farkol p3
TRANSCRIPT
ANALGETIK
Percobaan 3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri adalah perasan sensoris dan emosional yang tidak enak dan
berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Nyeri dapat diakibatkan oleh
berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsanagn mekanis (benturan,
tusukan, dan lain-lain), kimiawi (oleh zat-zat kimia). Dan fisika (panas, listrik,
dan lain-lain) sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan-
rangsangan terebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut dengan
mediator nyeri seperti biadikinin dan prostglandin. Reseptor-reseptor nyeri
tersebut kemudian mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf perifer dan
diteruskan ke otak melalui sum-sum tulang belakang dan thalamus ( Ernest,
1999).
Penggunaan obat analgetik mampu meringankan atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan anti
radang ]. Oleh karena itu obat ini tidak hanya digunakan sebagai anti nyeri
melainkan juga pada gangguan demam dan peradangan seperti rematik dan encok.
Obat analgetik banyak digunakan pada nyeri kepada, gigi, otot, perut, nyeri haid,
nyeri akibat benturan dan kecelakaan (Katzhung, 1998).
B. Tujuan Percobaan
Mengenal, mempraktekan dan membandingkan daya analgetik, Na-
diklofenak, parasetamol dan asetosal menggunakan metode rangsang kimia.
C. Dasar teori
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa njyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan
anastetika umum) (Tjay,2007). Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional
yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan keadaan
psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit
(kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi
rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang
toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah
konstan, yakni pada 44-450C (Tjay, 2007).
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri
dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang
terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah
konstan (Tjay, 2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang
adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang
otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis kimiawai atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan
zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri
diujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan
disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat
banyak sinaps via sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah.
Dari thalamus implus kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
implus dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok
besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk
kelompok ini.
b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fractura dan kanker.
(Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok,
yakni :
a. Parasetamol
b. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. Derivat-pirazolan :propifenazon, isopropilaminofenazon, dan
f. Metamizol
g. Lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat
bahaya ditambah reaksi organism ini terhadap stimulus. Sifat analgesic opiate
berhubungan dengan kesanggupannya merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien
terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan menunjukan bahwa analgesic
narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi nyeri tetapi
efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien. Bila
ada analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh
pasien, tetapi nyeri yang sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan sensorik
destruktif atau yang satu-satunya dirasakan saat itu (Katzung, 1986).
Analgetik narkotik, kini disebut juga opioida (mirip opioat) adalah obat-
obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi
dari reseptor-reseptor oipoid (biasanya µreseptor) (Tjay, 2007).
Efek utama analgesic opioid dengan afinitas untuk µ terjadi pada susunan
saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euphoria, sedasi, dan depresi
pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat tinggi bagi
semua efek (Katzung, 1986).
II. ALAT DAN BAHAN
Alat – alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Spuit injeksi (0,1 – 1
ml), Jarum sonde / ujung tumpul / membulat, beaker glass (1 – 2 liter), stop
watch, timbangan tikus, neraca analitik, alat – alat gelas.
Semua perhitungan
Hewan coba (tikus)
Kelompok 1 sebagai kontrol
Larutan steril asam asetat 1%
pengamatan
HASIL
Bahan – bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah Aquabidest,
Parasetamol 1 % dalam aquabidest, Asetosal 1 % dalam aquabidest, Natrium
diklofenak, Larutan steril asam asetat 1 %, hewan coba (tikus).
III. CARA KERJA
Dihitung dosis konversi, larutan stok, jumlah obat yang harus diambil
Ditimbang bobot badan tikus
Diberi akuabides secara peroral
Diberikan ke hewan uji setelah 5 menit setelah diberi larutan dan suspense uji secara intra peritoneal
Diamati geliatnya tiap 5 menit selama 1 jam
Dicatat
Dibandingkan
IV. HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN
Hasil percobaan
% Daya Analgetika = 100% - (PK x100%)
Dengan : P= jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgetika
K = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi larutan kontrol
No. Obat ∑ geliat badan
% DA
1. Kontrol (P.O) 33 -
2. Parasetamol (P.O) 30100% - (
3033 x100%) = 10 %
3. Asetosal (P.O) 4100% - (
433 x100%) = 86,68 %
4. Na. Diklofenak 35100% - (
3533 x100%) = -6,06%
Perhitungan
1. Kontrol
Bobot tikus : 150 gram
1) Aquadest
Volume Pemberian : Bobot tikus
100 gr x
12
x vol. Pemberian P.O
: 150 gr100 gr
x 12
x 5 = 3,75 ml
2) Asam Asetat (10%)
Pengenceran : 10 % = 10
100 =
110
= 0,110
= 0,01 ml asam asetat di add
sampai 10 ml
Volume pemberian : Bobot tikus
100 gr x
12
x vol. Pemberian P.O
: 150 gr100 gr
x 12
x 5 = 3,75 ml
2. Parasetamol
1) Perhitungan dosis
Dik : dosis untuk manusia : 500 mg/kg BB
BB tikus : 110 gr
Berat tablet : 510 mg
Faktor konversi : 0,018
Volume maks. Pemberian p.o : 5 ml
Dosis konversi = 500 x 0,018 = 9 mg/ 200 BB tikus
Berat tablet yang diambil
9
5 x 2 = 0,9 mg/ml 9 ml/ 10 ml
= 9
500 x 510 = 9,18 mg (berat yang diambil)
Volume maksimum pemberian
= 110100
x ½ x 5 = 2,75 ml
2) Pengenceran asam asetat
V1 . M1 = V2 . M2
V1 . 10 = 25 . 1
V1 = 25/10 = 2,5 ml
2,5 ml asam asetat 10% di add sampai 25 ml dengan NaCl
3) Daya analgetik
% Daya analgetik = 100 - ( PK
x 100 )
= 100 - ( 3033
x 100 ) = 100 – 90
= 10 %
3. Asetosal
Dosis Asetosal untuk manusia adalah 500 mg
Dosis konversi = faktor konversi x dosis manusia
= 0.018 x 500
= 9 mg / 200 gr BB tikus
Konversi larutan stok = dosis konversi : (2 x Volume max.)
= 9 : (2 x 5)= 9 : 10
= 0.9 mg/ ml= 9 mg / 10 ml
Konsentrasi serbuk diambil = dosis konversi / dosis manusia x berat tablet
= 9 / 500 x 60.88= 1.1 mg = 0.011 g
Jadi serbuk yang diambil sebanyak 0.011 g kemudian diencerkan dalam labu ukur add sampai 10 ml
Volume yang diberikan = BB tikus / 100 x ½ x volume max
= 150/100 x ½ x 5= 3.75 ml
1. Asam asetat 1 %: diberikan secara intraperitonialDosis untuk manusia = 500 mgKonsentrasi yang di ambil = V1 x M1 = V2 x M1
= V1 x 10%= 10 ml x 1%= V1 = 1 ml
4. Na- DiklofenakDosis natrium diklofenak pada manusia = 50 mg / Kg BB manusiaKekuatan sediaan tablet natrium diklofenak = 50 mg / tabletBerat sediaan tablet natrium diklofenak = 0,2278 gramBB tikus = 140 gram
Perhitungan:
Natrium Diklofenak
Dosis Konversi = factor konversi x dosis manusia
= 0,018 x 50 mg = 0,9 mg / 200 gr BB tikus
Larutan Stok = 0,9 mg2 x 5 ml
= 0,09 mg/ml = 0,9 mg/10 ml
Membuat Larutan Stok = 0,9 mg50 mg
x 0,2278 gram
= 0,0041004 gram
Volume Pemberian = 140 gram100 gram
x 12
x5ml
= 3,5 ml Asan Asetat
Membuat larutan stok :
V1 x M1 = V2 x M2V1 x 10% = 10 x 1%
V1 = 1 ml
Volume pemberian = 140 gram100 gram
x 12
x5 ml
= 3,5 ml
% Daya Analgetik = 100 – ( PK
x100)
natrium diklofenak = 100 – ( 3533
x 100 )
= 100 – 106,06= - 6,06 %
V. PEMBAHASAN
Monografi bahan
Paracetamol
Rumus molekul : C8H9NO2
Nama kimia : 4-hidroksiasetanilida [103-90-2]
Berat molekul : 151,16
Kandungan : Tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2
dihitung terhadap zat anhidrat.
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol ( 95% ) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali hidroksida.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Khasiat & Kegunaan : Analgetikum ; Antipiretikum.
(Anonim, 1979).
Asetosal
Rumus Molekul : C9O8H4
Berat molekul :180,15
Pemerian asetosal : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa asam.
Kelarutan : agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P; larut dalam kloroform P, dan dalam eter P
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
Khasiat & Kegunaan : Keratolitikum, Antifungi
(Anonim, 1979).
Na Diklofenak
Rumus molekul : C14H10Cl2NNaO2
Berat molekul : 318,13
Sinonim :-asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]- monosodium -sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat
Pemerian : serbuk hablur, berwarna putih, tidak berasa
Kelarutan : Sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform dan eter; bebas larutdalam alkohol metil. pH larutan 1% b/v dalam air adalahantara 7.0 dan 8.
(Sweetman, 2009)
Mekanisme tiap obat
Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid
(NSAIDs)merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, dan beberapa obat
memilikiperbedaan secara kimia.Namun, obat-obat NSAID mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi dan efek sampingnya. Prototipe obat golongan ini
adalah aspirin,sehingga sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like
drugs) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik UI, 2007)
Efek terapi dan efek samping dari obat golongan NSAIDs sebagian besar
tergantung dari penghambatan biosintesis prostaglandin. AINS secara selektif
dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh ketika
demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin (PG)
yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer
(vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh. Efek
analgetik timbul karena mempengaruhi baik di hipotalamus atau ditempat cedera.
Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat
aktif seperti brandikinin ,PG dan histamin. PG dan Brandikinin menstimulasi
ujung saraf perifer dengan membawa implus nyeri ke SSP. AINS dapat
menghambat sintesis PG dan brandikinin sehingga menghambat terjadinya
perangsangan reseptor nyeri.Obat-obat yangbanyak digunakan sebagai analgetik
dan antipiretik adalah golongan salisilatdanasetaminofen (parasetamol). Aspirin
adalah penghambat sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat. Antipiretik
yang banyak digunakan dan dianjurkanadalah parasetamol, ibuprofen, dan aspirin
(asetosal).
Namun, obat golongan NSAIDs secara umum tidak menghambat
biosintesis leukotrien yang berperan dalam peradangan. Golongan obat NSAIDs
bekerja dengan menghambat enzim siklo-oksigenase, sehingga dapat mengganggu
perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Enzim siklooksigenase terdiri
dari dua iso-enzim yaitu COX-1 dan COX-2. Kedua iso-from itu dikode oleh gen
yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik.
Sebagian besar COX-1 terdapat diberbagai jaringan, antara lain khususnya
ginjal, saluran cerna dan trombosit. Zat ini berperan pada pemeliharaan perfusi
ginjal, homeostatis vaskuler, dan melindungi lambung dengan cara membentuk
bikarbonat dan lendir, serta menghambat produksi asam. COX-2 dalam keadaan
normal tidak terdapat dijaringan tetapi dibentuk oleh sel-sel radang selama proses
peradangan; kadarnya dalam sel meningkat sampai 80 kali. Menurur perkiraan
penghambat COX-2-lah yang menberikan NSAIDs efek antiradangnya
Penghambat COX-2 adalah NSAIDs yang secara selektif menghambat
enzim COX-2 serta prostaglandin PgE2.Penghambat COX-1 menghindari
pembentukan prostasiklin (PgI2) yang berdaya melindungi mukosa lambung dan
ginjal, sehingga demikian bertanggung jawab untuk efek samping iritasi lambung-
usus serta nefrotoksisitas. Atas dasar perbedaan ini telah dikembangkan NSAIDs
selektif, yang terutama menghambat COX-2 dan kurang atau tidak mempengaruhi
COX-1, sehingga PgI2 tetap dibentuk dan irutasi lambung-usus dihindari.
Setiap AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda,
sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi mempunyai sifat yang
serupa. Klasifikasinya ialah berdasarkan selektifitasnya terhadap siklooksigenase.
Setiap obat menghambat enzimsiklo-oksigenase dengan cara yang berbeda, seperti
halnya parasetamol, asetosal dan Na-Diklofenak.
Parasetamol dapat menghambat biosintesis prostaglandin apabila
lingkungannya mempunyai kadar peroksida yang rendah seperti di hipotalamus,
sehingga parasetamol mempunyai efek anti-inflamasi yang rendah karena lokasi
peradangan biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh
leukosit. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis prostaglandin (PG) yang
lemah. (Mahar Mardjono 1971)
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang
ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin
(Aris 2009)
Aspirin dapat menghambat biosintesis prostaglandin dengan carameng
asetilasi gugus aktif serin 530 dari enzim siklo-oksigenase COX-1. Thrombosit
sangat rentanterhadap penghambatan enzim siklo-oksigenase karena thrombosit
tidak mampumengadakan regenerasi enzim siklo-oksigenase.
Na-diklofenak memiliki selektivitas penghambatan COX, termasuk kelompok
preferenital COX-2 inhibitor.
Onset dan durasi
Parasetamol memiliki waktu durasi selama Kadar maksimum dalam
plasma di capai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian.Waktu
paruh akhir diklofenak dalam plasma sekitar 1-3 jam, diklofenak diakumulasikan
dicairan sinovial yang menjelaskan efek terapi disendi jauh lebih panjang dari
waktu paruh obat tersebut. Asetosal mulai efek analgeis dan antipiretisnya cepat,
yakni setelah 30 menit dan bertahan 3-6 jam.
Uji daya analgetik
Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas analgesik antara lain :
1. Menggunakan metoda geliat
Obat Uji dinilai kemampuannya Dalam, menekan atau menghilangkan rasa
Nyeri Yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial)
FUNDS hewan Percobaan mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
Termanifestasi Nyeri akibat pemberian perangsang Nyeri asam asetat
intraperitonium Akan menimbulkan Refleks respon geliat (menggeliat) Yang
berupa tarikan kesemek Ke Belakang, penarikan Dilaporkan perut (retraksi) Dan
kejang tetani Artikel Baru membengkokkan Kepala Dan kesemek Belakang.
Menggunakan metoda inisial dikenal sebagai menggeliat Reflex Uji atau Uji
Penyempitan perut (Wuryaningsih, 1996). Frekuensi Gerakan Suami Dalam,
waktu tertentu menyatakan derajat Nyeri Yang dirasakannya (Kelompok Kerja
Phytomedica, 1993). Menggunakan metoda inisial tidak hanya Sederhana Dan
dapat dipercaya tetapi JUGA memberikan evaluasi terhadap Yang cepat jenis
analgesik perifer (Gupta et al., 2003).
2. Menggunakan metoda Listrik
Menggunakan metoda inisial menggunakan Aliran Listrik sebagai
penginduksi Nyeri (Vohora Dan Dandiya, 1992). Sebagai respon terhadap Nyeri,
HEWAN Akan menunjukkan Gerakan atau cicitan. Arus Listrik dapat
ditingkatkan Sesuai Artikel Baru kekuatan analgesik Yang diberikan.
Menggunakan metoda inisial dapat dilakukan terhadap Kera, Anjing, kucing,
kelinci, tikus Dan mencit (Manihuruk, 2000).
3. Menggunakan metoda Panas
Tiga menggunakan metoda Yang Bisa digunakan untuk memberikan
rangsangan panas :
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas airpanas yang
dipertahankan FUNDS suhu 60 ± 1oC.
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui
kawat Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora Dan Dandiya, 1992).
c. Hot plate menggunakan metoda inisial cocok untuk evaluasi
analgesik sentral (Gupta et al., 2003). FUNDS menggunakan
metoda inisial hewan percaobaan diletakkan Dalam, beaker glass di
Atas plat pana (56 ± 1oC) sebagai stimulus Nyeri. Pada Hewan
Percobaan Akan memberikan respon terhadap Nyeri Artikel Baru
menggunakan atau menjilat kesemek DEPAN. Peningkatan waktu
reaksi yaitu waktu pemberian stimulus antara nyeri dan terjadinya
respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas
analgesik (Adeyemi, 2001).
4. Menggunakan metoda Mekanik
Menggunakan metoda inisial menggunakan tekanan sebagai penginduksi
Nyeri. Tekanan diberikan FUNDS ekor atau kesemek HEWAN Percobaan.
Pengamatan dilakukan terhadap tekanan Number Yang diperlukan untuk
menimbulkan Nyeri sebelum Dan sesudah diberi Obat. Menggunakan metoda
inisial dapat dilakukan terhadap Anjing, tikus, mencit Dan (Manihuruk, 2000).
Mekanisme terjadinya nyeri
Nyeri sebenarnya adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh untuk
melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan di tubuh.
Dari nyeri ini tubuh akan melakukan tindakan yang diperlukan selanjutnya.
Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan(mekanik, termal
atau Kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap jaringan
tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat
nyeri di korteks otak. Setelah di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke
perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami) (Wibowo, 2001).
Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai
faktor dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh
mekanik seperti tekanan, tusukan jarum, irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu,
Rata-rata manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45
C, dimana mulai pada suhu tersebut jaringan akan mengalami
kerusakan
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan
membebaskan zat yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan
reseptor nyeri antaralain: bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan
prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang paling berperan dalam
menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang
berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim proteolitik, Zat
P dan ion K+ (ion K positif ) (Katzhung, 2010).
Proses Terjadinya Nyeri
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut
Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30
m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2
µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik (Katzhung, 2010).
Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan
menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut
C menghantarkan "nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa
pegal dan perasaan tidak enak (Katzhung, 2010).
Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada
neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui
traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari
sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak (Katzhung, 2010).
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria antara lain :
a.. Klasifikasi nyeri berdasarkan waktu, dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis
- Nyeri Akut adalah Nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan terjadinya singkat
contoh nyeri trauma
- Nyeri Kronis adalah nyeri yang terjadi atau dialami sudah lama contoh kanker
b.Klasifikasi nyeri berdasarkan Tempat terjadinya nyeri
- Nyeri Somatik adalah Nyeri yang dirasakan hanya pada tempat terjadinya
kerusakan atau gangguan, bersifat tajam, mudah dilihat dan mudah ditangani,
contoh Nyeri karena tertusuk
- Nyeri Visceral adalah nyeri yang terkait kerusakan organ dalam, contoh nyeri
karena trauma di hati atau paru-paru.
- Nyeri Reperred : nyeri yang dirasakan jauh dari lokasi nyeri, contoh nyeri
angina.
c..Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Persepsi Nyeri
- Nyeri Nosiseptis adalah Nyeri yang kerusakan jaringannya jelas
- Nyeri neuropatik adalah nyeri yang kerusakan jaringan tidak jelas. contohnya
Nyeri yang diakitbatkan oleh kelainan pada susunan saraf (Jeanne, 2005).
Cara kerja dan fungsi perlakuan
Percobaan menggunakan metode witkins yang ditujukan untuk melihat
respon tikus terhadap asam asetat yang dapat menimbulkan respon menggeliat
dari tikus ketika menahan nyeri pada perut. Langkah pertama yang dilakukan
adalah pemberian secara peroral obat-obat analgetik pada tikus II, tikus III, dan
tikus IV, dan juga aquabidest pada tikus I sebagai control. Setelah 5 menit semua
mencit disuntik secara interaperitonial dengan larutan induksi asam asetat 1%
pemberian dilakukan secara Interaperitonial karena untuk mencegah penguraian
asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan larutan
asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui
rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak
tahan terhadap pengaruh asam.
Larutan asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat
yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk
meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian. Setelah diberikan larutan
asam asetat 1% tikus akan menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki
ditarik kebelakang. Jumlah geliat tikus dihitung setiap 5 menit selama 60 menit
setelah itu kemudian hitung daya analgetiknya. Pengamatan yang dilakukan agak
rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh
rasa nyeri dari obat atau karena tikus merasa kesakitan akibat penyuntikan
interaperitonial perut tikus.
Hasil vs literatur
Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa yang menimbulkan banyak
geliatnya adalah hewan coba berupa tikus dengan diberi Na- Diklofenak, lalu
tikus yang diberi parasetamol dan yang terakhir adalah tikus yang diberi asetosal
dengan jumlah geliat badan secara urut 35, 30, dan 4. Hasil tersebut dapat
dihitung presentase daya analgetiknya. Untuk parasetamol menghasilkan 10%,
untuk asetosal menghasilkan 86,68 % dan untuk Na- Diklofenak -6,06%.
Pada praktikum kali ini obat-obat analgetik yang diperbandingkan adalah
obat-obat analgetik golongan non narkotik/ perifer yaitu, Asetosal, Parasetamol
dan Natrium Diklofenak. Kelompok kontrol yang digunakan pada percobaan ini
adalah aquadest ,sehingga hewan percobaan hanya diberikan aquadest pada awal
percobaan dan penginduksi asam asetat pada 5 menit setelah pemberian aquadest
tanpa pemberian sedian analgesik. Asam asetat merupakan asam lemah yang tidak
terkonjugasi dalam tubuh, pemberian sediaan asam asetat terhadap hewan
percobaan akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin meyebabkan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin
dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti
bradikinin dan histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Akibat dari adanya rasa nyeri inilah hewan percobaan akan menggeliatkan kaki
belakangnya saat efek dari penginduksi ini bekerja. Pemberian sediaan asam
asetat pada peritonial atau selaput gastro intestinal hewan memungkinkan sediaan
lebih mudah diabsorbsi oleh tubuh dan cepat memberikan efek.
Dari hasil pengamatan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada mencit
yang diberi asetosal memiliki daya analgetik kuat dari golongan analgetik non-
narkotika ini. Karena pada tabel hasil pengamatan menunjukan jumlah geliat yang
ditunjukan mencit sedikit dari pada mencit lain yang diberikan parasetamol dan
natrium diklofenak. Karena disini asetosal menghambat biosintesis prostaglandin
yang menstimulasi SSP, sehingga dapat menghambat terjadinya perangsangan
reseptor nyeri. Prostaglandin akan dilepaskan oleh sel yang mengalami kerusakan.
Pembentukan prostaglandin dihambat dengan menghambat enzim siklooksigenase
yang bertugas mengubah asam arachidonat menjadi endoperoksida (PGG2/PGH).
PGH akan memproduksi prostaglandin, sehingga secara tidak langsung obat
analgesik menghambat pembentukan prostaglandin. Prostaglandin berperan pada
nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi dan menyebabkan
sensitivitas reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi.
Asetosal merupakan sediaan yang efektif terhadap nyeri dengan intensitas
rendah sampai sedang misalnya pada sakit kepala, mialgia, atralgia dan nyeri
lainyang berasal dari inegumen, sediaan ini juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitandengan inflamasi. Efek analgetikanya jauh lebih lemah daripada efek
analgetika opiat tetapi sediaan ini tidak menimbulkan ketagihan efek samping
sentral yang merugikan. Asetosal bekerja dengan mengubah persepsi modalitas
sensorik nyeri, tanpa mempengaruhi sensorik lain. Pemberian asetosal dalam
kelompok ini juga akan menunjukkan efek analgesik setelah diberi penginduksi
asam asetat. Sedangkan pada kelompok mencit yang diberi parasetamol, terlihat
jumlah geliat yang ditunjukan mencit cukup sedikit dibandingkan dengan kontrol.
Karena Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin (PG)
yangmenstimulasi SSP. Efek analgetik timbul karena mempengaruhi baik di
hipotalamusatau ditempat cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa
inflamasi, udem,serta pelepasan zat aktif seperti brandikinin, PG dan histamin. PG
dan Brandikinin menstimulasi ujung saraf perifer dengan membawa implus nyeri
ke SSP. Parasetamol dapat menghambat sintesis PG dan brandikinin sehingga
menghambat terjadinya perangsangan reseptor nyeri. Karena mempunyai
mekanisme kerja menghambat berbagai reaksi in-vitro.
Untuk natrium deklofenak menghasilkan presentase daya analgetik
dibawah 1% yaitu -6,06%. Hal ini mengakibatkan bahwa pada praktikum kali ini
bahwa diklofenak adalah yang paling sedikit efeknya. Dikarenakan seharusnya
pada praktikum kali ini daya analgesic yang paling kuat dimiliki oleh Natrium
Diklofenak, lalu asetosal dan yan terakhir parasetamol, hal ini dapat dilihat dari
plasma yang terikat. Natrium diklofenak mengadsorpi obat melalui saluran cerna
berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan
mengalami efek metabolisme lintas pertama (first pass effect) sebesar 40 – 50 %
(Anonim, 2011).
Untuk asetosal, setelah diabsorpsi, salisilat segera menyebar keseluruh
jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan synovial,
cairan spinal, cairan peritoneal, liur dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar
darah otak dan sawr uri. Kira-kira 80% samapai 90% salisilat plama terikat
(Anonim, 2011)
Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Dalam
plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma (Anonim, 2011)
Golongan obat analgetik
Obat analgetik atau bahasa simpelnya adalah obat penghilang atau
setidaknya mengurangi rasa nyeri pada tubuh. Obat ini terbagi pada dua kategori
besar, yakni obat analgetik narkotik dan obat analgetik non-narkotik (Katzung,
2010).
Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetik dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu :
1. Analgetik perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral
2. Analgetik narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fractura dan kanker
(Sujatno,2008).
Penggunaan analgetik perifer mampu meringankan atau menghilangkan
rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran; juga tidak
menimbulkan ketagihan. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali
digunakan, karena terjadi efek polensiasi (Tjay, 2002).
A. Analgetika Perifer (non-narkotik)
Obat-obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak
mempengaruhi sistem saraf pusat, tidak menurunkan kesadaran atau
mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja
antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut
juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat
pengatur kalor di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (dikulit)
dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai dengan keluarnya banyak
keringat (Katzung, 1998).
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan
lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal dan juga reaksi-reaksi
alergi kulit. Efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada
dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus
menerus (Katzung, 1998).
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi.
Beberapa golongan analgetik non-narkotik antara lain sebagai berikut.
1. Turunan Anilin dan Para-aminofenol. Contoh : asetaminofen (analgetik
dan antipiretik)
2. Turunan 5-pirazolon. Contoh : metamizol (analgetik dan antipiretik)
3. Turunan Asam Salisilat. Contoh : asetosal (analgetik, antipiretik,
antiradang)
4. Turunan 5-pirazolidindion. Contoh : fenilbutazon (analgetik dan
antiradang)
5. Turunan Asam N-arilantranilat. Contoh : asam mefenamat (analgetik dan
antiradang)
6. Turunan Asam Arilasetat. Contoh : ibuprofen dan diklofenak (analgetik,
antipiretik, antiradang)
7. Turunan Oksikam. Contoh : piroksikam (analgetik, antipiretik, antiradang
B. Analgetika Narkotik
Merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik lain. Golongan
obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang
hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis ini menimbulkan ketergantungan pada si
pemakai (Anonim, 1995).
Analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di
kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan
transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi
Berdasarkan struktur kimianya, analgetik narkotik dibagi menjadi 4
kelompok :
1. Turunan morfin
Contoh : morfin, kodein, dan heroin. Kodein memiliki efek analgetik yang
lebih rendah daripada morfin, namun mempunyai efek antibatuk yang
kuat, dan tidak menyebabkan kecanduan. Sedangkan heroin memiliki efek
analgetik dan euphoria yang lebih tinggi daripada morfin, sehingga sering
disalahgunakan. Heroin meyebabkan kecanduan dan digolongkan ke
dalam obat terlarang.
2. Turunan Meperidin
Contoh : petidin dan loperamid. Petidin mempunyai efek analgetik antara
morfin dan kodein, sering digunakan untuk pengobatan kecanduan morfin
karena mempunyai efek analgetik seperti morfin namun tidak
menyebabkan ketergantungan. Sedangkan loperamid mempunyai efek
langsung terhadap otot longitudinal dan sirkular usus, sehingga digunakan
sebagai konstipan pada kasus diare akut dan kronis.
3. Turunan Metadon
Contoh : metadon. Metadon mempunyai aktivitas analgetik 2 kali morfin
dan 10 kali petidin. Seperti petidin, metadon sering digunakan untuk
pengobatan kecanduan morfin karena mempunyai efek analgetik seperti
morfin namun tidak menyebabkan ketergantungan.
4. Turunan lain - lain
Contoh : tramadol. Tramadol merupakan analgetik kuat dengan aktivitas
0,1 – 0,2 kali morfin. Meskipun efeknya melalui reseptor opiat, tramadol
tidak menyebabkan depresi pernapasan.
Hasil yang didapat diuji dengan melihat jumlah geliat yang terjadi,
kemudian didapat hasil yang berbeda dari yang seharusnya. Data praktikum kali
ini dianggap menyimpang karena seharusnya hasil yang didapat sedikit
menyimpang dari literatur. Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor,
antara lain faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat
yang disuntikan tidak tepat. Dapat juga dikarenakan faktor fisiologis dari mencit,
mengingat hewan percobaan ini telah mengalami beberapa kali percobaan
sehingga dapat terjadi kemungkinan hewan percobaan yang stress dan juga
kelelahan karena mengingat mencit sebelumnya telah dipuasakan terlebih dahulu.
Penyimpangan pengambilan data juga dapat terjadi karena pengamatan praktikan
yang kurang seksama sehingga ada data geliat mencit yang mungkin terlewat
tidak diamati. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi hasil dan perhitungan yang
dibuat.
VI. KESIMPULAN
1. Analgetika adalah zat yang mengurangi atau menhalau rasa nyeri
tanpa menhilangkan kesadaran.
2. Analgetika dibagi menjadi 2 golongan, yaitu Analgetik perifer
(non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral dan Analgetik narkotik, khusus
digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura
dan kanker
3. Hasil praktikum menunjukkan bahwa daya analgetik parasetamol
dibandingkan daya analgetik asetosal lebih tinggi sedangkan
dibandingkan Na- Diklofenak lebih rendah
4. Daya analgesic yang paling kuat dimiliki oleh Natrium Diklofenak,
lalu asetosal dan yan terakhir parasetamol
DAFTAR PUSTAKA
Adeyemi. 2001. Efek analgesik dan anti-inflamasi yang berair Ekstrak Daun
Persea americana Mill. (Lauraceae). Italia: J. Fitoterapia, 73, Elsevier,
Indena, hal. 375-377.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta,
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI
Ernest. 1999, Dinamika Obat , Bandung: ITB
Grupta, M, UK Mazumder, RS Kumar Dan TS Kumar. 2003. Studi Propertis
Anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik Mehanol Ekstrak daun
Caesalpinia bonducella dalam Model Hewan Eksperimen , Iran J.
Farmakologi ddan therapeutik. Calcutta, India : Razi Lembaga Penelitian
Obat.
Jeanne. E. Utami M.F.S, Wijoyo,Y, 2005. Efek Analgetik dan antiinflamasi B
Karoten Pada Mencit. Yogyakarta : UGM Press
Kathzung, G Betram. 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta:
EGC
Katzung, B. G., 1998, farmakologi dasar dan klinik edisi vi, EGC, Jakarta,
Katzung, B. G., 2010, farmakologi dasar dan klinik edisi x, EGC, Jakarta,
Katzung, Betram G. 1986. Farmakologi dasar dan Klinik. Salemba Medika.
Jakarta.
Kelompok Kerja Phyto Medica . 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian
Fitikimia Dan Pengujian Klinis . Jakarta. Yayasan Phytomedica. Hal 3-6.
Mahar Mardjono dan Priguna shidarta. 1971. Buku peladjaran neurologi dasar. Jakarta dian rakjat.Manihuruk,E. Skripsi : Aktivitas Analgesik Daun Dewa (Gynura procumbens
(Lour) Merr Dan Gynura pseudochina (L) DC). FUNDS Mencit Artikel
Baru menggunakan Metode Geliat. Jatinangor : Jurusan Farmasi, FMIPA,
Universitas Padjajaran, hal 18.
Sujatno, H. R. M., 1998, Tinjauan Farmakologi Obat Analgesik Narkotik dan
Analgesik Non Narkotik serta Kombinasinya untuk Rasa Nyeri. Majalah
Kedokteran Indonesia, Vol 8 nomor 3.
Sweetman, S.C. (2009). Martindale 36 The Complete Drug Reference. London:
The Pharmaceutical Press.
Tjay Tan Hoan dan K. Rahardjo. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia. Jakarta.
Tjay, Tan Hoan, Rahardja Kirana, 2002, Obat-obat Penting Khasiat dan
Penggunaannya Edisi 5, Elex Media Komputindo, Jakarta.
Vohora, SB dan PC Dandiya. 1992. Herbal Obat Analgesik. Italia : J.Fitoterapia,
Castilla (3), Elseviar, Indena. p. 202
Wibowo, Sanekto, Abdul Gafir, 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi. Jakarta :
Jakarta Medika
Wuryaningsih, LE, MA Rarome, T. Windono.1996. Uji Ekstrak Etanol Analgesik
Kering Rimpang Kencur Asal Purwodadi FUNDS Mencit Artikel Baru
menggunakan Metode Geliat (Menggeliat Uji Refleks), 3. Warta
Tumbuhan Obat Indinesia. Hal. 24-25.
LAMPIRAN
TUGAS
1. Ada berapa macam analgetika ?, jelaskan beserta contohnya
Jawab:
Analgetik dibagi menjadi 2:
1) Analgetik Opioid
Analgetik Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan
atau menghilangkan rasa nyeri seperti pada fraktura atau kanker. Semua
analgetik opioid menimbulkan adiksi atau kecanduan, contoh : Morfin,
metadon, kodein, lidokain
2) Analgetik perifer / analgetik non narkotik
Analgetik perifer merupakan kelompok obat yang tidak bersifat narkotik
dan tidak bekerja sentral. Penggunaan obat ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa terpengaruh pada sistem
susunan saraf atau bahkan hingga menurunkan tingkat kesadaran. Obat ini
juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna contoh : asetosal,
parasetamol, ibuprofen, asam mefenamat.
2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetia? Jelaskan dan berikan
contohnya
Jawab: Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme
fisiologis tubuh terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua
tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja
diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas
enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi.
Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati
reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan
pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan aseton? Mengapa
memberikan hasil yang berbeda ?
Jawab:
Asetosal bekerja dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Prostaglandin sendiri adalah suatu senyawa dalam tubuh yang
merupakan mediator nyeri dan radang/inflamasi. Ia terbentuk dari asam
arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase
(COX). Dengan penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak
terbentuk, dan nyeri atau radang pun reda.
Prostaglandin juga merupakan senyawa yang mengganggu pengaturan suhu tubuh
oleh hipotalamus sehingga menyebabkan demam. Hipotalamus sendiri merupakan
bagian dari otak depan kita yang berfungsi sebagai semacam “termostat
tubuh”, di mana di sana terdapat reseptor suhu yang disebut termoreseptor.
Termoreseptor ini menjaga tubuh agar memiliki suhu normal, yaitu 36,5 – 37,5
derajat Celcius.
Pada keadaan tubuh sakit karena infeksi atau cedera sehingga timbul radang,
dilepaskanlah prostaglandin tadi sebagai hasil metabolisme asam arakidonat.
Prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus, di mana
hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal).
Adanya peningkatan titik patokan ini disebabkan karena termostat tadi
menganggap bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya
terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk
menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh di
atas normal karena memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan
oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam. Karena itu, untuk bisa
mengembalikan setting termostat menuju normal lagi, perlu menghilangkan
prostaglandin tadi dengan obat-obat yang bisa menghambat sintesis prostaglandin.
Parasetamol adalah derivate p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik di sebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat
menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat
lemah hingga tidak digunakan sebagai anti rematik. Pada penggunaan per oral
parasetamol di serap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam
plasma di capai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian.
Parsetamol dieksekresikan melalui ginjal, kurang dari 5 % tanpa mengalami
perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
Mendapatkan hasil yang beda karena sasaran yang dihambat oleh kedua obat
tersebut berbeda. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklo-
oksigenase perifer inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan
atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
4. Bagaimana proses terjadinya rasa nyeri ?
Jawab :
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat
kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik kemudian
ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf tidak bermielin C
ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus, dan korteks serebri. Impuls listrik
tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas nyeri
setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan disusun saraf pusat.
Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat berupa rangsangan mekanik,
suhu (panas atau dingin) dan agen kimiawi yang dilepaskan karena
trauma/inflamasi. Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf
untuk mengubah berbagai stimuli mekanik, kimia, termal, elektris menjadi
potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat
5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)
Jawab:
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa
nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada
hewan percobaan mencit. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri
asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing)
yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan
kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini
dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test.
Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakannya). Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga
memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer
2. Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri. Sebagai
respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitan. Arus listrik
dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang diberikan. Metode ini
dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus dan mencit.
3. Metode Panas
Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:
a. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang
dipertahankan pada suhu 60 ± 1oC.
b. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat
Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps).
c. Metode hot plate
Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral. Pada metode ini hewan
percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 ± 1oC) sebagai
stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon terhadap nyeri dengan
menggunakan atau menjilat kaki depan. Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu
antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter
untuk evaluasi aktivitas analgesik
4. Metode Mekanik