garapan finished
TRANSCRIPT
PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PEMBANGUNAN
JEMBATAN SURAMADU(Studi Penelitian Pada Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Surabaya)
Disusun Oleh:
NURUL YAQIN (105030107111066)
IKHWAN ALFIKRI (105030101111115)
KARUNIAWAN ANDRE E (105030100111120)
M. ICHSAN SAPUTRA (105030100111130)
ADITYA DIMAS (105030103111042)
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Gambaran Umum PPP
2.2 Bentuk-bentuk KPS
2.3 Tinjauan Singkat Proses Pengembangan dan Pelaksanaan KPS
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.2 Fokus Penelitian
3.3 Lokasi dan Situs Penelitian
3.4 Jenis dan Sumber Data
3.5 Teknik Pengumpulan Data
3.6 Instrumen Penelitian
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Pembangunan Suramadu
4.2 Analisis Stakeholder
4.3 Proses Pembangunan Suramadu Hingga Pemeliharaan
4.3.1 Proses Pembangunan
4.3.2 Aspek Financing
4.3.3 Operasional
4.3.4 Maintenance
4.3.5 Keselamatan Struktur & Monitoring Jembatan
4.4 Analisis Dampak Sosial dan Pengembangan Wilayah Suramadu
BAB V PENUTUPAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerjasama pemerintah swasta mulai banyak diterapkan di Indonesia. Kerjasama
pemerintah swasta atau yang lebih dikenal dengan istilah Public Private Partnership (PPP)
merupakan upaya Pemerintah/ lembaga milik Pemerintah untuk mengalihkan dari peran
sebagai pemilik dan pelaksana pemanfaatan aset negara kepada pihak swasta yang akan
memanfaatkan dan memberi layanan. Melalui perjanjian ini, sektor pemerintah dan swasta
memberikan keterampilan dan aset masing-masing dalam memberikan layanan atau
fasilitas untuk penggunaan masyarakat umum.
Penerapan PPP dilatarbelakangi oleh masalah pendanaan oleh pemerintah.
Dengan adanya PPP diharapkan pembangunan dapat terus berjalan dengan tidak
membebani pendanaan pemerintah yang semakin terbatas sehingga pemerintah bisa lebih
berkonsentrasi ke sektor lainnya. Dalam PPP pemerintah dapat mendayagunakan aset
yang dimilikinya dengan keterampilan pihak swasta yang diharapkan mempunyai
kemampuan pengolahan yang lebih baik. Dalam hal ini pemerintah dapat pula ikut
meningkatkan kemampuan manajerial dan sumber daya manusianya melalui kerjasama
PPP.
Adapun aturan mengenai PPP terdapat pada Perpres 67 Tahun 2005. Dalam
Perpres tersebut dinyatakan bahwa pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan
prinsip: adil, terbuka, transparan, dan bersaing (competition). Dengan adanya pengadaan
yang mengedepankan transparency and competition, manfaat yang dapat diraih adalah:
a. Terjaminnya mendapatkan harga pasar yang terendah (lowest market prices).
b. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP.
c. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa
sovereign guarantees (jaminan pemerintah).
d. Mengurangi risiko kegagalan proyek.
e. Dapat membantu tertariknya bidders (penawar) yang sangat berpengalaman dan
berkualitas tinggi.
f. Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam Perpres yang sama juga dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPP adalah
untuk:
1. Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan
dana swasta.
2. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat.
3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur serta.
4. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima,
atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Terdapat juga pertimbangan atau alasan-alasan perlunya memperkuat kemitraan
atau kerjasama pemerintah dengan pihak swasta, paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi
yaitu :
1. Alasan politik, yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis serta
mendorong perwujudan good governance dan good society.
2. Alasan administratif, yaitu karena adanya keterbatasan sumber daya pemerintah,
baik dalam hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen
3. Alasan ekonomis, yaitu untuk mengurangi kesenjangan atau ketimpangan,
memacu pertumbuhan dan produktivitas, meningkatkan kualitas dan kontinuitas
serta mengurangi resiko.
Peningkatan partisipasi swasta dilakukan sebagai bagian dari proses
restrukturisasi yang mendalam. Pelaksanaannya tidak boleh mengabaikan kelayakan
keuangan dan kelayakan ekonomi, serta diiringi dengan peningkatan kompetisi dan
transparansi. Dalam kaitan itu, khususnya privatisasi dilakukan dengan tetap
memperhatikan dan menjamin: (i) tingkat pelayanan (level of service) tetap terpenuhi, (ii)
keterjangkauan (affordability) masyarakat dalam mendapatkan pelayanan jasa prasarana,
dan (iii) tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. (Bappenas : 2002)
Beberapa pertimbangan tersebutlah yang kemudian membuat pemerintah
memberikan kepercayaan kepada pihak swasta agar dapat terlibat dalam proses
pembangunan. Kepercayaan yang diberikan pemerintah ini dengan melakukan suatu
perjanjian kerjasama atau kontrak antara pemerintah dengan pihak swasta, dimana :
- Pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu,
- Pihak swasta menerima kompensasi atas pelaksanaan fungsi tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung,
- Pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan
fungsi tersebut,
- Fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan atau digunakan
oleh pihak swasta selama masa kontrak.
Secara faktual, PPP telah di implementasikan sejak tahun 1974, melalui
Pembangunan Jalan Tol Jakarta – Bogor – Ciawi. Namun, model kerjasama pemerintah-
swasta pada saat itu belum menjadi primadona ketika itu, karena sumber pembiayaan
utamanya berasal dari pinjaman luar negeri, Pada tahun 1978 Jalan Tol Jagorawi
dioperasikan oleh PT. Jasa Marga, yang dibentuk sebagai perusahaan perserooan yang
khusus bergerak dibidang penyelenggaraan jalan tol. Sampai 1987, seluruh jalan tol
dibangun oleh PT. Jasa Marga dengan biaya pinjaman Government to Government dan
dana obligasi PT. Jasa Marga, dan investor swasta baru mulai di ikutsertakan pada tahun
1987. Jalan tol swasta pertama adalah Tangerang – Merak, yang dibangun oleh PT.
Marga Mandala Sakti (PU, 2009)
Secara universal, modal pembiayaan pembangunan diperoleh dari 3 sumber, yaitu
pemerintah, swasta, kerjasama antara pemerintah dan swasta. Sumber-sumber
pendanaan tersebut dapat diperoleh dari instrumen keuangan melalui pendapatan,
hutang/pinjaman dan kekayaan. Semakin maju sebuah peradaban, maka semakin besar
kebutuhannya dan secara otomatis anggaran biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan
kebutuhan tersebut juga semakin besar.
Pembangunan dalam rangka ketersediaanya prasarana perkotaan yang salah
satunya meliputi jembatan. Pembangunan prasarana dilakukan sebagai bentuk pelayanan
publik (public utilities) dimana di dalamnya meliputi pembangkit tenaga listrik,
telekomunikasi, saluran air, sanitasi dan pembuangan limbah. Pelayanan umum (public
work) mencakup jalan, irigasi, dan sarana transportasi lainnya yang meliputi Kereta Api,
angkutan kota, pelabuhan dan bandar udara (Rahardjo 2005:111)
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang mendasari pembangunan jembatan suramadu ?
Bagaimana proses pelaksanaan pembangunan jembatan suramadu
ditinjau dari kerjasama pemerintah swasta (KPS) atau Public Private
Partnership (PPP) ?
Apa saja dampak sosial dan pengembangan pada wilayah suramadu ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui latar belakang yang mendasari pembangunan
jembatan Suramadu.
Untuk menjelaskan proses pelaksanaan pembangunan jembatan
suramadu ditinjau dari kerjasama pemerintah swasta (KPS) atau Public
Private Partnership (PPP)
Untuk mendeskripsikan dampak positif dan negatif yang ditimbulkan oleh
pembangunan jembatan Suramadu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Gambaran Umum PPP
Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi
PPP adalah ”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under
which : (a) private party undertakes government function for specified period of time, (b)
the private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function
and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or made available
to the private party.”
KPS atau Public Private Partnership (PPP) dapat diterjemahkan sebagai
perjanjian kontrak antara swasta dan pemerintah, yang keduanya bergabung bersama
dalam sebuah kerjasama untuk meng-gunakan keahlian dan kemampuan masing-masing
untuk meningkatkan pelayanan kepada publik di mana kerjasama tersebut dibentuk untuk
menye-diakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik
(America’s National Council on Public Private Partnership).
KPS atau PPP dibangun dari 4 (empat) elemen utama (Bult-Spiering & Dewulf,
2006), yaitu : (1) actors; (2) network; (3) project; dan (4) relationship. Actors / pelaku utama
KPS adalah sektor publik (Pemerintah) dan sektor privat (swasta) di mana masing-masing
mempunyai tujuan, kepentingan, dan struktur organisasi yang berbeda. Tetapi di samping
aktor publik dan privat, terdapat aktor lain yang merupakan penentu dari keberhasilan
proyek KPS/PPP, yakni penyandang dana (biasa disebut ”lender”) dikare-nakan
karakteristik proyek KPS/PPP yang mem-butuhkan biaya modal/kapital yang sangat besar.
Di Indonesia, jenis proyek infrastruktur yang akan dan dapat dikerjasamakan
dengan investor swasta meliputi :
(a) transportasi (pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara,
jaringan rel dan stasiun kereta api)
(b) jalan (jalan tol dan jembatan tol)
(c) pengairan (saluran pembawa air baku)
(d) air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan
distribusi, instalasi pengolahan air minum)
(e) air limbah (instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan
utama) serta sarana persampahan (pengangkut dan tempat pembuangan)
(f) telekomunikasi (jaringan telekomunikasi)
(g) ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik) (h)
minyak dan gas bumi (pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi
atau distribusi migas)
2.3 Bentuk-bentuk KPS
Grimsey dan Lewis (2004) menyatakan ada 6 tipe kontrak kerjasama dalam
KPS/PPP yaitu:
1. BOT ( Build Operate Transfer ).Ini adalah kontrak dimana sektor swasta
bertanggung jawab utama untuk pendanaan (pembiayaan), desain, membangun
dan mengoperasikan proyek tersebut. Kontrol dan kepemilikan proyek nantinya
akan ditransferkembali ke pihak publik.
2. BOO ( Build Operate Own).Dalam kontrak ini, kontrol dan kepemilikan proyek
tetap berada di tanganswasta. Dengan proyek BOO, keuangan pihak swasta
digunakan untuk membangun, memiliki dan mengoperasikan infrastruktur fasilitas
efektif selama-lamanya.
3. Leasing. Pada kontrak ini, risiko dialihkan ke pihak swasta. Di Prancis,
PPPsebagian besar dilakukan berdasarkan kontrak konsesi (berdasarkan
BOT)atau kontrak sewa (yang meliputi desain dan bangunan, atau operasi,
tetapitidak menerima pendanaan proyek).
4. Joint ventures (JV).Kontrak ini terjadi ketika pihak swasta dan publik bersama-
samamembiayai, memiliki dan mengoperasikan fasilitas.
5. Operations or Management Contracts. Dalam kontrak ini pihak swasta hanya
terlibat sebagian, misalnyamenyediakan layanan atau mengelola operasional
suatu proyek tertentu.Kontrak ini memungkinkan pihak swasta untuk menyediakan
pelayananinfrastruktur dalam periode waktu tertentu.
6. Cooperative Arrangements .Kontrak ini kerjasama antara pemerintah dan swasta
yang bersifat lebihinformal daripada tipe PPP. Tipe kontrak ini biasanya digunakan
untuk proyek-proyek perumahan yang bersifat sosial.
2.3 Tinjauan Singkat Proses Pengembangan dan Pelaksanaan KPS
Untuk proyek yang berdasarkan inisiasi Pemerintah (Solicited) harus melalui
sembilan tahapan sebagaimana di uraikan dibawah ini:
1. Pemilihan Proyek merupakan proses dimana GCA akan mengindentifikasi dan
memprioritasikan proyek-proyek infrastruktur KPS yang berpotensi.
2. Konsultasi Publik adalah upaya yang dilakukan oleh GCA untuk mendapatkan
saran dari publik pada umumnya dan calon developers dan pemberi pinjaman
untuk membantu pembentukan rancangan proyek.
3. Studi Kelayakan adalah rancangan teknis, komersial dan kontraktual proyek yang
memadai untuk mem fa silitasi tender proyek kepada mitra-mitra pihak swasta.
Studi Kelayakan akan dilakukan oleh GCA yang harus diselesaikan sebelum
proyek ditenderkan.
4. Tinjauan Risiko adalah pengidentifikasian berbagai risiko dalam proyek dan hal-
hal yang dapat mengurangi risiko tersebut, dan usulan pengalihan risiko tersebut
oleh berbagai pihak kepada PK. Pada umumnya, tinjauan risiko ini dilakukan dan
merupakan bagian dari Studi Kelayakan.
5. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS di-strukturkan untuk
mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan tidak
mengurangi minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja Sama ini
dilakukan sebagai bagian dari Studi Kelayakan.
6. Dukungan Pemerintah merupakan determinasi atas jumlah dan posisi pemerintah
yang dapat dikontribusikan oleh pemerintah t erhadap suatu proyek, dalam suatu
mekanisme, misalnya insentif pajak, pembebasan tanah, dukungan/jaminan
bersyarat,pembiayaan langsung dan lain-lain. Pada umumnya, Dukungan
Pemerintah dilakukan bertujuan untuk Mengetahui potensi kelayakannya secara
perbankan terhadap suatu proyek.
7. Pengadaan merupakan pengembangan dari paket tender, dan proses tender
secara keseluruhan yang dimulai sebelum proses kualifikasi sampai dengan
penandatanganan kontrak.
8. Pelaksanaan termasuk pendirian Perusahan Proyek oleh Sponsor Proyek,
pembiayaan, kegiatan konstruksi, pelaksanaan awal dan pengoperasian proyek
oleh Badan usaha.
9. Pemantauan adalah pemantauan terhadap kinerja Badan Usaha oleh GCA
sebagaimana diatur dalam PK
Untuk menjamin efektifitas dan efisiensi pelaksanaan PPP, maka perlu
menetapkan perinsip-perinsip manajemen yang profesional berperinsip ekonomi,
persaingan yang sehat dan keterlibatan swasta dan masyarakat. Dalam hubungan dengan
keterbatasan pemerintah beberapa langkah dapat dilakukan :
1. Desentralisasi dan partisipasi lokal dalam pembangunan dan pemeliharaan
prasarana bersekala kecil ditingkat lokal
2. Alokasi anggaran yang lebih mengacu pada pertimbangan ekonomis dalam
pembangunan prasarana
3. Pola subsidi diarahkan untuk membatu golongan masyarakat miskin
4. Perbaikan dalam teknik perencanaan proyek prasarana yang mengutamakan
aspek pertumbuhan, pemerataan dan kelestarian lingkungan hidup.
(Rahadjo 2005:112)
Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan
tanpa sovereign guarantees; Mengurangi risiko kegagalan proyek; Dapat membantu
tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan berkualitas tinggi; Mencegah aparat
pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Dalam Perpres yang sama juga
dijelaskan bahwa tujuan pelaksanaan PPP adalah untuk : mencukupi kebutuhan
pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta; meningkatkan
kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat; meningkatkan
kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta mendorong
dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu
mempertimbangkan daya beli pengguna. Bagaimana dengan pelaksanaan di negara-
negara lain? Pada tabel 2 dikemukakan alasan berbagai negara yang memilih konsep
PPP. Dari tabel 2, bisa terlihat bahwa alasan memilih konsep PPP itu bervariasi. Ada
negara yang ingin meningkatkan lapangan kerja (India), ada yang ingin memperoleh
teknologi baru atau berbagai alasan lainnya.
Tabel 2 : Negara Yang Memilih PPP
Sumber : Parente, 2006
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Peneltian adalah sarana untuk menjawab suatu permasalahan secara ilmiah.
Suatu penelitian harus menggunakan metode yang sesuai dengan pokok-pokok
permasalahan yang diteliti agar memperoleh data yang dikehendaki dan relevan dengan
permasalahan yang ada. Metode penelitian memegang peranan yang sangat penting,
karena dalam penelitian tersebut terdapat segala sesuatu yang berhubungan dengan
prosedur pelaksanaan penelitian mulai dari menentukan fokus penelitian sampai dengan
cara menganalisa data yang diperoleh.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan, penelitian ini menggunakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah riset
yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena
sosial tertentu. Peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak
melakukan pengujian hipotesa. (Singarimbun 1989: 4-5)
3.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian sangatlah penting dalam usaha menentukan batas penelitian
yang dilakukan, karena dengan penetapan fokus penelitian maka akan lebih jelas batasan
dan juga mempertajam dalam pembahasan. Peneliti tidak akan menyimpang dalam
pembahasan dan tetap pada jalur yang diinginkan karena terdapat fokus penelitian. Fokus
penelitian merupakan ruang lingkup awal yang dijadikan sebagai tempat penelitian, maka
peneliti akan memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang keadaan yang akan
diteliti.
Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bentuk kerjasama pemerintah swasta dalam pembangunan jembatan
Suramadu.
Pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan jembatan Suramadu.
3.3 Lokasi dan Situs Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat yang ditentukan oleh peneliti untuk melakukan
penelitian berdasarkan kesesuaian dengan fokus penelitian. Dengan demikian, maka
lokasi penelitian ini dilaksanakan di Surabaya, Jawa Timur. Adapun alasan pemilihan
lokasi pada didasarkan atas pertimbangan bentuk kerjasama pemerintah dengan swasta
dalam pembangunan jembatan Suramadu yang merupakan jembatan terpanjang se Asia
Tenggara, juga karena alasan domisili peneliti atas dasar pertimbangan perlunya
mengangkat fakta di sekitar tempat peneliti berdomisili yang dapat dijadikan sebagai
bahan diskusi bersama untuk menambah informasi bagi masyarakat umum.
Situs penelitian adalah tempat dimana peneliti akan mengangkat keadaan yang
sebenarnya dari obyek yang akan diteliti untuk memperoleh data yang valid dan akurat.
Adapun situs penelitian ini adalah pihak humas Badan Pengembangan Wilayah
Suramadu.
3.4 Jenis dan Sumber Data
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di
lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang
memerlukannya. Jadi untuk memperoleh data-data atau informasi yang sesuai
dengan wawancara secara langsung dengan pihak yang terkait. Data primer dapat
bersumber dari humas Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS).
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikutip dari sumber-sumber tertentu yang
digunakan sebagai pendukung data primer. Data sekunder berupa dokumen-
dokumen, laporan-laporan, dan artikel yang terkait. Adapun sumber data sekunder
dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen dan arsip Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional (Bappenas).
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian diperlukan teknik pengumpulan data
yang tepat agar nantinya data yang diperoleh dapat sesuai dengan yang diharapkan dan
dapat menyelesaikan masalah yang ada. Beberapa teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Teknik Wawancara
Wawancara adalah usaha untuk mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara lisan antara peneliti dengan informan. Data yang
diperoleh dari tanya jawab dengan beberapa orang yang menjadi sumber
langsung yaitu pihak humas Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS)
2. Dokumentasi
Teknik ini dilakukan dengan mencatat atau menyalin data-data yang ada dalam
dokumen di lokasi penelitian, khususnya yang berkaitan dengan obyek yang
diteliti. Data yang bersumber atau diperoleh dari buku-buku yang mendukung atau
tulisan dan artikel orang lain dan arsip yang diperlukan dalam penelitian ini.
3. Observasi
Observasi dilakukan sebagai pengamatan langsung kegiatan yang terjadi di
lapangan terkait dengan penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan langsung
maupun tidak langsung dengan obyek yang diteliti. Teknik ini dilakukan dalam
rangka memperoleh gambaran yang jelas dan sebenarnya. Data-data observasi
dapat diperoleh melalui indera kita, jadi data tersebut bersifat empiris. Observasi
dapat dilakukan pada saat peneliti melakukan proses penelitian baik partisipan
dan non partisipan
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti
lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Pemilihan alat atau
instrumen untuk suatu penelitian sangat dipengaruhi oleh jenis dan sifat data yang akan
dikumpulkan.
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Peneliti sendiri, dalam suatu penelitian kualitatif instrumen yang paling penting
adalah peneliti itu sendiri, karena peneliti yang bertugas menyusun atau
merekonstruksi alat atau instrumen jadi harus memahami segala hal yang
terkait dengan penelitian yang dilakukannya.
b. Catatan lapangan.
c. Alat tulis untuk mencatat hasil penelitian.
d. Pedoman wawancara, sebagai panduan dan pedoman dalam melakukan
wawancara.
BAB IV
PEMBAHASAN
Analisis Data
4.1 Sejarah Pembangunan Suramadu
A. Fase Awal (1950 – 1970)
Setelah menjadi Gubernur Jawa Timur, Pak Noer (sapaan akriab M. Noer)
membayangkan akan terjadi kemacetan di Surabaya. Ia kemudian mempunyai gagasan
agar Kamal di ujung Bangkalan menajdi kota satelitnya Surabaya. Saat itulah, impiannya
untuk membangun jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura kembali
menguat.
Apalagi, sekitar tahun 1960-an itu, Prof. Dr. Sedyatmo (alm.) yang dikenal sebagai
ahli konstruksi dan penemu konstruksi cakar ayam, mencetuskan ide adanya hubungan
langsung (jembatan) antarpulau Sumatera – Jawa.
Ide Prof. Sedyatmo kala itu mendapat respon positif. Sebagai tindak lanjut, tahun
1965 dibuatlah ujicoba desain jembatan Sumatera – Jawa (Jembatan Selat Sunda) yang
dibuat di ITB. Gagasan Jembatan Suramadu kemudian dikembangkan lagi oleh
Muhammad Noer pada saat menjabat Gubernur Jatim pada 1970-an.
B. Meretas Mimpi Tri Nusa Bima Sakti (1970 – 1990)
Jalan meliuk untuk meretas mimpi mewujudkan Jembatan Suramadu ternyata
tidak mudah. Banyak tantangan yang harus diselesaikan. Waktu pun terus bergulir. Pada
Februari 1986, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bertemu dengan
delegasi dari perusahaan perdagangan Jepang. Kemungkinan kerjasama proyek-proyek di
Indonesia pun dibahas, termasuk merealisasikan ide jembatan antarpulau itu.
Kala itu muncul sinyal positif. Delegasi dari Pemerintah Jepang saat itu
menyatakan peluang kerjasama dalam proyek hubungan langsung Jawa – Sumatera –
Bali, yang ini kemudian dikenal dengan nama Tri Nusa Bima Sakti. Pada tahapan
selanjtnya, Jembatan Surabaya – Madura mendapat prioritas. Perjalanan sejarah pun tak
berhenti, hingga akhirnya pada 14 Desember keluar Keppres No. 55/1990 tentang
Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). Dengan surat Keputusan
Presiden ini, proyek Pembangunan Jembatan Suramadu dan Pengembangan Kawasan
dikukuhkan sebagai proyek nasional.
C. Merajut Harapan (1990 – 2000)
Meski pelan, usaha merealisasikan impian ini tidak pernah putus sekejap pun.
Pada 1992, ditandatangani MoU Pembangunan Jembatan Suramadu antara konsorsium
dari Indonesia dengan konsorsium dari Jepang. Pertemuan lanjutan lantas dilakukan di
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Provinsi Jatim untuk membahas
proyek kerjasama Indonesia – Jepang tentang pembangunan Jembatan Suramadu. Tidak
berhenti di situ, pematangan program terus diseriusi dengan rapat tim untuk membahas
sumber-sumber dana dari swasta untuk pembangunan jembatan.
Saat itu, muncul kontroversi tentang manfaat dan dampak negatif jika Jembatan
Suramadu diwujudkan. Ada yang khawatir, Jembatan Suramadu kelak membawa ekses
negatif bagi karakter religius Madura. Ada pula yang meragukan kesiapan SDM (sumber
daya manusia) masyarakat Madura dalam menyambut industrialisasi paska jembatan
dibangun. Meski dampak positif jauh lebih besar, berbagai kontroversi itu sempat membuat
rencana Jembatan Suramadu kembali mengambang.
Pada tahun 1994, digelar dialog antara Menristek / Ketua BPPT Prof. Dr. Ing BJ
Habibie dengan Gubernur Jatim Basofi Soedirman, Pangdam V Brawijaya Haris Sudarno,
dan Ketua DPRD Jatim Trimarjono. Hadir dari Pemerintah Kabupaten Bangkalan kala itu
Bupati Bangkalan HM Djakfar Gardjito dan Walikota Surabaya Sunarto Sumoprawiro.
Pertemuan tersebut kembali menyamakan persepsi sekaligus menentukan
kepastian nasib mega proyek Suramadu, termasuk kepastian pengerjaannya yang
melibatkan konsorsium dari Jepang dan Indonesia.
Menristek BJ Habibie akhirnya menyerahkan kepada Gubernur Jatim untuk
meyakinkan masyarakatnya tentang arti penting dan manfaat positif dari industrialisasi di
Madura. Gubernur juga ditugasi untuk mendekati warga Madura berkaitan dengan
pembebasan lahan.
Untuk mendukung keperluan mega proyek ini, sejak Januari hingga September
1994 telah dibebaskan sebagian lahan untuk kaki jembatan di pesisir selatan Bangkalan.
Lahan yang sudah dibebaskan kala itu sekitar 8 hektar dengan ganti rugi Rp. 7.000/m2.
Setahun berlalu, April 1995, Konsorsium Jepang diminta segera mengusahakan
pendanaan. Sementara PT DMP diminta segera menyelesaikan pembebasan lahan untuk
keperluan kawasan.
Perkembangan positif lainnya muncul dari tokoh Madura. Kalangan ulama Madura
yang bergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Madura (BASRA) mendukung
pembangunan jembatan Suramadu. Dukungan BASRA ini bagaikan hujan di musim
kering-kerontang. Wadah berkumpulnya tokoh ulama yang disegani di Madura ini menjadi
pengobar semangat. Maka, saat itu dicanangkan megaproyek Suramadu dijadwalkan
mulai digarap konstruksinya pada 10 November 1996. Namun, pelaksanaan rencana
tersebut tak semulus yang diharapkan, terutama karena situasi politik nasional yang tidak
stabil saat itu.
D. Jadi Kenyataan (2000 – sekarang)
Di fase ini, ketika lima dekade dengan tiga presiden berlalu, upaya mewujudkan
mimpi Jembatan Suramadu menjadi nyata tak pernah padam. Ketika situasi politik
nasional mulai sejuk, pada 2001, Presiden RI ke – 4, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
mengawali. Saat itu, cucu Pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari ini menerima 45
tokoh intelektual dan tokoh Madura di Istana Negara. Pertemuan tersebut menindaklanjuti
nasib Jembatan Suramadu yang tersendat, sekaligus membahas sistem pendanaan
proyek yang belum mendapatkan kejelasan dari Pemerintah Jepang.
Dalam pertemuan tersebut Gus Dur menegaskan, Suramadu memang sudah
saatnya diwujudkan. Para guru besar dan tokoh masyarakat mengusulkan agar
pendanaan langsung ditangani oleh anggaran dalam negeri. Dengan demikian, untuk
mewujudkan Suramadu, tidak lagi menggantungkan dana pinjaman yang belum pasti.
Di antara guru besar yang mengikuti pertemuan tersebut ialah Prof. Dr. Soeroso
Imam Djazuli (dekan FE Unair), Prof. dr. Bambang Rohino (Mantan rektor Unair), Prof. Dr.
Ichlasul Amal (Rektor UGM), Dr. Ridwan Nashir (Rektor IAIN Sunan Ampel), Dr. Didik J
Rachbini (UI) dan beberapa tokoh intelektual perguruan tinggi lainnya. Dalam kesempatan
menghadap Presiden Gus Dur di Istana Negara tersebut, sekaligus dikukuhkan Forum
Intelektual 45 Jatim dengan Ketua H. Achmad Zaini. Disebut Forum Intelektual 45 karena
terdiri dari 45 tokoh intelektual.
Di Jawa Timur, dukungan untuk mewujudkan Jembatan Surabaya tidak berhenti.
Pada 11 Oktober 2001, Gubernur Jatim mengirimkan surat Nomor: 602/1746/201/2001
dan Nomor: 602/2332/201.3/2001 tanggal 26 November 2001 ke Presiden.
Dengan kedua surat itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengajukan
permohonan inisiasi pelaksanaan pembangunan Jembatan Suramadu dan pencabutan
Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1990 Tentang Pembangunan Jembatan Surabaya.
Kemudian, pada 14 Januari 2002 dilakukan sosialisasi pembangunan Jembatan
Suramadu oleh Gubernur Jatim Imam Utomo di depan alim ulama dan tokoh masyarakat
Madura. Rencana melanjutkan pembangunan Jembatan Suramadu ini direspon sangat
baik masyarakat Madura.
Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini dijawab oleh Pemerintah Pusat
melalui Surat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT kepada Presiden RI No: 07/M/I/2002,
tanggal 23 Januari 2002, perihal Inisiasi Pelaksanaan Pembangunan Jembatan Suramadu
yang menyatakan dukungan penuh atas langkah nyata yang diambil oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Timur.
Tahun 2002, pembangunan Jembatan Suramadu memasuki babak baru. Rencana
awal pemancangan Juli 2002 mundur menjadi Agustus 2002, lalu Oktober 2002, hingga
akhirnya baru bisa dilakukan pada 20 Agustus 2003 oleh Presiden RI ke-5, Hj Megawati
Soekarnoputri. Lalu muncul Keppres Nomor 79 tahun 2003 tentang Pembangunan
Jembatan Surabaya-Madura yang merupakan titian awal dimulainya kembali
pembangunan Jembatan Suramadu. Dalam Keppres tersebut dinyatakan Pembangunan
Jembatan Suramadu dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan kawasan industri,
perumahan, dan sektor lainnya di wilayah kedua sisi ujung jembatan (sisi Surabaya dan
sisi Madura).
Seiring dengan dimulainya pelaksanaan Jembatan Suramadu, pemerintah China
bersedia membantu pendanaan pembangunan Jembatan sepanjang 5,438 km itu dengan
menyediakan Rp 1,5 triliun dari kebutuhan proyek yang awalnya Rp. 2,4 triliun saat itu.
Pada 9 Oktober 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar
rapat terbatas di PLTU Paiton, Probolinggo, membahas secara khusus Percepatan
Pembangunan Jembatan Suramadu. Pada rapat tersebut, sekali lagi, percepatan
pembangunan Jembatan Suramadu ditetapkan menjadi prioritas, mengingat betapa
pentingnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pulau Madura.
Kerja keras untuk mewujudkan impian yang telah melewati enam dasawarsa dan
mengarungi masa pemerintahan enam presiden itu, akhirnya terwujud. Tahun 2009
Jembatan Suramadu yang menelan biaya Rp 5 triliun itu gagah membentangkan harapan
anak bangsa. Pembangunan Jembatan Suramadu menjadi salah satu bukti kerja keras
dan semangat seluruh elemen yang terlibat dan menjadikan Suramadu sebagai Jembatan
yang menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi Madura, Jawa Timur dan Indonesia.
4.2 Analisis Stakeholder
Berikut gambaran analisi stakeholder yang terlibat dalam pembangunan suramadu
sampai proses pemeliharaan.
1) Owner adalah pihak pemilik proyek yang menginvestasikan dana yang dimilikinya
untuk membangun suatu proyek lalu mendapatkan keuntungan dari proyek
tersebut di kemudian hari. Dalam proyek pembangunan jembatan Suramadu ini,
owner adalah pemerintah. Dan dana yang diinvestasikan tersebut berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) provinsi Jawa Timur. Keuntungan yang diperoleh
berasal dari pendapatan yang didapat dari tarif yang ditetapkan untuk sekali
melewati jembatan tersebut yaitu sebesar Rp 30.000,00 untuk kendaraan roda
empat dan Rp 3.000,00 untuk kendaraan roda dua. Keuntungan tersebut diperoleh
ketika proyek tersebut setelah mencapai Break Event Point (BEP) atau titik impas
dimana pada kondisi ini proyek tersebut telah balik modal.
2) Regulator adalah pihak yang membuat dan mengeluarkan peraturan yang
berhubungan dengan tata ruang suatu wilayah, termasuk penempatan suatu
tempat proyek. Pada pembangunan jembatan Suramadu ini pihak yang bertugas
untuk membuat peraturan adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat beserta
DPR Daerah Jawa Timur.
3) Customer adalah pihak yang akan menggunakan hasil proyek. Untuk pengguna
jembatan Suramadu ini adalah pengendara kendaraan roda empat maupun roda
dua yang dikenakan tarif seperti dijelaskan diatas karena jembatan ini
menggunakan sistem jalan tol dalam pengoperasiannya.
4) Kontraktor adalah perusahaan yang dipilih dan disetujui untuk melaksanakan
pekerjaan konstruksi yang direncanakan sesuai dengan keinginan pemilik proyek
dan bertanggung jawab penuh terhadap pembangunan fisik proyek. Biasanya
penentuan kontraktor dilakukan melalui lelang/tender atau dapat juga malalui
penunjukkan langsung dengan negosiasi penawaran harga. Pada pelaksanaan
proyek jembatan Suramadu digawangi oleh empat perusahaan kontraktor besar
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Adhi Karya, PT Hutama Karya, PT
Waskita Karya, PT Wijaya Karya dan beberapa perusahaan sub kontraktor lainnya
yang bergabung dalam Concortium Indonesian Contractors (CIC) dan bersama-
sama membangun Suramadu dengan CIC sebagai kontraktor utamanya.
5) Sub Kontraktor adalah pihak yang ditunjuk oleh kontraktor dan disetujui oleh
pemilik untuk mengerjakan sebagian pekerjaan kontraktor pada bagian fisik
proyek yang memiliki keahlian khusus. Ada 14 perusahaan kontraktor yang
bekerja sama untuk membangun Suramadu. Perusahaan-perusahaan tersebut
bekerja dibawah CIC untuk menyediakan semua kebutuhan CIC seperti concrete
sampai dengan kapal.
6) Konsultan adalah seseorang atau perusahaan yang ditunjuk oleh pemilik yang
memiliki keahlian dan pengalaman membangun proyek konstruksi, terdiri atas:
Konsultan Perencanaan: seseorang atau perusahaan yang memiliki
keahlian dan pengalaman dalam merencanakan proyek konstruksi,
seperti halnya Perencanaan Arsitektur, Perencanaan Struktur,
Perencanaan Mekanikal dan Elektrikal dan lain sebagainya.
Konsultan pengawas: perusahaan yang memiliki keahlian dan
pengalaman dalam pengawasan proyek.
Konsultan Manajemen Konstruksi: perusahaan yang mewakili pemilik
dalam pengelolaan proyek, sejak awal hingga akhir proyek.
7) Pemasok (supplier): pihak yang ditunjuk oleh kontraktor untuk memasok material
yang memiliki kualifikasi yang diinginkan oleh pemilik. Pemasok dalam proyek
jembatan Suramadu ini salah satunya adalah PT Semen Gresik.
Masyarakat sekitar: secara umum dari hasil sosialisasi pembangunan jembatan ini,
masyarakat di kedua sisi (Surabaya dan Madura) menerima kehadiran pembangunan
Jembatan Suramadu dan jalan aksesnya. Beberapa efek negatif seperti dampak debu
dan kebisingan akibat kegiatan konstruksi juga telah diantisipasi. Masalah nelayan
sempat menjadi perhatian. Jumlah tangkapan yang menurun yang menjadi alasan
pemicunya. Sebuah demo kecil bahkan sempat terjadi oleh nelayan di Tambak Wedi
(Bangkalan) yang menuntut ganti rugi. Ganti rugi tidak diwujudkan dalam bentuk
materi kepada perorangan, tetapi berupa perbaikan fasilitas umum, seperti balai
pertemuan nelayan.
Transportasi Laut (Kapal Very): Dengan didirikannya Jembatan Suramadu dapat
berdampak negatif pada jasa penyeberangan menggunakan kapal veri. Banyak pengguna
jasa penyeberangan tersebut yang akan beralih pada akses suramadu. Hal itu dapat
diantisipasi oleh pemerintah dengan mengadakan pembatasan kendaraan yang
diperbolehkan melewati Suramadu. Kendaraan sejenis truk dan bis dilarang melewati
Suramadu sehingga jasa kapal veri masih bisa berjalan.
Sektor Pariwisata: Pulau Madura memiliki potensi yang menunjang dalam hal
pariwisata laut. Ada beberapa pantai indah yang terdapat di pulau tersebut namun belum
tereplor dengan baik. Dengan adanya Jembatan Suramadu ini otomatis akan
meningkatkan kunjungan masyarakat menuju Madura. Hal ini memberikan sinyal positif
terhadap perkembangan dunia pariwisata di Pulau Madura.
Pedagang: Sejak dibukanya Suramadu untuk umum menjadikan Madura terutama
Bangkalan menjadi sangat ramai, banyak pedagang yang mendirikan lapak daganganya di
jalur akses Suramadu. Misalnya pedagang makanan dan souvenir.
4.3 Proses Pembangunan Suramadu Hingga Pemeliharaan
4.3.1 Proses Pembangunan
Jembatan Suramadu yang melintasi Selat Madura memilki panjang 5.438 m serta
jalan pendekat di sisi Surabaya mencapai 4,35 km dan di sisi Madura 11,50 km.
Proyek pembangunan Jembatan Nasional Suramadu mulai dikerjakan Agustus 2003 pada
masa pemerintahan presiden Megawati Soekarno Putri dimulai dengan kerjasama
pemerintah dengan china dalam penyediaan kontraktor dan dana pinjaman yang akan
kami sajikan pada sub-bab financial sharing dibawah, stelah itu kementrian pekerjaan
umum mengumumkan pelelangan tender yang dimenangkan oleh kontraktor BUMN yaitu
yang terbentuk dalam Consortium of Indonesia Contractors (CIC) yang terdiri dari 4
kontraktor yakni PT Adhi Karya, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, dan PT Wijaya
Karya dan untuk kontraktor china digarap oleh Consortium of Chinesse Contractors (CCC)
yang terdiri dari China Road and Bridge Corporation (CRBC) serta China Harbour
Engineering Consultant (CHEC), setelah itu proses pembangunan jembatan suramadu
dimulai sampai akhirnya terselasaikan pada 10 Juni 2009. Dengan selesainya jembatan
Suramadu beberapa hal terkait dengan pengelolaan perlu dipikirkan bersama agar
Jembatan Suramadu dapat bertahan sesuai dengan usia rencana yaitu 100 tahun. Selain
aspek teknis yaitu tentang keselamatan konstruksi jembatan, beberapa hal terkait dengan
aspek sosial kemasyarakatan perlu diperhatikan.
4.3.2 Aspek Financing
Pendanaan pembangunan Jembatan Suramadu berasal dari APBN Pemerintah
Indonesia, APBD Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Loan dari Pemerintah China,
dengan nilai keseluruhan mencapai Rp 5 Trilyun.
Causeway 1,372,397,686Main Bridge 2,934,923,000Jalan Akses 406,657,091Pembebasan Lahan 199,289,664Perencanaan & Supervisi 79,733,274TOTAL 4,993,000,715
FINANCIAL SHARING
Pembangunan Jembatan Suramadu tidak bertujuan untuk mengembalikan
biaya pembangunan, tetapi lebih pada pendanaan pemeliharaan yang nilainya cukup
besar. Untuk itu perlu adanya scenario pendanaan pasca operasional yang
memperhitungan semua aspek pemeliharaan yang ada.
Setelah pelaksanaan konstruksi, masih ada beberapa pekerjaan untuk
kelengkapan jembatan pasca operasional meliputi :
1. Structural Health Monitoring System / SHMS : Rp 50 Milyar
2. Art Lighting : Rp 50 Milyar
3. Jembatan Penyeberangan Umum 2 buah @ Rp 3.5 M : Rp 7 Milyar
4. Power Supply, electrical dll : Rp 41 Milyar
5. Fender pengaman
Selain kebutuhan teknis, harus juga dipertimbangkan beberapa kebutuhan untuk
melengkapi kawasan Jembatan Suramadu seperti Rest Area, Gedung Museum, dan lain
sebagainya.
4.3.3 Operasional
Pengelolaan Jembatan Suramadu selama 18 bulan sejak pengoperasiannya akan
dilakukan oleh PT Jasa Marga. Penentuan ini dilakukan melalui proses tender operator
yang mengacu kepada mereka yang bisa memberikan `fee` terendah serta mampu
menawarkan biaya pengoperasian paling efisien. Biaya Operasional Jembatan Suramadu
yang ditawarkan oleh PT Jasa Marga adalah sebesar Rp 10.8 Milyar. Dan setelah 18
bulan kedepan, akan dilakukan tender operator toll Suramadu dengan masa konsesi 30
tahun.
Dalam operasional Jembatan Suramadu, PT Jasa Marga menempatkan sekitar 70
tenaga teknis dan administratif yang bekerja secara shift selama 24 jam dan didukung
pula oleh mobil Derek, mobil patrol, ambulance.
Setiap kendaraan yang masuk ke Jembatan Suramadu akan dikenakan tarif, dan
semua hasil pemasukan karcis toll akan masuk kepada Pemerintah. etentuan tarif toll
Jembatan Suramadu tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
395/KPTS/M/2009 tanggal 10 Juni 2009. Dalam Kepmen itu, tarif tol jembatan
Suramadu dibedakan untuk enam golongan.
Tarif golongan I terdiri dari sedan, jip, pick up, truk kecil, dan bus sebesar Rp30.000,00 per
unit, golongan II untuk truk dengan dua gandar sebesar Rp45.000,00 per unit, golongan III
bagi truk tiga gandar Rp60.000,00/unit, golongan IV bagi truk empat gandar
Rp75.000,00/unit, golongan V bagi truk lima gandar atau lebih Rp90.000,00/unit, dan
golongan VI bagi kendaraan roda dua Rp3.000,00/unit.
Dari hasil operasional Jembatan Suramadu sejak difungsikan tanggal 17 - 21
Juni 2009 didapatkan data bahwa jumlah kendaraan yang melewati jembatan Suramadu
dari kedua arah mencapai 146.272 kendaraan roda 2 dan 71.510 untuk kendaraan roda 4
atau lebih dari kedua gerbang toll Surabaya dan Madura, dengan nilai pendapatan sebesar
Rp 2.688.989.480,- .Jika dirata-rata mencapai 24.379 kendaraan roda 2 dan 10.857
kendaraan roda 4 atau lebih.
Pada hari Sabtu dan Minggu jumlah kendaraan yang lewat mencapai puncaknya,
dan menimbulkan kemacetan di sekitar pintu masuk toll khususnya pada jalur sepeda
motor. Ini membutuhkan penanganan dan studi lebih lanjut mengenai kebutuhan toll gate
pada jalur sepeda motor.
4.3.4 Maintenance
Jembatan Suramadu merupakan jembatan khusus yang dibangun di atas laut
dengan tingkat korosifitas yang tinggi sehingga aspek pemeliharaan khususnya
pengendalian korosi menjadi perhatian yang cukup penting.
Dalam masa 12 bulan sejak dilakukan Provisional Hand Over, pekerjaan
perawatan (maintenance) masih merupakan tanggung jawab kontraktor pelaksana,
sehingga pemerintah tidak mengeluarkan biaya untuk perawatan kerusakan Jembatan.
Kontraktor dan konsultan Jembatan Suramadu telah menyiapkanStandart
Operation Procedure (SOP) dan Manual untuk Pemeliharaan Jembatan, sesuai dengan
bagian – bagian dan elamen Jembatan yang membutuhkan pengecekan berkala,
pemeliharaan dan penggantian.
Khusus pada jembatan cable stay, telah lengkapi dengan beberapa fasilitas
penunjang untuk pemeliharaan yang meliputi :
1. Maintenance traveler, memungkinkan pengecekan pada semua bagian bawah
steel box girder
2. Maintenance Ladder, yaitu tangga di pylon jembatan untuk pengecekan
semua elemen di atas pylon
3. Dehumidifier pada pylon untuk menjaga kelembaban pada struktur pylon
khususnya pada ujung kabel stay.
Beberapa elemen Jembatan memiliki umur rencana tertentu yang harus diganti,
sehingga perlu dipersiapkan maintenance cost per umur rencana material.
Description
Life
Time
(years)
Unit Q'ty
Approach Bridge
Expansion Joints Modular 30 m' 120
Pot Bearing 20 unit 80
Longitudinal Damper 30 unit 12
Main Bridge
Expansion Joints Modular 30 m' 60
Bearing type 1 for Main Bridge 30 unit 4
Bearing type 2 for Main Bridge 30 unit 4
Lateral Bearing For Main Bridge 30 unit 4
Longitudinal Hydraulic Buffer 20 unit 8
Corrosion Protection of Steel Structure (for Box
Girders,Cross Girders,Stringers and for other structure) 20 tonnes 10,726
Cable Stayed for Main Bridge (HDPE) 20 tonnes 1,399
Causeway
Coating glass flake epoxy 20 m2 43,567
Sacrificial anode 20 kg 378,400
Struktur sambungan ekspansi tipe rubber 10 m 60
Perletakan elastomer & asesories (450 x 450 x 45 mm) 20 bh 2,592
Perletakan elastomer lateral (90 x 90 x 20 mm) 20 bh 2,592
Pekerjaan Struktur
Secara perhitungan, dengan mempertimbangkan faktor eskalasi diperoleh
kebutuhan sebagai berikut :
Deskripsi Tahun
Approach Bridge + Main Bridge
107,916,026,116 2028
164,900,403,709 2048
221,884,781,303 2068
278,869,158,897 2088
335,853,536,490 2108
Causeway
318,118,696,934 2028
527,188,583,283 2048
736,258,469,633 2068
945,328,355,982 2088
1,154,398,242,332 2108
Uraian PMT (Annual)
Pekerjaan Struktur
Approach Bridge + Main Bridge 4,582,409,175.79
Causeway 15,259,365,377.12
Perkerasan Jalan
(Akses, Causeway, Approach dan Main Bridge)
5,793,857,142.86
PJU 1,933,750,000.00
J u m l a h 27,569,381,695.77
Dengan besarnya pemeliharaan yang dibutuhkan maka perlu dibuat skenario
pendanaan berdasarkan tingkat kebutuhan dengan melibatkan semua unsur terkait.
4.3.5 Keselamatan Struktur & Monitoring Jembatan
A. Latar belakang SHMS
Sebagai Jembatan yang memiliki bentang lebih dari 300 m, maka Jembatan
Suramadu harus dilengkapi dengan Structural Health Monitoring System (SHMS). SHMS
adalah aktivitas yang bertujuan untuk menyediakan informasi / memonitor semua hal yang
berkaitan dengan operasional dan pemantauan kondisi kesehatan dari suatu struktur, dan
membantu melakukan tindakan koreksi melalui perintah secara manual maupun secara
otomatis oleh sistim yang ada
Tujuan dari SHMS sendiri adalah :
Menginformasikan kondisi struktur jembatan
Mewujudkan perencanaan pemeliharaan yang rasional dan ekonomis
Mendapatkan pelayanan struktur yang aman dan ekonomnis
Mengidentifikasikan penyebab kondisi struktur yang tidak layak
Memberikan peringatan dini apabila terjadi hal yang mengancam
keselamatan & berkurangnya kenyamanan pada pemakai Jembatan
Melalui SHMS kita dapat melakukan verifikasi atas asumsi didalam pembuatan
disain jembatan. Sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan perbaikan
model pada disain jembatan berikutnya. Implementasi SHMS pada jembatan
Suramadu ini dapat menjadikan jembatan ini menjadi “Jembatan Pengajaran” (teaching
bridge) sehingga para ilmuan, dosen dan mahasiswa dapat mempelajari perilaku
jembatan dari Jembatan Suramadu ini. Dengan demikian SHMS pada Jembatan
Suramadu ini akan menjadi sumbangan berharga bagi Bangsa Indonesia.
A. Implementasi SHMS
Consortium of Chinese Contractor (CCC), sebagai pihak yang melaksanakan
pembangunan bentang tengah sekaligus berpengalaman dalam menangai jembatan
bentang panjang di China telah mengusulkan suatu bentuk monitoring system agar
jembatan Suramadu dapat menjaga kesehatan struktur nya sendiri selama masa layan
sehingga sesuai dengan umur rencananya. Usulan system tersebut digunakan sebagai
basic design.
Hasil pembahasan basic design Monitoring System tersebut setelah dilakukan
modifikasi dan penyesuaian berdasarkan pertimbangan material sensor, kemudahan
penggantian, dan kompatibilitas dengan melibatkan konsultan lokal Indonesia.
Secara umum skema SHMS adalah sebagai berikut :
Secara umum sensor dan peralatan dalam SHMS dapat dikategorikan menjadi 3 bagian
Sensors Monitoring Load Resources / sensor terkait dengan beban hidup /
mati : anemometer, temperature sensor, weight-in-motion (WIM), seismic sensor,
dll.
Sensors Monitoring Structural Responses: sensor terkait dengan respon struktur
jembatan: accelerometer, strain gauge, Global Positioning System (GPS),
displacement transducer, inclinometer, dll.
Other kinds of Sensors : Beberapa peralatan/sensor lain corrosion cells, digital
video camera, dll.
Jumlah sensor berdasarkan disain yang diajukan :
Hasil dari sensor yang ada kemudian akan diolah pada Data Centre yang
merupakan dapur dari pengolahan data yang dikirim dari DAU (Data Acquisition Unit)
dimana software dan hardware mem-proses semua data yang masuk untuk menjadi
informasi yang akan didistribusikan kepada setiap operator sesuai dengan tugasnya
masing-masing.
Software dan Hardware ini harus dapat dijamin beroperasi 7x24 jam selama setahun
terus menerus tanpa henti. Lingkungan operasionalnya harus dapat dijaga sesuai dengan
yang ditetapkan; suhu operasi, bebas debu, bebas medan elektromagnetic, bebas getaran,
tidak ada gangguan listrik,dsb. sesuai ketentuan instrumentasi elektronik pada BS 15000
atau ISO 20000. Hasil dari Data Centre ini akan ditampilkan pada Video wall berupa
variabel-variabel yang akan dimonitor dan untuk melihat response jembatan
terhadap beban dinamis dalan pengaruh lingkungan.
Disediakan juga fasilitas teater sehingga memungkinkan perguruan tinggi, dosen,
mahasiswa, dan lembaga lainnya dapat mempelajari karakteristik dari jembatan melalui
teater ini tanpa harus masuk kedalam Monitoring Room dan Data Center.
C. Jenis – jenis Sensor
Temperature Sensors & Ambient Temperature and Relative Humidity /AT & R :
Bertujuan untuk suhu dan kelembaban udara sekitar. Serta dipasang pula pada bagian
elemen struktur jembatan untuk mengetahui perbedaan temperature dari masing
bagian/posisi. Tenperatur yang diukur adalah pada bagian beton dan steel box girder.
Weight in Motion System (WIM) : untuk mengumpulkan data besarnya volume lalu
lintas, beban dan kecepatan kendaraan untuk keperluan statistik. Rencananya WIM akan
dipasang pada potongan 15 untuk 2 jalur. Perletakan WIM adalah sebelum causeway
untuk 3 jalur termasuk jalur darurat pada kedua sisi; Surabaya dan Madura. Hal ini
dikarenakan pengulangan pembebanan yang melebihi ketentuan pada waktu yang pendek
akan menghasilkan regangan kumulatif yang akan mengakibatkan menurunkan elastisitas
beton (memory effect), disamping itu akan mengakibatkan tidak berfungsinya sensor
karena melebihi kapasitasnya.
Beberapa contoh sensor yang akan dipasang di jembatan Suramadu:
Global Positioning System (GPS) : untuk mendapatkan data pergeseran posisi
dari beberapa titik yang menjadi acuan dari elemen-elemen jembatan secara 3 dimensi
dalam kondisi lama dan real time, parameter dinamis, dan pengaruh kondisi sekitar .
Gege Regangan (Strain Gauge) : bertujuan untuk mengetahui ukuran dari jumlah
deformasi dari sebuah elemen struktur yang berpengaruh akibat gaya-gaya (beban mati
dan hidup) yang diterima.
Sensor Rotasi (Tilt Meter) : untuk mengetahui dan mengukur rotasi dari sebuah
elemen jembatan berkenaan dengan suatu angka datum yang diwakili oleh vector gaya
gravitasi
Anemometer : bertujuan untuk mendapatkan kecepatan dan arah angin pada
suatu titik acuan. Data yang dihasilkan dapat digunakan untuk menghitung kecepatan rata-
rata angin, kekuatan angin dan turbulensi nya. Hasilnya akan didapat akan menentukan
batas keamanan baik untuk kendaran roda 4 atau roda 2 yang masuk ke jembatan
sekaligus sebagaii Sistem peringatan dini (Early Warning System) akan terhubung dengan
toll gate. Jika batas angin melebihi kecepatan ambang batas maka pintu akan tertutup
secara otomatis.
Displacement Transducer : bertujuan untuk mendapatkan pergerakan dari
konstruksi pylon jembatan
Accelerometer : untuk mengukur / mengetahui getaran yang terjadi pada jembatan
khususnya pada elemen pylon, kabel, deck jembatan. Juga untuk mengukur respon
jembatan khususnya pada saat terjadi gempa
Electromagnetic Sensor (EM) : bertujuan untuk mendapat parameter kekuatan
kabel yang selanjutnya akan ditransmisikan ke Unit Pengumpul Data ke data processing
unit untuk dapat divisualisasikan ke Monitoring Room.
Digital Video Camera (DVC) : untuk mengetahui kondisi jembatan secara visual
dan pengamatan lalu intas kendaraan yang melewati jembatan secara real time. Juga
dimaksudkan untuk memonitor keamanan dan keselamatan jembatan serta terhadap
jalur navigasi / pelayaran yang melewati jembatan Suramadu. Penempatan kamera akan
diatur agar bisa mencakup keseluruhan jembatan.
4.4 Analisis Dampak Sosial dan Pengembangan Wilayah Suramdu
4.4.1 Perubahan Sosial; Sebuah Analisis
Masih dalam pengamatan secara sederhana dan melalui sudut pandang ilmu
sosial, penulis sandarkan analisis berikut seperti yang telah antropolog budaya Madura,
Latif Wiyata menulis; Suramadu merupakan bagian dari infrastruktur vital yang akan
menunjang proyek besar di baliknya. Namun hingga kini, tak dapat dibilang sedikit jumlah
mereka―orang-orang Madura―yang mungkin saja belum mengerti tentang proyek apa
saja yang hendak di bangun di daerahnya. Tetapi meski pada tataran realitas empirisnya
demikian, janji-janji pemerintah senantiasa melambungkan harapan orang-orang Madura.
Jargonjargon ekonomis sering terdengar, semisal Madura akan menjadi zona industri
(modern) dengan investasi besar dan kelak dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Mereka yang selama ini cendrung dikebiri dalam hal ekonomi, dengan harapan
penuh nasibnya kedepan dapat meningkat dengan jaminan terciptanya suasana
kehidupan yang beraroma kemakmuran. Namun demikian, senyatanya pelbagai
perhitungan ekonomi tersebut tidak berdiri sendiri. Sebagaimana dikatakan Schumacher;
”ekonomi bukanlah sebuah entitas yang otonom dan independen”. Artinya, harus ada
sinergi antara ekonomi dengan nilai-nilai sosial dan budaya, dan atau lingkungan dimana
ekonomi tersebut di terapkan. Dengan kata lain, beragam kondisi non ekonomis lainnya
tak kalah penting untuk juga dipertimbangkan dalam proses pembangunan di Madura,
seperti kondisi sosial budaya dan kondisi politik. Telah difungsikannya jembatan
Suramadu, cepat atau lambat, akan menimbulkan perubahan sosial masyarakat Madura
yang selama ini dikenal masyarakat agraris. Sebagian besar kalangan berpandangan, pola
kehidupan warga Madura akan di warnai industrialisasi pada nantinya. Kaitannya dengan
hal ini, para investor seyokyanya merespon positif karak-teristik sosial budaya masyarakat
Madura yang terbuka dan adaptif terhadap suasana dan lingkungan baru. Karena
bagaimanapun, masuknya “kaum kapitalis” yang akan disertai beropra-sinya mesin-mesin
industri, sudah barang tentu merupakan kondisi bagi terbentuknya suasana dan
lingkungan baru bagi kelangsungan masyarakat Madura untuk kedepannya.
4.4.2 Pengembangan Wilayah Suramadu
A. Visi Dan Misi Pengembangan Wilayah Suramadu
Visi yang dikembangkan adalah: Kawasan Suramadu sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan sebagai simpul transportasi Internasional
yang dapat menjamin keberlanjutan pembangunan Pulau Madura sesuai nilai
masyarakat Madura dan meningkatkan perkembangan ekonomi Jawa Timur dan
Nasional.
Adapun Misinya adalah:
Mengembangkan industri dan jasa yang kompetitif yang saling
menguatkan dengan pengembangan SDM (sumber daya manusia).
Mengembangkan infrastruktur yang handal dan tata ruang yang sesuai
dengan prinsip pengembangan berkelanjutan.
Meningkatkan kemampuan SDM, dengan tetap mempertahankan nilai
budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat.
Mengembangkan sistim perajinandan pelayanan public yang cepat.
B. Konsep Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah Suramadu mengacu pada Perpres 27/2008
tentang Percepatan Pengembangan Wilayah Suramadu dan Peran Jembatan
Suramadu. Selain memperhatikan dasar hukum untuk legalisasi pengembangan
kawasan Madura, BPWS juga memasukkan kondisi sosial ekonomi, potensi dan
lingkungan alam, aspirasi masyarakat, serta visi pembangunan dan tata ruang
provinsi, kabupaten/kota yang terkait dengan pengembangan wilayah Madura.
Kedua aspek tersebut dilengkapi dengan kajian mengenai studi pengembangan
Madura dan Kementerian PU, studi GKS dari Kementerian PU dan JICA, serta
studi pengembangan pelabuhan metropolitan Surabaya yang dikaji oleh
Kementerian Perhubungan dan JICA.
Rencana induk pengembangan wilayah Madura jika dipetakan berisi 3
sasaran pengembangan yang berlaku lima tahunan, antara lain:
a. Sasaran Lima Tahun Pertama:
Penyelesaian public space dan rest area, jalan tol, pelabuhan peti kemas,
tersedianya sarana dan prasarana pengembangan SDM dan peningkatan
peran dari UKM yang telah dibina dan terbangunnya 30 km ruas jalan lintas
Pulau Madura. Dalam lima tahun pertama ini direncanakan anggaran yang
dibutuhkan mencapai Rp 18 T, dimana sebanyak Rp. 13 T diantaranya dari
pihak swasta.
b. Sasaran Lima Tahun Kedua:
Terbangunnya jalan tol dan pelabuhan peti kemas, teralirinya Pulau
Madura dengan 600 MW listrik dan 1000 ltr/detik air bersih. Dalam lima tahun
kedua juga dikembangkan 60 Ha kawasan industri serta pengembangan UKM
dan terbangunnya 130 km jalan lintas. Dalam lima tahun kedua direncanakan
investasi swasta sebesar Rp. 15 T dari rencana investasi mencapai Rp. 16 T.
c. Sasaran Lima Tahun Ketiga:
Mengalirnya 2500 ltr/detik air bersih, 900 MW listrik, terbangunnya 230 km
jalan lintas dan 9000 ha kawasan industri yang mendukung Wilayah
Suramadu menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa
Timur.
C.Konsep Pengusahaan Kawasan Kaki Jembatan Dan Kawasan Khusus
Pengembangan KKJS (Kawasan Kaki Jembatan Suramadu) dilaksanakan
dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang terkait yang berlaku di kawasan
tersebut antara lain RTRWN, RTRWP Jatim, RTRVVK Bangkalan, RTRWK
Sampang, Bappeda, Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan, serta
Studi Sektor (Ditjen Tata Ruang, Kementrian Perhubungan, dll), yang
menghasilkan arah pengembangan (struktur dan pola ruang) wilayah Suramadu
yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Rencana pengembangan KKJS sisi Surabaya adalah untuk kawasan
wisata, kawasan komersial, dan kawasan permukiman. Pengembangan KKJS sisi
Madura juga memperhatikan dukungan pola ruang dan struktur ruang wilayah
Madura yang menyatakan bahwa Kabupaten Bangkalan yang tergabung dalam
perkotaan Gerbangkertosusila sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Kabupaten Pamekasan sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Kabupaten
Sampang dan Kabupaten Sumenep sebagai Pusat Kegiatan Lingkungan (PKL).
Dari struktur dan pola ruang wilayah Suramadu, BPWS menyusun rencana blok
permanfaatan ruang “600 Ha” di sisi Madura.
Rencana blok plan yang telah disusun untuk kawasan ini meliputi:
Pembangunan kawasan wisata seluas 23,61 Ha di kaki Jembatan
Suramadu sisi Madura yang dilengkapi dengan rest area –fair ground
seluas 33,01 Ha.
Ke arah utara dari pembangunan kawasan wisata dan rest area tersebut
diarahkan untuk pengembangan kawasan industri (332,89 Ha) dan
kawaan permukiman (120,02 Ha). Di pusat kawasan industry dan
kawasan permukiman direncanakan pengembangan CBD (40,5 Ha) dan
pusat dari masing-masing blok yang diarahkan berupa Ruang Terbuka
Hijau (RTH). Rencana ini digambarkan sebagai berikut:
D. Pengelolaan Kawasan Kaki Jembatan Suramadu
Pengelolaan KKJS dilaksanakan dengan optimalisasi investasi dengan
strategi meliputi:
a. Investasi swasta didorong untuk membangun kawasan dan infrastruktur
yang secara financial dapat memberikan keuntungan bagi
pengembangnya (financially feasible).
b. Investasi pemerintah untuk mendukung kelancaran swasta atau dapat
menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi swasta melalui:
Pembangunan infrastruktur yang tidak financially feasible tetapi
secara ekoomi dapat dilaksanakan oleh Pemerintah
(economically viable).
Menyusun rencana-rencana (Rencana Induk, RTR, DED,
AMDAL)
Penentuan norma dan standar kawasan
Promosi investasi dan pelaksanaan perizinan satu atap.
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini diuraikan kesimpulan penelitian juga disertai saran-saran
berdasarkan hasil yang telah dicapai dalam penelitian dan diharapkan dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang terkait.
5.1 Kesimpulan
Ada 4 periodesasi pembangunan jembatan Suramadu, diantaranya Fase Awal
(1950 – 1970), Meretas Mimpi Tri Nusa Bima Sakti (1970 – 1990), Merajut Harapan (1990
– 2000), Jadi Kenyataan (2000 – sekarang). Ini membuktikan bahwa terdapat semangat
yang gigih dalam pembangunan jembatan ini. Berawal dari gagasan Gubernur Jawa Timur
M. Noer hingga menjadi kenyataan. Gagasannya adalah agar Kamal di ujung Bangkalan
menjadi kota satelitnya Surabaya. Pembangunan jembatan Suramadu ini menjadi bukti
kerja keras dan semangat seluruh elemen yang terlibat dan menjadikan Suramadu
sebagai Jembatan yang menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi Madura, Jawa
Timur dan Indonesia.
5.2 Saran
Dengan adanya pembangunan jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau
Jawa dan Pulau Madura sehingga dapat memajukan kehidupan perekonomian di Madura.
Pembangunan yang ada ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Madura sehingga
potensi-potensi yang ada di daerahnya dapat berkembang dan dikenal oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya. Sifat alami masyarakat Madura yang suka merantau
seharusnya dapat dirubah. Dengan adanya jembatan Suramadu ini, mereka seharunya
lebih dapat melakukan kegiatan ekonomi tanpa harus keluar dari Pulau Madura. Jangan
sampai dengan adanya pembangunan jembatan Suramadu ini, ketimpangan sosial
semakin tajam, sebaliknya dengan adanya penghubung ini diharapkan masyarakat
mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati kehidupan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahadjo, H. 2005. Pembangunan ekonomi perkotaan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
A. Latief Wiyata. Suramadu dan Konflik Kekerasan. Kompas, edisi terbit (13-Juni-2009).,
hlm. 6.
America’s National Council on Public Private Partnership (http://www.NCPPP.org)
Bult-Spiering, M. & Dewulf, G. 2006. Strategic Issues in Public-Private Partnerships : An
International Perspective. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Grimsey & Lewis. 2004. Public-Private Partnerships Policy and Practice: A Reference
Guide. London: Commonwealth Secretariat.
Hand Book Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) . 2011.
Hand Book Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2002.
Hand Book Kementrian Pekerjaan Umum. 2009.
Hand Book Kerjasama Pemerintah Swasta. Kementrian Koordinator Bidang
Perekonomian. 2010.
Parente, William J. 2006. Public Private Partnerships dalam Workshop on Fundamental
Principles and Techniques for Effective Public Private Partnerships in Indonesia.
Jakarta.
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.