fisioterapi berjalan

28
1.4 Principles guiding the selection of outcomes to measure walking competency after stroke The term walking competency (Salbach et al., 2004) is used to describe an ensemble of abilities related to walking that enables the individual to navigate the community proficiently and safely. Elements of walking competency include being able to: walk fast enough to cross the street safely (Robinett and Vondran, 1988; Perry et al., 1995), walk far enough to accomplish activities of daily living (Lerner- Frankiel et al., 1986), negotiate sidewalk curbs independently, turn the head while walking without losing balance, react to unexpected perturbations while walking without loss of stability, and demonstrate anticipatory strategies to avoid or accommodate obstacles in the travel path (Shumway-Cook and Woollacott, 1995). Thus walking competency is linked to the accomplishment of basic every-day tasks, leisure activities and participation in life. 1.4 Prinsip-prinsip membimbing pemilihan Hasil untuk mengukur kompetensi berjalan setelah stroke Kompetensi jangka berjalan (Salbach et al., 2004) digunakan untuk menggambarkan sebuah ensemble kemampuan terkait untuk berjalan yang memungkinkan individu untuk menavigasi masyarakat mahir dan aman. elemen berjalan kompetensi meliputi mampu: walk cukup cepat untuk menyeberang jalan dengan aman (Robinett dan Vondran, 1988; Perry et al., 1995), berjalan cukup jauh untuk mencapai aktivitas hidup sehari-hari (Lerner- Frankiel et al.,1986), menegosiasikan pembatasan trotoar mandiri, memutar kepala sambil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan, bereaksi terhadap gangguan yang tak terduga sambil berjalan tanpa kehilangan stabilitas, dan menunjukkan strategi antisipatif untuk menghindari atau mengakomodasi hambatan di jalur wisata (Shumway-Cook dan Woollacott, 1995). Jadi berjalan kompetensi terkait dengan pemenuhan dasar sehari-hari tugas, kegiatan rekreasi dan partisipasi dalam kehidupan. 1.4 Prinsip-prinsip bimbingan pemilihan hasil untuk mengukur kompetensi berjalan setelah stroke

Upload: ayu-indria-paramitha

Post on 26-Dec-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fisioterapi berjalan pada pasien pasca stroke akut

TRANSCRIPT

Page 1: fisioterapi berjalan

1.4 Principles guiding the selection of outcomes to measure walking competency after stroke

The term walking competency (Salbach et al., 2004) is used to describe an ensemble of abilities related to walking that enables the individual to navigate the community proficiently and safely. Elements of walking competency include being able to: walk fast enough to cross the street safely (Robinett and Vondran, 1988; Perry et al., 1995), walk far enough to accomplish activities of daily living (Lerner- Frankiel et al., 1986), negotiate sidewalk curbs independently, turn the head while walking without losing balance, react to unexpected perturbations while walking without loss of stability, and demonstrate anticipatory strategies to avoid or accommodate obstacles in the travel path (Shumway-Cook and Woollacott, 1995). Thus walking competency is linked to the accomplishment of basic every-day tasks, leisure activities and participation in life.

1.4 Prinsip-prinsip membimbing pemilihan Hasil untuk mengukur kompetensi berjalan setelah stroke

Kompetensi jangka berjalan (Salbach et al., 2004) digunakan untuk menggambarkan sebuah ensemble kemampuan terkait untuk berjalan yang memungkinkan individu untuk menavigasi masyarakat mahir dan aman. elemen berjalan kompetensi meliputi mampu: walk cukup cepat untuk menyeberang jalan dengan aman (Robinett dan Vondran, 1988; Perry et al., 1995), berjalan cukup jauh untuk mencapai aktivitas hidup sehari-hari (Lerner- Frankiel et al.,1986), menegosiasikan pembatasan trotoar mandiri, memutar kepala sambil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan, bereaksi terhadap gangguan yang tak terduga sambil berjalan tanpa kehilangan stabilitas, dan menunjukkan strategi antisipatif untuk menghindari atau mengakomodasi hambatan di jalur wisata (Shumway-Cook dan Woollacott, 1995). Jadi berjalan kompetensi terkait dengan pemenuhan dasar sehari-hari tugas, kegiatan rekreasi dan partisipasi dalam kehidupan.

1.4 Prinsip-prinsip bimbingan pemilihan hasil untuk mengukur kompetensi berjalan setelah stroke

Istilah kompetensi berjalan digunakan untuk menggambarkan keseluruhan kemampuan terkait dengan berjalan yang memungkinkan individu menavigasi dengan mahir dan aman.elemen-elemen kompetensi berjalan meliputi dapat berjalan dengan cukup cepat untuk menyebrang jalan dengn aman, berjalan cukup jauh untuk mengerjakan aktivitas sehari-hari, berjalan di trotoar secara mandiri, menolehkan kepala ketika berjalan tanpa hilang keseimbangan, bereaksi terhadap gangguan yang tidak terduga ketika berjalan tanpa kehilangan stabilitaas, dan menunjukkan sstrategi antisipasi untuk menghindari atau mengadaptasi suatu kendala pada saat perjalanan. Kompetensi berjalan tersebut berhubungan dengan pemenuhan kegiatan dasar sehari-hari, kegiatan pada waktu luang, dan partisipasi dalam kehidupan.

Reliability, validity and responsiveness of gait Speed

Gait speed at a comfortable pace is likely the bestknown measure of walking performance (Wade, 1992; see Volume II, chapter 3). Timed walking tests (over 5, 10 or 30 m) are easy to carry out and when standardized instructions are used, the inter-rater (Holden et al., 1984; Wade et al., 1987) and test–retest reliability (Holden et al., 1984; Evans et al., 1997) of measures of walking speed in persons with stroke are high. The construct validity of walking speed is also very good. In persons with stroke, comfortable walking speed has been shown to be positively

Page 2: fisioterapi berjalan

correlated to strength (r 0.25–0.67) of the lower extremity (Bohannon, 1986; Bohannon and Walsh, 1992), to balance (r 0.60; Richards et al., 1995), to motor recovery (r 0.62; Brandstater et al., 1983), to functional mobility (r 0.61; Podsiadlo and Richardson, 1991), and negatively correlated to spasticity of the lower extremity (Norton et al., 1975; Lamontagne et al., 2001; Hsu et al., 2003). Moreover, subjects who walk faster tend to have a better walking pattern (Wade et al., 1987; Richards et al., 1995).

Kecepatan Kiprah pada kecepatan yang nyaman kemungkinan bestknown yang mengukur kinerja berjalan (Wade, 1992; lihat Volume II, Bab 3). Tes berjalan Jangka waktu (lebih dari 5, 10 atau 30 m) yang mudah dibawa keluar dan ketika Instruksi standar yang digunakan, antar-rater (Holden et al, 1984;.. Wade et al, 1987) dan tes-tes ulang keandalan (Holden et al, 1984;. Evans et al, 1997.) dari ukuran kecepatan berjalan pada orang stroke tinggi. The validitas konstruk dari kecepatan berjalan yang juga sangat baik. Pada orang dengan stroke, nyaman kecepatan berjalan telah terbukti berkorelasi positif kekuatan (r _ 0,25-0,67) yang lebih rendah ekstremitas (Bohannon, 1986; Bohannon dan Walsh, 1992), untuk menyeimbangkan (r _ 0,60;. Richards et al, 1995), untuk pemulihan bermotor (r _ 0.62;. Brandstater et al, 1983), mobilitas fungsional (r _ 0.61; Podsiadlo dan Richardson, 1991), dan berkorelasi negatif dengan spastisitas ekstremitas bawah (Norton et al., 1975; Lamontagne et al, 2001.; Hsu et al., 2003). Selain itu, subyek yang berjalan lebih cepat cenderung memiliki pola berjalan lebih baik (Wade et al, 1987;. Richards et al., 1995).

Reabilitas, validitas, dan respon dari kecepatan gaya berjalan

Kecepatan gaya berjalan dengan langkah yang nyaman lebih sering dikenal dengan performa berjalan. Uji waktu berjalan (lebih dari 5,10, atau 30 m) mudah dilakukan dan ketika instruksi standar digunakan, penilaian dan survey reabilitas dari pengukuran kecepatan berjalan pada seseorang dengan stroke adalah tinggi. Konsep validitas dari kecepatan berjalan juga sangat baik. Pada penderita stroke, kenyamanan kecepatan berjalan telah menunjukkan secara positif korelasi kekuatan dari ekstremitas bawah dengan keseimbangan, perbaikan motoric, mobilitas fungsional, dan korelasi secara negative dengan spastisitas ekstremitas bawah. Selain itu, seseorang yang berjalan dengan cepat cenderung memiliki pola berjalan yang lebih baik.

Thus, in terms of reliability and validity, the 10-minwalk (10mW) test at natural or free pace is a very good measure, but is it always the most responsive measure? For example, should maximum gait speed also be tested to assess the capacity of persons with stroke to have a burst of speed to, for example cross a busy street (Nakamura et al., 1988; Suzuki et al., 1990; Bohannon and Walsh, 1992). Others believe measuring gait speed over 5 m is enough. For the sake of argument, let us define “measure of choice” as the measure that is most responsive to change as determined by the SRM. Salbach et al. (2001) examined the responsiveness of four different timed gait tests in 50 persons, tested an average of 8 and 38 days after stroke. They found the 5-min walk (5mW) at comfortable pace test was most responsive followed by the 5mW maximum pace, the 10mW comfortable and the 10mW maximum pace. Responsiveness of a measure of physical performance cannot be generalized because it is related to stroke severity. Table 1.1 compares data from two studies, one with subjects in the early (Salbach et al., 2001)

Page 3: fisioterapi berjalan

and the other in a subacute phase (Richards et al., 2004) post-stroke. It gives estimates of the magnitude of change that can be expected in clinical measures over 8 weeks.

Dengan demikian, dalam hal reliabilitas dan validitas, 10-min berjalan (10mW) tes dengan kecepatan alami atau bebas adalah sangat baik mengukur, tetapi apakah itu selalu ukuran yang paling responsif? Misalnya, harus kecepatan kiprah maksimum juga diuji untuk menilai kapasitas orang stroke memiliki ledakan kecepatan, misalnya menyeberangi sibuk jalan (Nakamura et al, 1988;. Suzuki et al, 1990.; Bohannon dan Walsh, 1992). Lainnya percaya mengukur kecepatan kiprah lebih dari 5 m cukup. Demi argumen, mari kita mendefinisikan "ukuran pilihan" sebagai mengukur yang paling responsif terhadap perubahan sebagaimana ditentukan oleh SRM. Salbach et al. (2001) meneliti respon dari empat tes kiprah waktunya berbeda dalam 50 orang, diuji rata-rata 8 dan 38 hari setelah stroke. Mereka menemukan 5-menit berjalan kaki (5mW) di nyaman Uji kecepatan itu paling responsif diikuti oleh 5mW kecepatan maksimum, 10mW nyaman dan kecepatan maksimum 10mW. ketanggapan ukuran kinerja fisik tidak dapat digeneralisasi karena terkait dengan keparahan stroke. tabel 1.1 membandingkan data dari dua studi, satu dengan mata pelajaran di awal (Salbach et al., 2001) dan yang lainnya di subakut sebuah fase (Richards et al., 2004) pasca-stroke. Ini memberikan perkiraan besarnya perubahan yang dapat diharapkan dalam tindakan klinis lebih dari 8 minggu.

Dengan demikian, pada istilah reabilitas dan validitas, pada uji 10 menit berjalan dengan langkah natural atau bebas merupakan pengukuran yang sangat baik, tetapi apakah pengukuran tersebut selalu memiliki respon? Contohnyaharuskah kecepatan maksimum gaya berjalan juga diuji untuk menilai kapasitas seseorang dengan stroke memiliki kecepatan penuh, contohnya pada saat menyebrang jalan yang padat. Di lain pihak berpendapat bahwa pengukuran gaya berjalan lebih dari 5 m sudah cukup. Untuk medukung argument tersebut, mari kita definisikan “pengukuran berdasarkan pilihan” sebagai pengukuran paling responsive untuk mengubah sebagai penetapan oleh SRM. Salbach dkk memeriksa respon dari 4 tes waktu gaya berjalan yang berbeda pada 50 orang, di uji pada rata-rata 8 hingga 38 hari setelah stroke. Mereka menemukan 5 menit waktu berjalan pada langkah yang nyaman merupakan paling responsive diikuti 5 menit berjalan langkah maksimum, 10 menit berjalan langkah yang nyaman, dan 10 menit langkah maksimum. Respon pengukuran dari performa fisik tidak dapat digeneralisasikan karena hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan stroke. Table 1.1 membandingkan data dari dua penelitian, 1 dengan subjekpada awal post-stroke dan yang lainnya pada fase sub-akut post sroke. Hal ini memberikan perkiraan besarnya perubahan yang dapat diperkirakan pada pengukuran klinis setelah 8 minggu.

As demonstrated by the Salbach et al. data, the 5mW was more responsive than the timed up and go (TUG) (Podsiadlo and Richardson, 1991) or the balance scale (Berg et al., 1989, 1992a, b, 1995). On the other hand, in the Richards et al. data, the Barthel index (Mahoney and Barthel, 1954) ambulation subscore was the most sensitive measure, followed by the balance scale and the TUG. In this group of subjects, walking speed was less sensitive, likely due to the more severe disability as indicated by the walking speed and TUG time. The balance scale scores, however, are comparable between groups at both evaluations and the SRMs indicate that it is the second most responsive measure for both groups.

Page 4: fisioterapi berjalan

Sebagaimana ditunjukkan oleh Salbach et al. data, 5mW lebih responsif daripada waktunya dan pergi (TUG) (Podsiadlo dan Richardson, 1991) atau timbangan (Berg et al., 1989, 1992a, b, 1995). pada Sebaliknya, di Richards et al. data, Barthel Indeks (Mahoney dan Barthel, 1954) ambulasi subscore adalah ukuran yang paling sensitif, diikuti oleh skala keseimbangan dan TUG tersebut. Dalam kelompok ini subyek, kecepatan berjalan kurang sensitif, mungkin karena dengan kecacatan yang lebih parah seperti yang ditunjukkan oleh berjalan kecepatan dan TUG waktu. Skala Keseimbangan skor, bagaimanapun, adalah sebanding antara kelompok di baik evaluasi dan SRMnya menunjukkan bahwa itu adalah kedua ukuran yang paling responsif untuk kedua kelompok.

Seperti data yang ditunjukkan oleh salbach dkk, 5 menit berjalan lebih responsive the time up and go (TUG) atau skala keseimbangan. Dilain pihak, data Richard dkk, Barthel index ambulation score merupakan pengukuran paling sensitive, diikuti dengan skala kesemibangan dan TUG. Pada kelompok subjek ini, kecepatan berjalan kurang sensitive, kemungkinan karena keparahan diabilitas yang diindikasi kan oleh kecepatan berjalan dan waktu TUG. Namun demikian, Skor skala keseimbangan dibandngkan antar kelompok dan dievaluasi, SRM merupakan pengukuran kedua paling responsive pada kedua kelompok.

To further examine the relation between stroke severity, as gauged by walking speed, and responsiveness, data from the sub-acute stroke subjects in the Richards et al. (2004) study were subdivided

Untuk lebih menguji hubungan antara stroke yang keparahan, sebagaimana diukur dengan kecepatan berjalan, dan responsif, data dari subyek Stroke sub-akut di al Richards et. (2004) penelitian yang dibagi

Untuk lebih memeriksa hubugan antara keparahan stroke, yang diukur dengan kecepatan berjalan dan respinnya, data dari subjek stroke sub akut pada penelitian Richard dkk dibagi berdasarkan apakah subjek berjalan 0,3 atau 0,3 m/s di gari dasar.

Tabel 1.1.Magnitude perubahan selama periode 8 minggu pada orang dengan stroke akut dan sub-akut.

Table 1.1 besar perubahan periode lebih dari 8 minggi pada orang dengan stroke akut dan sub akut.

Page 5: fisioterapi berjalan

Data untuk mata pelajaran dengan stroke akut diperoleh dari Salbach et al. (2001); subyek, menjalani rehabilitasi rutin dievaluasi 1 minggu pasca stroke dan 8 minggu kemudian. Data untuk mata pelajaran stroke sub-akut diambil dari Richards et al. (2004); subyek yang menerima terapi fisik berorientasi pada tugas, dievaluasi rata-rata 52-hari pasca-stroke dan 8 minggu kemudian. SRM yang mewakili Rata-perubahan rata-rata selama periode waktu tertentu dibagi dengan SD dari perubahan itu.

* Kecepatan berjalan yang nyaman diukur selama 5, 10 atau 30 m. Maksimum (max.) Skor untuk setiap ukuran yang ditunjukkan pada kolom pertama; nilai-nilai memberikan rata-rata atau rata-rata _ 1 SD.Data untuk subjek dengan stroke akur diperoleh dari salbach dkk. Subjek menjalani rehabilitasi rutin dan dievaluasi 1 minggu post stroke dan 8 minggu kemudian. Data untuk subjek stroke akut diambil dari Richard dkk; subjekyang menerima tugas terapi berorientasi fisik dievaluasi tara-rata 52 hari post stroke dan 8 minggu kemudian. SRM yang mewakili skor perubahan rata-rata selama periode waktu tertentu dibagi dengan standar deviasi perubahan. kecepatan Berjalan yang nyaman diukur selama 5,10, atau 30 m. skor maksimum untuk stiap ukuran yang ditunjukkan pada kolom pertama. Nilai yang bermakna atau rata-rata +-- 1SD.

according to whether the subjects walked 0.3 or 0.3 m/s at baseline. Figure 1.1 compares the SRM values of the different measures in the two groups. Although the Barthel ambulation subscore remains the most responsive, the SRM is closer to the TUG and gait speed values in the faster walking group and conversely, the balance scale is more responsive in the slower walking group. These results are similar to those reported by Salbach et al. (2001) and Richards et al. (1995), in persons with acute stroke. Such results illustrate how floor and ceiling effects relate to responsiveness. When selecting a locomotor-related outcome measure it is important to consider the locomotor abilities of the persons to be evaluated. The Fugl-Meyer leg (FM-L) (Fugl-Meyer et al., 1975) subscale and the balance scale which rate the achievement of

Page 6: fisioterapi berjalan

movement tasks, have a ceiling effect when evaluating higherperforming subjects. Conversely, walking speed can have a floor effect when evaluating subjects who walk at very slow speeds and require assistance (Richards et al., 1995). The TUG also has a floor effect because many subjects cannot complete the test 2 months after stroke (Richards et al., 1999)..

menurut apakah subyek berjalan _0.3 atau _0.3 m / s pada awal. Gambar 1.1 membandingkan Nilai SRM dari langkah-langkah yang berbeda dalam dua kelompok. Meskipun Barthel ambulasi subscore tetap yang paling responsif, SRM lebih dekat ke TUG dan kiprah nilai kecepatan dalam cepat berjalan kelompok dan sebaliknya, timbangan lebih responsif dalam kelompok berjalan lebih lambat. Maskapai hasilnya sama dengan yang dilaporkan oleh Salbach et al. (2001) dan Richards et al. (1995), pada orang dengan stroke akut. Hasil tersebut menggambarkan bagaimana lantai dan efek langit-langit berhubungan dengan respon. ketika memilih a-lokomotor terkait hasil pengukuran itu penting untuk mempertimbangkan kemampuan lokomotor dari orang yang akan menilai. The Fugl-Meyer leg (FM-L) (Fugl-Meyer et al., 1975) subskala dan keseimbangan skala yang menilai pencapaian gerakan tugas, memiliki efek langit-langit ketika mengevaluasi higherperforming subyek. Sebaliknya, kecepatan berjalan bisa memiliki efek lantai ketika mengevaluasi subyek yang berjalan pada kecepatan yang sangat lambat dan memerlukan bantuan (Richards et al., 1995). TUG juga memiliki lantai efek karena banyak mata pelajaran tidak dapat menyelesaikan test 2 bulan setelah stroke (Richards et al., 1999).

gambar 1.1 membndingkan perbedaan nilai SRM pada dua grup. Walaupun barthel ambulation score merupakan yang paling responsive, SRM lebih dekat dengan TUG dan penilaian kecepatan gaya berjalan pada kelompok yang berjalan lebih cepat dan sebaliknya skala keseimbangan lebih responsif pada kelompok yang berjalan lebih lambat. Ketika memilih alat gerak terkait dengan penilaian hasil, penting untuk mempertimbangkan kemampuan alat gerak dari seseorang untuk dievaluasi. The Fugl-Meyer leg (FM-L) (Fugl-Meyer et al., 1975) subscale dan skala keseimbangan yang menilai tugas pencapaian gerakan memiliki efek tinggi ketika mengevaluasi subjek yang performanya lebih tinggi. Sebaliknya, kecepatan berjalan memiliki efek yang rendah ketika mengevaluasi subjek yang berjalan dengan kecepatan paling lambat dan memerlukan bantuan. TUG juga memiliki efek yang rendah karena banyak subjek tidak dapat menyelesaikan tes 2 bulan setelah stroke.

We must now question the classical recovery curve that has been defined by plotting change over time in clinical measures that have a ceiling effect. Thus, it is generally accepted that most recovery occurs in the first 6-week post-stroke when the effects of rehabilitation augment natural recovery. Thereafter, recovery slows but continues up to about 6-month post-stroke (Skilbeck et al., 1983; Richards et al., 1992; Jorgensen et al., 1995). With a continuous measure such as gait speed, however, recovery has been documented up to 2-year poststroke (Richards et al., 1995). Moreover, a number of intervention studies in persons with chronic stroke have confirmed that recovery of function (Dean et al., 2000; Tangeman et al., 1990; Teixeira-Salmela et al., 1999, 2001; Salbach et al., 2004) and changes in brain organization (Liepert et al., 2000) occur beyond 6 months post-stroke.

Page 7: fisioterapi berjalan

Kita sekarang harus mempertanyakan pemulihan klasik kurva yang telah didefinisikan dengan memplot perubahan atas waktu dalam tindakan klinis yang memiliki efek langit-langit. Dengan demikian, secara umum diterima bahwa sebagian besar pemulihan terjadi pada 6 pertama minggu pasca stroke ketika efek rehabilitasi meningkatkan pemulihan alami. Setelah itu, pemulihan melambat namun terus hingga sekitar 6 bulan pasca stroke (Skilbeck et al, 1983.; Richards et al, 1992.; Jorgensen et al., 1995). dengan ukuran terus-menerus seperti kecepatan kiprah, bagaimanapun, pemulihan telah didokumentasikan hingga 2 tahun pasca stroke (Richards et al., 1995). Selain itu, sejumlah studi intervensi pada orang dengan stroke yang kronis telah mengkonfirmasi bahwa pemulihan fungsi (Dean et al, 2000.; Tangeman et al, 1990.; Teixeira-Salmela et al, 1999, 2001.; Salbach et al., 2004) dan perubahan dalam organisasi otak (Liepert et al., 2000) terjadi lebih dari 6 bulan pasca stroke

Kita sekarang harus mempertanyakan kurva pemulihan klasikyang telahdidefinisikan dengan memplot perubahan dari waktu ke waktu pada pengukuran klinis yang memiliki efek yang tinggi. Dengan demikian secara umum diterima bahwa kebanyakan pemulihan terjadi pada 6 minggu pertama post stroke. Dengan pengukuran terus menerus pada kecepatan gaya berjalan, tetapi pemulihan telah ditetapkan setelah 2 tahun post stroke. Selain itu, sejumlah penelitian intervensi pada orang dengan stroke kronik telah dikonfirmasi bahwa pemulihan fungsi dan perubahan organisasi otak muncul setelah 6 bulan post stroke.

Page 8: fisioterapi berjalan

Perbandingan respon selama enam hasil langkah-langkah yang ditentukan oleh SRM (y-axis) dalam mata pelajaran (n _ 62) stroke sub-akut yang berjalan di lambat (_0.30 m / s) atau kecepatan sedang (_0.30 m / s) pada awal. BA: Barthel index ambulation subscalesubskala ambulasi; BB: timbangan; FM-A: Fugl-Meyer lengan subskala; speed: kecepatan berjalan pada kecepatan yang nyaman. Data dari Richards et al. (2004).

Gambar 1.1.perbandingan respon pada 6 hasil pengukutan yang ditentukan oleh SRM 9y-axis) pada subjek (n=62) dengan stroke sub-akut yang berjalan lambat (<0,30 m/s) atau kecepatan sedang (>0,30 m/s) pada garis awal. BA: Barthel index ambulation subscale; BB: sklala keseimbangan ; FM-A: Fugl-Meyer arm subscale;; speed: kecepatan berjalan pada kecepatan yang nyaman. Data dari Richards et al. (2004).

When examining change in outcome measures, it is important to question whether the amount of change is larger than the measurement error. For continuous measures, such as walking speed, systematic and random error in repeated measures (measurement error) can be mathematically derived (Evans et al., 1997). It is also possible to calculate the standard error of

Page 9: fisioterapi berjalan

the mean of scale scores from published reliability studies (Stratford, 2004). Once it is established if the change is greater than the error estimation, it becomes important to decide the MID. For example, the MID of the balance scale is 6 points (Stevenson, 2001), for the 6-min walk (6MINW) test it is 54 m (Redelmeier et al., 1997) and for the Stroke Impact Scale it is 10–15 points on a subscale (Duncan et al., 1999). One suggested MID for scale scores is a change of about 11% (Iyer et al., 2003), another is the value one-half an SD of baseline scores (Norman et al., 2003).

Ketika memeriksa perubahan dalam ukuran hasil, penting untuk mempertanyakan apakah jumlah perubahan lebih besar dari kesalahan pengukuran. untuk terus menerus langkah-langkah, seperti kecepatan berjalan, sistematis dan kesalahan acak dalam tindakan berulang (pengukuran error) dapat diturunkan secara matematis (Evans et al., 1997). Hal ini juga memungkinkan untuk menghitung standar error dari rata-rata nilai skala dari diterbitkan Studi keandalan (Stratford, 2004). Setelah itu didirikan jika perubahan itu lebih besar dari kesalahan estimasi, menjadi penting untuk menentukan MID. Sebagai contoh, MID dari skala keseimbangan 6 poin (Stevenson, 2001), untuk 6-menit berjalan kaki (6MINW) tes itu adalah 54 m (Redelmeier et al., 1997) dan untuk Skala Dampak Stroke adalah 10-15 poin pada subskala (Duncan et al., 1999). Satu disarankan MID untuk nilai skala adalah perubahan sekitar 11% (Iyer et al., 2003), yang lain adalah nilai satu-setengah dari SD Skor dasar (Norman et al., 2003).

Ketika memeriksa perubahan pada pengukuran hasil, hal ini penting untuk mempertanyakan apakah jumlah perubahan lebih besar dari kesalahan pengukuran. untukpengukuran terus menerus, seperti kecepatan berjalan, kesalahan sistematis dan acak dalam pengukuran berulang (kesalahan pengukuran) dapat diperkirakan secara matematis (Evans et al., 1997). Hal ini juga memungkinkan untuk menghitung standar error dari rata-rata nilai skala dari penelitian reabilitas yang telah dipublikasi (Stratford, 2004). Setelah ditetapkan jika perubahan itu lebih besar dari kesalahan estimasi, hal ini menjadi penting untuk menentukan MID. Sebagai contoh, MID dari skala keseimbangan adalah 6 poin (Stevenson, 2001), untuk uji 6-menit berjalan kaki (6MINW) itu adalah 54 m (Redelmeier et al., 1997) dan untuk Skala Dampak Stroke adalah 10-15 poin pada subskala (Duncan et al., 1999). Disarankan MID untuk nilai skala adalah perubahan sekitar 11% (Iyer et al., 2003), di lain pihak bernilai satu-setengah dari SD Skor dasar (Norman et al., 2003).

Clearly, walking speed alone will not evaluate aspects of walking competency related to endurance, the ability to ascend or descend stairs, or navigate in different terrains under various environmental conditions (Malouin and Richards, 2005). In real life, one usually must rise from a bed or a chair before beginning to walk, not easy tasks for persons with stroke, in part because the affected leg supports less than 50% of the body weight (Engardt and Olsson, 1992; Malouin et al., 2003, 2004a, b). The physical demands of rising from a chair, as measured by the percent maximum muscle activation level (PMAL) of the vastus medialis, are more than triple the approximately 25% PMAL needed for walking, and larger than the 65% PMAL required for stair ascent in healthy subjects (Richards, 1985; Richards et al., 1989). A mobility test like the TUG thus also assesses the ability to perform the sub-tasks of rising and sitting, walking initiation and walking. Stair ascent and descent of a flight of 14 stairs can be added to the TUG to create the more difficult stair test (Perron et al., 2003). Although persons with a

Page 10: fisioterapi berjalan

dynamic strength deficit of about 25% in the knee extensors (Moffet et al., 1993a, b) can walk without apparent disability, stair climbing will reveal the impairment. The recently developed rise-to-walk test (Dion et al., 2003; Malouin et al., 2003) combines the sit-to-rise test with walking initiation, thus combining two different motor programs while remaining an easier test than the TUG because it does not require the subject to walk 3 m. Subjects with more severe stroke are less able to smoothly transfer from one activity to another and tend to perform first one task and then the second (Dion et al., 2003). This decreased fluidity of task merging can be evaluated in the laboratory (Dion et al., 2003), or by a recently validated clinical method (Malouin et al., 2003).

Jelas, kecepatan berjalan sendirian tidak akan mengevaluasi aspek kompetensi berjalan berkaitan dengan daya tahan, kemampuan untuk naik atau turun tangga, atau menavigasi di medan yang berbeda di bawah berbagai lingkungan kondisi (Malouin dan Richards, 2005). Dalam kehidupan nyata, seseorang biasanya harus bangkit dari tempat tidur atau kursi sebelum mulai berjalan, tidak mudah tugas untuk orang dengan stroke, sebagian karena kaki yang terkena mendukung kurang dari 50% dari berat badan (Engardt dan Olsson, 1992; Malouin et al., 2003, 2004a, b). tuntutan fisik bangkit dari kursi, yang diukur oleh aktivasi otot persen maksimum tingkat (PMAL) dari medialis vastus, lebih dari tiga kali lipat PMAL sekitar 25% yang dibutuhkan untuk berjalan, dan lebih besar dari 65% PMAL diperlukan untuk tangga pendakian pada subyek sehat (Richards, 1985; Richards et al., 1989). Sebuah tes mobilitas seperti TUG tersebut demikian juga menilai kemampuan untuk melakukan sub-tugas meningkat dan duduk, berjalan inisiasi dan berjalan. Tangga pendakian dan keturunan dari penerbangan dari 14 tangga dapat ditambahkan ke TUG untuk menciptakan tangga lebih sulit test (Perron et al., 2003). Meskipun orang dengan Defisit kekuatan dinamis sekitar 25% di lutut ekstensor (Moffet et al., 1993a, b) dapat berjalan tanpa cacat jelas, memanjat tangga akan mengungkapkan penurunan nilai. Baru-baru ini dikembangkan naik-to-jalan test (Dion et al, 2003;. Malouin et al, 2003.) menggabungkan tes sit-to-rise dengan berjalan inisiasi, sehingga menggabungkan dua program motor yang berbeda saat sisa tes lebih mudah daripada TUG karena tidak memerlukan subjek untuk berjalan 3 m. subyek stroke lebih parah kurang mampu lancar mentransfer dari satu aktivitas ke aktivitas lain dan cenderung melakukan pertama satu tugas dan kemudian yang kedua (Dion et al., 2003). Ini penurunan fluiditas tugas penggabungan dapat dievaluasi di laboratorium (Dion et al., 2003), atau dengan metode klinis baru-baru ini divalidasi (Malouin et al., 2003).

Secara jelas, kecepatan berjalan itu sendiri tidak akan mengevaluasi aspek kompetensi berjalan yang berkaitan dengan daya tahan, kemampuan untuk naik atau turun tangga, atau menavigasi di medan yang berbeda pada berbagai kondisi lingkungan (Malouin dan Richards, 2005). Dalam kehidupan nyata, seseorang biasanya harus bangkit dari tempat tidur atau kursi sebelum mulai berjalan, hal ini tidak mudah untuk seseorang yang menderita stroke, karena tungkai kaki menyokong berat badan kurang dari 50% (Engardt dan Olsson, 1992; Malouin et al., 2003, 2004a, b). kebutuhan fisik untuk bangkit dari kursi, yang diukur oleh presentasi maksimum tingkat aktivitas (PMAL) dari vastus medialis, lebih dari tiga kali lipat PMAL yaitu sekitar 25% yang dibutuhkan untuk berjalan, dan lebih besar dari 65% PMAL diperlukan untuk naik tangga pada subyek yang sehat (Richards, 1985; Richards et al.,

Page 11: fisioterapi berjalan

1989). Sebuah tes mobilitas seperti TUG juga menilai kemampuan untuk melakukan kegiatan berdiri dan duduk, inisiasi berjalan dan berjalan. Naik dan turun tanggaserta naik 14 anak tangga dapat ditambahkan ke TUG untuk membuat uji tangga lebih sulit test (Perron et al., 2003). Meskipun orang dengan Defisit kekuatan dinamis sekitar 25% pada ekstensor lutut (Moffet et al., 1993a, b) dapat berjalan tanpa tampak adanya diabilitas yang jelas, pada saat naik tangga akan memperlihatkan kelemahan tersebut. Baru-baru ini dikembangkan rise to walk test (uji berdiri untu berjalan) (Dion et al, 2003;. Malouin et al, 2003.) digabungkan dengan sit-to-rise test (uji duduk untuk berdiri) dengan inisiasi berjalan, kombinasi dua program motor yang berbeda merupakan uji yang lebih mudah daripada TUG karena subjek tidak perlu berjalan sejauh 3 m. Subyek dengan stroke yang lebih parah kurang mampu untuk pindah dari satu aktivitas ke aktivitas lain dan cenderung melakukan tugas pertama dan kemudian baru yang kedua (Dion et al., 2003). Penurunan ketidakstabilan penggabungan tugas dapat dievaluasi di laboratorium (Dion et al., 2003), atau dengan metode klinis terbaru-yang tervalidasi (Malouin et al., 2003).

Poor endurance (Potempa et al., 1995; Macko et al., 1997), largely ignored in clinical practice, has become the focus of much research and the 6 MINW test, that measures functional endurance, has been selected as an outcome measure in a number of stroke trials (Visintin et al., 1998; Dean et al., 2000; Nilsson et al., 2001; Duncan et al., 2003; Salbach et al., 2004). Moreover, the practice of calculating the distance walked in 6 min from the walking speed over 10 m overestimates the actual distance (Dean et al., 2001). Even persons with chronic stroke who walk at near-normal speed (122–142 cm/s) may require functional endurance training (Richards et al., 1999), highlighting the importance of using tests with increasing physical demands.

Ketahanan Miskin (Potempa et al, 1995;. Macko et al,. 1997), sebagian besar diabaikan dalam praktek klinis, telah menjadi fokus dari banyak penelitian dan uji 6 MINW, bahwa langkah-langkah ketahanan fungsional, telah terpilih sebagai ukuran hasil di sejumlah percobaan stroke (Visintin et al, 1998;. Dean et al, 2000.; Nilsson et al, 2001.; Duncan et al, 2003.; Salbach et al., 2004). Selain itu, praktekmenghitung jarak berjalan di 6 menit dari kecepatan berjalan lebih dari 10 m overestimates jarak yang sebenarnya (Dean et al., 2001). Bahkan orang stroke kronis yang berjalan di mendekati normal kecepatan (122-142 cm / s) mungkin memerlukan pelatihan ketahanan fungsional (Richards et al., 1999), menyoroti pentingnya menggunakan tes dengan meningkatkan tuntutan fisik.

Ketahanan yang kkurang baik (Potempa et al, 1995;. Macko et al,. 1997), yang sebagian besar diabaikan dalam praktek klinis, telah menjadi fokus dari banyak penelitian dan uji 6 MINW, yang mengukur ketahanan fungsional, telah terpilih sebagai pengukuran hasil di sejumlah percobaan stroke (Visintin et al, 1998;. Dean et al, 2000.; Nilsson et al, 2001.; Duncan et al, 2003.; Salbach et al., 2004). Selain itu, praktekmenghitung jarak berjalan di 6 menit dari kecepatan berjalan lebih dari 10 m lebih dari perkiraan jarak yang sebenarnya (Dean et al., 2001). Bahkan seseorang dengan stroke kronis yang berjalan mendekati kecepatan normal (122-142 cm / s) mungkin memerlukan pelatihan ketahanan fungsional

Page 12: fisioterapi berjalan

(Richards et al., 1999), menyoroti pentingnya menggunakan tes dengan meningkatkan kebutuhan fisik.

“Walking competency” as a goal of therapy is relatively new, particularly those aspects related to cognitive processes such as anticipatory control and navigational skills. Clinicians and researchers alike are grappling to develop new approaches for both therapy and evaluation. The dynamic gait index evaluates the ability to modify gait in response to changing task demands. It is able to predict falls in the elderly (Shumway-Cook et al., 1997) and in persons with vestibular problems (Whitney et al., 2000), although the reliability of certain items has been questioned in this population (Wrisley et al., 2003). Others have investigated the dimensions of the physical environment that might impact on mobility. Understanding the relationship of environment to mobility is crucial to both prevention and rehabilitation of mobility problems in older adults (Shumway-Cook et al., 2002). One can argue that the best test of walking competency is to be able to participate in daily routines such as evaluated by the fitness, personal care, housing and mobility categories of the assessment of life habits (Life-H) instrument, based on the handicap creation process model (Fougeyrollas et al., 1998). It has been validated to assess many aspects of life participation of people with disabilities, regardless of the type of underlying impairment (Fougeyrollas and Noreau, 2001). It is not surprising that Desrosiers et al. (2003) have reported high correlations between participation (handicap situations) measured by the Life-H, and impairment and disability measures of the leg, supporting the importance of mobility and gait speed (Perry et al., 1995) to promote social integration after stroke.

"Berjalan kompetensi" sebagai tujuan terapi relatif baru, khususnya aspek-aspek yang berkaitan dengan kognitif proses seperti kontrol antisipatif dan keterampilan navigasi. Dokter dan peneliti sama bergulat untuk mengembangkan pendekatan baru untuk kedua terapi dan evaluasi. Indeks kiprah dinamis mengevaluasi kemampuan untuk mengubah kiprah dalam menanggapi mengubah tuntutan tugas. Hal ini dapat memprediksi jatuh di orang tua (Shumway-Cook et al., 1997) dan dengan masalah vestibular (Whitney et al., 2000), meskipun keandalan item tertentu memiliki dipertanyakan pada populasi ini (Wrisley et al., 2003). Orang lain telah menyelidiki dimensi lingkungan fisik yang dapat berdampak terhadap mobilitas. Memahami hubungan lingkungan mobilitas sangat penting untuk kedua pencegahan dan rehabilitasi masalah mobilitas di tua orang dewasa (Shumway-Cook et al., 2002). Satu bisa berdebat bahwa tes terbaik dari kompetensi berjalan menjadi dapat berpartisipasi dalam rutinitas sehari-hari seperti menilai oleh kebugaran, perawatan pribadi, perumahan dan kategori mobilitas penilaian kebiasaan hidup (Hidup-H) alat apa, didasarkan pada penciptaan cacat model proses (Fougeyrollas et al., 1998). Ini telah divalidasi untuk menilai berbagai aspek kehidupan partisipasi penyandang cacat, terlepas dari jenis gangguan yang mendasari (Fougeyrollas dan Noreau, 2001). Hal ini tidak mengherankan bahwa Desrosiers et al. (2003) telah melaporkan korelasi tinggi antara partisipasi (situasi handicap) diukur dengan hidup-H, dan penurunan dan cacat langkah-langkah kaki, mendukung pentingnya mobilitas dan kecepatan kiprah (Perry et al., 1995) untuk mempromosikan integrasi sosial setelah stroke.

"kompetensi berjalan" sebagai tujuan terapi masih relatif baru, khususnya aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kognitif seperti kontrol antisipatif dan keterampilan navigasi. Dokter

Page 13: fisioterapi berjalan

dan peneliti sama bergulat untuk mengembangkan pendekatan baru untuk kedua terapi dan evaluasi. Indeks gaya berjalan dinamis mengevaluasi kemampuan untuk memodifikasi tuntutan tugas. Hal ini dapat memprediksi jatuh di orang tua (Shumway-Cook et al., 1997) dan pada seseorang dengan masalah vestibular (Whitney et al., 2000), meskipun reabilitas pada materi tertentu dipertanyakan pada populasi ini (Wrisley et al., 2003). Beberapa orang telah diinvestigasi dimensi lingkungan fisik dapat berdampak terhadap mobilitas. Memahami hubungan lingkungan mobilitas sangat penting untuk kedua pencegahan dan rehabilitasi dari masalah mobilitas pada orang tua (Shumway-Cook et al., 2002). Salah satu penelitian memaparkan bahwa tes terbaik dari kompetensi berjalan menjadi dapat berpartisipasi dalam rutinitas sehari-hari dinilai oleh kebugaran, perawatan pribadi, perumahan dan kategori mobilitas dalam penilaian instrument kebiasaan sehari-hari (Hidup-H), didasarkan pada proses penciptaan model handicap (Fougeyrollas et al., 1998). Hal ini telah divalidasi untuk menilai berbagai aspek partisipasi kehidupan para difabel, terlepas dari jenis gangguan yang mendasari (Fougeyrollas dan Noreau, 2001). Hal ini tidak mengherankan bahwa Desrosiers et al. (2003) telah melaporkan korelasi tinggi antara partisipasi (situasi handicap) dan gangguan serta pengukuran disabilitas tungkai oleh life-H d (Perry et al., 1995) untuk mempromosikan integrasi sosial setelah stroke.

1.5 The use of laboratory-based gait assessments and measures of brain reorganization help explain changes in clinical scales and performance-based measures

1.5 penggunaan laboratorium berdasarkan penilaian gaya berjalandan pengukuran reorganisasi otak untuk membantu menjelaskan skala klinik dan pengukuran berdasarkan performa

Laboratory outcome measures

Pengukuran hasil laboratorium

This section will briefly illustrate how laboratory outcome measures can be used to:

Bagian ini akan secara singkat menggambarkan bagaimana pengukuran hasil laboratorium dapat digunakan untuk:

1 validate clinical measures,

1 memvalidasi tindakan klinis

2 explain the results of clinical outcomes,

2 menjelaskan hasil hasil klinis,

3 develop new measures,

3 mengembangkan pengukuran-pengukuran baru,

4 guide therapy.

4 panduan terapi.

In-depth gait studies (see Volume II, chapter 19) have elucidated the disturbed motor control during gait in persons after chronic stroke. Low muscle activations (paresis), hyperactive stretch reflexes, excessive coactivation of antagonist muscles and hypoextensibility of muscles

Page 14: fisioterapi berjalan

and tendons (Knutsson and Richards, 1979; Dietz et al., 1981; Lamontagne et al., 2000a, b, 2001, 2002) may be present to a different extent across subjects. While analysis of gait movements and muscle activations recorded concomitantly during a laboratory gait study allow for the differentiation of the salient motor disturbance (Knutsson and Richards, 1979) to guide therapy, such analyses are not available to usual clinical practice. From studies of moments of force and mechanical power produced by the muscle activations during walking, we know that the main propulsive force comes from the “push-off” contraction of the ankle plantarflexors (generation of power) at the end of the stance phase aided by the “pull-off” contraction of the hip flexors (generation of power) at swing initiation and the contraction of the hip extensors in early stance (Olney et al., 1991; Winter, 1991; Olney and Richards, 1996). Moreover, in persons with chronic stroke, Olney et al. (1994) found the power generated by the hip flexors and ankle plantarflexors of the paretic lower extremity to be the best predictors of walking speed. These laboratory results point to the ankle plantarflexors and hip flexors as muscles to be targeted in therapy to promote better walking speed (Olney et al., 1997; Richards et al., 1998; Dean et al., 2000; Teixeira- Salmela et al., 2001; Richards et al., 2004).

Dalam penelitian yang mendalam I gaya berjalan (lihat Jilid II, Bab 19) telah menjelaskan gangguan control motorik pada saat berjalan pada seseorang setelah stroke kronis. Aktivitas otot Rendah (paresis), refleks regang hiperaktif , coactivation otot antagonis berlebihan dan hypoextensi otot dan tendon (Knutsson dan Richards, 1979; Dietz et al, 1981.; Lamontagne et al., 2000a, b, 2001, 2002) dapat muncul dengan batas yang berbeda pada antar subjek. Sedangkan analisa pergerakan gaya berjalan dan aktivasi otot direkam bersamaan selama penelitian laboratorium gaya berjalan yang memungkinkan untuk diferensiasi gangguan motorik menonjol (Knutsson dan Richards, 1979) untuk memandu terapi, analisis tersebut tidak tersedia untuk praktek klinis biasa. Dari penelitian momen kekuatan dan kekuatan mekanikyang dihasilkan oleh para aktivasi otot selama berjalan, kita tahu bahwa kekuatan pendorong utama berasal dari kontraksi dorongan plantarflexors pergelangan kaki (kekuatan pembangkit) pada akhir fase sikap dibantu oleh kontraksi dorongan fleksor pinggul (kekuatan pembangkit) di inisiasi ayunan dan kontraksi ekstensor hip dalam sikap awal (Olney et al, 1991.; Musim dingin, 1991; Olney dan Richards, 1996). Selain itu, pada orang dengan stroke yang kronis, Olney et al. (1994) menemukan kekuatan yang dihasilkan oleh fleksor pinggul dan plantarflexors pergelangan kaki dari tungkai bawah paretic untuk menjadi prediktor terbaik dari kecepatan berjalan. Hasil laboratorium ini menunjuk ke plantarflexors pergelangan kaki dan fleksor pinggul sebagai otot yang akan ditargetkan dalam terapi untuk meningkatkan kecepatan berjalan lebih baik (Olney et al, 1997.; Richards et al, 1998.; Dean et al, 2000.; Teixeira- Salmela et al, 2001.; Richards et al., 2004).

While gait speed can be used to discern a change in functional status, it does not explain why the person walks faster. An analysis of gait kinetics (muscle activations, momen, powers, work) is needed to pinpoint the source of the increased speed. For example, in a recent trial evaluating the effects of task-oriented physical therapy, Richards et al. (2004) were able to attribute 27% of the improvement in walking speed to a better plantarflexor power burst.

Sementara kecepatan gaya berjalan dapat digunakan untuk membedakan perubahan dalam status fungsional, tidak dijelaskan mengapa orang berjalan lebih cepat. Analisis kinetika gaya berjalan (aktivasi otot, momen, kekuatan, kerja) diperlukan untuk menentukan sumber peningkatan kecepatan. Sebagai contoh, dalam uji coba terakhir mengevaluasi dampak dari berorientasi tugas-terapi fisik, Richards et al. (2004)

Page 15: fisioterapi berjalan

mampu menghubungkan 27% dari peningkatan kecepatan berjalan untuk kekuatan maksimal plantarflexor yang lebih baik.

Many new therapeutic approaches and outcome measures are first developed in the laboratory. Much work, for example, has been done on obstacle avoidance in healthy persons (McFadyen and Winter, 1991; Gérin-Lajoie et al., 2002) and persons with stroke (Said et al., 1999, 2001). Virtual reality technology is now being applied to the development of training paradigms to enable persons with stroke to practice navigational skills safely in changing contextual environments (Comeau et al., 2003; McFadyen et al., 2004).

Banyak pendekatan terapi baru dan hasil pengukuran yang pertama kali dikembangkan di laboratorium. banyak pekerjaan, misalnya, telah dilakukan cara menghindari rintangan pada orang sehat (McFadyen dan Winter, 1991; Gerin-Lajoie et al., 2002) dan orang-orang dengan stroke (Kata et al., 1999, 2001). Virtual reality teknologi sekarang sedang diterapkan untuk pengembangan pelatihan paradigma agar orang-orang yang mengalami stroke untuk berlatih keterampilan navigasi secara aman dalam mengubah kontekstual lingkungan (Comeau et al, 2003;.. McFadyen et al, 2004).

An example of the use of laboratory data to validate a clinical measure is recent work related to the rise-to-walk test. The clinical fluidity scale of the rise-to-walk test was validated by comparing clinical decisions to the smoothness of the momentum curve derived from a biomechanical analysis made in the laboratory (Dion et al., 2003) and led to the development of a fluidity scale (Malouin et al., 2003).

Sebuah Contoh penggunaan data laboratorium untuk memvalidasi ukuran klinis karya terbaru terkait dengan rise-to-walk tes (uji berdiri untuk berjalan). Skala fluiditas klinis rise-to-walk test divalidasi dengan membandingkan keputusan klinis untuk kelancaran momentum kurva yang berasal dari analisis biomekanik dibuat di laboratorium (Dion et al., 2003) dan menyebabkan pengembangan skala fluiditas (Malouin et al., 2003).

Neuroimaging techniques for studying changes in brain activation patterns and their relationship with functional recovery Teknik neuroimaging pada penelitian merubah pola aktivasi dan hubungan pemulihan fungsional With the rapid development of neuroimaging techniques (Volume II, chapter 5), such as positronemitted tomography (PET), functional magnetic resonance imaging (fMRI) and transcranial magnetic stimulations (TMS; Volume I, Chapter 15), it has become possible to study neural organization associated with motor recovery after brain damage.

Dengan pesatnya perkembangan teknik neuroimaging teknik (Volume II, Bab 5), seperti positronemitted tomography (PET), magnetic resonance fungsional imaging (fMRI) dan transcranial magnetic

rangsangan (TMS, Volume I, Bab 15), telah menjadi mungkin untuk mempelajari organisasi saraf yang terkait dengan pemulihan motoric setelah kerusakan otak.

Page 16: fisioterapi berjalan

Numerous studies have looked at the predictive value of TMS (Hendricks et al., 2002; Liepert, 2003). It provides important prognostic information in the early stage after stroke. For instance, the persistence of motor evoked potentials (MEPs) in paretic muscles has been correlated with good motor recovery, whereas the lack of TMS responses is predictive of poor motor recovery. Patterns of brain activation can also be used early after stroke for predicting functional outcomes. In a longitudinal fMRI study, where hand motor scores were compared to the whole sensorimotor network activation, the early recruitment and high activation of the supplementary motor area (SMA) was correlated with faster or better recovery (Loubinoux et al., 2003). Based on findings from a study combining fMRI and TMS, it has been proposed that the early bilateral activation of the motor networks seen in patients with rapid and good recovery may be a prerequisite to regain motor function rapidly, and thus, may be predictive of motor recovery (Foltys et al., 2003).

Sejumlah penelitian telah melihat prediksi nilai TMS (Hendricks et al, 2002;. Liepert, 2003). Hal ini memberikan informasi prognostik penting dalam tahap awal setelah stroke. Misalnya, kekuatan motorik membangkitkan potensial (MEP) pada otot yang paresis telah berkorelasi dengan pemulihan motorik yang baik, sedangkan kurangnya respon TMS merupakan prediksi pemulihan motorik yang tidak baik. Pola aktivasi otak juga dapat digunakan lebih dulu setelah stroke untuk memprediksi hasil fungsional. Dalam studi fMRI longitudinal, di mana skor motorik tangan dibandingkan dengan seluruh aktivasi jaringan sensormotorik, pengerahan awal dan aktivasi tinggi dari area motoric tambahan (SMA) berkorelasi dengan lebih cepat atau pemulihan yang lebih baik (Loubinoux et al., 2003). Berdasarkan temuan dari penelitian menggabungkan fMRI dan TMS, telah dikemukakan bahwa aktivasi bilateral dari jaringan motorik yang singkat terlihat di pasien dengan pemulihan yang cepat dan baik mungkin prasyarat untuk mendapatkan kembali fungsi motorik dengan cepat, dan dengan demikian, mungkin prediksi dari pemulihan bermotor (Foltys et al., 2003).

Functional imaging and electrophysiologic brain imaging techniques have provided substantial information about adaptive changes of cerebral networks associated with recovery from brain damage (Calautti and Baron, 2003). For example, in two rigorously controlled studies, the effects of taskoriented training for the upper limb on brain activation patterns were studied using fMRI (Carey et al., 2002) and PET (Nelles et al., 2002). Both studies found that, in contrast to patients in control groups whose brain activation patterns remained unchanged, patients in the treatment groups displayed enhanced activations in the lesioned sensorimotor cortex in parallel with improved motor function. Similar correlations between changes in brain activation patterns and motor recovery have also been reported after a single dose of fluoxetine (Pariente et al., 2001). TMS mapping studies (Liepert, 2003) provide further evidence of a relationship between traininginduced cerebral changes and motor recovery. In these studies, TMS was used to map the motor output area (motor representation) of targeted muscles. Increased cortical excitability and a shift in the motor maps after active rehabilitation (Traversa et al., 1997) or constraint-induced therapy (Liepert et al., 2000) are associated with improved motor function suggesting treatment-induced reorganization in the affected hemisphere (Liepert et al., 2000).

Pencitraan fungsional dan teknik pencitraan elektropsikologi otak telah menyediakan substansial informasi tentang perubahan adaptif jaringan otak yang berhubungan dengan pemulihan dari kerusakan otak (Calautti dan Baron, 2003). Misalnya, dalam dua penelitian terkontrol secara teliti, efek pelatihan tugas terorientasi untuk ekstremitas atas pada pola aktivasi otak yang dipelajari dengan menggunakan fMRI (Carey et al., 2002) dan PET

Page 17: fisioterapi berjalan

(Nelles et al., 2002). kedua penelitian menemukan bahwa, perbandingan pasien dalam kelompok kontrol yang pola aktivasi otaknya tetap tidak berubah dengan pasien dalam kelompok perlakuan yang menunjukkan peningkatan aktivasi di korteks sensorimotor lesi secara paralel dengan perbaikan fungsi motorik. korelasi hampir sama antara perubahan pola aktivasi otak dan pemulihan bermotorik juga telah dilaporkan setelah pemberian fluoxetine dosis tunggal (Pariente et al., 2001). Studi pemetaan TMS (Liepert, 2003) memberikan bukti lebih lanjut hubungan antara latihan menginduksi perubahan otak dan pemulihan motorik. dalam studi ini, TMS digunakan untuk memetakan area keluaran motorik (representasi motorik) dari otot yang ditargetkan. Peningkatan rangsangan kortikal dan pergeseran peta motorik setelah rehabilitasi aktif (Traversa et al., 1997) atau constraint-induced therapy (Liepert et al., 2000) berhubungan dengan peningkatan fungsi motorik menunjukkan reorganisasi pengobatan diinduksi pada hemisfer yang terkena (Liepert et al., 2000).

Recently, the laterality index (LI) has been proposed to quantify changes of brain activation patterns observed in functional neuroimaging studies of recovery post-stroke (Cramer et al., 1997). LI provides an estimate of the relative hemispheric activation in motor cortices. LI values range from 1 (activation exclusively ipsilesional or affected hemisphere) to 1 (activation exclusively contralesional or unaffected hemisphere). These LIs are generally lower in patients, especially in poorly recovered chronic patients, indicating a relatively greater activation of the unaffected hemisphere consistent with the aforementioned general patterns of changes (Calautti and Baron, 2003). Dynamic changes in LI values over time have also been reported in a longitudinal study (Marshall et al., 2000; Calautti et al., 2001). After specific finger-tracking training, Carey et al. (2002) found increases in LI values corresponding to a switch of activation to the affected hemisphere to be related to improved hand function, suggesting that the LI is a good marker of brain reorganization.

Baru-baru ini, indeks lateralitas (LI) telah diusulkan untuk mengukur perubahan pola aktivasi otak yang diamati dalam studi neuroimaging fungsional pemulihan pasca stroke (Cramer et al., 1997). LI memberikan perkiraan aktivasi hemisfer otak relatif di korteks motorik. Nilai LI berkisar dari 1 (aktivasi ipsilesional eksklusif atau hemisfer yang terkena dampak) untuk 1 (aktivasi contralesional eksklusif atau hemisfer yang terpengaruh). Lis ini umumnya lebih rendah pada pasien, terutama pasien kronis yang pemulihannya tidak baik, menunjukkan aktivasi yang relatif lebih besar dari hemisfer terpengaruh konsisten dengan pola-pola perubahan umum yang telah disebutkan (Calautti dan Baron, 2003). Perubahan dinamis pada nilai-nilai LI dari waktu ke waktu juga telah dilaporkan dalam Penelitian longitudinal (Marshall et al, 2000;.. Calautti et al, 2001). Setelah jari pealtihan finger-tracking, Carey et al. (2002) menemukan peningkatan kesusaian nilai LI dengan perubahan aktivasi untuk hemisfer yang terkena berhubungan dengan peningkatan fungsi tangan, menunjukkan bahwa LI adalah penanda yang baik dari reorganisasi otak.

Likewise, inter-hemispheric motor reorganization can be quantified using TMS input/output (i/o) curves. The i/o curves, provide a reliable measure (Carroll et al., 2001) of the increase of MEP amplitudes against incrementing levels of TMS intensity (Devanne et al., 1997). Comparisons of the excitability of the motor cortex of the two hemispheres (Fig. 1.2), indicate that in a patient with good motor recovery, the excitability of the motor cortex contralateral to the paretic tibialis anterior (TA) muscle (LI of motor threshold _ 0.78) is greater (lower motor threshold, steeper slope and higher plateau of MEP amplitude) compared to the ipsilateral motor cortex and resembles the pattern seen in a healthy individual (LI of motor threshold _ 1.0). In contrast,

Page 18: fisioterapi berjalan

Demikian juga, antar-hemisfer otak reorganisasi motoric dapat diukur menggunakan kurva input TMS / output (i / o). Kurva i / o, memberikan ukuran yang reliabel (Carroll et al., 2001) dari peningkatan amplitude MEP terhadap tingkat kenaikan intensitas TMS (Devanne et al., 1997). Perbandingan rangsangan korteks motorik dari kedua hemisfer (Gambar. 1.2), menunjukkan bahwa pada pasien dengan pemulihan motorik yang baik, rangsangan dari korteks motorikik kontralateral ke otot tibialis anterior yang paresis (TA) otot (LI dari ambang motorik _ 0.78) lebih besar (ambang motoric bawah, dengan amplitudo lereng curam dan plateu yang lebih tinggi dari MEP amplitudo) dibandingkan dengan korteks motorik ipsilateral dan menyerupai pola yang terlihat pada individu sehat (LI dari ambang motorik 1.0).

in a person with poor recovery, a greater excitability is observed in the motor cortex ipsilateral to the paretic TA (LI of motor threshold0.28), corresponding to a relatively greater activation from the unaffected hemisphere (Schneider and Malouin, unpublished data). An LI can be calculated for each parameter (motor threshold, slope and MEP plateau) and for the ensemble (Fig. 1.2).

Sebaliknya, pada orang dengan pemulihan yang buruk, rangsangan yang lebih besar diamati pada korteks motorik ipsilateral ke TA yang paresis (ambang LI motoric 0.28), sesuai untuk aktivasi relatif lebih besar dari hemisfer yang terpengaruh (Schneider dan Malouin, data tidak dipublikasikan). Sebuah LI dapat dihitung untuk setiap parameter (ambang motorik, landai dan MEP plateu tinggi) dan untuk keseluruhan (Gbr. 1.2).

Page 19: fisioterapi berjalan

These examples show the potential of combining clinical, laboratory and brain imaging measures to better understand the recovery of locomotor function after stroke.

Contoh-contoh ini menunjukkan potensi gabungan klinis, laboratorium dan pengukutan pencitraan otak untuk lebih memahami pemulihan lokomotor fungsi setelah stroke.

Reliabilitas adalah ukuran yang menujukkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian keperilakukan mempunyai keandalan sebagai alat ukur, diantaranya di ukur melalui konsistensi hasil pengukuran dari waktu ke waktu jika fenomena yang diukur tidak berubah (Harrison, dalam Zulganef, 2006).

Sementara validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper dan Schindler, dalam Zulganef, 2006)

Korelasi adalah salah satu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif.