata - rata variabel
eksogen (pola asuh, pendapatan keluarga, pendidikan ibu,
pengetahuan gizi ibu dan jumlah anak) pada siswa/siswi MI
Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu tahun 2015?
4. Bagaimana hubungan langsung antara variabel intervenning dan
variabel eksogen terhadap variabel endogen pada siswa / siswi MI
Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu 2015?
5. Bagaimana hubungan langsung antara variabel eksogen dengan
variabel endogen jika melalui variabel intervenning pada siswa /
siswi MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu 2015?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting anak sekolah pada siswa / siswi MI
Muhammadiyah Haurgeulis, Indramayu 2015.
2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya rata rata dan perbedaan rata - rata variabel
intervenning (asupan energi, protein, lemak dan penyakit
infeksi) baik pada kelompok total, kelompok kasus dan
kelompok kontrol siswa/siswi MI Muhammadiyah, Haurgeulis,
Indramayu tahun 2015.
2. Diketahuinya rata rata dan perbedaan rata rata variabel
eksogen (pola asuh, pendapatan keluarga, pendidikan ibu,
pengetahuan gizi ibu dan jumlah keluarga) antara kelompok
kasus dan kelompok kontrol pada siswa / siswi MI
Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu 2015.
3. Diketahuinya hubungan antara variabel intervenning dan
variabel eksogen, terhadap variabel endogen pada siswa / siswi
MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu 2015.
4. Diketahuinya hubungan variabel eksogen terhadap variabel
endogen melalui variabel intervenning pada siswa / siswi MI
Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu 2015.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa / Siswi MI Muhammadiyah Haurgeulis
Hasil penelitian ini dapat menjadi paparan terkait gizi untuk
memaparkan para siswa / siswi MI sejak dini terkait gizi. Para
siswa / siswi MI dapat mengetahui perilaku apa yang sebaiknya
dihindari agar tidak mengalami stunting dan perilaku apa yang
seharusnya ditingkatkan agar mereka menjadi anak yang sehat.
2. Bagi Ibu atau Wali Siswa / Siswi MI Muhammadiyah
Haurgeulis
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi ibu para
siswa / siswi MI Muhammdiyah terkait apa penyebab anak untuk
menjadi stunting. Sehingga, ibu dapat menanggulangi agar anak
tidak menjadi stunting. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi
edukasi awal bagi ibu atau wali murid untuk mengenal ilmu gizi
lebih mendalam lagi. Sehingga, diharapkan ibu dapat menerapkan
ilmu gizi yang sudah lebih baik dalam kesehariannya di rumah
tangga.
3. Bagi Sekolah MI Muhammadiyah Haurgeulis
Hasil penelitian ini dapat menggambarkan keadaan status
gizi para siswa/siswi MI Muhammadiyah dan faktor risiko yang
mempengaruhi status gizi para siswa/siswi MI Muhammadiyah.
Hasil laporan ini juga dapat menjadi landasan pertimbangan pihak
sekolah untuk membuat kebijakan program Nutrition at School
yang dimana kegiatan nutrition at school merupakan program
perbaikan gizi yang dilakukan di sekolah dan difasilitasi oleh
sekolah.
4. Bagi Puskesmas Haurgeulis
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi
ketercapaian program peningkatan kesehatan anak di Indramayu.
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk membuat
perencanaan peningkatan kesehatan anak di Indramayu.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini merupakan media untuk peneliti berkontribusi
dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dalam bidang gizi,
karena dengan diketahui hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat digunakan untuk perencanaan intervensi.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan November 2014 Juni
2015. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
asupan energi, protein, lemak dan penyakit infeksi terhadap status gizi
anak sekolah serta mengetahui variabel yang paling mempengaruhi antara
asupan energi, protein lemak dan penyakit infeksi dengan status gizi para
siswa/siswi berusia 6 12 tahun di MI Muhammadiyah, Haurgeulis,
Indramayu tahun 2015 dengan menggunakan desain case control.
Pada penelitian ini, peneliti membatasi untuk melakukan penilaian
status gizi menggunakan pengukuran antropometri, asupan makanan
dengan food record dan food recall serta pengukuran penyakit infeksi
dengan kuesioner gejala klinis. Analisis data yang dilakukan adalah
univariat dan bivariat dengan analisis Partial Least Square (PLPS).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting (pendek) Pada Anak Sekolah
Stunting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
ketidaktercapaian tinggi badan sesuai umur yang disebabkan karena
mengalami kurang gizi menahun atau kronis (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Stunting merupakan gambaran kekurangan gizi yang sudah terjadi selama
menahun (kronis) (Briend dkk., 2015).
Berdasarkan teori tahap perkembangan Ericson, anak sekolah ialah
anak yang berada pada tahap usia 6 12 tahun (Thalib, 2010). Laju
pertumbuhan fisik anak memang tidak secepat pada masa bayi (Almatsier
dkk., 2011), namun anak tetap membutuhkan nutrisi untuk perkembangan
kognitifnya (Bryan dkk., 2004) . Pada masa ini, sudah memungkinkan bagi
anak untuk mulai makan sendiri secara bebas dan mulai mengembangkan
kesukaannya secara subjektif terhadap makanan (Almatsier dkk., 2011).
Masa anak sekolah, anak anak sudah mulai menguasai
keterampilan dasar seperti menulis, membaca, sehingga prestasi anak
sekolah merupakan tema utama pada masa anak sekolah (Santrock, 2009).
Pemilihan makan dimasa ini akan membentuk pola makan anak tersebut
pada masa yang akan datang. Pemilihan makan dipengaruhi oleh banyak
faktor yang akhirnya akan berdampak pada asupan gizi anak tersebut
(Almatsier dkk., 2011). Tidak hanya faktor ketersediaan makanan dalam
rumah tangga, faktor budaya, lingkungan dan interaksi dengan orang tua
juga dapat mempengaruhi anak dalam memilih makanan (Almatsier dkk.,
2011).
Usia anak sekolah merupakan usia pertumbuhan yang lambat
namun konsisten (Almatsier dkk., 2011). Pada usia ini, mereka secara
signifikan menunjukkan peningkatan yang berarti dalam motorik, kognitif,
sosial dan emosional (Almatsier dkk., 2011). Pemilihan makanan yang
terbentuk pada usia ini, merupakan dasar pembentukan pola makan pada
usia selanjutnya (Almatsier dkk., 2011).
Stunting atau pendek merupakan gambaran kurang gizi yang
berdasarkan pada indeks tinggi badan menurut usia (TB/U) (KEMENKES,
2011). Anak dikatakan stunting jika nilai z-score untuk TB/U< - 2 SD.
Anak anak yang memiliki TB/U < - 2 SD harus dievaluasi, hal ini
dikarenakan anak gagal dalam pencapaian tinggi badan sesuai usianya.
Pada umumnya, pola makan dan asupan gizi pada masa anak tidak
jauh berbeda dengan teman sebayanya. Meskipun masa anak sekolah
merupakan masa sesudah masa pra-sekolah yang artinya kebutuhan energi
mereka akan lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan energi pada
usia anak pra-sekolah, namun frekuensi makan pada masa ini lebih rendah
empat hingga enam kali, hal ini disebabkan karena pada usia anak sekolah
mereka lebih banyak mengonsumsi makanan dalam bentuk cemilan
(snack) (Almatsier dkk., 2011).
Seseorang yang mengalami gizi kurang atau gizi lebih dapat
diketahui dengan penilaian status gizi. Penilaian status gizi dilakukan
untuk membantu negara negara berkembang dalam penentuan status gizi
penduduknya, serta mengidentifikasi masalah gizi yang terjadi dan cara
penanggulangannya (Almatsier dkk., 2011). Banyak cara untuk melakukan
penilaian status gizi, namun umumnya pengukuran penilaian status gizi
dengan melakukan pengukuran antropometri (SMERU dkk., 2010).
Antropometri merupakan metode yang universal dalam menentukan status
gizi individu (SMERU dkk., 2010).
Para ahli kesehatan melakukan perbandingan pengukuran
antropometri individu dengan kriteria populasi sesuai jenis kelamin dan
usia dengan pengukuran individu yang telah dilakukan sebelumnya
(Whitney dan Rolfes, 2008). Pengukuran ini dilakukan secara berkala dan
selalu dibandingkan dengan pengukuran yang sebelumnya untuk melihat
perubahan status individu yang terjadi (Whitney dan Rolfes, 2008).
1. Penilaian Status Gizi
Pengukuran antropometeri merupakan pengukuran fisik
yang menggambarkan komposisi dan pertumbuhan badan
(Whitney dan Rolfes, 2008). Antropometri memiliki tiga tujuan
utama yaitu: untuk mengevaluasi laju pertumbuhan janin pada
wanita hamil, bayi, anak- anak dan remaja untuk, mendeteksi
kekurangan gizi atau kelebihan gizi pada setiap kelompok umur
serta mengukur perubahan komposisi tubuh dari waktu ke waktu
(Whitney dan Rolfes, 2008).
Penilian status gizi yang dilakukan pada anak usia sekolah
di Indonesia, masih berdasarkan pada keputusan menteri kesehatan
tentang standar antropometri penilaian status gizi yang pada
standar World Health Organization. Stunting pada usia anak
sekolah dinyatakan berdasarkan indikator TB/U dengan istilah
sangat pendek (< -3SD), pendek (-3SD sampai < - 2SD), normal (
> - 2SD sampai 1SD). Penilaian status gizi pada usia anak sekolah,
umur dihitung dalam bulan penuh (KEMENKES, 2011), contoh
jika lahir pada 23/08/2004 dan dilakukan pengukuran pada 7
Januari 2015, artinya umur yang digunakan adalah umur 10 tahun,
4 bulan.
Dalam penelitian ini, pengukuran stunting menggunakan
software World Health Organization AnthroPlus, Anthropometric
Calculator. Hasil perhitungan dinyatakan dalam indikator TB/U
dan IMT/U dengan nilai Z-score.
B. Faktor- Faktor Risiko Stunting Pada Anak
1. Asupan Makanan
Asupan makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi
keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan
dirumah akan berdampak pada asupan makan anak. Apabila
ketersedian makanan di rumah tidak adekuat maka anak akan
mendapatkan makanan bergizi yang kurang (Krisnansari, 2010).
Ketersedian makanan di rumah juga akan membentuk pola makan
anak pada periode selanjutnya (Almatsier dkk., 2011).
Pola makan yang terbentuk dalam keadaan kurangnya
konsumsi makanan bergizi, pada akhirnya anak akan terbiasa untuk
mengonsumsi makanan kurang bergizi. Kurangnya makan yang
bergizi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan tubuh
mengalami kekurangan gizi.
Energi sangat baik untuk angka pertumbuhan anak usia 7
10 tahun, diperkirakan rata-rata kenaikan berat badan anak usia 7
10 tahun adalah 5 12 gr/hari (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan
energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan
pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi
badan (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Kebutuhan energi pada anak usia sekolah akan meningkat
karena meningkatnya ukuran tubuh dan aktifitas fisik (Thompson
dkk., 2011). Kebutuhan total energi setiap anak berbeda tergantung
dari usia, berat badan dan level aktifitas fisik (Thompson dkk.,
2011). Rekomendasi kebutuhan energi di Indonesia berpedoman
pada Angka Kecukupan Gizi 2013, digambarkan pada tabel berikut
:
Tabel 2.1
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Energi
Tahun BB (kg) TB (cm) Energi
Anak 4-6 tahun 19 112 1,600
Anak 7 9 tahun 27 130 1.850
Laki - Laki 10 12
tahun
34 142 2.100
Perempuan 10 12
tahun
36 145 2.000
Rata - Rata 1.887,5
Tabel 2.l, menunjukan bahwa kebutuhan energi setiap
tingkatan usia anak sekolah dasar berbeda-beda. Anak sekolah
dasar merupakan tahapan pertumbuhan pada usia 6 hingga 12
tahun.
Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007)
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi
dan konsumsi energi dengan nilai p = 0,049 dan OR= 205,5 artinya
adalah anak balita yang mengalami kurang konsumsi energi akan
memiliki risiko mengalami gizi buruk 205,5 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan dengan anak balita yang memiliki konsumsi
energi cukup (Wardani, 2007).
Protein merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk
membantu pertumbuhan yang optimal pada anak (Sharlin dan
Edelstein, 2011). Kebutuhan protein setiap anak berbeda beda
tergantung dengan berat badan anak, yaitu 0,95 gr/kg/hari atau
direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan protein anak adalah
10% 20% dari total energi (Thompson dkk, 2011, Sharlin dan
edelstein, 2011). Hal ini setara dengan 1 ukuran ayam bagian paha
bawah yang berbentuk seperti pemukul drum dengan direbus atau
dipanggang kemudian ditambah dengan 2 gelas susu (Thompson
dkk., 2011). Rekomendasi untuk memenuhi kebutuhan protein di
Indonesia berpedoman pada Angka Kecukupan Gizi 2013,
digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 2.2
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Protein
Tahun BB (kg) TB (cm) Protein
(gr)
Anak 4-6 tahun 19 112 35
Anak 7 9 tahun 27 130 49
Laki - Laki 10 12
tahun
34 142 56
Perempuan 10 12
tahun
36 145 60
Rata rata 50
Tabel 2.2 diketahui bahwa rekomendasi yang dianjurkan
untuk memenuhi kebutuhan protein di Indonesia berbeda dengan
rekomendasi yang dikutip dalam buku The Scienc of Nutrition.
Kebutuhan protein di Indonesia berdasarkan usia dan jenis
kelamin.
Rekomendasi ini dibentuk demi memastikan bahwa energi
untuk tubuh yang berasal dari semua nutrisi tercukupi. Sehingga,
kelebihan persediaan protein digunakan untuk pertumbuhan dan
pembangunan jaringan (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Anak sangat berisiko mengalami kekurangan protein,
terutama pada anak anak dengan keluarga yang pendapatannya
rendah, alergi protein hewani dan diet vegetarian yang tidak
mengonsumsi sumber hewani (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007)
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi
dan konsumsi protein dengan nilai p = 0,011, dengan nilai dan OR
= 87,9, artinya adalah anak balita yang mengalami kurang
konsumsi protein akan memiliki risiko mengalami gizi buruk 87,9
kali lebih besar jika dibandingkan dengan anak balita yang
memiliki konsumsi protein cukup (Wardani, 2007).
Asupan lemak menjadi aturan main dalam pembentukan
otak pada usia 3 tahun. Lemak membentuk minimal 60% sistem
saraf pusat dan sistem saraf tepi, hal ini penting untuk mengontrol,
menjaga dan menyatukan sistim tubuh sehingga asupan lemak
penting dalam proses pertumbuhan anak (Sharlin dan Edelstein,
2011). Akan tetapi, makanan rendah lemak akan menyebabkan
mudah lapar dan kemudian menyebabkan makan berlebih.
Sehingga tidak semua lemak baik untuk pertumbuhan (Sharlin dan
Edelstein, 2011).
Lemak sebaiknya berasal dari polysaturated fat dan
monosaturated fat seperti ikan, sebagian besar kacang kacangan
dan minyak sayur, lemak ini membantu menjaga kolesterol tetep
rendah dan High Density Lipoprotein (HDL) tetap tinggi. Lemak
jenis ini merupakan kolesterol yang baik (Sharlin dan Edelstein,
2011).
Makanan tinggi lemak jenuh seperti mentega, keju dan
olahan daging sapi akan menyebabkan kolesterol menjadi tinggi
dan Low Density Lipoportein (LDL) tinggi, akhirnya menyebabkan
obesitas (Sharlin dan Edelstein, 2011).
Meskipun demikian, lemak merupakan kunci kebutuhan
gizi pada anak usia sekolah dasar dibutuhkan 25% hingga 35% dari
total energi harus terdiri dari lemak (Thompson dkk., 2011).
Namun, lemak yang dimaksud adalah lemak baik yang dapat
diperoleh dari kacang kacangan, ikan, susu rendah lemak, keju
mozzarella rendah lemak, yogurt rendah lemak dan mengurangi
asupan makanan yang diolah dengan cara digoreng (Thompson
dkk., 2011). Rekomendasi lemak di Indonesia berpedoman pada
Angka Kecukupan Gizi 2013, digambarkan sebagai berikut :
Tabel 2.3
Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Lemak
Tahun BB (kg) TB (cm) Lemak
(gr)
Anak 4-6 tahun 19 112 62
Anak 7 9 tahun 27 130 72
Laki - Laki 10 12
tahun
34 142 70
Perempuan 10 12
tahun
36 145 67
Rata rata 67,75
Tabel 2.3 diketahui bahwa kebutuhan lemak berbeda sesuai
usia dan jenis kelamin. Kebutuhan lemak untuk perempuan lebih
sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan lemak laki laki.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013)
ditemukan hubungan yang bermakna antara asupan lemak terhadap
kejadian gizi kurang dengan nilai p = 0,038 (Putri dan Wahyono,
2013). Artinya, ada hubungan yang bermakna antara kekurangan
asupan lemak dengan kejadian gizi kurang pada anak.
Metode pengukuran asupan makanan dapat dilakukan
dengan metode sejarah diet atau Dietery History untuk melihat
asupan makanan sudah terpenuhi atau belum terpenuhi. 24-hour
recall dan food record merupakan salah dua dari banyak metode
untuk melihat kebiasaan makan seseorang / sejarah diet (Dietery
History). Sejarah diet digunakan untuk melihat latar belakang
makan seseorang secara realistis dan mengidentifikasi status
keseimbangan nutrisi seseorang (Whitney dan Rolfes, 2008).
Sehingga, pada akhirnya tujuan gizi dapat tercapai.
24-hour recall adalah salah satu metode yang
dikembangakan untuk melihat sejarah diet dengan melakukan
wawancara terhadap subjek penelitian (Gibson, 2005). Subjek
penelitian diminta untuk mengingat kembali makanan apa saja
yang sudah dimakan dalam waktu 24 jam. Kemudian asupan
nutrisi dapat dihitung dengan daftar komposisi makanan (Gibson,
2005).
24-hour recall menyediakan data perkiraan asupan
makanan selama satu hari. Klien akan diminta untuk menceritakan
segala sesuatu yang dimakan atau diminum dalam jangka waktu 24
jam atau sehari sebelumnya. Keuntungan recall adalah mudah
untuk dilakukan dan cenderung akurat karena hanya diminta data
24 jam sebelumnya. Namun, recall tidak dapat melihat kebiasan
makan sesorang tersebut (Whitney dan Rolfes, 2008).
Food Record merupakan metode selain food recall 24 hour
untuk melihat sejarah diet. Food record adalah catatan makan
seseorang termaksud jumlah dan cara pengolahannya (Whitney dan
Rolfes, 2008). Makanan dalam food record ini termaksud
didalamnya minuman kemasan dan semua makanan ringan yang
telah dimakan (Gibson, 2005). Food record dapat menjadi bahan
informasi klien untuk melihat faktor yang menyebabkan makan
klien seimbang atau kekurangan. Food record hanya berhasil pada
klien yang ingin bekerja sama, karena dalam food record klien
akan diminta untuk menjaga asumsi makanan setiap saat (Whitney
dan Rolfes, 2008).
Kelebihan food record adalah dapat menjadi bahan acuan
konseling bagi klien yang kelebihan gizi, kekurangan gizi atau
alregi terhadap makanan. Namun food record harus berkelanjutan
dalam menulis makanan dan klien diminta untuk menjaga hasil
pencatatan makanannya, terkadang hal itu dapat menyulitkan klien
(Whitney dan Rolfes, 2008).
Jika dibandingkan antara metode 24-hour recall dengan
metode food record. Pada anak tidak dianjurkan untuk
menggunakan 24-hour recall, karena metode ini membutuhkan
ingatan yang baik. Sehingga, metode food record lebih dapat
diandalkan untuk mengukur asupan makanan pada anak dan lansia
(Gibson, 2005).
Recall memang tidak dianjurkan untuk dilakukan pada anak,
namun penelitian ini tetap menggunakan metode food record 24-
hour untuk anak. Hal tersebut dikarenakan, peneliti ingin
mengetahui asupan makanan anak ketika disekolah, mengingat
belum tentu ibu mengetahui apa saja yang dikonsumsi anak saat di
sekola. Sehingga, anak tetap akan dilakukan recall 24-hour selama
tiga kali, yang pengisiannya dilakukan dengan bantuan peneliti.
Lembar record tidak diberlakukan pada anak karena
dikhawatirkan lembar record akan hilang atau bahka anak tidak
mengisi lembar tersebut. Sehingga, lembar record diharapakan
akan mengurangi bias asupan makanan anak pada penelitian ini.
2. Penyakit Infeksi
Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran
yang saling berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005).
Rendahnya asupan makanan dapat menurunkan imunitas dalam
tubuh sehingga tubuh mudah mengalami infeksi yang
menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya tubuh yang mengalami
infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh sehingga tubuh
akan mengalami kurang gizi.
Ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi
dengan kejadian stunting p = 0,021 yaitu OR = 2,2 . Artinya anak
yang memiliki riwayat penyakit infeksi akan memiliki risiko 2,2
kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan
dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi (Arifin
dkk., 2012).
Penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi
adalah diare dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Pada
anak usia sekolah dasar, masalah kesehatan yang banyak ditemui
adalah rendahnya perilaku mencuci tangan dengan sabun.
Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun merupakan perilaku yang
dapat menurunkan risiko terkena penyakit ISPA dan diare
(KEMENKES, 2014). Sehingga rendahnya perilaku mencuci
tangan dengan sabun memperbesar risiko anak anak terkena
penyakit ISPA dan diare.
Penyakit infeksi biasanya memiliki tingkat kegawatan yang
beragam. Dimulai dari yang tingkat ringan, tiba tiba berubah
menjadi akut kemudian kronis. Akhirnya menjadi penyakit yang
diderita seumur hidup (Cherry dkk., 2014). Infeksi bisa disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur dan lain lain. Waktu maksimal yang
dibutuhkan oleh virus untuk menginfeksi organ sistem adalah 2
hingga 7 hari, kemudian jika berlanjut (akut) mencapai 2 minggu
atau 14 hari (Cherry dkk., 2014).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan satu
dari banyak penyakit infeksi yang dipercaya memiliki hubungan
erat dengan masalah gizi (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012).
Selain itu, ISPA yang diderita anak biasanya disertai dengan
kenaikan suhu badan. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan makan
anak juga bertambah,. Namun, dalam kondisi yang sama ISPA juga
menyebabkan penurunan nafsu makan. Sehingga anak akan
mengalami kekurangan nutrisi yang dapat mengganggu
pertumbuhan (Anshori, 2013).
ISPA merupakan penyakit disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur atau sejenisnya yang menyerang, menginfeksi atau meracuni
organ pernafasan selama 14 hari / 2 minggu. ISPA dibedakan
sesuai dengan bagian organ pernafasan yang terinfeksi yaitu ISPA
bagian atas yang terdiri dari oronasofaring, laring, faring, serta
bagian atas trakea, dan ISPA bagian bawah yang terdiri dari
bronkus, bronkiolus dan alveoli (Hockenberry dan Wilson, 2007).
ISPA dapat menyebar dari satu bagian kebagian lainnya,
karena membran mokus yang membungkus seluruh saluran
pernafasan. Sehingga ISPA lebih sering melibatkan bagian lain
saluran pernafasan dibandingkan struktur tunggal. Meskipun
demikian efek pada satu struktur dapat mendominasi setiap
penyakit ISPA yang terjadi (Hockenberry dan Wilson, 2007).
Berikut tanda dan gejala anak yang mengalami ISPA :
1. Demam tinggi (39 oC hingga 40
oC) selama 14 hingga 28 hari
2. Dapat juga disertai dengan kejang demam
3. Sakit kepala, sakit punggung dan leher
4. Tidak memiliki selera makan
5. Muntah, diare sakit perut
6. Batuk, pilek, sakit tenggorokan dan terdapat suara mengi disaat
bernafas.
Ada hubungan yang signifikan antara penyakit ISPA
dengan status gizi yaitu p = 0,002 (Ernawati, 2006). Artinya,
seseorang yang mengalami ISPA akan cenderung memiliki nafsu
makan rendah, sehingga mereka akan mengalami kekurangan
asupan makan (Ernawati, 2006).
Dalam penatalaksanaan penyakit ISPA, dibedakan dalam
tindakan tatalaksananya, yakni ISPA tanpa Pneunomia dan ISPA
dengan Pneunomia. Pneunomia merupakan radang atau infeksi
yang terjadi pada parenkim paru (alveoli dan bronkhus, bagian
sistem pernafasan bawah) yang termaksud dalam infeksi akut
(Ward dkk., 2006).
Pneunomia merupakan radang yang terjadi pada parenkim
paru. Penyakit tersebut umumnya menyerang masa bayi, anak usia
sebelum sekolah atau anak usia sekolah (Hockenberry dan Wilson,
2007). Penyebab pneunomia tidak berbeda dari penyebab ISPA
tanpa pneunomia yaitu virus, bakteri, jamur dan lain lain. Ada
beberapa jenis pneunomia, yang dibedakan berdasarkan morfologi,
jenis agen atau asal penyakit klinis (Hockenberry dan Wilson,
2007). Berikut penjelasan tipe pneunomia:
1. Menurut Morfologi (Hockenberry dan Wilson, 2007)
a. Lobar Pneunomia : merupakan pneumonia yang
menginfeksi semua atau sebagian besar bagian lobar
paru paru. Jika kedua lobar paru paru positif terkena,
maka dinyatakan dengan pneunomia ganda.
b. Bronchopneumonia : Tersumbatnya bronkiolus
oleh eksudat mukopurulen sehingga membentuk bercak
di lobus terdekat. Bronchopneunomia bisa juga disebut
dengan pneunomia lobular.
c. Pneunomia Intersititial : Proses peradangan yang
terjadi didalam dinding alveoli (interstitial) dan jaringan
interlobular serta peribronkial.
2. Berdasarkan jenis agent (Hockenberry dan Wilson, 2007) :
virus, bakteri, mycoplasma dan masukya zat asing
3. Berdasarkan asal penyakit klinis (Ward dkk., 2006): komunitas
dan rumah sakit
Selain infeksi saluran pernafasan, penyakit infeksi diare
juga merupakan penyakit infeksi yang sering dihubungkan dengan
status gizi atau stunting. Diare menyebakan kematian anak
dibeberapa negara (KEMENKES, 2014). Selain itu, diare
merupakan penyakit endemis yang berpotensi untuk menyebabkan
KLB (Kejadian Luar Biasa) di Indonesia (KEMENKES, 2014).
Gambaran pasien yang mengalami diare di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, menunjukan
68,9% anak yang mengalami diare memiliki status gizi kurang dan
15,5% mengalami gizi buruk (Yusuf dan Abidin, 2011). Indonesia,
memiliki frekuensi kejadian diare lebih banyak 2 3 kali jika
dibandingkan dengan negara maju (Sudoyo dkk., 2007).
Diare merupakan defekasi atau buang air besar dengan tinja
setengah padat, setengah cair atau cair dan biasanya cairan ini
sebanyak 200 ml/ 24 jam (Sudoyo dkk., 2007). Definisi lainnya
dengan menggunakan istilah frekuensi yaitu diare merupakan
keadaan meningkatnya frekuensi pengeluaran tinja dari biasanya
mencapai lebih dari 3 kali sehari, ditandai dengan keenceran atau
kelembekan tinja, bertambahnya volume tinja dan terkadang
disertai oleh lendir darah (Hidayat, 2008).
Diare yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang
adalah diare kronik yang terjadi selama 2 minggu berturut turut
atau lebih dari 14 hari untuk anak sekolah dan 3 minggu berturut
turut atau lebih dari 21 hari untuk orang dewasa. Diare kronik
terdiri dari 3 jenis diare, yang salah satunya adalah diare kronik
osmotik. Diare kronik osmotik merupakan faktor malabsorpsi
akibat dari adanya gangguan absorbsi karbohidrat, lemak atau
protein. Gangguan yang sering terjadi adalah malabsorbsi lemak
(Mansjoer dkk., 2009).
Banyak penyebab yang dapat menyebabkan diare salah
satunya adalah infeksi baik infeksi dari bakteri, virus, parasit,
keracunan makanan, penyalahgunaan obat obatan dan lain
lainnya (Sudoyo dkk., 2007). Dalam hal ini diare yang dimaksud
adalah diare yang disebabkan oleh infeksi. Faktor agen dan faktor
host memiliki peran besar dalam terjadinya diare. Faktor host atau
penjamu terdiri merupakan kemampuan daya tahan tubuh untuk
menangkis atau mempertahankan diri terhadap agen penyebab
diare seperti bakteri, virus atau parasit yang terdiri dari imunitas
tubuh, lingkungan saluran pencernaan seperti keasaaman lambung,
motilitas usus dan mikroflora usus. Sedangkan faktor agen atau
penyebab diare adalah kemampuan agen dalam memproduksi
toksin didalam lingkungan saluran cerna sehingga mempengaruhi
sekresi cairan usus (Sudoyo dkk., 2007).
Proses perjalanan atau patofisisologis diare yang
disebabkan oleh infeksi diawali dengan masuknya agen atau
kuman ke dalam lingkungan saluran pencernaan, kemudian
berkembang dalam usus dan merusak atau meracuni mukosa usus.
Sehingga masuknya kuman ke dalam lingkungan pencernaan
menyebabkan penurunan daerah permukaan usus (Hidayat, 2008).
Penurunan daerah permukaan usus menyebabkan perubahan
kapasitas usus sehingga kemampuan absorpsi cairan dan elektrolit
(fungsi utama usus) terganggu (malabsorpsi) (Hidayat, 2008).
Malabsorpsi ini akan menggeser air dan elektrolit ke rongga usus
sehingga meningkatkan isi rongga usus. Padahal, rongga usus
sedang mengalami penurunan permukaan. Sehingga pada akhinya
terjadilah diare (Hidayat, 2008).
Penyakit infeksi dapat didiagnosis berdasarkan kriteria
gejala klinis (Primayani, 2009). Seperti halnya diare dapat
ditanyakan terkait gejala frekuensi buang air besar dan konsistensi
tinja. Sementara ISPA dapat ditanyakan dengan gejala terkait batuk
berdahak, demam dan lain sebagainya.
3. Akses Pangan Yang Tidak Terjangkau
Akses terhadap makanan atau akses pangan ialah
kemampuan masing masing orang dalam memperoleh pangan
yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan ini dapat
berupa pangan yang ditanam sendiri, pangan yang dibeli, atau
pangan yang diperoleh melalui bantuan orang lain (Adriani dan
Wijatmadi, 2012).
Ada tiga hal yang mempengaruhi akses terhadap makanan
seseorang, yaitu: Akses ekonomi (pendapatan, kesempatan kerja
dan harga pangan). Akses fisik (sarana - prasarana perhubungan
dan infrastuktur pedesaan). Akses sosial (preferensi terhadap jenis
pangan, pendidikan dan tidak adanya konflik, perang dan bencana
alam) (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Akses ekonomi sangat tergantung terhadap pendapatan,
kesempatan kerja dan harga pangan. Harga pangan yang tinggi,
kesempatan kerja menurun dan pendapatan yang rendah, akan
mempersulit akses seseorang terhadap makanan. Berbeda jika
akses ekonomi sudah terpenuhi, namun akses fisik (sarana dan
prasarana perhubungan serta infrastruktur) dalam pedesaan yang
kurang mendukung. Sehingga, hal ini juga mempersulit seseorang
dalam akses terhadap makanannya. Ketika akses ekonomi dan
akses fisik sudah baik namun akses sosial buruk (sedang terjadi
perang atau bencana alam) maka akses terhadap makanan akan
tetap sulit.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa akses ekonomi, akses
fisik dan akses sosial merupakan 3 hal yang saling berkaitan.
Ketiga hal tersebut merupakan hal penting yang harus terpenuhi
untuk memudahkan seseorang dalam akses panganya.
Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan
protein dengan pendapatan per kapita dengan nilai p = 0,014
(Khomsan dkk., 2013). Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka
semakin tinggi pula asupan protein anak balita (Khomsan dkk.,
2013). Selain itu, semakin banyaknya preferensi terhadap
keanekaragaman pangan, maka semakin meningkat pula ketahanan
pangan. Pada akhirnya, hal tersebut akan mengatasi kerawanan
pangan baik pada individu, rumah tangga atau pada kelompok
masyarakat (Khomsan dkk., 2013).
4. Pola Asuh Anak
Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu
dan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya
interaksi ibu dan anak, maka semakin baik pula kualitas dan
kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak. Hal tersebut karena
pola asuh merupakan indikator atas peran ibu dalam mengasuh
anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga, pola asuh
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau
terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Kasih sayang merupakan kebutuhan dasar untuk menunjang
pertumbuhan yang sempurna dalam tahap tumbuh kembang anak.
Hal ini dapat terwujud melalui kehadiran seorang ibu. Kontak fisik
antara ibu dan anak (menyusui segera setelah melahirkan anak)
menciptakan rasa aman bagi bayi dan menciptakan ikatan erat
antara ibu dan bayi (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh terkait
praktek pemberian makan dengan kejadian stunting dengan nilai p
= 0,001. Hal ini menggambarkan bahwa ibu yang memperhatikan
pemberian, persiapan dan penyimpanan makanan anak, lebih
banyak memiliki anak yang mengalami pertumbuhan panjang
badan normal (Renyoet dkk., 2013).
5. Pelayanan Kesehatan Dasar yang Tidak Terjangkau dan
Lingkungan Tidak Sehat.
Kemampuan seseorang dalam mencapai sarana dan
prasarana kesehatan yang memadai dan sanitasi lingkungan
merupakan penyebab tidak langsung terhadap status gizi (Marut,
2007). Seseorang yang mengalami kesulitan untuk mencapai
sarana dan prasarana kesehatan yang memadai akan cenderung
tidak menggunakan fasilitas yang tersedia (Marut, 2007).
Ada hubungan yang signifikan antara ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita
dengan nilai p < 0,001. Hal ini menggambarkan anak balita yang
memiliki status gizi baik lebih banyak dimiliki oleh ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan (Hidayat dan Jahari, 2012).
Selain itu, ada hubungan yang signifikan antara ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan angka kesakitan anak
(morbiditas) dengan p < 0,001. Artinya, ada perbedaan yang nyata
terhadap angka kesakitan pada bayi lebih tinggi terjadi pada ibu
yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan ibu yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan (Hidayat dan Jahari, 2012).
Lingkungan yang tidak mendapatkan sanitasi yang baik
akan berisiko tinggi untuk menyebabkan penyakit infeksi seperti
diare, cacingan dan lain-lain (Marut, 2007). Air, jamban dan jenis
alas rumah/lantai merupakan bagian dari lingkungan yang dapat
menimbulkan diare. Sumber air yang banyak digunakan di
Indonesia adalah sumber air sumur dan sumber air PDAM. Sumber
air yang diminum memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian diare dengan OR 1,389. Artinya, balita yang meminum air
dari sumber air sumur akan memiliki risiko 1,389 kali lebih besar
untuk terkena diare jika dibandingkan dengan balita yang minum
air sumber PDAM (Pradiga dkk., 2013).
Rumah tangga setidaknya harus memiliki 1 buah jamban
yang harus memenuhi syarat layak pakai. Ada hubungan yang
signifikan antara kepemilikan jamban rumah tangga yang
memenuhi syarat dengan OR 4,339. Artinya, rumah tangga yang
tidak memiliki jamban atau memiliki jamban namun tidak
memenuhi syarat akan berisiko 4,339 kali lebih besar untuk
mengalami diare jika dibandingkan dengan rumah tangga yang
memilik jamban dan jamban memenuhi syarat (Pradiga dkk.,
2013).
6. Pendapatan Pendidikan Pengetahuan Ibu terkait Gizi dan
banyaknya Jumlah Anggota Keluarga
Pendapatan, pendidikan, pengetahuan ibu dan banyaknya
jumlah anggota keluarga merupakan faktor tidak langsung yang
berkontribusi dalam manifestasi masalah gizi. Akibat keadaan
ekonomi, kemampuan manusia (pengetahuan dan banyaknya
jumlah anggota keluarga) dapat mempengaruhi seseorang dalam
mengambil keputusan dan berperilaku, berikut penjelasannya:
a) Pendapatan
Ketersediaan kebutuhan rumah tangga tergantung dari
pendapatan rumah tangga (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Selain itu, pendapatan rumah tangga juga menentukan jenis
pangan yang dibeli. Contoh, seseorang yang memiliki
pendapatan rumah tangga yang rendah akan cenderung
membelanjakan jenis makanan serelia seperti beras, jagung dll.
Sedangkan seseorang yang memiliki pendapatan rumah tangga
yang tinggi akan cenderung membelanjakan makanan jenis
susu dan olahannya (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Secara tidak langsung, pendapatan dan status gizi memiliki
hubungan yang erat dan bersifat universal pada seluruh
keluarga yang memperhatikan status gizi dalam rumah
tangganya (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Diketahui bahwa
ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan status
gizi buruk ( P = 0,026) dengan nilai OR = 0,364. Artinya
adalah reponden yang memiliki pendapatan rendah akan
berisiko 0,364 kali lebih besar untuk memiliki balita berstatus
gizi buruk jika dibandingkan dengan responden yang memiliki
pendapatan tinggi (Pratama dan Zain, 2012).
b) Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu
Pola fikir seseorrang yang menjalankan pendidikan baik
formal maupun non formal diharapkan lebih baik dibandingkan
dengan seseorang yang tidak berpendidikan dalam berperilaku.
Pendidikan yang baik yaitu dengan mengajarkan pengertian
dan pengetahuan tentang alasan kenapa sesuatu hal tersebut
harus dilakukan, diharapkan dapat mengubah perilaku
seseorang. Sehingga ia memiliki keinginan untuk melakukan
hal tersebut (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Pemberian pengetahun gizi pada seseorang dalam sebuah
keluarga bertujuan untuk dapat menghindari perilaku perilaku
yang dapat merugikan asupan gizi, hingga akhirnya mengalami
gizi kurang (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Jika seseorang memiliki pengetahuan tentang gizi yang
cukup, maka meningkat pengetahuan tentang kebutuhan zat
gizi. Sehingga diperkirakan dapat memiliki kemampuan untuk
menyusun menu yang memenuhi kebutuhan zat gizi untuk
dirinya.
Kebiasaan makan suatu keluarga biasanya diatur oleh ibu.
Oleh sebab itu, ibu diharapkan memiliki pendidikan yang
tinggi dan pengetahuan dasar tentang gizi seperti penyusunan
menu yang baik, kebersihan bahan makanan, pengolahan bahan
makanan dan lain sebagainya (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Pendidikan gizi dapat dilakukan melalui teladan dengan
memberikan contoh sederhana kepada peserta didik (Adriani
dan Wijatmadi, 2012).
Pengetahuan ibu terhadap kejadian gizi buruk memiliki
hubungan yang signifikan ( P = 0,019) dengan OR = 1,6.
Artinya anak yang memiliki ibu berpengatahuan gizi yang
rendah akan memiliki risiko 1,61 kali lebih besar untuk
mengalami gizi buruk jika dibandingkan dengan anak yang
memiliki ibu berpendidikan gizi yang tinggi (Pratama dan Zain,
2012).
c) Jumlah Anak Dalam Keluarga
Jumlah banyaknya anak dalam satu keluarga dapat
mempengaruhi kecukupan asupan setiap anggota keluarga.
Terutama pada keluarga yang berada dalam kondisi ekonomi
kurang. Anak yang sedang dalam masa pertumbuhan
membutuhkan asupan makanan yang cukup, selain asupan
makanan mereka juga sangat membutuhkan perhatian dan
stimulus untuk membantu perkembangan otaknya (Candra,
2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Candra di Semarang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
hubungan banyaknya jumlah anak > 2 dengan kejadian stunting
dengan nilai p = 0,002 (Candra, 2011). Artinya, keluarga
dengan jumlah anak yang lebih banyak dari 2 anak, akan
mempengaruhi status gizi anak dalam rumah tersebut.
7. Krisis Ekonomi Sosial Dan Politik
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997,
menyebabkan fluktuasi jumlah penduduk miskin. Kemiskinan
merupakan faktor sosial ekonomi yang menjadi faktor dasar dalam
masalah gizi kurang di Indonesia (SMERU dkk., 2010).
Kemiskinan membuat akses terhadap pendidikan, pelayanan
kesehatan, pekerjaan, perlindungan keluarga dan pelayanan publik
berkurang (Marut, 2007). Ketika seseorang berhadapan diantara
kemiskinan dan kesehatan, maka ia cenderung untuk menghindari
pelayanan kesehatan RS dan memilih pelayanan kesehatan lokal
yang cenderung berbahaya (Suryawati, 2005).
Selanjutnya, krisis ekonomi menyebakan kenaikan harga
kebutuhan bahan pokok. Meningkatnya harga kebutuhan pokok
yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan
mempengaruhi ketahanan pangan di masyarakat (Adriani dan
Wijatmadi, 2012).
Undang Undang Dasar No 7 tahun 1996 mendefinisikan
ketahanan pangan merupakan keadaan terpenuhinya kebutuhan
pangan secara cukup, baik, jumlahnya merata, bermutu dan
terjangkau pada setiap rumah tangga (Adriani dan Wijatmadi,
2012). Ketahanan pangan erat kaitannya dengan pola konsumsi
makan dalam rumah tangga (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Menurunnya ketahanan pangan, akan menyebabkan pola makan
yang tidak memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Sehingga dapat
disimpulkan, seseorang yang mengalami kemiskinan, akan
mengalami penurunan dalam ketahanan pangannya, yang akhirnya
mempengaruhi asupan zat gizinya.
Perubahan masa pemerintahan, membuat perubahan pada
penetapan peraturan sistem yang ada. Sehingga terjadi perubahan
nilai nilai sosial dan sistim politik yang berlaku. Sebagai contoh,
pada masa penjajahan Belanda pemerintahan Belanda sangat
memperhatikan pentingnya masalah beras. Pemerintahan Belanda
melakukan perdagangan antar provinsi, agar Provinsi diluar jawa
yang mengalami defisit beras memperoleh tambahan beras.
Namun Berbeda dengan Jepang, setelah Belanda menyerah
terhadap Jepang, pemerintahan Jepang lebih mementingkan
ketersedian beras untuk para tentara Jepang dibandingkan untuk
masyarakat Indonesia (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Berdasarkan
deskripsi tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintahan memiliki
kendali dalam pengaturan kebutuhan pangan.
C. Argumentasi Jenis Analisis Data
Dalam penelitian ini dilakukan analisis univariat dan bivariat.
Pemilihan uji analisis tergantung pada jenis data yang dikumpulan dalam
penelitian ini. Data yang dimaksud merupakan data tipe numerik dan
kategorik. Beberapa variabel penelitian, merupakan variabel faktor risiko
tidak langsung terhadap variabel endogen (stunting) yang diteliti dalam
penelitian ini seperti pola asuh, pengetahuan ibu, pendidikan ibu,
pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga sehingga uji analisis
untuk analisis bivariat adalah uji Partial Least Square (PLS).
Partial Least Square merupakan salah satu metoda analisis data
yang tergabung dalam model persamaan struktural (structural equation
modeling). Structural Equation Modelling atau SEM merupakan teknik
analisis yang dapat menggambarkan konsep model variabel tidak
langsung dengan melakukan analisis jalur dengan variabel tidak
langsung.
Kelebihan dari uji PLS adalah uji ini dapat menjelaskan hubungan
antara variabel tidak langsung dengan mengunakan sampel yang kecil.
Selain itu PLS juga merupakan metoda analisis yang tidak
mengharuskan data berdistribusi normal (Latan dan Ghozali, 2012b).
Analisis PLS memiliki tujuan untuk memperediksi, sehingga dalam
sistemnya PLS secara langsung juga melakukan analisis multivariat.
Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan analisis
multivarian (Latan dan Ghozali, 2012b).
2.1 Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori
UNICEF Strategi for Improved of Children and Woman in Developing Countries A polcy
New York, 1990 dalam (SMERU dkk., 2010) dan adopsi dari (Ernawati, 2006)
! " # $ % & ' ( & ' ) * $ + & ',
- " . & / & ' & ' ! " * " 0 & 1 & '2 & * & % / & ' ( 1 2 & #1 " % 3 & ' ( # & $ 2 & '4 ' ( # $ ' ( & ' 1 2 & # * " 0 & 1) # * " * - & ' ( & ' / & ' (1 2 & # 1 " % 3 & ' ( # & $5 " ' 2 & 0 ' / & + " ' 2 2 # & ' 6 + " ' 2 & + & 1 & ' 6+ " ' ( " 1 & 0 $ & ' 7 $ 2 & ' 7 & ' / & # ' / & 3 $ 8 . & 0& ' ( ( 9 1 & # " . $ & % ( &! % * * : # 9 ' 9 8 ; 9 * & . 2 & '+ 9 . 1 #
- 9 . & & * $ 0& ' & # < < = > ? >
- 9 # 9 # @ & * & . & 0A & * & % @ & * & . & 0
A & 8 + & #
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori pada bab II, ada beberapa variabel dalam kerangka teori
yang tidak diteliti oleh peneliti, berikut gambaran keterbatasan peneliti terkait tidak
meneliti semua variabel dalam kerangka teori.
1. Variabel akses pangan pelayanan kesehatan dan lingkungan tidak sehat
merupakan variabel yang di maching atau di kontrol dalam penelitian ini.
2. Arah panah antara asupan makanan dan penyakit infeksi tidak diteliti karena
penyakit infeksi yang menyebabkan gizi kurang semua berawal menyebabkan
asupan makan menurun terlebih dahulu. Sehingga hal ini dianggap data homogen.
3. Variabel krisis ekonomi tidak diteliti karena penelitian dilakukan dalam satu
negara yang sama, sehingga krisis ekonomi yang terjadi tidak ada perbedaan.
4. Variabel eksogen yang terdiri dari pendapatan keluarga, pendidikan ibu,
pengetahuan gizi ibu dan jumlah anak hanya dilihat dalam univariat, hal ini
disebabkan karena variabel tersebut terlampau jauh untuk dilihat berhubungan
langsung terhadap variabel endogen.
Berikut kerangka konsep dalam penelitian tentang Faktor Faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting anak sekolah dasar pada siswa / siswi
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah, Haurgeulis Indaramayu tahun 2015.
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
B ' C " # * A & % " 2 & 'B ; - )D E F G H I G E E J E K- " ' 2 & + & 1 & ' 6+ " ' 2 2 # & ' 7 $ 6+ " ' ( " 1 & 0 $ & ' ( L 7 $2 & ' 3 $ 8 . & 0 & ' ( ( 9 1 " . $ & % & ( &
: # * 9 ( " '
M & # 1 9 % 4 & ' ( * $ ' (M & # 1 9 % N 2 & # 4 & ' ( * $ ' (
O F P E F J E K ) ' & #; " # 9 . & 0: ' 2 9 ( " ') * $ + & ' : ' " % ( 6 Q R S = T D E F G H I G E E J E K- 9 . & ) * $ 0 ) ' & #: # * 9 ( " '
U VB. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional, Cara Ukur, Alat Ukur, Hasil Ukur dan Skala.
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Stunting Anak
sekolah
Z-score responden berdasrkan perhitungan tinggi
badan sesuai usia dengan aplikasi AntrhoPlus
WHO
Antropometri Microtoise SD dan
0 : jika Z-score < - 2
SD
1 : jika Z-score > - 2
SD
Rasio
dan
Ordinal
2. Asupan
Energi
Nilai hasil jumlah asupan energi responden,
dihitung dari 3 kali hasil recall dan record yang
terdiri dari 2 hari sekolah dan 1 hari libur
Wawancara Food recall 3 X 24 jam
dan Food Record 3 hari
Kkal Rasio
3. Asupan
Protein
Nilai hasil jumlah asupan protein responden,
dihitung dari 3 kali hasil recall dan record yang
terdiri dari 2 hari sekolah dan 1 hari libur
Wawancara Food recall 3 X 24 jam
dan Food Record 3 hari
Gr Rasio
4. Asupan
Lemak
Nilai hasil jumlah asupan lemak responden,
dihitung dari 3 kali hasil recall dan record yang
terdiri dari 2 hari sekolah dan 1 hari libur
Wawancara Food recall 3 X 24 jam
dan Food Record 3 hari
Gr
Rasio
5. Penyakit
Infeksi
Merupakan riwayat penyakit berdasarkan
pemeriksaan dokter. Riwayat penyakit ini adalah
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan di