gambaran kelistrikan jantung anak babi (sus scrofa) … · penelitian adalah “gambaran...

34
GAMBARAN KELISTRIKAN JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa) PADA KONDISI RENJATAN DENGAN RESUSITASI HIPERVOLEMIK MENGGUNAKAN CAIRAN KRISTALOID (NaCl 0.9%) GALIH SATRIA KUSUMANTO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018

Upload: phungbao

Post on 03-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GAMBARAN KELISTRIKAN JANTUNG ANAK BABI (Sus

scrofa) PADA KONDISI RENJATAN DENGAN RESUSITASI HIPERVOLEMIK MENGGUNAKAN CAIRAN KRISTALOID

(NaCl 0.9%)

GALIH SATRIA KUSUMANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2018

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Kelistrikan Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Pada Kondisi Renjatan dengan Resusitasi Hipervolemik menggunakan Cairan Kristaloid (NaCl 0.9%) adalah benar karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Agustus 2018

Galih Satria Kusumanto NIM B04140135

ABSTRAK

GALIH SATRIA KUSUMANTO. Gambaran Kelistrikan Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Pada Kondisi Renjatan dengan Resusitasi Hipervolemik menggunakan Cairan Kristaloid (NaCl 0.9%). Di bawah bimbingan SOESATYORATIH dan GUNANTI.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dari resusitasi dan kondisi hipervolemik terhadap sistem kelistrikan jantung Sus scrofa yang telah mengalami renjatan. Bahan yang digunakan adalah 5 ekor anak babi (Sus scrofa) dengan jenis kelamin jantan kastrasi dalam keadaan klinis sehat. Anak babi diberi tindakan operatif berupa pengeluaran darah untuk membuat kondisi renjatan hipovolemik hingga mean arterial pressure turun sekitar 20 % dari keadaan baseline. Saat renjatan terjadi, dilakukan resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid (NaCl 0.9 %) sejumlah 40 ml/KgBB menggunakan syringe 50 ml melalui vena jugularis. Pemeriksaan EKG dilakukan sebelum tindakan bedah dan setelah resusitasi cairan hingga kondisi hipervolemik. Hasil EKG mengindikasikan tidak adanya perubahan nyata pada kinerja jantung karena tidak adanya perubahan bentuk gelombang EKG dari bentuk gelombang pada saat kondisi normal. Hal ini memberi kesimpulan resusitasi cairan kristaloid (NaCl 0.9 %) hingga kondisi hipervolemik tidak mengganggu kinerja jantung. Kata kunci : elektrokardiografi, hipervolemik, kristaloid (NaCl 0.9 %), renjatan

ABSTRACT

GALIH SATRIA KUSUMANTO. Representation of Piglet’s (Sus scrofa) Heart Electricity on the Shock Condition with Hypervolemic Resuscitation using Crystalloid fluid (NaCl 0.9%). Under Supervision of SOESATYORATIH and GUNANTI. This study aimed to determine the effect of resuscitation and hypervolemic conditions on shocked piglet's heart electrical system. Animal models that were used in this study are 5 healthy castrated piglets. The piglet’s blood were withdrawn until the mean arterial pressure dropped about 20 % from the baseline condition to make a hypovolemic shock condition. When the piglets reached the hypovolemic shock state, fluid resuscitation using crystalloid (NaCl 0.9 %) as much as 40 ml/kg were given using a 50 ml syringe through the jugular vein. ECG examination were performed before surgery and when it reached the hypervolemic state after being resuscitated. The ECG results indicate no apparent change in cardiac performance due to the absence of ECG waveform changes from waveforms during normal conditions. In conclusion, crystalloid fluid resuscitation (NaCl 0.9 %) until hypervolemic condition does not interfere with cardiac performance. Keywords : Crystalloid (NaCl 0.9 %), Electrocardiograph, Hypervolemic, Shock.

GAMBARAN KELISTRIKAN JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa) PADA KONDISI RENJATAN DENGAN RESUSITASI

HIPERVOLEMIK MENGGUNAKAN CAIRAN KRISTALOID (NaCl 0.9%)

GALIH SATRIA KUSUMANTO

Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan Pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2018

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyusun skripsi ini. Judul yang dipilih dalam penelitian adalah “Gambaran Kelistrikan Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Pada Kondisi Renjatan dengan Resusitasi Hipervolemik menggunakan Cairan Kristaloid (NaCl 0.9%)”. Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bimbingan dan arahan serta dukungan turut membantu agar penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil yang baik. Penulis ucapkan terima kasih kepada Drh. RR Soesatyoratih, MSi. selaku Pembimbing I, Dr. Drh. Gunanti, MS. selaku pembimbing II, Drh. Dwi Utari Rahmiati, MSi. selaku pengarah Penulis dalam menyelesaikan skripsi dan memberi dukungan moral, serta Najma Hayati, Nadya Violetha, Fitri Noraini, Mahardhiko widodo, Ang guang min dan Lee Perng yang sudah berjuang bersama dalam penelitian kali ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah (Agus Yulianto), Ibu (Drh. Sri Bintang), Kakak (dr. Dendri Kusuma dan Lely Kusuma) dan Adik (Rosalinda Dyah) atas segala doa yang dipanjatkan dan dukungan kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Tidak lupa juga terima kasih kepada saudari Ainul Khadija yang selalu menemani Penulis dalam penulisan skripsi, teman-teman angkatan 51 yang selalu bertanya kapan Penulis menyelesaikan skripsi sehingga Penulis terpacu untuk menyelesaikan skripsi dengan sebaik-baiknya, Keluarga Fakin dan teman-teman US Army yang selalu menyemangati Penulis. Semoga Penulis dapat menghasilkan dan memberikan sesuatu yang bermanfaat khususnya bagi Penulis dan Pembaca.

Bogor, Agustus 2018

Galih Satria Kusumanto

xi

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR TABEL xii DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2 Elektrokardiograf (EKG) 2 Renjatan dan Resusitasi Cairan 3 Hipervolemik 4 Babi sebagai Hewan Model 4 Cairan Kristaloid 5

METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat 5 Bahan 5 Alat 6 Prosedur Penelitian 6

Aklimatisasi Hewan 6 Pemasangan PiCCO 6 Pembuatan Shock Hipovolemik 7 Resusitasi Cairan Kristaloid Hipervolemik 7 Pengambilan Data 7 Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Durasi P 8 Amplitudo P 9 Interval PR 9 Amplitudo R 10 Interval QRS 11 Interval QT 11 Segmen ST 12 Gelombang T 13 Pembahasan Umum 14

SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16 Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16 RIWAYAT HIDUP 20

xii

DAFTAR GAMBAR

1 Gelombang-gelombang pada EKG 3 2 Babi lokal Indonesia 4 3 Gelombang P 8 4 Interval PR 10 5 Amplitudo R 10 6 Interval QRS 11 7 Interval QT 12 8 Segmen ST 13 9 Gelombang T 13

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata durasi P sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

2 Rata-rata amplitudo P sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

3 Rata-rata interval PR sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

4 Rata-rata amplitudo R sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

5 Rata-rata interval QRS sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

6 Rata-rata interval QT sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

7 Rata-rata segmen ST sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

8 Rata-rata gelombang T sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

8 9 9 10 11 12 12 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sertifikat Persetujuan Etik Hewan 19

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kecelakaan lalu lintas pada tahun 2016 naik 7,23 % dibanding tahun sebelumnya dan mengakibatkan 170 293 korban (BPS 2016). Menurut WHO (2007), cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan terjadinya 5 juta kematian di seluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma yang mengalami renjatan hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 6 %. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang mengalami renjatan hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 36 %.

Renjatan hipovolemik diartikan sebagai penurunan perfusi ataupun oksigenasi jaringan yang disertai dengan kolaps sirkulasi yang disebabkan adanya kehilangan volume intravaskular secara akut akibat segala keadaan bedah ataupun medis (Greenberg 2005). Kejadian renjatan hipovolemik sering terjadi saat pembedahan karena kehilangan darah, kehilangan plasma, serta kehilangan cairan interstisial (Sudoyo et al. 2009).

Penanganan kasus renjatan pada berbagai penelitian dilakukan dengan terapi cairan. Penanganan renjatan dengan cairan disebut resusitasi cairan. Resusitasi cairan ditujukan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang secara akut pada tubuh, penggantian secara cepat cairan intravaskuler dan untuk memperbaiki perfusi jaringan yang ada (Graber 2003). Penanganan kasus renjatan dengan metode terapi cairan juga sudah menjadi Standart Operational Procedure (SOP) di berbagai rumah sakit (Guyton dan Hall 2014). Terapi cairan dapat dilakukan dengan memasukkan cairan koloid ataupun kristaloid secara intravena. Cairan kristaloid merupakan cairan yang karakteristiknya hampir menyerupai cairan ekstraseluler sehingga cairan ini lebih banyak menyebar ke interstisial (Perdatin 2000). Namun resusitasi dengan cairan kristaloid dalam jumlah besar sering dihubungkan dengan kejadian edema jaringan, peningkatan kejadian Abdominal compartment syndrome (Madigan et al. 2008) dan Hyperchloremic metabolic acidosis (Handy dan Soni 2008).

Aktivitas listrik jantung merupakan perubahan permeabilitas membran sel, yang menyebabkan terjadinya pergerakan ion keluar-masuk melalui saluran ion khusus pada membran sel. Saat potensial membran terpolarisasi, terjadi distribusi yang tidak seimbang dari ion-ion. Natrium dan klor lebih banyak berkumpul di luar sel, sedangkan Kalium dan anion organik lebih banyak berkumpul di dalam membran sel. Oleh karena itu kelistrikan jantung cukup dipengaruhi oleh kondisi keseimbangan cairan dalam tubuh. Sistem kelistrikan jantung ini dapat diamati menggunakan Elektrokardiograf yang merupakan alat untuk melihat rekaman kelistrikan jantung (Cunningham 2002). Menurut Boswood (2008), penggunaan alat ini dapat mendeteksi adanya kelainan-kelainan irama dan frekuensi jantung, mendeteksi hipertrofi jantung, mendeteksi kelainan metabolism, gangguan elektrolit dan membantu diagnosa gangguan irama jantung.

Resusitasi dalam penelitian kali ini dilakukan sejak hewan mengalami renjatan hingga hewan coba mencapai kondisi normovolemik (seimbang). Kemudian dilanjutkan lagi hingga kondisi hipervolemik (cairan dalam tubuh

2

tinggi). Hal ini mengakibatkan keseimbangan cairan dalam tubuh menjadi tidak seimbang yang kemungkinan berimbas pada aktivitas kelistrikan jantung.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dari resusitasi dan kondisi hipervolemik terhadap sistem kelistrikan jantung Sus scrofa yang telah mengalami renjatan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan adalah mendapatkan informasi tentang pengaruh perlakuan resusitasi hipervolemik setelah hewan mengalami renjatan terhadap keadaan kelistrikan jantung sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pemberian tindakan resusitasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Elektrokardiograf (EKG)

Elektrokardiograf adalah alat yang digunakan untuk merekam aktivitas impuls listrik jantung. Impuls-impuls ini memicu kontraksi dari otot jantung. Bentuk vektor digunakan dalam elektrokardiogram untuk menggambarkan impuls listrik ini. Vektor berupa diagram ini menunjukkan seberapa kuat dan arah dari impuls listrik yang ada (Maben 2013). Berdasarkan saluran pencatatnya, elektrokardiograf dibagi menjadi saluran single, double, ataupun triple (Battaglia 2007).

Elektrokardiograf memiliki katoda yang terbuat dari materi-materi yang memiliki resistensi rendah antara kulit dan permukaan elektroda. Berdasarkan polaritasnya, elektroda dibagi menjadi positif (anoda), negatif (katoda) dan netral. Penggunaan EKG memerlukan gel/salep tambahan yang berguna untuk merendahkan resistensi antara kulit maupun elektroda (Battaglia 2007).

Elektrokardiogram merupakan rerkaman aktivitas kelistrikan jantung yang digunakan untuk diagnosa adanya kelainan pada jantung (Ganong 2002). Pada elektrokardiogram sendiri terdapat gelombang dan interval yang memiliki arti masing-asing. Fase depolarisasi merupakan kondisi dimana terjadi proses penyebaran impuls/sinyal pada jantung. Fase repolarisasi merupakan kondisi dimana otot-otot jantung tidak melakukan aktifitas sementara (istirahat). Fase defleksi merupakan penyebaran proses depolarisasi (Atwood 1996). Gelombang P menggambarkan depolarisasi dari atrium kanan dan kiri. Interval ST menggambarkan repolarisasi ventrikel. Gelombang U menggambarkan kelistrikan mekanik saat diastole dimulai. Interval PR menggambarkan interval waktu dari depolarisasi atrium sampai onset depolarisasi ventrikel. Interval QT

3

menggambarkan durasi depolarisasi dan repolarisasi dari ventrikel. Interval PP menggambarkan kecepatan siklus sinus atau atrium dan interval RR menggambarkan kecepatan siklus ventrikel. Kompleks QRS menggambarkan depolarisasi dari ventrikel kanan dan kiri. Durasi QRS menggambarkan durasi dari depolarisasi ventrikel. (Yanowitz 2016).

Gambar 1 Gelombang-gelombang pada EKG (http://Google.com)

Renjatan dan Resusitasi Cairan

Renjatan atau shock dapat diartikan sebagai keadaan berkurangnya kemampuan pengangkutan oksigen dan unsur gizi ke berbagai jaringan sehingga timbul cedera sel. Awalnya kondisi ini bersifat reversible, namun apabila tetap berlanjut maka kerusakan yang terjadi dapat bersifat irreversible (Isselbacher 1999). Menurut Sudoyo et al. (2009), renjatan dapat diakibatkan oleh adanya kehilangan darah, kehilangan plasma serta kehilangan cairan ekstraseluler. Menurut Hooper dan Armstrong (2018), renjatan mengacu pada perfusi jaringan yang tidak memadai karena ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen jaringan dan kemampuan tubuh untuk memasoknya.

Shock hipovolemik terjadi ketika ada penurunan volume intravaskular ke titik kompromi kardiovaskular (Hooper dan Armstrong 2018). Secara klinis, renjatan hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat. Renjatan ringan adalah kondisi kehilangan 20% volume darah, terjadi vasokonstriksi dan distribusi aliran darah mulai terhambat. Keadaan renjatan sedang, yaitu kehilangan volume darah 20–40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti ginjal, limpa dan pankreas sedangkan pada renjatan berat, yaitu kehilangan volume darah lebih dari 40%, terjadi penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley 2005).

Penanganan kasus renjatan adalah dengan melakukan resusitasi agresif untuk mengganti cairan yang hilang dengan cairan kristaloid dengan volume 3 kali lipat dari estimated blood loss. Dasar pemikiran dari tindakan resusitasi cairan ini dengan volume 3 kali lipat darah yang hilang adalah cairan kristaloid memiliki partikel molekul kecil yang dapat berdifusi keluar dari intravaskuler mengisi interstisial, sehingga dianggap hanya 25% atau mungkin kurang dari 1/3 dari cairan kristaloid yang bertahan di intravaskuler (ACS COT 2008)

4

Hipervolemik

Hipervolemik adalah keadaan saat tubuh mengalami penambahan/kelebihan volume cairan ekstraseluler. Kondisi ini dapat terjadi pada saat adanya stimulasi kronis ginjal untuk menahan kandungan natrium dan air dalam tubuh, fungsi ginjal abnormal dengan penurunan ekskresi natrium dan air, kelebihan pemberian cairan, dan perpindahan cairan dari interstisial ke plasma. Gejala yang mungkin terjadi saat kondisi hipervolemia adalah adanya sesak napas, terjadi peningkatan dan penurunan tekanan darah, terjadi kejadian asites, edema, adanya ronchi (suara pernafasan yang sifatnya kontinu, low pitch dan terdengar saat ekspirasi), kulit lembab, distensi vena leher, hingga irama gallop (Hidayat dan Aziz 2006).

Babi sebagai Hewan Model

Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi adalah hewan ungulata yang bermoncong panjang. Sebagai hewan omnivora, babi memakan daging maupun tumbuh-tumbuhan. Babi merupakan mamalia yang cerdas dan mudah untuk diternakan (Babi…2012).

Babi menjadi bagian penting dalam penelitian biomedis. Babi merupakan model yang sangat baik untuk penyakit kardiovaskular, aterosklerosis, farmakologi kulit, perbaikan luka, kanker, diabetes, studi oftalmologi, dan penelitian toksikologi (Prather et al. 2008)

Terkadang babi digunakan sebagai hewan model manusia pada penelitian yang berhubungan dengan manusia terutama anak-anak karena babi dan manusia memiliki kesamaan anatomi dan fisiologis (Tunggle et al. 2003).

Menurut Swindle dan Alison (2007), Babi diklasifikasikan kedalam:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Suidae Genus : Sus Spesies : scrofa

Gambar 2 Babi lokal Indonesia (http://ternakviterna.blogspot.co.id)

5

Cairan Kristaloid

Cairan infus intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan cairan yang di dalamnya dilarutkan molekul organik kecil dan inorganik (Graber 2003). Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Cairan kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid sehingga kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial (Guyton dan Hall 2014). Kata kristaloid digunakan untuk mendeskripsikan adanya air berisi elektrolit yang dapat melewati membran endothelial pembuluh darah dengan mudah dan diikuti air untuk keseimbangan intravaskular dan ekstravaskular (Lira dan Pinsky 2014).

Kristaloid isotonik terdistribusi 20% di intravaskular dan 80% di ekstravaskular (Nuevo et al. 2013). Dengan adanya redestribusi menyebabkan volume yang tertahan di intravaskular lebih sedikit daripada volume cairan infus yang masuk oleh karena itu cairan kristaloid cenderung lebih menyebabkan edema dibandingkan dengan cairan koloid (Lira dan Pinsky 2014). Menurut Nuevo et al. (2013), efek ekspansi volume kristaloid tergolong singkat karena cepat berpindah dari intravaskular ke interstisial sehingga penggunaan cairan kristaloid untuk menggantikan volume yang hilang dalam jumlah besar dengan cepat dan memulihkan keseimbangan cairan serta tekanan darah dapat dikatakan tidak efektif.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Aklimatisasi dilakukan pada 23 Mei - 7 Juni 2017 di Kandang Hewan Unit

Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Pembedahan dilaksanakan pada tanggal 8–18 Juni 2017 di Laboratorium Bedah Eksperimental, Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, FKH IPB. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang UPHL, FKH IPB.

Bahan Bahan yang digunakan adalah 5 ekor anak babi (Sus scrofa) berumur 6-10

minggu dan bobot badan 10-20 kg dengan jenis kelamin jantan kastrasi. Babi dalam keadaan klinis sehat. Anastetikum yang digunakan adalah Ketamine 10%(Ket-A-100®, Agrovet) dosis 20 mg/kgBB, Xylazine 10% (Ilium Xylazine-100®, Ilium) dosis 2 mg/kgBB,dan anastesi lokal Lidocaine 2% (Lidocaine 2%, Phapros) secara topikal. Resusitasi cairan menggunakan NaCl 0.9% (Ecosol®, B Braun). Aklimatisasi menggunakan anthelmentik (Vermo O®, Oxfendazole Sanbe Bolus) 900 mg/kaplet dengan dosis 1 kaplet/45 kgBB. Antiseptik situs sayatan menggunakan Iodine (Povidone Iodine ®, One Med), alkohol (Alkohol 70%, AMS) dan Oxytetracycline 20% (Vet-Oxy La®, Sanbe) dengan dosis 20 mg/kgBB sebagai

6

antibiotik serta Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) Flunixin Meglumine (Flunixin, Norbrook) dengan dosis 2 mg/kgBB.

Alat

Peralatan yang digunakan adalah, Syringe 1 mL, 3 mL, 5 mL, 10 mL dan 50

mL, alat bedah minor, benang catgut (CatGut Chromic, GEA Medical), benang silk 3/0 dengan needle (Silk Braided, Dr.Sella), timbangan digital, tampon, apron, masker, rubber gloves, hair cap, alat PiCCO, patient monitoring, endotracheal tube 5 mm, laryngoscope, intravena (IV) catether 22G, elektrokardiograf, alat pencukur, micropore dan alat penghitung waktu (stopwatch).

Prosedur Penelitian

Aklimatisasi Hewan

Akimatisasi dilakukan pada 23 Mei-7 Juni 2017 yang bertempat di Kandang Hewan Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama proses aklimatisasi, hewan diberikan pakan 2 kali sehari dan air minum secara ad-libitum serta dilakukan pemberian anthelmintik dengan dosis 1 kaplet / 45 kgBB dan pemberian antibiotik Oxytetracycline 20 % dengan dosis 20 mg/kgBB. Aklimatisasi dilakukan agar hewan beradaptasi dengan lingkungan baru selama penelitian berlangsung. Penelitian ini telah mendapat pensetujuan etik dengan nomor SKEH : 055/KEH/SKE/III2017 Sertifikat Persetujuan Etik Hewan.

Pemasangan PiCCO

PiCCO merupakan akronim dari Pulse Contour Cardiac Output. Alat ini digunakan untuk menilai status hemodinamik sebagai bantuan untuk melakukan terapi cairan. Tahap persiapan pembedahan diawali dengan pembiusan hewan di kandang menggunakan ketamine 10% dengan dosisi 20 mg/kgBB dan xylazine 10% dengan dosis 2 mg/kgBB secara intramuskular pada daerah femoral tepatnya pada m. semimembranosus dan m. semitendinosus. Setelah hewan terbius, hewan dibawa menuju ruang bedah ekperimental untuk ditimbang bobot badannya. Penimbangan ini dilakukan agar memudahkan penghitungan dosis resusitasi.

Tindakan pre-operasi atau preparasi dilakukan setelah penimbangan berupa pembersihan seluruh bagian tubuh hewan coba terutama pencukuran rambut pada daerah telinga, dahi, leher bagian ventral, ekor dan medial kaki belakang, kemudian dibersihkan dengan detergen dan air lalu dikeringkan dan diberikan antiseptik Iodine. Tindakan ini dilakukan untuk memudahkan pemasangan IV chateter maupun pemasangan patient monitoring dan PiCCO. IV chateter ukuran 22G dan three way stop cock dipasangkan pada vena aurikularis di daerah telinga sebagai jalur masuk maintenance obat bius dan hewan dipindahkan ke atas meja operasi.

Hewan diikat dengan tali sebagai handling dan dilakukan pemasangan Endotracheal Tube (ETT) menggunakan alat bantu berupa Laryngoscope.

7

Lidocaine diberikan secara topikal sekitar 1-2 ml pada epiglotis hewan coba dan kemudian dilakukan pemasangan ETT yang dihubungkan dengan selang oksigen dan ventilator. Alat ukur saturasi dipasang pada bagian ekor yang telah dipreparasi terlebih dahulu.

Selanjutnya dipasang patient monitoring dan PiCCO. Pencarian akses PiCCO dilakukan melalui operasi kecil pada daerah ventral leher dan medial paha untuk mencari vena jugularis dan arteri femoralis. Segera setelah akses didapat, catheter PiCCO dipasangkan dan difiksasi dengan benang silk. Setelah terpasang, dilakukan uji coba alat dengan mengatur parameter dan kemudian dilakukan penyuntikan NaCl 0.9 % dingin ke dalam selang PiCCO dan ditunggu hingga pada alat patient monitoring dan PiCCO terbentuk kurva termodilusi untuk mengetahui cardiac output. Setelah kurva muncul, dilanjutnya dengan pengambilan data dan perlakuan. Tindakan maintenance dilakukan dengan pemberian Ketamine 10% dengan dosis 10 mg/kgBB dan Xylazine 10 % dengan dosis 1 mg/kgBB. Pembuatan Renjatan Hipovolemik

Mean Arterial Pressure (MAP) adalah tekanan arteri rata-rata selama satu siklus denyutan jantung yang didapat dari pengukuran tekanan darah systole dan diastole. Keadaan renjatan pada penelitian ini ditandai dengan penurunan MAP sebanyak 20 % dari nilai awal yang ditinjau melalui alat patient monitoring. Penurunan MAP pada prosedur induksi renjatan dilakukan dengan pengeluaran darah melalui vena jugularis menggunakan syringe 50 ml.

Resusitasi Cairan Kristaloid Hipervolemik

Resusitasi cairan dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid NaCl 0.9 % secara IV melalui vena jugularis. Resusitasi normovolemik dilakukan terlebih dahulu setelah tahap renjatan tercapai dengan volume pemberian cairan NaCl 0.9 % sejumlah volume darah yang dikeluarkan saat induksi renjatan. Resusitasi normovlemik ini dilakukan perlahan dengan menggunakan syringe 50 ml. Tahapan selanjutnya adalah resusitasi hipervolemik yang dilakukan dengan memasukkan cairan kristaloid NaCl 0.9 % secara IV sejumlah 40 ml/kgBB menggunakan syringe 50 ml melalui vena jugularis. Pengambilan Data

Perekaman kelistrikan jantung dilakukan dengan elektrokardiograf. Perekaman dilakukan sebelum perlakuan operasi induksi renjatan hipovolemik (kondisi basal) dan setelah perlakuan operasi induksi renjatan hipovolemik (kondisi hipervolemik). Parameter yang diukur berdasarkan skala yang tertera pada kertas elektrokardiogram dengan mengambil variabel berupa durasi P, amplitudo P, interval PR, amplitudo R, Interval QRS, interval QT, segmen ST dan gelombang T. Parameter yang dihitung adalah gelombang yang terekam pada lead 2

8

Analisis Data

Hasil pengukuran data dinyatakan dalam rataan dan standar deviasi

menggunakan SPSS 16 dengan uji T-paired sample dan dengan selang kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Durasi P

Durasi P (Gambar 3) pada elektrokardiogram menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan depolarisasi pada atrium (Widjaja 2009). Pengukuran durasi P dilakukan untuk mengetahui waktu depolarisasi atrium. Pengukuran yang dilakukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) pada sampel babi dalam kondisi Baseline (BB) maupun sampel babi dalam kondisi resusitasi Hipervolemik (HV). Durasi P normal pada babi berumur 2-4 bulan berkisar 0.030-0.060 detik (Dukes dan Szabuniewics 1969). Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rata-rata durasi P sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik

pada hewan coba babi

Waktu pengukuran Durasi P (detik) Baseline (BB) 0.0644 ± 0.0216a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.0696 ± 0.0337a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 3 Gelombang P (http://google.com)

9

Amplitudo P

Amplitudo P pada elektrokardiogram menggambarkan besarnya aktivasi listrik pada atria miokardium sewaktu melakukan depolarisasi. Amplitudo P yang normal selalu berupa defleksi positif (Widjaja 2009). Pengukuran amplitudo P dilakukan untuk mengetahui besarnya depolarisasi pada atrium (Conville dan Bassert 2002). Hasil pengukuran amplitudo P tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata (P>0.05) pada kondisi BB maupun kondisi HV. Menurut Richig dan Sleeper (2014), nilai amplitudo P normal anak babi yaitu 0.1-0.3 mV. Hasil pengukuran amplitudo P menunjukkan tidak ada perubahan pada besarnya depolarisasi atrium. Hasil pengukuran amplitudo P dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata amplitudo P sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada

hewan coba babi

Waktu pengukuran Amplitudo P (mV) Baseline (BB) 0.266 ± 0.0939a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.120 ± 0.0187a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Interval PR Pengukuran interval PR (Gambar 4) dilakukan dengan menghitung durasi

sejak awal mula gelombang P hingga awal kompleks QRS. Interval PR adalah penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul atrio ventrikular (AV) (Widjaja 2009). Nilai normal interval PR pada babi berkisar 0.063 – 0.120 detik (Eckenfels dan Schuler 1988). Nilai interval PR yang diukur masih dalam rentang normal. Hasil pengukuran tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan antara kondisi BB dengan kondisi HV (P>0.05). Hasil pengukuran interval PR dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata interval PR sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada

hewan coba babi

Waktu pengukuran Interval PR (detik) Baseline (BB) 0.1288 ± 0.0118a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.1344 ± 0.0281a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

10

Gambar 4 Interval P-R (http://google.com)

Amplitudo R Amplitudo R (Gambar 5) pada elektrokardiogram menunjukkan fase

depolarisasi ventrikel. Dengan melihat amplitudo R ini dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel dan tanda-tanda bundle branch block (BBB) (Dharma 2009). Menurut Richig dan Sleeper (2014), nilai normal amplitudo R pada anak babi adalah 0.0–1.0 mV. Pengukuran amplitudo R dimulai sejak awal kompleks QRS hingga puncak gelombang R. Hasil pengukuran pada kondisi BB maupun HV tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0.05) dan rata-rata amplitudo R pada sampel BB dan HV juga masih dalam rentang normal. Hasil pengukuran amplitudo R dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rata-rata amplitudo R sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada

hewan coba babi

Waktu pengukuran Amplitudo R (mV) Baseline (BB) 0.472 ± 0.194a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.426 ± 0.177a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 5 Amplitudo R (http://google.com)

11

Interval QRS

Pengukuran interval QRS dilakukan sejak awal gelombang Q hingga akhir gelombang S (Dharma 2009). Interval QRS (Gambar 6) ini menunjukkan jumlah waktu yang dibutuhkan dalam proses depolarisasi ventrikel (Sastradipraja et al. 1989). Pengukuran interval QRS dapat menunjukkan adanya bundle branch block dikarenakan peristiwa ini dapat melebarkan kompleks QRS. Hasil pengukuran tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kondisi BB maupun HV (P>0.05). Interval QRS normal pada babi adalah 0.026–0.046 detik (Eckenfels dan Schuler 1988). Hasil pengukuran interval QRS dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata-rata interval QRS sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada

hewan coba babi

Waktu pengukuran Interval QRS (detik) Baseline (BB) 0.0244 ± 0.0043a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.0256 ± 0.0033a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 6 Interval QRS (http://google.com)

Interval QT Interval QT (Gambar 7) adalah jarak sejak awal gelombang Q hingga akhir

gelombang T. Interval ini menggambarkan aktivitas ventrikel sejak depolarisasi hingga repolarisasi (Dharma 2009). Kelainan yang sering terjadi pada interval QT adalah pemendekan dan pemanjangan. Pemanjangan interval QT sering disebabkan oleh kongenital, induksi obat Quinidin, peningkatan sistem saraf simpatis, dan abnormalitas elektrolit berupa hipokalsemia (Mozkovitz et al. 2013). Sedangkan pemendekan interval QT dapat disebabkan oleh pengaruh obat Digoksin yang dapat memperpendek durasi potensial aksi. Menurut Eckenfels dan Schuler (1988), interval QT normal pada anak babi berkisar 0.183-0.353 detik. Interval QT kondisi BB maupun HV masih dalam rentang normal. Hasil pengukuran interval QT tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kondisi BB maupun kondisi HV (P>0.05). Hasil pengukuran interval QT dapat dilihat pada Tabel 6.

12

Tabel 6 Rata-rata interval QT sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada hewan coba babi

Waktu pengukuran Interval QT (detik) Baseline (BB) 0.327 ± 0.0503a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.343 ± 0.0392a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 7 Interval QT (http://google.com)

Segmen ST Segmen ST (Gambar 8) menunjukkan selang waktu antara depolarisasi

dan repolarisasi ventrikel. Diukur dari akhir periode kompleks QRS hingga mulainya gelombang T, secara normal merupakan garis lurus (isoelektris). Segmen ST dikatakan mengalami kelainan apabila terjadi peningkatan (elevasi) atau penurunan (depresi) segmen ST (Ganong 2002). Elevasi merupakan defleksi positif garis segmen ST dari baseline dan depresi merupakan defleksi negatif garis segmen ST dari baseline (O’Keefe et al. 2008).. Hasil pengukuran segmen ST tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) antara kondisi BB maupun kondisi HV karena segmen ST yang tercatat masih setara garis baseline pengukuran. Hasil pengukuran segmen ST dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rata-rata segmen ST sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik pada

hewan coba babi

Waktu pengukuran Segmen ST (mV) Baseline (BB) 0.114 ± 0.0114a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.092 ± 0.0217a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

13

Gambar 8 Segmen ST (http://google.com)

Gelombang T Gelombang T (Gambar 9) pada elektrokardiogram merupakan gelombang

repolarisasi otot ventrikel. Dalam keadaan normal gelombang T agak asimetris dan melengkung ke atas. Pembesaran gelombang T menunjukkan terjadinya abnormalitas konduksi intraventrikular, ischemic atau infark dan kelainan elektrolit beripa hiperkalemia. Gelombang T terjadi sesaat sebelum akhir dari kontraksi ventrikel (Ganong 2002). Secara normal gelombang T pada anak babi dapat berbentuk positif dan negatif (Richig dan Sleeper 2014). Hasil pengukuran gelombang T tidak menunjukkan perbedaan nyata antara kondisi BB maupun HV (P>0.05). Hasil pengukuran gelombang T dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Rata-rata gelombang T sebelum dan sesudah resusitasi hipervolemik

pada hewan coba babi

Waktu pengukuran Gelombang T (mV) Baseline (BB) 0.550 ± 0.1658a

Setelah Resusitasi Hipervolemik (HV) 0.542 ± 0.0776a

Keterangan : Huruf superscript (a,b) yang berbeda menyatakan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Gambar 9 Gelombang T (http://google.com)

14

Pembahasan Umum

Hasil pengukuran rata-rata durasi P pada kondisi baseline (BB) sebesar 0.0644 ± 0.0216 detik dan pada kondisi hipervolemik (HV) meningkat menjadi 0.0696 ± 0.0337 detik. Tidak terdapat perbedaan nyata antara kondisi BB maupun kondisi HV. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh dari resusitasi hingga kondisi hipervolemik terhadap durasi P. Durasi P normal pada babi berumur 2-4 bulan berkisar antara 0.030-0.060 detik (Dukes dan Szabuniewics 1969). Pengukuran durasi P dalam kondisi BB maupun HV juga dalam rentang normal.

Pengukuran amplitudo P pada kondisi BB sebesar 0.266 ± 0.0939 mV dan pada kondisi HV sebesai 0.120 ± 0.0187 mV. Pengukuran pada amplitudo P tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata antara amplitudo P kondisi BB maupun amplitudo P kondisi HV. Tidak adanya perbedaan nyata menunjukkan bahwa resusitasi hingga kondisi HV ini tidak memberikan pengaruh terhadap amplitudo P. Menurut Richig dan Sleeper (2014), nilai amplitudo P normal anak babi yaitu 0.1-0.3 mV, sehingga hasil pengukuran menunjukkan amplitudo P masih dalam rentang normal.

Interval PR adalah penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul atrio ventrikular (AV) (Widjaja 2009). Interval PR yang kurang dari normal menandakan adanya bypass tract ataupun Wolff-Parkinson-Syndrome yang digambarkan dengan interval PR yang pendek dan adanya delta wave (preeksitasi) sedangkan interval PR yang memanjang terjadi pada kejadian blok AV derajat I (Maharani et al. 2018). Hasil pengukuran menunjukkan interval PR pada kondisi BB sebesar 0.1288 ± 0.0118 detik dan pada kondisi HV 0.1344 ± 0.0281 detik. Tidak ada perbedaan nyata antara kondisi BB maupun kondisi HV. Hal ini menunjukkan resusitasi hingga kondisi hipervolemik tidak menyebabkan adanya pemendekan atau pemanjangan interval PR. Nilai normal interval PR pada babi berkisar 0.063 – 0.120 detik (Eckenfels dan Schuler 1988). Hasil pengukuran menunjukkan interval PR masih dalam rentang normal.

Amplitudo R pada elektrokardiogram menunjukkan amplitudo R kondisi BB sebesar 0.472 ± 0.194 mV dan pada kondisi HV sebesar 0.426 ± 0.177 mV. Tidak ada perbedaan nyata antara hasil pengukuran kondisi BB dan HV. Hal ini menunjukkan tidak adanya perubahan nyata yang ditimbulkan resusitasi hingga kondisi hipervolemik ini terhadap amplitudo R. Menurut Richig dan Sleeper (2014), nilai normal amplitudo R pada anak babi adalah 0.0–1.0 mV. Hasil pengukuran menunjukkan amplitudo R masih dalam rentang normal.

Interval QRS pada kondisi BB memiliki durasi selama 0.0244±0.0043 detik dan pada kondisi HV 0.0256 ± 0.0033 detik. Hasil pengukuran menunjukkan tidak ditemukan adanya perbedaan nyata antara kondisi BB dan HV. Hal ini menunjukkan bahwa resusitasi hingga kondisi hipervolemik tidak memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam proses depolarisasi ventrikel sehingga tidak terjadi perubahan nyata antara kondisi BB maupun HV. Interval QRS normal pada babi adalah 0.026–0.046 detik (Eckenfels dan Schuler 1988). Hasil pengukuran menunjukkan interval QRS masih dalam rentang normal

Interval QT pada perekaman elektrokardiogram menunjukkan hasil pada sampel BB interval QT memiliki durasi 0.327±0.0503 detik dan pada sampel HV 0.343 ± 0.0392 detik. Hasil pengukuran menunjukkan interval QT kondisi BB

15

maupun HV masih dalam rentang normal. Menurut Eckenfels dan Schuler (1988), interval QT normal pada anak babi berkisar 0.183-0.353 detik. Pengukuran yang menghasilkan tidak adanya perbedaan nyata antara kondisi BB dan HV ini menunjukkan bahwa resusitasi hipervolemik tidak memengaruhi interval QT.

Hasil pengukuran segmen ST pada kondisi BB sebesar 0.114 ± 0.0114 mV dan pada kondisi HV menjadi 0.092 ± 0.0217 mV. Perbedaan nyata tidak ditemukan antara hasil pengukuran kondisi BB dan hasil pengukuran kondisi HV. Tidak ditemukan adanya elevasi ataupun depresi pada segmen ST karena segmen ST tetap setara dengan garis baseline pengukuran. Hal ini menunjukkan resusitasi yang dilakukan tidak berpengaruh segmen ST dengan tidak menyebabkan adanya elevasi ataupun depresi pada segmen ST.

Pengukuran gelombang T menunjukkan gelombang T pada kondisi BB sebesar 0.550 ± 0.1658 mV sedangkan pada kondisi HV memiliki gelombang T sebesar 0.542 ± 0.0776 mV. Antara kondisi BB dan kondisi HV tidak ditemukan adanya perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan resusitasi hingga kondisi hipervolemik tidak memengaruhi besarnya gelombang repolarisasi pada otot ventrikel.

Seluruh hasil pengukuran pada sampel BB dan HV tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara hasil pada sampel BB dan sampel HV. Tanpa adanya perbedaan nyata antara sampel BB dan HV ini menunjukkan bahwa resusitasi hingga kondisi hipervolemik ini tidak memberikan pengaruh yang berarti kepada sistem kelistrikan jantung. Resusitasi hingga kondisi hipervolemik ini tidak berpengaruh nyata diduga karena kondisi renjatan hipovolemik belum tercapai karena volume darah yang keluar belum cukup banyak untuk menimbulkan kondisi renajatan.

Renjatan hipovolemik pada model hemoragik penelitian kali ini dilakukan dengan mengambil darah hingga terjadi penurunan mean arterial pressure (MAP) sebesar 20% dari keadaan MAP awal. Banyak cara dalam menginduksi shock pada babi. Menurut Swindle dan Alison (2007), salah satu cara membuat babi dalam keadaan renjatan adalah dengan mengambil darah sebanyak 40-60% dari volume total darah dalam 15, 30, 100 dan 120 menit. Sedangkan menurut Hannon (1992), pembuatan kondisi renjatan pada babi dapat dilakukan dengan menarik darah sebanyak 7.5 ml/kg hingga 37.5 ml/kg yang dikeluarkan dalam 5 interval waktu dalam 60 menit. Prosedur pembuatan kondisi renjatan pada penelitian berfokus pada penurunan MAP tanpa melihat volume. Keadaan ini memungkinkan sampel tidak mencapai tahap renjatan yang berat atau bahkan tidak mencapai tahap renjatan sehingga saat dilakukan resusitasi cairan hingga kondisi hipervolemik, cairan yang masuk masih bisa diproses secara normal oleh tubuh hewan coba sehingga tidak berdampak terhadap sistem kelistrikan jantung.

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tidak adanya perbedaan nyata durasi P, amplitudo P, interval PR, amplitudo R, Interval QRS, interval QT, segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiogram antara kondisi baseline dan kondisi hipervolemik menunjukkan resusitasi hingga kondisi hipervolemik tidak memengaruhi kondisi kelistrikan jantung.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengkondisian renjatan dengan berbasis volume untuk mengetahui pengaruh resusitasi hipervolemik terhadap tubuh yang benar-benar mengalami renjatan dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui batas aman volume dalam resusitasi hipervolemik. Penggunaan cairan kristaloid lain seperti ringer laktat sebagai cairan untuk resusitasi cairan juga perlu diteliti untuk mengetahui tingkat keefektifannya.

DAFTAR PUSTAKA

[ACS COT] American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Shock. In: Advanced Trauma Life Support for Doctors (Student Course Manual) Edisi 8. USA (US): American College of Surgeons.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Transportasi Darat. Jakarta (ID) : BPS [Perdatin] Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Indonesia. 2000. Buku Pegangan Pelatihan Bantuan hidup Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut bagi Dokter Umum se-Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar (ID): Perdatin cabang Sulawesi Selatan.

[WHO] World Health Organization. 2007. Maternal mortality in 2005. Jenewa (SW): WHO.

Atwood S. 1996. Pengenalan Dasar Disritmia Jantung. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Press.

Babi. 2012. Babi [internet]. [diakses berkala pada 2017 November 03]. Tersedia pada http://id.wikipedia.org.

Battaglia AM. 2007. Small Animal Emergency and Critical Care for Veterinary Technicians Edisi 2. Philadelpia (US): Saunders Elsevier.

Boswood A. 2008. Fisiologi dan Patofisiologi Jantung. London(UK): Royal Collage University of London.

Conville T, Bassert J. 2002. Clinical Anatomy and Physiology. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Phisiology Edisi 3. Philadelphia (US): WB Saunder Co.

Dharma S. 2009. Pedoman Praktis: Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta (ID):

17

Penerbit buku kedokteran EGC. Dukes TW, Szabuniewicz M. 1969. The electrocardiogram of conventional

and miniature swine (Sus scrofa). Can J comp Med. 33: 119-127. Eckenfels A, Schuler S. 1988. The normal electrocardiogram of miniature swine.

Arzneimittelforschung. 38(2):253-9. Ganong WF. 2002. FisiologiKedokteran Ed ke-20. Jakarta (ID): EGC. Graber MA. 2003. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta (ID):

Farmedia. Greenberg MI. 2005. Hypovolemic Shock. In: Greenberg's Text Atlas of Emergency

Medicine. Philadelphia (US): Lippicott Williams & Willkins. Guyton AC, Hall JE. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta(ID):

EGC Handy JM, Soni N. 2008. Physiological effects of hyperchloraemia and acidosis.

Br J Anaesth. 101(2):141–150 Hannon JP. 1992. Hemorrhage and hemorrhagic shock in swine: a review, in

Swindle MM : Swine as Models in Biomedical Research. Iowa (US): Iowa State University Press, pp 197-245.

Hidayat, Aziz A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia 2. Jakarta(ID): Salemba Medika.

Hooper N, Armstrong TJ. 2018. Shock, Hemorrhagic. Tennessee (US) : Statpearls Publishing LLC.

Isselbacher. 1999. Prinsip- prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta (ID): EGC Kelley DM. 2005. Hypovolemic Shock: An Overview. Crit Care Nurs Q. 28(1): 2-

19. Lira A dan Pinsky MR. 2014. Choices in Fluid Type and Volume During

Resuscitation : Impact on Patient Outcomes. Ann Intensive Care. 4:38. Maben EVS. 2013. Learn ECG in a Day. New Delhi (IN): Jaypee Brothers Medical

P (LTD). Madigan MC, Kemp CD, Johnson JC, Cotton BA. 2008. Secondary abdominal

compartment syndrome after severe extremity injury: are early, aggressive fluid resuscitation strategies to blame?. J Trauma. 64(2): 280-285.

Maharani E, Irawan B, Setianto BY, Dinarti LK, Hariawan H, Taufiq N, Arso IA, Mumpuni H, Ismail MT, Bagaswoto HP et al.. 2018. Elektrokardiografi : Konsep Dasar dan Praktik Klinik. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Mozkovitz JB, Bryan DH, Joseph PM, Amal M, William JD. 2013. Electrocardiographic implications of the prolonged QT Interval. Am J Emerg Med. 31: 866-871

Nuevo FR, Vennari M, Agro FE. 2013. Body Fluid Management. Milan (IT): Springer.

O’Keefe JH, Hammill SC, Freed MS, Pogwidz SM. 2008. The Complete Guide to ECG’s a Comperhensive Study Huide to Improve ECG Interpretation Skills edisi ke-3. Michigan (US) : Physicians Press.

Prather RS, Shen M, Dai Y. 2008. Genetically modified pigs for medicine and agriculture. Biotechnol Genet Eng Rev. 25:245‒266.

Richig JW, Sleeper MM. 2014. Electrocardiography of Laboratory Animals. San Diego (US): Elsevier.

Sastradipraja D, Sri HSS, Reviany W, Tonny U, Achmad M, Hamdani N, Regina

18

S, Razak H. 1989. Fisiologi Veteriner. Bogor (ID): IPB. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid II edisi 5. Jakarta(ID): Interna Publishing. Swindle MM, Alison. 2007. Swine in the Laboratory: Surgery, Anasthesia,

Imaging, and Experimental Techniques. Edisi 2. New York (US) : CRC Press.

Tunggle CK, S Malchenko, R Woods, Whitworth, JA Green, R Prather, CJ Fitzsimmons, CA Roberts, T Casavant, MB Soares. 2003. 19 Development of New Placental dan Fetal Expressed Sequence Tags (EST) for GeneiDiscovery in Pig Reproduction.[internet].[Diunduh pada 2017 November 03]. Tersedia pada www.extension.iastate.edu.

Widjaja S. 2009. EKG Praktis. Jakarta (ID) : Binarupa Aksara Yanowitz FG. 2016. Inroduction to ECG Interpretation v9.0.Utah (US):

Intermountain healthcare

19

Lampiran 1 Sertifikat Persetujuan Etik Hewan

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 13 April 1997 dari Ayah yang bernama Agus Yulianto dan Ibu yang bernama Sri Bintang Kusumowinahyu. Penulis pernah bersekolah di SDN 05 Pagi Pejaten Barat, SMPN 41 Jakarta, lulus dari SMAN 3 Jakarta tahun 2014 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalu jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis bergabung dalam beberapa organisasi. Adapun organisasi yang diikuti yaitu Himpunan Mahasiswa Profesi Satwaliar sebagai Kepala Divisi Internal(2016-2017). Penulis juga mengikuti magang profesi yang diadakan oleh beberapa Himpunan Mahasiswa Profesi FKH IPB dan mengikuti berbagai kegiatan kampus FKH IPB.