[fixed] laporan tutorial skenario 1 blok tht.docx

77
LAPORAN TUTORIAL BLOK 18 ILMU PENYAKIT MATA SKENARIO 2 KELOMPOK A10 MAHIRA BAYU ADIFTA G0012125 PRISMA PUTRA G. A. G0012165 GREGORIUS YOGA PANJI G0012087 NADITA GITA O. G0012145 AGYA GHILMAN FAZA G0012009 SHANTI PROBOSIWI G0012209 NILUH AYU ANISSA H. G0012149 ROSA RIRIS S. G0012193 NADIA NURFAUZIAH G0012143 YUNINDRA KEN S. G0012237 KARTIKA YULIANA P. G0012103 SALSHA AMALIA G0012203 TUTOR: SIGIT SETYAWAN, dr

Upload: rosariris

Post on 11-Dec-2015

74 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 18 ILMU PENYAKIT MATA SKENARIO 2

KELOMPOK A10

MAHIRA BAYU ADIFTA G0012125

PRISMA PUTRA G. A. G0012165

GREGORIUS YOGA PANJI G0012087

NADITA GITA O. G0012145

AGYA GHILMAN FAZA G0012009

SHANTI PROBOSIWI G0012209

NILUH AYU ANISSA H. G0012149

ROSA RIRIS S. G0012193

NADIA NURFAUZIAH G0012143

YUNINDRA KEN S. G0012237

KARTIKA YULIANA P. G0012103

SALSHA AMALIA G0012203

TUTOR: SIGIT SETYAWAN, dr

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2014

Page 2: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-

Nya, sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusun telah berusaha

semaksimal mungkin untuk melakukan yang terbaik melalui laporan ini. Namun,

sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, tentu masih banyak kesalahan

yang terdapat dalam laporan ini. Laporan ini tentu masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari staf pengajar, teman-teman,

dan siapapun yang membaca laporan ini.

Ucapan terima kasih kami ucapkan pada dosen kami, seluruh staf pengajar, semua

teman yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan laporan ini, dan

pihak-pihak lain yang telah turut membantu dalam penyusunan laporan ini.

Surakarta, 9 September 2014

Penyusun,

Kelompok tutorial A10

Page 3: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Radang telinga tengah (otitis media) adalah peradangan telinga bagian tengah,

peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum

mastoid dan sel mastoid yang biasanya disebabkan oleh penjalaran infeksi dari

tenggorokan (faringitis). Pada semua jenis otitis media juga dikeluhkan gangguan

dengar (tuli) konduktif (Brunner and Suddart : 2000). Otitis media dapat dibagi

menjadi tiga macam yaitu :

1. Otitis media akut

2. Otitis media kronis

3. Otitis media sekretori

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang

tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.

Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di

saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya

saluran menyebabkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan

bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri

mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah

(Brunner and Suddart : 2000).

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah

dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secara

terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau

berupa nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran. (Arif Mansjoer, 2001 :

82).

Page 4: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

4

Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe

benigna dan OMSK tipe maligna. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis

media akut menjadi otitis media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan,

terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah

(gizi buruk) atau hygiene buruk. Gejala otitis media supuratif kronis antara lain

otorrhoe yang bersifat purulen atau mokoid, terjadi gangguan pendengaran,

otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga dan vertigo (Kapita selekta kedokteran,

1999).

B. Skenario

ADUH, TELINGAKU BAU!

Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, dating ke praktek dokter

umum dengan keluhan utama telinga kan mengeluarkan cairan kuning, kental dan

berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran

terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung

tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang

lalu telinga kanan keluat cairan kental, jernih yang sebelumnya didahului demam,

batuk dan pilek. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek.

Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: perforasi sub total dengan

secret mukopurulen dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat: secret seromukous,

konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi.

Selanjutnya dokter merencanakan pemeriksaan penunjang.

Page 5: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Organon Auditus

Anatomi Organon Auditus

Organon auditus terdiri dari tiga bagian, yaitu: auris eksterna, auris media, dan

auris interna. Auris eksterna terdiri dari auriculae dan meatus acusticus eksternus.

Auris media terdiri dari membrana tympanica, cavum tympani, ossiculae

auditivae, musculi ossiculae auditivae dan tuba auditiva eustachii. Sementara auris

media terdiri dari labyrintus membranaceus dan labyrintus osseus.

Membrana tympanica terdiri dari dua pars, yaitu: pars tensa dan pars flaccida.

Pars tensa terdiri dari tiga lapisan, yaitu: stratum cutaneum, lamina propria dan

stratum mukosum. Sementara pars flaccida hanya terdiri dari dua lapisan saja,

yaitu: pars cutaneum dan pars mukosum. Ditengah-tengah membrane tympanica

terdapat penonjolan akibat pendesakan dari manubrium mallei yang disebut umbo.

Dari umbo, membrane tympanica dapat dibagi menjadi empat kuadran yaitu

kuadran anterior superior, anterior inferior, posterior superior dan posterior

inferior. Pada kuadran anterior inferior terdapat daerah yang memantulkan cahaya

bila disinari yang disebut cone of light.

Ossiculae auditivae terdiri dari os malleus, os incus dan os stapes. Ossiculae

tersebut berfungsi untuk menghantarkan getaran dari membrane tympanica ke

auris interna. Pada os malleus dilekati oleh m. tensor tympanica dan pada os stapes

dilekati oleh m. stapedius. Kedua musculi tersebut berfungsi untuk meredam

getaran os malleus maupun os stapes.

Labyrintus osseus adalah kumpulan organ berdinding tulang pada auris

interna. Terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan cochlea. Labyrintus

membranaceus berupa membrane yang berada didalam labyrintus osseus. Terdiri

Page 6: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

6

dari ductus semi sirkularis, utriculus, sacculus dan ductus cochlearis. Didalam

labyrintus osseus terdapat cairan yang disebut perilymphe dan didalam labyrintus

membranaceus terdapat cairan endolymphe. (Hadiwidjaja S.,2013)

Gambar 1. Organon Auditus; Auris Eksterna dan Auris Media

(Hadiwidjaja S.,2013)

Fisiologi Sitem Pendengaran

Telinga secara anatomis terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah

dan dalam. Telinga luar dan tengah berperan dalam transmisi suara melalui udara

menuju telinga bagian dalam yang terisi cairan. Pada telinga dalam ini, terjadi

amplifikasi energi suara. Di sana juga terdapat dua macam sistem sensoris yaitu

koklea yang mengkonversikan gelombang suara menjadi impuls saraf dan

vestibular apparatus yang berguna untuk keseimbangan (Sherwood, 2010).

Pendengaran merupakan persepsi saraf terhadap suara yang terdiri dari aspek

identifikasi suara dan lokalisasinya. Suara merupakan sensasi yang dihasilkan saat

Page 7: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

7

getaran longitudinal molekul lingkungan luar yang menghantam membran timpani

(Barrett, 2011). Gelombang suara merupakan getaran udara yang merambat yang

terdiri dari area bertekanan tinggi disebabkan kompresi molekul udara dan area

bertekanan rendah yang disebabkan oleh rarefaction molecule.

Kecepatan suara adalah sekita 344 m/s pada suhu 20 C di permukaan air laut.⁰

Semakin tinggi suara dan altitudenya, kecepatan rambat suara makin tinggi

(Barrett, 2011). Suara dikarakteristikan berdasarkan tone, intensitas dan kualitas.

Pitch atau tone ditentukan oleh frekuensi getaran. Makin besar frekuensinya,

makin tinggi pitch-nya. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan

frekuensi dari 20 sampai 20.000 Hz. Namun, yang paling sensitif adalah antara

1.000-4.000 Hz. Suara pria dalam percakapan normalnya sekitar 120 Hz

sedangkan wanita mencapai 250 Hz. Jumlah pitch yang dapat dibedakan oleh

orang normal adalah sekitar 2000, tetapi musisi yang terlatih dapat lebih dari itu.

Suara yang paling mudah dibedakan nadanya adalah suara dengan frekuensi 1000-

3000 Hz. Lebih atau kurang dari itu akan semakin sulit dibedakan.

Intensitas atau kekerasan tergantung oleh amplitudo gelombang suara atau

perbedaan tekanan antara daerah gelombang bertekanan tinggi akibat kompresi

dan daerah bertekanan rendah akibat rarefaction. Dalam interval suara yang dapat

didengar, makin besar amplitudonya, makin keras suara tersebut terdengar.

Kekerasan atau kebisingan suara diukur dengan satuan dB (desibel)yang

merupakan pengukuran logaritmis dari intensitas dibandingkan dengan suara

teredup yang bisa didengar (ambang pendengaran). Suara dengan kebisingan

melebihi 100 dB dapat menyebabkan kerusakan permanen pada koklea (Barrett,

2011).

Suara dengan range 120 sampai 160 dB seperti alarm kebakaran maupun

pesawat jet diklasifikasikan sebagai suara yang menyakitkan; 90-110 dB (subway,

bass drum, gergaji mesin) diklasifikasikan sebagai suara yang ekstrem tinggi; 60-

80dB (alarm jam, lalu lintas yang bising, percakapan) diklasifikasikan sebagai

Page 8: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

8

sangat keras; 40-50 dB (hujan, bising ruangan normal) moderate, dan 30 dB

(bisikan, perpustakaan) sebagai redup. (Yarnick, 1995).

Timbre atau kualitas suara tergantung pada overtone yang merupakan

frekuensi tambahan yang menumpuk pada pitch atau tone dasar. Misalnya adalah

nada C pada terompet akan terdengar berbeda dengan piano. Overtone inilah yang

dapat menyembabkan suara dapat memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari pinna/auris (daun telinga) dan meatus akustikus

eksterna. Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan kartilago terbalut

kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menghubungkan suara

menuju meatus akustikus eksterna. Karena bentuknya, pinna secara parsial

membatasi suara yang berasal dari belakang sehingga timbrenya akan berbeda.

Dengan begitu, kita dapat membedakan apakah suaranya berasal dari depan

atau belakang.

Lokalisasi suara yang berasal dari kanan atau kiri ditentukan oleh dua hal.

Pertama adalah gelombang suara mencapai telinga yang lebih dekat terlebih

dahulu sebelum sampai ke telinga yang lebih jauh. Kedua adalah saat mencapai

telinga yang lebih jauh, intensitas suaranya akan lebih kecil dibandingkan

telinga yang lebih dekat. Selanjutnya, korteks auditori mengintegrasikan kedua

hal tersebut untuk menentukan lokalisasi sumber suara. Oleh karena itu,

lokalisasi suara akan lebih sulit dilakukan jika hanya menggunakan satu telinga.

Jalur masuk pada telinga luar dilindungi oleh rambut halus. Kulit yang

membatasi kanal tersebut berisi kelenjar keringat termodifikasi yang

menghasilkan serumen (earwax), yang akan menangkap partikel-partikel asing

yang halus (Sherwood, 2010).

2. Telinga Tengah

Telinga tengah mengirimkan pergerakan vibratori dari membran timpani

menuju cairan pada telinga dalam. Ada tiga tulang ossicle yang membantu

proses ini yaitu malleus, incus dan stapes yang meluas dari telinga tengah.

Page 9: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

9

Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes menempel pada

oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan.

3. Membran timpangi (gendang telinga)

Membran timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah. Area

tekanan tinggi da rendah pada gelombang suara akan menyebabkan membran

timpani bergetar ke dalam dan ke luar. Supaya membran tersebut dapat secara

bebas bergerak kedua arah, tekanan udara istirahat pada kedua sisi membran

timpani harus sama. Membran sebelah luar terkekspos pada tekanan atmosfer

yang melewati meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi

tekanan atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah ke

faring. Secara normal, tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan gerakan

menguap, mengunyah dan menelan.

Pada perubahan tekanan eksternal yang cukup signifikan seperti saat

dalam pesawat, membran timpani menonjol dan menimbulkan rasa nyeri ketika

tekanan luar telinga berubah sementara bagian dalam tidak berubah.

Pembukaan tuba eustachius dengan menguap dapat membantu untuk

menyamakan tekanan tersebut (Sherwood, 2010).

Saat membran timpani bergetar, tulang-tulang tersebut bergerak dengan

frekuensi yang sama , mentransmisikan frekuensi tersebut dari menuju oval

window. Selanjutnya, tiap-tiap getaran menghasilkan pergerakan seperti

gelombang pada cairan di telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan

gelombang suara aslinya.

Sistem osikular mengamplifikasikan tekanan dari gelombang suara pada

udara dengan dua mekanisme untuk menghasilkan getaran cairan pada koklea.

Pertama adalah karena permukaan area dari membran timpani lebih besar dari

oval window, tekanan ditingkatkan ketika gaya yang mempengaruhi membran

timpani disampaikan oleh ossicle ke oval window (tekanan=gaya/area). Kedua

adalah kerja dari ossicle memberikan keuntungan mekanis lainya. Kedua hal

Page 10: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

10

tersebut meningkatkan gaya pada oval window sampai 20 kali. Tambahan

tekanan tersebut penting untuk menghasilkan pergerakan cairan pada koklea.

Beberapa otot tipis di telinga tengah dapat berkontraksi secara refleks

terhadap suara keras (70 dB) menyebabkan membran timpani menebal dan

menyebabkan pembatasan gerakan pada rangkaian ossicle. Pengurangan

pergerakan pada struktur telinga tengah akan mengurangi transmisi dari suara

yang keras tersebut ke telinga dalam guna melindungi bagian sensoris dari

kerusakan. Refleks tersebut berlangsung relatif lambat, terjadi setidaknya

sekitar 40 msec sesudah pajanan terhadap suara keras. Oleh karena itu, hanya

bisa melindungi dari suara yang berkepanjangan, bukan suara yang sangat tiba-

tiba seperti ledakan (Sherwood, 2010).

4. Koklea

Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang merupakan

bagian dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular bergurung yang

berada di dalam tulang temporalis. Berdasarkan panjangnya, komponen

fungsional koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi

cairan. Duktus koklear yang ujungnya tidak terlihat dikenal sebagai skala

media, yang merupakan kompartemen tengah. Bagian yang lebih di atasnya

adalah skala vestibuli yang mengikuti kontur dalam spiral dan skala timpani

yang merupakan kompartemen paling bawah yang mengikuti kontur luar dari

spiral.

Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli disebut perilimfe.

Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu

endolimfe. Bagian ujung dari duktus koklearis di mana cairan dari

kompartemen atas dan bawah bergabung disebut dengan helikotrema. Skala

vestibuli terkunci dari telinga tengah oleh oval window, tempat stapes

menempel. Sementara itu, skala timpani dikunci dari telinga tengah dengan

bukaan kecil berselaput yang disebut round window. Membran vestibular tipis

membentuk langit-langit duktus koklear dan memisahkannya dari skala

Page 11: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

11

vestibuli. Membran basilaris membentuk dasar duktus koklear yang

memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilar ini sangat penting

karena di dalamnya terdapat organ korti yang merupakan organ perasa

pendengaran (Sherwood, 2010).

Gambar 2. Fisiologi Pendengaran

1) Aliran gelombang getaran melewati skala vestibuli dan skala timpani

yang berguna untuk meredam tekanan (bukan persepsi suara). 2)Aliran

gelombang yang berkaitan dengan persepsi suara akan melewati shorcut

menembus membran vestibularis lalu mencapai membran basilaris yang di

dalamnya terdapat organ korti sebagai reseptor stimulus suara

5. Sel Korti dan Sel Rambut

Dalam organ korti pada satu koklea terdapat sekitar 15.000 sel rambut

yang menjadi reseptor suara. Sel-sel tersebut tersusun dalam baris paralel

empat. Satu baris berupa sel rambut dalam dan tiga lainnya merupakan sel

rambut dalam. Pada masing-masing sel rambut akan ada penonjolan sekitar 100

rambut yang dikenal sebagai stereosilia (mikrovili yang diperkuat dengan

aktin).

Page 12: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

12

Sel-sel rambut ini merupakan mekanoreseptor yang menghasilkan sinyal

neural ketiga permukaan rambutnya mengalami deformasi secara mekanis

berkaitan dengan pergerakan cairan di telinga dalam. Stereosilia ini berkontak

dengan membran tektorial, struktur mirip tenda yang menjalar pada seluruh

panjang organ korti.

Kerja mirip piston yang dilakukan stapes melawan oval window

menghasilkan gelombang tekanan pada kompartemen atas. Karena cairan tidak

dapat dikompresi, tekanan dihamburkan dalam dua arah ketika stapes

menyebabkan oval window menggembung ke belakang yaitu dengan

pergeseran round window dan defleksi membran basilar.

Gelombang tekanan tersebut akan menekan perilimfe ke depan pada

kompartemen atas, kemudian ke helikotrema dan ke kompartemen bawah.

Selanjutnya, hal tersebut menyebabkan round window menggembung ke arah

luar (ke arah telinga tengah) untuk mengkompensasi peningkatan tekanan.

Ketika stapes bergerak ke arah belakang dan menarik oval window ke arah

telinga tengah, perilimfe akan bergeser ke arah berlawanan, menggantikan area

yang tadinya diisi round window. Jalur ini tidak menghasilkan persepsi suara,

hanya mengurangi tekanan saja.

Gelombang tekanan yang berkaitan dengan persepsi suara akan

menggunakan jalur pintas. Gelombang tekanan pada kompartemen atas

ditransfer melalui membran vestibular yang tipis ke duktus koklear dan melalui

membran basilar ke kompartemen bawah. Hal tersebut selanjutnya akan

memfasilitasi round window untuk menggembung ke arah luar dan dalam.

Perbedaan utama pada jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui

membran basilar menyebabkan membran tersebut bergerak ke atas dan ke

bawah atau bergetar yang sinkron dengan gelombang tekanan. Akibatnya sel

rambut pada organ korti yang ada di sana juga ikut bergerak.

Sel rambut yang berfungsi untuk mendengar adalah sel rambut dalam. Sel

tersebut mentransformasikan gaya mekanis suara menjadi impuls elektris

Page 13: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

13

pendengaran. Stereosilia pada sel reseptor tersebut berkontak dengan membran

tektorial yang kaku sehingga sel tersebut akan membelok kembali (bolak-balik),

saat membran basilar yang berosilasi menggeser posisinya.

Gerakan bolak-balik tersebut akan menyebabkan pembukaan dan

penutupan kanal kation secara mekanis pada sel rambut menghasilkan

depolarisasi atau hiperpolarisasi sesuai dengan frekuensi suara penstimulus.

Stereosilia pada masing-masing sel rambut tersusun ke dalam baris-baris yang

berurutan sesuai dengan tinggi (seperti tangga). Tip links, yang merupakan

CAMs (cell adhesion molecules), menghubungkan ujung stereosilia dalam

barisan tersebut. Saat membran basilar bergerak ke atas, bundle stereosilia

membengkok ke arah membran yang paling tinggi, meregangkan tip links

tersebut. Peregangan tersebut akan membuka kanal kation.

K+ lebih banyak ditemukan di endolimfe daripada yang ditemukan di

dalam sel. Beberapa kanal kation memang sudah terbuka dalam keadaan

istirahat yang memungkinkan K+ mengalir. Semakin banyak kanal yang

terbuka, lebih banyak K+ yang memasuki sel rambut. Tambahan K+ ini akan

mendepolarisasi sel rambut. Sebaliknya, saat membran basilaris turun,

terjadilah hiperpolarisasi karena makin banyak K+ yang tidak bisa masuk sel

(Sherwood, 2010).

Sel rambut tidak menghasilkan potensial aksi melainkan akan bersinaps

secara kimia dengan ujung serat saraf afferen nervus koklearis. Kadar K+ yang

rendah menyebabkan sel rambut dalam mengeluarkan secara spontan

neurotransmiter melalui eksositosis yang diinduksi oleh Ca2+ dalam kondisi

tidak ada stimulasi. Depolarisasi akan menyebabkan pembukaan kanal

bergerbang listrik Ca2+. Akibatnya terjadilah peningkatan kecepatan

pengeluaran neurotransmitter. Pada hiperpolarisasi, terjadi hal yang

sebaliknya.1 Potensial membran istirahat sel rambut adalah sekitar -60 mV.

Saat stereosilia terdorong ke arah kinosilia, potensial membran dapat berkurang

menjadi -50 mV (Barrett, 2011).

Page 14: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

14

Sementara itu, sel rambut luar menjalankan fungsi elektromotili. Sel

tersebut secara aktif dan sering mengubah panjangnya sebagai respon terhadap

perubahan potensial membran. Sel akan memendek saat depolarisasi dan

memanjang saat hiperpolarisasi. Perubahan tersebut akan mengamplifikasi

pergerakan dari membran basilaris. Oleh karena itu, sel rambut luar akan

membantu reseptor sensori supaya lebih sensitif terhadap intensitas suara dan

diskriminasi bermacam pitch suara (Sherwood, 2010).

6. Diskriminasi Pitch, Timbre dan Kebisingan (Loudness)

Diskriminasi pitch atau nada tergantung pada bentuk dari membran

basilaris. Daerah yang berbeda dari membran basilaris secara alami bergetar

secara maksimal pada frekuensi yang berbeda. Ujung sempit dekat oval window

akan bergetar paling baik pada nada berfrekuensi tinggi sedangkan area yang

luas dekat helikotrema paling baik pada nada rendah. Saat gelombang suara

dengan frekuensi tertentu menyebabkan osilasi stapes, gelombang tersebut akan

berjalan ke membran basilar yang memiliki daerah sensitif terhadap frekuensi

tersebut. Energi gelombangnya akan dihamburkan dengan adanya osilasi

membran ini sehingga berakhir pada area maksimal tadi. Adanya overtone pada

bermacam frekuensi akan menyebabkan membran basilaris bergetar secara

simultan tetapi kurang intens dibandingkan nada dasarnya sehingga sistem saraf

pusat dapat membedakan timbre suara.

Sementara itu, diskriminasi kebisingan atau kenyaringan tergantung dari

amplitudonya. Gelombang suara yang berasal dari sumber yang lebih keras

akan menghantam gendang telinga (membran timpani) sehingga bergetar

dengan lebih bertenaga meskipun frekuensinya tetap sama. Osilasi pada

membran basilaris yang lebih besar akan diinterpretasikan sebagai suara yang

lebih keras oleh sistem saraf pusat (Sherwood, 2010).

7. Korteks Auditori

Sebagaimana area pada membran basilaris yang berasosiasi dengan nada

tertentu, korteks auditori primer pada lobus temporalis juga tersusun secara

Page 15: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

15

tonotopically. Masing-masing area pada membran basilaris tersebut terkait pada

area spesifik pada korteks auditori primer (satu nada, satu neuron kortikal

teraktivasi).

Saraf afferen yang mengambil sinyal auditori dari sel rambut dalam akan

keluar dari koklea melalui nervus auditori. Ada beberapa sinaps yang terjadi

terutama pada batang otak dan nukleus geniculatum medial thalamus.Batang

otak menggunakan input auditori untuk kewaspadaan dan bangun. Pada batang

otak, jaras saraf auditori ini akan menuju baik sisi ipsilateral maupun

kontralateralnya sehingga kedua lobus temporal akan mendapatkan impuls.

Oleh karena itu, gangguan pada jaras di atas batang otak pada satu sisi tidak

akan mengganggu pendengaran.

Korteks auditori primer juga dapat menerima bermacam suara yang

berbeda sedangkan korteks auditori yang lebih tinggi mengintegrasikan suara

yang berbeda tersebut menjadi koheren sebagai pola yang berarti. Dengan

begitu, kita dapat membedakan suara-suara terpisah yang masuk ke telinga dan

memilih mana suara yang memang penting untuk didengarkan (Sherwood,

2010).

Area auditori ternyata memiliki spesialisasi hemisfer. Pada area Brodman

22 diperkirakan merupakan tempat pemprosesan sinyal auditori yang

berhubungan dengan pembicaraan. Dalam proses bahasa, bagian kiri lebih aktif

daripada sisi kanan. Area 22 sebelah kanan lebih kepada melodi, nada dan

intensitas suara.

Jalur auditori bersifat sangat plastis yang sangat dimodifikasi oleh

pengalaman. Pada orang yang mengalami tuli sebelum kemampuan

berbahasanya berkembang, ternyata dengan melihat tanda-tanda bahasa juga

akan mengaktivasi area assosiasi auditori. Sebaliknya, individu yang buta pada

masa awal hidup dapat melokalisasi suara jauh lebih baik daripada mereka yang

memiliki penglihatan normal. Plastisitas juga sangat nampak pada musis yang

dapat lebih peka terhadap suara dibanding non musisi (Barrett, 2011).

Page 16: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

16

Histologi Telinga

1. Telinga Luar

Auricula, atau pinna (sayap) terdiri ataas suatu lempeng cartilago elastic

ireguler berbentuk corong, yang ditutupi secara erat oleh kulit dan menghantarkan

gelombang suara ke dalam meatus acusticus externus. Saluran ini dilapisi oleh

epitel skuamosa berlapis yang berlanjut dengan kulit auricular dan di dekat folikel

rambutnya, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat apokrin termodifikasi yang

disebut kelenjar seruminosa ditemukan pada submukosa. Serumen adalah materi

kekuningan berlemak yang dihasilkan dari sekresi kelenjar sebasea dan

seruminosa. Serumen mengandung berbagai protein, asam lemak jenuh, dan

keratinosit yang terlepas dan memiliki sifat antimikroba protektif. Dinding meatus

acusticus externus ditunjang oleh kartilago elastic di sepertiga luarnya, sedangkan

os temporal menutup bagian dalam.

Membran timpani berupa lembar epithelial. Sisi luarnya dilapisi epidermis

dan permukaan dalamnya dilapisi epitel selapis kuboid yang menyatu dengan

lapisan rongga timpani di telinga tengah. Di antara lapisan epitel tersebut terdapat

lapisan tipis jaringan ikat fibrosa yang terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin

serta fibroblast.

2. Telinga Tengah

Rongga timpani terutama dilapisi oleh selapis epitel kuboid yang berada di

lamina propia yang sangat melekat pada periosteum. Di dekat tuba auditorius,

epitel selapis ini secara berangsur berubah menjadi epitel bertingkat silindris

bersilia yang melapisi tuba tersebut. Pada dinding medial bertulang telinga tengah

terdapat dua area berlapis membrane dan tidak bertulang yaitu tingkap lonjong

(fenestra ovalis) dan tingkap bundar (fenestra rotunda). Ossicula auditus terdiri

atas malleus, incus, dan stapes. Malleus menempel pada jaringan ikat membrane

timpani dan stapes melekat pada jaringan ikat membrane di tingkap lonjong.

Page 17: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

17

Tulang-tulang ini berartikulasi di sendi synovial yang bersama-sama periosteum

sepenuhnya dilapisi epitel selapis gepeng.

3. Telinga Dalam

Telinga dalam berada sepenuhnya di dalam os temporal, dimana sederetan

ruang yang saling berhubungan, labirin bertulang, menamping serangkaian saluran

kontinu berlapis epitel yang terisi cairan dan bilik yang membentuk labirin

membranosa yang lebih kecil. Labirin membranosa berasal dari vesikel

ectodermal, otokista, yang melekuk ke dalam jaringan ikat di dalamnya selama

minggu keempat perkembangan embrio, kehilangan kontak dengan ectoderm

permukaan, dan menjadi terbenam pada rudiment bakal os temporal. Selama

proses tersebut, vesicula otica berubah bentuk, yang membentuk 2 cabang utama

di labirin membranosa.Pada setiap struktur lapisan epitel memiliki area luas

mekanoreseptor sensorik kolumner yang disebut sel rambut di region khusus:

a. Dua macula utriculus dan sacculus

b. Tiga crista ampullaris di pelebaran region ampula pada setiap ductus

semicircularis

c. Organ corti spiral panjang pada ductus cochlearis

Cochlea berukuran panjang sekitar 35 mm dan membentuk dua setengah

putaran di sekeliling inti tulang yang disebut modiolus. Modiolus memiliki

pembuluh darah dan bsadan sel dan processus cabang akustik saraf cranial ke

delapan di ganglion cochleare atau ganglion spirale. Semua region labirin

bertulang terisi perilimfe dengan komposisi ion yang serupa dengan cairan

serebrospinal dan cairan ekstrasel jaringan lain, tetapi memiliki sedikit protein.

Perilimfe dihasilkan dari mikrovaskuler periosteum dan dialirkan melalui suatu

ductus perilymphaticus ke dalam ruang subarachnoid yang berdekatan. Cairan ini

menahan dan menyangga labirin membranosa tertutup yang melindunginya dari

dinding keras labirin bertulang. Labirin membranosa terisi dengan endolimfe, yang

Page 18: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

18

juga mengandung sedikit protein dan lebih lanjut ditandai oleh kadar kalium yang

tinggi (150 mM) dan natrium yang rendah (16 mM), yang serupa dengan kadarnya

dalam cairan intrasel. Endolimfe dihasilkan terutama oleh kapiler di stria

vaskularis di dinding ductus cochlearis dan mengalir dari vestibulum ke dalam

sinus venosa dura mater oleh ductus endolymphaticus yang kecil.

Sacculus dan utriculus terdiri atas suatu selubung tipis jaringan ikat yang

dilapisi epitel selapis gepeng. Labirin membranosa melekat pada periosteum

labirin oseosa melalui untaian jariga ikatyang mengandung mikrovaskuler yang

menyuplai jaringan labirin membranosa. Kedua macula pada dinding sacculus dan

utriculus adalah area kecil sel neuroepitel kolumner yang dipersarafi oleh cabang

nervus vestibularis. Makula sacculus dan utriculus terdiri atas penebalan dinding

yang memiliki beberapa ribu sel rambut mekanosensitif beserta sel penyangga

kolumner dengan inti basal, dan ujung saraf.

Ujung apical setiap sel rambut memiliki sebuah kinosilium dengan sebuah

badan basal dan suatu aksonema termodifikasi mikrotubulus ganda dan seberkas

stereosilia kaku panjang yang tidak bercabang dan berjumlah 60-100. Stereosilia

muncul dari region apical yang banyak mengandung aktin, lempeng kutikula, yang

berperan mengembalikan struktur kaku yang menonjol ke posisi normalnya setelah

menekuk. Stereosilia tersusun dalam barisan yang semakin memanjang dengan

stereosilia terpanjang – sekitar 100 µm – yang berada dekat dengan kinosilium.

Ujung stereosilia dan kinosilia terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa

proteoglikan kental yang disebut membrane otolitik, dengan bagian luarnya yang

terisi dengan struktur berkapur yang disebut otolit (atau otokonia)

Di ujung basalnya, semua sel rambut bersinaps dengan ujung saraf aferen

(ke otak). Sejumlah sel rambut (tipe I) memiliki ujung basal bundar yang

dikelilingi oleh calyx terminalis aferen. Ujung basal sebagian besar sel rambut

(tipe II) berbentuk silindris dan memiliki lebih banyak ujung tonjolan yang khas

Page 19: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

19

dari saraf aferen (dari otak) yang memodulasi sensitivitas mekanoreseptor ini.

Setiap sel rambut juga dikelilingi oleh sel penyangga, yang dapat memiliki

berbagai fungsi selain menyediakan penyangga fisis untuk mekanoreseptor.

Pelebaran ampula di setiap ductus semicircularis memiliki suatu area

mekanoreseptor mirip rebung memanjang (crista ampullaris). Crista secara

histologis serupa dengan macula, dengan sel rambut, sel penyokong, dan ujung

saraf. Akan tetapi lapisan proteoglikan bernama cupula yang melekat pada berkas

rambut sel sensoris lebih tebal dan tidak memiliki otolit.

Di sepanjang permukaan ductus cochlearis dipisahkan dari scala vestibule

oleh membrane vestibularis. Struktur yang sangat tipis ini terdiri atas suatu

membrane basal dengan epitel skuamosa selapis di setiap sisinya: satu mesotel

yang menghadap skala vestibulae dan bagian alain lapisan ductus cochlearis. Sel-

sel di kedua lapisan memiliki taut erat yang luas yang membantu menjaga gradien

ion yang sangat besar pada kedua sisi membrane di antara endolimfe dan

perilimfe.

Di dinding lateral ductus cochlearis terdapat stria vaskularis, suatu epitel

unik yang menghasilkan dan memmelihara endolimfe untuk seluruh lapisan

membranosa. Stria vaskularis menutup suatu jaringan kapiler dan terdiri dari sel

yang mempunyai banyak lekukan basal yang dalam pada membrane plasmanya, di

membrane ini terdapat banyak mitokondria. Cairan dan pompa K+ dari kapiler

oleh sel epitel tersebut dilepaskan ke dalam ductus cochlearis sebagai endolimfe.

Di dinding yang memisahkan ductus cochlearis dari scala tympani adalah

struktur kompleks yang disebut organ spiral (organ corti) yang memiliki reseptor

auditorik khusus dalam bentuk sel rambut yang berespons terhadap berbagai

frequensi udara. Organ spiral berada di lamina basal – membrane basilaris. Sel

rambut luar (outer hair cell) terdapat dalam tiga baris di dekat fenestra ovalis,

yang bertambah hingga lima baris di dekat apeks koklea. Terdapat sebaris sel

Page 20: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

20

rambut dalam (inner hair cell) yang memiliki susunan linear stereosilia pendek,

sedangkan OHC masing-masing memiliki barisan melengkung steereosilia

panjang. Tidak terdapat kinosilium yang dijumpai pada sel rambut koklea, yang

memungkinkan simetrisitas sel yang penting untuk perannya pada tranduksi

sensoris.

Ujung stereosilia tertinggi OHC terbenam di dalam membrana tectorial,

suatu lapisan aseluler yang terjulur di atas organ spiral dari modiolus. Membrana

tectoria terdiri atas berkas halus kolagen (tipe II, V, IX dan XI), proteoglikan

terkait dan protein lain serta dibentuk selama periode embrionik dari sekresi sel

yang melapisi region di dekatnya (limbus spiral).

Sel rambut luar dan dalam memiliki ujung saraf aferen dan eferen dengan

IHC yang lebih banyak dipersarafi. Badan sel neuron bipolar berada di suatu inti

tulang modiolus dan membentuk ganglion spirale.

Kedua tipe utama sel penyokong kolumner berhubungan dengan sel rambut

organ spiral tersebut. Sel pilar dibuat kaku oleh berkas keratin dan membatasi

sebuah ruang segitiga berbentuk corong diantara sel rambut luar dan dalam. Sel

falang mengelilingi dan menyokong langsung sel rambut dalam dan luar, yang

hampir sepenuhnya menutupi setiap IHC, tetapi hanya menutupi ujung basal OHC.

(Mescher, Anthony L., 2011)

B. Etiologi dan Patofisiologi Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media

Supuratif Kronik (OMSK)

Otitis Media Akut (OMA)

Etiologi dan Faktor Resiko

Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang

paling sering ditemukan adalah Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh

Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan

Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan

Page 21: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

21

adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia

tracomatis.

Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah

H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus grup A

4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di Negev, Israil.

Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada pasien yang berobat

di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan Agustus 2004 – Februari

2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%.

Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA,

dan terdeteksi pada 20-48% cairan telinga tengah anak dengan OMA. Virus yang

sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory syncytial virus. Selain itu bisa

disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus,

adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu

sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri

atau kombinasi dengan bakteri lain (Broides, 2009).

Patofisiologi

Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh.

Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya

penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula

pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan

terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya

tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga

supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).

Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan

terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1.

morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2.

sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif

lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat

Page 22: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

22

menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan

dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit

hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun.

Klasifikasi

1. Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu:

2. Stadium Oklusi, stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran

timpani akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak

normal atau berwarna suram.

3. Stadium Hiperemis, pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di

sebagian atau seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis

disertai edem.

4. Stadium Supurasi, stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai

hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum

timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang

telinga luar.

5. Stadium Perforasi, pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga

nanah keluar dari telinga tengah ke liang telinga.

6. Stadium Resolusi, pada stadium ini membran timpani berangsur normal,

perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi.

Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat

terjadi walaupun tanpa pengobatan.

Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda

yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium supurasi; 4. Stadium

penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi.

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga

tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah

secara terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,

bening, atau nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran.

Page 23: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

23

Etiologi

Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya sudah

berjalan lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang

terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah,

atau kebersihan buruk. Bila kurang dari 2 bulan disebut subakut.Sebagian kecil

perforasi membran timpani terjadi akibat trauma telingan tengah. Kuman

penyebab biasanya Gram positif aerob, sedangkan pada infeksi yang telah

berlangsung lama sering juga terdapat kuman Gram negatif dan naerob.

Patofisiologi

OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu beningna atau tipe mukosa, dan maligna

atau tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif

juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Pada OMSK beningna, peradangan terbatas

pada mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang

menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom.

OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak

marginal, subtotal atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya

atau fatal.

C. Manifestasi Klinik Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media Supuratif

Kronik (OMSK)

1. Tinitus

Tinnitus merupakan suatu gangguan pendengaran dengan keluhan perasaan

mendengar bunyi tanpa rangsangan bunyi dari luar. Keluhannya bisa berupa

bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi yang lain.

Tinnitus berasal dari kata latin yaitu tinnire, yang berarti mendenging atau

berkerincing. Tinnitus adalah bunyi abnormal yang didengar penderita yang

berasal dari dalam kepala, biasanya disebut juga telinga berdengung. Tinnitus

dapat dibagi atas tinnitus objektif, bila suara tersebut dapat didengar juga oleh

Page 24: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

24

pemeriksa atau dengan auskultasi di sekitar telinga dan tinnitus subjektif, bila

suara tersebut hanya didengar oleh penderita dan jenis ini sering terjadi.

Tinnitus merupakan gejala yang sangat sering terjadi dan dapat tidak

dikenali oleh kebanyakan orang sampai penyebabnya ditemukan dan diatasi.

Tinnitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinnitus dengan nada rendah,

seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinnitus dapat terus-

menerus atau hilang timbul terdengar.(Lockwood AH, 2008)

Lama serangana tinnitus bila berlangsung dalam wakt 1 menit biasanya

akan hilang sendiri, keadaan ini bukan merupakan keadaan patologik. Bila

berlangsung dalam 5 menit merupakan keadaan patologik. (Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 2007)

Patofisiologi

Pada tinnitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang

menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang bukan berasal dari

bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls

abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 2007)

2. Kepala Pusing

Kepala pusing atau nyeri kepala merupakan salah satu gejala dari adanya

gangguan keseimbangan di dalam tubuh. Keseimbangan tubuh diatur oleh

vestibulum dan canalis semicircularis yang ada di dalam auris interna, ketika

kepala bergerak atau berputar maka hair cell akan tertekuk kea rah yang

berlawanan dengan endolimfe, sehingga terjadilah depolarisasi sel dan

potensial aksi. Potensial aksi diteruskan oleh nervus vestibularis menuju

nucleus vestibularis di truncus cerebri dan archicerebellum. Setelah input

diterima, output diteruskan menuju motorneuron yang menginervasi otot-otot

proksimal tubuh, sehingga seseorang dapat mengetahui posisi tubuhnya dan

Page 25: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

25

tidak merasakan seperti bumi ini berputar. Keluar cairan kuning, kental, dan

berbau busuk

Ear discharge merupakan berbagai macam cairan yang keluar dari telinga.

Biasa juga disebut dengan otorrhea. Penyebab yang paling sering salah satunya

adalah akibat adanya Infeksi telinga.

Infeksi telinga muncul ketika bakteri atau virus masuk kedalam Auris

media. Auris media terletak di belakang membran tymphani. Berisi tiga tulang

pendengaran yang sangat vital dalam proses pendengaran. Infeksi telinga akan

menyebabkan penumpukkan cairan di cavum tympani, yang jika makin lama

mengumpul akan menyebabkan salah satu bagian pada membran tympani akan

mengalami bulging. Bagian tersebut kemudian akan kekurangan pasokan darah

sehingga terjadi nekrosis, yang jika tidak tertangani akan berlanjut menjadi

perforasi sehingga cairan yang tertumpuk akan keluar.

Pada saat terjadi penumpukkan cairan akibat infeksi di cavum tympani,

kerja tulang pendengaran dalam menyalurkan getaran suara pun terganggu

dikarenakan media yang biasanya berisi udara menjadi berisi cairan. Maka dari

itu fungsi pendengaran juga akan terganggu.(George Krucik, MD, MBA,

2014)

3. Gangguan Pendengaran

Secara anatomis, cavum nasi terhubung ke nasopharynx melalui choanae,

dan terhubung ke auris media melalui tuba auditiva eustachii. Sehingga infeksi

mikroorganisme pada nasus dapat menyebar ke auris media dan pharynx

begitu pula sebaliknya.

Proses infeksi yang menjalar ke auris media mengakibatkan peradangan

mukosa. Hal tersebut menyebakan produksi secret berlebih di auris media.

Penimbunan secret berlebih pada auris media menyebabkan hantaran

gelombang suara menjadi terganggu. Sehingga sensitivitas dalam mendengar

menurun.

Page 26: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

26

D. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Akut (OMA)

dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

1. Pemeriksaan OMA

Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut: 1. Penyakitnya muncul

mendadak (akut); 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:

menggembungnya gendang telinga, terbatas /tidak adanya gerakan gendang

telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, cairan yang

keluar dari telinga; 3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang

dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada

gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan

usia pasien. Pada anak –anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga

dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.

Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan

pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas

yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering

memegang telinga yang sakit.

Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan

timpanosintesis.Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang

menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau

agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.

Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi

pneumatik. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama

sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan

sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat

ditegakkan dengan otoskop biasa.

Page 27: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

27

Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan

timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas

membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan

konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga

dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi

tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga luar.

Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan

telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien.

Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,

bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau

pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk

menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi

patogen yang spesifik. Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi

menjadi OMA berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia

sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39ºC

oral atau 39,5ºC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila

terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39ºC oral atau

39,5ºC rektal, atau tidak demam. (Adams GL, 2012)

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Telinga menggunakan Otoskop

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala,

corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan

garputala.

Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang

telinga. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga

menjadi lebih lrus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang

telinga ddan membran timpani. Pakai otoskop untuk melihat lebih jelas

bagian-bagian membran timpani. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika

memeriksa menggunakan otoskop adalah adakah serumen, bagaimana

Page 28: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

28

konsistensi, warna dan baunya, adakah reaksi inflamasi di liang telinga,

bagaimana kondisi membran timpani, apakah utuh, bagaimana

penampakannya, dsb.

Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil

pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli

perspektif. Uji penala yang dapat dilakukan adalah uji Rinne, uji Weber dan

uji Scwabah. (Soepardi, E.A., 2007)

Dari hasil pemeriksaan otoskopi pada skenario didapatkan discharge

mukopurulen dan granuloma. Granuloma dan discharge mukopurulen

menandakan adanya infeksi yang sudah berlangsung lama, karena

granuloma sendiri khas jika terjadi infeksi yan lama pada telinga.

Discharge yang keluar menandakan sudah adanya perforasi pada membran

timpani sebagai jalan keluar discharge. Hal-hal di atas menandakan

terjadinya infeksi kronis pada rongga telinga bagian tengah (auris media).

b. Pemeriksaan Hidung menggunakan Rhinoskopi

Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rhinoskopi

anterior. Diperlukan spekulum hidung. Vestibulum hidung, septum nasi

terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, meatus sinus

paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan. Hal ini

dilakukan pada bagian kiri mapun kanan juga.

Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan

rhinoskopi posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk

melakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior diperlukan spatula lidah dan

kaca nasofaring. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites terlebih

dahulu pada kulit belakang kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut,

lidah dua petiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Setelah itu kaca

dimasukkan sampai ke nasofaring. Mula-mula perhatikan bagian belakang

septum dan choana. Kemudian kaca diputar ke lateral sedikit untuk melihat

Page 29: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

29

konka superior, konka media, meatus superior dan meatus media. Kaca

diputar lebih ke laterallagi sehingga dapat diindentifikasi torus tubarius,

muara tuba Esutachius dan fossa Rossenmuler.

Pada skenario didapatkan hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior pada

pasien terdapat discharge seromukous, konka hipertrofi dan livide. Livide

merupakan tanda khas yang terjadi pada rhinitis allergica yang persisten.

Dan pada rhinitis allergica yang persistenjuga terdapat adanya konka yang

hipertrofi dan adanya discharge seromukous. (Soepardi, E.A., 2007)

3. Pemeriksaan Penunjang OMSK

a. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif. Pada pemeriksaan

audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat

pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar

dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas.

b. Foto rontgen untuk mengetahui patologi mastoid

c. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani

d. Pemeriksaan Radiologi

1) Proyeksi Schuller: memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari

arah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena

memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen.

2) Proyeksi Mayer atau Owen: Diambil dari arah dan anterior telinga

tengah. Akan tampak gambaran tulang- tulang pendengaran dan atik

sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai

struktur-struktur.

3) Proyeksi Stenver: memperlihatkan gambaran sepanjang piramid

petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna,

vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan

antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya

pembesaran.

Page 30: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

30

4) Proyeksi Chause III: memberi gambaran atik secara longitudinal

sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik.

Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang

oleh karena kolesteatom.

e. Bakteriologi. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah

Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan

bakteri pada OMSA Streptokokus pneumonie,H. influensa, dan Morexella

kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid,

Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp. (Fung, K., 2004)

f. Tone Decay Test. Tone decay test atau tes kelelahan merupakan suatu

pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui ambang batas telinga untuk

mendengar. Pemeriksaan ini menyimpulkan bahwa apabila telinga manusia

distimulasi terus-menerus oleh suatu bunyi, maka aka nada suatu waktu

dimana telinga mengalami fatigue sehingga tidak dapat mendengar bunyi.

Namun, hal ini bersifat sementara.Tone decay test ada 2 cara yaitu dengan

cara Threshold Tone Decay(TTD) dan Supra Threshod Adaptation

Test(STAT). TTD dibagi menjadi cara Gahart dan cara Rosenberg. Cara

Gerhart memberikan perangsangan secara terus menerus dengan intensitas

sesuai dengan ambang dengar. Misalnya 40 db bila setelah 60 detik masih

tetap mendengar maka test dinyatakan negative , jika sebaliknya terjadi

kelelelahan atau tidak mendegar maka test dinyatakan + Kemudian

intesitas Bunyi ditambah 5 db jadi 45 db maka pasien dapat mrndengar

lagi,rangsangan dilakukan dengan 45 db selama 60 detik dan seterusnya.

Sedangkan cara Rosenberg dengan penambahan : < 15 db = normal, >30 db

= sedang. STAT digunakan dengan prinsip pemeriksaan pada 3 Frekwensi(

500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db SPL = 100 db Sl. Artinya Nada

Murni pada frekwensi ( 500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db SPL

diberikan secara terus menerus selama 60 detik , terjadi kelelahan maka tes

Page 31: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

31

dinyatakan +. (Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengorok

Kepala Leher, 2002)

E. Diagnosis Banding

1. Rhinitis Vasomotor

Etiologi

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan

keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa

faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti

ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor

topikal.

b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara

yang tinggi dan bau yang merangsang.

c. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti

hamil dan hipotiroidisme.

d. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Patofisiologi

Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi

dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem

saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis

vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan

peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis.

Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang

hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai

peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan

transudasi cairan, edema dan kongesti.

Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari sel-

sel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin,

Page 32: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

32

leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-

elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang

menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem

saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore.

Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated)

seperti pada rinitis alergi.

Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis

vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi

yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan

udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ).

Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis

vasomotor yaitu :

a. Meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis

b. Mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis

c. mengurangi peptide vasoaktif

d. Mencari dan menghindari zat-zat iritan.

Patogenesis

Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-

pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf

parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti

yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks

hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul

akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.

a. Latar belakang

1) Adanya paparan terhadap suatu iritan → memicu ketidakseimbangan

sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada

mukosahidung → vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa

hidung→ hidungtersumbat dan rinore.

2) Disebut juga “ rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “

Page 33: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

33

3) Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan – perubahan

lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan

respon terhadap protein spesifik pada zat allergennya.

4) Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh ige

( ige-mediated hypersensitivity )

b. Pemicu ( triggers ) :

1) Alkohol

2) Perubahan temperatur /

kelembapan

3) Makanan yang panas dan

pedas

4) Bau – bauan yang menyengat

( strong odor )

5) Asap rokok atau polusi udara lainnya

6) Faktor – faktor psikis seperti : stress,

ansietas

7) Penyakit – penyakit endokrin

8) Obat-obatan seperti anti hipertensi,

kontrasepsi oral

Gejala klinis

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan

dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan

bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat

sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama

sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila

dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan

mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena

adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena

asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya

ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).

Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2

golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore

(runners / sneezers). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik

daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan

Page 34: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

34

rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan

diagnosisnya.

Diagnosis

Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya

dan keluhan dimulai pada usia dewasa.Beberapa pasien hanya mengeluhkan

gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak

mempunyai keluhan apabila tidak terpapar.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema

mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua

( karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka

dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret

mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang

ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior

dapat dijumpai post nasal drip.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan

rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST,

serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga

eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi

sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.

Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan

mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

(Soepardi EA, 1997)

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana OMA

Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi

pengobatan terutama dilakukan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachii,

sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. untuk itu diberikan obat tetes

Page 35: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

35

hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (untuk <12 Tahun) atau HCl

efedrin 1% dala, larutan fisiologis (untuk >12 Tahun dan orang dewasa).

Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab

utamanya adalah kuman, bukan virus atau alergi.

Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan

analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin atau

ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar didapatkan

konsentrasi yang adekuat dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang

terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.

Pemberian antibiotika dianjurkan selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap

penisilin bisa diberikan eritromisin.

Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per hari dibagi

dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB per hari dibagi dalam 3 dosis, atau

eritromisin 40 mg/kg BB per hari

Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai

dengan mirigotomi, bila membrane timpani masih utuh, dengan miringotomi

gejala –gejala klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.

Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang

terlihat secret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah

obat cuci telinga H202 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.

Biasanya secret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-

10 hari.

Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal kembali,

sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup (Djaafar, 2007).

Tatalaksana OMSK

Terapi OMSK memerlukan waktu yang lama dan berulang-ulang karena sekret

yang keluar biasanya tidak cepat kering dan sering kambuh. Hal ini disebabkan:

1. Perforasi membran timpani permanen

2. Sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, sinus

Page 36: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

36

3. Terbentuk jaringa patologik irreversibel dalam rongga mastoid

4. Gizi higiene kurang

Bila sekret keluar terus-menerus, berikan obat pencuci telinga H2O2 3%

selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, beri antibiotika dan kortikosteroid

dalam bentuk tetes telinga. Obat tetes telinga ini jangan diberikan terus-menerus

lebih dari 1 atau 2 minggu karena memiliki efek samping ototoksik. Selain itu beri

antibiotika oral ampisilin atau eritromisin. Bila sekret telah kering tetapi perforasi

masih ada setelah 2 bulan, lakukan miringoplasti atau timpanoplasti utuk

menghentikan infeksi secara permanen. Sumber infeksi harus diobati lebih dulu,

kalau perlu dengan pembedahan.

Prinsip terapi OMSKmaligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi

dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sementara

sebelum pembedahan. Operasi direncanakan secepatnya untuk memperbesar

kemungkinan keberhasilan dan memperkecil risiko komplikasi. Bila terdapat abses

subperiosteal retroaurikular, maka dilakukan insisi abses tersendiri sebelum

mastoidektomi.(Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &

Leher, 2007)

G. Motivasi dan Edukasi terhadap Prognosis Penyakit

1. Memberi tahu pasien bahwa rhinitis alergi merupakan penyakit

hipersensitivitas yang dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan

alergen, dalam skenario ini debu.

2. Memberi tahu pasien agar selalu menjaga kebersihan hidung dan telinga.

3. Memberi tahu pasien untuk tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang mungkin

memberatkan telinga, seperti berenang dan mendengar suara yang keras.

4. Memberi tahu pasien untuk melakukan pengobatan secara tuntas dan adekuat

agar penyakitnya tidak kambuh atau bertambah parah.

Page 37: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

37

H. Komplikasi Otitis Media Akut (OMA) dan Otitis Media Supuratif Kronik

(OMSK)

Komplikasi OMA yang serius adalah:

1. Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)

2. Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)

3. Kelumpuhan pada wajah

4. Tuli

5. Peradangan pada selaput otak (meningitis)

6. Abses Otak

Tanda-tanda terjadinya komplikasi:

1. Sakit kepala

2. Tuli yang terjadi secara mendadak

3. Vertigo (perasaan berputar)

4. Demam dan menggigil. (Adams, 2012).

Komplikasi otitis media terjadi bila sawar pertahanan telinga tengah normal

dilewati sehingga infeksi bisa menjalar ke struktur sekitarnya.

Pertahanan pertama adalah mukosa cavum timpani dimana fungsinya untuk

melokalisasi infeksi. Apabila pertahanan pertama terlewati maka akan menghadapi

pertahanan kedua yaitu dinding tulang cavum timpani dan sel mastoid. Apabila

pertahanan ini runtuh maka struktur lunak di sekitarnya juga akan terkena

sehingga menyebabkan periosteum runtuh dan mengakibatkan abses periosteal

yang relatif tidak berbahaya.

Namun, apabila infeksi terus berlanjut dan mengarah ke os temporal, maka

bisa terjadi paresis n.facialis dan labyrinthitis. Apabila infeksi mengarah ke

cranial, maka bisa menyebabkan abses ekstradural, meningitis, dan abses otak.

Apabila sawar tulang ini terlewati, maka akan menghadapi pertahanan ketiga

dengan membentuk jaringan-jaringan granulasi.

Page 38: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

38

I. Etiologi, Patofisiologi,dan Manifestasi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi

pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan

alergen spesifik tersebut. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan (misalnya tungau,

debu)

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran pencernaan (misalnya makanan

berupa susu, ikan laut, dll)

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan (misalnya penisilin atau

sengatan lebah)

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak langsung (misalnya bahan

kosmetik dan perhiasan)

Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,

rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai

oleh IgE. (WHO, 2001)

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major

Page 39: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

39

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang

akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E

(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE

di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini

menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. (Irawati,

Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara garis besar, pengeluaran histamine oleh tubuh akan menyebabkan, rasa

gatal gidung dan bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet

ditambah meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat

karena vasodilatasi sinusoid. (Swardana, 2000).

J. Hubungan Rhinitis Alergi dan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Pasien rhinitis alergi akan mengalami fase MPI (Minimal Persistent

Inflammation), dimana terdapat ICAM-1 yang merupakan reseptor selektif untuk

infeksi rhinovirus, virus penyebab common cold atau rhinitis simpleks. Apabila

infeksi ini berlangsung terus-menerus maka bisa menjalar ke telinga tengah

melalui saluran tuba eustachius dan bisa menyebabkan otitis media akut. Otitis

media akut yang tidak ditangani secara adekuat bisa berlanjut menjadi otitis media

supuratif kronik.

Page 40: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

40

K. Edukasi

1. Memberikan pengertian kepada pasien untuk menghindari alergen (debu, bulu

binatang, serbuk bunga) agar rhinitis alergi tidak terjadi.

2. Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek

terapi obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan.

Page 41: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

41

BAB III

PEMBAHASAN

Hasil anamnesis pada pasien di skenario didapatkan keterangan adanya

infeksi pada telinga kanan pasien yang mengeluarkan cairan kuning, kental

dan berbau busuk. Dari riwayat penyakit dahulu pasien yang sering pilek saat

remaja, apalagi jika terpapar debu dicurigai adanya riwayat alergi yang cukup

lama. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya discharge

seromukous, konka hipertrofi dan livide, dan yang terakhir ini merupakan

tanda khas pada kejadian rhinitis allergica. Rhinitis alergika adalah kelainan

pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis

alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)

yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan

late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide

dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide

MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas

sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk

Page 42: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

42

berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit

B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)

sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah

tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan

mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Performed Mediators) terutama histamine. Secara garis besar,

pengeluaran histamine oleh tubuh akan menyebabkan, rasa gatal gidung dan

bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet ditambah

meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat karena

vasodilatasi sinusoid.

Untuk gejala telinga kanan keluar cairan encer, jernih, dan ada darah.

Kambuh-kambuhan jika batuk pilek, merupakan kelanjutan dari gejala pasien

yang sering menderita batuk pilek saat terpapar debu. Gejala diatas

kemungkinan terjadi karena pasien terus terpapar oleh allergen, dan tidak

melakukan pengobatan atau pencegahan supaya alerginya tidak kambuh.

Kemungkinan pasien setahun yang lalu menderita otitis media,

infeksinya berasal dari hidung pasien menyebar ke telinga tengah pasien

melalui tuba auditiva eustachii, yang merupakan penghubung nasofaring

dengan auris media. Setelah itu, terbentuk efusi di dalam auris media karena

infeksi dari hidung itu sendiri. Cairan lama-lama terakumulasi di dalam auris

media sehingga mendesak membrane timpani kearah lateral/bulging. Jika

keadaan ini tidak diobati (seperti kemungkinan yang terjadi pada skenario),

membrane timpani tidak dapat menahan cairan yang ada di dalam auris media,

Page 43: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

43

dan terjadi rupture membrane timpani/perforasi sehingga keluar cairan dan

darah dari dalam telinga. Keadaan ini dapat terjadi kambuh-kambuhan karena

sumber infeksinya sendiri belum diobati. (Djaafar, 2007).

Dengan adanya kemungkinan adanya otitis media satu tahun yang lalu

namun pasien tidak melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu

tidak adekuat, telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya

tahan tubuh pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi

terhadap debu dan terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya

sudah mencapai kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda

dibandingkan setahun yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk.

(Balqis, 2011)

Pasien dalam scenario juga megeluhan telinga berdenging sehingga

pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Gejala yang dirasakan pasien

adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang

menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal

dari bunyi eksternal yang ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber

impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat

ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam

berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada

tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul

terdengar. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat

juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh

gangguan konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai

dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa ber-denyut (tinitus pulsasi).Tinitus

dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada

sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,

otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2007) Pendengaran pada penderita otitis

media biasanya terganggu karena adanya akumulai cairan pada auris media

yang menyebabkan kinerja ossicula auditiva menjadi berkurang, dan ini

Page 44: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

44

berimbas pada berkurangnya pendengaran. Untuk gejala kepala pusing, hal ini

dapat dikaitkan dengan adanya infeksi yang lama pada auris media yang

menyebabkan infeksi menyebar melalui fenestra rotundum dan menginfeksi

perilimfe dan endolimfe pada auris interna. Padahal kita tau fungsi dari auris

interna selain untuk fungsi pendengaran juga berfungsi untuk keseimbangan.

Jika endolimfe dalam auris interna terjadi inflamasi disana, maka densitas dari

endolimfe akan meningkat, hal ini dapat mengakibatkan kepala pusing.

Pemeriksaan otoskopi, telinga kanan didapatkan adanya discharge

mukopurulen, dan granuloma. Granuloma itu sendiri merupakan tanda bahwa

telah terjadi rekasi radang yang kronis yang ditemukan biasanya pada otitis

media supuratif kronis (OMSK). OMSK sendiri dapat terjadi jika telah terjadi

otitis media akut (OMA) terlebih dahulu. Jika dilihat dari riwayat penyakit

dahulu pasien, rhinitis kronis dapat menyebabkan gangguan pada tuba

eustachii yang akhirnya menyebabkan oklusi dari tuba eustachii. Oklusi

tersebut menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang nantinya

menghalangi keluarnya sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Dengan

adanya infeksi yang masuk ke tuba akibat rhinitis dan juga kegagalan tuba

untuk mngeluarkan sekretnya menimbulkan terjadinya infeksi pada telinga

tengah (OMA). Karena terjadinya OMA pada pasien tidak dilakukan

pengobatan yang adekuat dan dibiarkan saja, maka lama-elamaan timbullah

otitis media supuratif kronis (OMSK).

Karena itu, dalam tatalaksana seharusnya tidak hanya dilakukan

pengobatan medikamentosa, seperti antibiotik, antiinflamasi, antinyeri, tetapi

juga perlu dilakukan pembersihan telinga tengah. Selain itu, pasien perlu

diberikan edukasi mengenai pencegahan timblnya rhinitis allergica dengan

menghindari bahan-bahan yang memicu.

Page 45: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

45

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari diskusi yang telah kami lakukan pada pertemuan satu dan dua dapat

ditarik kesimpulan bahwa pasien terkena otitis media supuratif kronik berdasarkan

dari gejala, etiologi dan patofisiologi yang telah ada pada pembahasan

sebelumnya. Namun awitan yang terjadi pada pasien berdasar diskusi bias bermula

dari rhinitis alergi yang diderita pasien dan tidak ditangani dengan baik begitu juga

diperburuk oleh lingkungan kerja pasien.

B. Saran

Saran untuk diskusi tutorial kali ini adalah diharapkan partisipasi aktif oleh

tiap-tiap peserta diskusi agar diskusi semakin beragam dan hidup. Begitu juga

diharapkan pula untuk masing-masing peserta diskusi untuk mencari learning

objective yang sudah ditentukan.

Untuk tutor sudah baik dalam memandu diskusi dengan terus memancing

peserta diskusi untuk terus berperan aktif dalam diskusi dan menuntun diskusi

menuju learning objective yang diinginkan.

Page 46: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

46

DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, Higler PA. 2012. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.

Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119.

Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratifkronik di RSUP. H.Adam

Maliktahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id

Broides, A., dkk. Acute otitis media caused by Moraxella catarrhalis: Epidemiologic

and Clinical Characteristic. Clinical Infectious Diseases 2009;49:1641–7.

Djaafar, ZA. 2003. Otittis Media SupuratifKronik, dalamSoepardi, S.A., dkk, (ed),

PenatalaksanaanPenyakitdanKelainanTelingaHidungTenggorok, Edisi 3.

Jakarta: BalaiPenerbit FK UI.

Djaafar, Z.A., HelmiRestuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI

EfiatyArsyad, S, NurbaitiIskandar. 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung.

Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Elise,Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam :Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed.

Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-3.Jakarta :Balai Penerbit FK UI.1997.

h. 107 – 8.

Fung, K., 2004, Otitis Media Chronic, http://www.medline.com

Lockwood AH, Salvi RJ, Burkard RF. Tinnitus. [Online]. 2002 Sept 19 [cited 2008 Jun 23]; Available from URL:http://www.NEJM.com

Mansjoer, Arif. dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga J ilid 1.

Jakarta:Media Aesculapius FakultasKedokteran UI.

Sherwood, L. 2010. Human Physiology: The Periferal Nervous System: Afferent Division; Spesial Sense7th Ed. Philadelphia: Brooks/Cole Engange Learning. p. 213-23.

Page 47: [FIXED] LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 1 BLOK THT.docx

47

Soepardi, EfiatyArsyad et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

StafPengajarIlmuPenyakit THT FKUI. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tengorok Kepala Leher. Edisi ke 5 Cetakan ke2. Jakarta :Balai Penerbit

FKUI.