fakultas ekonomi universitas muhammadiyah …eprints.ums.ac.id/2449/2/b200040147.pdf · analisis...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH
KABUPATEN SRAGEN DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH
SKRIPSI
Dimaksudkan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Pada Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh:
SRI WAHYUNI B 200 040 147
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2008
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini telah membaca skripsi dengan judul:
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH
PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM MENDUKUNG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Yang ditulis oleh SRI WAHYUNI, NIM: B 200 040 147
Penandatangan berpendapat bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat untuk
diterima.
Surakarta, 2008
Pembimbing I Pembimbing II
(Dra. Nursiam, Ak) (Shinta Permata Sari, SE)
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Drs. H. Syamsudin, MM)
ii
SRI WAHYUNI 04.6.106.02030.50147
iii
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN
DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN
SRAGEN DALAM MENDUKUNG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
SRI WAHYUNI
AKUNTANSI
MOTTO
Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang
demikian itu sesungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’
(Q.S. Al-Baqarah : 45)
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Maka apabila kamu telah
selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Q.S. Alam Nasyrah: 6-8)
Hari kemarin adalah pengalaman, hari esok adalah sebuah tantangan, hari ini
adalah suatu kenyataan yang harus diisi dengan penuh harapan, kegembiraan
dan keberanian.
(Harvest)
Ambilah dari dunia sesuatu yang dapat menjadi bekal untuk Akhiratmu dan
juanganlah kamu mengambil dari dunia yang menghalangi Akhiratmu.
(Yahya)
iv
PERSEMBAHAN
Dengan penuh cinta teriring doa dan ungkapan syukur Alhamdulillah kehadirat
Allah SWT karya sederhana ini kupersembahkan untuk:
Ayah dan Ibu tercinta yang selalu menjadi panutan serta semangat buatku, yang
telah mengiringi langkahku dengan doa dan kasih sayang yang tak terhingga,
betapa aku ingin mempersembahkan yang terbaik atas segala perjuangan yang
engkau lakukan untuk cita-cita dan masa depan
Adikku tercinta Ita, hanya ini yang bisa kakak persembahkan untuk kamu semoga
kasih sayang dan doa yang kamu berikan tidak akan pernah putus
Seseorang yang kelak akan mendampingi ku yang masih menjadi rahasiaNya
Almamaterku
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmannirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
kemurahan Nya yang telah memberikan kemudahan, kelancaran kepada penulis
dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini. Adapun maksud dan tujuan dari
penulis Skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dalam melengkapi syarat
guna memperoleh gelar Sajana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan yang
tulus dan ikhlas dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bambang Setiaji, selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
2. Bapak Drs. Syamsudin, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah surakarta.
3. Bapak Banu Witono, SE, Ak, M.Si, selaku Ketua Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Bapak Zulfikar, SE, M.Si, selaku Sekertaris Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
5. Bapak Dr. Triyono, SE, M.Si, selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan.
6. Ibu Dra. Nursiam, Ak, selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan arahan, bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
7. Ibu Shinta Permata Sari, SE, selaku Pembimbing II yang telah
memberikan arahan dengan sabar kepada penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
vi
8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi Muhammadiyah Surakarta.
9. Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Sragen yang telah
membantu penulis dalam mendapatkan data penelitan.
10. Bapak dan Ibu tercinta, yang telah membesarkan aku dan memberikan
kasih sayang, doa, bimbingan dan dorongan baik moril dan materiil.
Terimakasih Bapak dan Ibu,,,moga apa yang Bapak dan Ibu harapkan
dan doakan selama ini untuk aku bisa terkabul.Amin…
11. Adik aku tercinta Ita makasih ya telah memberi dukungan, motivasi serta
doa. Makasih ya dah jadi adek dan temen curhat yang baik buat kakak.
Kakak sayaaang buanget sama kamu.
12. Sahabat aku dari kecil Lilis, makasih ya kamu selalu bantuin aku walau
kadang kamu sering nyebelin juga he…he… Moga persahabatan kita
sampai nenek-nenek ya (Amin)…
13. Buat Ida makasih ya kamu selalu kasih dukungan, doa serta motivasi
moga persahatan kita tetap langgeng ya walau kita jauh.
14. Rudi, Dono, Mico makasih ya kalian dah mau jadi sahabat aku…Buat
Rudi makasih ya dah bantuin aku dalam menyelesaikan karya kecil aku
ini.
15. Buat Yudi, Mansyur, Topan makasih juga ya dah bantuin aku dalam
menyelesaikan karya kecil aku ini.
16. Mbak Desti dan Mbak Win makasih ya dan kasih masukan aku dalam
menyelesaikan Skripsi ini..
17. Buat anak-anak kos Pak eRTe..(Indah, Juli, Tati, Titis, Laras, Dewi,
Hevi, Santi, Yayuk, Mbk.Ambar, Mbk Yani, Mbk Mela) Makasih ya
kita dah bersama dan kita telah menjadi keluarga saat kita jauh dari
orang tua.
18. Buat Tunjung makasih ya dah jadi temen aku, pokok’e tak tunggu
curhat-curhatnya ya…
19. Buat keponakan aku yang nakal-nakal ( Yusuf, Lisa, Levi, Jofa, Dian,
Yunus) Mbak dah lulus nie… Adek-adek kecilku jangan nakal ya!!!
vii
20. Ivana, mbak Vika, Hesti, Indah, Titis, Tati, Maya, Evi, Tina, Ndox, Eka,
Gople, Armed, dan seluruh Kru Jurusan Akuntansi kelas C anggatan
2004 terima kasih atas kebersamaan selama ini dan sobat-sobat yang
tidak dapat aku sebutkan satu-persatu,,Good Luck Ya…!!
21. Buat Anak-anak seperjuangan dalam menjalani skripsi (Indah, Bilik,
Ratih, Umi, Atox, Disti, Yudi, Heri, Sumi, Dwi’, Pras, Gun, Latifah,
Atin) temen-temen perjuangan kita gak sia-sia ya… Tetep SEMANGAT
karna perjuangan gak berhenti sampai disini.SEMANGAT….
22. Buat temen aku dirumah Batax, Kopong, Wiwik makasih atas indahnya
persahabatan yang kalian berikan selama ini…
23. Dan semua pihak yang membantu penyelesaian Skripsi ini yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan.
Untuk segala kritikan dan saran yang bersifat membangun akan selalu diterima
dengan tangan terbuka.
Akhirnya penulis berharap semoga Laporan Skripsi ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta dan berguna bagi
semua pembaca yang budiman.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Surakarta, 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ iii
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............ ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .... ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
ABSTRAKSI ........... ......................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................... 7
E. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah ........................................................................ 9
ix
1. Pengertian Otonomi Daerah ..................................................... 9
2. Daerah Otonom ........................................................................ 11
3. Hakikat Otonomi Daerah ........................................................ 12
B. Tinjauan Tentang Akuntansi Pemerintah ...................................... 15
1. Pengertian Akuntansi Pemerintahan ....................................... 15
2. Tujuan Akuntansi Pemerintahan ............................................. 16
3. Karakteristik Akuntansi Pemerintahan..................................... 18
4. Syarat Akuntansi Pemerintahan ............................................... 18
C. Tinjauan Keuangan Daerah ........................................................... 21
1. Kemampuan Keuangan Daerah................................................ 21
2. Pengelolaan Penerimaan Daerah.............................................. 24
3. Pengelolaan Pengeluaran Daerah ............................................. 28
D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)..................... 30
E. Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ........... 34
F. Tinjauan Penelitian Terdahulu....................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ............................................................................ 37
B. Obyek Penelitian ......................................................................... 37
C. Data Dan Sumber Data ................................................................. 37
D. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 38
E. Metode Analisis Data ................................................................... 39
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ..................................... 39
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal.......................................... 41
x
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin.................................................... 42
4. Rasio Keserasian ......................................................................... 43
5. Rasio Pertumbuhan ....................................................................... 44
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Penerapan Otonomi Daerah di Kabupaten Sragen ...... 46
B. Tabel Realisasi APBD Kabupaten Sragen Tahun Anggaran
2002-2006 ................................................................................... 48
C. Analisis ......................................................................................... 54
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah .................................... 54
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal ......................................... 59
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin ............................................. 60
4. Rasio Keserasian ..................................................................... 62
5. Rasio Pertumbuhan ................................................................. 65
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 70
B. Keterbatasan Penelitian ................................................................ 71
C. Saran ............................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II. 1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah...................... 24
Tabel III.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah....................... 40
Tabel III. 2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ................................ 41
Tabel III.3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin..................................... 42
Tabel IV.1 Realisasi APBD Kabupaten Sragen Tahun Anggaran
2002-2006 .................................................................................... 49
Tabel IV.2 Perhitungan Rasio Kemandirian Kabupaten Sragen Tahun
Anggaran 2002-2006...................................................................... 55
Tabel IV.3 Perhitungan Rasio DDF Kabupaten Sragen Tahun Anggaran
2002-2006 ...................................................................................... 59
Tabel IV.4 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006......................................................... 61
Tabel IV.5 Perhitungan Rasio Keserasian Kabupeten Sragen Tahun
Anggaran 2002-2006 ..................................................................63
Tabel IV.6 Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Sragen Tahun Anggaran
2002 – 2006..................................................................................66
Tabel IV.7 Rasio Kemandirian, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Rasio Indeks Kemampuan Rutin, Rasio Keserasian
dan Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002– 2006 .................................................... 68
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Ijin Penelitian dari Badan Pengelola Keuangan Daerah
Pemerintah Kabupaten Sragen
Lampiran II Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Sragen
Tahun 2002-2006
xiii
ABTRAKSI
Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan yang efektif, efisien dan mampu mendorong peran masyarakat untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan dalam kegiatan pelaksanan tugas pembangunan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari kemampuan dalam bidang keuangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan di Kabupaten Sragen dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sragen. Untuk data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD di Kabupaten Sragen tahun anggaran 2002 – 2006, adapun teknik pengumpulan data adalah dengan dokumentasi dan wawancara yang dilakukan di Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Sragen. Metode penelitian adalah Deskriptif Komparatif, dengan menggunakan beberapa rasio keuangan yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut : berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah berada pada kisaran 9,72%-14,52% masih berada di antara 0 % - 25 % tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang berarti kemampuan pemerintah Kabupaten Sragen dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaran tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih relatif rendah meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam rasio derajat desentralisasi fiskal berada pada kisaran 8,15%-11,37%, hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian/kemampuan keuangan Kabupaten Sragen masih rendah dalam melaksanakan otonominya. Untuk rasio indeks kemampuan rutin berada pada kisaran 10,95%-15,30%, ini artinya PAD memiliki kemampuan yang kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya. Pada rasio keserasian pengeluaran belanja rutin berkisar antara 71,94%-85,64%, sedangkan belanja pembangunan berkisar antara 14,36%-28,06%, ini berarti bahwa pengeluaran rutin lebih besar daripada belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan secara keseluruhan mengalami peningkatan di setiap tahunnya yang disebabkan bertambahnya pajak dan retribusi daerah. Kata kunci : Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah, Keuangan Daerah
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional, karena pembangunan daerah menjadi salah satu indikator atau
penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional. Oleh karena itu,
pemerintah pusat membuat suatu kebijakan tentang Pemerintah Daerah
dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur
rumah tangganya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang (UU)
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai revisi dari UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004
bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah serta dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan hal tersebut
1
2
peranan Pemerintah Daerah sangat menentukan berhasil tidaknya
menciptakan kemandirian yang selalu didambakan Pemerintah Daerah.
Terlepas dari perdebatan mengenai ketidaksiapan daerah diberbagai bidang
untuk melaksanakan kedua undang-undang tersebut, otonomi daerah diyakini
merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah,
menggantikan sistem pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak
dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunan di daerah dan semakin
besarnya ketimpangan antar daerah.
Di dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat empat elemen penting
yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Keempat
elemen tersebut menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Anita Wulandari,
2001:17) adalah Desentralisasi Politik, Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi
Administrasi dan Desentralisasi Ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi
kewajiban daerah untuk mengelolanya secara efisien dan efektif, sehingga
dengan demikian akan terjadi kemampuan atau kemandirian suatu daerah
untuk melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik. Salah satu elemen yang
diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut adalah
Desentralisasi Fiskal yang merupakan komponen utama dari desentralisasi.
Apabila Pemerintah daerah melakukan fungsinya secara efektif, maka harus
didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi hasil pajak dan bukan pajak, maupun
dari subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat (Anita Wulandari, 2001:18).
3
Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah akan semakin besar sehingga tanggung jawab yang
diemban juga akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan
urusan pemerintah yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam
rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah bagi suatu daerah. Namun
disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga merupakan beban
yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaanya, karena semakin
bertambah urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah
Daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara
lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana
daerah (Didit Welly Udjianto, 2005:59). Aspek keuangan merupakan salah
satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah
dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang
dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber
keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus
selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari Pemerintah Pusat
(Didit Welly Udjianto, 2005:60).
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 14 menyebutkan bahwa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Di sisi
lain dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 17 mendefinisikan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan
4
pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Salah satu ciri utama daerah mampu melaksanakan otonomi daerah
menurut (Yuliati, 2001:22) adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya dengan tingkat
ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin
mengecil dan diharapkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus
menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan
Pemerintah Daerah. Satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah
kemampuan dalam bidang keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan
daerah dalam melaksanakan otonominya. Disisi lain sangat disadari bahwa
setiap daerah di Indonesia memiliki potensi yang berbeda, karena adanya
perbedaan potensi sumber daya alam, tingkat ekonomi dan karakteristik sosial
budaya (Didit Welly Udjianto, 2005:60).
Anita Wulandari (2001), melakukan penelitian tentang Kemampuan
Keuangan Daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota
Jambi dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah,
yang dilihat dari rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
H.M. Nur Fadillah (2004), melakukan penelitian tentang Proses
Penyusunan Anggaran dan Pengalokasian Belanja di Pemda Kabupaten
5
Wonogiri. Hasilnya adalah Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Daerah
(APBD) di Kabupaten Wonogiri baru memenuhi beberapa unsur penyusunan
anggaran kinerja.
Asih Astuti (2004), melakukan penelitian tentang Kinerja Keberhasilan
Instansi Pemerintah Daerah Dilihat Dari Pendapatan Daerah Terhadap APBD
Tahun 2002 Pada Karesidenan Pati. Hasilnya menunjukkan bahwa
kemandirian Pemerintah Daerah relatif rendah karena masih tergantung
dengan Pemerintah Pusat, sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
Karesidenan Pati dilihat dari segi keuangan belum berhasil untuk mencukupi
kebutuhan daerahnya sendiri, terlihat dari rata-rata PAD dan rata-rata
pendapatan pihak ekstern masih terdapat selisih jauh.
Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Boyolali. Hasilnya
menunjukkan bahwa kemandirian Pemerintah Daerah Boyolali dalam
memenuhi kebutuhan dan untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah,
pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan
cenderung turun.
Didit Welly Udjianto (2005), melakukan penelitian tentang
Kemampuan Keuangan Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Kabupaten Sragen periode 1998 sampai 2002. Hasilnya
menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Dearah di Kabupaten Sragen
mengalami kecenderungan meningkat, kecuali tahun anggaran 1999 dan
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) Kabupaten Sragen sangatlah baik.
6
Seperti halnya dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Didit
Welly Udjianto, (2005) yang menemukan kecenderungan kenaikan dalam
tahun anggaran 1999-2002, penelitian ini akan meneliti bagaimana
perkembangan kemampuan keuangan daerah dalam tahun anggaran
berikutnya. Apakah kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten Sragen
masih mengalami kenaikan ataukah justru terjadi penurunan pada periode
anggaran terakhir ini. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui
perkembangan kemampuan keuangan guna mendukung pelaksanaan otonomi
daerah pemerintah Kabupaten Sragen dari tahun ke tahun, terutama dari tahun
2002 hingga 2006.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “ANALISIS KEMAMPUAN
KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN
DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana kemampuan keuangan daerah pemerintah Kabupaten Sragen
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah?”
7
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah lebih terfokus pada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Sragen tahun
anggaran 2002-2006.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan di
Kabupaten Sragen dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:
1. Menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan dan pengambilan
keputusan pembangunan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan
otonomi daerah.
2. Dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksud untuk memberikan gambaran
penelitian yang lebih jelas dan sistematis agar mempermudah bagi pembaca
dalam memahami penulisan ini. Dari masing-masing bab secara garis besar
dapat diuraikan sebagai berikut:
8
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mengurai pembahasan tentang tinjauan tentang otonomi
daerah, akuntansi pemerintahan, tinjauan keuangan daerah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), analisis
rasio APBD dan tinjauan penelitian terdahulu.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini mengurai tentang jenis penelitian, objek penelitian, data
dan sumber data, dan metode analisis data.
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini mengemukakan tentang gambaran penerapan
otonomi daerah dan hasil analisis data dan pembahasannya.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil analisis data dan
pembahasannya serta saran-saran yang dapat diberikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi
daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan UU No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian
kewenangan otonomi daerah dan kabupaten/kota didasarkan kepada
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab.
a. Kewenangan Otonomi Luas.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal agama serta kewenangan
dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
9
10
Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b. Otonomi Nyata.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang
secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang
di daerah.
c. Otonomi Yang Bertanggung Jawab.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi berupa peningkatan dan kesejahtaraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang
Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah
yaitu:
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan atau desa dari pemerintah propinsi kapada kabupaten atau kota
dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
2. Daerah Otonom
Dalam UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa
daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim,
1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada Negara,
maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri
dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini
merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri.
12
3. Hakekat Otonomi Daerah
a. Hakekat Otonomi Daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan
kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai kehendak dan kepentingan
masyarakat. Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang
berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan
kebijakan, pengelolaan dana publik dan pelayanan masyarakat maka
peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan
besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang
memberikan gambaran stasistik perkembangan anggaran dan realisasi,
baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisisa terhadapnya
merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan
dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat
kemampuan/kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22).
b. Tujuan Otonomi Daerah.
Tujuan Otonomi Daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa
CSIS (Yuliati, 2001:23) dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu
kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dari kepentingan
pemerintah pusat tujuan utamanya adalah pendidikan, pelatihan
kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan
13
demokratisasi sistem pemerintah di daerah. Sementara, bila dilihat dari
sisi kepentingan daerah ada tiga tujuan yaitu:
1) Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality,
artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal atau daerah.
2) Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi
akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam
memperhatikan hak-hak masyarakat.
3) Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi
daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai
masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi
pembangunan sosial dan ekonomi daerah.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan UU
No. 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah
diarahkan untuk memacu pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnya,
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran
serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab
sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan
memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
14
c. Prinsip Otonomi Daerah.
Menurut penjelasan UU No. 32 tahun 2004, prinsip
penyelenggaraan otonomi daerah adalah:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata
dan bertangung jawab.
3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada
daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi propinsi
adalah otonomi yang terbatas.
4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah.
5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian
daerah kabupaten dan daerah kota tidak lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah.
6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan
fungsi Badan Legeslatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi
pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggara
otonomi daerah.
15
7) Pelaksanaan Dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah.
8) Pelaksanaan atas tugas perbantuan dimungkinkan tidak hanya di
pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung
jawabkan kepada yang menugaskan.
B. Tinjauan Tentang Akuntansi Pemerintah
1. Pengertian Akuntansi Pemerintahan
Kustadi Arinta (1996:11) menyebutkan bahwa Akuntansi
Pemerintahan adalah aplikasi akuntansi dibidang keuangan negara
(public finance). Dalam hal ini khususnya tahapan pelaksanaan
anggaran (budget execution) termasuk segala pengaruh yang
ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih
permanen pada semua tingkatan dan unit pemerintahan.
Menurut Revrisond Baswir (2000:7), Akuntansi Pemerintahan
(termasuk akuntansi untuk lembaga non profit pada umumnya)
merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga
pemerintahan dan lembaga-lembaga yang bertujuan tidak untuk mencari
laba. Walaupun lembaga pemerintahan senantiasa berukuran besar,
16
namun sebagaimana dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga
mikro.
Bachtiar Arif dkk (2002:3) mendefinisikan Akuntansi
Pemerintahan sebagai suatu aktivitas pemberian jasa untuk
menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses
pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan
pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut. Selain itu,
Abdul Halim (2002:143) menyebutkan bahwa Akuntansi Pemerintahan
adalah sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi
kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna
pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak yang
berkepentingan atas berbagai alternatif arah tindakan.
2. Tujuan Akuntansi Pemerintahan
Tujuan Akuntansi Pemerintahan (governmental accounting)
menurut Kustadi Arinta (1996:11) adalah untuk menyediakan
informasi keuangan (financial information) mengenai pemerintahan di
semua tingkatan dan unitnya yang ada. Di lain pihak Bachtiar Arif dkk
(2002:5) menjelaskan bahwa tujuan akuntansi pemerintahan dan
akuntansi bisnis pada hakekatnya adalah sama yaitu memberikan
informasi keuangan atas transaksi keuangan yang dilakukan organisasi
tersebut dalam periode tertentu dan posisi keuangan pada tanggal
tertentu kepada para penggunanya dalam rangka pengambilan
17
keputusan. Berkenaan dengan itu, Akuntansi Pemerintahan secara
khusus memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Akuntabilitas.
Fungsi akuntabilitas lebih luas daripada sekedar ketaatan
kepada peraturan perundangan yang berlaku, tetapi tetap
memperhatikan penggunaan sumber daya secara bijaksana, efisien,
efektif dan ekonomis. Tujuan utama dari akuntabilitas ditekankan
karena setiap pengelola atau manajemen dapat menyampaikan
akuntabilitas keuangan dengan menyampaikan suatu laporan
keuangan.
b. Manajerial.
Selain tujuan akuntabilitas, akuntansi pemerintahan
menyediakan informasi keuangan bagi pemerintah untuk
melakukan fungsi manajerial. Akuntansi Pemerintah
memungkinkan pemerintah untuk melakukan perencanaan berupa
penyusunan APBD dan strategi pembangunan lain untuk
melakukan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengendalian
atas kegiatan tersebut dalam rangka pencapaian ketaatan kepada
peraturan perundang-undangan, efisiensi, efektivitas dan ekonomis.
c. Pengawasan.
Akuntansi Pemerintahan diadakan untuk memungkinkan
diadakannya pengawasan pengurusan keuangan negara yang lebih
mudah oleh aparat pemeriksa.
18
3. Karakteristik Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi Pemerintahan memiliki karakteristik tersendiri jika
dibandingkan dengan akuntansi bisnis. Berdasarkan tujuan pemerintah
diatas, Bachtiar Arif dkk (2002:7) menyebutkan beberapa karakteristik
akuntansi pemerintahan yaitu sebagai berikut:
a. Pemerintahan tidak berorientasi laba sehingga didalam Akuntansi
Pemerintahan tidak ada laporan laba (income statement) dan
treatment akuntansi yang berkaitan dengannya.
b. Pemerintahan membukukan anggaran ketika anggaran tersebut
digunakan.
c. Dalam akuntansi pemerintahan dimungkinkan mempergunakan
lebih dari satu jenis dana.
d. Akuntansi Pemerintahan akan membukukan pengeluaran modal.
e. Akuntansi Pemerintahan bersifat kaku karena sangat bergantung
pada peraturan perundang-undangan.
f. Akuntansi Pemerintahan tidak mengenal perkiraan modal dan laba
yang ditahan dalam naraca.
4. Syarat Akuntansi Pemerintahan
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintahan
sesuai dengan karakteristik dan bertujuan untuk memenuhi
akuntabilitas keuangan nagara yang memadai. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mengeluarkan suatu pedoman untuk akuntansi
19
pemerintahan (A Manual Government Accounting) yang dapat
diringkas sebagai berikut (dalam Bachtiar Arif dkk, 2002:9):
a. Dapat memenuhi persyaratan Undang-Undang Dasar, Undang-
Undang dan Peraturan lain.
Akuntansi Pemerintah dirancang untuk memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar, UU dan
Peraturan lain. Apabila terdapat dua yaitu untuk kepentingan
efisiensi dan ekonomis disatu sisi, sedangkan disisi lain hal tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, UU atau Peraturan
lainnya, maka akuntansi tersebut harus disesuaikan dengan
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan lainnya.
b. Dikaitkan dengan klasifikasi anggaran.
Sistem Akuntansi Pemerintahan harus dikembangkan sesuai
dengan klasifikasi anggaran yang telah disetujui pemerintah dan
lembaga legeslatif. Fungsi anggaran dan akuntansi harus saling
melengkapi didalam pengelolaan keuangan negara serta harus
diintegrsikan.
c. Perkiraan-perkiraan harus diselenggarakan.
Sistem Akuntansi Pemerintah harus mengembangkan perkiraan-
perkiraan untuk mencatat transksi-transaksi yang terjadi. Perkiraan-
perkiraan yang dibuat harus dapat menunjukkan akuntabilitas
keuangan negara yang andal dari sisi obyek dan tujuan penggunaan
dana serta pejabat atau organisasi yang mengelolanya.
20
d. Memudahkan pemeriksaan oleh aparatur pemerintah.
Sistem Akuntansi Pemerintah yang dikembangkan harus
memungkinkan aparat pemeriksaan untuk melakukan tugasnya.
e. Sistem akuntansi harus terus dikembangkan.
Dengan adanya perubahan lingkungan dan sifat transaksi, system
Akuntansi Pemerintah harus terus disesuaikan dan dikembangkan
sehingga tercapai efisiensi, efektivitas dan relevasi.
f. Perkiraan-perkiraan yang harus dikembangkan secara efektif.
Sistem Akuntansi Pemerintah harus mengembangkan perkiraan-
perkiraan secara efektif sehubungan dengan sifat dan perubahan
lingkungan sehingga dapat mengungkapkan hasil ekonomi dan
keuangan dari pelaksanaan suatu program.
g. Sistem harus dapat melayani kebutuhan dasar informasi keuangan
guna pengembangan rencana dan program.
Sistem Akuntansi Pemerintah harus dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan para pengguna informasi keuangan yaitu,
pemerintah, rakyat (lembaga legeslatif), lembaga donor, Bank
Dunia, dan lain sebagainya.
h. Pengadaan suatu perkiraan.
Perkiraan-perkiran yang dibuat harus memungkinkan analisis
ekonomi atas data keuangan dan mereklasifikasi transaksi-transaksi
pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka
pengembangan perkiraan-perkiraan nasional.
21
C. Tinjauan Keuangan Daerah
1. Kemampuan Keuangan Daerah
Kriteria penting yang lain untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Dengan kata lain,
faktor keuangan merupakan faktor yang paling penting dalam mengatur
tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan
bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan lain yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut,
keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui
kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tanganya
sendiri. Dengan di keluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah,
membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan
antar daerah satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan
keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):
a. Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
b. Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
c. Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah.
22
d. Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu
melaksanakan otonomi daerah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167):
a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang
cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.
b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin
agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber
keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah
menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkenaan dengan
pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan
dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan
daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber
pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan
agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik
perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun
pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting
23
terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
untuk melihat kemampuan/kemandirian daerah (Yuliati, 2001: 22).
Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintahan pusat dan
daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan,
walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan
menimbulkan perbedaan. Paul Herse dan Kenneth Blanchard,
memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi
daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169):
a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan
daripada kemandirian daerah (daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah).
b. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi.
c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan otonomi daerah.
Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya
alam dan sember daya manusia yang berbeda, akan tetapi pula
24
perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai
pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari
sisi keuangan ) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut:
Tabel II.1
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0% - 25%
25% - 50%
50% - 75%
75% - 100%
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
Sumber : Abdul Halim (2002:169).
2. Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU No 32 tahun 2004 pasal 157 dan Undang-Undang
No.33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 64 tahun 2000, sumber-sumber
penerimaan daerah dapat diperinci sebagai berikut:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sumber-sumber Pendapatan Asli Derah merupakan sumber
keuanan yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan.
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari:
1) Pajak daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun
2001 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah
yang selanjutnya disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang
25
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan daerah.
2) Retribusi daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66 tahun
2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribusi
daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.
3) Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang
termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham
milik daerah.
4) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain hasil
penjualan aset negara dan jasa giro.
b. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah
26
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan
tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri dari:
1) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan penerimaan dari
Sumber Daya Alam seperti: kehutanan, perikanan,
pertambangan, minyak dan gas.
2) Dana Alokasi Umum (DAU).
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber pada
pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber pada
pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan agar pendapatan
daerah dapat ditingkatkan antara lain adalah sebagai berikut
(Nirzawan, 2001:75):
27
a. Intensifikasi, dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1) Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib
pajak, tertib dalam administrasi serta tertib dalam
penyetoran.
2) Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan
retribusi daerah sesuai dengan petensi yang objektif
berdasarkan peraturan yang berlaku.
3) Melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis
dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi
terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di
lapangan oleh petugas.
4) Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas terkait yang
bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.
5) Memberikan insentif (rangsangan) secara khusus kepada
aparat pengelola PAD yang dapat melampaui penerimaan
dari target yang telah ditetapkan.
6) Mengadakan pendekatan persuasif kepada wajib pajak agar
memenuhi kewajiban melalui kegiatan penyuluhan.
7) Melakukan langkah-langkah pengendalian lain guna
menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan
peraturan daerah mengenai pengelolaan maupun penetapan
pajak dan retribusi daerah.
28
b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyusun program kebijaksanaan dan strategi
pengembangan dan menggali objek pungutan baru yang
potensial dengan lebih mempriotitaskan kepada retribusi
daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam peraturan
daerah.
2) Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan sasaran
sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji dan
peraturan daerah untuk diajukan perubahan.
3) Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapat
informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi
lain yang memungkinkan untuk dikembangkan.
3. Pengelolaan Pengeluaran Daerah
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002
pasal 1 poin f, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah pejabat pemegang
kekuasaan penggunaan Anggaran Belanja Daerah. Belanja Daerah
sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
29 Tahun 2002 pasal 2 ayat 3, terdiri dari bagian belanja Aparatur
Daerah dan bagian belanja Pelayanan Publik.
Belanja Aparatur Daerah adalah belanja yang manfaatnya tidak
secara langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi dirasakan secara
langsung oleh aparatur, sedangkan Belanja Pelayanan Publik adalah
29
belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh
masyakarat
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002
pasal 6 ayat 2, format pengeluaran belanja daerah dalam Anggaran
Pendapatan Balanja Daerah (APBD) meliputi: belanja administrasi
umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal.
a. Belanja Administrasi Umum
Belanja administrasi umum adalah belanja tidak langsung yang
dialokasikan pada kegiatan non investasi dan tidak menambah aset
daerah.
b. Belanja Operasional dan Pemeliharaan
Belanja operasional dan pemeliharaan adalah belanja langsung yang
dialokasikan pada kegiatan non investasi dan tidak menambah aset
daerah.
c. Belanja Modal
Belanja modal adalah belanja langsung yang digunakan untuk
membiayai investasi dan menambah aset daerah/modal daerah yang
bermanfaat langsung bagi masyarakat, yang mengarah pada
perbaikan pelayanan masyarakat.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun
2002, APBD disusun menjadi satu buku yang memuat seluruh realisasi
APBD berdasarkan realisasi setiap objek yang selanjutnya sebagai
lampiran Peraturan Daerah dan penjabaran APBD merupakan realisasi
30
rincian objek yang selanjutnya merupakan lampiran bupati. Format
APBD yang baru adalah:
a. Pendapatan Daerah.
Pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam
periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah.
b. Belanja Daerah.
Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode
tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
c. Pembiayaan.
Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan
untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah.
.
D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 17,
menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan rencana
keuangan tahunan daerah, dimana disatu sisi menggambarkan anggaran
pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah
dalam satu tahun anggaran dan disisi lain menggambarkan penerimaan
daerah guna membiayai pengeluaran yang telah dianggarkan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dokemen
anggaran tahunan, maka seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran
31
pemerintah daerah yang akan dilaksanakan pada satu tahun anggaran dicatat
dalam APBD. Dengan demikian APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan
kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai serta mengelola
penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan didaerah
masing-masing pada satu tahun anggaran (Kifliansyah, 2001:319).
Anggaran Daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat yang
memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik
dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka APBD harus
benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan
memperhatikan potensi dan keanekeragaman daerah. Atas dasar tersebut,
penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma-norma dan prinsip
anggaran sebagai berikut (Nirzawan, 2001:79):
1. Transportasi dan Akuntabilitas Anggaran.
Trasportasi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung
jawab. Mengigat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi
pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah mensejahteraankan
masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas
tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat
dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana
yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawaban.
32
2. Disiplin Anggaran.
Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi,
tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan. Pemikihan
antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat
pembangunan/modal harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi
pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan
pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan
pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinngi pengeluaran belanja.
3. Keadilan Anggaran.
Pembiayaan pemerintah dapat dilakukan melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat, untuk itu
pemerintah daerah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil
agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
4. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimalguna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat
mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam
perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan
33
manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek
yang diprogramkan.
5. Format Anggaran.
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit
(defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi
surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi
defisit, dapat ditutup melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau
penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun dengan
pendekatan kinerja dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1
(satu) bulan setelah APBN ditetapkan, demikian juga halnya dengan
perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Sedangkan perhitungan
APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan pendekatan
kinerja tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan,2001:81):
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja.
2. Standar pelayanan yang diharapkan dan diperkirakan biaya satuan
komponen kegiatan yang bersangkutan.
3. Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan.
34
E. Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan
berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam mengadakan analisis
keuangan memerlukan ukuran tertentu. Ukuran yang sering digunakan
adalah rasio. Erich Helfert (2000:49) mengartikan rasio adalah suatu angka
yang menunjukkan huungan antara suatu unsur dengan unsur lain dalam
laporan keuangan.
Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap
APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada
kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.
Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang
trasparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio
APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah perakuntansian dalam APBD
berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.
Analisis rasio pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil
yang dicapai dari satu poriode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu
dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan
daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk
dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap
pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan
dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah (Widodo, 2001:261):
35
1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya.
3. Pemerintah Pusat/propinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
4. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham
pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli
obligasi.
F. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Berdasarkan pada analisis penelitian yang dilakukan oleh Anita
Wulandari (2001), menganalisa tentang kemampuan Keuangan Daerah
dikota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi
dihadapkan pada kendala rendahnya atau minimnya kemampuan keuangan
daerah, yang dilihat dari rendahnya konrtibusi Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio
Keuangan APBD Kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa
kemandirian Pemerintah Dearah Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana
untuk penyelenggara tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan
sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung turun
Asih Astuti (2004), melakukan penelitian tentang Kinerja
Keberhasilan Instansi Pemerintah Daerah Dilihat Dari Pendapatan Daerah
36
Terhadap APBD Tahun 2002 Pada Karisidenan Pati, hasilnya menunjukkan
bahwa Kemandirian Pemerintah Daerah relatif rendah karena masih
tergantung dengan Pemerintah Pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Pemerintah Daerah Karisidenan Pati dilihat dari segi keuangan belum
berhasil untuk mencukupi kebutuhan daerahnya sendiri, terlihat dari rata-
rata PAD dan rata-rata pendapatan pihak ekstern masih terdapat selisih jauh.
Didit Welly Udjianto (2005), melakukan penelitian Kemampuan
Keuangan Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Kabupaten Sragen periode 1998-2002. Hasilnya menunjukkan bahwa
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Sragen mengalami kecenderungan
meningkat, kecuali tahun anggaran 1999 dan Indeks Kemampuan Rutin
(IKR) Kabupaten Sragen sangatlah baik.
Penelitian ini mencoba untuk membuktikan apakah terbukti dalam
teori terdahulu dengan penelitian yang sekarang. Dengan memakai judul
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Pemerintahan Kabupaten Sragen
Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Dearah.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif menurut Mohammad Nazir (2003:54) adalah suatu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi atau gambaran, melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta – fakta, sifat – sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang
perkembangan kemampuan keuangan daerah di Kabupaten Sragen dalam
mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
B. Obyek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sragen. Dalam
penelitian ini penulis memilih Kabupaten Sragen dengan alasan lokasi dekat
dengan tempat penulis sehingga memudahkan dalam pengambilan data.
C. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah
data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dan melalui
37
38
perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Nur Indriantoro dan
Bambang Supomo, 2002:147). Data dalam penelitian ini adalah data
keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun
anggaran 2002 – 2006. APBD tersebut diperoleh dari beberapa instansi
pemerintah terkait, dalam hal ini diperoleh dari Badan Pengelola Keuangan
Daerah (BPKD).
D. Metode Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Dokumentasi
Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama
berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,
hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan
(Hadari Nawawi, 1991:133). Metode pengumpulan data dokumentasi
diperoleh dari arsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Sragen di badan Pengelola Keuangan Daerah.
2. Wawancara
Adalah teknik pengumpulan data dalam metode survei yang
menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subjek penelitian (Nur
Indriantoro dan Bambang Supomo, 2002:152). Wawancara dilakukan
terhadap aparat di Badan Pengelola Keungan Daerah Kabupaten Sragen.
39
E. Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriftif komparatif. Deskriptif komparatif adalah suatu jenis metode
penelitian yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-
akibat dengan menganalisis faktor-faktor yang terjadi ataupun munculnya
fenomena tertentu (Muhammad Nazir, 2003:58). adalah dengan mencari
jawaban untuk menganalisis data Anggaran Pendapatan Asli Daerah
(APBD) Kabupaten Sragen tahun anggaran 2002 – 2006. Data APBD
tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus perhitungan
sebagai berikut :
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keunagan Daerah menunjukkan tingkat
kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang
berasal dari sumber lain ( pihak ekstern ) antara lain : Bagi hasil pajak,
Bagi hasil bukan pajak sumber daya alam, Dana alokasi umum dan
Alokasi khusus, Dana darurat dan pinjaman ( Widodo, 2001 : 262 ).
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah :
40
Rasio Kemandirian = eksternPihak dari PendapatanSumber
Daerah ASli Pendapatan
Rasio kemandirian menggambarkan Ketergantungan daerah
terhadap sumber data ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan
pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio
kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi
masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan
bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Sebagai
pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari
sisi keuangan ) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut:
Tabel III.1
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0% - 25%
25% - 50%
50% - 75%
75% - 100%
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
Sumber : Abdul Halim (2002:169).
41
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat
desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan
TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala
interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.2. adalah sebagai berikut
(Anita Wulandari, 2001 : 22 ):
Tabel III.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal.
% Kemampuan Keuangan Daerah
00,00 – 10,00 Sangat Kurang
10,01 – 20,00 Kurang
20,01 – 30,00 Cukup
30,01 – 40,00 Sedang
40,01 – 50,00 Baik
> 50,00 Sangat baik
Sumber : Anita Wulandari ( 2001 : 22 ).
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
DDF = %100xTPDPAD
t
t
42
Keterangan :
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt = Total Pendapatan Asli Daerah tahun t
TPDt = Total Pendapatan Daerah tahun t
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin dapat dilihat melalui proporsi antara
PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat.
Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin Daerah ( IKR )
dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997 : 15) sebagaimana
yang terlihat dalam tabel III.3. (dalam Anita Wulandari, 2001 : 22) :
Tabel III.3
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin.
% Kemampuan Keuangan Daerah
00,00 – 20,00 Sangat Kurang
20,01 – 40,00 Kurang
40,10 – 60,00 Cukup
60,10 – 80,00 Baik
80,10 – 100 Sangat Baik
Sumber : ( Anita Wulandari, 2001 : 22 )
Indek Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
43
IKR = RutinnPengeluaraTotal
PAD
Keterangan :
IKR = Indeks Kemampuan Rutin
PAD = Pendapatan Asli Daerah
4. Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti belanja pembangunan yang
digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian ini dapat
diformulasikan sebagai berikut ( Widodo, 2001: 262):
Rasio Belanja Rutin = APBD Belanja TotalRutin Belanja Total
Rasio Belanja Pembangunan = APBD Belanja Total
nPembanguna Belanja Total
Untuk tahun 2002-2003 rasio belanja rutin diperoleh dari: total
belanja rutin dan total belanja APBD, sedangkan rasio belanja
pembangunan diperoleh dari: total belanja pembangunan dan total
belanja APBD.
44
Untuk tahun 2004-2006 belanja rutin diganti dengan belanja
aparatur daerah yang diperoleh dari: belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja administrasi umum,
belanja operasi dan pemeliharaan yang diperoleh dari belanja
pelayanan publik. Untuk belanja pembangunan/modal diganti dengan
pelayanan publik yang diperoleh dari: belanja modal dari belanja
aparatur daerah dan belanja modal yang diperoleh dari belanja
pelayanan publik.
5. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilan yang dicapai dari periode ke periode lainya. Pertumbuhan
APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri
dari pendapatan asli daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja
pembangunan ( Widodo, 2000: 270)
Rumus yang digunakan adalah :
r = %100P
P P
o
on x−
Keterangan :
Pn = Data yang dihitung pada tahun ke – n
Po = Data yang dihitung pada tahun ke – o
r = Pertumbuhan
45
Apabila semakin tinggi nilai PAD, TPD dan belanja pembangunan
yang di ikuti oleh semakin rendahnya belanja rutin, maka
pertumbuhanya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang
bersangkutan telah mampu mempertahankan dan meningkatkan
pertumbuhanya dari periode yang satu ke periode berikutnya. Jika
semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan belanja rutin yang diikuti oleh
semakin rendahnya belanja pembangunan, maka pertumbuhannya
adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum
mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhanya dengan
dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Penerapan Otonomi Daerah di Kabupaten Sragen
Menurut UU No 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5 Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah membawa
dampak perubahan yang baik dalam perencanaan dan pembangunan daerah.
Dalam rangka otonomi daerah di Kabupaten Sragen, pembangunan telah
dilakukan diberbagai bidang meliputi: pembangunan ekonomi,
pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur.
Pembangunan ekonomi dilakukan dengan mempertahankan dan
mengembangkan sektor industri tekstil yang merupakan industri terbesar di
Kabupaten Sragen, mengembangkan industri kecil, mempromosikan daerah
wisata, meningkatkan potensi pertanian, perkebunan, peternakan,
pertambangan serta potensi lain yang ada. Pembangunan sumberdaya
manusia dilakukan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia
melalui berbagai kebijakan, seperti: beasiswa pelajar berprestasi dari
Bupati, mendirikan AKPER Yapenas, mencanangkan program pendidikan
guru SD (PG SD) dengan biaya pemerintah, meningkatkan kualitas guru
SD, SMP, dan SMU (Wajib S1), program GNOTA, insentif bagi guru SD,
SMP, dan SMU Negeri, pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin.
46
47
Pembangunan infrastruktur seperti pembangunan gedung DPRD baru,
pembangunan perumahan dan pemukiman, pembangunan jalan raya dan
perbaikan jalan-jalan desa, penyedian air bersih, telepon dan listrik, serta
infrastruktur lain.
Dengan pemberlakuan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten
Sragen mengajukan beberapa Peraturan Daerah (Perda) untuk mengimbangi
pembangunan yang telah dilakukan. Perda tersebut mencakup perihal
anggaran daerah, pendirian kantor pemerintah baru, rencana strategi
pembangunan agribisnis, pendirian Perusahaan Daerah (Perusda), pendirian
Badan Perwakilan Desa (BPD), pemeliharaan lingkungan dan peraturan
retribusi/pungutan daerah dan lain-lain. Beberapa pajak daerah dan
pungutan daerah yang mengalami perkembangan untuk meningkatkan
sumber pendapatan antara lain: Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pajak
hotel dan restoran, retribusi pasar, retribusi terminal, pajak iklan, pungutan
pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), retribusi parkir, izin gangguan, pajak
rekreasi, izin transportasi, pungutan konsultasi medis di Puskesmas dan
perijinan trayek.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah dibidang politik, tercermin
dalam proses pemilihan wakil-wakil rakyat di DPRD dan Bupati yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sebelum penerapan otonomi daerah,
Bupati dipilih dan ditentukan oleh pemerintah pusat. Di era otonomi daerah
ini pemilihan langsung oleh rakyat dirasa lebih baik, karna masyarakat
mengetahui profil-profil calon pemimpinnya sehingga masyarakat
48
mengetahui kepada siapa mereka menitipkan aspirasi dan pembangunan
daerahnya.
Pemerintah Kabupaten Sragen tidak hanya meningkatkan pungutan
terhadap masyarakat tetapi juga meningkatkan kualitas pelayanan
masyarakat sebagai imbal balik dari besarnya pungutan yang diambil.
Pelayanan tersebut seperti layanan satu atap terhadap pengurusan surat-
surat (KTP, Akta lahir, izin usaha dan lain-lain) dan masyarakat diberi
kemurahan untuk mengetahui info-info tentang kebijakan pemerintahan dan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan melalui Sragen website
(www.Sragen.go.id).
B. Tabel Realisasi APBD Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006
Tabel IV.1 berikut ini merupakan gambar nyata anggaran dana
yang telah digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen selama periode
2002-2006, baik berupa dana pendapatan maupun dana pengeluaran
49
Tabel IV.1 Realisasi APBD Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006 (Dalam Rupiah).
No. Uraian Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 A. PENDAPATAN 298.777.247.307 378.126.070.702 395.271.903.830 411.992.262.956 617.931.704.145 1 Pendapatan Asli Daerah 24.347.951.713 42.976.691.754 43.547.105.781 44.622.142.000 52.019.759.755 a. Pajak Daerah 41.800.287.549 4.934.428.784 6.957.120.952 8.072.127.413 8.859.374.692 b. Retribusi Daerah 13.421.979.439 16.475.238.373 19.228.260.353 23.408.347.107 29.636.217.408 c. Bag. Laba BUMN 1.173.107.952 2.503.653.760 1.382.930.184 4.102.720.187 2.755.402.703 d. Lain-lain Pendapatan 5.572.835.563 19.063.370.837 15.978.794.292 7.265.354.987 10.768.764.954 2 Dana Perimbangan 250.604.817.183 296.021.276.898 331.267.844.533 352.180.713.262 565.911.944.390 a. Bagi Hasil Pajak 11.257.676.299 16.653.069.469 18.101.506 20.502.320.752 25.452.932.488 b. Bagi Hasil Bukan Pajak 4.471.408.884 528.207.429 509.864.000 477.250.807 - c. DAU 238.900.000.000 271.940.000.000 283.621.000.000 306.460.000.000 466.851.000.000 d. DAK - 6.900.000.000 8.110.000.000 - 36.055.000.000 e. Dana Perimb. Dari Propinsi - - 20.925.473.663 24.741.141.703 37.553.011.902 f. Bantuan Pembangunan - - - - g. SubsidiDaerah Otonom - - - - 3 Bagian Pinjaman Daerah - - - 4 Lain-lain Penerimaan yang Sah 23.824.478.411 39.128.102.050 20.456.953.516 16.963.000.000 - a. Penerimaan Dari Pemerintah 5.306.231.250 21.295.155.000 20.456.953.516 - - b. Penerimaan Dari Propinsi 13.774.371.500 13.005.322.050 - - - c. Penerimaan Lain-lain 4.743.875.661 4.827.625.000 - 16.963.000.000 -
49
50
No. Uraian Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006
B. BELANJA 276.284.950.277 390.467.387.928
387.044.713.146
404.287.255.897
592.406.430.480 1 Rutin 222.244.705.843 280.894.918.159
a. Belanja Pegawai 191.566.258.200 226.302.035.638 b. Belanja Barang 16.262.255.611 21.468.707.306 c. Belanja Pemeliharaan 2.945.165.209 4.329.287.823 d. Belanja Perjalanan Dinas 1.554.843.900 19.936.363.500 e. Belanja Lain-lain 6.762.965.524 14.481.337.954
f. Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga 201.918.213 177.489.708
g. Bantuan Keuangan 1.754.419.184 2.660.558.800
h. Pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain 1.196.880.000 9.022.050.550
i. Pengeluaran Tidak Tersangka - 280.086.880
2 Pembangunan 54.040.244.434 109.572.469.769 a. Sektor Industri 35.000.000 2.889.000.000 b. Sektor Pertanian dan Kehutanan 1.881.858.375 3.707.543.250
c. Sektor Sumber Daya Air dan Irigasi 3.206.193.976 2.766.586.780
d. Sektor Tenaga Kerja 474.889.000 341.632.000
e. Sektor Perdagangan, Pengembangan Usaha - -
Daerah, Keuangan dan Koperasi 2.556.203.000 13.852.887.340 f. Sektor Transfortasi 25.407.693.470 41.101.492.057
g. Sektor Pertambangan dan Energi - 1.190.999.000
h. Sektor Telkom Daerah 376.830.000 1.456.890.000
50
51
i. Sektor Pembangunan Daerah dan Pemukiman 6.600.560.075 11.081.272.650
j. Sektor Lingkungan Hidup dan Tata Ruang 604.575.000 741.896.920
k. Sektor Pendidikan, Kebudayaan Nasional, 2.326.765.150 9.899.106.000
Kepercayaan Terhadap YME, Pemuda dan Olah Raga
i. Sektor Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 25.000.000 73.350.000
m. Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan 1.880.812.238 5.481.026.502
Wanita, Anak dan Remaja
n. Sektor Perumahan dan Pemukiman 299.997.000 2.112.379.000
o. Sektor Agama 382.800.900 591.000.000 p. Sektor Iptek 502.554.900 611.000.000 q. Sektor Hukum dan Kamtibmas 160.779.000 79.970.000
r. Sektor Aparatur Pemerintah dan Pengawasan 7.080.555.250 10.945.613.270
s. Sektor Politik, Penerangan, Komunikasi dan 208.178.000 583.825.000
Media Masa
t. Sektor Keamanan dan Ketertiban Umum 29.000.000 65.000.000
51
52
3 Aparatur Daerah 387.044.713.146 404.287.255.897 592.406.430.480 Belanja Administrasi Umum 280.140.257.779 288.037.688.499 58.114.594.113 a. Belanja Pegawai 263,332.977.715 263.842.512.819 37.016.191.150 b. BelanjaBarang dan Jasa 12.541.726.419 18.660.654.268 15.154.160.884 c. Belanja Pemeliharaan 903.347.940 4.384.366.812 4.867.956.079 d. Belanja Perjalanan Dinas 3.362.205.705 1.150.154.600 1.076.286.000 Belanja Operasi dan Pemeliharaan 33.517.608.034 58.237.533.140 15.556.839.805 a. Belanja Pegawai 8.892.763.918 13.100.901.339 6.753.098.500 b. BelanjaBarang dan Jasa 15.200.171.183 20.950.268.577 7.180.581.805 c. Belanja Pemeliharaan 1.338.025.500 21.920.611.320 340.627.000 d. Belanja Perjalanan Dinas 8.086.647.433 2.265.751.904 1.282.532.500 Belanja Modal 43.377.640.490 38.879.278.139 9.926.394.850
4 Pelayanan Publik 474.204.294.489 Belanja Administrasi Umum 284.523.636.546 a. Belanja Pegawai 277.412.186.191 b. BelanjaBarang dan Jasa 4.819.224.363 c. Belanja Pemeliharaan 1.820.347.992 d. Belanja Perjalanan Dinas 471.878.000 Belanja Operasi dan Pemeliharaan 85.892.313.301 a. Belanja Pegawai 12.146.431.404 b. BelanjaBarang dan Jasa 28.250.224.672 c. Belanja Pemeliharaan 43.395.078.125 d. Belanja Perjalanan Dinas 2.100.579.100 Belanja Modal 23.660550.079 19.132.756.119 138.392.651.865
52
53
C PEMBIAYAAN 6.348.656.744 9.274.166.545 27.505.193.060
1 Penerimaan Daerah 5.394.748.449 27.428.205.902 22.187.273.599 35.093.666.545 37.530.193.060 a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran 5.394.748.449 27.428.205.902 15.085.733.599 21.284.642.045 26.867.173.604 Tahun lalu b. Penerimaan Pinjaman Modal 7.101.540.000 13.809.024.500 10.663.019.456 dan Obligasi c. Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
2 Pengeluaran Daerah 15.838.616.855 15.819.500.000 10.025.000.000 a. Penyertaan Modal 2.600.224.000 3.345.000.000 1.375.000.000 b. Pembayaran Utang Pokok yang 128.892.855 Jatuh Tempo c. Pinjaman Modal 13.109.500.000 12.474.500.000 8.500.000.000 d. Pemberian Pinjaman kepada 150.000.000 Lembaga Lainnya SURPLUS (DEFISIT) 27.887.045.479 15.086.888.676 20.924.504.192 26.979.173.604 25.525.273.665 PEMBIAYAAN NETTO
53
54
C. Analisis
Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan pada bab IV
ini adalah rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi
fiskal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian dan pertumbuhan
keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen tahun 2002-2006,
sehingga dapat diketahui bagai mana kecenderungan yang terjadi. Adapun
data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen pada
bagian anggaran kantor Pemerintah Kabupaten Sragen yang berupa data
APBD. Dari hasil APBD tersebut nantinya akan diketahui bagaimana
kinerja keuangan APBD Kabupaten Sragen.
Adapun hasil dari Analisis Rasio APBD tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio kemandirian
keuangan daerah adalah:
Rasio Kemandirian =EksterenPihak dari PendapatanSumber
Daerah Asli Pendapatan
Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat
dilihat dalam tabel IV.2 di bawah ini :
55
TABEL IV.2. Perhitungan Rasio Kemandirian Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006
No Keterangan 2002
(Rp) 2003 (Rp)
2004 (Rp)
2005 (Rp)
2006 (Rp)
Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern
1 Bagi Hasil Pajak 11.257.676.299 16.653.069.469 18.101.506.870 20.502.320.752 25.452.932.4882 Bagi Hasil Bukan Pajak 447.140.884 528.207.429 509.864.000 477.250.807 -3 Dana Alokasi Umum 238.900.000.000 271.940.000.000 283.621.000.000 306.460.000.000 466.851.000.000 4 Dana Alokasi Khusus - 6.900.000.000 8.110.000.000 - 36.055.000.000 5 Dan a Darurat - -- - - 6 Pinjaman Daerah - - - - -Total Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern (1) 250.604.817.183 296.021.276.898 310.342.370.870 327.439.571.559 528.358.932.488 Perkembangan pendapatan dari pihak ekstern - 18,12 % 4,84 % 5,51 % 6,36 % Pendapatan Asli Daerah (2) 24.347.951.713 42.976.691.754 43.547.105.781 44.622.142.000 52.019.759.755Perkembangan PAD - 76,51% 1,33% 2,46% 16,57% Rasio Kemandirian (2) : (1) 9,72% 14,52% 14,03% 13,62% 9,85% Pola Hubungan Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif Instruktif
55
Sumber : Data diolah
56
Berdasarkan tabel IV.2. terlihat bahwa PAD dan sumber
pendapatan dari pihak ekstern mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Peningkatan dari PAD dikarenakan kenaikan penerimaan bagian
laba Badan Usaha Milik Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan juga
pendapatan pendukung. PAD lainnya. PAD yang semula ditahun 2002
sebesar Rp. 24.347.951.713,- pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp.
42.976.691.754,- atau berkembang sebesar 76,51%. Tahun 2004 PAD
kembali meningkat menjadi Rp. 43.547.105.781,- atau berkembang
sebesar 1,33% dan ditahun 2005 menjadi Rp. 44.622.142.000,- atau
sebesar 2,46% dari tahun 2004. Pada tahun 2006 PAD berkembang
sebesar 21,40% dari tahun 2005 yaitu sebesar Rp. 52.019.759.755,-
sehingga rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 24,21%.
Sumber pendapatan dari pihak ekstern juga mengalami
peningkatan yang semula pada tahun 2002 sebesar
Rp. 250.604.817.183,- pada tahun 2003 mengalami kenaikan menjadi
Rp 296.021.276.898,- atau berkembang sebesar 18,12%. Kemudian
tahun 2004 terjadi kenaikan kembali menjadi Rp. 310.342.370.870,- atau
berkembang sebesar 4,84% dari tahun 2003. Pada tahun 2005
pendapatan dari pihak ekstern sebesar Rp. 327.439.571.559,- atau
mengalami perkembangan sebesar 5,51%. Di tahun 2006 terjadi
kenaikan yang cukup besar yaitu menjadi Rp. 528.358.932.488,- atau
berkembang sebesar 6,36%. Dari kenaikan diatas menjadi rata-rata
pertumbuhan sumber pendapatan dari pihak ekstern sebesar 8,70%.
57
Untuk sumber pendapatan dari pihak eksteren meningkat karena terjadi
peningkatan pada pos-pos dana perimbangan dari Pemerintah Pusat,
seperti : bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK pada
tahun 2003, 2004, dan 2006, disamping itu juga diturunkanya dana
perimbangan dari propinsi di tahun 2004, 2005 dan 2006.
Rasio Kemandirian Kabupaten Sragen selama tahun anggaran
2002-2006 mengalami kenaikan maupun penurunan, walaupun relatif
kecil. Pada tahun 2002 rasio kemandirian mencapai 9,72% dan pada
tahun 2003 menjadi 14,52%. Selanjutnya pada tahun 2004 mengalami
penurunan menjadi 14,01% dan tahun 2005 turun lagi menjadi 13,62%.
Pada tahun 2006 terjadi penurunan kembali menjadi 9,85%, sehingga
rata-rata rasio kemandirian sebesar 12,35%. Jika dilihat dari tahun ke
tahun pola kemandirian keuangan masih dalam pola instruktif dari tahun
pertama sampai tahun kelima.
Menurut uraian dan penghitungan di atas dapat disimpulkan
bahwa rasio kemandirian selama lima tahun pada Kabupaten Sragen
memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih sangat rendah dan dalam
kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan intruktif
yaitu peranan Pemerintah Pusat sangat dominan dari pada daerah, ini
dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih antara 0% -
25%. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan kemampuan
keuangan daerah Kabupaten Sragen dalam membiayai pelaksanaan
58
pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada
penerimaan dari Pemerintah Pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada
sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya
pendapatan asli daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk
pelaksanaan otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis
pajak/retribusi yang ada didaerah dan kurangnya pendapatan asli daerah
yang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan sumber-
sumber potensi ontuk menambah pendapatan asli daerah masih dikuasai
oleh Pemerintah Pusat. Untuk basis pajak yang cukup besar masih
dikelola oleh Pemerintah Pusat, yang dalam pemungutan/pengenaannya
berdasarkan UU/peraturan pemerintah dan daerah hanya menjalankan
serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Dana
perimbangan itu sendiri terdiri dari: Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan
Pajak/SDA, DAU, DAK dan penerimaan lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Daerah harus mampu
mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.
Inisiatif dan kemauan Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam upaya
peningkatan PAD. Pemerintah Darah harus mencari alternatif-alternatif
yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan
pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat
pelaksanaan keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber
bembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan
59
pihak swasta dan juga program peningkatan PAD, misalnya pendirian
BUMD sektor potensial.
2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
DDF = %100xTPDPAD
t
t
Keterangan :
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal.
PADt = Total PAD tahun t.
TPDt = Total Pendapatan Daerah tahun t.
Hasil perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dilihat
dalam tabel IV.3. dibawah ini :
Tabel IV.3 Perhitungan Rasio DDF Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006
TA PAD (Rp)
TPD (Rp)
DDF (%)
Kemampuan keuangan
2002
2003
2004
2005
2006
24.347.951.731
42.976.691.754
43.547.105.781
44.622.142.000
52.019.759.755
298.777.247.307
378.126.070.702
395.271.903.830
411.992.262.956
617.931.704.145
8,15
11,37
11,02
10,38
8,42
Sangat Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Sangat Kurang
Rata-rata 9,96% Sangat Kurang
Sumber : Data diolah.
Berdasarkan Tabel IV.3. terlihat bahwa rasio pendapatan asli
daerah terhadap total pendapatan daerah Kabupaten Sragen mengalami
60
penurunan walaupun relatif kecil. Pada tahun 2002 rasio derajat
desentralisasi fiskal menjadi 8,15% dan pada tahun 2003 naik menjadi
11,37%. Selanjutnya pada tahun 2004 turun menjadi 11,02% dan pada
tahun 2005 turun menjadi 10,38%. Pada tahun 2006 rasio derajat
desentralisasi fiskal turun menjadi 8,42%, sehingga rata-rata derajat
desentralisasi fiskal adalah 9,96%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa
rasio derajat desentralisasi fiskal selama lima tahun pada Pemerintahan
Kabupaten Sragen masih dalam skala interval yang sangat kurang,
karena masih berada dalam skala interval antara 0,00% - 10,00% dan ini
berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam
membiayai pembangunan daerah. Hal ini terjadi karena PAD di
Kabupaten Sragen mesih relatif kecil bila dibandingkan dengan total
pendapatan daerah. Kabupaten Sragen dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada sumber
keuangan yang berasal dari Pemerintahan Pusat/Pemerintah propinsi.
3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks kemampuan rutin dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
IKR = %100Rutinn Pengeluara Total
PAD x
61
Keterangan :
IKR = Indeks Kemampuan Rutin.
PAD = Pendapatan Asli Daerah.
Hasil perhitungan rasio indeks kemampuan rutin dapat dilihat
dalam tabel IV.4 di bawah ini :
Tabel IV. 4 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006
TA PAD (Rp)
Pengeluaran Rutin (Rp)
IKR (%)
Kemampuan keuangan
2002
2003
24.347.951.731
42.976.691.754
222.244.705.843
280.894.918.159
10,95
15,30
Sangat kurang
Sangat kurang
2004
2005
2006
43.547.105.781
44.622.142.000
52.019.759.755
313.657.865.813
346.257.211.639
444.087.383.765
13,88
12,88
11,71
Sangat kurang
Sangat kurang
Sangat kurang
12,94 Sangat kurang
Sumber : data diolah Keterangan: Untuk tahun 2004 - 2006 pengeluaran rutin diperoleh dari bagian belanja
administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan pada belanja aparatur daerah dan pelayanan publik, hal ini dikarenakan adanya perubahan peraturan mengenai kelompok belanja dalam Kepmendagri no. 29 tahun 2002.
Berdasarkan tabel IV.4 terlihat bahwa rasio pendapatan asli
daerah terhadap pengeluaran rutin daerah Kabupaten Sragen dari tahun
ke tahun menunjukan keadaan yang tidak stabil dan selalu berubah-ubah
pada tahun 2002 dan 2003, rasio indeks kemampuan rutin mencapai
10,95% dan 15,30%. Selanjutnya pada tahun 2004 turun menjadi
13,88% dan pada tahun 2005 turun menjadi 12,88%. Pada tahun 2006
rasio indeks kemampuan rutin mengalami penurunan lagi yaitu sebesar
62
11,71%. Sehingga rata-rata rasio indeks kemampuan rutin pada tahun
2002 dan 2006 adalah 12,94%.
Menurut uraian dan perhitungan pada tabel IV.4 dapat
disimpulkan bahwa rasio indeks kemampuan rutin selama lima tahun
pada Pemerintahan Kabupaten Sragen masih dalam skala yang sangat
kurang, karena masih ada dalam skala interval antara 0,00% - 20,00%
dan ini berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai
kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutin.
Hal ini terjadi karena Pemerintah Kabupaten Sragen kurang mampu
mengoptimalkan perolehan PAD daerah dan selama ini lebih banyak
tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari Pemerintah Pusat.
4. Rasio Keserasian.
Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini
menggunakan rumus sebagai berikut:
Rasio Belanja Rutin = APBD Belanja TotalRutin Belanja Total
Rasio Belanja Pembangunan = APBD Belanja Total
n Pembanguna Belanja Total
Hasil perhitungan analisis rasio keserasian dapat dilihat dalam
tabel IV.5. dibawah ini:
63
Tabel IV.5 Perhitungan Rasio Keserasian
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006 Realisasi Belanja Rutin Realisasi Belanja
Pembangunan TA Total Belanja
Rp Perkem- bangan Rp Perkem-
bangan
Rasio Belanja Rutin
Rasio Belanja
Pembangunan
2002 276.284.950.277 222.244.705.843 - 54.040.244.434 - 80,44% 19,56%
2003 390.467.384.928 280.894.918.159 26,39 % 109.572.469.769 102,76% 71,94% 28,06%
2004 387.044.713.146 313.657.865.813 11,66 % 67.038.190.569 (38,81)% 82,39% 17,61%
2005 404.287.255.897 346.257.211.639 10,39 % 58.012.034.258 (13,46)% 85,64% 14,36%
2006 592.406.430.480 444.087.383.765 28,25 % 148.319.046.715 155,66% 74,96% 25,04%
Sumber : data diolah
Dari hasil perhitungan tabel IV.5 diatas, menunjukkan bahwa
belanja rutin tahun 2002 sebesar Rp 222.244.705.843,- mengalami
kenaikan menjadi Rp 280.894.918.159,- atau sebesar 26,39% pada tahun
2003, pada tahun 2004 dan tahun 2005 belanja rutin naik menjadi
Rp 313.657.865.813,- dan Rp 346.257.211.639,- atau sebesar 11,66% dan
10,39%. Pada tahun 2006 besarnya belanja rutin mengalami kenaikan
menjadi Rp 444.087.383.765,- atau sebesar 28,25%. Untuk belanja
pembangunan tahun 2002 sebesar Rp 54.040.244.434,- mengalami
kenaikan ditahun 2003 menjadi Rp 109.572.469.769,- atau sebesar
102,76%, dan tahun 2004 mengalami penurunan menjadi
Rp 67.038.190.569,- atau sebesar (38,81%) ini dikarenakan pada tahun
2003 masih mengunakan aturan PP No.105 tahun 2000 yang masih
mengandalkan belanja rutin dan belanja pembangunan dan di tahun 2004
sudah menggunakan dasar/aturan Kepmendagri No.29 tahun 2002 yang
menggunakan belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik
sehingga terjadi penurunan yang sangat drastis. Untuk tahun 2005 turun
64
menjadi Rp 58.012.034.258,- atau sebesar (13,46%), sedangkan tahun
2006 naik menjadi Rp 148.319.046.715,- atau sebesar 155,66%.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat rasio belanja rutin dan belanja
pembangunan yang belum stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002
rasio belanja rutin dan belanja pembangunan sebesar 80,445% dan
sebesar 19,56%. Untuk tahun 2003 rasio belanja rutin turun menjadi
71,94% dan belanja pembangunan naik menjadi sebesar 28,06%. Tahun
2004 rasio belanja rutin naik menjadi 82,39% dan belanja pembangunan
turun menjadi 17,61%, pada tahun 2005 rasio belanja rutin naik menjadi
85,64% dan belanja pembangunan turun menjadi 14,36%, kemudian pada
tahun 2006 rasio belanja rutin turun menjadi 74,96% dan belanja
pembangunan naik menjadi 25,04%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas bahwa sebagian besar
dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk
kebutuhan belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap
APBD relatif kecil. Ini dapat dibuktikan dari rasio belanja rutin yang
selalu lebih besar dari rasio belanja pembangunan dan tingkat
petumbuhan belanja rutin jauh lebih besar dari pada tingkat
pertumbuhan belanja pembangunan. Besarnya alokasi dana untuk
belanja rutin terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan
belanja pegawai untuk gaji PNS. Dengan ini dapat menunjukkan bahwa
Pemerintah Kabupaten Sragen yang lebih condong pada pengeluaran-
pengeluaran rutin untuk pemenuhan aktivitas Pemerintahan dan belum
65
memperhatikan pembangunan daerah, walaupun belanja pembangunan
yang selalu naik meskipun relatif kecil. Hal ini dikarenakan belum ada
patokan yang pasti untuk belanja pembangunan, sehingga Pemerintah
Daerah masih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja rutin yang
mengakibatkan belanja pembangunan untuk Pemerintah Kabupaten
Sragen kecil atau belum terpenuhi.
5. Rasio Pertumbuhan
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio pertumbuhan
adalah sebagai berikut:
r = %100P
PP
o
on x−
Keterangan :
Pn = Data yang dihitung pada tahun ke - n.
Po = Data yang dihitung pada tahun ke – o.
r = Pertumbuhan.
Hasil perhitungan analisis rasio pertumbuhan dapat dilihat dalam
tabel IV.6. dibawah ini:
66
Tabel IV.6. Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006.
No Keterangan 2002
2003
2004
2005
2006
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PAD
Pertumbuhan PAD
Total Pendapatan
Pertumb. Pendapatan
B.Rutin
Pertumb. B Rutin
B. Pembangunan
Pertumb. B Pemb.
24.347.951.713
-
298.777.247.307
-
222.244.705.843
-
54.040.244.434
-
42.976.691.754
76,51%
378.126.070.702
26,56%
280.894.918.159
26,39%
109.572.469.769
102,76%
43.547.105.781
1,33 %
395.271.903.830
4,53 %
313.657.865.813
11,66 %
67.038.190.569
(38,81 %)
42.848.549.694
(1,60%)
411.992.262.956
4,23 %
346.257.211.639
10,39 %
58.012.034.258
(13,46 % )
52.019.759.755
21,40
617.931.704.145
49,99 %
444.087.383.765
28,25 %
148.319.046.715
155,66 %
Sumber : Data diolah.
Dari perhitungan tabel IV.6 diatas dapat diketahui bahwa
pertumbuhan pendapatan asli daerah tahun 2002 sebesar
Rp 24.347.951.713,- naik pada tahun 2003 menjadi Rp 42.976.691.754,-
atau sebesar 76,51%. Tahun 2004 pendapatan asli daerah kembali
mengalami kenaikan menjadi Rp 43.547.105.781,- atau sebesar 1,33 %
dan mengalami penurunan di tahun 2005 sebesar Rp 42.848.549.694,-
atau sebesar (1,60%) Pada tahun 2006 PAD naik menjadi
Rp 52.019.759.755,- atau sebesar 21,40%. Kenaikan rasio pertumbuhan
pendapatan asli daerah lebih banyak dipengaruhi kenaikan pemungutan
pajak dan retribusi daerah. Begitu juga untuk pertumbuhan pendapatan
pada tahun 2002 mengalami kenaikan dari Rp 298.777.247.307,- menjadi
Rp 378.126.070.702,- pada tahun 2003 atau sebesar 26,56%. Pada tahun
2004 rasio pertumbuhan mengalami kenaikan menjadi
Rp 395.271.903.830,- atau sebesar 4,53%. Pada tahun 2005 rasio
pertumbuhan mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu sebesar
Rp 411.922.262.956,- atau sebesar 4,23%, kenaikan yang besar ini
67
dipengaruhi oleh peningkatan dana alokasi umum yang cukup besar. Pada
tahun 2006 rasio pertumbuhan juga mengalami kenaikan menjadi
Rp 617.931.704.145,- atau sebesar 49,99%. Pertumbuhan pendapatan
yang berkurang salah satunya dikarenakan kenaikan pendapatan asli
daerah yang sedikit.
Pada rasio pertumbuhan belanja rutin mengalami kenaikan dari
tahun 2002 dan tahun 2003 sebesar Rp 222.244.705.843,- menjadi
Rp 280.894.918.159,- atau sebesar 26,39 %. Pada tahun 2004 dan tahun
2005 belanja rutin naik menjadi Rp 313.657.865.813,- dan
Rp 346.257.211.639,- atau sebesar 11,66% dan 10,39%. Pada tahun 2006
besarnya belanja rutin mengalami kenaikan menjadi
Rp 444.087.383.765,- atau sebesar 28,25%.
Pada rasio perkembangan belanja pembangunan mengalami
kenaikan di tahun 2002 dan 2003 sebesar Rp 54.040.244.434,- menjadi
Rp 109.572.469.769,- atau sebesar 102,76%, di tahun 2004 mengalami
penurunan sebesar Rp 67.038.190.569,- yaitu sebesar (38,81%) ini
dikarenakan adanya perbedaan aturan yang digunakan pada tahun 2003
dan 2004, pada tahun 2003 masih menggunakan aturan lama yaitu PP
No.105 tahun 2000 yang menggunakan belanja rutin dan belanja
pembangunan, sedangkan pada tahun 2004 menggunakan aturan
kepmendagri No.29 tahun 2002, yang belanja itu ada 2 yaitu belanja
aparatur daerah dan pelayanan publik, yang tiap komponen masing-
masing belanja ada belanja rutin dan belanja pembangunannya. Untuk
68
tahun 2005 mengalami penurunan sebesar Rp 58.012.034.258,- atau
sebesar (13,46%), pada tahun 2006 naik menjadi Rp 148.319.046.715,-
atau sebesar 155,66%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas kondisi pertumbuhan
APBD Kabupaten Sragen dapat disimpulkan bahwa APBD pada tahun
anggaran 2002-2006 menunjukan pertumbuhan yang sangat positif.
Total pendapatan diikuti kenaikan PAD, meskipun pengeluaran belanja
rutin masih cukup besar. Selain itu dapat dilihat juga dari rasio
pertumbuhan belanja rutin dan belanja pembangunan. Hal ini
menunjukan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen mulai
memberikan perhatiannya yang besar terhadap pembangunan daerahnya.
Tabel IV.7. Rasio Kemandirian, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio
Indeks Kemampuan Rutin, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah Kab. Sragen TA 2002-2006.
No Keterangan 2002
(%) 2003 (%)
2004 (%)
2005 (%)
2006 (%)
1. 2. 3. 4.
5.
Rasio Kemandirian Rasio Derajat Desenteralisasi Fiskal Rasio Indeks Kemampuan Rutin Rasio Keserasian
a. Rasio Belanja Rutin b. Rasio Belanja
Pembangunan Rasio Pertumbuhan
a. Pertumbuhan PAD b. Pertumbuhan Pendapatan c. Pertmb. Belanja Rutin d. Pertmb. Belanja
Pembangunan
9,72 8,15 10,95
80,44 19,56
- - - -
14,52 11,37 15,30
71,94 28,06
76,51 26,56 26,39
102,76
14,03 11,02 13,88
82,39 17,61
1,33 4,53 11,66
(38,81)
13,09 10,38 12,88
85,64 14,36
(1,60) 4,23 10,39
(13,46)
9,85 8,42
11,71
74,96 25,04
21,40 49,99 28,25 155,66
Sumber : Data diolah.
Dari tabel IV.7 dapat diketahui bahwa rasio kemandirian
Kabupaten Sragen masih rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Sragen masih belum mampu membiayai pelaksanaan
69
pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Dilihat dari rasio derajat
desentralisasi fiskal, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan PAD
dalam membiayai pelaksanaan pembangunan daerah masih sangat
rendah. Rasio indeks kemampuan rutin memberikan gambaran bahwa
PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam membiayai
pengeluaran rutin. Rasio keserasian menunjukan bahwa terdapat
kesenjangan pemenuhan belanja rutin dan belanja pembangunan,
Pemerintah Kabupaten Sragen masih terkonsentrasi untuk memenuhi
belanja rutin. Dari rasio pertumbuhan, dapat disimpulkan bahwa APBD
Kabupaten Sragen tahun anggaran 2002-2006 menunjukan pertumbuhan
yang positif meskipun relatif kecil. Dari kelima rasio diatas dapat
disimpulakan bahwa Pemerintah Kabupaten Sragen masih belum
mampu menjalankan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan
yang sangat kurang dan masih tergantung dengan penerimaan dari
Pemerintah Pusat, serta belanja rutin lebih besar dari pada belanja
pembangunan.
56
Berdasarkan tabel IV.2. terlihat bahwa PAD dan sumber
pendapatan dari pihak ekstern mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Peningkatan dari PAD dikarenakan kenaikan penerimaan bagian
laba Badan Usaha Milik Daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan juga
pendapatan pendukung. PAD lainnya. PAD yang semula ditahun 2002
sebesar Rp. 24.347.951.713,- pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp.
42.976.691.754,- atau berkembang sebesar 76,51%. Tahun 2004 PAD
kembali meningkat menjadi Rp. 43.547.105.781,- atau berkembang
sebesar 1,33% dan ditahun 2005 menjadi Rp. 44.622.142.000,- atau
sebesar 2,46% dari tahun 2004. Pada tahun 2006 PAD berkembang
sebesar 21,40% dari tahun 2005 yaitu sebesar Rp. 52.019.759.755,-
sehingga rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 24,21%.
Sumber pendapatan dari pihak ekstern juga mengalami
peningkatan yang semula pada tahun 2002 sebesar
Rp. 250.604.817.183,- pada tahun 2003 mengalami kenaikan menjadi
Rp 296.021.276.898,- atau berkembang sebesar 18,12%. Kemudian
tahun 2004 terjadi kenaikan kembali menjadi Rp. 310.342.370.870,- atau
berkembang sebesar 4,84% dari tahun 2003. Pada tahun 2005
pendapatan dari pihak ekstern sebesar Rp. 327.439.571.559,- atau
mengalami perkembangan sebesar 5,51%. Di tahun 2006 terjadi
kenaikan yang cukup besar yaitu menjadi Rp. 528.358.932.488,- atau
berkembang sebesar 6,36%. Dari kenaikan diatas menjadi rata-rata
pertumbuhan sumber pendapatan dari pihak ekstern sebesar 8,70%.
57
Untuk sumber pendapatan dari pihak eksteren meningkat karena terjadi
peningkatan pada pos-pos dana perimbangan dari Pemerintah Pusat,
seperti : bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK pada
tahun 2003, 2004, dan 2006, disamping itu juga diturunkanya dana
perimbangan dari propinsi di tahun 2004, 2005 dan 2006.
Rasio Kemandirian Kabupaten Sragen selama tahun anggaran
2002-2006 mengalami kenaikan maupun penurunan, walaupun relatif
kecil. Pada tahun 2002 rasio kemandirian mencapai 9,72% dan pada
tahun 2003 menjadi 14,52%. Selanjutnya pada tahun 2004 mengalami
penurunan menjadi 14,01% dan tahun 2005 turun lagi menjadi 13,62%.
Pada tahun 2006 terjadi penurunan kembali menjadi 9,85%, sehingga
rata-rata rasio kemandirian sebesar 12,35%. Jika dilihat dari tahun ke
tahun pola kemandirian keuangan masih dalam pola instruktif dari tahun
pertama sampai tahun kelima.
Menurut uraian dan penghitungan di atas dapat disimpulkan
bahwa rasio kemandirian selama lima tahun pada Kabupaten Sragen
memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih sangat rendah dan dalam
kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan intruktif
yaitu peranan Pemerintah Pusat sangat dominan dari pada daerah, ini
dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih antara 0% -
25%. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan kemampuan
keuangan daerah Kabupaten Sragen dalam membiayai pelaksanaan
58
pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada
penerimaan dari Pemerintah Pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada
sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya
pendapatan asli daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk
pelaksanaan otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis
pajak/retribusi yang ada didaerah dan kurangnya pendapatan asli daerah
yang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan sumber-
sumber potensi ontuk menambah pendapatan asli daerah masih dikuasai
oleh Pemerintah Pusat. Untuk basis pajak yang cukup besar masih
dikelola oleh Pemerintah Pusat, yang dalam pemungutan/pengenaannya
berdasarkan UU/peraturan pemerintah dan daerah hanya menjalankan
serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Dana
perimbangan itu sendiri terdiri dari: Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan
Pajak/SDA, DAU, DAK dan penerimaan lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Daerah harus mampu
mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.
Inisiatif dan kemauan Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam upaya
peningkatan PAD. Pemerintah Darah harus mencari alternatif-alternatif
yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan
pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat
pelaksanaan keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber
bembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan
59
pihak swasta dan juga program peningkatan PAD, misalnya pendirian
BUMD sektor potensial.
1. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat desentralisasi fiskal dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
DDF = %100xTPDPAD
t
t
Keterangan :
DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal.
PADt = Total PAD tahun t.
TPDt = Total Pendapatan Daerah tahun t.
Hasil perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal dapat dilihat
dalam tabel IV.3. dibawah ini :
Tabel IV.3 Perhitungan Rasio DDF Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006
TA PAD (Rp)
TPD (Rp)
DDF (%)
Kemampuan keuangan
2002
2003
2004
2005
2006
24.347.951.731
42.976.691.754
43.547.105.781
44.622.142.000
52.019.759.755
298.777.247.307
378.126.070.702
395.271.903.830
411.992.262.956
617.931.704.145
8,15
11,37
11,02
10,38
8,42
Sangat Kurang
Kurang
Kurang
Kurang
Sangat Kurang
Rata-rata 9,96% Sangat Kurang
Sumber : Data diolah.
Berdasarkan Tabel IV.3. terlihat bahwa rasio pendapatan asli
daerah terhadap total pendapatan daerah Kabupaten Sragen mengalami
60
penurunan walaupun relatif kecil. Pada tahun 2002 rasio derajat
desentralisasi fiskal menjadi 8,15% dan pada tahun 2003 naik menjadi
11,37%. Selanjutnya pada tahun 2004 turun menjadi 11,02% dan pada
tahun 2005 turun menjadi 10,38%. Pada tahun 2006 rasio derajat
desentralisasi fiskal turun menjadi 8,42%, sehingga rata-rata derajat
desentralisasi fiskal adalah 9,96%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa
rasio derajat desentralisasi fiskal selama lima tahun pada Pemerintahan
Kabupaten Sragen masih dalam skala interval yang sangat kurang,
karena masih berada dalam skala interval antara 0,00% - 10,00% dan ini
berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam
membiayai pembangunan daerah. Hal ini terjadi karena PAD di
Kabupaten Sragen mesih relatif kecil bila dibandingkan dengan total
pendapatan daerah. Kabupaten Sragen dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada sumber
keuangan yang berasal dari Pemerintahan Pusat/Pemerintah propinsi.
2. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks kemampuan rutin dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
IKR = %100Rutinn Pengeluara Total
PAD x
61
Keterangan :
IKR = Indeks Kemampuan Rutin.
PAD = Pendapatan Asli Daerah.
Hasil perhitungan rasio indeks kemampuan rutin dapat dilihat
dalam tabel IV.4 di bawah ini :
Tabel IV. 4 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006
TA PAD (Rp)
Pengeluaran Rutin (Rp)
IKR (%)
Kemampuan keuangan
2002
2003
24.347.951.731
42.976.691.754
222.244.705.843
280.894.918.159
10,95
15,30
Sangat kurang
Sangat kurang
2004
2005
2006
43.547.105.781
44.622.142.000
52.019.759.755
313.657.865.813
346.257.211.639
444.087.383.765
13,88
12,88
11,71
Sangat kurang
Sangat kurang
Sangat kurang
12,94 Sangat kurang
Sumber : data diolah Keterangan: Untuk tahun 2004 - 2006 pengeluaran rutin diperoleh dari bagian belanja
administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan pada belanja aparatur daerah dan pelayanan publik, hal ini dikarenakan adanya perubahan peraturan mengenai kelompok belanja dalam Kepmendagri no. 29 tahun 2002.
Berdasarkan tabel IV.4 terlihat bahwa rasio pendapatan asli
daerah terhadap pengeluaran rutin daerah Kabupaten Sragen dari tahun
ke tahun menunjukan keadaan yang tidak stabil dan selalu berubah-ubah
pada tahun 2002 dan 2003, rasio indeks kemampuan rutin mencapai
10,95% dan 15,30%. Selanjutnya pada tahun 2004 turun menjadi
13,88% dan pada tahun 2005 turun menjadi 12,88%. Pada tahun 2006
rasio indeks kemampuan rutin mengalami penurunan lagi yaitu sebesar
62
11,71%. Sehingga rata-rata rasio indeks kemampuan rutin pada tahun
2002 dan 2006 adalah 12,94%.
Menurut uraian dan perhitungan pada tabel IV.4 dapat
disimpulkan bahwa rasio indeks kemampuan rutin selama lima tahun
pada Pemerintahan Kabupaten Sragen masih dalam skala yang sangat
kurang, karena masih ada dalam skala interval antara 0,00% - 20,00%
dan ini berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai
kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutin.
Hal ini terjadi karena Pemerintah Kabupaten Sragen kurang mampu
mengoptimalkan perolehan PAD daerah dan selama ini lebih banyak
tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari Pemerintah Pusat.
3. Rasio Keserasian.
Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini
menggunakan rumus sebagai berikut:
Rasio Belanja Rutin = APBD Belanja TotalRutin Belanja Total
Rasio Belanja Pembangunan = APBD Belanja Total
n Pembanguna Belanja Total
Hasil perhitungan analisis rasio keserasian dapat dilihat dalam
tabel IV.5. dibawah ini:
63
Tabel IV.5 Perhitungan Rasio Keserasian
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2002-2006 Realisasi Belanja Rutin Realisasi Belanja
Pembangunan TA Total Belanja
Rp Perkem- bangan Rp Perkem-
bangan
Rasio Belanja Rutin
Rasio Belanja
Pembangunan
2002 276.284.950.277 222.244.705.843 - 54.040.244.434 - 80,44% 19,56%
2003 390.467.384.928 280.894.918.159 26,39 % 109.572.469.769 102,76% 71,94% 28,06%
2004 387.044.713.146 313.657.865.813 11,66 % 67.038.190.569 (38,81)% 82,39% 17,61%
2005 404.287.255.897 346.257.211.639 10,39 % 58.012.034.258 (13,46)% 85,64% 14,36%
2006 592.406.430.480 444.087.383.765 28,25 % 148.319.046.715 155,66% 74,96% 25,04%
Sumber : data diolah
Dari hasil perhitungan tabel IV.5 diatas, menunjukkan bahwa
belanja rutin tahun 2002 sebesar Rp 222.244.705.843,- mengalami
kenaikan menjadi Rp 280.894.918.159,- atau sebesar 26,39% pada tahun
2003, pada tahun 2004 dan tahun 2005 belanja rutin naik menjadi
Rp 313.657.865.813,- dan Rp 346.257.211.639,- atau sebesar 11,66% dan
10,39%. Pada tahun 2006 besarnya belanja rutin mengalami kenaikan
menjadi Rp 444.087.383.765,- atau sebesar 28,25%. Untuk belanja
pembangunan tahun 2002 sebesar Rp 54.040.244.434,- mengalami
kenaikan ditahun 2003 menjadi Rp 109.572.469.769,- atau sebesar
102,76%, dan tahun 2004 mengalami penurunan menjadi
Rp 67.038.190.569,- atau sebesar (38,81%) ini dikarenakan pada tahun
2003 masih mengunakan aturan PP No.105 tahun 2000 yang masih
mengandalkan belanja rutin dan belanja pembangunan dan di tahun 2004
sudah menggunakan dasar/aturan Kepmendagri No.29 tahun 2002 yang
menggunakan belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik
sehingga terjadi penurunan yang sangat drastis. Untuk tahun 2005 turun
64
menjadi Rp 58.012.034.258,- atau sebesar (13,46%), sedangkan tahun
2006 naik menjadi Rp 148.319.046.715,- atau sebesar 155,66%.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat rasio belanja rutin dan belanja
pembangunan yang belum stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002
rasio belanja rutin dan belanja pembangunan sebesar 80,445% dan
sebesar 19,56%. Untuk tahun 2003 rasio belanja rutin turun menjadi
71,94% dan belanja pembangunan naik menjadi sebesar 28,06%. Tahun
2004 rasio belanja rutin naik menjadi 82,39% dan belanja pembangunan
turun menjadi 17,61%, pada tahun 2005 rasio belanja rutin naik menjadi
85,64% dan belanja pembangunan turun menjadi 14,36%, kemudian pada
tahun 2006 rasio belanja rutin turun menjadi 74,96% dan belanja
pembangunan naik menjadi 25,04%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas bahwa sebagian besar
dana yang dimiliki Pemerintah Daerah masih diprioritaskan untuk
kebutuhan belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap
APBD relatif kecil. Ini dapat dibuktikan dari rasio belanja rutin yang
selalu lebih besar dari rasio belanja pembangunan dan tingkat
petumbuhan belanja rutin jauh lebih besar dari pada tingkat
pertumbuhan belanja pembangunan. Besarnya alokasi dana untuk
belanja rutin terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan
belanja pegawai untuk gaji PNS. Dengan ini dapat menunjukkan bahwa
Pemerintah Kabupaten Sragen yang lebih condong pada pengeluaran-
pengeluaran rutin untuk pemenuhan aktivitas Pemerintahan dan belum
65
memperhatikan pembangunan daerah, walaupun belanja pembangunan
yang selalu naik meskipun relatif kecil. Hal ini dikarenakan belum ada
patokan yang pasti untuk belanja pembangunan, sehingga Pemerintah
Daerah masih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja rutin yang
mengakibatkan belanja pembangunan untuk Pemerintah Kabupaten
Sragen kecil atau belum terpenuhi.
4. Rasio Pertumbuhan
Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio pertumbuhan
adalah sebagai berikut:
r = %100P
PP
o
on x−
Keterangan :
Pn = Data yang dihitung pada tahun ke - n.
Po = Data yang dihitung pada tahun ke – o.
r = Pertumbuhan.
Hasil perhitungan analisis rasio pertumbuhan dapat dilihat dalam
tabel IV.6. dibawah ini:
66
Tabel IV.6. Rasio Pertumbuhan APBD Kabupaten Sragen
Tahun Anggaran 2002-2006.
No Keterangan 2002
2003
2004
2005
2006
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PAD
Pertumbuhan PAD
Total Pendapatan
Pertumb. Pendapatan
B.Rutin
Pertumb. B Rutin
B. Pembangunan
Pertumb. B Pemb.
24.347.951.713
-
298.777.247.307
-
222.244.705.843
-
54.040.244.434
-
42.976.691.754
76,51%
378.126.070.702
26,56%
280.894.918.159
26,39%
109.572.469.769
102,76%
43.547.105.781
1,33 %
395.271.903.830
4,53 %
313.657.865.813
11,66 %
67.038.190.569
(38,81 %)
42.848.549.694
(1,60%)
411.992.262.956
4,23 %
346.257.211.639
10,39 %
58.012.034.258
(13,46 % )
52.019.759.755
21,40
617.931.704.145
49,99 %
444.087.383.765
28,25 %
148.319.046.715
155,66 %
Sumber : Data diolah.
Dari perhitungan tabel IV.6 diatas dapat diketahui bahwa
pertumbuhan pendapatan asli daerah tahun 2002 sebesar
Rp 24.347.951.713,- naik pada tahun 2003 menjadi Rp 42.976.691.754,-
atau sebesar 76,51%. Tahun 2004 pendapatan asli daerah kembali
mengalami kenaikan menjadi Rp 43.547.105.781,- atau sebesar 1,33 %
dan mengalami penurunan di tahun 2005 sebesar Rp 42.848.549.694,-
atau sebesar (1,60%) Pada tahun 2006 PAD naik menjadi
Rp 52.019.759.755,- atau sebesar 21,40%. Kenaikan rasio pertumbuhan
pendapatan asli daerah lebih banyak dipengaruhi kenaikan pemungutan
pajak dan retribusi daerah. Begitu juga untuk pertumbuhan pendapatan
pada tahun 2002 mengalami kenaikan dari Rp 298.777.247.307,- menjadi
Rp 378.126.070.702,- pada tahun 2003 atau sebesar 26,56%. Pada tahun
2004 rasio pertumbuhan mengalami kenaikan menjadi
Rp 395.271.903.830,- atau sebesar 4,53%. Pada tahun 2005 rasio
pertumbuhan mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu sebesar
Rp 411.922.262.956,- atau sebesar 4,23%, kenaikan yang besar ini
67
dipengaruhi oleh peningkatan dana alokasi umum yang cukup besar. Pada
tahun 2006 rasio pertumbuhan juga mengalami kenaikan menjadi
Rp 617.931.704.145,- atau sebesar 49,99%. Pertumbuhan pendapatan
yang berkurang salah satunya dikarenakan kenaikan pendapatan asli
daerah yang sedikit.
Pada rasio pertumbuhan belanja rutin mengalami kenaikan dari
tahun 2002 dan tahun 2003 sebesar Rp 222.244.705.843,- menjadi
Rp 280.894.918.159,- atau sebesar 26,39 %. Pada tahun 2004 dan tahun
2005 belanja rutin naik menjadi Rp 313.657.865.813,- dan
Rp 346.257.211.639,- atau sebesar 11,66% dan 10,39%. Pada tahun 2006
besarnya belanja rutin mengalami kenaikan menjadi
Rp 444.087.383.765,- atau sebesar 28,25%.
Pada rasio perkembangan belanja pembangunan mengalami
kenaikan di tahun 2002 dan 2003 sebesar Rp 54.040.244.434,- menjadi
Rp 109.572.469.769,- atau sebesar 102,76%, di tahun 2004 mengalami
penurunan sebesar Rp 67.038.190.569,- yaitu sebesar (38,81%) ini
dikarenakan adanya perbedaan aturan yang digunakan pada tahun 2003
dan 2004, pada tahun 2003 masih menggunakan aturan lama yaitu PP
No.105 tahun 2000 yang menggunakan belanja rutin dan belanja
pembangunan, sedangkan pada tahun 2004 menggunakan aturan
kepmendagri No.29 tahun 2002, yang belanja itu ada 2 yaitu belanja
aparatur daerah dan pelayanan publik, yang tiap komponen masing-
masing belanja ada belanja rutin dan belanja pembangunannya. Untuk
68
tahun 2005 mengalami penurunan sebesar Rp 58.012.034.258,- atau
sebesar (13,46%), pada tahun 2006 naik menjadi Rp 148.319.046.715,-
atau sebesar 155,66%.
Menurut uraian dan perhitungan diatas kondisi pertumbuhan
APBD Kabupaten Sragen dapat disimpulkan bahwa APBD pada tahun
anggaran 2002-2006 menunjukan pertumbuhan yang sangat positif.
Total pendapatan diikuti kenaikan PAD, meskipun pengeluaran belanja
rutin masih cukup besar. Selain itu dapat dilihat juga dari rasio
pertumbuhan belanja rutin dan belanja pembangunan. Hal ini
menunjukan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen mulai
memberikan perhatiannya yang besar terhadap pembangunan daerahnya.
Tabel IV.7. Rasio Kemandirian, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio
Indeks Kemampuan Rutin, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan Keuangan Daerah Kab. Sragen TA 2002-2006.
No Keterangan 2002
(%) 2003 (%)
2004 (%)
2005 (%)
2006 (%)
1. 2. 3. 4.
5.
Rasio Kemandirian Rasio Derajat Desenteralisasi Fiskal Rasio Indeks Kemampuan Rutin Rasio Keserasian
a. Rasio Belanja Rutin b. Rasio Belanja
Pembangunan Rasio Pertumbuhan
a. Pertumbuhan PAD b. Pertumbuhan Pendapatan c. Pertmb. Belanja Rutin d. Pertmb. Belanja
Pembangunan
9,72 8,15 10,95
80,44 19,56
- - - -
14,52 11,37 15,30
71,94 28,06
76,51 26,56 26,39
102,76
14,03 11,02 13,88
82,39 17,61
1,33 4,53 11,66
(38,81)
13,09 10,38 12,88
85,64 14,36
(1,60) 4,23 10,39
(13,46)
9,85 8,42
11,71
74,96 25,04
21,40 49,99 28,25 155,66
Sumber : Data diolah.
Dari tabel IV.7 dapat diketahui bahwa rasio kemandirian
Kabupaten Sragen masih rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Sragen masih belum mampu membiayai pelaksanaan
69
pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Dilihat dari rasio derajat
desentralisasi fiskal, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan PAD
dalam membiayai pelaksanaan pembangunan daerah masih sangat
rendah. Rasio indeks kemampuan rutin memberikan gambaran bahwa
PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam membiayai
pengeluaran rutin. Rasio keserasian menunjukan bahwa terdapat
kesenjangan pemenuhan belanja rutin dan belanja pembangunan,
Pemerintah Kabupaten Sragen masih terkonsentrasi untuk memenuhi
belanja rutin. Dari rasio pertumbuhan, dapat disimpulkan bahwa APBD
Kabupaten Sragen tahun anggaran 2002-2006 menunjukan pertumbuhan
yang positif meskipun relatif kecil. Dari kelima rasio diatas dapat
disimpulakan bahwa Pemerintah Kabupaten Sragen masih belum
mampu menjalankan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan
yang sangat kurang dan masih tergantung dengan penerimaan dari
Pemerintah Pusat, serta belanja rutin lebih besar dari pada belanja
pembangunan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diambil kesimpualn
sebagai berikut:
1. Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten Sragen
tahun anggaran 2002-2006 berada pada kisaran 9,72%-14,52%. Semua
masih dalam skala interval 0% - 25% dan tergolong mempunyai pola
hubungan rasio tersebut instruktif, yang berarti kemampuan Pemerintah
Kabupaten Sragen dalam memenuhi kebutuhan dana untuk
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan
sosial masyarakat masih relatif rendah. Meskipun dari tahun ke tahun
rasio tersebut terus meningkat, tetapi tingkat ketergantungan pada
sumber pendapatan dari pihak ekstern cukup tinggi, disebabkan oleh
masih lebih besarnya proporsi sumber pendapatan oleh Pemerintah
Pusat, daripada dari PAD nya.
2. Berdasarkan rasio derajat desenteralisasi fiskal, bahwa PAD Kabupaten
Sragen masih relatif kecil jika digunakan dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan. Rasio derajat desenteralisasi fiskal
untuk tahun anggaran 2002-2006 berada pada kisaran 8,15%-11,37%.
Secara rata-rata derajat desentralisasi fiskal masih dalam skala interval
0,00% - 10,00% atau dalam kategori sangat kurang. Pemerintah
70
71
Kabupaten Sragen masih sangat tergantung dengan sumber keuangan
yang berasal dari Pemerintah Pusat meskipun terjadi peningkatan PAD
dari tahun ke tahun.
3. Berdasarkan rasio indeks kemampuan rutin Kabupaten Sragen tahun
anggaran 2002-2006, Pemerintah Kabupaten Sragen selama kurun waktu
5 tahun berada pada kisaran 10,95%-15,30%. Hal ini menunjukkan skala
yang sangat kurang karena karena berada dalam sekala interval 0,00% -
20,00%. Ini berarti bahwa kemampuan PAD dalam memenuhi
pengeluaran rutin masih sangatlah rendah.
4. Berdasarkan rasio keserasian Kabupaten Sragen tahun anggaran 2002-
2006, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja
pembangunan. Besarnya belanja rutin masih berada pada kisaran
71,94%-85,64%. Hal ini disebabkan oleh besarnya belanja pegawai
karena penambahan jumlah Pegawai Negeri Sipil dan jumlah dinas-dinas
otonomi. Untuk belanja pembangunan berada pada kisaran 14,36%-
28,06%, sehingga Pemerintah Kabupaten Sragen masih kurang
memperhatikan pembangunan daerah.
5. Berdasarkan rasio pertumbuhan Kabupaten Sragen, secara keseluruhan
mengalami peningkatan setiap tahunnya yang disebabkan pertambahan
pajak dan retribusi daerah.
72
B. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan yang perlu disampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi
peneliti berikutnya yaitu:
1. Penelitian ini tidak menganalisis keseluruhan unsur perkembangan
APBD, sehingga tidak didapatkan hasil analisis yang lengkap dan
menyeluruh.
2. Penelitian ini hanya menganalisis APBD tahun anggaran 2002-2006, hal
ini dikarenakan keterbatasan waktu dan data penelitian. Penelitian ini
hanya menganalisis beberapa komponen dalam perkembangan APBD.
C. Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan simpulan tentang kinerja keuangan
Pemerintah Kabupaten Sragen, penulis mencoba mengajukan beberapa
saran. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penelitian berikutnya diharapkan dapat meneliti secara lengkap unsur
perkembangan APBD, sehingga diperoleh hasil analisis yang lengkap
dan menyeluruh dengan melengkapi alat analisis yang digunakan dan
menambah objek penelitian.
2. Peneliti berharap untuk penelitian selanjutnya menambah data penelitian
yang lebih lengkap dan tidak hanya menganalisis APBD selama kurun
waktu 5 tahun saja, serta menambah data dari objek penelitian yang
diteliti. Diharap penelitian selanjutnya dapat menganalisis seluruh
komponen APBD sehingga akan lebih lengkap.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN. Abdul Halim. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat. Anita Wulandari. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah di Kota Jambi Dalam
Melaksanakan Otonomi Daerah. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Kemampuan Keuangan Daerah, Vol. 5, No. 2, November.
Asih Astuti. 2004. Kinerja Keberhasilan Instansi Pemerintah Daerah Dilihat Dari Pendapatan Daerah Terhadap APBD Tahun 2002 Pada Karesidenan Pati. Skripsi S1, Universitas Muhammadiyah Surakarta, tidak dipublikasikan.
Bachtiar Arif, dkk. 2002. Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba Empat. Didit Welly Udjianto. 2005. Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Mendukung
Otonomi Daerah. EKOBIS, Vol. 6, No. 1, Januari. Hadari Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM
Press. Helfert, Erich. 2000. Teknik Analisa Keuangan. Jakarta: Erlangga. H.M. Nur Fadillah dan Muhtar. 2004. Proses Penyusunan Anggaran dan
Pengalokasian Belanja di Pemerintah daerah Kabupaten Wonogiri. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 19, No. 1, Januari.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 Tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Kifliansyah. 2001. Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah,
Manajeman Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN. Kustadi Arinta. 1996. Pengantar Akuntansi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Mohammad Jimmi Ibrahim. 1991. Prospek Otonomi Daerah. Semarang: Dahara
Prize. Mohammad Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
74
Nataluddin. 2001. Potensi Dana Perimbangan pada Pemerintahan Di Daerah Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo. 2002. Metode Penelitian Bisnis.
Yogyakarta: BPFE Nirzawan. 2001. Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pengelolaan Keuangan
Daerah di Kabupaten Bengkulu Utara. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengolahan Dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Revrisond Baswir. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik. Yogyakarta.: ANDI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara pusat dan daerah. Widodo. 2001. Analisa Rasio Keuangan Pada APBD Kabupaten Boyolali,
Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN. Yuliati. 2001. Analisa Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Menghadapi
Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
75
76