faktor yang memengaruhi balita terhadap penyakit …
TRANSCRIPT
i
FAKTOR YANG MEMENGARUHI BALITA TERHADAP
PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
TESIS
OLEH :
RAHMAN SABRI
1602011153
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
2
FAKTOR YANG MEMENGARUHI BALITA TERHADAP
PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memeroleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M)
dalam Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kebijakan Manajemen Dan Pelayanan Kesehatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Helvetia Medan
Oleh:
RAHMAN SABRI
1602011153
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
3
4
Telah Diuji pada Tanggal 04 November 2019
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Dr. H. Ismail Efendy, M.Si
Anggota : 1. Nur Aini, S.Pd., M.Kes
2. Dr. Mappeaty Nyorong, M.P.H
3. Rapida Saragih, S.K.M., M.Kes
5
6
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI
Sebagai sivitas akademika Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan
Helvetia Medan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rahman Sabri
Nim : 1602011153
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non
Exclusive Royalty Freeb Right) atas tesis saya yang berjudul :
FAKTOR YANG MEMENGARUHI BALITA TERHADAP PENYAKIT
ISPA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia Medan
berhak menyimpan, mengalih media format, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (Database), merawat dan mempublikasi tesis saya tanpa meminta izin dari
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis, pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian persyaratan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : 04 November 2019
Yang menyatakan,
(Rahman Sabri)
i
ii
ABSTRAK
FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGGINYA PENYAKIT ISPA PADA
BALITA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
RAHMAN SABRI
NIM. 1602011153
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit
menular dan penyebab kematian yang paling banyak terjadi pada anak di Negara
berkembang. Berdasarkan survei awal peneliti yang dilakukan ditemukan bahwa
jumlah penyakit ISPA pada balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen bulan
November tahun 2018 berjumlah 48 balita. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui faktor yang memengaruhi tingginya penyakit ISPA pada balita.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 218 ibu balita dan sampel yang
diambil dengan cara random sampling sebanyak 69 orang. Metode pengumpulan
data yaitu data primer dan data sekunder. Analisa data yang digunakan yaitu uji
regresi binary logistic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan memiliki sig-p 0,016 <
0,05, sikap memiliki sig-p 0,610 > 0,05, pemberian ASI Eksklusif memiliki sig-p
0,004 < 0,05, memiliki ventilasi sig-p 0,040 < 0,05 dan kepadatan hunian
memiliki sig-p 0,014 < 0,05.
Kesimpulan dalam penelitian ini ada pengaruh pengetahuan, pemberian ASI
eksklusif, ventilasi dan kepadatan hunian terhadap tingginya penyakit ISPA pada
balita, sedangan sikap tidak memiliki pengaruh terhadap tingginya penyakit ISPA
pada balita. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
penjelasan dan bahan masukan bagi Puskesmas untuk meningkatkan pemberian
informasi kepada ibu serta masyarakat berupa penyuluhan atu promosi kesehatan
agar masyarakat dapat lebih memperbaiki perilakunya dalam melakukan
pencegahan ISPA.
Kata Kunci : Faktor yang Memengaruhi, Tingginya Penyakit ISPA
Daftar Pustaka : 22 Buku + 43 Jurnal (1974-2019)
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Faktor yang Memengaruhi Tingginya Penyakit ISPA pada Balita di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara”.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M.) pada Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan
berbagai pihak, baik dukungan moril, materil dan sumbangan pemikiran. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc., M.Kes, selaku Pembina Yayasan
Helvetia Medan.
2. Iman Muhammad, SE., S.Kom., M.M., M.Kes, selaku Ketua Yayasan
Helvetia Medan.
3. Dr. H. Ismail Efendy, M.Si, selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia,
sekaligus Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan memberikan
pemikiran dalam membimbing penulis selama penyusunan Tesis ini.
4. Dr. Asriwati, S.Kep., Ns., S.Pd., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia.
5. Anto, SKM., M.Kes., M.M, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia.
6. Nur Aini, S.Pd., M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam membimbing penulis
selama penyusunan Tesis ini.
7. Dr. Mappeaty Nyorong, M.P.H, selaku Dosen Penguji I yang telah
meluangkan waktu dalam memberikan arahan dan masukan dalam
penyempurnaan Tesis ini.
8. Rapida Saragih, S.K.M., M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan Tesis ini.
iv
9. Seluruh Dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah
mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
10. Teristimewa penulis mengucapkan untuk Ayahanda, Ibunda, dan Keluarga
besar yang tak pernah berhenti mendoakanku dan selalu memberikan
dukungan baik materi maupun spiritual, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis ini.
11. Terima kasih Kepada orang tercinta Pitri Rahmawati yang telah mengerti,
perhatian, mendukung, mendoakan, membantu, menghibur selama
menyelesaikan Tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan Tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan Hidayah-Nya atas segala
kebaikan yang telah diberikan.
Medan, 04 November 2019
Rahman Sabri
1602011153
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis bernama Rahman Sabri yang dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1995
di Kutacane dari Orang tua Jun Harman dan Asniati. Penulis beragama Islam. Saat
ini Penulis tinggal di Desa Deleng Megakhe, Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh
Tenggara, Provinsi Aceh bersama keluarga.
Penulis menyelesaikan Pendidikan di SD Negeri 5 Kutacane pada tahun
2006. Pada Tahun 2009 Penulis menamatkan Sekolah di SMP Negeri 1 Badar,
pada tahun 2012 penulis menamatkan Sekolah di SMA Negeri 1 Badar, pada
tahun 2016 Penulis menamatkan S1 Kesehatan Masayarakat di Institut Kesehatan
Helvetia. Pada Tahun 2016 hingga sekarang Penulis mengambil pendidikan S2
Kesehatan Masyarakat di Institut Kesehatan Helvetia.
Penulis juga memiliki riwayat pekerjaan sebagai Tenaga Honorer di Balai
Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah
Sumatera sampai saat ini.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRACT ..................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
1.4.1. Manfaat Teoritis ........................................................... 9
1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ..................................................... 10
2.2. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................. 18
2.2.1. Definisi ISPA ............................................................... 18
2.2.2. Etiologi ISPA ............................................................... 19
2.2.3. Klasifikasi ISPA ........................................................... 19
2.2.4. Tanda-Tanda Penyakit ISPA ........................................ 20
2.2.5. Penatalaksanaan dan Penobatan ISPA ......................... 21
2.2.6. Penularan ISPA Dilihat dari Kondisi Fisik Rumah...... 22
2.2.7. Pencegahan dan Pemberantasan ISPA ......................... 23
2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pencegahan ISPA.............. 24
2.3.1. Pengetahuan .................................................................. 24
2.3.2. Sikap (Attitude) ............................................................. 31
2.3.3. Ventilasi Rumah ........................................................... 33
2.3.4. Kepadatan Hunian Rumah ............................................ 36
2.3.5. Pemberian ASI Eksklusif .............................................. 41
2.4. Landasan Teori ........................................................................ 42
2.5. Kerangka Teori ........................................................................ 44
2.6. Kerangka Konsep .................................................................... 44
2.7. Hipotesis Penelitian .................................................................. 45
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 46
3.1. Desain Penelitian ..................................................................... 46
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 46
vii
3.2.1. Lokasi Penelitian .......................................................... 46
3.2.2. Waktu Penelitian ........................................................... 46
3.3. Populasi dan Sampel ............................................................... 47
3.3.1. Populasi ........................................................................ 47
3.3.2. Sampel .......................................................................... 47
3.4. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 48
3.4.1. Jenis Data ...................................................................... 48
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 48
3.4.3. Uji Reliabilitas dan Reliabilitas .................................... 48
3.5. Variabel dan Definisi Operasional .......................................... 52
3.6. Metode Pengukuran ................................................................. 54
3.7. Metode Pengolahan Data ........................................................ 56
3.8. Analisis Data ............................................................................ 57
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 59
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................ 59
4.1.1. Demografi ..................................................................... 60
4.1.2. Visi dan Misi Puskesmas Deleng Pokhkisen .................. 61
4.2. Hasil Penelitian ........................................................................ 61
4.2.1. Analisis Univariat ......................................................... 61
4.2.2. Analisis Bivariat ........................................................... 68
4.2.3. Analisis Multivariat ...................................................... 72
BAB V PEMBAHASAN .............................................................................. 77
5.1. Pembahasan Penelitian ............................................................. 77
3.1.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Tingginya Penyakit
ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2018 ....................... 77
3.1.2 Pengaruh Sikap terhadap Tingginya Penyakit ISPA
pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2018 ....................... 80
3.1.3 Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap
Tingginya Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara Tahun
2018 .............................................................................. 85
3.1.4 Pengaruh Ventilasi terhadap Tingginya Penyakit
ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2018 ....................... 89
3.1.5 Pengaruh Kepadatan Hunian terhadap Tingginya
Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2018...... 94
5.2. Implikasi Penelitian .................................................................. 99
5.3. Keterbatasan Penelitian ............................................................ 100
viii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 101
6.1. Kesimpulan .............................................................................. 101
6.2. Saran ......................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pengetahuan ..................................... 49
3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Sikap ................................................. 50
3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Ventilasi ............................................ 50
3.4. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kepadatan Hunian ............................ 50
3.5. Hasil Uji Reliabilitas ....................................................................... 51
3.6. Aspek Pengukuran ........................................................................... 55
4.1. Distribusi Karakteristik Responden di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara ............................................. 61
4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Berdasarkan Pengetahuan
Responden di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara .......................................................................................... 62
4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Responden di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara .............. 63
4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Sikap di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara .............. 64
4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap Responden di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara ................................ 65
4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara .............. 65
4.7. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Keadaan
Ventilasi di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara .......................................................................................... 66
4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Keadaan Ventilasi di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara .............. 66
4.9. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Kepadatan
Hunian di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara .......................................................................................... 67
x
4.10. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara .............. 67
4.11. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingginya Penyakit ISPA pada
Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara .......................................................................................... 68
4.12. Tabulasi Silang Hubungan Pengetahuan dengan Tingginya
Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara .............................................................. 68
4.13. Tabulasi Silang Hubungan Sikap dengan Tingginya Penyakit
ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten
Aceh Tenggara ................................................................................. 69
4.14. Tabulasi Silang Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan
Tingginya Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara ............................................. 70
4.15. Tabulasi Silang Hubungan Keadaan Ventilasi dengan Tingginya
Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara .............................................................. 70
4.16. Tabulasi Silang Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tingginya
Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara .............................................................. 71
4.17. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik Tahap I ............................... 73
4.18. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik Tahap II .............................. 73
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1. Kerangka Teori .............................................................................. 44
2.2. Kerangka Konsep .......................................................................... 45
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1 : Kuesioner .................................................................................. 109
2 : Master Tabel Uji Validitas ........................................................ 112
3 : Master Tabel Penelitian ............................................................ 115
4 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .......................................... 118
5 : Output SPSS ............................................................................. 124
6 : Lembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) ................................... 137
7 : Surat Izin Survei Awal dari Institut Kesehatan Helvetia ............ 138
8 : Surat Balasan Izin Survei Awal ................................................. 139
9 : Surat Izin Uji Validitas dari Institut Kesehatan Helvetia ........... 140
10 : Surat Balasan Uji Validitas ........................................................ 141
11 : Surat Izin Penelitian dari Institut Kesehatan Helvetia ................ 142
12 : Surat Balasan Izin Selesai Penelitian ........................................ 143
13 : Lembar Bimbingan Tesis 1 ....................................................... 144
14 : Lembar Bimbingan Tesis 2 ....................................................... 145
15 : Dokumentasi Penelitian ............................................................ 146
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hidup sehat merupakan hak yang di miliki oleh setiap manusia yang ada di
dunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Untuk
dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator,
salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Pemecahan masalah
kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tetapi
harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah kesehatan
tersebut (1).
Permasalahan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
cenderung meningkat dalam beberapa decade terakhir baik secara global maupun
nasional. ISPA telah menjadi pembunuh utama balita di dunia. Penyakit ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di Negara maju maupun di negara-
negara sedang berkembang. Kesuksesan pencegahan dan pengendalian ISPA
sangat tergantung pada kinerja fasilitas pelayanan kesehatan yang didukung oleh
sumber daya yang cukup, tenaga kesehatan yang berkomitmen serta strategi dan
kebijakan yang dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif dan
berkesinambungan. Upaya penanggulangan ISPA memerlukan upaya bersama
secara lintas unit kerja di Kementerian Kesehatan, lintas sektor terkait yang
didukung dengan keterlibatan masyarakat, termasuk akademisi, profesional dan
dunia usaha, dengan dukungan politis. Penanggulangan masalah ini perlu
2
dilakukan secara komprehensif mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif (2).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit
menular dan penyebab kematian yang paling banyak terjadi pada anak di Negara
berkembang. Infeksi saluran pernapasan ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan
kematian pada anak berusia di bawah lima tahun pada stiap tahunnya sebanyak
dua pertiga kematian tersebut adalah bayi. Pneumonia merupakan penyebab
utama kematian balita di dunia. Penyakit ini menyumbang 16% dari seluruh
kematian anak di bawah 5 tahun, yang menyebabkan kematian pada 920.136
balita, atau lebih dari 2.500 per hari, atau di perkirakan 2 anak Balita meninggal
setiap menit pada tahun 2015. Menurut World Health Organization (WHO)
insiden ISPA di negara seperti Amerika, Afrika dan negara di benua Asia pada
tahun 2016 diperkirakan terjadi kematian di atas 40 per 1000 kelahiran hidup
adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita (1).
Menurut Kementerian Kesehtan Republik Indonesia (Kemenkes, RI) tahun
2017 berdasarkan data Laporan Rutin Subdit ISPA, didapatkan insiden (per 1000
balita) di Indonesia sebesar 20,54. Sampai dengan tahun 2014, angka cakupan
penemuan pneumonia balita tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar
antara 20%-30%. Peningkatan cakupan pada tahun 2015-2017 dikarenakan
adanya perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, selain itu ada
peningkatan dalam kelengkapan pelaporan dari 91,91% pada tahun 2015 menjadi
94,12% pada tahun 2016 dan 97,30% pada tahun 2017. Pada tahun 2017 terdapat
dua provinsi yang cakupan penemuan pneumonia balita sudah mencapai target
3
yaitu DKI Jakarta 98,54% dan Kalimantan Utara 81,39%, sedang provinsi yang
lain masih di bawah target 80%, capaian terendah di provinsi Papua 0,60% (3).
Sejak tahun 2015 indikator Renstra yang digunakan adalah persentase
Kabupaten/Kota yang 50% puskesmasnya melakukan pemeriksaan dan
tatalaksana standar pneumonia baik melalui pendekatan MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit), maupun program P2 ISPA. Pada tahun 2015 tercapai
14,62% sedangkan target sebesar 20%, tahun 2016 tercapai 28,07% dari target
30%, tahun 2017 tercapai 42,6% dari target 40%. Tercapainya target pada tahun
2017 selain karena penerapan tatalaksana standar pneumonia di puskesmas sudah
dilaksanakan, juga meningkatnya partisipasi puskesmas dalam melaksanakan
pelaporan sesuai format yang sudah ditetapkan. Angka kematian akibat
pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar 0,22% pada tahun 2017 menjadi
0,34%. Pada tahun 2017, Angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi
lebih tinggi yaitu sebesar 0,56% dibandingkan pada kelompok anak umur 1-4
tahun sebesar 0,23% (3).
Menurut profil kesehatan Provinsi Aceh tahun 2017 populasi yang rentan
terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih
dari 65 tahun dan orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan
imunologi). Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini
yaitu dengan meningkatkan penemuan pneumonia pada balita. Perkiraan kasus
pneumonia pada balita sebesar 10 % dari jumlah balita di wilayah Aceh yaitu
sebanyak 45.280 kasus. Cakupan penemuan pneumonia pada balita tahun 2017
sebesar 6 % (2.779 kasus) (4).
4
Infeksi pada sistem pernapasan dideskripsikan sesuai dengan areanya.
Pernapasan atau saluran pernapasan atas yang meliputi hidung dan faring. Sistem
pernafasan bawah meliputi bronkus, bronkeulus dan alveolus. Infeksi pernapasan
menyebar dari satu struktur kestruktur lain karena terhimpitnya membrane mucus
yang membentuk garis lurus pada seluruh sistem. Akibatnya infeksi sistem
pernapasan meliputi beberapa area dari pada struktur tunggal, walaupun efeknya
berpengaruh pada banyak penyakit (2).
ISPA bisa menyebabkan komplikasi atau penyulit, dimana ISPA bisa
masuk ke telinga sehingga menimbulkan radang telinga bagian tengah (otitis
media), yaitu keluarnya cairan serupa nanah keluar dari telinga. Selain itu
penderita juga beresiko menderita sinusitis atau infeksi dari rongga pipi, bahkan
ketika ISPA turun kebawah penderita bisa mengalami bronkhitis atau bahkan
bronko pneumonia. Bukan hanya infeksi di saluran paru tapi juga ke jaringan
paru. Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan , dan
angka kematian yang cukup tinggi, maka penyakit ISPA perlu penanganan yang
terpadu, terarah yang ditujukan pada perbaikan mutu lingkungan atau keadaan
perumahan serta penatalaksanaan penderita pada Puskesmas/Rumah sakit. Dengan
mengingat angka kesakitan dan angka kematian dari penyakit ISPA yang cukup
tinggi sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang lebih tinggi
baik dari masyarakat maupun petugas, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan (2).
Kematian akibat ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA
yang berat, karena infeksi telah menyerang paru-paru. Kondisi ISPA ringan
5
dengan flu dan batuk biasa sering diabaikan, akibatnya jika daya tahan tubuh anak
lemah penyakit tersebut akan dengan cepat menyebar ke paru-paru. Kondisi
demikian jika tidak mendapat pengobatan dan perawatan yang baik dapat
menyebabkan kematian. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA
(5). Menurut Wantania, et al., kejadian ISPA dipengaruhi oleh agen penyebab
seperti virus dan bakteri, faktor pejamu (usia anak, jenis kelamin, status gizi,
imunisasi dan lain-lain) serta keadaan lingkungan (polusi udara dan ventilasi).
Usia anak merupakan faktor predisposisi utama yang menentukan tingkat
keparahan serta luasnya infeksi saluran nafas. Selain itu, status gizi juga berperan
dalam terjadinya suatu penyakit. Hal ini berhubungan dengan respon imunitas
seorang anak. Penyakit ISPA sering dikaitkan dengan kejadian malnutrisi dan
stunting pada anak (6).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan, baik
kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk itu Hendrik L. Blum,
menyatakan ada 4 faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat
yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor
keturunan. Keempat faktor tersebut disamping berpengaruh langsung kepada
kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan
tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama
mempunyai kondisi yang optimal pula (7).
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyakit ISPA yang terjadi pada
ibua diantaranya adalah (a) pendidikan ibu tentang kebersihan dan kesehatan,
pengetahuan ibu tentang memeliharaha kesehatan dan lingkungannya, informasi
6
yang diperoleh masyarakat dari penyuluh kesehatan tentang penyakit dan
penyebab penyakit tersebut khususnya pada penyakit ISPA, serta lingkungan
sekitar masyarakat yang tidak bersih dan membakar sampah secara sembarangan.
(8)
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo, faktor-faktor yang
merupakan penyebab perilaku menurut Green dipengaruhi oleh tiga faktor yaItu
faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap keyakinan, dan nilai, berkanaan
dengan motivasi seseorang bertindak. Faktor pemungkin atau faktor pendukung
(enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau
yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.Terakhir faktor
penguat seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain-lain. (9)
Ijana mengemukakan dalam penelitiannya tahun 2017 bahwa faktor resiko
terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita meliputi faktor
lingkungan, pemberian ASI, status ekonomi, pendidikan orang tua, umur anak,
status gizi, dan status imunisasi. Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor
lingkungan berkontribusi 11,35 kali lipat lebih tinggi terhadap kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Dinoyo Kota Malang (10).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sofia tahun 2016 banyak rumah
tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu
menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan
mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk
memasak. Asap dapur dan faktor perilaku seperti kebiasaan merokok keluarga
dalam rumah sangat berpengaruh karena asap tersebut dapat menyebabkan
7
gangguan kesehatan akibat terhirup asap rokok yang umumnya adalah anak-anak.
Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu keberadaan perokok dalam rumah dan bahan bakar
memasak (kayu) dengan perilaku pencegahan ISPA pada balita (11).
Berdasarkan survei awal peneliti yang dilakukan ditemukan bahwa jumlah
penyakit ISPA pada balita yang ada di Puskesmas Deleng Pokhkisen pada bulan
September sebanyak 20 balita, bulan Oktober 37 balita dan bulan November tahun
2018 yaitu berjumlah 48 balita, dan setelah dilakukan wawancara langsung
kepada 10 orang ibu, 6 orang ibu yang memiliki balita diantaranya mengalami
ISPA sedangkan 4 orang lainnya tidak mengalami ISPA. Tingginya kejadian
ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Deleng Pokhkisen terjadi dikarenakan
kurangnya pengetahuan ibu dalam melakukan pencegahan ISPA, banyak ibu
hanya mengetahui apa itu penyakit ISPA, namun tidak mengetahui bahaya,
dampak dan cara pencegahannya seperti tidak memberikan ASI Eksklusif 0-6
bulan, tidak memberikan imunisasi secara lengkap dan tidak menjauhkan balita
dari keluarga yang merokok.
Selain itu apabila dilakukan penyuluhan oleh tenaga kesehatan para ibu
tidak secara aktif mendengarkan dan cenderung bereaksi negatif seperti mereka
hanya menganggap informasi diberikan sudah sering dilakukan dan masyarakat
merasa mereka sudah lebih paham dalam melakukan pencegahan penyakit ISPA.
Kondisi lingkungan rumah juga menjadi salah satu penyebab tingginya penyakit
ISPA di wilayah kerja Puskesmas Deleng Pokhkisen dimana banyak rumah yang
tidak memiliki ventilasi sesuai dengan syarat rumah sehat dan banyak rumah yang
8
memiliki kepadatan hunian yang menyebabkan udara di dalam rumah menjadi
panas dan udara tidak dapat besirkulasi dengan baik.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Faktor yang Memengaruhi Balita terhadap Penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah
pada penelitian ini adalah faktor apa saja yang memengaruhi balita terhadap
penyakit ISPA di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor apa saja
yang memengaruhi balita terhadap penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
1.3.2. Tujuuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh faktor pengetahuan terhadap penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor sikap terhadap penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
3. Untuk mengetahui pengaruh faktor pemberian ASI Eksklusif terhadap
penyakit ISPA di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
9
4. Untuk mengetahui pengaruh faktor keadaan ventilasi terhadap penyakit ISPA
di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
5. Untuk mengetahui pengaruh faktor jumlah hunian terhadap penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Menambah informasi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
dalam ilmu kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan penerapan perilaku
masyarakat dalam pencegahan penyakit ISPA.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi dibidang ilmu kesehatan masyarakat
yang berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA pada
balita.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Informasi yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang jelas dan masukan kepada masyarakat dan orang tua tentang
pencegahan ISPA yang baik sehingga menjadikan ilmu untuk perbaikan
kesehatan masyarakat terutama yang berkaitan dengan perilaku kesehatan.
2. Sebagai salah satu sumber penjelasan dan bahan masukan bagi Puskesmas
Deleng Pokhkisen untuk meningkatkan pemberian informasi kepada ibu serta
masyarakat berupa penyuluhan atu promosi kesehatan agar masyarakat dapat
lebih memperbaiki perilakunya dalam melakukan pencegahan ISPA sehingga
kejadian penyakit ISPA pada balita dapat diturunkan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Mahmud tahun 2010, tentang Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di
Wilayah kerja Puskesmas Manipi Kecamatan Sinjai barat Kabupaten Sinjai Tahun
2010, menunjukkan bahwa ada hubungan antara Merokok dalam rumah dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita, ada hubungan antara Ventilasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita, ada hubungan antara kamarisasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita dan tidak ada hubungan penggunaan
jenis bahan bakar masak Biomass dan Kelengkapan Imunisasi dengan kejadian
penyakit ISPA pada anak balita (12).
Berdasarkan penelitian Wardhani tahun 2010, tentang Hubungan Faktor
Lingkungan, Sosial-Ekonomi, dan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Insfeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Cicadas Kota
Bandung, menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap upaya pencegahan
penyakit ISPA cukup positip. Walaupun demikian pengetahuan/pemahaman
masyarakat terutama ibu sebagai pengelola rumah tangga terhadap berbagai
penyakit tersebut relatif masih kurang. Bisa jadi hal ini yang menyebabkan masih
ada sebagian masyarakat yang mempunyai persepsi yang salah terhadap penyakit
terutama mengenai penyebab, penular, cara penularannya dan penyembuhan
penyakit (13).
10
11
Penelitian yang dilakukan oleh Layuk tahun 2012, tentang Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura‟,
menunjukkan bahwa perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah dan
penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar dalam rumah tangga berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita, sedangkan status imunisasi, BBLR dan umur
tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita (14).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Bidaya tahun 2012 tentang Hubungan
Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Perilaku Pencegahan ISPA pada Bayi di
Puskesmas Kecamatan Segedong, menunjukkan hasil bahwa ada hubungan tingkat
pengetahuan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada bayi di Puskesmas
Kecamatan Segedong dengan. Jadi dapat disimpulkan ada hubungan tingkat
pengetahuan ibu dengan perilaku pencegahan ISPA pada bayi di Puskesmas
Kecamatan Segedong. Sehingga perluk dilakukan tindakan pencegahan ISPA pada
balita dengan cara meningkatkan pengetahuan ibu dan menjaga kondisi lingkungan
balita baik lingkungan di dalam rumah maupun di luar rumah (15).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indriani Tahun 2012, tentang
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dengan Perilaku Pencegahan pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tirto II Kabupaten Pekalongan, menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat
pengetahuan ibu tentang infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dengan perilaku
pencegahan pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tirto II Kabupaten
Pekalongan (16).
12
Penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti tahun 2012 tentang Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Sekitar
Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa Kota Makassar,
menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara keadaan ventilasi rumah dengan
kejadian ISPA pada balita (p=0,002), ada hubungan antara kamarisasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,007), ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,000), tidak ada hubungan
antara kepemilikan lubang asap dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
(p=0,876), ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok
dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,032), dan ada hubungan antara
jarak rumah dari TPA dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,040) (17).
Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati tahun 2012 tentang Hubungan
Perilaku Merokok Orang Tua dengan Kejaadian ISPA pada Balita, menunjukkan
hasil bahwa nilai p value = 0.000 (< 0,05) yang berarti ada hubungan antara
perilaku merokok orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita. Dengan nilai OR
13,325 berarti balita dengan orang tua perokok mempunyai resiko 13,325 kali
terkena penyakit ISPA daripada orang tua yang bukan perokok (18).
Penelitian yang dilakukan oleh Syahidi tahun 2013 tentang Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak
Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat Kecamatan Tebet
Jakarta Selatan, menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang dilakukan uji bivariat,
variabel yang diketahui memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA
pada anak berusia 12 – 59 bulan adalah pendidikan, pengetahuan, pendapatan
13
keluarga, kepadatan hunian, perilaku merokok keluarga dalam rumah dan perilaku
merok ok keluarga di luar rumah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa yang
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Tebet Barat adalah
pendidikan dan pengetahuan pengawas anak, pendapatan keluarga, kepadatan
hunian, dan perilaku merokok anggota keluarga (19).
Penelitian yang dilakukan oleh Rahim, R tahun 2013 tentang Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit
Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu, menunjukkan hasil bahwa
terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan ibu balita tentang pencegahan
penyakit pneumonia dengan perilaku pencegahan penyakit pneumonia di wilayah
kerja Puskesmas Putri Ayu tahun 2013 (20).
Penelitian yang dilakukan oleh Meita tahun 2013, tentang Hubungan Fisik
Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita disekitar Usaha Pembuatan Batu Bata
di Desa Tanjung Mulia Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang,
menunjukkan bahwa nilai p = 0,0263 dimana lebih kecil dari nilai (∝ = 0,05)
maka dapat diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah
dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Tanjung Mulia Kecamatan Pagar
Merbau Kabupaten Deli Serdang (21).
Penelitian yang dilakukan oleh Panduu tahun 2014 tentang Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ranotana Weru Kota Manado hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu memiliki pendidikan yang
rendah, selanjutnya balita juga tidak diberikan ASI secara eksklusif dan status
14
imunisasi balita tidak lengkap. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu, ASI eksklusif (p=0,684) dan status imunisasi tidak memiliki
hubungan dengan kejadian ISPA (22).
Penelitian yang dilakukan oleh Lingga tahun 2014, tentang Hubungan
Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita dalam Keluarga Perokok
di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan
hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan olehukuran rumah yang cenderung
homogeny dan jumlah penghuni yang relatis sama (tidak lebih dari 5 orang) (23).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Krismeandari tahun 2015, tentang
Faktor Lingkungan Rumah dan Faktor Perilaku Penghuni Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sekaran,
menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar tidur balita dan
perilaku batuk anggota keluarga balita dengan kejadian ISPA pada balita. Variabel
kepadatan hunian kamar tidur balita, luas lubang sarana pembuangan asap dapur,
kebiasaan merokok anggota keluarga balita dan perilaku membakar sampah tidak ada
hubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sekaran (24).
Penelitian yang dilakukan oleh Milo, dkk tahun 2015 tentang Hubungan
Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Umur 1-
5 Tahun di Puskesmas Sario Kota Manado, menunjukkan hasil bahwa nilai p
value 0,002 dengan demikian p value <0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak
dan Ha diterima. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada anak (25).
15
Berdasarkan penelitin yang dilakukan oleh Taarelluan tahun 2016, tentang
Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Tindakan Pencegahan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Desa Tataaran 1 Kecamatan Tondano
Selatankabupaten Minahasa, menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan ISPA. Terdapat
hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Tindakan Pencegahan ISPA.
Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tindakan
pencegahan ISPA, walaupun pengetahuan yang dimiliki baik tapi bukan menjadi
jaminan mempengaruhi tindakan pencegahan ISPA dan terdapat hubungan yang
signifikan antara sikap dengan tindakan pencegahan ISPA. Perlu diadakannya
penyuluhan pada masyarakat dan di sekolah-sekolah diharapkan bisa membentuk
perilaku kesehatan kearah yang lebih baik (26).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ridwan tahun 2016, tentang Pencegahan
Primer Penyakit I nfeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Desa Ceurih
Wilayah Kerja Puskesmas Ulee Kareng Banda Aceh, menunjukkan bahwa upaya
ibu dalam pencegahan primer penyakit ISPA berada pada kategori kurang, meliputi
empat variabel yaitu kelengkapan imunisasi berada pada kategori tidak lengkap,
pemenuhan nutrisi berada pada kategori, lingkungan sehat berada pada kategori
rumah tidak sehat dan kebersihan diri balita berada pada kategori kurang (27).
Penelitian yang dilakukan oleh Fauzi tahun 2017 tetang Analisis Faktor
yang Berpengaruh terhadap Perawatan ISPA pad Balita, menunjukkan bahwa ibu
memiliki tingkat pengetahuan baik, ibu mayoritas berpendidikan tinggi, ibu
mayoritas usia dewasa awal, ibu melakukan perawatan ISPA baik. Hasil uji
16
statistik chi–square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pengetahuan ibu dengan perawatan ISPA, terdapat hubungan yang
bermakna antara pendidikan ibu dengan perawatan ISPA dan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara usia ibu dengan perawatan ISPA. Hasil analisa
regresi logistik didapatkan bahwa pengetahuan ibu dan tingkat pendidikan ibu
berpengaruh terhadap perawatan ISPA pada balita (28).
Penelitian yang dilakukan oleh Chandra tahun 2017, tentang Hubungan
Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan Upaya Pencegahan ISPA pada Balita oleh
Ibu yang Berkunjung ke Puskesmas Kelayan Timur Kota Banjarmasin,
menunjukkan bahwa responden yang tidak melakukan upaya pencegahan ISPA
dengan baik persentasenya lebih besar dibandingkan yang upaya pencegahannya
baik (67,4% berbanding 32,6%). Variabel yang berhubungan secara signifikan
dengan upaya pencegahan ISPA pada balita adalah pendidikan dan pekerjaan (29).
Penelitian yang dilakukan oleh Sumiyani tahun 2017 tentang Faktor-
Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 0-
12 Bulan di Desa Sruwen Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang,
menunjukkan bahwa dari uji Chi Square (Continuity Correction) diperoleh p-
value 0,024. Oleh karena p-value = 0,024 < α (0,05), disimpulkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada bayi
usia 0-12 bulan di Desa Sruwen Kec. Tengaran Kab. Semarang. Dari hasil uji juga
diperoleh nilai Odds ratio sebesar 4,143, ini berarti bahwa bayi dengan ventilasi
rumah tidak baik beresiko 4,143 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan
bayi dengan ventilasi rumah baik (30).
17
Penelitian yang dilakukan Safrizal tahun 2017 tentang Hubungan
Ventilasi, Lantai, Dinding, dan Atap dengan Kejadian ISPA pada Balita di Blang
Muko, menunjukkan bahwa variabel ventilasi didapatkan nilai (p.value
0,032<α=0,05) artinya ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA (31).
Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti tahun 2018 tentang Pengaruh
Lingkungan Rumah terhadap ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung
Haloban Kabupaten Labuhan Batu, menunjukkan nilai p (0,247) lebih besar dari
nilai α (0,05), dengan demikian tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA. Kepadatan hunian dalam penelitian ini
adalah perbandingan luas lantai dengan jumlah anggota keluarga dalam satu
rumah. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya (32).
Penelitian yang dilakukan oleh Dary tahun 2018 tentang Strategi Tenaga
Kesehatan Dalam Menurunkan Angka Kejadian ISPA pada Balita Wilayah
Binaan Puskesmas Getasan, menunjukkan hasil bahwa angka kejadian ISPA pada
balita di wilayah binaan Puskesmas Getasan tergolong tinggi, penanganan balita
ISPA menggunakan pedoman Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat (MTBSM) serta dalam
menjalankan perannya tenaga kesehatan melakukan berbagai strategi baik secara
teknis maupuan inisiatif seperti pemantauan kesehatan balita, penyuluhan dan
pemeberian pengobatan tradisional, dan kerjasama lintas sector, sebagai upaya
18
menurunkan angka kejadian ISPA pada balita di wilayah binaan Puskesmas
Getasan (33).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Suryani tahun 2018 tentang
Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Pada
Balita (Studi di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bengkulu), menunjukkan
hasil bahwa, Kepadatan hunian terbukti sebagai faktor risiko kejadian pneumonia
pada balita dengan OR adjusted 2,94 artinya balita yang tinggal di rumah dengan
luas kamar < 8 m2 dihuni lebih dari 2 orang, berisiko menderita pneumonia
sebesar 2,94 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang ting-gal di rumah
dengan luas kamar < 8 m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang (34).
2.2. Telaah Teori
2.2.1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah saluran penyakit
pernapasan atas dengan perhatian khusus pada radang paru dan bukan penyakit
telinga dan tenggorokan (35).
Infeksi pada sistem pernapasan dideskripsikan sesuai dengan areanya.
Pernapasan atau saluran pernapasan atas yang meliputi hidung dan faring. Sistem
pernafasan bawah meliputi bronkus, bronkeulus dan alveolus. Infeksi pernapasan
menyebar dari satu struktur kestruktur lain karena terhimpitnya membrane mucus
yang membentuk garis lurus pada seluruh sistem. Akibatnya infeksi sistem
pernapasan meliputi beberapa area dari pada struktur tunggal, walaupun efeknya
berpengaruh pada banyak penyakit (36).
19
A. Etiologi ISPA
Penyebab ISPA adalah bakteri, virus, mikroplasma, jamur dan protozoa.
Bakteri penyebab ISPA yaitu bakteri gram positif (Streptococcus dan
Stapylococcus) dan bakteri gram negatif (Haemophilus Influenzae, Pseudomonas,
Aeruginosa, Kleibsiella, dan Anaerobik). Virus penyebab ISPA antara lain
Influenza, Parainfluenza dan Adenovirus. Adapun yang menjadi faktor resiko
adalah merokok, polusi udara, gangguan kesadaran (alkohol, imobilisasi lama,
terapi imunosupresif (kortikosteroid dan kemotrapi), tidak berfungsi imun tubuh
dan sakit gigi (37).
B. Klasifikasi ISPA
Menurut Kunoli klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari :
1. Pneumonia berat yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah. Dikenal
pula diagnosis pneumonia sangat berat yaitu batuk atau kesukaran bernafas
yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan anak tidak dapat minum.
2. Pneumonia yaitu berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas
disertai adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat pada anak usia 2
bulan sampai < 1 tahun adalah 50 kali atau lebih permenit sedangkan untuk
anak usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali atau lebih per menit.
3. Bukan Pneumonia. Mencakup kelompok penderita balita dengan batuk dan
pilek disertai atau tidak dengan gejala lain seperti berdahak / berlendir dan
demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah. Klasifikasi bukan
20
pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain diluar pneumonia seperti
batuk pilek biasa (common cold, faringitis, tonsilitis) (35).
C. Tanda-Tanda Penyakit ISPA
Penyakit saluran pernafasan dapat menimbulkan gejala-gejala menjadi
lebih berat dan dapat terjadi kegagalan pernapasan atau meninggal. Kegagalan
pernapasan yang berat membutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit. Tanda-
tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan laboratoris.
Tanda-tanda klinis yaitu :
1. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur, retraksi dinding
thorak, napas cuping hidung, sianosis, suara napas lemah, grunting expiratoir
dan wheezing.
2. Pada sistem kardial adalah: tachycardia, bradycardia, hypertensi, hypotensi
dan cardiac arrest.
3. Pada sistem serebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala,
bingung, kejang dan koma.
4. Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris yaitu :
1. Hipoksemia adalah rendahnya kadar oksigen dalam darah, khususnya di arteri
yang dapat menyebabkan sesak napas.
2. Hipercapnia adalah kondisi dimana kadar karbon dioksida dalam tubuh
meningkat.
3. Asidosis (metabolik dan atau respiratorik) (37).
21
Sedangkan menurut Maryunani tanda-tanda infeksi saluran pernapasan
atas adalah:
1. Suhu meningkat mendadak 39-40%, kadang-kadang disertai kejang karena
demam yang tinggi.
2. Anak gelisah, dyspnoe, pernafasan cepat dan dangkal disertai cuping hidung
dan sianosis sekitar mulut dan hidung kadang-kdang disertai muntah dan diare.
3. Batuk setelah beberapa hari sakit, mula-mula batuk kering kemudian batuk
produktif.
4. Anak lebih senang tiduran pada sebelah dada yang terinfeksi.
5. Pada auskultasi terdengar ronchi basah nyaring halus dan sedang (38).
D. Penatalaksanaan dan Pengobatan ISPA
Hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ISPA adalah
pengobatan ISPA yang rasional. Penderita pneumonia memerlukan obat
antibiotika, demikian juga penderita pharingitis yang disebabkan oleh
Streptococcus Haemoliticus. Tetapi tidak semua penderita ISPA memerlukan
antibiotika, misalnya yang disebabkan oleh virus seperti batuk pilek biasa.
Selanjutnya, pemberian obat batuk pada balita juga tidak dianjurkan. Pada balita
yang batuk, lebih tepat diberikan pelega tenggorokan seperti minuman hangat (36).
Penemuan dini penderita dengan penatalaksanaan kasus yang benar
merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program turunnya
kematian karena pneunomia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan ISPA. Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA
akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan
22
berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek
biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat (36).
Pengobatan ISPA dapat dilakukan dengan cara:
1. Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
2. Pneunomia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak
mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kotrimoksasol
keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu
ampilisin, amoksilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa member obat antibiotik. Diberikan perawatan
dirumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk
lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti Kodein,
Dekstromertorfan dan Antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening di leher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman Streptococcus dan harus diberi antibiotik (penisilin)
selama 10 hari (37).
E. Penularan ISPA Dilihat dari Kondisi Fisik Rumah
Menurut WHO, pencemaran udara diduga menjadi pencetus infeksi virus
pada saluran nafas bagian atas. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah,
bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat.
23
Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita penyakit ISPA
dan carrier yang disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepada
orang lain melalui kontak langsung atau melalui benda-benda yang telah tercemar
bibir penyakit termasuk udara.
Menurut penelitian Iwan sain, penularan melalui udara di maksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan
benda yang terkontaminasi dan tidak jarang penyakit yang sebagian ilmu besar
penularan adalah karena menghisap udara yang mengandung penyebab atau
mikroorganisme tempat kuman berada (reservoir). ISPA dapat ditularkan melalui
air ludah, darah.cipratan bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang
terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya.
ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui Air Conditioner
(AC), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus.
Mikroorganisme menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada saat terjadi ISPA yang disebabkan oleh virus,
hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakteri,
yang menyebabkan bakteri patogen masuk ke dalam rongga-rongga sinus (39).
F. Pencegahan dan Pemberantasan ISPA
Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA dan
pneumonia, maka dewasa ini terus dilakukan penelitian cara pencegahan ISPA
dan pneumonia yang efektif dan spesifik (39).
24
Cara yang terbukti efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi
campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar 11%
kematian pneumonia balita dapat dicegah dengan imunisasi pertusis (DPT).
Secara umum dapat dikatakan bahwa cara pencegahan ISPA adalah :
1. Memberi Imunisasi lengkap
2. Memberi cukup gizi
3. Menghindari polusi udara dan
4. Memperbaiki lingkungan pemukiman
Menurut DepKes RI Pemberantasan ISPA yang dilakukan adalah :
1. Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu.
2. Penatalaksanaan kasus yang rasional.
3. Imunisasi balita (40).
2.2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pencegahan ISPA
Selain penyebab, perlu juga diperhatikan faktor risiko, yaitu faktor yang
memengaruhi atau memudahkan terjadinya penyakit. Secara umum ada 3 faktor
risiko ISPA, yaitu agen, host dan environment. Sedangkan faktor risiko untuk
pneumonia telah diindentifikasikan secara rinci, yaitu faktor yang meningkatkan
terjadinya (mobilitas) pneumonia dan faktor yang meningkatkan terjadinya
kematian (mortalitas) pada pneumonia (40).
A. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
25
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tidakan seseorang (Overt Behaviour). Apabila seseorang
menerima perilaku baru atau adopsi perilaku berdasarkan pengetahuan, kesadaran,
dan sikap yang positif, maka perilaku akan berlangsung lama. Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama (9).
1. Pembagian Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup dalam ranah kognitif yang telah direvisi adalah
sebagai berikut :
a. Mengingat (Remember)
Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari
memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun
yang sudah lama didapatkan. Mengingat merupakan dimensi yang berperan
penting dalam proses pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) dan
pemecahan masalah (problem solving). Kemampuan ini dimanfaatkan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks. Mengingat
meliputi mengenali (recognition) dan memanggil kembali (recalling). Mengenali
berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan
hal-hal yang konkret, misalnya tanggal lahir, alamat rumah, dan usia, sedangkan
memanggil kembali (recalling) adalah proses kognitif yang membutuhkan
pengetahuan masa lampau secara cepat dan tepat (9).
26
b. Memahami/Mengerti (Understand)
Memahami/mengerti berkaitan dengan membangun sebuah pengertian dari
berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan komunikasi. Memahami/mengerti
berkaitan dengan aktivitas mengklasifikasikan (classification) dan membandingkan
(comparing). Mengklasifikasikan akan muncul ketika seorang siswa berusaha
mengenali pengetahuan yang merupakan anggota dari kategori pengetahuan
tertentu. Mengklasifikasikan berawal dari suatu contoh atau informasi yang spesifik
kemudian ditemukan konsep dan prinsip umumnya. Membandingkan merujuk pada
identifikasi persamaan dan perbedaan dari dua atau lebih obyek, kejadian, ide,
permasalahan, atau situasi. Membandingkan berkaitan dengan proses kognitif
menemukan satu persatu ciri-ciri dari obyek yang diperbandingkan.
c. Menerapkan (Apply)
Menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan atau
mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau
menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan
prosedural (procedural knowledge). Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan
prosedur (executing) dan mengimplementasikan (implementing). Menjalankan
prosedur merupakan proses kognitif siswa dalam menyelesaikan masalah dan
melaksanakan percobaan di mana siswa sudah mengetahui informasi tersebut dan
mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang harus dilakukan. Jika
siswa tidak mengetahui prosedur yang harus dilaksanakan dalam menyelesaikan
permasalahan maka siswa diperbolehkan melakukan modifikasi dari prosedur
baku yang sudah ditetapkan.
27
Mengimplementasikan muncul apabila siswa memilih dan menggunakan
prosedur untuk hal-hal yang belum diketahui atau masih asing. Karena siswa
masih merasa asing dengan hal ini maka siswa perlu mengenali dan memahami
permasalahan terlebih dahulu kemudian baru menetapkan prosedur yang tepat
untuk menyelesaikan masalah. Mengimplementasikan berkaitan erat dengan
dimensi proses kognitif yang lain yaitu mengerti dan menciptakan.
Menerapkan merupakan proses yang kontinu, dimulai dari siswa
menyelesaikan suatu permasalahan menggunakan prosedur baku/standar yang
sudah diketahui. Kegiatan ini berjalan teratur sehingga siswa benar-benar mampu
melaksanakan prosedur ini dengan mudah, kemudian berlanjut pada munculnya
permasalahan-permasalahan baru yang asing bagi siswa, sehingga siswa dituntut
untuk mengenal dengan baik permasalahan tersebut dan memilih prosedur yang
tepat untuk menyelesaikan permasalahan.
d. Menganalisis (Analyze)
Menganalisis merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan
memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-
tiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat
menimbulkan permasalahan. Kemampuan menganalisis merupakan jenis
kemampuan yang banyak dituntut dari kegiatan pembelajaran di sekolah-sekolah.
Berbagai mata pelajaran menuntut siswa memiliki kemampuan menganalisis
dengan baik. Tuntutan terhadap siswa untuk memiliki kemampuan menganalisis
sering kali cenderung lebih penting daripada dimensi proses kognitif yang lain
seperti mengevaluasi dan menciptakan. Kegiatan pembelajaran sebagian besar
28
mengarahkan siswa untuk mampu membedakan fakta dan pendapat,
menghasilkan kesimpulan dari suatu informasi pendukung.
e. Mengevaluasi (Evaluate)
Evaluasi berkaitan dengan proses kognitif memberikan penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Kriteria yang biasanya
digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria atau
standar ini dapat pula ditentukan sendiri oleh siswa. Standar ini dapat berupa
kuantitatif maupun kualitatif serta dapat ditentukan sendiri oleh siswa. Perlu
diketahui bahwa tidak semua kegiatan penilaian merupakan dimensi
mengevaluasi, namun hampir semua dimensi proses kognitif memerlukan
penilaian. Perbedaan antara penilaian yang dilakukan siswa dengan penilaian yang
merupakan evaluasi adalah pada standar dan kriteria yang dibuat oleh siswa. Jika
standar atau kriteria yang dibuat mengarah pada keefektifan hasil yang didapatkan
dibandingkan dengan perencanaan dan keefektifan prosedur yang digunakan maka
apa yang dilakukan siswa merupakan kegiatan evaluasi.
Evaluasi meliputi mengecek (checking) dan mengkritisi (critiquing).
Mengecek mengarah pada kegiatan pengujian hal-hal yang tidak konsisten atau
kegagalan dari suatu operasi atau produk. Jika dikaitkan dengan proses berpikir
merencanakan dan mengimplementasikan maka mengecek akan mengarah pada
penetapan sejauh mana suatu rencana berjalan dengan baik. Mengkritisi mengarah
pada penilaian suatu produk atau operasi berdasarkan pada kriteria dan standar
eksternal. Mengkritisi berkaitan erat dengan berpikir kritis. Siswa melakukan
29
penilaian dengan melihat sisi negatif dan positif dari suatu hal, kemudian
melakukan penilaian menggunakan standar ini.
f. Menciptakan (Create)
Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsur-unsur secara
bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang koheren dan mengarahkan siswa
untuk menghasilkan suatu produk baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur
menjadi bentuk atau pola yang berbeda dari sebelumnya. Menciptakan sangat
berkaitan erat dengan pengalaman belajar siswa pada pertemuan sebelumnya.
Meskipun menciptakan mengarah pada proses berpikir kreatif, namun tidak secara
total berpengaruh pada kemampuan siswa untuk menciptakan. Menciptakan di sini
mengarahkan siswa untuk dapat melaksanakan dan menghasilkan karya yang dapat
dibuat oleh semua siswa. Perbedaan menciptakan ini dengan dimensi berpikir
kognitif lainnya adalah pada dimensi yang lain seperti mengerti, menerapkan, dan
menganalisis siswa bekerja dengan informasi yang sudah dikenal sebelumnya,
sedangkan pada menciptakan siswa bekerja dan menghasilkan sesuatu yang baru.
Menciptakan meliputi menggeneralisasikan (generating) dan
memproduksi (producing). Menggeneralisasikan merupakan kegiatan
merepresentasikan permasalahan dan penemuan alternatif hipotesis yang
diperlukan. Menggeneralisasikan ini berkaitan dengan berpikir divergen yang
merupakan inti dari berpikir kreatif. Memproduksi mengarah pada perencanaan
untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Memproduksi berkaitan erat
dengan dimensi pengetahuan yang lain yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan
konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognisi (9).
30
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Faktor Internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk
mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjukan kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk dalam memotivasi untuk sikap
berperan serta dalm pembangunan, pada umumnya makin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi.
2) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Wawan, Pekerjaan adalah keburukan
yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan
kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih
banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan
banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan yang
menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan keluarga.
3) Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
berulang tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
31
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan berkerja. Dari segi
kepercayaan masyrakat seseorang yang lebih dewasa dipercayai dari orang
yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai dari pengalaman
dan kematangan jiwa.
1. Faktor Eksternal
a. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang
atau kelompok.
b. Sosial budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari
sikap dalam menerima informasi (9).
B. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap seseuatu situmulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap situmulus sosial. Newcomb salah seorang psikolog sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum meupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan „predisposisi‟ tindakan atau perilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka (41).
32
Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu
obyek dengan cara tertentu serta merupakan respon evaluatif terhadap pengalaman
kognitif, reaksi afeksi, kehendak dan perilaku masa lalu. Sikap akan mempengaruhi
proses berfikir, respon afeksi, kehendak dan perilaku berikutnya. Jadi sikap
merupakan respon evaluatif didasarkan pada proses evaluasi diri, yang disimpulkan
berupa penilaian positif atau negatif yang kemudian mengkristal sebagai reaksi
terhadap obyek (9). Dalam bagian lain Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponem pokok, yakni:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to believe).
Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam
penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri
dari berbagai tingkatan, yakni:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek).
2. Merespons (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut.
33
3. Menghargai
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko adalah sikap yang paling tinggi. (9)
C. Ventilasi Rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara atau dari
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
optimum bagi pernapasan.
2. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat
pencemar lain dengan cara penencaran udara.
3. Mensuplai udara akibat hilangnya panas badan seimbang.
4. Mensuplai panas akibat hilannya panas ruangan dan bangunan.
5. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh rediasi tubuh.
6. Mendisfungsikan suhu tubuh udara secara merata.
Menurut Depkes RI persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
1. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan
luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari
luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
34
2. Aliran udara jangan membuat orang masuk angin, untuk ini jangan
menempatkan tempat tidur atau tempat duduk persis pada aliran udara,
misalnya di depan jendela atau pintu.
3. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik,
knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
4. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan
sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat
dan lain-lain.
5. Kelembaban udara jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang
berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir
pecah-pecah dan hidung sampai berdarah) (42).
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan
antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter.
Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah > 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (42).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang <10
% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi
35
akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi
akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman (43).
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman yang ada di dalam rumah tidak
dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Hawa segar diperlukan
untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara bebas mempunyai
susunan unsur :
a. Oksigen (zat asam) 20,7%
b. Nitrogen (zat lemas) 78,8%
c. Karbon dioksida (gas asam arang) 0,04%
d. Uap air 0,46% dll. (43)
Udara segar sangat diperlukan untuk penggantian hawa dan menjaga
temperatur udara dan kelembaban dalam ruangan. Idealnya temperatur udara
dalam ruangan harus lebih rendah dari temperatur luar paling kurang 4º C
khususnya untuk daerah tropis. Temperatur kamar sekitar 22-30ºC sudah cukup
segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m³/orang/jam,
kelembaban udara sekitar 60% optimum. (43)
36
D. Kepadatan Hunian Rumah/Jumlah Hunian
Kepadatan hunian dalam Permenkes nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
dijelaskan bahwa persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati
luas rumah 8m2.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dan rumah yang tlah ada. Peneliti menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronko pneumonia pada bayi, tetapi di sebut
bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan member korelasi yang tinggi
pada faktor ini (42).
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para
ahli psikologi lingkungan. Kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit
ruangan atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu
dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah
manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan
luas ruangannya (44).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (1991)
mencoba memerinci bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap
kepadatan yang terjadi, bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan
bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas). Hasilnya
memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan.
Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan
tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada
kelompok manusia tertentu.
37
Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa
(mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila
kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat
berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-rnenolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekuuan dalam pemecahan persoalan atau
pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut
hasil kerja yang kompleks. Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa
dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan
bahwa pria lebih memiliki perasaan negative. pada kepadatan tinggi bila
dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok,
baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai
anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi. Kepadatan hunian rumah menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8 m2.
Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan
melancarkan aktivitas (42).
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian manunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial dan pendidikan memberi korelasi
yang tinggi pada faktor ini. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang
sangat penting bagi kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat
untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti
38
yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan
sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah
dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan
layak dihuni Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan
perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh
derajat kesehatan yang optimal. (44)
Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri,
hal ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita ISPA,
sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan
mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami
peningkatan jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain. (45)
Menurut “Regional Housing Centre“ (1978), suatu bangunan harus
memenuhi ukuran luas yang layak (dengan perhitungan untuk setiap keluarga
yang terdiri dari 5 anggota rata-rata). Di berbagai negara persyaratan luas ruangan
perumahan biasanya ditentukan berdasarkan banyaknya penghuni. Over crowding
(kepenuh sesakan) dapat menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,
mental maupun moral. Penyebaran penyakit menular seperti infeksi saluran
pernapasan cepat sekali terjadi pada rumah yang padat penghuninya. Pada Negara
Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur oleh keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang tidur
minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam
satu ruang tidur, kecuali anak dibawah 5 tahun (42).
39
Kepadatan penguni rumah sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni
kuman penyebab penyakit menular, seperti gangguan saluran pernapasan. Selain
itu kepadatan penghuni rumah dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam
rumah. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara
dalam rumah mengalami pencemaran karena kadar CO2 dalam rumah akan cepat
meningkat dan akan menurunkan O2
yang ada di udara. (43)
Kepadatan hunian rumah dapat dilihat dari:
1. Kepadatan penghuni rumah
Standar minimal yang dibutuhkan dalam menentukan luas lantai
bangunan, yaitu 14m2
untuk orang pertama dan 9m2 untuk setiap penambahan 1
orang.
2. Kepadatan penghuni kamar tidur
a. Ukuran kamar tidur yang ideal minimal 9m2
untuk orang dewasa dan anak-
anak di atas 5 tahun, sedangkan untuk anak-anak pra sekolah ukuran
minimal 4,5m2
dan tidak dianjurkan digunakan untuk lebih dari 2 orang
dalam satu ruang tidur.
b. Luas ruang tidur minimal 8m2
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2
orang dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah usia 5 tahun (42).
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan overcrowde, hal ini tidak sehat, sebab disamping disebabkan
kurang komsumsi O2, juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi
penyakit menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain. Kepadatan
mencakup banyak dimensi. Kepadatan tidak hanya mencakup dimensi fisik seperti
40
ukuran jumlah penduduk perwilayah atau jumlah orang per rumah (kepadatan
hunian dan kepadatan rumah) akan tetapi juga mengandung aspek sosial,
ekonomi, dan lain-lain. Oleh karena itu, upaya yang mengatasi kepadatan perlu
memperhatikan aspek lain di luar aspek fisik. Berbagai aspek tersebut terutama
yang menguntungkan kehidupan penduduk perlu dipertahankan sehingga
kebiasaan dan prilaku yang positif tetap dapat dipertahankan.
Ditinjau dari segi penduduk, terungkap bahwa rumah padat bagi penduduk
berarti rumah yang luasnya tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, serta
tidak ada tempat bermain atau halaman. Kriteria ini sesuai dengan Kriteria yang di
anut para ahli, akan tetapi ukuran lain seperti jumlah orang yang tidur dalam satu
kamar, jumlah ruangan dalam kamar, jumlah WC per orang/ rumah, jumlah anak
balita per tempat tidur, dan lain-lain ukuran yang berkaitan dengan jumlah
fasilitas perumahan dengan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran
kepadatan oleh penduduk. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang
memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan
jumlah penghuni >10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat
kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10
m²/orang (42).
Menurut penelitian Atmosukarto, dkk penyakit penapasan dapat terjadi
dikarenakan :
41
1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita
mempunyai resiko terkena ISPA 2,8 kali dibanding dengan yang tidur
terpisah.
2. Tingkat penularan ISPA di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya.
3. Besar resiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah
4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita ISPA (46).
E. Pemberian ASI Eksklusif
Air susu ibu (ASI) adalah makanan ideal yang tiada bandingnya untuk.
pertumbuhan dan perkembangan bayi karena mengandung nutrient yang
dibutuhkan untuk membangun dan penyediaan energi, pengaruh biologis dan
emosional antara ibu dan bayi, serta meningkatkan sistem kekebalan pada bayi.
ASI merupakan makanan tunggal yang dapat mencukupi kebutuhan tumbuh bayi
sampai usia enam bulan. (47)
Studi-studi yang mendukung bahwa ASI merupakan faktor protektif
terhadap kejadian ISPA telah banyak dilakukan seperti penelitian Cunningham,
menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi dari berbagai penyakit termasuk infeksi
pernafasan dan infeksi usus. (48) Penelitian yang dilakukan oleh Selvaraj,
membuktikan, bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA. Bayi
yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama ISPA dan
diare. (49) Dilaporkan juga bahwa ASI menurunkan risiko infeksi saluran
pernafasan atas dan bawah. (50)
42
Pemberian ASI sangat menguntungkan jika dilihat dari beberapa aspek,
baik pada bayi, ibu, maupun sosial ekonomi. Rekomendasi dari WHO bahwa
pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dapat menurunkan angka insidensi
infeksi yang sering terjadi pada bayi seperti ISPA, diare, otitis media, infeksi
saluran kemih, diabetes mellitus, obesitas dan asma. ASI mengandung zat
kekebalan terhadap infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, dan lain-lain,
sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi pada bayi. Hal ini disebabkan karena
ASI mengandung zat kekebalan terhadap infeksi diantaranya protein, laktoferin,
imunoglobin dan antibody. (51)
Pemberian ASI eksklusif memberikan protektif melalui antibodi SigA
yang dapat melindungi bayi dari kuman Haemophilus Influenza yang terdapat
pada mulut dan hidung, serta menurunkan risiko terkena infeksi. (50) ASI
memberikan proteksi melawan penyakit enterik dan lainnya. Colostrum atau
foremilk, dan ASI mengandung elemen yang memproteksi bayi dari penyakit
saluran respirasi dan gatrointestinal. ASI mengandung komponen yang mencegah
penempelan salmonella pneumonia dan Haemophilus Influenza pada reseptor
permukaan sel pejamu. (52)
2.3. Landasan Teori
Menurut Depkes RI, 2010 bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi
oleh adanya pengaruh faktor pejamu (host), agent dan lingkungan (Environment).
Agent suatu penyakit meliputi agent biologis dan non biologis, misalnya agent
fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-faktor intrinstik yang dapat mempengaruhi
kerentanan pejamu terhadap faktor agent. Sedangkan faktor lingkungan adalah
43
elemen-elemen ekstrinstik yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu
terhadap faktor agent (40). Berdasarkan hasil penelitian diberbagai negara,
termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah dilaporkan faktor risiko yang
meningkatkan kejadian (morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:
1. Host (Pejamu)
Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status
gizi, berat bayi rendah, status ASI, status imunisasi, vitamin A.
2. Agent
Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit
(infection agent).
3. Environment (Lingkungan)
Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host terdiri dari
lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan
sebagai faktor lingkungan meliputi : bakteri, virus dan parasit (infectious
agent), ventilasi, dan kepadatan hunian kamar.
Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari
ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambahnya atau berkurangnya
kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan atau kejadian
ISPA, maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan
terhadap faktor risiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program
imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan
program penyehatan lingkungan pemukiman (40).
44
Adapun yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini antara lain :
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Sumber : Depkes RI, 2010
2.4. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian yang berjudul “Faktor yang
Mempengaruhi Balita terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara” yaitu :
Agent : Bakteri, Virus,
Jamur dan Protizoa
Environment :
1. Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian
2. Keadaan Ventilasi
3. Bahan Bakar Memasak
4. Jenis Lantai Rumah
5. Kelembapan
6. Keberadaan Perokok
Host :
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Berat Badan Lahir
4. Pemberian ASI Eksklusif
5. Status Gizi
6. Riwayat Pemberian Imunisasi
Faktor Perilaku:
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tindakan
Penyakit ISPA
45
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh faktor pengetahuan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Ada pengaruh faktor sikap terhadap penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
3. Ada pengaruh faktor pemberian ASI Eksklusif terhadap penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
4. Ada pengaruh faktor keadaan ventilasi terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
5. Ada pengaruh faktor jumlah hunian terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
Penyakit ISPA
Pengetahuan
Sikap
Pemberian ASI Esklusif
Keadaan Ventilasi
Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian
46
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian menggunakan motode Survei Analitik yaitu meneliti
bagaimana dan mengapa fenomena terjadi yang kemudian menganalisa hubungan
antara fenomena tersebut sehingga dapat diketahui sejauh mana faktor resiko
berpengaruh terhadap suatu kejadian. Penelitian ini menggunakan pendekatan
Cross Sectional yaitu mempelajari hubungan antara faktor-faktor resiko dengan
kejadian dengan menggunakan metode observasi atau pengumpulan data dalam
waktu yang bersamaan (53).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Deleng Pokhkisen yang berlokasi di
Desa Beringin Naru, Kecamatan Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
Alasan mengambil lokasi penelitian ini dikarenakan masih terjadinya penyakit
ISPA, dikarenakan perilaku pencegahan ISPA pada balita dari ibu yang kurang
baik.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan
Oktober tahun 2019. Kegiatan yang dilakukan mulai dari survei awal untuk
mengetahui masalah pada 10 orang responden sampai selesai melakukan
penelitian.
46
47
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti atau
keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (53). Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Deleng Pokhisen yaitu sebanyak 218 ibu.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diteliti dan dianggap mampu mewakili seluruh
populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Random
Sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara acak dengan
menggunakan rumus slovin yaitu :
n = N
21+Ne
n = 218
3,18
n = 218
21+218 (0,1)
n = 68,55 (69 ibu)
n = 218
1+218 (0,01)
n = 218
1+2,18
Keterangan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
e : Sampling error (Ketidaktelitian kesalahan dalam pengambilan sampel yaitu
digunakan nilai 10% (0,1).
48
Berdasarkan hasil dari rumus slovin diambil jumlah sampel dalam penelitian
ini sebanyak 69 ibu balita.
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
1. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan mengunakan kuesioner.
2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari catatan
atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti profil
Puskesmas Deleng Pokhkisen.
3. Data tertier diperoleh dari studi pustaka dan text book.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dengan membuat
daftar pertanyaan (questionnaire) yang diberikan kepada masyarakat sebagai
responden.
2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari catatan
atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti profil
Puskesmas Deleng Pokhkisen.
3. Data tertier adalah data melalui studi kepustakaan, jurnal, dan text book.
3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun
49
tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu di uji dengan
uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) sengan skor total
kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna
(construct validity). Apabila kuesioner tersebut telah memiliki validitas konstruk,
berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam kuesioner itu mengukur
konsep yang kita ukur. Pengujian validitas konstruk dengan SPSS adalah
menggunakan korelasi, instrumen valid apabila nilai korelasi (pearson
correlation) adalah positif dan nilai probabilitas korelasi (sig 2-tailed) < taraf
signifikan (α) sebesar 0,05 (53).
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pengetahuan
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Pengetahuan 1 0,677 0,444 Valid
2 0,713 0,444 Valid
3 0,794 0,444 Valid
4 0,449 0,444 Valid
5 0,274 0,444 Tidak Valid
6 0,569 0,444 Valid
7 0,697 0,444 Valid
8 0,605 0,444 Valid
9 0,225 0,444 Tidak Valid
10 0,803 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 10 item soal variabel
pengetahuan bahwa 8 item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung >
rtabel, sedangkan 2 item soal lainnya dinyatakan tidak valid karena memiliki rhitung
< rtabel.
50
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Sikap
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Sikap 1 0,609 0,444 Valid
2 0,411 0,444 Tidak Valid
3 0,664 0,444 Valid
4 0,560 0,444 Valid
5 0,795 0,444 Valid
6 0,230 0,444 Tidak Valid
7 0,601 0,444 Valid
8 0,560 0,444 Valid
9 0,725 0,444 Valid
10 0,390 0,444 Tidak Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 10 item soal variabel sikap
bahwa 7 item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung > rtabel, sedangkan
3 item soal lainnya dinyatakan tidak valid karena memiliki rhitung < rtabel.
Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Keadaan Ventilasi
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Keadaan 1 0,948 0,444 Valid
Ventilasi 2 0,900 0,444 Valid
3 0,931 0,444 Valid
4 0,563 0,444 Valid
5 0,883 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel keadaan
ventilasi seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung > rtabel.
Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas Kuesioner Jumlah Hunian
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Jumlah 1 0,904 0,444 Valid
Hunian 2 0,846 0,444 Valid
3 0,505 0,444 Valid
4 0,846 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 4 item soal variabel jumlah
hunian bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung >
rtabel.
51
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan
alat ukur yang sama.
Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala social (non
fisik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Untuk itu sebelum digunakan,
untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba
tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi pearson
(pearson correlation), seperti tersebut di atas. Perlu dicatat bahwa perhitungan
reliabilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah
memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung validitas terlebih dahulu
sebelum menghitung reliabilitas (53).
Tabel 3.5. Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach’s Alpha r-tabel Keterangan
Pengetahuan 0,831 0,444 Reliabel
Sikap 0,824 0,444 Reliabel
Keadaan Ventilasi 0,902 0,444 Reliabel
Kepadatan Hunian 0,780 0,444 Reliabel
Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen diperoleh hasil bahwa nilai uji
reliabilitas diperoleh cronbach’s alpha dari variabel pengetahuan sebesar 0,831,
sikap sebesar 0,824, keadaan ventilasi sebesar 0,902 dan kepadatan hunian
sebesar 0,780 yang menunjukkan bahwa hasil cronbach’s alpha pada keempat
variabel lebih besar dari nilai rtabel 0,444, sehingga instrumen penelitian
dinyatakan reliabel (handal).
52
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional
3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel bebas (independen) dan
variabel terikat (dependen). Adapun yang menjadi variabel bebas (independen)
yaitu Pengetahuan, Sikap, Pemberian ASI Eksklusif, Keadaan Ventilasi dan
Kepadatan Hunian yang ditandai dengan simbol X sedangkan variabel yang
terikat (dependen) yaitu Tingginya Penyakit ISPA pada Balita, variabel
berhubungan yang ditandai simbol Y.
3.5.2. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel di atas adalah
sebagai berikut :
1. Pengetahuan
Pengetahuan yaitu segala yang diketahui oleh ibu tentang penyakit ISPA.
a. Baik, apabila mengetahui tentang penyakit ISPA
b. Kurang Baik, apabila tidak mengetahui penyakit ISPA
2. Pengetahuan
Sikap yaitu segala yang reaksi yang dimiliki oleh ibu dalam menanggapi
informasi atau arahan tentang penyakit ISPA.
a. Positif, apabila memiliki reaksi yang baik tentang penyakit ISPA
b. Negatif, apabila tidak memiliki reaksi yang baik tentang penyakit ISPA
3. Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI Eksklusif yaitu pemberian ASI pada balita mulai dari usia 0-6
bulan.
53
a. Diberikan, apabila memberikan ASI 0-6 bulan
b. Tidak Diberikan, apabila tidak memberikan ASI 0-6 bulan
4. Keadaan Ventilasi
Keadaan ventilasi yaitu kondisi untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia di dalam rumah., dengan kategori :
a. Memenuhi syarat, apabila memiliki luas ≥ 10% dari luas lantai
b. Tidak memenuhi syarat, apabila memiliki luas < 10% dari luas lantai
5. Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian
Kepadatan hunian/jumlah hunian yaitu jumlah penghuni yang berada dalam
suatu rumah, dengan kategori :
a. Tidak padat, apabila satu orang minimal menempati luas rumah 8m2
b. Padat, apabila lebih dari satu orang menempati rumah dengan luas rumah
8m2
6. Penyakit ISPA
Penyakit ISPA yaitu infeksi saluran pernapasan yang menyerang bagian atas,
seperti hidung, tenggorokan, faring, laring, dan bronkus.
a. Sakit
b. Tidak Sakit
3.6. Metode Pengukuran
1. Pengetahuan
Pengetahuan memiliki 10 pertanyaan, dengan jawaban Benar dan Salah.
Apabila menjawab Benar diberi nilai 1 dan Salah diberi nilai 0. Selanjutnya
jawaban dikategorikan menjadi dua yaitu Baik dan Kurang Baik.
54
2. Sikap
Sikap memiliki 10 pertanyaan, dengan jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Apabila menjawab SS
diberi nilai 4, S diberi nilai 3, TS diberi nilai 2 dan STS diberi nilai 1.
Selanjutnya jawaban dikategorikan menjadi dua yaitu Positif dan Negatif.
3. Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI Eksklusif memiliki 1 pertanyaan, dengan jawaban Ya dan
Tidak. Apabila menjawab Ya diberi nilai 1 dan Tidak diberi nilai 0.
Selanjutnya jawaban dikategorikan menjadi dua yaitu diberikan dan tidak
diberikan.
4. Kondisi Ventilasi
Kondisi ventilasi memiliki 5 pertanyaan dengan jawaban Ya dan Tidak.
Apabila menjawab Ya diberi nilai 1 dan Tidak diberi nilai 0. Selanjutnya
jawaban dikategorikan menjadi dua yaitu Memenuhi Syarat dan Tidak
Memenuhi Syarat.
5. Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian
Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian memiliki 4 pertanyaan dengan jawaban Ya
dan Tidak. Apabila menjawab Ya diberi nilai 1 dan Tidak diberi nilai 0.
Selanjutnya jawaban dikategorikan menjadi dua yaitu Memenuhi Syarat dan
Tidak Memenuhi Syarat.
55
6. Tingginya Penyakit ISPA
Pencegahan penyakit ISPA memiliki 1 pertanyaan yang diambil dari data
Puskesmas dan dikategorikan menjadi tiga yaitu Bukan Pneumonia,
Pneumonia dan Pneumonia Berat.
Tabel 3.6. Aspek Pengukuran
No Variabel
Bebas (x)
Jumlah
Pernyataan
Cara dan Alat
Ukur Hasil Ukur Value
Skala
Ukur
1
Pengetahuan Kuesioner
8
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
Benar : 1
Salah : 0
- Jika skor 5-8
- Jika skor 0-4
Baik (2)
Kurang Baik (1)
Ordinal
2 Sikap Kuesioner
7
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
SS : 4
S : 3
TS : 2
STS : 1
- Jika skor 18-28
- Jika skor 7-17
Positif (2)
Negatif (1)
Ordinal
3
Pemberian
ASI
Eksklusif
Kuesioner
1
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
- Jika memberikan
ASI eksklusif 0-
6 bulan
- Jika tidak
memberikan ASI
eksklusif 0-6
bulan
Diberikan (2)
Tidak Diberikan
(1)
Ordinal
4 Kondisi
Ventilasi
Kuesioner
5
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
Ya : 1
Tidak : 0
- Jika skor 3-5
- Jika skor 0-2
Memenuhi
Syarat (> 10%
dari luas lantai
rumah) (2)
Tidak
Memenuhi
Syarat (< 10%
dari luas lantai
rumah) (1)
Ordinal
56
Tabel 3.2. Lanjutan
No Variabel
Terikat (y)
Jumlah
Pernyataan
Cara dan Alat
Ukur Hasil Ukur Value
Skala
Ukur
5 Kepadatan
Hunian/
Jumlah
Hunian
Kuesioner
4
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
Ya : 1
Tidak : 0
- Jika skor 3-4
- Jika skor 0-2
Tidak Padat
(2)
Padat (1)
Ordinal
6 Penyakit
ISPA
Kuesioner
1
Menghitung skor
jawaban sesuai
dengan ketentuan
dalam tabel skor
- Jika mengalami
penyakit ISPA
- Jika tidak
mengalami
penyakit ISPA
Tidak Sakit
(2)
Sakit (1)
Ordinal
3.7. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara komputerisasi
melalui beberapa langkah, yaitu :
1. Collecting
Langkah ini dilakukan dengan mengumpulkan data setiap variabel yang
diteliti dari kuesioner yang sudah diisi atau dijawab oleh responden
2. Checking
Langkah ini dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dan kebenaran data.
3. Coding
Langkah ini dilakukan dengan memberikan kode pada karakteristik
responden dan variabel-variabel yang diteliti.
4. Entering
Langkah ini dilakukan dengan memindahkan data dalam kuesioner yang
masih dalam bentuk kode kedalam program komputer yang digunakan.
57
5. Data processing
Langkah ini dilakukan dengan memindahkan semua data kedalam program
komputer dan diproses sesuai dengan kebutuhan dari penelitian (53).
3.8. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian yang meliputi variabel independen serta variabel
dependen.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan (korelasi) antara
variabel bebas (independent variabel) yaitu variabel pengetahuan, sikap,
pemberian ASI Eksklusif, kondisi ventilassi dan kepadatan hunian dengan
variabel terikat (dependent variabel) yaitu tingginya ISPA, dengan menggunakan
analisis Chi-square.
1) Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak
2) Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima (54).
3. Analisis Multivariat
Analisis data multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik, yang
bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel bebas
(pengetahuan, sikap, pemberian ASI Eksklusif, kondisi ventilassi dan kepadatan
hunian) terhadap variabel terikat (tingginya ISPA). Besarnya pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat dilihat dari nilai Exp (β). Positif atau negatifnya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat dari nilai β, jika bernilai
58
positif berarti mempunyai pengaruh positif, begitu juga sebaliknya jika bernilai
negatif berarti mempunyai pengaruh negatif (55).
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Deleng Pokhkisen merupakan salah satu puskesmas yang ada
di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, terletak di Beriring Naru Kecamatan
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Secara geografis Kabupaten Aceh
Tenggara terletak antara 3055‟23” – 4
016‟37” Lintang Utara dan 96
043‟23‟ –
98010‟32” Bujur Timur dengan topografi yang bervariasi. Daerah Kabupaten
Aceh Tenggara merupakan suatu dataran yang dikelilingi oleh perbukitan dan
pegunungan yang merupakan gugusan Bukit Barisan. Sebagian kawasannya
merupakan daerah suaka alam Taman Nasional Gunung Leuser. Ketinggian
tempat di Kabupaten Aceh Tenggara berkisar antara 50 m dpl – 400 m dpl.
Ibukota Kabupaten Aceh Tenggara terletak di Kota Kutacane yang
berjarak sekitar 900 km dari Kota Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi Aceh.
Kabupaten Aceh Tenggara secara administratif terdiri dari 16 kecamatan, 385
desa. Kecamatan dengan luasan wilayah terbesar adalah Kecamatan Darul
Hasanah yaitu seluas 655.48 Km2 dan kecamatan dengan luasan terkecil adalah
Kecamatan Babussalam yaitu seluas 12,50 Km2. Kabupaten Aceh Tenggara terdiri
dari 16 Kecamatan dan 386 Desa serta 51 mukim. Kecamatan di Kabupaten Aceh
Tenggara antara lain Kecamatan Lawe Alas, Babul Rahmah, Tanoh Alas, Lawe
Sigala, Babul Makmur, Semadam, Leuser, Bambel, Bukit Tusam, Lawe Sumur,
Babussalam, Lawe Bulan, Badar, Darul Hasanah, Ketambe, dan Deleng Pokhison,
yang mempunyai jumlah luas keseluruhan 4.165,63 Km².
59
60
Batas-batas wilayah Puskesmas Deleng Pokhkisen antara lain :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara.
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Kota
Subulussalam.
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh
Selatan dan Kabupaten Tanah Karo Provinsi Sumatera Utara.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Tanah Karo
Provinsi Sumatera Utara.
4.1.1. Demografi
Berdasarkan data penduduk yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2013 diketahui bahwa total penduduk Kabupaten
Aceh Tenggara sampai pada akhir tahun 2013 mencapai jumlah ± 184.150 jiwa.
Jika dilihat menurut data per kecamatan, maka kecamatan dengan jumlah
penduduk terbesar adalah Kecamatan Babussalam yaitu sebesar ± 25.742 jiwa.
Sementara itu, kecamatan dengan jumlah penduduk terendah adalah Kecamatan
Tanoh Alas dengan jumlah ± 3.679 jiwa.
Bila dilihat dari tingkat kepadatan penduduk tiap-tiap kecamatan di
Kabupaten Aceh Tenggara tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah pada
Kecamatan Babussalam yaitu sebanyak ± 1.289 jiwa/Km2. Sedangkan daerah
dengan tingkat kepadatan penduduk terendah adalah pada Kecamatan Darul
Hasanah dan Kecamatan Babul Rahmah yaitu sebanyak ± 9 jiwa/Km2.
61
4.1.2. Visi dan Misi Puskesmas Deleng Pokhkisen
1. Visi :"Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Berkualitas dan Profesional menuju
Kecamatan Sehat "
2. Misi :
a. Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Kesehatan yang berarti dan
Profesional.
b. Menggerakkan Masyarakat dalam Pembangunan berwawasan kesehatan
diwilayah Kecamatan Deleng Pokhkisen.
c. Mendorong Kemandirian Hidup Sehat bagi Keluarga dan Masyarakat di
Wilayah Kecamatan Deleng Pokhkisen.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Analisis Univariat
1. Karakteristik Responden
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang
memiliki balita di Wilayah Puskesmas Deleng Pokhkisen. Karakteristik responden
terdiri dari : umur dan pendidikan.
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No Karakteristik f %
1 Umur 18-25 Tahun
37
53,6
4 26-32 Tahun 32 46,4
Jumlah 69 100
62
Tabel 4.1. Lanjutan
No Karakteristik f %
1
2
Pendidikan
Perguruan Tinggi
SMA
7
30
10,1
43,5
3 SMP 22 31,9
4 SD 8 11,6
5 Tidak Sekolah 2 2,9
Jumlah 69 100
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak 37
responden (53,6%) memiliki umur 18-25 tahun dan 32 responden
(46,4%)memiliki umur 26-32 tahun. Selanjutnya dari 69 responden, sebanyak 7
responden (10,1%) memiliki pendidikan di perguruan tinggi, 30 responden
(43,5%) memiliki pendidikan SMA, 22 responden (31,9%) berpendidikan SMP, 8
responden (11,6%) berpendidikan SD dan responden yang tidak bersekolah
sebanyak 2 responden (2,9%).
2. Pengetahuan
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Berdasarkan Pengetahuan
Responden di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara
No. Pertanyaan
Jawaban Total
Benar Salah
f % f % f %
1. Manakah yang merupakan singkatan
dari ISPA ?
35 50,7 34 49,3 69 100,0
2. Apakah gejala penyakit ISPA ? 34 49,3 35 50,7 69 100,0
3. Siapakah yang melakukan pemeriksaan
penyakit ISPA ?
36 52,2 33 47,8 69 100,0
4. Gejala seperti Influenza, batuk dan pilek
termasuk kedalam penyakit?
40 58,0 29 42,0 69 100,0
5. Apakah yang menyebabkan penyakit
ISPA ?
37 53,6 32 46,4 69 100,0
6. Gejala yang dapat ditimbulkan pada
penyakit ISPA akan bertambah buruk
jika anak tidak mendapatkan ?
40 58,0 29 42,0 69 100,0
7. Sewaktu si penderita ISPA batuk, maka
orang yang berada di dekatnya?
37 53,6 32 46,4 69 100,0
63
Tabel 4.2. Distribusi
No. Pertanyaan
Jawaban Total
Benar Salah
f % f % f %
8. Salah satu penularan ISPA yang sering
terjadi yaitu melalui ? 40 58,0 29 42,0 69 100,0
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang pengetahuan menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1
sebagian besar responden menjawab “Benar” yaitu sebanyak 35 responden
(50,7%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Salah”
yaitu sebanyak 34 responden (49,3%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden
menjawab “Benar” yaitu sebanyak 36 responden (52,2%). Pada pertanyaan No. 4
sebagian besar responden menjawab “Benar” yaitu sebanyak 40 responden
(58,0%). Pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Benar”
yaitu sebanyak 37 responden (53,6%). Pertanyaan No. 6 sebagian besar responden
menjawab “Benar” yaitu sebanyak 40 responden (58,0%). Pada pertanyaan No. 7
sebagian besar responden menjawab “Benar” yaitu sebanyak 37 responden
(53,6%). Selanjutnya pada pertanyaan No. 8 sebagian besar responden menjawab
“Benar” yaitu sebanyak 40 responden (58,0%).
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengetahuan Responden di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pengetahuan f %
1. Baik 33 47,8
2. Kurang Baik 36 52,2
Jumlah 69 100
Berdasarkan tabel 4.3. dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak 33
responden (47,8%) memiliki pengetahuan yang baik dan 36 responden (52,2%)
memiliki pengetahuan yang kurang baik.
64
3. Sikap
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Berdasarkan Sikap di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pernyataan
Jawaban Total
SS S TS STS
f % f % f % f % f %
1. Penanggulangan penyakit ISPA
pada balita dapat dilakukan di
rumah
19 27,5 14 20,3 14 20,3 22 31,9 69 100,0
2. Untuk menanggulangi balita
yang menderita ISPA dengan
gejala batuk dapat dengan hanya
diberi ramuan tradisional
18 26,1 10 14,5 14 20,3 27 39,1 69 100,0
3. Pencegahan penyakit ISPA
dapat berhasil dengan baik
apabila dilakukan penyuluhan
tentang penyakit ISPA
21 30,4 6 8,7 17 24,6 25 36,2 69 100,0
4. Membawa anak berobat
kedokter jika balita sesak nafas
karena ISPA
20 29,0 16 23,2 21 30,4 12 17,4 69 100,0
5. Anak akan memiliki kekebalan
tubuh yang baik dan akan sulit
terkena ISPA apabila diberikan
ASI Eksklusif 0-6 bulan
25 36,2 7 10,1 15 21,7 22 31,9 69 100,0
6. Membuka jendela setiap pagi
merupakan cara yang paling
sederhana untuk melakukan
pencegahan ISPA
19 27,5 16 23,2 14 20,3 20 29,0 69 100,0
7. Penghuni dalam satu rumah
maksimal harus 3 orang saja,
agar udara dalam rumah
terbebas dari bakteri penyebab
ISPA
22 31,9 11 15,9 13 18,8 23 33,3 69 100,0
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang sikap menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1 sebagian
besar responden menjawab “Sangat Tidak Setuju” yaitu sebanyak 22 responden
(31,9%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Sangat
Tidak Setuju” yaitu sebanyak 27 responden (39,1%). Pertanyaan No. 3 sebagian
besar responden menjawab “Sangat Tidak Setuju” yaitu sebanyak 25 responden
(36,2%). Pertanyaan No. 4 sebagian besar responden menjawab “Sangat Setuju”
65
yaitu sebanyak 20 responden (29,0%). Pertanyaan No. 5 sebagian besar responden
menjawab “Sangat Setuju” yaitu sebanyak 25 responden (36,2%). Pertanyaan No.
6 sebagian besar responden menjawab “Sangat Tidak Setuju” yaitu sebanyak 20
responden (29,0%). Selanjutnya pertanyaan No. 7 sebagian besar responden
menjawab “Sangat Tidak Setuju” yaitu sebanyak 23 responden (33,3%).
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap Responden di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Sikap f %
1. Positif 34 49,3
2. Negatif 35 50,7
Jumlah 69 100
Berdasarkan tabel 4.5. dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak 34
responden (49,3%) memiliki sikap yang positif dan 35 responden (50,7%)
memiliki sikap yang negatif.
4. Pemberian ASI Eksklusif
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pemberian ASI Eksklusif f %
1. Diberikan 28 40,6
2. Tidak Diberikan 41 59,4
Jumlah 69 100
Berdasarkan tabel 4.6. dapat dilihat bahwa dari 52 responden, sebanyak 28
responden (40,6%) memberikan ASI eksklusif dan 41 responden (59,4%) tidak
memberikan ASI eksklusif.
66
5. Keadaan Ventilasi
Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Keadaan
Ventilasi di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara
No. Pernyataan
Jawaban Total
Ya Tidak
f % f % f %
1. Apakah rumah ibu memiliki ventilasi ? 64 92,8 5 7,2 69 100,0
2. Apakah ventilasi yang ibu miliki
memiliki luas > 10% dari luas lantai
rumah ?
36 52,2 33 47,8 69 100,0
3. Apakah ventilasi rumah yang ibu miliki
memiliki sirkulasi udara yang baik?
37 53,6 32 46,4 69 100,0
4. Apakah ibu memiliki ventilasi disetiap
ruangan?
34 49,3 35 50,7 69 100,0
5. Apakah ibu membuka jendela setiap
pagi hari?
41 59,4 28 40,6 69 100,0
Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang kondisi ventilasi menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 64 responden (92,8%).
Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak
36 responden (52,2%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab
“Ya” yaitu sebanyak 37 responden (53,6%). Pertanyaan No. 4 sebagian besar
responden menjawab “Tidak” yaitu sebanyak 35 responden (50,7%). Selanjutnya
pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak
41 responden (59,4%).
Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Keadaan Ventilasi di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Keadaan Ventilasi f %
1. Memenuhi Syarat (luas ≥ 10% dari luas lantai) 31 44,9
2. Tidak Memenuhi Syarat (luas < 10% dari luas
lantai)
38 55,1
Jumlah 69 100
67
Berdasarkan tabel 4.8. dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak 31
responden (44,9%) memiliki ventilasi yang memenuhi syarat dan 38 responden
(55,1%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat.
6. Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden tentang Kepadatan
Hunian/Jumlah Hunian di Puskesmas Deleng Pokhkisen
Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pernyataan
Jawaban Total
Ya Tidak
f % f % f %
1. Apakah rumah ibu dihuni maksimal
3 orang?
42 60,9 27 39,1 69 100,0
2. Apakah rumah ibu tidak terasa panas
(pengap)?
42 60,9 27 39,1 69 100,0
3. Apakah penghuni kamar tidur di
dalam rumah dihuni maksimal oleh 2
orang?
43 62,3 26 37,7 69 100,0
4. Apakah luas rumah yang ibu miliki >
8 m2
44 63,8 25 36,2 69 100,0
Berdasarkan Tabel 4.9 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang kepadatan hunian menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 42 responden (60,9%).
Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak
42 responden (60,9%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab
“Ya” yaitu sebanyak 43 responden (62,3%). Selanjutnya pada pertanyaan No. 4
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 44 responden (63,8%).
Tabel 4.10. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kepadatan Hunian/Jumlah
Hunian di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara
No. Kepadatan Hunian/Jumlah Hunian f %
1. Tidak Padat 34 49,3
2. Padat 35 50,7
Jumlah 69 100
68
Berdasarkan tabel 4.10. dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak
34 responden (49,3%) memiliki jumlah hunian yang tidak padat dan 35 responden
(50,7%) memiliki jumlah hunian yang padat.
7. Penyakit ISPA
Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penyakit ISPA pada Balita di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Penyakit ISPA f %
1. Tidak Sakit 32 46,4
2. Sakit 37 53,6
Jumlah 69 100
Berdasarkan tabel 4.11. dapat dilihat bahwa dari 69 responden, sebanyak
32 responden (46,4%) tidak mengalami sakit dan 37 responden (53,6%)
mengalami sakit.
4.2.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
1. Hubungan Pengetahuan dengan Penyakit ISPA
Tabel 4.12. Hubungan Pengetahuan dengan Penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pengetahuan
Penyakit ISPA Total
Sig-p Tidak Sakit Sakit
f % f % f %
1. Baik 25 36,2 8 11,6 33 47,8 0,000
2. Kurang Baik 7 10,1 29 42,0 36 52,2
Total 32 46,4 37 53,6 69 100
Berdasarkan Tabel 4.12. antara pengetahuan dengan penyakit ISPA,
diketahui bahwa sebanyak dari 33 responden (47,8%) yang berpengetahuan baik,
sebanyak 25 responden (36,2%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 8 responden
(11,6%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 36 responden (52,2%) yang
69
berpengetahuan kurang baik, sebanyak 7 responden (10,1%) tidak mengalami
sakit dan sebanyak 29 responden (42,0%) mengalami sakit.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikan
probabilitas pengetahuan adalah p-value = 0,000 atau < nilai-α = 0,05. Hal ini
membuktikan pengetahuan memiliki hubungan dengan penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
2. Hubungan Sikap dengan Penyakit ISPA
Tabel 4.13. Hubungan Sikap dengan Penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Sikap
Penyakit ISPA Total
Sig-p Tidak Sakit Sakit
f % f % f %
1. Positif 18 26,1 16 23,2 34 49,3 0,403
2. Negatif 14 20,3 21 30,4 35 50,7
Total 32 46,4 37 53,6 69 100
Berdasarkan Tabel 4.13. antara sikap dengan penyakit ISPA, diketahui
bahwa sebanyak dari 34 responden (49,3%) yang memiliki sikap positif, sebanyak
18 responden (26,1%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 16 responden (23,2%)
mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 25 responden (52,2%) yang memiliki
sikap yang negatif, sebanyak 14 responden (20,3%) tidak mengalami sakit dan
sebanyak 21 responden (30,4%) mengalami sakit.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikan
probabilitas sikap adalah p-value = 0,403 atau > nilai-α = 0,05. Hal ini
membuktikan sikap tidak memiliki hubungan dengan penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
70
3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Penyakit ISPA
Tabel 4.14. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Pemberian ASI
Penyakit ISPA Total
Sig-p Tidak Sakit Sakit
f % f % f %
1. Diberikan 22 31,9 6 8,7 28 40,6 0,000
2. Tidak Diberikan 10 14,5 31 44,9 41 59,4
Total 32 46,4 37 53,6 69 100
Berdasarkan Tabel 4.14. antara pemberian ASI eksklusif dengan penyakit
ISPA, diketahui bahwa sebanyak dari 28 responden (40,6%) yang memiliki sikap
positif, sebanyak 22 responden (31,9%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 6
responden (8,7%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 41 responden (59,4%)
yang memiliki sikap yang negatif, sebanyak 10 responden (14,5%) tidak
mengalami sakit dan sebanyak 31 responden (44,9%) mengalami sakit.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikan
probabilitas pemberian ASI eksklusif adalah p-value = 0,000 atau < nilai-α = 0,05.
Hal ini membuktikan pemberian ASI eksklusif memiliki hubungan dengan
penyakit ISPA di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
4. Hubungan Keadaan Ventilasi dengan Penyakit ISPA
Tabel 4.15. Hubungan Keadaan Ventilasi dengan Penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Keadaan Ventilasi
Penyakit ISPA Total
Sig-p Tidak Sakit Sakit
f % f % f %
1. Memenuhi Syarat 21 30,4 10 14,5 31 44,9 0,003
2. Tidak Memenuhi
Syarat
11 15,9 27 39,1 38 55,1
Total 32 46,4 37 53,6 69 100
71
Berdasarkan Tabel 4.15. antara keadaan ventilasi dengan penyakit ISPA,
diketahui bahwa sebanyak dari 31 responden (44,9%) yang memiliki ventilasi
yang memenuhi syarat, sebanyak 21 responden (30,4%) tidak mengalami akit dan
sebanyak 10 responden (14,5%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 38
responden (55,1%) yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat,
sebanyak 11 responden (15,9%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 27
responden (39,1%) mengalami sakit.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikan
probabilitas keadaan ventilasi adalah p-value = 0,003 atau < nilai-α = 0,05. Hal ini
membuktikan keadaan ventilasi memiliki hubungan dengan penyakit ISPA p di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
5. Hubungan Jumlah Hunian dengan Penyakit ISPA
Tabel 4.16. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
No. Jumlah Hunian
Penyakit ISPA Total
Sig-p Tidak Sakit Sakit
f % f % f %
1. Tidak Padat 24 34,8 10 14,5 34 49,3 0,000
2. Padat 8 11,6 27 39,1 35 50,7
Total 32 46,4 37 53,6 69 100
Berdasarkan Tabel 4.16. antara kepadatan hunian dengan penyakit ISPA,
diketahui bahwa sebanyak dari 34 responden (49,3%) yang memiliki jumlah
hunian yang tidak padat, sebanyak 24 responden (34,8%) tidak mengalami sakit
dan sebanyak 10 responden (14,5%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 35
responden (50,7%) yang memiliki jumlah hunian yang padat, sebanyak 8
72
responden (11,6%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 27 responden (39,1%)
mengalami pneumonia berat.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai signifikan
probabilitas jumlah hunian adalah p-value = 0,000 atau < nilai-α = 0,05. Hal ini
membuktikan jumlah hunian memiliki hubungan dengan penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
4.2.3. Analisis Multivariat
Analisis data multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik, yang
bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap
variabel terikat. Besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat
dari nilai Exp (β). Positif atau negatifnya pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat dilihat dari nilai β, jika bernilai positif berarti mempunyai
pengaruh positif, begitu juga sebaliknya jika bernilai negatif berarti mempunyai
pengaruh negatif.
Langkah yang dilakukan dalam analisis regresi logistik adalah menyeleksi
variabel yang akan dimasukkan dalam analisis mutivariat. Variabel yang
dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat
mempunyai nilai p < 0,25. Metode yang digunakan dalam analisis regresi logistik
yaitu metode Backward. Metode Backward secara otomatis akan memasukkan
semua variabel yang terseleksi untuk dmasukkan ke dalam multivariat. Secara
bertahap, variabel yang tidak berpengaruh akan dikeluarkan dari analisis. Proses
akan berhenti sampai tidak ada lagi variabel yang dapat dikeluarkan dari analisis.
73
Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik dilakukan seleksi
model dari variabel yang diteliti disajikan sebagai berikut :
Tabel 4.17. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik Tahap I
B Sig. Exp(B)
Step
1a
Pengetahuan 1,884 0,015 6,578
Sikap -0,396 0,610 0,673
Pemberian_ASI 2,373 0,004 10,730
Ventilasi 1,776 0,037 5,908
Jumlah_Hunian 1,959 0,013 7,095
Constant -11,283 0,000 0,000
Hasil uji analisis dari tabel 4.17 diketahui nilai p-value terbesar adalah
variabel sikap (sig > 0,25) sehingga harus dikeluarkan dari model untuk
multivariat. Hasil setelah variabel sikap dikeluarkan dari model diketahui hasil
sesuai dengan tabel berikut :
Tabel 4.18. Hasil Uji Multivariat Regresi Logistik Tahap II
Variabel B Sig. Exp(B)
Step 2a Pengetahuan 1,862 0,016 6,434
Pemberian_ASI 2,286 0,004 9,833
Ventilasi 1,742 0,040 5,706
Jumlah_Hunian 1,885 0,014 6,587
Constant -11,560 0,000 0,000
1. Uji Regresi Logistik
Berdasarkan tabel 4.18. di atas uji yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan α = 0,05, variabel bebas (independen) yang mempunyai pengaruh
secara signifikan dengan variabel terikat (dependen) adalah sebagai berikut :
a. Apabila Sig < α (0,05) maka ada pengaruh antara varibel independen
terhadap variabel dependen.
74
b. Apabila Sig > α (0,05) maka tidak ada pengaruh antara varibel independen
terhadap variabel dependen. Pada hubungan masing-masing variabel bebas.
1) Pengetahuan memiliki nilai sig-p 0,016 < 0,05 artinya pengetahuan
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
2) Sikap memiliki nilai sig-p 0,610 > 0,05 artinya sikap tidak memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
3) Pemberian ASI eksklusif memiliki nilai sig-p 0,004 < 0,05 artinya
pemberian ASI eksklusif memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
penyakit ISPA di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh
Tenggara.
4) Ventilasi memiliki nilai sig-p 0,040 < 0,05 artinya ventilasi memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
5) Jumlah hunian memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya jumlah hunian
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa faktor (pengetahuan, pemberian
ASI eksklusif, ventilasi dan jumlah hunian) memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap penyakit ISPA, sedangkan variabel sikap tidak memiliki pengaruh
terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita.
75
2. Odds Ratio
Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai EXP (B) atau disebut juga
Odds Ratio (OR) dan dapat dilihat pada tabel 4.18.
a. Hasil nilai OR pada variabel pengetahuan ditunjukkan dengan nilai OR
6,434. Artinya pengetahuan yang kurang baik cenderung 6 kali lipat
memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA pada balita. Nilai B =
Logaritma Natural dari 6,434 = 1,862. Oleh karena nilai B bernilai positif,
maka pengetahuan mempunyai pengaruh positif terhadap penyakit ISPA.
b. Hasil nilai OR pada variabel sikap ditunjukkan dengan nilai OR 0,673.
Artinya sikap yang negatif cenderung 1 kali lipat memiliki pengaruh
terhadap penyakit ISPA. Nilai B = Logaritma Natural dari 0,673 = -0,396.
Oleh karena nilai B bernilai positif, maka sikap mempunyai pengaruh
positif terhadap penyakit ISPA.
c. Hasil nilai OR pada variabel pemberian ASI eksklisuf ditunjukkan dengan
nilai OR 9,833. Artinya ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif
cenderung 10 kali lipat memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA. Nilai B
= Logaritma Natural dari 9,833 = 2,286. Oleh karena nilai B bernilai positif,
maka pemberian ASI eksklusif mempunyai pengaruh positif terhadap
penyakit ISPA.
d. Hasil nilai OR pada variabel ventilasi ditunjukkan dengan nilai OR 5,706.
Artinya ventilasi yang tidak memenuhi syarat cenderung 6 kali lipat
memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA a. Nilai B = Logaritma Natural
76
dari 5,706 = 1,742. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka ventilasi
mempunyai pengaruh positif terhadap penyakit ISPA.
e. Hasil nilai OR pada variabel jumlah hunian ditunjukkan dengan nilai OR
6,587. Artinya kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat cenderung 6
kali lipat memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA pada balita. Nilai B =
Logaritma Natural dari 6,587 = 1,885. Oleh karena nilai B bernilai positif,
maka jumlah hunian mempunyai pengaruh positif terhadap penyakit ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, variabel yang paling besar memiliki
pengaruhnya terhadap penyakit ISPA yaitu variabel pemberian ASI eksklusif,
dimana ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif, memiliki pengaruh terhadap
penyakit ISPA sebanyak 10 kali lipat di bandingkan ibu yang memberikan ASI
eksklusif.
77
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pembahasan Penelitian
5.1.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
Berdasarkan pengaruh pengetahuan dengan penyakit ISPA, diketahui
bahwa sebanyak dari 33 responden (47,8%) yang berpengetahuan baik, sebanyak
25 responden (36,2%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 8 responden (11,6%)
mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 36 responden (52,2%) yang
berpengetahuan kurang baik, sebanyak 7 responden (10,1%) tidak mengalami
sakit dan sebanyak 29 responden (42,0%) mengalami sakit.
Variabel pengetahuan memiliki nilai sig-p 0,016 < 0,05 artinya
pengetahuan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil OR pada variabel
pengetahuan menunjukkan bahwa pengetahuan yang kurang baik cenderung 6 kali
lipat memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA. Nilai B = Logaritma Natural dari
6,434 = 1,862. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka pengetahuan mempunyai
pengaruh positif terhadap penyakit ISPA.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wahyuti tahun 2012 tentang
Hubungan antara Pengetahuan Orangtua tentang ISPA dengan Kejadian Ispa pada
Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo, menunjukkan bahwa hasil uji
statistic Chi Square diperoleh nilai χ2 = 11,307 p = 0,004. Kesimpulan penelitian
77
78
ada hubungan antara pengetahuan orangtua tentang ISPA dengan kejadian ISPA
pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo (56).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astuti tahun 2018 tentang
Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Pengaruh Polusi Udara terhadap
Penyakit ISPA di Puskesmas Perawatan Betungan Kota Bengkulu, menunjukkan
uji statistik P ≤ 0,05 0,000 mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang efek pencemaran udara pada
penyakit pernafasan Puskesmas Betungan Kota Bengkulu (57).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tidakan seseorang (Overt Behaviour). Apabila seseorang
menerima perilaku baru atau adopsi perilaku berdasarkan pengetahuan, kesadaran,
dan sikap yang positif, maka perilaku akan berlangsung lama. Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama (9).
Pada dasarnya pengetahuan akan terus bertambah dan bervariatif sesuai
dengan proses pengalaman manusia yang dialami. Menurut Brunner, proses
pengetahuan tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu proses mendapatkan informasi,
proses transformasi, dan proses evaluasi. Informasi baru yang didapat merupakan
pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan
79
penyempurnaan informasi sebelumnya. Proses transformasi adalah proses
manipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru. Proses evaluasi
dilakukan dengan memeriksa kembali apakah cara mengolah informasi telah
memadai (58).
Permasalahan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
cenderung meningkat dalam beberapa decade terakhir baik secara global maupun
nasional. ISPA telah menjadi pembunuh utama balita di dunia. Penyakit ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di Negara maju maupun di negara-
negara sedang berkembang. Kesuksesan pencegahan dan pengendalian ISPA
sangat tergantung pada kinerja fasilitas pelayanan kesehatan yang didukung oleh
sumber daya yang cukup, tenaga kesehatan yang berkomitmen serta strategi dan
kebijakan yang dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif dan
berkesinambungan. Upaya penanggulangan ISPA memerlukan upaya bersama
secara lintas unit kerja di Kementerian Kesehatan, lintas sektor terkait yang
didukung dengan keterlibatan masyarakat, termasuk akademisi, profesional dan
dunia usaha, dengan dukungan politis. Penanggulangan masalah ini perlu
dilakukan secara komprehensif mulai dari upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif (2).
Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin baik pengetahuan
dan sikap ibu terhadap kesehatan seorang anak, maka akan mengurangi resiko
terjadinya penyakit ISPA pada balita, sebaliknya apabila semakin buruk
pengetahuan dan sikap ibu terhadap kesehatan anaknya, maka resiko terjadinya
ISPA pada balita akan semakin tinggi. Pengetahuan merupakan hasil mengingat
80
suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara
sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak
atau pengamatan terhadap suatui objek tertentu. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (misalnya perilaku karena paksaan atau adanya aturan wajib).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengetahuan yang baik masih
juga terdapat 8 responden (11,6%) balita yang mengalami sakit ISPA. Hal ini
dikarenakan pengetahuan yang baik harus dibarengi juga dengan dukungan dari
faktor lain diantaranya sikap yang positif, informasi yang baik, pemberian ASI 0-
6 bulan yang, kondisi fisik rumah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan,
sehingga apabila pengetahuan yang baik juga dibarengi oleh faktor-faktor tersebut
maka otomatis pengetahuan baik akan mencegah penyakit ISPA menyerang pada
balita. Begitu juga dengan pengetahuan yang rendah tetapi terdapat balita yang
tidak mengalami sakit ISPA. Hal ini dikarenakan walaupun ibu balita tidak
memiliki pengetahuan yang baik namun mereka tetap memperhatikan kebersihan
dan keadaan rumah mereka untuk menghindari anaknya dari sakit ISPA. Kejadian
ini yang membuat pengetahuan yang baik masih terdapat balita yang mengalami
sakit ISPA begitu juga dengan pengetahuan ibu balita yang kurang tetapi terdapat
balita yang tidak mengalami sakit ISPA.
5.1.2. Pengaruh Sikap terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
Berdasarkan pengaruh antara sikap dengan penyakit ISPA, diketahui
bahwa sebanyak dari 34 responden (49,3%) yang memiliki sikap positif, sebanyak
18 responden (26,1%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 16 responden (23,2%)
81
mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 25 responden (52,2%) yang memiliki
sikap yang negatif, sebanyak 14 responden (20,3%) tidak mengalami sakit dan
sebanyak 21 responden (30,4%) mengalami sakit.
Variabel sikap memiliki nilai sig-p 0,610 > 0,05 artinya sikap tidak
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil OR pada variabel sikap
menunjukkan bahwa sikap yang negatif cenderung 1 kali lipat memiliki pengaruh
terhadap penyakit ISPA. Nilai B = Logaritma Natural dari 0,673 = -0,396. Oleh
karena nilai B bernilai positif, maka sikap mempunyai pengaruh positif terhadap
penyakit ISPA.
Tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taarelluan tahun
2016 tentang Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Tindakan
Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Desa Tataaran 1
Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa, menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Tindakan Pencegahan ISPA
dengan nilai p = 0,003 (nilai p < 0,05).Dalam penelitian ini tidak terdapat
hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan ISPA, walaupun
pengetahuan yang dimiliki baik tapi bukan menjadi jaminan mempengaruhi
tindakan pencegahan ISPA dan terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
dengan tindakan pencegahan ISPA (59).
Penelitian yang dilakukan oleh Rahim, R tahun 2013 tentang Hubungan
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit
Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu, menunjukkan hasil bahwa
82
terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan ibu balita tentang pencegahan
penyakit pneumonia dengan perilaku pencegahan penyakit pneumonia di wilayah
kerja Puskesmas Putri Ayu tahun 2013 (20).
Kematian akibat ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA
yang berat, karena infeksi telah menyerang paru-paru. Kondisi ISPA ringan
dengan flu dan batuk biasa sering diabaikan, akibatnya jika daya tahan tubuh anak
lemah penyakit tersebut akan dengan cepat menyebar ke paru-paru. Kondisi
demikian jika tidak mendapat pengobatan dan perawatan yang baik dapat
menyebabkan kematian. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA
(5). Menurut Wantania, et al., kejadian ISPA dipengaruhi oleh agen penyebab
seperti virus dan bakteri, faktor pejamu (usia anak, jenis kelamin, status gizi,
imunisasi dan lain-lain) serta keadaan lingkungan (polusi udara dan ventilasi).
Usia anak merupakan faktor predisposisi utama yang menentukan tingkat
keparahan serta luasnya infeksi saluran nafas. Selain itu, status gizi juga berperan
dalam terjadinya suatu penyakit. Hal ini berhubungan dengan respon imunitas
seorang anak. Penyakit ISPA sering dikaitkan dengan kejadian malnutrisi dan
stunting pada anak (6).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Teddy tahun 2016 tentang
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pencegahan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Poli Rawat Jalan
Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung Periode Februari 2016,
menunjukkan bahwa nilai p-value < 0,05 nilai p-value=0.000. Artinya H01 dan
H02 ditolak, dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara tingkat
83
pengetahuan dengan pencegahan ISPA pada Balita dan ada hubungan yang
bermakna antara sikap dengan pencegahan ISPA pada Balita di Poli Rawat Jalan
Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung periode Februari 2016 (60).
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap seseuatu situmulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap situmulus sosial. Newcomb salah seorang psikolog sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum meupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan „predisposisi‟ tindakan atau perilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka (41).
Pengertian lain sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu
obyek dengan cara tertentu serta merupakan respon evaluatif terhadap pengalaman
kognitif, reaksi afeksi, kehendak dan perilaku masa lalu. Sikap akan
mempengaruhi proses berfikir, respon afeksi, kehendak dan perilaku berikutnya.
Jadi sikap merupakan respon evaluatif didasarkan pada proses evaluasi diri, yang
disimpulkan berupa penilaian positif atau negatif yang kemudian mengkristal
sebagai reaksi terhadap obyek (9).
Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap responden tidak
memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan
pengalaman ibu dalam bertindak apabila anaknya sakit selain itu rasa tanggung
84
jawab dan rasa sayang orang tua terhadap anaknya, sehingga apabila orang tua
terutama ibu mendapatkan anaknya kurang sehat pasti akan khawatir dengan
kesehatan anaknya. Oleh karena itu, ibu pasti langsung memeriksakan anaknya ke
tenaga kesehatan apabila mendapatkan tanda-tanda dan gejala sakit/ISPA pada
anaknya. Sikap pada masyarakat mendorong mereka melakukan tindakan
pencegahan ISPA secara nyata sehingga masyarakat yang memiliki sikap yang
baik terhadap pencegahan ISPA akan direspon dengan melaksanakan tindakan
pencegahan ISPA dengan baik dan benar.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sikap yang positif dari ibu
namun masih juga terdapat balita yang mengalami penyakit ISPA sebanyak 16
orang. Hal ini dikarenakan masih banyak ibu yang memiliki reaksi dan kesadaran
yang baik dalam menjaga kesehatan anaknya namun kondisi rumah mereka masih
belum dalam kategori rumah yang sehat. Selain itu ibu balita dengan sikap yang
positif tetapi masih juga terdapat pengetahuan yang kurang baik, sehingga mereka
tidak mengetahui cara melakukan pencegahan penyakit ISPA pada balita. Begitu
juga dengan ibu yang memiliki sikap yang negatif namun balita yang mereka
miliki tidak mengalami sakit ISPA, dikarenakan walau mereka memiliki sikap
yang negatif namun mereka dapat menjaga anaknya tidak mengalami penyakit
ISPA. Pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan, informasi yang didapat dan kondisi
rumah yang memiliki sirkulasi udara yang baik merupakan cara mereka untuk
mencegah penyakit ISPA menyerang balita mereka.
85
5.1.3. Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap Penyakit ISPA di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
Berdasarkan pengaruh antara pemberian ASI eksklusif dengan penyakit
ISPA, diketahui bahwa sebanyak dari 28 responden (40,6%) yang memiliki sikap
positif, sebanyak 22 responden (31,9%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 6
responden (8,7%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 41 responden (59,4%)
yang memiliki sikap yang negatif, sebanyak 10 responden (14,5%) tidak
mengalami sakit dan sebanyak 31 responden (44,9%) mengalami sakit.
Variabel pemberian ASI eksklusif memiliki nilai sig-p 0,004 < 0,05 artinya
pemberian ASI eksklusif memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit
ISPA pada balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
Hasil OR pada variabel pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa ibu yang
tidak memberikan ASI eksklusif cenderung 10 kali lipat memiliki pengaruh
terhadap penyakit ISPA pada balita. Nilai B = Logaritma Natural dari 9,833 =
2,286. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka pemberian ASI eksklusif
mempunyai pengaruh positif terhadap penyakit ISPA.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umami tahun 2014 tentang
Pengaruh Pemberian Asi Eksklusif terhadap Insidensi Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bareng
Kotamadya Malang, menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan chi square
diperoleh nilai x2 = 46.642 yang lebih besar dari nilai x2 tabel = 3.841 dengan
nilai signifikansi sebesar 0.000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh
yang signifikan pemberian ASI eksklusif terhadap insidensi ISPA pada bayi usia
0-6 bulan (61).
86
Selanjutnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hersoni tahun
2019 tentang Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif terhadap Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Bayi Usia 6-12 bulan di Rab RSU
dr. Soekarjdo Kota Tasikmalaya, menunjukkan bahwa uji statistik yang diperoleh
nilai p < 0,05 artinya ada pengaruh yang bermakna antara pemberian ASI Ekslusif
dengan kejadian obesitas. Nilai OR 32,738. (95% CI : 11,951-89,684) artinya bayi
usia 6-12 bulan yang tidak diberikan ASI Ekslusif risikonya 32,738 kali lebih
besar akan mengalami Kejadian ISPA dibandingkan kelompok Tidak ISPA (62).
Penelitian yang dilakukan oleh Panduu tahun 2014 tentang Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ranotana Weru Kota Manado hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu memiliki pendidikan yang
rendah, selanjutnya balita juga tidak diberikan ASI secara eksklusif dan status
imunisasi balita tidak lengkap. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu, ASI eksklusif (p=0,684) dan status imunisasi tidak memiliki
hubungan dengan kejadian ISPA (22).
Air susu ibu (ASI) adalah makanan ideal yang tiada bandingnya untuk.
pertumbuhan dan perkembangan bayi karena mengandung nutrient yang
dibutuhkan untuk membangun dan penyediaan energi, pengaruh biologis dan
emosional antara ibu dan bayi, serta meningkatkan sistem kekebalan pada bayi.
ASI merupakan makanan tunggal yang dapat mencukupi kebutuhan tumbuh bayi
sampai usia enam bulan (47).
87
Studi-studi yang mendukung bahwa ASI merupakan faktor protektif
terhadap kejadian ISPA telah banyak dilakukan seperti penelitian Cunningham,
menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi dari berbagai penyakit termasuk infeksi
pernafasan dan infeksi usus (48). Penelitian yang dilakukan oleh Selvaraj,
membuktikan, bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA. Bayi
yang mendapat ASI akan lebih terjaga dari penyakit infeksi terutama ISPA dan
diare (49). Dilaporkan juga bahwa ASI menurunkan risiko infeksi saluran
pernafasan atas dan bawah (50).
Pemberian ASI sangat menguntungkan jika dilihat dari beberapa aspek,
baik pada bayi, ibu, maupun sosial ekonomi. Rekomendasi dari WHO bahwa
pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dapat menurunkan angka insidensi
infeksi yang sering terjadi pada bayi seperti ISPA, diare, otitis media, infeksi
saluran kemih, diabetes mellitus, obesitas dan asma. ASI mengandung zat
kekebalan terhadap infeksi yang disebabkan bakteri, virus, jamur, dan lain-lain,
sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi pada bayi. Hal ini disebabkan karena
ASI mengandung zat kekebalan terhadap infeksi diantaranya protein, laktoferin,
imunoglobin dan antibody (51).
Pemberian ASI eksklusif memberikan protektif melalui antibodi SigA
yang dapat melindungi bayi dari kuman Haemophilus Influenza yang terdapat
pada mulut dan hidung, serta menurunkan risiko terkena infeksi (50). ASI
memberikan proteksi melawan penyakit enterik dan lainnya. Colostrum atau
foremilk, dan ASI mengandung elemen yang memproteksi bayi dari penyakit
saluran respirasi dan gatrointestinal. ASI mengandung komponen yang mencegah
88
penempelan salmonella pneumonia dan Haemophilus Influenza pada reseptor
permukaan sel pejamu (52).
Hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ISPA adalah
pengobatan ISPA yang rasional. Penderita pneumonia memerlukan obat
antibiotika, demikian juga penderita pharingitis yang disebabkan oleh
Streptococcus Haemoliticus. Tetapi tidak semua penderita ISPA memerlukan
antibiotika, misalnya yang disebabkan oleh virus seperti batuk pilek biasa.
Selanjutnya, pemberian obat batuk pada balita juga tidak dianjurkan. Pada balita
yang batuk, lebih tepat diberikan pelega tenggorokan seperti minuman hangat (36).
Penemuan dini penderita dengan penatalaksanaan kasus yang benar
merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program turunnya
kematian karena pneunomia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan ISPA. Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA
akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan
berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek
biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat (36).
Menurut hasil penelitian ASI sangat dibutuhkan untuk kesehatan bayi. ASI
adalah makan terbaik untuk bayi. ASI sangat dibutuhkan untuk kesehatan bayi dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. Bayi yang
diberi ASI eksklusif akan memperoleh seluruh kelebihan ASI serta terpenuhi
kebutuhan gizinya secara maksimal sehingga dia akan lebih sehat, lebih tahan
terhadap infeksi, tidak mudah terkena alergi dan lebih jarang sakit. Pemberian ASI
eksklusif berhubungan sangat kuat dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini
89
dikarenakan ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung antibodi yang
salah satunya adalah BALT yang menghasilkan antibody terhadap infeksi
pernapasan dan sel darah putih, serta vitamin A yang dapat memberikan
perlindungan terhadap infeksi dan alergi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang memberikan ASI
eksklusif namun balita mereka masih mengalami penyakit ISPA. Hal itu
dikarenakan ibu yang memberikan ASI namun mereka tidak mengetahui
pencegahan ISPA pada balita dengan baik dan kondisi rumah mereka juga
tergolong masih dapat menyebabkan penyakit ISPA dapat menyerang balita.
Rumah ibu yang memberikan ASI eksklusif terlihat masih memiliki ventilasi yang
memiliki luas yang tidak sesuai syarat kesehatan dan juga masih terdapat
penghuni rumah dengan jumlah yang padat sehingga penyakit ISPA mudah
menyerang balita. Untuk ibu yang tidak memberikan ASI tetapi balita mereka
tidak terserang ISPA dikarenakan para ibu sudah mengetahui secara jelas tentang
bagaimana cara untuk mencegah penyakit ISPA, mereka selalu mencari informasi
tentang pencegahan penyakit ISPA dengan cara membatasi jumlah hunian sesuai
dengan syarat kesehatan dan membuat ventilasi rumah sesuai dengan luas rumah
yang dimiliki.
5.1.4. Pengaruh Ventilasi terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
Berdasarkan pengaruh antara keadaan ventilasi dengan penyakit ISPA,
diketahui bahwa sebanyak dari 31 responden (44,9%) yang memiliki ventilasi
yang memenuhi syarat, sebanyak 21 responden (30,4%) tidak mengalami akit dan
sebanyak 10 responden (14,5%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 38
90
responden (55,1%) yang memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat, sebanyak
11 responden (15,9%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 27 responden (39,1%)
mengalami sakit.
Variabel ventilasi memiliki nilai sig-p 0,040 < 0,05 artinya ventilasi
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil OR pada variabel ventilasi
menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi syarat cenderung 6 kali lipat
memiliki pengaruh terhadap tingginya penyakit ISPA. Nilai B = Logaritma Natural
dari 5,706 = 1,742. Oleh karena nilai B bernilai positif, maka ventilasi mempunyai
pengaruh positif terhadap penyakit ISPA pada balita.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyah tahun 2016 tentang
Hubungan Kualitas Debu dan Ventilasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di Bekas Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
Keputih, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan ventilasi
rumah dengan ISPA (p = 0,000) dan kadar partikel debu udara ambien dengan
ISPA (p = 0,003). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua variabel
berhubungan dengan kejadian ISPA sehingga perlu adanya pemberdayaan
masyarakat maupun sikap proaktif dari berbagai perangkat pemerintahan di
wilayah penelitian terhadap pencegahan penyakit ISPA serta adanya kontrol yang
baik terhadap kualitas kesehatan lingkungan RW VIII Kelurahan Keputih (63).
Selanjutnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Safrizal tahun
2017 tentang Hubungan Ventilasi, Lantai, Dinding, dan Atap dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Blang Muko, menunjukkan bahwa variabel ventilasi
91
didapatkan nilai (P.Value 0,032<α=0,05) artinya ada hubungan ventilasi rumah
dengan kejadian ISPA (31).
Penelitian yang dilakukan oleh Mahmud tahun 2010, tentang Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Anak Balita di
Wilayah kerja Puskesmas Manipi Kecamatan Sinjai barat Kabupaten Sinjai Tahun
2010, menunjukkan bahwa ada hubungan antara Merokok dalam rumah dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita, ada hubungan antara Ventilasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita, ada hubungan antara kamarisasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada anak balita dan tidak ada hubungan penggunaan
jenis bahan bakar masak Biomass dan Kelengkapan Imunisasi dengan kejadian
penyakit ISPA pada anak balita (12).
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara atau dari
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Secara umum, penilaian
ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai
rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah,
luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah > 10% luas lantai rumah
dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai
rumah (42).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang <10
% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
92
yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi
akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman (43).
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman yang ada di dalam rumah tidak
dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Hawa segar diperlukan
untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai (43).
Menurut WHO, pencemaran udara diduga menjadi pencetus infeksi virus
pada saluran nafas bagian atas. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah,
bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat.
Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita penyakit ISPA dan
carrier yang disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepada orang
lain melalui kontak langsung atau melalui benda-benda yang telah tercemar bibir
penyakit termasuk udara (39).
Menurut penelitian Iwan sain, penularan melalui udara di maksudkan
adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan
benda yang terkontaminasi dan tidak jarang penyakit yang sebagian ilmu besar
93
penularan adalah karena menghisap udara yang mengandung penyebab atau
mikroorganisme tempat kuman berada (reservoir). ISPA dapat ditularkan melalui
air ludah, darah.cipratan bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang
terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (39).
Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin buruk keadaan
ventilasi suatu rumah di mana persyaratan ventilasi alamiah tidak terpenuhi maka
kemungkinan timbulnya kejadian ISPA juga akan semakin tinggi, begitu pula
sebaliknya. Suatu ruangan dengan sistem ventilasi yang kurang baik dan dihuni
oleh manusia akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan. Tidak
cukup ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini
merupakan media yang baik untuk bakteri penyebab penyakit. Tidak cukup
ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini
merupakan media yang baik untuk bakteri penyebab penyakit. Adapun faktor
ventilasi sebagai adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar, membebaskan ruangan dari bakteri, terutama bakteri patogen karena
terjadi aliran udara yang terus menerus dan menjaga agar ruangan rumah selalu
tetap di dalam kelembapan yang optimum. Penyakit saluran pernapasan seperti
influenza, ISPA dan TBC dapat dengan mudah menular akibat ventilasi yang tidak
memadai.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki ventilasi
yang memiliki syarat tetapi balita yang mereka miliki mengalami penyakit ISPA,
94
hal ini dikarenakan ventilasi yang memenuhi syarat belum mampu mencegah
penyakit ISPA pada balitia tanpa dukungan dari faktor pengetahuan yang baik,
sikap yang positif, pemberian ASI dan juga faktor lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini seperti faktor kebiasaan keluarga perokok dan juga tindakan
menjaga lingkungan yang baik. Begitu juga dengan ibu yang memiliki ventilasi
yang tidak memenuhi syarat tetapi balita mereka tidak mengalami ISPA. Hal ini
dikarenakan sebagian besar ibu memiliki kesadaran yang baik dalam menjaga
anaknya untuk tidak terserang penyakit ISPA.
5.1.5. Pengaruh Jumlah Hunian terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara
Berdasarkan pengaruh antara kepadatan hunian dengan penyakit ISPA,
diketahui bahwa sebanyak dari 34 responden (49,3%) yang memiliki jumlah
hunian yang tidak padat, sebanyak 24 responden (34,8%) tidak mengalami sakit
dan sebanyak 10 responden (14,5%) mengalami sakit. Selanjutnya sebanyak 35
responden (50,7%) yang memiliki jumlah hunian yang padat, sebanyak 8
responden (11,6%) tidak mengalami sakit dan sebanyak 27 responden (39,1%)
mengalami pneumonia berat.
Variabel kepadatan hunian memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya
jumlah hunian memiliki pengaruh secara signifikan terhadap penyakit ISPA pada
balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil OR pada
variabel jumlah hunian menunjukkan bahwa kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat cenderung 6 kali lipat memiliki pengaruh terhadap penyakit ISPA
pada balita. Nilai B = Logaritma Natural dari 6,587 = 1,885. Oleh karena nilai B
95
bernilai positif, maka kepadatan hunian mempunyai pengaruh positif terhadap
penyakit ISPA pada balita.
Tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iksan tahun 2015
tentang Hubungan Kepadatan Hunian dan Ventilasi Rumah dengan Penyakit ISPA
pada Anak Balita di Puskesmas Wani Kabupaten Donggala, menunjukkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi rumah dengan penyakit
ISPA pada balita (p=0,000<0,05). Sebaliknya, tidak ada hubungan yang bermakna
antara kondisi kepadatan hunian dengan penyakit ISPA (64).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agungnisa tahun 2019
tentang Faktor Sanitasi Fisik Rumah yang Berpengaruh terhadap Kejadian Ispa
pada Balita di Desa Kalianget Timur, menunjukkan bahwa uji Chi-square
didapatkan p-value= 0,000, maka dapat disimpulkan jika terdapat hubungan yang
berarti antara kepadatan hunian kamar balita dengan kejadian ISPA pada balita di
Desa Kalianget Timur (65).
Penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti tahun 2012 tentang Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Sekitar
Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa Kota Makassar,
menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara keadaan ventilasi rumah dengan
kejadian ISPA pada balita (p=0,002), ada hubungan antara kamarisasi dengan
kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,007), ada hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,000), tidak ada hubungan
antara kepemilikan lubang asap dengan kejadian penyakit ISPA pada balita
(p=0,876), ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok
96
dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,032), dan ada hubungan antara
jarak rumah dari TPA dengan kejadian penyakit ISPA pada balita (p=0,040) (17).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Suryani tahun 2018 tentang
Faktor Risiko Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Pada
Balita (Studi di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Bengkulu), menunjukkan
hasil bahwa, Kepadatan hunian terbukti sebagai faktor risiko kejadian pneumonia
pada balita dengan OR adjusted 2,94 artinya balita yang tinggal di rumah dengan
luas kamar < 8 m2 dihuni lebih dari 2 orang, berisiko menderita pneumonia
sebesar 2,94 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang ting-gal di rumah
dengan luas kamar < 8 m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang (34).
Kepadatan hunian dalam Permenkes nomor 829/MENKES/SK/VII/1999
dijelaskan bahwa persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati
luas rumah 8m2.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor
polusi dan rumah yang tlah ada. Peneliti menunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronko pneumonia pada bayi, tetapi di sebut
bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan member korelasi yang tinggi
pada faktor ini (42).
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para
ahli psikologi lingkungan. Kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit
ruangan atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu
dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah
manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan
luas ruangannya (44).
97
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi
dalam rumah yang telah ada. Penelitian manunjukkan ada hubungan bermakna
antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi
disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial dan pendidikan memberi korelasi
yang tinggi pada faktor ini. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang
sangat penting bagi kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat
untuk melepas lelah setelah bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti
yang penting sebagai tempat untuk membangun kehidupan keluarga sehat dan
sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah
dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga menjadi rumah yang sehat dan
layak dihuni Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah dan
perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (44).
Ruangan suatu rumah juga berperan dalam meningkatkan jumlah bakteri,
hal ini terjadi apabila terdapat sumbernya misalnya adanya penderita ISPA,
sehingga kondisi ruangan yang memang mendukung perkembangan bakteri dan
mikroorganisme lain akan menyebabkan jumlah bakteri juga mengalami
peningkatan jumlahnya yang membawa resiko bagi orang lain (45).
Kepadatan penguni rumah sangat berpengaruh terhadap jumlah koloni
kuman penyebab penyakit menular, seperti gangguan saluran pernapasan. Selain
itu kepadatan penghuni rumah dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam
rumah. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara
98
dalam rumah mengalami pencemaran karena kadar CO2 dalam rumah akan cepat
meningkat dan akan menurunkan O2
yang ada di udara (43).
ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui Air Conditioner
(AC), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus.
Mikroorganisme menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada saat terjadi ISPA yang disebabkan oleh virus,
hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakteri,
yang menyebabkan bakteri patogen masuk ke dalam rongga-rongga sinus (39).
Menurut hasil penelitian terdapat pengaruh antara kepadatan hunian
terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita. Hal ini dikarenakan rumah padat
penghuni akan membuat proses pertukaran udara di dalam rumah tidak berjalan
dengan baik, sehingga mempermudah penularan penyakit seperti ISPA karena
penularannya ditransmisikan melalui udara. Jika semakin padat hunian maka
perpindahan penyakit terutama penyakit yang transmisinya melalui udara akan
semakin cepat dan mudah, karena itu kepadatan hunian adalah variabel yang
memiliki peran dalam kejadian ISPA pada balita. Kepadatan hunian dapat
meningkatkan kelembapan akibat uap air dari pernapasan diikuti peningkatan
Karbon Dioksida (CO2) ruangan, penurunan kadar oksigen, sehingga
menimbulkan penurunan kualitas udara dalam rumah an menyebabkan daya tahan
tubuh penghuninya menurun dan memudahkan terjadinya pencemaran gas atau
bakteri kemudian cepat menimbulkan penyakit saluran pernapasan seperti ISPA.
99
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki jumlah
hunian yang tidak padat namun memiliki balita yang mengalami ISPA,
dikarenakan banyak ibu yang tidak memahami tentang pentingnya kesadaran
dalam mencegah penyakit ISPA sehingga banyak ibu yang mengabaikan tentang
pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah ISPA. Begitu juga
dengan ibu yang memiliki jumlah hunian yang padat tetapi balita yang mereka
miliki tidak mengalami penyakit ISPA. Kejadian ini terjadi karena banyak ibu
yang mendapatkan informasi yang tepat dalam melakukan pecegahan ISPA baik
informasi dari tetangga maupun dari keluarga, informasi ini yang membuat ibu
mau melakukan cara-cara yang dapat menghindari balita mereka terserang
penyakit ISPA.
5.2. Implikasi Penelitian
Implikasi merupakan suatu konsekuensi atau akibat daru hasil penemuan.
Hasil penelitian ini memberikan implikasi bagi pihak Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara, khususnya masyarakat akan pentingnya
menjaga sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat agar dapat mengurangi
terjadinya ISPA pada balita. Hal ini juga menjadi acuan bagi tenaga kesehatan
agar lebih mengetahui dan menyadari tentang pentingnya mencegah ISPA,
sehingga dapat menurunkan penyakit ISPA yang terjadi pada balita.
Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
penjelasan dan bahan masukan bagi Puskesmas Deleng Pokhkisen untuk
meningkatkan pemberian informasi kepada ibu serta masyarakat berupa
penyuluhan kesehatan atau promosi kesehatan agar masyarakat dapat lebih
100
memperbaiki perilakunya dalam melakukan pencegahan ISPA sehingga kejadian
penyakit ISPA pada balita dapat diturunkan seperti memberikan penyuluhan
tentang pemberian ASI pada bayi usia 0-6 bulan dan membuat ventilasi rumah
sesuai dengan syarat kesehatan serta memberikan informasi tentang kondisi
kepadatan hunian sesuai syarat kesehatan. Tujuan implikasi penelitian adalah
membandingkan hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya dengan hasil
penelitian yang terbaru atau baru dilakukan melalui sebuah metode.
5.3. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan dengan semaksimal mungkin, namun
demikian masih ditemui keterbatasan dalam penelitian ini.
1. Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti beberapa faktor-faktor yang
memengaruhi penyakit ISPA pada balita, diharapkan pada peneliti
selanjutnya untuk menambah faktor risiko lainnya diluar faktor yang sudah
diteliti.
2. Tidak adanya informasi yang jelas tentang faktor yang sering mempengaruhi
ISPA dan angka penyakit ISPA pada balita oleh pihak Puskesmas Deleng
Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara.
3. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuesioner yaitu
terkadang jawaban yang diberikan oleh sampel tidak menunjukkan keadaan
yang sesungguhnya.
101
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu :
1. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel pengetahuan memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Semakin tinggi pengetahuan
seseorang maka semakin tinggi pula pencegahan penyakit ISPA pada balita.
Apabila pengetahuan seseorang rendah maka mereka tidak akan mengetahui
cara yang baik dalam melakukan pencegahan penyakit ISPA pada balita.
2. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel sikap tidak memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Sikap pada masyarakat
mendorong mereka melakukan tindakan pencegahan ISPA secara nyata
sehingga masyarakat yang memiliki sikap yang baik terhadap pencegahan
ISPA akan direspon dengan melaksanakan tindakan pencegahan ISPA dengan
baik dan benar.
3. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel pemberian ASI eksklusif
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap tingginya penyakit ISPA pada
balita di Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Pemberian
ASI eksklusif berhubungan sangat kuat dengan kejadian ISPA pada balita.
Hal ini dikarenakan ASI mengandung kolostrum yang banyak mengandung
101
102
antibodi yang salah satunya adalah BALT yang menghasilkan antibodi
terhadap infeksi pernapasan.
4. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel ventilasi memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita di Puskesmas
Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Semakin buruk keadaan
ventilasi suatu rumah di mana persyaratan ventilasi alamiah tidak terpenuhi
maka kemungkinan timbulnya kejadian ISPA juga akan semakin tinggi,
begitu pula sebaliknya. Suatu ruangan dengan sistem ventilasi yang kurang
baik dan dihuni oleh manusia akan menimbulkan keadaan yang dapat
merugikan kesehatan.
5. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel kepadatan hunian memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap tingginya penyakit ISPA pada balita di
Puskesmas Deleng Pokhkisen Kabupaten Aceh Tenggara. Rumah padat
penghuni akan membuat proses pertukaran udara di dalam rumah tidak
berjalan dengan baik, sehingga mempermudah penularan penyakit seperti
ISPA karena penularannya ditransmisikan melalui udara. Jika semakin padat
hunian maka perpindahan penyakit terutama penyakit yang transmisinya
melalui udara akan semakin cepat dan mudah, karena itu kepadatan hunian
adalah variabel yang memiliki peran dalam kejadian ISPA pada balita.
6.2. Saran
1. Bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan yang kurang baik diharapkan
lebih mencari dan menggali informasi tentang cara mencegah penyakit ISPA,
sehingga apabila mereka sudah mendapat informasi dengan baik maka
103
masyarakat juga akan menjadi lebih mengetahui dalam melakukan
pencegahan ISPA agar tidak menyerang balita baik dari perilaku masyarakat
sendiri hingga menjaga kondisi kebersihan rumah agar tetap sehat.
Pengetahuan masyarakat akan terus bertambah dan bervariatif sesuai dengan
proses pengalaman manusia yang dialami dan informasi yang didapatkannya.
2. Bagi masyarakat yang memiliki sikap yang negatif diharapkan dapat lebih
menumbuhkan kesadarannya dalam menjaga kondisi fisik rumah dan
menumbuhkan tindakan serta rasa peduli terhadap pencegahan ISPA, sehingga
penyakit ISPA dapat dicegah dari balita.
3. Bagi masyarakat yang tidak memberikan ASI Eksklusif diharapkan dapat
lebih memperhatikan kesehatan balitanya dengan cara mencari informasi
tentang pentingnya memberikan ASI sebagai cara pencegahan ISPA pada
balita serta selalu memberikan ASI Eksklusif kepada bayi 0-6 bulan tanpa
memberikan susu formula dan makanan pedamping apapun, agar balita
memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi dengan baik dalam
mencegahan penyakit ISPA.
4. Bagi masyarakat yang tidak memiliki ventilasi yang memenuhi syarat
diharapkan dapat membuat ventilasi sesuai dengan luas lantai rumah yang
dimiliki, sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik dan tidak
menimbulkan rasa panas serta pengap di dalam rumah. Udara di dalam yang
bersirkulasi dengan baik akan menutup perkembang biakan bakteri dan virus
penyebab ISPA.
104
5. Bagi masyarakat yang masih memiliki jumlah dengan hunian yang padat
kiranya dapat mengurangi jumlah hunian di dalam rumah, agar kondisi rumah
dapat lebih nyaman, udara dalam rumah tidak pengap dan rumah menjadi
lebih sehat, sehingga balita yang ada di dalam rumah dapat tercegah dari
penyakit ISPA.
105
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. J Mol Struct. 2016;97(C):285–8.
2. Ditjen P2PL. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. 2016;1–50.
3. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
4. Dinkes Aceh. Profil Kesehatan Aceh. Aceh: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh;
2017.
5. Depkes RI. Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia
Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
6. Wantania J, Naning R, Wahani A. Infeksi Respiratori Akut dalam: Buku Ajar
Respirologi Anak IDAI. Jakarta: EGC; 2012.
7. Henrik L Blum. Planning for Health; Development Application of Social
Change Theory. New York. 1974;1974.
8. Wahyuni R. Hubungan Faktor Lingkungan dan Faktor Perilaku Keluarga
dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Ambacang Padang
Tahun2010. 2011;
9. Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2014.
10. Ijana, Eka NLP, Lasri. Analisis Faktor Resiko Terjadinya Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Lingkungan Pabrik Keramik Wilayah
Puskesmas Dinoyo, Kota Malang. J Nurs News. 2017;II(3):31–7.
11. Sofia. Environmental risk factors for the incidence of ARI in infants in the
working area of the Community Health Center Ingin Jaya District of Aceh
Besar. Action. 2017;2(1):43–0.
12. Mahmud I. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Ispa
Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Manipi Kec.Sinjai Barat Kab.
Sinjai Tahun 2010. 2010;
13. Eka Wardhani, Kancitra Pharmawati, M.Rangga Sururi NK. Hubungan
Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, Dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian
Insfeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Di Kelurahan Cicadas
Kota Bandung. Pros Semin Nas Sains Teknol – III. 2010;18–9.
14. Layuk RR, Noer NN. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Lembang Batu Sura. 2012;1–12.
15. Dwi Yani Bidaya, Titan Ligita MT. Relationship with the knowledge level
infant behavior in prevention ari health district segedong. 2012;
16. Indriani D. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) dengan Perilaku Pencegahan pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Tirto II Kabupaten Pekalongan. 2012;1–13.
17. Noviyanti V. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA
Pada Balita di Sekitar Wilayah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS)
Tamangapa Kota Makassar. 2012;1–112.
18. Trisnawati Y, Juwarni. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan
105
106
Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten
Purbalingga 2012 Correlation Between Parent Smooking Behavior With
Acute Respiratory Infections (Ari) Insident At Working Area of Public Heal.
Kesmasindo. 2013;6(1):35–42.
19. Syahidi MH, Gayatri D, Bantas K. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Berumur 12-59
Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat , Kecamatan Tebet , Jakarta
Selatan , Tahun 2013 Factors that Affecting Acute Respirator y Infection (
ARI ). J Epidemiol Kesehat Indones. 2016;1(1):23–7.
20. Rahim R. Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Ibu Balita Dengan Perilaku
Pencegahan Penyakit Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu.
Artik Ilm. 2013;
21. Meita PRR. Hubungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita
disekitar Usaha Pembuatan Batu Bata di Desa Tanjung Mulia Kecamatan
Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang. J Biol Chem. 2013;(5):1–9.
22. Cheryn D. Panduu. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranotana Weru Kota Manado. 2014;1–7.
23. Lingga RN. Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada
Balita dalam Keluarga Perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatan
Berastagi Kabupaten Karo. Univ Sumatera Utara Dep Kesehat Lingkung.
2014;1–10.
24. Krismean D. Faktor Lingkungan Rumah dan Faktor Perilaku Penghuni
Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Sekaran. Autoimmunity. 2015;29(4):299–309.
25. Milo S, Ismanto AY, Kallo VD. Hubungan kebiasaan merokok di dalam
rumah dengan kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario
Kota Manado. J Keperawatan. 2015;3(2).
26. Taarelluan KT. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap
Tindakan Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Desa
Tataaran 1 Kecamatan Tondano Selatankabupaten Minahasa. J Kedokt
Komunitas dan Trop. 2016;Volume IV.
27. Ridwan A. Pencegahan Primer Penyakit I nfeksi Saluran Pernafasan Akut
pada Balita di Desa Ceurih Wilayah Kerja Puskesmas Ulee Kareng Banda
Aceh. 2016;VII(1):78–82.
28. Fitriawan Riyadi F. Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Perawatan
ISPA pada Balita. Gaster. 2015;XVI(1):423–34.
29. Chandra. Hubungan Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dengan Upaya Pencegahan
ISPA pada Balita oleh Ibu yang Berkunjung ke Puskesmas Kelayan Timur
Kota Banjarmasin. 2017;11–5.
30. Sumiyani S. Faktor-Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Bayi Usia 0-12 Bulan di Desa Sruwen Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang. STIKES Ngudi Waluyo Ung. 2013;1–10.
31. Safrizal. Hubungan Ventilasi, Lantai, Dinding, dan Atap dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Blang Muko. Pros Semin Nas IKAKESMADA “Peran
Tenaga Kesehat dalam Pelaks SDGs.” 2017;978–9.
107
32. Dessy Irfi Jayanti, Taufik Ashar DA. Pengaruh Lingkungan Rumah Terhadap
ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kabupaten
Labuhan Batu. Jumantik. 2018;3(2):1–15.
33. Dary. Strategi Tenaga Kesehatan Dalam Menurunkan Angka Kejadian ISPA
pada Balita Wilayah Binaan Puskesmas Getasan. Kesmadaska.
2018;(July):142–52.
34. Suryani, Hadisaputro S, Zain S. Faktor Risiko Lingkungan Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita ( Studi di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Bengkulu ). Higiene. 2018;4(1):26–31.
35. Kunoli. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info Media; 2013.
36. Hartono dan Rahmawati. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada Anak.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
37. Manurung S dkk. Gangguan Sistem Pernapasan Akibat Infeksi. Jakarta:
Trans Info Media; 2013.
38. Maryunani A. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info
Media; 2010.
39. WHO. Epidemic-prone and pandemic-prone acute respiratory diseases:
Infection prevention and control in helath-care facilities. 2008;53(2):27–9.
40. Depkes RI. Pneumonia Balita. Bul Jendela Epidemiol. 2010;3:399–404.
41. Wawan A, Dewi M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku
Manusia : Dilengkapi Contoh Kuesioner. Yogyakarta: Nuha Medika; 2011.
42. Kementerian Kesehatan RI. KEPMENKES_829_1999.pdf. 1999. p. 1–6.
43. Chandra B. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC; 2014.
44. Sarwono. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Rumah Tangga. Jakarta:
Rineka Cipta; 2010.
45. Muhajirin. Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC; 2010.
46. Soesanto, Soewasti S, Lubis A, Atmosukarto K. Hubungan Kondisi
Perumahan dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Vol. 10. Jakarta:
Media Litbang Kesehatan; 2000. 27–31 p.
47. Roesli U. Mengenal ASI Ekslusif. 1st ed. Jakarta: Trubus Agriwidya; 2001.
48. Cunningham AS. Morbidity in breastfeed and artificially for infants. J
Pediatr. 1979;95(5).
49. Selvaraj K, Chinnakali P, Majumdar A, Krishnan I. Acute respiratory
infections among under-5 children in India: A situational analysis. J Nat Sci
Biol Med. 2014;5(1):15.
50. Hanson LÅ. Breast-feeding and protection against infection. Scand J Food
Nutr. 2006;50(1):32–4.
51. Lawrence R. Breastfeeding: a guide for the medical profession. 6th ed. St
Louis: Mosby Inc; 2005.
52. Fatmi Z, White F. A comparison of “cough and cold” and pneumonia: Risk
factors for pneumonia in children under 5 years revisited. Int J Infect Dis.
2002;6(4):294–301.
53. Muhammad I. Panduan penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan
Menggunakan Metode Ilmiah. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis; 2015.
54. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D). Bandung: Alfabeta; 2015.
108
55. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;
2012.
56. Wahyuti. Hubungan antara Pengetahuan Orangtua tentang ISPA dengan
Kejadian Ispa pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo.
2012;1–13.
57. Astuti SJ. Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Pengaruh Polusi Udara
terhadap Penyakit ISPA di Puskesmas Perawatan Betungan Kota Bengkulu.
2018;6(1):72–5.
58. Mubarak W. Promosi Kesehatan untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika;
2011.
59. Taarelluan KT. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap
Tindakan Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Desa
Tataaran 1 Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa. J Kedokt
Komunitas dan Trop. 2016;IV(1).
60. Teddy. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap
Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Poli
Rawat Jalan Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung Periode Februari
2016. 2016;27.
61. Umami L. Pengaruh Pemberian Asi Eksklusif terhadap Insidensi Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Bareng Kotamadya Malang. 2014;1:95–101.
62. Hersoni S. Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif terhadap
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Bayi Usia 6-12 bulan
di Rab RSU dr. Soekarjdo Kota Tasikmalaya. J Kesehat Bakti Tunas Husada.
2019;19(1):56–64.
63. Fitriyah L. Hubungan Kualitas Debu dan Ventilasi Rumah dengan Kejadian
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di Bekas Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) Keputih. J Kesehat Lingkung. 2016;8(2):137–47.
64. Iksan. Hubungan Kepadatan Hunian dan Ventilasi Rumah dengan Penyakit
ISPA pada Anak Balita di Puskesmas Wani Kabupaten Donggala.
2015;1034–43.
65. Village KT, Agungnisa A, Lingkungan DK, Masyarakat FK, Info A, Akut
SP, et al. Faktor Sanitasi Fisik Rumah yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Ispa pada Balita di Desa Kalianget Timur. 2019;11(1).
109
Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR YANG MEMENGARUHI BALITA TERHADAP PENYAKIT
ISPA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
No. Responden :
A. Karakteristik responden
1. Nama :
2. Umur :
3. Tingkat pendidikan :
a. Tidak sekolah
b. Tamat SD
c. Tamat SLTP
d. Tamat SMA
e. Tamat Perguruan Tinggi
B. Pengetahuan
1. Apakah pengertian dari penyakit ISPA ?
a. Infeksi saluran pernapasan yang menyerang bagian atas, seperti hidung,
tenggorokan, faring, laring, dan bronkus.
b. Infeksi saluran pencernaan yang menyerang lambung
c. Infeksi saluran pendengaran yang menyerang gendang telinga
2. Apakah gejala penyakit ISPA ?
a. Menggigil
b. Kepala Pusing
c. Sesak Nafas
3. Masalah apakah yang dapat menyebabkan penyakit ISPA dapat menyerang ?
a. Pola makan yang tidak baik
b. Saluran pembuangan air limbah yang tidak baik
c. Ventilasi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan syarat kesehatan
4. Gejala seperti Influenza, batuk dan pilek termasuk kedalam penyakit?
a. ISPA
b. Diare
c. DBD
5. Apakah yang menyebabkan penyakit ISPA ?
a. Serangga
b. Bakteri dan Virus
c. Jamur
6. Gejala yang dapat ditimbulkan pada penyakit ISPA akan bertambah buruk
jika anak tidak mendapatkan ?
a. Vitamin A
b. Susu Formula
c. ASI Eksklusif
110
7. Sewaktu si penderita ISPA batuk, maka orang yang berada di dekatnya?
a. Tetular
b. Tidak Tertular
c. Biasa Saja
8. Apakah cara yang tepat untuk melakukan pencegahan penyakit ISPA ?
a. Membuat ventilasi sesuai dengan syarat kesehatan dan membatasi jumlah
hunian didalam rumah
b. Memberikan susu formula pada balita dan menjaga kesbersihannya
c. Memberikan vitamin pada balita dan tidak memperbolehkan keluar rumah
C. Sikap
Keterangan :
SS : Sangat Setuju TS : Tidak Setuju
S : Setuju STS : Sangat Tidak Setuju
No. Pertanyaan SS S TS STS
1 Penanggulangan penyakit ISPA pada balita dapat
dilakukan di rumah
2 Untuk menanggulangi balita yang menderita ISPA dengan
gejala batuk dapat dengan hanya diberi ramuan tradisional
3 Pencegahan penyakit ISPA dapat berhasil dengan baik
apabila dilakukan penyuluhan tentang penyakit ISPA
4 Membawa anak berobat kedokter jika balita sesak nafas
karena ISPA
5 Anak akan memiliki kekebalan tubuh yang baik dan akan
sulit terkena ISPA apabila diberikan ASI Eksklusif 0-6 bulan
6 Membuka jendela setiap pagi merupakan cara yang paling
sederhana untuk melakukan pencegahan ISPA
7 Penghuni dalam satu rumah maksimal harus 3 orang saja,
agar udara dalam rumah terbebas dari bakteri penyebab
ISPA
D. Pemberian ASI Eksklusif
1. Apakah ibu memberikan ASI Eksklusif pada balita pada saat usia 0 hingga 6
bulan ?
a. Ya
b. Tidak
E. Keadaan Ventilasi
No Pertanyaan ≥ 10 % dari luas Lantai < 10 % dari luas Lantai
1 Luas Ventilasi
111
F. Jumlah Hunian
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah rumah ibu dihuni maksimal 3 orang?
2 Apakah rumah ibu tidak terasa panas (pengap)?
3 Apakah penghuni kamar tidur di dalam rumah dihuni
maksimal oleh 2 orang?
4 Apakah luas rumah yang ibu miliki > 8 m2
G. Penyakit ISPA
1. Apakah anak ibu mengalami penyakit ISPA (batuk, sesak nafas, infeksi paru) :
a. Ya
b. Tidak
112
Lampiran 2
MASTER TABEL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS PENGETAHUAN
No. P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 Jumlah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9
2 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 3
3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 2
4 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 9
5 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 4
6 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 4
7 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 3
8 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9
9 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 3
10 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 5
11 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 6
12 1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 6
13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
14 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9
15 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 6
16 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
17 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 8
18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 5
20 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 6
Keterangan :
1 : Benar
0 : Salah
113
MASTER TABEL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS SIKAP
No. S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 Jumlah
1 4 4 3 4 4 1 3 4 4 4 35
2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 11
3 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 15
4 4 1 4 4 4 1 4 4 4 3 33
5 4 3 2 3 4 3 2 3 4 1 29
6 3 4 1 4 3 4 1 4 3 3 30
7 4 1 1 1 1 1 1 1 1 4 16
8 2 1 4 2 4 1 4 2 4 2 26
9 1 3 1 3 1 3 1 3 1 1 18
10 1 2 1 2 1 2 1 2 3 1 16
11 4 1 4 1 4 1 4 1 4 4 28
12 4 3 2 3 2 3 2 3 2 1 25
13 3 1 1 4 3 1 1 4 3 3 24
14 4 1 3 1 1 1 3 1 1 4 20
15 2 1 1 4 3 1 1 4 3 2 22
16 4 4 1 1 1 4 1 1 1 4 22
17 4 2 4 2 4 2 4 2 4 4 32
18 4 1 4 1 4 1 4 1 4 1 25
19 4 3 2 3 2 3 2 3 2 4 28
20 3 4 4 4 3 4 4 4 3 3 36
Keterangan :
4 : Sangat Setuju 2 : Tidak Setuju
3 : Setuju 1 : Sangat Tidak Setuju
114
MASTER TABEL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS KEADAAN VENTILASI DAN JUMLAH HUNIAN
No. KV1 KV2 KV3 KV4 KV5 Jumlah KH1 KH2 KH3 KH4 Jumlah
1 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 4
2 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 4
5 1 1 1 0 1 4 0 0 1 0 1
6 1 1 1 1 1 5 0 0 1 0 1
7 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0
8 1 1 1 1 0 4 1 1 1 1 4
9 1 1 1 0 1 4 1 0 0 1 2
10 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 2
11 1 1 1 1 1 5 1 0 1 1 3
12 0 1 0 1 0 2 0 0 1 0 1
13 1 0 0 1 1 3 1 1 1 1 4
14 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 4
15 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 3
16 1 1 1 1 1 5 1 1 1 0 3
17 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 4
18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 1 1 1 1 1 5 0 0 1 0 1
20 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 3
Keterangan :
1 : Ya
0 : Tidak
115
Lampiran 3
MASTER TABEL PENELITIAN
FAKTOR YANG MEMENGARUHI BALITA TERHADAP PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS DELENG POKHKISEN
KABUPATEN ACEH TENGGARA
No. Umur Pddkn Pengetahuan
Jlh Kat Sikap
Jlh Kat P.ASI Kondisi Ventilasi
Jlh Kat Jumlah Hunian
Jlh Kat T.
ISPA 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 1 2 3 4
1 2 4 1 0 1 0 0 1 1 1 5 2 4 4 2 4 4 3 4 25 2 2 1 0 1 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 2
2 2 5 1 1 0 1 1 1 0 1 6 2 3 4 4 4 2 1 3 21 2 2 1 1 0 0 1 3 2 1 1 1 1 4 2 2
3 1 4 0 0 1 1 1 1 1 0 5 2 1 2 1 1 2 3 1 11 1 1 1 1 1 1 1 5 2 0 1 0 0 1 1 2
4 1 3 1 0 0 1 0 0 0 0 2 1 1 1 4 4 1 4 4 19 2 1 1 0 0 1 0 2 1 1 0 1 1 3 2 1
5 2 4 0 1 0 0 0 1 0 0 2 1 4 4 4 4 4 3 4 27 2 2 1 1 0 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 1
6 1 3 0 0 1 0 1 0 1 1 4 1 3 1 2 2 4 4 2 18 2 1 1 0 0 1 0 2 1 0 0 0 1 1 1 1
7 2 4 1 1 1 1 0 1 1 1 7 2 1 2 1 1 1 2 1 9 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 0 3 2 2
8 2 3 0 0 0 1 0 1 0 0 2 1 2 1 1 3 1 3 4 15 1 1 1 0 0 0 1 2 1 0 1 0 0 1 1 1
9 1 4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2 4 4 2 4 4 2 1 21 2 1 1 1 0 1 1 4 2 1 1 1 1 4 2 2
10 2 4 1 1 0 0 1 0 1 1 5 2 4 3 1 2 2 4 2 18 2 2 1 1 1 1 0 4 2 1 1 1 1 4 2 2
11 1 2 0 0 1 0 0 0 0 1 2 1 1 1 1 4 1 1 2 11 1 1 1 0 0 0 1 2 1 1 0 0 0 1 1 1
12 2 3 1 0 0 1 0 1 0 0 3 1 2 1 3 3 3 1 1 14 1 1 1 0 1 1 1 4 2 0 0 1 1 2 1 1
13 2 5 0 1 1 0 1 1 1 1 6 2 1 1 1 4 1 1 2 11 1 2 1 1 0 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 2
14 2 3 0 0 1 1 0 0 1 1 4 1 3 1 1 3 4 4 4 20 2 1 1 0 0 0 1 2 1 1 1 0 1 3 2 1
15 1 4 1 1 0 1 1 1 1 1 7 2 1 2 2 1 3 1 2 12 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 1 4 2 2
16 2 4 0 0 1 0 0 1 0 1 3 1 2 1 1 2 1 3 1 11 1 2 1 0 0 1 0 2 1 0 1 1 0 2 1 2
17 2 3 0 1 0 0 1 0 0 0 2 1 4 4 4 4 4 4 4 28 2 1 1 0 0 0 1 2 1 1 0 1 1 3 2 1
18 1 4 1 0 1 1 1 1 1 0 6 2 2 1 1 1 2 1 1 9 1 2 1 0 0 1 0 2 1 1 1 0 1 3 2 2
19 2 4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2 4 3 1 1 4 4 3 20 2 2 1 1 0 0 0 2 1 0 0 1 0 1 1 1
20 1 2 1 0 0 0 0 1 0 0 2 1 2 1 2 2 1 3 1 12 1 1 1 0 0 0 1 2 1 1 1 0 0 2 1 1
21 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 2 1 1 2 1 9 1 1 1 1 1 1 1 5 2 0 0 1 1 2 1 1
22 2 4 0 1 1 0 1 0 0 0 3 1 3 3 4 4 2 2 4 22 2 2 1 1 0 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 1
23 1 3 1 1 0 0 0 1 1 1 5 2 2 1 3 3 4 4 1 18 2 1 1 1 1 1 1 5 2 1 1 0 0 2 1 2
24 1 3 0 0 0 1 0 0 1 0 2 1 4 4 4 4 4 4 4 28 2 1 1 0 0 0 1 2 1 0 0 1 1 2 1 1
25 2 5 1 1 1 0 0 1 1 1 6 2 3 4 4 4 4 2 4 25 2 2 1 1 1 1 0 4 2 1 1 1 0 3 2 2
26 2 3 0 1 0 0 1 0 0 1 3 1 2 1 1 2 1 3 1 11 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 1 0 0 2 1 1
116
27 1 2 1 0 0 1 0 0 1 0 3 1 3 3 1 1 1 2 4 15 1 1 1 0 1 0 0 2 1 0 0 0 1 1 1 1
28 1 3 0 0 1 0 1 1 0 1 4 1 1 1 2 2 1 1 1 9 1 1 1 0 0 1 0 2 1 0 0 1 0 1 1 1
29 2 3 1 1 0 0 0 0 1 0 3 1 3 4 4 4 4 2 4 25 2 2 1 1 1 0 1 4 2 0 1 0 1 2 1 2
30 2 4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2 1 2 1 3 1 1 3 12 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 0 1 1 3 2 2
31 1 2 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 4 4 4 2 4 4 2 24 2 1 1 1 1 0 1 4 2 0 1 1 0 2 1 1
32 2 5 1 1 1 1 0 0 1 1 6 2 4 2 4 4 4 3 4 25 2 2 1 0 1 0 0 2 1 0 0 0 1 1 1 2
33 1 3 0 1 1 1 0 0 0 1 4 1 1 1 1 2 1 1 2 9 1 2 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 4 2 2
34 1 4 1 0 0 1 1 1 0 1 5 2 4 4 4 2 4 3 4 25 2 2 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 1 4 2 2
35 2 4 0 0 1 0 0 0 1 0 2 1 1 1 2 1 4 1 1 11 1 1 1 1 0 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 2
36 2 4 1 1 0 1 1 1 0 1 6 2 4 4 3 3 1 4 4 23 2 1 1 0 1 1 1 4 2 1 1 0 1 3 2 2
37 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 3 1 1 2 1 3 2 1 1 11 1 2 1 0 1 0 0 2 1 0 0 0 0 0 1 1
38 2 4 0 1 1 1 0 1 0 1 5 2 4 4 4 4 4 4 4 28 2 1 1 0 0 0 1 2 1 1 1 1 0 3 2 1
39 1 3 0 0 0 1 1 0 1 1 4 1 1 2 1 2 1 2 1 10 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 2 1 1
40 2 3 1 1 1 0 1 1 1 0 6 2 2 1 3 2 2 1 2 13 1 1 1 1 1 1 0 4 2 0 0 1 0 1 1 1
41 2 5 0 1 1 1 0 1 0 1 5 2 4 4 4 3 4 3 3 25 2 2 1 1 1 1 1 5 2 0 1 0 0 1 1 2
42 2 4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2 1 2 2 2 2 1 3 13 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 0 1 0 2 1 1
43 1 4 1 0 1 1 1 0 1 1 6 2 1 1 1 2 1 1 1 8 1 1 1 0 1 0 0 2 1 0 1 0 0 1 1 1
44 1 3 0 1 0 0 0 1 0 0 2 1 3 3 1 3 2 1 1 14 1 2 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 1 4 2 1
45 2 4 1 0 1 1 1 0 1 1 6 2 2 1 1 2 2 2 4 14 1 1 1 0 1 0 0 2 1 1 0 0 1 2 1 1
46 1 3 0 1 1 0 1 1 0 0 4 1 1 2 2 2 3 2 3 15 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 4 2 1
47 1 5 1 1 0 1 0 0 1 1 5 2 4 4 3 2 4 4 2 23 2 1 1 1 1 1 1 5 2 0 1 1 1 3 2 2
48 2 4 0 0 1 0 1 1 0 0 3 1 1 1 1 1 1 1 1 7 1 1 1 0 0 1 0 2 1 1 0 0 0 1 1 1
49 1 3 0 0 0 1 0 0 1 0 2 1 1 3 4 4 1 4 3 20 2 1 1 0 1 0 0 2 1 0 1 0 0 1 1 1
50 2 4 0 1 0 0 1 1 0 0 3 1 4 4 4 2 4 3 4 25 2 2 1 1 1 1 1 5 2 1 0 1 1 3 2 2
51 2 5 1 0 1 1 1 1 1 1 7 2 3 1 2 2 3 4 2 17 2 2 1 1 1 0 0 3 2 1 1 1 1 4 2 2
52 2 4 0 0 0 1 0 0 0 1 2 1 1 2 2 2 1 2 1 11 1 1 1 1 1 1 1 5 2 0 0 0 1 1 1 1
53 1 4 1 1 1 0 1 1 1 0 6 2 2 1 2 3 1 3 4 16 2 2 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 0 3 2 2
54 2 3 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 2 1 1 2 1 2 10 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 4 2 1
55 1 3 1 0 0 0 1 1 0 0 3 1 3 1 2 3 4 4 4 21 2 2 1 0 1 0 0 2 1 1 1 1 1 4 2 2
56 1 4 0 0 0 1 1 1 1 1 5 2 3 2 2 1 3 1 2 14 1 2 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 4 2 2
57 1 2 1 1 1 0 1 1 1 1 7 2 2 2 1 2 2 3 1 13 1 2 1 1 1 1 1 5 2 1 0 1 1 3 2 2
58 2 4 0 0 0 1 0 0 0 1 2 1 4 4 4 4 4 4 4 28 2 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1
59 1 4 1 1 1 1 1 0 1 0 6 2 2 1 4 1 2 4 1 15 1 2 1 1 1 1 1 5 2 0 0 1 0 1 1 2
117
60 2 2 0 0 1 0 0 0 0 1 2 1 4 3 1 4 4 2 3 21 2 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 2 1 1
61 2 4 1 1 0 1 1 1 1 0 6 2 2 1 2 4 1 3 1 14 1 2 1 1 1 1 1 5 2 1 0 1 1 3 2 2
62 2 2 0 0 0 1 0 1 0 1 3 1 3 3 4 4 3 2 4 23 2 1 1 1 1 1 1 5 2 0 1 1 0 2 1 1
63 1 3 1 0 1 0 0 1 0 1 4 1 2 1 4 3 4 4 1 19 2 1 1 1 0 0 0 2 1 0 0 0 1 1 1 1
64 1 4 1 1 1 1 1 0 1 1 7 2 4 4 4 4 3 4 4 27 2 2 1 0 0 0 1 2 1 1 1 1 1 4 2 2
65 2 3 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2 3 4 3 3 4 2 3 22 2 2 1 1 1 1 1 5 2 1 1 0 1 3 2 2
66 1 4 0 1 1 1 1 1 1 0 6 2 4 3 4 3 4 3 3 24 2 1 1 1 1 1 1 5 2 0 0 1 0 1 1 1
67 1 2 0 1 0 0 0 1 0 0 2 1 1 2 2 3 2 1 3 14 1 1 1 0 0 1 0 2 1 1 1 0 0 2 1 2
68 2 4 1 0 1 1 1 0 1 1 6 2 1 1 1 2 1 3 1 10 1 2 1 1 0 0 0 2 1 0 0 1 1 2 1 1
69 2 3 0 0 0 1 0 1 0 1 3 1 3 3 1 3 2 1 2 15 1 1 1 0 0 0 1 2 1 1 1 1 1 4 2 1
Keterangan :
Umur Pendidikan Pengetahuan Sikap Pemberian ASI Keadaan Ventilasi
2 : 18-25 Tahun 5 : Perguruan Tinggi 2 : Baik 2 : Positif 2 : Diberikan 2 : Memenuhi Syarat
1 : 26-32 Tahun 4 : SMA 1 : Kurang Baik 1 : Negatif 1 : Tidak Diberikan 1 : Tidak Memenuhi Syarat
3 : SMP
2 : SD
1 : Tidak Sekolah
Jumlah Hunian Penyakit ISPA
2 : Tidak Padat 2 : Tidak Sakit
1 : Padat 1 : Sakit
118
Lampiran 4
HASIL VALIDITAS DAN RELIABILITAS PENGETAHUAN
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 Jumlah_P
P1 Pearson Correlation 1 .167 .204 .492* .229 .792
** .082 .583
** .123 .287 .677
**
Sig. (2-tailed) .482 .388 .027 .332 .000 .731 .007 .605 .220 .001
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P2 Pearson Correlation .167 1 .816** -.123 -.057 .167 .903
** .167 .328 .698
** .713
**
Sig. (2-tailed) .482 .000 .605 .811 .482 .000 .482 .158 .001 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P3 Pearson Correlation .204 .816** 1 .101 .140 .204 .905
** .204 .101 .905
** .794
**
Sig. (2-tailed) .388 .000 .673 .556 .388 .000 .388 .673 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P4 Pearson Correlation .492* -.123 .101 1 .183 .287 -.010 .698
** -.192 .192 .449
*
Sig. (2-tailed) .027 .605 .673 .440 .220 .966 .001 .418 .418 .047
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P5 Pearson Correlation .229 -.057 .140 .183 1 .229 -.099 .229 -.183 .183 .274
Sig. (2-tailed) .332 .811 .556 .440 .332 .679 .332 .440 .440 .242
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P6 Pearson Correlation .792** .167 .204 .287 .229 1 .082 .375 -.082 .287 .569
**
Sig. (2-tailed) .000 .482 .388 .220 .332 .731 .103 .731 .220 .009
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P7 Pearson Correlation .082 .903** .905
** -.010 -.099 .082 1 .082 .212 .798
** .697
**
Sig. (2-tailed) .731 .000 .000 .966 .679 .731 .731 .369 .000 .001
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P8 Pearson Correlation .583** .167 .204 .698
** .229 .375 .082 1 -.082 .287 .605
**
Sig. (2-tailed) .007 .482 .388 .001 .332 .103 .731 .731 .220 .005
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
P9 Pearson Correlation .123 .328 .101 -.192 -.183 -.082 .212 -.082 1 .010 .225
Sig. (2-tailed) .605 .158 .673 .418 .440 .731 .369 .731 .966 .340
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
119
P10 Pearson Correlation .287 .698** .905
** .192 .183 .287 .798
** .287 .010 1 .803
**
Sig. (2-tailed) .220 .001 .000 .418 .440 .220 .000 .220 .966 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Jumlah_P Pearson Correlation .677** .713
** .794
** .449
* .274 .569
** .697
** .605
** .225 .803
** 1
Sig. (2-tailed) .001 .000 .000 .047 .242 .009 .001 .005 .340 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.831 8
120
HASIL VALIDITAS DAN RELIABILITAS SIKAP
S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 Jumlah_S
S1 Pearson Correlation 1 .134 .472* -.017 .435 .036 .416 -.017 .314 .583
** .609
**
Sig. (2-tailed) .574 .036 .942 .055 .879 .068 .942 .177 .007 .004
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S2 Pearson Correlation .134 1 -.153 .400 -.054 .844** -.195 .400 -.066 .108 .411
Sig. (2-tailed) .574 .520 .081 .822 .000 .411 .081 .782 .651 .072
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S3 Pearson Correlation .472* -.153 1 -.048 .697
** -.236 .986
** -.048 .646
** .248 .664
**
Sig. (2-tailed) .036 .520 .841 .001 .316 .000 .841 .002 .292 .001
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S4 Pearson Correlation -.017 .400 -.048 1 .372 .255 -.098 1.000** .353 -.033 .560
*
Sig. (2-tailed) .942 .081 .841 .106 .278 .681 .000 .127 .889 .010
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S5 Pearson Correlation .435 -.054 .697** .372 1 -.205 .666
** .372 .941
** .107 .795
**
Sig. (2-tailed) .055 .822 .001 .106 .386 .001 .106 .000 .654 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S6 Pearson Correlation .036 .844** -.236 .255 -.205 1 -.276 .255 -.213 -.035 .230
Sig. (2-tailed) .879 .000 .316 .278 .386 .238 .278 .367 .882 .329
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S7 Pearson Correlation .416 -.195 .986** -.098 .666
** -.276 1 -.098 .609
** .203 .601
**
Sig. (2-tailed) .068 .411 .000 .681 .001 .238 .681 .004 .390 .005
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S8 Pearson Correlation -.017 .400 -.048 1.000** .372 .255 -.098 1 .353 -.033 .560
*
Sig. (2-tailed) .942 .081 .841 .000 .106 .278 .681 .127 .889 .010
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
S9 Pearson Correlation .314 -.066 .646** .353 .941
** -.213 .609
** .353 1 .007 .725
**
Sig. (2-tailed) .177 .782 .002 .127 .000 .367 .004 .127 .978 .000
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
121
S10 Pearson Correlation .583** .108 .248 -.033 .107 -.035 .203 -.033 .007 1 .390
Sig. (2-tailed) .007 .651 .292 .889 .654 .882 .390 .889 .978 .089
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
Jumlah_S Pearson Correlation .609** .411 .664
** .560
* .795
** .230 .601
** .560
* .725
** .390 1
Sig. (2-tailed) .004 .072 .001 .010 .000 .329 .005 .010 .000 .089
N 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.824 7
122
HASIL VALIDITAS DAN RELIABILITAS KEADAAN VENTILASI
KV1 KV2 KV3 KV4 KV5 Jumlah_KV
KV1 Pearson Correlation 1 .798** .905
** .390 .905
** .948
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .089 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
KV2 Pearson Correlation .798** 1 .905
** .390 .704
** .900
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .089 .001 .000
N 20 20 20 20 20 20
KV3 Pearson Correlation .905** .905
** 1 .314 .800
** .931
**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .177 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
KV4 Pearson Correlation .390 .390 .314 1 .314 .563**
Sig. (2-tailed) .089 .089 .177 .177 .010
N 20 20 20 20 20 20
KV5 Pearson Correlation .905** .704
** .800
** .314 1 .883
**
Sig. (2-tailed) .000 .001 .000 .177 .000
N 20 20 20 20 20 20
Jumlah_KV Pearson Correlation .948** .900
** .931
** .563
** .883
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .010 .000
N 20 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.902 5
123
HASIL VALIDITAS DAN RELIABILITAS JUMLAH HUNIAN
KH1 KH2 KH3 KH4 Jumlah_KH
KH1 Pearson Correlation 1 .816** .167 .816
** .904
**
Sig. (2-tailed) .000 .482 .000 .000
N 20 20 20 20 20
KH2 Pearson Correlation .816** 1 .204 .600
** .846
**
Sig. (2-tailed) .000 .388 .005 .000
N 20 20 20 20 20
KH3 Pearson Correlation .167 .204 1 .204 .505*
Sig. (2-tailed) .482 .388 .388 .023
N 20 20 20 20 20
KH4 Pearson Correlation .816** .600
** .204 1 .846
**
Sig. (2-tailed) .000 .005 .388 .000
N 20 20 20 20 20
Jumlah_KH Pearson Correlation .904** .846
** .505
* .846
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .023 .000
N 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.780 4
124
Lampiran 5
Jawaban Responden
P1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 34 49.3 49.3 49.3
Benar 35 50.7 50.7 100.0
Total 69 100.0 100.0
P2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 35 50.7 50.7 50.7
Benar 34 49.3 49.3 100.0
Total 69 100.0 100.0
P3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 33 47.8 47.8 47.8
Benar 36 52.2 52.2 100.0
Total 69 100.0 100.0
P4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 29 42.0 42.0 42.0
Benar 40 58.0 58.0 100.0
Total 69 100.0 100.0
P5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 32 46.4 46.4 46.4
Benar 37 53.6 53.6 100.0
Total 69 100.0 100.0
125
P6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 29 42.0 42.0 42.0
Benar 40 58.0 58.0 100.0
Total 69 100.0 100.0
P7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 32 46.4 46.4 46.4
Benar 37 53.6 53.6 100.0
Total 69 100.0 100.0
P8
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Salah 29 42.0 42.0 42.0
Benar 40 58.0 58.0 100.0
Total 69 100.0 100.0
S1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 22 31.9 31.9 31.9
TS 14 20.3 20.3 52.2
S 14 20.3 20.3 72.5
SS 19 27.5 27.5 100.0
Total 69 100.0 100.0
S2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 27 39.1 39.1 39.1
TS 14 20.3 20.3 59.4
S 10 14.5 14.5 73.9
SS 18 26.1 26.1 100.0
Total 69 100.0 100.0
126
S3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 25 36.2 36.2 36.2
TS 17 24.6 24.6 60.9
S 6 8.7 8.7 69.6
SS 21 30.4 30.4 100.0
Total 69 100.0 100.0
S4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 12 17.4 17.4 17.4
TS 21 30.4 30.4 47.8
S 16 23.2 23.2 71.0
SS 20 29.0 29.0 100.0
Total 69 100.0 100.0
S5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 22 31.9 31.9 31.9
TS 15 21.7 21.7 53.6
S 7 10.1 10.1 63.8
SS 25 36.2 36.2 100.0
Total 69 100.0 100.0
S6
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 20 29.0 29.0 29.0
TS 14 20.3 20.3 49.3
S 16 23.2 23.2 72.5
SS 19 27.5 27.5 100.0
Total 69 100.0 100.0
127
S7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid STS 23 33.3 33.3 33.3
TS 13 18.8 18.8 52.2
S 11 15.9 15.9 68.1
SS 22 31.9 31.9 100.0
Total 69 100.0 100.0
KV1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 5 7.2 7.2 7.2
Ya 64 92.8 92.8 100.0
Total 69 100.0 100.0
KV2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 33 47.8 47.8 47.8
Ya 36 52.2 52.2 100.0
Total 69 100.0 100.0
KV3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 32 46.4 46.4 46.4
Ya 37 53.6 53.6 100.0
Total 69 100.0 100.0
KV4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 35 50.7 50.7 50.7
Ya 34 49.3 49.3 100.0
Total 69 100.0 100.0
128
KV5
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 28 40.6 40.6 40.6
Ya 41 59.4 59.4 100.0
Total 69 100.0 100.0
KH1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 27 39.1 39.1 39.1
Ya 42 60.9 60.9 100.0
Total 69 100.0 100.0
KH2
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 27 39.1 39.1 39.1
Ya 42 60.9 60.9 100.0
Total 69 100.0 100.0
KH3
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 26 37.7 37.7 37.7
Ya 43 62.3 62.3 100.0
Total 69 100.0 100.0
KH4
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak 25 36.2 36.2 36.2
Ya 44 63.8 63.8 100.0
Total 69 100.0 100.0
129
Frequencies
Umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 26-32 Tahun 32 46.4 46.4 46.4
18-25 Tahun 37 53.6 53.6 100.0
Total 69 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Sekolah 2 2.9 2.9 2.9
SD 8 11.6 11.6 14.5
SMP 22 31.9 31.9 46.4
SMA 30 43.5 43.5 89.9
Perguruan Tinggi 7 10.1 10.1 100.0
Total 69 100.0 100.0
Pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Kurang Baik 36 52.2 52.2 52.2
Baik 33 47.8 47.8 100.0
Total 69 100.0 100.0
Sikap
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Negatif 35 50.7 50.7 50.7
Positif 34 49.3 49.3 100.0
Total 69 100.0 100.0
130
Pemberian_ASI
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Diberikan 41 59.4 59.4 59.4
Diberikan 28 40.6 40.6 100.0
Total 69 100.0 100.0
Ventilasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 38 55.1 55.1 55.1
Memenuhi Syarat 31 44.9 44.9 100.0
Total 69 100.0 100.0
Jumlah_Hunian
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Padat 35 50.7 50.7 50.7
Tidak Padat 34 49.3 49.3 100.0
Total 69 100.0 100.0
Penyakit_ISPA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Sakit 37 53.6 53.6 53.6
Tidak Sakit 32 46.4 46.4 100.0
Total 69 100.0 100.0
131
Crosstabs
Pengetahuan * _Penyakit_ISPA
Crosstab
Penyakit_ISPA
Total Sakit Tidak Sakit
Pengetahuan Kurang Baik Count 29 7 36
Expected Count 19.3 16.7 36.0
% within Pengetahuan 80.6% 19.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
78.4% 21.9% 52.2%
% of Total 42.0% 10.1% 52.2%
Baik Count 8 25 33
Expected Count 17.7 15.3 33.0
% within Pengetahuan 24.2% 75.8% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
21.6% 78.1% 47.8%
% of Total 11.6% 36.2% 47.8%
Total Count 37 32 69
Expected Count 37.0 32.0 69.0
% within Pengetahuan 53.6% 46.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 53.6% 46.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 21.955a 1 .000
Continuity Correctionb 19.749 1 .000
Likelihood Ratio 23.270 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 21.637 1 .000
N of Valid Casesb 69
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,30.
b. Computed only for a 2x2 table
132
Sikap * Penyakit_ISPA
Crosstab
Penyakit_ISPA
Total Sakit Tidak Sakit
Sikap Negatif Count 21 14 35
Expected Count 18.8 16.2 35.0
% within Sikap 60.0% 40.0% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
56.8% 43.8% 50.7%
% of Total 30.4% 20.3% 50.7%
Positif Count 16 18 34
Expected Count 18.2 15.8 34.0
% within Sikap 47.1% 52.9% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
43.2% 56.2% 49.3%
% of Total 23.2% 26.1% 49.3%
Total Count 37 32 69
Expected Count 37.0 32.0 69.0
% within Sikap 53.6% 46.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 53.6% 46.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.161a 1 .281
Continuity Correctionb .699 1 .403
Likelihood Ratio 1.165 1 .281
Fisher's Exact Test .338 .202
Linear-by-Linear Association 1.145 1 .285
N of Valid Casesb 69
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,77.
b. Computed only for a 2x2 table
133
Pemberian_ASI * Penyakit_ISPA
Crosstab
Tingginya_Penyakit_ISPA
Total Sakit Tidak Sakit
Pemberian_ASI Tidak Diberikan Count 31 10 41
Expected Count 22.0 19.0 41.0
% within Pemberian_ASI 75.6% 24.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
83.8% 31.2% 59.4%
% of Total 44.9% 14.5% 59.4%
Diberikan Count 6 22 28
Expected Count 15.0 13.0 28.0
% within Pemberian_ASI 21.4% 78.6% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
16.2% 68.8% 40.6%
% of Total 8.7% 31.9% 40.6%
Total Count 37 32 69
Expected Count 37.0 32.0 69.0
% within Pemberian_ASI 53.6% 46.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 53.6% 46.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 19.640a 1 .000
Continuity Correctionb 17.521 1 .000
Likelihood Ratio 20.641 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 19.355 1 .000
N of Valid Casesb 69
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,99.
b. Computed only for a 2x2 table
134
Ventilasi * Penyakit_ISPA
Crosstab
Tingginya_Penyakit_ISPA
Total Sakit Tidak Sakit
Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat Count 27 11 38
Expected Count 20.4 17.6 38.0
% within Ventilasi 71.1% 28.9% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
73.0% 34.4% 55.1%
% of Total 39.1% 15.9% 55.1%
Memenuhi Syarat Count 10 21 31
Expected Count 16.6 14.4 31.0
% within Ventilasi 32.3% 67.7% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
27.0% 65.6% 44.9%
% of Total 14.5% 30.4% 44.9%
Total Count 37 32 69
Expected Count 37.0 32.0 69.0
% within Ventilasi 53.6% 46.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 53.6% 46.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 10.332a 1 .001
Continuity Correctionb 8.831 1 .003
Likelihood Ratio 10.578 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear Association 10.182 1 .001
N of Valid Casesb 69
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,38.
b. Computed only for a 2x2 table
135
Kepadatan_Hunian * Penyakit_ISPA
Crosstab
Penyakit_ISPA
Total Sakit Tidak Sakit
Kepadatan_Hunian Padat Count 27 8 35
Expected Count 18.8 16.2 35.0
% within Kepadatan_Hunian 77.1% 22.9% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
73.0% 25.0% 50.7%
% of Total 39.1% 11.6% 50.7%
Tidak Padat Count 10 24 34
Expected Count 18.2 15.8 34.0
% within Kepadatan_Hunian 29.4% 70.6% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
27.0% 75.0% 49.3%
% of Total 14.5% 34.8% 49.3%
Total Count 37 32 69
Expected Count 37.0 32.0 69.0
% within Kepadatan_Hunian 53.6% 46.4% 100.0%
% within Tingginya_Penyakit_ISPA
100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 53.6% 46.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 15.800a 1 .000
Continuity Correctionb 13.939 1 .000
Likelihood Ratio 16.469 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 15.571 1 .000
N of Valid Casesb 69
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,77.
b. Computed only for a 2x2 table
136
Logistic Regression
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Pengetahuan 21.955 1 .000
Sikap 1.161 1 .281
Pemberian_ASI 19.640 1 .000
Ventilasi 10.332 1 .001
Jumlah_Hunian 15.800 1 .000
Overall Statistics 37.652 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square Nagelkerke R
Square
1 47.614a .499 .666
2 47.880a .497 .664
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Pengetahuan 1.884 .778 5.865 1 .015 6.578
Sikap -.396 .776 .261 1 .610 .673
Pemberian_ASI 2.373 .827 8.236 1 .004 10.730
Ventilasi 1.776 .853 4.339 1 .037 5.908
Jumlah_Hunian 1.959 .788 6.181 1 .013 7.095
Constant -11.283 2.680 17.722 1 .000 .000
Step 2a Pengetahuan 1.862 .773 5.805 1 .016 6.434
Pemberian_ASI 2.286 .801 8.148 1 .004 9.833
Ventilasi 1.742 .847 4.229 1 .040 5.706
Jumlah_Hunian 1.885 .769 6.009 1 .014 6.587
Constant -11.560 2.637 19.215 1 .000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Pengetahuan, Sikap, Pemberian_ASI, Ventilasi, Kepadatan_Hunian.
137
Lampiran 6
138
Lampiran 7
139
Lampiran 8
140
Lampiran 9
141
Lampiran 10
142
Lampiran 11
143
Lampiran 12
144
Lampiran 13
145
Lampiran 14
146
Lampiran 15
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Kepala Puskesmas dan Dokter di Puskesmas Kota Kutacane
Gambar 2. Pembagian Kuesioner Uji Validitas dan Reliabilitas
147
Gambar 3. Pembagian Kuesioner Uji Validitas dan Reliabilitas
Gambar 4. Puskesmas Deleng Pokhkisen
148
Gambar 5. KTU Puskesmas Deleng Pokhkisen
Gambar 6. Pembagian Kuesioner Penelitian
149
Gambar 7. Pembagian Kuesioner Penelitian
Gambar 8. Pembagian Kuesioner Penelitian
150
Gambar 9. Pembagian Kuesioner Penelitian
Gambar 10. Pembagian Kuesioner Penelitian
151
Gambar 11. Pembagian Kuesioner Penelitian
Gambar 12. Pembagian Kuesioner Penelitian
152
Gambar 13. Pembagian Kuesioner Penelitian
Gambar 14. Pembagian Kuesioner Penelitian
153
Gambar 15. Kondisi Jendela di Rumah Masyarakat
Gambar 16. Kondisi Ventilasi di Kamar Tidur Masyarakat
154
Gambar 17. Kondisi Jendela di Dapur Masyarakat
Gambar 18. Kondisi Ruangan Rumah Masyarakat
155
Gambar 19. Kondisi Rumah Masyarakat
Gambar 20. Kondisi Tempat Memasak Masyarakat
156
Gambar 21. Kondisi Tempat Memasak Masyarakat
Gambar 22. Kondisi Rumah Masyarakat
157
Gambar 23. Kondisi Ventilasi Rumah Masyarakat
Gambar 24. Kondisi Ventilasi Rumah Masyarakat
158
Gambar 25. Kondisi Ventilasi Rumah Masyarakat
Gambar 26. Kondisi Rumah Masyarakat
159
Gambar 27. Kondisi Rumah Masyarakat
Gambar 28. Kondisi Kamar Tidur Masyarakat