geologii & studi fasies turbidit formasi sambipitu daerah ngalang
TRANSCRIPT
-
1
SKRIPSI
Oleh :
ANINDYO WIDIASWORO
111.060.067
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
YOGYAKARTA
2011
GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU
DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN
GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA
-
2
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral
Oleh :
ANINDYO WIDIASWORO
111.060.067
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASI
YOGYAKARTA
2011
GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU
DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN
GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA
-
3
PENGESAHAN
SKRIPSI
Oleh :
ANINDYO WIDIASWORO
111.060.067
Yogyakarta, 12 September 2011
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA. Dr. Ir. C. Prasetyadi , MSc.
NPY.19540907 19831 1 001 NPY.19581104 1987030 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi
Ir.H. Sugeng Raharjo ,M.T
NPY. 19581208 199203 1 001
GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU
DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN
GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA
-
4
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya, penulis dapat diberikan ketenangan berpikir dan semangat untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu tanpa adanya suatu halangan yang berarti.
Skripsi dengan judul Turbidit Formasi Sambipitu,
Daerah Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten GunungKidul, Propinsi
disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Teknik pada Program
Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional
langkah awal dalam mempelajari dinamika bumi
dan segala potensi yang ada di luar maupun di dalamnya.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari do dan semangat serta motivasi dari
berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Allah SWT, Tuhan semesta alam dengan kuasa-Nya yang sangat besar.
2. Kedua Orang tua tercinta atas tinya.
3. Kakak dan adikku yang banyak membantu dalam pencapaian tujuan ini.
4. Bpk. Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
5. Bpk Prof.Dr. Ir. Sutanto,DEA selaku Dosen Pembimbing I.
6. Bpk. Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc., selaku Dosen Pembimbing II.
7.
terhingga.
8. Keluarga Bpk. Samidjo, ibu Asih dan warga dusun Nglegi, atas bantuan dan keramahan
selama kami menempuh kerja lapangan.
9. Alexandro Johan P.P, partner lapangan terbaik.
10. Tim Pemetaan Ceria ( Albi Daniel Rajagukguk Ngl#1, Pandita Purbacaraka Ngl#2,
Alexandro Johan PP Ngl#4 ) atas kerjasama dan pelajaran hidup yang sangat berarti selama
kegiatan lapangan berlangsung.
11. Keluarga Besar North Hill Pangea, Jogja Enterprise dan Pangea 2006, tetap pantang
menyerah hingga kapanpun.
12. Semua orang yang ada di dekatku, secara tidak langsung kalian telah memotivasi walaupun
hanya kecil, tapi kalian selalu ada dan tetap ada.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu - persatu yang telah membantu penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
-
5
Menyadari tidak adanya manusia yang sempurna di dunia ini, begitu pula dalam
penulisan skripsi ini, apa yang tertulis di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca agar tercapainya kesempurnaan dalam penulisan ilmiah berikutnya.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk
dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya serta dapat
dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, Agustus 2011
Penulis,
ANINDYO WIDIASWORO
-
6
SARI
Daerah telitian secara administratif terletak di daerah Ngalang dan sekitarnya,
Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D. I. Yogyakarta. Secara geografis
berada pada koordinat 452500mE 458100mE dan 9131500mN 9136500mN yang
tercakup dalam lembar Jabung dan Cawas, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D. I.
Yogyakarta, lembar peta nomor 1408-313 dan 1408 - 314 dengan skala 1 : 25.000 dengan
zona UTM 49, dengan luas daerah telitian 5 x 6 km2.
Secara geomorfik, daerah telitian dibagi menjadi dua satuan bentukan asal, yaitu
bentukan asal fluvial subsatuan geomorfik Tubuh Sungai (F1) dan Dataran Limpah Banjir
(F2) dan bentukan asal struktural terdenudasi yang terdiri dari : subsatuan geomorfik
Perbukitan Homoklin (S1), subsatuan geomorfik Lembah Homoklin (F2) dan subsatuan
geomorfik Gawir Sesar (S3). Pola pengaliran yang berkembang pada daerah telitian yaitu
subdendritik sebagai perkembangan dari pola pengaliran dendritik, dengan stadia
geomorfologi yang telah mencapai tahapan dewasa.
Stratigrafi daerah telitian terdiri dari empat satuan batuan, dari tua ke muda adalah
satuan satuan batupasir Kebo-Butak berumur Oligosen Akhir (N1-N3) dengan litologi
Batupasir tuffan dan sisipan lempung, diendapkan pada lingkungan pengendapan laut
mempunyai hubungan yang selaras dengan satuan batupasir vulkanik Semilir yang berumur
Miosen Awal (N4-N6) dengan litologi yang dominan adalah batupasir vulkanik dengan
sisipan lempung dibeberapa tempat,yang diendapkan pada Bathial Atas (Barker, 1960),
selanjutnya diendapkan satuan breksi Nglanggran berumur Miosen Awal (N7) yang
diendapkan pada Bathial Atas. Selanjutnya diendapkan satuan endapan aluvial berumur
Holosen diatas satuan breksi Nglanggran dengan hubungan tidak selaras.
Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian berupa sesar mendatar dan
sesar turun yang berada pada satuan batupasir Semilir.
Satuan batupasir vulkani Semilir mempunyai lingkungan submarine fan yang terletak
pada Upper Fan Chahhel Fill dengan penciri fasies adalah Slump, dan middle fan dengan
pencirinya berupa fasies classical turbidites, massive sandstone, dan pebbles sandstone.
GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU
DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN
GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA PROPINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
-
7
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Halaman Motto & Persembahan
Sari
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Lampiran
BAB 1 PENDAHULUAN
1.5.1.1 Permasalahan Geomorfol
1.6.1.1
1.6.2.1 Tahap Pra-Mapping..
1.6.2.2 Tahap Pemetaan (Mapping
i
iii
v
vi
vii
xii
xix
xix
1
1
2
2
2
2
4
4
4
4
5
5
5
6
6
6
7
8
8
-
8
BAB 2 GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN
2.1.1
2.3.1 Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat ( Batuan
Dasar Pra-
BAB 3 GEOLOGI DAERAH MERTELU
3.1.1 Pembagian
3.1.3 Pola Alira
3.2.1.1 Satuan Batupasir Kebo-
3.2.1.1.2 Penyebaran dan Kete
3.2.1.1.5 Lingkungan Pengenda
8
9
10
10
10
10
11
11
13
14
17
22
22
22
26
29
29
29
30
32
33
33
34
39
40
37
42
42
42
42
-
9
..
.
3.2.2.2 Hubungan Struktur Dengan Mekanisme
Tektonik
43
46
48
48
48
48
48
49
53
55
55
55
55
55
56
59
60
60
61
61
61
61
63
64
64
64
64
65
67
68
68
69
69
-
10
BAB 4 ANALISA LINGKUNGAN PENGENDAPAN SATUAN
BATUPASIR SEMILIR
4.1.1.1.1 Model Kipas Bawah Laut Walker
4.1.1.2.1 Analisa asosiasi litologi dan
4.2. Analisa Lingkungan Pengendapan Satuan
4.2.1 Hasil Anal
BAB 5 POTENSI GEOLOGI
..
BAB 6 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
71
71
72
72
73
73
73
73
74
74
75
75
75
75
78
83
83
83
84
85
87
90
99
99
99
99
101
101
-
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lokasi Daerah Penelitian dan letaknya pada peta Daerah
Gambar 1.2 Alat dan Perlengkapan Tahap
Gambar 1.3 Bagan alir tahapan dan metoda
Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Jawa ( Van Bemmelen,
1949)
Gambar 2.2 Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan
Gambar 2.3. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa
(Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :
A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau
Jawa dimulai pada Kapur Paleosen.
B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa
dimulai pada Eosen Tengah.
C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa
dimulai pada Oligosen Tengah.
Gambar 2.4. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan ( Suyoto, 1994
Gambar 3.1 Kenampakan morfologi daerah penelitian via satellite Google
Earth
Gambar 3.2. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin. Foto diambil oleh
penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat
Gambar 3.3. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin dan dataran
Homoklin. Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan
Gambar 3.4. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin dan dataran
Homoklin. Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah
101
102
102
103
3
9
12
14
15
-
12
Gambar 3.5. Kenampakan morfologi sungai dan daerah limpah banjir. Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.6. Pola Pengaliran daerah penelitian (tanpa
Gambar 3.7. Kenampakan batupasir pada LP 17 di Guyangan Kidul desa
Mertelu dengan koordinat X = 0458004 , Y = 9135575 . Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.8. Kenampakan batupasir pada LP 18 di Guyangan Kidul desa
Mertelu dengan koordinat X = 0458117 , Y = 9135591 . Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.9. Kenampakan batupasir pada LP 20 di Guyangan Kidul desa
Mertelu dengan koordinat X = 0457881, Y = 9135923 . Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.10. Kenampakan batupasir pada LP 100 di Soka desa Mertelu
dengan koordinat X = 0458913, Y = 9135980 . Foto diambil oleh
penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap timur.
Gambar 3.11. Kenampakan batupasir pada LP 19 di Guyangan Kidul desa
Mertelu dengan koordinat X = 0458309 , Y = 9135696 . Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.12. Kenampakan batupasir zeolit dilapangan. Zeolit membuat
batuan pada satuan ini berwarna kehijauan. Foto diambil oleh
Gambar 3.13. Perselingan antara batupasir Zeolit dan batulempung dan
membentuk struktur perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada
Gambar 3.14. Kenampakan batupasir pada LP 12 di desa Mertelu dengan
koordinat X = 0458241 ,Y = 9134982. Foto diambil pada cuaca
Gambar 3.15. Kenampakan batupasir pada LP 22 di desa Mertelu dengan
koordinat X = 0458272, Y = 9134550. Foto diambil pada cuaca
21
26
31
36
36
37
38
39
43
44
-
13
Gambar 3.16. Kenampakan batupasir pada LP 22 di daerah Pringombo
kecamatan Nglipar dengan koordinat X = 0461956 , Y =
9134825. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.17. Kenampakan batupasir pada LP 34 di daerah Ngangkruk
kecamatan Nglipar dengan koordinat X = 0460644 , Y =
9134221. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.18. Kenampakan batupasir pada LP 41 di desa Pilangrejo dengan
koordinat X = 0459416, Y = 9133420. Foto diambil pada cuaca
Gambar 3.19. Kenampakan batupasir pada LP 33 di desa Ngangkruk dengan
koordinat X = 0460678, Y = 9133888. Foto diambil pada cuaca
Gambar 3.20. Kenampakan batupasir pada LP 57 di desa Pringombo dengan
koordinat X = 0461709, Y = 9134654. Foto diambil pada cuaca
Gambar 3.21. Kenampakan batupasir volkanik dilapangan. Membentuk
struktur laminasi.Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah
Gambar 3.22. Struktur Sedimen Slump yang ditemukan pada LP 25.Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.23. Kenampakan breksi monomik pada LP 75 di daerah Danyangan
dengan koordinat X = 0460068 , Y = 9131859. Foto diambil
pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
Gambar 3.24. Kenampakan breksi monomik pada LP 27 di daerah Pilangrejo
dengan koordinat X = 0460591 , Y = 9132216. Foto diambil
pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
Gambar 3.25. Kenampakan breksi monomik pada LP 47 di daerah
Natah Wetan dengan koordinat X = 0462663 , Y =
9132984. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa
menghadap arah barat.
Gambar 3.26. Kenampakan breksi monomik pada LP 30 di desa
44
45
45
47
47
49
50
50
51
-
14
Pilangrejo dengan koordinat X = 0460795 , Y = 9132966.
Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.27. Kenampakan breksi monomik yang kontak dengan
batupasir pada LP 63 di daerah Danyangan desa Pilangrejo
dengan koordinat X = 0459065 , Y = 9131849. Foto
diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
Gambar 3.28. Kontak antara Satuan Batupasir volkanik Semilir (bawah)
dengan Satuan Breksi Nglanggran (atas). Foto diambil oleh
penulis pada cuaca ce
Gambar 3.29. Kenampakan salah satu breksi Nglanggran, didominasi
oleh fragmen andesite. Foto diambil oleh penulis pada
cuaca cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.30. Kenampakan batupasir Sambipitu pada LP 29 di daerah
Wotoalen desa Natah dengan koordinat X = 0460220 , Y =
9131631. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.31. Kenampakan batupasir Sambipitu pada LP 66 di daerah Natah
Kulon desa Natah dengan koordinat X = 0461986 , Y =
9132397. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 3.32. Kenampakan salahsatu batupasir Sambipitu, struktur
sedimen perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada cuaca
cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.33. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 60 di daerah
Blembeman I dengan koordinat X = 0462901 , Y = 9131969.
Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
Gambar 3.34. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 65 di daerah
Blembeman dengan koordinat X = 0461951 , Y = 9131653.
Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
51
52
52
54
54
56
57
57
58
58
-
15
Gambar 3.35. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 50 di daerah Natah
Wetan dengan koordinat X = 0462917 , Y = 9132593. Foto
diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah
Gambar 3.36 Kenampakan singkapan Batugamping Kepek, struktur
sedimen perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada cuaca
cerah dengan lensa menghadap
Gambar 3.37 Kenampakan salahsatu Batugamping Kepek,
memperlihatkan adanya butiran berukuran pasir (arenite).
Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa
menghadap timur.
Gambar 3.38. Kenampakan satuan Pasir Lepas yang terdapat di
pinggiran
Gambar 3.39. Kolom Stratigrafi Daerah Telitian ( Jutika Aditya N.,
2011 )
Gambar 3.40. Kenampakan salahsatu struktur lapisan miring pada LP41
daerah desa Pilangrejo, memperlihatkan adanya kemiringan
lapisan pada suatu singkapan. Foto diambil oleh penulis
pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat. Foto
diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa
Gambar 4.1. Hubungan antara lingkungan pengendapan sedimen dengan
Gambar 4.2. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan Klastik, Christopher G. St.
Gambar 4.3. Rekonstruksi dari Suatu Kipas Bawah Laut ( Walker 1978 )
Gambar 4.4 Hipotesa Sikuen kipas bawah laut yang dapat berkembang
selama proses progradasi kipas bawah laut. C.U adalah sikuen
penebalan dan pengkasaran ke atas, F.U adalah sikuen
penipisan dan penghalusan ke atas. CT adalah fasies classical
turbidite, PS adalah fasies batupasir kerikilan, CGL adalah
59
60
62
62
63
65
66
66
67
68
-
16
fasies konglomerat, DF adalah fasies debris flow dan SL
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.7.
Gambar 4.8. Analisa profil LP 25 yang menunjukkan kenampakkan
lingkungan pengendapan Smooth Portion Of Suprafan
Lobes
Gambar 4.9. Bentang alam lintasan profil LP25 bagian atas
Gambar 4.10. Kenampakan lintasan profil LP25 bagian atas. Disini terlihat
fasies pengendapan classical turbidtes
Gambar 4.11. Analisa profil LP 53 yang menunjukkan kenampakkan
lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion
Of Suprafan
Lobes
.....
Gambar 4.12. Lintasan profil LP 53 yang menunjukkan fasies classical
turbidites
Gambar 4.13. Salah satu lintasan pada profil LP 53 yang menunjukkan
adanya struktur sedimen laminasi dan dibagian
bawahnya terdapat struktur pembebanan (load
cast)
Gambar 4.14. Analisa profil LP 42 yang menunjukkan kenampakkan
lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion Of
Gambar 4.15. Lintasan profil LP 42 yang menunjukkan fasies massive
sandstone
Gambar 4.16. Salah satu kenampakan lapisan pada lintasan profil LP 42
yang memiliki struktur sedimen
Gambar 4.17. Analisa profil LP 31 yang menunjukkan kenampakkan
69
76
77
78
82
85
86
86
88
89
89
92
93
93
-
17
lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion
Of Suprafan
Gambar 4.18. salah satu bagian intasan profil LP31 yang menunjukkan
fasies classical turbidites dibagian bawah dan pebbles
sandstone dibagian
Gambar 4.19. Bentang alam lintasan profil LP31 bagian bawah yang
menunjukkan fasies classical turbidites dibagian bawah
dan massive sandstone dibagian
Gambar 4.20. Bentang alam lintasan profil LP31 bagian atas yang
menunjukkan fasies classical turbidites dibagian bawah
dan massive sandstone dibagian atasnya. Ditengah
keduanya terdapat fasies pebbles
sandstone
Gambar 4.21. Bentang alam lintasan profil LP31 yang menunjukkan
fasies pebbles sandstone dibagian bawah dan massive
sandstone dibagian
Gambar 4.22. Hasil interpretasi lingkungan pengendapan Batupasir Semilir
Gambar 5.1 Area penambangan batupasir tuffan yang akan dimanfaatkan
Gambar 5.2. Gerakan tanah tipe rockfall yang terjadi pada daerah
94
95
95
96
97
97
98
98
100
101
102
-
18
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,
Tabel 4.1 Kedalaman menurut Grimsdale dan Mark Hoven (195
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran dalam teks
1. Analisis Petrografi (AP)
2. Analisis Paleontologi (AF)
3. Tabulasi Data Harian
B. Lampiran dalam kantong
1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan
2. Peta Pola Aliran Sungai
3. Peta Geomorfologi
4. Peta Geologi
5. Profil 1
6. Profil 2
7. Profil 3
8. Profil 4
.
31
83
-
19
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Geologi Pulau Jawa telah banyak dipelajari dan bahkan hampir keseluruhan wilayah
telah dipetakan secara sistematik. Penyelidikan geologi, baik untuk kepentingan eksplorasi
migas, mineral , ataupun untuk kepentingan ilmiah telah banyak dilakukan. Namun demikian,
pemahaman secara menyeluruh tentang geologi Pulau Jawa, baik masalah stratigrafi,
sedimentasi, dan perkembangan cekungan maupun tektonisme dan vulkanisme.
Geologi wilayah Ngalang dipilih sebagai daerah pemetaan geologi karena daerah
telitian merupakan daerah yang secara geologi cukup menarik untuk dilakukan penelitian.
Hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai suatu tatanan geologi yang kompleks baik
secara stratigrafi, struktur geologi, tektonika, maupun morfogenesa serta proses proses
geologi yang sangat menarik untuk dipelajari guna menerapkan ilmu ilmu geologi lapangan
berdasarkan hukum hukum geologi yang telah diperoleh di bangku perkuliahan dan juga
dikarenakan masih kurangnya penelitian yang dilakukan di daerah ini khususnya dari segi
geologinya.
Hal hal tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian pada daerah
Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan judul Geologi dan Studi Fasies Turbidit Formasi Sambipitu Daerah
Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi persyaratan
akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi ( S1 ) Program Studi Teknik
Yogyakarta.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dan perkembangan geologi daerah
telitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi
dalam satu kesatuan ruang dan waktu ( time & space ) geologi. Serta mempelajari
karakteristik fasies pada Formasi Sambipitu yang berguna dalam menyusun urutan waktu
-
20
pengendapan sedimen ( kronostratigrafi ) serta mengetahui perkembangan perubahan
lingkungan pengendapan yang pernah terjadi dari waktu ke waktu.
1.3. Letak dan Luas, Kesampaian Daerah Telitian, dan Waktu Penelitian
1.3.1. Letak dan Luas Daerah Telitian
Daerah pemetaan secara administrasi terletak di Kecamatan Ngalang, Kabupaten
Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah utara daerah telitian dibatasi
oleh Desa Nglampar, sebelah barat dibatasi oleh Desa Sambidemang, sebelah selatan dibatasi
oleh Desa Banyuurip, dan sebelah timur dibatasi oleh Desa Kenteng. Luas daerah telitian
adalah 6 x 5 km. ( Gambar 1.2 ).
1.3.2. Kesampaian Daerah
Daerah telitian dapat dijangkau dengan transportasi darat, yang terletak 50 km ke
arah timur Yogyakarta dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda empat atau roda
dua selama 60 menit dari Kota Yogyakarta, sedangkan untuk untuk lokasi pengamatan
dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda dua kecuali di beberapa tempat yang hanya
dapat dicapai dengan berjalan kaki, ( Gambar 1.1 ).
Gambar 1.1. Lokasi Daerah Penelitian
-
21
Gambar 1.2. Peta rupa bumi daerah penelitian lembar peta Wonosari-Jabung
(tanpa skala).
1.3.3. Waktu Penelitian
Waktu penelitian berlangsung selama dua bulan di lapangan terhitung dari
pertengahan akhir Januari 2011 hingga akhir Maret 2011 yang bersifat mandiri kemudian
dilanjutkan dengan kegiatan pengolahan data serta analisis data dan pembuatan laporan
penelitian sebagai sistematika selama kegiatan penelitian berlangsung, kegiatan tahap lanjut
ini memakan waktu 3 hingga 4 bulan.
1.4. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi secara
umum meliputi geologi regional, stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi, dan sejarah
geologi.
Adapun permasalahan khusus yang diangkat oleh penulis mengenai fasies turbidit
Formasi Sambipitu.
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian,
yaitu :
1.4.1. Permasalahan Geologi
Permasalahan permasalahan geologi yang diuraikan dalam penelitian ini, meliputi :
1.4.1.1. Permasalahan Geomorfologi
Dari interpretasi dan analisa peta topografi serta pengamatan kenampakan morfologi
di lapangan, dijumpai kenampakan pola aliran, bukit, lembah, kelurusan punggungan serta
-
22
pengaruh litologi dan struktur geologi, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai
berikut :
a. Berapa macam satuan geomorfik pada daerah telitian?
b. Faktor apa saja yang mengontrol bentuk dan penyebaran bentang alam daerah telitian?
c. Jenis pola pengaliran yang terbentuk dan apa faktor pengontrolnya?
d. Sejauh mana proses erosi yang telah berlangsung di daerah telitian?
e. Bagaimana perkembangan tahapan geomorfologinya?
1.4.1.2. Permasalahan Stratigrafi
Perbedaan relief dan dimensi bentang alam akan memberikan pengaruh terhadap
geometri suatu batuan sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa :
a. Apa saja jenis litologi yang ada pada daerah telitian dan bagaimana variasinya?
b. Bagaimana penyebaran dan ketebalan batuan?
c. Bagaimana kandungan fosil dan umurnya?
d. Bagaimana urutan satuan batuan dari tua ke muda?
e. Bagaimana hubungan antar satuan batuan?
f. Bagaimana mekanisme dan lingkungan pengendapannya?
g. Apa nama formasi batuannya?
1.4.1.3. Permasalahan Struktur Geologi
Deformasi pada batuan akibat proses tektonik yang bekerja akan menghasilkan
struktur geologi yang terkait oleh beberapa hal, yaitu :
a. Jenis struktur apa saja yang berkembang di daerah telitian?
b. Bagaimana pola dan kedudukan struktur tersebut?
c. Berapa dimensi atau ukuran dan arah struktur tersebut?
d. Bagaimana mekanisme, pola dan arah gaya yang membentuknya?
e. Kapan unsur unsur struktur tersebut terbentuk? dan Bagaimana hubungannya dengan
sejarah tektonik yang bekerja pada daerah telitian?
1.4.1.4.Permasalahan Sejarah Geologi
Dari seluruh kajian data geologi yang dilakukan dari pengamatan data lapangan,
pengumpulan data hingga tahap analisis, akan menimbulkan permasalahan mengenai
perkembangan geologi dari waktu ke waktu yang meliputi :
a. Bagaimana mekanisme dan perkembangan proses pengendapan tiap formasi pada daerah
telitian dalam ruang dan waktu geologi?
-
23
b. Bagaimana perkembangan tahapan tektonik yang terjadi di daerah telitian dalam ruang
dan waktu geologi sehingga membentuk pola struktur seperti sekarang?
1.4.2. Permasalahan Studi
Permasalahan yang akan diuraikan penulis dalam studi khususnya, meliputi :
1.4.2.1 Permasalahan Fasies
Beberapa permasalahan yang terkait dengan studi fasies yang akan diuraikan penulis
dalam penelitian ini, meliputi :
a. Ada berapa jenis fasies batuan pada Formasi Sambipitu?
b. Bagaimana hubungan antara butiran dengan pembentukan litofasies?
c. Bagaimana mekanisme pada saat pembentukan litofasies?
d. Bagaimana hubungan antar fasies pada Formasi Sambipitu?
e. Bagaimana lingkungan pengendapan dari fasies fasies yang ada pada Formasi
Sambipitu?
1.5. Tahapan dan Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada daerah telitian,
penulis melakukan berbagai tahapan dan metoda penelitian dalam pendekatan masalah ( lihat
Gambar 1.2 ), baik secara historis,deskriptif maupun analisis yang meliputi:
1.5.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan meliputi studi pustaka yang dilakukan berdasarkan pada
publikasi dari penelitian-penelitian ahli geologi terdahulu yang dipublikasikan dan terkait
dengan geologi regional daerah penelitian,sedangkan studi literatur dilakukan terhadap hal-
hal yang terkait dengan pemahaman konsep geologi yang mendukung judul penelitian guna
menyelesaikan permasalahan permasalahan yang bersifat mendasar. Studi pustaka dan
literatur ini kemudian dijadikan sebagai bahan acuan bagi penulis dalam pembuatan proposal.
1.5.1.1. Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan studi yang terkait dengan daerah
telitian penulis secara lokal maupun secara regional, meliputi :
-
24
a. Van Bemmelen ( 1949 ), mengelompokkan geologi regional Pulau Jawa berdasarkan
fisiografi menjadi beberapa zona, salah satunya adalah Zona Pegunungan Selatan dimana
daerah penelitian penulis tercakup di dalamnya.
b. Rahardjo ( 1977 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan
selatan secara lengkap meliputi aspek sedimentologi dan paleontologi dengan penekanan
untuk memperoleh kejelasan umur pembentukan dan lingkungan pengendapannya.
c. Martodjojo ( 1984 ), merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari peneliti
sebelumnya dalam penyusunan stratigrafi pegunungan selatan.
d. Surono ( 1992 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan
selatan secara lengkap.
e. Samodra ( 1992 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan
selatan secara lengkap.
f. Surono, B. Toha, I. Sudarno, dan S. Wiryosujono ( 1992 ), Penyusunan Peta Geologi
Lembar Surakarta-Giritontro pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya
Manusia.
g. Gendut Hartono ( 2010 ),Melakukan Penelitian Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan
Produk Batuan Gunung Api Tersier Di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah
sebagai desertasinya untuk memperoleh gelar doktor.
1.5.2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-pemetaan
dan tahap pemetaan (mapping).
1.5.2.1. Tahap Pra-Pemetaan
Tahap pra-pemetaan berupa kegiatan observasi dan survey lapangan guna menentukan
lokasi dan luas daerah penelitian yang sesuai dengan topik judul yang akan diambil penulis,
baik sebagai secara studi umum (geologi) maupun untuk studi khusus (fasies). Setelah lokasi
penelitian didapatkan pada tahap ini juga dilakukan perijinan dan penyiapan peta dasar guna
memperlancar proses pelaksanaan tahapan kerja berikutnya.
1.5.2.2. Tahap Pemetaan ( mapping )
Tahap pemetaan berupa kegiatan pengumpulan data lapangan yaitu dengan
melakukan tahapan kerja berupa : penentuan koordinat serta pengeplotan lokasi pengamatan,
pengamatan dan deskripsi singkapan batuan pada peta topografi ( gambar 1.3 ),
-
25
pembuatan sketsa singkapan batuan, pengukuran kedudukan lapisan batuan, pengambilan
foto singkapan dan sampel batuan, pengamatan geomorfologi dan struktur geologi yang
berkembang pada daerah telitian serta melakukan pengukuran penampang stratigrafi terukur
(profil).
Gambar 1.3. Peta topografi daerah penelitian(tanpa skala).
Dalam menunjang penelitian lapangan diatas beberapa alat dan perlengkapan yang
dipergunakan penulis dalam membantu pengambilan data di lapangan antara lain;
a. Peta dasar, berupa peta topografi dengan skala 1 : 20.000.
b. Palu geologi, berupa palu batuan sedimen.
c. Kompas geologi.
d. Lup dengan perbesaran 20X.
e. GPS (Global Positioning System) sistem penentuan posisi dengan bantuan sinkronisasi
sinyal satelit.
f. Komparator batuan sedimen.
g. Plastik sampel ukuran 2 kg dan larutan HCl 0,1 N.
h. Meteran dengan ukuran 30 m.
i. Buku catatan lapangan.
j. Alat tulis.
1.5.3. Pengolahan Data
-
26
Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi
pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta pengambilan
data lapangan yang didukung oleh analisis laboratorium, yang meliputi : analisa kemiringan
lereng, analisis granulometri, analisis paleontologi, analisis petrografi, analisis struktur
geologi dan analisis kandungan mineral.
Data-data lapangan berupa pengukuran penampang stratigrafi terukur (profil)
dianalisis berdasarkan aspek fasies batuan guna mengetahui lingkungan pengendapan
berdasarkan pendekatan model-model yang telah dibuat oleh beberapa ahli.
1.5.4. Penyusunan Laporan
Tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan disajikan dalam
bentuk laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang diangkat penulis beserta
hasil analisis guna menjawab permasalahan diatas. ( Gambar 1.4 ).
1.5.5. Hasil Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi geologi daerah telitian
beserta fasies dan perkembangan lingkungan pengendapan khususnya pada Formasi
Sambipitu sehingga output dari penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya.
1.5.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut
pandang berupa :
1.5.6.1.Manfaat Keilmuan
Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah :
a. Menambah khazanah pengetahuan mengenai studi geologi dan fasies khususnya pada
Formasi Sambipitu.
b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metode geologi lapangan yang
riil dalam kaitannya dengan kerangka berfikir yang disesuaikan dengan konsep konsep
serta kaidah kaidah geologi yang berlaku.
c. Kemampuan untuk dapat mengintegrasikan antar data geologi, baik yang diperoleh di
lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium.
1.5.6.2.Manfaat Institusi
-
27
Manfaat penelitian yang dilakukan penulis bagi pihak institusi berupa:
a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data data yang belum terlengkapi dari
penelitian terdahulu, khususnya yang terkait dengan daerah penelitian penulis.
b. Memberikan masukan mengenai studi fasies turbidit khususnya pada Formasi Sambipitu.
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan yang terkait
dengan ilmu kebumian, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
bangsa dan negara pada khususnya.
Gambar 1.4. Diagram alir tahapan dan metode penelitian
-
28
BAB 2
GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN
2.1. Fisiografi Pulau Jawa.
Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur secara fisiografi dapat dikelompokkan ke
dalam lima zona (Van Bemmelen, 1949), dari selatan ke utara (Gambar 2.1) :
1. Zona PegununganSelatan
2. Zona Solo
3. Zona Kendeng
4. Zona Randublatung
5. Zona Rembang
Zona fisiografi ini mencerminkan elemen struktur dari hasil penafsiran anomali gaya
berat di bagian utara Jawa Timur (Sutarso dan Suyitno, 1976). Elemen struktur dengan
anomali positif adalah Zona Kendeng dan Zona Rembang, sedangkan elemen struktur
anomali negatif adalah Depresi Semarang-Pati, Depresi Randublatung dan depresi Kening-
Solo. Struktur utama Jawa Tengah-Jawa Timur disamping arah barat timur yang mengikuti
zona tersebut, juga terdapat struktur yang berarah NE-SW memotong disekitar batas Zona
Rembang dan vulkanik Muria.
Gambar 2.1.Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan dari Van Bemmelen,
1949).
-
29
2.1.1 Zona Pegunungan Selatan
Daerah Pegunungan Selatan Jawa secara fisiografi termasuk ke dalam lajur
Pegunungan Selatan Jawa (Van Bemmelen, 1949), sedangkan secara tektonik regional
diperkirakan pada cekungan antar busur sampai busur volkanik. Daerah Pegunungan Selatan
yang membujur mulai dari Yogyakarta ke arah timur, Wonosari, Wonogiri, Pacitan menerus
ke daerah Malang Selatan, terus ke daerah Blambangan. Berdasarkan pada letak yang
berada di zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, bentang alam yang terdiri atas rangkaian
pegunungan yang memanjang relatif barat - timur dan jenis litologi penyusunnya yang
didominasi oleh material material vulkaniklastik, daerah penelitian termasuk dalam zona
Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah, di selatan
Yogyakarta dengan tebal kurang lebih 55 km, hingga Jawa Timur, dengan lebar kurang lebih
25 km, di selatan Blitar. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-
Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan
Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran Sungai Opak, sedangkan di bagian utara
berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur
sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar kurang lebih. 40 km (Bronto
dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu. Subzona Wonosari merupakan
dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di
Daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah
barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah Sungai Oyo yang mengalir ke barat dan
menyatu dengan Sungai Opak sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung
hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karst, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan
ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink
holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah.
Bentang alam karst ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di
-
30
sebelah timur.Zona Pegunungan Selatan pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan
miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar
maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah
selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karst (kapur)
yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2
(Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping
juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit,
andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
2.2 Tatanan Tektonik Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan arah relatif
barat timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo di bagian Jawa
Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara Lempeng
Hindia Australia dengan Lempeng Micro Sunda.
Evolusi Tektonik Pulau Jawa (Prasetyadi ,2007),dijelaskan bahwa Pulau Jawa
merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang
jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik
dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang yaitu :
1. Periode Kapur akhir Paleosen.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF) .
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi ) .
5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir.
1. Periode Kapur Akhir Paleosen
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-
Australia ke arah timur laut menghasilkan subduksi dibawah Lempeng Mikro Sunda
sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase)
selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).
Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra Jawa-
Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di
daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir
Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi
Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia
Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat
-
31
kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang
mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit
pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement
diorit. Docking atau merapatnya fragmen mikro-kontinen pada bagian tepi timur Sundaland
menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan terangkatnya zona
subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus (Gambar 2.2 A).
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)
Antara 54 jtl 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng
ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.
Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya
timurlaut yang berhenti aktifitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl) yang keberadaanya
diindikasikan pertama kali oleh McDonald (1977, dalam Liu dkk.,1983), berhenti atau mati
tidak lama setelah pembentukan anomali 19 atau 45 jtl. Berkurangnya secara mencolok gerak
India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak
pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya
tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang
ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa
Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan
extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah
ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement
mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland
(Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara) (Gambar 2.2 B).
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras
dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung batuan
Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua
menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras. Di daerah Karangsambung Selatan batas
antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan
berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak
selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak
ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan
breksi vulkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah
-
32
Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir, tanda-tanda
ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen
bagian bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di
Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh
deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung.
Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena endapan
Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi
Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua
Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat
lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada
pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke
utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya
kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di
Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya
diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah
Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi
Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di
Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih
berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas vulkanisme yang
kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunung api utama di bagian selatan
Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan
Selatan. Aktifitas vulkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana
pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini (Gambar 2.2 C).
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi )
Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia
berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India
dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman
Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga berkurang secara drastis. Hard collision
India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di
wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift
Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS menjadi zona
Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan vulkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan
mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengen-dapan karbonat besar-
-
33
besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur.
Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inverse, berkembang endapan syn-inversi
formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini, inversi
cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi
pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan
graben) utara-selatan yang telah ada.
5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension
dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami
penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan
berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol
Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian basement berarah Timur Barat
merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari
selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).
Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat
Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan
Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan
sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada
tinggian yang membatasinya.
-
34
Gambar 2.2. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa
(Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :
A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai
pada Kapur Paleosen.
B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai
pada Eosen Tengah.
C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai
pada Oligosen Tengah.
-
35
2.3 Stratigrafi Pegunungan Selatan
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah dikemukakan oleh beberapa
peneliti terdahulu tetapi dalam susunan stratigrafi tiap tiap formasi yang ada pada Daerah
Pegunungan Selatan khususnya pada Daerah Ngalang penulis mengacu pada susunan
Stratigrafi Pegunungan Selatan yang dibuat oleh Surono pada tahun 1992 karena dirasa sesuai
dengan keadaan tiap formasi tersebut pada lokasi penelitian yang digambarkan pada kolom
stratigrafi berikut (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah dan penarikan umur absolut
menurut peneliti terdahulu (Surono, et al. 1992).
Dari kolom stratigrafi diatas (Gambar 2.3) dapat dijelaskan urutan serta hubungan
stratigrafi Pegunungan Selatan adalah sebagai berikut :
-
36
1. Batuan dasar berupa batuan malihan.Basement berupa batuan malihan ini didominasi
oleh hadirnya Kelompok batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat secara umum terdiri
dari filit, sekis dan marmer .Filit merupakan litologi yang dominan dijumpai, baik di
daerah Jiwo Timur dan Jiwo Barat, di lokasi-lokasi Gunung Konang, Gunung Semangu,
Gunung Merak, Gunung Kebo, Gunung Budo, dan Gunung Sari. Sebagian besar
singkapan filit dalam keadaan lapuk; hanya sedikit singkapan filit yang segar Selain filit
batuan metamorf yang merupakan batuan Pra-Tersier lainnya yaitu sekis.Singkapan sekis
dijumpai setempat-setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di bagian barat G.Jokotuo,
G.Konang, G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung Pendul, sedangkan di Jiwo Barat
lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis ini terdapat sebagai fragmen dalam batulempung
Eosen Formasi Wungkal-Gamping. Juga terdapat marmer sebagai kelompok dari batuan
malihan yang singkapannya terdapat di daerah Jokotuo dan lereng utara Gunung Jabalkat.
Terdapat menyisip di dalam filit, singkapan marmer ini memiliki sebaran tidak terlalu
luas dan terpotong oleh sesar seperti yang terdapat di daerah Jokotuo. Umur batuan Pra-
Tersier di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat diinterpretasikan berdasarkan kontak
ketidakselarasan dengan batuan Eosen yang menumpang di atasnya.
2. Formasi Wungkal dan Formasi Gamping. Formasi Wungkal dicirikan oleh kalkarenit
dengan sisipan batupasir dan batulempung, sedangkan Formasi Gamping dicirikan oleh
kalkarenit dan batupasir tufaan. Di Daerah Gamping (sebelah barat Kota Yogyakata,
sebagai tipe lokasi), Formasi Gamping ini dicirikan oleh batugamping yang berasosiasi
dengan gamping terumbu.Beberapa peneliti menafsirkan sebagai ketidakselarasan
(Sumosusastro, 1956 dan Marks, 1957) dan peneliti lainnya menafsirkan hubungan kedua
formasi tersebut selaras (Bothe, 1929, Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Surono et al
(1989) menyebutnya sebagai Formasi GampingWungkal yang merupakan satu formasi
yang tidak terpisahkan. Namun demikian semua para peneliti tersebut sepakat bahwa
kedua formasi tersebut berumur Eosen Tengah-Eosen Atas.Di atas Formasi Wungkal dan
Formasi Gamping ditutupi secara tidakselaras oleh sedimen volkanoklastik yang
dikelompokkan sebagai : Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi
Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
3. Formasi Kebo - Butak, terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan, serpih dan
lanau. Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan intrusi diorit. Ketebalan
-
37
formasi ini sekitar 800 meter dan diendapkan di lingkungan laut, dan pada umumnya
memperlihatkan endapan aliran gravitasi (gravity-flow deposits).
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan
kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya
berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di
bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai
breksi andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil
Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI, Globorotalia kuqleri
BOLLI, Globorotalia siakensis LEROY, Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides
primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil
tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya
adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara
Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras
Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari
formasi ini lebih dari 650 meter. Pada umumnya beberapa peneliti menyebutnya sebagai
Formasi Kebo-Butak yang berumur Oligosen Atas (N1-N3).
4. Formasi Mandalika, lokasi tipe formasi ini terdapat di Desa Mandalika. Formasi ini
memiliki ketebalan antara 80-200 m. Formasi ini tersusun oleh lava andesitik-basaltik,
porfiri, petite, rhyolite dan dasit; dasit, lava andesitik, tuff dasit dengan dioritik dyke; lava
andesitic basaltic trachytik dasitik dan breksia andesitic yang ter-prophyliti-kan; andesite,
dasit, breksia volkanik, gamping kristalin; breksia, lava, tuff, dengan interkalasi dari
batupasir dan batulanau yang memperlihatkan cirri endapan darat. Satuan ini beda fasies
menjari dengan Anggota Tuff dari Formasi Kebo - butak.
5. Formasi Semilir. Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.
Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian
bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,
Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan,
yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di
-
38
bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G.
Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan Ismoyowati
(1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian bawah formasi dan
Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada bagian tengah formasi ditemukan
Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globoquadrina altispira CUSHMAN
dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis LEROY.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen
Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara
setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari dengan Formasi
Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi
Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang
sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan
gunungapi yang sangat besar dan merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan
kaldera letusan (Bronto dan hartono, 2001).
6. Formasi Nglanggran, Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah
selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf
dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang
mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan
sedikit basal, berukuran 2 50 cm. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto (1982,
dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globigerina
praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,
Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan
COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan
Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera
Globorotalia praemenardiii CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii
BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa
Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen
-
39
Tengah bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen
Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga
tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530
meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara
tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya
fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna
merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga
laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka
lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di laut.
7. Formasi Sambipitu. Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar
di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun
menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Formasi ini tersusun oleh
perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan batulanau, yang memperlihatkan ciri
endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai adanya struktur slump skala besar. Satuan
ini selaras di atas Formasi Nglanggran, dan merupakan endapan lingkungan laut.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian
ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau
dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan
karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi
Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki NEWTON
dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina sumatrensis BRADY,
Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina
thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929).
Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur
formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil
bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal
dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan
karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari
kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
-
40
8. Formasi Oyo. Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian
bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh
batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis
tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo.
Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak
selaras di atas Formasi Semilir, Formasi Nglanggran serta menjemari dengan Formasi
Wonosari.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara lain
Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi
PROVALE, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis
RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929).
Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik).
9. Formasi Wonosari. Formasi ini tersingkap baik di Daerah Wonosari dan sekitarnya,
membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu, batugamping bioklastik
berlapis dan napal. Satuan batuan ini merupakan endapan karbonat paparan (carbonate
plateform) pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (N9-N18). Formasi Wonosari ini
mempunyai hubungan selaras di atas Formasi Oyo, akan tetapi di beberapa tempat, bagian
bawah formasi ini saling berhubungan silang jari dengan Formasi Oyo.
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang
terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk
dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di
daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan
topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter.
Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di
bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan
karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan
sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini adalah
Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona
neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
-
41
10. Formasi Kepek. Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh batugamping dan
napal dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi satuan ini nenunjukkan ciri endapan
paparan laut dangkal dan merupakan bagian dari sistem endapan karbonat paparan pada
umur Miosen Akhir (N15-N18). Formasi ini mempunyai hubungan silang jari dengan
satuan batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di atas batuan karbonat tersebut, secara
tidakselaras terdapat satuan batulempung hitam, dengan ketebalan 10 meter. Satuan ini
menunjukkan ciri sebagai endapan danau di Daerah Baturetno pada waktu Plistosen.
Selain itu, Daerah setempat terdapat laterit berwarna merah sampai coklat kemerahan
sebagai endapan terrarosa, yang pada umumnya menempati uvala pada morfologi karst. Di
lokasi lainnya, hubungan antara sedimen volkanoklastik dan sedimen karbonat tersebut
berubah secara berangsur (Surono et al, 1989).
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o dan kaya
akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya Globorotalia
plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotalia
merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina
sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan
kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen.
Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi Wonosari-Punung.
Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam
Bronto dan Hartono, 2001).
-
42
BAB 3
GEOLOGI DAERAH NGALANG
3.1. Geomorfologi
Pengertian geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuk lahan dan proses
yang mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuk
lahan dengan proses dalam tatanan keruangan (Van Zuidam, 1979).
Dalam pembagian satuan geomorfologi daerah telitian penulis mengacu pada
klasifikasi morfologi menurut Van Zuidam, (1983).
3.1.1. Dasar Pembagian Bentuk Lahan
Dalam pembagian bentuk lahan penulis juga memperhatikan faktor - faktor yang
mempengaruhi proses pembentukan bentang alam suatu daerah yang terdiri dari:
a. Morfologi: studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum, meliputi:
- Morfografi adalah susunan dari obyek alami yang ada di permukaan bumi,
bersifat pemerian atau deskriptif suatu bentuk lahan, antara lain lembah, bukit, perbukitan, dataran,
pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas aluvial, plato dan lain-lain.
- Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, antara lain
kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk lembah dan pola
pengaliran. Dalam analisa kelerengan dapat diukur besaran kelerengan dengan rumus sebagai
(klasifikasi kemiringan lereng,lihat tabel 3.1) berikut:
-
43
Tabel 3.1. Pembagian klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam, (1979).
b. Morfogenesa: asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan serta proses-
proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi, litologi penyusun dan proses
dan proses geomorfologi. Morfogenesa meliputi:
- Morfostruktur aktif, berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan dan
pensesaran. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil gaya endogen yang
dinamis termasuk gunung api, tektonik (lipatan dan sesar), misal : gunungapi, pegunungan antiklin
dan gawir sesar.
- Morfostruktur pasif, bentuk lahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe batuan
maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya messa, cuesta, hogback dan
kubah.
- Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,
gerakan masa dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil
kerja gaya eksogen (air, es, angin dan gerakan tanah), misal gumuk pasir, undak sungai, pematang
pantai dan lahan kritis.
Secara garis besar susunan pembuatan peta geomorfologi berdasarkan aspek
geomorfologi yang telah ada dapat dijelaskan dalam bagan alir penentuan satuan geomorfik
berikut ini ( Gambar 3.1) :
-
44
Gambar 3.1. Bagan alir penentuan satuan geomorfik.
3.1.2. Pola Pengaliran Daerah Ngalang.
Pola pengaliran adalah kumpulan jalur-jalur pengaliran hingga bagian terkecilnya
pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak, ditempati oleh sungai secara permanen.
(Arthur Davis Howard, 1966).
Berdasarkan sifat alirannya sungai di daerah telitian termasuk dalam sungai
eksternal, yakni aliran air yang berada dipermukaan yang membentuk sungai maupun danau,
kemudian berdasarkan genesanya pada derah telitian tergolong sebagai sungai dengan aliran
subsekuen, yaitu sungai yang mengalir sepanjang jurus perlapisan batuan dan membentuk
lembah sepanjang daerah lunak, seperti pada Sungai Ngalang, Sungai Oyo.
Berdasarkan klasifikasi Arthur Davis Howard, (1966), maka di daerah
penelitian terdapat dua jenis pola pengaliran, yaitu :
1. Pola pengaliran subdendritik .
3.1.2.1 Pola pengaliran subdendritik .
Pola pengaliran subdendritik (Gambar 3.2) merupakan perkembangan dari pola
dasar dendritik, karena pengaruh dari topografi yang memiliki kemiringan lereng antara
landai hingga miring dan resistensi batuan dan tanah yang relatif seragam, sehingga
dihasilkan bentukan pola pengaliran menyerupai cabang pohon, kemudian faktor pengontrol
berupa struktur juga mempengaruhi, namun tidak dominan.
-
45
Gambar 3.2. Pola pengaliran ubahan subdendritik (A.D. Howard,1966)
Pola pengaliran subdendritik ini mencakup secara keseluruhan (100%) dari pola
pengaliran daerah penelitian.
Gambar 3.3. Peta pola pengaliran daerah telitian dimana SD : Pola Pengaliran
Subdendritik.
3.1.3. Stadia Erosi Daerah Ngalang.
Secara genetik pembentukan stadia erosi dipengaruhi oleh faktor iklim, relief
(kelerengan), sifat resistensi batuan , siklus fluviatil, serta proses denudasional yang
-
46
berlangsung. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan topografi yang akhirnya
membentuk topografi seperti sekarang.Proses pengerosian pada daerah penelitian
diinterpretasikan sedang, dibuktikan dengan masih adanya punggungan dan masih adanya
perbukitan dengan lereng yang curam, kemudian bentuk lembah di daerah penelitian
percabangan sungai
berukuran kecil , selain percabangan sungai kecil ,sungai besar juga terdapat pada daerah
penelitian (Gambar 3.4) seperti pada Sungai Ngalang dengan lebar sungai sekitar 5-7 M.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah
penelitian adalah stadia dewasa (Gambar 3.1).
Gambar 3.4. Gambar udara daerah telitian.
3.1.4. Geomorfologi Daerah Ngalang.
Pada hasil pengamatan daerah telitian dan interpretasi peta lembar Wonosari-Jabung,
daerah telitian merupakan daerah homoklin. Hal ini tercermin dari kedudukan lapisan yang
relatif ke arah selatan (homoklin). Ini mengindikasikan bahwa geomorfologi daerah telitian
dikontrol oleh proses struktur geologi. Hasil dari proses struktur geologi ini adalah adanya
perbukitan, lembah serta dataran homoklin. Proses erosi yang intensif membentuk, bukit dan
U an morfologi yang hampir datar.
Hubungan dengan litologi daerah telitian bahwa daerah yang relatif menonjol atau
curam mempunyai intensitas tingkat resistensi yang lebih kuat daripada daerah yang
-
47
mempunyai tingkatan resistensi batuan yang tidak kuat yang ada di daerah yang lebih landai
dan datar. Melihat dari fakta dan data ada bahwa daerah telitian ini dapat dikategorikan
sebagai stadia geomorfik tingkat dewasa yang dikontrol oleh kemiringan lereng, resistensi
batuan dan struktur geologi yang mempengaruhinya.
Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi tersebut dengan disertai klasifikasi menurut
Van Zuidam, (1983), maka bentuk lahan pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan
menjadi 2 satuan geomorfik (lampiran Peta Geomorfologi) yaitu :
1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural
1.1 Subsatuan Geomorfik Perbukitan Homoklin (S1)
1.2 Subsatuan Geomorfik Dataran Homoklin (S2)
1.3 Subsatuan Geomorfik Lembah Homoklin (S3)
2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial
2.1 Subsatuan Geomorfik Dataran Banjir (F1)
2.2 Subsatuan Geomorfik Dataran Alluvial (F2)
3.1.4.1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural
Bentukan asal struktural pada hal ini merupakan bentukan morfologi suatu daerah
yang memiliki suatu bentukan yang khas yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas struktur
geologi yang berkembang pada daerah tersebut yang berasal dari tenaga endogen sehingga
menghasilkan bentukan morfologi tertentu.Pada daerah telitian struktur geologi sangat
mempengaruhi pembentukan morfologi,dimana dapat diketahui bahwa struktur geologi yang
mengontrol pada daerah telitian, yaitu berupa struktur yang terpengaruh oleh proses
pemiringan atau tilting yang terjadi karena daerah telitian merupakan sayap selatan antiklin
yang kemudian patah dengan sejumlah dan yang kemudian
membentuk blok .
Bentukan asal struktural pada daerah telitian terbagi menjadi 2 subsatuan geomorfik
yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
3.1.4.1.1.Subsatuan Geomorfik Perbukitan Homoklin (S1)
Subsatuan goemorfik ini merupakan bentukan morfologi suatu perbukitan yang
terletak pada daerah tinggian dimana memiliki kemiringan lerengnya tidak sama sebagai
akibat dari kedudukan lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang cenderung curam.
(Gambar 3.5).Bentukan morfologi ini tersebar di bagian utara daerah telitian, tersebar dari
bagian barat hingga bagian timur dengan kemiringan lereng relatif agak curam (14-20 %, Van
-
48
Zuidam,1979) dan menempati sekitar 55% daerah telitian.Batuan penyusun morfologi ini
berupa Satuan Batupasir Semilir dan Satuan Breksi Nglanggran serta memiliki pola
pengaliran subdendritik.
Gambar 3.5. Kenampakan subsatuan geomorfik Perbukitan Homoklin (S1), gambar
diambil pada Daerah Kedokploso. Koordinat X:455937 ; Y:9131667. Arah kamera N 315 E, cuaca
cerah.
3.1.4.1.2. Subsatuan Geomorfik Dataran Homoklin (S2)
Subsatuan geomorfik Dataran Homoklin (Gambar 3.6) menempati 37% dari seluruh
daerah penelitian dengan relief yang relatif jauh lebih datar menempati daerah selatan dan
melampar dari barat hingga timur daerah telitian, dengan topografi yang landai dan
kemiringan lereng landai (3-7%), lereng searah, mempunyai pola kontur yang renggang,
mempunyai kisaran elevasi 125-200 m dpal, dengan komposisi litologi terdari dari Batupasir
vulkanik dengan sisipan Batupasir gampingan yang memiliki kemiringan lapisan kearah
selatan pula. Subsatuan geomorfik ini miliki pola pengaliran subdendritk yang menunjukan
arah kemiringan lereng yang relatif seragam, alasan mengapa daerah ini termasuk dalam
subsatuan geomorfik dataran homoklin dikarenakan topografinya yang relatif landai dengan
kedudukan lapisan yang relatif seragam pula, yaitu ke arah selatan.
-
49
Gambar 3.6. Kenampakan subsatuan geomorfik Perbukitan Homoklin (S2), gambar
diambil pada Daerah Padangan. Koordinat X:451231 ; Y:9130940. Arah kamera N 280 E, cuaca
cerah.
3.1.4.1.3. Subsatuan Geomorfik Lembah Homoklin (S3)
Subsatuan geomorfik lembah homoklin, menempati 2% dari seluruh daerah
penelitian dengan kemiringan lereng relatif landai 3 7% sampai miring 8 13 %,
mempunyai kisaran elevasi 150 250 m dpal, dengan komposisi lithologi terdari dari
batupasir vulkanik dengan sisipan lempung yang memiliki kemiringan lapisan kearah selatan
pula. Subsatuan geemorfik ini miliki pola pengaliran subdendritk, alasan mengapa daerah ini
termasuk dalam subsatuan geomorfik lembah homoklin dikarenakan kemiringan lereng yang
relatif datar dan kemiringan lapisan yang hampir sama atau seragam yaitu berarah utara
selatan (Gambar 3.7).
Gambar 3.7. Kenampakan subsatuan geomorfik Lembah Homoklin (S1), gambar diambil
pada Daerah Kedokploso. Koordinat X:455937 ; Y:9131667. Arah kamera N 315 E, cuaca cerah.
3.1.4.2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial
Satuan geomorfik bentukan asal fluvial ini dikontrol oleh adanya proses
pengerosian, sehingga dengan adanya proses erosi, maka akan dihasilkan bentukan morfologi
yang mencirikan adanya proses erosi yang bekerja pada daerah tersebut seperti adanya tubuh
-
50
sungai yang berukuran besar pada daerah telitian serta adanya dataran banjir di yang
terbentuk akibat banyaknya material erosi yang tertransport dan mengendap pada sisi tubuh
sungai utama.
3.1.4.2.1. Subsatuan Geomorfik Tubuh Sungai (F1)
Subsatuan geomorfik tubuh sungai, menempati luasan 5% dari seluruh daerah
penelitian, merupakan tubuh sungai pada Sungai Ngalang yang terletak di daerah Tengah
lokasi penelitian lebar sungai mencapai 5-7 meter (Gambar 3.8), mengalir relative dari utara
menuju selatan daerah penelitian. Bentuk tubuh sungai relatif berkelok-kelok (meandering)
yang merupakan bedrock stream yaitu sungai yang mengalir diatas batuan penyusunnya
dengan genesa pembentukannya termasuk pada sungai subsekuen, yaitu sungai yang mengalir
sepanjang jurus perlapisan batuan, mempunyai elevasi kurang dari 150 mdpl.
Gambar 3.8. Kenampakan subsatuan geomorfik tubuh sungai (F1), gambar diambil pada
Daerah Nglaran Lor, memperlihatkan tubuh sungai Kali Ngalang. Koordinat X:453000 ;
Y:9128000.Arah kamera N340E, cuaca cerah.
3.1.4.2.2. Subsatuan Geomorfik Dataran Banjir (F2)
Subsatuan geomorfik dataran banjir yang menempati luasan 2% dari seluruh daerah
penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir datar (0-2%) , mempunyai
kisaran elevasi antara 150-175 mdpl. Sub satuan geomorfik ini tersusun dari material lepas
hasil erosi dan pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir, kerikil, hingga bongkah
-
51
yang terendapkan disekitar daerah aliran sungai utama. Subsatuan geomorfik ini terletak di
bagian tengah daerah penelitian yaitu pada daerah sepanjang aliran sungai Ngalang (Gambar
3.7).
Gambar 3.9. Kenampakan subsatuan geomorfik dataran banjir (F2), gambar diambil pada
Daerah Karangrejo, Koordinat X:452333 ; Y:9127803.Arah kamera N 260 E, cuaca cerah.
3.2 Geologi
3.2.1. Stratigrafi daerah telitian
Penulis menyusun stratigrafi daerah telitian berdasarkan ciri ciri litologi yang dijumpai
dilapangan dengan mengikuti pembagian dan tata nama stratigrafi dari Surono, 1992, guna
mengetahui stratigrafi yang terkait dengan daerah telitian.
Untuk pembagian satuan batuan, penulis menggunakan satuan tidak resmi yang mengacu
pada pembagian tata nama yang sesuai dengan kaidah Sandi Stratigrafi Indonesia (1996). Secara
umum daerah telitian didominasi oleh litologi batupasir, namun penulis berusaha membaginya
kedalam satuan satuan batuan yang lebih detil berdasarkan karakteristik dari setiap litologi yang
dominan. Urutan stratigrafi daerah telitian dari tua ke muda meliputi :
1. Satuan Batupasir Semilir
2. Satuan Breksi Nglanggran
3. Satuan Batupasir Sambipitu
4. Satuan Batugamping Oyo
5. Satuan Pasir Lepas
Dilihat dari susunan stratigrafi yang didapatkan dilapangan, dapat disimpulkan
bahwa stratigrafi yang ada di daerah Ngalang dan sekitarnya sedikit berbeda dengan yang
-
52
telah disusun Bothe 1929 dan Surono 1992 dengan tidak hadirnya Satuan batuan dari Formasi
Wonosari.
Persebaran dari satuan batuan di atas dilihat pada peta Geologi(Lampiran 3).
3.2.1.1 Satuan Batupasir Semilir
3.2.1.1.1 Dasar Penamaan
Penamaan Satuan Batupasir Semilir didasarkan pada lokasi tipe di G. Semilir,
sebelah selatan Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung,
breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit
hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa
Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto
dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat
Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-
Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada
tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460
meter.
3.2.1.1.2. Penyebaran dan Ketebalan
Penyebaran Satuan Batupasir Semilir daerah telitian menempati luas 25 % dari seluruh
luas daerah telitian. Singkapan pada satuan ini tersebar dibagian utara, barat dan timur daerah
telitian. Lebih spesifiknya tersebar di desa Kacangan, Desa Magirrejo hingga Ngaski. Dari pengukuran
penampang geologi, Satuan Batupasir Semilir memiliki ketebalan berkisar 750 - 900 meter .
-
53
Gambar 3.8. Kenampakan singkapan pada LP 67 di desa Magirejo dengan koordinat X =
0453502 ,Y = 9132219. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat laut.
-
54
Gambar 3.9. Kenampakan inset singkapan pada LP 67 di desa Magirejo dengan koordinat
X = 0453502 ,Y = 9132219. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat laut.
Gambar 3.10. Kenampakan singkapan pada LP 90 di daerah dengan koordinat X =
0455799, Y =9132177. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap utara.
-
55
A 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B C D E F H G I J K L M N O
XPL PPL
A 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B C D E F H G I J K L M N O
XPL PPL
Gambar 3.11. Kenampakan inset singkapan pada LP 90 di daerah dengan koordinat X =
0455799, Y =9132177. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap utara.
3.2.1.1.3. Ciri Litologi
Satuan Batupasir Semilir di daerah telitian (LP 90) dicirikan oleh dominasi litologi batupasir
vulkanik berwarna kuning abu-abu, lunak - keras, struktur perlapisan laminasi, berukuran butir
pasir lempung kasar, terpilah buruk, kemas terbuka fragmen: tuff, koral, matriks: batupasir halus
sedang, semen karbonat.
Hasil analisa petrografi (Lampiran AP-93, Lampiran AP-MSP2) menunjukkan sayatan :
- Batu sedimen, warna-coklat, tekstur klastik, didukung oleh mud supported,
ukuran butir 0,1 0,7 mm, subangular subrounded, terpilah buruk, kemas terbuka, batuan
ini disusun oleh mineral mud (25%), kuarsa (15%), piroksen (2%), kuarsit (14%), opak (3%),
litik tuff (34%), feldspar (2%), klorit (1%), dan kalsit (4%) dengan nama batuan Lithic
Wacke (Gillbert, 1954). (Lampiran AP-93) (LP 93).
// - Nicol 0 0.5 mm X Nicol 0
0.5 mm
Gambar 3.12. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol
silang (kanan) pada sampel Lp 93.
- Batu sedimen, warna-coklat, tekstur klastik, didukung oleh mud supported, ukuran
butir 0,1 1,5 mm, subrounded subangular, terpilah buruk, kemas terbuka ,batuan ini disusun
oleh kuarsa (31%), kuarsit (18%), feldspar (19%), lithic tuff (10%), oksida besi (8%), , dan mud (14%)
dengan nama batuan Litchic Wacke (Gilbert, 1954). (Lampiran AP-MSP2) (Lintasan MS).
-
56
// - Nicol 0 0.5 mm X Nicol 0
0.5 mm
Gambar 3.13. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol
silang (kanan) pada sampel MSP2.
3.2.1.2.4. Penentuan Umur
Berdasarkan data fosil planktonik yang didapatkan pada LP 94 (semilir bagian
bawah), yaitu :
Globoquadrina altispira
Globorotalia siakensis
Globigerina venezuelana
Globigerina binaensis
Globigerinoides primordius
Globigerina tripartita
Maka, Satuan Batupasir Semilir ( bawah ) ini terendapkan pada umur N 4 5
(awal) atau pada kala Miosen Awal ( Lampiran AF-01 ).
Sedangkan dari data fosil planktonik yang didapatkan pada LP 90 (semilir
bagian atas), yaitu :
Globoquadrina dehiscens
Globoquadrina altispira
Globorotalia siakensis
Globigerina venezuelana
Globigerina binaensis
Maka, Satuan Batupasir Semilir ( bawah ) ini terendapkan pada umur N 4 5 (awal -
akhir) atau pada kala Miosen Awal ( Lampiran AF-02 ).
A 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B C D E F H G I J K L M N O
XPL PPL
A
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
B C D E F H G I J K L M N O
XPL
-
57
Dari pengamatan superposisi pada Satuan Batupasir Semilir yang berada di
bagian tengah daerah telitian terhadap Satuan Breksi Nglanggran dari penampang geologi
sayatan A menunjukkan posisi Satuan Batupasir Semilir lebih tua dari breksi
Nglanggran.
3.2.1.2.5. Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan fosil benthonik yang didapatkan pada LP 94 (semilir bagian bawah),
yaitu :
Jaculella acuta
Botellina labyrinthica
Lingulina seminuda
Dentalina subsolita.
Didapatkan Satuan Batupasir Semilir ini terendapkan pada lingkungan kedalaman
Bathial Bawah ( Barker, 1960 ) ( Lampiran AF-01 ).
Sedangkan fosil benthonik yang didapatkan pada LP 90 (semilir bagian atas), yaitu :
Bulimina pupoldes
Gullulina yabei
Virgulina bradyi
Cassidulinoides sp.