geologii & studi fasies turbidit formasi sambipitu daerah ngalang

Download GeologiI & Studi Fasies Turbidit Formasi Sambipitu Daerah Ngalang

If you can't read please download the document

Upload: amau

Post on 22-Nov-2015

275 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • 1

    SKRIPSI

    Oleh :

    ANINDYO WIDIASWORO

    111.060.067

    JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

    FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

    YOGYAKARTA

    2011

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU

    DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN

    GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA

  • 2

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada

    Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral

    Oleh :

    ANINDYO WIDIASWORO

    111.060.067

    JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

    FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

    UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASI

    YOGYAKARTA

    2011

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU

    DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN

    GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA

  • 3

    PENGESAHAN

    SKRIPSI

    Oleh :

    ANINDYO WIDIASWORO

    111.060.067

    Yogyakarta, 12 September 2011

    Menyetujui,

    Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

    Prof. Dr. Ir. Sutanto, DEA. Dr. Ir. C. Prasetyadi , MSc.

    NPY.19540907 19831 1 001 NPY.19581104 1987030 1 001

    Mengetahui,

    Ketua Jurusan Teknik Geologi

    Ir.H. Sugeng Raharjo ,M.T

    NPY. 19581208 199203 1 001

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU

    DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN

    GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA

  • 4

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufiq

    dan hidayah-Nya, penulis dapat diberikan ketenangan berpikir dan semangat untuk dapat

    menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu tanpa adanya suatu halangan yang berarti.

    Skripsi dengan judul Turbidit Formasi Sambipitu,

    Daerah Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten GunungKidul, Propinsi

    disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Teknik pada Program

    Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional

    langkah awal dalam mempelajari dinamika bumi

    dan segala potensi yang ada di luar maupun di dalamnya.

    Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari do dan semangat serta motivasi dari

    berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

    1. Allah SWT, Tuhan semesta alam dengan kuasa-Nya yang sangat besar.

    2. Kedua Orang tua tercinta atas tinya.

    3. Kakak dan adikku yang banyak membantu dalam pencapaian tujuan ini.

    4. Bpk. Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

    5. Bpk Prof.Dr. Ir. Sutanto,DEA selaku Dosen Pembimbing I.

    6. Bpk. Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc., selaku Dosen Pembimbing II.

    7.

    terhingga.

    8. Keluarga Bpk. Samidjo, ibu Asih dan warga dusun Nglegi, atas bantuan dan keramahan

    selama kami menempuh kerja lapangan.

    9. Alexandro Johan P.P, partner lapangan terbaik.

    10. Tim Pemetaan Ceria ( Albi Daniel Rajagukguk Ngl#1, Pandita Purbacaraka Ngl#2,

    Alexandro Johan PP Ngl#4 ) atas kerjasama dan pelajaran hidup yang sangat berarti selama

    kegiatan lapangan berlangsung.

    11. Keluarga Besar North Hill Pangea, Jogja Enterprise dan Pangea 2006, tetap pantang

    menyerah hingga kapanpun.

    12. Semua orang yang ada di dekatku, secara tidak langsung kalian telah memotivasi walaupun

    hanya kecil, tapi kalian selalu ada dan tetap ada.

    13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu - persatu yang telah membantu penulis baik

    secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  • 5

    Menyadari tidak adanya manusia yang sempurna di dunia ini, begitu pula dalam

    penulisan skripsi ini, apa yang tertulis di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan. Oleh

    karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari para

    pembaca agar tercapainya kesempurnaan dalam penulisan ilmiah berikutnya.

    Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk

    dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya serta dapat

    dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

    Yogyakarta, Agustus 2011

    Penulis,

    ANINDYO WIDIASWORO

  • 6

    SARI

    Daerah telitian secara administratif terletak di daerah Ngalang dan sekitarnya,

    Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D. I. Yogyakarta. Secara geografis

    berada pada koordinat 452500mE 458100mE dan 9131500mN 9136500mN yang

    tercakup dalam lembar Jabung dan Cawas, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D. I.

    Yogyakarta, lembar peta nomor 1408-313 dan 1408 - 314 dengan skala 1 : 25.000 dengan

    zona UTM 49, dengan luas daerah telitian 5 x 6 km2.

    Secara geomorfik, daerah telitian dibagi menjadi dua satuan bentukan asal, yaitu

    bentukan asal fluvial subsatuan geomorfik Tubuh Sungai (F1) dan Dataran Limpah Banjir

    (F2) dan bentukan asal struktural terdenudasi yang terdiri dari : subsatuan geomorfik

    Perbukitan Homoklin (S1), subsatuan geomorfik Lembah Homoklin (F2) dan subsatuan

    geomorfik Gawir Sesar (S3). Pola pengaliran yang berkembang pada daerah telitian yaitu

    subdendritik sebagai perkembangan dari pola pengaliran dendritik, dengan stadia

    geomorfologi yang telah mencapai tahapan dewasa.

    Stratigrafi daerah telitian terdiri dari empat satuan batuan, dari tua ke muda adalah

    satuan satuan batupasir Kebo-Butak berumur Oligosen Akhir (N1-N3) dengan litologi

    Batupasir tuffan dan sisipan lempung, diendapkan pada lingkungan pengendapan laut

    mempunyai hubungan yang selaras dengan satuan batupasir vulkanik Semilir yang berumur

    Miosen Awal (N4-N6) dengan litologi yang dominan adalah batupasir vulkanik dengan

    sisipan lempung dibeberapa tempat,yang diendapkan pada Bathial Atas (Barker, 1960),

    selanjutnya diendapkan satuan breksi Nglanggran berumur Miosen Awal (N7) yang

    diendapkan pada Bathial Atas. Selanjutnya diendapkan satuan endapan aluvial berumur

    Holosen diatas satuan breksi Nglanggran dengan hubungan tidak selaras.

    Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian berupa sesar mendatar dan

    sesar turun yang berada pada satuan batupasir Semilir.

    Satuan batupasir vulkani Semilir mempunyai lingkungan submarine fan yang terletak

    pada Upper Fan Chahhel Fill dengan penciri fasies adalah Slump, dan middle fan dengan

    pencirinya berupa fasies classical turbidites, massive sandstone, dan pebbles sandstone.

    GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT FORMASI SAMBIPITU

    DAERAH NGALANG, KECAMATAN NGALANG, KABUPATEN

    GUNUNGKIDUL, PROPINSI D.I.YOGYAKARTA PROPINSI DAERAH

    ISTIMEWA YOGYAKARTA

  • 7

    DAFTAR ISI

    Halaman Pengesahan

    Kata Pengantar

    Halaman Motto & Persembahan

    Sari

    Daftar Isi

    Daftar Gambar

    Daftar Tabel

    Daftar Lampiran

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.5.1.1 Permasalahan Geomorfol

    1.6.1.1

    1.6.2.1 Tahap Pra-Mapping..

    1.6.2.2 Tahap Pemetaan (Mapping

    i

    iii

    v

    vi

    vii

    xii

    xix

    xix

    1

    1

    2

    2

    2

    2

    4

    4

    4

    4

    5

    5

    5

    6

    6

    6

    7

    8

    8

  • 8

    BAB 2 GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN

    2.1.1

    2.3.1 Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat ( Batuan

    Dasar Pra-

    BAB 3 GEOLOGI DAERAH MERTELU

    3.1.1 Pembagian

    3.1.3 Pola Alira

    3.2.1.1 Satuan Batupasir Kebo-

    3.2.1.1.2 Penyebaran dan Kete

    3.2.1.1.5 Lingkungan Pengenda

    8

    9

    10

    10

    10

    10

    11

    11

    13

    14

    17

    22

    22

    22

    26

    29

    29

    29

    30

    32

    33

    33

    34

    39

    40

    37

    42

    42

    42

    42

  • 9

    ..

    .

    3.2.2.2 Hubungan Struktur Dengan Mekanisme

    Tektonik

    43

    46

    48

    48

    48

    48

    48

    49

    53

    55

    55

    55

    55

    55

    56

    59

    60

    60

    61

    61

    61

    61

    63

    64

    64

    64

    64

    65

    67

    68

    68

    69

    69

  • 10

    BAB 4 ANALISA LINGKUNGAN PENGENDAPAN SATUAN

    BATUPASIR SEMILIR

    4.1.1.1.1 Model Kipas Bawah Laut Walker

    4.1.1.2.1 Analisa asosiasi litologi dan

    4.2. Analisa Lingkungan Pengendapan Satuan

    4.2.1 Hasil Anal

    BAB 5 POTENSI GEOLOGI

    ..

    BAB 6 KESIMPULAN

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    71

    71

    72

    72

    73

    73

    73

    73

    74

    74

    75

    75

    75

    75

    78

    83

    83

    83

    84

    85

    87

    90

    99

    99

    99

    99

    101

    101

  • 11

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1 Lokasi Daerah Penelitian dan letaknya pada peta Daerah

    Gambar 1.2 Alat dan Perlengkapan Tahap

    Gambar 1.3 Bagan alir tahapan dan metoda

    Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Jawa ( Van Bemmelen,

    1949)

    Gambar 2.2 Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan

    Gambar 2.3. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa

    (Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :

    A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau

    Jawa dimulai pada Kapur Paleosen.

    B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa

    dimulai pada Eosen Tengah.

    C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa

    dimulai pada Oligosen Tengah.

    Gambar 2.4. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan ( Suyoto, 1994

    Gambar 3.1 Kenampakan morfologi daerah penelitian via satellite Google

    Earth

    Gambar 3.2. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin. Foto diambil oleh

    penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat

    Gambar 3.3. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin dan dataran

    Homoklin. Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan

    Gambar 3.4. Kenampakan morfologi perbukitan Homoklin dan dataran

    Homoklin. Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah

    101

    102

    102

    103

    3

    9

    12

    14

    15

  • 12

    Gambar 3.5. Kenampakan morfologi sungai dan daerah limpah banjir. Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.6. Pola Pengaliran daerah penelitian (tanpa

    Gambar 3.7. Kenampakan batupasir pada LP 17 di Guyangan Kidul desa

    Mertelu dengan koordinat X = 0458004 , Y = 9135575 . Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.8. Kenampakan batupasir pada LP 18 di Guyangan Kidul desa

    Mertelu dengan koordinat X = 0458117 , Y = 9135591 . Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.9. Kenampakan batupasir pada LP 20 di Guyangan Kidul desa

    Mertelu dengan koordinat X = 0457881, Y = 9135923 . Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.10. Kenampakan batupasir pada LP 100 di Soka desa Mertelu

    dengan koordinat X = 0458913, Y = 9135980 . Foto diambil oleh

    penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap timur.

    Gambar 3.11. Kenampakan batupasir pada LP 19 di Guyangan Kidul desa

    Mertelu dengan koordinat X = 0458309 , Y = 9135696 . Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.12. Kenampakan batupasir zeolit dilapangan. Zeolit membuat

    batuan pada satuan ini berwarna kehijauan. Foto diambil oleh

    Gambar 3.13. Perselingan antara batupasir Zeolit dan batulempung dan

    membentuk struktur perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada

    Gambar 3.14. Kenampakan batupasir pada LP 12 di desa Mertelu dengan

    koordinat X = 0458241 ,Y = 9134982. Foto diambil pada cuaca

    Gambar 3.15. Kenampakan batupasir pada LP 22 di desa Mertelu dengan

    koordinat X = 0458272, Y = 9134550. Foto diambil pada cuaca

    21

    26

    31

    36

    36

    37

    38

    39

    43

    44

  • 13

    Gambar 3.16. Kenampakan batupasir pada LP 22 di daerah Pringombo

    kecamatan Nglipar dengan koordinat X = 0461956 , Y =

    9134825. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.17. Kenampakan batupasir pada LP 34 di daerah Ngangkruk

    kecamatan Nglipar dengan koordinat X = 0460644 , Y =

    9134221. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.18. Kenampakan batupasir pada LP 41 di desa Pilangrejo dengan

    koordinat X = 0459416, Y = 9133420. Foto diambil pada cuaca

    Gambar 3.19. Kenampakan batupasir pada LP 33 di desa Ngangkruk dengan

    koordinat X = 0460678, Y = 9133888. Foto diambil pada cuaca

    Gambar 3.20. Kenampakan batupasir pada LP 57 di desa Pringombo dengan

    koordinat X = 0461709, Y = 9134654. Foto diambil pada cuaca

    Gambar 3.21. Kenampakan batupasir volkanik dilapangan. Membentuk

    struktur laminasi.Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah

    Gambar 3.22. Struktur Sedimen Slump yang ditemukan pada LP 25.Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.23. Kenampakan breksi monomik pada LP 75 di daerah Danyangan

    dengan koordinat X = 0460068 , Y = 9131859. Foto diambil

    pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    Gambar 3.24. Kenampakan breksi monomik pada LP 27 di daerah Pilangrejo

    dengan koordinat X = 0460591 , Y = 9132216. Foto diambil

    pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    Gambar 3.25. Kenampakan breksi monomik pada LP 47 di daerah

    Natah Wetan dengan koordinat X = 0462663 , Y =

    9132984. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa

    menghadap arah barat.

    Gambar 3.26. Kenampakan breksi monomik pada LP 30 di desa

    44

    45

    45

    47

    47

    49

    50

    50

    51

  • 14

    Pilangrejo dengan koordinat X = 0460795 , Y = 9132966.

    Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.27. Kenampakan breksi monomik yang kontak dengan

    batupasir pada LP 63 di daerah Danyangan desa Pilangrejo

    dengan koordinat X = 0459065 , Y = 9131849. Foto

    diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    Gambar 3.28. Kontak antara Satuan Batupasir volkanik Semilir (bawah)

    dengan Satuan Breksi Nglanggran (atas). Foto diambil oleh

    penulis pada cuaca ce

    Gambar 3.29. Kenampakan salah satu breksi Nglanggran, didominasi

    oleh fragmen andesite. Foto diambil oleh penulis pada

    cuaca cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.30. Kenampakan batupasir Sambipitu pada LP 29 di daerah

    Wotoalen desa Natah dengan koordinat X = 0460220 , Y =

    9131631. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.31. Kenampakan batupasir Sambipitu pada LP 66 di daerah Natah

    Kulon desa Natah dengan koordinat X = 0461986 , Y =

    9132397. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 3.32. Kenampakan salahsatu batupasir Sambipitu, struktur

    sedimen perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada cuaca

    cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.33. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 60 di daerah

    Blembeman I dengan koordinat X = 0462901 , Y = 9131969.

    Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    Gambar 3.34. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 65 di daerah

    Blembeman dengan koordinat X = 0461951 , Y = 9131653.

    Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    51

    52

    52

    54

    54

    56

    57

    57

    58

    58

  • 15

    Gambar 3.35. Kenampakan Batugamping Kepek pada LP 50 di daerah Natah

    Wetan dengan koordinat X = 0462917 , Y = 9132593. Foto

    diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap arah

    Gambar 3.36 Kenampakan singkapan Batugamping Kepek, struktur

    sedimen perlapisan. Foto diambil oleh penulis pada cuaca

    cerah dengan lensa menghadap

    Gambar 3.37 Kenampakan salahsatu Batugamping Kepek,

    memperlihatkan adanya butiran berukuran pasir (arenite).

    Foto diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa

    menghadap timur.

    Gambar 3.38. Kenampakan satuan Pasir Lepas yang terdapat di

    pinggiran

    Gambar 3.39. Kolom Stratigrafi Daerah Telitian ( Jutika Aditya N.,

    2011 )

    Gambar 3.40. Kenampakan salahsatu struktur lapisan miring pada LP41

    daerah desa Pilangrejo, memperlihatkan adanya kemiringan

    lapisan pada suatu singkapan. Foto diambil oleh penulis

    pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat. Foto

    diambil oleh penulis pada cuaca cerah dengan lensa

    Gambar 4.1. Hubungan antara lingkungan pengendapan sedimen dengan

    Gambar 4.2. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan Klastik, Christopher G. St.

    Gambar 4.3. Rekonstruksi dari Suatu Kipas Bawah Laut ( Walker 1978 )

    Gambar 4.4 Hipotesa Sikuen kipas bawah laut yang dapat berkembang

    selama proses progradasi kipas bawah laut. C.U adalah sikuen

    penebalan dan pengkasaran ke atas, F.U adalah sikuen

    penipisan dan penghalusan ke atas. CT adalah fasies classical

    turbidite, PS adalah fasies batupasir kerikilan, CGL adalah

    59

    60

    62

    62

    63

    65

    66

    66

    67

    68

  • 16

    fasies konglomerat, DF adalah fasies debris flow dan SL

    Gambar 4.5.

    Gambar 4.6.

    Gambar 4.7.

    Gambar 4.8. Analisa profil LP 25 yang menunjukkan kenampakkan

    lingkungan pengendapan Smooth Portion Of Suprafan

    Lobes

    Gambar 4.9. Bentang alam lintasan profil LP25 bagian atas

    Gambar 4.10. Kenampakan lintasan profil LP25 bagian atas. Disini terlihat

    fasies pengendapan classical turbidtes

    Gambar 4.11. Analisa profil LP 53 yang menunjukkan kenampakkan

    lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion

    Of Suprafan

    Lobes

    .....

    Gambar 4.12. Lintasan profil LP 53 yang menunjukkan fasies classical

    turbidites

    Gambar 4.13. Salah satu lintasan pada profil LP 53 yang menunjukkan

    adanya struktur sedimen laminasi dan dibagian

    bawahnya terdapat struktur pembebanan (load

    cast)

    Gambar 4.14. Analisa profil LP 42 yang menunjukkan kenampakkan

    lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion Of

    Gambar 4.15. Lintasan profil LP 42 yang menunjukkan fasies massive

    sandstone

    Gambar 4.16. Salah satu kenampakan lapisan pada lintasan profil LP 42

    yang memiliki struktur sedimen

    Gambar 4.17. Analisa profil LP 31 yang menunjukkan kenampakkan

    69

    76

    77

    78

    82

    85

    86

    86

    88

    89

    89

    92

    93

    93

  • 17

    lingkungan pengendapan Smooth to Channelled Portion

    Of Suprafan

    Gambar 4.18. salah satu bagian intasan profil LP31 yang menunjukkan

    fasies classical turbidites dibagian bawah dan pebbles

    sandstone dibagian

    Gambar 4.19. Bentang alam lintasan profil LP31 bagian bawah yang

    menunjukkan fasies classical turbidites dibagian bawah

    dan massive sandstone dibagian

    Gambar 4.20. Bentang alam lintasan profil LP31 bagian atas yang

    menunjukkan fasies classical turbidites dibagian bawah

    dan massive sandstone dibagian atasnya. Ditengah

    keduanya terdapat fasies pebbles

    sandstone

    Gambar 4.21. Bentang alam lintasan profil LP31 yang menunjukkan

    fasies pebbles sandstone dibagian bawah dan massive

    sandstone dibagian

    Gambar 4.22. Hasil interpretasi lingkungan pengendapan Batupasir Semilir

    Gambar 5.1 Area penambangan batupasir tuffan yang akan dimanfaatkan

    Gambar 5.2. Gerakan tanah tipe rockfall yang terjadi pada daerah

    94

    95

    95

    96

    97

    97

    98

    98

    100

    101

    102

  • 18

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1 Klasifikasi kemiringan lereng (Van Zuidam,

    Tabel 4.1 Kedalaman menurut Grimsdale dan Mark Hoven (195

    DAFTAR LAMPIRAN

    A. Lampiran dalam teks

    1. Analisis Petrografi (AP)

    2. Analisis Paleontologi (AF)

    3. Tabulasi Data Harian

    B. Lampiran dalam kantong

    1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan

    2. Peta Pola Aliran Sungai

    3. Peta Geomorfologi

    4. Peta Geologi

    5. Profil 1

    6. Profil 2

    7. Profil 3

    8. Profil 4

    .

    31

    83

  • 19

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Geologi Pulau Jawa telah banyak dipelajari dan bahkan hampir keseluruhan wilayah

    telah dipetakan secara sistematik. Penyelidikan geologi, baik untuk kepentingan eksplorasi

    migas, mineral , ataupun untuk kepentingan ilmiah telah banyak dilakukan. Namun demikian,

    pemahaman secara menyeluruh tentang geologi Pulau Jawa, baik masalah stratigrafi,

    sedimentasi, dan perkembangan cekungan maupun tektonisme dan vulkanisme.

    Geologi wilayah Ngalang dipilih sebagai daerah pemetaan geologi karena daerah

    telitian merupakan daerah yang secara geologi cukup menarik untuk dilakukan penelitian.

    Hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai suatu tatanan geologi yang kompleks baik

    secara stratigrafi, struktur geologi, tektonika, maupun morfogenesa serta proses proses

    geologi yang sangat menarik untuk dipelajari guna menerapkan ilmu ilmu geologi lapangan

    berdasarkan hukum hukum geologi yang telah diperoleh di bangku perkuliahan dan juga

    dikarenakan masih kurangnya penelitian yang dilakukan di daerah ini khususnya dari segi

    geologinya.

    Hal hal tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian pada daerah

    Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa

    Yogyakarta dengan judul Geologi dan Studi Fasies Turbidit Formasi Sambipitu Daerah

    Ngalang, Kecamatan Ngalang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa

    Yogyakarta.

    1.2. Maksud dan Tujuan

    Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi persyaratan

    akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi ( S1 ) Program Studi Teknik

    Yogyakarta.

    Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dan perkembangan geologi daerah

    telitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi

    dalam satu kesatuan ruang dan waktu ( time & space ) geologi. Serta mempelajari

    karakteristik fasies pada Formasi Sambipitu yang berguna dalam menyusun urutan waktu

  • 20

    pengendapan sedimen ( kronostratigrafi ) serta mengetahui perkembangan perubahan

    lingkungan pengendapan yang pernah terjadi dari waktu ke waktu.

    1.3. Letak dan Luas, Kesampaian Daerah Telitian, dan Waktu Penelitian

    1.3.1. Letak dan Luas Daerah Telitian

    Daerah pemetaan secara administrasi terletak di Kecamatan Ngalang, Kabupaten

    Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah utara daerah telitian dibatasi

    oleh Desa Nglampar, sebelah barat dibatasi oleh Desa Sambidemang, sebelah selatan dibatasi

    oleh Desa Banyuurip, dan sebelah timur dibatasi oleh Desa Kenteng. Luas daerah telitian

    adalah 6 x 5 km. ( Gambar 1.2 ).

    1.3.2. Kesampaian Daerah

    Daerah telitian dapat dijangkau dengan transportasi darat, yang terletak 50 km ke

    arah timur Yogyakarta dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda empat atau roda

    dua selama 60 menit dari Kota Yogyakarta, sedangkan untuk untuk lokasi pengamatan

    dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda dua kecuali di beberapa tempat yang hanya

    dapat dicapai dengan berjalan kaki, ( Gambar 1.1 ).

    Gambar 1.1. Lokasi Daerah Penelitian

  • 21

    Gambar 1.2. Peta rupa bumi daerah penelitian lembar peta Wonosari-Jabung

    (tanpa skala).

    1.3.3. Waktu Penelitian

    Waktu penelitian berlangsung selama dua bulan di lapangan terhitung dari

    pertengahan akhir Januari 2011 hingga akhir Maret 2011 yang bersifat mandiri kemudian

    dilanjutkan dengan kegiatan pengolahan data serta analisis data dan pembuatan laporan

    penelitian sebagai sistematika selama kegiatan penelitian berlangsung, kegiatan tahap lanjut

    ini memakan waktu 3 hingga 4 bulan.

    1.4. Pokok Permasalahan

    Pokok permasalahan yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi secara

    umum meliputi geologi regional, stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi, dan sejarah

    geologi.

    Adapun permasalahan khusus yang diangkat oleh penulis mengenai fasies turbidit

    Formasi Sambipitu.

    Permasalahan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian,

    yaitu :

    1.4.1. Permasalahan Geologi

    Permasalahan permasalahan geologi yang diuraikan dalam penelitian ini, meliputi :

    1.4.1.1. Permasalahan Geomorfologi

    Dari interpretasi dan analisa peta topografi serta pengamatan kenampakan morfologi

    di lapangan, dijumpai kenampakan pola aliran, bukit, lembah, kelurusan punggungan serta

  • 22

    pengaruh litologi dan struktur geologi, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai

    berikut :

    a. Berapa macam satuan geomorfik pada daerah telitian?

    b. Faktor apa saja yang mengontrol bentuk dan penyebaran bentang alam daerah telitian?

    c. Jenis pola pengaliran yang terbentuk dan apa faktor pengontrolnya?

    d. Sejauh mana proses erosi yang telah berlangsung di daerah telitian?

    e. Bagaimana perkembangan tahapan geomorfologinya?

    1.4.1.2. Permasalahan Stratigrafi

    Perbedaan relief dan dimensi bentang alam akan memberikan pengaruh terhadap

    geometri suatu batuan sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa :

    a. Apa saja jenis litologi yang ada pada daerah telitian dan bagaimana variasinya?

    b. Bagaimana penyebaran dan ketebalan batuan?

    c. Bagaimana kandungan fosil dan umurnya?

    d. Bagaimana urutan satuan batuan dari tua ke muda?

    e. Bagaimana hubungan antar satuan batuan?

    f. Bagaimana mekanisme dan lingkungan pengendapannya?

    g. Apa nama formasi batuannya?

    1.4.1.3. Permasalahan Struktur Geologi

    Deformasi pada batuan akibat proses tektonik yang bekerja akan menghasilkan

    struktur geologi yang terkait oleh beberapa hal, yaitu :

    a. Jenis struktur apa saja yang berkembang di daerah telitian?

    b. Bagaimana pola dan kedudukan struktur tersebut?

    c. Berapa dimensi atau ukuran dan arah struktur tersebut?

    d. Bagaimana mekanisme, pola dan arah gaya yang membentuknya?

    e. Kapan unsur unsur struktur tersebut terbentuk? dan Bagaimana hubungannya dengan

    sejarah tektonik yang bekerja pada daerah telitian?

    1.4.1.4.Permasalahan Sejarah Geologi

    Dari seluruh kajian data geologi yang dilakukan dari pengamatan data lapangan,

    pengumpulan data hingga tahap analisis, akan menimbulkan permasalahan mengenai

    perkembangan geologi dari waktu ke waktu yang meliputi :

    a. Bagaimana mekanisme dan perkembangan proses pengendapan tiap formasi pada daerah

    telitian dalam ruang dan waktu geologi?

  • 23

    b. Bagaimana perkembangan tahapan tektonik yang terjadi di daerah telitian dalam ruang

    dan waktu geologi sehingga membentuk pola struktur seperti sekarang?

    1.4.2. Permasalahan Studi

    Permasalahan yang akan diuraikan penulis dalam studi khususnya, meliputi :

    1.4.2.1 Permasalahan Fasies

    Beberapa permasalahan yang terkait dengan studi fasies yang akan diuraikan penulis

    dalam penelitian ini, meliputi :

    a. Ada berapa jenis fasies batuan pada Formasi Sambipitu?

    b. Bagaimana hubungan antara butiran dengan pembentukan litofasies?

    c. Bagaimana mekanisme pada saat pembentukan litofasies?

    d. Bagaimana hubungan antar fasies pada Formasi Sambipitu?

    e. Bagaimana lingkungan pengendapan dari fasies fasies yang ada pada Formasi

    Sambipitu?

    1.5. Tahapan dan Metode Penelitian

    Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada daerah telitian,

    penulis melakukan berbagai tahapan dan metoda penelitian dalam pendekatan masalah ( lihat

    Gambar 1.2 ), baik secara historis,deskriptif maupun analisis yang meliputi:

    1.5.1. Penelitian Pendahuluan

    Penelitian pendahuluan meliputi studi pustaka yang dilakukan berdasarkan pada

    publikasi dari penelitian-penelitian ahli geologi terdahulu yang dipublikasikan dan terkait

    dengan geologi regional daerah penelitian,sedangkan studi literatur dilakukan terhadap hal-

    hal yang terkait dengan pemahaman konsep geologi yang mendukung judul penelitian guna

    menyelesaikan permasalahan permasalahan yang bersifat mendasar. Studi pustaka dan

    literatur ini kemudian dijadikan sebagai bahan acuan bagi penulis dalam pembuatan proposal.

    1.5.1.1. Penelitian Terdahulu

    Beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan studi yang terkait dengan daerah

    telitian penulis secara lokal maupun secara regional, meliputi :

  • 24

    a. Van Bemmelen ( 1949 ), mengelompokkan geologi regional Pulau Jawa berdasarkan

    fisiografi menjadi beberapa zona, salah satunya adalah Zona Pegunungan Selatan dimana

    daerah penelitian penulis tercakup di dalamnya.

    b. Rahardjo ( 1977 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan

    selatan secara lengkap meliputi aspek sedimentologi dan paleontologi dengan penekanan

    untuk memperoleh kejelasan umur pembentukan dan lingkungan pengendapannya.

    c. Martodjojo ( 1984 ), merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari peneliti

    sebelumnya dalam penyusunan stratigrafi pegunungan selatan.

    d. Surono ( 1992 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan

    selatan secara lengkap.

    e. Samodra ( 1992 ), melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi pegunungan

    selatan secara lengkap.

    f. Surono, B. Toha, I. Sudarno, dan S. Wiryosujono ( 1992 ), Penyusunan Peta Geologi

    Lembar Surakarta-Giritontro pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,

    Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya

    Manusia.

    g. Gendut Hartono ( 2010 ),Melakukan Penelitian Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan

    Produk Batuan Gunung Api Tersier Di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah

    sebagai desertasinya untuk memperoleh gelar doktor.

    1.5.2. Penelitian Lapangan

    Penelitian lapangan secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-pemetaan

    dan tahap pemetaan (mapping).

    1.5.2.1. Tahap Pra-Pemetaan

    Tahap pra-pemetaan berupa kegiatan observasi dan survey lapangan guna menentukan

    lokasi dan luas daerah penelitian yang sesuai dengan topik judul yang akan diambil penulis,

    baik sebagai secara studi umum (geologi) maupun untuk studi khusus (fasies). Setelah lokasi

    penelitian didapatkan pada tahap ini juga dilakukan perijinan dan penyiapan peta dasar guna

    memperlancar proses pelaksanaan tahapan kerja berikutnya.

    1.5.2.2. Tahap Pemetaan ( mapping )

    Tahap pemetaan berupa kegiatan pengumpulan data lapangan yaitu dengan

    melakukan tahapan kerja berupa : penentuan koordinat serta pengeplotan lokasi pengamatan,

    pengamatan dan deskripsi singkapan batuan pada peta topografi ( gambar 1.3 ),

  • 25

    pembuatan sketsa singkapan batuan, pengukuran kedudukan lapisan batuan, pengambilan

    foto singkapan dan sampel batuan, pengamatan geomorfologi dan struktur geologi yang

    berkembang pada daerah telitian serta melakukan pengukuran penampang stratigrafi terukur

    (profil).

    Gambar 1.3. Peta topografi daerah penelitian(tanpa skala).

    Dalam menunjang penelitian lapangan diatas beberapa alat dan perlengkapan yang

    dipergunakan penulis dalam membantu pengambilan data di lapangan antara lain;

    a. Peta dasar, berupa peta topografi dengan skala 1 : 20.000.

    b. Palu geologi, berupa palu batuan sedimen.

    c. Kompas geologi.

    d. Lup dengan perbesaran 20X.

    e. GPS (Global Positioning System) sistem penentuan posisi dengan bantuan sinkronisasi

    sinyal satelit.

    f. Komparator batuan sedimen.

    g. Plastik sampel ukuran 2 kg dan larutan HCl 0,1 N.

    h. Meteran dengan ukuran 30 m.

    i. Buku catatan lapangan.

    j. Alat tulis.

    1.5.3. Pengolahan Data

  • 26

    Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi

    pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta pengambilan

    data lapangan yang didukung oleh analisis laboratorium, yang meliputi : analisa kemiringan

    lereng, analisis granulometri, analisis paleontologi, analisis petrografi, analisis struktur

    geologi dan analisis kandungan mineral.

    Data-data lapangan berupa pengukuran penampang stratigrafi terukur (profil)

    dianalisis berdasarkan aspek fasies batuan guna mengetahui lingkungan pengendapan

    berdasarkan pendekatan model-model yang telah dibuat oleh beberapa ahli.

    1.5.4. Penyusunan Laporan

    Tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan disajikan dalam

    bentuk laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang diangkat penulis beserta

    hasil analisis guna menjawab permasalahan diatas. ( Gambar 1.4 ).

    1.5.5. Hasil Penelitian

    Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi geologi daerah telitian

    beserta fasies dan perkembangan lingkungan pengendapan khususnya pada Formasi

    Sambipitu sehingga output dari penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian

    sebelumnya.

    1.5.6. Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut

    pandang berupa :

    1.5.6.1.Manfaat Keilmuan

    Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah :

    a. Menambah khazanah pengetahuan mengenai studi geologi dan fasies khususnya pada

    Formasi Sambipitu.

    b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metode geologi lapangan yang

    riil dalam kaitannya dengan kerangka berfikir yang disesuaikan dengan konsep konsep

    serta kaidah kaidah geologi yang berlaku.

    c. Kemampuan untuk dapat mengintegrasikan antar data geologi, baik yang diperoleh di

    lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium.

    1.5.6.2.Manfaat Institusi

  • 27

    Manfaat penelitian yang dilakukan penulis bagi pihak institusi berupa:

    a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data data yang belum terlengkapi dari

    penelitian terdahulu, khususnya yang terkait dengan daerah penelitian penulis.

    b. Memberikan masukan mengenai studi fasies turbidit khususnya pada Formasi Sambipitu.

    c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan yang terkait

    dengan ilmu kebumian, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

    bangsa dan negara pada khususnya.

    Gambar 1.4. Diagram alir tahapan dan metode penelitian

  • 28

    BAB 2

    GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN

    2.1. Fisiografi Pulau Jawa.

    Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur secara fisiografi dapat dikelompokkan ke

    dalam lima zona (Van Bemmelen, 1949), dari selatan ke utara (Gambar 2.1) :

    1. Zona PegununganSelatan

    2. Zona Solo

    3. Zona Kendeng

    4. Zona Randublatung

    5. Zona Rembang

    Zona fisiografi ini mencerminkan elemen struktur dari hasil penafsiran anomali gaya

    berat di bagian utara Jawa Timur (Sutarso dan Suyitno, 1976). Elemen struktur dengan

    anomali positif adalah Zona Kendeng dan Zona Rembang, sedangkan elemen struktur

    anomali negatif adalah Depresi Semarang-Pati, Depresi Randublatung dan depresi Kening-

    Solo. Struktur utama Jawa Tengah-Jawa Timur disamping arah barat timur yang mengikuti

    zona tersebut, juga terdapat struktur yang berarah NE-SW memotong disekitar batas Zona

    Rembang dan vulkanik Muria.

    Gambar 2.1.Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan dari Van Bemmelen,

    1949).

  • 29

    2.1.1 Zona Pegunungan Selatan

    Daerah Pegunungan Selatan Jawa secara fisiografi termasuk ke dalam lajur

    Pegunungan Selatan Jawa (Van Bemmelen, 1949), sedangkan secara tektonik regional

    diperkirakan pada cekungan antar busur sampai busur volkanik. Daerah Pegunungan Selatan

    yang membujur mulai dari Yogyakarta ke arah timur, Wonosari, Wonogiri, Pacitan menerus

    ke daerah Malang Selatan, terus ke daerah Blambangan. Berdasarkan pada letak yang

    berada di zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, bentang alam yang terdiri atas rangkaian

    pegunungan yang memanjang relatif barat - timur dan jenis litologi penyusunnya yang

    didominasi oleh material material vulkaniklastik, daerah penelitian termasuk dalam zona

    Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah, di selatan

    Yogyakarta dengan tebal kurang lebih 55 km, hingga Jawa Timur, dengan lebar kurang lebih

    25 km, di selatan Blitar. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-

    Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,

    Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan

    Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran Sungai Opak, sedangkan di bagian utara

    berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur

    sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar kurang lebih. 40 km (Bronto

    dan Hartono, 2001).

    Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona

    Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu. Subzona Wonosari merupakan

    dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di

    Daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah

    barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung

    Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah Sungai Oyo yang mengalir ke barat dan

    menyatu dengan Sungai Opak sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung

    hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.

    Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karst, yaitu

    bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan

    ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink

    holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah.

    Bentang alam karst ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di

  • 30

    sebelah timur.Zona Pegunungan Selatan pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan

    miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar

    maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah

    selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karst (kapur)

    yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2

    (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping

    juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit,

    andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

    2.2 Tatanan Tektonik Pegunungan Selatan

    Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan arah relatif

    barat timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo di bagian Jawa

    Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara Lempeng

    Hindia Australia dengan Lempeng Micro Sunda.

    Evolusi Tektonik Pulau Jawa (Prasetyadi ,2007),dijelaskan bahwa Pulau Jawa

    merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang

    jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik

    dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang yaitu :

    1. Periode Kapur akhir Paleosen.

    2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .

    3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF) .

    4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi ) .

    5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir.

    1. Periode Kapur Akhir Paleosen

    Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-

    Australia ke arah timur laut menghasilkan subduksi dibawah Lempeng Mikro Sunda

    sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase)

    selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan).

    Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra Jawa-

    Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di

    daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir

    Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi

    Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia

    Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat

  • 31

    kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang

    mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit

    pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement

    diorit. Docking atau merapatnya fragmen mikro-kontinen pada bagian tepi timur Sundaland

    menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan terangkatnya zona

    subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus (Gambar 2.2 A).

    2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)

    Antara 54 jtl 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng

    ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.

    Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya

    timurlaut yang berhenti aktifitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl) yang keberadaanya

    diindikasikan pertama kali oleh McDonald (1977, dalam Liu dkk.,1983), berhenti atau mati

    tidak lama setelah pembentukan anomali 19 atau 45 jtl. Berkurangnya secara mencolok gerak

    India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak

    pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya

    tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang

    ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa

    Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan

    extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah

    ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement

    mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland

    (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara) (Gambar 2.2 B).

    3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF)

    Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras

    dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung batuan

    Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua

    menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras. Di daerah Karangsambung Selatan batas

    antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan

    berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak

    selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak

    ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan

    breksi vulkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah

  • 32

    Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir, tanda-tanda

    ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen

    bagian bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di

    Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh

    deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung.

    Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena endapan

    Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi

    Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua

    Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat

    lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada

    pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke

    utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya

    kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di

    Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya

    diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah

    Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi

    Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di

    Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih

    berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas vulkanisme yang

    kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunung api utama di bagian selatan

    Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan

    Selatan. Aktifitas vulkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana

    pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini (Gambar 2.2 C).

    4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi )

    Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia

    berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India

    dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman

    Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga berkurang secara drastis. Hard collision

    India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di

    wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift

    Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS menjadi zona

    Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan vulkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan

    mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengen-dapan karbonat besar-

  • 33

    besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur.

    Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inverse, berkembang endapan syn-inversi

    formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini, inversi

    cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi

    pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan

    graben) utara-selatan yang telah ada.

    5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir

    Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension

    dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami

    penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan

    berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol

    Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian basement berarah Timur Barat

    merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari

    selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).

    Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat

    Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan

    Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan

    sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada

    tinggian yang membatasinya.

  • 34

    Gambar 2.2. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa

    (Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :

    A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai

    pada Kapur Paleosen.

    B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai

    pada Eosen Tengah.

    C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai

    pada Oligosen Tengah.

  • 35

    2.3 Stratigrafi Pegunungan Selatan

    Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah dikemukakan oleh beberapa

    peneliti terdahulu tetapi dalam susunan stratigrafi tiap tiap formasi yang ada pada Daerah

    Pegunungan Selatan khususnya pada Daerah Ngalang penulis mengacu pada susunan

    Stratigrafi Pegunungan Selatan yang dibuat oleh Surono pada tahun 1992 karena dirasa sesuai

    dengan keadaan tiap formasi tersebut pada lokasi penelitian yang digambarkan pada kolom

    stratigrafi berikut (Gambar 2.3).

    Gambar 2.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah dan penarikan umur absolut

    menurut peneliti terdahulu (Surono, et al. 1992).

    Dari kolom stratigrafi diatas (Gambar 2.3) dapat dijelaskan urutan serta hubungan

    stratigrafi Pegunungan Selatan adalah sebagai berikut :

  • 36

    1. Batuan dasar berupa batuan malihan.Basement berupa batuan malihan ini didominasi

    oleh hadirnya Kelompok batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat secara umum terdiri

    dari filit, sekis dan marmer .Filit merupakan litologi yang dominan dijumpai, baik di

    daerah Jiwo Timur dan Jiwo Barat, di lokasi-lokasi Gunung Konang, Gunung Semangu,

    Gunung Merak, Gunung Kebo, Gunung Budo, dan Gunung Sari. Sebagian besar

    singkapan filit dalam keadaan lapuk; hanya sedikit singkapan filit yang segar Selain filit

    batuan metamorf yang merupakan batuan Pra-Tersier lainnya yaitu sekis.Singkapan sekis

    dijumpai setempat-setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di bagian barat G.Jokotuo,

    G.Konang, G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung Pendul, sedangkan di Jiwo Barat

    lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis ini terdapat sebagai fragmen dalam batulempung

    Eosen Formasi Wungkal-Gamping. Juga terdapat marmer sebagai kelompok dari batuan

    malihan yang singkapannya terdapat di daerah Jokotuo dan lereng utara Gunung Jabalkat.

    Terdapat menyisip di dalam filit, singkapan marmer ini memiliki sebaran tidak terlalu

    luas dan terpotong oleh sesar seperti yang terdapat di daerah Jokotuo. Umur batuan Pra-

    Tersier di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat diinterpretasikan berdasarkan kontak

    ketidakselarasan dengan batuan Eosen yang menumpang di atasnya.

    2. Formasi Wungkal dan Formasi Gamping. Formasi Wungkal dicirikan oleh kalkarenit

    dengan sisipan batupasir dan batulempung, sedangkan Formasi Gamping dicirikan oleh

    kalkarenit dan batupasir tufaan. Di Daerah Gamping (sebelah barat Kota Yogyakata,

    sebagai tipe lokasi), Formasi Gamping ini dicirikan oleh batugamping yang berasosiasi

    dengan gamping terumbu.Beberapa peneliti menafsirkan sebagai ketidakselarasan

    (Sumosusastro, 1956 dan Marks, 1957) dan peneliti lainnya menafsirkan hubungan kedua

    formasi tersebut selaras (Bothe, 1929, Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Surono et al

    (1989) menyebutnya sebagai Formasi GampingWungkal yang merupakan satu formasi

    yang tidak terpisahkan. Namun demikian semua para peneliti tersebut sepakat bahwa

    kedua formasi tersebut berumur Eosen Tengah-Eosen Atas.Di atas Formasi Wungkal dan

    Formasi Gamping ditutupi secara tidakselaras oleh sedimen volkanoklastik yang

    dikelompokkan sebagai : Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi

    Nglanggran dan Formasi Sambipitu.

    3. Formasi Kebo - Butak, terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan, serpih dan

    lanau. Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan intrusi diorit. Ketebalan

  • 37

    formasi ini sekitar 800 meter dan diendapkan di lingkungan laut, dan pada umumnya

    memperlihatkan endapan aliran gravitasi (gravity-flow deposits).

    Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan

    kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa

    batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya

    berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di

    bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai

    breksi andesit.

    Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil

    Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI, Globorotalia kuqleri

    BOLLI, Globorotalia siakensis LEROY, Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides

    primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil

    tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya

    adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara

    Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras

    Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari

    formasi ini lebih dari 650 meter. Pada umumnya beberapa peneliti menyebutnya sebagai

    Formasi Kebo-Butak yang berumur Oligosen Atas (N1-N3).

    4. Formasi Mandalika, lokasi tipe formasi ini terdapat di Desa Mandalika. Formasi ini

    memiliki ketebalan antara 80-200 m. Formasi ini tersusun oleh lava andesitik-basaltik,

    porfiri, petite, rhyolite dan dasit; dasit, lava andesitik, tuff dasit dengan dioritik dyke; lava

    andesitic basaltic trachytik dasitik dan breksia andesitic yang ter-prophyliti-kan; andesite,

    dasit, breksia volkanik, gamping kristalin; breksia, lava, tuff, dengan interkalasi dari

    batupasir dan batulanau yang memperlihatkan cirri endapan darat. Satuan ini beda fasies

    menjari dengan Anggota Tuff dari Formasi Kebo - butak.

    5. Formasi Semilir. Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi

    penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.

    Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian

    bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,

    Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).

    Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan,

    yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di

  • 38

    bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G.

    Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.

    Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan Ismoyowati

    (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian bawah formasi dan

    Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada bagian tengah formasi ditemukan

    Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globoquadrina altispira CUSHMAN

    dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis LEROY.

    Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen

    Awal-Miosen Tengah bagian bawah.

    Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara

    setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari dengan Formasi

    Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi

    Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang

    sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan

    gunungapi yang sangat besar dan merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan

    kaldera letusan (Bronto dan hartono, 2001).

    6. Formasi Nglanggran, Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah

    selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf

    dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang

    mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan

    sedikit basal, berukuran 2 50 cm. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir

    gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.

    Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto (1982,

    dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globigerina

    praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,

    Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan

    COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan

    Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera

    Globorotalia praemenardiii CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii

    BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa

    Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen

  • 39

    Tengah bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen

    Awal-Miosen Tengah bagian bawah.

    Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga

    tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530

    meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara

    tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya

    fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna

    merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga

    laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka

    lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di laut.

    7. Formasi Sambipitu. Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya

    Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar

    di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun

    menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Formasi ini tersusun oleh

    perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan batulanau, yang memperlihatkan ciri

    endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai adanya struktur slump skala besar. Satuan

    ini selaras di atas Formasi Nglanggran, dan merupakan endapan lingkungan laut.

    Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian

    ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih, batulanau

    dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan

    karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.

    Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi

    Nglanggran.

    Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki NEWTON

    dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina sumatrensis BRADY,

    Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina

    thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929).

    Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur

    formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil

    bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal

    dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan

    karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari

    kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).

  • 40

    8. Formasi Oyo. Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian

    bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh

    batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis

    tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang

    mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo.

    Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak

    selaras di atas Formasi Semilir, Formasi Nglanggran serta menjemari dengan Formasi

    Wonosari.

    Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara lain

    Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi

    PROVALE, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis

    RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929).

    Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik).

    9. Formasi Wonosari. Formasi ini tersingkap baik di Daerah Wonosari dan sekitarnya,

    membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu, batugamping bioklastik

    berlapis dan napal. Satuan batuan ini merupakan endapan karbonat paparan (carbonate

    plateform) pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (N9-N18). Formasi Wonosari ini

    mempunyai hubungan selaras di atas Formasi Oyo, akan tetapi di beberapa tempat, bagian

    bawah formasi ini saling berhubungan silang jari dengan Formasi Oyo.

    Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang

    terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk

    dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di

    daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan

    topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter.

    Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di

    bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan

    karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan

    sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.

    Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,

    diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini adalah

    Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona

    neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).

  • 41

    10. Formasi Kepek. Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh batugamping dan

    napal dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi satuan ini nenunjukkan ciri endapan

    paparan laut dangkal dan merupakan bagian dari sistem endapan karbonat paparan pada

    umur Miosen Akhir (N15-N18). Formasi ini mempunyai hubungan silang jari dengan

    satuan batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di atas batuan karbonat tersebut, secara

    tidakselaras terdapat satuan batulempung hitam, dengan ketebalan 10 meter. Satuan ini

    menunjukkan ciri sebagai endapan danau di Daerah Baturetno pada waktu Plistosen.

    Selain itu, Daerah setempat terdapat laterit berwarna merah sampai coklat kemerahan

    sebagai endapan terrarosa, yang pada umumnya menempati uvala pada morfologi karst. Di

    lokasi lainnya, hubungan antara sedimen volkanoklastik dan sedimen karbonat tersebut

    berubah secara berangsur (Surono et al, 1989).

    Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o dan kaya

    akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya Globorotalia

    plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotalia

    merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina

    sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan

    kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen.

    Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi Wonosari-Punung.

    Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam

    Bronto dan Hartono, 2001).

  • 42

    BAB 3

    GEOLOGI DAERAH NGALANG

    3.1. Geomorfologi

    Pengertian geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuk lahan dan proses

    yang mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuk

    lahan dengan proses dalam tatanan keruangan (Van Zuidam, 1979).

    Dalam pembagian satuan geomorfologi daerah telitian penulis mengacu pada

    klasifikasi morfologi menurut Van Zuidam, (1983).

    3.1.1. Dasar Pembagian Bentuk Lahan

    Dalam pembagian bentuk lahan penulis juga memperhatikan faktor - faktor yang

    mempengaruhi proses pembentukan bentang alam suatu daerah yang terdiri dari:

    a. Morfologi: studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum, meliputi:

    - Morfografi adalah susunan dari obyek alami yang ada di permukaan bumi,

    bersifat pemerian atau deskriptif suatu bentuk lahan, antara lain lembah, bukit, perbukitan, dataran,

    pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas aluvial, plato dan lain-lain.

    - Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, antara lain

    kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk lembah dan pola

    pengaliran. Dalam analisa kelerengan dapat diukur besaran kelerengan dengan rumus sebagai

    (klasifikasi kemiringan lereng,lihat tabel 3.1) berikut:

  • 43

    Tabel 3.1. Pembagian klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam, (1979).

    b. Morfogenesa: asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan serta proses-

    proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi, litologi penyusun dan proses

    dan proses geomorfologi. Morfogenesa meliputi:

    - Morfostruktur aktif, berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan dan

    pensesaran. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil gaya endogen yang

    dinamis termasuk gunung api, tektonik (lipatan dan sesar), misal : gunungapi, pegunungan antiklin

    dan gawir sesar.

    - Morfostruktur pasif, bentuk lahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe batuan

    maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya messa, cuesta, hogback dan

    kubah.

    - Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,

    gerakan masa dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan erat dengan hasil

    kerja gaya eksogen (air, es, angin dan gerakan tanah), misal gumuk pasir, undak sungai, pematang

    pantai dan lahan kritis.

    Secara garis besar susunan pembuatan peta geomorfologi berdasarkan aspek

    geomorfologi yang telah ada dapat dijelaskan dalam bagan alir penentuan satuan geomorfik

    berikut ini ( Gambar 3.1) :

  • 44

    Gambar 3.1. Bagan alir penentuan satuan geomorfik.

    3.1.2. Pola Pengaliran Daerah Ngalang.

    Pola pengaliran adalah kumpulan jalur-jalur pengaliran hingga bagian terkecilnya

    pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak, ditempati oleh sungai secara permanen.

    (Arthur Davis Howard, 1966).

    Berdasarkan sifat alirannya sungai di daerah telitian termasuk dalam sungai

    eksternal, yakni aliran air yang berada dipermukaan yang membentuk sungai maupun danau,

    kemudian berdasarkan genesanya pada derah telitian tergolong sebagai sungai dengan aliran

    subsekuen, yaitu sungai yang mengalir sepanjang jurus perlapisan batuan dan membentuk

    lembah sepanjang daerah lunak, seperti pada Sungai Ngalang, Sungai Oyo.

    Berdasarkan klasifikasi Arthur Davis Howard, (1966), maka di daerah

    penelitian terdapat dua jenis pola pengaliran, yaitu :

    1. Pola pengaliran subdendritik .

    3.1.2.1 Pola pengaliran subdendritik .

    Pola pengaliran subdendritik (Gambar 3.2) merupakan perkembangan dari pola

    dasar dendritik, karena pengaruh dari topografi yang memiliki kemiringan lereng antara

    landai hingga miring dan resistensi batuan dan tanah yang relatif seragam, sehingga

    dihasilkan bentukan pola pengaliran menyerupai cabang pohon, kemudian faktor pengontrol

    berupa struktur juga mempengaruhi, namun tidak dominan.

  • 45

    Gambar 3.2. Pola pengaliran ubahan subdendritik (A.D. Howard,1966)

    Pola pengaliran subdendritik ini mencakup secara keseluruhan (100%) dari pola

    pengaliran daerah penelitian.

    Gambar 3.3. Peta pola pengaliran daerah telitian dimana SD : Pola Pengaliran

    Subdendritik.

    3.1.3. Stadia Erosi Daerah Ngalang.

    Secara genetik pembentukan stadia erosi dipengaruhi oleh faktor iklim, relief

    (kelerengan), sifat resistensi batuan , siklus fluviatil, serta proses denudasional yang

  • 46

    berlangsung. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan topografi yang akhirnya

    membentuk topografi seperti sekarang.Proses pengerosian pada daerah penelitian

    diinterpretasikan sedang, dibuktikan dengan masih adanya punggungan dan masih adanya

    perbukitan dengan lereng yang curam, kemudian bentuk lembah di daerah penelitian

    percabangan sungai

    berukuran kecil , selain percabangan sungai kecil ,sungai besar juga terdapat pada daerah

    penelitian (Gambar 3.4) seperti pada Sungai Ngalang dengan lebar sungai sekitar 5-7 M.

    Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah

    penelitian adalah stadia dewasa (Gambar 3.1).

    Gambar 3.4. Gambar udara daerah telitian.

    3.1.4. Geomorfologi Daerah Ngalang.

    Pada hasil pengamatan daerah telitian dan interpretasi peta lembar Wonosari-Jabung,

    daerah telitian merupakan daerah homoklin. Hal ini tercermin dari kedudukan lapisan yang

    relatif ke arah selatan (homoklin). Ini mengindikasikan bahwa geomorfologi daerah telitian

    dikontrol oleh proses struktur geologi. Hasil dari proses struktur geologi ini adalah adanya

    perbukitan, lembah serta dataran homoklin. Proses erosi yang intensif membentuk, bukit dan

    U an morfologi yang hampir datar.

    Hubungan dengan litologi daerah telitian bahwa daerah yang relatif menonjol atau

    curam mempunyai intensitas tingkat resistensi yang lebih kuat daripada daerah yang

  • 47

    mempunyai tingkatan resistensi batuan yang tidak kuat yang ada di daerah yang lebih landai

    dan datar. Melihat dari fakta dan data ada bahwa daerah telitian ini dapat dikategorikan

    sebagai stadia geomorfik tingkat dewasa yang dikontrol oleh kemiringan lereng, resistensi

    batuan dan struktur geologi yang mempengaruhinya.

    Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi tersebut dengan disertai klasifikasi menurut

    Van Zuidam, (1983), maka bentuk lahan pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan

    menjadi 2 satuan geomorfik (lampiran Peta Geomorfologi) yaitu :

    1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural

    1.1 Subsatuan Geomorfik Perbukitan Homoklin (S1)

    1.2 Subsatuan Geomorfik Dataran Homoklin (S2)

    1.3 Subsatuan Geomorfik Lembah Homoklin (S3)

    2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial

    2.1 Subsatuan Geomorfik Dataran Banjir (F1)

    2.2 Subsatuan Geomorfik Dataran Alluvial (F2)

    3.1.4.1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural

    Bentukan asal struktural pada hal ini merupakan bentukan morfologi suatu daerah

    yang memiliki suatu bentukan yang khas yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas struktur

    geologi yang berkembang pada daerah tersebut yang berasal dari tenaga endogen sehingga

    menghasilkan bentukan morfologi tertentu.Pada daerah telitian struktur geologi sangat

    mempengaruhi pembentukan morfologi,dimana dapat diketahui bahwa struktur geologi yang

    mengontrol pada daerah telitian, yaitu berupa struktur yang terpengaruh oleh proses

    pemiringan atau tilting yang terjadi karena daerah telitian merupakan sayap selatan antiklin

    yang kemudian patah dengan sejumlah dan yang kemudian

    membentuk blok .

    Bentukan asal struktural pada daerah telitian terbagi menjadi 2 subsatuan geomorfik

    yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

    3.1.4.1.1.Subsatuan Geomorfik Perbukitan Homoklin (S1)

    Subsatuan goemorfik ini merupakan bentukan morfologi suatu perbukitan yang

    terletak pada daerah tinggian dimana memiliki kemiringan lerengnya tidak sama sebagai

    akibat dari kedudukan lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang cenderung curam.

    (Gambar 3.5).Bentukan morfologi ini tersebar di bagian utara daerah telitian, tersebar dari

    bagian barat hingga bagian timur dengan kemiringan lereng relatif agak curam (14-20 %, Van

  • 48

    Zuidam,1979) dan menempati sekitar 55% daerah telitian.Batuan penyusun morfologi ini

    berupa Satuan Batupasir Semilir dan Satuan Breksi Nglanggran serta memiliki pola

    pengaliran subdendritik.

    Gambar 3.5. Kenampakan subsatuan geomorfik Perbukitan Homoklin (S1), gambar

    diambil pada Daerah Kedokploso. Koordinat X:455937 ; Y:9131667. Arah kamera N 315 E, cuaca

    cerah.

    3.1.4.1.2. Subsatuan Geomorfik Dataran Homoklin (S2)

    Subsatuan geomorfik Dataran Homoklin (Gambar 3.6) menempati 37% dari seluruh

    daerah penelitian dengan relief yang relatif jauh lebih datar menempati daerah selatan dan

    melampar dari barat hingga timur daerah telitian, dengan topografi yang landai dan

    kemiringan lereng landai (3-7%), lereng searah, mempunyai pola kontur yang renggang,

    mempunyai kisaran elevasi 125-200 m dpal, dengan komposisi litologi terdari dari Batupasir

    vulkanik dengan sisipan Batupasir gampingan yang memiliki kemiringan lapisan kearah

    selatan pula. Subsatuan geomorfik ini miliki pola pengaliran subdendritk yang menunjukan

    arah kemiringan lereng yang relatif seragam, alasan mengapa daerah ini termasuk dalam

    subsatuan geomorfik dataran homoklin dikarenakan topografinya yang relatif landai dengan

    kedudukan lapisan yang relatif seragam pula, yaitu ke arah selatan.

  • 49

    Gambar 3.6. Kenampakan subsatuan geomorfik Perbukitan Homoklin (S2), gambar

    diambil pada Daerah Padangan. Koordinat X:451231 ; Y:9130940. Arah kamera N 280 E, cuaca

    cerah.

    3.1.4.1.3. Subsatuan Geomorfik Lembah Homoklin (S3)

    Subsatuan geomorfik lembah homoklin, menempati 2% dari seluruh daerah

    penelitian dengan kemiringan lereng relatif landai 3 7% sampai miring 8 13 %,

    mempunyai kisaran elevasi 150 250 m dpal, dengan komposisi lithologi terdari dari

    batupasir vulkanik dengan sisipan lempung yang memiliki kemiringan lapisan kearah selatan

    pula. Subsatuan geemorfik ini miliki pola pengaliran subdendritk, alasan mengapa daerah ini

    termasuk dalam subsatuan geomorfik lembah homoklin dikarenakan kemiringan lereng yang

    relatif datar dan kemiringan lapisan yang hampir sama atau seragam yaitu berarah utara

    selatan (Gambar 3.7).

    Gambar 3.7. Kenampakan subsatuan geomorfik Lembah Homoklin (S1), gambar diambil

    pada Daerah Kedokploso. Koordinat X:455937 ; Y:9131667. Arah kamera N 315 E, cuaca cerah.

    3.1.4.2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial

    Satuan geomorfik bentukan asal fluvial ini dikontrol oleh adanya proses

    pengerosian, sehingga dengan adanya proses erosi, maka akan dihasilkan bentukan morfologi

    yang mencirikan adanya proses erosi yang bekerja pada daerah tersebut seperti adanya tubuh

  • 50

    sungai yang berukuran besar pada daerah telitian serta adanya dataran banjir di yang

    terbentuk akibat banyaknya material erosi yang tertransport dan mengendap pada sisi tubuh

    sungai utama.

    3.1.4.2.1. Subsatuan Geomorfik Tubuh Sungai (F1)

    Subsatuan geomorfik tubuh sungai, menempati luasan 5% dari seluruh daerah

    penelitian, merupakan tubuh sungai pada Sungai Ngalang yang terletak di daerah Tengah

    lokasi penelitian lebar sungai mencapai 5-7 meter (Gambar 3.8), mengalir relative dari utara

    menuju selatan daerah penelitian. Bentuk tubuh sungai relatif berkelok-kelok (meandering)

    yang merupakan bedrock stream yaitu sungai yang mengalir diatas batuan penyusunnya

    dengan genesa pembentukannya termasuk pada sungai subsekuen, yaitu sungai yang mengalir

    sepanjang jurus perlapisan batuan, mempunyai elevasi kurang dari 150 mdpl.

    Gambar 3.8. Kenampakan subsatuan geomorfik tubuh sungai (F1), gambar diambil pada

    Daerah Nglaran Lor, memperlihatkan tubuh sungai Kali Ngalang. Koordinat X:453000 ;

    Y:9128000.Arah kamera N340E, cuaca cerah.

    3.1.4.2.2. Subsatuan Geomorfik Dataran Banjir (F2)

    Subsatuan geomorfik dataran banjir yang menempati luasan 2% dari seluruh daerah

    penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir datar (0-2%) , mempunyai

    kisaran elevasi antara 150-175 mdpl. Sub satuan geomorfik ini tersusun dari material lepas

    hasil erosi dan pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir, kerikil, hingga bongkah

  • 51

    yang terendapkan disekitar daerah aliran sungai utama. Subsatuan geomorfik ini terletak di

    bagian tengah daerah penelitian yaitu pada daerah sepanjang aliran sungai Ngalang (Gambar

    3.7).

    Gambar 3.9. Kenampakan subsatuan geomorfik dataran banjir (F2), gambar diambil pada

    Daerah Karangrejo, Koordinat X:452333 ; Y:9127803.Arah kamera N 260 E, cuaca cerah.

    3.2 Geologi

    3.2.1. Stratigrafi daerah telitian

    Penulis menyusun stratigrafi daerah telitian berdasarkan ciri ciri litologi yang dijumpai

    dilapangan dengan mengikuti pembagian dan tata nama stratigrafi dari Surono, 1992, guna

    mengetahui stratigrafi yang terkait dengan daerah telitian.

    Untuk pembagian satuan batuan, penulis menggunakan satuan tidak resmi yang mengacu

    pada pembagian tata nama yang sesuai dengan kaidah Sandi Stratigrafi Indonesia (1996). Secara

    umum daerah telitian didominasi oleh litologi batupasir, namun penulis berusaha membaginya

    kedalam satuan satuan batuan yang lebih detil berdasarkan karakteristik dari setiap litologi yang

    dominan. Urutan stratigrafi daerah telitian dari tua ke muda meliputi :

    1. Satuan Batupasir Semilir

    2. Satuan Breksi Nglanggran

    3. Satuan Batupasir Sambipitu

    4. Satuan Batugamping Oyo

    5. Satuan Pasir Lepas

    Dilihat dari susunan stratigrafi yang didapatkan dilapangan, dapat disimpulkan

    bahwa stratigrafi yang ada di daerah Ngalang dan sekitarnya sedikit berbeda dengan yang

  • 52

    telah disusun Bothe 1929 dan Surono 1992 dengan tidak hadirnya Satuan batuan dari Formasi

    Wonosari.

    Persebaran dari satuan batuan di atas dilihat pada peta Geologi(Lampiran 3).

    3.2.1.1 Satuan Batupasir Semilir

    3.2.1.1.1 Dasar Penamaan

    Penamaan Satuan Batupasir Semilir didasarkan pada lokasi tipe di G. Semilir,

    sebelah selatan Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung,

    breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit

    hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa

    Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto

    dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat

    Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-

    Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada

    tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460

    meter.

    3.2.1.1.2. Penyebaran dan Ketebalan

    Penyebaran Satuan Batupasir Semilir daerah telitian menempati luas 25 % dari seluruh

    luas daerah telitian. Singkapan pada satuan ini tersebar dibagian utara, barat dan timur daerah

    telitian. Lebih spesifiknya tersebar di desa Kacangan, Desa Magirrejo hingga Ngaski. Dari pengukuran

    penampang geologi, Satuan Batupasir Semilir memiliki ketebalan berkisar 750 - 900 meter .

  • 53

    Gambar 3.8. Kenampakan singkapan pada LP 67 di desa Magirejo dengan koordinat X =

    0453502 ,Y = 9132219. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat laut.

  • 54

    Gambar 3.9. Kenampakan inset singkapan pada LP 67 di desa Magirejo dengan koordinat

    X = 0453502 ,Y = 9132219. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap barat laut.

    Gambar 3.10. Kenampakan singkapan pada LP 90 di daerah dengan koordinat X =

    0455799, Y =9132177. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap utara.

  • 55

    A 1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    B C D E F H G I J K L M N O

    XPL PPL

    A 1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    B C D E F H G I J K L M N O

    XPL PPL

    Gambar 3.11. Kenampakan inset singkapan pada LP 90 di daerah dengan koordinat X =

    0455799, Y =9132177. Foto diambil pada cuaca cerah dengan lensa menghadap utara.

    3.2.1.1.3. Ciri Litologi

    Satuan Batupasir Semilir di daerah telitian (LP 90) dicirikan oleh dominasi litologi batupasir

    vulkanik berwarna kuning abu-abu, lunak - keras, struktur perlapisan laminasi, berukuran butir

    pasir lempung kasar, terpilah buruk, kemas terbuka fragmen: tuff, koral, matriks: batupasir halus

    sedang, semen karbonat.

    Hasil analisa petrografi (Lampiran AP-93, Lampiran AP-MSP2) menunjukkan sayatan :

    - Batu sedimen, warna-coklat, tekstur klastik, didukung oleh mud supported,

    ukuran butir 0,1 0,7 mm, subangular subrounded, terpilah buruk, kemas terbuka, batuan

    ini disusun oleh mineral mud (25%), kuarsa (15%), piroksen (2%), kuarsit (14%), opak (3%),

    litik tuff (34%), feldspar (2%), klorit (1%), dan kalsit (4%) dengan nama batuan Lithic

    Wacke (Gillbert, 1954). (Lampiran AP-93) (LP 93).

    // - Nicol 0 0.5 mm X Nicol 0

    0.5 mm

    Gambar 3.12. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol

    silang (kanan) pada sampel Lp 93.

    - Batu sedimen, warna-coklat, tekstur klastik, didukung oleh mud supported, ukuran

    butir 0,1 1,5 mm, subrounded subangular, terpilah buruk, kemas terbuka ,batuan ini disusun

    oleh kuarsa (31%), kuarsit (18%), feldspar (19%), lithic tuff (10%), oksida besi (8%), , dan mud (14%)

    dengan nama batuan Litchic Wacke (Gilbert, 1954). (Lampiran AP-MSP2) (Lintasan MS).

  • 56

    // - Nicol 0 0.5 mm X Nicol 0

    0.5 mm

    Gambar 3.13. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol

    silang (kanan) pada sampel MSP2.

    3.2.1.2.4. Penentuan Umur

    Berdasarkan data fosil planktonik yang didapatkan pada LP 94 (semilir bagian

    bawah), yaitu :

    Globoquadrina altispira

    Globorotalia siakensis

    Globigerina venezuelana

    Globigerina binaensis

    Globigerinoides primordius

    Globigerina tripartita

    Maka, Satuan Batupasir Semilir ( bawah ) ini terendapkan pada umur N 4 5

    (awal) atau pada kala Miosen Awal ( Lampiran AF-01 ).

    Sedangkan dari data fosil planktonik yang didapatkan pada LP 90 (semilir

    bagian atas), yaitu :

    Globoquadrina dehiscens

    Globoquadrina altispira

    Globorotalia siakensis

    Globigerina venezuelana

    Globigerina binaensis

    Maka, Satuan Batupasir Semilir ( bawah ) ini terendapkan pada umur N 4 5 (awal -

    akhir) atau pada kala Miosen Awal ( Lampiran AF-02 ).

    A 1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    B C D E F H G I J K L M N O

    XPL PPL

    A

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    B C D E F H G I J K L M N O

    XPL

  • 57

    Dari pengamatan superposisi pada Satuan Batupasir Semilir yang berada di

    bagian tengah daerah telitian terhadap Satuan Breksi Nglanggran dari penampang geologi

    sayatan A menunjukkan posisi Satuan Batupasir Semilir lebih tua dari breksi

    Nglanggran.

    3.2.1.2.5. Lingkungan Pengendapan

    Berdasarkan fosil benthonik yang didapatkan pada LP 94 (semilir bagian bawah),

    yaitu :

    Jaculella acuta

    Botellina labyrinthica

    Lingulina seminuda

    Dentalina subsolita.

    Didapatkan Satuan Batupasir Semilir ini terendapkan pada lingkungan kedalaman

    Bathial Bawah ( Barker, 1960 ) ( Lampiran AF-01 ).

    Sedangkan fosil benthonik yang didapatkan pada LP 90 (semilir bagian atas), yaitu :

    Bulimina pupoldes

    Gullulina yabei

    Virgulina bradyi

    Cassidulinoides sp.