gastroesophageal refluks gerd
DESCRIPTION
blok 16TRANSCRIPT
Dewa Ayu Agung Gita Sugandhi
10.2013.196/d10
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email : [email protected]
Pendahuluan
Gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus
mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi
ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir
kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau
nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala-gejala.
Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan
enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin
menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan
yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal
sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang
berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali
menuju esophagus , hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika
seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah
dan keasaman isi di dalam lambung lebih tinggi dan otot sphincter tidak mungkin
untuk bekerja sebagaimana mestinya.
Faktor yang menyebabkan terjadinya refluks termasuk pertambahan berat
badan, makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok tembakau, dan obat-obatan tertentu. Jenis obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin). Penghambat
saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Alkohol dan kopi juga berperan dengan
merangsang produksi asam. Penundaan pengosongan lambung (disebabkan diabetes
atau penggunaan opioid) bisa juga memperburuk refluks.
1
Anamnesis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau
demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan
temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip
dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan
makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barrett’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika
sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.
Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran
berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
Penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux membuat menelan
makanan keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux
termasuk nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash),
rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).
Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang
disebut Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang
tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker
pada beberapa orang.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal
high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES
(misalnya teofilin).
2
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode
akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien
dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk
ekspresiwajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif
seperticompos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas), tekanan
darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit : Warna
(meliputi pigmentasi,sianosis, ikterus, pucat, eritema dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan
ada/tidaknyaedema. Rambut : Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan karakteristik
lain.Kelenjar getah bening : Dapat dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapatdinilai
di daerah servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk dan ukuran kepala, rambutdan
kulit kepala, ubun-ubun (fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan,mata dilihat
dari visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa,
pada bagian telinga dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani, m
astoid,ketajaman pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus (kesukaran membuka
mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah, salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada
tidaknyamassa di leher, dengan ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya
nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah organ paru dan
jantung.Secara umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa
tidaknya, pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat bat
as pada saat perkusi didapatkan bunyi perkusinya, bagaimana(hipersonor atau
timpani), apabila udara di paru atau pleura bertambah, redup atau pekak, apabila
terjadi konsolidasi jarngan paru, danlain-lain serta pada saat auskultasi paru dapat ditentukan
suara nafas normal atau tambahanseperti ronchi, basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-
3
lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada pemeriksaan jantung dapat
diperiksa tentangdenyut apeks/iktus kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi
jantung, atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data pemeriksaan tentang ukuran atau
bentuk perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanyanyeri tekan
serta dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yangditentukan ada tidaknya
dan pembesaran pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan padadaerah anus, rektum serta
genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya rentang gerak, keseimbangandan
gaya berjalan, genggaman tangan, otot kaki, dan lain-lain
Pemeriksaan Penunjang
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan
mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau
regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
4
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada
NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan
klasifikasi Savarry-Miller.
Klasifikasi Los Angeles
Derajat
kerusakan
Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi
seluruh lumen esophagus)
Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan
dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun
pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu
pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala
disfagia, dan pada hiatus hernia.
5
Barret’s Esophagus
Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M
dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap
monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila
larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap
positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang
berasal dari esophagus.
Pemeriksaan Darah Samar
Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik oleh
iritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya banyak, bisa
terjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau mengeluarkan tinja
berwarna kehitaman (melena). Jumlah darah yang terlalu sedikit sehingga
tidak tampak atau tidak merubah penampilan tinja, bisa diketahui secara
kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari adanya ulkus, kanker
dan kelainan lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur, dokter mengambil
sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada secarik kertas saring yang
mengandung zat kimia. Setelah ditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinja
akan berubah bila terdapat darah.
Diagnosis kerja
Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa
penuh, dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Batuk dan sesak serta
6
mempunyai riwayat astma. Pada penderita astma sekitar 40-70% mengalami
gastroesophageal refluks. Maka diagnosis kerjanya adalah GERD.
Diagnosis Banding
Etiologi
Penyakit gastroesofageal
refluks bersifat multifaktorial. Hal
ini dapat terjadi oleh karena
perubahan yang sifatnya
sementara ataupun permanen pada
barrier diantara esophagus dan
lambung. Selain itu juga, dapat
disebabkan oleh karena sfingter
esophagus bagian bawah yang
inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,
terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.
Patogenesis
Esofagus dan gaster
dipisahkan oleh suatu zona
tekanan tinggi yang dihasilkan
oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat
terjadinya aliran antegrad yang
terjadi pada saat menelan, atau
aliran retrograd yang terjadi pada
7
saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya
terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah
antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif
adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya
tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat
terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD
ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat
menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,
peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak
bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan
dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR),
yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5
detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya
TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi
lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
8
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva
dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin
besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD
ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki
lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
- membran sel
- batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esophagus
- aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,
serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,
sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion
H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
9
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari
HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya
rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain
dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara
infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi
H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori
sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis,
pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan
corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan
sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan
gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.
pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan
corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD
serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD
sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
10
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas visceral.
Pengobatan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup,
terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan mencegah timbulnya komplikasi.
Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :
Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta
menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan
untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur
serta mencegah refluks asam dari lambung ke
esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam
sebelum tidur
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena
keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara
langsung mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta
Mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat
menimbulkan distensi lambung
Menurunkan berat badan pada pasien
kegemukan
11
Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam
Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,
agonis beta adrenergic, progesterone.
Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna
bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi
supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat
dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah
atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl,
obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan
obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid
12
yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif
dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah
dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul
efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping
yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
13
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di
eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
Pencegahan
Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan
gastroesophageal reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci
mencegah asam mengalir dari kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanan
dan obat-obatan yang menjadi penyebab harus dihindari, sama seperti merokok.
Pemberian obat bethanechol atau metoclopramide juga biasa digunakan untuk
membuat sphincter bagian bawah lebih ketat. Makanan dan minuman yang secara
kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau yang menghambat
pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.
Prognosis
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan
diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-
demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua
minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada
tatalaksana GERD.
14