farmakoterapi pada kehamilan

Upload: winta-asisie-salaka

Post on 07-Jan-2016

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Farmakoterapi pada kehamilan

TRANSCRIPT

MAKALAH FARMAKOTERAPI PADA KEHAMILAN

Nama : Satriyo PermadiNRP : 081.0211.060

Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta2008 2009

I. PENDAHULUAN

Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok umur tertentu (anak dan usia lanjut), sertawanita dengan kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan terapi pada kelompokkelompok tersebut tidak banyak berbeda, tetapi mengingat masing-masing memiliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanaannya, maka diperlukan pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok dewasa.

Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi pengaruh apapun

Obat dapat mempengaruhi perkembangan janin pada 3 stadium :1. Periode fertilisasi dan implantasi2. Periode organogenesis3. Periode pertumbuhan dan perkembangan.

Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah:

(1) sifat fisikokimiawi dari obat(2) kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin(3) lamanya pemaparan terhadap obat(4) bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin(5) periode perkembangan janin saat obat diberikan dan(6) efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.

Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipolik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin.Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta.Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang.

II. FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN

II.1. AbsorpsiPada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazinakan menurun.

II.2. DistribusiPada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan inisemakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.

II.3. EliminasiPada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.

III. PENGARUH OBAT PADA JANIN

Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan paga saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau bio-kimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasianatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut,

1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus).

2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain,- Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa).- pengaruh letal, berupa kematian janin atau terjadinya abortus.- pengaruh sub-letal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.

3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efeksamping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.

Dalam upaya mencegah terjadinya yang tidak diharapkan dari obat-obat yang diberikan selama kehamilan, maka oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA-USA) maupun Australia Drug Evaluation Commitee, obat-obat dikategorikan sebagai berikut (Australian Drug Evaluation Commitee).

- Kategori A:Yang termasuk dalam kategori ini adalah obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya. Obat-obat yang termasuk dalam kategori A antara lain adalah parasetamol, penisilin, eritromisin, glikosida jantung, isoniazid serta bahan-bahan hemopoetik seperti besi dan asam folat.

- Kategori B:Obat kategori B meliputi obat-obat yang pengalaman pemakainya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak terbukti meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin. Mengingat terbatasnya pengalaman pemakaian pada wanita hamil, maka obat-obat kategori B dibagi lagi berdasarkan temuan-temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu:B1: Dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin (fetal damage). Contoh obat-obat yang termasuk pada kelompok ini misalnya simetidin, dipiridamol, dan spektinomisin.B2: Data dari penilitian pada hewan belum memadai, tetapi ada petunjuk tidak meningkatnya kejadian kerusakan janin, tikarsilin, amfoterisin, dopamin, asetilkistein, dan alkaloid belladona adalah obat-obat yang masuk dalam kategori ini.B3: Penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi belum tentu bermakna pada manusia. Sebagai contoh adalah karbamazepin, pirimetamin, griseofulvin, trimetoprim, dan mebendazol.

- Kategori C:Merupakan obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomic semata-mata karena efek farmakologiknya. Umumnya bersifat reversibel (membaik kembali). Sebagai contoh adalah analgetika-narkotik, fenotiazin, rifampisin, aspirin, antiinflamasi non-steroid dan diuretika.

- Kategori DObat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatnya kejadian malformasi janin pada manusia atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel (tidak dapat membaik kembali). Obat-obat dalam kategori ini juga mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Misalnya: androgen, fenitoin, pirimidon, fenobarbiton, kinin, klonazepam, valproat, steroid anabolik, dan antikoagulansia.

- Kategori XObat-obat yang masuk dalam kategori ini adalah yang telah terbukti mempunyai risiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang menetap (irreversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini merupakan kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Sebagai contoh adalah isotretionin dan dietilstilbestrol.

IV. PEMAKAIAN BEBERAPA OBAT SELAMA PERIODE KEHAMILAN

IV.1. Antibiotika & antiseptikaInfeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapai semaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin.

IV.1.a. PenisilinObat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.

- Ampilisin:Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalamsirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.- Amoksisilin :Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempatsampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.

IV. 1.b. SefalosporinSama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruksefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan.

IV.1.c. Tetrasiklin:Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapaikadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hinggaketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.

IV.1.d. AminoglikosidaAminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan.

IV.1.e. Kloramfenikol Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.

IV.1.f. SulfonamidaObat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaanini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir.

IV.1.g. EritromisinPemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamilserta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotikalain, misalnya tetrasiklin.

IV.1.h. TrimetoprimKarena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folat.

IV.1.i. NitrofurantoinNitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikanterutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.

IV.2. AnalgetikaKeluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relative pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktutertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat.

IV.2.a.Analgetika-narkotikaSemua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe.Metadon:Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari

Petidin :Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.

IV.2.b. Analgetika-antipiretikParasetamol:Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan.Antalgin:Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.

IV.2.c. Antiinflamasi non-steroidDengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.

IV.3. AntiemetikMeskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi non-farmakologik lainnya masih dapat dilakukan.

IV.4. AntiepilepsiFenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalan hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirku janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selama kehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat dengan meningkatnya angka kejadian kelainan congenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongendital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa kehamilannya.Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat selama masa kehamilannya.

IV.5. AntihipertensiDalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau nkelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.

- Golongan penyekat adrenoseptor betaObat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya.- VasodilatorPada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir.- Golongan simpatolitik sentral:Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering.

Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi:1.Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal.2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta.3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III.4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental.5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.

IV.6. Anti Prostaglandin

Mekanisme kerja Anti Prostaglandin

Prostanoid synthase

Catatan : Tanda bintang merupakan aktivitas enzim yang dihasilkan oleh enzim PGHS-1 & PGHS-2.

1. Aktivasi enzim fosfolipase A2 terhadap fosfolipid membran plasma posisi-2 yang distimilasi oleh angiotensin II, bradikinin, epinefrin dan trombin. Menghasilkan Arakidonat 2. Kemudian, terjadi konsumsi 2 molekul O2 dan dengan bantuan enzim Prostaglandin H Sintase-1 (PGHS-1), Arakidonat diubah menjadi Prostaglandin G2 (PGG2). Aktivitas atau proses ini dinamai dengan siklooksigenasi. Aspirin, yang merupakan preparat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), menghambat siklooksigenasi enzim Prostaglandin H Sintase-1 (PGHS-1) dan enzim Prostaglandin H Sintase-2 (PGHS-2) melalui reksi asetilasi. Indometasin dan Ibuprofen, yang merupakan preparat NSAID, menghambat siklooksigenasi lewat kompetisi dengan arakidonat.3. Lalu, dengan bantuan enzim Prostaglandin H Sintase-2 (PGHS-2) Prostaglandin G2 (PGG2) diubah menjadi Prostaglandin H2 (PGH2). Aktivitas atau proses ini dinamai dengan peroksidase.4. Selanjutnya, terjadilah konversi berbagai prostaglandin dan tromboksan dari Prostaglandin H2 (PGH2) dengan bantuan berbagai macam enzim, seperti :a) Dengan bantuan enzim Prostasiklin sintase, Prostaglandin H2 (PGH2) diubah menjadi Prostasiklin (PGI2)b) Dengan bantuan enzim D-isomerase Prostaglandin-H2, Prostaglandin H2 (PGH2) diubah menjadi Prostaglandin E2 (PGE2) dan Prostaglandin E2 (PGE2) diubah lagi menjadi Prostaglandin F2 (PGF2) dengan bantuan enzim Prostaglandin-E2 9-Reduktasec) Prostaglandin F2 (PGF2) pun bisa didapatkan dari konversi Prostaglandin H2 (PGH2) dengan bantuan enzim Endoperoksida reduktase d) Dengan bantuan enzim D-isomerase Prostaglandin-H2, Prostaglandin H2 (PGH2) diubah menjadi Prostaglandin D2 (PGD2)e) Dengan bantuan enzim Tromboksan Sintase, Prostaglandin H2 (PGH2) dikonversi menjadi Malondialdehid + Hidroksiheptadekatrienoat (HHT)f) Dengan bantuan enzim Tromboksan Sintase, Prostaglandin H2 (PGH2) dikonversi menjadi Tromboksan A2 (TA2) dan Tromboksan B2 (TB2) terbentuk dari konversi Tromboksan A2 (TA2) dengan bantuan enzim Tromboksan Sintase

Berikut adalah pemaparan tentang fungsi dari hasil konversi asam arakidonat :1. Prostasiklin Prostaglandin (PGI2), disintesis oleh sel endotel yang melapisi sistem kardiovaskular. Merupakan antagonis fisiologis tromboksan A2 dan merupakan vasodilatator yang kuat. Bila digunakan sebagai obat, nama umumnya adalah epoprostenol.2. Prostaglandin D2 (PGD2), disintesis oleh sel mast. Merupakan mediator hipersensitivitas tipe segera yang disintesis dan dilepaskan sebagai respon terhadap ikatan imunoglobulin E ke reseptor pada sel mast. Efeknya mencakup vasodilatasi dan kontraksi otot polos nonvaskular.3. Prostaglandin E2 (PGE2), disintesis di dalam medula ginjal, mukosa gastrointestinal,dan jaringan lain. Efeknya meliputi vasodilatsi ginjal dan menghambat resorpsi natrium tubulus renalis, menghambat sekresi gaster, dan kontraksi atau relaksasi otot polos (tergantung pada jaringan). Bila digunakan sebagai obat, nama umumnya adalah dinoprostone.4. Prostaglandin F2 (PGF2), merupakan suatu endoperoksida siklik prostaglandin yang disintesis dari PGH2 atau PGE2. Efeknya mencakup perangsangan kontraksi otot polos uterus dan bronkus serta menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah. Bila digunakan sebagai obat, nama umumnya adalah dinoprost.5. Tromboksan A2, disintesis di dalam trombosit dengan bantuan tromboksan-A sintase. Merupakan sebuah induktor agregasi trombosit dan reaksi pelepasan trombosit yang sangat kuat, serta merupakan suatu vasokonstriktor (antagonis fisiologis prostasiklin).6. Tromboksan B2, disintesis di dalam trombosit dan sangat tak stabil. Hasil dari hidrolisis nonenzimatis Tromboksan A2.

IV.7. Magnesium sulfat (MgSO4) Dosis: high dose protocol 8 g load, kemudian 2-4 gr per jam Mekanisme Kerja bekerja mengurangi konsentrasi ion Ca di cairan intraselular dan di miometrium sehingga mengurangi potensial aksi. Efek pada janinMenurunkan kasus serebral palsi

IV.8. Metamfetamin Efek pada janian IUGR (BBLR & head circumference) defisiensi pertumbuhan yang eksaserbasi dengan perokok insidens meningkat pada komplikasi persalinan & penanganan bayi prematur banyak janian yang pendiam & penyendiri (sejalan dengan neurotoksisitas) Gejala pengasingan diri yang iritabilitas

V. DAFTAR PUSTAKA

-Australian Drug Evaluation Committee (1989) Medicine in Pregnancy. Australian Goverment Publishing Service,Canberra.-Katzung BG (1987) Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical Book, California.-Speight TM (1987) Averys Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rd edition.ADIS press,Auckland.-GOODMAN & GILMAN (2006) THE PHARMACOLOGICAL BASIS OF THERAPEUTICS, 11th edition. McGraw-Hill,Toronto-Fanaroff & Martins (2000) Neonatal-Perinatal Medicine, Diseases of the Fetus & Infant, 8th edition. Elsevier, Edinburgh-Behrman,E. Richard, et all. (2004) Nelson Textbook of Pediatrics, 17th edition. Elsevier, Philadelphia, USA- F. Gary Cunningham...[et al.]. (2005) Williams obstetrics 22nd edition. McGraw-Hill, USA- Reece, E. Albert, John C. Hobbins. (2007) Clinical obstetrics : the fetus & mother 3rd edition. Blackwell Publishing, Garsington Road, Oxford, UK- Edmonds, D. Keith. (2007) Dewhursts textbook of obstetrics and gynaecology.7th edition. Blackwell Publishing, Garsington Road, Oxford, UK- Ferretti, Patrizia . . . [et al.]. (2006) .Embryos, genes, and birth defects 2nd edition. West Sussex, England- K. Murray Robert, dkk. Biokomia Harper, ed.25, 3003, Jakarta: EGC

Terapi Obat Dalam Kehamilan