geologi dan studi alterasi hidrotermal daerah andulan kecamatan walenrang utara kabupaten luwu...
TRANSCRIPT
i
GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTERMAL
DAERAH ANDULAN KECAMATAN WALENRANG UTARA
KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN
SKRIPSI
OLEH :
RIFKI FEBRIANTO
111.040.005
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2011
ii
GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTERMAL
DAERAH ANDULAN KECAMATAN WALENRANG UTARA
KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN
Mengetahui,
Ketua Jurusan
Ir. Sugeng Raharjo, M.T.
NIP . 030217238
Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA.
NIP . 030168171
Pembimbing II
Ir.F.Soehartono, M.Si.
NIP . 030146745
SKRIPSI
Oleh :
RIFKI FEBRIANTO
111.040.005
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi
Yogyakarta, 11 Agustus 2011
Menyetujui,
iii
.
Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua,
anak dan istri tercinta.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesaikannya laporan penelitian
ini, adapun diantaranya ialah :
Kedua orang tua, yang selama ini telah mendidik dan membesarkan penulis
dengan kasih sayangnya serta membiayai pendidikan hingga ke jenjang ini.
Ir. Sugeng Raharjo, MT. selaku ketua jurusan
Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA., selaku dosen pembimbing pertama yang telah
berkenan meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaganya guna
membimbing penulis dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul
sewaktu menyelesaikan penyusunan laporan penelitian.
Ir. F.Soehartono, M.Si., selaku dosen pembimbing kedua yang juga telah
berkenan meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaganya guna
membimbing penulis menyelesaikan laporan, dengan diselingi humor-humor
ringan dan guyonannya.
Ir. M. Hasyir Naufalin, MT., selaku koordinator dan pembimbing lapangan,
terima kasih atas segala dukungan, dan waktu yang telah banyak terbuang
untuk membantu.
Ir. Nugrahanto, Ir. Taryoko dan Ir. Amin Dahrussalam, selaku pembimbing di
lapangan. Bersama orang-orang hebat seperti anda pekerjaan terasa lebih
ringan.
Seluruh teman-teman, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namanya.
Terima kasih atas motivasi dan kerjasamanya, termasuk dukungan sarana dan
prasarananya.
v
SARI
GEOLOGI DAN STUDI ALTERASI HIDROTERMAL
DAERAH ANDULAN KECAMATAN WALENRANG UTARA
KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN
Oleh :
RIFKI FEBRIANTO
111.040.005
Lokasi penelitian secara UTM terletak pada zona 51M, berada di antara titik
175000 mE – 180000 mE dan 9690000 mS – 9696000 mS dan secara astronomis
terletak dikoordinat 02o45’00” LS sampai 02
o49’05” LS dan 120
o03’40,80” BT
sampai 120o07’18,04” BT.
Daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi dan empat sub
satuan geomorfologi yaitu satuan vulkanik yang mempunyai dua sub satuan, yaitu
sub satuan perbukitan vulkanik berlereng curam (V1), dan sub satuan perbukitan
vulkanik berlereng menengah (V2), satuan fluvial yang mempunyai satu sub satuan,
yaitu sub satuan dataran aluvial (F1), dan satuan struktural yang mempunyai satu sub
satuan yaitu sub satuan perbukitan homoklin (S9), (Van Zuidam, 1983). Pola aliran
di daerah telitian termasuk pola sub dendritik. Berdasarkan tingkat erosi dan stadia
sungai maka daerah telitian termasuk dalam stadia dewasa dimana dicirikan dengan
lembah sungai berbentuk “U”, bermunculan anak sungai dan erosi lateral lebih
dominan.
Stratigrafi daerah penelitian dari tua kemuda adalah satuan batugamping
(Formasi Toraja) berumur Eosen awal–tengah, satuan breksi (Formasi Gunungapi
Lamasi) berumur Oligosen, satuan andesit (Formasi Gunungapi Lamasi) berumur
Oligosen.
Hubungan stratigrafi antara batugamping dengan satuan yang ada diatasnya
adalah tidak selaras. Diatas batugamping diendapkan secara tidak selaras satuan
breksi (Formasi Gunungapi Lamasi), dan satuan andesit (Formasi Gunungapi
Lamasi), dimana hubungan antara breksi dan andesit ialah bersilang jari.
Struktur geologi yang berkembang juga sangat bervariasi, struktur geologi
yang terdapat pada daerah penelitian yaitu berupa kekar, baik kekar terorientasi
maupun kekar terorientasi semu. Pada daerah penelitian juga terdapat sesar, yaitu
sesar geser dan sesar normal yang mempunyai arah relatif tenggara-barat laut.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang didukung dengan hasil
analisis termasuk diantaranya analisis petrografi dan XRD, zona alterarsi yang
terdapat di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga zonasi, antara lain
adalah, zona alterasi filik, yang kedua ialah zona alterasi advanced argilik dan yang
ketiga ialah zona alterasi propilitik.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
dan karunia-Nya sehingga terselesaikannya laporan yang berjudul “Geologi dan
Studi Alterasi Hidrotermal Daerah Andulan kecamatan Walenrang Utara Kabupaten
Luwu Propinsi Sulawesi Selatan” ini.
Merupakan suatu pengalaman dan proses belajar yang tidak terlupakan,
menerapkan dan mengaplikasikan apa yang telah didapatkan didapatkan dari bangku
perkuliahan yang syarat akan teori-teori dan hukum-hukum, di lapangan. Pada
akhirnya penulis sadar bahwa segala sesuatu yang telah diberikan oleh para pengajar
selama ini ada maksud dan tujuan tersendiri yang kesemuanya demi kebaikan anak
didiknya.
Penulis sadar bahwa masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam
penyusunan laporan skripsi ini, sangatlah penulis harapkan masukan-masukan,
koreksi serta kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan
kualitas penulis dalam pembuatan laporan maupun karya tulis ilmiah pada
kesempatan berikutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat sesuai yang penulis
harapkan.
Yogyakarta, Juni 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................
SARI ..........................................................................................................................
KATA PENGANTAR .............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
DAFTAR TABEL ...................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
DAFTAR FOTO .....................................................................................................
BAB 1 PEDAHULUAN...........................................................................................
1.1. Latar Belakang Penelitian .............................................................................
1.2. Sistematika Penelitian ...................................................................................
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian .....................................................................
1.4. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian ................................................
1.5. Rumusan Masalah .........................................................................................
1.6. Hasil Penelitian .............................................................................................
1.7. Manfaat Penelitian ........................................................................................
BAB 2 METODOLOGI KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI....................
2.1. Metodologi Peneletian ..................................................................................
2.2. Pengumpulan Data ........................................................................................
II.2.1. Sumber Data .....................................................................................
II.2.2. Teknik Pengumpulan Data ................................................................
2.3. Bahan dan Alat .............................................................................................
2.4. Peneliti Terdahulu ........................................................................................
2.5. Dasar Teori Alterasi Hidrotermal .................................................................
2.5.1. Alterasi Hidrotermal ..........................................................................
2.5.2. Tipe Endapan Hidrotermal …………………………………………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
x
xi
xii
1
1
2
2
2
3
4
4
6
6
8
8
8
9
10
11
12
14
viii
2.5.2.a. Hipotermal .........................................................................
2.5.2.b. Mesotermal .........................................................................
2.5.2.c. Epitermal .............................................................................
2.5.3. Proses Alterasi Hidrotermal ...............................................................
2.5.2.a. Kaolinisasi ............................................................................
2.5.2.b. Serisitisasi .............................................................................
2.5.2.c. Silisifikasi .............................................................................
2.5.2.d. Propilitisasi ...........................................................................
2.5.2.e. Saussuritisasi .........................................................................
2.5.4. Ubahan ..............................................................................................
2.5.5. Pembagian Zonasi Ubahan …………………………………............
2.5.6. Model Zonasi Ubahan ……………………………………………...
2.5.6.1. Model Zona Ubahan Creasey (1966) ……………………....
2.5.6.2. Model Zonasi Ubahan Lowel dan Guilbert (1970) ………..
2.5.7. Resume ……………………………………………………………..
BAB 3 TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL .......................................................
3.1. Geomorfologi Regional ...............................................................................
3.2. Stratigrafi Regional ......................................................................................
3.2.1. Formasi Latimojong (K1)…………………………………………..
3.2.2. Formasi Toraja ……………………………………………………..
3.2.3. Batuan Gunungapi Lamasi (Tolv) ………………………………….
3.2.4. Formasi Date (Tomd) dan Formasi Makale (Tomm) ………………
3.2.5. Formasi Salowajo (Toms) ………………………………………….
3.2.6. Formasi Loka (Tml) ………………………………………………..
3.2.7. Formasi Mandar (Tmn) …………………………………………….
3.2.8. Formasi Sekala(Tmps) dan Batuan Gunungapi Walimbong (Tmpv)
3.2.9. Formasi Mapi (Tmpm)……………………………………………...
3.3. Struktur Geologi dan Tektonika ..................................................................
BAB 4 GEOLOGI DAERAH ANDULAN DAN SEKITARNYA ........................
4.1. Geomorfologi ...............................................................................................
14
14
14
15
15
15
16
16
16
16
18
20
20
21
22
25
25
27
27
27
27
28
28
28
28
29
29
30
36
36
ix
4.1.1. Kelerengan ......................................................................................
4.1.2. Bentuk Lahan ....................................................................................
4.1.2.a. Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Terjal (V1) ..........
4.1.2.b Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Menengah (V2) ..
4.1.2.c. Satuan Dataran Aluvial (F1) …….....................................
4.1.2.d. Satuan Perbukitan Homoklin Berlereng Terjal (S9) …….
4.1.3. Pola Pengaliran ................................................................................
4.1.4. Stadia Geomorfologi .......................................................................
4.1.5. Morfogenesis ...................................................................................
4.2. Stratigrafi .....................................................................................................
4.2.1. Satuan Andesit Formasi Gunungapi Lamasi .......................................
4.2.2. Satuan Breksi Formasi Gunungapi Lamasi ......................................
4.2.3. Satuan Batugamping Formasi Toraja..............................................
4.3. Struktur Geologi ..........................................................................................
4.3.1. Struktur Kekar ..................................................................................
4.3.1.a. Kekar Terorientasi Semu ....................................................
4.3.1.b. Kekar terorientasi ..............................................................
4.3.2. Struktur Sesar ...................................................................................
4.3.2.a. Sesar Mataluntun .................................................................
4.3.2.b. Sesar Makawa ....................................................................
4.4. Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi .............................................
BAB 5 STUDI ALTERASI HIDROTERMAL……................................................
5.1. Alterasi Hidrotermal Daerah Sungai Mataluntun dan Makawa ....................
5.1.1. Alterasi Filik …..............................................................................
5.1.2. Alterasi Advanced Argilik ..................................................................
5.1.3. Alterasi Propilitik ……………………………………………………
5.2. Hasil Analisa Kadar AAS .............................................................................
5.3. Hubungan Alterasi Dengan Sruktur dan Litologi Pada Daerah Penelitian..
BAB 6 KESIMPULAN ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
LAMPIRAN .............................................................................................................
37
39
39
40
41
42
44
44
45
46
46
49
51
53
53
55
56
56
57
58
59
62
62
62
67
69
75
75
77
78
80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral (Creasy, 1966;
Lowell dan Guilbert, 1970 dalam anonim, 1997) ..............................
Tabel 3.1. Kolom stratigrafi regional (Djuri, dkk, 1998) ...................................
Tabel 4.1. Hubungan antara presentase sudut lereng dan beda tinggi dalam
klasifikasi relief (Van Zuidam, 1983).................................................
Tabel 4.2. Klasifikasi satuan bentang alam berdasarkan genetik ITC dalam
Van Zuidam 1983 ..............................................................................
Tabel 4.3. Kolom lithostratigrafi daerah telitian ................................................
Tabel 5.1. Hasil analisa XRD LP 48 ..................................................................
Tabel 5.2. Hasil analisa XRD LP 55 ..................................................................
Tabel 5.3. Tabulasi data kandungan unsur dari hasil analisa AAS ...................
13
30
37
38
46
66
73
75
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Lokasi daerah telitian ......................................................................
Gambar 3.1. Peta satuan lithotektonik Sulawesi (Van Leeuwen, 1994) ..........
Gambar 3.2. Geologi regional Sulawesi (Hamilton, 1979) ..................................
Gambar 3.3. Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (R.A.B. Sukamto, 1973),
Dibagian tengah mandala ini juga didapatkan suatu terban yang
memanjang kearah utara–selatan yang disebut terban Walanae.
Terban ini dibatasi oleh dua sesar normal yang berarah utara-
selatan. Kemudian terban ini terisi oleh produk-produk vulkanik
Kuarter..............................................................................................
Gambar 3.4. Tumbukan antara Mikrokontinen Banggai-Sula dengan subduksi
Sunda pada kala Pliosen akhir (Sartono, dkk. 1991)
................................................................................................
Gambar 4.1. Klasifikasi stadia geomorfologi, Lobeck, 1939...............................
Gambar 4.2. Hubungan antara Shear Joint, Extension dan Release Joint
terhadap prinsip arah tegasan ..........................................................
Gambar 4.3. Klasifikasi penamaan sesar berdasarkan (Rickard, 1972) ..........
Gambar 4.4. Mekanisme struktur geologi berdasarkan model teori strain
ellipsoid menurut Reidel (modifikasi dari teori Harding, 1974)
dalam Mc Clay, 1987 ......................................................................
Gambar 4.5. Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian yang
menunjukkan arah umum tegasan maksimum relatif barat laut-
tenggara yang menyebabkan terbentuknya sesar geser Makawa
dan sesar turun Mataluntun .............................................................
Gambar 5.1. Grafik analisa XRD LP 48 ..............................................................
Gambar 5.2. Temperatur pembentukan mineral alterasi .....................................
Gambar 5.3. Grafik analisa XRD LP 55 ..............................................................
Gambar 5.4. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi propilitik
..........................................................................................................
3
25
33
34
35
45
54
57
60
62
65
67
72
74
xii
DAFTAR FOTO
Foto 4.1. Satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng terjal di daerah
gunung Biang, arah kamera N040oE
............................................................................................................
Foto 4.2. Satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng terjal di daerah
sungai Mataluntun, arah kamera N040oE
............................................................................................................
Foto 4.3. Satuan bentuklahan perbukitanvulkanik berlereng menengah di
sebelah utara gunung Rangiri, arah kamera N043oE
............................................................................................................
Foto 4.4. Satuan bentuklahan dataran aluvial di daerah sungai Makawa, arah
kamera N336oE ..................................................................................
Foto 4.5. Satuan bentuklahan dataran aluvialdi daerah sungai Makawa, arah
kamera N138oE .................................................................................
Foto 4.6. Satuan bentuklahan perbukitan homoklin berlereng terjal, arah
kamera N260oE, lokasi pengamatan 39 ..........................................
Foto 4.7. Satuan bentuklahan perbukitan homoklin berlereng terjal, arah
kamera N254oE ..................................................................................
Foto 4.8. Singkapan andesit pada LP 23 dengan arah kamera N084°E………
Foto 4.9. Singkapan andesit dengan parameter palu geologi (Insert foto 4.8)
………………………………………………………………………
Foto 4.10. Sayatan batuan beku volkanik LP 23, beserta deskripsi petrografi
………………………………………………………………………
Foto 4.11. Singkapan breksi pada lokasi pengamatan 64 dengan kamera
menghadap N084°E ………………………………………………...
Foto 4.12. Singkapan breksi dengan parameter kompas geologi (insert foto
4.11.) ..................................................................................................
Foto 4.13. Sayatan batuan beku volkanik LP 64, beserta deskripsi
…………………………………….................................................
39
40
41
42
42
43
43
47
47
48
49
50
50
xiii
Foto 4.14. Foto singkapan batugamping pada lokasi pengamatan LP 70
dengan arah kamera N270°E …………………………………………..
Foto 4.15. Singkapan batugamping dengan parameter kompas geologi LP 70
(insert foto 4.14) ……………………………………………………
Foto 4.16. Foto sayatan tipis LP 70, beserta deskripsi …………………………
Foto 4.17. Kekar terorientasi semu yang terletak pada lokasi pengamatan 27
daerah Gunung Biang, dengan arah kamera menghadap ke bawah
………………………………………………………………………
Foto 4.18. Kekar terorientasi yang dijumpai pada lokasi pengamatan 46,
dengan arah kamera menghadap ke bawah ………………...............
Foto 4.19. Zona hancuran (breksiasi) pada andesit, dan kenampakan kekar
pada lokasi pengamatan 52 dengan arah kamera N189°E ................
Foto 4.20. Bidang sesar mendatar, di daerah Makawa, arah kamera N327oE …
Foto 5.1. Singkapan andesit teralterasi didapatkan mineral pirit dan
kalkopirit yang menyebar pada batuan ..............................................
Foto 5.2. Andesit teralterasi dengan parameter uang logam (insert foto 5.1)
............................................................................................................
Foto 5.3. Sayatan batuan teralterasi, beserta deskripsi .....................................
Foto 5.4. Alterasi advanced argilik di batuan andesit pada satuan
andesit.................................................................................................
Foto 5.5. Singkapan andesit teralterasi dan didapatkan mineral pirit dan
kalkopirit yang menyebar pada batuan ……………………………..
Foto 5.6. Singkapan andesit teralterasi dengan parameter spidol (insert foto
5.5) ……………………………………………………………..
Foto 5.7. Sayatan batuan teralterasi, beserta deskripsi ………………………...
Foto 5.8. Sayatan poles batuan alterasi ……………………………..................
51
52
52
55
56
58
59
63
64
64
68
69
69
70
70
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting
dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang
berkembang dan bekerja di daerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu
ini akan mendorong para ahli untuk melakukan penelitian secara regional, namun
masih diperlukan suatu penelitian yang lebih detail guna melengkapi data geologi
yang telah ada mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta
aspek geologi teraplikasi lainnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis melakukan penelitian mengenai
keadaan geologi daerah Andulan dan sekitarnya, Kecamatan Walenrang Utara,
Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan data-data geologi
daerah Andulan yang secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan
Walenrang Utara, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan, terutama untuk
pengembangan daerah tersebut.
Penelitian geologi lapangan ini meliputi kegiatan pemetaan terhadap aspek
geomorfologi yaitu dengan melihat permukaan bumi diantaranya gerakan tanah
proses erosi, bentukan sungai dan beberapa gejala lainnya. Aspek stratigrafi
membahas mengenai jenis batuan, urutan lapisan dan umur batuan yang ada di
daerah penelitian. Struktur geologi membahas mengenai pengaruh struktur yang
bekerja serta hubungannya dengan stratigrafi di daerah tersebut. Sedangkan potensi
bahan galian membahas mengenai indikasi penyebarannya yang dapat dimanfaatkan
untuk keperluan penduduk di daerah sekitar maupun oleh penduduk di luar daerah
tersebut, serta dapat menceritakan sejarah geologi daerah penelitian.
2
1.2. Sistematika Penelitian
Dalam penyelesaiannya penulis melakukan pendekatan masalah dengan
melakukan penelitian dan pengamatan langsung di lapangan, penelitian laboratorium,
analisa dan sintesa, serta studi pustaka dengan harapan dapat membantu
menyelesaikan masalah geologi daerah telitian.
1.3. Maksud Dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan geologi
permukaan secara umum sebagai salah satu upaya untuk menyajikan informasi
geologi yang ada dengan menggunakan peta dasar skala 1: 25.000, serta melakukan
suatu analisa berdasar atas data pada daerah telitian, kemudian dibuat suatu laporan
penelitian untuk melengkapi persyaratan akademik yang sudah ditentukan oleh
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk mendapatkan gelar sarjana program
pendidikan strata-1 (S1) dengan topik sesuai dengan teori yang didapatkan di bangku
perkuliahan serta aplikasinya.
Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui kondisi geologi yang meliputi
aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan potensi bahan
galian
1.4. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian
Lokasi daerah penelitian terletak di Desa Andulan dan sekitarnya yang secara
administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Walenrang Utara, Kabupaten
Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara astronomis daerah penelitian terletak pada
koordinat 02o45’00” LS - 02
o49’05” LS dan 120
o03’40,80” BT - 120
o07’18,04” BT.
Daerah ini tergambar dalam peta tunjuk lokasi penelitian dan masuk dalam
peta lembar Palopo, nomor 2113-11 edisi I tahun 1991, yang diterbitkan oleh
Bakosurtanal Cibinong Bogor dengan skala 1 : 50.000. Luas daerah penelitian
yang diukur berdasarkan peta dasar berskala 1 : 50.000 adalah 5000 Ha.
Penelitian terletak di sebelah barat laut kota Palopo. Lokasi penelitian dapat dicapai
melalui jalan darat dengan kendaraan baik roda dua maupun roda empat, namun
3
tidak semua lokasi dapat ditempuh dengan berkendaraan, ada beberapa daerah yang
harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Lokasi penelitian tersebut dapat dicapai :
Jakarta-Makasar dengan pesawat udara selama 2 jam
Makasar-Palopo dengan mobil selama 7 jam
Palopo-Kecamatan Walenrang Utara dengan mobil selama +1 jam
Pada perjalanan Palopo-Walenrang Utara, kondisi jalan masih beraspal, tetapi masuk
lokasi penelitian kondisi jalan belum beraspal.
Gambar 1.1. Lokasi daerah telitian
1.5. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan kedalam beberapa
bagian, yaitu :
1. Bagaimana permasalahan geomorfologi pada daerah telitian?
Permasalahan yang timbul mengenai pembagian satuan geomorfik serta pola
pengaliran dan stadia geomorfologi daerah telitian.
2. Bagaimana permasalahan stratigrafi daerah telitian?
4
Permasalahan yang timbul adalah mengenai batas penyebaran satuan batuan
seperti kontak antar dua satuan batuan yang dapat berupa batas tegas maupun
berangsur .
3. Bagaimana permasalahan struktur geologi daerah telitian?
Permasalahan yang timbul ialah mengenai struktur geologi apa saja yang
mengontrol daerah telitian.
1.6. Hasil Penelitian
Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu berupa :
1. Peta lokasi pengamatan, mencakup segala informasi lintasan pengukuran
kedudukan dan lithologi yang berkembang di daerah telitian.
2. Peta geomorfologi daerah telitian, mengandung informasi mengenai
geomorfologi daerah telitian yang meliputi bentuk asal dan bentukan lahan.
3. Peta geologi daerah telitian, mencakup segala informasi geologi mengenai
daerah telitian yang diantaranya sebaran litologi penyusun daerah telitian
serta struktur geologi yang berkembang.
4. Peta alterasi daerah telitian, mencakup informasi mengenai penyebaran
alterasi pada daerah telitian.
5. Peta semi detail alterasi daerah telitian, mencakup informasi mengenai
penyebaran alterasi pada daerah telitian.
1.7. Manfaat Penelitian
Adapun dari penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh manfaat-manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi keilmuan:
a. Mengetahui kondisi geologi daerah telitian.
b. Dapat mengetahui dan memahami alterasi hidrotermal dan hubungannya
dengan proses mineralisasi yang terbentuk serta faktor-faktor
pengontrolnya.
2. Bagi pemerintah :
a. Mengetahui lokasi keberadaan daerah daerah yang berpotensi .
5
b. Sebagai acuan untuk perencanaan, kebijakan, penataan, pengendalian, dan
arah pembangunan yang akan diambil oleh pemerintah daerah Kabupaten
Luwu, pada daerah telitian.
c. Sebagai acuan pengembangan lokasi penambangan.
3. Bagi masyarakat :
a. Masyarakat setempat dapat mengetahui potensi yang terdapat didaerah
tersebut.
b. Sebagai wacana untuk melakukan pengembangan terhadap potensi
daerahnya.
6
BAB 2
METODOLOGI KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1. Metode Penelitian
Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui
observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang
dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan
singkapan dan batuan, pengukuran, serta pengambilan sampel batuan.
Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan
analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan
secara detail. Setelah mendapatkan data dari hasil observasi lapangan, langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis data tersebut yang kemudian disusun sebagai
laporan. Adapun beberapa metodologi yang dipergunakan dalam penelitian dan
pembuatan laporan geologi ini adalah sebagai berikut :
1. Studi pustaka
Studi pustaka mempelajari geologi daerah Sulawesi dan daerah penelitian
berdasarkan publikasi–publikasi dan literatur–literatur yang telah dibuat oleh
peneliti terdahulu. Hal ini sangat penting untuk mengetahui geologi dan
aspek–aspek teoritis dalam ilmu geologi yang berguna sebagai dasar
pemikiran dalam penyelesaian masalah geologi yang dihadapi di lapangan.
Tahapan ini dilakukan sebelum penelitian lapangan dilaksanakan.
2. Pemetaan awal
Pemetaan awal ini sangat berguna untuk mengetahui nama–nama desa atau
daerah yang ada pada daerah penelitian, serta mengetahui macam–macam
lithologi dan penyebarannya. Kegiatan semacam ini sangat berguna untuk
menentukan jalur dan kegiatan penelitian.
3. Pemetaan
Pemetaan ini meliputi :
a. Pengamatan jenis batuan.
7
b. Hubungan antar jenis batuan.
c. Struktur geologi.
d. Struktur sedimen, maupun gejala-gejala geologi lainya.
Apabila mendapatkan kesulitan–kesulitan dalam tahapan–tahapan ini, maka
diadakan diskusi bersama dengan tim dan pembimbing lapangan dalam
mencari penyelesaian masalahnya. Kemudian disinkronkan dengan
penyebaran lateral geologi dengan daerah yang bertampalan dan bila
dianggap perlu diadakan penelitian lapangan bersama–sama.
4. Tahapan pemeriksaan ulang
Tahapan ini dilakukan bersama–sama dengan dosen pembimbing yang
bertujuan untuk memecahkan masalah–masalah dan kesulitan–kesulitan
geologi yang penulis hadapi selama melakukan penelitian di lapangan.
5. Analisa
Tahapan analisa ini meliputi berbagai macam kegiatan–kegiatan
laboratorium, diantaranya adalah :
a. Tahap analisis geomorfologi
Meliputi analisis data lapangan, pengelompokan dan pemerian satuan
geomorfik, analisis sungai, analisis stadia daerah dan morfogenesis.
b. Tahap deskripsi petrografi
Melakukan pengamatan sayatan tipis batuan yang meliputi pengamatan
struktur, tekstur dan komposisi mineralogi/materi penyusun batuan dengan
bantuan mikroskop polarisasi dengan tujuan mengklasifikasikan batuan
dan membantu interpretasi petrogenesa batuan.
c. Tahap identifikasi paleontologi
Melakukan pengamatan makropaleontologi dan atau mikropaleontologi
dengan tujuan untuk membantu menentukan umur.
d. Tahap analisis struktur geologi
Melakukan analisis data struktur geologi dengan bantuan metode-metode
yang ada (diagram kipas, stereonet) dan merekonstruksi struktur geologi
dengan mengacu pada teori dan model yang sudah ada.
8
6. Sintesa
Tahapan ini adalah kelanjutan dari tahapan analisa yang selanjutnya penulis
mencoba untuk menerapkan konsep atau model serta teori–teori geologi yang
ada dalam memecahkan fenomena–fenomena geologi yang ada pada daerah
penelitian.
7. Pembuatan laporan
Pembuatan laporan merupakan kegiatan paling akhir setelah tahapan–tahapan
tersebut di atas dilakukan dan selanjutnya nanti dipresentasikan.
2.2. Pengumpulan Data
2.2.1. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari hasil survei lapangan (data primer) dan data yang
diperoleh melalui survei instansional (data sekunder), yaitu:
a. Data primer adalah data yang langsung diambil dari lapangan, yaitu:
Data bentuklahan (morfografi, morfometri dan morfogenesa) dan
hubungannya dengan sebaran daerah telitian.
Data geologi (litologi, stratigrafi dan struktur geologi) di lokasi penelitian
Data pengukuran-pengukuran kedudukan batuan dan kedudukan struktur
geologi di lapangan.
b. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung, yaitu:
Data peta geologi berikut laporan yang diperoleh dari instansi terkait
seperti dinas energi dan sumberdaya mineral Propinsi Sulawesi Selatan,
Bakosurtanal (Cibinong), hasil penelitian dari pemerintah kabupaten
Luwu, P3G.
Data hasil analisa laboratorium dari sampel yang sudah diambil di lokasi
penelitian.
2.2.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yaitu:
a. Pengumpulan data sekunder, diperoleh dari:
Peta rupabumi dari Bakosurtanal di outlet Bakosurtanal.
9
Peta geologi regional dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
(P3G) di Bandung.
Hasil analisa laboratorium yang berasal dari laboratorium terkait.
b. Pengumpulan data primer diperoleh dari:
Pemetaan langsung dilapangan, melalui pemetaan awal dan pemetaan semi
detail dengan skala 1:25.000.
Pengamatan langsung di lapangan, meliputi aspek geologi (batuan, struktur
geologi dan sedimentologi), geomorfologi dan stratigrafi.
2.3. Bahan dan Alat
Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian
geologi ini adalah sebagai berikut :
1. Peta topografi skala 1 : 25.000.
Digunakan sebagai peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan
pengeplotan titik pengamatan di lapangan.
2. Peta geologi lembar Malili, Majene, dan lembar Palopo bagian barat dengan
skala 1 : 250.000.
3. Palu geologi.
Digunakan untuk mengambil sampel batuan yang ada di lokasi pengamatan.
4. Lup.
Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk
mengamati komposisi penyusun batuan tersebut.
5. Komparator lithologi, ukuran butir serta klasifikasi dasar penamaan batuan.
6. Kantong sampel.
Digunakan sebagai tempat sampel untuk digunakan pada saat analisa
laboratorium.
7. Kompas geologi.
Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan,
mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik
struktur primer maupun sekunder.
8. Buku catatan lapangan.
10
Digunakan untuk mencatat data-data yang ada pada saat melakukan observasi
lapangan.
9. Clipboard.
Digunakan sebagai alas peta topografi dan sebagai alat bantu dalam
melakukan pengukuran data-data di lapangan.
10. Alat tulis.
Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan.
11. Penggaris dalam berbagai bentuk.
Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik
pengamatan.
12. Busur derajat.
Digunakan sebagai alat bantu dalam orientasi medan.
13. Kamera.
Digunakan untuk mengambil data lapangan.
14. HCl 0,1 M.
Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu
batuan.
15. Tas ransel.
Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang
digunakan di lapangan.
2.4. Peneliti Terdahulu
Beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian di daerah Pulau
Sulawesi diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Djuri dan Sudjatmiko (1949), melakukan pemetaan geologi pada lembar
Majene dan bagian barat lembar Palopo menurut pembagian dari dinas
topografi. Hasil dari pemetaan ini diterbitkan sebagai peta geologi skala 1 :
250.000 dan secara resmi disebut sebagai peta lembar majene beserta
keterangan peta dan laporan tertulisnya.
2. Rab. Sukamto (1975), menurutnya ada tiga mandala geologi yang dapat di
wilayah Sulawesi dan sekitarnya. Perbedaan itu terdapat pada stratigrafi,
struktur, dan sejarah geologinya. Ketiga mandala geologi tersebut adalah :
11
a. Mandala Banggai-Sula
b. Mandala Sulawesi Timur
c. Mandala Sulawesi Barat
3. Hamilton.W (1979), dalam “Tectonic of The Indonesian Region”,
menekankan bahwa adanya pulau-pulau dari kelompok Punggungan Sula
merupakan fragmen-fragmen kebenuaan yang berasal dari New Guinea
(Papua) yang bertumbukan dengan Sulawesi bagian timur yang terjadi pada
Kala Tersier Tengah atau Miosen Tengah.
4. Rab. Sukamto dan Simandjuntak T.O. (1983), dalam “Tectonic Relationship
Between Geology Province of Western Sulawesi and Banggai-Sula In The
Light of Sedimention Aspect”.
2.5. Dasar Teori Alterasi Hidrotermal
Bateman (1956), menyatakan bahwa larutan hidrotermal adalah suatu cairan
atau fluida yang panas, kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa
komponen-komponen mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang
dihasilkan pada proses pembekuan magma.
Alterasi dan mineralisasi adalah suatu bentuk perubahan komposisi pada
batuan baik itu kimia, fisika ataupun mineralogi sebagai akibat pengaruh cairan
hidrotermal pada batuan, perubahan yang terjadi dapat berupa rekristalisasi,
penambahan mineral baru, larutnya mineral yang telah ada, penyusunan kembali
komponen kimia-nya atau perubahan sifat fisik seperti permeabilitas dan porositas
batuan ( Pirajno,1992).
Alterasi dan mineralisasi bisa juga termasuk dalam proses pergantian unsur-
unsur tertentu dari mineral yang ada pada batuan dinding digantikan oleh unsur lain
yang berasal dari larutan hidrotermal sehingga menjadi lebih stabil. Proses ini
berlangsung dengan cara pertukaran ion dan tidak melalui proses pelarutan total,
artinya tidak semua unsur penyusun mineral yang digantikan melainkan hanya unsur-
unsur tertentu saja.
12
2.5.1. Alterasi Hidrotermal
Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks yang melibatkan
perubahan mineralogi, kimiawi, tekstur, dan hasil interaksi fluida dengan batuan
yang dilewatinya. Perubahan–perubahan tersebut akan bergantung pada karakter
batuan dinding, karakter fluida (Eh, pH), kondisi tekanan maupun temperatur pada
saat reaksi berlangsung, konsentrasi, serta lama aktifitas hidrotermal. Walaupun
faktor–faktor di atas saling terkait, tetapi temperatur dan kimia fluida kemungkinan
merupakan faktor yang paling berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal.
Menurut Corbett dan Leach (1996), faktor yang mempengaruhi proses
alterasi hidrotermal adalah sebagai berikut :
a. Temperatur dan tekanan
Peningkatan suhu membentuk mineral yang terhidrasi lebih stabil, suhu juga
berpengaruh terhadap tingkat kristalinitas mineral, pada suhu yang lebih
tinggi akan membentuk suatu mineral menjadi lebih kristalin, menurut Noel
White (1996), kondisi suhu dengan tekanan dapat dideterminasi berdasarkan
tipe alterasi yang terbentuk. Temperatur dan tekanan juga berpengaruh
terhadap kemampuan larutan hidrotermal untuk bergerak, bereaksi dan
berdifusi, melarutkan serta membawa bahan–bahan yang akan bereaksi
dengan batuan samping.
b. Permeabilitas
Permeabilitas akan menjadi lebih besar pada kondisi batuan yang terekahkan
serta pada batuan yang berpermeabilitas tinggi hal tersebut akan
mempermudah pergerakan fluida yang selanjutnya akan memperbanyak
kontak reaksi antara fluida dengan batuan.
c. Komposisi kimia dan konsentrasi larutan hidrotermal
Komposisi kimia dan konsentrasi larutan panas yang bergerak, bereaksi dan
berdifusi memiliki pH yang berbeda-beda sehingga banyak mengandung
klorida dan sulfida, konsentrasi encer sehingga memudahkan untuk bergerak.
d. Komposisi batuan samping
Komposisi batuan samping sangat berpengaruh terhadap penerimaan bahan
larutan hidrotermal sehingga memungkinkan terjadinya alterasi.
13
Tabel 2.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral.(Creasey, 1966; Lowell dan
Guilbert, 1970 dalam Anonim, 1997) .
Pada kesetimbangan tertentu, proses hidrothermal akan menghasilkan kumpulan
mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (mineral assemblage)
(Corbett & Leach, 1996). Secara umum himpunan mineral tertentu akan
mencerminkan tipe alterasinya.
Tipe Mineral Kunci Mineral Asesoris Keterangan
Propilitik
Klorit
Epidot
Karbonat
Albit
Kuarsa
Kalsit
Pirit
Lempung/illit
Oksida besi
Temperatur 200 – 300oC ,
salinitas beragam, pH mendekati
netral , daerah dengan permeabilitas
rendah
Argilik
Smektit
Montmorilonit
Illit-smektit
Kaolinit
Pirit
Klorit
Kalsit
Kuarsa
Temperatur 100 – 300oC, salinitas
rendah, pH asam – netral .
Advanced
Argilik
(low
temperature)
Kaolinit
Alunit
Kalsedon
Kristobalit
Kuarsa
Pirit
Temperatur 180oC, pH asam
Advanced
Argilik (high
temperature)
Pirofilit
Diaspor
Andalusit
Kuarsa
Tourmalin
Enargit
Luzonit
Temperatur 250 – 350oC, pH asam
Potasik
Adularia
Biotit
Kuarsa
Klorit
Epidot
Pirit
Illit-serisit
Temperatur > 300oC, salinitas tinggi,
dekat dengan batuan intrusif .
Filik
Kuarsa
Serisit
Pirit
Anhidrit
Pirit
Kalsit
Rutil
Temperatur 230 – 400oC, salinitas
beragam, pH asam – neutral, zona
permeable pada batas urat .
Serisitik
Serisit (illit)
Kuarsa
Muskovit
Pirit
Illit-serisit -
Silisik Kuarsa
Pirit
Illit-serisit
Adularia
-
Skarn Garnet
Piroksen
Amfibol
Epidot
Magnetit
Wolastonit
Klorit
Biotit
Temperatur 300 – 700oC, salinitas
tinggi, umum pada batuan samping
karbonat
14
2.5.2. Tipe Endapan Hidrotermal
Berdasarkan jauh dekat terjadinya proses alterasi hidrotermal, serta
temperatur dan tekanan pada saat terbentuknya mineral-mineral, Lingrend (1983)
dan Beteman (1962) membagi tiga golongan alterasi hidrotermal, yaitu :
1. Endapan Hipotermal dengan ciri sebagai berikut :
a. Endapan berasosiasi dengan dike (korok) atau vein (urat) dengan
kedalaman yang besar.
b.“Wall Rock Alteration”, dicirikan oleh adanya replacement yang kuat
dengan asosiasi mineral : albit, biotit, kalsit, pirit, kalkopirit, kasiterit,
emas, hornblende, plagioklas, dan kuarsa.
c. Asosiasi mineral sulfida dan oksida pada intrusi granit sering diikuti
pembentukan mineral logam, yaitu : Au, Pb, Sn, dan Zn.
d.Tekanan dan temperatur relatif paling tinggi yaitu 500°C – 600°C
e. Merupakan jebakan hidrotermal paling dalam
2. Endapan mesotermal mempunyai ciri-ciri :
a. Endapan berupa “cavity filling” dan kadang-kadang mengalami
proses replacement dan pengkayaan.
b.Asosiasi mineral : klorit, emas, serisit, kalsit, pirit, kuarsa.
c. Asosiasi mineral sulfida dan oksida batuan beku asam dan batuan
beku basa dekat dengan permukaan.
d.Tekanan dan temperatur medium, yaitu : 300°C – 372°C.
e. Terletak di atas hipotermal.
3. Endapan epitermal mempunyai ciri–ciri :
a. Endapan dekat dengan permukaan dan replacement tidak pernah
dijumpai.
b.Asosiasi mineral : kalsit, klorit, kalkopirit, dolomit, emas, kaolin,
muskovit, zeolit, dan kuarsa.
c. Asosiasi mineral logam (Au dan Ag) dengan mineral gangue.
d. Tekanan dan temperatur rendah yaitu 50°C – 300°C.
15
2.5.3. Proses Alterasi Hidrotermal
Proses alterasi hidrotermal akan tergantung daripada kondisi-kondisi geologi
zona jebakan, antara lain aspek fisik, kimia, dan temperatur baik dari pengaruh
larutan magma maupun dari pengaruh–pengaruh luar lainnya. Proses-proses alterasi
hidrotermal tersebut antara lain :
a. Kaolinisasi
b. Serisitisasi
c. Silisifikasi
d. Propilitisasi
e. Saussuritisasi
2.5.3. a. Kaolinisasi
Menurut Ries dan Watson (1958) bahwa alkali feldspar dan plagioklas asam
dapat terubah menjadi mineral kaolin karena proses pelapukan yang intensif dan
disertai dengan penggantian unsur K secara sempurna.
Kaolin dapat pula terjadi di bawah kondisi hidrotermal. Pada ortoklas,
mineral kaolin akan terlihat seperti kabut, sedangkan pada plagioklas asam kaolin
akan terlihat seperti bintik-bintik dalam satu warna. Kaolinisasi terjadi karena
pengaruh larutan sisa magma dan dapat pula terjadi karena sirkulasi vertikal ataupun
lateral dari air permukaan.
2.5.3.b. Serisitisasi
Menurut Ries dan Watson (1958), proses pelapukan mineral feldspar
teralterasi menjadi serisit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan gas air
permukaan yang mengandung gas CO. Pada umumnya proses serisitisasi terjadi pada
daerah dekat dengan vein dan dekat dengan sumber panas. Biasanya proses
serisitisasi mengakibatkan penambahan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang
berasal dari feldspar. Mineral serisit yang terbentuk akan terlihat seperti bintik-bintik
halus bersama kuarsa halus dalam feldspar.
16
2.5.3.c. Silisifikasi
Proses ini terjadi karena introduksi (pemasukan) silikat oleh larutan magma
akhir. Silisifikasi biasanya terbentuk dari alterasi yang berhubungan dengan
pengendapan bijih primer dan dapat pula terjadi pada “post alteration”, yaitu suatu
pengisian pada rongga atau rekahan dari pengaruh luar atau pengaruh dari dalam
batuan itu sendiri. Peristiwa ini sering terjadi pada batuan asam, dan sangat jarang
dijumpai pada batuan basa. Kadang-kadang kuarsa terbentuk sebagai rijang dan
struktur asli dari batuan masih terlihat.
2.5.3.d. Propilitisasi
Menurut Walstrom, propilitisasi adalah hasil alterasi hidrotermal yang
disertai pemasukan yang terbentuk setempat. Kemungkinan mineral yang terbentuk
adalah karbonat, silikat sekunder, klorit, dan sulfida sekunder. Proses akan terjadi
secara maksimal jika batuan berbutir sedang pada daerah mesotermal ataupun
epitermal bawah.
Proses propilitisasi terjadi disebabkan larutan hidrotermal mengandung asam
sulfida pada batuan beku asam sampai intermediet. Proses ini merupakan campuran
dari kwarsa, klorit, alkali feldspar, zeolit, dan disertai adanya pirit. Banyak propilit
ditemukan berhubungan dengan tubuh bijih. Kenampakan alterasi ini pada tingkat
awal, ditandai dengan warna hijau kecoklatan yang disebabkan oleh perubahan
hornblende dan biotit menjadi klorit.
2.5.3.e. Saussuritisasi
Proses ini terjadi karena pengaruh larutan hidrotermal dan sirkulasi air
permukaan yang mengakibatkan terubahnya plagioklas menjadi mineral-mineral
saussurit, yaitu : klorit, albit, kalsit, hornblende, aktinolit, prehnit, dan epidot.
2.5.4. Ubahan
Secara umum di dalam urut-urutan zona ubahan dari batuan asal dimulai dari
yang paling dalam yaitu : zona potasik yang dicirikan dengan hadirnya mineral-
mineral kuarsa, K-feldspar, biotit, serisit, anhidrit yang hadir dalam batuan. Zona
yang kedua adalah zona filik yang dicirikan oleh kehadiran mineral kuarsa, serisit,
dan pirit. Zona propilitik terjadi mobilitas unsur pengkayaan Ca, dimana unsur dari
17
plagioklas dan piroksen akan terubah menjadi epidot dan klorit. Pada zona argilik
terjadi pengkayaan Al, dimana plagioklas dalam kondisi jenuh H2O akan terubah
menjadi kaolinit. Pada kedua zona tersebut akan terjadi pengkayaan Fe dan Mg,
dimana klorit berasal dari ubahan biotit, plagioklas, dan piroksen. Pengkayaan SiO2
di dalam batuan ubahan disebabkan oleh pengendapan lokal kuarsa di dalam urat
kecil, sedangkan pada zona klorit akan ditunjukkan oleh pengkayaan MgO dan
penurunan CaO. Pada batuan kuarsa adularia terjadi penambahan Si, Al, dan K serta
penurunan dalam Mg, Ca, Na, dan H2O.
Tingkat ubahan secara petrologi didasarkan oleh pengkayaan mineral ubahan
yang terjadi. Temperatur dan komposisi kimia fluida diasumsikan sebagai faktor
yang sangat penting di dalam tingkat ubahan, bila dibandingkan dengan kedalaman.
Mineral ubahan terjadi di dalam keseimbangan kimia dan temperatur yang khas
(Elders, dkk, 1979), dan komposisi batuan akan terubah selama proses alterasi
(Elders, dkk, 1979). Selama proses hidrotermal berlangsung maka terjadi mobilisasi
unsur kimia mineral.
Pada zona propilitik terjadi penambahan O2, H2, dan CO2 serta dicirikan oleh
pembentukan epidot, klorit, albit, dan kalsit. Sedangkan proses yang
bertanggungjawab pada zona ini adalah metasomatis. Kehadiran himpunan mineral
ubahan tersebut mencirikan terjadinya pengkayaan kalsium, besi, dan magnesium.
Plagioklas dan piroksen berasal dari batuan asal, pada zona ini akan terubah menjadi
albit, epidot, klorit, kalsit, dan kuarsa dalam persamaan reaksi :
2Na(Al Si3 O8) Ca(Al2 SiO8) + 2Ca (Mg Fe) (Si2 O3) + 2(Mg Fe) 2(SiO2) + 5O2
Plagioklas Klinopiroksen Orthopiroksen
+ 4H2O + 2CO3 3Na AlSi3O8 + Ca2Al2Fe3 (O(OH))
Albit Epidot
(SiO2)) + (Mg Fe) 5Al (OH) 8(Al Si2 O8) + 2 CaCO3 + 4SiO2
Klorit Kalsit Kuarsa
Zona argilik dicirikan oleh hadirnya mineral lempung seperti kaolinit, ilit,
monmorilonit, dan klorit, pada batuan asal dengan mineral plagioklas akan terubah
18
menjadi kaolinit dalam kondisi jenuh H2O, dimana hal ini terjadi penghilangan
kalium, magnesium, dan besi. Proses ini berlangsung pada kondisi diagenesa.
Pada pembentukan klorit terjadi pengkayaan besi, magnesium, dan sedikit
aluminium. Disamping itu terjadi penghilangan kalium sehingga pada pembentukan
klorit berlangsung dari titik keseimbangan feldspar dan biotit. Selain itu
monmorilonit juga berlangsung dari titik kesetimbangan feldspar dan biotit dalam
kondisi jenuh H2O. Plagioklas di dalam batuan asal terubah menjadi kaolinit dapat
diikuti dalam persamaan reasi sebagai berikut :
3Na Al2Si3O8 + 2H2O Al2 Si2 O3 (OH)4 + 4 SiO2 + Na2 O
Albit Kaolinit
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa batuan asal
dengan komposisi mineral plagioklas, piroksen, biotit, dan gelas mengalami ubahan
hidrotermal dengan mineral ubahan seperti : serisit, epidot, klorit, kaolinit,
monmorilonit, dan kuarsa
2.5.5. Pembagian Zonasi Ubahan
Menurut Corbett & Leach (1996), pada alterasi hidrotermal dapat dibagi
menjadi 6 zonasi ubahan, yaitu:
1) Potasik
Mineral utama dalam alterasi ini berupa potash feldspar sekunder & biotit
sekunder, serta aktinolit + klinopiroksen.
2) Silisik
Zona alterasi ini dicirikan oleh kehadiran mineral dari kelompok silika yang
stabil pada pH < 2. Kuarsa akan terbentuk pada suhu tinggi sedangkan pada
suhu rendah (< 10000 C) akan terbentuk opal silika, kristobalit, tridimit, pada
suhu menengah (1000-20000 C) akan terbentuk kalsedon.
3) Filik
Dicirikan oleh serisitisasi hampir seluruh mineral silikat, kecuali kuarsa.
Plagioklas feldspar tergantikan oleh serisit dan kuarsa halus. K-Feldspar
magmatik juga mengalami serisitisasi tapi lebih kecil intensitasnya dari
plagioklas.
19
4) Argilik Lanjut (Advanced Argilik)
Alterasi ini terbentuk dari hasil pencucian alkali dan kalsium dari fase
alumina seperti feldspar dan mika, tetapi hanya hadir jika aluminium tidak
bersifat mobile, apalagi aluminium bergerak lagi diikuti dengn bertambahnya
serisit dan terjadi alterasi serisit (Evans, 1992). Alterasi advanced argilik ini
dicirikan oleh hadirnya mineral yang terbentuk pada kondisi asam terutama
kaolinit, dickit, piropilit, diaspor, alunit, jarosit dan zunyit. Perlu dibedakan
antara alterasi hipogen dan supergen. Alterasi advanced argilik hipogen
terbentuk hasil kondensasi gas alam (terutama gas HCl) dan
ketidakseimbangan SO2 dalam membentuk asam sulfur dan hidrogen sulfida.
Alterasi advanced arrgilik supergen dapat terbentuk dalam 2 macam, pertama
terbentuk oleh kondensasi gas hasil pendidihan fluida hidrotermal yang
membentuk air tanah yang teroksidasi. Oksidasi oleh atmosfer merubah H2S
membentuk asam sulfur yang akan merombak silikat dan akan membentuk
kaolinit dan alunit. Pada proses ikatan silikat terlepas akan membentuk
desposit (dengan alunit) sebagai layer silikaan pada permukaan air tanah.
Erosi yang datang kemudian membentuk layer silikaan yang berasal dari
kaolinit dan membentuk silika cap. Kedua alterasi ini terbentuk oleh
pelapukan batuan kaya sulfida, oksida sulfida membentuk asam sulfur yang
merusak batuan kemudian membentuk kaolinit & alunit.
5) Argilik
Jenis alterasi ini dicirikan dengan kehadiran anggota dari kaolin (Halloysit,
kaolinit dan dickit) dan illit (smektit, interlayer, illit-smektit, illit), serta
asosiasi mineral transisi yang terbentuk pada pH menengah dan suhu rendah.
Kelompok dari mineral temperatur rendah-transisi yaitu kelompok klorit-illit
juga hadir.
6) Propilitik
Jenis alterasi ini umumnya dicirikan oleh kehadiran mineral klorit – epidot –
aktinolit. Menurut White (1996), alterasi ini mempunyai penyebaran yang
terluas dan kaitannya secara langsung dengan mineralisasi sangat kecil.
20
Kristal plagioklas mengalami argilitisasi dengan intensitas kecil, biotit
mengalami perubahan menjadi klorit dengan atau tanpa karbonat.
2.5.6. Model Zonasi Ubahan
Model zona ubahan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu proses ubahan yang
dibuat berdasarkan atas genetik dan deskriptif. Model tersebut antara lain :
2.5.6.1. Model Zona Ubahan Creasey (1966)
Berdasarkan genetiknya, Creasey membagi zona ubahan menjadi:
a) Zona Propilitik
Zona ini dapat dibagi menjadi empat :
i. Klorit – kalsit – kaolin
ii. Klorit – kalsit – talk
iii. Klorit – epidot – kalsit
iv. Klorit – epidot
Kelompok i, ii, dan iii terbentuk pada lingkungan CO2 tinggi, sedangkan
kelompok iv pada lingkungan CO2 rendah. Himpunan mineral di atas kecuali
kelompok ii merupakan batas terluar yang mengelilingi endapan tembaga
porfiri pada batuan intermediet-kuarsa/granodiorit. Himpunan mineral ii
dijumpai pada batuan mafik seperti diorit dan diabas yang mengalami
propilitisasi. Tidak semua mineral di atas hadir dalam keadaan setimbang.
Mineral lain dapat hadir dalam tiap kelompok apabila suatu komponen
tertentu ditambah kedalam sistem.
b) Zona Argilik
Zona ini ditunjukkan oleh hadirnya mineral lempung (kaolin dan
monmorilonit) serta hilangnya kandungan mineral kelompok epidot dan
karbonat. Zona ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
i. Muskovit – kaolin – monmorilonit
ii. Muskovit – klorit – monmorilonit
Pada himpunan mineral di atas, mineral kuarsa selalu hadir. Pirit akan hadir
apabila komponen FeS2 terdapat dalam sistem, demikian pula mineral
tembaga lainnya seperti kalkopirit. K-feldspar bukan merupakan mineral
21
stabil yang dapat hadir pada ubahan ini, karena temperatur zona ini baru stabil
antara 400°C – 800°C.
c) Zona Potasik
Zona ini dicirikan dengan munculnya biotit – muskovit – K-feldspar atau
salah satu mineral tersebut dimana mineral penunjuk yang hadir sebagai
mineral baru (mineral sekunder). Mineral bijih kalkopirit merupakan satu-
satunya mineral hipogen yang banyak terdapat pada zona ini.
2.5.6.2. Model Zona Ubahan Lowell dan Guilbert (1970)
Mereka membuat zona hidrotermal di San Manuel-Kalamazoo (Amerika Serikat)
dengan pola konsentris dari bagian tengah ke luar adalah sebagai berikut :
a) Zona Potasik
Sebagai mineral petunjuk dalam zona ini adalah mineral ortoklas – biotit atau
ortoklas – biotit – klorit. Mineral penunjuk seperti biotit – klorit – K-feldspar
– kuarsa – serisit – anhidrit terbentuk karena adanya penambahan unsur Fe
dan Mg yang diikuti mineral sulfida dengan kadar rendah.
b) Zona Filik
Mineral pencirinya adalah kuarsa – serisit – pirit dan sedikit klorit, hidro
mika, rutil, dan kadang-kadang pirofilit. Pirit dan kalkopirit sering muncul
yang merupakan mineral bijih utama pada endapan tembaga porfiri. Kontak
antara zona potasik dengan filik secara berangsur.
c) Zona Argilik
Ditandai dengan ubahan mineral plagioklas menjadi kaolin-monmorilonit.
Tipe ubahan argilik lanjut terutama ditunjukkan dengan kehadiran pirofilit
dan topas.
d) Zona Propilitik
Merupakan zona ubahan terluar yang selalu muncul pada endapan tembaga
porfiri. Klorit merupakan mineral ubahan umum dan berasosiasi dengan
kalsit, pirit, dan epidot. Plagioklas biasanya masih segar dan sebagian terubah
22
menjadi mineral lempung. Biotit diganti oleh mineral klorit/karbonat. Kuarsa
tidak terlalu efektif terubah, kalkopirit jarang, dan pirit hadir sangat sedikit.
2.5.7. RESUME
Sistem hidrotermal dapat didifinisikan sebagai sirkulasi fluida panas (50
sampai >500C), secara lateral dan vertikal pada temperatur dan tekanan yang
bervarisasi, di bawah permukaan bumi (Pirajno, 1992). Sistem ini mengandung dua
komponen utama, yaitu : sumber panas dan sumber fluida.
Sirkulasi fluida hidrotermal menyebabkan himpunan mineral pada batuan
dinding menjadi tidak stabil, dan cenderung menyesuasikan kesetimbangan baru
dengan membentuk himpunan mineral yang sesuai dengan kondisi yang baru, yang
dikenal sebagai alterasi (ubahan) hidrotermal.
Beberapa hal yang dapat digaris bawahi diantaranya ialah :
1. Sumber panas
Dalam hal ini magmatisme, tempat dimana terjadi proses magmatisme, cenderung
terbentuk sistem hidrotermal. Baik magmatisme yang membentuk plutonisme
maupun vulkanisme.
2. Fluida
Fluida hidrotermal dapat berasal dari:
• Fluida Magmatik
• Air Meterorik
• Air Connate
• Air Metamorfik
• Air Laut
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
• karakter batuan dinding,
• karakter fluida (Eh, pH),
23
• kondisi tekanan maupun temperatur pada saat reaksi berlangsung (Guilbert
dan Park, 1986),
• konsentrasi, serta lama aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 dalam Corbett
dan Leach, 1996).
• temperatur dan kimia fluida merupakan faktor yang paling berpengaruh pada
proses ubahan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1996).
4. Pola alterasi
Pervasive
Penggantian seluruh atau sebagian besar mineral pembentuk batuan
Selectively Pervasive
Proses ubahan hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu pada batuan. misalnya
klorit pada andesit hanya mengganti piroksen saja.
Non pervasive
5. Intensitas alterasi
• Tidak terubah
• Lemah
• Kuat
• Sangat kuat
6. Tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral (Creasey, 1966; Lowell dan Guilbert,
1970, dalam Anonim, 1997) .
• Propilitik
• Argilic
• Advanced argilic low temperature
• Advanced argilic high temperature
• Potasik
• Filik
• Serisitik
• Silisik
• Skarn
24
Gambar 3.1. Peta satuan litotektonik Sulawesi (Van Leeuwen,1994)
BAB 3
TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL
3.1. Geomorfologi Regional
Sulawesi terletak pada pertemuan lempeng besar Eurasia, lempeng Pasifik,
serta sejumlah lempeng lebih kecil (lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi
tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan
bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses
penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya (Van Leeuwen, 1994).
Berdasarkan keadaan litotektonik, Sulawesi dibagi tiga mandala, yaitu : mandala
barat sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda,
mandala tengah berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai
bagian dari blok Australia, dan mandala timur berupa ofiolit yang merupakan
segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-Miosen
(Gambar 3.1).
Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa mandala barat sebagai busur
magmatik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan barat. Bagian utara
25
memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat dari Buol sampai
sekitar Makassar. Batuan bagian utara bersifat riodasitik sampai andesitik, terbentuk
pada Miosen-Resen dengan batuan dasar basaltik yang terbentuk pada Eosen-
Oligosen. Busur magmatik bagian barat mempunyai batuan penyusun lebih bersifat
kontinen yang terdiri atas batuan gunung api dan batuan sedimen berumur
Mesozoikum-Kuarter dan batuan malihan berumur Kapur. Batuan tersebut diterobos
granitoid bersusunan terutama granodioritik sampai granitik yang berupa batolit,
stok, dan retas.
Lengan utara dan selatan dibentuk oleh satu kesatuan geologi yang disebut
sebagai mandala Sulawesi Barat. Secara serupa, lengan timur dan lengan tenggara
adalah satu kesatuan geologi yang disebut sebagai mandala Sulawesi Timur. Dua
busur Sulawesi tergabung bersama pada area Sulawesi Tengah, tapi dipisahkan
secara jelas di selatan oleh teluk Bone dan di utara oleh teluk Tomini. Kedua teluk
itu dalamnya lebih dari 2000 meter besarnya dari luasan kedua teluk tersebut ; terisi
batuan sedimen dengan tebal 5000 meter ; dan sepertinya mempunyai batuan dasar
samudra pada bagian terdalam dari kedua teluk tersebut.
Fisiografi daerah telitian termasuk dalam fisiografi lengan selatan Sulawesi
yang berarah utara–selatan. Bagian barat terdapat dua baris pegunungan yang
memanjang hampir sejajar pada arah utara–barat laut dan terpisahlah oleh lembah
Sungai Walanae. Pegunungan pada bagian barat menempati hampir setengah luas
daerah, melebar di bagian utara (50 km) dan menyempit di bagian selatan (20 km)
pembentuknya sebagian besar adalah batuan gunungapi. Lereng barat dan di
beberapa tempat di lereng selatan terdapat topografi berupa karst, dimana
pencerminannya adalah batugamping.
Pegunungan yang di barat relatif lebih sempit dan lebih tinggi dan sebagian
besar juga terbentuk dari batuan gunungapi daripada pada di bagian selatan yang
relatif lebih rendah, dan akhirnya menunjam dibatas lembah Walanae dan dataran
Bone, fisiografi daerah telitian masuk dalam pegunungan bagian barat
26
3.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar Malili,
Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998). Urutan stratigrafi batuan dari
tertua sampai termuda yang dijumpai di daerah ini adalah
3.2.1. Formasi Latimojong (K1)
Formasi Latimojong atau Kapur Latimojong (Kl) yang berumur Kapur
dengan ketebalan ±1000 m. Secara umum formasi ini mengalami pemalihan lemah
hingga sedang dan terdiri dari ; serpih, filit, rijang, marmer, kuarsit dan breksi
terkersikkan. Batuan ini diterobos oleh batuan beku intermediet sampai basa.
3.2.2. Formasi Toraja
Di atas Formasi Latimojong diendapkan secara tidak selaras, Formasi Toraja
yang terdiri dari Tersier Eosen Toraja Shale (Tets) dan Tersier Eosen Toraja
Limestone (Tetl) yang berumur Eosen, yang terdiri dari serpih coklat kemerahan,
serpih napalan kelabu, batugamping, batupasir kuarsa, konglomerat, batugamping,
dan setempat batubara. Ketebalan Formasi ini ±1000 m. Fosil Foraminifera besar
pada batugamping menunjukan umur Eosen-Miosen sedangkan lingkungan
pengendapannya adalah laut dangkal. Formasi ini menindih tidak selaras Formasi
Latimojong dan ditindih tidak selaras oleh batuan Gunungapi Lamasi.
3.2.3. Batuan Gunungapi Lamasi (Tolv)
Di atas Formasi Toraja terbentuk batuan vulkanik yang disebut Tersier
Oligosen Lava Vulkanik (Tolv) yang berumur Oligosen karena menindih Formasi
Toraja yang berumur Eosen. Batuan vulkanik ini terdiri dari aliran lava bersusunan
basaltik hingga andesitik, basalt, tuff, breksi vulkanik, batupasir dan batulanau,
setempat mengandung feldspatoid. Batuan tersebut terkersikkan dan terkloritisasi.
Umumnya lava basal berwarna kelabu kehijauan, porfiritik-afanitik, subhedral-
anhedral, berstruktur aliran dan terdiri dari plagioklas, piroksen, dan sifatnya kompak
dan keras. Breksi vulkanik umumnya berwarna kelabu kecoklatan dan kelabu tua,
tersusun dari basalt dan andesit, berbutir kasar dan sangat kasar antara 2-8 cm,
menyudut tanggung dengan kemas terbuka. Umurnya Oligosen karena menindih
Formasi Toraja yang berumur Eosen. Ketebalan satuan ini ± 500 m.
27
3.2.4. Formasi Date (Tomd) dan Formasi Makale (Tomm)
Diatas satuan batuan vulkanik (Tolv) terendapkan secara tidak selaras
Formasi Date atau Tomd (Tersier Oligosen Miosen Date) dan Tomm (Tersier
Oligosen Miosen Makale) yang merupakan Formasi Makale, Formasi Date terdiri
dari napal diselingi lanau gampingan dan batupasir gampingan. Ketebalan satuan ini
mencapai 500–1000 meter, kandungan umur Foraminifera menunjukkan umur
Oligosen Tengah-Miosen Tengah, dengan lingkungan pengendapan pada laut
dangkal, Formasi ini terdiri dari batugamping terumbu yang terbentuk dilaut dangkal,
umurnya diduga Miosen Awal–Miosen Tengah. Hubungan kedua Formasi ini adalah
kontak menjemari.
3.2.5. Formasi Salowajo (Tms)
Berikutnya terendapkan secara tidak selaras Formasi Salowajo atau Tms
(Tersier Miosen Salowajo) yang terdiri dari napal dan batugamping yang tersisip,
setempat mengandung batupasir gampingan berwarna abu–abu biru sampai hitam,
konglomerat dan breksi. Fosil Foraminifera yang terkandung pada formasi tersebut
menunjukkan umur Miosen Awal-Miosen Tengah.
3.2.6. Formasi Loka (Tml)
Selanjutnya terbentuk Formasi Loka atau Tml (Tersier Miosen Loka) yang
terdiri dari batuan epiklastik gunungapi terdiri dari batupasir andesitan, lanau,
konglomerat, dan breksi, berlapis hingga masif, terutama sebagai endapan darat
hingga delta dan laut dangkal. Fosil Foraminifera yang terkandung dalam formasi ini
menunjukkan umur Miosen Tengah-Miosen Akhir.
3.2.7. Formasi Mandar (Tmm)
Berikutnya terendapkan secara selaras Formasi Mandar atau Tmm (Tersier
Miosen Mandar) yang terdiri dari batupasir, batulanau dan serpih, berlapis baik,
mengandung lensa lignit, dan mengandung foraminifera berumur Miosen Akhir,
dengan ketebalan mencapai 400 meter. Formasi ini terendapkan pada lingkungan laut
dangkal–delta.
28
3.2.8. Formasi Sekala (Tmps) dan Batuan Gunungapi Walimbong (Tmpv)
Formasi Sekala atau Tmps (Tersier Miosen-Pliosen Sekala), yang terdiri dari
batupasir, konglomerat, serpih, tuff, sisipan lava andesit dan basalt, mengandung
Foraminifera berumur Miosen Tengah-Pliosen dengan lingkungan pengendapan
yaitu laut dangkal dengan ketebalan sekitar 500 meter. Batuan Gunungapi
Walimbong atau Tmpv (Tersier Miosen Pliosen vulkanik), terdiri dari lava
bersusunan basalt hingga andesit, lava bantal, breksi andesit piroksen, breksi andesit
trakit. Batuan gunungapi ini terendapkan di lingkungan laut, berumur Miosen-
Pliosen karena menjemari dengan Formasi Sekala yang berumur Miosen-Pliosen.
3.2.9. Formasi Mapi (Tmpm)
Formasi Mapi atau Tmpm (Tersier Miosen–Pliosen Mapi), terdiri dari
batupasir tufaan, lanau, batulempung, batugamping pasiran dan konglomerat.
Berdasarkan kandungan umur fosil Foraminifera, Formasi ini berumur Miosen
Tengah-Pliosen. Formasi ini tersingkap di Sungai Mapi dengan ketebalan sekitar
100 m.
29
Tabel 3.1 : Kolom Stratigrafi Regional (Djuri , dkk, 1998)
3.3. Struktur Geologi dan Tektonika
Sulawesi terdiri dari 4 bagian pulau-pulau, yaitu yang dikenal sebagai lengan,
tubuh, leher, dimana dikelilingi oleh teluk yang menjorok kedalam. Terletak pada
wilayah tektonik yang sangat kompleks dimana tiga lempeng utama saling
berinteraksi dari zaman Mesozoikum sampai sekarang. Wilayah ini telah dibagi
menjadi 4 bagian lithotektonik, yang terhubung oleh skala besar tektonik yang
berbeda-beda tempat dan sesar naik (Sukamto, 1975; Hamilton, 1979) terjadi dari
barat hingga ke timur.
Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat yang dijelaskan diatas dapat dibagi
menjadi segmen continental margin (Sulawesi Barat) dan busur kepulauan Tersier
yang didasari oleh oceanic crust (Sulawesi Utara). Sabuk metamorfik Sulawesi
Tengah batuan metamorfnya terdiri dari material asal benua dan samudera, mungkin
30
termasuk kerak Australia (Parkinson, 1991; Charlton, 2000; Hall, 2002).Ofiolit
Sulawesi Timur, secara tektonik terhubung oleh sedimen laut dalam yang berumur
Mesozoikum, dan mungkin termasuk mid oceanic ridge Samudera Hindia, tepi
cekungan, dan bagian dari busur depan Sundaland (Hall, 2002).
Fragmen kontinen yamg berasal dari Australia (Buton-Tukang Besi dan
Banggai-Sula) dimana bertumbukan dengan bagian timur Sulawesi selama Awal
Miosen-Pliosen (Fortuin et al., 1990; Davidson, 1991; Smithand Silver, 1991;
Davies, 1990; Hall, 1996, 2002).Hamilton. W (1979) mengatakan bahwa adanya
pulau–pulau dari kelompok punggungan Sula merupakan fragmen–fragmen
kebenuaan yang berasal dari New Guinea (Irian Jaya) yang bertumbukan dengan
Sulawesi bagian tinur yang terjadi pada kala Tersier Tengah.
Noer Azis Magetsari (1987), menyebutkan adanya beberapa kelurusan di
pulau Sulawesi yang disebutnya sebagai trans Sulawesi. Disamping adanya
kelurusan–kelurusan tersebut didapatkan pula adanya rekahan–rekahan yang teratur
dan cekungan–cekungan sedimen yang menyertai terjadinya kelurusan–kelurusan
tersebut. Diantara kelurusan–kelurusan yang besar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kelurusan Palu–Koro
2. Kelurusan Matano dan Malili–Kendari
3. Kelurusan Batui dan struktur imbrikasi
Simandjuntak T.O, (1990) mengatakan di lengan timur didapatkan adanya
struktur sesar naik berupa sesar yang berbentuk konveks yang mengarah barat laut.
Sesar tersebut berakhir dan menghilang di teluk Tolo yang dicerminkan dengan
adanya sesar Sula–Matano. Di sebelah utara daerah Poh sesar Batui bertemu dengan
sesar Balantak yang merupakan sesar geser jurus menganan yang berpotongan pada
bagian timur. Selanjutnya menerus ke pantai laut Banda yang bertemu dengan sesar
Sangihe yang panjangnya lebih dari 100 km. Sesar Batui merupakan sesar hasil
tumbukan antara lempeng Banggai–Sula dengan lempeng Sulawesi timur.
Mandala geologi Sulawesi Barat dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen dan
Neogen, intrusi Neogen dan sedimen Mesozoikum yang diendapkan di pinggiran
31
benua (Paparan Sunda). Mandala Sulawesi Timur, batuan tertuanya adalah batuan
ofiolit yang terdiri dari ultramafik termasuk dunit, harzburgit, lherzolit, piroksenit
websterit dan serpentinit, setempat batuan mafik termasuk gabro dan basalt.
Umurnya belum dapat dipastikan, tetapi dapat diperkirakan sama dengan ofiolit di
lengan timur Sulawesi yang berumur Kapur Awal-Tersier. Susunan paparan Tersier
Tengah, batuan vulkanik Tersier Atas dan intrusi batuan granit. Mandala timur
Sulawesi terdiri dari fragmen dari ofiolit dan zona subduksi. Perbedaan penting
antara kedua mandala Sulawesi ialah kemunculan dari granit dan asosiasi granodiorit
pada mandala barat dan ketidakhadiran granit dan asosiasi granodiorit pada lengan
timur, yang lebih melimpah batuan beku basa dan ultrabasa.
Menurut Hamilton (1979), berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan
tektonik, Sulawesi dan sekitarnya dibagi dalam 5 provinsi tektonik (gambar 3.2),
yaitu :
1. Busur volkanik tersier Sulawesi bagian barat,
2. Busur volkanik Minahasa-Sangihe,
3. Sabuk metamorfik Cretaceous-Paleogene Sulawesi bagian tengah,
4. Sabuk ofiolit Cretaceous Sulawesi bagian timur dan yang berasosiasi dengan
lapisan sedimen pelagic,
5. Fragmen benua mikro Paleozoic Banggai-Sula yang berasal dari benua
Australia.
32
Gambar 3.2. Geologi regional Sulawesi (Hamilton 1979)
Mandala Sulawesi Barat dibatasi oleh mandala Sulawesi Timur karena
adanya suatu jalur sesar yang arah jurusnya kurang lebih utara–selatan. Dibagian
barat, mandala Sulawesi Barat dibatasi oleh terjadinya rifting karena penipisan kerak
benua yang kemudian mengakibatkan sistem sesar blok di selat Makasar.
Terbukanya selat Makasar ini oleh rifting yang terjadi awal Miosen ini sedikit
banyaknya dikarenakan pengaruh struktur geologi di mandala Sulawesi Barat.
Secara umum pada mandala ini didapatkan adanya sesar–sesar mendatar yang
pada umumnya memiliki arah sesar pergerakannya kekiri disertai beberapa sesar
naik. Sesar mendatarnya kurang lebih memiliki arah jurus N 160o
E dan N 340o
E
dengan arah pergerakan ke kiri. Sedangkan untuk sesar naik umumnya didapatkan
didaerah Bantimala Complex yang mampu mengangkat kelompok mélange ini
muncul ke permukaan di beberapa tempat.Di sebelah barat mandala Sulawesi Barat
33
Gambar 3.3 . Pembagian Mandala Geologi Sulawesi (R.A.B. Sukamto, 1973),
Dibagian tengah mandala ini juga didapatkan suatu terban yang memanjang
kearah utara – selatan yang disebut terban Walanae. Terban ini dibatasi oleh
dua sesar normal yang berarah utara-selatan. Kemudian terban ini terisi oleh
produk-produk vulkanik Kuarter.
dibatasi oleh selat Makasar yang merupakan marginal basin, dimana efek keluar
dengan terjadinya pemekaran di lantai samudera antara Sulawesi dan Kalimantan.
Terbentuknya selat Makasar terjadi pada zaman Kuarter sepanjang sesar mendatar
Pasternoster dan sesar mendatar Palu – Koro.
Mandala Banggai-Sula merupakan lempeng yang relatif mudah mantap sejak
akhir Mesozoikum. Kemudian lempeng tersebut bergerak ke arah barat sejak Miosen
Tengah dan bertemu dengan lempeng Banggai-Sula yang menunjam ke arah bawah
lempeng Sulawesi Timur, tetapi hanyalah pada bagian utaranya.
Sartono. S, dkk (1991) mengatakan bahwa bergeraknya benua Mikro
Banggai ke arah barat yang sebelumnya terkoyak dari tepi utara Benua Australia di
Irian Jaya – Papua New Guinea melalui sesar Sorong mulai terjadi pada akhir
Miosen bawah. Benua Mikro Banggai yang berada paling depan bertumbukan
dengan busur Sunda yang mengakibatkan terjadinya obduksi batuan mafik-
ultramafik serta bercampuran dengan melange tektonik dan menyebabkan juga
34
terjadinya berbagai undak pantai zaman Kuarter, yang elevasinya mencapai beberapa
ratus meter.
Tumbukan antara benua Mikro Banggai dengan busur non volkanik di atas
menggencet dan mempersempit cekungan depan Busur Sunda hingga menyebabkan
terjadinya punggungan tengah Sulawesi yang sebagian tertutup oleh Danau Poso dan
Teluk Bone serta Teluk Tomini.
Gambar. 3.4. Tumbukan antara Mikrokontinen Banggai-Sula dengan
subduksi Sunda padaKala Pliosen Akhir (Sartono, dkk. 1991)
35
BAB 4
GEOLOGI DAERAH ANDULAN DAN SEKITARNYA
4.1. Geomorfologi
Pemetaan geomorfologi pada dasarnya adalah memisahkan bentuk lahan
berdasarkan relief, batuan dan proses pembentuknya. Metode yang digunakan dalam
pembagian satuan geomorfologi pada daerah pemetaan adalah :
1. Morfografi : menyangkut aspek-aspek yang bersifat pemerian atau
descriptive antara lain; teras sungai, kipas alluvial, plato, dataran, perbukitan,
pegunungan , dsb.
2. Morfometri : menyangkut aspek-aspek yang bersifat kuantitatif; seperti
kemiringan lereng, bentuk lereng, beda tinggi, tingkat pengikisan sungai, dsb.
3. Morfogenesis : menyangkut faktor-faktor yang mengontrol pembentukan
morfologi suatu daerah, seperti proses struktural, proses denudasi, proses
fluviatil, dsb.
Daerah penelitian secara umum, sebagian besar terdiri dari pegunungan dan
bukit–bukit landai yang berkelompok dengan bentuk memanjang atau hampir
membulat dan mempunyai arah penyebaran relatif utara selatan. Ketinggian daerah
penelitian antara 125 meter hingga 800 meter diatas permukaan laut. Pembagian
daerah penelitian menjadi beberapa satuan geomorfologi pada dasarnya adalah untuk
memisahkan dan mengelompokkan kesamaan aspek pada suatu lahan yang memiliki
karakteristik fisik tertentu. Dasar pemisahan dan penamaan satuan geomorfologi
pada daerah pemetaan mengacu pada konsep dan klasifikasi berdasarkan sistem
pemetaan geomorfologi ITC (International Institute Aerospace and Earth Science)
dalam Van Zuidam (1983). Aspek relief (morfologi) menunjukkan gambaran umum
relief daerah yang terdiri dari aspek deskriptif seperti dataran, dan perbukitan, serta
aspek morfometri yaitu berupa besar sudut lereng, ketinggian maupun kekasaran
permukaan lahan.
36
Tabel 4.1. Hubungan antara persentase sudut lereng dan beda tinggi dalam
klasifikasi relief (Van Zuidam, 1983)
Berdasarkan beberapa aspek tersebut, pembagian relief daerah penelitian
mengacu pada klasifikasi berdasarkan pada ketinggian relatif terhadap permukaan
laut, beda tinggi dan persentase sudut lereng.
Satuan Relief Sudut lereng
(%)
Beda tinggi
( meter)
Datar atau hampir datar 0 – 2 < 5
Bergelombang/ miring landai 3 – 7 5 – 50
Bergelombang/ miring 8 – 13 51 – 75
Berbukit bergelombang/ miring 14 – 20 76 – 200
Berbukit tersayat tajam/ terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan tersayat tajam/ sangat
tajam 56 – 140 500 – 1000
Pegunungan/ sangat curam > 140 > 1000
4.1.1. Kelerengan
Berdasarkan klasifikasi tingkat kelerengan (Van Zuidam, 1983), daerah
penelitian terbagi atas tiga satuan relief yaitu:
1. Satuan berelief terjal dengan klas releng 21-55%, menempati 85% dari luas
total daerah telitian, dijumpai hampir diseluruh daerah telitian.
2. Satuan berelief berbukit bergelombang dengan klas lereng 14 - 20%,
menempati 5 % dari luas total daerah telitian, dijumpai di bagian timur-
tenggara daerah telitian.
3. Satuan berelief datar atau hampir datar dengan klas lereng 3-7 %, menempati
10% dari total luas daerah telitian, dijumpai di bagian tengah dan selatan
daerah telitian.
Aspek genetik menggambarkan asal-usul pembentukan dan perkembangan
morfologi serta proses-proses yang bekerja padanya. Aspek ini meliputi proses
endogen berupa bentukan batuan yang berhubungan dengan proses denudasi dan
proses eksogen yang berhubungan dengan angin, air, es maupun pergerakan
37
Tabel 4.2. Klasifikasi satuan bentang alam
berdasarkan genetik menurut ITC, dalam Van
Zuidam 1983.
massa. Berdasarkan genesa sebagai kontrol utama pembentuknya, morfologi
dikelompokkan menjadi 8 kelas, yaitu:
1. Bentukan asal struktural
2. Bentukan asal vulkanik
3. Bentukan asal fluvial
4. Bentukan asal marine
5. Bentukan asal pelarutan/karst
6. Bentukan asal glasial
7. Bentukan asal aeolian dan
8. Bentukan asal denudasional
Adapun dalam pewarnaan peta geomorfologi, untuk membedakan baik itu
satuan bentuk asalnya ataupun bentuk lahannya dengan menggunakan dasar
pewarnaan (Van Zuidam,1983).
Untuk pewarnaan bentuk asal seperti terlihat tabel (tabel 4.2.), sedangkan untuk
bentuk lahannya dengan menggunakan modifikasi dari dasar pewarnaan yang telah
ada, misalnya dengan gradasi warna dari muda ke tua ataupun sebaliknya.
Satuan Warna / simbol
Struktural Ungu
Vulkanik Merah
Denudasional Coklat
Marine Hijau
Fluvial Biru Tua
Glasial Biru Muda
Karst Orange
Eolian Kuning
38
Foto 4.1. Satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng terjal di
daerah gunung Biang, arah kamera N040oE.
Perbukitan berlereng terjal
4.1.2. Bentuk Lahan
Bentuk lahan daerah penelitian ditentukan berdasarkan data yang diperoleh
dari analisa peta topografi dan hasil pengamatan langsung keadaan lapangan, yaitu
meliputi bentukan lahan (morfografi), kelerengan (morfometri), jenis litologi
penyusun dan struktur geologi (morfostruktur pasif) dan proses-proses geologi
(morfostruktur aktif).
Berdasarkan klasifikasi Zuidam (1983) serta dikombinasikan dengan aspek
genetik yang menggambarkan asal-usul pembentukan dan perkembangan morfologi
serta proses-proses yang bekerja padanya, daerah penelitian dapat dibagi menjadi
empat satuan bentuklahan dari tiga satuan bentuk asal, yaitu:
a. Satuan perbukitan vulkanik berlereng terjal (V1)
b. Satuan perbukitan vulkanik berlereng menengah (V2)
c. Satuan dataran aluvial (F1)
d. Satuan perbukitan homoklin berlereng terjal (S9)
4.1.2.a. Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Terjal (V1)
Satuan ini menempati area seluas 60 % dari seluruh area penelitian dengan
penyebaran terletak hampir diseluruh daerah telitian. Dengan lithologi andesit breksi
dan tuff. Penamaan satuan perbukitan berlereng curam ini berdasarkan morfologi
yang ada berupa perbukitan, memiliki sudut lereng 21-55% , tergolong perbukitan
berlereng terjal (Van Zuidam,1983). Pada peta topografi satuan geomorfologi ini
dicirikan oleh kenampakan pola kontur yang rapat.
39
Perbukitan berlereng terjal
Foto 4.1 menujukkan suatu kenampakkan rangkaian perbukitan di daerah
gunung Biang, suatu morfologi perbukitan dengan lereng terjal, foto diambil di
lokasi pengamatan 22 dengan arah kamera N040oE, gunung Biang sendiri berbentuk
membundar dan meluas mulai dari barat laut, selatan hingga timur laut daerah
telitian, puncaknya tertingginya 792 m yang terletak di sebelah utara daerah telitian,
dengan lithologi didominasi oleh batuan beku andesit dan dialiri beberapa alur liar
yang membentuk pola radial.
4.1.2.b. Satuan Perbukitan Vulkanik Berlereng Menengah (V2)
Satuan ini menempati area seluas 5% dari seluruh area telitian, terletak di
timur-tenggara daerah telitian. Dengan lithologi didominasi oleh batuan beku andesit.
Penamaan satuan perbukitan menengah ini berdasarkan morfologi yang ada berupa
perbukitan, dengan sudut lereng 16-20%, tergolong topografi bergelombang-berbukit
(Van Zuidam, 1983).
Pada peta topografi satuan geomorfologi ini dicirikan oleh kenampakan pola
kontur yang agak renggang. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini
adalah sub dendritik.
Foto 4.2. Satuan bentuklahan perbukitan vulkanik berlereng terjal di
daerah sungai Mataluntun, arah kamera N040oE
40
Foto 4.3. Satuan bentuklahan perbukitan berlereng menengah di
sebelah tenggara gunung Rangiri, arah kamera N043oE.
Tampak dalam foto 4.3. perbukitan berlereng menengah, perbukitan ini
memanjang dengan arah utara selatan, terletak di sebelah tenggara daerah telitian,
dengan lithologinya batuan beku andesit. Foto diambil dilokasi pengamatan 7,
dengan arah kamera N043oE.
4.1.2.c. Satuan Dataran Aluvial (F1)
Satuan ini menempati area seluas 10% dari seluruh dareah telitian dengan
penyebaran sebagian terletak di tengah melampar dari utara hingga tengah lembar,
dan dari tengah lembar ke arah tenggara – selatan daerah telitian. Penamaan satuan
dataran aluvial ini berdasarkan morfologi yang ada berupa dataran bergelombang
akibat pengaruh dari erosi, serta hasil pemetaan menunjukkan aktivitas tektonik yang
membentuk pola topografi berupa dataran. Pada peta topografi satuan geomorfologi
ini dicirikan oleh kenampakan pola kontur yang renggang. Pola pengaliran yang
berkembang pada satuan ini adalah pola sub dendritik.
Tampak dalam foto 4.4. dan foto 4.5. satuan bentuklahan dataran aluvial yang
terletak di sekitar sungai Makawa, topografi relatif atau hampir datar dengan sedikit
bergelombang banyak dimanfaatkan untuk persawahan dan ladang serta tempat
tinggal oleh warga sekitar, topografi yang relatif datar dipengaruhi oleh adanya
sungai Makawa yang merupakan sungai utama dengan arus airnya yang deras
dengan tingkat erosional yang cukup tinggi. Foto diambil dari lokasi pengamatan 74
dan lokasi pengamatan 4.
Perbukitan berlereng menengah
41
Dataran aluvial
Foto 4.4. Satuan bentuklahan dataran aluvial di daerah sungai
Makawa, arah kamera N336oE.
Dataran aluvial
Foto 4.5. Satuan bentuklahan dataran aluvial di daerah sungai
Makawa, arah kamera N138oE.
N336oE.
4.1.2.d. Satuan Perbukitan Homoklin Berlereng Terjal (S9)
Satuan ini menempati area seluas 25% dari seluruh dareah telitian dengan
penyebaran sebagian terletak di barat daya lembar. Penamaan satuan ini berdasarkan
topografi dengan kontur yang relatif rapat dan banyaknya tinggian dan lereng yang
curam dalam foto 4.6. menunjukkan topogrfi perbukitan dengan lereng lereng yang
curam.
42
Foto 4.6. Satuan bentuklahan perbukitan homoklin, arah
kamera N260oE lokasi pengamatan 39
Bentukan asal struktural dengan bentuk lahannya perbukitan homoklin dihasilkan
oleh proses endogen. Pada bentuklahan perbukitan ini mempunyai tekstur yang kasar
dengan bentuk yang tidak teratur serta mempelihatkan kesan topografi tinggi yang
seragam dan alur sungai rapat dengan pola yang seragam, dengan lereng-lereng nya
yang curam, hal ini menandakan bahwa permukaannya tersusun oleh batuan-batuan
yang kompak serta proses erosi intensif yang tidak mampu menggerus permukaan
secara utuh.
Foto 4.7. Satuan bentuklahan perbukitan
homoklin arah kamera N254oE.
43
4.1.3. Pola Pengaliran
Pola pengaliran adalah semua yang menyangkut sistem aliran yang terpolakan
akibat erosi yang bekerja pada suatu daerah yang bersangkutan. Pola pengaliran
sangat erat hubunganya dengan resistensi batuan, jenis litologi, struktur geologi, dan
stadia geomorfologinya. Pada daerah telitian semua sungai mengalir menuju sungai
Makawa yang mengalir dari utara ke selatan karena pada daerah utara batuannya
lebih resisten. Untuk membantu dalam penafsiran jenis pola penyaluran, maka
penulis mengklasifikasikan berdasarkan jenis pola aliran yang dibuat oleh A.D.
Howard, 1967. Apabila penafsiran jenis pola aliran sulit, maka penulis membuat
sungai – sungai tambahan melalui alur – alur liar yang mengalir menuju arah sungai
utama. Jenis pola aliran pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan kedalam pola
sungai sub dendritik.
4.1.4. Stadia Geomorfologi
Untuk menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat erat
hubungannya dengan proses pelarutan, denudasional, dan stadia sungai yang telah
terbentuk. Stadia erosi juga akan menentukan stadia geomorfologi suatu daerah. Hal
ini semua dapat ditafsirkan dari ciri-ciri morfologi, sub satuan geomorfologi, pola
aliran sungai dan ciri-ciri yang lainnya.
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah ada 3 dan mempunyai ciri tersendiri
yaitu stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai
yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan dan kondisi geologi masih
orisinil. Stadia dewasa dicirikan oleh adanya bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih
dominan, sungai bermeander dengan point bar, pola pengaliran berkembang baik,
kondisi geologi mengalami pembalikan topografi seperti punggungan sinklin atau
lembah antiklin. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran sungai tidak
berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri sungai dan litologi
relatif seragam.
44
Gambar. 4.1. Klasifikasi stadia geomorfologi, Lobeck
(1939)1. stadia muda, 2. stadia dewasa, 3. stadia tua
Atas dasar keterangan tersebut di atas, dengan lembah-lembah sungainya
yang berbentuk “U”, banyaknya anak sungai, erosi lateral lebih dominan dan adanya
lembah-lembah yang cukup terjal maka stadianya dapat digolongkan kedalam stadia
dewasa (Lobeck, 1939).
4.1.5. Morfogenesis
Secara morfogenesis, pembentukan relief topografi daerah pemetaan terutama
dikontrol oleh adanya sistem struktur yang berkembang. Struktur yang berkembang
di daerah pemetaan terutama berupa struktur sesar, maupun kekar. Sistem retakan
tersebut mengontrol pembentukan zona-zona lemah pada batuan yang akhirnya
mengakibatkan intensifnya proses erosi di daerah pemetaan. Adanya proses-proses
eksogenik berupa erosi, yang berkembang intensif di daerah ini menyebabkan
terjadinya alur-alur dan lembah-lembah.
Proses eksogenik berupa erosi ini didukung oleh struktur geologi terutama
berupa struktur sesar dan kekar yang mengakibatkan terbentuknya zona lemah pada
45
Tabel 4.3. Kolom lithostratigrafi daerah telitian
batuan. Secara keseluruhan daerah pemetaan lebih banyak dikontrol oleh adanya
proses endogenik dan eksogenik, maka proses tersebut lebih tepat untuk
menggambarkan morfogenesis yang terjadi di daerah pemetaan.
4.2. Stratigrafi
Berdasarkan pengamatan dilapangan, serta analisa kandungan fosil yang
didapatkan selama penelitian berlangsung, dan setelah dibuat penampang
stratigrafinya maka penulis membagi daerah telitian ini tersusun oleh tiga satuan
batuan dari muda ke tua adalah sebagai berikut:
1. Satuan andesit (Formasi Gunungapi Lamasi )
2. Satuan breksi (Formasi Gunungapi Lamasi)
3. Satuan batugamping (Formasi Toraja)
4.2.1. Satuan Andesit Formasi Gunungapi Lamasi
Penamaan satuan ini melihat dari litologi yang mendominasi pada daerah
telitian. Batuan beku andesit adalah batuan penyusun yang paling mendominasi pada
Formasi Gunungapi Lamasi. Kenampakan dilapangan dari satuan andesit ini
sebagian ada yang segar dan juga ada yang telah teralterasi, seperti terlihat pada
(Foto 4.8).
Adapun ciri fisik andesit secara megaskopis dilapangan menunjukan:
Warna Abu-abu, dengan struktur: masif, tekstur; derajad kristalisasi: Hipokristalin;
Granularitas: Fanerik halus <1mm ;Bentuk kristal:Subhedral; Relasi: Inequigranular-
porfiritik dengan komposisi mineral : hornblend , piroksen, plagioklas.
46
Foto 4.8. Singkapan andesit pada LP 23 dengan arah kamera
N084°E.
Foto 4.9. Singkapan andesit dengan parameter palu geologi
(Insert foto 4.8)
47
Satuan andesit tersebar pada daerah utara dan tengah lembar telitian. dengan
menempati areal sekitar 40% dari luas daerah telitian.
Berdasarkan penarikan pada batuan basalt di daerah Palopo (Sukamto,
1975) dan korelasi dengan batuan gunungapi di daerah Biru (Van Leeuwen, 1979)
dan daerah Bantimala (Sukamto, 1982), satuan ini diperkirakan berumur Oligosen.
Batuan gunungapi ini merupakan hasil kegiatan gunungapi bawah laut. Sebarannya
mulai dari Palopo, melampar ke utara sampai Sabang. Tebal satuan diperkirakan
mencapai 500 m.
Batuan Gunungapi Lamasi dapat dikorelasikan dengan batuan Gunungapi
Miosen di lembar Majene (Djuri & Sudjatmiko, 1975; Sunarya & Surawinata, 1980).
Berdasarkan peta geologi lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998)
satuan ini berumur Oligosen dan terbentuk pada lingkungan darat.
Foto 4.10. Sayatan batuan beku volkanik LP 23, warna abu-abu
kehijauan-kecoklatan, tekstur porfiritik (fenokris tertanam dalam
masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas),
subhedral-anhedral, komposisi mineral :plagioklas, piroksen,
mineral opak dan gelas, mineral sekunder :klorit hijau-hijau
kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir 0,05-0,1
mm. Hadir sebagai ubahan dari piroksen.Nama : Andesit
piroksen (William 1982)
48
Satuan andesit ini secara stratigrafi merupakan satuan berumur muda yang
terdapat di daerah telitian. Dari pengamatan di lapangan menunjukkan hubungan
stratigrafi antara satuan andesit dan satuan breksi merupakan beda fassies
4.2.2. Satuan Breksi Formasi Gunungapi Lamasi
Satuan breksi pada daerah telitian ditunjukkan dengan hadirnya breksi yang
mendominasi pada daerah telitian.
Adapun ciri fisik breksi ialah sebagai berikut :
Pada pengamatan di lapangan breksimemperlihatkan warna abu-abu, struktur masif,
ukuran butir pasir sampai bongkah, terpilah buruk, menyudut, kemas terbuka,
komposisi mineral fragmen : andesit, matriks: material berukuran pasir sedang-
kerikil, dan semen karbonat
Foto 4.11.Singkapan breksi pada lokasi pengamatan 64
dengan kamera menghadap N084°E
49
Foto 4.12. Singkapan breksi dengan parameter kompas
geologi (insert foto 4.11.)
Foto 4.13. Sayatan batuan beku volkanik LP 64, warna abu-abu
kehijauan-kecoklatan, tekstur trachite bentuk subhedral-anhedral,
komposisi mineral terdiri dari plagioklas, piroksen, mineral opak
dan gelas. Nampak lubang-lubang amigdoloidal trerisi oleh
mineral sekunder kalsit dan kuarsa. Mineral sekunder yang hadir:
Chlorite, warnahijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu
arah, ukuran butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan
dari mineral piroksen
Silica (quartz) tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief
rendah, pemadaman bergelombang, berukuran <0,05
mm(kriptokristalin) - 0,25mm, hadir mengisi lubang
amigdoloidal.Andesit piroksen (William 1982)
50
Satuan breksi tersebar dibagian tengah dan timur daerah telitian. dengan
menempati sekitar 30% dari luas daerah telitian.Berdasarkan penampang geologi
yang dibuat dari sayatan pada peta geologi, satuan ini memiliki ketebalan ±450 m.
Untuk penentuan umur, pada satuan breksi monomik ini sangat tidak
memungkinkan untuk dilakukan dengan analisa fosil. Akan tetapi penulis dalam
menentukan umur satuan tersebut dengan menggunakan pendekatan secara
kesebandingan dengan hasil telitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Berdasarkan peta geologi lembar Majene dan Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998)
satuan ini berumur oligosen dan terbentuk pada lingkungan darat. Satuan breksi ini
diendapkan sebagai hasil dari aktifitas gunung api dan transportasi dari batuan
andesit, terbentuk bersamaan dengan pembentukan andesit.
Satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi dengan satuan andesit Formasi
Gunungapi Lamasi mempunyai umur yang sama dan menindih batugamping Formasi
Toraja yang mempunyai umur lebih tua. Hubungan satuan breksi Formasi
Gunungapi Lamasi dengan batugamping Formasi Toraja tidak selaras.
4.2.3. Satuan Batugamping Formasi Toraja
Foto 4.14. Foto singkapan
batugamping pada lokasi pengamatan
70 dengan arah kamera N270°E
Satuan batugamping dengan batuan yang
berkomposisi karbonat memiliki warna putih
kekuningan sampai abu abu kehitaman didominasi
oleh batugamping berfosil. Batugamping
memperlihatkan struktur masif dan perlapisan
seperti terlihat pada lokasi pengamatan 70 (lihat
foto 4.14).
51
Foto 4.15. Singkapan batugamping dengan parameter
kompas geologi LP 70 (insert foto 4.14)
Foto 4.16. Foto sayatan tipis LP 70 batugamping klastik,
berwarna abu-abu kecoklatan - krem, klastik, grain suppoted,
dengan sedikit detritus mineral opak, berukuran 0,1–1,2mm.
Fosil (74%), tidak berwarna (sudah terekristalisasi) –
kecoklatan, relief sedang, bentuk sebagian pecah (skeletal),
berukuran 0,5–1,2m), bias rangkap ekstrim, berupa foram
plankton dan bentos, foram besar serta pecahan ganggang/koral,
hadir merata dalam sayatan.
Mineral opak (1%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,1-
0,1mm, bentuk membulat-membulat tanggung.Mikrit (15%),
tidak berwarna, relief bervariasi, berukuran kurang dari 0,02mm,
warna interferensi sangat tinggi – ekstrim, hadir merata dalam
sayatan.Sparit (10%), tidak berwarna, relief sedang, berukuran
0,1–0,3mm, bias rangkap ekstrim, hadir merata dalam sayatan.
52
Adapun ciri fisik Batugamping secara megaskopis dilapangan menunjukan:
Batugamping memperlihatkan warna putih-coklat muda, dan kelabu muda, struktur
masif dan perlapisan dominan fosil dan pada umumnya bersifat keras.
Satuan batugamping ini tersebar dan tersingkap di barat daya daerah telitian
menempati sekitar 30% daerah luas total peta. Ketebalan satuan batugamping jika
ditinjau dari penampang geologi yang dibuat dari sayatan pada peta geologi, satuan
ini memiliki ketebalan mencapai 500 meter dan berdasarkan acuan dari peneliti
terdahulu.
Untuk penentuan umur, pada satuan batugamping dilakukan dengan analisa
fosil. Berdasarkan kandungan fosil foram besar dan beberapa plankton yang dijumpai
yaitu : Diccocylina sp, Lepidocylina sp tersebut didapat satuan batugamping berumur
Eosen Awal-Tengah (Blow 1969). Dan berdasarkan peta geologi lembar Majene dan
Palopo bagian barat (Djuri, dkk 1998) satuan batugamping Formasi Toraja ini
berumur Eosen dan terendapkan pada laut dangkal.
Satuan batugamping Formasi Toraja ini secara stratigrafi ditumpang tidak
selaras oleh satuan breksi dan satuan andesit Formasi Gunungapi Lamasi. Hasil ini
didapat setelah penulis melakukan analisa fosil dan melakukan pengukuran detail
pada kedua litologi.
4.3. Struktur Geologi
Berdasarkan analisis peta topografi, pola pengaliran dan hasil survei
lapangan, daerah pemetaan secara umum memiliki beberapa arah kelurusan
morfologi dan pengaliran. Pola kelurusan yang ada didominasi oleh arah barat-timur.
Selain itu di lapangan juga ditemukan adanya gejala struktur yang terbentuk akibat
proses tektonik. Seperti struktur geologi kekar dan sesar.
4.3.1. Struktur Kekar
Kekar adalah struktur rekahan yang terbentuk pada batuan dengan tidak atau
sedikit sekali mengalami pergeseran (Billing, 1968). Kekar yang terbentuk dapat
disebabkan oleh aktivitas tektonik maupun non tektonik. Dalam pembahasan kekar
53
1
3
2
Shear Joint Shear Joint
Extension Joint
Release Joint
3 3
1
1
Gambar 4.2. Hubungan antara Shear Joint, Extension Joint dan Release Joint
terhadap prinsip arah tegasan.
daerah penelitian lebih dititik beratkan pada pembahasan kekar yang terbentuk akibat
aktivitas tektonik dimana hasil analisanya akan digunakan dalam analisa struktur
geologi daerah penelitian.
Klasifikasi kekar ada beberapa macam tergantung dari dasar klasifikasi yang
digunakan salah satunya adalah berdasarkan genesa atau cara terjadinya yang
berhubungan dengan gaya pembentuk kekar tersebut (gambar 4.3.). Klasifikasi kekar
berdasarkan genesa, terdiri dari :
a) Shear joint (kekar gerus), terjadi akibat adanya tegasan tekanan (compressive
stress).
b) Tension joint (kekar tegangan), terjadi akibat adanya gaya tarikan. Kekar ini
dibedakan atas:
- Extension joint (kekar tarik), terjadi akibat pemekaran/tarikan
- Release joint, terjadi akibat berkurangnya atau terhentinya gaya atau
tekanan yang bekerja
54
Berdasarkan atas penyebab dan orientasi arah gaya yang bekerja, maka
pada daerah penelitian struktur kekar ini penulis kelompokan menjadi dua jenis,
yaitu :
a. Kekar terorientasi semu
b. Kekar terorientasi
4.3.1.a. Kekar Terorientasi Semu
Kekar ini termasuk dalam kekar gerus (shear) dan kekar tarik (tention).
Jenis kekar ini dapat memotong matriks atau fragmenya saja, tetapi tidak dapat
memotong keduanya. Kekar jenis ini tidak dapat dipergunakan untuk menentukan
arah tegasan (δ1, δ2, dan δ3). Hal itu dikarenakan oleh karena orientasi kekar ini
bukanlah orientasi yang sebenarnya.
Dari arah orientasi yang berbeda-beda pada fragmen batuan, hal ini
membuktikan bahwa fragmen tersebut memiliki kedudukan yang acak di dalam
matriksnya. Kenampakan kekar terorientasi semu ini sangat jelas terlihat pada lokasi
pengamatan 27 yang terletak pada Gunung Biang.
Foto 4.17. Kekar terorientasi semu yang terletak pada lokasi
pengamatan 27 daerah Gunung Biang, dengan arah kamera
menghadap ke bawah
55
Foto 4.18. Kekar terorientasi yang dijumpai pada lokasi
pengamatan 46, dengan arah kamera menghadap ke bawah
4.3.1.b. Kekar Terorientasi
Kekar ini termasuk dalam kekar gerus (shear) dan kekar tarik (tention).
Jenis kekar ini dapat memotong matriks dan fragmenya, orientasi dari kekar ini dapat
digunakan untuk menentukan arah gaya tegasan utamanya (δ1, δ2, dan δ3). Pada
beberapa lokasi pengamatan kekar ini sering ditemukan. Lihat foto. 4.18.
Pada lokasi pengamatan 46, yaitu pada batuan andesit dijumpai adanya
struktur kekar. Berdasarkan hasil analisa menggunakan diagram roset, maka
didapatkan bahwa kekar-kekar pada lokasi pengamatan 46 memiliki orientasi arah
umum N085°E – N265°E, dengan arah tegasan utama; δ1 : N115°E, δ2 : N000°E,
dan δ3 : N205°E.
4.3.2 Struktur Sesar
Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa daerah penelitian adalah suatu
daerah yang sangat aktif tektoniknya dan batuannya telah bercampur aduk. Dengan
sendirinya struktur geologi seperti kekar, sesar dan lipatan sesar banyak dijumpai di
daerah telitian.
56
Gambar 4.3. Klasifikasi penamaan sesar berdasarkan (Rickard,
1972)
Sesar adalah merupakan suatu bidang rekahan atau rekahan yang telah
mengalami pergeseran akibat adanya gaya yang bekerja (D.M.Ragan,1973). Untuk
menentukan jenis pergerakan sesar yang terjadi pada daerah penelitian, maka penulis
menggunakan klasifikasi penamaan sesar berdasarkan (Rickard, 1972). (Lihat
gambar 4.3)
Pada daerah penelitian, ada dua struktur sesar yang penulis temukan, yaitu
berupa sesar geser makawa dan sesar normal mataluntun. Terbentuknya struktur
sesar tersebut diperkirakan akibat adanya pergerakan pada lempeng yang mengalami
tumbukan. Struktur yang terdapat di daerah penelitian adalah sebagai berikut :
a. Sesar normal Mataluntun (sesar Mataluntun)
b. Sesar geser Makawa (sesar Makawa)
4.3.2.a. Sesar Mataluntun
Pada daerah penelitian, sesar normal ini terdapat pada lokasi pengamatan
52, sesar tersebut terdapat pada batuan andesit yang mengarah barat laut-tenggara.
Indikasi keberadaan struktur sesar di lapangan adalah ditemukannya adanya struktur
yang berupa kekar-kekar, baik berupa kekar gerus dan juga kekar tarik. Tanda yang
lain adalah didapatkanya jalur breksiasi pada andesit yang terletak di lokasi tersebut.
57
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dari data kekar didapatkan arah
umum untuk kedudukan kekar gerus adalah N268°E/78° dan untuk kekar tarik
N201°E/66°. Kedudukan bidang sesar adalah N282°E/32°.
Sesuai dengan klasifikasi (Rickard, 1972), dengan data berupa dip bidang
sesar sebesar 32° danrake 19° maka penulis menafsirkan jenis sesar yang terdapat
pada lokasi pengamatan 51 adalah normal right slip fault (Rickard,1972). Hasil
analisa terlampir.
4.3.2.a. Sesar Makawa
Pada derah telitian sesar mendatar ini dijumpai pada lokasi pengamatan 5d,
sesar tersebut mengarah relatif barat laut-tenggara dan terdapat pada lithologi
andesit, indikasi keberadaan sesar ditandai dengan adanya kekar kekar, baik kekar
gerus maupun kekar tarik, juga ditemukan adanya air terjun yang mengindikasikan
suatu hasil struktur berupa sesar naik, dan zona breksiasi dengan arah kemenerusan
N123oE-N303
oE, serta bidang sesar.
Foto 4.19. Zona hancuran (breksiasi) pada andesit,dan kenampakan kekar pada lokasi
pengamatan 52 dengan arah kamera N189°E.
58
Berdasarkan hasil pengukuran dilapangan arah umum untuk kekar gerus yaitu
N130oE/70
o, dan N180
o/60
o untuk kekar tarik, namun ketika berjalan sekitar 30m
menyusuri lebih dalam dari anak sungai Makawa ditemukan bidang sesar dengan
kedudukan N120oE/74
o, setelah dilakukan analisa struktur diketahui bidang sesar
memiliki netslip 25o, N127
oE dan rake sebesar 27
o, penulis menafsirkan sesar
Makawa, ialah reverse right slip fault (Rickard, 1972) hasil analisa terlampir.
4.4. Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi
Berdasarkan data-data lapangan dan didukung data regional maka
pembentukan pola-pola struktur geologi di daerah pemetaan disebabkan adanya
aktivitas penunjaman lempeng yang terjadi di sekitar pulau Sulawesi. Pembentukan
tersebut dimulai dengan pengendapan satuan batuan yang terdapat di daerah
pemetaan yang terjadi selama kurun waktu Eosen-Oligosen. Pada daerah telitian
terjadi aktivitas tektonik yang menghasilkan struktur geologi baik kekar maupun
sesar. Sesar mendatar yang mempunyai tegasan berarah relatif tenggara – barat laut,
yang mengenai satuan andesit Formasi Gunungapi Lamasi yang berumur Oligosen
dan satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi.
Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian di dasarkan pada
pendekatan teori strain elipsoid menurut Reidel yang merupakan modifikasi dari
teori Harding, 1974 (Gambar 4.4), dimana dalam pembentukannya terjadi dalam satu
Foto 4.20. Bidang sesar mendatar, di daerah
Makawa, arah kamera N327oE
59
periode pembentukan dengan arah umum tegasan maksimum berarah barat laut –
tenggara.
Akibat adanya aktivitas tektonik yang menghasilkan gaya kompresi dengan
arah umum tegasan maksimumnya relatif berarah barat laut – tenggara
menyebabkan batuan pada daerah penelitian mengalami fasa deformasi anyal
(elastis). Kemudian gaya tersebut terus bekerja sehingga menyebabkan batas
elatisitas batuan dalam keadaan minimal sehingga batuan tersebut mengalami fasa
deformasi plastis yaitu dengan terbentuknya kekar gerus (shear joint). Gaya
kompresi terus berlanjut sehingga menghasilkan gaya tension (gaya tarik) yang
relatif tegak lurus arah tegasan maksimum (σ 1) dan kemudian akan menyebabkan
terbentuknya kekar tarik (extension joint) .
Selanjutnya tekanan (gaya kompresi) yang terus bekerja tersebut semakin
meningkat sehingga mengakibatkan batuan pada daerah penelitian mencapai fasa
dimana batuan tersebut akan patah dan bergeser sehingga menghasilkan terbentuknya
sesar geser Makawa yang bersifat mengiri (sinistral) dan sesar turun Mataluntun.
Gambar 4.4. Mekanisme struktur geologi
berdasarkan model teori strain ellipsoid
menurut Reidel (modifikasi dari Teori
Harding, 1974) dalam Mc Clay, 1987.
60
σ1
σ1 σ1
σ1
Penentuan umur dari struktur geologi daerah penelitian ditentukan secara
relatif berdasarkan pendekatan umur batuan termuda yang mengalami pengaruh
struktur geologi. Batuan termuda pada daerah penelitian yang mengalami pengaruh
struktur geologi adalah andesit yang berumur Oligosen. Jadi dapat disimpulkan
bahwa umur dari struktur geologi daerah penelitian adalah Oligosen.
Gambar 4.5. Mekanisme pembentukan struktur geologi
daerah penelitian yang menunjukan arah umum tegasan
maksimum relatif barat laut-tenggara yang menyebabkan
terbentuknya sesar geser Makawa dan sesar turun Mataluntun.
Sesar geser
Makawa
Sesar turun Mataluntun
61
BAB 5
STUDI ALTERASI HIDROTERMAL
5.1. Alterasi Hidrotermal Daerah Sungai Mataluntun dan Makawa
Alterasi hidrotermal pada suatu tempat tertentu mempunyai karakteristik atau
ciri – ciri tersendiri. Fluida hidrotermal yang mempunyai kondisi fisika-kimia
tertentu akan melewati suatu batuan dinding (wall rock) melewati permeabilitas
sekunder maupun primer, dan menghasilkan atau merubah batuan yang ada menjadi
kumpulan/asosiasi mineral ubahan (alteration). Pengendapan mineral tertentu ada
yang bersifat pengisian dan juga pengalterasian terhadap batuan yang ada. Alterasi
itu menyangkut kimiawi, mineralogi, dan tekstur.
Zona alterasi merupakan zona dimana proses ubahan mineral dari mineral
primer menjadi mineral sekunder. Pada prinsipnya proses alterasi hidrotermal ini
merupakan ubahan yang disebabkan oleh sirkulasi fluida hidrotermal yang
menyebabkan himpunan mineral pada batuan dinding menjadi tidak stabil, dan
cenderung menyesuaikan kesetimbangan baru dengan membentuk himpunan mineral
yang sesuia dengan kondisi yang baru.
Pada daerah penelitian dijumpai beberapa zona ubahan, dimana setiap zona
alterasi ini memiliki keterdapatan mineral khusus (himpunan mineral) sebagai penciri
setiap tipe alterasi tersebut. Zona alterasi yang berkembang di daerah penelitian
antara lain zonasi ubahan filik zonasi ubahan advanced argilik dan zonasi ubahan
propilitik. Setiap alterasi diatas dikelompokkan ke dalam tipe – tipe alterasi sesuai
dengan keterdapatan mineral penciri yang sesuai dengan jenis alterasinya.
5.1.1. Alterasi Filik
Zona ini tersebar di daerah selatan daerah telitian yang sebarannya mengikuti
arah kekar yang ditimbulkan oleh sesar yang berada pada daerah telitian, dimana
fluida hidrotermal ini keluar melewati zona-zona lemah. Alterasi ini terlihat jelas
bahwa batuan yang teralterasi akan mengalami pengkayaan akan mineral serisit dan
kuarsa sekunder yang berasal dari feldspar.
62
Foto 5.1.Singkapan andesit teralterasi didapatkan
mineral pirit dan kalkopirit yang menyebar pada
batuan
Secara megaskopis, alterasi ini berwarna abu abu pada batuan dan banyak
dijumpai mineral serisit dan mineral-mineral silika seperti kuarsa dan tidak jarang
terdapat mineral-mineral bijih seperti pirit, kalkopirit pada batuan tersebut. Zona filik
terdapat pada tubuh batuan andesit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma
dan air permukaan yang mengandung gas CO.
Secara megaskopis memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan-kehijauan,
dengan asosiasi mineral yang hadir dominan kuarsa dan serisit, dimana batuan ini
terpotong oleh urat kuarsa (veinlet). Sedangkan pengamatan dengan mikroskopis
pada contoh batuan LP 48 dapat dilihat pada foto 5.1. Pembentukan tipe alterasi filik
ini diinterpretasikan sebagai hasil proses pelapukan mineral feldspar teralterasi
menjadi serisit. Proses ini disebabkan oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan
yang mengandung gas CO. Pada umumnya proses serisitisasi terjadi pada daerah
dekat dengan vein dan dekat dengan sumber panas. Biasanya proses serisitisasi
mengakibatkan penambahan mineral serisit dan kuarsa sekunder yang berasal dari
feldspar. Mineral serisit yang terbentuk akan terlihat seperti bintik-bintik halus
bersama kuarsa halus dalam feldspar (Ries & Watson, 1958).
63
Foto 5.3.Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan,
komposisi mineral tersusun oleh kuarsa (veintlet), serisit, dan mineral bijih.
Tampak fe-oksida mengisi rekahan. Silika (Kuarsa) (75%), Serisit (20%),
mineral bijih (5%) jenis alterasi: filik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A A
B B
C C
D D
E E
F F
G G
H H
I I
J J
Nikol silang 0,5 mm
Foto 5.2. Andesit teralterasi dengan parameter uang
logam (insert foto 5.1)
64
Gam
bar
5.1
. G
rafi
k a
nal
isa
XR
D L
P 4
8
Qu
art
z
Illite
,Qu
art
z
Pyri
te
Illite
,Mic
as
Qu
art
z
Pyri
te
Pyri
te
65
Berdasarkan tabel hasil analisa XRD sampel LP 48 dapat diketahui adanya
mineral-mineral penciri dari zonasi ubahan filik di daerah telitian,mineral-mineral
tersebut adalah :
1. Quartz
2. Pyrite
3. Illite (serisit)
Peak Search Report (17 Peaks, Max
P/N = 25.5)
[Lp 48.raw] LP 48
PEAK: 17-pts/Parabolic Filter, Threshold=3.0, Cutoff=0.1%,
BG=3/1.0, Peak-Top=Summit
2-Theta d(Å) B
G Height I% Area I%
FWH
M Mineral
12.441 7.1089 19 32 1.2 416 1.7 0.221 Chrysotile
20.822 4.2626 10 490 18.7 4479 17.9 0.155 Quartz low
26.619 3.346 11 2620 100 25005 100 0.162 Illite,quartz
28.482 3.1312 9 33 1.3 350 1.4 0.18 Cordierite
33.021 2.7105 8 110 4.2 1112 4.4 0.172 Pyrite
36.501 2.4596 11 163 6.2 1751 7 0.183 Quartz
37.021 2.4262 10 54 2.1 746 3 0.235 Pyrophillite
39.439 2.2829 8 181 6.9 1893 7.6 0.178 Manganite
40.279 2.2372 8 60 2.3 852 3.4 0.241 Kutnahorite,calcian
40.739 2.213 7 46 1.8 548 2.2 0.203 Mullite
42.4 2.13 5 117 4.5 1359 5.4 0.197 Diaspore
45.741 1.982 7 76 2.9 798 3.2 0.178 Illlite.micas
47.382 1.9171 5 33 1.3 355 1.4 0.183 Marcasite
50.1 1.8192 6 255 9.7 3342 13.4 0.223 Quartz
54.823 1.6732 6 80 3.1 1182 4.7 0.251 Graphite
55.282 1.6603 8 35 1.3 452 1.8 0.22 Pyrite
56.221 1.6348 7 46 1.8 462 1.8 0.171 Pyrite
Tabel 5.1Hasil analisa XRD LP 48
66
Gambar 5.2. Temperatur pembentukan mineral alterasi
silisik
.
Dari gambar 5.2. diiketahui bahwa alterasi filik yang berada di daerah telitian
terbentuk pada suhu relatif 200-230o C. Hadirnya mineral quartz, illite (serisit), dan
pirit. Alterasi ini merupakan penambahan proporsi dari serisit dan kuarsa sekunder
pada batuan dinding. Penambahan mineral serisit diakibatkan pelapukan felsdspar
terubah oleh larutan sisa magma dan gas air permukaan yang mengandung gas CO.
Fasa mineral yang berasosiasi dengan tipe alterasi ini adalah K-feldspar, kaolinit,
kalsit, biotit, rutil, anhidrit dan apatit.
5.1.2. Alterasi Advanced Argilik.
Alterasi ini sebarannya mengikuti arah veinlet, alterasi advanced argilik
mempunyai ciri-ciri dilapangan dengan hadirnya himpunan mineral-mineral
lempung. Mineral-mineral lempung yang hadir umumnya illite, serta hadirnya
mineral quartz dan diaspore, pyrophillite. Akibat kuatnya intensitas pelapukan pada
lithologi andesit sehingga mengalami kesulitan dalam proses penarikan batas alterasi.
67
Foto 5.4. Alterasi advanced argilik di batuan andesit
pada satuan andesit
Secara megaskopis kenampakan alterasi ini berwarna putih keabuan dan pada batuan
ini didominasi dengan kelompok mineral lempung (clay mineral ). Pada alterasi
advanced argilik ini juga hadir pirit sebagai mineral bijih, alterasi advanced argilik
ditemukan mengalterasi pada lava andesit.
Selama proses pembentukan alterasi argilik terjadi pengkayaan CO2 dari uap air yang
terpanaskan (steam heated waters) ke arah batuan andesit (wall rock) oleh hadirnya
asam sulfat / kondensasi zat volatil magmatik (Corbett dan Leach, 1996)
2-Theta d(Å) BG Height I% Area I% FWHM MINERAL
36.501 2.4596 11 163 6.2 1751 7 0.183 Quartz
37.021 2.4262 10 54 2.1 746 3 0.235 Pyrophillite
42.4 2.13 5 117 4.5 1359 5.4 0.197 Diaspore
47.382 1.9171 5 33 1.3 355 1.4 0.183 Marcasite
Dari hasil analiasa XRD dapat diketahui adanya mineral mineral penciri tipe alterasi
advanced argilik yaitu dengan terdapatnya mineral :
1. Quartz
2. Pyrophillite
3. Diaspore
4. Marcasite
68
5.1.3. Alterasi Propilitik.
Perkembangan zona jenis ini umumnya cenderung menempati zona paling
luar atau menyelimuti semua jenis alterasi pada sistim hidrotermal. Akibat kuatnya
intensitas pelapukan pada litologi andesit sehingga mengalami kesulitan dalam
proses penarikan batas alterasi.
Alterasi ini dikarenakan perubahan komposisi dan temperatur fluida
hidrotermal yang awalnya bersifat asam kemudian berubah mendekati pH netral
akibat dari kontaminasi air meteorik. Proses kloritisasi ini didominasi oleh mineral
klorit-epidot. Hadirnya himpunan mineral klorit pada alterasi propilitik ini karena
terubahnya mineral-mineral piroksen dan plagioklas akibat dari interaksi fluida
hidrotermal dengan wall rock.
Foto 5.5. Singkapan andesit teralterasi dan
didapatkan mineral pirit dan kalkopirit yang
menyebar pada batuan
Foto 5.6. Singkapan andesit teralterasi
(insert foto5.5)
69
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A
A
B B
C C
D D
E E
F F
G G
H H
I I
J J
Nikol silang 0,5 mm
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A
A
B B
C C
D D
E E
F F
G G
H H
I I
J J
Nikol silang 0,5 mm
Foto 5.8. Sayatan poles batuan alterasi, abu-abu kehijauan-hijau, batuan telah
mengalami alterasi dengan dijumpainya mineral sekunder klorit (G-8) (hijau
gelap) yang merubah mineral plagioklas serta mafik mineral. Nampak mineral
sulfida (F-5) (pirit dan kalkopirit) tersebar secara merata dan mengisi urat (I-4),
dengan ukuran halus.
Foto 5.7.Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kehijauan, komposisi
mineral plagioklas (50%), piroksen (15%), opak (5%), gelas (10%), klorit
(15%) serisit (5%)
70
Secara megaskopis dilapangan tekstur ataupun sifat fisik dari batuan asal
pada zona ini umumnya sudah tidak terlihat. Proses alterasi ini ditandai dengan
hadirnya mineral klorit. Zona ini terdapat pada batuan yang memiliki sifat
permeabilitas yang rendah dan salinitas beragam. Alterasi ini dapat terlihat baik pada
tubuh batuan andesit.
Zona ini dijumpai di sungai Mataluntun dengan banyak urat urat yang mempunyai
arah umum N 185 o
E/60 o
. Berdasarkan pengamatan dilapangan zona ini berkembang
di wilayah timur dari daerah telitian pada satuan andesit, zona ini menempati kurang
lebih 5% dari daerah telitian
71
Gam
bar
5.3
. H
asil
anal
isa
XR
D L
P 5
5
Alb
ite
-
low
Calc
it
e
Qu
art
z
Ch
lori
te
Qu
art
z
Illite
72
Tabel 5.2 Hasil analisa XRD LP 55
Dari tabel hasil analisa XRD LP 55 dapat diketahui adanya mineral-mineral
penciri dari alterasi propilitik atau kloritisasi di daerah telitian,mineral-mineral
tersebut adalah :
1. Klorit ( Mg,Fe2+
,Fe3+
)6AlSi3O10(OH)8
2. Albite-low
3. Illite
4. Calcite (CaCO3)
Peak Search Report (23 Peaks, Max
P/N = 15.3)
Peak Search Report
(23 Peaks, Max P/N
= 15.3)
Peak Search Report (23 Peaks, Max P/N = 15.3)
[LP 55.raw] Z 300 10
2-Theta d(Å) BG Height I% Area I% FWHM Mineral
6.179 14.2916 36 31 3.2 721 7.6 0.395 chloritic-swelling
12.459 7.0986 18 72 7.5 1136 11.9 0.268 cromsieditic
18.7 4.7413 16 20 2.1 225 2.4 0.191 sudotic
19.762 4.4888 20 31 3.2 430 4.5 0.236 sepiolite
20.824 4.2622 19 211 22 1874 19.7 0.151 quartz
22.037 4.0303 14 61 6.4 703 7.4 0.196 plagioclase
23.62 3.7635 17 28 2.9 1089 11.4 0.661 plagioclase
24.24 3.6688 19 37 3.9 1125 11.8 0.517 hematite
25.118 3.5425 20 40 4.2 702 7.4 0.298 stronitantie
26.639 3.3436 23 959 100 9518 100 0.169 quartz
27.92 3.1929 20 165 17.2 3688 38.7 0.38 albite-low
30.459 2.9323 17 28 2.9 583 6.1 0.354 chabazite
33.038 2.7091 13 55 5.7 431 4.5 0.133 tremolite
35.059 2.5574 17 42 4.4 1348 14.2 0.546 mallotsitit
36.521 2.4583 21 96 10 1259 13.2 0.223 chamosite,ferric
37.044 2.4248 18 30 3.1 1064 11.2 0.603 pyrophtllite
39.478 2.2807 17 69 7.2 731 7.7 0.18 calcite
40.262 2.2381 15 33 3.4 478 5 0.246 bayerite
42.422 2.129 11 59 6.2 1073 11.3 0.309 diaspore
45.779 1.9804 12 36 3.8 788 8.3 0.372 illite,micas
50.122 1.8185 11 104 10.8 1494 15.7 0.244 quartz
54.839 1.6727 14 27 2.8 540 5.7 0.34 oriphite
56.259 1.6338 13 19 2 192 2 0.172 pyrite
73
Gambar 5.4. Temperatur pembentukan mineral pada sampel alterasi propilitik
.
Mineral-mineral penciri yang hadir dalam analisa XRD kemudian dapat
dimasukkan kedalam diagram temperatur pembentukan mineral untuk epitermal
deposit (White & Headenquist, 1995). Sehingga dapat diketahui pada suhu berapa
alterasi propilit atau kloritisasi yang hadir di daerah telitian terbentuk dan pada pH
bagaimana dapat terbentuk. Pembentukan mineral-mineral yang hadir dalam alterasi
kloritisasi atau propilitik ternyata terbentuk pada suhu >2500 C dan pH fluida yang
dari asam kemudian mendekati netral karena kemungkinan adanya kontak dengan air
meteorik.
Pembentukan alterasi propilitik pada daerah telitian disebabkan oleh adanya
ruang (sesar dan kekar) sebagai jalan keluar fluida hidrotermal yang kemudian
bereaksi dengan batuan vulkanik sehingga terbentuk himpunan mineral-mineral
ubahan yang mencirikan tipe alterasi propilitik. Sebagai contoh, mineral klorit yang
74
Tabel 5.3.Tabulasi data kandungan unsur dari hasil analisa AAS dan tipe ubahan
hadir diinterpretasikan sebagai hasil ubahan dari mineral plagioklas dengan reaksi
kimia sebagai berikut (Stanton, 1972 dalam Heru Sigit, 2002)
2 NaAlSi3O8 + 4(Mg,Fe)2+
+ 10 H2O (Mg,Fe)42+
(Fe,Al)23+
Si2O10 (OH)8 + 4 SiO2 +2 Na + 12 H
Albit Klorit
Pembentukan tipe alterasi propilitik atau kloritisasi terjadi pada kisaran
temperatur 200o – 300
oC dengan salinitas beragam dan kondisi pH mendekati netral
(5 – 7) yang umumnya terjadi pada batuan dengan permeabilitas kecil (Creasy,
1966). Tipe ini juga dipengaruhi komposisi fluida hidrothermal yang kaya unsur Ca,
H2O, dan CO2 serta sedikit H+ (Pirajno, 1992 dalam Heru Sigit, 2002).
5.2. Hasil Analisa Kadar AAS (Atomic Absorbtion Spectofotometry)
Analisis geokimia dengan metode AAS (Atomic Absorbtion Spectofotometry)
dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur Au, Ag, Zn, Pb dan Cu di dalam urat
kuarsa dan batuan dinding yang diambil contoh batuannya dari lapangan derah
telitian yang termasuk dalam data primer penelitian. Hasil analisa mineralisasi bijih
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3
sampel zona
ubahan
Au
(ppm)
Ag
(ppm)
Cu
(ppm)
Pb
(ppm)
Zn
(ppm)
As
(ppm)
S1 Propilit 0.1 0.05 0.02 0.01 0.01 70
S2 Adv.
Argilik 1.1 0.5 0.14 0.86 0.79 436
S3 Silisik 0.1 0.03 0.02 0.01 0.01 89
5.3. Hubungan Alterasi Dengan Sruktur dan Litologi Pada Daerah Penelitian
Alterasi yang ada di daerah telitian hadir memiliki pola tertentu dalam setiap
lokasi keterdapatannya. Kehadiran alterasi hidrotermal dicirikan dengan kenampakan
kelompok mineral ubahan yang berbeda-beda untuk tiap jenis alterasi. Tiap jenis
alterasi hidrotermal memiliki sebaran yang setempat-setempat mengikuti arah dari
zona-zona lemah. Semakin mendekati zona lemah, maka akan hadir jenis alterasi
75
yang berbeda dibandingkan pada tempat yang jauh dari zona lemah. Ini
menunjukkan bahwa alterasi hidrotermal dikontrol oleh struktur geologi yang
berkembang di daerah tersebut. Trend dari alterasi ialah tenggara-barat laut relatif
searah bidang sesar normal di daerah telitian, sehingga dapat disimpulkan bahwa
struktur geologi adalah sebagai pengontrol terdapatnya alterasi hidrotermal di daerah
penelitian.
Alterasi pada daerah penelitian ini juga dikontrol oleh litologi pembawa,
litologi yang membawa alterasi berasal dari basalt sedangkan batuan yang berperan
sebagai wallrock adalah andesit. Peran dari litologi pembawa ini sangat berpengaruh
terhadap alterasi hidrotermal karena litologi tersebut nantinya yang akan
menghasilkan fluida hidrotermal pada saat pembekuan yang mempengaruhi sifat pH
larutan hidrotermal. Perbedaan litologi pembawa akan menghasilkan sifat fluida
hidrotermal yang berbeda yang apabila fluida tersebut melewati wall rock dengan
litologi yang berbeda, maka fluida tersebut akan bereaksi dan menghasilkan mineral-
mineral ubahan dan akhirnya akan menciptakan adanya alterasi hidrotermal yang
berbeda.
Kedua peran antara stuktur dan litologi sangat mempengaruhi dari proses
terbentuknya alterasi hidrotermal, karena struktur sebagai ruang tempat terisi fluida,
dan litologi sebagai pembawa dari larutan hidrotermal yang berperan sebagai faktor
dalam proses alterasi.
76
BAB 6
KESIMPULAN
Daerah telitian memiliki geomorfologi yang menarik, keanekaragaman
jenis litologi dan kompleksitas struktur geologi. Dari penelitian yang telah dilakukan
dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Daerah telitian dapat dibagi menjadi empat satuan geomorfologi, yaitu:
a. Bentuk asal vulkanik dengan bentukan lahan perbukitan vulkanik berlereng
curam (V1)
b. Bentuk asal vulkanik dengan bentukan lahan perbukitan vulkanik berlereng
menengah (V2)
c. Bentuk asal fluvial dengan bentuk lahan dataran aluvial (F1)
d. Bentuk asal struktural dengan bentuk lahan perbukitan homoklin berlereng
curam (S9)
2. Jenis pola aliran yang terdapat pada daerah penelitian diklasifikasikan kedalam
pola sungai sub dendritik. Dengan adanya lembah-lembah sungai yang
berbentuk “U” yang dicirikan dengan adanya meander sungai. Selain itu
dengan adanya lembah yang cukup terjal maka stadia geomorfologi daerah
telitian dapat digolongkan kedalam stadia dewasa.
3. Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda adalah:
satuan batugamping Formasi Toraja, diatasnya terendapkan secara tidak selaras
satuan breksi Formasi Gunungapi Lamasi yang bersilang jari dengan satuan
andesit Formasi Gunungapi Lamasi.
4. Berdasarkan analisa kelurusan topografi dan data lapangan pada daerah telitian
terdapat struktur geologi kekar dan sesar. Struktur sesar yang berkembang
adalah : sesar geser dan sesar normal.
5. Zona ubahan yang terdapat di daerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi
tiga zonasi ubahan, yaitu zona filik, zona advanced argilik dan zona propilitik.
77
DAFTAR PUSTAKA
Billings, M. P, 1968, Structural Geology, Second ed. Prentice of India Private
Limited, New Delhi.
Carmichael, I.S.E., Turner, F.J., and Verhoogen, J., 1974, Igneous Petrology, Mc
Graw – Hill.
Corbett, G.J & Leach, T.M. (1996), Southwest Pasific Rim Gold / Copper System :
Structure, Alteration and Mineralitation, A workshop presented for the
Society of Eksploration Geochemist, Townsville.
Creasy, S.C., 1961, Hydrothermal Alterations in Geology of Porphyry Copper
Deposits (S.R.Tettley & C.L.Hickx,ed), Tuscon:Univ. of Ariz. Press, pp.51-
74
Djuri, dkk, 1998, Geologi Lembar Majene dan Palopo Bagian Barat, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi.
Hamilton, W. H., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geol. Surv.
Prof.Pap.1078, 345 pp.
Heru Sigit Purwanto. (2002), PemineralanEmas dan Kawalan Struktur Pada Kawasan
Penjom, Pahang Dan Lubok Mandi Terengganu, Semenanjung Malaysia.
Disertasi Doktor, Universitas Kebangsaan Malaysia Hal 39-83, tidak
dipublikasikan.
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1973, Sandi Stratigrafi Indonesia, Departemen
Pertambangan Republik Indonesia.
Katili. J. A., 1978, Past and Present Geotektonic Position of Sulawesi, Indonesia,
Tectonophysics, 45: 289-322.
Koesoemadinata, R.P., 1981, Prinsip – Prinsip Sedimentasi, ITB., Bandung.
Lindgren, W. (1983) Mineral Deposit McGraw-Hill Book Company, Inc, USA.
Sukamto, Rab 1975, Perkembangan tektonik dengan membagi pulau Sulawesi dan
pulau-pulau disekitarnya kedalam tiga mandala geologi, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi.
78
Sukamto, Rab (1975), Perkembangan Tektonik Sulawesi dan Sekitarnya, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber
Saya Mineral, Departemen Pertambangan dan energi.
Sukamto, Rab (1985), Penelitian tentang Tektonik Sulawesi yang menghasilkan Peta
Pola Tektonik Sulawesi Regional, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen
Pertambangan dan Energi.
Sukamto, Rab, and Simanjuntak R.O., (1983), Sintesis terhadap hubungan tektonik
ketiga Mandala Geologi Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen
Pertambangan dan Energi.
Sukamto, Rab, and Simanjuntak R.O., (1983), Tectonic Relationship Between
Geologic Provinces of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai -
Sula in the Light of Sedimentological Aspect, Bull. Geol. Res and Dev.
Centre, No. 7. .
Van Bemmelen, R. W., 1949, The Geology of IndonesiaVol.II, Martinus Nijhoff The
Hague.
Van Leeuwen, T.M., 1974. The gology of Birru area, South Sulawesi; PT Riotinto
Bethlehem Indonesia, unpubl. Rept. 277-304.
William, H. F., Turner, and Gilbert, C. M., 1955, Petrography : Introduction To
Study of Rock In Thin Section, W. H. Freeman and Co. San Fransisco
Zuidam, Van, R.A, 1983, Aerial Photo Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping, Smith Publishers, The Hague, Neatherlands.
79
LAMPIRAN
80
ANALISIS PETROGAFI
Nomor Foto : 1 Nama Megaskopis : Andesit
No. Sampel : PLP 2 Daerah : S.Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol silang Nikol sejajar
0 0,5mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Batuan beku intermediet vulkanik; warna:abu-abu; indeks warna 20%;
kristalinitas:hypokristalin; granularitas:fanerik sedang-halus; bentuk
kristal:subhedral-anhedral; ukuran kristal:2-0.1 mm; relasi:Inequigranular vitroverik
yang disusun oleh:
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (45%); berwarna coklat; relief:sedang; bentuk kristal:subhedral;
indeks bias Nmin<Nkb, menunjukkan kembaran Albit, pada fenokris
81
berukuran 2 mm dengan An 33 jenis labradorit, dan mikrolit berukuran 0.1
mm dengan An 28 jenis andesin. Hadir merata dalam sayatan.
Piroxen (20%); berwarna coklat kebiruan; relief:rendah; menunjukkan adanya
belahan 2 arah; bentuk kristal:subhedral; hadir setempat dalam sayatan.
Massa gelas (20%), yang hadir merata dalam sayatan.
Mineral opaque (15%); berwarna hitam; relief:rendah; bentuk
kristal:anhedral, hadir menyebar dalam sayatan.
Penamaan petrografi : Andesit piroksen.
82
Nomor Foto : 2 Nama Megaskopis : Tuff
No. Sampel : PLP 3 Daerah : S.Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik (lapuk), berwarna abu-abu-krem, tekstur klastik
dengan butiran berukuran 0,05–0,5 mm, terdiri dari lithic, feldspar, kuarsa dan
mineral opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Lithic (15%), abu-abu, kecoklatan, berupa pecahan batuan pumice dan batuan
beku, ukuran butir 0,1-0,5 mm, bentuk menyudut tanggung.
83
Feldspar (10%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk
menyudut tanggung, berupa plagioklas.
Kwarsa (2%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, indeks bias
n>nKb, berukuran 0,05–0,1mm, pemadaman bergelombang.
Min opak (3%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–
0,1mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan.
Gelas (70%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan Petrografis:
Vitric Tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
Welded tuff
84
Nomor Foto : 3 Nama Megaskopis : Tuff
No. Sampel : PLP 4 Daerah : Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik (lapuk), berwarna coklat, tekstur klastik dengan
butiran berukuran 0,05–0,3 mm, terdiri dari lithic,piroksen feldspar, kuarsa dan
mineral opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Feldspar (10%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk
menyudut tanggung, berupa plagioklas.
Lithic (5%), abu-abu, kecoklatan, berupa pecahan batuan pumice, ukuran
butir 0,1-0,3 mm, bentuk menyudut tanggung.
85
Piroksen (5%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme lemah-
tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm.
Kwarsa (1%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, indeks bias
n>nKb, berukuran 0,05–0,1mm, pemadaman bergelombang.
Min opak (4%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–
0,1mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan.
Gelas (75%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan petrografis : Vitric tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
86
Nomor Foto :4 Nama Megaskopis : Tuff
No. Sampel : PLP 5c Daerah : anak S.Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik (lapuk), berwarna abu-abu-krem, tekstur klastik
dengan butiran berukuran 0,05–0,5 mm, terdiri dari lithic, feldspar, kuarsa dan
mineral opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Lithic (15%), abu-abu, kecoklatan, berupa pecahan batuan pumice dan batuan
beku, ukuran butir 0,1-0,5 mm, bentuk menyudut tanggung.
Feldspar (10%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk
menyudut tanggung, berupa plagioklas.
87
Kwarsa (2%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, indeks bias
n>nKb, berukuran 0,05–0,1mm, pemadaman bergelombang.
Min opak (3%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–
0,1mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan.
Gelas (70%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan petrografis :
Vitric Tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
Welded tuff
88
Nomor Foto : 5 Nama Megaskopis : Batulempung
No. Sampel : PLP 5f Daerah : anak S.Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis lempung, berwarna coklat, komposisi butiran terdiri dari feldspar,
kuarsa dan mineral opak, dengan ukuran butir 0,05–0,3mm. Butiran mengambang
dalam matrik lempung.
KOMPONEN PENYUSUN:
Feldspar (5%), warna putih abu-abu, relief rendah-sedang, dengan ukuran
butir 0,1-0,2mm, sebagian menampakkan kembaran, bentuk butir menyudut
tanggung-membulat tanggung, merata dalam sayatan.
89
Kwarsa (5%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, berukuran
0,05–0,1mm, pemadaman bergelombang.
Mineral opak (5%), hitam, isotrop, relief tinggi, dengan ukuran 0,05-0,1mm,
bentuk membulat-membulat tanggung.
Lempung (70%), kecoklatan, nikol silang gelap
Gelas (15%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan petrografis :
Claystone (Klasifikasi R.L. Pettijohn, 1972)
Sandy Mudstone (klasifikasi Dott (1964) vide Gilbert, 1982)
Claystone (Klasifikasi Gilbert, 1954)
90
Nomor Foto : 6 Nama Megaskopis : Andesit
No. Sampel : PLP 9a Daerah : anak S.Makawa
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik, warna abu-abu kehijauan, tekstur porfiritik (fenokris
tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen, min opak dan gelas),
bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral plagioklas,
piroksen, mineral opak dan gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (65%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-
Albit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedral-
91
anhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (45%) berukuran 0,05-
0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan.
Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-0,5 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi mineral klorit. Hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,05-
0,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen.
Gelas (10%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna
gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut.
Penamaan petrografi : Andesit Piroksen (klasifikasi Williams, 1982)
Mineral sekunder yang hadir:
Klorit (5%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran butir
0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen
92
Nomor Foto : 7 Nama Megaskopis : Tuff
No. Sampel : PLP 9c Daerah : anak S.Makawa
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik (lapuk), berwarna abu-abu-krem, tekstur klastik
dengan butiran berukuran 0,05–0,3 mm, terdiri dari feldspar, kuarsa dan mineral
opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Feldspar (5%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk menyudut
tanggung, berupa plagioklas.
Kwarsa (1%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, indeks bias
n>nKb, berukuran 0,05–0,1mm, pemadaman bergelombang.
93
Min opak (4%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran
0,05–0,1mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam
sayatan.
Gelas (90%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan petrografis : Vitric Tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
94
Nomor Foto : 8 Nama Megaskopis : Tuff
No. Sampel : PLP 9f Daerah : anak S.Makawa
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batuan piroklastik (sangat lapuk), berwarna abu-abu, tekstur klastik
dengan butiran berukuran 0,05–15,5 mm, terdiri dari lithic, kuarsa, feldspar dan
mineral opak, bentuk menyudut tanggung, butiran tertanam dalam matriks gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Lithic (50%), abu-abu, kecoklatan, didominasi oleh pecahan batuan
piroklastik (pumice) dengan ukuran butir 0,3-15,5 mm, bentuk menyudut
tanggung.
95
Kwarsa (1%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, berukuran
0,06–0,1mm, pemadaman bergelombang.
Feldspar (2%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk menyudut
tanggung, berupa ortoklas.
Min opak (2%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–
0,15mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam
sayatan.
Gelas (45%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang
menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung.
Penamaan petrografis : Lithic tuff (Klasifikasi Williams, 1982)
96
Nomor Foto : 9 Nama Megaskopis : Andesit
No. Sampel : PLP 29 Daerah : G.Biang
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol silang nikol sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Batuan beku intermediet vulkanik; warna abu abu; indeks warna 20%;
kristalinitas:hipokristalin ; granularitas:fanerikhalus-afanetik ; bentuk
kristal:subhedral-anhedral; ukuran kristal:0.5-3 mm; relasi:Inequigranular vitroverik
yang disusun oleh:
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (60%); warna:coklat; relief:sedang; bentuk kristal:subhedral;
indeks bias:Nmin<Nkb, menunjukkan kembaran Albit, pada fenokris
97
berukuran 2 mm, dengan An 55 jenis Labradorit, dan pada mikrolit berukuran
0.5 mm dengan An 28 jenis Oligoklas, hadir merata dalam sayatan.
Piroxen (20%); berwarna biru; relief:rendah; menunjukkan adanya belahan 2
arah; bentuk cristal:subhedral; hadir setempat dalam sayatan.
Massa gelas (20%), yang hadar merata dalam sayatan.
Penamaan petrografi : Andesit piroksen.
98
Nomor Foto : 10 Nama Megaskopis : Batuan alterasi
No. Sampel : PLP 48 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS :
Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral
tersusun oleh kuarsa (veint let), serisit, dan mineral bijih. Nampak fe oksida mengisi
rekahan.
KOMPOSISI MINERAL:
Silika (Kuarsa) (75%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah,
pemadaman bergelombang, berukuran 0,05–0,3mm, hadir mengisi fracture
Serisit (20%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai
ubahan dari mineral plagioklas dan K-feldspar.
99
Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,02 –
0,1mm. dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite, tersebar
mengisi urat dan.
Jenis Alterasi : Filik
100
Nomor Foto : 11 Nama Megaskopis : Batuan alterasi
No. Sampel : PLP 49 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral
tersusun oleh kuarsa, serisit, dan mineral bijih.
KOMPOSISI MINERAL:
Silika (Kuarsa) (75%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah,
pemadaman bergelombang, berukuran 0,05–0,3mm, hadir mengisi fracture
Serisit (20%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai
ubahan dari mineral plagioklas dan K-feldspar.
Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,02 –
0,1mm. dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite, tersebar
mengisi urat.
Jenis Alterasi : Filik
101
Nomor Foto : 12 Nama Megaskopis : Batuan alterasi
No. Sampel : PLP 51 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS :
Sayatan batuan teralterasi, warna abu-abu kecoklatan-kehijauan, komposisi mineral
tersusun oleh kuarsa, serisit, klorit dan mineral bijih.
KOMPOSISI MINERAL:
Silika (Kuarsa) (70%), tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah,
pemadaman bergelombang, berukuran 0,05–0,3mm, hadir mengisi rekahan
(vein).
Klorit (20%), hijau - hijau kekuningan, belahan parallel/satu arah, fibrous,
ukuran butir 0,05-0,1 mm.
102
Serisit (5%), tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan
dari mineral plagioklas dan K-feldspar.
Mineral bijih (5%), hitam, relief sangat tinggi, isotrop, berukuran 0,02 –
0,1mm. dari pengamatan megaskopis berupa mineral sulfide pyrite.
Jenis Alterasi : Propilitik
103
Nomor Foto : 13 Nama Megaskopis : Batuan alterasi
No. Sampel : PLP 52 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik (teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur
porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen,
min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari
mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (50%) warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-
Albit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedral-
anhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (45%) berukuran 0,05-
0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan.
104
Piroksen (15%) hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-0,3 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augit) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi mineral klorit. Hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,05-
0,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen.
Gelas (10%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap,
dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut..
Penamaan petrografi : Andesit piroksen(klasifikasi Williams, 1982)
Mineral sekunder yang hadir:
Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran
butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen
Jenis alterasi : Propilitik
105
Nomor Foto : 14 Nama Megaskopis : Batuan Alterasi
No. Sampel : PLP 53 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik (teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur
porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen,
min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari
mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas. Nampak adanya urat klorit
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (50%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-
Albit sebagai fenokris (25%) berukuran 0,3-0,5 mm, bentuk subhedral-
anhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,05-
0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan.
106
Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-0,3 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi mineral klorit. Hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,05-
0,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen.
Gelas (10%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap,
dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut.
Penamaan petrografi : Andesit piroksen (klasifikasi Williams, 1982)
Mineral sekunder yang hadir:
Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran
butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen,
sebagian hadir mengisi urat
Serisit (5%) tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan
dari mineral plagioklas.
Jenis alterasi : Propilitik
107
Nomor Foto : 15 Nama Megaskopis : Batuan Alterasi
No. Sampel : PLP 54 Daerah : S.Mataluntun
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol Silang Nikol Sejajar
0 0,5 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik(teralterasi), warna abu-abu kehijauan, tekstur
porfiritik (fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen,
min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari
mineral plagioklas, piroksen, mineral opak dan gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (45%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-
Albit sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedral-
anhedral, An 42 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,05-
0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan.
108
Piroksen (15%), hijau muda, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augit) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi mineral klorit, hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,05-
0,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen.
Gelas (15%) tidak bewarna, pengamatan dengan nikol silang bewarna gelap,
dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut..
Penamaan petrografi : Piroksen andesit (klasifikasi Williams, 1982)
Mineral sekunder yang hadir:
Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran
butir 0,05-0,1 mm. hadir sebagai mineral ubahan dari mineral piroksen
Serisit (5%) tidak berwarna, belahan satu arah, bf kuat, hadir sebagai ubahan
dari mineral plagioklas.
Jenis alterasi : Propilitik
109
Nomor Foto : 16 Nama Megaskopis : Andesit
No. Sampel : Lp 64 Daerah : S.Andulan
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol silang Nikol sejajar
0 0,5mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik, warna abu-abu kehijauan-kecoklatan, tekstur trachite
bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari plagioklas, hornblende,
mineral opak dan gelas. Nampak lubang-lubang amigdaloidal terisi oleh mineral
sekunder kalsit dan kuarsa.
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (60%), putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbad-Albit,
sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedral-anhedral,
An 43 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%) berukuran 0,05-0,1mm,
An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan. Nampak pada masa
dasar memperlihatkan penjajaran mineral plagioklas.
110
Piroksen (15%), hijau muda pucat, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi chlorit. Hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran butir 0,05-0,1mm.
Gelas (20%) tidak bewarna, pengamatan dengan cross nikol berwarna gelap,
dengan Keping gips bewarna ungu muda berkabut. Sebagian besar telah
mengalami ubahan menjadi lempung.
Penamaan Petrografis : Andesit (klasifikasi Williams, 1982)
111
Nomor Foto : 17 Nama Megaskopis : Batugamping
No. Sampel : Lp 71 Daerah : anak S.Andulan
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol silang Nikol sejajar
0 0,5mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan tipis batugamping klastik, berwarna abu-abu kecoklatan - krem, klastik,
grain supported, dengan sedikit detritus mineral opak, berukuran 0,1–1,2mm.
KOMPONEN PENYUSUN:
Fosil (74%), tidak berwarna (sudah terekristalisasi) – kecoklatan, relief
sedang, bentuk sebagian pecah (skeletal), berukuran 0,5–1,2 mm, bias
rangkap ekstrim, berupa foram plankton dan bentos, foram besar serta
pecahan ganggang/koral, hadir merata dalam sayatan.
Mineral opak (1%) hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,1-0,1mm, bentuk
membulat-membulat tanggung.
112
Mikrit (15%), tidak berwarna, relief bervariasi, berukuran kurang dari
0,02mm, warna interferensi sangat tinggi – ekstrim, hadir merata dalam
sayatan.
Sparit (10%), tidak berwarna, relief sedang, berukuran 0,1–0,3mm, bias
rangkap ekstrim, hadir merata dalam sayatan.
Kehadiran fosil foram: Diccocylina sp, Lepidocylina sp.
Penamaan Petrografis :
Packstone (Klasifikasi Dunham, 1962)
Biomicrite (Klasifikasi R.L. Folk, 1962)
Fosilliferous Limestone (Klasifikasi Gilbert, 1954)
113
Nomor Foto : 18 Nama Megaskopis : Andesit
No. Sampel : PLP 89 Daerah : S.Makawa
Posisi nikol : Nikol Silang dan Sejajar Perbesaran : 30 kali
Nikol silang Nikol sejajar
0 0,5mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan beku volkanik, warna abu-abu kehijauan-kecoklatan, tekstur
porfiritik(fenokris tertanam dalam oleh masa dasar fine grain plagioklas, piroksen,
min opak dan gelas), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari
mineral plagioklas, hornblende, mineral opak dan gelas.
KOMPOSISI MINERAL:
Plagioklas (60%), putih-abu-abu, indek bias n>nkb, relief sedang, kembaran
kalsbad-Albit, sebagai fenokris (20%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk
subhedral-anhedral, An 43 (jenis andesin), sebagai massa dasar (40%)
berukuran 0,05-0,1mm, An42 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan.
114
Piroksen (20%), hijau muda pucat, abu-abu pucat, relief sedang, pleokroisme
lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3 mm. Hadir
sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah mengalami
ubahan menjadi chlorit. Hadir merata dalam batuan.
Mineral opak (5%) hitam, isotrop relief tinggi, ukuran butir 0,05-0,1mm.
Gelas (15%) tidak bewarna, pengamatan dengan cross nikol bewarna gelap,
dengan keping gips bewarna ungu muda berkabut. Sebagian besar telah
mengalami ubahan menjadi lempung.
Penamaan petrografis: Andesit (klasifikasi Williams, 1982)
Mineral sekunder yang hadir:
Klorit (15%) hijau-hijau kekuningan, belahan parallel / satu arah, ukuran
butir 0,05-0,1 mm. Hadir sebagai mineral ubahan dari mineral hornblende
Silika (quartz)(5%) tidak berwarna-kuning jerami orde I, relief rendah,
pemadaman bergelombang, berukuran <0,05 mm(kriptokristalin) - 0,25mm,
hadir mengisi lubang amigdoloidal.
115
ANALISIS STEREONET SESAR MAKAWA
116
ANALISIS STEREONET SESAR MATALUNTUN
117
No.contoh batuan : PLP 71 Formasi : Toraja
Lokasi : Anak Sungai Andulan Umur : Eosen Awal - Tengah (Tab)
Batuan : Batugamping
Awal Tengah Awal Tengah Awal Akhir
1 2 3 4 5 1 2 3
Discocylina Sp.
Lepidocylina Sp.
Foraminifera Besar Ta Th
U M U R
EOSEN OLIGOSEN MIOSEN
Plio
sen
Van Der Vlerk & Umbgrove (1927)
Tb Tc TdTe Tf
Tg
Plisto
sen
Akhir Tengah
LABORATORIUM MIKROPALEONTOLOGI
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI, FAKULTAS TEKNOLOGI MINERALUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
ALISIS PALEONTOLOGI
118
PETA LINTASAN SEMI DETAIL
119
PE
TA
LO
KA
SI
PE
NG
AM
AT
AN
120
PE
TA
GE
OM
OR
FO
LO
GI
121
PE
TA
GE
OL
OG
I
122
PETA ALTERASI