fh uii kedudukan tindak pidana pencucian uang yang
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG
TINDAK PIDANA ASALNYA DIKETAHUI BERASAL DARI
TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana
(Strata - 1) Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
Disusun Oleh
AQIDATUL AWWAMI
No. Mahasiswa : 03410356
Jurusan : Ilmu Hukum
Program Studi : Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya manusia hidup untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya masing-masing, sedangkan hukum adalah suatu gejala sosial
budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola
perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Apabila
hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka ia akan mencari jalan
keluar serta mencoba untuk menyimpang dari aturan-aturan yang ada. Segala
bentuk tingkahlaku yang menyimpang yang mengganggu serta merugikan
dalam kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh masyarakat sebagai
sikap dan perilaku jahat. Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan
kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomi materiil maupun yang
bersifat immateriil yang menyangkut rasa aman dan tenteram dalam kehidupan
bermasyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi
kejahatan, namun kejahatan tidak pernah sirna dari muka bumi, bahkan
semakin meningkat seiring dengan cara hidup manusia dan perkembangan
tekhnologi yang semakin canggih sehingga menyebabkan tumbuh dan
2
berkembangnya pola dan ragam kejahatan yang muncul. Kejahatan-kejahatan
tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar
jumlahnya. Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak
pidana tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan
oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah
dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan
tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar
harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem
keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, asal
usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh penegak
hukum. Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem
perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana dalam skala
nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat. Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian
orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh
dari hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada
umumnya perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi
dan tindak pidana pencucian uang yang beberapa dekade ini mendapatkan
perhatian ekstra dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang
melanggar batas-batas Negara.1
1 Adrian Sutedi, S.H., M.H. Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti,
3
Dampak-dampak yang dapat disebabkan oleh kedua tindak pidana
tersebut di ataspun sangat besar bagi kelangsungan perekonomian, sosial dan
budaya suatu bangsa. Sehingga tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime) sehingga keduanya mempunyai pengaturan khusus
dalam sistem perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-
perbuatan pidana itu bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.2
Tindak pidana pencucian uang merupakan hasil tindak pidana yang
berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan beberapa
tindak pidana lainnya. Ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian
uang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya
termasuk di dalamnya korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime).
Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang
disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang. Tindak
pidana pencucian uang tidak berdiri sendiri karena harta kekayaan yang
ditempatkan, ditransfer, atau dialihkan dengan cara integrasi itu diperoleh dari
tindak pidana, berarti sudah ada tindak pidana lain yang mendahuluinya
(predicate crime).3
Bandung, 2008, hlm. 1. 2 Prof. Moeljatno, S.H, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 3.
3 Adrian Sutedi, S.H., M.H. Op Cit., hlm. 182.
4
Media perbankan menjadi salah satu sarana mulus untuk melakukan
tindak pidana pencucian uang dengan modus mentransfer dana hasil kejahatan
dengan melintasi yurisdiksi suatu Negara untuk menghilangkan jejak hasil dari
uang kotor tersebut. Artinya, bukan hanya saja pelaku yang dapat dijerat
dengan ketentuan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU), namun semua orang yang
berkecimpung dan terlibat di dalamnya dapat pula dijerat. Pada rumusan pasal 5
UU PPTPPU memuat ancaman pidana 5 Tahun Penjara dan denda sebesar satu
milyar rupiah bagi setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1)
dalam UU PPTPPU. Isi pasal 5 ayat (1) tersebut pada bunyi : “… bagi setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,……”
menyiratkan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana
yang berdiri sendiri (independent crime), dimana independensinya terbatas pada
orang yang menerima uang hasil kejahatan tersebut. Penerimaan uang transfer
hasil tindak pidana money laundering tersebut dapat langsung disita tanpa harus
membuktikan tindak pidana asalnya.4
4 Ali, Kejahatan Pencucian Uang Tak Bisa Berdiri Sendiri, dalam http://www.hukumonline.com (Nov.
16, 2007). Daiakses pada tanggal 20 Maret 2011.
5
Pada banyak fakta yang terjadi, pelaku kejahatan ini mencuci uang
mereka yang hampir rata-rata diperoleh dari kejahatan hasil korupsi. Dengan
berbagai modus dilakukan untuk menghilangkan jejak perbuatannya dengan
mencuci uang hasil kejahatan tersebut.
Namun demikian, uang atau dana yang diperoleh dari setiap hasil tindak
pidana khususnya korupsi, tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana pencucian uang. Artinya, perolehan di bawah jumlah limaratus juta
rupiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan tindak pidana pencucian
uang (predicate crime), meskipun hal itu dilakukan dengan cara-cara tindak
pidana.5
Berdasarkan praktik peradilan selama ini, pada tindak pidana pencucian
uang tidak dibuktikan terlebih dahulu pidana asalnya (predicate crime), aparat
kejaksaan mengajukan dakwaan pencucian uang lepas dari jenis tindak pidana
asal. Tidak betul-betul dibuktikan telah terjadi tindak pidana, tetapi cukup
dibuktikan telah ada bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak
pidana.6 Jikapun ada seorang terdakwa lolos dari dari jeratan korupsi sebagai
pidana asal bukan berarti dia dapat lolos dari dakwaan pidana pencucian uang.
Karena hal tersebut berdasar atas dugaan awal adanya tindak pidana pencucian
uang. Pada sisi lain dalam praktik peradilan di negeri kita terkait korupsi, tidak
5 N.H.T. Siahaan, S.H. MH., Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005, hlm. 50. 6 Barda Nawawi Arief, S.H., Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm. 172.
6
dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang sekalipun perbuatan tersebut
dilakukan dengan cara transfer melalui media perbankan dan memenuhi nilai
batas minimum jumlah uang yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
pencucian uang. Sehingga meski tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai
tindak pidana asal di dalam tindak pidana pencucian uang tetapi di dalam
banyak dakwaan yang diajukan jaksa di dalam persidangan tidak
mencantumkan adanya delik pencucian uang yang dilakukan oleh terdakwa dan
seakan-akan kedua tindak pidana ini merupakan tindak pidana yang berdiri
sendiri dan tidak berkaitan satu sama lain. Padahal di dalam undang-undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang mencantumkan korupsi sebagai salah satu pidana asal dari
pencucian uang. Jika ditelisik lebih jauh hal ini mengindikasikan bahwa
keduanya merupakan dua tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama
dalam waktu tertentu. Namun, yang menjadi persoalan apabila tindak pidana
korupsi yang yang dilakukan tersebut telah diputus oleh pengadilan dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan uang transfer merupakan barang bukti
dari tindak pidana korupsi tersebut telah disita oleh pengadilan. Menjadi bias
jika dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang yang pada intinya yakni
melalui metode transfer dan perbuatan mentransfer uang dengan menggunakan
media perbankan.
7
Berdasar latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik
melakukan penelitian dengan judul “KEDUDUKAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG YANG TINDAK PIDANA ASALNYA DIKETAHUI
BERASAL DARI TINDAK PIDANA KORUPSI”.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan tindak pidana pencucian uang yang tindak
pidana asalnya (predicate crime) diketahui hasil dari tindak pidana
korupsi, sedangkan tindak pidana asal tersebut telah diadili dan memiliki
kekuatan hukum yang tetap?
2. Apakah suatu tindak pidana korupsi yang telah terbukti di persidangan
dan telah memiliki kekuatan hukum tetap dan uang hasil tindak pidana
korupsi yang ditransfer tersebut telah disita oleh pengadilan dapat
dikenakan sebagai tindak pidana pencucian uang?
3. Bagaimanakah jika perbuatan mentransfer dana dari hasil tindak pidana
korupsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dari tindak pidana korupsi, apakah perbuatan mentransfer dana hasil
8
tindak pidana korupsi tersebut dapat dikenakan tindak pidana pencucian
uang atau menjadi bagian dari tindak pidana korupsi?
4. Bagaimana penerapan doktrin perbarengan perbuatan pidana atau
perbuatan pidana berlanjut dalam kasus tindak pidana korupsi yang
hasilnya ditransfer melalui jasa perbankan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan permasalahan yang telah
dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang kedudukan tindak pidana
pencucian uang yang diketahui merupakan hasil tindak pidana korupsi
sebagai tindak pidana asal (predicate crime) yang telah diadili dan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang status uang transfer hasil tindak
pidana korupsi yang telah terbukti dalam persidangan dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat atau tidaknya dikenakan sebagai tindak
pidana pencucian uang.
3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perbuatan mentransfer dana dari
hasil tindak pidana korupsi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
9
dipisahkan dari tindak pidana korupsi atau dapat dikenakan dengan tindak
pidana pencucian uang.
4. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang penerapan doktrin perbarengan
perbuatan pidana atau perbuatan pidana berlanjut dalam kasus tindak
pidana korupsi yang hasilnya diperoleh melalui jasa perbankan.
D. Tinjauan Pustaka
Munculnya berbagai jenis kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini,
menunjukan bahwa kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat termasuk juga kejahatan pencucian uang yang popular dengan
istilah money laundering.
Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin
kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang
semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah
merambah ke berbagai sektor. Maka banyak kalangan menyebut bahwa tindak
pidana ini merupakan kejahatan transnasional, karena praktik kejahatan ini
dapat dilakukan oleh orang tanpa harus bepergian ke luar negeri dengan melalui
akses transaksi yang sangat mudah yaitu melalui cyber space (internet) dan
pembayaran dapat dilakukan melalui bank secara elektronik (cyber payment).
10
Adapun tujuan utama dilakukanya jenis kejahatan ini adalah untuk
menghasilkan keuntungan, baik bagi individu maupun kelompok yang
melakukan kejahatan tersebut. Menurut suatu perkiraan baru-baru ini hasil dari
kegiatan money laundering diseluruh dunia, dalam perhitungan secara kasar
berjumlah satu triliun dolar pertahun. Dana-dana gelap tersebut akan digunakan
oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) memberikan
definisi mengenai pencucian uang dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pencucian Uang adalah Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan
dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan…”
Kemudian dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang yang sama tersebut
mencantumkan 25 jenis tindak pidana yang berbunyi :
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e.
penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan;
h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l.
perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan;
p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u.
7Dr.M.Arief Amrullah,S.H., M.Hum, MONEY LAUNDERING (Tindak Pidana Pencucian Uang),
Bayu Media, Ctk. Kedua, Malang, 2004. hlm. 8.
11
prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang
lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana
lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Adapun menurut ketentuan Article 38 (3) Finance Act 1993
Luxembourg, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai: 8
suatu perbuatan yang terdiri atas penipuan, menyembunyikan, pembelian,
pemilikan, menggunakan, menanamkan, penempatan, pengiriman, yang dalam
undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan atau pelanggaran secara
tegas menetapkan status perbuatan tersebut sebagai tindak pidana khusus,
yaitu suatu keuntungan ekonomi yang diperoleh dari tindak pidana lainnya.
Sedangkan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak ada
definisi yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana pencucian
uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti institusi-institusi
investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan organisasi-organisasi
lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu. Akan tetapi dia mengambil
kesimpulan tentang berbagai definisi tentang pencucian uang sebagai berikut: 9
“pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap
uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah
atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana,
dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam
system keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat
dikeluarkan dari system keuangan itu sebagai uang halal.”
8 Dr.M.Arief Amrullah,S.H., M.Hum, Op. cit., hlm. 10-11.
9 Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, Grafiti, Jakarta, 2004, hlm 5.
12
N.H.T. Siahaan dalam bukunya menyimpulkan tentang pengertian tindak
pidana pencucian uang (money laundering) sebagai perbuatan yang bertujuan
mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari
dana atau modal yang sah.10
Tidaklah mudah untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana
pencucian uang karena tindak pidana ini melalui proses kegiatan yang sangat
kompleks. Secara umum, cara pencucian uang ini dilakukan dengan
melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi
finansial yang rumit guna menyulitkan berbagai pihak untuk mengetahui asal-
usul uang tersebut. Adapun Metode proses pencucian tersebut meliputi tiga
tahap. Yang terdiri dari :
a. Penempatan (placement)
Yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke
dalam system keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang
giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke
dalam system keuangan, terutama system perbankan.
b. Transfer (layering)
Yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa
keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke
10
N.H.T. Siahaan, S.H. MH., Op. Cit., hlm. 7
13
penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering akan
menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta
kekayaan tersebut.
c. Menggunakan harta kekayaan (integration)
Yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana
yang telah berhasil masuk kedalam sistem keuangan melalui penempatan
atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean
money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali
kegiatan kejahatan.
Secara langsung tindak pidana pencucian uang terlihat seakan-akan tidak
merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Sepintas lalu tampaknya
pencucian uang tidak ada korbannya. Tindak pidana ini tidak seperti halnya
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan
menimbulkan kerugian bagi korbannya. Akan tetapi Billy Steel mengemukakan
mengenai money laundering “it seem to be a victimless crime”11
Namun, benarkah tidak ada pihak yang dirugikan atau dikorbankan dalam
tindak pidana pencucian uang?
11
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Op. Cit., hlm. 16.
14
John McDowell dan Gary Noris dari Bureau of International Narcotics and Law
Enforcement Affairs, US Departement of State, mengemukakan: “money
laundering has potentially devastating economic, security, and social
consequences”.12
Selanjutnya mereka mengemukakan beberapa dampak dari
pencucian uang dalam makalahnya pada bulan Mei 2001. Secara garis besar
penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Merongrong sektor swasta yang sah (Undermining the Legitimate Private
Sector)
2. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (Undermining the Integrity
of Financial Markets)
3. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya (Loss of Control of Economic Policy)
4. Timbulnya distorsi dan ketidakdtabilan ekonomi (economic distortion and
Instability)
5. Mengurangi pendapatan Negara dari sumber pembayaran pajak (Loss of
Revenue)
6. Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan Negara
yang dilakukan oleh pemerintah (Risks to Privatization Efforts)13
12
Ibid, hlm. 18. 13
Ibid, hlm. 28.
15
Oleh karena itu, mengingat besarnya dampak-dampak kerugian yang akan
ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang, maka pada Pasal 23 ayat (1)
UU PPTPPU memberikan kewajiban bagi pihak pelapor (penyedia jasa
keuangan dan penyedia barang dan atau jasa lain) untuk melaporkan kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) jika terjadi hal-hal
berikut:
1. Adanya transaksi yang mencurigakan
2. Adanya transaksi yang dilakukan dengan uang tunai dalam jumlah
komulatif Rp. 500.000.000,00 atau lebih atau juga valuta asing yang
mempunyai nilai setara dengan jumlah uang tersebut.
3. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
UU PPTPPU mengenal dan mengatur apa yang disebut dengan ketentuan
anti tipping off. Anti Tipping off adalah suatu ketentuan yang mewajibkan
pejabat atau petugas tertentu untuk tidak memberitahukan nasabah tentang
suatu laporan yang berkenaan dengan nasabah tersebut dengan suatu maksud
tertentu.14
Dalam pasal 12 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 secara jelas
menentukan demikian :
“Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang
memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada
PPATK”.
14
N.H.T. Siahaan, S.H. MH, Op. Cit., hlm. 53.
16
Ketentuan pasal tersebut begitu tegas dan menyatakan : “….. dilarang
memberitahukan … baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara
apapun…”. Hal ini menyiratkan bahwa masalah penangan pencucian uang perlu
ditangani secara rapi, cermat, cepat dan rahasia. Oleh karenanya pihak pelapor
dilarang sampai membocorkan segala sesuatu mengenai laporan transaksi
demikian, kepada siapapun, lebih-lebih kepada si pengguna jasa keuangan yang
mencurigakan tersebut.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari ketentuan anti tipping off tersebut
adalah :
1. Untuk mencegah pihak yang dilaporkan (nasabah) mengalihkan dananya
dan atau melarikan diri sehingga mempersulit aparat penegak hukum dalam
melakukan pelacakan tersebut.
2. Untuk menjaga efektifitas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
pencucian uang.15
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio
atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam bahasa
Inggris menjadi menjadi corruption atau corrupt, dalam bahasa Prancis menjadi
corruption, dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie
15
Adrian Sutedi, S.H. M.H, Op. Cit., hlm 163.
17
(korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam
bahasa Indonesia.16
Secara garis besar tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor 31
Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pada Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi tentang korupsi
yang berbunyi:
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara …..”.
Sedangkan menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku
pejabat publik baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,yang secara tidak
wajar atau tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, secara garis besar tindak pidana korupsi
mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
Perbuatan melawan hukum
Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana
16
Andi Hamzah, Korupsi di IndonesiaMasalah dan Pemecahannya, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1991, hlm. 7.
18
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Sedangkan jika ditinjau dari segi bentuknya, terdapat 13 rumusan pasal
pasal dalam UUPTPK tentang perbuatan korupsi. Rumusan tersebut masing-
masing terdapat dalam pasal sebagai berikut :
Pasal 2 (tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau suatu korporasi)
Pasal 3 (tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan)
Pasal 5 (tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau
menjanjikan sesuatu)
Pasal 6 (tindak pidana korupsi suap pada hakim dan advokat)
Pasal 7 (korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan
bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan
KNRI)
Pasal 8 (korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga)
Pasal 9 (tindak pidana korupsi pegawi Negeri memalsu buku dan daftar-
daftar)
Pasal 10 (tindak pidana korupsi Pegawai negeri merusakkan barang,
akta, surat, atau daftar)
19
Pasal 11 (korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang
berhubungan dengan kewenangan jabatan)
Pasal 12 (korupsi pegawai negeri atau penyelenggara Negara atau hakim
dan advokat menerima hadiah atau janji, pegawai negeri memaksa
membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan
tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan)
Pasal 12 B (tindak pidana korupsi pegawai negeri menerima gratifikasi)
Pasal 13 (korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan jabatan)
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sangat sulit diberantas
karena berhadapan dengan subyek pelaku yang mempunyai kedudukan
ekonomi dan politik yang kuat, sehingga tindak pidana korupsi dikategorikan
sebagai white collar crime, crimes as business, economic crimes, official crime
dan a buse of power.17
Seorang kriminolog Amerika Serikat Erwin H. Sutherland merumuskan
tentang white collar crime (kejahatan kerah putih) sebagai kejahatan yang
17
Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. “Penayangan Koruptor pada Media TVRI Ditinjau Dari Segi Hukum
Pidana” dalam Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. Kesatu, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 133.
20
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan
terhormat dalam pekerjaannya.18
Ketentuan mengenai perbarengan perbuatan pidana dan perbuatan pidana
berlanjut diatur masing-masing dalam pasal 63, 64 dan 65 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam rumusan pasal 63 ayat (1) berbunyi :
“jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Selanjutnya pada pasal 65 ayat (1) merumuskan tentang perbarengan
perbuatan sebagai berikut :
“dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana”.
Adapun mengenai perbuatan pidana berlanjut dirumuskan dalam pasal 64
ayat (1) sebagai berikut :
“jika diantara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran,ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), maka
18
Prof. Dr. Muladi, S.H. “Politik Kriminal Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan
Dalam Kerangka Tindak Pidana Perekonomian” dalam Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. Kesatu,
Alumni, Bandung, 1992, hlm. 1-2.
21
hanya dikenakan stu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Dapat dikatakan adanya suatu perbarengan perbuatan pidana/gabungan
tindak-tindak pidana atau samenloop van strafbare feiten apabila dalam suatu
jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada satu
perilaku yang terlarang, dan dalam jangka waktu tersebut orang yang
bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena salah satu
dari perilaku-perilaku yang telah ia lakukan.19
Secara umum, perbarengan perbuatan pidana dan perbuatan pidana
berlanjut ini diatur dalam BAB ke VI dari buku ke 1 KUHP yakni pada pasal
63 hingga pasal 71 KUHP. Yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat
ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap
seorang tertuduh yang telah melakukan lebih dari satu perilaku yang terlarang,
yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili bersama-sama.20
E. Definisi Operasional
Guna menghindari dualisme pengertian dan untuk memberi arah kepada
pelaksanaan pengumpulan data, di dalam penelitian ini terdapat beberapa
terminology yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa operasional sebagai
berikut :
19
DRS.P.A.F. Lamintang, SH., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984,
hlm. 641. 20
Ibid, hlm. 641.
22
1) Kedudukan : status hukum suatu tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana lain yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2) Tindak pidana asal : jenis kejahatan yang hasilnya dapat dilakukan
melalui proses pencucian uang.
Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa maksud tema dari “Kedudukan
Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tindak Pidana Asalnya Diketahui Berasal
Dari Tindak Pidana Korupsi” adalah ingin mengungkapkan secara detail
mengenai kedudukan tindak pidana pencucian uang, modus operandi dan
pengaturan hukumnya serta kedudukannya terhadap tindak pidana korupsi yang
mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai tindak pidana asalnya, serta
penerapan doktrin concursus terhadap tindak pidana korupsi yang hasilnya
diperoleh melalui media perbankan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normative atau
penelitian kepustakaan. Jadi dalam penelitian ini data diperoleh dari
penelitian pustaka dengan menggunakan metode pendekatan yuridis,
yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut
ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.
23
2. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa bahan-bahan hukum. Adapun bahan-bahan hukum tersebut terdiri
dari:21
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat,yang
berupa:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pecucian Uang
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan
terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literature,
artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan
dengan penelitian ini.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.
24
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum sekunder, yang terdiri dari :
1. Kamus Umum Bahasa Indonesia
2. Kamus Istilah Hukum
3. Ensiklopedi
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi
dokumen, yaitu mengkaji, menelaah dan mempelajari bahan-bahan
hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian yang disajikan secara
deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian.
b. Hasil klasifikasi data kemudian disistematisasikan.
c. Data yang telah disitematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan
dasar dalam mengambil kesimpulan.