fluoroelastomer fluorocarbon

Upload: rudy-wijaya

Post on 06-Jul-2015

254 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

FLUOROELASTOMER (FKM) DAN APLIKASINYA DI INDUSTRI MINYAK DAN GAS Floroelastomer (FKM) and its application in Oil and Gas Industry Rudiyanto Wijaya Email : [email protected]

ABSTRAK Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir para insinyur di industri petroleum dan pabrik pembuat komponen pencegah kebocoran (seal manufacture) selalu merekomendasikan penggunaan fluoroelastomer sebagai material elastomer yang cocok untuk kebutuhan industri minyak dan gas. Industri perminyakan membutuhkan material elastomer yang bisa dipakai untuk beroperasi pada temperature tinggi, memiliki ketahanan terhadap kimia dan tidak mudah berubah bentuk (deformasi) pada kondisi yang ekstrim (pressure tinggi). ABSTRACT For 50 years, engineers and seal manufacturers have specified Fluoroelastomers for the most demanding applications especially in Oil and Gas Industry. The combination of high temperature performance, exceptional chemical resistance and dynamic elastic response has allowed critical seals to perform exceptionally well under very aggressive conditions. Nowadays the limits of conventional

-1-

fluoroelastomers are being pushed in todays high pressure/high temperature (HPHT) and harsh chemical environments making selection of the best elastomer for specific applications become difficult. I. PENDAHULUAN Fluoroelastomer merupakan karet sintetis yang awalnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan industri perminyakan (hydrocarbon), banyak packer, gasket (perapat). bisa bekerja dengan digunakan sebagai alat/komponen untuk mencegah kebocoran (seal) seperti o-ring, u-cup, Pada industri ini karet sitentis lain seperti Nitrile baik.. Material ini merupakan copolymer dari Butadine Rubber (NBR), Ethylene Propylene (EPDM), Silicon, Neoprene tidak Hexafluoropropylene (HFP) dan Vinyledene Fluoride (VDF), ASTM D1418-FKM & ISO 1629 dengan kandungan fluorine sekitar 66-70% dari beratnya (by weight). Material ini memiliki ketahanan terhadap temperatur sangat baik yaitu dari -40 C s/d 204 C, bahkan dengan penambahan pplymer tertentu material ini mampu beroperasi pada temperature 315 C. Selain kemampuan yang baik pada temperature, fluoroelastomer juga tahan pada bermacam kimia yang terkandung pada Hydrocarbon seperti senyawa H2S, Caustic, Alkohol, Garam dll. Namun material ini kurang baik dipakai pada bahan kimia yang mengandung ketone, acetone, amine, ester, amoniak dan bahan kimia PH tinggi lainnya. Permasalahan pada elastomer yang muncul di industri perminyakan antara lain : 1. Adanya kandungan gas H2S dan CO2 pada air di dalam sumur minyak sehingga membentuk cairan elektrolit dan non elektrolit yang menurut teori Lewis Acid Base cairan tersebut akan berinteraksi dan menimbulkan masalah lanjutan sehingga merusak peralatan. 2. Konsentrasi gas pada cairan dengan tekanan dan temperature di atas ambang batas akan merubah sifat cairan menjadi zat pelarut (super critical

-2-

solvent). Elastomer pada kondisi ini akan mengembang (swell), berubah kekenyalannya (plasticizer), terjadi penurunan berat molekul (molecul weight). 3. Terjadi kondisi explosive decompression akibat adanya perubahan tekanan secara cepat, hal ini menyebabkan elastomer pecah (rupture). 4. Penggunaan bahan kimia tambahan seperti HCl, HF, inhibitor (cairan penghambat reaksi), cairan tambahan (additive) seperti metal halides, carbonate dll, injeksi gas N2, CO2 juga sangat berpotensi menimbulkan kerusakan pada elastomer. 5. Adanya kandungan partikel seperti pasir dan batuan lainnya yang secara abrasi merusak elastomer.. II. PROSES PEMBUATAN FLUOROELASTOMER (FKM) Kebutuhan material Fluoroelastomer pada industri perminyakan sangat tinggi, hal ini membuat beberapa perusahaan elastomer kelas dunia berlomba-lomba memproduksi material ini menggunakan nama dagang yang berbeda antara lain : Viton - Dupont Dow Elatomer Fluoraz - Green Tweed Corporation Fluorel - Dyneon Aflas - Asahi Glas

FKM dibuat menggunakan tahapan reaksi kimia yang cukup kompleks, menggunakan bahan baku (raw material) yang beracun (toxic) dan mudah meledak (explosive), karena itu biaya pembuatannya menjadi lebih mahal dibanding dengan elastomer lainnya. Diagram berikut ini menjelaskan tahapan pembuatan FKM :

-3-

VF2

HFPReagents

TFE

REACTOR

WASH

COAGULATION

Water Removal

Drying Oven

MIXER

PACKAGING

1.

Type Fluoroelastomer :

-4-

a. Type copolymer yang diproses dari dua monomer yaitu Vinylidene Fluoride (VF2) dan Hexafluorpropane (HFP), direaksikan menggunakan bisphenol AF dan garam phosphonium, disebut proses bisphenol cure. Copolymer umumnya mengandung 66-70% fluorine (by weight). Coploymer ini umumnya digunakan untuk membuat FKM karena memiliki kemampuan bahan yang baik.

b. Type Terpolymer yang tersusun oleh VF2, HFP ditambah dengan monomer ketiga yaitu Tetrafluoroethylene (chemical (TFE). TFE dan ditambahkan untuk meningkatkan kandungan fluorine yang berfungsi memberikan kemampuan ketahanan menjadikan sealing). kimia resistance) set polimer ketahanan dan temperature ketahanan (temperature resistance) yang lebih baik lagi. Namun demikian perlakuan ini compression berkurang temperature pada temperature rendah menjadi berkurang (low temperature

-5-

c. Peroxide Curable yang diproses hampir sama dengan terpolymer hanya ditambahkan Cure Site Monomer (CSM) pada material polymer dan dibentuk melalui proses peroksida. Proses peroxide juga mengandung Fluorine 67-70% (sama dengan fluorine yang terkandung dalam proses copolymer maupun terpolymer) namun bisa memberikan efek tahan kimia lebih baik karena dalam proses peroksida bahan dasar polymer tidak berubah menjadi jenuh seperti yang terjadi pada proses bisphenol polymer. d. Fluoroelastomer type low temperature diproses mirip dengan proses peroksida namun ditambahkan bahan Perfluoro-Methy Vinyl Ether (PMVE). Adanya senyawa Ether dalam bahan dasar polymer akan membuat polymer menjadi lebih tahan untuk kondisi temperature rendah.

2. Bahan campuran (compounding) Syarat utama material pengisi (filler) dari FKM adalah menggunakan material yang memiliki ketahanan kimia dan kestabilan pada temperature baik temperature tinggi maupun rendah (stabil sebagai polimer).

-6-

a. Carbon Black merupakan bahan yang umumnya digunakan sebagai filler. Material seperti MT N-90 bisa digunakan karena memiliki sifat fisik (physical properties) yang cukup baik - tidak begitu kental dibanding bahan filler lain. b. Mineral seperti clay, silica, PTFE, barium sulfate juga bisa digunakan sebagai filler. Pertimbangan menggunakan mineral karena material ini memiliki kemampuan muat (higher loading) sehingga lebih murah. Selain itu penggunaan mineral tertentu dapat memenuhi persyaratan FDA (Food and Drug Association) dan cocok untuk aplikasi semikonduktor. c. Pewarnaan (pigment), umumnya hitam, namun bisa juga coklat, hijau, biru dan putih.

3.

Perbandingan properties Fluoroelastomer (FKM) dengan

elastomer lain : Tabel di bawah ini memberikan informasi sifat (properties) FKM yang diproduksi oleh Dupont dengan merek Viton.

-7-

III. EXPERIMENTAL : Salah satu perusahaan polymer yang secara aktif melakukan pengembangan dan riset untuk memperoleh sifat material fluoroelastomer yang lebih baik lagi adalah DuPont Performance Elastomer LLC, USA. DuPont sudah memproduksi Fluoroelastomer dengan merek dagang Viton sejak tahun 1970-an, sifat -sifat fisik (physical properties) Viton generasi pertama (konvensional FKM) masih sangat terbatas dan kurang tahan terhadap cairan yang mengandung Amine, Ketone, Acetone, alcohol dan cairan PH tinggi lainnya. Pada tahun 2002 DuPont mengembangkan Fluoroelastomer khusus yang diproses dengan metoda Advance Polymer Architectuire (APA). Dengan metode ini distribusi berat molekul polymer (molecul weight distribution) dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilan keseimbangan dan distribusi molekul monomer secara maksimum. Ketika bentuk molekul monomer seimbang dan merata maka bangunan (architecture) polymer menjadi lebih kokoh dan stabil. Tabel di bawah ini merupakan jenis fluoroelatomer yang diteliti :

-8-

Fluoroelastomer

Viton

type

FKM-A401C

dan

FKM-F605C

merupakan

konvensional Fluoroelastomer yang dibuat menggunakan proses sistim Bisphenol Cure, pada proses ini reaksi menghasilkan Metal Oxide/Hydroxide yang merupakan bagian integral proses Bhisphenol Cure. Type dan tingkatan Metal Oxide ini bisa dijabarkan sebagai berikut : Ca (OH)2 or Ca (OH)2 3.0 --- 3 Calcium Hydroxide Ca (OH)2 1.5 NMO --- 1.5 Calcium Hydroxide --- No Metal Oxide

Kekuatan, ketahanan dan sifat fisik Fluorelastomer type FKM sangat tergantung dari kumpulan Metal Oxide/Hydroxide yang ada pada compound. Sebagai gambaran Viton type FKM-A401C dan FKM-F605C yang diteliti memiliki 3 Magnesium Oxide dan 6 Calcium Hydroxide. Fluoroelastomer Viton type GBL-600S mengandung 67% Fluorine dan dibuat melalui proses peroxide. Namun demikian Type GBL-600S juga bisa dibuat melalui proses bisphenol cure. Namun dengan kemajuan proses kimia material Fluoroelastomer bisa diproses dengan kedua cara tersebut (dual cure). Kelbihannya adalah dihasilkan material fluoroelastomer yang memiliki hardness tinggi.

-9-

Tabel di bawah ini merupakan perbandingan sifat fisik beberapa jenis fluroelastomer Viton produksi DuPont.

Table II compares compound rheology of three, approximately 95 Shore A, compounds based on Viton A-HV (compound A40-07), the 65 Mooney Viton GBL-600S (A40-02) and a blend of Viton GBL-600S with the 25 Mooney Viton GBL-200S (A40-01).

Dari table tersebut diperoleh data bahwa Fluoroelastomer compound GBLS yang diproses menggunakan teknologi APA memiliki kekentalan yang lebih rendah dibandingkan dengan Fluoroelastomer konvensional namun masih bisa diproses pembuatannya dengan torsi maksimum. Keunggulan compound GBLS juga dapat terlihat dari uji menggunakan RPA frekwensi sweep. Compound yang bagus memiliki tan delta antara 0.8 Hz s/d 1.3 Hz. Sementara compound A-HV memiliki tan delta lebih rendah dengan nilai

- 10 -

0.45, tan delta yang rendah menyebabkan terjadinya kondisi high viscoelastic memory, yaitu compound tidak mudah mengisi rongga alat cetak sehingga produk yang dihasilkan tidak sempurna (stress, gagal, mudah rusak).

Kemajuan proses pembuatan fluoroelastomer dengan teknologi APA (Advance Polymer Architecture) menghasilkan fluoroelastomer yang memiliki banyak keunggulan dibanding dengan produk konvensional.

- 11 -

Test yang dilakukan untuk menguji ketahanan fluoroelastomer Viton (APA) pada 2 jenis drilling fluid dan BioDiesel Fuel (MRE) Esther base Drilling Fluids ( Baker Hughes NX-3500, haliburton Petrofree with baroid), Cessium/potassium format brine (cabot specialty fluids)

Esther dipilih karena usenyawa kimia ini dikenal sangat agresive merusak elastomer, sementara pemilihan Cessium format brine dipilih karena selama ini informasi kecocokan melastomer dengan brine jarang tersedia. Elastomer compound yang ditest memiliki hardness 85-90 shore A durometer yaitu Viton A-HV (A40-06), Viton GF-600S (A40-04) and two compounds based on Viton ExtremeTM ETP-600S (A40-01 and A40-02). a. Cessium Formate Test : Testing dilakukan dengan merendam specimen di cairan menggunakan vessel kedap dengan temperature 150 Deg C dan 177 Deg C selama 672 jam. b. Esther Drilling Fluid Test :

- 12 -

Test dilakukan dengan merendam specimen di Esther drilling fluid selama 168 jam pada suhu 177 Deg C. ternyata hasilnya semua compound mengalami perubahan bentuk, hardness dan volume. c. Testing pada MRE (Bio Fuel Diesel) Pengetesan dilakukan pada beberapa jenis bahan bakar diesel (diesel fuel) untuk memperoleh perbandingan hasil : Rapeseed Methyl Ester (RME) B100 RME, meeting the requirements of SAE J168. Certification No. 2 Diesel Fuel (low sulfur), meeting the requirements of SAE J1681, Appendix B Table B6 blended with B100 RME to make B20 (20% RME / 80% Diesel) and B5 (5% RME / 95% Diesel). Rapeseed Methyl Ester (RME) B100 RME blended with 0.5 % distilled water, Certification No. 2 Diesel Fuel blended with B100. RME to make B20 (20% RME / 80% Diesel) and B5 (5% RME / 95% Diesel), each blended with 0.5% distilled water respectively. Protokoler Testing dan Aging Test pada bio diesel Fuel : a. Persiapan sample : Semua sample Fluoroelatomer (FKM) yang akan diteliti mengandung 30pph MT Carbon Black (N-990) yang menghasilkan kekerasan 70-80 durometer hardness. Testing dilakukan sesuai standard ASTM, dilakukan dengan melakukan kompresi sample selama 5 (lima) menit pada suhu 177 Deg C dan post curing dengan meletakan sample pada oven selama 16 jam pada suhu 232 Deg C. b. Metode Testing :

- 13 -

Testing dilakukan untuk mencek karakteristik masing masing elastomer untuk mengetahui kinerja pengesilan, antara lain : tensile strength, perubahan hardness (hardness change), dan volume swell. Stress-strain according to ASTM D 412-98a, Die C Hardness according to ASTM D 2240-02 Fluid immersion according to ASTM D 471-98 all fuel testing was conducted in sealed 1 liter 316 stainless steel Parr pressure vessel c. Vulkanizat dari Fluoroelastomer direndam pada berapa jenis BBM diesel yang sudah disiapkan. Perubahan volume (Volume swell) yang terjadi mengindikasikan adanya chemical attack pada elastomer. IV. RESULT AND DISCUSSION : Hasil pada test Cessium Formate : Pada testing temperature 150 Deg C compound A-HV mengeras (brittle) sementara compound GF-S mengalami pengurangan tensile dan sedikit sekali pengurangan modulus. Namun hasil testing temperature 177 Deg C kedua compound A-HV dan GF-S mengalami pengerasan (brittle) pada kondisi ini kedua compound tidak direkomendasikan untuk dioperasikan. Compound ETP-S (silica filler) tidak mengalami perubahan bentuk sama sekali pada temperature 150 Deg C . Namun pada suhu 177 Deg C compound ETP-S (silica filler) mengalami penurunan tensile strength dan elongation yang cukup significan. Sementara compound ETP-S (A40-01) dengan filler black carbon tidak mengalami perubahan bentuk sama sekali sam suhu 177 Deg C. tensile strength, elongation

- 14 -

2.

Hasil pada test Esther Drilling Fluid : Test dilakukan dengan merendam specimen di Esther drilling fluid selama 168 jam pada suhu 177 Deg C. ternyata hasilnya semua compound mengalami perubahan bentuk, hardness dan volume.

3.

Hasil Test pada Bio Diesel Fuel (MRE) a. Volume Change dan Hardness Change : Specimen

Fluoroelastomer FKM A-401C & FKM-F605C (bisphenol cured) serta

- 15 -

FKM-GBL-S (peroxide cured) yang direndam pada RME baru (fresh) selama 3024 jam pada suhu 125 Deg C mengalami perubahan volume (volume swell) kurang dari 6 %, perubahan hardnes kurang dari 5 shore A durometer. Namun specimen FKM-A401C dan FKM-GBL-S yang direndam pada RME bekas (lama) selama 2 minggu pada suhu 125 Deg C mengalami volume swell sebesar 115% dan 31%. Selain itu compound tersebut kehilangan 70% dari tensile strength awal dan 15-20 point berkurang kekerasannya (hardness).

- 16 -

b.

Tensile

Strength

:

Compound

FKM-GBL-S

yang

(mengandung Ca(OH)2 kehilangan 74% tensile strength setelah direndam pada RME lama selama 336 jam dan hanya kehilangan 27% direndam pada RME baru selama 3024 jam, keduanya pada suhu 125 Deg C. Sementara FKM-A401C kehilangan 66% tensile strength setelah direndam pada RME lama selama 336 jam dan kehilangan 31% ketika direndam pada RME baru selama 3024 jam.

- 17 -

Umur (aging) dari RME (diesel fuel) yang digunakan untuk merendam fluoroelastomer ternyata menjadi factor penting. Pada RME lama sudah mengandung air dan carboxylix acid, kedua senyawa ini merupakan kontaminan, RME menyerap lebih banyak air dibanding konvensional diesel fuel yang berasal dari hydrocarbon. Carboxylic Acid merupakan hasil degradasi dari RME karena RME mengalami oksidasi ketika bertemu dengan udara luar. Oksidasi meyebabkan terjadinya hydroperoxide terhadap fatty acid yang terkandung dalam bio diesel. Dan efeknya adalah terjadi dekomposisi pada aldehyd, ketone dan memperpendek rantai carboxylic acid itu sendiri. Fang dan McCormick pernah melakukan penelitian mengenai potensi terjadinya mekanisme degradasi biodiesel pada kondisi tertentu seperti terjadinya formasi peroxide (peroxide formation) dan dekomposisi produk (aldehydes, ketones, organic acid, oligimer formation, antagonistic effect, decomposition of methyl esther dll). Berhasil dibuktikan bahwa akibat dari hydrolysis yang terjadi pada temperature 120 Deg C dan dengan tambahan udara maka terjadi percepatan proses oksidasi. V. CONCLUSION (KESIMPULAN) Fluoroelastomer sangat diperlukan oleh industri perminyakan, karena material ini memiliki ketahanan terhadap kondisi temperature tinggi, pressure tinggi, lingkungan asam, garam/brine yang biasanya terjadi di industri minytak dan gas. Fluoroelastomer yang dibuat melalui proses APA (Advance Polymer Architecture) mampu memenuhi kriteria akan bahan elastomer yang lebih baik dibanding fluoroelastomer konvensional baik dari sisi mampu bentuk maupun sifat fisiknya. Fluoroelastomer type A (FKM) yang diproses secara bisphenol cure merupakan jenis yang paling banyak dipakai memiliki keseimbangan berat molekul yang

- 18 -

cukup baik. Fluoroelastomer lain diproses secara peroxide cure, memiliki ketahan kimia yang lebih baik dari fluoroelastomer type A. Sementara fluoroelastomer jenis TFE/P merupakan jenis yang mampu bertahan pada lingkungan yang mengandung Amine, Ketone yang banyak ditemukan pada industri pengeboran minyak. Untuk membantu pemakai memilih jenis elastomer yang tepat untuk kondisi operasi di bawah ini kami sertakan table seleksi :

VI. REFERENCE (DAFTAR PUSTAKA) : 1. Eric W. Thomas, Robert E. Fuller and Kenji Terauchi, Fluoroelastomer Compatibility with Biodiesel Fuels, DuPont Performance Elastomers L.L.C.

- 19 -

2. Robert E. Fuller, Fluoroelastomers made with Advanced Polymer Architecture for Oil & Gas Applications, Dupont Performance Elastomers, Oilfield Engineering with Polymers 2006 29-30 March 2006 - London UK. 3. D. L. Hertz III, Seals Eastern Inc, Thermal Limitations of BPAF cured and TAIC cured Fluoroelastomers Evaluated using Strain Energy Density, Presented at the High Performance and Specialty Elastomers 2005 International Conference Geneva, Switzerland 20-21st April, 2005 4. Ronald D. Stevens, Fuel and Permeation Resistance of Fluoroelastomers to Ethanol Blends, Presented at the Fall 170th Technical Meeting of the Rubber Division, American Chemical Society Cincinnati, OH October 10-12, 2006 5. Andrew C. Farinella and Daniel L. Hertz, Jr. LOW TEMPERATURE TESTING OF ELASTOMERS, Presented at the Spring Technical Meeting of the New York Rubber Group, Thursday, March 25, 1999 6. Daniel L. Hertz, Jr. , Oil and Gas Industry Seals and Sealing - Success and Failure, Presented at ERG Fall Technical Meeting, September 18, 1996 Houston, Texas, Seals Eastern, Inc.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

- 20 -