geologi regional pulau jawa
TRANSCRIPT
GEOLOGI REGIONAL PULAU JAWA
I. Fisiografi Regional
Fisiografi Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Setiap bagian terdiri dari zona-zona berdasarkan bentukan yang dominan pada
masing-masing daerah.
I.1 Jawa Timur
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi
(Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:Zona Pegunungan
Selatan Bagian Timur, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang,
Dataran Aluvial Jawa Utara, dan Gunung Api Kuarter (Gambar 1).
1. Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur
Zona Pegunungan Selatan Bagian Timur merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang
terdiri dari endapan silisiklastik, volkaniklastik, batuan karbonat dan volkanik dengan
kemiringan lapisan yang seragam ke arah selatan (Smyth dkk., 2005). Zona Pegunungan
Selatan Jawa Bagian Timur memanjang sepanjang pantai selatan Jawa Timur dan Wonosari
dekat Yogyakarta sampai ujung paling timur Pulau Jawa. Daerah ini pada umumnya
mempunyai topografi yang dibentuk oleh batugamping dan volkanik, serta sering dijumpai
gejala karst.
2. Zona Solo
Zona Solo dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu:
Subzona Blitar pada bagian selatan. Subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit,
berhubungan dengan Pegunungan Selatan di bagian selatan dan ditutupi oleh endapan
aluvial.
Subzona Solo Bagian Tengah. Subzona ini dibentuk oleh deretan gunungapi Kuarter
dan dataran antar gunung api. Gunung api tersebut adalah Gunung Lawu, Gunung
Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger dan Gunung Ijen di ujung timur Pulau
Jawa. Sedangkan dataran-dataran antar gunungapinya adalah Dataran Madiun, Dataran
Ponorogo, dan Dataran Kediri. Dataran antar gunungapi ini pada umumnya dibentuk
oleh endapan lahar.
Subzona Ngawi pada bagian utara. Subzona ini merupakan depresi yang berbatasan
dengan Subzona Solo di bagian selatan dan Pegunungan Kendeng di bagian utara.
Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh endapan aluvial dan endapan gunung api.
3. Zona Kendeng
Zona Kendeng merupakan antiklinorium yang memanjang mulai dari Semarang yang
kemudian menyempit ke arah timur sampai ujung Jawa Timur di bagian utara. Smyth dkk.
(2005) menyatakan bahwa Zona Kendeng merupakan jalur anjakan berarah barat-timur. Zona
ini pada umumnya dibentuk oleh endapan volkanik, batupasir, batulempung, dan napal.
4. Zona Randublatung
Zona Randublatung merupakan sinklinorium yang memanjang mulai dari Semarang di
sebelah barat sampai Wonokromo di sebelah timur. Zona ini berbatasan dengan Zona
Kendeng di bagian selatan dan Zona Rembang di bagian utara.
5. Zona Rembang
Zona Rembang merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-timur, mulai
dari sebelah timur Semarang sampai Pulau Madura dan Kangean. Lebar rata-rata zona ini
adalah 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala tektonik Tersier akhir
(Pringgoprawiro, 1983). Zona ini terdiri dari sikuen Eosen-Pliosen berupa sedimen klastik
laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian
Rembang) yang dibatasi oleh sesar mayor berarah ENE-WSW (Smyth dkk., 2005).
6. Dataran Aluvial Jawa Utara
Dataran Aluvial Jawa Utara menempati dua bagian, yaitu bagian barat dan bagian timur. Di
bagian barat mulai dari Semarang ke timur sampai ke Laut Jawa dan berbatasan dengan Zona
Rembang di bagian timur. Di bagian timur mulai dari Surabaya ke arah barat laut, di sebelah
barat berbatasan dengan Zona Randublatung, di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan
Zona Rembang.
7. Gunung Api Kuarter
Gunung Api Kuarter menempati bagian tengah di sepanjang Zona Solo. Gunungapi yang
tidak menempati Zona Solo adalah Gunung Muria. Smyth dkk. (2005) menamakan zona ini
sebagai Busur Volkanik Kenozoikum Akhir yang aktif sejak Miosen Akhir.
Gambar 1. Peta Fisiografi Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
I.3 Jawa Tengah
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi enam zona fisiografi, yaitu: Dataran
Aluvial Utara Jawa, Gunungapi Kwarter, Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng,
Depresi Jawa Tengah, Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar
2).
Dataran Aluvial Utara Jawa mempunyai lebar maksimum 40 km ke arah selatan. Semakin ke
arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km. Gunungapi Kwarter di Jawa Tengah antara
lain G. Slamet, G. Dieng, G. Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan
G. Muria.
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini tertutupi oleh produk
gunungapi kwarter dari G. Slamet. Di bagian tengah ditutupi oleh produk volkanik kwarter G.
Rogojembangan, G. Ungaran dan G. Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona
Bogor dengan batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang,
persis di sebelah barat G. Slamet. Sedangkan ke Arah timur membentuk Zona Kendeng.
Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan. Sebagian merupakan
dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi pantai ini cukup kontras dengan pantai
selatan Jawa Barat dan Jawa Timur yang relatif lebih terjal. Pegunungan Serayu Selatan
terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan.
Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk
morfologi pantai yang terjal. Namun, di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa
Tengah.
Daerah penelitian berada di bagian barat Zona Serayu Utara. Menurut Van Bemmelen (1949),
daerah ini (Bumiayu dan sekitarnya) merupakan batas Zona Bogor di Jawa Barat dan Zona
Serayu Utara di Jawa Tengah. Ke arah utara, daerah ini berbatasan dengan Dataran Aluvial
Utara Jawa. Di bagian selatan dibatasi oleh Depresi Jawa Tengah. Sedangkan di bagian timur
daerah ini terdapat G. Slamet. Daerah ini terdiri dari perbukitan terjal bergelombang, bukit-
bukit terisolir, perbukitan rendah bergelombang dan dataran. Perbukitan tersebut umumnya
memanjang ke arah baratlaut–tenggara.
I.3 Jawa Barat
Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di
bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung dan Zona
Pegunungan Selatan Jawa Barat (Gambar 2.1). Martodjojo (1984) memberikan penamaan
Blok Jakarta-Cirebon untuk Zona Dataran Pantai Jakarta sedangkan Zona Bogor dan
Zona Bandung disebut Blok Bogor karena keduanya menurut sejarah geologi tidak
dapat dipisahkan. Cekungan Bogor berupa graben dengan daerah depresi tidak menerus
sepanjang sumbu tengah Jawa, dan barisan punggungan di bagian utara yang
menghubungkan cekungan dengan paparan Sunda (Gambar 3).
1. Zona Dataran Pantai Jakarta
Zona Dataran Pantai Jakarta umumnya memiliki morfologi yang datar, pada umumnya
ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar endapan gunung api muda. Zona
Bandung dicirikan oleh beberapa tinggian yang terdiri dari endapan sedimen tua yang
menyembul diantara endapan volkanik. Sebagai contoh adalah Gn. Tampomas di
Sumedang, Gn. Walat di Sukabumi dan Rajamandala di daerah Padalarang. Menurut
van Bemmelen (1949), Zona Bandung merupakan puncak geantiklin Jawa Barat
berumur Plistosen yang kemudian runtuh setelah mengalami pengangkatan. Zona
pegunungan selatan dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946) op cit Darman, H.,
& Sidi, H., (2000), dimana ia membaginya menjadi 19 morfologi dan menekankan
pentingnya dua generasi morfologi yaitu morfologi Pra-Miosen Akhir, dan morfologi
Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidakselarasan.
2. Zona Bogor
Zona Bogor, dimana lokasi penelitian berada, umumnya memiliki morfologi berbukit-bukit,
memanjang dengan arah barat-timur dari kota Bogor. Pada daerah sebelah timur
Purwakarta, perbukitan ini membelok keselatan, membentuk perlengkungan disekitar
Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Dapat
diperkirakan bahwa antiklinorium ini berhubungan dengan barisan anjakan-lipatan dari
sistem Sesar Naik Baribis. Sedangkan pada beberapa daerah, intrusi telah membentuk
relief yang lebih terjal.
Gambar 3. Peta Fisiografi Jawa Barat (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
II. Stratigrafi Regional
Zona ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang endapannya terdiri dari batuan-
batuan siliklastik, volkaniklastik, volkanik dan karbonat dengan kedudukan umum
perlapisannya miring ke selatan. Zona Pegunungan Selatan dialasi secara tidak selaras oleh
batuandasar berumur Kapur seperti yang tersingkap di daerah Karangsambung dan Bayat. Di
Karangsambung singkapannya terdiri dari himpunan batuan komplek akresi yang dikenal
sebagai Komplek Melange Luk Ulo yang terdiri dari blok-blok filit, sekis biru, eklogit,
ultramafik, ofiolit, basalt, kalsilutit dan rijang tertanam dalam matrik serpih tergerus (Asikin,
1974). Di daerah Bayat, singkapan batuandasar terdiri dari filit, sekis, dan marmer (Sumarso
dan Ismoyowati, 1975).
Gambar 4. Rangkuman stratigrafi regional Jawa bagian timur dari peneliti terdahulu (kiri),
modifikasi dari Smyth dkk., 2005 (kanan) ( Carolus, 2002).
Batuan sedimen tertua yang diendapkan di atas ketidak-selarasan menyudut terdiri dari
konglomerat berfragmen batuan dasar dan batupasir seperti yang terdapat dalam Formasi
Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah. Di atas
konglomerat dan batupasir kuarsa terdapat endapan bersekuen transgresif yang terdiri dari
batubara, batupasir dan batulanau. Pada Formasi Nanggulan, batupasir pada bagian atas
mengandung material volkanik dan sisipan batulempung tufaan (Smyth dkk., 2005).
Kehadiran lapisan batugamping numulit menandai dimulainya pengendapan di lingkungan
lautan. Di lingkungan pengendapan yang lebih dalam di daerah Karangsambung, secara
tidakselaras di atas batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, diendapkan satuan olistostrom
Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan. Kandungan material volkanik Zona
Pegunungan Selatan ini ke arah bagian atas meningkat sedangkan proporsi material batuan
dasar makin berkurang. Ketebalan endapan bagian bawah zona ini diperkirakan mencapai
1000 m dengan singkapan terbatas dijumpai di bagian barat, yakni di Karangsambung
(diwakili oleh Formasi Karangsambung), Nanggulan (Formasi Nanggulan), dan Bayat
(Formasi Wungkal-Gamping). Sekuen batuan bagian bawah ini oleh Smyth dkk. (2005)
disebut sebagai Synthem One Zona Pegunungan Selatan. Synthem adalah satuan
kronostratigrafi suatu satuan batuan sedimen yang dibatasi oleh ketidakselarasan dan
menunjukkan suatu siklus sedimentasi yang dipengaruhi oleh perubahan muka air laut relatif
atau tektonik. Batas atas sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan ini di daerah
Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan Intra-Oligosen sementara di daerah
Karangsambung pengendapan berlangsung menerus (Asikin dkk., 1992).
Di atas bidang ketidakselarasan diendapkan suatu seri endapan yang terutama terdiri dari
endapan volkaniklastik dari Formasi Kaligesing di Kulonprogo (Pringgoprawiro dan Riyanto,
1986); Kebobutak di Bayat ( Surono dkk., 1992), dan Formasi Besole (Sartono, 1964) dan
Formasi Mandalika (Samodra dkk., 1992) di Pacitan, berumur Oligo-Miosen dan meliputi
seluruh daerah Zona Pegunungan Selatan. Sekuen endapan volkaniklastik ini, yang oleh
Smyth dkk. (2005) disebut sebagai Synthem Two Zona Pegunungan Selatan, merekam
perkembangan dan berakhirnya Busur Volkanik Oligo-Miosen Pegunungan Selatan. Aktifitas
volkaniknya meliputi daerah yang luas, explosif dan diperkirakan berjenis Plinian-type
(Smyth dkk., 2005). Komposisi endapannya berkisar mulai dari andesitik sampai rhyolitik
dan litologinya terdiri dari abu volkanik yang tebal, tuf, breksi batuapung, breksi andesitik,
kubah lava dan aliran lava dengan ketebalan berkisar mulai dari 250 m sampai lebih dari
2000 m. Akhir atau batas atas dari sekuen volkaniklastik ini ditandai oleh peristiwa volkanik
yang singkat yang kemungkinan besar berupa suatu erupsi super (Erupsi Semilir) yang
menghasilkan Formasi Semilir (Smyth dkk., 2005).
Setelah periode ketika volkanisme Oligo-Miosen jauh berkurang aktifitasnya, bahkan mati,
kemudian tererosi dan materialnya diendapkan kembali sebagai sekuen endapan berikutnya.
Disamping itu sekuen endapan berikutnya juga dicirikan oleh perkembangan paparan
karbonat yang luas seperti yang dijumpai di daerah Wonosari (Formasi Wonosari) dan
Pacitan (Formasi Punung dan Formasi Campurdarat). Endapannya mencapai ketebalan
sekitar 500 m dan terumbu berkembang pada daerah-daerah tinggian yang dibatasi sesar atau
di daerah-daerah bekas gunungapi. Di bagian puncaknya terdapat lapisan-lapisan debu
volkanik mengandung zircon yang berdasarkan penanggalan U-Pb SHRIMP menunjukkan
umur antara 10 dan 12 jtl (Smyth dkk., 2005). Umur ini diperkirakan berkaitan dengan
munculnya kembali aktivitas volkanik pada Miosen Akhir, di posisi dimana Busur Sunda
masa kini berada.
III. Tektonik Regional
Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa tidak terlepas dari teori tektonik
lempeng. Kepulauan Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu
Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak relatif kearah
baratlaut, dan Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak kearah utara (Hamilton, 1979).
Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua elemen struktur, yaitu Geosinklin
Jawa Utara dan Geantiklin Jawa Selatan. Kedua elemen tersebut memanjang berarah barat-
timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara.
Berdasarkan fisiotektoniknya, Cekungan Jawa Timur Utara dapat dibagi menjadi tiga jalur.
Ketiga jalur tersebut adalah Jalur Kendeng, Jalur Randublatung, dan Jalur Rembang.
Jalur Kendeng dikenal sebagai Antiklinorium Kendeng. Jalur ini terisi oleh endapan
Tersier yang terlipat kuat dan disertai sesar-sesar naik dengan kemiringan ke selatan.
Panjang zona ini adalah 250 km, sedangkan lebar maksimumnya adalah 40 km
(Pringgoprawiro, 1983).
Jalur Randublatung merupakan suatu depresi tektonik dan topografi. Jalur ini sebagian
ditempati oleh Lembah Bengawan Solo. Pringgoprawiro (1983) berpendapat bahwa
zona ini merupakan suatu depresi yang terbentuk pada kala Pleistosen dan ditempati
oleh sedimen klastik halus dari Formasi Lidah yang berumur Kuarter serta kadang-
kadang ditemukan napal dari Formasi Mundu. Vischer (1952 dalam Pringgoprawiro,
1983) menamakan zona ini sebagai Blok Lembah Solo.
Jalur Rembang terdiri dari Antiklinorium Rembang dan Antiklinorium Cepu yang
memanjang dengan arah barat-timur. Batas Zona Rembang dengan Zona
Randublatung kurang jelas dan tidak teratur kecuali di timur yang dibatasi oleh
patahan Kujung dan depresi Kening-Blora (Pringgoprawiro, 1983).
Struktur-struktur tersebut di atas diakibatkan oleh pengangkatan yang terjadi pada kala Intra
Miosen dan pada kala Plio-Pleistosen (van Bemmelen, 1949).
Pulunggono dan Martodjojo (1994) menyatakan bahwa pola struktur dominan yang
berkembang di Pulau Jawa adalah (Gambar 5):
Pola Meratus, berarah timurlaut-baratdaya (NE-SW) terbentuk pada 80 sampai 53 juta
tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal).Pola ini ditunjukkan oleh Tinggian
Karimunjawa di kawasan Laut Jawa yang diperkirakan menerus ke arah baratdaya ke
daerah antara Luk Ulo (Jawa Tengah) sampai Sesar Cimandiri (Jawa Barat).
Pola Sunda, berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu
(Eosen Awal-Oligosen Awal). Pola kelurusan struktur ini adalah yang paling dominan
di daerah Jawa Barat. Pola Sunda ini merupakan sesar-sesar yang dalam dan menerus
sampai Sumatra. Pola ini merupakan pola yang berumur lebih muda sehingga
keberadaannya mengaktifkan kembali Pola Meratus.
Pola Jawa, berarah timur-barat (E-W) terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu sampai
sekarang (Oligosen Akhir-Resen).Pola ini adalah pola termuda yang mengaktifkan
kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya.
Secara regional, pola struktur yang berkembang di daerah penelitian adalahPola Meratus dan
Pola Jawa (Gambar 2.3)yang terlihat dari kelurusan yang relatif berarah timur laut-barat daya
dan berarah barat-timur. Hal ini juga didukung oleh penelitian Sribudiyani dkk. (2003).
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sribudiyani dkk. (2003), pola struktur
permukaan yang berkembang pada daerah penelitian adalah pola struktur yang mempunyai
kelurusan berarah timur laut-barat daya dan barat-timur (Gambar 6).
Gambar 5. Pola struktur Pulau Jawa (Pulunggono & Martodjojo, 1994).
Gambar 6. Pola struktur Pulau Jawa (Sribudiyani dkk., 2003).
GEOLOGI DAERAH BAYAT
II.1 Struktur Daerah Bayat
Struktur regional di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin,
sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Subzona
Baturagung mulai dari Formasi Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan
Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah
barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari
sebelah utara (200 – 350) ke sebelah selatan (50 – 150). Bahkan pada Subzona Wonosari,
perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai
kemiringan sangat kecil (kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi
Semilir di sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke
arah baratdaya.
Gambar 2. Peta geologi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Surono, 2008)
Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan
miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh
sesar blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan
(updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip)
dari bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan
Hartono, 2001). Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic
fault blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat
berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung
dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan
yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001)
menginterpretasikan tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di
sebelah timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar
(megaslumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah barat K. Opak diduga
dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut-baratdaya dengan blok barat
relatif turun terhadap blok barat. Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G.
Panggung berupa sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G.
Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah tenggara-baratlaut.
Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu pada Formasi Kepek, dengan arah
timurlaut-baratdaya
II.1 Stratigrafi Daerah Bayat
Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filtit,
sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan malihan hingga saat
ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah
didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen
konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang
menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen),
maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks. Secara tidak selaras
menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit
garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang
mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping
Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn.
Keberadaan forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera planktonik yang sangat jarang
ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga
Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping.
Keduanya, batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku
menengah bertipe dioritik. Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul,
yang terletak di bagiann timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike.
Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas
batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah
batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan.
Penentuan umur pada dike intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991)
menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori
Bemmelen (1949), yang menfsirkan bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan
leher/neck dari gunung api Oligosen.
Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh
pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir oligosen. Proses erosi terse
but telah menurunkan permukaan daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode transgresi
dan menghasilkan pengendapan batu garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah
Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang
tersingkap lenih banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya).
Gambar 7. Stratigrafi Daerah Bayat (dimodifikasi dari Sudarno, 1997; dalam Surono, 2008).
Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal -
Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan Pegunungan Baturagung
di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan
sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaan-
perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah
Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah.
Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti
dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah
lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif
mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut
dari Perbukitan Jiwo.
Keadaan stratigrafi Daerah Bayat, dari tua ke muda yaitu :
1. Batuan Malihan, terdiri dari sekis, filit, batuan vulkanik malih, pualam, sedimen
malihan dan batu sabak.
2. Formasi Wungkal-gamping, berupa batugamping numulites, batupasir, napal pasiran,
dan batulempung.
3. Formasi Kebo, berupa batu pasir vulkanik, tufa, serpih dengan sisipan lava, umur
Oligosen (N2-N3), ketebalan formasi sekitar 800 meter.
4. Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah
(N4), terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih.
5. Formasi Semilir, berupa tufa, lapili, breksi piroklastik, kadang ada sisipan lempung
dan batu pasir vulkanik. Umur N5-N9. Bagian tengah meJ1iari dengan Formasi
Nglanggran.
6. Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, batu pasir vulkanik, lava dan breksi
aliran.
7. Formasi Sambipitu berupa perselingan batupasir gampingan dan serpih gampingan.
8. Formasi Oyo berupa batugamping tufan, tufa, dan napal tufan.
9. Formasi Wonosari terdiri dari Batugamping, napal, batupasir tufan, dan batulanau.
10. Formasi Kepek berupa Perselingan batugamping, napal dan serpih gampingan.