fakultas ushuluddin institut agama islam negeri...
TRANSCRIPT
METODE TAFSIR KONTEMPORER(Studi Analisis Terhadap Metode Tafsir Progresif Farid Esack)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Disusun Oleh:
MIFTAHUL ARIF
4105009
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
METODE TAFSIR KONTEMPORER
(Studi Analisis terhadap Metode Tafsir Progresif Farid Esack)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
Disusun Oleh:
MIFTAHUL ARIF
4105009
Semarang, 09 Desember 2010
Disetujui Oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
H. Imam Taufiq, M. Ag Muhtarom, M. Ag197212301996031002 196906021997031002
iii
PENGESAHAN
Skripsi Saudara Miftahul Arif dengan No. induk mahasiswa 4105009Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Skripsi Fakultas
Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, padatanggal
08 Juni 2010dan telah diterima serta disahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana (S1) dalam Ilmu Ushuluddin
An. Dekan Fakultas Ushuluddin/Ketua sidang
Dr. H. Abdul Muhaya, M.A.NIP:19621018 199101 1 001
Pembimbing I Penguji I
H. Imam Taufiq, M. Ag Hasyim Muhammad, M.Ag.NIP:19721230 199603 1 002 NIP:19720315 199703 1 002
Pembimbing II Penguji II
Muhtarom, M.Ag. Drs. H. Mohammad NashuhaNIP:19690602 199703 1 002 NIP:19621018 199101 1 001
Sekretaris Sidang
Zainul AdlfarNIP:19730826 200212 1 002
iv
ABSTRAKSI
Keyword : Farid Esack, Afrika Selatan, Islam Eksklusif, Islam Inklusif, KonsepIslam, Kafir, Jihad, dan Mustadl afun.
Miftahul Arif, dengan judul skripsi: Metode Tafsir Kontemporer; StudiAnalisis terhadap Metode Tafsir Progresif Farid Esack, bertujuan untukmemahami interpretasi Farid Esack terhadap ayat-ayat al-Qur an di tengahpluralitas dan kemajemukan keyakinan rakyat Afrika Selatan serta di tengahpenindasan rezim yang rasis dan rasialis, yaitu rezim Apartheid. Beberapa alasanyang mendasari pemilihan judul ini adalah pertama, untuk mengetahui cara FaridEsack berinteraksi dengan teks al-Qur an. Kedua, untuk mengetahui aplikasimetode tafsir progresif dalam menafsirkan teks al-Qur an. Ketiga, mengetahuipengaruh metode tafsir progresif dalam membentuk tatanan kehidupan sosial diAfrika Selatan.
Menurut Farid Esack "al-Quran tidaklah unik, wahyu senantiasamerupakan tanggapan atas masyarakat tertentu," meskipun ia mengklaim dirinyasebagai petunjuk bagi ummat manusia (QS 2:175) tapi secara umum ditunjukkanbagi orang-orang Hijaz periode pewahyuan.......pemisahan antara teks dan konteksbukan sikap yang tepat, karena teks dan konteks seperti dua mata uang yang tidakbisa dipisahkan. Esack meyakini bahwa al-Qur an diwahyukan secara progresifsesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa pewahyuan, dan pada masaselanjutnya harus terus menerus dibaca seperti itu. Maka dari itu kita harusmengadakan reinterpretasi ayat-ayat al-Qur an, yang dialektika, dinamis antarateks dan konteks, karena dengan melakukan hal tersebut, ajaran agama akanmengikuti perkembangan zaman sehingga akan membuat agama tetap relevan danmenjadi panutan bagi umatnya dalam menjalani kehidupan.
Esack, dalam hal ini berangkat dari proses pewahyuan progresif yang ialihat dari adanya konsep asbab al-nuzul dan nasikh dalam al-Qur an. Dua konsepinilah dalam pandangan Esack menunjukkan ke- aktifan respon Tuhan terhadapkehidupan manusia di muka bumi. Untuk itu, berkaitan dengan rakyat AfrikaSelatan yang majemuk namun berada pada satu nasib, Esack mencoba melakukaninterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur an terutama terhadap konsep-konsepteologis ---yang bersifat eksklusif (Islam eksklusif)---yang telah mapan dikalangan ulama konservatif seperti, konsep Islam, kafir, jihad, dan konsepmustadl afun. Dalam kacamata Esack, konsep-konsep yang bersifat eksklusiftersebut merupakan penghalang tumbuhnya solidaritas dan persatuan di antaramereka, untuk itu harus di- nasakh dengan interpretasi yang bersifat inklusif danliberatif (Islam inklusif).
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode historis-verifikasi dandeskriptif. Artinya, mendeskripsikan back ground sejarah yang melingkupi Esackdengan maksud untuk memahami karakter Esack dalam merumuskanpemikirannya dalam bentuk metode tafsir progresif. Metode ini digunakan untukmelihat benang merah dalam pengembangan pemikiran Esack, baik yangberhubungan dengan lingkungan historis maupun pengaruh-pengaruh yangdialami dalam perjalanannya. Selain itu metode ini digunakan untuk
v
menerjemahkan pikiran dalam konteks dulu ke dalam terminologi pemahamanyang sesuai dengan cara berpikir sekarang.
Esack meyakini bahwa pluralitas adalah fitrah Tuhan yang tak terelakkan.Untuk itu, yang terpenting sebagai khalifatullah fi al-ardl adalah menebarperdamaian di muka bumi sebagai misi Islam dan menumbuhkan semangatsolidaritas dan persatuan dengan senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan(fastabiq al-khairat)
vi
MOTTO
ÉO ó¡ Î0«!$#Ç`» uH÷q§•9$#ÉOŠÏm§•9$#ÇÊÈ
ö@è%!$yJ ¯RÎ)O$tRr&׎|³ o0ö/ ä3 è=÷W ÏiB#Óyrq ュ’n<Î)!$yJ ¯Rr&öN ä3 ßg» s9Î)×m»s9Î)Ó‰Ïnºur(yJ sùtb% x.(#q ã_ö• tƒuä !$s)Ï9
¾Ïm În/ u‘ö@yJ ÷èu‹ ù=sùWxuK tã$[sÎ=» |¹Ÿwurõ8 ÎŽô³ ç„Ío yŠ$t7 ÏèÎ/ÿ¾Ïm În/ u‘#J‰tnr&ÇÊÊÉÈ
Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukankepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapamengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salehdan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".1
Al-muslim man salima al-muslim min lisanihi wa yadihi2
Don t Look the Book Just From the Cover
1 QS. Al-Kahfi : 1102 Abu Abdullah Muhammad ibn Darwis al-Hut, Asna al-Mathalib, Beirut, Dar al-Fikr,
hlm. 496-497
vii
PERSEMBAHAN
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, dengan mengucap syukur kepada Allah
SWT, dengan curahan hati yang paling dalam untain kata yang tercover di antara
jilidan kertas ini, penulis persembahkan kepada:
Ø Ayahanda dan bunda tercinta yang telah mengasuh dan membesarkan dengan
penuh kasih sayang dan dengan hasil keringatnya yang telah mendidikku
beserta do anya yang tulus ikhlas untuk kesuksesan ananda tercinta.
Ø Adik-adikku (Dayat dan Viki) yang tersayang yang selalu memberikan
motivasi dan inspirasi, juga untaian do anya untuk keberhasilanku, raihlah
cita-citamu setinggi langit.
Ø Faiz_Arisifa, satu nama yang selalu menemani langkahku. Terima kasih
atas doa dan motifasinya.
Ø Guru-guru saya yang telah membimbing dan mengarahkan kami sehingga
menjadi insan yang bermanfaat.
Ø Sahabat-sahabat seperjuangan (Mizan, Ical, Lala, Mami, Neng Elly, Muna,
Cumi, say Ri ah, Abu, Ipul, dan teman-teman angkatan 2005), teman-teman
LFC yang telah berbagi suka dan duka sehingga beban tak terasa dalam
mengarungi samudera perjalanan dalam meraih cita-cita dan harapan. Tetap
semangat meraih cita-cita.
Ø Teman-teman HAVARA Boarding House yang bersedia mendengarkan keluh
dan kesah penulis. Tataplah masa depan kalian.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan hanya kepada Allah
SWT, Tuhan semesta alam raya ini, atas terselesaikanya tugas yang telah kami
lakukan. Selanjutnya semoga shalawat serta salam tanpa terhenti selalu
terlimpahkan kepada nabi dan Rasul terakhir serta makhluk yang paling mulia
disisi Allah SWT, Muhammad SAW. Juga para keluarga dan sahabatnya yang
telah mengajarkan kedamaian, cinta kasih dan keselamatan serta membawa
rahmat bagi seluruh penghuni semesta alam raya ini. Semoga kita dapat
meneladani kemuliaan akhlaknya dan kelak di hari kiamat kita mendapat
syafaatnya, Amien
Hanya dengan pertolongan dan hidayahnya tugas akhir ini bisa terselesaikan
walaupun penulis yakin bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Begitu juga
dengan skripsi ini, namun dengan segenap kemampuan dan usaha keras penulis
ingin memberikan yang terbaik di akhir studi di IAIN Walisongo Semarang. Dan
semua itu tidak terlepas dari semua pihak hingga karya ini dapat terwujud. Ucapan
terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Prof. DR. H. Abdul Jamil, MA., selaku Rektor yang membina penyusun
dibawah bimbingan IAIN Walisongo beserta pembantu Rektor I, II, dan III.
2. DR. Abdul Muhayya, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang beserta para pembantunya.
3. DR. Hasan Asy ari, MA., dan Zainul Adzvar, M.Ag., selaku ketua dan
sekertaris jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
Semarang yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini.
4. H. Imam Taufiq, M.Ag., selaku pembimbing pertama, yang telah berkenan
meluangkan waktunya dalam membimbing dan mengarahkan penulis, dan
Bapak Muhtarom, M.Ag, selaku pembimbing kedua, yang telah mengadakan
koreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
ix
5. Bapak / ibu Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, atas segala
kesabaran dan keikhlasannya untuk memberikan ilmu-ilmunya kepada kami.
Seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, terima kasih atas
pelayananya.
6. Kedua orang tuaku, Bapak dan Ibu, semesta kasih sayang yang tak dapat
dilukiskan oleh apapun, Adik-adikku yang senantiasa mendorong untuk cepat
menyelesaikan tugas akhir ini dan seluruh keluarga atas curahan do anya.
7. Sahabat-sahabat angkatan 2005, khususnya jurusan Tafsir-Hadits (Ical, Mizan,
Lala, Mami, Neng Ely, Fauzul dan Khoirumi, dan teman-teman (Den Roni,
Abu, Hakim, Ipul, dll) Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, teruslah
bersemangat dalam mengasah kemampuan dan keahlian dalam berbagai
bidang.
8. Den Roni_Com yang telah bersedia menyediakan Istana Langit dan
komputernya.
9. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu, baik secara moral
maupun materi dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan diterima dan mendapat
balasan kebaikan yang melimpah dari Allah SWT. Akhirnya hanya kepada Allah
penulis berserah diri, semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bias bermanfaat
bagi ummat, masyarakat bangsa dan Negara, juga khususnya bagi penulis sendiri
dan para pembaca umumnya.
Penulis
Miftahul Arif
x
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah ditulis orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan.
Semarang, 18 Juni 2010
Penulis,
Miftahul Arif
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .ii
HALAMAN PENGESAHAN .. ....iii
HALAMAN MOTTO ....iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .. .. ....v
KATA PENGANTAR ..vi
ABSTRAKSI .........................................viii
HALAMAN PERNYATAAN ...ix
DAFTAR ISI ..x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................1
B. Rumusan Masalah .. 10
C. Tujuan Penelitian 10
D. Kajian Pustaka ................................................................10
E. Metode Penelitian ...................................................13
F. Sistematika Penulisan ....................16
BAB II. KAJIAN TEORI DALAM METODE TAFSIR PROGRESIF
A. Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir .. 18
B. Pengertian Metode Tafsir Progresif .23
C. Latar Belakang Terbentuknya Metode
Tafsir Progresif 26
D. Problematika Penerapan Metode
Tafsir Progresif ...35
BAB III. METODE TAFSIR PROGRESIF FARID ESACK
A. Riwayat Hidup Farid Esack .. 41
a. Biografi Farid Esack ..41
b. Riwayat Pendidikan dan Karir Farid Esack ...44
c. Karya-karya Farid Esack 49
xii
B. Sejarah Perkembangan Rezim Apartheid
di Afrika Selatan ... .50
a. Stratifikasi Sosial Afrika Selatan .....50
1. Pengertian dan Tumbuhnya Stratifikasi Sosial . 50
2. Kondisi Stratifikasi Sosial Afrika Selatan . 55
C. Metode Tafsir Progresif: Cara Kerja dan Penerapannya................. 58
a. Cara Kerja Metode Tafsir Progresif Farid Esack ... 58
b. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep
Kaum Mustadl afin ... .59
c. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Jihad .. .67
d. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Muslim
dan Kafir . ..70
BAB IV. ANALISIS
A. Urgensi Metode Tafsir Progresif Farid Esack . .80
B. Membumikan Al-Qur an: Sebuah Analisis atas Aplikasi Metode
Tafsir Progresif Farid Esack terhadap Ayat-ayat Al-Qur an . . 86
a. Konsep Mustadl afin .. 86
b. Konsep Jihad............................................................................... 93
c. Konsep Islam dan Kafir . 96
C. Efektivitas Metode Tafsir Progresif Farid Esack dalam
Meningkatkan Hubungan Islam dan The Others 102
a. Menanggalkan Islam Eksklusif, Merambah Jalan Baru
Islam Inklusif .. 103
b. Karakteristik Metode Tafsir Progresif .. 115
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan 119
B. Saran-saran 120
C. Penutup ... 122
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
TRANSLITERASI
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu
ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf
Arab dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman transliterasi
dalam skripsi ini meliputi :
Huruf Arab Nama Huruf latin Nama
alifbatasajimhakhadalzalrazasinsyinsaddadtazaain
gainfaqafkaflammimnunwauhahamzahya
Tidak dilambangkanbtsjhkhddzrzssysdtz
.. gfqklmnwh
.´y
Tidak dilambangkanbeteas (dengan titik di atas)jeha (dengan titik di bawah)ka dan hadezet (dengan titik di atas)erzateses dan yees (dengan titik di bawah)de (dengan titik di bawah)te (dengan titik di bawah)zet (dengan titik dibawah)koma terbalik (di atas)geefkikaelemenwehaapostrofye
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Abdullah Darras dalam al-Naba al- Azim mengungkapkan satu
pernyataan inspiratif yang sangat familier di kalangan pecinta tafsir al-Qur an,
yaitu, Al-Qur an bagaikan intan yang tiap sudutnya memancarkan kilau
cahaya, yang tidak mustahil ketika engkau mempersilahkan orang lain
memandangnya niscaya mereka akan melihat cahaya lebih banyak dari pada
yang engkau lihat .3 Pernyataan Darras tersebut bukanlah isapan jempol
belaka. Faktanya beragam tafsir dengan tinjauan ilmu pengetahuan dapat kita
temukan dalam tafsir dari ulama generasi terdahulu hingga saat ini. Mereka
telah berusaha memahami kandungan al-Qur an, dalam berbagai sudut
pandang seperti sastra, fiqih, kalam, sufi, filosofis, pendidikan, sosial, sain dan
lain sebagainya.4
Al-Qur an secara teks memang tidak berubah (final), tetapi penafsiran
atas teks akan selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
Karenanya, al-Qur an selalu terbuka untuk dianalisis, dipersepsikan, dan
ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi
sejatinya. Aneka metode tafsir klasik diajukan sebagai jalan untuk membedah
makna terdalam dari al-Qur an,5 seperti empat metode yang telah
diperkenalkan oleh para mufassir klasik yaitu, metode Tahlili, Maudlu i,
Muqarin, dan Ijmali.6 Perbedaan dalam menggunakan metode tafsir al-Qur an
sangat dipengaruhi oleh faktor intern dalam diri mufassir seperti karakter atau
kepribadian, kapasitas intelektual dan faktor eksternal seperti lingkungan dan
budaya di mana mufassir hidup.
3 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IX, 2008, hlm.213
4 Syaikh Muhammad Al-Ghozali, Berdialog Dengan Al-Qur an, terj. Masykur Hakim danUbaidillah, Cet. 3, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 233.
5 Umar Shihab, Kontektualitas Al-Qur an, Pena Madani, Jakarta, Cet. III, 2005, hlm. 36 Ibid, hlm. 94
1
2
Latar belakang setiap mufassir, entah sosial, budaya, politik,
kapasitas intelektual atau apapun yang berbeda yang tumbuh dan bercokol di
sekitar mufassir akan menjadikan berbeda pula corak dan karakter tafsir yang
dihasilkan. Sebagai contoh, gambaran umum pola perputaran penafsiran
terbagi menjadi dua yaitu, pertama bergerak menjauhi pusat (Centrefugal
force)7. Artinya, al-Qur an sebagai pusat utama lingkaran mengindikasikan
atau menjadi pendorong munculnya inspirasi yang sangat kuat untuk terus
menerus melakukan penafsiran dan pemaknaan, menjelajah, melakukan ziarah
intelektual dalam menyingkap kandungannya.8 Hal ini tidak akan lepas dari
sosok mufassir pertama , yakni Muhammad SAW. yang mendapat mandat
dari Allah SWT untuk menjelaskan (tabyin) al-Quran kepada hamba-
hambaNya. Artinya, semua yang keluar dari Muhammad SAW merupakan
inspiratif produktif untuk mengembangkan pemaknaan dan penafsiran al-
Qur an. Dalam istilah ilmu tafsir hal semacam ini disebut dengan metode
tafsir bi al-riwayat. Yakni, metode tafsir yang senantiasa mengambil riwayat-
riwayat dari Rasulullah SAW atau para sahabat beliau (baca; itba Rasulullah
SAW.). Selanjutnya karakter yang lahir dari model ini adalah eksklusifisme
tafsir yang selalu mengekor dengan asbab al-nuzul.
Pola penafsiran yang kedua bersifat mendekati pusat (Centripetal
Force).9 Dalam gerak sentripetal ini, teks al-Qur an selalu menjadi rujukan
utama atau tempat kembali (marji ) untuk memperoleh legitimasi mengenai
berbagai persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, pola penafsiran kedua ini
berangkat dari problematika-problematika yang dihadapi umat manusia untuk
kemudian dilarikan kepada al-Qur an dengan maksud mendapatkan
legitimasi.10
7 Gerak Centri Fugal (Centrifugal Force) adalah gerak atau gaya suatu benda yangarahnya mnjauhi pusat lingkaran atau lintasan lengkung. Lihat, Lilik Hidayat Setiyawan, KamusFisika Bergambar, PT. Pakar Raya, Bandung, 2004, hlm. 140
8 Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris Arah Baru Studi Tafsir al-Qur an, CV. PustakaSetia, Bandung, 2005, hlm. 6
9 Lilik Hidayat Setiyawan, op. cit10 Hendar Riyadi, op.cit. hlm. 5
3
Berbeda dengan yang pertama, model kedua ini mufassir dalam
aktifitas interpretasinya dituntut untuk berusaha melakukan "dialog imajiner
dengan ma fin nash dan ma haulaal-nash sehinga melahirkan karakter tafsir
yang inklusif dan terbuka. Keinklusifan dan kefleksibelan tafsir ini
dipengaruhi oleh satu anggapan bahwasanya kehidupan yang dicontohkan
Rasulullah SAW hanya menyediakan sebuah model bagi muslim
kontemporer. Dalam pengertian, bahwa beliau telah hidup dengan pesan Allah
SWT, bukan dalam arti bahwa kita harus membuat pilihan yang sama dengan
beliau (secara mutlak). Kehidupan Muhammad SAW adalah sebuah variasi
pertama dalam sejarah bagaimana aturan Islam dapat diterapkan dalam
masyarakat kesukuan pada saat itu, tetapi ia hanyalah variasi yang pertama,
bukan satu-satunya dan bukan yang terakhir.11
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer
mengatakan: Al-Qur an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang
tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran
dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian, ayat
selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam
interpretasi tunggal.12 Hal ini disebabkan karena al-Qur an bukan hanya
sebuah teks biasa sebagaimana teks-teks lainnya, melainkan sebuah teks yang
melampaui batas (Beyond the Text).13
Terlebih dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan di
berbagai belahan dunia Islam, dengan sendirinya pluralitas penafsiran semakin
luas.14 Perkembangan ilmu pengetahuan telah merangsang para mufassir,
terutama para mufasir kontemporer untuk lebih membuka tabir al-Qur an,
yang ditinjau dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga tafsir menjadi
lebih beragam.15
11 Muhammad Shahrur, Prinsip dan dasar Hermeneutika al-Quir an Kontemporer, terj.Sahirun Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 10
12 Abudin Nata, loc. cit13 Hendar Riyadi, loc. cit14 Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Teras, Yogyakarta, 2004, hlm. 215 Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur an, Bina Ilmu, Surabaya, 1975, hlm. 76-
77.
4
Selain itu, ungkapan shalihun likulli zaman wa makan yang melekat
pada al-Qur an merupakan faktor utama yang melatarbelakangi munculnya
berbagai macam tafsir. Adalah karena tuntutan umat manusia untuk
mendapatkan jawaban dari setiap problematika yang mereka hadapi dari teks
al-Qur an ---bermuara pada ungkapan diatas. Karena hal itu sejalan dengan
sifat al-Quran yang senantiasa menjadi hudan, syifa'an, serta rahmatan bagi
orang-orang yang mempercayainya (baca, mukmin).16
Demikian juga yang dialami salah satu mufassir komtemporer saat ini,
yaitu Farid Esack. Dengan latar belakang pemerintahan Afrika Selatan dengan
politik resminya yaitu Apartheid yang rasis dan rasialis yang senantiasa
menindas kaum mayoritas yakni bangsa kulit hitam, maka corak penafsiran
yang ia hasilkan adalah "pembebasan". Artinya, interpretasi-interpretasi yang
ia lakukan atas teks al-Qur an selalu bertujuan untuk kebebasan kaumnya dari
penindasan rezim Apartheid tersebut. Esack merumuskan interpretasinya
terhadap teks al-Qur an dalam satu metode yang dikenal dengan Metode
Tafsir Progresif . Dengan metode ini Esack berusaha menciptakan Islam
Progresif di Afrika Selatan.
Apartheid, yang dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti
politik diskriminasi warna kulit yang diterapkan (dahulu) oleh negara Afrika
Selatan antara keturunan dari Eropa (kulit putih) terhadap penduduk kulit
berwarna,17 merupakan rezim atau sistem pemerintahan resmi yang
berkembang di Afrika Selatan. Rezim Apartheid ini berkuasa cukup lama
sekali, hingga berakhir pada pemerintahan Presiden Afrika Selatan, yaitu
Nelson Mandela.
Mandela, yang lahir dan besar dari komunitas kulit berwarna atau
hitam merasa geram dengan perlakuan Rezim Apartheid yang senantiasa
menindas saudara-saudaranya dari kulit berwarna atau hitam. Mandela
mendirikan organisasi yang bernama ANC (African National Congres)
sebagai kendaraan untuk menyerang Rezim Apartheid yang rasis dan rasialis.
16 QS. Yunus 10: 5717 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, edisi III, Balai
Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 60.
5
Waktu itu. ANC yang dipimpin Mandela dahulunya adalah berjuang dengan
aksi massa damai. Namun karena penindasan yang kelewat batas oleh
rezimnya kemudian beralih ke perjuangan bersenjata. ANC kemudian
membentuk sayap perjuangan yang terkenal dengan nama Umkuntho we
Sizwe , artinya Perisai Nation . Karena gerakannya bersama ANC kian
membahayakan bagi rezim Apartheid, Mandela ditangkap dan dikurung dalam
penjara tidak kurang dari 27 tahun. Ketika di penjara Mandela menolak untuk
dibebaskan oleh Apartheid dengan syarat mengakhiri perjuangan bersenjata.18
Mantan Presiden Afrika Selatan yang digulingkan oleh Mandela
adalah Pieter Willem Botha, biasa dipanggil P, W dan Die Groot Krokodil
dalam bahasa Afrikans yang berarti Si Buaya Besar . Mandela menyebutnya
sebagai simbol Apartheid. Botha, sebelum menjadi Presiden menjabat sebagai
Perdana Menteri pada tahun 1978-1984. Setelah masa jabatan sebagai PM
berakhir kemudian ia menjabat menjadi Presiden pada tahun 1984-1989
hingga akhirnya ia diganti oleh Nelson Mandela.19
Apartheid, yang menjadi politik resmi Afrika selatan, terdiri atas
program-program atau peraturan-peraturan yang bertujuan untuk melestarikan
segregasi (pemisahan) rasial. Secara struktural, apartheid dimaksudkan untuk
mempertahankan dominasi minoritas kulit putih atas mayoritas non kulit
putih melalui pengaturan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, politik,
militer, dan kebudayaan. Orang non kulit putih dihalang-halangi untuk
berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan politik, mereka dibatasi di mana
mereka dapat bertempat tinggal dan apa yang dapat mereka lakukan, dan
mereka tidak diberi hak bepergian dengan bebas. Sebaliknya, orang kulit putih
yang nota bene merupakan golongan minoritas mengendalikan pemerintahan,
dengan sendirinya, termasuk urusan militer dan polisi. Meskipun untuk setiap
orang kulit putih ada 4,7 orang non kulit putih, menjadi orang kulit putih dan
menjadi anggota kelas atas cenderung terdapat bersama-sama. 20 persen orang
18 http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080719005746, 16 Nopember2009, 16.30 WIB
19 http://www.cakrabuananews.com/detail_berita.php?id=907, 15 Nopember 2009, 19.00WIB
6
terkaya di Afrika Selatan menerima 58 persen penghasilan Negara, dan
menikmati tingkat kehidupan yang tinggi, sementara 40 persen penduduknya
hanya menerima 6,2 persen penghasilan nasional.20
Farid Esack merupakan salah satu tokoh yang ikut serta berjuang
membebaskan Afrika Selatan dari cengkeraman Rezim Apartheid. Ia turut
terlibat mewujudkan rekonsiliasi Afrika Selatan, optimis bahwa potensi
kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui tersusunnya konstitusi di
Negara itu. Dia dengan berani menilai konstitusi Afrika Selatan terbaik di
dunia. Sungguh, Negara kami memiliki konstitusi terbaik di dunia. Saya tak
malu mengatakan hal ini, katanya. Sambung Esack, konstitusi bukan sekedar
baik di atas kerja saja, tetapi persoalan terpenting adalah
pengaktualisasiannya.21
Wacana dan gerakan Islam Progresif bukanlah barang baru. Ibarat
pepatah, the old wine in the new bottle. Islam berkemajuan (dadio wong Islam
sing kemajuan), meminjam istilah dan nasihat dari pendiri Muhammadiyyah
yaitu KH. Muhammad Dahlan, merupakan kontinuitas (continuity) sejarah
dengan perubahan (change) atau modifikasi sesuai dengan perkembangan dan
pergeseran ruang dan waktu.22
Di tengah situasi yang terus memburuk akibat pencitraan Barat tentang
wajah Islam yang keras dan penuh teror, serta kebangkitan radikalisme yang
semakin akut, hadirnya Islam Progresif bisa menjadi nafas baru dan angin
segar dalam wacana dan gerakan Islam kontemporer.
Progresivitas adalah satu prinsip al-Qur an yang tak terbantahkan.
Terbukti bahwa wahyu statis yang terpenjara dalam teks terus dapat
berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang dan proyeksinya ke
depan. Sebagai teks baku atau dibakukan dalam mushaf, al-Qur an tentu tidak
dapat bicara sendiri dengan realitas. Ia memerlukan manusia sebagai penafsir
yang bervisi progresif , sehingga menjadi wahyu progresif . Sebagaimana
20 William A. Havilan, ANTHROPOLOGY, terj. R.G. Soekadijo, edisi IV, jilid II, PT.Gelora Akasara, Surakarta, cet. II, 1993, hlm. 294-295
21 http: // elsam. minihub. org / kkr / afsel. html, 18 Nopember 2009, 15.30 WIB22 http: // www. freelist. org / post / ppi / ppiindia - Islam - Progresif - Manifesto
Keadilan - Pembebasan-dan-Kesetaraan, 18 Nopember 2009, 15.30 WIB
7
yang dikatakan sahabat Ali ra. al-Qur an adalah merupakan sesuatu yang
bisu, ia tidak dapat bicara tanpa manusia .
Al-Qur an secara lebih tegas mengakarkan pembebasan kaum marjinal
dan tertindas dengan merujuk teks mustadl afin. Teks ini amat progresif,
karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan al-Qur an,
bukan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah atau kecelakaan. Namun, lebih
karena faktor-faktor yang didesain, yang dalam istilah sosiologis disebut
faktor-faktor struktural , atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh
sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.23
Sikap aktif, progresif, responsif dan inspiratif Esack yang melahirkan
interpretasi-interpretasi baru terhadap teks al-Qur an ---terutama yang
bermotif teologis---, ia bingkai dalam satu metode yang dikenal dengan
Metode Tafsir Progresif . Bermula dari metode ini, Esack menawarkan
interpretasi-interpretasi baru yang berkenaan dengan konsep-konsep teologi,
seperti interpretasi Esack atas konsep Islam, kafir, jihad, dan konsep
mustadl afin. Pada level berikutnya, Esack mencoba menawarkan gagasannya,
yakni merubah wajah Islam yang eksklusif menjadi Islam yang inklusif.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana Esack merumuskan ide-
idenya yang ber- tentangan dengan ulama-ulama konservatif di Arika
Selatan pada umumnya? Serta bagaimana cara Esack berinteraksi dengan al-
Qur an di dunia Afrika Selatan yang majemuk tersebut? Sejauh mana
efektifitas metode Esack dalam membentuk kondisi sosio-ekonomi-politik
Afrika Selatan. Selain itu, bagaiman refleksi teologi terhadap kaum
mustadl afin?. Terlepas dari itu, fakta yang ada teologi yang ada selama ini
bersifat mikro, masih sangat menekankan pada aspek individual an sich.
Padahal masalah keadilan dewasa ini sudah bersifat makro, sudah menyangkut
struktur-stuktur sosial manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya yang akan
membuat tulisan ini lebih hidup.
Metode Esack ini pada dasarnya bertujuan melahirkan satu pandangan
baru yakni terbentuknya Islam Progresif , sebagaimana penjelasan di atas.
23 Ibid
8
Dalam pandangan Esack, Islam progresif bukan hanya menuntut sebuah
pemahaman yang kontekstual akan permasalahan umat manusia---
sebagaimana yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan pembaharuan
terdahulu--- tapi juga terjun langsung menanganinya, sekecil apapun
upayanya. Jadi, ini bukan hanya sekedar Islam yang gandrung dengan
gagasan dan penafsiran keagamaan yang liberal, tapi juga melihat pentingnya
sebuah aksi dalam bentuk sesederhana apa pun. Islam yang terbuka, segar,
cerdas, dan responsif terhadap persoalan kemanusiaan, dan bukan hanya
monopoli kaum elit terdidik dan intelektual muslim.24
Esack meyakini bahwa al-Qur an diwahyukan secara progresif sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada masa pewahyuan, dan pada masa
selanjutnya harus terus menerus dibaca seperti itu.25
Dalam pandangan Esack, makna yang dilekatkan oleh seorang
penafsir pada suatu teks tidak bisa lepas dari aspek personal dan lingkungan si
penafsir itu sendiri. Oleh karena itu, tak ada alasan yang dapat diterima
mengapa pemikiran generasi yang satu menjadi sandera pemikiran generasi
lainnya. Bahkan penafsir klasik pun tak melihat dirinya terikat dengan karya
generasi sebelumya. Munculnya tafsir sebagai suatu ilmu dalam Islam dengan
sendirinya merupakan bukti kreativitas penafsir yang tetap terilhami oleh
penerimaan, perluasan, bahkan penolakan atas karya pendahulunya. Pemikiran
tentang al-Qur an masa kini tak perlu bersandar pada kekayaan intelektual
atau ketinggian spiritual pendahulunya yang saleh. Apa yang dibutuhkan oleh
penafsir itu sekarang adalah pemahaman yang jernih tentang dari mana ia
berasal: pernyataan tentang dirinya ketika ia mendekati kalimat Tuhan.26
Jauh sebelum Esack, Hans George Gadamer juga mengungkapkan hal
yang senada. Seorang penafsir tidak perlu keluar dari tradisinya dan masuk ke
dalam tradisi penulis (baca, Author). Di samping hal itu tidak mungkin, keluar
24 Farid Esack, On Bieng A Muslim, Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. Dadidarmadi dan Jajang Jahroni, Erlangga, Jakarta, 2004. hlm. XVII-XVIII.
25 http://shapareaude.blogspot.com/26 Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas, Al-Qur an Liberalisme, Pluralisme, terj.
Watung A. Budiman, Mizan, Bandung, 2000, hlm. 95
9
dari tradisi juga berarti membunuh kreativitas dan pikiran.27 Kalau memang
kita punya kacamata sendiri mengapa harus meminjam kacamata orang lain?.
B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Dalam rangka menjelaskan pokok masalah yang dibahas serta batasan
ruang lingkupnya, maka berikut ini merupakan uraian dan pembatasan
pengertin kata-kata atau istilah yang dipergunakan dalam kalimat judul
sehingga pengertian dan maksud judul skripsi dapat digambarkan secara jelas.
Farid Esack merupakan salah satu mufassir kontemporer abad ke-21,
yang sangat berpengaruh khususnya di Afrika Selatan dan umumnya di
Negara-negara Islam yang bergelut dengan teks al-Qur an. Gagasannya yang
sangat terkenal adalah tentang "pluralisme" yang ia kemas dalam teologi
pembebasan dengan maksud membebaskan rakyat Afrika Selatan dari Rezim
Apartheid.
Rumusan pemikiran yang Esack tawarkan berpijak dari proses
pewahyuan progresif yang dapat dilihat dalam konsep asbab al-nuzul dan
nasakh ayat-ayat al-Qur an. Melalui konsep dan sudut pandang inilah penulis
mengangkat tema analisis terhadap Metode Tafsir Progresif yang diusung oleh
Farid Esack. Karena Esack merupakan sosok mufassir kontemporer maka
sebagai tema besar penulis menyertakan ungkapan Metode Tafsir
Kontemporer. Dengan kata lain, metode yang diusung oleh Esack merupakan
salah satu bentuk metode tafsir kontemporer yang berkembang di dunia tafsir
(baca, al-Qur an).
Kata progresif 28 yang melekat pada metode tafsir farid Esack yang
penulis maksud dalam tema di atas adalah wujud sikap praksis dan responsive
Esack terhadap problematika yang dialami oleh Afrika Selatan, yaitu berada
dalam penindasan Rezim Apartheid. Esack yang notabene merupakan seorang
doktor di bidang tafsir al-Qur an, dan juga termasuk kategori mufassir
27 Dr. Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Historis Kajian Islamala Sarjana Orientalis, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm.23
28 Progresif kata sifat dari progresi (gerak maju, kemajuan, deret). Sedang subyeknyadisebut progresis , artinya orang yang berhasrat dan berusaha untuk maju. Lihat, Drs. M. Ridwan,Kamus Ilmiah Populer, Puataka Indonesia, Jakarta, hlm. 525
10
kontemporer tentunya memiliki gaya tersendiri dalam berdialog atau
berinteraksi dengan teks-teks al-Qur an. Dengan metode itu, ia berusaha
mengetengahkan tafsir yang praksis, inklusif, dan progresif. Sehingga
terwujudlah Islam progresif.
C. RUMUSAN MASALAH
Sejalan dengan uraian latar belakang di atas yang secara sekilas
menyajikan data-data perkembangan metode interpretasi (baca, tafsir) atas
teks al-Qur an, sehingga melahirkan satu tema yang sekaligus menjadi judul
penelitian ini yaitu, Metode Tafsir Kontemporer, Studi Analisis terhadap
Metode Tafsir Progresif Farid Esack , maka pokok masalah pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Farid Esack berinteraksi dengan teks al-Qur an?
2. Bagaimana aplikasi metode tafsir progresif ?
3. Bagaimana pengaruh metode tafsir progresif terhadap kehidupan sosial
Afrika Selatan?
D. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara Farid Esack berinteraksi dengan teks al-Qur an.
2. Untuk mengetahui aplikasi metode tafsir progresif dalam menafsirkan teks
al-Qur an, serta
3. Mengetahui pengaruh metode tafsir progresif dalam membentuk tatanan
kehidupan sosial di Afrika Selatan.
E. KAJIAN PUSTAKA
Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, sampai dengan
tersusunnya proposal penelitian ini, penulis belum menemukan skripsi atau
studi yang secara spesifik dan komprehensif baik dalam bentuk makalah,
penelitian, atau karya tulis dalam bentuk buku, yang judulnya sama dengan
penelitian ini. Sedangkan yang banyak diketemukan adalah beberapa kajian
11
tentang pemikiran dan pengembangan atau aplikasi secara lebih detail dari
konsep-konsep baru yang ditawarkan oleh Farid Esack.
Sebuah penelitian dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Khudlori
Sholeh dengan judul Kerjasama Antar Umat Beragama Dalam Al-Qur an
(Perspektif Hermeneutika Farid Esack) , lebih condong kepada perluasan atau
penjabaran gagasan Faid Esack tentang pluralisme yang ditarik kepada
pembahasan tentang kerjasama antar agama. Di bawah ini tiga subtansi pokok
yang dibahas oleh Khudlori Sholeh, yaitu:
1. Pluralisme Agama.
Menurut Esack, al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas
menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama, sebagaimana
tertera dalam al-Qur an:
Sungguh, orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi in,Nasrani, dan siapa saja di antara mereka yang beriman kepadaAllah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akanmendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak adakekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedihhati . (QS. al-Baqarah, 62).
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya
keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman
kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal
salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka. Pernyataan ini
sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba i.
2. Prinsip Afinitas (wilâyah)
Menurut Esack, benar bahwa ayat ini secara tekstual tidak
mengizinkan afinitas (wilâyah) dengan kaum agama lain, dalam hal ini
Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita tidak bisa berhenti di sini melainkan
harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang terkait dengan hal ini secara
keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Di tempat lain, larangan ini juga
ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89), orang yang
mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi kamu
karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah,
12
13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap
atau tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-
sikap tersebut tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh
melakukan afinitas dengan mereka
3. Paradigma Eksodus
Selain didasarkan atas pemahamannya tentang prinsip afinitas, juga
didasarkan atas kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir (eksodus) seperti
yang tercatat dalam al-Qur an. Signifikansi kisah tersebut adalah
komitmen Tuhan pada kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari soal
keimanan mereka. Dalam al-Qur an sendiri digambarkan bahwa Bani
Israel yang dibela Musa bukanlah kaum yang beriman melainkan justru
orang yang keras kepala dan kufur. Yang beriman di kalangan mereka
hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir klasik diartikan
dengan sebagian kecil , anak-anak mereka atau beberapa pemuda".29
Sejalan dengan Khudlori Shaleh, Burhanuddin dalam karyanya yang
berjudul "Farid Esack: Raison d'Etre Hermeneutika Pembebasan Al-Qur'an",
juga menyoroti kajian tentang 'Solidaritas Lintas Agama: Manifesto
Pluralisme Al-Quran'.30
Sejauh pengamatan penulis mayoritas pengkaji pemikiran Farid Esack
mengalihkan pembahasan mereka pada pluralitas dan solidaritas antar agama
perspektif Esack.
Dalam penelitian ini, penulis mengetengahkan satu tema yang ---
menurut pengetahuan penulis belum digarap orang lain--- berjudul Metode
Tafsir Kontemporer: Studi Analisis terhadap Metode Tafsir Progresif Farid
Esack. Dalam kajian ini, penulis akan menyoroti metode yang digunakan
Esack dalam melakukan interpretasi ulang terhadap konsep-konsep agama
(baca; Islam), ---yang dalam pandangan sebagian ulama telah dianggap final,
seperti konsep Islam, kafir, jihad dan konsep mustadl afin. Berdasar
29http: // duniaonline. dikti. Net / kerjasama antar umat beragama dalam - al-qur %E2 % 80 % 99 an perspektif hermeneutika farid - esack/, 19 Nopember 2009, 19.30 WIB
30http: // islamlib. Com / id / artikel / raison detre hermeneutika pembebasan - al-quran/, 19 Nopember 2009, 19.25 WIB
13
pemahaman umun, bahwa setiap mufassir dalam melakukan interpretasi ayat-
ayat al-Qur an sangat dipengaruhi oleh back ground masing-masing, maka
dengan latar nelakang Esack dan Afrika Selatan dengan bervariannya agama
atau kepercayaan, yang juga berada di bawah tekanan rezim Apartheid secara
tiadak langsung menjadikan hasil interpretasinya berbeda dengan mufassir-
mufassir lainnya.
F. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Dilihat dari sumber datanya penelitian ini disebut penelitian
pustaka (library research)31, artinya bahan-bahan yang relevan digali
semaksimal mungkin dari perpustakaan,32 untuk menggali teori-teori dan
konsep-konsep yang telah ditemukan oleh para peneliti terdahulu,
mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti,
memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang akan dipilih,
memanfaatkan data sekunder serta menghadirkan duplikasi penelitian
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di depan.33
Arikunto menambahi, yakni riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-
sumber tertulis yang telah dipublikasikan ataupun belum dipublikasikan.34
b. Sumber Data
• Primer
Sumber Primer yang dimaksud adalah karya-karya Farid Esack
antara lain, a). Membebaskan Yang Tertindas, Al-Qur an, Liberalisme,
Pluralisme, b). Samudera Al-Qur an, c). Menghidupkan al-Qur an,
dalam Wacana dan Perilaku, d). But Musa Went to Fir aun e). On
Bieng A Muslim, Menjadi muslim di Dunia Modern.
31 R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an, Pustaka Pesantren, Yogyakarta,2006, hlm 20
32 Sutrisno Hadi, Metodologi Reasearch, Jilid I, Audi Offiet, Yogyakarta, 1990, hlm. 1033 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Surrvei, LP3ES, Jakarta,
1982, hlm. 4534Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Bina
Aksara,Jakarta, 1989, hlm. 10
14
• Sekunder
Yaitu literature-literatur lain yang mendukung tema di atas,
meliputi Buku, Jurnal, Piper, Majalah, Internet, dan bahan-bahan lain
yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan tema.
c. Metode Pengumpulan Data
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka
peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data (intrumen penelitian)
utama karena peneliti yang akan memahami secara mendalam tentang
obyek yang diteliti, karena peneliti sebagai alat dapat berhubungan dengan
obyek secara intensif. Kemudian karena penelitian ini berbentuk penelitian
kepustakaan (Library Research), penulis menggunakan Studi
Kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal,
paper, majalah, internet, dan bahan-bahan yang dianggap mempunyai
keterkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Dalam penelitian
kepustakaan ini, dikumpulkan deskripsi-deskripsi dan hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli di bidang yang sesuai
dengan topik penelitian ini, dengan percaya atas kompetensi mereka.35
d. Metode Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut akan penulis
analisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Sosio-Historis
Metode Sosio-historis adalah metode dengan menggunakan
pendekatan sejarah atau historis. Metode ini digunakan untuk melihat
benang merah dalam pengembangan pemikiran tokoh yang
bersangkutan, baik yang berhubungan dengan lingkungan historis
maupun pengaruh-pengaruh yang dialami dalam perjalanan oleh tokoh
itu sendiri. Selain itu metode ini digunakan untuk menerjemahkan
35 Anton Bakker dan Ahmad Haris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius,Yogyakarta, 1994, hlm. 109
15
pikiran tokoh dalam konteks dulu ke dalam terminologi pemahaman
yang sesuai dengan cara berpikir sekarang.36
Metode pendekatan secara historis menurut Dawam Rahardjo
berbeda dengan pendekatan asbabun nuzul, seperti yang dilakukan al-
Wakhidi (1075). Dengan memperoleh keterangan mengenai sebab-
sebab turunnya al-Qur an itu kita memang dapat meletakkan suatu ayat
dalam konteksnya. Tapi penafsiran seperti itu, bisa membawa pada
penyempitan arti. Karena maksud suatu ayat dan interpretasinya
dibatasi dengan kaitan peristiwanya. Dalam menerapkan metode ini,
keterangan asbabun nuzul, memang diperlukan juga. Tapi, jika yang
dilihat hanya peristiwa turunnya untuk menentukan suatu tafsir, maka
arti suatu ayat bisa menjadi mikro. Akan tetapi jika keterangan itu
diletakkan dalam kerangka histories, maka suatu ayat bisa berkembang
menjadi konsep makro.37
2. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah metode yang diarahkan untuk
memberikan gambaran gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-
kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi
atau daerah tertentu.38
Dengan bahasa lain disebutkan, metode deskriptif adalah
metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara
obyektif.39 Focus penelitian analisis deskriptif yaitu analisis dengan
mendeskripsikan dan membahas gagasan yang selanjutnya
dikonfrontasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya
36 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.85. Lihat pula, Drs. Taliziduhu Ndraha, Recearch, Teori, Metodologi Administrasi, Bina Aksara,Jakarta, 1981, hlm. 112-113
37 Dawam Raharjo, Refleksi Sosiologi al-Qur an, penyunting, Ahmad Rifa i Hasan danAmrullah Ahmad, Yogyakarta, PLP2M, 1987
38 Dra. Nurul Zuriah, M.Si., Metodologi Pnelitian Sosial dan Pendidikan, Bumi Aksara,Jakarta, 2007, cet. II, hlm. 47
39 Dr. Soekidjo Motoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,cet. III, 2005, hlm. 138
16
melakukan studi yang berupa perbandingan hubungan dan
perbandingan model.
Adapun langkah-langkah dalam metode analisis deskriptif
adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi obyek penelitian.
2. Membahas gagasan primer tersebut, yang pada hakikatnya
memberikan penafsiran penelitian terhadap gagasan yang telah
dideskripsikan.
3. Melakukan studi analitik yakni studi terhadap serangkaian gagasan
primer dalam bentuk perbandingan, hubungan, pengembangan
model rasional, dan penelitian histories.
4. Mengumpulkan hasil penelitian.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sebagai sebuah penelitian ilmiah, penulisan skripsi ini disusun
berdasarkan tertib susunan yang sistematis, hal ini agar pembahasan bisa
dipahami secara jelas. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai
berikut :
Bab I, pendahuluan. Berisi tentang Latar Belakang, Alasan Pemilihan
Judul Skripsi. Kemudian Rumusan Masalah yang akan dibahas dalam skripsi
dan penulis fokuskan agar tidak terjadi pembahasan yang meluas. Selanjutnya
adalah Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi, Metode Pengumpulan Data,
Metode Analisis Data, Tinjauan Kepustakaan dan terakhir Sistematika
Penulisan Skripsi.
Bab II, merupakan Tinjauan Umum tentang Metode Tafsir Progresif.
Meliputi, Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir, Pengertian Tafsir Progresif,
Latar Belakang Lahirnya Metode Tafsir Progresif, Problematika Penerapan
Tafsir Progresif.
Bab III, merupakan pembahasan tentang Metode Tafsir Progresif Farid
Esack. Meliputi: Biografi Farid Esack, Riwayat Hidup Farid Esack dan Karya-
karyanya; Sejarah Perkembangan Rezim Apartheid di Afrika Selatan,
17
meliputi: Stratifikasi Sosial Afrika Selatan, Pengertian Dan Sejarah
Tumbuhnya Stratifikasi Sosial, Kondisi Stratifikasi Sosial Afrika Selatan;
Metode Tafsir Progresif; Cara Kerja dan Penerapannya, meliputi: Cara Kerja
Metode Tafsir Progresif Farid Esack, Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep
Kaum Mustadl afin, Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Jihad,
Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Islam dan Kafir.
Bab IV, analisis. Meliputi: Urgensi Metode Tafsir Progresif,
Membumikan Al-Qur an, Sebuah Analisis atas Aplikasi Metode Tafsir
Progresif Farid Esack terhadap Ayat Al-Qur an; Efektivitas Metode Tafsir
Progresif dalam Meningkatkan Hubungan Islam dan The Others, meliputi:
Menanggalkan Islam Eksklusif, Merambah Jalan Baru Islam Inklusif,
Karakteristik Metode Tafsir Progresif.
Bab V, penutup. Yaitu merupakan penutup dari keseluruhan proses
penelitian ini, meliputi, Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM METODE TAFSIR PROGRESIF
A. Sejarah Singkat Perkembangan Tafsir
1. Tafsir pada Masa Rasulullah SAW
Rasulullah SAW setiap menerima ayat al-Qur an langsung
menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkan mana yang
perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah SAW itu adakalanya dengan
Sunnah Qauliyyah, adakalanya dengan sunnah Fi liyyah dan
adakalanya dengan sunnah Taqririyyah.40
Jadi pada dasarnya ketika Rasulullah SAW masih hidup semua
yang berkaitan dengan penafsiran al-Qur an dikembalikan kepada
beliau. Rasulullah SAW merupakan penafsir pertama. Namun, bukan
berarti semua ayat al-Qur an telah Rasullah tasirkan. Karena apa yang
beliau tafsirkan hanya yang sesuai dengan petunjuk dari Jibril dan
setiap ayat yang dipertanyakan oleh para Sahabat.
Kata Aisyah ra: Nabi menafsirkan hanya beberapa ayat saja,
menurut petunjuk-petunjuk yang diberi Jibril .
Rasulullah SAW menafsirkan al-Qur an mengikuti hawa
nafsunya atau fikiran beliau sendiri, tetapi menurut wahyu Allah.
Beliau menanyakan kepada malaikat Jibril demikian juaga malaikat
Jibril tidak menafsirkan menurut kemampuannya sendiri tetapi
menyampaikan apa yang diterinya dari Allah SWT.
Kegiatan penafsiran pada masa ini masih berupa penyampaian
dari mulut ke mulut yang menurut istilah ahli tafsir adalah
Musyafahah. Selain itu, tafsir pada masa awal pertubuahan Islam
disusun pendek-pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa
Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan
susunan kalimat al-Qur an.41
40 Hasbi Asl-Shiddieqy, Sejarah dan Pengatar Ilmu al-Qur an/Tafsir, Bulan Bintang,Jakarta, cet. VIII, 1980, hlm. 219
41 Ibid
19
2. Tafsir pada Masa Sahabat
Para Sahabat dalam mempelajari tafsir tidak sulit karena
mereka menerima langsung dari Rasulullah SAW dan mempelajari
tafsir al-Qur an pun dari beliau sendiri, mereka bersungguh-sungguh
dalam mempelajari al-Qur an serta tafsirnya.
Apabila mereka tidaka mengetahui makan suatu lafadl al-
Qur an atau maksud suatu ayat segera mereka bertanya kepada Rausl
sendiri atau sesama sahabat.
Namun tiadalah semua sahabat sederajat di dalam memahami
isi al-Qur an, baik secra global maupun perincian, akan tetapi mereka
berbeda-beda tingkat pemahamannya sesuati dengan tingkat ketinggian
akal fikirannya, bahkan ada yang tidak sanggup dalam memahami arti
kata-kata dari al-Qur an.42
Mufassir pada masa Ahabat antara lain, Khulafa al-Rasyidun,
Ibnu Abbas, Ibnu Mas ud, Ubay ibn Ka ab, Zaib ibn Tsabit, Abu Musa
al-Asy ari dan Abdullah ibn Zubair.
3. Tafsir pada Masa Tabi in
Para Tabi i dalam mempelajari dan memahami isi-isi alQur an
adalah melangsungkan tindakan-tindakan yang dipraktekkan para
shahabat, yaitu mereka ada yang menerima dan ada yang menolak
tafsir bil ijtihad.
Para Tabi in terbagi menjadi dua golongan dalam menafsirkan
al-Qur an. Yaitu, pertama, golongan ahlu Rayi, yaitu menafsirkan al-
Qur an dengan riwayat, juga dengan ijtihad. Kedua, Alhu Atsar yaitu
yang hanya menafsirkan al-Qur an dengan riwayat semata.43
Manna al-Qaththan dalam kitabnya mengatakan bahwa ulama
terbagi menjadi tiga golongan dalam mernerima atau menolak tafsir
dari Tabi in. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir
mereka tidak diambil karena mereka tidak menyaksikan qarinah-
42 Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu al-Qur an/Tafsir, CV. Asy-Syifa, Semarang,1993, hlm. 286-287
43 Ibid., hlm. 294-295
20
qarinah dan keadaan-keadaan yang mana al-Qur an itu turun, maka
dalam memahami maksudnya mereka mungkin salah. Kedua,
sebagian besar mufassirin berpendapat bahwa tafsir mereka itu diambil
kearena merekea menerima dari para sahabat. Ketiga, pendapat yang
rajih adalah apabila tafsir itu merupakan ijma para tabi in terhadap
suatu pendapat, maka wajib atas kita untuk mengambil atau
memeganginya dan kita tidak mengambil pendapat lain.44
Mufassir-mufassir dari kalangan Tabi in antara lain: Mujahid
ibn Jabr, Sa id ibn Jubair, Ikrimah Maulana Ibnu Abbas, Atha ibn Abi
Rabah, Sa ad ibn Musayyab, Rabi ibn Annas, Hasan al-Basri, Dhahak
ibn Muzahim dan lain sebagainya.
Sudah sejak zaman klasik, Islam yang satu itu selalu
mengalami perbedaan penafsiran dari satu orang ke orang lain.
Seorang penulis klasik, Asy-Syahrastani menulis buku yang sangat
terkenal, al-Milal wan Nihal (Perihal Sekte-sekte dan Golongan-
golongan), di mana dengan gamblang sekali ditunjukkan keragaman
orang-orang Islam dalam memahami dan menerjemahkan Islam yang
satu itu. Saat Nabi masih hidup, Islam memang hanyalah satu, sebab
setiap kali muncul selisih pendapat perihal satu pokok soal, maka para
sahabat bisa langsung datang dan bertanya kepada Nabi. Namun, saat
Nabi wafat tempat orang-orang Islam bertanya itu sudah tak ada lagi
kecuali deretan teks yang terbukukan dalam al-Qur an dan al-Hadis. Di
sinilah letak segala masalahnya: setiap teks selalu cenderung untuk
membuka diri kepada sejumlah kemungkinan penafsiran.45
Penjelasan di atas juga dikuatkan oleh pendapat menantu
Rasulullah yang juga bergelar bab al-ilmu (pintu ilmu), Khalifah Ali ra
(w. 661), yang mengatakan: al Qur anu khaththun masthurun baina
daffatain la yanthiqu, innama yatakallamu bihi al-rijal (al-Qur an
44 Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur an, Mansyuratu al-Ashr al-Hadis,1392/1973, hlm. 339
45 Ibid, hlm 08
21
adalah suatu tulisan yang ditulis di antara dua cover; ia tidak berbicara.
Manusialah yang berbicara dengannya).46
Sebagaimana penjelasan di atas, pada saat Al-Quran
diturunkan, Rasul SAW., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak
dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan
wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut
tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat
tentangnya atau karena memang Rasul SAW. sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
Kalau pada masa Rasul SAW. para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah
wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas,
Ubay bin Ka ab, dan Ibnu Mas ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa
masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum
dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk
agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka ab Al-Akhbar, dan lain-
lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang
disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi in,
khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah
tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi in di kota-kota tersebut,
seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika
itu berguru kepada Ibnu Abbas; (b) Muhammad bin Ka ab, Zaid bin
Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka ab;
46 Yusuf Rahman, Pluralitas Penafsiran al-Qur an Suatu Kajian Hermeneutik , dalamIjtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, Jaringan Islam Liberal,Jakarta, 2005, hlm 13
22
dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya bi, di Irak, yang ketika itu
berguru kepada Abdullah bin Mas ud.47
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul
SAW., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi in,
dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-
Ma tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari
perkembangan tafsir.
Di atas telah dijelaskan, meski Nabi melakukan penafsiran
terhadap beberapa ayat al-Qur an, tidak berarti bahwa Nabi
melakukannya terhadap semua ayat yang ada dalam al-Qur an.
Sebaliknya, beliau hanya meberikan interpretasi terhadap beberapa
ayat saja, dan bahkan menurut penuturan Aisyah, apa yang dilakukan
Nabi juga berdasarkan petunjuk malaikat Jibril. Meski dalam
perkembangannya tafsir pada era setelah Nabi banyak mufassir yang
menyandarkan penafsiran-panafsirannya pada komentar dan
interpretasi yang dilakukan Nabi. Penafsiran Nabi kemudian
dilanjutkan oleh generasi sahabat dan tabi in. Di antara empat sahabat
yang kemudian juga menjadi khalifah, Ali ibnu Abi Thalib merupakan
tokoh yang amat monumental mengingat ia melakukan pendekatan
terhadap al-Qur an yang melampaui batas-batas jamannya, dan bahkan
jika diukur dengan parameter kontemporer, ia telah melakukan
terobosan metodologis yang amat maju. Hal ini dikarenakan
statemennya bahwa al-Qur an adalah teks yang tidak berbicara; yang
bisa membuat al-Qur an berbicara adalah manusia sebagai
pembacanya. Ia menyatakan bahwa al-Qur an hanyalah tulisan yang
dihimpun dalam dua sampul buku yang tidak berbicara, kecuali
manusia membuatnya berbicara.48
47http://attanzil.wordpress.com/2008/07/20/sejarah-perkembangan-tafsir/, 17 Nopember2009, 13.30 WIB
48 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer(Telaah atas Elemen Humaniora dalam Kajian Al-Qur an) , dalam Al-Tahrir, Jurnal PemikiranIslam, Vol. 4 No. 2 Juli 2004, hlm 111
23
Kajian al-Qur an dalam khazanah intelektual Islam tidak
pernah mandek. Setiap generasi memiliki tanggung jawab masing-
masing untuk menyegarkan kembali kajian sebelumnya yang dianggap
out of date. Di dunia TImur Tengah tercatat beberapa nama yang telah
memberikan sumbangan berarti terhadap geliat kajian al-Qur an. Di
antaranya adalah Amin al-Khuli (w. 1978), Muhammad Ahmad
Khalafallah (w. 1998), Aisyah bint al-Shati (w. 2000), Nasr Hamid
Abu Zaid (lahir 1942), Hasan Hanafi (lahir 1935), Muhammad Shahrur
(lahir 1945), serta dari Afrika Selatan ada Farid Esack.
Para sarjana tersebut menggunakan berbagai pendekatan dalam
mengkaji al-Qur an. Amin al-Khulli, misalnya, menggunakan teori
sastra kontemporer yang menggabungkan kritik intrinsic dan
ekstrensik dalam mengkaji teks al-Qur an. Kajiannya terhadap teks al-
Qur an telah membawa pada penggeseran wilayah hermeneutika teks
dari unthinkable menjadi thinkable. Baginya, mengkaji al-Qur an
haruslah menggabungkan dua perangkat analisis, yakni dirasah ma
haula al-Qur an, yang meliputi setting histories, cultural, dan kritik
sejarah saat wahyu diturunkan, dengan dirasah ma fi al-Qur an nafsih.
Analisis kedua ini menitikberatkan pada perhatian yang hati-hati
terhadap struktur kata dan kalimat al-Qur an, gaya bahasa, relasi
sintagmatis dan paradigmatic kata serta aspek-aspek lain yang masih
menjadi bagian dari disiplin linguistic kebahasaan.49
B. Pengertian Metode Tafsir Progresif
1. Pengertian Metode
Metode merupakan cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya);
cara kerja yang tersistem untuk memudahkan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan.50 Jadi, yang dimaksud di sini adalah
49 Ibid, hlm 11750 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Cet. III, 1990, hlm. 580-581
24
metode Farid Esack dalam berinteraksi dengan teks al-Qur an sebagai
upaya untuk mencari jalan keluar (problem solving) yang dihadapi
Afrika Selatan, bangsa Non-kulit Putih.
2. Pengertian Tafsir
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian tafsir baik
dari segi etimologi (bahasa) ataupun terminologi (istilah). Tafsir dilihat
dari segi bahasa (etimologi) berasal dari akar kata al-fasru mengikuti
wazan (timbangan) taf il yang berarti menyingkap atau membuka
maksud dari suatu lafadl yang musykil.51
Sebagian ulama mengatakan bahwa tafsir berasal dari
transformasi akar kata al-safaru yang juga memiliki arti menyingkap.
Al-Raghib al-Ishfahany mengatakan bahwa al-fasru maupun al-safru
keduanya memiliki kedekatan makna sebagaimana dekatnya kedua
lafadl tersebut. Yang membedakan keduanya adalah al-fasru
digunakan untuk menyingkap atau menjelaskan makna yang dipikirkan
(ma kul), sedangkan al-safru digunakan untuk menjelaskan atau
menampakkan sesuatu pada penglihatan.52
Tafsir secara terminologi adalah ilmu untuk memahami kitab
Allah SWT yang diturunkan kepada Muhammad SAW, menjelaskan
makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, dan mengambil
hikmah-hikmah yang terkandung didalamya.53
Ibnu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang
didalamnya membahas tata cara pengucapan lafadl-lafadl al-Qur an
dan dalalah-dalalahnya, hukum-hukumnya, tarkib susunannya, serta
makna-makna yang terkandung didalamnya.54
Shohibut Taujih, Syekh Thohir al-Jazairy berkata, tafsir pada
asalnya adalah mensyarahkan lafadl-lafadl yang musykil bagi
51 Nahd ibn Abdurrahman ibn Sulaiman al-Rumy, Buhuts fi Ushul al-Tafsir waManahijihi, al-Taubah, Riyad, 1413 H. hlm. 7
52 Ibid53 Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur an, Juz I, hlm. 1354 Ibnu Hayyan al-Andalusy, al-Bahr al-Muhith, Juz 1, hlm. 13-14
25
pendengar dengan uraian yang lebih menjelaskan maksud. Yang
demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya, atau yang
mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui jalan
dalalah.55
Al-Jurjani, menurutnya tafsir pada asalnya adalah membuka
dan melahirkan. Dalam istilah syara adalah menjelaskan makna ayat,
urusanya, kisahnya, dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafadl yang
menunjuk kepadanya secara terang.56
Pada dasarnya dibalik bervariannya terminologi tafsir diatas
dapat disimpulkan bahwa tafsir yang merupakan satu disiplin ilmu
dalam kajian al-Qur an yang membahas tentang pengucapan lafadl,
menyingkap atau menjelaskan makna lafadl, mengeluarkan hukum-
hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-Qur an.
Semuanya bertemu dalam satu point yaitu mengungkap atau
menjelaskan makna yang terkandung dibalik lafadl al-Qur an. Dengan
asumsi mendapatkan petunjuk, cahaya, penawar dan rahmat dari al-
Qur an.
3. Pengertian Progresif
Progresif merupakan derefasi dari kata 'progres' yang berarti
kemajuan. Progresif sendiri memiliki arti ke arah kemajuan; berhaluan
kearah perbaikan keadaan sekarang (tt.politik); bertingkat-tingkat naik
(tt. Aturan pemungutan pajak, dsb).57
Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Tafsir
Progresif adalah cara yang tersusun dengan teratur untuk menyingkap
makna atau pesan-pasan al-Qur an dengan semangat atau berhaluan
kemajuan yang tercermin dalam prasis-prasis lapangan sekecil apapun.
Jadi, diharapkan produk penafsiran dari metode tafsir ini dapat
mengarahkan seorang mufassir tidak hanya dapat memahami makna
55 Tengku Muhammad Hasbi al-Shidqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur an danTafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. III, 2000, hlm. 170
56 Ibid, hlm. 17157Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar, . op.cit, , hlm. 702
26
dan pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur an, tapi juga dapat
menumbuhkan semangat (hirrah) yang kuat untuk terjun ke lapangan
mengulurkan tangan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Membentuk muslim yang sadar akan tanggung jawab sosial,
menumbuhkan rasa empati yang kuat, menjadi khalifatullah fi al-Ardl,
sehingga al-Qur an benar-benar nyata sebagai rahmatan lil alamin,
dan akhirnya terwujudlah sebuah Islam progresif .
C. Latar Belakang Terbentuknya Metode Tafsir Progresif
a. Pandangan Farid Esack Terhadap Al-Qur an
Esack, sebagaimana mufassir-mufassir yang lain dalam
mendefinisikan al-Qur anselalu dimulai dengan penjelasan etimologis
kata al-Qur an itu sendiri. Dalam hal ini, Esack membatasi diri pada
penjelasan sekilas tentang makna istilah qur an bagi seorang muslim.
Mayoritas pemikir Arab sepakat bahwa kata qur an adalah bentuk
lampau yang berasal dari akar kata bahasa Arab qara a yang berarti ia
membaca , atau kata sifat dari qarana, ia menghimpun dan
mengumpulkan .di dalam al-Qur an sendiri, kata qur an dipakai dalam
arti membaca (QS. Al-Isra [17]: 93), mengucapkan (QS. Al-
Qiyamah [75]: 18), dan sebuah kumpulan (QS. Al-Qiyamah[75]: 17).
Dengan demikian secara harfiah al-Qur an berarti bacaan ,
pengucapan , atau kumpulan . Dari makna harfiahnya, khususnya
kumpulan , menjadi jelas bahwa kata qur an tak selalu dipakai oleh
al-Qur an dalam makna konkret kitab suci seperti yang lazim dipahami.
Al-Qur an kerap menyebut dirinya sebagi wahyu yang diturunkan untuk
menanggapi kebutuhan masyarakat selama periode dua puluh tiga tahun
(QS. Al-Isra [17]: 106).58
Bagi kaum muslim, al-Qur an sebagai kompilasi Firman
Tuhan tidak merujuk pada sebuah kitab yang diilhami atau
dipengaruhi oleh-Nya atau ditulis di bawah bimbingan ruh-Nya. Ia lebih
58 Farid Esack, Membebaskan .., op-cit., hlm. 85
27
dianggap sebagai kata-kata langsung Tuhan. Ibnu Manzur (w. 1312),
penulis Lisan Al-Arab, merefleksikan pandangan mayoritas pemikir
muslim ini ketika mendefinisikan al-Qur an sebagai wahyu yang tak
bias disamai, Perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril [yang sekarang ada] secara
harfiah dan lisan dalam kata-kata bahasa Arab yang paling murni.59
Dalam soal relasi antara proses pewahyuan, bahasa, dan isi di
satu sisi, dan komunitas yang menerimanya di sisi lain, al-Qur an
tidaklah unik; wahyu senantiasa merupakan tanggapan atas masyarakat
tertentu. Kaum muslim, seperti kaum lainnya, percaya bahwa ada satu
realitas yang mangatasi sejarah telah berkomunikasi dengan mereka.
Komunikasi semacam, ini, entah dugaan atau nyata, berada di dalam
sejarah dan dikondisikan olehnya. Pembacaan al-Qur an sepintas pun
akan memperlihatkan bahwa, kalau klaim sebagai petunjuk bagi umat
manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 175) yang diwahyukan oleh Sang
Pencipta Alam Semesta (QS. Al-fatihah [1]: 1), ia secara umum
ditujuka bagi orang-orang HIjaz selama periode pewahyuannya.60
Pemikir muslim umumnya enggan menggali hubungan ini dan
implikasinya bagi turunnya al-Qur an serta penafsirannya. Keengganan
untuk memasuki masalah kausalitas temporal yang mungkin
melatarbelakanginya merupakan konsekuensi langsung dari komitmen
besar untuk menepiskan kitab selain al-Qur an sebagi firman Tuhan.
Alasannya, apabila ada suatu kejadian duniawi yang menyebabkan
turunnya wahyu, maka pewahyuan bukan lagi sesuatu yang di luar
dunia sepenuhnya. Sebaliknya, mereka [para pemikir tradisional al-
Qur an] telah menetapkan batasan acak pada penyelidikan rangkaian
peristiwa sejarah yang dari perspektif natularistik, menyatu dengan
59 Ibid60 Ibid., hlm. 86
28
kejadian pewahyuan kenabian yang melahirkanb tradisi dan
kepercayaan Islam.61
Meski ada keengganan untuk mempelajari implikasi karakter
situasional al-Qur an, prinsip kontekstualitas itu sendiri secara umum
diterima oleh kalangan fundamentalis. Sekalipun al-Qur an
dialamatkan kepada seluruh manusia , kata Abu al-A la al-Maududi (w.
1979), kandungannya, secara keseluruhan, terkait erat dengan cita rasa
dan temperamen, lingkungan dan sejarah, serta adat dan kebiasaan
Arab .62
Berkaitan dengan interaksi pembaca dan al-Qur an, Esack
membaginya menjadi tiga stratifikasi pecinta al-Qur an. Pertama,
pecinta buta. Singkat kata, pecinta pertama ini menganggap al-Qur an
adalah segalanya. Menerima dan mengagumi tanpa komentar apa pun.
Pecinta ini seringkali terheran-haran dengan pertanyaan yang
dilontarkan kepadanya berkaitan dengan kekasihnya . Kedua, pecinta
terpelajar. Level interaksi ini adalah interaksi pecinta yang ingin
menjelaskan pada dunia, mengapa kekasihnya menjadi yang paling
mempesona, karunia sesungguhnya dari Tuhan, yang harus
mendapatkan penerimaan dan pengakuan universal. Pecinta ini
menjelaskan secara terperinci keutamaan-keutamaan kekasihnya, asal-
usulnya yang tak bercela, dan keindahannya. Ketiga, pecinta kritis.
Jenis pecinta ketiga ini mungkin terpikat juga dengan kekasihnya, tapi
ia akan memandang pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat adanasal-
usulnya, bahasanya, atau apakah rambutnya disemir, atau apakah
kukunya dicat, dan sebaginya, sebagai cerminan cinta yang lebih dalam
dan komitmen yang lebih kuat, cinta dan komitmen yang tidak hanya
akan bertahan terhadappertanyaan-pertanyaan tersebut dan jawaban-
61 Ibid62 Ibid
29
jawaban tak menyenangkan yang mungkin dihasilkan oleh penyelidikan
secermat mungkin, tapi juga akan diperdalam olehnya.63
Esack, mengutip Kenneth Cragg, mengatakan, secara liturgis,
al-Qur an adalah kitab suci yang paling banyak diucapka dan
diperdengarkan . Islam mendokumentasikannya secara lebih eksplisit,
lebih empatik dari semua pemujaan mana pun Jadi dalam hal
pemujaan maupun pemeliharaan, al-Qur an adalah kitab suci dunia
yang paling menentukan dalam mengatuur hokum dan kehidupan.
Tandas Esack, al-Qur an bukan Injilnya orang Islam. Ketika al-Qur an
memenuhi fungsi-fungsi dalamm kehidupan orang Kristen, ia
merepresentasikan apa yang diprsentasikan Yesus Krisus terhadap
orang-orang Kristen yang taat, atau apa yang dipresentasikan kitab
Taurat (perjanjian lama), hokum abadi Tuhan, bagi orang Yahudi.64
Mahmoud Ayoub, seorang ulama kontemporer dari Libanon,
yang dikutip juga oleh Esack, mengatakan sebagai berikut:
Meskipun al-Qur an mengambil bentuk dan karakterseperti ucapan manusia, dalam esensinya, ia tetap menjadiproduk langit yang bebas dari batasan-batasan yang dimiliki suaradan tulisan-tulisan manusia . Karena al-Qur an adalah pertemuanantara eksistensi manusia denga transendensi wahyu Tuhan, makaia dikaruniai jiwa layaknya manusia, dibekali perasaan dan emosi,siap untuk menghadapi orang-orang yang meninggalkannyasemasa hidupnya dan untuk bersaksi bagi mereka yang hidupdengan mengamalkan ajaran-ajarannya di hari Kebangkitan.65
Esack yang nota bene merupakan salah satu pemikir (baca,
mufassir) kontemporer [dalam rangka menemukan suatu ekspresi sosio-
politik Islam kontemporer], membangun pondasi pendekatan kaum
modernis langsung kepda al-Qur an . Kelompok semacam ini sering
kali disebut muslim progresif ---dalam kacamata Esack, ini menjadi
embrio lahirnya metode tafsir progresif ---, dan yang meyakini bahwa
63 Farid Esack, Samudera Al-Qur an, terj. Nuril Hidayah, Diva Press, Jogjakarta, 2007,hlm. 15-18. lihat juga, http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/, dimuatpada 26 Februari 2006
64 Ibid., hlm. 4065 Ibid., hlm. 41-42
30
Islam menentang semua bentuk penindasan, menggunakan pendekatan
ini untuk menjadikan al-Qur an sebagai alat ideologis untuk melawan
penindasan atas nama ras dan kelas.66
b. Latar Belakang Lahirnya Metode Tafsir Progresif Farid Esack
Latar belakang terbentuknya metode tafsir progresif tidak bisa
dilepaskan dari wacana tentang pewahyuan progresif. Sebagaimana
dijalaskan di depan, progresivitas adalah satu prinsip al-Qur an yang tak
terbantahkan. Terbukti bahwa wahyu statis yang terpenjara dalam teks
terus dapat berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang dan
proyeksinya ke depan. Sebagai teks baku atau dibakukan dalam mushaf,
al-Qur an tentu tidak dapat bicara sendiri dengan realitas. Ia memerlukan
manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif , sehingga terbentuk
Islam progresif .
Pemihakan para nabi kepada kaum dlu afa dan tertindas
merupakan fakta sejarah terjadinya proses penafsiran al-Qur an secara
progresif. Al-Qur an secara lebih tegas mengakarkan pembebasan kaum
marjinal dan tertindas dengan merujuk teks mustadl afin. Teks ini amat
progresif, karena sebagaimana diuraikan di depan, kelemahan yang
melekat pada mereka, menurut tinjauan al-Qur an, bukan disebabkan oleh
faktor-faktor alamiah atau kecelakaan. Namun, lebih karena faktor-faktor
yang didesain, yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor
struktural , atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem
kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.67
Potret Sang Transenden digambarkan al-Qur an sebagai Tuhan
yang aktif dalam urusan dunia dan umat manusia. Salah satu cara
memperlihatkan perhatian-Nya ini adalah dengan mengutus nabi-nabi
sebagai instrument pewahyuan progresif-Nya. Menafsirkan perhatian dan
intervensi ini ke dalam bimbingan moral konkret dan hukum
66 Ibid., hlm. 48-4967http: // www. freelist. Org / post / ppi / ppiindia Islam Progresif - Manifesto-
Keadilan-Pembebasan-dan-Kesetaraan, 27 Oktober 2009, 14.00 WIB
31
membutuhkan pemahaman tentang konteksya. Prinsip tadrij, bahwa suatu
ajaran diwahyukan secara berangsur-angsur, mencermikan dengan baik
interaksi kreatif antara kehendak Tuhan, realitas di bumi dan kebutuhan
komunitas untuk ditanggapi. Al-Qur an, meski secara internal bersifat
koheren, tak pernah diformulasikan dalam keseluruhan yang saling terkait,
namun diwahyukan sebagai tanggapan pada tuntutan situasi konkret. Al-
Qur an sendiri secara lugas memberikan alasan bagi sifat progresif dalam
pewahyuan ini.68 Pertama, fakta bahwa ia merupakan tuntunan keseharian,
dan al-Qur an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkanya bagian demi bagian .69 Kedua, Islam muncul di tengah-
tengah perjuangan, dan Muhammad membutuhkan dukungan dan pelipur
melalui pertemuanya dengan wahyu. Dalam menanggapi para
pemfitnahnya seperti, mengapa tak diturukan kepadanya sekaligus
saja 70, al-Qur an mengatakan, demikianlah agar Kami perkuat hatimu
dengannya. Kami telah mengaturnya dengan baik .71
Pada mulanya bukanlah kata (teks), melainkan realitas. Pertama-
tama Nabi Muhammad SAW selalu membaca realitas untuk kemudian
direfleksikan secara kritis. Setelah itu barulah kemudian Nabi
mendapatkan wahyu sebagai kerangka etis dalam melakukan aksi-aksi
perubahan di tengah-tengah masyarakat Arab sendiri. Dengan demikian,
teks dan relaitas bergerak secara dialektis. Teks yang hadir tanpa diawali
dengan pengetahuan realitas, maka teks itu tidak mudah dikenali oleh
masyaraat Arab sebagai mukhathab-nya yang awal. Pembongkaran demi
pembongkaran (nasikh-mansukh) yang dilakukan Syari kiranya bisa
68 Farid Esack, Membebaskan , op-cit., hlm. 87
69 QS. Al-Isra (17): 106
R#uä ö• è%urçm»oY ø%t•sù¼ çnr& t• ø)tG Ï9’ n?tãĨ$Z9$#4’ n?tã;]õ3ãBçm»oY ø9“tRurWxƒÍ”\ s?70 QS. Al-Furqon (25): 32
tA$s% urtûïÏ%©! $#(#r ã•xÿx.Ÿwöq s9tAÌh“çRÏm ø‹ n=tããb#uä ö•à)ø9$#\' s#÷HädZoy‰Ïnº ur4y7Ï9º x‹Ÿ2|MÎm7 s[ãZÏ9¾Ïm Î/x8yŠ#xsèù(çm»oY ù=?u‘ urWx‹ Ï?ö•s?71 Farid Esack, Membebaskan ., op.cit
32
dimengerti dalam dialektik tersebut. Prinsip tadrij bahwa suatu ajaran
diwahyukan secara berangsur-angsur mencerminkan dengan baik interaksi
kreatif antara teks dan konteks. Cara-cara seperti tersebut seakan telah
menjadi mekanisme yang mesti ditempuh oleh setiap para nabi ---seperti
tampak dalam diri Musa dan Isa ---di dalam mendaratkan misinya dalam
masyarakat.72
Prinsip pewahyuan progresif, seperti yang tampak dalam disiplin
asbab al-nuzul dan naskh, mencerminkan kehadiran Tuhan yang
mewujudkan kehendak-Nya dalam situasi umat-Nya, yang berbicara
melalui realitas mereka dan yang firman-Nya dibentuk oleh realitas itu.
Bagi muslim yang berusaha menemukan kehendak Tuhan bagi masyarakat
sekarang ini, pesan al-Qur an, seperti yang dikatakan Rahman, meski
terbungkus oleh darah daging situasi tertentu, mengalir malampaui
konteks sejarahnya . Kalimat Tuhan dengan demikian tetap hidup, karena
universalitasnya dirasakan hadir di tengah-tengah perjuangan untuk
menemukan kembali maknanya. Tantangan bagi kaum beriman adalah
memperoleh momen pewahyuan khusus bagi mereka, titik temu mereka
sendiri dengan wahyu, kekecewaan sendiri dengan Tuhan, juga
kegembiraan pada kata-kata yang menghibur dari Tuhan, dan bimbingan
bagi mereka sendiri melalui prinsip pewahyuan progresif ini. Bagi sosok
Muslim yang tersisih dan tertindas, baik secara individual maupun
komunitas, usaha ini mesti dilangsungkan di tengah medan pertarungan ---
sosio-kultur dan semangat, sebagaimana perjuangan Muhammad SAW
ketika di Mekkah--- Makkah mereka sendiri antara penindas dan yang
tertindas, ----demikian juga gambaran sosio-kultur dan semangat
perjuangan ---di semenanjung Abyssina antara keramahan kaum yang
lain dan praksis kemerdekaan di Madinah.73 Jadi, pada dasarnya menurut
Esack semangat perjuangan Islam dipetakan sesuai dengan histories
72 Abdul Moqsith Ghazali, Hermeneutika Pembebasan: Menghidupkan Al-Qur an dariKematian , dalam Ulumuna, Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, STAIN Mataram, Vol. VIII,Edisi. XIII, No. I, Januari-Juni, 2004, hlm. 135-136
73Farid Esack, Membebaskan ., op.cit, hlm 93
33
perjuangan Muhammad SAW menjadi dua bagian ayitu, semangat
Makkah di mana Islam dalam keadaan tertindas dan terkungkung oleh
suku Quraisy, sehingga tidak leluasa dalam bergerak, memperjuangkan
dan menyebarkan Islam. Kedua, semangat Madinah. Yaitu di mana Islam
telah mendapatkan lampu terang dalam syi arnya dan yang tidak dapat
dilupakan adalah kebersinggungan Islam (baca, Muhammad SAW.)
dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan lainnya (the others). Hal inilah yang
digambarkan Esack dengan kondisi Makkah dan Madinah.
Unsur fital yang membentuk Metode Tafsir Progresif tidak beda
dengan latar belakang wacana tentang asbab al-nuzul dan naskh-mansukh.
Keduanya menjadi cikal bakal inspirasi karya kontemporer saat ini, yang
berusaha mengkontekstualisasi pesan-pesan al-Qur an, meraih kembali
wilayah yang sebelumnya tak terbayangkan dalam pemikiran Islam yang
terus meluas. Kedua disiplin ini merupakan kunci dalam latar yang lebih
luas menyangkut relevansi sejarah, kontekstualitas, dan keadilan sosial.
Semua pemikir reformis setuju bahwa tugas interpretasi masa kini tak
boleh mengabaikan waktu, tempat dan pemahaman bagaimana suatu
ajaran atau perintah menanggapi konteks kontemporer. Mereka juga
berkomitmen pada kesatuan batiniah al-Qur an dan menolak pengutipan
yang bersifat acak dan pilih-pilih. Tujuannya bukanlah untuk mencari cari
insiden histories yang terjadi di masa kenabian dan kemudian pandangan
yang benar secara politik berdasarkan hal itu. Al-Qur an lagi pula
bukanlah kumpulan perintah individual yang saling lepas. Ia merupakan
keseluruhan yang saling padu dengan etos yang jelas. Pemahaman tentang
interaksi dan konteks tersebut merupakan syarat untuk menerapkannya
kembali. Mengerti al-Qur an dalam konteks historisnya bukan berarti
membatasi pesan-pesannya pada konteks tertentu; tetapi, memahami
makna pewahyuannya dalam konteks tertentu di masa lalu agar dapat
mengkontekstualisakannya dalam kenyataan kontemporer.74
74 Ibid, hlm 93-94
34
Teologi pembebasan yang Esack formulasikan dalam kunci-kuci
Islam, iman, kafir, jihad mustadl afin, yang ia interpretasi ulang pada
dasarnya lahir dari rumusan yang ia bingkai dalam metode tafsir progresif.
Sebagaimana penjelasan di depan metode ini berorientasi pada
pembentukann Islam yang berkemajuan, tanggap sosial, dan terbuka dan
inklusif.
Ciri utama dari teologi pembebasan adalah pengakuan terhadap
perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-
meteriil kehidupan manusia dengan penyusunan kembali tatanan sosial
sekarang ini menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil, dan egaliter.
Seperti dijelaskan Roger Garaudi, agama, sebagai metode pengambilan
jarak (detachment) secara kritis dari yang sudah baku, suatu intrumen
untuk mencari dan membuat kemungkinan-kemungkinan baru, telah
menjadi apologetic, dan menjadi ideologi justifikasi .
Teologi pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap
sesuatu yang sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk
menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Kehidupan dengan suatu
kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi, yang
menolak usaha apa pun untuk keluar dan merealisasikan kemungkinan-
kemungkinan baru guna menambah dimensi-dimensi baru. Teologi yang
berkembang selama abad pertengahan tidak bisa melayani kebutuhan
masyarakat modern yang sangat kompleks.75
Islam diwahyukan ke bumi tak sekedar sebagai sistem ibadah atau
religius an sich, melinkan juga sebagai instrument pencarian keadilan serta
kebenaran yang hakiki untuk menghadapi hidup di dunia yang penih
tantangan. Islam memberikan kehidupan yang beradab, kedamaian,
keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi masyarakat
penganutnya serta lingkungan sekitarnya (rahmatan lil alamin). Guna
menjembatani adanya kesenjangan yang cukup lebar antara idealitas ajaran
75 Asghar Ali Enginer, Islam dam Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baihaqi,LKiS, Yogyakarta, cet. II, 2007, hlm 112-113
35
Islam dengan realitas kondisi pemeleuknya yang miris akibat krisis sosial,
maka menurut Hasan Hanafi, saat ini sangat dibutuhkan kritik terhadap
teologi lama baik dari segi obyek kajian maupun metodologinya. Sebab,
menurutnya, teologi yang ada dan berkembang dari ulama terdahulu sudah
tidak lagi relevan dengan perkembangan kekinian.
Dari segi obyek saja, teologi hanya bicara masalah semantik
ketuhanan, sifat ma shum Nabi, atau masalah akal versus wahyu dan
qadim atau hadisnya al-Qur an. Sedangkan dari segi metodologinya,
teologi tradisional tidak dilengkapi dengan perangkat ilmu-ilmu sosial dan
perkembangan teknologi yang mutakhir. Yakni pemahaman terhadap cita-
cita ideal agama tidak bisa cukup dipahami tanpa dihadapkan pada
problem kemanusiaan. Teologi di sini harus bisa membahas persoalan
masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan gender, pembebasan
terhadap kaum mustadl afin dan tidak hanya terkungkung dalam masalah
ketuhanan (God oriented).76
D. Problematika Penerapan Metode Tafsir Progresif
Perkembangan pemikiran Afrika khususnya Afrika Selatan tidak
dapat dipisahkan dari sosok seorang ulama syari at, sufi, dan khalifah
tarikat, dan juga seorang musuh besar kompeni Belanda yaitu Syekh
Yusuf. Beliau adalah salah satu pejuang Indonesia yang diasingkan atau
dibuang oleh Belanda ke benua sejauh Afrika ini. Bagi penduduk Afrika
Selatan Syekh Yusuf disinyalir adalah yang membentuk mukimin awal
dan belakangan merupakan sumber inspirasi bagi pejuang anti Apartheid
di abad ke-20. Masyarakat Cape Town sangat mencintai dan menganggap
syekh Yusuf sebagai peletak Islam pertama dan pejuang anti kolonial.77
76 Arif Musthofifin, Akal dan Hegemoni Suara Tuhan ; Dialektika Akal dan Wahyudalam Fikih dan Teologi , dalam Justisia, Jurnal Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan,Melawan Hegemoni Wahyu: Upaya Meneguhkan Otoritas Akal, edisi 27 Th XII 2005
77 Syekh Yusuf lahir di Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan pada tahun 1626 M, seorangulama syari at, sufi, khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda. Pada usia 18tahun ia mengembara selama 18 tahun mencari ilmu dari Makassar, Sulawesi Selatan ke Banten,Aceh, Yaman, Makah, Madinah dan Damaskus, mendalami tasawuf dan mengajar di MasjidilHaram pada usia 38 tahun. Dia mengajar selama 18 tahun dan menjadi mufti di Banten, dan k etikasultan Agung Tirtayasa ditangkap Belanda, syekh Yusuf menggantikannya memimpin pasukan
36
Di balik sosok syekh Yusuf yang merupakan seorang pejuang
trans-nasional, back ground beliau sangat kental dengan pemikiran ulama-
ulama salaf (klasik) yang cenderung konservatif dan literel, yang juga
kental dengan dunia tarekat yang sedikit banyak---untuk tidak mengatakan
semuanya---berpaham tekstualis atau literalis dalam membaca teks-teks
keagamaan. Hal ini juga berpengaruh terhadap ulama-ulama setelahnya
yang berguru belajar ilmu agama kepada Syekh Yusuf.
dengan gagah berani bergerilya melawan kompeni di hutan rimba Jawa Barat hampir dua tahunlamanya. Setelah ditangkap secara khianat, sebagaimana selalu dilakukan Belanda terhadappejuang-pejuang kita, syekh Yusuf dibuang ke Betawi, kemudian Ceylon (Sri Lanka) dan AfrikaSelatan.
Mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela bahkan menyebut syekh Yusuf sebagaiPutra Afrika, pejuang teladan kaum .
Ketika mengajar di Masjidil Haram, santri syekh Yusuf terdiri dari berbagai bangsa, danbilamana dibuag ke Ceylon, yang berguru kepadanya adalah santri-santri dari Ceylon dan India.Beliau bukan lagi milik kampungnya, daerahnya atau gugus kepulauan yang kini bernamaIndonesia, tetapi beliau sudah melampaui batas-batas dunia dan mencapai format tokoh dunia.Beliau sudah lebih dari seorang Pahlawan Nasional. Pada zamannya (abad ke-17), beliau dikenalpada 4 negeri yaitu Banten, Sulawesi Selatan, Ceylon dan Afrika Selatan. Beliau peletak dasarkomunitas Muslim di Afrika Selatan dan Ceylon, bahkan disana diianggap bapak dari bentukkomunitas-komunitas di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untukmenetang penindasan (baca, rasis) dan perbedaan kulit (baca, rasialis)
Syekh Yusuf wafat 23 Mei 1699 di desa Macassar, 40 kelometer dari Cape Town dan dimakamkan di bukit desa yang terletak di teluk False. Kerena desakan keluarga, maka 6 tahunkemudian VOC membawa keranda beliau menyeberangi samudera lalu di makamkan di kampunghalamannya di Lakiung. Di kampung halamannya ini syekh Yusuf lebih dikenal sebagai tokohkeramat abad ke-17, yang kuburannya jadi tempat bernazar, serta berdo a memohon rezeji, jodoh,pangkat, kesehatan dan lain sebagainya. ( lebih lengkapnya lihat, Abu Hamid, Syekh YusufSeorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm xv-xxiii). Sebagaibahan pelengkap lihat juga, http: // www. replubika. co. id / berita / 34422 / Syekh _ Yusuf _Tonggak _ Islam _ di _ Afrika _ Selatan, By Replublika Newsroom, Kamis, 26 Februari 2009pukul 21.00
Belanda menggunakan Cape Town sebagai salah satu tempat pembuangan tahanan politikyang menetang dan membahayakan kepentingan VOC di Timur Jauh dan sekitarnya. Syekh Yusufmerupakan tahanan yang paling terkenal ketika itu. Dengan kapal VOC bernama Voetboeg ,syekh Yusuf dan rombongan tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694. Syekh Yususf ketikaitu berusia 68 tahun. Beliau dan rombongan tinggal di perkebunan anggur zadvliet, 50 km dariopusat kota. Daerah tersebut kini terkenal dengan nama Macassar, identik dengan nama kampunghalaman syekh Yusuf yang memiliki pantai dan gunung.
Selain syekh Yusuf ada beberapa lagi orang Indonesia yang diasingkan ke Cape Town. Diantaranya adalah Abdullah Qadli Abdul Salam (Tuan Guru), Raja Tambora yang kemudianmenikah dengan putri syekh Yusuf, Sultan Ternate, Raja Madura, dan Daeng Mangenan dariMakassar. Tuan Guru ditahan di Robben Island pada 1780 pada usia 68 tahun karena berjuangmel;awan Belanda di Indonesia. Beliau adalah Muslim pertama yang mendirikan madrasahpertama di wilayah Bo-Kaap setelah dibebaskan dari tahanan pada usia 81 tahun. Termasukmereka yang dibuang sebagai tawanan ke Tanjung Harapan adalah sejumlah kerabat RajaSumbawa. ( lihat, M. Hamdar Arraiyyah, Tinjaun Buku; Orang Melayu di Cape Town:Memelihara Identitas Kultural , dalam Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, volumeV, No. 18, April Juni 2006, hlm 232)
37
Farid Esack dalam hal ini mengutarakan kritik keras terhadap Islam
Ortodoks, lebih tepatnya kepada ulama-ulama tradisional konservatif
Islam Afrika Selatan. Kalaulah tidak berkolaborasi, Esack menganggap
mereka sebagai orang yang tidak memiliki kepekaan dengan membiarkan
sebuah rezim berkuasa dengan tidak menghargai hak-hak asasi manusia.
Dengan dalih tidak ingin terlibat dalam kegiatan politik, atau
menghubungkan agama dengan politik---Esack tidak percaya dengan
anggapan bahwa agama bisa bersikap a-politis---mereka telah berpuluh-
puluh tahun memimpin masyarakat Muslim berdampingan dengan
penindasan dan ketidakadilan yang dituaikan rezim Apartheid. Sementara
itu, para ulama ini juga mengkritik Esack karena keterlibatannnya dalam
gerakannya menggulingkan Apartheid, yang dianggap akan
membahayakan posisi Islam di Afrika Selatan. Sebagian di antaranya
bahkan ketakutan bahwa partai-partai yang didominasi oleh bangsa kulit
hitam akan berlaku seperti Idi Amin di Uganda yang mengusir kaum
pendatang Asia Selatan, jika mereka berkuasa.78
Esack justeru berpikir sebaliknya, Islam, sebagaimana yang ia
bingkai dalam kerangka solidaritas antar agama dan antar iman, bisa
menjadi sebuah alat untuk membantu mengenyahklan penindasan dan
kekerasan terhadap kemanusiaan. Bahkan, karena perjuangannya ini,
Esack dikenal sebagai bagian dari komunitas Afrika Selatan baru yang
menginginkan keadilan dan kebebasan dijalankan di Afrika Selatan.79
Respon konservatif terhadap solidaritas antariman menentang
apartheid bisa digambarkan dengan baik sebagai paranoid obskurantis,
yang mengembangkan bentuk wacana politiknya sendiri, merasa cukup
dan tidak menerima argument rasioanal . Sikap konservatif tercermin
dalam kutipan di bawah ini:
Kaum Muslim yang disesatkan oleh para pemimpin politik Kuffardan melebur ke dalam gerakan anarkis non-Muslim mengikutimetode kafir dan pemikiran kafir.... dengan bergabung ke dalam
78Farid Esack, On Being A Muslim ., op-cit., hlm xix79 Ibid, hlm xx
38
organisasi-organisasi politik kuffar, kaum Muslimin menempuhjalan kufr dan bathil (sesat) . Islam, karena itu, tak mengizinkanpengikutnya untuk bergabung dengan organisasi kufr dan anarki.
Gagasan bahwa Islam adalah pilihan ideologis bagi masa depan
Afrika Selatan disatukan dengan eksklusivisme agama yang menolak
segala kebaikan non-Muslim. Wacana kaum fundamentalis radikal
didasarkan pada penolakan nilai-nilai apapun di luar Islam, termasuk nilai-
nilai yang dipegang oleh penguasa. Wacana ini juga berkeyakinan bahwa
Islam bisa, dan tentu saja harus, menentang dunia kufr. Kita bisa melihat
bahwa penolakan terhadap rasialisme dan eksploitasi hanyalah sesuatu
yang incidental di dalam wacana ini. Kritik kaum fundamentalis radikal
pada pokoknya adalah bahwa nilai-nilai tersebut tidak berada dalam
lingkup Islam. Segala bentuk oposisi terhadap apartheid tak berakar di
dalam Islam, karena itu haruslah dijauhi dan ditentang.80
Mengutip perkataan imam Ali ibn Abi Thalib bahwa al-Quran
dalam mushaf ini, tidak bisa berbicara dan hanya dengan perantara
manusia ia bicara. Pernyataan Nasr Hamid Abu Zayd bahwa Islam adalah
peradaban teks, karena dalam Islam, teks menempati posisi sentral dan
urgen, setiap doktrin dalam Islam dipastikan memiliki rujukan teks,. tapi
teks tetaplah teks, ia tidak berdiri dan berbicara sendiri, ia butuh 'konteks"
sebagai lawan sekaligus pijakan dialog begitu juga membutuhkan manusia
sebagai "lidah" dan "penafsir"......pandangan sebagian kelompok Islam
dengan adanya teks secara otomatis berbagai masalah akan selesai, tapi
tidak sepenuhnya benar. karena teks bisa juga menjadi sumber masalah
baru. Menurut Farid Esack "al-Quran tidaklah unik, wahyu senantiasa
merupakan tanggapan atas masyarakat tertentu," meskipun ia mengklaim
dirinya sebagai petunjuk bagi ummat manusia (QS 2:175) tapi secara
umum ditunjukan bagi orang-orang Hijaz periode
pewahyuan.......pemisahan antara teks dan konteks bukan sikap yang tepat,
karena teks dan konteks seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
80 Farid Esack, Membebaskan , op.cit, hlm 68-69
39
Maka dari itu kita harus mengadakan reinterpretasi ayat-ayat al-Qur an,
yang dialektika, dinamis antara teks dan konteks, karena dengan
melakukan hal tersebut, ajaran agama akan mengikuti perkembangan
zaman sehingga akan membuat agama tetap relevan dan menjadi panutan
bagi umatnya dalam menjalani kehidupan.81
Esack adalah salah satu tokoh Islam kontemporer yang tidak
bosan-bosan menyerukan renaissance dalam paradigma pemikiran Islam.
Dengan titik pemikiran terfokus pada hermeneutika al-Qur an, Esack
menawarkan teologi pembebasan bagi ketidakadilan melalui panafsiran
yang progresif . Dengan keberanian yang dimilikinya, ia sangat meyakini
bahwa kitab suci Al-Qur an adalah sebuah wahyu yang memberikan
pemihakan kepada kelompok lemah atau mustadh afun. Maka segala hal
yang berkaitan dengan Al-Qur an harus berpihak kepada kaum
mustadh afun, setidaknya menolak ketidakadilan. Komitmen membangun
sebuah masyarakat egaliter, berkeadilan, berkesetaraan, dan tanpa
rasialisme primordial harus menjadi barometer baku dalam setiap
penafsiran teks-teks suci.
The Call of Islam yang dipimpinnya, ditentang oleh kelompok
Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, dan MSA. Dengan penafsiran
literal yang letter lijk terhadap al-Quran, mereka tak henti-hentinya
mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi
dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah
untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afrika Selatan yang tidak
menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada a search for an
outside model of Islam.
Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack
dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih
mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Qur'an untuk menilai
dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka
81 http: // www. Mail - archive. Com / ikbal _ alamien @ yahoogroups. Com / msg00372.html 19 Nopember 2009, 19.30
40
mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani
meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Hal inilah yang mendorong Esack
untuk lebih dalam mempelajari al-Quran. Ia sangat penasaran mengapa
kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan
ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun
1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-
Qur an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di University of
Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian
tafsir. Adapun di Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman,
Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun82
Esack adalah model intelektual organik untuk memakai kategori
Antonio Gramsci yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan
meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang
memahami dunia untuk mengubahnya. Ia termasuk dalam avant garde
pemberangusan rezim apartheid di Afrika Selatan. Bersama kawan-kawan
seperjuangannya, mereka melawan otoritarianisme pemerintah kolonial
dalam mengatur negara. Namun bersama kawan-kawan muslim seidenya,
ia tak hanya melawan rezim penguasa, namun juga terpaksa melawan umat
muslim lain yang berideologi literal dan konservatif. Gagasannya tentang
teologi pembebasan yang ia bingkai dalam semangat progresif yang
sama sekali baru dalam dunia Islam, khususnya di Afrika Selatan,
ditentang oleh ulama-ulama sepuh di negara tersebut. Menurut mereka, ide
tersebut sama saja dengan menafikan Islam sebagai Din al-Haqq,
pemegang kebenaran eksklusif.83
82 http://khamma.wordpress.com/2009/01/10/sekilas-tentang-farid-esack/, 13 Nopember2009, pkl: 14.00 WIB
83 http: // denologis. multiply. Com / journal / item /25, Jul 1, '08 10:21 AM, 13Nopember 2009, pkl: 14.00 WIB
41
BAB III
METODE TAFSIR PROGRESIF FARID ESACK
A. RIWAYAT HIDUP FARID ESACK
a.Biografi Farid Esack
Maulana Farid Esack adalah salah satu dari sekian banyak pemikir
Islam yang tempat lahirnya, terletak di Afrika Selatan tepatnya di
Wynberg pinggiran kota Cape Town. Sejak kecil Farid Esack sudah
bersentuhan dengan pluralitas agama, ia adalah orang sangat beragama dan
sangat perhatian terhadap lingkungan sekitarnya, dan sangat perhatian atas
penderitaan yang dialami masyarakat sekitarnya.
Dia terlahir tanpa seorang ayah, bersama dengan lima anak yang
lain. Dengan modal yang pas-pasan dan bantuan Jamaah Tabligh, sebuah
organisasi yang digelutinya sejak kecil namun ia tinggalkan dan
melanjutkan sekolah.di Jamaah al-Ulum al-Islamiah, Karachi, Pakistan
hingga meraih gelar BA dalam bidang hukum Islam. Sembilan tahun dia
menghabiskan waktunya untuk belajar dalam bidang teologi dan hukum
Islam di Pakistan. Ia kembali ke Afrika Selatan pada tahun 1982 bersama
tiga orang sahabat karibnya, Adli Jacob, Ebrahim Rasolol, dan Samiel
Manie dari University Of Western Café.84
Farid Esack lahir pada tahun 1959 dalam asuhan seorang ibu yang
menjalani hidup sebagai single parent. Ibunya bekerja sebagai pencuci di
tempat pencucian (laundry) untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya
yang berjumlah enam orang.
Adalah Apartheid, sebuah sistem dikotomi dan klasifikasi
berdasarkan etnis yang kemudian mengantarkan Afrika Selatan menuju
peradaban yang sangat tidak manusiawi. Pemerintah kolonial menetapkan
berbagai peraturan yang menyengsarakan pribumi. Penerapan Group
Areas Act (Akta Wilayah Kelompok) pada 1952 yang tidak adil
84http: // laskarkopi2. blogspot. Com / 2009 / 04 / hermeneutika farid - esack. html,Selasa, 28 April 2009 by Zaenal Abidin Fauzi
42
menempatkan warga kulit hitam, keturunan India dan kulit berwarna di
daerah-daerah paling tandus di negeri itu. Sebagaimana keluarga Esack
yang harus pindah dari Wynberg, Western Cape, ke Bonteheuwal, sebuah
kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats. Baik di Wynberg maupun
di Bonteheuwal, mereka tinggal bertetangga dengan umat Kristen sebagai
mayoritas di Afrika Selatan. Selain orang Islam sebagai minoritas, di
daerah mereka juga tinggal beberapa orang Yahudi dan Baha i. Namun,
perbedaan ideologis itu tidaklah mendasar dan menyebabkan kebedaan
antara mereka. Merasa senasib dengan penindasan kolonial, mereka hidup
bersama dalam pergumulan sosial yang baik dan akrab.
Mengenang solidaritas tetangga-tetangganya yang beragama lain,
Farid mengatakan:
Kepada tetangga Kristen itulah kami bergantung demisemangkuk gula untuk menyambung nafas untuk hari-hariberikutnya. Dan mereka tempat berbagi derita. Kepada tuan Frankkami memohon perpanjangan waktu kredit yang seolah-oleh tiadaakhirnya. Kenyataan bahwa penderitaan kami menjadi terpikulkanberkat solidaritas, kemanusiaan, dan senyum para tetangga Kristenmembuat saya curiga pada semua ide keagamaan yang mengklaimkeselamatan hanya ada bagi kelompoknya sendiri, dan mengilhamisaya dengan kesadaran akan kebaikan intrinsik dari agama lain.Bagaimana mungkin saya menatap keramahan yang memancar dariBu Batista dan Bibi Katie sembari meyakini bahwa merekaditakdirkan masuk neraka?.
Dari kenangan tersebut terpantul benih-benih pluralisme dalam diri
Esack sejak dini. Solidaritas dan penerimaan terhadap orang lain tanpa
dihantui oleh perbedaan agama, ras dan kelamin merupakan inti dari
pluralisme yang tertanam kuat pada diri Esack sampai saat ini.85
Kebijakan lain adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang
menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker).
Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi buatan Dewan
Kepresidenan rezim Apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan
warna kulit warga Afrika Selatan, yakni kulit putih, kulit berwarna dan
85 http://denologis.multiply.com/journal/item/25, Jul 1, '08 10:21 AM, hlm 1-2, 23Oktober 2009, 14.35 WIB
43
kulit hitam. Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada
perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini
diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4:
2: 1.
Parahnya, gambaran kehidupan menyedihkan seperti itu justru
berjalan lancar dengan peran serta kaum akomodasionis sebagaimana
Esack menyebut Muslim ataupun Kristiani fundamental. Meskipun pada
dasarnya mereka menolak penindasan kolonial, namun mereka tidak lantas
melakukan aksi frontal melawan rezim penjajah. Justru semakin
melanggengkan sistem apartheid dengan menikmati status quo; dikotomi
kesukuan dan keagamaan yang sayangnya mereka sadari sebagai
eksklusivisme.
Karena dukungan secara tidak langsung mereka pada kolonial,
kaum akomodasionis banyak yang kemudian mendapat posisi di birokrasi,
terutama dalam hal pendidikan. Akibatnya sangat fatal, pelajar-pelajar dari
berbagai etnis dicekoki doktrin kewajiban untuk patuh pada pemerintah
sebagai representasi Tuhan. Sistem pendidikan yang bertujuan
membungkam rakyat untuk tidak melawan pemerintah. Saat itu, lembaga-
lembaga pendidikan sangat terbatas, karena izin pendirian lembaga
diberikan hanya untuk lembaga pendidikan Kristen. Jadi, semasa kecilnya
Esack bersekolah di sekolah Kristen dan diberikan pengetahuan dogmatik
untuk membenarkan (memberikan pembenaran atas) status quo yang
kompleks tersebut.86
b. Riwayat Pendidikan dan Karir Farid Esack
Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel.
Pada usia 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan
gangster dan minuman keras, Farid Esack justru bergabung dengan
86 Ibid
44
Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah
madrasah lokal.87http://shapareaude.blogspot.com/ - _ftn1
Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan
karena dianggap merongrong pemerintahan rezim Apartheid. Namun,
tidak lama kemudian ia dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk
melanjutkan studinya. Di Pakistan, Farid Esack melanjutkan studi di
Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan
waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar
kesarjanaan di bidang Teologi Islam dan Sosiologi pada Jamî ah al-Ulûm
al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena
tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan rezim
Apartheid.http://shapareaude.blogspot.com/ - _ftn2
Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di
Jami ah Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur an (Qur anic
Studies). Tahun 1994, Farid Esack menempuh program Doktor di Pusat
Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam
and Christian-Muslim Relations) University of Birmingham (UK), Inggris.
Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack berhasil meraih gelar Doktor di
bidang Qur anic Studies.88
Farid Esack memegang peranan penting di berbagai lembaga dan
organisasi, seperti The Organisation of People Aginst Sexism dan The
Capé Against Racism and the World Conference on Religion and Peace.
Dia juga rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld
and Burger (dua mingguan), Koran Harian South African dan kolumnis
masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan
Muslim Afrika Selatan. Ia juga menulis di Islamica, Jurnal tiga bulanan
umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu alaikum, sebuah jurnal
Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.
87http: // khamma. wordpress. Com / 2009 / 01 / 10 / sekilas tentang farid esack /, 13Nopember 2009, pkl: 14.00 WIB
88 Ibid
45
Dalam bidang akademik, Farid Esack menjabat sebagai Dosen
Senior pada Department of Religius Studies di University of Western Cape
sekaligus Dewan Riset project on Religion Culture and Identity. Di
samping itu, ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris untuk Keadilan
Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu dalam Studi
Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Esack juga
memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community
Depelovment Resource Association, The (Aids) Treatment Action
Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of
SAFM.http://shapareaude.blogspot.com/ - _ftn4
Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan
Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang
pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang
berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack
betapa tidak enaknya menjadi minoritas, sering dilecehkan dan ditindas.
Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen
yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi
sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil
banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan tukang kredit
berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas
agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.
Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di
dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang.
Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin
sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap
mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian
dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling
inspirasional adalah Norman Wray yang menjadi mitra Esack untuk
memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai
mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas
46
paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun
sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.
Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis
Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di
Afrika Selatan. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu
pandangan seksis dan rasialis di mana ia sering menemui penindasan
terhadap wanita, sementara Afrika Selatan sarat dengan sistem apartheid.
Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah
pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada
tanggal 5 Juli 1977, Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif
dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah.
Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan
Ulum al-Qur an di Pakistan. Ia kembali ke Afrika Selatan pada tahun
1982. Bersama tiga sahabat karibnya, Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan
Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk
organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator
nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada Front Demokrasi Bersatu
(UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang
rezim apartheid.89
Perlawanan terhadap Rezim Apartheid mencapai puncaknya pada
dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam
memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan
lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum
Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman
terhadap penindasan dalam bentuk apapun.
Hal inilah yang mendorong Esack mempelajari al-Quran dan Injil.
Ia sangat penasaran mengapa kitab suci yang seringkali digunakan untuk
melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-
penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk
belajar hermeneutika al-Qur an di Inggris dan hermeneutika Injil di
89 Ibid
47
Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main
Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di
University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral
doktoralnya dalam kajian tafsir. Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat.
Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk
mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-
karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar
negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi
papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi,
Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State
University Nortridge).90
Sebagaimana penjelasan di atas sejak kecil, Esack sudah menjadi
anggota Jama ah Tabligh, hingga akhirnya ia diberangkatkan ke Pakistan
untuk meneruskan studinya di Jami ah Ulum al-Islamiyah dalam bidang
hukum Islam. Ada sebuah kisah ketika Derrick Dean, kawan Esack yang
beragama Kristen, diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh
pemimpin Jamaah Tabligh Afsrika Selatan, Haji Bhai Padia. Hal tersebut
menciptakan kebimbangan teologis Esack dengan konservatisme Jamaah
Tabligh. Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk
seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat
kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-
nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah
Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar
Maulana.91
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Jami ah Abi Bakar
Karachi dalam bidang Ulum al-Quran. Sembilan tahun Esack
menghabiskan waktunya belajar Teologi dan Ulum al-Qur an di Pakistan.
Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, Adli
Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western
90 Ibid91 http://denologis.multiply ., Op.cit, hlm 03
48
Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia
menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada United
Democratic Front (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983
untuk menentang rezim apartheid.
Sebab afiliasi tersebut, gerakan The Call of Islam ditentang oleh
kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, dan MSA. Dengan
penafsiran literal yang letter lijk terhadap al-Quran, mereka tak henti-
hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan
kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus
berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak
menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada a search for an
outside model of Islam.
Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack
dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih
mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai
dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka
mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani
meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Hal inilah yang mendorong Esack
untuk lebih dalam mempelajari al-Quran. Ia sangat penasaran mengapa
kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan
ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun
1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-
Qur an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di University of
Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian
tafsir. Adapun di Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman,
Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun.92
92 Ibid, hlm 04
49
c. Karya-karya Farid Esack
Karya-karya Farid Esack sangat banya, baik berupa artikel yang
ada dalam home page-nya maupun dalam bentuk buku. Adapun karya dari
Farid Esack yang tertuang dalam bentuk buku, diantaranya:93
1. Qur an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression , Oneworld: England,
1997. Edisi Indonesia: Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur an,
Liberalisme, dan Pluralisme , terj. Watung A. Budiman, Bandung:
Mizan, 2000.
2. On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today ,
Oneworld: England, 2000.
3. The Qur an: a Short Introduction , Oneworld: England, 1997. Edisi
Indonesia: "Samudra Al-Qur'an", terj. Nuril Hidatyat, Jakarta: Diwa
Press, 2007.
Adapun artikel Farid Esack yang ada dalam home page-nya, antar
lain:http://shapareaude.blogspot.com/ - _ftn5
1. Muslim Engaging The Other and Humanum,
2. The Unfinished Business of Our Liberation Struggle
3. How Liberated Is Christian Liberation Theolog
4. Religio Cultural Diversity: For what and With Whom? Muslim
Reflections from a Post Apartheid South Africa in the Throes of
Globalization
5. Why Celebrate Women s Day?
6. The Liberation Struggle in South Africa: The Bases of Our Hopes,
1988.
93 http: // shapareaude. blogspot . com/ 17 Nopember 2009, 14.25 WIB
50
B. SEJARAH PERKEMBANGAN REZIM APARTHEID DI AFRIKA
SELATAN
a.Stratifikasi Sosial Afrika94 Selatan
1. Pengertian dan Tumbuhnya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial (Sosial Stratification) berasal dari kata
bahasa latin stratum (tunggal) atau strata (jamak) yang berarti
berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan
sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat.95
Stratifikasi sosial adalah dimensi vertical dari struktur sosial
masyarakat, dalam artian melihat perbedaan masyarakat berdasarkan
pelapisan yang ada, apakah berlapis-lapis secara vertical dan apakah
pelapisan tersebut terbuka atau tertutup.
Soerjono Soekanto (1981::133), menyatakan sosial
stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam
masyarakat. Stratifikasi sosial merupakan konsep sosiologi, dalam
artian kita tidak akan menemukan masyararakat seperti kue lapis;
tetapi pelapisan adalah suatu konsep untuk menyatakan bahwa
masyarakat dapat dibedakan secara vertical menjadi kelas atas, kelas
menengah dan kelas bawah berdasarkan kriteria tertentu.
94 Afrika adalah benua terbesar ke-3 setela Asia, baik dari segi luas area maupun populasi.Luasnya kurang lebih 30.244.050 km2 (11.677.240 mil2) termasuk kepulauan disekitarnya,meliputi 20,3 % dari total daratan di bumi dan didiami lebih dari 800 juta manusia, atau sekitarsepertujuh populasi manusia di bumi.
Kata Afrika---bahasa latin, Africa terra--- tanah Afrika (bentuk jamak dari Afer )---untuk menunjukkan bagian utara benua tersebut. Saat ini merupakan bagian dari Tunisia, tempatkedudukan Propinsi Romawi untuk Afrika.
Asal kata Afer mungkin berasal dari bahasa Fenesia, Afar berarti debu; atau dari sukuAfridi, yang mendiami bagian utara benua dekat dengan Kartago; atau dari bahasa YunaniAphrike berarti tanpa dingin ; atau dari bahasa Latin Aprica berarti tanah . (Lihat, Amin F.
Hidayat dan H.G. Abdur Rasyid, Ensiklopedi Negara-negara di Dunia, Pustaka Grafika, Bandung,2006, hlm. 18-19 )
95 http: // id. answers. yahoo. com / question / index? qid = 20080730005515AAZXpEj,11 Nopember 2009, 12.00 WIB
51
Paul B Horton dan Chester L Hunt (1992: 5) menyatakan
bahwa stratifikasi sosial merupakan sistem peringkat status dalam
masyarakat. Peringkat memberitahukan kepada kita adanya dimensi
vertical dalam status sosial yang ada dalam masyarakat.96
Beberapa definisi lain tentang stratifikasi sosial :
a. Pitirim A. Sorokin
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun
secara bertingkat (hierarki).
b. Max Weber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan
orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke
dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan,
previllege dan prestise.
c. Cuber
Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang
ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.97
Studi tentang stratifikasi sosial meliputi pengkajian mengenai
perbedaan yang mungkin kelihatan tidak adil atau bahkan keterlaluan.
Akan tetapi, stratifikasi sosial adalah gejala yang umum dan kuat dalam
beberapa masyarakat di dunia ini. Khususnya peradaban, dengan jumlah
penduduk yang besar dan heterogen, selalu berstratifikasi.
Pada asasnya, masyarakat yang berstratifikasi adalah masyarakat
yang penduduknya terbagi menjadi dua kelompok atau lebih, dan
kedudukan kelompok yang satu lebih tinggi atau lebih rendah kalau
dibandingkan dengan yang lain. Kalau orang-orang dalam satu kelompok
atau strata yang demikian dibandingkan dengan orang-orang dari
kelompok yang lain, kelihatan adanya perbedaan-perbedaan jelas dalam
hal hak, penghasilan, pembatasan, dan kewajiban. Hak para anggota
96 http: // wangmuba. Com / 2009 / 02 / 26 / stratifikasi sosial /, 11 Nopember 2009,12.00 WIB
97 http: // id.answers.yahoo .., Op. cit
52
kelompok yang dinilai lebih rendah akan cenderung lebih sedikit dari pada
hak dari para anggota kelompok yang dinilai lebih tinggi. Di samping itu,
ada kecenderungan bahwa mereka tidak mendapat penghargaan yang
sama, dan pembatasan serta kewajiban mereka kemungkinan besar sedikit
lebih berat, meskipun para anggota kelompok yang dinilai tinggi juga
memiliki pembatasan dan kewajibannya sendiri yang khas untuk ditaati.
Pendek kata, stratifikasi sosial pada hakikatnya adalah ketidaksamaan
yang dilembagakan. Tanpa peringkat---tinggi lawan rendah---, tidak ada
stratifikasi. Perbedaan-perbedaan sosial tanpa peringkat bukanlah
stratifikasi.98
Kejelekan stratifikasi sosial jenis apa pun cenderung menutupi
kebaikannya. Hal inilah antara lain yang membuat hidup dirasa sebagai
penindasan oleh segmen-segmen besar dalam masyarakat. Sering kelas
bawah ditenangkan dengan menggunakan agama, yang menjajikan kepada
mereka kehidupan yang memuaskan di alam baka. Kalau dapat
mengharapkan itu, mereka diduga akan lebih mudah menerima keadaan
pada waktu sekarang di dunia ini. Akan tetapi dalam mempertimbangkan
stratifikasi sosial, kita harus mempertimbangkan adanya tendensi umum
seperti keinginan untuk memperoleh prestise, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi kelompoknya. Meskipun hasrat tersebut tidak selalu pasti
menimbulkan perbedaan penghargaan individu atau kelompok yang satu
dari yang lain, hal itu sering terjadi.
Situasi-situasi seperti itu dapat dengan mudah tumbuh menjadi
stratifikasi lengkap. Justeru pertumbuhan seperti itulah yang terjadi pada
orang Maya di Amerika Tengah.99
98 Unit dasar dari stratifikasi dikenal dengan nama kelas sosial (sosial class). Kelas dapatdidefinisikan sebagai sekelompok keluarga yang memiliki martabat yang sama, atau hampir sama,menurut sistem evaluasi. Berikutnya, kasta, yaitu kelas sosial jenis tertentu, yang keanggotaannyaagak tetap dan tertutup. Kasta bersifat endogam dengan ketat, dan anak dengan sendirinya menjadianggota kasta orangtuanya. Contoh klasik kasta sosial adalah struktur kasta di India. Lebih lengkaplihat William A. Haviland, Antropologi Jilid 2 .., op. cit., hlm. 143
99 Ibid, hlm. 150
53
Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk
mengelompokkan para anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu
adalah sebagai berikut :
a. Kekayaan
Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi. Orang yang
memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan lebih dihargai dan
dihormati daripada orang yang miskin.
b. Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang
dalam masyarakat. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang
besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya orang yang tidak
mempunyai kekuasaan berada di lapisan bawah.
c. Keturunan
Ukuran keturunan terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan.
Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan
kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan menempati
lapisan atas seperti gelar:
- Andi di masyarakat Bugis,
- Raden di masyarakat Jawa,
- Tengku di masyarakat Aceh, dsb.
d. Kepandaian/penguasaan ilmu pengetahuan
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar
kesarjanaan atau yang memiliki keahlian/profesional dipandang
berkedudukan lebih tinggi, jika dibandingkan orang berpendidikan
rendah. Status seseorang juga ditentukan dalam penguasaan
pengetahuan lain, misalnya pengetahuan agama, ketrampilan khusus,
kesaktian, dsb.100
Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut:
100 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080730005515AAZXpEj, op. cit
54
a) Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan
penghasilan, tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada
jabatan / pangkat / kedudukan seseorang.
b) Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan
masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya
pada seseorang yang menerima anugerah penghargaan / gelar /
kebangsawanan, dan sebagainya.
c) Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas
pribadi, keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan,
wewenang atau kekuasaan.
d) Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti
tingkah \ laku, cara berpakaian dan bentuk rumah. Tingkat mudah
tidaknya bertukar kedudukan.
e) Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang
menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.101
2. Kondisi Strartifikasi Sosial Afrika Selatan
Lebih dari 70% penduduk Afrika Selatan adalah orang Afrika
hitam. Orang kulit putih, atau orang Eropa hanya 20%, selebihnya
adalah orang Indi-Tanjung atau orang Asia.102
Afrika Selatan adalah daerah pertama di benua itu yang
diduduki oleh orang Eropa. Ketika orang Belanda, pada tahun 1652,
mendirikan pusat peristirahatan mereka di Tanjung Harapan untuk
kapal mereka yang berlayar ke Asia, mereka hanya menjumpai sedikit
orang Honttentot dan Bushman di Jazirah itu. Di bagian lain Afrika
Selatan, masyarakat Afrika telah mendiami rumah-rumah mereka,
tetapi permukiman ini berada jauh dari Tanjung Harapan.
Selama hampir 300 tahun permukiman Belanda ini tumbuh
dan banyak orang Perancis, Jerman, dan Inggris bergabung kesitu.
101 Ibid102 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Negara dan Bangsa, edisi IV, Jilid 1, PT. Widyadara,
Jakarta, 2002, hlm 42
55
Ikatan dengan negeri Belanda terputus dan pecah untuk selamanya.
Orang-orang Eropa itu membentuk bahasa mereka sendiri---bahasa
Afrikaan---dan kebudayaan mereka sendiri. Saat ini orang kulit putih
Afrika Selatan dapat di bagi menjadi dua kelompok---kelompok yang
lebih besar berbahasa Afrikaan; kelompok yang lebih kecil berbahasa
Inggris.103
Sejak abad ke-18, berbagai bentuk pertentangan, sering kali
dengan kekerasan, telah terjadi antar orang Afrika dan Eropa. Perasaan
perbedaan ras yang kuat amat mempengaruhi budaya Afrikaner. Sejak
akhir tahun 1940-an sikap yang membudaya ini telah dikukuhkan oleh
kebijakan pemisahan dengan resmi yang lebih dikenal dengan Rezim
Apartheid. Secara teoritis, Apartheid bertujuan mendirikan masyarakat
rasial yang terpisah, masing-masing bebas berpemerintahan sendiri.
Namun, karena hanya 13 % lahan yang disediakan bagi bangsa Afrika
Selatan, yang merupakan mayoritas besar penduduk, sedangkan
pertumbuhan industri berat Afrika Selatan semakin bergantung kepada
buruh Afrika, maka kebijakan pemisahan murni itu tetap hanya teori
dan tidak dapat dipraktikkan.104
Kebijakan lainnya adalah penerapan akta wilayah (groups
area act) yang membuat orang-orang kulit hitam tergusur dan
terpinggirkan di daerah-daerah paling tandus di Afrika Selatan. Mereka
akhirnya menjadi pengemis di kampungnya sendiri, untuk
meminjam istilah Emha Ainun Nadjib. Inilah realitas menggelikan
sekaligus mengerikan yang terjadi ketika rezim Apartheid masih
berkuasa di Afrika Selatan. Embargo dan pemboikotan dunia serta
eklusi dari negara-negara internasional terhadap rezim Apartheid tak
sedikitpun menggoyahkan. Di antara tokoh-tokoh awal Islam yang
103 Ibid, hlm 41104 Ibid
56
terkemuka, Esack malah mengagumi dan megidolakan Abu Dharr al-
Ghifari, bapak Sosialisme Islam.105
Tumbuhnya pergerakan Islam melawan apartheid itu tidak
bisa dilepaskan dari peran ulama Indonesia yang diasingkan ke Afrika
Selatan. Nama-nama semacam Syaikh Yusuf dari kerajaan Banten,
atau Syaikh Madura, menjadi inspirasi bagi munculnya gerakan-
gerakan Islam di Afrika Selatan. Nama-nama tersebut bisa sampai ke
Afrika Selatan setelah diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda di
sekitar abad ke-17-18.
Boleh jadi kebersamaan umat Islam dengan orang Kristen itu
terjadi karena menghadapi musuh bersama, yakni apartheid. Jika harus
melawan sendiri-sendiri, mereka khawatir bakal menghadapi
kegagalan yang fatal. Sehingga untuk menyukseskan perjuangannya
melawan apartheid mereka bekerja sama.
Tesis itu boleh jadi benar. Tapi, Farid tidak hanya
menggambarkan semangat pluralisme ajaran Islam sampai di situ.
Setelah menyajikan kisah perlawanan apartheid, Farid mendalamkan
kajiannya dengan menampilkan bahasan soal hermeneutika dan teknik-
teknik penafsiran Al-Qur'an. Dalam bahasan soal hermeneutika dan
teknik-teknik penafsiran Al-Qur'an, Farid menggambarkan bahwa
semangat keragaman itu tidak hanya terjadi akibat munculnya musuh
bersama. Di balik itu, terdapat sejumlah ayat Al-Qur'an yang meminta
umat Islam menyadari adanya keberagaman. Munculnya umat lain
tidak bisa semata-mata dianggap sebagai lawan. Umat lain itu, pada
kondisi tertentu adalah juga kawan bagi umat Islam.106
105 http: // islamlib. Com / id / artikel / raison detre hermeneutika pembebasan - al-quran/, 19 Nopember 2009, pkl: 19.30 WIB
106http: // www. hamline. Edu / apakabar / basisdata / 2001 / 03 / 23 / 0033. html, 14Nopember 2009, pkl 15.25 WIB
57
C. METODE TAFSIR PROGRESIF: CARA KERJA DAN PENERAPANNYA
a. Cara Kerja Metode Tafsir Progresif Farid Esack
Di depan telah dijelaskan bahwa Metode Tafsir Progresif adalah
cara yang tersusun dengan teratur untuk menyingkap makna atau pesan-
pasan al-Qur an dengan semangat atau berhaluan kemajuan yang
tercermin dalam prasis-prasis lapangan sekecil apapun. Jadi, diharapkan
produk penafsiran dari metode tafsir ini dapat mengarahkan seorang
mufassir tidak hanya dapat memahami makna dan pesan-pesan yang
terkandung dalam al-Qur an, tapi juga dapat menumbuhkan semangat
(hirrah) yang kuat untuk terjun ke lapangan mengulurkan tangan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan. Membentuk muslim yang sadar akan
tanggung jawab sosial, menumbuhkan rasa empati yang kuat, menjadi
khalifatullah fi al-Ardl, sehingga al-Qur an benar-benar nyata sebagai
rahmatan lil alamin, dan akhirnya terwujudlah sebuah Islam progresif .
Dengan latar belakang Afrika Selatan yang majemuk dan terdiri
dari beberapa keyakinan, untuk itu dengan dalih menumbuhkan
semangat solidaritas dan empati di antara mereka Esack melakukan
interpretasi ulang terhadap konsep-konsep teologi yang telah dirumuskan
ulama-ulama konservatif Afrika Selatan. Seperti konsep Islam, kafir, jihad,
dan mustad afin. Dalam pandangan Esack konsep-konsep teologis yang
telah dirumuskan oleh mereka merupakan konsep yang bersifat eksklusif.
Untuk itu Esack mencoba merumuskan konsep-konsep yang bersifat
inklusif tersebut dengan jalan mengembalikan rumusan interpretasinya
terhadap ayat-ayat al-Qur an sendiri (bi al-riwayat). Artinya dengan
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur an yang setema (Maudlu iy) dan
dikaitkan dengan sosio-historis dimana ayat-ayat tersebut turun, kemudian
Esack memahami ayat tersebut dengan lebih dahulu mengembalikan lafadl
yang dituju kepada arti dasarnya dan kemudian memahaminya dengan
kontekstualitas makna seluruh ayat maka dapat dirumuskan makna baru
yang lebih inklusif. Dengan kata lain, metode tafsir yang digunakan Esack
termasuk dalam kategori tafsir bi al-ma tsur.
58
Tafsir bi al-ma tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur an
berdasarkan nash-nash, baik dengan al-Qur an sendiri, dengan aqwal al-
sahabat,, maupun dengan aqwal tabi in. kalau tafsir ayat dengan ayat
berdasarkan petunjuk Rasulullah, memiliki validitas yang sangat tinggi,
karena yang paling mengetahui maksud suatu ayat adalah Tuhan sendiri
dan Rasulullah adalah sebagai mufassir pertamanya.107
Metode tafsir yang digunakan Esack pada dasarnya tidak beda jauh
dengan metode tafsir pada umumnya. Namun, ketika dilihat lebih seksama
Esack lebih dipengaruhi oleh metode double mouvementnya Fadlur
Rahman. Akan tetapi yang sedikit membedakan adalah tuntutan praksis
yang ditekankan Esack dalam setiap hasil intrpretasi. Hal itu dapat
dipahami karena back bround Esack dan Afrika Selatan yang berada
dibawah tekanan rezim apartheid.
Berikut ini adalah contoh-contoh aplikasi metode tafsir progresif
Esack terhadap ayat-ayat al-Qur an yang berkaitan dengan konsep teologi.
b. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Kaum Mustadl-afin108
107 Prof. Dr. H. Said Agil Husain al-Munawwar, M.A, Al-Qur an Membangun TradisiKesalehan Hakiki, PT. Ciputat Press, cet. IV, 2005, hlm. 79
108 Mustadh afun merupakan isim maf ul dari fi il madhi istadl afa. Kata ini ini jugamerupakan derevasi dari kata kata dasar yang terdiri dari dhad, ain, dan fa, yang bentuk fa ilnyabisa berbentuk dha if (tunggal atau mufrad) dan dhu afa (bentuk jamak). Kata ini memiliki 3wazan (timbangan). Pertama, dha afa yadh ufu dha fan wa dhu fan. Kedua, dha ufa yadh ufu dha afatan wa dha afiyatan. Dan ketiga, dha afa yadh afu dha fan. Dari segimakna, tampaknya terdapat perbedaan di antara pertama dan kedua dengan wazan yang ketiga.Pada wazan pertama dan kedua makna denotatif kata itu adalah khilaful quwwah, dhiddul quwwahlawan dari kuat, lemah atau tidak ada kekuatan, seperti di dalam QS. Al-Hajj (22) : 73 dan QS.
Ali Imran (3) : 146. Adapun makna denotatif dari wazan ketiga ialah yadullu ala an yuzadasysyai u mitslahu ( menunjukkan penambahan terhadap sesuatu atau asal dengan sesuatu yangsejenis) sehingga menjadi berlipat dua atau lebih, atau berlipat ganda . Demikian antara lain IbnuFaris di dalam Maqayis al-Lughah.
Lebih jauh al-Ashfahani, mengutip pendapat al-Khalil, menerangkan bahwa---terutamamenurut ulama Bashrah---adalah dhu fu ---dengan dhammah pada huruf dhad berarti lemah padabadan fisik, sedangkan al-dha if---degan fathah pada huruf dhad---mengandung makna lemah didalam segi akal atau pikiran (mental) . ( lebih lengkap lihat, Qurash Shihab, dkk., Ensiklopedi al-Qur an: Kajian Kosakata, Lentera Hati, Jakarta, 2007, hlm 175-176)
Selama ini pembela kaum tertindas biasa diberi label sebagai kaum kiri yang sosialis danmarsis, kadang juga bagi kaum komunis yang ateis. Sementara sebutan kanan diberikan bagimereka yang konservatif dan agamawan yang anti perubahan karena posisisnya yangmenguntungkan. Labelisasi kiri ini tidak seluruhnya benar ketika sejarah juga menunjukkan buktiadanya kelompok-kelompok non-sosialis dan non-marxis yang gigih menghancurkan sistem
59
Dalam sebuah acara di station TV swasta, SCTV pada tanggal 12
Nopember 2009, pukul 00.00 WIB yang bertitle Asia- Pasific s New
Leader s Dialog , yang dimoderatori oleh Veronika Pedrosa, Prof. Dr.
Muhammad Yunus ---yang menjadi salah satu pembicara--- menyatakan,
kemiskinan bukan bagian dari manusia. Kemiskinan dapat diatasi dengan
jalan membebaskan kreatifitas dan mengembangkan potensi-potensi diri .
Lanjut Yunus, pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi dan
kreatifitas untuk maju dan membebaskan dirinya dari kemiskinan.
Toni Fernandes pendiri Air Asia---yang juga menjadi pembicara
pada segment berikutnya menandaskan dengan pernyataannya,
percayalah terhadap sesuatu yang tidak dapat dipercaya . Artinya,
pernyataan ini merupakan motivasi untuk setiap orang agar tidak mudah
menyerah dengan keadaan. Gapai dan raihlah sekecil apa pun peluang, dan
selembut apapun butiran keberhasilan yang sekilas kelihatan mustahil,
maka lakukan. Lanjut Toni, jangan jadikan TIDAK sebagai jawaban .
Pernyataan M. Yunus dan Toni Fernandes jika dikaitkan dengan
perjungan Esack dalam membebaskan Afrika Selatan dari penindasan
rezim Apartheid sangat relevan sekali. Runtuhnya superioritas bangsa
Kulit Putih dengan dukungan rezim Apartheid yang bengis dan kejam
penindas dan yang tiran. Sebaliknya, label kanan tidak selamnya bisa dipakai bagi mereka yangkaya dan agamawan yang anti perubahan, tiran dan tidak peduli pada kaum tertindas.
Kata dan istilah kiri bukanlah seperti makna syimal dalam al-Qur'an, bukan pula diberiarti sebagiamana kata dan istilah itu selama ini dipakai. Kiri merujuk pada sebuah gerakanpemberdayaan warga masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem sosial, politik, danekonomi----yakni, mereka yag miskin dan tertindas.
Islam kiri dan kanan dipakai untuk menunjuk dua sistem ideologi dan pemerintahandengan paradigma dan pola perilaku yang berbeda. Kaum kiri biasa dipakai untuk menyebutsistem pemerintahan, partai, atau mereka yang revolusiaoner, dan kaum kanan untuuk yangkonservatif atau reaksioner dan status quo. Istilah ini juga dipakai untuk menunjuk partai buruhatau kelompok pembela kaum buruh yang oposisonal terhadap kemapanan, dan kanan dipakaimenunjuk yang sebaliknya. Sesekali istilah kiri dipakai menunjuk gerakan kaum sosialis dankanan untuk kaum borjuis kapitalis.
Tuhan pun sering kali menyebut istilah kanan-kiri atau kaum yamin (ashab al-yamin) dankaum syimal (ashab al-syimal) dalam al-Qur'an. Kosa kata al-syimal tidak dipakai untukmenunjuk sikap kekafiran, dan sebaliknya al-yamin tidak untuk maksud perilaku kaum beriman.Kedua istilah ini justeru cenderung dipakai untuk maksud berbeda dan berkebalikan dari maksudkegunaan istilah tersebut di dunia Barat: kaum konservatif , reaksioner, dan status quo untuk kiriatau al-syimal, sementara sikap reformatif untuk kaum kanan atau al-yamin. (lihat, Abdul MunirMulkhan, Kesalehan Multikultural Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras PerradabanGlobal, ed. Muhammad Nafis Rahman SF, PSAP, Jakarta, 2005, hlm 126-129 )
60
mulanya merupakan sesuatu yang mustahil, ---meminjam istilah Toni
Fernandes, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipercaya---namun Esack
dan bangsa kulit berwarna (non-kulit putih) dengan tidak menjadikan
TIDAK sebagai jawaban maka perdamaian akhirnya terwujud di Afrika
Selatan.
Dalam daftar Glosarium, Esack mengartikan term mustadl afin fi
al-ardl dengan orang yang tertindas di bumi , orang yang terpinggirkan
dan tereksploitasi.109
Mustadl af berasal dari akar kata dl- -f, yang menunjuk pada orang
yang tertindas, yang dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang
diperlakukan secara arogan. Mustadl afin berarti mereka yang berada
dalam status sosial inferior , yang rentan, tersisih atau tertindas secara
sosio-ekonomis. Al-Qur an juga memakai beberapa istilah lain ketika
menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin ini, seperti aradzil (yang
tersisih) (QS. Hud [11]: 27; al-Hajj [22]: 5, fuqara (fakir) (QS. Al-
Baqarah [2]: 271; al-Taubah [9]: 60), dan masakin (QS. Al-Baqarah[2]
:83, 177; al-Nisa [4]: 8).
a. aradzil
tA$ s)sù_|yJ ø9 $#tûïÏ%©!$#(#rã• xÿx.ÏB¾ÏmÏBöqs%$ tBš•1t• tRžwÎ)#\• t±o0$oYn=÷VÏiB$ tBurš•1t• tRš•yè t7 ¨? $#žwÎ)
šúïÏ%©!$#öNèd$ oYä9 ÏŒ#u‘ r&y“ÏŠ$t/Ä“ù&§•9 $#$ tBur3“t• tRöNä3s9$ uZøŠn=tãÏB¤@ ôÒsùö@ t/öNä3–YÝàtR
šúüÎ/É‹» x.
Artinya: Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir darikaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorangmanusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yangmengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kamiyang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatukelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalahorang-orang yang dusta".(QS. Hud: 27)
109 Farid Esack, Membebaskan .., op-cit., hlm. 17
61
$ yg•ƒr'» tƒâ¨$Z9 $#bÎ)óOçFZä.’ Îû5=÷ƒu‘z ÏiBÏ]÷è t7 ø9$#$ ¯R Î* sù/ ä3» oYø)n=yzÏiB5>#t• è?§NèOÏB7pxÿõÜ œR§NèO
ô ÏB7ps)n=tæ¢OèOÏB7ptó ôÒ•B7ps)=sƒ’CÎŽö•xî ur7ps)=sƒèCtûÎiüt7 ãYÏj9öNä3s94”• É)çR ur’ ÎûÏQ% tnö‘ F{$#$tBâä!$ t±nS#’ n< Î)
9@ y_ r&‘wK|¡•B§NèOöNä3ã_ Ì•øƒéUWxøÿÏÛ¢OèO(#þqäó è=ö7 tF Ï9öNà2 £‰ä©r&(Nà6ZÏBur`B4†ûuqtG ãƒ
Nà6ZÏBur`B–Š t• ãƒ#’ n< Î)ÉAsŒ ö‘ r&Ì• ßJ ãèø9 $#Ÿxø‹ x6 Ï9zNn=÷è tƒ. ÏBω÷è t/8Nù=Ïæ$ \«ø‹x©4“t• s? uršßö‘ F{$#
Zoy‰ÏB$ yd!#sŒ Î* sù$uZø9 t“R r&$ ygøŠn=tæuä!$ yJ ø9 $#ôN”tI ÷d $#ôMt/u‘ urôMtF t6/R r&urÏBÈe@ à2£l ÷ry—8kŠÎgt/
Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentangkebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telahmenjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian darisegumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurnakejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamudan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktuyang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepadakedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidakmengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamuLihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagaimacam tumbuh-tumbuhan yang indah . (QS. al-Hajj: 27)
b. fuqara
b Î)(#r߉ö6è?ÏM» s%y‰¢Á9 $#$ £JÏè ÏZsù}‘ Ïd(bÎ) ur$ydqàÿ÷‚ è?$ ydqè? ÷sè? uruä!#t• s)àÿø9 $#uqßgsù׎ö•yzöNà6©94
ã• Ïeÿs3ãƒurNà6ZtãÏiBöNà6Ï?$ t«Íh‹ y™3ª!$#ur$ yJ Î/tbqè=yJ ÷è s?׎•Î6yz
Artinya: Jika kamu Menampakkan sedekah(mu) Maka itu adalahbaik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepadaorang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. danAllah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu;dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah: 27).
$ yJ ¯R Î)àM» s%y‰¢Á9 $#Ïä!#t• s)àÿù=Ï9ÈûüÅ3» |¡yJ ø9 $#urtû, Î#ÏJ» yè ø9 $#ur$ pköŽ n=tæÏpxÿ©9 xsßJ ø9 $#uröNåkæ5qè=è%†ÎûurÉ>$ s%Ìh•9 $#
tûüÏBÌ•» tó ø9 $#ur†ÎûurÈ@‹ Î6y™«! $#Èûøó$#urÈ@‹ Î6¡¡9 $#(ZpŸÒƒÌ• sùšÆÏiB«! $#3ª! $#uríOŠÎ=tæÒO‹ Å6ym
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
62
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yangberhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalamperjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan AllahMaha mengetahui lagi Maha Bijaksana . (QS.al-Taubah: 60).
c. Masakin
#sŒ Î) uruŽ|Ø ymspyJ ó¡É)ø9 $#(#qä9 'ré&4’ n1 ö• à)ø9 $#4’ yJ» tG uŠø9 $#urßûüÅ6»|¡yJ ø9 $#urNèdqè%ã—ö‘ $$ sùçm÷YÏiB(#qä9qè%uróOçl m;
Zwöqs%$ ]ùrã• ÷èB
Artinya: dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anakyatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik. (QS. al-Nisa: 8)
øŒ Î)ur$tR õ‹s{ r&t,» sV‹ ÏBûÓÍ_ t/Ÿ@ƒÏä uŽó Î)Ÿwtbr߉ç7 ÷è s?žwÎ)©! $#Èûøït$Î!ºuqø9 $$ Î/ur$ ZR$|¡ôm Î)“ÏŒ ur4’ n1ö• à)ø9 $#
4’ yJ» tG uŠø9 $#urÈûüÅ6» |¡uKø9 $#ur(#qä9qè%urĨ$ ¨Y=Ï9$ YZó¡ãm(#qßJŠÏ%r&urno4qn=¢Á9 $#(#qè?#uäurno4qŸ2 ¨“9 $#§NèO
óOçF øŠ©9 uqs?žwÎ)WxŠÎ=s%öNà6ZÏiBOçFRr&uršcqàÊ Ì• ÷è •B
Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari BaniIsrail (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuatkebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhijanji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selaluberpaling. (QS. al-Baqarah: 83)
Perbedaan utamanya dengan istilah mustadl afin ialah bahwa ada
suatu pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka. Seseorang
hanya menjadi mustadl af apabila itu diakibatkan oleh perilaku atau
kebijakan pihak yang berkuasa dan arogan.110
Dalam al-Qur an surat al-Qashash ayat 5, keutamaan bagi kaum
mustadl afin disebutkan dengan amat jelas, terlepas dari penolakan mereka
kepada Tuhan. Pengutamaan kaum tertindas ini ditunjukkan memlalui
identifikasi Tuhan sendiri dengan yuang tertindas, gaya hidup dan
metodelogi nabi-nabi Ibrahimi, kutukan al-Qur an pada penguasa yang
serakah, ayat-ayat al-Qur an tentang kaum wanita dan para budak. Lebih
110 Ibid., hlm 136
63
jauh, banyak ayat-ayat yang menjelaskan hubungan agama dan humanisme
serta keadilan sosio-ekonomi selalu dikaitkan dengan iman. Penolakan
terhadap hal ini dikaitkan dengan penolakan keadilan, belas kasih, dan
kebersamaan.111
Menurut al-Qur an hampir semua nabi, termasuk Muhammad
SAW lahir dari latar belakang petani dan buruh, dan pengutamaan atas
kaum tersisih pun terasa implist dalam asal-usul mereka ini. Semua nabi
Ibrahimi berasal dari kalangan petani dan umumnya menjadi penggembala
di masa-masa awal. Satu penegcualian, nabi Musa as, ditakirkan menetap
di Gurun Madyan dan menjadi penggembala selam delapan hingga
sepuluh tahun (QS. Al Qashash [27]: 27). Orang biasa menganggap ini
sebagai semacam proses penyucian dari kekuasaan, antisipasi bagi
misinya sebagai nabi Tuhan untuk membebaskan manusia.112
Untuk itu dalam gagasan yang Esack tawarkan, ia berusaha
merubah pandangan yang telah mendasar yang berkaitan dengan iman.
Bagi Esack, iman tidak sekedar keyakinan tapi juga harus direalisasikan
dalam bentuk praksis, yakni kebaktian seseorang terhadap lingkungan
dunia sekitar.
Di Indonesia, tepatnya di Semarang pada masa penjajahan Belanda
ada seorang ulama, yaitu kyai Sholeh Darat,113 yang juga memiliki konsep
pemikiran yang sama dengan Esack. Gagasan kyai Shaleh ia tulis dalam
kitab yang berjudul Tafsir Faidhur Rahman. Dalam pandangan ulama
yang juga menjadi titik sentral dua tokoh kunci organisasi Islam terbesar
di Indonesia yakni Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyyah ini,114
iman tidak cukup hanya sekedar percaya namun lebih dari itu menuntut
adanya praksis yang dalam konteks saat itu adalah ikut serta mengusir
panjajah dari bumi Semarang khususnya, dan umumnya tanah Indonesia.
Latar belakang kyai Shaleh Darat---yang namanya juga diabadikan sebagai
111 Ibid., hlm 137112 Ibid113 Jurnal Theologia. Vol. 17, nomor 2, Juli 2006, hlm. 300114 Ibid
64
salah satu nama jalan di Semarang yakni Jl. Kyai Shaleh---, tidak beda
dengan dengan Afrika Selatan yang berada dalam penindasan.115
Mengingat perhatian al-Quran pada manusia secara umum dan
kaum tertindas secara khusus, maka dalam konteks penindasan, bentuk
tertinggi kebenaran adalah praksis untuk membantu mereka yang
dieksploitasi dan dizalimi. Ide mengenai solidaritas yang aktif dan
terorganisasi dengan kaum tertindas itu telah tampak dalam kehidupan
nabi Muhammad SAW, lama sebelumkenabiannya.
Ibnu Sa d bercerita bahwa seorang pedagang Yaman telah menjual
beberapa barang yang mahal kepada pemimpin klan Sahm di Makkah.
Orang Sahm itu menolak untuk membayar harga yang telah disetujui.
Karena hanya sebagai tamu di Makkah tanpa kawan yang bisa dimintai
pertolongan, si pedagang pergi ke lereng bukit Qubaisy dan memohon
pertolongan pada suku Quraisy agar keadilan ditegakkan. Menanggapi ini,
beberapa wakil suku bertemu di kediaman Abdullah bin Jud an. Di sisi
mereka sepakat membentuk persetujuan untuk menegakkan keadilan dan
perlindungan kepada kaum yang lemah. Mereka berjanji bahwa dalam
setiap tindakan penindasan mereka akan bersatu dalam solidfaritas dengan
pihak yang dieksploitasi dan ditindas hingga keadilan ditegakkan, tak
peduli apakah si penindas berasal dari kalangan Quraisy atau bukan: demi
Tuhan, selama laut belum mongering, kami akan tetap berdiri di samping
kaum tertindas sampai mereka mendapatkan hak-haknya kembali dan
semua memperoleh perlakuan yang sama . Akhirnya, si orang Sahm
didesak untuk membayar kewajibannya. Nabi Muhammad SAW, yang
ikut bersama kedua pamannya, Zubair dan Abu Thalib, dalam
penandatanganan perjanjian itu, di kemudian hari berkata:
Aku berada di rumah Abdullah bin Jud an ketikaperjanjian agung itu dibuat, begitu agungnya sehingga aku tak akanmenggantinya dengan ternak atau unta-unta merah; [suku] Hasyim,Zuhrah dan Taym bersumpah untuk berdiri di pihak mereka yangtertindas sampai laut mongering, dan bila kini, dalam Islam, aku
115 Prof. Dr. Ghozali Munir dalam Makalah Pemikiran Iman al-Asy ary dan Saleh Darat(Studi Komparatif) , disampaikan dalam diskusi tgl. 1 Nopember 2007
65
diperintah untuk itu, aku pun akan melakukannya dengan senanghati .
c. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Jihad
Jihad secara harfiah berjjuang , mendesak seseorang atau
mengeluarkan energi atau harta . Dalam al-Qur an, istilah ini kerap kali
diikuti dengan kalimat melalui jalan Tuhan dan dengan harta dan
dirimu . Bagi kaum muslim, istilah jihad juga berarti penyucian perang .
Di samping arti populernya sebagai perjuangan atau perang suci
bersenjata, jihad memiliki makna lebih luas yang mencakup perjuangan
untuk mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum. Al-Qur an sendiri
memakai kata ini dengan berbagi makna, mulai dari peperangan (QS. Al-
Nisa [4]: 90; al-Furqan [25: 52; al-Taubah [9]: 41) sampai perjuangan
spiritual kontemplatif (QS. Al-Hajj [22]: 78; al-Ankabut [29]: 6), dan
bahkan paksaan (QS. Al-Ankabut [29]: 15).
žwÎ)tûïÏ%©!$#tbqè=ÅÁtƒ4’ n< Î)¤Qöqs%öNä3oY÷•t/Næh uZ÷•t/urî,» sV‹ ÏiB÷rr&öNä.râä!$ y_ôNuŽÅÇ ymöNèd â‘r߉߹b r&
öNä.qè=ÏG» s)ãƒ÷rr&(#qè=ÏG» s)ãƒöNßgtBöqs%4öqs9 uruä!$ x©ª! $#öNßgsÜ ¯=|¡s9ö/ ä3ø‹ n=tæöNä.qè=tG» s)n=sù4ÈbÎ* sùöNä.qä9 u”tI ôã $#
öNn=sùöNä.qè=ÏF» s)ãƒ(#öqs)ø9 r&urãNä3øŠs9 Î)zNn=¡¡9 $#$ yJ sùŸ@ yèy_ª!$#ö/ ä3s9öNÍköŽ n=tãWx‹ Î6y™
Artinya: kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepadasesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada Perjanjian (damai)atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasakeberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. kalau Allahmenghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadapkamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkankamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaiankepadamu Maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan danmembunuh) mereka. (QS. Al-Nisa: 60)
ŸxsùÆì ÏÜ è?šúïÍ• Ïÿ» x6 ø9 $#Nèd ô‰Îg» y_ ur¾ÏmÎ/#YŠ$ygÅ_#ZŽ•Î7 Ÿ2
Artinya: Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, danberjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar.(QS. al-Furqan: 52)
66
(#rã• ÏÿR $#$ ]ù$xÿÅzZw$ s)ÏOur(#r߉Îg» y_ uröNà6 Ï9ºuqøBr'Î/öNä3Å¡àÿR r&ur’ ÎûÈ@‹ Î6y™«! $#4öNä3Ï9ºsŒ×Žö•yzöNä3©9
b Î)óOçFZä.šcqßJ n=÷è s?
Artinya: Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringanmaupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalanAllah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS. al-Taubah: 41)
(#r߉Îg» y_ ur’ Îû«! $#¨,ym¾ÍnÏŠ$ ygÅ_4uqèdöNä38 u; tFô_ $#$ tBurŸ@ yè y_ö/ä3ø‹ n=tæ’ ÎûÈûïÏd‰9 $#ô ÏB8l t• ym4s'©# ÏiB
öNä3‹ Î/r&zOŠÏdºt• ö/Î)4uqèdãNä39 £J y™tûüÏJ Î=ó¡ßJ ø9 $#ÏBã@ ö6s%’ Îûur#x‹» ydtbqä3u‹ Ï9ãAqß™ §•9$##‰‹ Îgx©
ö/ ä3ø‹ n=tæ(#qçRqä3s? uruä!#y‰pkà’ n? tãĨ$ ¨Z9 $#4(#qßJŠÏ%r'sùno4qn=¢Á9 $#(#qè?#uäurno4qx.“9 $#(#qßJ ÅÁtG ôã $#ur«! $$ Î/
uqèdóOä39 s9 öqtB(zN÷è ÏYsù4’ n< öqyJ ø9 $#zO÷è ÏR ur玕ÅÁZ9 $#
Artinya: dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihadyang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidakmenjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agamaorang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini,supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semuamenjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang,tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalahPelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baikpenolong. (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Dalam pandangan Esack sendiri, jihad ia artikan sebagai
perjuangan dan praksis . Praksis bias didefinisikan sebagai tindakan
sadar yang diambil suati komunitas manusia yang bertanggung jawab atas
tekad politiknya sendiri .berdasar kesadaran bahwa manusialah yang
membentuk sejarah . Mengingat kekomprehensifan penggunaan istilah ini
dalam al-Qur an dan bahwa jihad diajukan untuk mengubah dari maupun
masyarakat, bias dikatakan bahwa jihad merupakan perjuangan sekaligus
praksis.116
116 Farid Esack, Membebaskan .., op-cit., hlm. 145
67
Definisi jihad yang umum dipakai dalam retorika pembebasan
Afrika Selatan menujukkan keterputusan hubungan dengan pemahaman
yuristik tradisional soal itu. Jihad , kata sebuah pamphlet Qibla, adalah
paradigma Islam bagi perjuangan pembebasan .suatu usaha, ikhtiar yang
sungguh-sungguh, perjuangan demi kebenaran dan keadilan . Serupa
dengan itu, Call berpendapat bahwa bagi muslim perjuangan
kemerdekaan dan keadilan di Afrika Selatan adalah suci. Seorang muslim
yang meniggalkan perjuangan di Afrika Selatan ini berarti jugha
meninggalkan Islam. Jihad di jalan Tuhan adalah bagian dari iman seorang
muslim. Tujuan jihad adalah untuk menumpas dan menghancurkan
ketidakadilan, bukan untuk mengganti sistem ketidakadilan yang satu
dengan yang lainnya, atau mengganti kelompok dominan yang satu
dengan yang lainnya. Jihad, dengan egitu, adalah perjuangan keadilan
yang tanpa henti, efektif, soper sadar, dan senantiasa berlanjut .117
Al-Qur an memberi penekanan besar pada ortopraksis dan
menegaskan bahwa jihad dan kebaikan adalah juga jalan menuju
pemahaman dan pengetahuan. Al-Qur an menetapkan jihad sebagai jalan
untuk menegakkan keadilan, dan praksis sebagai jalan untuk memperoleh
dan memahami kebenaran. Di tengah penderitaan dan perlawanan yang
terus berlangsung di satu sisi, dan komitmen pada praksis sebagai ekspresi
iman di sisi lain, muncul implikasi yang jelas bahwa iman dan
pemahaman terbentuk dalam program-program konkret perlawanan
terhadap penderitaan dan dehumanisasi.118
d. Penafsiran Farid Esack terhadap Konsep Islam dan Kafir
Farid Esack, dalam Qur an, Liberation and Pluralism yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel al-Qur an,
Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, mencoba
memberikan tawaran pada umat Islam dewasa ini, untuk melakukan
117 Ibid., hlm. 146118 Ibid, hlm. 146-147
68
reinterpretasi secara radikal terhadap istilah-istilah agama yang telah
mengalami pembakuan dan pembekuan. Pembakuan dan pembekuan ini
pada gilirannya akan kian mempersulit upaya mewujudkan keadilan.
Karena itu, yang terjadi, istilah itu justeru akan menjadi alat hegemoni
baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Imân, Islâm dan kufr,
menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan
kesenjangan, bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis.
Untuk itulah, upaya membedah pikiran-pikiran meminjam bahasa
Farid Esack progresif yang ditawarkannya perlu dilakukan secara kritis
dan mendalam. Sehingga, hubungan keberagamaan yang saling
menghargai dan menguntungkan satu sama lain bisa dikedepankan. Sebab,
hanya dan hanya dengan model keberagamaan seperti inilah, harmonisasi
antar berbagai pemeluk agama akan terajut dengan sangat indah memukau.
Terkait dengan perjuangan anti-apartheidnya yang bersentuhan
dengan banyak orang beragama di luar Islam, Esack juga merekonstruksi
definisi kafir sebagaimana diyakini kaum fundamentalis bahwa kafir
adalah semua orang di luar agama Islam. Sedangkan, Esack memberikan
konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda
keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi
keadilan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak ayat al-Qur an yang berisi:119
a) Kafir, dalam arti menghalangi orang dari jalan Allah; adalah upaya
untuk memusuhi para nabi dalam menegakkan keadilan. Kafir
merupakan lawan dari sebuah karakter dari para nabi; menegakkan
keadilan. Dengan kata lain Kafir berarti sebagai sebuah sistem yang
menghalangi terciptanya keadilan, kesejahteraan dan sebagainya (QS.
Ali Imran 21-22; Al-Nisa /4: 167; Muhammad/47: 32; al-A`raf/7: 45).
119 http://denologis.blogspot.com/2008/07/maulana-farid-esack-sang-pembebas-yang.html, 13 Nopember 2009. 14.30
69
b Î)tûïÏ%©!$#šcrã• àÿõ3tƒÏM» tƒ$ t«Î/«! $#šcqè=çG ø)tƒurz ¿ ÍhŠÎ;Y9 $#ÎŽö•tó Î/9aY ymšcqè=çG ø)tƒ ur
šúïÏ%©!$#šcrã• ãBù'tƒÅÝó¡É)ø9 $$ Î/šÆÏBĨ$ ¨Z9 $#Oèd ÷ŽÅe³t7 sùA>#x‹yè Î/AOŠÏ9 r&ÇËÊÈš•Í´ ¯» s9 'ré&
tûïÏ%©!$#ôMsÜ Î6ymóOßgè=» yJ ôã r&†Îû$ u‹÷R ‘‰9 $#Íot• ÅzFy$#ur$tBurOßgs9ÆÏiBšúïÎŽÅÇ» ¯RÇËËÈ
b) Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan). Seperti
Fir aun, menindas orang Islam bahkan dirinya mengaku sebagai
Tuhan. Dalam konteks kekinian - sebagaimana konsep Ali Syari ati,
yang perlu diwaspadai adalah thaghutisme atau Fir aunian. Suatu
sistem tirani yang akut adalah kekafiran yang sesungguhnya. Sebab
orang yang beriman (mu`min) adalah orang yang mengkafirkan
thaghut (QS. al-Baqarah/2:256)
Iwon#t• ø.Î)’ ÎûÈûïÏe$!$#(‰s%tû¨üt6?߉ô©”•9 $#z ÏBÄcÓxöø9 $#4yJ sùö• àÿõ3tƒÏNqäó» ©Ü9 $$Î/-ÆÏB÷sãƒur«! $$Î/
ωs)sùy7|¡ôJ tG ó™ $#Íouró•ãè ø9 $$Î/4’ s+øOâqø9 $#ŸwtP$|ÁÏÿR $#$ ol m;3ª!$#urìì‹ Ïÿ xœîLìÎ=tæ
c) Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim
dan orang miskin (QS. Al-Ma`un/107:1-3; al-Humazah/104: 1-4).
|M÷ƒuäu‘ r&“Ï%©!$#Ü>Éj‹s3ãƒÉúïÏe$!$$ Î/ÇÊÈš•Ï9ºx‹sù”Ï%©!$#‘í߉tƒzOŠÏKuŠø9 $#ÇËÈŸwur•Ùçts†
4’ n? tãÏQ$ yèsÛÈûüÅ3ó¡ÏJ ø9 $#ÇÌÈ
d) Sikap diam (apatis), tidak bertindak apa-apa terhadap segala bentuk
penindasan dan eksploitasi juga dapat digolongkan dalam makna kafir.
e) Menurut Esack, ide awal tentang kekafiran seolah-olah
dicampuradukkan dengan ketuhanan. Padahal pada hakikatnya orang
kafir juga mengakui adanya Tuhan. Jadi sebenarnya, kafir adalah
penindasan sebagai lawan atau kontradiksi dari keimanan yang
diejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian, kebersamaan, dan
kesejahteraan.
Bila dibaca dalam al-Qur an, makna Islam sangat luas, bukan
sekedar makna agama (al-din). Islam adalah penyerahan diri manusia pada
Tuhan secara total, dan ini merupakan tradisi pada Nabi. Sebagaimana
sering dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Ibn Taimiyyah, bahwa Islam
70
yang demikian adalah Islam yang bermakna universal. Menurut
Taimiyyah, bahwa Islam mempunyai dua makna; Islam dalam makna
umum, berarti segala bentuk ketundukan kepada Tuhan, dalam semua
agama. Sedangkan Islam dalam makna khusus/terbatas, adalah Islam
sebagai agama, berisi ajaran-ajaran syari at yang disampaikan Nabi
Muhammad pada umat manusia.
Di bawah ini merupakan interpretasi Farid Esack tentang Islam dan
Kafir terhadap ayat-ayat al-Qur'an:120
a. Islâm
Ketika mengulas terma Islam, mula-mula Farid Esack mengutip
QS Ali Imrân: 19:
¨b Î)šúïÏe$!$#y‰YÏã«! $#ÞO» n=ó™ M}$#3$ tBury#n=tF ÷z$#šúïÏ%©!$#(#qè?ré&|=» tG Å3ø9 $#žwÎ). ÏBω÷è t/$tB
ãNèd uä!% yÞOù=Ïè ø9 $#$ J‹ øót/óOßgoY÷•t/3tBurö• àÿõ3tƒÏM» tƒ$ t«Î/«! $# cÎ* sù©! $#ßìƒÎŽ| É>$ |¡Ïtø:$#ÇÊÒÈ
Artinya: Sungguh, dîn di sisi Allah hanya Islâm. Tiada berselisihorang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datangpengetahuan kepada mereka, karena dengki diantara mereka.Barang siapa menolak (yakfur) ayat-ayat Allah, makasesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imrân:19).
Menurut Esack, sebagai bentuk invinitif dari aslama, Islâm
bararti tunduk , menyerah , memenuhi atau melakukaan . Dalam
konteks kalimat ia masuk ke dalam al-silm , Islâm diartikan sebagai
nama suatu agama. Istilah ini juga bermakna rekonsiliasi , damai
atau keseluruhan . Dalam hal ini, secara tidak langsung memang,
sebenarnya Esack mengakui dirinya banyak terpengaruh oleh
pemaknaan yang tawarkan pemikir sebelumnya, seperti Rasyid Ridha,
Amir Ali, dan Muhammad Ali. Kedua nama terakhir ini, oleh Esack
diidentifikasi sebagai kaum liberal Muslim.
Esack menulis (dan menyetujuinya), Rasyid Ridha adalah satu-
satunya yang membedakan secara eksplisit antara Islâm yang
120 Farid Esack, Membebaskan .., op-cit
71
dilembagakan dengan yang tidak. Ridha berpendapat, penggunaaan al-
Islâm dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang disebut Muslim, masih relatif baru, dan
didasarkan pada prinsip fenomenologi agama sebagai apa yang dianut
oleh para pemeluknya. Islam sosial dan Islam adat, yang beragam
dan tergantung pada perbedaan yang terjadi pada penganutnya melalui
penerimaan yang tidak kritis, tak ada hubungannya dengan Islâm yang
sebenarnya, tapi sebaliknya menyimpang dari iman yang sejati.
Tentang pemaknaan Islam yang tidak sektarian, Farid Esack juga
setuju dengan pandangan Cristian Troll. Troll misalnya, mengatakan:
Islâm primordial dan universal, yaitu penyerahan diri kepada Yang
Absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai
simbol dan pola keberimanan dan tindakan, di dalam berbagai agama
dan ideologi masa lalu maupun sekarang. Setiap respons tulus terhadap
panggilan dari sang Misteri yang tersembunyi, sumber segala yang
ada, membuktikan Islâm eksistensial dan personal.
Dan jika ditelusuri lebih jauh, gagasan Esack tentang Islam ini
sebenarnya banyak diwarnai oleh gagasan Jane Smith dalam karyanya,
A Historical and Semantic Study of the Term Islam as seen in
Sequence of Qur an Commentaries. Bahkan, jika kita menelaah secara
seksama karya Esack al-Qur an, Liberalisme dan Pluralisme, kita akan
melihat betapa Jane Smith paling banyak dijadikan referensi gagasan
Esack tentang term ini. Misalnya, Esack setuju dengan Smith yang
memperlihatkan, bahwa arti yang asli dari Islâm terdapat dalam
gabungan pemahaman individu dan kelompok. Dalam tafsir
tradisional, Islâm adalah ketundukan individual sekaligus nama suatu
kelompok. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan Jane Smith yang
diadopsi secara kritis oleh Esack dalam karyanya ini.
Yang menjadi persoalan dalam wacana dominan Muslim
kontemporer, menurut Esack, adalah wacana itu didasarkan pada ide
bahwa Islâm hanyalah Islam yang sudah dilembagakan. Di dalam teks
72
yang menggunakan kata itu jelas terkandung makna personalis
sekaligus kelompok. Esack lantas menganjurkan, supaya kedua
pengertian itu ditampung dalam setiap upaya untuk membuat ruang
bagi keduanya: pentingnya ketundukan pribadi dalam kerangka
identifikasi kelompok, sekaligus kemungkinan ketundukan pribadi di
luar parameter historis komunitas Muslim.
Esack juga menulis, meski QS Ali Imrân: 19 acap digunakan
untuk menegaskan keutamaan Islam atas agama-agama lain, muatan
universal dalam istilah Islâm memberi pemahaman bahwa teks itu
ditujukan bagi siapa saja yang tunduk pada kehendak Tuhan. Dengan
demikian, cakupan ini memasukkan agama-agama lain serta beragam
kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya, dan apa-apa yang
telah menjadi bagian dari mereka. Karena itu, Esack setuju dengan
ucapan Ridha yang menyatakan, Muslim yang sejati adalah yang tak
ternoda oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman,
dari komunitas apapun, dalam periode kapanpun, dan di tempat asal
manapun. Dari sinilah, gagasan Esack tentang pemaknaan asal Islam
menjadi terurai dengan sangat nyata. Dan gagasan Esack kendati
banyak setuju dan mengadopsi gagasan pemikir muslim modernis
sebelumnya inilah yang mentahbiskan dirinya sebagai pemikir
muslim progresif yang layak mendapat apresiasi tinggi.
b. Kufr121
121 Kafir adalah seseorang yang tidak percaya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Secarabahasa berarti menutupi sesuatu , menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau tidakberterima kasih. Jamak kafir adalah kafirun, kuffar dan kata sifatnya adalah kufur.
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian kafir. KalanganMutakallimin sendiri tidak sepakat dalam menetapkan batasan kafir, yaitu kaum Khawarijmengatakan bahwa kafir adalah meninggalkan perintah Tuhan atau melakukan dosa besar; kaumMu tazilah mengatakan, kafir ialah suatu sebutan yang paling buruk yang digunakan untuk orang-orang yang ingkar terhadap Tuhan; kaum Asy ariyah berpendapat, kafir adalah pendustaan atauketidaktahuan (al-jahl) akan Allah SWT. Adapun di kalangan fuqaha, pengertian kafir dikaitkandengan masalah hukum. Pengertian kafir secara umum yang sering dipakai dalam buku-bukuakidah ialah menolak kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan oleh Rasul-Nya atau secarasingkat kafir adalah kebalikan dari iman.
Dari keragaman makna kafir sebagaimana diuraikan diatas dan melihat secara tekstualdan kontekstual ayat-ayat al-Qur an yang mengungkapkan masalah kekafiran, maka kafir dapatdibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
73
Dalam merefleksikan makna kufr, Esack berpijak pada QS AliImrân: 21-22.
¨b Î)tûïÏ%©!$#šcrã• àÿõ3tƒÏM» tƒ$ t«Î/«! $#šcqè=çG ø)tƒurz ¿ ÍhŠÎ;Y9 $#ÎŽö•tó Î/9aY ymšcqè=çG ø)tƒ ur
šúïÏ%©!$#šcrã• ãBù'tƒÅÝó¡É)ø9 $$ Î/šÆÏBĨ$ ¨Z9 $#Oèd ÷ŽÅe³t7 sùA>#x‹yè Î/AOŠÏ9 r&ÇËÊÈš•Í´ ¯» s9 'ré&
tûïÏ%©!$#ôMsÜ Î6ymóOßgè=» yJ ôã r&†Îû$ u‹÷R ‘‰9 $#Íot• ÅzFy$#ur$tBurOßgs9ÆÏiBšúïÎŽÅÇ» ¯R
Artinya: Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfurûn) ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuhorang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkanlah
Ø Kafir harbi. Yaitu kafir yang memusuhi Islam. Mereka senantiasa ingin memecah belahorang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-oarang yang telah memerangi AllahSWT dan Rasul-Nya sejak dulu (QS. 9: 107).
šúïÏ%©! $#ur(#r ä‹sƒªB$##Y‰Éfó¡tB#Y‘#uŽÅÑ#\• øÿà2ur$K)ƒÌ• øÿs?uršú÷ü t/šúüÏZÏB ÷sßJ ø9$##YŠ$|¹ö‘Î) urô yJÏj9šUu‘%tn©!$#¼ ã&s!qß™u‘ur
ÏBã@ö6s%4£ àÿÎ=ósuŠ s9ur÷b Î)!$tR÷Šu‘ r&žwÎ)4Ó o_ó¡ßsø9$#(ª!$#ur߉pkô¶ tƒöNåkXÎ)šcqç/É‹»s3s9ÇÊÉÐÈ
Ø Kafir Inad. Yaitu kafir yang mengenal Tuhan dengan hati dan mengakui-Nya dengan lidah,tetapi tidak mau menjadikannya sebagian suatu keyakinan karena adanya rasa permusuhan,dengki, dan semacamnya. (QS. 11: 59).
y7ù=Ï?ur׊%tæ((#r ߉ysy_ÏM»tƒ$t«Î/öN ÍkÍh5 u‘(#öq|Á tã ur¼ ã&s#ß™â‘(#þqãèt7 ¨?$#urz•öDr&Èe@ä.A‘$¬7 y_7‰ŠÏZtãÇÎÒÈ
Ø Kafir Inkar. Yaitu kafir yang mengingkariu Tuhansecara lahir dan batin, rasul-rasul-Nya sertaajaran-ajaran yang dibawanya, dan hari kemudian. Mereka menolak hal-hal yang bersifat gaibdan menigngkari eksistensi atau keberadaan Tuhan sebagi ZAt pencipta, pemelihara danpengatur alam ini.
Ø Kafir Juhud. Yaitu kafir yang membenarkan dengan hati adanya Tuhan dan Rasul-Nya sertaajaran-ajaran yang dibawanya, tetapi tidak mau mengikrarkan kebenaran yang diakuinya itudengan lidah.
Ø Kafir Kitabi. Kafir model ini memilik cirri-ciri khusus disbanding dengan jenis kafir lainnyakarena mereka pada dasranya mengimani beberapa kepercayaan pokok yang dianut Islam.Akan tetapi kepercayaan mereka tidak utuh, penuh cacat, dan partial.
Ø Kafir Mu ahid. Kafir jenis ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kafir harbi. Kafir iniberasal dari Darul Harbi, tetapi mereka telah mengadakan perjanjian damai denganpemerintah Islam. Hak dan kewajiban mereka ditentukan menurut al-Qur an dan al-Sunnah,dan perjanjian yang disepakati bersama.
Ø Kafir Musta min, yaitu kafir yang bermukim atau bertamu di wilayah kekuasaan pemerintahanIslam.
Ø Kafir Zimmi, yaitu kafir yang berdamai dengan orang Islam.Ø Kafir Nifaq, yaitu kafir yang secara lahiriyah nampak beriman, tetapi batinnya mengingkari
Tuhan.Ø Kafir Ni mah, yaitu salah satu kafir yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam.Ø Kafir Syirik, yaitu jenis kafir yang menodai sifat yang paling esensial bagi Tuhan, yakni ke-
Esaan, yang berarti merusak kemahasempurnaan-Nya.Ø Kafir Riddah, yaitu kekafiran yang disebabkan seseorang keluar dari Islam. (lebih lengkap
lihat, Drs. H. A. Hafizh Dasuki, M. A, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm342-345)
74
bahwa mereka akan memperolah siksa yang pedih. (21). Merekaitu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya, dan merekasekali-kali tidak akan memperoleh penolong. (22). (QS AliImrân: 21-22).
Menurut Esack, teks ini menggabungkan yang doktrinal (kufr)
dengan yang sosiopolitis (keadilan). Bukan hanya mencela kufr dan
orang-orang yang menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan
bagi mereka siksaan yang pedih dan hilangnya dukungan. Dan
kalimat orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah adalah salah satu
cara untuk menggambarkan kaum lain dalam al-Qur ân, dengan
memakai bentuk-bentuk dari kufr. Bentuk lain adalah kâfir, dan
jamaknya kuffâr atau kâfirûn.
Dalam pemaknaan etimologisnya, Esack setuju dengan
pemaknaan yang diberikan Ibn Mandzur dan Lane. Keduanya
memaknai kufr dengan menutup . Kemudian kufr digunakan untuk
penutupan sesuatu dengan niat untuk menghancurkannya. Namun
dalam hal ini Esack setuju dengan al-Baidhawi pemakaian awalnya
yang paling lazim adalah penutupan perbuatan baik yaitu tidak
bersyukur. Esack juga sepakat dengan Izutsu yang mengatakan,
ketika Islâm diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr
menjadi sinonim dengan penolakan terhadapnya. Seorang kâfir,
dengan demikian, berarti orang yang menerima kebaikan dari Tuhan,
namun tidak bersyukur atau malah mengingkarinya.
Izutsu juga menunjukkan, inti struktur (makna primer) term kufr
bukan tak percaya , melainkan tak bersyukur atau tak tahu
berterima kasih . Di dalam al-Qur ân, kufr mendapat makna sekunder
orang yang tak meyakini Tuhan , karena ia sering muncul sebagai
lawan dari mu min. Karenanya, Esack menuliskan, obyek kekufuran di
dalam al-Qur an seringkali berupa keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-
tanda Tuhan, hari kebangkitan, dan para nabi. Terkadang Esack juga
mengaitkan kufr dengan penolakan untuk bermurah hati kepada orang
lain.
75
Dalam tulisannya yang lain, Tauhid dan Pembebasan, Esack juga
menulis: kufr bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan, tetapi
juga sebuah pola perilaku. Kita tidak bisa bersikap lemah lembut di
masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid. Kita tidak bisa
memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-
aturan muamalat (berurusan dengan orang lain). Sistem nilai dan
standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko.
Karenanya, Esack berpesan, agar tidak terjadi perlakuan tidak
adil terhadap mereka yang tidak berlabel Muslim , maka ada
beberapa hal penting yang mesti diindahkan, antara lain, pertama,
yang dicela al-Qur an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan
terhadap Islâm dan Muslim, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan
dan orang-orang yang ingin mengorganisasi keberadaan kolektif
mereka atas dasar ketundukan ini. Kedua, al-Qur an menggambarkan
kâfir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi
Muhammad sebagai utusan-Nya, namun memilih menolak
mengakuinya. Ketiga, al-Qur an juga spesifik soal motif keputusan
kufr untuk menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih
jalan kufr, karena pertimbangan material (QS al-Anbiyâ : 53; QS al-
Syu arâ : 74; QS Luqmân: 21); ikatan kesukuan (QS al-Zukhruf: 22);
dan karena Islâm akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak adil
(QS Ali Imrân: 21).122
122 http://denologis.blogspot.com/2008/07/...., op-cit
76
BAB IV
ANALISIS
A. Urgensi Metode Tafsir Progresif Farid Esack
Agama Islam sebagaimana juga agama Yahudi dan Kristen,
diyakini sebagai datang dari Tuhan, sehingga rumpun agama Ibrahim ini
disebut sebagai agama wahyu (revaled religions).123 Geneologi ajaran
Islam dimulai ketika Muhammad SAW menerima wahyu melalui malaikat
Jibril di Gua Hira abad ke-7 M) yang membisikkan firman Allah dan sejak
itu pewahyuan terus berlangsung secara berangsur selama 23 tahun yang
kemudian wahyu itu pada urutannya diabadikan secara tertulis ke dalam
bentuk mushaf al-Qur an. Ketika firmanAllah tertuang kedalam bahasa
(Arab) dan pada urutannya diobyektifkan ke dalam wujud tertulis dalam
sebuah mushaf, maka sesungguhnya wahyu Allah itu telah memasuki
pelataran sejarah dan akan terkena kaidah-kaidah sejarah yang bersifat
kultural-empiris. Bukti yang paling nyata adalah bahasa al-Qur an bersifat
partikular, namun pesannya bersifat universal, karena ditujukan kepada
seluruh manusia. Oleh karena itu, sifat lokalitas Islam yang muncul dalam
lokus bahasa dan budaya Arab sebaiknya dipahami sebagai bukti dan
wadah yang bersifat instrumental-historis, sedangkan pesannya yang
universal dan fundamental harus selalu digali dan diformulasikan ke dalam
lokus bahasa dan budaya non-Arab sehingga eksklusivisme bahasa dan
123 Dalam doktrin agama-agama samawi (baca, agama wahyu atau agama semitis semit---) selalu terjadi kompleks pengklaiman bahawa, agama-agama mereka adalah penerus dari agamaIbrahim.Ibrahim diklaim sebagai bapak agama-agama dan bapak para nabi. Ibrahim juga di anggapsebagai peletak dasar dari agama-agama semitis atau samawi ini, yang kemudian dilanjutkan olehketurunannya: Yahudi, Kristen dan Islam.
Di dalam Yahudi, klaim sebagai penerus ajaran Ibrahim karena komunitas Yahudiadalah keturunan Ibrahim dari jalur Ishaq. Sementara di dalam Islam klaim itu juga terjadi, karenaMuhammad dianggap sebagai penerus Ismail yang juga anak Ibrahim. Demikian juga di kalanganKristen, Yesus adalah anak Maryam, yang pada awalnya, juga ada dalam lingkaran agama Yahudiyang juga menghubungkan dengan Agama Ibrahim , dan jalur geneologisnya ke atas sampai jugadengan Ibrahim. Lihat, Nur Kholik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama; MemopulerkanAgama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, ed. Sirsaeba Alafsana, CV. Arruz BookGallery, Jogjakarta, 2003, hlm. 24-25
77
budaya Arab bukannya sebagai penghalang penyebaran Islam, melainkan
sebagai penyimpan dan penjaga otentisitas ajaran Islam.124
Islam tidak hanya sekedar agama dengan seperangkat keyakinan
terhadap hal-hal gaib dan serangkaian upacara ritualnya, akan tetapi adalah
seperangkat pedoman hidup yang kaffah, utuh dan menyeluruh. Secara
historie, Islam telah menjadi seperangkat pedoman kehidupan yang
memiliki pengaruh sangat signifikan. Agama gurun yang tandus, namun
hanya dalam waktu singkat telah menjadi agama bagi jutaan umat di
dunia. Agama yang semula hanya dipeluk oleh masyarakat Selatan dan
Timur Tengah yang terbelakang, namun kenyataannya telah berubah
menjadi agama yang menyebar di berbagai negara, termasuk barat dan
juga Asia Timur. Perkembangan yang demikian mencolok merupakan
bukti bahwa Islam memiliki élan vital yang luar bisaa untuk menyaingi
agama-agama yang telah mapan.125
Farid Esack yang merupakan tokoh Muslim muda dari Afrika
Selatan yang terlibat dalam gerakan antiapartheid di dalam disertasinya
yang berjudul Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Againts the Opression, misalnya, dia menulis
bahwa pada periode awal Islam, Nabi Muhammad mencoba
mentranformasikan masyarakat saat itu dengan melakukan pembaruan
sosial dan menentang segala ketidakadilan pada masyarakat Arab pada
masa itu.
Salah satu ciri gagasan Esack adalah kepedulian dan solidaritasnya
terhadap isu-isu sosial kemasyarakatan dan politik saat itu (kontemporer),
seperti ketidakadilan sosial, ketidakadilan gender, dan juga isu-isu tentang
ekonomi, politik, dan kultural--seperti masalah korupsi dan otoritas
pemerintahan.
124 Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit , op.cit, hlm 2125 Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si., Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-
agama: Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama, dalam Dialektika Islam dengan ProblemKontemporer, ed. Prof. Dr. H. M. Ridwan Nasir. MA, IAIN Press dan LKiS, 2006, hlm. 256
78
Pemikiran ini timbul dari pengamatan Esack yang berpandangan
bahwa saat ini, begitu banyak warga Muslim yang menganggap budaya
umat Islam, ---khususnya rakyat Afrika Selatan terutama yang berhaluan
konservatif dan literatif---tak berubah setelah 14 abad sejak awal
kehadirannya. Kecenderungannya tampak pada usaha-usaha memaksakan
aturan yang dikatakan berasal dari Islam yang disebut autentik. Padahal,
aturan itu bukan esensial dalam Islam, apalagi dengan menafikan semua
dinamika perubahan sosial yang terjadi kemudian.126
Jadi, dengan latar belakang konflik yang terjadi di Afrika Selatan,
Farid Esack sebenarnya hanya ingin menghidupkan dinamika transformatif
ini agar masyarakat Muslim tak kaku, tak beku, lalu terjebak pada satu
keadaan yang statis dan tak berubah.127
Berkaitan dengan kondisi soal Afrika Selatan, jika dicermati teori
konflik yang identik dengan teori Marx begitu kuat pengaruhnya. Teori ini
berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di dalam masyarakat terdapat
beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan.
Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan
distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran
utama di dalamnya. Namun teori konflik mendapat kritik dari sejumlah
ahli, karena terlalu menekankan pada factor ekonomi sebagai basis
ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik.128
126 Dengan bahasa yang lain, Nasr Hamid Abu Zaid mengkategorikan, makna-maknayang diperoleh dari kalam Tuhan---akan dianggap--- bersifat absolut dan bersifat relatif. Anggapanyang pertama bersumber dari keyakinan bahwa makna tersebut berasal dari Tuhan yang absolut,sedang yang kedua berkeyakinan bahwa makna-makna tersebut bersumber dari teks yang dianggapsebagai fakta linguistik. Model yang pertama akan melahirkan model Islam yang literatif-konservatif, sedangkan yang kedua melahirkan Islam yang inklusif-liberatif.
Lanjut Abu Zaid, karena makna-makna yang diperoleh dari fakta linguistic berasal darihubungan timbal balik antara struktur fakta tersebut dengan orang yang memaknai strukturtersebut, penafsir dengan segala latar belakang yang mnyertainya. Pola pertama, di dalammendapatkan makna, lebih mengandalkan pada makna-makna yang telah ditetapkan secara apriori terhadap ujaran atau kalam Tuhan, sementara pola kedua mengandalkan peda mekanismelinguistic di dalam menghasilkan makna. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran,LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. vi
127http://202.155.15.208/berita/48111/Farish_Ahmad_Noor_Islam_Progresif_tidak_Menyimpang_dari_Islam, 24 Nopember 2009, 19.30 WIB
128 Dr. Nasaruddin Umar, MA., Argumen Jender Perspektif AL-Qur'an, Paramadina,Jakarta, cet. II, 2001, hlm. 61
79
Dalam kajian ilmu sosial, konflik adalah penggerak dinamika
masyarakat. Mengikuti kaum Marxian, bahwa tanpa konflik maka
dinamika kehidupan masyarakat akan menjadi kurang semarak. Melalui
konflik masyarakat yang stagnan akan menjadi berubah. Konflik tidak
hanya bercorak horizontal, tetapi juga vertikal. Hubungan konfliktual
antara sesama penganut agama (intern umat beragama) adalah contoh
konflik horizontal. Sedangkan konflik vertikal terjadi antara rakyat dan
negara atau antara satu strata sosial yang lebih rendah dengan strata sosial
lainnya sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan.129
Dilihat dari sudut pandang kaum Marxian di atas, Esack dalam hal
ini menghadapi konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara rakyat
Afrika Selatan ---masyarakat kulit non-kulit putih--- dengan Negara yang
dalam hal ini adalah kekuasaan rezim Apartheid. Dengan berbagai
diskriminasi yang Esack dan masyarakat non-kulit putih hadapi, Esack
berusaha membebaskan mereka dari penindasan yang dilakukan oleh
rezim Apartheid, dengan jalan membuat formula baru dalam berinteraksi
dengan al-Qur an (reinterpretasi). Formula Esack ini berakar dari dua
konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ilmu al-Qur an yaitu
konsep asbab al-nuzul dan konsep naskh. Dalam pandangan Esack, dua
konsep tersebut membuktikan ke-aktifan Tuhan dalam menyapa dan
menerapkan syariat-Nya kepada umat manusia, yang pastinya sesuai
dengan keadaan dan karakter sosio-kultural umat manusia ketika itu.
Demikian juga, Muhammad SAW sebagai mandataris Allah SWT
dalam melakukan interpretasi serta aplikasi wahyu tidak lepas dari
pengamatan aktif beliau terhadap sosio-kultural bangsa Arab ketika itu.
Hal semacam ini sangat banyak sekali ditemukan dalam hadis-hadis
beliau, terutama hadis-hadis yang isinya bercerita tentang pertanyaan-
pertanyaan para sahabat. Dalam memberikan jawaban Rasulullah sangat
memperhatikan posisi keadaan setiap orang yang bertanya kepada beliau.
129 Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Radikalisme dan Masa ., op.cit., hlm 257
80
Hal ini mengindikasikan ajaran Islam yang sangat interkatif dan inklusif
tidak Islam konservatif dan litertif.
Sekilas gambaran di atas merupakan modal pertama Esack dalam
melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur an. Namun, dalam
formula yang Esack tawarkan ini ia lebih memfokuskan rumusan-
rumusannya terhadap konsep-konsep teologis, seperti reinterpretasinya
terhadap konsep Muslim (Islam), kafir, syirik, jihad, dan mustadl afin. Hal
ini ia lakukan karena ia sadar betul terhadap kondisi Afrika Selatan yang
terdiri dari beberapa agama atau kepercayaan, yaitu Kristen sebagai
mayoritas, Baha i dan Islam. Untuk itu, Esack mencoba mencari titik temu
dari teologi ketiga agama tersebut.
Teologi mempunyai dua kecenderungan yang bertentangan secara
diametral. Pertama, adalah kecenderungan untuk mempertanyakan sesuatu
yang sudah mapan, karena orang tidak puas terhadap jawaban yang ada.
Teologi semacam ini mendekati aktivitas berfikir filsafat. Kecenderungan
yang lain adalah melegitimasikan sesuatu kekuasaan atau tindakan.
Kecenderungan ini timbul karena pandangan bahwa agama itu mempunyai
pengaruh besar dalam masyarakat karena daya-daya integratifnya, seperti
dikatakan oleh sosiolog Durkheim.
Gejala di atas secara implisit memberikan pengertian kepada kita
bahwa teologi itu berkaitan erat dengan kondisi masyarakat maupun
perubahan sosial. Pandanagan seperti ini sebenarnya merupakan gejala
baru, karena sebelumnya pemikiran teologi tidak dikaitkan dengan kondisi
masyarakat, apalagi perubahan sosial.130 Teologi semula hanya merupakan
kajian yang setiap detail pembahasannya menjadikan Tuhan dan sifat-sita-
Nya sebagai objek pembahasan. Hal semacam ini sanagt tidak sejalan
degan pesan-pesan al-Qur an yang mayoritas menghendaki perbaikan
sosial antara manusia. Karena ini sejalan dengan konsep yang dikadung
dalam khalifatullah fi al-ardl.
130M. Dawam Rahardjo, Islam dan Tranformasi Budaya, ed. H.M. Sonhadji dan AsepGunawan, Dna Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002, hlm. 22
81
Sebagaimana penjelasan di depan, doktrin-doktrin teologi dalam
setiap agama---yang pastinya diyakini kebenarannya oleh setiap
pemeluknya---dapat melahirkan paham eksklusivisme. Artinya, setiap
pemeluk agama akan meyakini bahwa doktrin yang mereka pegangi adalah
yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Untuk itu, dengan latar
belakang seperti inilah Esack mencoba membangkitkan semangat
solidaritas antar agama rakyat Afrika Selatan sebagai modal untuk
menyingkirkan rezim Apartheid.
Dua konsep pokok di atas yakni asbab al-nuzul dan nasikh, dalam
bahasa Esack ia rumuskan dalam proses pewahyuan progresif . Untuk
itu, metode yang dihasilkan dari proses pewahyuan progresif ini disebut
dengan Metode Tafsir Progresif . Suatu metode interpretasi ayat-ayat al-
Qur an yang berhaluan progress, kemajuan, interaktif dan solider,
pembebasan, serta inklusif.
Esack sadar betul setting sosial-ekonomi-politik umat Islam Afrika
Selatan yang tertindas oleh rezim penindasan apartheid. Untuk itu
dengan metode tafsir progresifnya, Esack berusaha merekontruksi klaim
kebenaran dan keselamatan suatu agama seperti yang dianut kuat di
kalangan teologi eksklusif, konservatif dan sekaligus menggeser teologi
inklusif kearah tawaran proposal baru, yakni reinterpretasi al-Qur an atas
teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas.
Dalam konteks inilah Esack meneriakkan pentingnya teologi
pluralis, ---yang ia lahirkan dari metode tafsir progresif--- bukan hanya
teologi inklusif seperti yang didengung-dengungkan oleh Cak Nur,
pasalnya dalam teologi inklusif dalam praksisnya terputus (disconnect)
dengan gerakan pembebasan masyarakat yang tertindas. Keberlanjutan
aksi para pemikir telah dibuktikan Esack dengan ia benar-benar secara
genuine menggalang solidaritas antar-iman dengan kelompok lain, the
others, yang berbeda agama dan iman, untuk secara bersama-sama
menentang rezim apartheid, demi keadilan, kebenaran dan perdamaian itu
sendiri.
82
Solidaritas antar iman di kalangan teologi pluralis ini sangatlah
signifikan untuk membebasakan, secara khusus, masyarakat Afrika Selatan
yang tertindas, dan membebaskan, secara umum, yang tertindas di
berbagai belahan dunia. Dan praksis liberalif sebagai upaya
pengembangan pluralisme ini sejatinya telah menjadi visi Qur anik, bahwa
teologi pluralis adalah praksis liberatif.131
B. Membumikan Al-Qur an: Sebuah Analisis atas Aplikasi Metode Tafsir
Progresif Farid Esack terhadap Ayat-ayat Al-Qur an
1. Konsep Mustadl afin
Sejak awal, Islam memerintahkan umatnya untuk menegakkan
keadilan. Al-Qur an misalnya, memerintahkan pembacanya untuk
menjadi penegak keadilan,
Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamumenjadi orang-orang yang senatiasa menegakkan keadilan, lagimenjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) karena Allah,sekalipun terhadap diri kamu sendiri atau ibu bapak dan kaumkerabat kamu. Kalaulah orang (maksudnya orang tergugat atauterdakwa) itu kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu
131 Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Radikalisme dan Masa ., op.cit., hlm. 212-213Tokoh pencetus pluralisme pada dasarnya tidak hanya berasal dari kalangan Islam seperti
Esack saja. Namun, di kalangan Kristen juga ada tokoh pluralisme yang sangat terkenal sepertiFriederich Shleiermacher, Rudolf Otto dan John Hick.
John Hick adalah salah satu tokoh yang tengah gencar mempromosikan dialog antaragama. Setidaknya Hick menawarkan lima wajah pluralisme. Pertama, pluralisme moral atausering dikenal dengan pluralisme religius normative. Doktrin ini memang Hick ambil dari tradisiumat Kristen yang menyerukan toleransi antar penganut agama. Bentuk pluralisme ini himbauankepada umat Kristen untuk menjalin hubungan dengan penganut tradisi keimanan non-Kristen(umat agama lain) dan untuk mencegah munculnya arogansi. Secara moral etik, pesan ini bisa kitabaca sebagai seruan untuk menghilangkan sikap eksklusifisme dalam system keberagamaan.
Kedua, pluralisme religius soteriologis (soteriological religious pluralism). Pluralisme inidalam pandangan Hick berfungsi membuka kesadaran umat Kristen atas tidak adanya keselamatandi luar Kristen. Ketiga, pluralisme religius epistimologis (epistemological religious pluralism).Artinya, pluralisme ini menekankan pada klaim bahwa para pengikut agama-agama besar di duniamemiliki kedudukan yang sama menurut justifikasi keyakinan religius mereka, yang pasti danpaling tepat ditemukan pada pengalaman religius mereka sendiri. Keempat, pluralisme religiusalitis (aletik religious pluralisme). Doktrin ini bermaksud untuk menyerukan bahwa kebenaranreligius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama. Kelima,pluralisme religius deontis (deontic religious pluralism). Yaitu bahwa dipenuhinya kehendakTuhan tidak membuat orang harus menerima iman Kristiani. Pluralisme jenis ini memang menjadikeharusan bagi pemahaman umat beragama dalam menghadapi kondisi keberagamaan yangsemakin plural. Lebih jelas lihat, Wiwit Rizka Fatkhurrahman, Melintas Batas Identitas Komunal,Jalan Menuju Pluralisme Agama dalam Runtuhnya Negara Tuhan, ed. Tedi Kholiduddin,INSIDE, Semarang, 2005, hlm. 208-210
83
kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawanafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran...(QS. Al-Nisa[4]: 135).
Melalui penafsiran ayat ini, dapat dipahami bahwa elan vital al-
Qur an adalah keadilan, dan menuntut mereka yang percaya (beriman)
untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil (egalitarian) dan
mencegah orang-orang yang mau melakukan bencana di muka bumi
ini. Tentu saja, usaha menegakkan keadilan di sini bukan sesuatu yang
abstrak ---yang hanya cukup dengan diungkapkan saja---, tetapi
sesuatu yang mesti diwujudkan dalam aksi nyata. Sosiolog
mengatakan, usaha keadilan baru betul-betul nyata jika ia diwujudkan
dalam suatu situasi konkret.132
Secara normatif Islam mengajarkan peduli kemanusiaan lebih
penting dari ritual pada Tuhan. Kesalehan hanya bisa bicapai dengan
membela yang tertindas (kaum mustadh afun) agar ada di pihak
Tuhan. Seseorang hanya bisa mengenal Tuhan jika memahami
kemanusiaan. Rasul diutus hanya untuk menebar rahmat kasih-sayang
bagi semua manusia dan seluruh alam (rahamatal lil alamin).
Islam mengajarkan bahwa kesalehan diperoleh jika ia bisa
memberi orang lain yang terbaik bagi dirinya133 atau dengan jalan
132 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, PTRajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 457-458
Hal semacam ini dalam terminologi Dr. Kontowijoyo disebut dengan ilmu sosial profetik.Yaitu ilmu sosial trasformatif, artinya yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomenasosial tapi juga memberi petujuk ke arah mana trasformasi itu dilakukan, untuk apa, dan olehsiapa. Oleh karenaitulah ilmu sosial profetik tiodak sekedar mengunah demi perubahan, tapimengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetiksecara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Bagikita ----khususnya Afrika Selatan---berarti perubahan yang didasarkan pada cita-citahumanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan darimisi historis Islam sebagaiman terkandung dalam ayat 110, surat Ali Imran: Engkau adalah umatterbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran(kejahatan) dan beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmusosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosialprofetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Lebihlengkap lihat, Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, ed. A.E. Priyono,Mizan, Jakarta, cet. III, 1991, hlm. 288-289
133 Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, jilid 1, hlm 11
84
meringankan beban yang diderita mereka134 dan beriman jika bisa
menghormati tetangga dan tamunya135. Bukankah Tuhan hanya
menjadi penolong seseorang jika ia menjadi penolong sesama tanpa
batas formal keagamaan. Soalnya menjadi lain ketika teks itu enjadi
berubah menjadi tradisi yang dibangun bedasarkan kepentingan politik
ulama yang berkolaborasi dengan elite penguasa.136
Mustadl afin bukan semata persoalan kemiskinan ekonomi,
melainkan juga kemiskinan sosial dan keagamaan dari kaum awam
yang selama ini dipinggirkan dalam paham dan sistem keagamaan
yang hegemonik. Keawaman dalam keagamaan bukanlah karena
seseorang enggan belajar, tapi sering disebabkan oleh sistem dan
lingkungan sosial yang sudah ada sejak sebelum seseorang lahir---
bagaikan sebuah takdir sosial yang tidak mungkin dihindari.137
Realitas kemiskinan dan ke-dlu afa-an disebabkan bukan
karena mereka tidak rasional atau karena mereka memang mempunyai
budaya miskin, seperti disinyalir oleh Oscar Lewis, atau karena mereka
kurang motivasi berprestasi dan kewiraswastaan, atau bahkan karena
etos kerja yang lemah. Kemiskinan muncul pada mereka akibat
ketidakadilan sosial yang terwujud dalam struktur sosial yang tidak
adil, yang tidak memperhitungkan mereka sebagai subyek yang terlibat
dalam sejarah sosial dan ekonomi.138 Inilah ranah pertempuran Esack
dan rakyat Afrika Selatan dalam menghalau ketidakadilan yang
ditebarkan oleh rezim apartheid terhadap mereka. Rakyat Afrika
Selatan (kulit berwarna) sebagai mayoritas diperlakukan oleh rezim
apartheid dengan semena-mena. Hak-hak mereka untuk mendapatkan
kehidupan dan pelayanan yang layak diabaikan bahkan dirampas
dialihkan untuk rakyat kulit putih.
134 Ibid, jilid II, hlm 81135 Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, ibid, jilid 1, hlm 49136 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan ., op.cit., hlm. 120137 Ibid, hlm 128138 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis ., op.cit., hlm 461
85
Kesalehan dan ritual mencari kedekatan dengan Tuhan tidak
bisa diukur dan dicapai hanya dengan ritual formal seperti shalat,
zakat, dan haji, korban dan amal ibadah lainnya. Kesalehan dan
keridlaan Tuhan harus dibuktikan dari kemampuan memberantas
praktik-praktik penindasan dan kedzaliman yang diderita kaum miskin,
petani dan buruh. Dalam banyak hadis dinyatakan bahwa Tuhan hanya
akan menjadi penolong manusia yang suka menolong sesama dan
memihak kaum tertindas, karena mereka inilah yang doanya makbul
atau tanpa terhijab oleh apapun.139 Surga Tuhan nanti akan dipenuhi
mereka yang teraniaya yang menyadari dan berusaha bebas dari
ketertindasan; sebaliknya, neraka akan penuh dengan mereka yang
kaya dan berkuasa tetapi penindas atau zalim.140
Para Nabi dan Rasul adalah mereka yang tumbuh dari kaum
tertindas. Karena itulah mereka bisebut ulul azmi141---yang berhasil
melakukan pembebasan bagi diri dan masyarakat. Apa yang disebut
berhala dan dihancurkan oleh nabi Ibrahim a.s. dan Muhammad SAW
adalah sistem dan nilai-nilai penindas ketika sistem dan nilai-nilai
yang ada itu hanya menguntungkan kelas elite dan kaum borjuis.
139 Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, op.cit, jilid II, hlm 82140 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan ., op.cit., hlm 130141 Ulul Azmi adalah istilah al-Qur an, yakni istilah yang ditemukan dalam al-Qur an,
tepatnya terdapat dalam ayat 35 Surat ke-46 (al-Ahqaf). Menurut Fu a Abdul Baqy, istilah UlulAzmi ini hanya satu kali disebut dalam al-Qura an yakni dalam ayat yang dikutip di atas.
Secara bahasa, al-Azmi berarti: bersengaja dan berketetapan hati . Ulul Azmi dapat puladiartikan sebagai orang-orang yang memiliki ketetapan dan keteguhan hati . Sadangkan secaraistilah para ulama sesuai ayat di atas mengartikannya sebagai para Rasul pembawa ajaran(agama) Allah SWT yang dalam menjalankan tugasnya menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT,senantiasa tabah dan sabar menanggung segala tantangan, cobaan, bahkan penganiayaan yanagdatang dari kaumya yang mengingkari dan menolak ajaran Allah yang disampaikan tersebut .
Dikalangan para ulama (mufasssir) terdapat beberapa pendapat tentang siapa atau rasul-rasul mana yang termasuk dalam kategori ulul Azmi ini. Di antaranya ada yang berpendapat hanyalima orang yaitu: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Pendapat lain 6 orang yaitu: Ibrahim,Musa, Daud, Sulaiman, Isa dan Muhammad. Yang lain 6 orang tapi tokohnya berbeda, yaitu:Ibrahim, Ishaq, Ya qub, Yusuf, dan Ayyub. Ada yang berpendapat 12 orang. Sementara ada jugayamng berpendapat 18 orang sesuai yang termaktub dalam Surat al-An am, yaitu: Ibrahim, Ishaq,ya qub, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa, Ilyas, Ismail,Ilyasa , Yunus dan Luth. Ada juga yang menyatakan semua Rasul adalah Ulul Azmi karena dalamdakwahnya mereka sangat sabar dan tabah atas perlakuan dari para pengingkar dan penolaknya.Dari beberapa pendapat di atas yang paling masyhur dan banyak dijadikan pegangan olehmayorias ulama adalah pendapat yang pertama. ( Lihat, Departemen Agama, Ensiklopedi Islam,Jilid 3, Jakarta, 1993, hlm. 1251-1252
86
Qarun dan Firaun adalah simbol dari suatu model kekayaan dan
kekuasaan yang dzalim dan Sulaiman a.s. adalah simbol dari
kekuasaan yang memihak kaum lemah dan teraniaya atau tertindas.142
Tindakan awal dari risalah kenabian Muhammad SAW ialah
langkah pembebasan masyarakat dari struktur sosil, ekonomi dan
politik yang feodalis dan kapitalistik untuk diletakkan pada struktur
baru ketuhanan Tauhid tanpa hegemoni dari apa dan siapa, kecuali
pada Tuhan Yang Mahagaib. Sejarah Islam membuktikan, bahwa
bagaimanapun terdapat suatu masa di mana penganjur agama ini---
Rasul Muhammad SAW---begitu memihak pada kaum mustadl afin,
kaum miskin dan tertindas dan mereka yang diperlakukan tidak adil
atau dianiaya dan dizalimi. Muncullah hadis yang menyatakann bahwa
Tuhan lebih mendengar doa orang-orang yang tertindas, dianiaya,
dizalimi, diperlakukan tidak adil, miskin dan menderita.143
Sejarah mencatat dalam al-Qur an, bahwa Tuhan mengecam
Nabi Muhammad SAW karena bermuka masam cemberut
menunjukkan rasa kurang suka ketika datang kepadanya orang buta
padahal mereka berusaha membersihkan diri dan mencari
pembelajaran dengan penuh ketundukan. Pada saat yang sama, Nabi
tampak lebih berkenan menerima dan melayani orang-orang yang
berkecukupan harta dan kekuasaan. Kritik keras Tuhan terhadap sikap
142 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan , op.citDalam kasus Ibrahim as menghancurkan berhala-berhala yang disembah dan dipuja-puja
kaumnya dan bapaknya yang mereka anggap sebagai Tuhan, pada dasarnya itu adalah keuntunganbagi kelompok-kelompok mapan. Mengapa? Karena hal itu menujukkan keberhasilan merekadalam mem- bodohi kaum lemah. Sebenarnya berhala-berhala itu adalah mekanisme untukmenciptakan hegemoni pemujaan kepada kelompok-kelompok mapan, penguasa dan petinggi-petinggi di Ur-Kasdim. Dari berhala-berhala itu, mereka mendapat keuntungan berlimpah, berupakehormatan, hasil-hasil sesaji (semacam upeti) yang bisaanya dijustifikasi dengan dalih untukTuhan, kelimpahan ekonomi, dan seterusnya.
Berhala-berhala dijadikan sebagai mekanisme melakukan eksolitasi, untuk menciptakanskandal-skandal yang terselubung atas nama Tuhan dan agama. Eksploitasi terhadap para pengikutdan kelompok-kelompok lemah akan menjadi ampuh, dengan diciptakannya symbol-simbol yangdapat dijadikan penekan dengan dibumbui oleh ujaran-ujaran keagamaan. Berhala-berhala di sini,jelas bukan hanya semacam patung, tetapi segala benda dan tempat pemujaan dengan segalabentuknya yang dikreasikan oleh kelompok-kelompok mapan untuk melakukan eksploitasi atasyang lemah. Lebih lengkap lihat, Nur Kholik Ridwan, Detik-detik ., op.cit., hlm. 93-94
143 Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan ., op.cit., hlm 134-135
87
Muhammad yang kurang berpihak kepada kaum dlu afa dan lebih
berpihak pada kelas lebih tinggi ini tersurat dalam Q.S. Abasa: 1-11144
}§t6tã#’ ¯< uqs? urÇÊÈbr&çnuä!% y4‘yJ ôã F{ $#ÇËÈ$tBury7ƒÍ‘ ô‰ãƒ¼ ã&©# yè s9#’ ª1“ tƒÇÌÈ÷rr&ã• ©.¤‹tƒ
çmyè xÿYtG sù#“t• ø.Ïe%!$#ÇÍÈ$ ¨Br&Ç tB4Óo_ øótF ó™ $#ÇÎÈ|MR r'sù¼ çms93“£‰|Ás?ÇÏÈ$ tBury7ø‹ n=tãžwr&
4’ ª1 ¨“ tƒÇÐÈ$Br&urtBx8uä!% y4Ótë ó¡o„ÇÑÈuqèd ur4Óy øƒs†ÇÒÈ|MR r'sùçm÷Ztã4‘¤Sn=s?ÇÊÉÈHxx.
$ pkXÎ)×ot• Ï.õ‹s?ÇÊÊÈ
Al-Qur an secara eksplisit menanamkan dalam diri orang-orang
yang tertindas, kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap
orang-orang yang memaksakan kehendaknya yang sesat kepada
mereka. Al-Qur an melukiskan suatu gambaran yang hidup, yang di
situ semua kelompok dimintai pertanggungjawabannya, baik orang-
orang yang zalim dengan tindak kezalimannya, maupun orang-orang
lemah yang menyerah kepada kehendak para penindas dan kemauan
mereka untuk mematuhi perintah para penindas itu. Orang-orang yang
mengikuti kehendak kaum penindas mencoba untuk melepaskan
seluruh tanggung jawab mereka dari segala dosa sebagai orang-orang
yang mengikuti kemauan orang lain, dan berusaha memikulkan semua
tanggung jawab itu ke pundak orang-orang yang menindas mereka.
Ternyata mereka tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab
tersebut, kecuali merasakan perlunya kembali pada kehidupan dunia,
agar mereka dapat membebaskan diri dari para penindasnya. (QS. Al-
Baqarah [2]: 166-167).145
Kemudian al-Qur an mendorong kaum tertindas untuk
memiliki kekuatan dari dalam diri mereka, yang dipusatkan untuk
membersihkan diri mereka dari unsur-unsur kelemahan yang
mendorong mereka pada sikap yang keliru itu. Yaitu dengan
144 Ibid., hlm 137145 Muhammad Husain Fadlullah, al-Islam wa Mantiq al-Quwwah, terj. Afif Muhammad
dan H. Abdul Adhiem, Islam Logika Kekuatan, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 34
88
menelanjangi mereka dari unsur-unsur kekuatan, pada umumnya,
maupun kemampuan yang berkaiatan dengan rezeki, kematian,
kehidupan, dan lain sebagainya. Sebab, sumber dari seluruh kekuatan
itu adalah Allah SWT. (QS. Al-Maidah [5]: 76; QS. Al-Ankabut [29]:
17; QS. Al-Furqan [25]: 3).146
Selanjutnya al-Qur an juga mengobarkan kesadaran tentang
pentingnya bersikap positif dalam menghadapi para penindas di
kalangan orang-orang yang lemah dan tertekan, dengan tujuan
menghancurkan kekuatan mereka. Karena itu, al-Qur an mengizinkan
mereka untuk berperang dalam membela hak-hak mereka,
mempertahankan negeri mereka, dan menciptakan kebebasan dalam
memeluk akidah yang mereka yakini. (QS. Al-Hajj[22]: 39-40).
Kemudian al-Qur an menjelaskan cara-cara yang harus
dilakukan oleh orang-orang yang tertindas dalam menghadapi orang-
orang kuat yang menggunakan kekuatan mereka untuk menindas
orang-orang yang lemah, hendaknya sesuai dengan hukum alam yang
ditetapkan Allah bagi kehidupan. Dengan ini dimaksudkan agar
manusia merasakan ketenteraman kehidupan dan meyakini
kesuciannya. Kalau tidak demikian, niscaya nilai-nilai serta
kesakralannya tidak pula mungkin ditegakkan. Itu merupan justifikasi
syar i dan alami, agar mereka berperang dan membunuh musuh-musuh
kebebasan dan kehidupan. Sebab, yang demikian itu adalah cara yang
realistis dalam membangun kehidupan dan menjaga kelestariannya atas
prinsip keadilan.147
Penjelasan di atas merupakan gambaran al-Qur an
mengarahkan dan membimbing orang-orang yang tertindas dari awal
sikap dan perilaku yang atau harus dilakukan mereka terhadap para
penindas.
2. Konsep Jihad
146 Ibid., hlm. 35147 Ibid., hlm. 36-37
89
Jihad adalah merupakan term al-Qur an yang memiliki arti
perjuangan . Kata jihad terulang dalam al-Qur an sebanyak empat
puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w.
395 H) dalam bukunya Mu jam al-Maqayis fi al-Lughah, semua kata
yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan
atau kesukaran dan yang mirip dengannya .
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti letih/sukar .
Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata juhd yang berarti
kemampuan . Ini karena jihad membutuhklan kemampuan, dan harus
dilakukan dengan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun
ucapan jahida bi al-rajul yang artinya seseorang sedang mengalami
ujian . Terlihat bahwa makna ini mengandung makna ujian dan cobaan
bagi kualitas seseorang.148
Makna-makna jihad secara kebahasaan di atas dapat
dikonfirmasikan pada ayat-ayat al-Qur an yang berbicara tentang
jihad, seperti: QS. Ali Imran [3]: 142; QS. Al-Taubah [9]: 19, 24, 44,
79, 81; QS. Al-Ankabut [29]: 6, 69; QS. Luqman [31]: 15; QS. Al-Hajj
: 78.149
Asghar Ali Enginer juga tidak berbeda dengan Qurash Shihab.
Secara literer, konsep jihad berarti berjuang. Namun, dalam kaitannya
dengan semangat pembebasan (baca, teologi pembebasan), konsep ini
perlu ditafsirkan ulang. Konsep jihad harus ---seperti yang dilakukan
al-Qur an---lebih menekankan pada perjuangan untuk menghapus
eksploitasi, korupsi, dan kezaliman dalam berbagai bentuknya, dan
perjuangan ini harus terus menerus dijalankan hingga pengaruh
destruktif ini hilang sama sekali dari muka bumi. Al-Qur an
mengatakan secara jelas:
148 Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur an, Tafsir Maudlu i atas Berbagai Persoalan Umat,Mizan, Bandung, 1996, hlm. 501
149 Ibid., hlm. 502-505
90
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dansupaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika merekaberhenti (dari kekafiran) maka sesungguhnya Allah MahaMelihat apa yang mereka kerjakan .(QS. Al-Anfal [8]: 39)
Dengan demikian, jelaslah bahwa Allah SWT menginginkan
orang yang beriman berjuang secara penuh sehingga penindasan di
muka bumi ini berhenti. Dan seandaiya semua agama untuk Allah ,
mestinya tidak ada penindasan lagi dan [juga tidak akan ada]
eksploitasi manusia oleh manusia di dalam masyarakat. Merupakan
kewajiban dasar dari semua orang yang beriman untuk berjuang hingga
tujuan ilahiah ini terlaksanakan.150
Al-Qur an tidak menyukai orang yang duduk berpangku tangan
sementara orang lain teraniaya. Al-Qur an menyatakan:
Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan(membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan,maupun anak-anak yang semuanya berdo a: Ya Tuhan kami,keluarkanlah kami dari bumi ini (Mkkah) yang zalimpenduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, danberilah kami penolong dari sisi-Mu . (QS. Al-Nisa [4]: 75)
Dalam banyak hal, jihad diartikan sebagai etika kerja yang kuat
secar spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan,
kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidakalah
dimungkinkan tanpa jihad ---yaittu, tanpa keras berkesinambungan dan
tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan
kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang sakit, memberi
makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, dan
membebaskan orang dari ketertindasan, bahkan dengan resiko pribadi
yang besar, semuanya adalah bentuk jihad. Al-Qur an menggunakan
istilah jihad untuk merujuk pada tindak kerja keras untuk mewujudkan
tujuan Tuhan di muka bumi, yang mencakup semua aktivitas yang
disebut di atas. Nabi Muhammad SAW berulang-ulang mengajarkan
bahwa bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat rendah manusia
150 Asghar Ali Enginer, Selamatkan Islam ., op.cit., hlm.138
91
atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas
dan menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan
logika yang sama, berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam
perang, asalkan perang tersebut adil dan baik, juga termasuk jihad.
Logika serupa juga memberikan penekanan bahwa sepanjang tujuan
atau maksudnya baik, perjuangan untuk mencapainya adalah juga
jihad. Demikian pula, menentang penguasa yang tidak adil, tiran dan
menindas seperti kekuasaan rezim apartheid atas Afrika Selatan bisa
merupakan jihad.151
Jelaslah bahwa al-Qur an menginginkan orang yang beriman
berjuang untuk kepentingan orang-orang yang tertindas di antara
mereka, perempuan maupun anak-anak yang berharap dilepaskan dai
cengkeraman kaum penindas. Berjuang untuk kepentingan mereka ini
adalah berjuang untuk kepentingan Allah. Al-Qur an juga
mengemukakan dengan jelas bahwa seorang penindas tidak bisa
dipercaya menjadi pemimpin masyarakat, sekalipun ia memiliki garis
keturunan dari nabi. Ketika nabi Ibrahim diberitahu bahwa ia ditunjuk
sebagai pemimpin, ia pun bertanya status anak cucunya. Ia diberi tahu
dengan jelas:152
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmua imam bagiseluruh manusia . Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga)dari keturunanku. Allah berfirman: Janjiku tidak mengenaiorang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah [2]: 124}
Dalam konteks semacam inilah Esack menafsirkan konsep
jihad. Dalam pandangan Escak dan rakyat kulit berwarna jihad adalah
mengerahkan segala upaya, kekuatan fikir atau materiil secara optimal
untuk mengusir rezim apartheid yang rasis dan rasialis dari bumi
Afrika Selatan. Pola penafsiran yang terapkan Esack sangat
dipengaruhi oleh model penafsiran Fadlurrahman. Yakni dengan cara
151 Khaled Abou el-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa,Serambi, Jakarta, 2006, hlm. 265-266
152 Asghar Ali Enginer, Selamatkan Islam ., op.cit., hlm. 139-140
92
mengambil ide moral yang terkandung di dalam ayat al-Qur an dengan
cara menarik dunia teks saat ini kepada dunia di mana al-Qur an
dilahirkan pertama kali, lantas nilai tersebut diterapkan untuk
kehidupan yang seseuai dengan kondisi Afrika Selatan.
3. Konsep Islam dan Kafir
Baru-baru ini di Indonesia banyak diserang isu tentang aliran-
aliran atau sekte-sekte baru. Dalam dakwahnya mereka menyatakan
bahwa ajaran atau akidah mereka adalah yang benar sesuai dengan
kehendak Tuhan. Bahkan pimpinan mereka mengklaim ajaran yang
dibawa bersumber dari wahyu Tuhan. Terlepas dari berbagai aliran
atau sekte-sekte Islam yang muncul di Indonesia, fatwa yang
dikeluarkan oleh institusi-institusi agama seperti Majlis Ulama
Indonesia (MUI) tentang fatwa murtad dan kafir merupakan satu
bahasan yang menarik untuk dikaji.
Gugun el-Guyanie dalam kolom Wacana, Suara Merdeka
tanggal 3 Nopember 2007 memberikan komentar, agama itu jalan
suci yang sakral untuk mengabdi kepada Tuhan tanpa ada campur
tangan manusia. Sementara itu institusi agama adalah kelompok agama
yang di dalamnya ada intervensi secara provanitas dari organisasi
semacam MUI, NU, Muhammadiyyah, dan Hizbut Tahrir.
Organisasi keagamaan itu berperan sebagai penghimpun umat
beragama untuk menyembah Tuhan sekaligus bersosial, sehingga
tetap saja yang punya otoritas penuh dan hak prerogratif untuk
memberi label kafir, sesat, murtad hanya Tuhan Yang Maha Berkuasa.
Lantas apa tugas institusi agama jika otoritas secara otoritatif
dan hak-hak prerogratif semua milik Tuhan? Semua umat manusia
diberi mandat sebagai khalifatullah fi al-ardl sebagai mandataris
Tuhan di muka bumi. Mandat itu dijalankan bukan untuk saling
menyesatkan, kuasa-menguasai, kafir- mengkafirkan, melainkan
bersama-sama dan saling menghargai perbedaan, saling tolong,
93
membimbing ke jalan yang benar menuju Tuhan, menebar kemesraan,
cinta dan fantasyiru fi al-ardl, menebar jaring-jaring kehidupan di
alam semesta.153
Salah satu manifestasi (dan konsekuensi) meningkatnya
kekakuan teologi Islam adalah pembakuan istilah-istilah seperti iman,
Islam dan kufr. Istilah-istilah ini tidak lagi dipandang sebagai kualitas
yang dapat dimiliki individu; kualitas yang dinamis dan beragam
intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap hidup individu itu. Bahkan,
istilah-istilah itu kini dipandang sebagai kualitas yang tertanam dalam
kelompok, sebagai pagar karakteristik etnis. Cara istilah ini
dipergunakan di dalam al-Qur an dan beberapa literatur tafsir
menunjukkan bahwa hubungan antara pemaknaan awal dengan
penggunaannya saat ini telah agak berselisih. Meski beberapa aspek
pemaknaan kontemporer berakar dari yang awalnya, ada aspek lain
yang telah diabaikan sepenuhnya.154
Toto Raharjo dalam pengantar buku karya Emha Ainun Nadjib
yang berjudul Kafir Liberal menyatakan, bahwa yang paling berhak
memvonis, memberi label kafir terhadap umat manusia adalah yang
empunya umat manusia itu sendiri. Siapa Dia? Tiada lain dan tiada
bukan kecuali Allah SWT sendiri---itu hak sepenuhnya milik Tuhan
Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Bila engkau tidak mau disebut
menyekutukan Dia, maka jangan sekali-kali menggusur hak Dia,
kecuali kalau engkau memang berniat mau menyaingi Tuhan Alam
Semesta.155
a. Islam
Dalam satu hadisnya Rasulullah SAW memberikan satu
definisi tentang muslim, yaitu al-muslim man salima al-muslim
min lisanihi wa yadihi , orang yang orang lain selamat dari ucapan
153 Gugun el-Guyanie dalam Wacana, Suara Merdeka, 3 Nopember 2007154http: // nuhamaarif. blogspot. Com / 2006 / 07 / konsep mn islm kufr dan ahli
-kitb. html, 12 Nopember 2009, pkl 15.30155 Emha Ainun Nadjib, Kafir Liberal, Yogyakarta, Progress, cet. III, 2007, hlm 7-8
94
dan tangan atau perbuatannya. Dalam hadisnya yang lain
Rasulullah SAW memberikan definisi muslim lebih spesifik, yaitu
ma al-farqu baina muslim wa kafir al-shalah , yang membedakan
muslim dan kafir adalah shalat.
Kata Islam berasal dari bahasa Arab s-l-m (sin, lam,
mim). Artinya antara lain: damai, suci, patuh, dan taat (tidak
pernah membantah). Dalam pengertian agama, kata Islam berarti
kepatuhan mudah diterima oleh akal pikiran tetapi mampu
mengarahkan manusia menuju kearah kemuliaan dan keluhuran
dalam hidup ini.156
Dalam perspektif Ahmad Wahib, memahami Islam terbagi
dalam dua kategori secara fundamental. Pertama, Islam sebagai
nilai-nilai universal yang sifatnya mutlak-abadi, bersifat non-spatio
temporal dan islam otentik, atau dalam istilah Wahib disebut Islam
versus pembuatnya (Allah SWT). Kedua, Islam secara faktual yang
telah tereduksi oleh berbagai macam bentuk, mulai dari cara
pandang, metode dan aplikasinya secara konkrit. Bahkan dalam
faktanya, Islam yang telah teraktualisasikan secara konkrit itu
sering bergumul dengan tradisi-tradisi lokal sehingga membentuk
karakter tersendiri. Dua ranah inilah yang sebenarnya sering
mempersulit kita dalam memahami hakekat Islam itu. Padahal
kalau diamati secara seksama, keduanya merupakan konsep utuh,
ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan.
Tandas Wahib, secara esensial pada dasarnya Islam
merupakan sistem nilai yang sifatnya universal, bersifat kekal-
abadi dan tidak me-ruang dan me-waktu (non-spatio-temporal).
Sisi Islam yang satu ini sangat jauh dari jangkauan akal manusia
156 Sayyid Sabiq. Akidah Islam, Bandung: Diponegoro, 1989, hlm. 10
95
bisaa. Hanya para nabi-lah yang mampu memahaminya sebab
memang terdapat jaminan langsung dari Tuhan.157
Dua kategori yang ditawarkan Wahib pada dasarnya
merupakan representasi dari Islam normativitas dan Islam
historisitas. Islam normatif adalah sistem nilai yang sifatnya tetap,
kekal-abadi dan tidak me-ruang dan me-waktu, atau tidak
menyejarah. Sementara Islam historis adalah berbagai macam cara
pandang manusia dalam memahami Islam yang konteksnya dalam
dinamika sejarah yang terus berubah-ubah. Maka, pemahaman
Islam terus berjalan secara dinamis tanpa henti.158
Dalam Ensiklopedi al-Qur an-nya, Dawam Raharjo
menegaskan bahwa:
"perkataan Islam (Islam) adalah berbentuk mashdar,yaitu kata kerja berbentuk benda yang menujukkanaktivitas; Islam berarti sikap pasrah kepada Allah SWT.Seseorang manjadi Islam berarti dia menjadi pasrah kepadaAllah---atau lebih tegas, melakukan sesuatu yang bersifatpasrah kepada Allah. Siapakah yang lebih baik agamanyadari pada orang berserah diri kepada Allah, sedang iamengejakan amal kebaikan dan mengikuti agama Ibrahimyang murni dan Allah telah mengambil Ibrahim sebagaikawan (QS. Al-Nisa [4]: 125)."
Dawam bependapat dan sangat yakin bahwa pengertian
dasar ini menjadikan Islam bertitik temu dengan agama tradisi
Ibrahim yang lainnya, yaitu Yahudi dan Nasrani.159
Sikap pasrah kepada Tuhan sebagai unsur kemanusiaan
yang alami dan sejati, kesatuan kenabian dan ajaran para nabi
untuk semua umat dan bangsa, semua itu menjadi dasar
universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu al-Islam. Ini pula
yang mendasari adanya universalisme Islam, yang diyakini dan
157 Mu arif, Pembaruan Pemikiran Islam, Menyelami Butir-butir Pemikiran AhmadWahib, Pondok Edukasi, Jogjakarta, 2005, hlm. 111
158 Ibid., hlm. 112159 Dawam Raharjo, Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. Ihsan Ali Fauzi, dkk.
Paramadina, Jakarta, 2007, hlm 144-145
96
secara histories dan sosiologis, di samping secara teologis (termuat
dalam al-Qur an), telah menjadi nama ajaran al-Islam yang
dibawa Nabi Muhammad SAW.
Jadi, Islam memang telah menjadi nama sebuah agama,
yaitu agama Rasul Pungkasan. Namun, ia bukan sekedar nama, tapi
nama yang tumbuh karena hakikat dan iti dari ajaran agama itu,
yaitu pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Dengan begitu, maka
seorang umat Muhammad, adalah seorang Muslim par excellence,
yang pada dasarnya tanpa mengeksklusifkan yang lain, dalam
menganut agamanya itu (seharusnya) senantiasa sadar tentang apa
hakikat agamanya, yaitu al-Islam , sikap pasrah kepada Tuhan.
Karena kesadaran akan makna hakiki keagamaan itu maka Agama
Islam , juga orang muslim atau umat Islam selamanya
mempunyai impulse universalisme, yang pada urutannya
memancar dalam wawasan kulturalnya yang berwatak
kosmopolit.160
b. Kafir
Jalaluddin Rahmat atau yang bisaa disapa kang Jalal, ketika
diwawancarai oleh Ulil Abshar Abdalla berkaitan dengan tragedi
bom bunuh diri, mengatakan:
Kata kafir dan derefasinya dalam al-Qur an selaludidefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk.Dalam al-Qur an, kata kafir tidak pernah didefinisikansebagai kalangan non-muslim. Definisi kafir sebagai orangnon-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalamredaksi al-Qur an. Misalnya, disebutkan orang yang kafiradalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam al-Qur an disebutkan, imma syakuran wa imma kafuran(bersyukur atau tidak bersyukur); lain syakartumla azidannakum walain kafartum inna adzabi lasyadid(kalau engkau bersyukur, Aku akan tambah nikmatku,kalau engkau inkar (nikmat) sesungguhnya azabku amatpedih). Di sisni kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan
160 Ibid., hlm 151
97
etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadapmanusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral,bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kitaketahui.
Lanjut kang Jalal, pada hakekatnya orang yangperangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisajuga dikategorikan sebagai kafir. Saya sudahmengumpulkan ayat-ayat al-Qur an tentang konsep kafir.Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengankata pengkhianatan, dihubungkan dengan tindakkemaksiatan yang berulang-ulang, atsiman aw kafura. Kafirjuga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa,maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalaudia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat al-Baqarah misalnya disebutkan, Innalladzina kafarusawa un alaihim aandzartahum am lam tundzirhum layukminun . Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidakkamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupunagamanya Islam, kalau ndableg tidak bisa diingatkanmenurut al-Qur an disebut kafir. Nabi sendirimendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) denganorang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadisnyadisebutkan, Tidak beriman orang yang tidur kenyangsementara tetangganya lelap dalam kelaparan .161
Terminologi kafir di atas adalah merupakan terminology
baru yang dilontarkan oleh para ulama-ulama kontemporer.
Kang Jalal merupakan salah satu figur pemikir yang berhaluan
progresif seperti halnya Esack. Terminology kafir bukanlah seperti
yang bisaa dipahami oleh kebanyakan orang yakni golongan atau
orang yang meyakini akidah di luar Islam. Terminology semacam
ini tidak terdapat dalam al-Qur an. Dalam pandanagan Esack kafir
adalah orang yang berdiam diri atau menutup diri untuk tergugah
melawan ketidakadilan. Dengan bahasa lain, adalah orang yang
tidak responsive terhadap kehidupan di sekitarnya.
161 Jalaluddin Rahmat, Kafir itu Label Moral, Bukan Akidah , dalam, Ijtihad IslamLiberal, op.cit., hlm.208-209
98
C. Efektivitas Metode Tafsir Progresif Farid Esack dalam Meningkatkan
Hubungan Islam dan The Others
Fungsi agama dalam konteks individual dan sosial adalah untuk
memberikan perasaan aman dan sejahtera kepada pemeluk agama tersebut.
Semua agama diberikan kepada manusia supaya mereka dapat menjalani
hidup secara lebih baik dalam nuansa kebesaran Tuhan semesta alam,
dalam arti untuk melakukan semua ajaran atau pesan yang telah diberikan
oleh Tuhan. Maka fungsi agama juga untuk menciptakan situasi harmonis
dan saling menghormati antara anggota masyarakat beragama, guna
menghilangkan praduga-praduga atau untuk mengendalikan konflik yang
mungkin timbul dan meletakkannya pada perspektif yang tepat. Dalam
semangat yang demikian itulah Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk
manusia.
Keterbukaan, toleransi, dan menghormati agama lain merupakan
aspek penting untuk mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan yang
plural. Al-Qur an menegaskan dengan jelas, tidak ada paksaan dalam
agama (2 : 256), dan bagimu agamamu, bagiku agamaku (190 : 6). Al-
Qur an juga mengajarkan agar orang yang beriman menunjukkan rasa
hormat kepada semua Nabi (mereka semua beriman kepada Allah dan
malaikat-malaikat-Nya, dan kitab suci-Nya dan Nabi-nabi-Nya). Kami
tidak membedakannya (4: 150-151).162
Setiap agama mempunyai dasar teologisnya sendiri-sendiri untuk
mengklaim kebenaran dirinya. Namun dalam waktu yang sama, semua
agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan, bahwa hanya
Tuhan dan wahyulah yang mempunyai bobot kebenaran yang absolute.
Sedangkan manusia yang menyampaikan ajaran agama itulah yang
memberikan interpretasi. Dan karena itu, interpretasi manusia atas wahyu
menjadi kebenaran yang tidak absolute, dan tetap nisbi atau relative
seiring dnegan keterbatasannya sebagai manusia. Dengan semangat dan
162 Asghar Ali Enginer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, PustakaPelajar, Yogyakarta, cet. 1V, 2006, hlm. 54
99
sikap itu, kemudian dasar-dasar kerukunan dan keharmonisan beragama
dapat diupayakan dan diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk
seperti Afrika Selatan khususnya, dan umunya semua Negara.163
1. Menanggalkan Islam Eksklusif, Merambah Jalan Baru Islam Inklusif
Agama, selama ia merupakan suatu kepercayaan yang diyakini
dan dihayati, memiliki daya rembes yang mampu menembus dan
menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, serta mewarnainya.
Tidak ada ranah khusus yang dapat disebut sebagai ranah agama, yang
terpisah dari ranah-ranah kehidupan lainnya. Agama tidak mengenal
pembedaan antara ruang privat dan ruang public, karena agama
bukanlah sesuatu yang fungsional , yang hanya ada ketika
diperlukan, tetapi eksistensial , erat menyatu padu dengan seluruh
keberadaan dan hidup seseorang. Seorang dokter, misalnya, hanya
menjadi dokter ketika ia sedang memeriksa dan mengobati pasiennya.
Karena itu dokter adalah sesuatu yang fungsional sifatnya. Tetapi
seorang Muslim, selama ia meyakini dan menghayati ke-Islamannya,
akan tetap mengada sebagai Muslim, kapanpun dan di mana pun ada.
Muslim itu bukanlah kategori fungsional, malainkan eksistensial.164
Dalam teologi Sunni sering disebutkan bahwa dalam Islam
tidak dikenal sistem gereja, dan bahwa tak seorang pun, atau
sekelompok orang, yang menyandang otoritas Tuhan. Gambaran yang
disampaikan berulang-ulang ini merupakan salah satu bentuk
egalitarianisme Islam keterbukaan akses terhadap kebenaran Tuhan
bagi semua orang. Kaum muslimin berusaha keras untuk menemukan
kehendak Tuhan, tapi tak seorang pun berhak mengklaim memiliki
otoritas tersebut. Dalam konteks ini, sering kali dijumpai hadis-hadis
populer yang disandarkan kepada Nabi SAW yang menyatakan bahwa
semua mujtahid (seseorang yang menggunakan analisis kreatif dan
163 Muhammad Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, ed. Afif NadjihAnies, Lantabora Press, Jakarta, cet. III, 2005, hlm. 273-274
164 Trisno S. Susanto, Menyelamatkan Agama , dalam Tashwirul Afkar, Jurnal RefleksiPemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun 2002, hlm 144-145
100
penalaran rasional dalam memecahkan persoalan hukum) mendapat
pahala. Jika ijtihad seorang mujtahid ternyata benar, maka ia mendapat
dua pahala, dan jika salah, ia mendapat satu pahala. Dengan kata lain,
kita harus mencoba tanpa perlu merasa takut gagal, karena kita akan
diberi pahala atas keberhasilan maupun kegagalan kita.165 Hal ini
sangat sejalan dengan konsep kehendak bebas manusia . Dengan
potensi akal, hati dan nurani atau perasaan manusia memiliki
kebebasan untuk berkreasi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kebebasan tersebut tetap harus diiringi dengan konsekuensi atas hasil
kreatifitas masing-masing.
Kaum liberatian memiliki beberapa penjelasan bagi pendapat
mereka tentang kehendak bebas manusia sebagai berikut:
1. Manusia memiliki kehendak bebas dalam pengertian bahwa
manusia, berangkat dari kondisi awal yang sama, dapat melakukan
tindakan yang berbeda-beda.
2. Adanya agen atau pelaku yang menyebabkan sesuatu terjadi dan
agen itu bertanggung jawab atas semua tindakannya, meskipun
dirinya sendiri tidak berubah. Ia tetap bertanggung jawab atas
perubahan-perubahan yang terjadi pada orang lain akibat dari
perbuatannya.
3. Tindakan-tindakan manusia dapat menjadi bebas dan tanpa sebab.
Kalaupun tindakan-tindakan memiliki sebab, penyebabnya adalah
diri sendiri. Diri sebagai penyebab adalah sesuatu yang tak
disebabkan oleh yang lain dan tak berubah.166
165 Kholed M. Abou El- Fadl, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,terj. R. Cecep Lukman Yasin, PT searambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2004, hlm 22
166 Ketiga penjelasan tersebut memiliki alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, daripengamatan sehari-hari, dapat diketahui bahwa manusia mampu menampilkan tingkah laku dantindakan-tindakan sebagai hasil dari kesengajaan dan didasrkan pada pertimbangan pribadi.Kedua, tingkah laku dan tindakan yang ditampilkan manusia secara factual adalah kesengajaannyasendiri. Ketiga, para penganut determineisme tidak dapat membuktikan kebenaran klaim merekabahwa tindakan-tindakan manusia bukan hasil kesengajaan sendiri. Mereka tidak dapatmembuktikan bahwa kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya adalah penyebab semuatingkah laku manusia. (lebih lengkap lihat, Bagus Takwim, Kesadaran Plural: Sebuah SintetisRasional dan Kehendak Bebas, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, hlm 185-186).
101
Gagasan yang disampaikan dan terus dipertegas sebagai bagian
dari etos Islam adalah bahwa Islam menolak elitesme dan menekankan
bahwa kebenaran bisa dicapai oleh semua orang Islam tanpa
memandang ras, kelas, atau jenis kelamin. Disamping itu, setiap orang
Islam memiliki potensi untuk embawa kebenarab Tuhan. Gagsan
tentang pencapaian kebenaran yang bersifat individual dan egaliter
inilah yang melahirkann kekayaan ajaran Islam.167
Eksklusivisme merupakan sikap keagamaan yang sangat
kontras dengan pluralisme. Yaitu sikap seseorang atau sekelompok
orang yang menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar dan
membawa keselamatan adalah agamanya atau agama mereka. Bagi
seorang eksklusivis, tidak ada keselamatan di luar agama yang
dianutnya. Oleh karena itu, seorang eksklusivis cenderung berusaha
untuk memonopoli kebenaran, bersifat tertutup, tidak mau
mendengarkan dan memahami orang lain, dan cenderung bersifat
otoriter. Sika memonopoli kebenaran, pada gilirannya membuat
seorang eksklusivis merasa dirinya mempunyai hak istimewa untuk
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang sesat,
mana aliran yang benar dan mana aliran yang sesat, mana yang dapat
disebut agama dan mana yang tidak bisa disebut agama, dan bahkan
mungkin ingin menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang
masuk neraka.
Ada beberapa sebab yang menimbulkan sikap eksklusivisme
seseorang. Diantaranya, pertama, sejak kecil mendapatkan pelajaran
(baca, doktrin) untuk memegangi sifat agama yang dogmatis yang
mengajarkan bahwa agama yang dianutnya itu adalah satu-satunya
agama yang benar dan satu-satunya agama yang membawa
keselamatan. Kedua, suasana hidup dalam masyarakat yang hanya
terdiri dari satu kelompok agama atau aliran. Orang seperti ini tidak
167 Ibid, hlm 23
102
pernah bergaul dengan orang lain dari kelompok agama lain. Ketiga,
tidak pernah mengenal atau mempelajari agama lain.168
Sejarah membuktikan, konflik yang terjadi antara Islam dan
Kristen pada dasarnya berhubungan dengan doktrin-doktrin teologi
yang eksklusif. Masing-masing agama memang memiliki doktrin yang
menihilkan agama lain. Baik Islam maupun Kristen memiliki doktrin
teologis yang saling meniadakan. Masing-masing memiliki truth claim
sebagai agama yang benar dan benar-benar agama. Doktrin-doktrin
teologis yang demikian ini kemudian menjadi pagangan dalam
melakukan tindakan. Oleh karena itu, di antara umat kedua agama ini
juga berkeinginan untuk mempertahankan dan menyebarkan agama
berdasarkan truth claim tersebut.169
Sebagai fenomena sosial, agama selalu terikat dengan lokalitas
kultur yang bersifat relative dan pertikular. Bahkan pada masa awal
pertumbuhannya semua agama cenderung bersifat komunalistik.
Dalam hal ini, agama Yahudi merupakan contoh yang paling ekstrim
karena eksklusivitasnya yang dinisbatkan hanya pada bani Israel. Dari
ketiga tradisi Ibrahim, adalah Islam yang sejak awal sudah
menunjukkan cirinya yang kosmopolit baik secara demografis maupun
doktrin, sehinggma hanya dala satu abad sepeninggal Rasulullah SAW,
Islam tampil sebagai kekuatan dunia yag membentang dari wilayah
Afrika Utara, Asia Tengah, daratan Eropa dan Asia kecil. Penyebaran
Islam ini pada umumnya dilakukan dengan penuh toleran dan penuh
kemanusiaan, dan tak ada agenda untuk memaksa orang-orang non-
Islam berpindah untuk memeluk Islam.170
Al-Qur an secara eksplisit dan tegas mencela eksklusivisme
agama yang sempit sebagaimana ditunjukkan kaum Yahudi dan
Nasrani yang dijumpai Nabi Muhammad di Hijaz. Al-Qur an bersikap
168 Kautsar Azhari Noer, Pluralisme dan Solidaritas Antar Agama , dalam Harmoni;Jurnal Mulitikultural dan Multireligius, Vol. 1, No. 1, Januari-Maret, 2002, hlm. 34-36
169 Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Radikalisme dan Masa , op. cit., hlm 256170 Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi Doktrin dan
Peradaban Islam di Panggung Sejarah, Paramadina, Jakarta, 2003, hlm 5
103
keras dalam mencela arogansi tokoh keagamaan Yahudi serta
eksklusivisme tribalisme yang membuat mereka memperlakukan
orang-orang di luar kaum meraka sendiri, terutama yang lemah,
dengan sikap manghina. Penghinaan pihak lain ini, menurut al-Qur an,
berakar dari kesombongan karena merasa sebagai umat pilihan Tuhan.
Menurut al-Qur an, banyak di antara orang Yahudi dan Nasrani
percaya bahwa mereka tidaklah seperti orang-orang lain yang
diciptakan Tuhan, bahwa perjanjian mereka dengan Tuhan tellah
mengangkat status mereka di ssisi Tuhan dan bahwa mereka kini
adalah kekasih Allah satu-satunya, bukan orang lain (QS. Al-
Jumu ah [62] : 6). Al-Qur an menyatakan bahwa mereka mengklaim
posisi istimewa itu hanya dengan menyebut diri mereka sebagai
Yahudi dan Nasrani. Dengan kata lain, itu dalah klaim yang didasarkan
pada sejarah, kelahiran dan kesukuan, bukan pada praksis dan
moralitas. Menanggapi kesucian inheren ini, al-Qur an menyatakan,
Sebenarnya Allahh membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan
mereka tidak dianiaya sedikit pun (QS. Al-Nisa [4] : 49). Teks yang
sama mengaitkan pernyataan tentang pilihan Allah ini dengan
implikasi sosio-ekonominya dan mengatakan bahwa rasa memiliki
keistimewaan dalam kekuasaan Allah ini akan melahirkan keengganan
untuk membagi harta kepada oranmg lain: Adakah bagi mereka
bagian dalam kekuasaan Allah? Tanya al-Qur an, dan kemudian
menyatakan: Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit
pun (kebajikan) kepada manusia (QS. Al-Nisa [4]: 53).171
÷P r&öNçl m;Ò=ŠÅÁtRz ÏiBÅ7ù=ßJ ø9 $##]ŒÎ* sùžwtbqè? ÷sãƒ} $ ¨Z9 $##·Ž•É)tR
Al-Qur an mencela klaim sebagian Ahli Kitab bahwa
kehidupan akhirat hanyalah untuk mereka dan tidak diperuntukkan
untuk orang lain (QS. Al-Baqarah [2]: 94, 111), bahwa api neraka
171 Farid Esak, Membebaskan .. op.cit., hlm 203-204
104
hanya akan menyentuh mereka selama beberapa hari yang bisa
dihitung (QS. Ali Imran [3]: 24).172
y7Ï9ºsŒóOßgR r'Î/(#qä9$ s%s9$ oY¡¡yJ s?â‘$ ¨Y9 $#HwÎ)$YB$ ƒr&;NºyŠr߉÷è ¨B(öNèd ¡•xî ur’ ÎûOÎgÏYƒÏŠ$ ¨B
(#qçR$ Ÿ2šcrçŽtI øÿtƒÇËÍÈ
Al-Qur an mengakui secara keabsahan de jure semua agama
wahyu dalam dua hal: ia menerima keberadaan kehidupan religius
komunitas lain yang semasa dengan kaum muslim awal, menghormati
hukum-hukum, norma-norma sosial, dan praktik-paktik keagamaan
mereka; dan menerima pendangan bahwa pemeluk-pemeluk setia
agama-agama ini juga akan mendapatkan keselamatan dan bahwa
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati (QS.al-Baqarah [2]: 62). Kedua aspek sikap al-Qur an
terhadap kaum lain ini dapat dianggap sebagai dasar penerimaan
pluralisme agama.173
Sebagaimana yang dijelaskan diatas, dalam Ensiklopedi al-
Qur an-nya, Dawam Raharjo menegaskan bahwa:
"Perkataan Islam (Islam) adalah berbentuk mashdar, yaitukata kerja berbentuk benda yang menujukkan aktivitas; Islamberarti sikap pasrah kepada Allah SWT. Seseorang manjadiIslam berarti dia menjadi pasrah kepada Allah---atau lebihtegas, melakukan sesuatu yang bersifat pasrah kepada Allah.Siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang berserahdiri kepada Allah, sedang ia mengejakan amal kebaikan danmengikuti agama Ibrahim yang murni dan Allah telahmengambil Ibrahim sebagai kawan (QS. Al-Nisa [4]: 125)."
Dawam bependapat dan sangat yakin bahwa pengertian dasar
ini menjadikan Islam bertitik temu dengan agama tradisi Ibrahim yang
lainnya, yaitu Yahudi dan Nasrani.174
172 Ibid173 Ibid., hlm 205174 Dawam Rahardjo, Demi Toleransi .., op.cit., hlm 144-145
105
Agama atau sikap keagamaan yang benar (diterima Tuhan)
ialah sikap pasrah kepada Tuhan: Sesungguhnya agama bagi Allah
ialah sikap pasrah kepada-Nya (al-Islam) (QS. Ali Imran [3]: 19).
Perkataan al-Islam dalam firman ini menurut Dawam Raharjo bisa
diartikan sebagai Agama Islam seperti yang telah umum dikenal,
yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pengertian ini
tentunya benar menurut maknanya, bahwa agama Muhammad adalah
agama pasrah kepada Tuhan (Islam) par excellence. Tetapi dapat
juga---inilah permulaan paham "Islam Inklusif"---diartikan secara
lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, pasrah
kepada Tuhan , suatu semangat ajaran yang menjadi karakteristik
pokok semua agama yang benar.175
Tafsir al-Qur an yang memberi kesan Islam inklusif, ramah dan
menyejukkan dalam karya-karya tafsir sangat terkait dengan realitas
ayat-ayat al-Qur an yang sangat interpretable, pengaruh ideologi dan
kecenderungan penafsir, serta metode tafsir yang dikembangkan.
Faktor-faktor tersebut dalam keadaan tertentu kurang mendukung
produk tafsir yang inklusif, karena sifat reduksionistiknya baik pada
tataran penarikan suatu ayat pada keinginan penafsir seperti yang
terlihat dari corak tafsir yang beragam atau pada keterbatasan
kompetensi metode, seperti pada metode tafsir analitik/tahlili yang
sulit menghindarkan diri dari pengulangan pembahasan, tidak
komprehensif dan parsial.
Implikasi tafsir reduksionistik ini cukup mendasar, di samping
pengkotakan produk tafsir, juga pemunculan produk tafsir yang
eksklusif dan fundamentalistik. Eksklusifitas dan fundamentalitas
tafsir secara sosiologis bernuansa politis, wujudnya bisa berbentuk
kekhawatiran, atau lebih jauh lagi, melawan pengaruh non-Islam
seperti yang dilakukan Sayyid Qutb dalam Fi-Zilal al-Qur an, yang
mengkritik dengan tajam modernisme Barat yang dia sebut sebagai
175 Ibid., hlm 145-146
106
jahiliyyah modern. Secara antropologis, produk tafsir bisa diarahkan
untuk memenuhi dorongan penulis dalam menampilkan idealitas
Islam, seperti yang tercermin dalam tafsir Tafhim al-Qur an karya
Abul Ala Mawdudi. Persoalannya, ketika bentuk kekhawatiran,
perlawanan dan keinginan menampilkan idealitas Islam hanya
ditopang penafsiran yang tidak menyeluruh, penampakan wajah Islam
menjadi terdistorsi.176
Dalam pengantar bukunya yang berjudul Teologi Inklusif Cak
Nur, Sukidi menyatakan, dengan inklusivisme, kita ingin
menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya
kemungkinan orang lain itu benar. Ini penting sekali dalam agama kita.
Ketika dalam agama disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dalam
keadaan fitrah (suci, sacred), maka setiap orang pada adasarnya suci
dan benar. Potensi untuk benar adalah primer.
Maka rumusannya adalah manusia itu baik dan benar, sebelum
terbukti sebaliknya. Jangan di balik. Ada suatu paham yang
mengatakan bahwa manusia pada dasarnya jahat, sebelum terbukti
baik. Kristen tidak mengajarkan begitu. Manusia itu pada dasarnya
baik sebelum terbukti jahat. Oleh karena itu, dalam pergaulan sehari-
hari, harus didahulukan berbaik sangka (husnu dzon). Tidak boleh
mendahulukan berburuk sangka (su u dzon). Ini adalah inklusivisme
dalam garis yang paling besar. Inklusivisme, dengan demikian suatu
kemanusiaan universal yang dalam al-Qur an, surat al-Rum ayat 30,
disebutkan sebagai agama yang benar (hanif).177
Gagasan yang disampaikan Dawam Raharjo tentang Islam
Inklusif pada dasarnya juga pernah disampaikan oleh Imam Ibnu
Katsir dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dan al-Zamakhsyari. Inbu Katsir
misalnya dalam tafsirnya tentang merekayang pasrah (muslimun) itu
mengatakan, yang dimkasud ialah, mereka dari kalangan umat ini
176http: // www. kampusislam. com / index. php? Pilih = news&mod = yes & aksi =lihat&id = 498, 15 Nopember 2009, 15.20 WIB
177 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakarta, cet II, 2001, hlm xiii
107
yang percaya kepada semua nabi yang diutus, kepada semua kitab suci
yang diturunkan; mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan
menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan
dan dengan semua Nabi yang dibangkitkan oleh Tuhan . Sedangkan
al-Zamakhsyari memberi makna kepada perkataan muslimun sebagai
mereka yang ber-tauhid dan mengikhlaskan diri kepada-Nya , dan
mengartikan al-islam sebagai sikap me-MahaEsakan (ber-tauhid) dan
sikap pasrah diri kepada Tuhan . Dawam menegaskan, konsekuensi
dari paham Islam Inklusif, yaitu bahwa beragama tanpa sikap pasrah
kepada Tuhan ---betapapun seseorang mengaku sebagai Muslim atau
menganut Islam ---adalah tidak benar dan tidak bakal diterima oleh
Tuhan.178
Menculnya unsur kebebasan beragama dalam al-Qur an,
menunjukkan sifat inklusif yang melekat dalam Islam, untuk itu
mensyaratkan perlunya toleransi antar pemeluk agama yang berbeda-
beda. Dalam perspektif normatifitas, al-Qur an jelas sekali
mengisyaratkan bahwa tiap-tiap umat itu memiliki aturan dan jalan
yang berbeda-beda. Karena itu umat Islam harus berlapang dada
dengan adanya berbagai pendapat yang tidak sejalan dengan paham
keagamaannya. Tidak ada otoritas bagi seseorang untuk memaksakan
keyakinannya. Bahkan Allah SWT menegur Rasulullah SAW ketika
beliau berhasrat memaksa umat menerima dan mengikuti agamanya.
Membiarkan orang lain berperilaku sesuai dengan ketentuan
agamanya, diiringi dengan peningkatan diri menuju perilaku positif
(amal shalih), merupakan pilihan ideal bagi terwujudnya saling
menghargai.179
Bukti konkret yang tak diragukan kebenaranya, yang
menujukkan betapa inklusifnya Islam adalah munculnya Piagam
178 Dawam Rahardjo, Demi Toleransi ., op.cit, hlm 146-147179 Muhammad Malik, Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam (Perspektif
Nomatif dan Historis , dalam Dialog; Jurnal Studi dan Informasi Keagamaan, No. 54, Th. XXV,Desember, 2002, hlm 32
108
Madinah. Piagam Madinah ini tidak hanya menujukkan inklusifitas
Islam, akan tetapi juga telah mengangkat derajat dan status kaum
Yahudi. Berkat adanya konstitusi ini kaum Yahudi justeru terangkat
eksistensinya dari yang hanya sekedar klien kesukuan menjadi warga
Negara yang sah. Berkat kerukunan yang diupayakan kaum Muslimin
pada level pragmatic tersebut, membuat kaum Yahudi bisa
menjalankan kehidupan mereka sesuai dengan yang diajarkan Taurat.
Padahal sejak invasi Babilonia pada tahun 586 SM, umat Yahudi
hamper kehilangan identitas diri terutama terutama dalam praktik-
praktik keagamaan. Karena itu tidak mengherankan jika kebudayaan
dan peradaban Yahudi berkembang hingga mencapai titik masa
emasnya justru ketika berada di bawah pemerintahan kaum Muslimin.
Penghargaan serupa juga diberikan Islam kepada umat Nasrani,
tepatnmya setelah Fathul Makkah atau Liberalisasi Makkah pada tahun
630 M. yakni ketika utusan Kristen Najran dari Yaman menemui Nabi
di Madinah untuk meminta suaka kepada beliau.180
Piagam Madinah telah menjadi inspirasi bagi banyak kalangan
untuk membangun haronisasi dan toleransi. Dalam masyarakat yang
multikultur dan majemuk, piagam tersebut merupakan inspirasi agar
kemajemukan menjadi kekuatan. Ada beberapa makna yang dapat
diambil dari Piagam Madinah, antara lain:181
a. Komitmen untuk membangun Negara bangsa. Dalam pasal 1
ditegaskan, seluruh penduduk Madinah adalah satu umat serta
bebas dari kediktatoran dan kungkungan manusia lain. Piagam
tersebut menginspirasikan pentingnya ide persatuan dan kesatuan.
b. Komitmen pada hak asasi manusia (HAM). Dal pasal 2-10
disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan hak setiap kelompok dari
masyarakat yang berada di Madinah, terutama hak untuk
berkelompok sesuai dengan kesepakatan di internal mereka, hak
180 Ibid., hlm 36-37181 H. Achmad Taqiyuddin, Lc, MA, dkk., Antara Mekkah dan Madinah, ed.
Fathurrahman, dkk. Erlangga, Tth, hlm. 107
109
untuk menegakkan keadilan, dan hak untuk membangun
kesetaraan.
c. Kebebasan Bergama. Secara eksplisit, di dalam pasal 14
disebutkan larangan melakukan kekerasan terhadap kelompok
agama lain, termasuk mereka yang tidak beriman sekalipun. Di
samping itu, dalam pasal 15 disebutkan pentingnya membangun
toleransi dan harmonisasi dengan pemeluk agama lain.
d. Komitmen kewarganegaraan dan kesetaraan. Dalam pasal 16-44
disebutkan pentingnya membangun kesetaraan dan kebersamaan
antara sesame warga, serta memberikan perlindungan terhadap
seluruh kelompok.
e. Politik perdamaian. Dalam pasal 45-47 ditekankan pentingnya
perdamaian dijadikan pilihan untuk menyelesaikan berbagai
perpecahan dan persengketaan. Sebab, perdamaian dapat
menghindari berbagai kesalahan yang disebabkan oleh konflik,
termasuk di dalamnya korban yang berjatuhan.
Kemudian fakta sejarah juga membuktikan hal ini. Umar
meneruskan tradisi inklusifitas Islam dalam piagam Madinah dalam
sikapnya terhadap penduduk Yerussalem dalam dokumen yang dikenal
dengan Piagam Aelia . Selain itu, pengalaman dalam sejarah Islam
yang dicatat dengan penuh penghargaan adalah berkenaan dengan
peristiwa pembebasan Spanyol oleh umat Islam di bawah
kepemimipinan Thariq bin Ziad pada tahun 711 H. Pembebasan yang
berhasil dilakukan itu mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah
berlangsung satu abad lebih, dan kemudian selama paling tidak 500
tahun kaum muslim menciptakan tatanan sosial politik yang
kosmopolit, terbuka dan toleran.182
Seperti kebanyakan penggagas Islam Inklusif menegaskan,
Islam adalah agama penengah, umatnya adalah wasith, yaitu orang
182 M. Irfan Riyadi, M. Ag dan Basuki, M. Ag, Membangun Inklusivisme FahamKeagamaan, STAIN Ponorogo Press, 2009, hlm. 31
110
yang berdiri di tengah, bisa memberi penilaian secara adil. Menjadi
agama panengah yang menegakkan keadilan membuat Islam menjadi
agama yang dinamis, yang dilambangkan dengan jihad di satu segi,
tetapi sekaligus kelembutan dalam kedamaian di segi lain. Dalam
Islam keduanya tidak dapat dipisahkan. Kita berjihad untuk
mewujudkan kedamaian; teapi kita juga harus menempuh kedamaian
untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi, khususnya dalam
mewujudkan keberadaan kita di dunia ini, supaya menjadi saksi atas
segenap bangsa.183
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid (yang lebih akrab
dengan panggilan; Gus Dur), watak kreatif dari kosmopolitanisme
Islam itu sekarang mulai hilang. Karena itu, mantan RI 1 ke-4 ini,
mengusulkan perlunya dibuat semacam agenda baru yang mampu
mengatasi keadaan kaum muslim dewasa ini. Menurutnya kaum
muslim kini sudah menjadi kelompok berpandangan sempit dan
sangat eksklusif, sehingga tak mampu lagi mengambil bagian dalam
peradaban manusia yang muncul di masa pasca industri . Dengan ini
Gus Dur mengharapkan agar umat Islam tidak terjebak dalam tawaran
idealisme aspek-aspek Islam sebagai alternative . Sebab tawaran
seperti ini menurutnya, hanya akan membuat idealisasi Islam jatuh
sama dengan usaha formalisasi Islam yang menghasilkan bangunan
normative Islam yang eksklusif dan picik .184
Sikap pasrah kepada Tuhan sebagai unsur kemanusiaan yang
alami dan sejati, kesatuan kenabian dan ajaran para nabi untuk semua
umat dan bangsa, semua itu menjadi dasar universalisme ajaran yang
benar dan tulus, yaitu al-Islam. Ini pula yang mendasari adanya
universalisme Islam, yang diyakini dan secara histories dan sosiologis,
di samping secara teologis (termuat dalam al-Qur an), telah menjadi
nama ajaran al-Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
183 Muhammad Malik, Pluralisme Agama ., op.cit., hlm 148184 M. Syafi i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 234
111
Jadi, Islam memang telah menjadi nama sebuah agama, yaitu
agama Rasul Pungkasan. Namun, ia bukan sekedar nama, tapi nama
yang tumbuh karena hakikat dan inti dari ajaran agama itu, yaitu
pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Dengan begitu, maka seorang umat
Muhammad, adalah seorang Muslim par excellence, yang pada
dasarnya tanpa mengeksklusifkan yang lain, dalam menganut
agamanya itu (seharusnya) senantiasa sadar tentang apa hakikat
agamanya, yaitu al-Islam , sikap pasrah kepada Tuhan. Karena
kesadaran akan makna hakiki keagamaan itu maka Agama Islam ,
juga orang muslim atau umat Islam selamanya mempunyai
impulse universalisme, yang pada urutannya memancar dalam
wawasan kulturalnya yang berwatak kosmopolit.185 Di samping itu
Islam ---sebagai agama---atau muslim, memiliki peranan dan tanggung
jawab dalam pemeliharaan solidaritas sosial.186 Untuk itu dalam
konteks Afrika Selatan, Islam dalam pandanagan Esack dikemas ulang
menjadi Islam yang solider, empati, toleran, dan yang terpenting
adalah Islam yang berhaluan progresif , hal ini tidak hanya terbatas
pada internal muslim namun juga terhadap kalangan di luar muslim.
2. Karakteristik Metode Tafsir Progresif
Sebagaimana diketahui bahwa setiap mufassir dengan latar
balakang individu masing-masing, entah dari latar belakang keluarga,
pendidikan, atau sosio-kultur daerah tempat tinggalnya menjadikan
hasil dari penafsiran satu dengan yang lainnya cenderung berbeda
meskipun barmula dari teks yang sama, yakni al-Qur an. Hal ini
terbukti dengan tidak henti-hentinya lahir berbagai macam produk
tafsir dengan masing-masing metode yang berbeda pula.
Meminjam ilustrasi dari Abdullah Darras, yang mengatakan
bahwa al-Qur an bagaikan mutiara dengan sudut-sudutnya yang
185 Dawam Rahardjo,Demi Toleransi ., op.cit., hlm 151186 William A. Haviland, Anthropology .., op.cit., hlm 215
112
memancarkan sinar keindahan yang setiap orang dengan orang yang
lainnya akan melihat sinar-sinar tersebut dengan intensitas yag
berbeda. Ini terbukti dengan tidak habis-habisnya kajian al-Qur an
dilihat dari berbagai segi, entah sastra, bahasa, pendidikan, IPTEK,
sosial ataupun teologi. Demikian juga dengan Esack. Ia memiliki gaya
tersendiri dalam berinteraksi dengan al-Qur an. Ia melihat kemilau
sinar al-Qur an dengan kaca mata sosio-kultur Afrika Selatan yang
berda dalam kungkungan kekuasaan rezim apartheid. Untuk itu metode
Esack juga memiliki karakter tersendiri meskipun dipengaruhi oleh
mufassir-mufassir terdahulu. Di bawah ini adalah karakter yang
menjadikan kekhasan metode Esack.
a. Plural-Progresif
Metode tafsir yang diusung oleh Farid Esack memiliki
karakter progresif. Artinya, dengan setting keadaan Afrika Selatan
yang barada dalam penindasan rezim apartheid yang rasis dan
rasialis, Esack mencoba menghadirkan satu interpretasi agama
(baca, al-Qur an) yang dapat membangkitkan semangat solidaritas
sesama kaum tertindas untuk mengenyahkan para penindas dari
bumi mereka.
Yang menarik disini adalah solidaritas yang mereka usung
berangkat dari ketidaksamaan keyakinan di antara mereka
(pluralitas agama). Justeru ini adalah yang menjadikan tantangan
bagi Esack untuk bagaimana merumuskan satu teologi yang dapat
menyatukan mereka dalam menghadapi rezim apartheid. Perlu
digaris bawahi, menyatukan mereka bukan berarti
mancampuradukkan keyakinan atau saling bertukar keyakinan.
Mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan masing-masing,
akan tetapi mereka disatukan oleh back ground yang sama yakni
senasib dalam penindasan rezim apartheid.
113
b. Praksis
Dalam buku Membebaskan yang Tertindas Esack
mengakui tertarik dengan pemikiran Gus Dur dan Cak Nur. Bagi
Esack, mereka berdua adalah pemikir yang mandiri yang mencoba
keluar dari kungkungan doktrin-doktrin agama yang klasik yang
bersifat literel, eksklusif dan konservatif. Mereka mencoba
menkontekstualisasikan Islam (baca, Al-Qur an) dengan situasi
dan kondisi dimana al-Qur an itu berada sehingga terwujudlah
Islam yang kontekstual, inklusif dan liberatif. Ini sejalan dengan
misi al-Qur an yang rahmatan lil alamin.
Meskipun Esack mengaku tertarik dengan Gus Dur dan
Cak Nur akan tetapi, Esack tidak menerima gagasan mereka
tentang Islam inklusif dengan apa adanya. Dalam pandanag Esack,
Islam inklusif yang ditawarkan Cak Nur senantiasa berhenti pada
gagasan dan ide yang tidak berkelanjutan pada praksis. Untuk itu,
Esack menawarkan pluralisme agama yang ia lahirkan dari metode
tafsir progresif. Esack berpendapat pluralism agama lebih tepat
karena dalam pluralism agama ini, bukan hanya ide dan gagasan
akan tetapi praksis sekecil apapun dituntut dari setiap elemen
manusia.
Konsep iman dewasa ini juga menuntut adanya praksis.
Iman seseorang tidak diangap sempurna ketika iman yang ia miliki
tidak malahirkan praksis dalam bentuk perbuatan yang riel. Hal ini
tidak lain merupakan konsekuensi atas pengakuan iman dari setiap
individu. Rasulullah SAW dalam hadisnya, banyak sekali
menujukkan keterkaitan antara iman dan praksis sosial (amal
shalih) sebagai bukti dari keimanan seseorang. Bahkan banyak
juga ayat-ayat al-Qur an atau ritual-ritual ibadah yang prospeknya
adalah tuntutan (taklif) pengabdian kepada sesame, sebagi wujud
implementasi dari konsep khalifatullah fi al-ardl.
114
c. Inklusif
Berangkat dari back ground Afrika Selatan yang majemuk
namun berada dalam penindasan tunggal, yakni rezim apartheid
menjadikan Esack berfikir untuk menanggalkan eksklusifitas
individu. Artinya, dalam upaya mengusir penindas setiap individu
harus menomorduakan klaim-klaim kebenaran (truth claim)
masing-masing. Untuk itu Esack merumuskan term-term agama
yang bersifat teologis yang sangat sensitif terhadap agama lain,
seperti konsep Islam, kafir, dan jihad untuk meumbuhkan
solidaritas di antara mereka.
Kemajemukan atau pluralitas adalah merupakan fitrah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk itu, biarkan perbedaan itu ada dan
tumbuh, namun yang terpenting adalah romantisme atau persatuan
dalam perbedaan. Karena hal itu tidak tidak akan berarti apa-apa
tanpa perbedaan. Yang terpenting adalah berlomba-lomba
mewujudkan perdamaian serta kebaikan di muka bumi ini (fastabiq
al-khairat).
Terlepas dari kekhasan yang dimiliki metode tafsir progresif
Esack di atas, sebagaimana metode-metode tafsir yang lain metode ini
juga memiliki kelemahan. Dalam penilaian penulis metode yang
ditawarkan Esack hanya bersifat temporal. Artinya, metode ini hanya
dapat diaplikasikan ketika seorang mufassir berada dalam situasi dan
kondisi yang sama dengan kondisi Afrika Selatan.
115
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menyajikan data dari pikiran-pikiran Farid Esack yang
berkaitan dengan metode tafsir progresifnya dan selanjutnya penulis
melakukan analisis terhadap data-data tersebut melalui penyajian data-data
dari pemikir-pemikir lain yang memiliki interpretasi yang sejalan dengan
interpretasi Esack sebagai perbandingan, maka akhirnya dari data-data
keseluruhan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Qur an dalam pandangan Esack merupakan kitab suci yang bervisi
progresif. Untuk itu, untuk membuktikan progresifitas al-Qur an yang
selalu hidup sepanjang zaman (rahmatan li al- alamin), maka
membumikan al-Qur an sesuai dengan konteks niscaya harus selalu
dilakukan. Esack menfokuskan interpretasinya terhadap ayat-ayat al-
Qur an yang berkitan dengan konsep-konsep teologi seperti konsep Islam,
kafir, jihad dan kaum mustadl afin. Dalam melakukan interpretasi Esack
menggunakan gaya dialogue imaginer yang ia rumuskan dalam metode
tafsir progresif. Melalui metode ini interpretasi terhadap konsep-konsep
teologis yang diangggap final oleh mayoritas ulama konservatif di Afrika
Selatan yang terkesan eklsklusif berubah menjadi konsep yang lebih
inklusif dan terbuka. Karena dalam pandangan Esack dengan reinterpretasi
terhadap konsep-konsep tersebut solidaritas dan persatuan rakyat Afrika
Selatan dapat diwujudkan.
2. Esack, dalam mengaplikasikan metode tafsirnya terhadap ayat-ayat al-
Qur an, mula-mula mengumpulkan ayat-ayat al-Qur an yang setema
(Maudlu iy), kemudian memahami arti dasar kata yang dituju, dan
selanjutnya melakukan kontektualitas makna ayat melalui dialogue
imaginer terhadap sosio-historis dimana ayat tersebut turun. Dengan kata
lain Esack melakukan interpretasi ayat al-Qur an dengan ayat al-Qur an
116
yang lain yang setema. Untuk itu, metode tafsir progresif Farid Esack
termasuk dalam kategori metode Maudluiy dan bi al-Riwayat.
3. Metode tafsir progresif yang digagas Esack memiliki peran yang sangat
urgen bagi rakyat Afrika Selatan dalam mengenyahkan penindasan rezim
Apartheid. Dengan interpretasi baru yang bersifat inklusif dan liberatif
terhadap konsep lama yang bersifat eksklusif, konservatif, dan literatif
Escak menampilkan wajah Islam yang baru yakni Islam Afrika Selatan
yang inklusif dan liberatif. Konsep Islam inklusif yang digagas Esack ini
membuka pandangan the others tentang anggapan Islam eksklusif.
Sehingga dengan ini persatuan dan semangat solidaritas rakyat Afrika
Selatan yang nota bene merupakan rakyat yang mejemuk ---yang pada
dasarnya memiliki truth claim sendiri-sendiri--- dapat diwujudkan di bumi
Afrika Selatan.
B. Saran-saran
Dalam rangka mewujudkan peran manusia di muka bumi yakni
khalifatullah fi al-ardl, maka penulis akan sedikit memberikan saran-saran
kepada beberapa pihak, terutama kalangan akademisi. Apa yang kami
paparkan dalam saran-sarn kali ini tidak lain adalah bersumber dari hasil
telaah penulis selama mengkaji Metode Tafsir Progresif Farid Esack dan
memahami berbagai hasil interpretasi ulang Esack terhadap konsep-konsep
yang telah mapan di sekitar kita, seperti konsep Islam, iman, kafir dan jihad
serta mustadl afin. Adapun saran-saran yang penulis sampaikan adalah dalam
rangka untuk memberikan masukan yang positif demi persatuan dan kemajuan
pemikiran umat Islam dimasa sekarang dan mendatang.
Saran-saran yang perlu penulis disampaikan adalah sebagai berikut:
a. Kajian al-Qur an dan ilmu-ilmu di dalamnya hatus terus mendapatkan
perhatian dari berbagai kalangan terutama kaum intelektual akademis.
Karena ilmu tersebut merupakan sesuatu yang akan menopang bagi
pemahaman umat Islam dalam menyelami keluasan kandungan kitab suci
al-Qur an, bahkan bisa perlu diusahakan untuk menemukan sesuattu yang
117
baru lagi yang bisa dimasukkan menjadi bagian dari ilmu-ilmu al-Qur an.
Dengan demikian kemajuan di bidang ilmu-ilmu al-Qur an akan lebih
memperluas kajian al-Qur an yang tak akan lekang oleh waktu (shalihun fi
kulli zaman wa makan).
b. Latar belakang negara Indonesia yang majemuk dan pluralitas agama
berkembang subur, maka sikap toleransi dan solidaritas antar sesama atau
pun dengan pemeluk agama lain sangat dibutuhkan. Untuk itu, demi
mewujudkan perdamaian dan keharmonisan berbangsa dan bernegara
hendaknya pemahaman agama yang eksklusif, konservatif dan literal
haruslah tidak dinomorsatukan. Karena pluralitas merupakan fitrah Allah
SWT yang tidak terelakkan maka, sikap-sikap tersebut menjadi kunci
pokok untuk mewujudkan perdamaian dan keharmonisan.
c. Esack dalam pandangan penulis merupakan satu contoh pemikir yang
berani mendobrak kemapanan kaum konservatif Afrika Selatan. Untuk itu,
secra khusus kajian ini dapat memberikan pelajaran bagi pemikir-pemikir
saat ini dan ke depan untuk dapat berpikir kritis, liberatif dan responsif
terhadap perkembangan kondisi sosial disekitar kita. Karena sesuai
pemahaman umum, setiap masa akan melahirkan pahlawan nya masing-
masing. Untuk itu, kita jangan merasa terkungkung oleh hasil pemikiran
pemikir-pemikir klasik, karena pada dasarnya setiap pemikiran hanya akan
hidup pada zamannya.
d. Khusus bagi kawan-kawan akademis dan sahabat-sahabat yang bergelut di
dunia al-Qur an khususnya, dan umumnya untuk semua kalangan, saya
berpesan teruslah bersemangat dalam melakukan kajian-kajian al-Qur an
karena ibarat gunung es di tengah lautan, puncak gunung yang kelihatan
indah dan mempesona belum seberapa jika dihubungkan dengan kaki
gunung yang bedara di dasar laut, atau pun penelitian-penelitian lain
terhadap warisan intelektual dan sekaligus kajian terhadap kreasi
pemikiran tokoh kontemporer. Degan begitu maka keilmuan Islam akan
tetap hidup dan bersemi selamanya. Sehingga pada akhirnya, rahmantan li
alamin akan benar-benar terwujud di mika bumi.
118
C. Penutup
Demikian sekilas kajian terhadap pemikiran Farid Esack mengenai
Metode Tafsir Progresif yang mencoba dilihat dengan pendekatan analisis.
Segala puji dan syukur hanya kami panjatkan kepada Allah SWT, seraya
berucap alhamdulillahi rabbi al- alamin atas semua nikmat dan karunia-Nya
yang dilimpahkan kepada penulis, hingga akhirnya penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tugas dan tanggung jawab penulis untuk
menyelesaikan Program Studi Strata I pun telah berakhir seiring dengan
selesainya penulisan skripsi ini.
Demikian juga shalawat dan salam penulis haturkan kepada Rasulullah
SAW yang telah membimbing umatnya melalui hadis-hadis beliau. Semua
kita semua diakui dan menjadi golongan dari umat Rasulullah SAW yang
senantiasa berada dalam millati Rasulillah SAW hingga akhir hayat kita.
Tiada kata yang patut diucapkan, selain ucappan terima kasih yang
tiada tara kepada semua phak yang telah banyak berpartisipasi dalam
penyelesaian skripsi ini, terutama bapak-ibu, adik-adikku, keluarga dan semua
sahabatku. Semoga Allah merahmati dan mencintai kalian semua.
Sebagai insan yang lemah, penulis sadar dengan apa yang telah penulis
lakukan, bahwa sudah pasti skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukkan yang konstruktif
sangat penulis nantikan demi perbaikan karya ini.
Akhir dari harapan penulis adalah semoga karya yang hadir ini,
menjadi diskursus yang kelak di kemudian hari mampu memberi sedikit
wawasan kepada pihak yang membutuhkannya. Sehingga, semoga penulis
termasuk dari apa yang disabdakan Rasulullah SAW; khoirunnas anfa uhum
linnas. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-showab
119
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Absor, Pasar Raya Tafsir dan Perahu Nuh , penyunting. Abd.Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, Upaya merumuskanKeberagamaan yang Dinamis, Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2005
Al-Andalusy, Ibnu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Juz 1
Al-Bukhori, Muhammad ibn Ismail,Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, jilid 1
Al-Ghozali, Syaikh Muhammad, Berdialog dengan Al-Qur an, terj. MasykurHakim dan Ubaidillah, Cet. 3, Mizan, Bandung, 1997
Al-Hut, Abu Abdullah Muhammad ibn Darwis, Asna al-Mathalib, Beirut, Dar al-Fikr
Al-Rumy, Nahd ibn Abdurrahman ibn Sulaiman, Buhuts fi Ushul al-Tafsir wamanahijihi, al-Taubah, Riyad, 1413 H
Al-Shidqy, Tengku Muhammad Hasbie, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur andan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. III, 2000
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur an, Juz I
Anwar, M. Syafi'i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian PolitikTentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Paramadina, Jakarta, 1995
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Tendekatan Praktis, BinaAksara,Jakarta, 1989
Arraiyyah, M. Hamdar, Tinjaun Buku; Orang Melayu di Cape Town:Memelihara Identitas Kultural , dalam Harmoni, Jurnal Multikultural danMultireligius, volume V, No. 18, April Juni 2006
Bakker, Anton, dan Ahmad Haris Zubair, Metode Penelitian Filsafat, Kanisius,Yogyakarta, 1994
Dasuki, Hafidz, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, BalaiPustaka, Cet. III, 1990
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, edisi III,Balai Pustaka, Jakarta, 2005
120
El- Fadl ,Kholed M. Abou, Atas Nama Tuhan dari Fikih Otoriter ke FikihOtoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin, PT searambi Ilmu Semesta,Jakarta, 2004
_______________________, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. HelmiMustofa, Serambi, Jakarta, 2006, hlm. 265-266
Enginer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. 1V, 2006
___________________, Islam dam Pembebasan, terj. Hairus Salim dan ImamBaihaqi, LKiS, Yogyakarta, cet. II, 2007
Esack, Farid , Membebaskan yang Tertindas, Al-Qur an Liberalisme, Pluralisme,terj. Watung A. Budiman, Mizan, Bandung, 2000
_________, On Bieng A Muslim, Menjadi Muslim di Dunia Modern, terj. DadiDarmadi dan Jajang Jahroni, Erlangga, Jakarta, 2004.
__________, Samudera Al-Qur'an, terj. Nuril Hidayah, Diva Press, Jogjakarta,2007
Fadlullah, Muhammad Husain, al-Islam wa Mantiq al-Quwwah, terj. AfifMuhammad dan H. Abdul Adhiem, Islam Logika Kekuatan, Mizan,Bandung, 1995
Fatkhurrahman, Wiwit Rizka, Melintas Batas Identitas Komunal, Jalan MenujuPluralisme Agama dalam Runtuhnya Negara Tuhan , ed. TediKholiduddin, INSIDE, Semarang, 2005
Fauroni, R. Lukman, Etika Bisnis dalam Al-Qur'an, Pustaka Pesantren,Yogyakarta, 2006
Ghazali, Abdul Moqsith, Hermeneutika Pembebasan: Menghidupkan Al-Qur andari Kematian dalam Ulumuna, Jurnal Studi Islam dan Masyarakat,STAIN Mataram, Vol. VIII, Edisi. XIII, No. I, Januari-Juni, 2004
Gugun el-Guyanie dalam Wacana, Suara Merdeka, 3 Nopember 2007
Hadi, Sutrisno , Metodologi Reasearch, Jilid I, Audi Offiet, Yogyakarta, 1990
Harmoni, Jurnal Multikultural dan Multireligius, volume V, No. 18, April Juni2006
Hasan, Muhammad Thalhah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, ed. AfifNadjih Anies, Lantabora Press, Jakarta, cet. III, 2005
121
Havilan, William A,. ANTHROPOLOGY , terj. R.G. Soekadijo, jilid II, edisi IV,PT. Gelora Akasara, Surakarta, cet. II, 1993
Hidayat, Amin F. dan H.G. Abdur Rasyid, Ensiklopedi Negara-negara di Dunia,Pustaka Grafika, Bandung, 2006
Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi Doktrin dan PeradabanIslam di Panggung Sejarah, Paramadina, Jakarta, 2003
http : //attanzil.wordpress.com / 2008 / 07 / 20 / sejarah perkembangan tafsir /
http : // duniaonline. dikti. net / kerjasama antar umat beragama dalam alqur 'an % E2 % 80 % 99an perspektif hermeneutika farid esack /
http : // elsam. minihub. Org / kkr / afsel. html
http : // islamlib.Com/id/artikel/raison detre hermeneutika pembebasan-al-quran/
http : // islamlib.Com/id/artikel/raison detre -hermeneutika-pembebasan-al-quran/
http : // www. freelist. Org / post / ppi / ppiindia Islam Progresif Manifesto -Keadilan Pembebasan dan - Kesetaraan
http : // www. hamline. Edu / apakabar / basisdata / 2001 / 03 / 23 / 0033. html
http: // id. answers. yahoo. com / question / index ? qid =20080730005515AAZXpEj
http: // www. freelist. Org / post / ppi / ppiindia - Islam Progresif Manifesto -Keadilan Pembebasan - dan-Kesetaraan
http: // www. kabarindonesia. com / beritaprint. php ? id = 20080719005746
http: // www. kampusislam. com / index. php? Pilih = news&mod = yes & aksi =lihat&id = 498
http://www.mail-archive.com / [email protected]/msg00372.html
http: // www. replubika. co. id / berita / 34422 / Syekh _ Yusuf _ Tonggak _ Islam_ di _ Afrika _ Selatan, By Replublika Newsroom, Kamis, 26 Februari2009 pukul 21.00
http://202.155.15.208/berita/48111/Farish_Ahmad_Noor_Islam_Progresif_tidak_Menyimpang_dari_Islam
http://denologis.blogspot.com/2008/07/maulana-farid-esack-sang-pembebas-yang-tertindas. html
http://denologis.multiply.com/journal/item/25, Jul 1, '08 10:21 AM
122
http://denologis.multiply.com/journal/item/25, Jul 1, '08 10:21 AM, hlm 1-2
http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/, dimuat pada 26Februari 2006
http://khamma.wordpress.com/2009/01/10/sekilas-tentang-farid-esack/
http://khamma.wordpress.com/2009/01/10/sekilas-tentang-farid-esack/,
http://laskarkopi2.blogspot.com/2009/04/hermeneutika-farid-esack.html, Selasa,28 April 2009 by Zaenal Abidin Fauzi
http://nuhamaarif.blogspot.com/2006/07/konsep-mn-islm-kufr-dan-ahli-kitb.html
http://shapareaude.blogspot.com/
http://shapareaude.blogspot.com/
http://wangmuba.com/2009/02/26/stratifikasi-sosial/
http://www.cakrabuananews.com/detail_berita.php?id=907
Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Teras, Yogyakarta, 2004
Jurnal Theologia. Vol. 17, nomor 2, Juli 2006
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, ed. A.E. Priyono, Mizan,Jakarta, cet. III, 1991
Malik, Muhammad, Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam (PerspektifNomatif dan Historis) dalam Dialog; Jurnal Studi dan InformasiKeagamaan, No. 54, Th. XXV, Desember, 2002
Motoatmodjo, Soekidjo, Metodologi Penelitan Kesehatan, Rineka Cipta,Jakarata, cet. III, 2005
Mu arif, Pembaruan Pemikiran Islam, Menyelami Butir-butir Pemikiran AhmadWahib, Pondok Edukasi, Jogjakarta, 2005
Mulkhan, Abdul Munir, Kesalehan Multikultural Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global, ed. Muhammad Nafis Rahman SF,PSAP, Jakarta, 2005
Munir, Ghozali, Pemikiran Iman al-Asy ary dan Saleh Darat (StudiKomparatif) , disampaikan dalam diskusi Fakultas Ushuluddin, tgl. 1Nopember 2007
Musthofifin, Arif, Akal dan Hegemoni Suara Tuhan ; Dialektika Akal danWahyu dalam Fikih dan Teologi , dalam Justisia, Jurnal Pemikiran
123
Keagamaan dan Kebudayaan, Melawan Hegemoni Wahyu: UpayaMeneguhkan Otoritas Akal, edisi 27 Th XII 2005
Nadjib, Emha Ainun, Kafir Liberal, Yogyakarta, Progress, cet. III, 2007
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Cet. IX, 2008
Ndraha, Taliziduhu, Recearch, Teori, Metodologi Administrasi, Bina Aksara,Jakarta, 1981,
Noer, Kautsar Azhari, Pluralisme dan Solidaritas Antar Agama dalam Harmoni;Jurnal Mulitikultural dan Multireligius, Vol. 1, No. 1, Januari-Maret, 2002
Permono, Syaichul Hadi ,Ilmu Tafsir Al-Qur an, Bina Ilmu, Surabaya, 1975, hlm.76-77.
Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Rahardjo, M. Dawam, Islam dan Tranformasi Budaya, ed. H.M. Sonhadji danAsep Gunawan, Dna Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002
Raharjo, Dawam, Demi Toleransi Demi Pluralisme, ed. Ihsan Ali Fauzi, dkk.Paramadina, Jakarta, 2007
_______________, Refleksi Sosiologi al-Qur an, penyunting, Ahmad Rifa iHasan dan Amrullah Ahmad, Yogyakarta, PLP2M, 1987
Rahmat, Jalaluddin, Kafir itu Label Moral, Bukan Akidah dalam, Ijtihad IslamLiberal, Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2005
Ridwan, M., Kamus Ilmiah Populer, Puataka Indonesia, Jakarta
Ridwan, Nur Kholik, Detik-detik Pembongkaran Agama; Memopulerkan AgamaKebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan, ed. Sirsaeba Alafsana,CV. Arruz Book Gallery, Jogjakarta, 2003
Riyadi, Hendar, Tafsir Emansipatoris Arah Baru Studi Tafsir al-Qur an, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2005
Riyadi, M. Irfan dan Basuki, Membangun Inklusivisme Faham Keagamaan,STAIN Ponorogo Press, 2009
Sahrodi, Jamali, Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Historis Kajian Islamala Sarjana Orientalis, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008
124
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur an dalam Kesarjanaan Klasik danKontemporer (Telaah atas Elemen Humaniora dalam Kajian Al-Qur an)dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 4 No. 2 Juli 2004
Setiyawan, Lilik Hidayat, Kamus Fisika Bergambar, PT. Pakar Raya, Bandung,2004
Shahrur, Muhammad, Prinsip dan dasar Hermeneutika al-Quir an Kontemporer,terj. Sahirun Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, eLSAQ Press,Yogyakarta, 2004
Shihab, Quraisy, Ensiklopedi Islam: Kajian Kosa kata, Lentera Hati, Jakarta,2007
Shihab, Quraisy, Wawasan Al-Qur an, Tafsir Maudlu i atas Berbagai PersoalanUmat, Mizan, Bandung, 1996
Shihab, Umar, Kontektualitas Al-Qur an, Pena Madani, Jakarta, Cet. III, 2005
Singarimbun, Masri ,dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Surrvei, LP3ES,Jakarta, 1982
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakarta, cet II, 2001
Susanto, Trisno S., Menyelamatkan Agama dalam Tashwirul Afkar, JurnalRefleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 13 Tahun2002
Syam, Nur, Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-agama:Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama dalam Dialektika Islam denganProblem Kontemporer, ed. Prof. Dr. H. M. Ridwan Nasir. MA, IAIN Pressdan LKiS, 2006
Takwim, Bagus, Kesadaran Plural: Sebuah Sintetis Rasional dan KehendakBebas, Jalasutra, Yogyakarta, 2005
Taqiyuddin, Achmad, Lc, MA, dkk., Antara Mekkah dan Madinah, ed.Fathurrahman, dkk. Erlangga, Tth,
Umar, Nasaruddin, Argumen Jender Perspektif AL-Qur'an, Paramadina, Jakarta,cet. II, 2001
Zaid, Nasr Hamid Abu, Teks Otoritas Kebenaran, LKiS, Yogyakarta, 2003
Zuriah, Nurul, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Bumi Aksara,Jakarta, cet. II, 2007
125
BIODATA PENULIS
Nama : Miftahul Arif
Nomor Induk Mahasiswa : 054211009
Jurusan : Tafsir dan Hadits (TH)
TTL : Demak, 09 September 1987
Alamat Asal : Tawengan, Rt: 04,
Rw: 04 Ds./Kel. Dombo,
Kec. Sayung, Kab.
Demak, Jawa Tengah
Pendidikan Formal :
1. SDN Dombo I, Dombo Sayung Demak
2. MTs Tajul Ulum, Brabo, Tanggung Harjo, Grobogan
3. MAK Tajul Ulum, Barabo, Tanggung Harjo, Grobogan
4. IAIN Walisongo Semarang Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits
(TH).
Pendidikan Non Formal :Ø Madrasah Diniyah Raudlatul Athfal, Bulusari, Sayung, Demak (1993-
1999)
Ø Pon-Pes Bustanul Arifin, Ngetuk, Tanggung Harjo, Grobogan (1999-
2005)
Yang menyatakan,
MIFTAHUL ARIF