fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/t095.docx · web viewprogram magister...

20
The 18 th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015 PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK PEKERJA DI KORIDOR ANTAR KOTA UNGARAN- BAWEN Theresia Tarigan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur IV/1 Semarang Telp: (024) 8441555 [email protected] .id Djoko Setijowarno Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur IV/1 Semarang Telp: (024) 8441555 djokosetijowarno@yahoo .com Wijanto Hadipuro Fakultas Teknik Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur IV/1 Semarang Telp: (024) 8441555 [email protected] Abstract Sustainable transportation evaluation gives strong attention to transit affordability and transit accessibility to reflect the quality of the services. This research use travel cost and and travel time to measure the transit affordability. Quality of access, connectivity, knowledge, usability, and security considered as acceptable public transportation will be reviewed to understand the transit accessibility’s low wage workers in industries which are located in koridor Ungaran-Bawen, Kabupaten Semarang. People typically devote 60-90 minutes a day and 10-20% of their household budgets to transport. Residents of cities with high quality transit systems devote just 12.0% of their income to transport. Respondents spent 5%-48% of her/his incomes for travel cost and 30-315 minutes per day. Poor services mainly in quality of the access, connectivity (long and uncertain waiting time, services not available during night and early morning and late night), usability ( no seat, should stand up very close to other passengers) forces workers to depend on alternative transports such as pick up by family, moterobike transporter, and trucks. Keywords: transit affordability, transit accessibility, component of travel cost, acceptable public transportation. Abstrak Pelayanan transportasi publik dalam perspektif transportasi berkelanjutan terkait erat dengan indikator keterjangkauan (transit affordability) dan aksesibilitas (transit accessibility) penumpang . Keterjangkauan pada penelitian ini ditinjau dari komponen biaya perjalanan ongkos dan waktu tempuh dari

Upload: duongliem

Post on 13-Apr-2018

230 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK PEKERJA DI KORIDOR ANTAR KOTA UNGARAN-

BAWEN

Theresia TariganProgram Magister Lingkungan

dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata

Jln. Pawiyatan Luhur IV/1 Semarang

Telp: (024) [email protected]

Djoko SetijowarnoFakultas TeknikUniversitas Katolik

SoegijapranataJln. Pawiyatan Luhur

IV/1 SemarangTelp: (024) 8441555

[email protected]

Wijanto HadipuroFakultas Teknik

Universitas Katolik Soegijapranata

Jln. Pawiyatan Luhur IV/1 Semarang

Telp: (024) 8441555 [email protected]

AbstractSustainable transportation evaluation gives strong attention to transit affordability and transit accessibility to reflect the quality of the services. This research use travel cost and and travel time to measure the transit affordability. Quality of access, connectivity, knowledge, usability, and security considered as acceptable public transportation will be reviewed to understand the transit accessibility’s low wage workers in industries which are located in koridor Ungaran-Bawen, Kabupaten Semarang. People typically devote 60-90 minutes a day and 10-20% of their household budgets to transport. Residents of cities with high quality transit systems devote just 12.0% of their income to transport. Respondents spent 5%-48% of her/his incomes for travel cost and 30-315 minutes per day. Poor services mainly in quality of the access, connectivity (long and uncertain waiting time, services not available during night and early morning and late night), usability ( no seat, should stand up very close to other passengers) forces workers to depend on alternative transports such as pick up by family, moterobike transporter, and trucks.

Keywords: transit affordability, transit accessibility, component of travel cost, acceptable public transportation.

AbstrakPelayanan transportasi publik dalam perspektif transportasi berkelanjutan terkait erat dengan indikator keterjangkauan (transit affordability) dan aksesibilitas (transit accessibility) penumpang . Keterjangkauan pada penelitian ini ditinjau dari komponen biaya perjalanan ongkos dan waktu tempuh dari rumah ke tempat bekerja. Aksesibilitas ditinjau dari aspek transportasi publik yang dapat diterima (acceptable public transportation) yaitu akses , konektivitas, pengetahuan, penggunaan, dan keamanan. Penduduk Waktu tempuh 60-90 menit per hari biaya transportasi keluarga 10%-20% pendapatan keluarga. Warga kota yang sistem transportasi publiknya berkualitas tinggi hanya menghabiskan 12% dari pendapatannya atau Responden di wilayah studi di koridor Ungaran-Bawen menanggung ongkos 5%-48 % dari pendapatannya dan waktu tempuh 30-315 menit per hari. Buruknya kualitas pelayanan pada aspek akses, konektivitas (waktu tunggu yang lama dan tidak pasti, tidak tersedia pada malam hari, pada shift pagi dan malam hari), dan penggunaan (buruknya kualitas bis, tidak bisa duduk, dan berdiri berhimpitan) sehingga tergantung pada angkutan alternatif (jemputan keluarga, ojek, dan angkutan barang). . Kata kunci: keterjangkauan transportasi publik, aksesibilitas transportasi publik, komponen biaya perjalanan ongkos dan waktu tempuh, transportasi publik yang dapat diterima.

PENDAHULUANPertumbuhan industri di Kab. Semarang terutama di koridor jalan nasional Ungaran-Bawen dan pertumbuhan pemukiman di perbatasan Kota Semarang dan Kab. Semarang

Page 2: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

menyatukan kedua daerah administrasi ini. Perubahan pada bentuk kota, perubahan dalam transportasi perkotaan, dan keputusan individu dalam ngelaju saling terkait (Pooley dan Turnbull, 2002). Pertumbuhan sepeda motor di Jawa Tengah sangat tinggi. Pada tahun 2012 lalu, total penjualan sepeda motor di Jateng 45.000 hingga 50.000 unit per bulan (Suara Merdeka, 18 Juli 2013).

Sepeda motor beresiko tinggi mengalami kecelakaan dengan alasan 1) pengguna lain tidak menganggap pengguna sepeda motor sebagai ancaman tabrakan karena mereka lebih memperhatikan kendaraan dengan ukuran yang sama atau lebih besar 2) Pengendara sepeda motor memerlukan sebuah koordinasi fisik yang prosesnya kompleks dan kemampuan psikomotor yang baik; beberapa mempunyai keterbatas fisik dan keterbatasan reflek yang rentan terhadap kecelakaan 3) pengguna sepeda motor pada umumnya tidak mendapat pelatihan yang memadai sehingga ketika menghadapi keadaan yang tidak diprediksi mereka beresiko kecelakaan lebih besar 4) Resiko mengendari sepeda motor berbeda menurut umur dan latar belakang sosial-ekonomi;resiko kecelakaan lebih besar dari yang diperkirakan 5) sepeda motor mempunya tingkat akselerasi yang lebih tinggi dari kendaraan lain sehingga resiko kecelakaan lebih tinggi. (Mannering dan Grodski (1995); dalam Sunggiardi dan Putranto,2009).

Tingkat kecelakaan lalu lintas (laka) kuartal pertama tahun 2014 di koridor Ungaran-Bawen sangat tinggi yaitu 134 laka dengan 46 laka di lokasi penelitian yaitu di koridor Ungaran-Bawen yang melibatkan: 4 orang pejalan kaki, 145 sepeda motor, 5 angkot, 7 bus, 55 mobil, 32 truk, dan 10 kendaraan berat). Sedangkan korban kecelakaan di atas mengakibatkan 32 orang meninggal dunia, 4 orang luka berat, dan 157 orang luka ringan (Laporan Laka, Satlantas Kab. Semarang, 2014).

Pemerintah daerah Jakarta, Surabaya dan Sragen memperkenalkan jalur khusus sepeda motor untuk mengurangi lalu lintas bauran yang tidak aman. Namun upaya tersebut menjadi sebuah insentif penggunaan sepeda motor. Oleh karena itu upaya mendorong penggunaan transportasi publik harus ditingkatkan. (Putranto, 2010). Membatasi penggunaan sepeda motor tanpa menyediakan transportasi publik yang lebih baik berarti melanggar prinsip utama bangsa yaitu Pancasila sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan sepeda motor memang dapat meningkatkan kecepatan tetapi menjadi beban lalu lintas secara keseluruhan (Sunggiardi and Putranto, 2009).

Jaiswal and Sharma (2012) menggambarkan perbaikan transportasi publik untuk mengatasi permasalahan transportasi yang utama yaitu kemacetan, polusi, dan kecelakaan lalu lintas akibat inefisiensi sistem transportasi. Pengurangan angkutan pribadi dan perbaikan infrastruktur transportasi publik akan mengurangi masalah tersebut disamping memberikan pilihan transportasi yang lebih murah.

Dalam upaya mewujudkan prinsip keberlanjutan, transportasi yang berkelanjutan adalah warga akses terhadap transportasi publik (transit accessibility) dan dengan ongkos yang

Page 3: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

terjangkau (transit affordability) seperti pada definisi transportasi berkelanjutan menurut European Union Council of Ministers of Transport yang dikutip Rastogi (2011) berikut: Dapat menyediakan kebutuhan akses yang mendasar dan pengembangannya bagi

individu, perusahaan, dan masyarakat untuk dipenuhi secara aman dan dalam sikap yang konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dan mempromosikan kesetaraan dalam dan antar generasi berikutnya.

Menawarkan pilihan moda transportasi yang terjangkau dan dioperasikan secara adil dan efisien, dan mendukung persaingan ekonomi, serta pembangunan wilayah yang seimbang. Membatasi emisi dan buangan pada batas kemampuan bumi menyerapnya, menggunakan sumber daya alam yang terbarukan atau di bawah kemampuannya mengembangkan perbaruan penggantinya, sambil meminimalkan dampak pada penggunaan lahan dan suara yang dihasilkan.

Bagaimana akses pekerja di koridor Ungaran-Bawen terhadap angkutan umum? Akses dan aksesibilitas merupakan isu yang erat kaitannya dengan penyediaan transportasi publik. Akses merupakan kesempatan untuk menggunakan sistem berdasarkan kedekatannya ke suatu pelayanan (jaraknya dan waktu tempuhnya) dan biayanya. Sedangkan aksesibilitas adalah kesesuaian jaringan transportasi publik sehingga rentang waktu seseorang mulai dari titik masuk sampai titik keluar dari sistem merupakan rentang waktu yang wajar (Murray, dkk., 1998):

Studi Alvinsyah dan Zulkati (2005) terhadap usulan sistem busway Jakarta menunjukkan variabel yang utama bagi calon penumpang adalah waktu tempuh dan ongkos. Polat (2012) merangkumkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap transportasi publik adalah biaya perjalanan dan waktu tempuh. Inilah yang menjadi indikator dalam penelitian ini untuk mengevaluasi pelayanan angkutan umum bagi pekerja. Komponen waktu dan biaya perjalanan dapat dilihat pada gambar berikut:

Waktu yang diperlukan dari asal menuju halte

Waktu yang diperlukan menunggu angkutan

OngkosWaktu di dalam kendaraan

Waktu yang diperlukan pada pergantian angkutan

OngkosWaktu di dalam kendaraan

Waktu yang diperlukan dari halte terakhir ke tujuan akhir

Gambar 1: Komponen biaya perjalanan menggunakan transportasi publik dengan dua kali perpindahan angkutan (Polat, 2012)

Penduduk kota yang sistem transportasi publiknya berkualitas tinggi hanya menghabiskan 12% dari pendapatannya untuk transportasi, dibandingnya yang 15% dari pendapatannya bagi warga yang tergantung pada kendaraan pribadi (Kenworthy, dkk, 1997; dalam Litman, 2015). Biaya transportasi kira-kira 10% dari pendapatannya pada komunitas yang menggunakan berbagai moda angkutan dan kira-kira 25% dalam komunitas yang tergantung pada kendaraan pribadi (Lipman, 2006; dalam Litman, 2015).

Page 4: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Setiap orang hanya ingin mengalokasikan sejumlah waktu untuk perjalanan (Mokhtarian (2005) dalam Litman 2015). Durasi dua puluh sampai empat puluh menit merupakan waktu yang dianggap minimal nilainya atau bernilai positif. Biaya unit waktu akan meningkat jika melebihi per perjalanan lebih dari 20 menit atau lebih dari 90 menit total waktu perjalanan per hari (Litman, 2014). Dalam penelitian ini waktu perjalanan yang wajar adalah 90 menit per hari.

Konsep pemikiran individu memilih moda angkutanIndividu dalam menentukan pilihannya apakah menggunakan transportasi publik atau kendaraan pribadi atau bahkan melakukan suatu perjalanan atau tidak merupakan suatu proses yang bisa sederhana bisa kompleks Ceder (2011). Beimborn, dkk., (2002) menyebutkan bahwa seseorang memilih menggunakan transportasi publik karena tidak ada pilihan lain (captive) atau karena merupakan dipilih setelah membandingkan dengan moda pribadi (choice) atau tidak melakukan perjalanan jika keduanya tidak ada.

METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian evaluasi kinerja transportasi publik antar kota berdasarkan yaitu aksesibilitas dan perjalanan mendasar (basic mobility) ke tempat bekerja (transit accessibility) dan kemampuan membayar biaya. Indikator aksesibilitas ditinjau dari aspek akses, konektivitas, pengetahuan, penggunaan, dan keamanan sebagai aspek yang diutamakan dalam transportasi publik yang sekedar dapat diterima atau acceptable transportation menurut Beimborn, dkk., (2002) karena responden adalah kelompok berpendapatan rendah. Indikator kemampuan membayar ditinjau dari persentase ongkos perjalanan dengan pendapatannya per bulan. Responden adalah pekerja pabrik yang berlokasi di koridor Ungaran-Bawen yang terdiri dari 51 pekerja pengguna transportasi publik dan 22 pekerja pengguna sepeda motor.

Pekerja dan industri di koridor Ungaran-Bawen Kab. Semarang

Page 5: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Gambar 2: Kawasan Strategis Bawen Raya Kab.Semarang (Disnakertrans Kab. Semarang, 2013)

Tenaga kerja perempuan mendominasi perusahaan besar di koridor Ungaran-Bawen seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut:

05000

100001500020000250003000035000400004500050000

Jumlah TK PerempuanJumlah TK laki-laki

Wilayah studi di Kab. Semarang: Ungaran Timur, Bergas,Pringapus, dan Bawen

Total tenaga kerja di ke-4 zona: 70368 perempuan dan 18265 laki-laki

Gambar 3: Tenaga kerja nenurut jenis kelamin dan ketegori pabrik (Disnakertrans Kab. Semarang, 2014)

Sedangkan jumlah tenaga kerja dan lokasi pabrik berurutan dari Ungaran dimulai dari Toko Luwes ke Sam Sam Jaya Garment dekat dari Terminal Bawen berikut ini:

L0500

1000150020002500300035004000

L

P

Gambar 4: Urutan lokasi pabrik dari Ungaran-Bawen dan jumlah tenaga kerja (Survey Lapangan)

Permasalahan pekerja di koridor Ungaran-Bawen terutama pada konektivitas transportasi publik dan penyediaannya pada saat berangkat untuk pulang dengan jam kerja 2 atau 3 shift yang diperkirakan ada sekitar 20 pabrik jumlah pekerja hampir tiga puluh ribu orang.

PELAYANAN TRANSPORTASI PUBLIK DI KORIDOR UNGARAN-BAWEN

Page 6: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Indikator keterjangkauan (transit affordability) Ongkos perjalanan responden pada umumnya melebihi 12% dari pendapatannya per bulan yaitu 5%-48% yang artinya sebenarnya transportasi publik yang digunakan responden belum terjangkau artinya dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya. Ongkos tertinggi ditanggung oleh responden asal Magelang, Temanggung, Kota Semarang, dan juga asal Kab. Semarang walaupun tempat industri berlokasi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

Ongkos Perjalanan Pengguna Transportasi Publik /Hari (Rp)

Gambar 5: Ongkos perjalanan pengguna transportasi publik (hasil analisi)

Responden yang waktu tempuh per hari 90 menit atau kurang, hanya responden yang berasal dari sekitar pabrik warga Kab. Semarang (dari Susukan, Ungaran, Suruh, Kandangan, dan Pringapus), yang berasal dari Kota Salatiga, dan Kota Semarang yang berdekatan dengan Kab. Semarang. Waktu tempuh terjauh adalah responden dari Kab. Temanggung yaitu 315 menit. Sedangkan responden asal Kab. Magelang waktu tempuhnya 164-305 menit per hari seperti pada gambar berikut:

90120

164

305

55

175

55

180230

315

120

Waktu tempuh perjalanan bekerja PP (per Hari)

Gambar 6: Waktu tempuh perjalanan pengguna transportasi publik (hasil analisi)

Page 7: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Rincian ongkos perjalanan dan persentase dari pendapatan per bulan dari responden dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1: Persentase ongkos perjalanan pekerja menggunakan transportasi publik

Boyolali Rp8.000,00 Rp1.208.800,00 0,17

Magelang Rp10.000,00-Rp30.000,00 Rp1.208.800,00-Rp3.000.000,00

0,16-0,45

Kab. Semarang Rp3.000,00-Rp21.000,00 Rp1208.800,00-Rp1.270.000,00

0,05-0,48

Temanggung Rp16.000,00-Rp21.000,00 Rp1208.800,00-Rp3.000.000,00

0,18-0,34

Kota Salatiga Rp6.000,00-Rp9.000,00 Rp1.208.800,00 0,18-0,39

Kota Semarang Rp3.000,00-Rp12.000,00 Rp1.270.000,00 0,05-0,37

Asal Responden Ongkos per hari Pendapatan per bulan

Persentase Ongkos / Pendapatan

Beberapa tipe keterjangkauan transportasi publik berikut ini: 1. Waktu tempuh dan ongkos yang wajar karena dekat sekali sehingga cukup berjalan kaki

ke tempat bekerja, berjalan kaki untuk menggunakan transportasi publik atau angkutan jemputan karyawan dari perusahaan atau mobil omprengan, diantar suami atau keluarga naik sepeda motor sampai ke tempat bekerja, menggunakan angkot/bis Prona/angkutan jemputan jarak dekat, menggunakan angkot/bis Prona/angkutan jemputan jarak, menggunakan sepeda motor (bukan sepeda motor yang mahal dan jarak yang dekat).

2. Waktu tempuh masih diterima dan ongkos yang mahal karena menggunakan sepeda motor sampai tujuan (apalagi yang lebih dari Rp6.000.000,00 dan jarak tempuh yang jauh), dan menggunakan ojek dari rumah sampai ke tempat bekerja.

3. Waktu tempuh yang tidak wajar dan ongkos yang dapat diterima karena menggunakan transportasi publik dan atau angkutan karyawan dari perusahaan dan mendapat tumpangan gratis dari angkutan barang terutama dari truk pasir arah Muntilan bagi pekerja arah Ambarawa, Temanggung, dan Magelang.

4. Waktu tempuh tidak wajar dan ongkos yang mahal karena menggunakan ojek/angkot sampai ke transportasi publik atau angkutan jemputan karyawan atau ke mobil omprengan dan menggunakan 2 atau lebih angkutan umum.

Komponen perjalanan responden pengguna sepeda motorSebagai pembanding, peneliti juga mengambil responden pengguna angkutan pribadi sepeda motor untuk membanding komponen biaya perjalanan jika mereka menggunakan transportasi publik. Pada umumnya ongkos lebih besar jika menggunakan transportasi publik dan waktu juga jauh lebih cepat jika menggunakan sepeda motor.

Pengguna sepeda motor didominasi pada pekerja pria karena pekerja wanita merasa takut dengan kondisi lalu lintas yang heterogen dan padat. Selain untuk memenuhi mobilitasnya, responden pria pengguna sepeda motor pada umumnya mengantar juga istrinya bekerja atau menjemputnya pada malam hari maupun keperluan mobilitas keluarga lainnya.

Page 8: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Ketergantungan diantar/dijemput dengan sepeda motor untuk mendapat angkutan umum karena sepeda tidak digunakan oleh responden untuk mengatasi kendala akses yang sebenarnya dapat mencapai 3.2 km atau sekitar 24 menit sehingga mengurangi ongkos dan waktu tempuh total. Perlu disediakan tempat penyimpanan sepeda (bike shelter) di titik tertentu dari koridor Semarang-Magelang. Stasiun sepeda (bike station) ini berlokasi di tempat yang kurang terjangkau oleh sistem transportasi publik sehingga menjangkau sistem transportasi publik yang mengharusnya berjalan kaki lebih jauh (Gifford, 2004).

Responden pada penelitian ini tidak hanya tergantung pada transportasi publik, tergantung pada angkutan pribadi, memilih transportasi publik, memilih angkutan pribadi seperti yang disebutkan oleh Beimborn, dkk. (2002). Penelitian ini menemukan jenis ketergantungan pekerja pada angkutan alternatif yang sebenarnya tidak manusiawi yaitu angkutan barang seperti truk pasir dan mobil boks sayuran.

Tabel 2: Perbandingan responden pengguna sepeda motor jika menggunakan transportasi publik (ongkos dan waktu tempuh)

Ongkos / Hari Waktu Ongkos / Hari Waktu Muhammad Fajar Kab. Demak, Batursaru Bawen 17000 120 30000 160Budiyanto Kab. Klaten, Karanganom Bawen 17.000 240 60000 360Suratmi Kab. Magelang, Salaman Bawen 20000 180 22000 240Sariyono Kab. Semarang, Bandungan, Mlilir Ungaran Timur 8500 50 16000 120Fx Ery W Kab. Semarang, Bawen Bawen 5500 20 4000 40Nafis Satul Kab. Semarang, Gondoriyo, Krajan Ungaran Timur 10500 60 11000 140Khoiron Kab. Semarang, Sumowono Bergas 7500 70 14000 180M Sandi Kota Salatiga, Blotongan Bawen 8500 30 4000 50Sri Rochmawati Kota Salatiga, Ngentak Bergas 10000 50 10000 90Dadang Kota Semarang, Semarang Barat, Krobokan Ungaran Timur 18500 90 12000 180Khairul Anwar Kota Semarang, Wates, Ngaliyan Ungaran Timur 12500 90 18000 180

Komponen Biaya Perjalanan Bekerja (SM)

Komponen Biaya jika Naik AUNama Pekerja Alamat Rumah Tujuan Bekerja

INDIKATOR AKSESIBILITAS (TRANSIT ACCESSIBILITY)Aksesibilitas pekerja di koridor Ungaran-bawen sangat buruk terutama terutama pada atribut konektivitas, akes, dan penggunaan (tidak dapat tempat duduk, berdiri berhimpitan bahkan pada perjalanan yang lama). Permasalahan pada akses dan konektivitas menjadi faktor pemicu ketergantungan pada angkutan pribadi sepeda motor maupun angkutan alternatif jemputan keluarga dengan sepeda motor, mobil omprengan, ojek, dan angkutan barang yang terpaksa mereka pilih daripada terlantar pada saat pulang shift malam.

Tabel 3: Tipe ketergantungan moda angkutan

Page 9: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Tipe Ketergantungan Moda Angkutanpada angkutan umum perkotaan (angkot)angkutan perusahaan dan angkutan umumangkutan perusahaan, angkutan umum, dan antar jemput keluarga dengan sepeda motorangkutan perusahaan, angkutan umum, dan antar jemput keluarga dengan sepeda motor atau ojekangkot dan antar jemput keluargaangkutan umum antar kota (bis Prona Ungaran-Salatiga dan Ungaran-Ambarawa)angkutan umum antar kota (bis Prona Ungaran-Salatiga dan Ungaran-Ambarawa) dan bis antar kota angkutan umum perkotaan (angkot) dan bis antar kotaangkutan umum antar kota angkutan umum antar kota dan ojekangkutan umum antar kota dan antar jemput keluarga dengan sepeda motorangkutan umum antar kota dan angkutan barangangkutan umum antar kota dan angkutan barang/ambulans/taksi kembali taksimobil omprenganangkutan pribadi sepeda motorantar jemput keluarga dengan sepeda motor

Memilih angkutan umum daripada sepeda motor karena alasan resiko lalu lintas (reposden perempuan)angkutan pribadi sepeda motor daripada angkutan umumangkutan pribadi sepeda motor daripada angkutan perusahaan

Tidak melakukan perjalanan

Tergantung

Tergantung

Memilih

Kualitas pelayanan transportasi publik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4: Atribut pelayanan transportasi publik yang dapat diterima (aksesibilitas)

Page 10: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Aksesibilitas Transportasi Publik (Transit Accessibility )Akses

Jarak dari rumah ke tempat mendapat angkutan umum 100m-4000m jarak dari rumah >500 meter mendapat angkutan umum diatasi dengan jalan kaki cepat/lari, menggunakan sepeda jarak ke jalan raya beberapa km sehingga tergantung pada sepeda motor

KonektivitasKoridor Ungaran-Bawen sering macet karena kepadatan lalu lintas maupun karena kecelakaan lalu lintasBis perusahaan membantu ketidaktersediaan bis pada malam hari shift pukul 22:00 atau 23:00 mapun masuk pukul 6Tidak ada angkutan di malam hari sehingga bergantung pada jemputan keluarga dengan sepeda motor atau ojekAngkutan umum sering ngetem yang lamaBerganti angkutan umum 2-3 Jarak dekat juga harus berganti angkutanProna tujuan Salatiga bisa tiba-tiba berganti jurusan Ambarawa (sebelum pertigaan Bawen)Perjalanan pulang shift ke-2 (pulang pukul 22:00) sering tidak mendapat bis sehingga menumpang angkutan barangKedatangan bis tidak pastijumlah bis, frekuensi,dan waktu pelayanan ditambahAda bis khusus ke Ungaran yang berlangganan diantar ke pabrik dengan harga khususJumlah bis ditambah khusus pada hari jumat sore karena lonjakan penumpang karena pekerja yang kost pulang ke rumah

PengetahuanMengetahui ongkos angkutan umum yang digunakanMengetahui jadwal rutin bis antar kota menandai angkutan barang yang dapat ditumpangiMengetahui ciri-ciri bis yang datang dari kejauhan dengan melihat bentuk lampunya pada saat masih gelap pada dini hari Mengenai jam berapa saja angkutan Prona sudah tidak ada lagiMengetahui bis Safari dengan warna cat berbeda, berbeda ongkosnya (hijau semua lebih mahal dari hijau padu putih)Terminal Bawen mempunyai informasi bis yang akan tiba arah ke Magelang /Yogyakarta pada malam hari

PenggunaanSering tidak dapat tempat duduk Naik turun sulit karena angkutan terlalu penuhHarus duduk atau berdiri berhimpitan Berdiri berhimpitan untuk jarak jauhPenumpang terlalu banyak yang berdiri berhimpitan tanpa ada pegangan tangan Ada yang merokok di dalam angkutan umum sehingga mengganggu sekaliBis mempunyai bagasi untuk barang dagangan penumpang (banyak pedagang lain seperti pedagang bunga, gethuk, kupat, dll) Bis kotor dan karatanBis ditambah dan bis tua diganti dengan yang berAC agar bisa duduk sambil istirahatBis diberi fasilitas yang lebih baik misalnya musik

KeamananMerasa aman jika naik bis Prona karena sudah kenal sama sopir dan kernet, tidak jika naik bis antar kotaMengenal baik supir truk pasir & mobil boks yang dapat ditumpangi & tanpa membayarAda pencopet di dalam bisDari rumah menuju angkutan umum dan di jalan raya kurang amanDi dalam angkutan kurang nyaman karena pengamenMerasa aman ketika menunggu angkutan di jalan raya utamaMenginginkan disediakan halte yang amanSopir yang sering ngebut/ugal-ugalan

KESIMPULANIndikator keterjangkauan (transit affordability):Komponen ongkos perjalanan pekerja yang tinggi menunjukkan para pekerja di industri di Koridor Ungaran-Bawen belum mendapat pelayanan transportasi publik yang baik. Waktu tempuh lebih dari 90 menit per hari dan lebih dari biaya perjalanan bekerja 5%-48%, lebih dari Rp5.114,15 atau 11% dari pendapatan menurut UMK. Pada umumnya menanggung ongkos lebih dari 20% dari pendapatannya.

Indikator aksesibilitas (transit accessibility):Komponen waktu tempuh perjalanan yang pelayanan transportasi publik, dengan waktu tempuh mulai dari 3-295 menit per hari menunjukkan buruknya indikator aksesibilitas (transit accessibility) pekerja terhadap pelayanan transportasi publik terutama pada faktor akses dan konektivitasnya yang harus menambah waktu tunggu dan waktu pergantian angkutan hingga 2-3 kali. Selain menambah waktu tempuh, buruknya atribut pelayanan

Page 11: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

pada akses dan konektivitas membuat ongkos bertambah dan pekerja harus bergantung pada antar jemput dari keluarga dengan sepeda motor dan angkutan alternatif seperti ojek.

Besarnya biaya perjalanan pekerja ini merupakan suatu inefisiensi sistem transportasi yang yang tentunya merugikan pribadi dan keluarga pekerja yang berjumlah lebih dari 100.000 pekerja di koridor Ungaran-Bawen. Masyarakat juga dirugikan dengan adanya kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup dari kemacetan dan kecelakaan yang terjadi selama ini. Buruknya akses pekerja terhadap transportasi publik menunjukkan belum adanya perhatian pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik..

REKOMENDASI 1. Perbaikan Transportasi Publik bagi Pekerja

1.1 Prioritas Perbaikan Transportasi Publik bagi Pekerja Dari ke-5 tipe ketergantungan prioritas perbaikannya adalah segmen

penumpang 1) tergantung pada angkutan umum dan angkutan alternatif dan ongkos perjalanan dan waktu tempuh sangat tinggi yaitu pekerja 2-3 shift asal Temanggung dan Magelang 2) segmen pekerja dengan 2-3 shift asatergantung pada sepeda motor 3) tergantung pada angkutan umum 4) memilih angkutan umum dan 5) memilih menggunakan sepeda motor. Prioritas ke-2 dan ke-3 adalah segmen penumpang dan calon penumpang yang ongkos transportasinya sangat tinggi dan waktu tempuh perjalanan juga sangat tinggi. Sedangkan strategi segmen calon penumpang tipe ke-5 yaitu yang memilih sepeda motor adalah dengan kebijakan pembatasan penggunaan sepeda motor.

1.2 Integrasi sistem transportasi bagi pekerjaSistem perbaikan angkutan pekerja di koridor Ungaran-Bawen memerlukan integrasi berbagai angkutan antar yang dimiliki swasta dan pemerintah daerah pada level pemerintahan yang berberda pula. Integrasi dapat hanya diantara angkutan umum milik pengusaha angkutan swasta maupun dengan angkutan milik pemeritah (Trans Semarang), maupun dengan angkutan khusus milik perusahaan/industri. Integrasi ini untuk memperbaiki konektivitas sehingga menekan ongkos dan waktu perjalanan. Diperlukan strategi dan biaya untuk implementasi integrasi angkutan antar kota maupun integrasi antara angkutan kereta api dan sistem bis karena integrasi ini menadukan persaingan dan koordinasi (JA Gómez Gélvez, 2010). Pelaksanaan yang tidak mudah dan memerlukan biaya yang besar maka diperlukan kepemimpinan oleh pemerintah dan subsidi yang besar pada tahap awal sehingga memerlukan keperpihakan pemerintah pada transportasi publik yang terpadu ini termasuk jalur pejalan kaki, jalur sepeda yang merupakan moda angkutan yang murah menurut perspektif transportasi berkelanjutan yang mengutamakan jalan kaki, bersepeda, dan menggunakan transportasi publik yang sudah menerapkan disain universal (yang mengakomodasi orang cacat),

Integrasi di koridor ini memungkinkan memaksimalkan koordinasi semua angkutan umum melewati koridor ini, angkutan pengumpan dari rumah, angkutan karyawan yang sudah ada, dan angkutan kereta api dengan adanya stasiun kereta api di sekitar kawasan industri ini yaitu Stasiun Tuntang, Stasiun Ambarawa, Stasiun Bedono, Stasiun Jambu,

Page 12: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

dan Stasiun Solo. Perlu promosi angkutan pengumpan sepeda untuk menghemat ongkos dan waktu tempuh. Sedangkan program penggunaan sepeda gratis dapat ditempatkan di lokasi industri di Pringapus dimana cukup jauh lokasinya dari persimpangan jalan utama ke lokasi pabrik. Pengadaan sepeda dapat dilakukan oleh pengusaha pabrik maupun pemerintah.

1.3 Kepimpinan Kelembagaan Perbaikan Transportasi bagi pekerjaPemerintah harus memimpin integrasi ini dan mengalokasikan dana subsidi. Kepemimpinan integrasi ini harus melibatkan Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Kab. Semarang sebagai pemerintah daerah yang mempunyai kepemilikan yang paling besar dibanding pemda lainnya di mana asal pekerja di koridor ini. Integrasi ini tidak mudah karena melibatkan banyak pihak yang saling berkoordinasi dan teknologi yang tinggi seperti smart card sehingga dapat dilakukan integrasi ongkos dan jadwal pelayanan tiap angkutan yang setiap saat dapat diakses oleh pekerja. Integrasi ini diharapkan juga akan dapat mengurangi pekerja pengguna sepeda motor sehingga memperbaiki perekonomian keluarga karena lebih hemat, menekan angka kecelakaan lalu lintas dan mengurangi kemacetan.

Untuk mewujudkan angkutan pekerja yang aman, murah dan dapat diandalkan, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai badan pengelola dan strategi implementasi integrasi sistem transportasi pekerja ini menurut perspektif bisnis. Subsidi jika dapat diminimalkan atau hanya pada tahap awal saja, maka angkutan khusus ini dapat bertahan untuk jangka panjang dan semakin meningkatkan pelayanannya.

1.4 Penyediaan perumahan bagi pekerja di Kab. Semarang

Bupati Kab. Semarang dapat berkoordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah propinsi maupun pusat untuk mendekatkan rumah dan tempat bekerja. Penyediaan perumahan tidak sekedar rusunawa tetapi juga rumah susun yang dapat dimiliki pekerja. Perumahan pekerja perlu mempertimbangan kebutuhan fasilitas umum bagi keluarga pekerja sehingga diperlukan lahan yang luas. Sistem rumah susun akan menghemat lahan. Banyak ahli yang mengartikan aksesibilitas dengan rumah tangga yang menghabiskan kurang dari 35% penghasilannya untuk biaya mendapatkan rumah tiap bulannya dan 20% untuk biaya transportasi atau 45% untuk kombinasi biaya rumah dan transportasi. Ke-2 biaya ini saling terkait karena keterjangkauan biaya transportasi namun tidak mampu membiaya rumah maka tidak berarti meningkat aksesibilitasnya (CTOD dan CNT, 2006; dalam Litman, 2015).

2. Literasi dan partisipasi dalam mewujudkan transportasi yang berkelanjutan Untuk mewujudkan transportasi yang berkelanjutan yang mengutamakan akses dan ongkos yang murah memerlukan partisipasi banyak pihak. Pengguna kendaraan pribadi mau menggunakan transportasi publik untuk perjalanan mendasar seperti sekolah atau bekerja. Tidak mudah untuk mendapatkan partisipasi. Mengetahui manfaat suatu keputusan tidak berarti warga lantas mau melakukannya. Memang pada tahap awal diperlukan suatu kegiatan literasi dengan menyebarkan pengetahuan tentang transportasi berkelanjutan pada semua pihak yang terkait. Namun pada tahap berikutnya adalah diperlukan upaya terpadu

Page 13: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

berbagai tahap untuk mendapatkan partisipasi semua pihak terkait sehingga dapat terwujud. Perlu penelitian untuk mengetahui pendekatan yang tepat dalam konteks transportasi publik yang memerlukan perubahan radikal antara lain kesediaan untuk memilih menggunakan transportasi publik walaupun akses pada kendaraan pribadi dalam prinsip transportasi berkelanjutan.

Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi. Salah satunya adalah pendekatan backcasting yang di Belanda pendekatan ini telah teruji sebagai pendekatan perencanaan partisipatif yang berangkat dari proses interaksi sosial warga yang menampung pluralitas masyarakat. sehingga merupakan konstruksi sosial selain konstruksi analitis yang mengelola transisi untuk identifikasi inovasi menuju keberlanjutan pada level sistem. Perubahan-perubahan pada level sistem mengacu pada transformasi industri yang menggunakan pengertian inovasi sistem yang berkelanjutan atau transisi menuju keberlanjutan. Perubahan sistem atau transisi ini memerlukan kombinasi perubahan teknologi, budaya, sosial, lembaga dan organisasi yang melibatkan banyak pihak yang terlibat ketika akan menyabarkannya pada masyarakat dengan proses yang kompleks untuk sebuah perubahan sosial jangka panjang. Dari level ini akan dilanjutkan untuk implementasinya pada lembaga penelitian, perusahaan swasta, komunitas, dan pemerintah (Quist dan Vergragt, 2006).

DAFTAR PUSTAKAAlvinsyah dan Zulkati, 2005. Impact on the Existing Corridor Due To New Public

Transport Corridor (Case Study: Jakarta BRT Systems). Journal of Eastern Asia Society for Transportation Studies, Hal. 467-479.

Beimborn, E., Greenwald, M., dan Jin, X. 2002. Accessibility, Connectivity, and Captivity: Impacts on Transit Choice. Journal of Transportation, 2003.

BPS Propinsi Jawa Tengah, 2013. Ceder, A. 2004. New Urban Public Transportation Systems: Initiatives, Effectiveness, and

Challenges. J. Urban Plann. Dev. 130, Special issue: Advances in Urban Planning Methodologies, 56–65. ISSN: 1943-5444

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Semarang. 2013. Data dan Presentasi.

Gifford, J. 2004. Will Smart Bikes Succeed as Public Transportation in the United States, Journal of Public Transportation, Vol. 7, No. 2.

Jaiswal, A.A. dan Sharma, A. 2002. Optimization of Public Transport Demand: A Case Study of Bhopal. International Journal of Scientifics and Research Publication.

Gómez Gélvez J.A. 2010. Integration of Public Transportation System, the Case Study of Gipuskoa, Spain. Disertasi di Massachusetts of Institute Technology.

Litman, T. 2013. Evaluating Transportation Equity Guidance for Incorporating Distributional Impacts in Transportation Planning.vtpi.org

Litman, T., 2014 Valuing Transit Service Quality Improvements Considering Comfort and Convenience in Transport Project Evaluation. vtpi.org

Litman, T. 2015. Evaluating Accessibility for Transportation Planning Measuring People’s Ability to Reach Desired Goods and Activities. vtpi.org

Litman, T. 2015 Transportation Affodability Evaluation and Improvement Strategies. vtpi.org

Page 14: fstpt.unila.ac.idfstpt.unila.ac.id/wp-content/uploads/2015/08/T095.docx · Web viewProgram Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata Jln. Pawiyatan Luhur

The 18th FSTPT International Symposium, Unila, Bandar Lampung, August 28, 2015

Murray, A.T., Davis, R., Stimson, R.J, dan Ferreira, L. 1998. Public Transportation Acces, Transportation Research Part D: Transport and Environment 3(5): hal 319-327.

Polat, C. 2012. The Demand Determinants for Urban Public Transport Services: A Review of the Literature., Journal of Applied Sciences: 1211-1231.

Pooley, C.G. and Turnbull, J. 2000. Commuting, Transport and Urban Form from: Manchester and Glasgow in the mid-twentieth century, Urban History 27, 3.

Putranto, L.S. 2010. The Evaluation of Space Mean Speeds of Road Links Surronding New Developments in Jakarta. The Seventh Asia Pacific Conference on Transportation and the Environment (Semarang, Indonesia, 3–5 Juni 2010)

Quist J. dan Vergragt P. 2006. Past and Future of Backcasting: The shift to stakeholder participation and a proposal for a methodological framework), Futures 38 Hal. 1027–1045.

Rastogi, R. 2011. Promotion of Non-motoriznt Modes as a Sustainable Transportation Option: Policy and Planning Issues, Current Science Vol 100 No. 9.

Sunggiardi, R. dan Putranto, L.S. 2009. Motorcycle Potential Problems in Jakarta. kopertis3.or.id