functional endoscopic sinus surgery di indonesia

52
HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 1 /52 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat berbahaya. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. 1 Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi 2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. 3 Di Bagian THT RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari 2005- Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi. 4 Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung. 6 Salah satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. 6

Upload: scribdmikael

Post on 05-Dec-2014

47 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 1 /52

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus

Surgery (FESS) merupakan suatu prosedur yang invasif minimal, saat ini populer sebagai

teknik operasi terkini dalam penatalaksanaan sinusitis kronik, polip hidung, tumor hidung

dan sinus paranasal, dan kelainan lainnya. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh

Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stammberger dan Kennedy dengan sebutan

Functional Endoscopic Sinus Surgery. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan aliran

mukosilier di suatu daerah di dinding lateral rongga hidung yang disebut komplek

ostiomeatal (KOM). Gangguan drenase sinus dapat menimbulkan rasa nyeri wajah, nyeri

kepala, gangguan penghidu, serta bisa menimbulkan sejumlah komplikasi lain yang dapat

berbahaya.

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus

berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817

penderita rawat jalan di rumah sakit.1

Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan

Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan

Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi

Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien

rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari

jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari

jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi.3 Di Bagian THT RS Dr.

Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari 2005-

Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai

sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi

sinusitis dan septum deviasi.4

Sekitar 0,2-1 % orang dewasa di Inggris pernah menderita polip hidung.6

Salah

satu etiologi terjadinya polip hidung adalah adanya peradangan kronik dan berulang pada

mukosa hidung dan sinus. Kekerapan polip hidung meningkat seiring dengan umur

sampai sekitar 59 tahun, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.6

Page 2: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 2 /52

Perkembangan yang pesat di bidang kedokteran juga membawa perubahan dalam

penatalaksanan sinusitis. Tersedianya alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan

sinus paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat

endoskop untuk operasi bedah sinus menciptakan tindakan pengobatan yang tidak radikal

tetapi dapat lebih tuntas.

BSEF saat ini merupakan teknik terbaik penatalaksanaan sinusitis kronik dan akut

berulang. Dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang pada umumnya radikal

dengan morbiditas yang tinggi, maka BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang

rendah.7

Namun demikian seiring dengan perkembangannya BSEF juga dapat

menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi selama atau setelah prosedur operasi. Untuk

itu diperlukan persiapan operasi dan perawatan pascaoperasi yang baik untuk

memperoleh hasil yang optimal. Selain itu diperlukan pula pengetahuan mengenai cara

penanganan bila terjadi penyulit dan komplikasi selama berlangsungnya prosedur bedah,

di samping teknik analgesia dan anestesia yang tepat.

Pada suatu penelitian retrospektif dan prospektif pada 200 pasien BSEF di

Houston Ear, Nose, and Throat Clinic, Amerika Serikat, didapatkan komplikasi minor

terjadi pada 8% pasien, dan hanya satu komplikasi mayor (0,05%). Dalam pengamatan

tindak lanjut selama rata-rata 17 bulan didapatkan 88% gejala penyakit hilang atau

mengalami perbaikan; namun demikian 41,5% masih memerlukan terapi

medikamentosa.8

Para dokter ahli THT yang melakukan teknik operasi ini harus memiliki

kompetensi dengan menguasai secara rinci pengetahuan anatomi hidung dan sinus

paranasal khususnya anatomi dinding lateral hidung; terampil menggunakan endoskop

baik untuk menegakkan diagnosis endoskopik maupun operasinya; terampil membaca

CT-scan hidung dan sinus paranasal. Untuk itu diperlukan latihan berulang dengan

mengikuti beberapa kali kursus diseksi kadaver.

I.2. Permasalahan

Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar BSEF, yaitu:

1. Menentukan indikasi yang tepat

Page 3: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 3 /52

2. SDM yang kompeten masih terbatas jumlahnya

3. Instrumentasi bedah yang relatif mahal

4. Teknik anestesi yang sesuai (hipotensi)

5. Faktor penyulit dari pasien sendiri

6. Tahapan tindakan operasi

7. Penentuan biaya operasi sesuai kategori tahapan tindakan berdasarkan berat-

ringannya prosedur operasi

8. Perlunya koordinasi antara berbagai cabang ilmu kedokteran spesialis yang

terkait: Bagian Anestesi, Bagian Radiologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian

Ilmu Kesehatan Anak dan Bagian Bedah Saraf.

I.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan menyusun kajian HTA ini adalah terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar

kebijakan penerapan teknologi BSEF di Indonesia.

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi operasi BSEF berdasarkan

bukti ilmiah kedokteran yang mutakhir dan sahih (evidence based medicine).

2. Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut kepada seluruh dokter THT di

seluruh Indonesia agar dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan

“manfaat dan risiko”

3. Mengkaji dan menentukan standarisasi teknik operasi BSEF yang aman, efektif,

efisien dengan biaya yang terjangkau serta dapat dikerjakan di seluruh Indonesia.

4. Mengkaji dan menentukan instrumentasi bedah termasuk biaya instrumentasi.

5. Meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM dengan mengusahakan bimbingan

teknologi dan pelatihan-pelatihan.

6. Menentukan standar biaya operasi sesuai dengan berat-ringannya prosedur

operasi, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat.

7. Meningkatkan koordinasi dengan cabang ilmu yang terkait.

Page 4: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 4 /52

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

II.1. Penelusuran Kepustakaan

Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan

elektronik: Pubmed, British Medical Journal, Ovid, dalam 10 tahun terakhir (1995-

2005).

Kata kunci yang digunakan adalah functional endoscopic sinus surgery,endoscopic sinus

surgery, sinusitis, rhinosinusitis, polyp, nasal tumor.

II.2. Hierarchy of Evidence dan Derajat Rekomendasi

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine,

ditentukan hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan

derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate

Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health

Care Policy and Research.

Hierarchy of evidence:

Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials.

Ib. Minimal satu randomised controlled trials.

IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials.

IIb. Cohort dan Case control studies

IIIa. Cross-sectional studies

IIIb. Case series dan case report

IV. Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi :

A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.

B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan IIb.

C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.

Page 5: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 5 /52

II.3. Pengumpulan Data Lokal

Data lokal diperoleh dari sub bagian rinologi THT RSCM Jakarta dan RS Wahidin

Sudirohusodo, Makasar kurun waktu Januari-Juli 2006.

II.4. Ruang Lingkup

Kajian BSEF pada anak dan dewasa ini dibatasi pada indikasi, teknik operasi serta teknik

anestesi terpilih untuk BSEF.

Page 6: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 6 /52

BAB III

RHINOSINUSITIS, POLIP HIDUNG, SERTA

TUMOR HIDUNG dan SINUS PARANASAL

III. 1 RINOSINUSITIS

Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan

terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas

hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk

memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari

penyakit rinosinusitis ini.10

Penatalaksanaan rinosinusitis pada pasien dewasa di Indonesia telah dibakukan

pada acara Pertemuan Ilimiah Tahunan (PIT) Perhati tahun 2001. Diharapkan bahwa

penatalaksanaan ini dapat menjadi prosedur baku penatalaksanaan rinosinusitis di

Indonesia serta menjadi pedoman bagi para dokter dalam praktek sehari-hari.11,12

Definisi

Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus

paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus pada selesma, yang kemudian

karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri

patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur,

infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.12

Insidens kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang datang di Divisi

Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005, adalah 435 pasien, 69% (300

pasien) adalah sinusitis.3

Konsensus internasional yang merupakan hasil International Conference on Sinus

Disease 1993, dan telah disepakati untuk dipakai di Indonesia, mendefinisikan

rinosinusitis akut dan kronis lebih berdasarkan pada patofisiologinya. Rinosinusitis

diklasifikasikan sebagai akut jika episode infeksinya sembuh dengan terapi

medikamentosa, tanpa terjadi kerusakan mukosa. Rinosinusitis akut rekuren

didefinisikan sebagai episode akut berulang yang dapat sembuh dengan terapi

medikamentosa, tanpa kerusakan mukosa yang menetap. Rinosinusitis kronis ialah

Page 7: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 7 /52

penyakit yang tidak dapat sembuh dengan terapi medikamentosa saja. Hal yang

merupakan paradigma baru dari konsensus internasional ini ialah, baik pada rinosinusitis

akut maupun kronis, jika obstruksi ostium dihilangkan dan terjadi aerasi yang adekuat

dari sinus-sinus yang menderita maka mukosa yang telah rusak dapat mengalami

regenerasi kembali.14

Diagnosis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak berdasarkan

gambaran klinik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Rinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa Menurut

International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004. Disarikan dari : Kennedy DW14

dan

Meltzer15

.

KRITERIA RINOSINUSITIS

AKUT

RINOSINUSITIS

KRONIK

Dewasa Anak Dewasa Anak

1. Lama Gejala dan Tanda < 12

minggu

< 12

minggu

> 12

minggu

> 12

minggu

2. Jumlah episode serangan akut,

masing-masing berlangsung

minimal 10 hari

< 4 kali /

tahun

< 6 kali /

tahun

> 4 kali /

tahun

> 6 kali /

tahun

3. Reversibilitas mukosa Dapat sembuh

sempurna dengan

pengobatan

medikamentosa

Tidak dapat sembuh

sempurna dengan

pengobatan

medikamentosa

Diagnosis Rinosinusitis Akut Pada Dewasa

Ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:

Page 8: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 8 /52

Anamnesis

Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan

yang paling sering dan paling menonjol pada rinosinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai

keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,

demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,

nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita asma.

Rinoskopi Anterior

Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda

patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi

posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).

Nasoendoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi

hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan

dinding lateral hidung.

Foto polos sinus paranasal

Pemeriksaan foto polos sinus bukan prosedur rutin, hanya dianjurkan pada kasus

tertentu, misalnya:

- Rinosinusitis akut dengan tanda dan gejala berat.

- Tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa optimal

- Diduga ada cairan dalam sinus maksila yang memerlukan tindakan irigasi

- Evaluasi terapi

- Alasan medikolegal.16,17

Tomografi Komputer dan MRI

Pemeriksaan tomografi komputer tidak dianjurkan pada rinosinusitis akut, kecuali ada

kecurigaan komplikasi orbita atau intrakranial.

Pemeriksaan MRI hanya dilakukan pada kecurigaan komplikasi intrakranial.

Page 9: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 9 /52

Diagnosis Rinosinusitis Kronis Pada Dewasa

Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan kriteria di bawah ini:

Anamnesis

Riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria

mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda

menurut International Consensus on Sinus Disease, 1993. dan 200414,15

(Lihat Tabel

2). Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen,

sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria

minornya adalah demam dan halitosis. Keluhan rinosinusitis kronik seringkali tidak

khas dan ringan bahkan kadangkala tanpa keluhan dan baru diketahui karena

mengalami beberapa episode serangan akut.

Rinoskopi anterior

Terlihat adanya sekret purulen di meatus medius atau meatus superior. Mungkin

terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.

Pemeriksaan nasoendoskopi

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak

dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus

medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka

bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-lain.

Pemeriksaan foto polos sinus

Dapat dilakukan mengingat biayanya murah, cepat dan tidak invasif, meskipun hanya

dapat mengevaluasi kelainan di sinus paranasal yang besar.

Pemeriksaan CT Scan

Dianjurkan dibuat untuk pasien rinosinusitis kronik yang tidak ada perbaikan dengan

terapi medikamentosa. Untuk menghemat biaya, cukup potongan koronal tanpa

kontras. Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit

Page 10: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 10 /52

di dalam rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal).

Sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang

adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis

dapat terlihat dengan jelas.16,17

Pungsi sinus maksila

Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk

mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk

pemeriksaan kultur dan resistensi.

Sinoskopi

Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila serta. Pemeriksaan ini

menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau

fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga

sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan

kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel. 13-17

Tabel 2. Gejala dan Tanda Rinosinusitis Kronis

Penderita Gejala & Tanda

Dewasa dan Anak Mayor Minor

Kongesti hidung atau sumbatan Demam

Sekret hidung purulen Halitosis

Sakit kepala

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Gangguan penghidu

Anak Batuk

Iritabilitas/Rewel Dikutip dari: Kennedy DW

14

Diagnosis rinosinusitis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor

ditambah 2 kriteria minor.14,18

Secara ringkas panduan penatalaksaan sinusitis pada orang dewasa dapat dilihat

pada bagan di bawah ini.

Page 11: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 11 /52

PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINU SITIS

pada DEWASA

Terapi tambahan:

Dekongest. oral, Kortikost.oral dan atau

topikal, Mukolitik

Antihistamin (pasien atopi) Diatermi, Proet, Irigasi sinus

Terapi tambahan: Dekongest.oral / topikal, Mukolitik,Analgetik Pasien Atopi: Antihist./ steroid topikal

Faktor

Predisposisi:

Deviasi septum

Konka bulosa,

Hipertrofi Adenoid (pada anak),

Polip,Kista,Jamur,

Dentogenik

RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor?

Komplikasi Sinusitis?

YA

TIDAK

Lama gejala > 8 minggu?

Episode serangan akut > 4

x / tahun?

(Konsensus Internasional

Sinusitis 1993)

TIDAKK

YA

SINUSITIS AKUT Rinoskopi Anterior (RA)

SINUSITIS KRONIK

AB empirik (2x24 jam) Lini I: Amoksil 3x500mg / Cotrimoxazol 2x480mg + Terapi tambahan

Perbaikan?

TIDAK

YA

Lini II AB (7 hari) Amoks.klav/ Ampi.sulbaktam Cephalosporin gen.keII Makrolid + Terapi tambahan

Perbaikan?

TIDAK

YA Teruskan

10-14 hari

Ro.polos/CT scan dan / Naso-endoskopi (NE)

RA / Naso-endoskopi Ro polos / CT scan

Pungsi & Irigasi sinus/ Sinuskopi

Faktor Predisposisi?

YA

Tatalaksana yang sesuai

TIDAK

Terapi sesuai pada episode akut lini II +Terapi tambahan

Perbaikan?

YA

TIDAK

AB alternatif 7 hari Atau buat kultur

Perbaikan

TIDAK

YA

Evaluasi kembali: NE,Sinuskopi

(Irigasi 5x tidak membaik)

Obstruksi KOM?

TINDAKAN BEDAH:

BSEF atau Bedah Konvensional

TIDAK

ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari

(Sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, demam dll.)

Lakukan penatalaksanaan yang sesuai

YA

Teruskan

AB

mencukupi

10-14 hari

Cari alur

diagnostik lain

Kelainan?

YA

YA

TIDAK

Evaluasi diagnosis kembali 1.Evaluasi komprehensif alergi 2.Kultur dari pungsi sinus

Lakukan

terapi

sinusitis

kronik

Page 12: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 12 /52

Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan medikamentosa

adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi KOM merupakan indikasi tindakan

bedah.14,15

Beberapa macam tindakan bedah yang dapat dipilih untuk dilakukan, mulai dari

pungsi dan irigasi sinus maksila, operasi Caldwell-Luc, etmoidektomi intra- dan

ekstranasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.

Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) merupakan langkah maju dalam

bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif

minimal yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah penggunaan

endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat operasi, kita dapat

melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi di rongga-rongga sinus. Jaringan

patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat

diperlebar. Dengan ini drenase dan ventilasi sinus akan lancar kembali secara alamiah,

jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan di dalam sinus-sinus paranasal akan sembuh

dengan sendirinya.

Bedah sinus yang konvensional tidak memperhatikan usaha pemilihan drenase

dan ventilasi sinus melalui ostium alamiah, namun dengan berkembangnya pengetahuan

patogenesis rinosinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional.

Modifikasi operasi Caldwell-Luc, sekarang hanya mengangkat jaringan patologik saja

dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi. Juga dibuat antrostomi meatus

medius sehingga drenase dapat pulih kembali melalui jalan alami.

III.2. POLIP NASI

Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi

akibat inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak

bening karena mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal

atau multipel, unilateral atau bilateral. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki

maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di

bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau

meningoensefalokel. 19-21

Page 13: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 13 /52

Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit

atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli

sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan

pasti.22,23

Histopatologi polip nasi

Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan licin, berbentuk

bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat tunggal atau multipel dan

tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut

disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses

peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah

menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung

jaringan ikat.19,24

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas

hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid.

Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan.20,25

Bila ada fasilitas pemeriksaan

dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian

Stammberger25

didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus,

konka media dan infundibulum.

Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut

polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga

polip antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista

yang terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang

berasal dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid.22,25

Diagnosis Polip Nasi

Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan

sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin

disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila

disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala

Page 14: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 14 /52

sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,

gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.

Gejala pada saluran napas bawah didapati pada kurang lebih sepertiga kasus

polip, dapat berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan

asma.

Selain itu harus ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin

dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.20

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga

hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan

mudah digerakkan.20,22

Untuk kepentingan penelitian agar hasil pemeriksaan dan pengobatan dapat

dilaporkan dengan standar yang sama, Mackay dan Lund26

pada tahun 1997 membuat

pembagian stadium polip sebagai berikut, stadium 0 : tidak ada polip, stadium 1 : polip

masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius,

tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang

masif.

Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus

polip yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan

rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.

Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari

ostium asesorius sinus maksila.25,27-28

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat

memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi

sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan

Page 15: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 15 /52

positif palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan

dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal.26

Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan

jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi,

polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus

polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis

dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.22,29

Biasanya untuk

tujuan penapisan dipakai potongan koronal, sedangkan pada polip yang rekuren

diperlukan juga potongan aksial.26,28

Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-

keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi

berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai

asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.29

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga

polipektomi medikamentosa.22

Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan

kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini

diteruskan sampai polip atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada

perbaikan maka diberikan juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa

kortikosteroid intranasal mungkin harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian

pasien, sehingga dalam keadaan demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Dosis

kortikosteroid saat ini belum ada ketentuan yang baku, pemberian masih secara empirik

misalnya diberikan Prednison 30 mg per hari selama seminggu dilanjutkan dengan 15 mg

per hari selama seminggu.29

Menurut van Camp dan Clement dikutip dari Mygind dan,

Lidholdt30

untuk polip dapat diberikan prednisolon dengan dosis total 570 mg yang

dibagi dalam beberapa dosis, yaitu 60 mg/hari selama 4 hari, kemudian dilakukan

tapering off 5 mg per hari. Menurut Naclerio29

pemberian kortikosteroid tidak boleh lebih

dari 4 kali dalam setahun. Pemberian suntikan kortikosteroid intrapolip sekarang tidak

dianjurkan lagi mengingat bahayanya dapat menyebabkan kebutaan akibat emboli. Kalau

Page 16: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 16 /52

ada tanda-tanda infeksi harus diberikan juga antibiotik. Pemberian antibiotik pada kasus

polip dengan sinusitis sekurang-kurangnya selama 10-14 hari.

Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang

sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Terapi bedah yang dipilih tergantung

dari luasnya penyakit (besarnya polip dan adanya sinusitis yang menyertainya), fasilitas

alat yang tersedia dan kemampuan dokter yang menangani. Macamnya operasi mulai dari

polipektomi intranasal menggunakan jerat (snare) kawat dan/ polipektomi intranasal

dengan cunam (forseps) yang dapat dilakukan di ruang tindakan unit rawat jalan dengan

analgesi lokal; etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip

etmoid; operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia

fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan endoskopi untuk polipektomi saja, atau

disertai unsinektomi atau lebih luas lagi disertai pengangkatan bula etmoid sampai

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional lengkap.27-28,31

Alat mutakhir untuk membantu

operasi polipektomi endoskopik ialah microdebrider (powered instrument) yaitu alat

yang dapat menghancurkan dan mengisap jaringan polip sehingga operasi dapat

berlangsung cepat dengan trauma yang minimal.27

Untuk persiapan prabedah, sebaiknya lebih dulu diberikan antibiotik dan

kortikosteroid untuk meredakan inflamasi sehingga pembengkakan dan perdarahan

berkurang, dengan demikian lapang-pandang operasi lebih baik dan kemungkinan trauma

dapat dihindari.

Pasca bedah perlu kontrol yang baik dan teratur mengunakan endoskop, dan telah

terbukti bahwa pemberian kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kekambuhan.29,31

III.3. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang

jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas

hanya berkisar sekitar 1% dari seluruh keganasan.

Epidemiologi dan etiologi

Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2 per

10.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini ditemukan pada

Page 17: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 17 /52

10,1% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio penderita laki-laki banding wanita sebesar

2:1.

Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil

industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium,

minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi

keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar.

Pemeriksaan

Gejala dan tanda

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di

dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehigga

mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi,

orbita atau intrakranial..

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya

sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak

tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya

berbau karena mengandung jaringan nekrotik.

2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis

atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di

palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau

gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi

tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai

nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat,

oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang

keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak

lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya

Page 18: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 18 /52

muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi nervus

maksilaris dan mandibularis.

Pemeriksaan Fisik

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat

asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring

melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda

tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah

merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial

berarti tumor berada di sinus maksila.

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor

pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor

ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

Pemeriksaan Penunjang

Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan

perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan buatlah tomogram atau

TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi

kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos toraks diperlukan

untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor

tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera

dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau

melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.

Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi

karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan

angiografi.32

Page 19: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 19 /52

Prinsip Tatalaksana Bedah Endoskopik pada Tumor Hidung dan Sinus Paranasal

Bedah tumor endonasal terdiri dari reseksi tumor dibawah kendali endoskop,

diikuti dengan eksisi jaringan tumor dari jaringan sehat sekitarnya. Semua ini

memerlukan diagnostik gambaran TK yang adekuat sebelum operasi, diagnostik

histologi, dan instrumentasi operasi yang tepat. Sangat diperlukan seorang operator yang

sangat menguasai anatomi lokal dan pengalaman yang komprehensif dalam melakukan

bedah endoskopik. Sebelumnya pasien harus diberi penjelasan tentang prosedur yang

akan dijalankan dan telah membuat informed consent, termasuk juga bila dibutuhkan

perluasan pembedahan baik melalui rute bedah eksternal maupun transoral.

Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus mempertimbangkan

dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal daripada prosedur klasik yaitu

melalui pendekatan transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Pendekatan endonasal

menghindari insisi eksternal dan internal serta mobilisasi jaringan, sehingga menghindari

pembentukan parut yang tidak diinginkan, stenosis duktus lakrimalis, mukokel, dan

neuralgia. Komplikasi dan gejala ikutan yang dapat merugikan pasien lebih rendah,

sehingga metode ini dapat diterima dengan baik.33

Page 20: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 20 /52

BAB IV

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL

IV.1. Definisi BSEF

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus

Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan

endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya

ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber

penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali

melalui ostium alami. 13,28,34

Dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif

radikal seperti operasi Caldwel-Luc, fronto-etmoidektomi eksternal dan lainnya, maka

BSEF merupakan teknik operasi invasif yang minimal yang diperkenalkan pertama kali

pada tahun 1960 oleh Messerklinger dan kemudian dipopulerkan di Eropa oleh

Stammberger dan di Amerika oleh Kennedy. Sejak tahun 1990 sudah mulai

diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.

Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat

diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap

berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostium-

ostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk

sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drenase dan

ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luas

membuka seluruh sinus (fronto-sfeno-etmoidektomi). Teknik bedah endoskopi ini

kemudian berkembang pesat dan telah digunakan dalam terapi bermacam-macam kondisi

hidung, sinus dan daerah sekitarnya seperti mengangkat tumor hidung dan sinus

paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak

sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita,

dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan lainnya.

Keuntungan dari teknik BSEF, dengan penggunaan beberapa alat endoskop

bersudut dan sumber cahaya yang terang, maka kelainan dalam rongga hidung, sinus dan

daerah sekitarnya dapat tampak jelas. Dengan demikian diagnosis lebih dini dan akurat

Page 21: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 21 /52

dan operasi lebih bersih / teliti, sehingga memberikan hasil yang optimal. Pasien juga

diuntungkan karena morbiditas pasca operasi yang minimal. Penggunaan endoskopi juga

menghasilkan lapang pandang operasi yang lebih jelas dan luas yang akan menurunkan

komplikasi bedah.35

IV.2. Indikasi

Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut

berulang dan polip hidung yang telah diberi terapi medikamentosa yang optimal.

Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi

dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang

invasif dan neoplasia..36

Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat

tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor

hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi,

dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kogenital (atresia koana) dan

lainnya.

IV.3. Kontraindikasi

1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.

2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).34

3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis

yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai.

IV.4. Persiapan Pra-operasi

Persiapan Kondisi Pasien. Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan

sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula

jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa).

Lihat. Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus

diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya.

Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan

variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,

Page 22: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 22 /52

anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi

septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan

lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan

kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.

CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi

penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus

paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-

daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial.

Konka-konka, meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks

ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi,

sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid

anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui.

Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator

saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui

daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati

sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.

Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat menggunakan beberapa sistem

gradasi antaranya adalah staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk

digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.

Lund-MacKay Radiologic Staging System26

Lokasi Gradasi* Radiologik *Gradasi radiologik dari 0-2 :

Gradasi 0 : Tidak ada kelainan

Gradasi 1 : Opasifikasi parsial

Gradasi 2 : Opasifikasi komplit

Sinus Maksila

Etmoid Anterior

Etmoid Posterior

Sfenoid

Frontal

Kompl.Ostiomeatal Gradasi 0 dan 2 saja

Page 23: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 23 /52

Intrumentasi Bedah. Diperlukan peralatan endoskopi berupa teleskop dan

instrumen operasi yang sesuai. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. teleskop 4 mm 00 7. teleskop 4 mm 70

0 (tambahan untuk melihat lebih

luas ke arah frontal dan maksila)

2. teleskop 4 mm 300 8. teleskop 2,7 mm 30

0 (tambahan untuk pasien anak)

3. light source (sumber cahaya)

4. cable light

5. sistim kamera + CCTV

6. monitor

Sementara itu instrumen operasi pada operasi BSEF adalah sebagai berikut:

1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)

2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)

3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm)

4. Suction lurus

5. Suction Bengkok

6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)

7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps

8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)

9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Upturned)

10. Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch)

11. Ostium seeker

12. Trokar sinus maksila

13. J Curette (Antrum Curette Oval)

14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)

15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)

16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)

17. Cunam Jamur (Stammberger Punch)

Page 24: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 24 /52

IV.5. Tahapan Operasi

Tahapan operasi8

Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit di celah-celah etmoid dengan

panduan endoskop dan memulihkan kembali drenase dan ventilasi sinus besar yang sakit

secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat,

sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan

bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan

normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi

lebih rendah.

Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu

infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi

disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap

operasi. Karenanya tidak ada tindakan rutin seperti bedah sinus terdahulu. Berikut ini

dijelaskan tahapan-tahapan operasi.

Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila

Pertama-tama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi

septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap

deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap

akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum

hanya agar instrumen besar bisa masuk.

Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan

cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka.

Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan

patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan

ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa

melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal

operasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau

BSEF Mini.

Page 25: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 25 /52

Eksenterasi sinus maksila

Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista

besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui

ostium sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan

cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Jika tindakan ini sulit, lakukanlah

bedah Caldwell-Luc, tetapi prinsip BSEF yang hanya mengangkat jaringan patologik dan

meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melebarkan ostium asli di meatus

medius dianjurkan untuk dilakukan disini.

Etmoidektomi retrograde

Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus

dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika

disertai sinusitis frontal. Caranya adalah retrograde sebagai berikut. Setelah tahap awal

tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid

ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang

membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina

basalis akan berada dibalakang sinus lateralis ini.

Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan,

lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior.

Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika

ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar

otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting

mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya.

Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke

depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil

memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii

anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini

mempergunakan teleskop 00

atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara

retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan

kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.

Page 26: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 26 /52

Keuntungan melakukan diseksi etmoid posterior terlebih dahulu adalah karena

dasar otak yang merupakan atap sinus etmoid posterior lebih mudah ditemukan dan

diidentifikasi sebagai tulang keras yang letaknya agak horisontal sehingga kemungkinan

penetrasi lebih kecil dari pada di etmoid anterior dimana dasar otaknya lebih vertikal.

Arteri etmoid anterior. Identifikasi arteri sangat penting. Ia berada di atas

perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal

tulang di batas belakang atap resesus frontal. Hindari trauma pada arteri ini.

Sel Onodi. Sel Onodi tampak pada gambar CT dan menurut Sethi akan ditemukan

1: 2-3 pada spesimen Asia. Bahaya keberadaan sel Onodi adalah kemungkinan

melekatnya n.optikus dan a.Karotis Interna pada dinding lateralnya. Saat diseksi di sinus

etmoid posterior, harus ingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat

berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah

sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n.optikus dan / atau a.karotis di sisi

lateralnya. Hindari trauma pada organ penting ini, terutama trauma pada a.karotis interna

dapat berakibat fatal bagi pasien.

Sinus frontal

Untuk memperbaiki drenase sinus frontal dan membuka ostium sinus frontal,

resesus frontal harus dibersihkan terlebih dahulu. Diseksi disini menggunakan cunam

Blakesley upturned dipandu endoskop 300. Setelah partisi sel-sel resesus frontal

dibersihkan, ostium biasanya langsung tampak. Lokasi ostium dapat di identifikasi

berdasar tempat perlekatan superior dari prosesus unsinatus. Jika perlekatan tersebut pada

orbita, maka drenase dan lokasi ostium ada di sebelah medial perlekatan unsinatus. Jika

unsinatus melekat pada dasar otak atau konka media, maka drenase dan ostium ada

disebelah lateral perlekatan. Panduan ini terutama diperlukan jika ostium tersembunyi

oleh polip, sel-sel frontal dan variasi anatomi. Hati-hati saat diseksi di sisi medial,

terutama jika pada gambar CT scan ditemukan lamina lateralis kribriformis yang panjang

(Keros tipe III), hindarkan ujung cunam menghadap daerah ini.

Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem,

polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel

agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital

Page 27: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 27 /52

sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan

dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop

30 dan / 70, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada gambar CT, serta

mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat

dihindari. Adanya gelembung udara atau turunnya sekret menunjukkan lokasi ostium

yang sebenarnya.

Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip

yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar.

Cunam jerapah ini khusus dibuat untuk bekerja di atap resesus frontal. Polip yang berada

di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat

dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan

parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini

operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan.

Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal

dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di

kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu

tindakan didalamnya.

Ada beberapa teknik yang bisa dilakukan mencegah trauma a.etmoid anterior dan

dasar otak antaranya Intact Bulla Technique dan Axillary Flap.

Sfenoidektomi

Biasa yang dilakukan bukan sfenoidektomi tetapi sfenoidotomi, yaitu hanya

membuka sinus sfenoid. Ini bukan prosedur rutin BSEF. Di dalam sinus ada kanal

n.optikus dan a.karotis, sehingga manipulasi daerah ini dapat berakibat kebutaan,

kebocoran likuor atau perdarahan hebat dengan kemungkinan fatal. Sfenoidektomi

memerlukan perencanaan yang matang. Anatomi rincinya harus dipelajari dengan

seksama dan CT scan potongan koronal bahkan kalau perlu potongan aksial dan MRI.

Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada

a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal.

Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati. Karena n.optikus dan

a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan

Page 28: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 28 /52

inferior saja. Menurut Stammberger, pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal

tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung

septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus.

Prinsip ini penting dalam menunjang hasil terapi. Kennedy mengemukakan bahwa

dengan mempertahankan mukosa sedapat mungkin, penyembuhan terjadi lebih cepat dan

lebih baik. Moriyama juga menganjurkan mengangkat jaringan patologik dipermukaan

mukosa saja dengan cunam yang memotong (cutting forcep). Dalam penyelidikannya,

cara ini menunjang penyembuhan fisiologik dimana sel-sel bersilia akan regenerasi

setelah 6 bulan. (RUJUKAN)

IV.6. Perawatan Pasca Operasi

Secara teoritis, walaupun belum terbukti, pembersihan pasca operasi dilakukan

untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi

tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia,

dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator

yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari

untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik.

Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan

seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2

sampai 4 hari secara teratur. Fernandes pada suatu studi prospektif melaporkan pada 55

pasien yang dilakukan BSEF 95,5% pasien memperlihatkan perbaikan gejala klinik

sekitar 50% lebih pada perawatan pasca operasi hanya dengan irigasi larutan salin

hipertonik setelah hari ke-10 postoperatif. Beberapa ahli menyebutkan penggunaan

antibiotik profilaksis pada semua pasien, dimana ahli yang lain menggunakannya hanya

pada kasus adanya infeksi. Sementara itu pada suatu penelitian prospektif acak, tersamar

ganda oleh Annys dan Jorrisen dikutip dari Schlosser37

menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan pada gejala klinik setelah pemberian cefuroksim postoperasi.

Page 29: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 29 /52

IV.7. Komplikasi

Semenjak diperkenalkan teknik BSEF sangat populer dan diadopsi dengan cepat

oleh para ahli bedah THT di seluruh dunia. Seiring dengan kemajuannya, muncul

berbagai komplikasi akibat operasi bahkan komplikasi yang berbahaya. Karenanya para

ahli segera melakukan penelitian tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF

dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya. Pemahaman

yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya

pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah

terjadinya komplikasi. Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi

intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular dan sistemik. 38

1. Komplikasi Intransal

Sinekia. Masalah yang sering timbul berkaitan dengan bedah sinus endoskopik

adalah terjadinya sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling

berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Stammberger

dkk melaporkan insidens sinekia yaitu sekitar 8%, namun hanya 20% yang menyebabkan

gangguan sumbatan. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi

akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka

media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan.

Stenosis ostium sinus maksila. Stenosis ostium sinus maksila pasca pembedahan

terjadi sekitar 2 %. Pembukaan ostium sebesar diameter 3mm diperkirakan sudah dapat

menghasilkan drenase fisiologik. Stankiewicsz mengatakan bahwa pelebaran ostium

secara melingkar dapat menyebabkan timbulnya parut dan stenosis ostium sinus maksila.

Metode terbaik memperlebar ostium adalah dengan membuka ke salah satu atau beberapa

dari arah ini yaitu ke anterior, posterior, dan inferior. Bila stenosis terjadi bersamaan

dengan timbulnya gejala maka revisi bedah mungkin diperlukan.

Kerusakan duktus nasolakriamalis. Komplikasi ini sangat jarang karena duksus

nasolakrimalis berada di sepanjang kanal keras sakus lakrimalis dan bermuara di meatus

inferior. Duktus ini dapat terluka saat pelebaran ostium maksila ke arah anterior. Bolger

dan Parson dkk melakukan studi terhadap pasien yang mengalami perlukaan duktus

nasolakrimalis, tidak ada yang mengalami gejala dakriosisititis atau epifora.

Page 30: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 30 /52

Rekomendasi untuk mencegah hal ini adalah melakukan pelebaran ostium sinus maksila

terutama dari arah posterior dan / inferior.

2. Komplikasi Periorbital/Orbital

Edema kelopak mata/ekimosis/emfisema. Edema kelopak mata, ekimosis,

dan atau emfisema kelopak mata secara tidak langsung terjadi akibat trauma pada lamina

papirasea. Proyeksi medial lamina papirasea pada rongga hidung dan struktur tulangnya

yang lembut menyebabkan lamina papirasea mudah trauma selama prosedur bedah

dilakukan. Kejadian rusaknya lamina papirasea sekitar 0,5-1,5% di tangan seorang ahli

yang sudah berpengalaman. Pada umumnya akan sembuh sendiri dalam 5 hari tanpa

diperlukan pengobatam khusus.

Perdarahan retrobulbar. Perdarahan retrobulbar merupakan komplikasi yang

berbahaya. Tandanya adalah proptosis mendadak, bola mata keras disertai edema kelopak

mata, perdarahan subkonjungtiva, nyeri, oftalmoplegi, dan proptosis. Seiring dengan

meningkatnya tekanan intraokuler, iskemi retina terjadi dan menyebabkan kehilangan

penglihatan, midriasis dan defek pupil. Karenanya saat prosedur pembedahan, mata

pasien agar selalu tampak dalam pandangan operator.

Kerusakan nervus optikus. Meskipun sangat jarang, komplikasi ini pernah

dilaporkan. Visualisasi yang kurang adekuat selama pembedahan, yang dapat pula

disebabkan oleh adanya perdarahan, serta buruknya pemahaman mengenai anatomi bedah

merupakan penyebab terjadinya trauma pada n.optikus yang dapat menyebabkan

gangguan penglihatan.

Gangguan pergerakan otot mata. Pembedahan pada dinding medial dapat

menyebabkan trauma atau putusnya otot rektus medialis atau otot oblikus superior mata

serta kerusakan pada saraf yang menginervasinya.

3. Komplikasi Intrakranial

Komplikasi intrakranial merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pemula.

Cara diseksi etmoidektomi retrograde dan membaca daerah rawan tembus di CT scan

preoperasi (tipe Keros) akan menghindarkan komplikasi ini. Kebocoran cairan

serebrospinal selama prosedur bedah merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Insidensi

Page 31: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 31 /52

komplikasi ini dilaporkan sebanyak 0,05-0,9%. Jika terjadi saat operasi harus segera

dilakukan penambalan menggunakan jaringan sekitarnya misalnya konka media dan

septum. Jika terjadi pasca operasi dapat diobservasi karena 90% diharapkan dapat

menutup sendiri.

4. Komplikasi Sistemik

Walaupun jarang, infeksi dan sepsis mungkin terjadi pada setiap prosedur bedah.

Masalah yang dapat terjadi berkaitan dengan komplikasi sistemik pada bedah sinus

adalah pemakaian tampon hidung yang dapat menyebabkan toxic shock syndrome (TSS).

Kondisi ini ditandai dengan adanya demam dengan suhu lebih tinggi dari 39,50

C,

deskuamasi dan hipotensi ortostatik. Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) dihasilkan

oleh strain Stafilokokus aureus. Jacobson dkk melaporkan insidensi TSS adalah

16/100.000 kasus yang dilakukan bedah sinus endoskopik. Bila digunakan tampon

setelah operasi, direkomendasikan untuk memberikan bacitrasin yang merupakan agen

yang efektif melawan Stafilokokus aureus.

Penyulit Selama Prosedur Bedah Berlangsung dan Penanganannya

Penyulit infundibulotomi. Penyulit yang dapat terjadi di tahap awal ini adalah

kesulitan insisi infundibulotom jika letak unsinatus terlalu dislokasi ke lateral atau ada

konka media yang paradoksikal. Insisi sulit dan ujung pisau dapat melukai orbita ini. Hal

ini diatasi dengan meluksasi unsinatus ke medial menggunakan ujung bengkok ostium

seeker, kemudian potong dengan backbiting. Cara ini terbukti menurunkan komplikasi ke

orbita.

Penyulit pelebaran ostium. Penyulit juga dapat terjadi jika pasca

infundibulotomi, ostium tidak langsung tampak. Seringkali akibat infundibulotomi yang

tidak sempurna, sehingga masih ada sisa unsinatus yang menutupi ostium. Keadaan ini

diatasi dengan mengangkat sisa unsinatus dengan backbiting. Jika ostium tetap tidak

dapat ditemukan meskipun tidak ada lagi sisa unsinatus, lakukan palpasi dengan kuret J

di sepanjang pertautan tulang konka inferior. Palpasi jangan terlalu ke atas karena dapat

menembus orbita. Adanya gelembung udara menunjukkan lokasi ostium yang dicari.

Harus diingat bahwa lokasi ostium adalah di pertemuan aspek antero-superior dan

Page 32: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 32 /52

postero-inferior infundibulum dan berada di depan aspek anterior bula etmoid.

Karenanya, adanya bula etmoid dapat membantu menentukan lokasi ostium, sehingga

dianjurkan supaya pengangkatan bula setelah identifikasi ostium sinus maksila. Pelebaran

ostium dapat dilakukan ke arah posterior menggunakan gunting atau cunam Blakesley

lurus, selipkan salah satu ujungnya ke sisi dalam fontanel posterior. Pelebaran ke arah

anterior menggunakan backbiting dan ke inferior menggunakan sidebiting. Pelebaran

ostium dapat juga menggunakan kuret J. Pelebaran ostium hanya pada 1 atau 2 sisi, tidak

dibenarkan memperlebar ke semua arah, karena akan terjadi jaringan ikat melingkar dan

gangguan drenase di kemudian hari. Dengan membiarkan 1 atau 2 sisi ostium utuh,

kemungkinan obliterasi dicegah. Ostium asesori yang ditemukan harus disatukan dengan

ostium asli, agar tidak menyebabkan infeksi berulang.

Penyulit etmoidektomi. Penyulit pada tahap ini adalah saat identifikasi dan

menembus lamina basalis. Identifikasi sering sulit karena perubahan patologik atau

variasi anatomi, misalnya adanya sinus lateralis diantara dinding belakang bula dan

lamina basalis atau adanya sel etmoid anterior yang meluas ke belakang dan menekan

dinding lamina basalis menjadi berbenjol-benjol. Seringkali atap etmoid diduga sebagai

lamina basalis. Operator harus yakin betul identifikasi lamina basalis sebelum

menembusnya agar tidak terjadi kebocoran cairan otak. Lamina basalis bagian superior

dan anterior berdekatan dengan dasar otak, tetapi karena dinding lamina berjalan ke arah

posterior dan inferior, maka makin ke belakang makin jauh jaraknya terhadap dasar otak.

Karenanya menembus lamina basalis di sebelah medial bawah merupakan tempat paling

aman.

Mencegah penetrasi intrakranial. Penyulit utama saat diseksi retrograde adalah

mencegah penetrasi intrakranial. Ketebalan tulang dasar otak tidak sama, bagian antero-

medial paling tipis, hanya 1/10 bagian lateral sehingga paling rawan tembus. Karenanya

dianjurkan untuk bekerja di sebelah lateral agar lebih aman. Daerah rawan lainnya adalah

pertautan atap etmoid (fovea etmoidales) dengan lamina kribosa yang disebut lamina

lateralis kribosa yang merupakan tulang tipis yang panjangnya bervariasi antara 3-16

mm. Berdasarkan bentuk dan panjang lamina lateralis ini, Kerose membaginya dalam 4

tipe. Ohnishi juga mendapatkan bahwa atap medial etmoid mempunyai banyak

dehiscence dan celah-celah. Daerah pertautan konka media pada dasar otak dan aspek

Page 33: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 33 /52

antero-lateral dinding sel-sel etmoid juga merupakan daerah rawan tembus. Variasi

anatomi diatas dapat diketahui dari gambar CT scan dan sebaiknya operator menghindari

daerah ini atau jika terpaksa, bekerjalah ekstra hati-hati. Jika bekerja di daerah medial,

dianjurkan selalu menghadapkan cunam agak ke lateral.

Mencegah penetrasi orbita. Penyulit lainnya adalah mencegah penetrasi ke

orbita. Ini dapat terjadi saat membersihkan partisi sel etmoid yang melekat ke orbita

karena mungkin ada dehiscence sehingga mudah tertembus cunam. Saat bekerja disini,

arahkan cunam ke vertikal. Kadang-kadang di lamina papirasea ada penonjolan orbita

atau trochlea yang sering diduga sebagai sel etmoid. Jika diangkat maka terjadi penetrasi

dan lemak orbita akan keluar. Tidak perlu berusaha memasukkan kembali karena akan

menambah taruma orbita. Lemak ini akan masuk kembali tertekan oleh tampon hidung

yang dipasang pascaoperasi. Yang penting adalah mengetahui bahwa jaringan yang

diangkat adalah lemak orbita. Lemak orbita berwarna kekuningan berbentuk gelembung

bulat-bulat kecil dan melayang di dalam air. Sedangkan jaringan polip atau jaringan

rongga hidung lain akan tenggelam.

Emfisema subkutis merupakan komplikasi penetrasi orbita. Untuk menghindari,

jangan menggunakan insuflasi masker oksigen saat selesai anestesi dan pasien dilarang

menyringsing ingus selama 1-2 minggu pascaoperasi.

Perdarahan saat operasi. Perdarahan saat operasi adalah karena perdarahn

mukosa. Perdarahan ini ringan namun dapat mengganggu kelancaran bahkan

menggagalkan operasi bila operator tidak dapat melihat dengan jelas. Tindakan

vasokonstriktor yang baik praoperasi sangat berpengaruh disini disamping faktor-faktor

lain.

Kelancaran tindakan bedah sangat ditunjang oleh upaya mengeringkan lapangan

operasi dengan cara memasukkan kapas adrenalin ke lapangan operasi. Pada tindakan

dengan anestesi umum, dianjurkan anestesi kendali hipotensi. Dalam hal ini diperlukan

dokter anestesi yang handal.

Jika ada perdarahan maka perlu kesabaran untuk berulang kali mengeringkan

lapangan operasi dan membersihkan endoskop yang menjadi buram terkena darah. Ini

terutama pada pemula. Perdarahan yang cukup merepotkan biasanya terjadi pada daerah

yang udem atau radang, polip luas atau pasien dengan tekanan darah tinggi. Perdarahan

Page 34: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 34 /52

juga dapat terjadi pada pasien koagulopati, pasien dengan penggunaan jangka lama obat-

obat yang memanjangkan masa perdarahan seperti salisilat atau obat-obat antiinflamasi

non steroid, persantin, dll. Obat dihentikan sekurang-kurangnya 1 minggu sebelum

operasi.

Jika perdarahan berlanjut dan sulit diatasi, hentikan penggunaan endoskop dan

lakukanlah operasi secara konvensional. Pada pasien poliposis dengan kemungkinan

perdarahan, polip yang besar diangkat dulu tanpa penggunaan endoskop. Setelah

perdarahan berkurang, tindakan dilajutkan dengan endoskop. Dengan alat baru yang

sangat menguntungkan yaitu alat debrider yang dapat memotong langsung menghisap

polip sehingga perdarahan sangat minimal.

Perdarahan yang dapat berbahaya adalah perdarahan akibat trauma pada a.etmoid

anterior jika ujung arteri yang terputus mengalami retraksi dan masuk ke dalam orbita

menyebabkan perdarahan rongga orbita disebut hematoma retro-orbital. Mata menjadi

proptosis secara tiba-tiba dan dapat timbul kebutaan akibat regangan n.optikus.

Karenanya mata harus selalu berada dalam pandangan kita agar dapat dimonitor selama

operasi. Perdarahan paling berbahaya terjadi akibat ruptur a.karotis atau akibat penetrasi

intrakranial, maka ahli bedah saraf harus segera dipanggil dan tindakan kraniotomi

dianjurkan untuk mengatasi perdarahan ini.8

IV.8 Anestesi dan Analgesi

Teknik BSEF dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau umum. Umumnya

anastesi lokal dilakukan jika prosedur ringan seperti BSEF mini atau lainnya.

Pada anastesi lokal, manipulasi daerah lamina papirasea dan dasar otak akan

menghasilkan rasa nyeri dan ini merupakan tanda untuk mencegah penetrasi, tetapi

menurut kepustakaan, tidak terbukti anestesi lokal lebih aman dibanding anestesi umum

dengan teknik hipotensi kendali pada operasi endoskopik.34

Diperlukan teknik anestesi lokal yang mampu memberikan vasokonstriksi yang

baik. Anastesi topikal adalah dengan larutan lidokain/pantokain/xylokain 2% dicampur

epinefrin 1:100.000 dalam konsentrasi 4:1. Kapas kecil bertali dibasahi larutan ini,

diperas kuat-kuat, dimasukkan ke meatus medius dan agger nasi dengan panduan

endoskop dan dibiarkan selama 10 menit. Dapat pula memakai analgesi-vasokonstriktor

Page 35: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 35 /52

kuat seperti Co-phenylcaine Forte spray. Anestesi infiltrasi adalah dengan lidokain 2%

dan epinefrin 1:80.000-100.000, disuntikkan dengan jarum panjang di atas perlekatan

konka media, prosesus unsinatus dan foramen sfenopalatina.8

Saat ini anastesi umum dengan teknik hipotensi terkendali merupakan teknik

anastesi yang paling populer baik di negara Barat maupun di Indonesia. Teknik kendali

hipotensi akan mengurangi perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas dan

kemungkinan komplikasi terhindar, disamping pasien lebih nyaman demikian pula

operator dapat bekerja lebih baik dan tenang.

Namun demikian hipotensi kendali ini memiliki risiko pada beberapa pasien

misalnya pasien geriatri. Disamping itu penggunaan halotan bersama vasokonstriktor

dapat menimbulkan risiko iritabilitas jantung.39

Page 36: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 36 /52

BAB V

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL PADA ANAK

Data yang berasal dari bagian THT dan bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr.

Cipto Mangunkusumo pada tahun 1999 menunjukkan prevalensi rinosinusitis maksila

akut pada anak yang telah didiagnosis sebagai ISNA adalah 25%.40

Angka ini 2-3 kali

lebih tinggi daripada angka yang dilaporkan di Amerika dan Eropa. Anak lebih rentan

terhadap infeksi virus karena maturitas sistem imun yang dimiliki belum sempurna.

American Academy of Pediatrics memperkirakan anak menderita 6-8 kali infeksi virus

pada saluran napas atas dalam 1 tahun, dan 5-13% dapat berlanjut menjadi rinosinusitis

bakteriil.41

Pada anak batasan waktu untuk rinosinusitis kronik adalah ≥12 minggu dan lebih

sering frekuensi episode serangan akutnya (≥6 kali serangan / tahun). Kriteria untuk

menegakkan rinosinusitis kronik juga sesuai dengan didapatkannnya 2 kriteria mayor

atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Terdapat 2 kriteria mayor tambahan pada

anak yaitu batuk dan iritabilitas14

. (Tabel 2).

Peningkatan insidensi infeksi pernapasan atas akibat virus ( 6-8 episode per

tahun) dan rinitis alergi musiman (10-15% pada anak) merupakan predisposisi

meningkatnya insidensi sinusitis pada anak.

Petunjuk baku yang dikeluarkan oleh AAP merekomendasikan pemberian

antibiotika untuk terapi rinosinusitis akut, karena angka keberhasilan respons kliniknya

baik dan dapat mempercepat proses penyembuhan (recovery). Persentase anak dengan

rinosinusitis akut yang memperoleh antibiotika menunjukkan kesembuhan dan perbaikan

klinik pada hari ke 3 adalah 83%, sedangkan yang mendapat plasebo hanya menunjukkan

perbaikan sebesar 51%. 41

Sinusitis kronik pada anak adalah penyakit multifaktorial, dan banyak memiliki

gejala klinik yang mirip dengan rinitis alergi dan infeksi virus pada saluran napas atas.

Sebaliknya anak yang menderita rinitis alergi dan sering mengalami infeksi virus

merupakan anak dengan risiko tinggi untuk menderita sinusitis kronik. Penyakit refluks

gastroesofagus juga merupakan faktor risiko lain pada sinusitis kronik pada anak yang

Page 37: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 37 /52

tidak sembuh dengan terapi medikamentosa agresif bahkan terapi bedah. Penyakit yang

mengakibatkan gangguan pada sistem transpor mukosilier juga merupakan faktor risiko

terjadinya sinusitis kronis, seperti pada penyakit fibrosis kistik dan sindrom Kartagener.

Pada anak dengan sinusitis kronik yang gagal diterapi secara medikamentosa,

bedah sinus endoskopik fungsional, yang diperkenalkan oleh Stammberger pada pasien

dewasa pada tahun 1986, dapat merupakan terapi primer. Bedah sinus endoskopik

fungsional secara esensial telah menggantikan lavage dan nasal antral windows, namun

masih merupakan hal yang kontroversial jika menyangkut luasnya pembedahan yang

harus dilakukan..42

Pendekatan minimal dengan BSEF mini, yaitu hanya melakukan

unsinektomi dan mengidentifikasi ostium sinus maksila dan melakukan irigasi melalui

ostium alamiah sinus maksila merupakan tindakan yang banyak dilakukan. Kennedy

melaporkan berdasarkan investigasinya bahwa tindakan ini akan memperbaiki kelainan

penyakit yang lebih luas. Dengan tindakan BSEF minimal, maka tidak diperlukan lagi

second look endoscopic examination, yaitu pemeriksaan endoskopik pasca operasi yang

dilakukan untuk pembersihan hidung pasca BSEF.

Studi meta-analisis bedah sinus endoskopik fungsional untuk menilai efektivitas

dan keamanan pembedahan pada anak dilaporkan oleh Herbert42

pada 832 anak berusia

11 bulan – 18 tahun. Rinosinusitis kronis yang dibuktikan dengan tomografi komputer

sebelum dilakukan tindakan BSEF, menunjukkan perbaikan gejala pasca BSEF berkisar

antara 77-100%, dengan rerata 88,4%. Jika terdapat penyakit penyerta berupa fibrosis

kistik akan didapatkan hasil yang lebih buruk yaitu 0-57% dan cenderung memerlukan

prosedur BSEF ulangan. Komplikasi yang terjadi sebesar 0,6%, yaitu 2 kasus

memerlukan transfusi darah dan 2 kasus menderita meningitis pasca BSEF. Dari studi

meta-analisis ini dilaporkan bahwa BSEF adalah prosedur yang aman dan efektif untuk

terapi rinosinusitis kronik pada anak yang refrakter terhadap terapi medikamentosa.

Kelemahan studi analisis ini adalah tidak digunakannya kriteria keberhasilan BSEF yang

obyektif dan terstandardisasi. Populasi sample pada penelitian meta-analisis ini juga

sangat heterogen, karena masing-masing penelitian serial bervariasi dalam kriteria

seleksi, derajat beratnya sinusitis dengan sistem penderajatan sinusitis yang tidak

seragam, dan penyakit sistemik yang mendasari. Jenis tindakan pada BSEF yang

dilakukan juga bervariasi. Sebagian besar anak hanya memerluakan antrostomi meatus

Page 38: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 38 /52

medius dan etmoidektomi anterior sedangakan beberapa anak memerlukan tindakan

bedah yang lebih luas.

Walner43

dkk menilai efektivitas BSEF pada 23 anak berusia 2-13 tahun

menggunakan survei keberhasilan klinik modifikasi SF-36 global health assessment.

Gejala utama pra BSEF adalah sekret hidung purulen, dan hidung tersumbat kronis.

Penyakit penyerta yang ditemukan pada populasi ini adalah alergi 70%, asma 35%,

imunodefisiensi 4%, nasal polip 13%. Tindakan BSEF revisi dilakukan pada 2 anak

(9%). Penelitian survei yang dilakukan ini menunjukkan pernurunan skoring gejala pada

9 kategori dari 15 kategori, yaitu frekuensi batuk, hidung tersumbat, kunjungan ke dokter,

gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan performa di sekolah, performa orang tua di

tempat kerja dan gangguan performa orang tua di rumah sehubungan dengan kondisi

anak. Hasil penelitian survei ini menunjukkan perbaikan gejala klinik dan nilai kualitas

hidup berdasarkan laporan orang tua yang memiliki anak yang menjalani BSEF karena

sinusitis kronik. Walaupun terdapat kasus sinusitis kronis bakterial yang sembuh dengan

terapi medikamentosa yang adekuat atau adenoidektomi, penelitian ini menyimpulkan

bahwa BSEF pada anak memainkan peranan penting sebagai terapi efektif untuk

penderita sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan terapi medik adekuat. Kelemahan

dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang relatif kecil yaitu 23 anak, tidak terdapat

kelompok control walaupun hasil survei pra-operatif dilakukan untuk pembanding. Yang

lebih ideal lagi survei serupa juga dilakukan pada kelompok anak atau orangtua dengan

sinusitis yang diobati tanpa pembedahan, untuk menilai efek dari waktu berjalannya

penyakit alamiah atau hasil terapi non-bedah. Studi perbandingan dengan kelompok-

kelompok ini akan lebih meningkatkan keyakinan tentang keuntungan pembedahan bagi

anak dengan sinusitis kronik.

Page 39: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 39 /52

BAB VI

HASIL DAN DISKUSI

1. Indikasi

Indikasi umumnya adalah untuk sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang

tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung

yang tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF

termasuk didalamnya adalah sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan

perluasannya, mukokel, sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif.36

Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas

pada hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor

serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang

meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,

ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.

2. Efektivitas

a. Kualitas Hidup (QOL: quality of life)

Pada suatu penelitian non randomized, prospektif, clinical trial oleh

Bhattacharyya N44

untuk menentukan efektivitas bedah sinus endoskopik pada pasien

dengan sinusitis kronik terhadap gejala klinis dan pemakaian obat, 100 pasien dewasa

dengan sinusitis kronik yang refrakter terhadap pengobatan dinilai berdasarkan

Rhinosinusitis Symptom Inventory. Sebelum dilakukan terapi, rata-rata skor gejala

mayor berkisar antara 2,5-3,5 ( skala Likert, 0 [tidak ada gejala] sampai 5 [gejala

maksimal] dan gejala minor berkisar antara 0,8 sampai 2,8). Setelah dilakukan

pembedahan, gejala mayor dan minor menurun signifikan secara statistik (p<0,001).

Perbaikan klinis antara sebelum dan sesudah operasi sangat terlihat pada gejala klinis

nyeri wajah, penyumbatan, obstruksi hidung, rinore, dan sakit kepala (nilai absolut

>0,85). Lamanya penggunaan obat kortikosteroid meningkat dan menurun pada

penggunaan antihistamin. Penurunan kebutuhan penggunaan antibiotik juga terlihat

setelah dilakukan bedah sinus endoskopik.

Page 40: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 40 /52

Tabel 3. Sinonasal Symptom Scores Before and After Endoscopic Sinus Surgery*

Dikutip dari: Bhattacharyya44

Gambar 1. Changes in symptom domain scores after endoscopic sinus surgery (ESS). The

range for the scores was 0 to 100. Dikutip dari: : Bhattacharyya42

Page 41: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 41 /52

Tabel 4 Medication Use Before and After Endoscopic Sinus Surgery

Dikutip dari: Bhattacharyya44

Peningkatan kualitas hidup pada pasien sinusitis kronik setelah dilakukannya

bedah sinus endoskopik fungsional juga didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Damm45

,dkk. Mereka melakukan uji klinis prospektif terbuka pada 279 pasien

setelah menjalankan bedah sinus endoskopik fungsional di Departemen THT

Universitas Cologne, Jerman dari tahun 1995 sampai 1999. Setelah pengamatan

selama 31,7 bulan, peningkatan kualitas hidup mencapai 85%, 12% tidak ada

perubahan, dan 3% mengalami perburukan kualitas hidup. Peningkatan ini terlihat

jelas pada penurunan gejala obstruksi nasal (84%), sakit kepala (82%), dan post nasal

drip (78%); (P<0,01), dimana berkorelasi secara signifikan dengan obstruksi nasal

(r=0,59), sakit kepala (r=0,39), dan post nasal drip (r=0,55); (P<0,01).

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tindakan bedah sinus endoskopik

fungsional pada pasien dengan sinusitis kronik dapat menurunkan gejala kinis dan

memperbaiki kualitas hidup pasien.

b. Analisis Biaya dan QALY (Quality Adjusted Life Year)

Kualitas hidup rinosinusitis kronik berdasarkan time trade-off analysis adalah

0.87. Pada populasi, penderita terbanyak rinosinusitis kronik berusia 30 tahun, dengan

angka harapan hidup penderita adalah 65 tahun. Jika penderita ini menjalani tindakan

BSEF, maka akan terjadi peningkatan kualitas hidup sebesar 0.95, dengan length of

life 30 tahun maka QALY = (0.95 – 0.87) X 30 tahun = 2,4.

Page 42: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 42 /52

Biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien untuk membayar biaya paket

operasi khusus sesuai kamar perawatan kelas III di RSCM adalah sesuai komponen

biaya berikut:

KOMPONEN BIAYA Jumlah

Rp Persentase

Jasa medis operator 800.000,- 20

Jasa medis anestesi 275.000,- 7

Tim pembantu operasi 100.000,- 2.5

Kamar Operasi 200.000,- 5

Alat BSEF 1.000.000,- 25

Barang Farmasi 1.200.000,- 30

Instalasi Bedah Pusat 100.000,- 2.5

Risiko Pengelola 325.000,- 8.125

TOTAL 4.000.000,- 100

Sehinga untuk meningkatkan 1 QALY diperlukan biaya:

Rp 4.000.000,- / 2.4 = Rp 1.666.666,-, dibulatkan menjadi Rp 1.700.000,-

Bila kita berbicara mengenai dampak ekonomi suatu penyakit, perlu

diperhatikan dampak secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung

mudah untuk dinilai dan termasuk didalamnya obat-obatan, biaya perawatan di rumah

sakit, kunjungan dokter, dan biaya pembedahan bila ada. Biaya tidak langsung lebih

sulit untuk dinilai dan termasuk diantaranya disabilitas pasien dan hilangnya

produktivitas. Ray46

,dkk memperkirakan dampak ekonomi akibat sinusitis di Amerika

(hanya dampak langsung) adalah sebesar $5,8 bilion pada tahun 1996, dimana $1,8

bilion (30,6%) untuk anak 12 tahun atau lebih muda.

Gliklich dan Metson47

meneliti dampak ekonomi bedah sinus endoskopik

pada rinosinusitis kronik. Dilaporkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan pasien

yaitu sekitar $1220 setiap tahunnya untuk pengobatan sinusitis sebelum dilakukan

bedah sinus endoskopik. Setelah dilakukan tindakan bedah biaya ini turun 48%

menjadi $629 (p<0,0001). Biaya bedah dilaporkan yaitu $6490 per pasien, dengan

break event point dalam waktu 7 tahun.

Page 43: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 43 /52

3. Standardisasi Alat & Harga :

1. teleskop 4 mm 00 35.773.920 – 45.987.700

2. teleskop 4 mm 300 37.269.360 – 47.410.000

3. cable light 3.284.760 - 7.547.430

4. light source (sumber cahaya) 91.852.800 – 293.908.000

5. sistim kamera + CCTV

6. monitor 2.000.000 -

7. teleskop 4 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas ke

arah frontal dan maksila)

37.269.360

8. teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)

1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm,

Luer-lock)

181.320

2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm) 963.120 – 1.941.060

3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated,

sharp/blunt, 21.5cm)

872.640

4. Suction lurus 600.000

5. Suction Bengkok 458.040

6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps) 4.059.120 – 7.492.980

7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE

Nasal Forceps

4.524.360 – 8.502.450

8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal

Forceps Cutting Straight)

7.737.600

9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY

Nasal Forceps Cutting Upturned)

9.836.760

10. Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch) 6.372.000

11. Ostium seeker 871.440

12. Trokar sinus maksila

13. J Curette (Antrum Curette Oval) 984.960 – 1.785.960

14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong) 984.960 – 1.785.960

15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)

vertical opening

6.403.440

16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)

horizontal opening

17. Cunam Jamur (Stammberger Punch) 7.403.760

Biaya alat dihitung dari Lifetime dan jumlah pasien

Jenis Alat

(Sistem kamera &

teleskop)

Kisaran harga Lifetime

(tahun)

Jumlah

pasien/

tahun

Beban

1. teleskop 4 mm 00 35.773.920 - 45.987.700 5 60 119.246 – 152.245

2. teleskop 4 mm 300 37.269.360 – 47.410.000 5 60 124.231 – 156.881

3. cable light 3.284.760 - 7.547.430 5 60 10.949 – 20.428

4. light source (sumber

cahaya)

91.852.800 – 293.908.000 5

60 306.176 -

979.693

5. sistim kamera + CCTV

Page 44: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 44 /52

Jenis Alat

(Sistem kamera &

teleskop)

Kisaran harga Lifetime

(tahun)

Jumlah

pasien/

tahun

Beban

6. monitor 2.000.000 - 5 60 6.666

7. teleskop 4 mm 700

(tambahan untuk

melihat lebih luas ke

arah frontal dan

maksila)

37.269.360 5 60 124.231

8. teleskop 2,7 mm 300

(tambahan utk pasien

anak)

5 60

Jenis Alat

(Intrumen Bedah)

Kisaran Harga Lifetime

(Tahun)

Jumlah

pasien/

tahun

Beban

1. Jarum panjang (FESS/Septum

Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)

181.320 5 60 604,4 -

2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm) 963.120 – 1.941.060 3 60 5.350 - 10.784

3. Respatorium (MASING Elevator,

dbl-end, graduated, sharp/blunt,

21.5cm)

872.640 5 60 2.908

4. Suction lurus 600.000 5 60 2000

5. Suction Bengkok 458.040 5 60 1.527

6. Cunam Blakesley lurus

(BLAKESLEY Nasal Forceps)

4.059.120 – 7.492.980 5 60 13.530 – 20.219

7. Cunam Blakesley upturned

(BLAKESLEY-WILDE Nasal

Forceps

4.524.360 – 8.502.450 5 60 15.081 – 22.943

8. Cunam Cutting-through lurus

(BLAKESLEY Nasal Forceps

Cutting Straight)

7.737.600 3 60 42.987

9. Cunam Cutting-through upturned

(BLAKESLEY Nasal Forceps

Cutting Upturned)

9.836.760 3 60 54.649

10. Cunam Backbiting ("Backbiter"

Antrum Punch)

6.372.000 5 60 21.240

11. Ostium seeker 871.440 5 60 2.905

12. Trokar sinus maksila 5 60

13. J Curette (Antrum Curette Oval) 984.960 – 1.785.960 5 60 3.283 – 4.845

14. Kuhn Curette (Sinus Frontal

Curette Oblong)

984.960 – 1.785.960 5 60 3.283 – 4.845

15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl.

act. jaws 3mm) vertical opening

6.403.440 5 60 21.345

16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl.

act. jaws 3mm) horizontal opening

6.403.440 5 60 21.345

17. Cunam Jamur (Stammberger

Punch)

7.403.760 5 60 24.679

Total 1.052.446 –

1.699.969

Page 45: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 45 /52

4. Standardisasi Teknik operasi

Standarisasi tahapan BSEF adalah :

a. Unsinektomi

b. Antrostomi meatus medius

c. Etmoidektomi anterior

d. Etmoidektomi posterior

e. Sfenoidotomi

f. Bedah sinus frontal

Indikasi tahapan tersebut tergantung dari luas penyakit dan variasi anatomi. Cara

melakukan tahapan BSEF tersebut tergantung dari teknik operasi yang dikuasai

operator dan ketersediaan alat yang memadai. Operator pemula disarankan untuk

menguasai teknik dasar yang diperkenalkan oleh Messerklinger dan dipopulerkan

Stammberger-Kennedy. Pada perkembangannya, banyak para pakar yang

memperkenalkan teknik-teknik tahapan BSEF, seperti unsinektomi dengan teknik

swinging door (PJ Wormald), bedah sinus frontal dengan teknik intact bulla (Sethi),

atau dengan jabir aksila (PJ Wormald).

5. Komplikasi

Komplikasi BESF dapat dikategorikan menjadi komplikasi minor dan

mayor, terdiri dari komplikasi intranasal, periorbital/orbital, intrakranial, vaskular

dan sistemik. Komplikasi minor berkisar antara 0,5% - 8%. Kebanyakan komplikasi

minor tidak memerlukan tindakan pengobatan khusus atau bedah revisi. Komplikasi

mayor pada tindakan BSEF seperti perdarahan retrobulbar, kerusakan nervus

optikus, gangguan pergerakan otot bola mata, kebocoran cairan serebrospinal sangat

jarang terjadi dengan frekuensi kurang dari 1%,

Penelitian-penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa frekuensi

terjadinya komplikasi berhubungan dengan kurve belajar dan kasus-kasus dengan

penyulit.

Page 46: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 46 /52

6. Peningkatan kompetensi

Dalam Kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL,

terstruktur pembelajaran BSEF pada residen, meliputi anatomi, fisiologi dan

teknik melakukan BSEF, serta melakukan asistensi BSEF dan menjadi operator

mini BSEF dengan supervisi. Proses pembelajaran ini saat ini hanya dapat

dilakukan pada sentra-sentra pendidikan tertentu. Peserta Program Pendidikan

Dokter Spesialis THT-KL pada sentra yang belum belum dapat memberikan

pembelajaran, diwajibkan untuk mengikuti kursus BSEF yang diselenggarakan

oleh PP Perhati atau institusi pendidikan di luar negeri yang direkomendasi oleh

PP Perhati.

PP Perhati secara berkala menyelenggarakan Kursus dan Workshop BSEF

di Jakarta setiap 2 bulan sekali sejak tahun 2003, serta di sentra-sentra lain yang

dikoordinasi oleh PP Perhati. Hal ini bertujuan untuk memperluas penggunaan

teknik operasi ini dan meningkatkan kompetensi dokter spesialis THT di

Indonesia.

HTA Sistematic Review of endoscopic sinus surgery for nasal polyps

menyebutkan biaya yang dibutuhkan untuk biaya training bedah sinus endoskopik

adalah berkisar dari £450-1400.

7. Penggolongan ringan – beratnya operasi

Sebagai pedoman untuk menentukan standar biaya operasi diperlukan

klasifikasi prosedur:

1. Khusus I : Mini FESS

2. Khusus 2 : BSEF sampai ke Etmoidektomi Anterior, Anterior-Posterior

3. Khusus 3 : BSEF pada Sinus Frontal atau Sfenoidotomi dan Total BSEF

4. Khusus 4 : BSEF Lanjut (Advanced= dekompresi orbita, penambalan LCS,

pengangkatan tumor hidung dan sinus paranasal)

Penggolongan biaya ini berdampak kepada jasa medis operator dan jasa

medis anestesi saja. Peningkatan jasa medis sesuai dengan peningkatan klasifikasi

operasi merupakan penghargaan terhadap kemampuan, keterampilan dan

kompetensi operator yang semakin tinggi.

Page 47: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 47 /52

BAB VII

REKOMENDASI

1. Indikasi BSEF adalah sinusitis kronik atau sinusitis akut berulang yang tidak

mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal dan polip hidung yang

tidak berespons terhadap pengobatan medikamentosa. Indikasi absolut BSEF adalah

sinusitis dengan komplikasi ke orbita, intrakranial dan perluasannya, mukokel,

sinusitis jamur dan sinusitis jamur invasif. (Rekomendasi A)

2. Indikasi BSEF yang diperluas adalah untuk pengangkatan tumor jinak dan ganas pada

hidung dan sinus paranasal, tumor hipofisis, menambal kebocoran likuor

serebrospinal, dakriosistorinostomi, biopsi dan pengangkatan tumor retroorbita yang

meluas ke hidung dan sinus paranasal, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus,

ligasi arteri sfenopalatina pada epistaksis dan terapi bedah pada atresia koana.

(Rekomendasi C)

3. Melakukan tindakan BSEF sesuai standar prosedur dengan mengingat kompetensi

operator dan ketersediaan alat. Tindakan dilakukan dalam anestesi umum dengan

teknik hipotensi terkendali atau anestesi lokal jika tidak memungkinkan anestesi

hipotensi terkendali. (Rekomendasi C)

4. Menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk melakukan prosedur BSEF terdiri dari

perangkat keras yaitu, sumber cahaya, teleskop dan sistem kamera serta memenuhi

kebutuhan standar minimal perangkat lunak yaitu instrumen bedahnya (pisau sabit,

forsep dan lain-lain). (Rekomendasi C)

5. Meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu bagian Radiologi,

Anestesi, Anak, dan Penyakit Dalam dalam penatalaksaan pasien yang akan

menjalani BSEF. Menyebarkan pengetahuan mengenai anatomi radiologik dinding

lateral hidung dan teknik hipotensi terkendali kepada dokter ahli Radiologi dan

Page 48: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 48 /52

mengenai teknik anestesi hipotensi terkendali kepada dokter ahli Anestesi di seluruh

Indonesia. (Rekomendasi C)

6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL membuat standar

biaya operasi sesuai dengan berat-ringannya prosedur operasi, dengan

mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat. (Rekomendasi D)

7. Institusi pendidikan dan / PERHATI-KL menyelenggarakan kursus dan pelatihan,

bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM.

(Rekomendasi D)

Page 49: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 49 /52

KEPUSTAKAAN

1. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indonesia

Tahun 2003. Depkes RI

2. Survei Kesehatan

3. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi, Bagian THT FKUI – RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta 2000-2005.

4. Data Poli Rinologi , Bagian THT FK UNHAS - Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Makasar Januari

2005-Juli 2006

5. Data Poli Rinologi, Malang

6. Dalziel K, Stein K, Round A, Garside R, Royle P. Systematic Review Of Endoscopic Sinus

Surgery For Nasal Polyps. Health Technology Assessment 2003;17(7).

7. Nizar NW, Mangunkusumo E, Polip Hidung. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:96

8. Soetjipto D. Teknik dan Tip Praktis Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Kumpulan Naskah

Lengkap, Kursus, Pelatihan dan Demo BSEF. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung &

Tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

9. Smith LF, Brindley PC, Indications, evaluation, complication and results of functional endoscopic

sinus surgery in 200 patients. Department of Otolaryngology, University of Texas Medical Center,

Galveston

10. Roos K. The Pathogenesis of Infective Rhinosinusitis. In Rhinosinusitis: Current Issues in

Diagnosis and Management. Lund V. Corey J (Eds). The Royal Society of Medicine Press

Limited, London, UK, Round Table Series 1999; 67: 3-9

11. Soetjipto D. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan pada Malam Klinik Perhati

Jaya, Jakarta, 14 Mei 2000.

12. Penatalaksanaan Baku Rinosinusitis. Dipresentasikan di PIT PERHATI, Palembang 2001.

13. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003: 124.

14. Kennedy DW, International Conference On Sinus Disease, Terminology, Staging, Therapy. Ann

Otol Rhinol Laryngol 1995; 104 (Suppl. 167):7-30

15. Meltzer EO, Hamilos DL, Hadley JA, et al. Rhinosinusitis: Establishing definitions for clinical

research and patient care. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 131(supl):S1-S62.

16. Antonio T, Hernandes J, Lim M, Mangahas L et al. Rhinosinusitis in Adult. In: Clinical Practise

Guideline. The Task Force on CPG. Philippine Society Otorhinolaryngology – Head and Neck

Surgery 1997; 16-20.

17. Soetjipto D, Bunnag C, Fooanant T, Passali D, Clement PAR, Gendeh BS, Vicente G (Working

Group). Management of Rhinosinusitis For The Developing Countries. Presented in The Seminar

on Standard ORL Management in Developing Countries, Bangkok, 29 January 2000.

18. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Retno SW, Umar SD, Nizar NW. A Comparative Study of

Levofloxacin and Amoxicillin/Clavulanic Acid for the Treatmen of Acute and Subacute Bacteriil

Rhinosinusitis. Presented at the 6th

Western Pacific Congress of Chemotherapy and Infectious

Disease. WESPAC 98, Malaysia 29th

November – 3rd

December 1998.

19. Drake-Lee A. The Pathogenesis of Nasal Polyps. In Settipane GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M

eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment. Providence: Oceanside

Publication; 1997:57-64.

20. Pawankar R. Nasal Polyposis: A Multifactorial Disease. In: Proceeding of World Allergy Forum

Symposia: Non Allergic Rhinitis and Polyposis. Sydney Australia: 2000 Oct. 17.

21. Woolford T. The Aetiology of Nasal Polyps: An On-going Mystery. ENT News 2002; 11(5):59-61

22. Jareoncharsri P. Pathogenesis of Nasal Polyps: In Bunnag C, Muntarbhorn K eds. Asian

Rhinological Practise. Bangkok, 1997:54-63.

23. Tos M, Larsen PL. Nasal Polyps: Origin, Etiology, Pathogenesis and Structure. In: Kennedy DW,

Bolger WE, Zienriech SJ eds. Diseases of the Sinuses: Diagnosis and Management. Ontario, BC

Decker Inc: 2001:57-68.

24. Larsen PL, Tos M. Origin and Structure of Nasal Polyps. In: Mygind N, Lildholdt T. Nasal

Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaarrd: 1997:120-36.

Page 50: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 50 /52

25. Stammberger H. Examination and Endoscopy of The Nose and Paranasal Sinuses. In: Mygind N,

Lildholdt T. Nasal Polyposis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen:

Munksgaard; 1997:120-36

26. Mackay IS, Lund VJ. Imaging and Staging. In: Mygind N. Lildholt T. Nasal Polyposis: An

Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen: Munksgaard; 1997:137-44.

27. Stammberger H. Rhinoscopic Surgery. In: Settipane GA, Lund VJ, Berstein JM, Tos M eds. Nasal

Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment, Providence: Oceanside Publication; 1997:

165-76.

28. Stammberger H. Functional Endoscopic Sinus Surgery, Philadelphia: BC Decker; 1991.

29. Naclerio RM, Mackay IS. Guidelines for the Management of Nasal Polyposis. In: Mygind N,

Lildholt T. Nasal Polypsis: An Inflammatory Disease and Its Treatment. Copenhagen:

Munksgaard; 1997: 177-80.

30. Mygind N, Lildholt T. Medical Management. In: Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M

eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication:

1977: 147-55.

31. Lund VJ. Surgical Treatment – Nasal Polyps: In Settipaned GA, Lund VJ, Bernstein JM, Tos M

eds. Nasal Polyps: Epidemiology, Pathogenesis and Treatment Providence: Oceanside Publication:

1977: 157-63.

32. Roezin A, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Dalam: Soepardi E, Iskandar N, eds. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-5. Jakarta: BP FK UI, 2003:143.

33. Hosemann W. Role of Endoscopic Surgery in Tumor. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ.

Diseases of The Sinuses, Diagnosis and Management, London: Hamilton; 2001.

34. Iriani AH, Widiantoro R, Arfandy RB. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Tanpa

Tampon. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga

Hidung Tenggorok Indonesia (Perhati), Batu Malang: 1996.

35. Slack R, Bates G. Functional Endoscopic Sinus Surgery. Am Fam Phys, 1998:

36. Kennedy DW. Functional Endoscopic Sinus Surgery: Concepts, Surgical, Indication and

Instrumentation. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the Sinuses,

Diagnosis and Management. London: Hamilton;2001

37. Schlosser RJ, Kountakis S, Gross CW. Postoperative Management of Endoscopic Sinus Surgery.

Curr Opin in Otol Head Neck Surg, 2002; 10: 36-9.

38. Neurman, Thomas R, Turner, William J. Complications of Endoscopic Sinus Surgery, Ear Nose

Throat J, 1994; 73(8):

39. Lanza DC, Kennedy DW. Endoscopic Sinus Surgery. Dept of Otolaryngology, The Cleveland

Clinic Foundation, Cleveland, Ohio

40. Hutagaol R. Prevalens Rinosinusitis Maksila Akut Pada Anak Dengan Infeksi Saluran Napas di

Bagian THT dan Ilmu Kesehatan Anak, RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo, Skripsi Akhir

Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT, Jakarta; FKUI, 2000.

41. American Academy of Pediatric. Clinical Practise Guidelines for The Management of

Rhinosinusitis . London; Microwatch Meditech Media Limited, 2002:

42. Herbert Rl, Bent JP. Meta-Analysis of Outcomes of Pediatric Functional Endoscopic Sinus

Surgery, Laryngoscopie, 1998;108(6): 796-9.

43. Welner……

44. Bhattacharrya N. Symptoms Outcomes After Endoscopic Sinus Surgery for Chronic

Rhinosinusitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 130:329-33.

45. Damm M, Quante G, Jungehuelsing M, Stennert E. Impact of Functional Endoscopic Sinus

Surgery on Symptoms and Quality of Life in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope, 2002;

112:310-5.

46. Ray NF, Baraniuk JN, Thamer M, Rinehart CS, Gergen PJ, Kaliner M. Healthcare Expenditures

for SInusisit in 1996: Contributions on Asthma, Rhinitis, and Other Airway Disorders. J Allergy

Clin Immun 1999;103:408-14.

47. Glicklich RE, Metson R. Economic Implications of Chronic Sinusitis. Otolaryngol Head Neck

Surg, 1998;118:344-9.

48. Bhattacharrya T, Piccirillo J, Wippold JF. Relationship Between Patient Based Description of

Sinusitis and Paranasal Sinus Computed Tomographics Findings. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg, 1997;123:1189-92.

Page 51: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 51 /52

49. Bradley DT, Kountakis SE. Correlation Between Computed Tomography Scores and

Symptomatic Improvement After Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2005; 115: 466-9.

50. Stewart MG, Johnson RF, Chronic Sinusitis: Symptoms versus CT Scan Findings. Curr Opin

Otolaryngol Head Neck Surg, 2004; 12: 27-9.

51. Pryor SG, Moore Ej, Kasperbauer Jl. Endoscopic versus Traditional Approaches For Excition of

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Laryngoscope,2005; 115:1201-7.

52. Wormald PJ, Ooi E, van Hasselt A, Nair S. Endoscopic Removal of Sinonasal Inverted Papilloma

Including Endoscopic Medial Maxillectomy. Laryngoscope, 2003;113:867-73.

53. Ramadan HH. Surgical Management of Chronic Sinusitis in Children. Laryngoscope,

2004;114(2):2102-9.

54. Ramadan HH. Relation of Age to Outcome After Endoscopic Sinus Surgery in Children. Arch

Otolaryngol Head Neck Surg, 2003;129:175-7.

55. Eberhart LHJ, Folz BJ, Wulf H, Geldner G. Intravenous Anesthesia Provides Optimal Surgical

Conditions During Microscopic and Endoscopic Sinus Surgery. Laryngoscope, 2003;113:1369-73.

Page 52: Functional Endoscopic Sinus Surgery Di Indonesia

HTA Indonesia_2006_Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia_hlm 52 /52

PANEL AHLI Dr. Damayanti S, Sp.THT PP PERHATI, Jakarta Dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Dr. Endang Mangunkusumo, Sp.THT Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Dr. Rusdian Utama, Sp.THT Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Dr.Retno S.Wardani, Sp.THT Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Dr. Vika Aryan Sari, Sp.THT Departemen Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo Dr. Delfitri Munir, S.THT PERHATI Medan Dr.Yan Edward, Sp.THT PERHATI Padang Dr. Boy Arfandi Sp.THT PERHATI Makasar Dr. Suharyanto, Sp.THT PERHATI Malang Dr. Triece Harieti, Sp.THT PERHATI Semarang Dr.Nugroho Sudarsono, Sp.THT PERHATI Surabaya TIM TEKNIS Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Anggota : Dr. Santoso Soeroso, Sp.A(K), MARS Dr. Suginarti, M.Kes Dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Dr. Rita Andriyani Dr. Cahyani Gita Ambarsari