gerontiik irma

52
KEPERAWATAN GERONTIK ASKEP PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN (PPOK) Oleh Kelompok 8 Asfari Prabasari (010109a007) Citra Tri Endebieb (010109a018) Erina Oktavianingrum (010109a030) I Komang Agus Nopik (010109a044) Irma Ariani (010109a055) L alu Ilman Ariefan (010109a068) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES NGUDI WALUYO

Upload: pramudipta-wn

Post on 27-Oct-2015

53 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

askep gerontik ppok

TRANSCRIPT

KEPERAWATAN GERONTIK

ASKEP PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERNAFASAN (PPOK)

Oleh

Kelompok 8

Asfari Prabasari (010109a007)

Citra Tri Endebieb (010109a018)

Erina Oktavianingrum (010109a030)

I Komang Agus Nopik (010109a044)

Irma Ariani (010109a055)

L alu Ilman Ariefan (010109a068)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES NGUDI WALUYO

UNGARAN

2012

Kata Pengantar

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmatnya kita dapat menyusun laporan Asuhan Keperawatan . Asuhan

Keperawatan ini adalah berisi mengenai gangguan pada lansia dengan penyakit

pernafasan (PPOK) yang akan mempermudah dalam penyusunan laporan kasus

sesuai dengan keadaan pasien. Selain itu asuhan keperawatan ini juga digunakan

sebagai acuan pencapaian target praktek asuhan keperawatan tentang PPOK pada

lansia. Ilmu keperawatan kini telah berkembang sangat pesat, oleh karena itu

pembaca atau pembimbimng dengan rendah hati diharapkan dapat memberikan

bimbingan untuk perbaikan.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomik-fisiologik dan dapat

timbul pula penyakit-penyakit pada sistem pernafasan. Usia harapan hidup

lansia di Indonesia semakin meningkat karena pengaruh status kesehatan,

status gizi, tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan sosial ekonomiyang

semakin meningkat sehingga populasi lansia pun meningkat. Menurut ilmu

demografiIndonesia dalam masa transisi demografi yaitu perubahan pola

penduduk berusia muda ke usiatua. Infeksi saluran nafas bagian bawah akut

dan tuberkulosis paru menduduki 5 penyakitterbanyak yang diderita oleh

masyarakat. Belum banyak dijumpai laporan para ahli tentanginsidens PPOK

orang tua usia lanjut. Insiden PPOL usia lanjut yang dirawat di RSUP

Dr.Kariadi tahun 1990-1991 adalah sebesar 5,6% (Rahmatullah, 1994).

Penyakit paru-paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan suatu istilah

yang sering digunakanuntuk sekelompok penyakit paru-paru yang

berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatanresistensi terhadap aliran

udara. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang ditandaidengan

sebutan PPOK adalah : Bronkhitis, Emifisema paru-paru dan Asma bronkial.

PerjalananPPOK yang khas adalah panjang dimulai pada usia 20-30 tahun

dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai pembentukan sedikit sputum

mukoid. Mungkin terdapat penurunan toleransiterhadap kerja fisik, tetapi

biasanya keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung dalam jangkawaktu

yang lama. Akhirnya serangan brokhitis akut makin sering timbul, terutama

pada musimdingin dan kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada

waktu mencapai usia 50-60 an penderita mungkin harus mengurangi aktifitas.

Penderita dengan tipe emfisematosa yangmencolok, perjalanan penyakit

tampaknya tidak dalam jangka panjang, yaitu tanpa riwayat batuk  produktif

dan dalam beberapa tahun timbul dispnea yang membuat penderita menjadi

sangatlemah. Bila timbul hiperkopnea, hipoksemia dan kor pulmonale, maka

prognosis adalah buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah

timbulnya penyakit.

(Price & Wilson, 1994 : 695)

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Mahasiswa mampu memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan

yang diberikan kepadaLansia dengan Masalah Pernafasan (PPOK).

2. Tujuan khusus

- Mahasiswa mengetahui tentang definisi dari PPOK pada lansia.

- Mahasiswa mengetahui penyebab dari PPOK.

- Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala dari PPOK

- Mahasiswa mengetahui Penatalaksanaan PPOK pada lansia.

- Mahasiswa mengetahui Pengkajian, Diagnosa, Intervensi, Fokus

intervesi, dan Evaluasi denganPPOK pada lansia.

BAB I

TINJAUAN TEORI

Pengaruh Menua Pada Sistem Pernafasan

Dengan pertambahan umur, ditambah dengan adanya faktor-faktor

lingkungan yang lain, terjadilah perubahan anatomik-fisiologik tubuh. Pada

tingkat awal perubahan itu mungkin merupakan homeostatis normal, kemudian

bisa timbul homeostatis abnormal atau reaksi adaptasi dan paling akhir terjadi

kematian sel (Kumar et al, 1992).

Salah satu organ tubuh yang mengalami perubahan anatomik-fisiologik

akibat bertambahnya usia seseorang adalah sistem pernafasan.

Pada usia lanjut, selain terjadi perubahan anatomik-fisiologik dapat timbul

pula penyakit-penyakit pada sistem pernafasan. Umumnya, penyakit-penyakit

yang diderita kelompok usia lanjut merupakan : (1) kelanjutan penyakit yang

diderita sejak muda (2) akibat gejala sisa penyakit yang pernah diderita

sebelumnya (3) penyakit akibat kebiasaan-kebiasaan tertentu di masa lalu

(misalnya kebiasaan merokok, minum alkohol dan sebagainya) dan (4) penyakit-

penyakit yang mudah terjadi akibat usia lanjut. Penyakit-penyakit paru yang

diderita kelompok usia lanjut juga mengikuti pola penyebab atau kejadian tersebut

(Mangunegoro, 1992.)

Perubahan Anatomik-Fisiologik Sistem Pernafasan

Pada usia lanjut terjadi perubahan-perubahan anatomik yang mengenai

hampir seluruh susunan anatomik tubuh, dan perubahan fungsi sel, jaringan atau

organ yang bersangkutan.

1. Perubahan Anatomik Sistem Pernafasan

Yang mengalami perubahan adalah :

a. Dinding dada : tulang-tulang mengalami osteoporosis, tulang-tulang rawan

mengalami osifikasi, terjadi perubahan bentuk dan ukuran dada. Sudut

epigastrik relatif mengecil dan volume rongga dada mengecil.

b. Otot-otot pernafasan : mengalami kelemahan akibat atrofi.

c. Saluran nafas : akibat kelemahan otot, berkurangnya jaringan elastis cincin

bronkus dan alveoli menyebabkan lumen bronkus mengecil. Cincin-cincin

tulang rawan bronkus mengalami perkapuran (Widjayakusumah, 1992;

Bahar, 1990).

d. Struktur jaringan parenkim paru : bronkiolus, duktus alveolaris dan

alveolus membesar secara progresif, terjadi emfisema senilis (Bahar,

1992). Struktur kolagen dan elastin dinding saluran nafas perifer

kualitasnya mengurang sehingga menyebabkan elastisitas jaringan

parenkim paru mengurang. Penurunan elastisitas jaringan parenkim paru

pada usia lanjut dapat karena menurunnya tegangan permukaan akibat

pengurangan daerah permukaan alveolus

(Taylor et al, 1989; Levinzky, 1995; Bahar, 1990).

2. Perubahan-Perubahan Fisiologik Sistem Pulmonal

Perubahan fisiologik fungsi pada sistem pernafasan yang terjadi antara lain :

a. Gerak pernafasan : adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun

volume rongga dada akan merubah mekanika pernafasan, amplitudo

pernafasan menjadi dangkal, timbul keluhan sesak nafas. Kelemahan otot

pernafasan menimbulkan menimbulkan penurunan kekuatan gerak nafas,

lebih–lebih apabila terdapat deformitas rangka dada akibat penuaan

(Bahar, 1990)

b. Distribusi gas : Perubahan struktur anatomik saluran nafas akan

menimbulkan penumpukan udara dalam alveolus (air trapping) ataupun

gangguan pendistribusian udara nafas dalam cabang-cabang bronkus.

c. Volume dan kapasitas paru menurun. Hal ini disebabkan karena beberapa

faktor: (1) kelemahan otot nafas, (2) elastisitas jaringan parenkim paru

menurun, (3) resistensi saluran nafas (menurun sedikit). Secara umum

dikatakan bahwa pada usia lanjut terjadi pengurangan ventilasi paru

(Bahar, 1990; Widjajahkusumah, 1992)

d. Gangguan transport gas.

Pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang

penyebabnya terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi.

(Mangunegoro, 1992).

Selain itu diketahui bahwa pengambilan O2 oleh darah dari alveoli (difusi)

dan transport O2 ke oleh jaringan-jaringan berkurang, terutama terjadi

pada saat melakukan olah raga. Penurunan pengambilan O2 maksimal

disebabkan antara lain karena : (1) berbagai perubahan pada jaringan paru

yang menghambat difusi gas, dan (2) karena berkurangnya aliran darah ke

paru akibat turunnya curah jantung

(Widyakusumah, 1992).

e. Gangguan perubahan ventilais paru.

Pada usia lanjut terjadi pengaturan ventilasi paru, akibat adanya penurunan

kepekaan kemoreseptor perifer, kemoreseptor sentral ataupun pusat-pusat

pernafasan dimedulla oblongata dan pons terhadap rangsangan berupa

penurunan PaO2, peninggianPaCO2, perubahan pH darah arteri dan

sebagainya

(Bahar, 1990).

3. Faktor-Faktor Yang Memperburuk Fungsi Sistem Pulmonal

Selain penurunan fungsi paru akibat proses penuaan, terdapat beberapa faktor

yang dapat memperburuk fungsi paru (Silverman dan Speizer, 1996: Tim

Pneumobil Indonesia, 1994). Faktor-faktor yag memperburuk fungsi paru

antara lain :

a. Faktor merokok

Merokok akan memperburuk fungsi paru, yaitu terjadi penyempitan

saluran nafas. Pada tingkat awal, saluran nafas akan mengalami obstruksi

dan terjadi penurunan nilai VEP1 yang besarnya tergantung pada beratnya

penyakit paru tadi. Pada tingkat lanjut dapat terjadi obstruksi yang

iereversibel, timbul penyakit baru obstruktif kronik (PPOK)

(Silverman dan Speizer, 1996; Burrows, 1990).

b. Obesitas

Kelebihan berat badan dapat memperburuk fungsi paru seseorang. Pada

obesitas, biasanya terjadi penimbunan lemak pada leher, dada, dan dinding

perut yang akan mengganggu compliance dinding dada, berakibat

penurunan volume paru atau terjadi keterbatasan gerakan pernafasan

(restriksi) dan timbul gangguan fungsi paru tipe restriktif

(Taylor et al, 1989; Levinxky, 1995.

c. Imobilitas

Imobilitas akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-

otot berkontraksi, sehingga kapasitas vital paksa atau volume paru akan

“relatif” berkurang. Imobilitas karena kelelahan otot-otot pernafasan pada

usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru (ventilasi paru). Faktor-faktor

lain yang menimbulkan imobilitas (paru), misalnya efusi pleura,

pneumotoraks, tumor paru dan sebagainya (Mangunegoro, 1992).

Perbaikan fungsi paru dapat dilakukan dengan menjalankan olahraga

secara intensif

(Rahmatullah, 1993).

d. Operasi

Tidak semua operasi (pembedahan) mempengaruhi faal paru. Dari

pengalaman para ahli diketahui bahwa yang pasti memberikan

pengaruh faal paru adalah : (1) pembedahan toraks (jantung dan paru);

(2) pembedahan abdomen bagian atas; dan (3) anestesi atau jenis obat

anestesi tertentu. Perubahan fungsi paru yang timbul, meliputi

perubahan proses ventilasi, distribusi gas, difusi gas serta perfusi darah

kapiler paru. Adanya perubahan patofisiologik paru pasca bedah

mudah menimbulkan komplikasi paru : atelektasis, infeksi atau sepsis

dan selanjutnya mudah terjadi kematian karena timbulnya gagal nafas

(Rahmatullah, 1997).

4. Patogenesis Penyakit Paru Pada Usia Lanjut

Mekanisme timbulnya penyakit yang menyertai usia lanjut dapat dijelaskan

atau dapat dikaitkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada usia

lanjut. Perubahan-perubahan tersebut adalah :

a. Perubahan anatomik-fisiologik

Dengan adanya perubahan anatomik-fisiologik sistem pernafasan

ditambah adanya faktor-faktor lainnya dapat memudahkan timbulnya

beberapa macam penyakit paru : bronkitis kronis, emfisema paru, PPOK,

TB paru, kanker paru dan sebagainya.

(Mangunegoro, 1992; Davies, 1985; Widjayakusumah, 1992;

Rahmatullah, 1994; Suwondo, 1990 a, 1990 b; Yusuf, 1990).

b. Perubahan daya tahan tubuh

Pada usia lanjut terjadi penurunan daya tahan tubuh, antara lain karena

melemahnya fungsi limfosit B dan T (Subowo, 1993; Roosdjojo dkk,

1988), sehingga penderita rentan terhadap kuman-kuman patogen,

virus, protozoa, bakteri atau jamur.

(Haryanto dan Nelwan, 1990).

c. Perubahan metabolik tubuh

Pada orang usia lanjut sering terjadi perubahan metabolik tubuh, dan

paru dapat ikut mengalami perubahan. Penyebab tersering adalah

penyakit-penyakit metabolik yang bersifat sistemik : diabetes mellitus,

uremia, artritis rematoid dan sebagainya. Faktor usia peranannya tidak

jelas, tetapi lamanya menderita penyakit sistematik mempunyai andil

untuk timbulnya kelainan paru tadi

(Davies, 1988).

5. Perubahan respons terhadap obat

Pada orang usia lanjut, bisa terjadi bahwa penggunaan obat-obat tertentu

akan memberikan respons atau perubahan pada paru dan saluran nafas,

yang mungkin perubahan-perubahan tadi tidak terjadi pada usia muda.

Contoh, yaitu penyakit paru akibat idiosinkrasi terhadap obat yang sedang

digunakan dalam pengobatan penyakit yang sedang dideritanya, yang

mana proses tadi jarang terjadi pada usia muda

(Davies, 1985).

6. Perubahan degeneratif

Perubahan degeneratif merupakan perubahan yang tidak dapat dielakkan

terjadinya pada individu-individu yang mengalami proses penuaan.

Penyakit paru yang timbul akibat proses (perubahan) degeneratif tadi,

misalnya terjadinya bronkitis kronis, emfisema paru, penyakit paru

obstruktif menahun, karsinoma paru yang terjadinya pada usia lanjut dan

sebagainya

(Davies, 1985).

7. Pencegahan Penyakit Paru Pada Usia Lanjut

Proses penuaan pada seseorang tidak bisa dihindari. Perubahan struktur

anatomik maupun fisiologik alami juga tidak dapat dihindari. Pencegahan

terhadap timbulnya penyakit-penyakit paru pada usia lanjut dilakukan

pada prinsipnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan

memperbaiki keadaan gizi, menghilangkan hal-hal yang dapat

menurunkan daya tahan tubuh, misalnya menghentikan kebiasaan

merokok, minum alkohol dan sebagainya.

Pencegahan terhadap timbulnya beberapa macam penyakit dilakukan

dengan cara yang lazim.

a. Usaha pencegahan infeksi paru / saluran nafas

Usaha untuk mencegahnya dilakukan dengan jalan menghambat,

mengurangi atau meniadakan faktor-faktor yang mempengaruhi

timbulnya infeksi. Hal positif yang dapat dilakukan misalnya dengan

melakukan vaksinasi dengan vaksin pneumokok untuk menghindari

timbulnya pneumoni, tetapi sayangnya pada usia lanjut vaksinasi ini

kurang berefek.

(Mangunegoro, 1992).

b. Usaha mencegah timbulnya TB baru

Yang bisa dilakukan ialah menghindari kontak person dengan

penderita TB paru atau menghindari cara-cara penularan lainnya

c. Usaha pencegahan timbulnya PPOK atau karsinoma paru

Sejak usia muda, bagi orang-orang yang beresiko tinggi terhadap

timbulnya kelainan paru (PPOK dan karsinoma paru), perlu dilakukan

pemantauan secara berkala : (1) pemeriksaan foto rontgen toraks, dan

(2) pemeriksaan faal paru, paling tidak setahun sekali. Sangat

dianjurkan bagi mereka yang beresiko tinggi tadi (perokok berat dan

laki-laki) menghindari atau segera berhenti merokok.

(Mangunegoro, 1992).

Penyaki Paru Obstruksi Kronik Pada Lansia

A. Definisi

1. Menurut Mansunegoro, 1992

PPOK adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru

berupa memanjangnya periode ekspira yang disebabkan oleh adanya

penyempitan saluran nafas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam

masa observasi beberapa waktu

2. Menurut Black. J. M. & Matassarin,.E. J. 1993.

PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan

udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis

Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale.

3. Menurut Enggram, B. 1996

Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara terus

menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3

kondisi berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma

Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi

dari penyakit primer.

Termasuk dalam kelompok PPOK adalah Bronkhitis Kronik, Emfisema

Paru dan Asma :

a. Bronkhitis Kronik

Didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung secara

3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 600).

Bronchitis kronis adalah gangguan paru obstruktif yang ditandai

produksi mukus berlebihan di saluran napas bawah dan menyebabkan

batuk kronis. Kondisi ini terjadi selama setidaknya 3 bulan berturut-

turut dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 572)

b. Emfisema Paru

Didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar

Bronkiolusterminal dengan kerusakan dinding alveoli

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 602).

Emfisema adalah penyakit paru obstruksi kronis dengan karakteristik

penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveolus yang

berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan pelebaran ruang distal

udara ke bronkiolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya di

bagian sentral lobus, dalam hal ini yang paling terpengaruh adalah

integritas dinding bronkiolus, atau dapat mengenai paru secara

keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan alveolus

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 573)

c. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel

dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap

stimuli tertentu

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 611).

Asma adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai inflamasi

saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini

menyebabkan produksi mukus yang berlebih dan menumpuk,

penyumbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 565)

B. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui.Timbulnya penyakit ini dikaitkan

dengan faktor-faktor resiko yang terdapat pada penderitaantara lain:

1. Merokok sigaret yang berlangsung lama

2. Polusi udara

3. Infeksi paru berulang

4. Umur 

5. Jenis kelamin

6. Ras

7. Defisiensi alfa-1 antitripsin

8. Defisiensi anti oksidan dll

Pengaruh dari masing-masing faktor-faktor resiko terhadap PPOK adalah

saling memperkuatdan faktor merokok dianggap yang paling dominan dalam

menimbulkan penyakit ini

( Dharmago& Martono, 1999 : 383 ).

C. Manifestasi Klinik

1. Bronkhitis Kronik

a. Batuk yang sangat produktif, purulen, dan mudah memburuk dengan

inhalasi iritan, udara dingin, atau infleksi.

b. Produksi mucus dalam jumlah sangat banyak.

c. Sesak napas dan dispnea.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 566)

2. Emfisema Paru

a. Terperangkatnya udara akibatnya elastisitas paru menyebabkan dada

mengembang(peningkatan diameter anterior-posterior)

b. Bunyi napas tidak ada pada saat auskultasi.

c. Penggunaan otot aksesoris pernapasan.

d. Takipnea (peningkatan frekuensi pernapasan) akibat hipoksia dan

hiperkapsia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada penyakit

ini efektif, sebagian besar individu yang mengidap empisema tidak

memperhatikan perubahan gas darah merah arteri yang bermakna

samapi penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak

dapat mengatasi hipoksia atau hiperkapnia. Pada akhirnya, semua

nilai gas darah merah memburuk dan terjadi hipoksia, hiperkapnia,

dan asidosis.

e. Depresi system saraf pusat dapat terjadi akibat tingginya kadar

karbon dioksida(narcosis karbon dioksida)

f. Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronchitis kronik adalah

pada emfisema tidak terjadi pembentukan sputum.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 573)

3. Asma

a. Dispnea yang bermakna.

b. Batuk,terutama di malam hari.

c. Pernapasan yang dangkal dan cepat.

d. Mengi yang dapat terdegar pada auskultasi paru.Biasanya mengi

terdegar hanya saat ekspirasi,kecuali kondisi pasien parah.

e. Peningkatan usaha bernapas,ditandai dengan retrasi dada,di sertai

perburukan kondisi,napas cuping hidung.

f. Kecemkasan, yang berhubungan dengan ketidakmampuan mendapat

udara yang cukup.

g. Udara terperangkat karena pasien obstruksi aliran udara, terutama

terlihat selama ekspirasi pada pasien asma, kondisi ini terlihat dengan

memanjangnya waktu ekspirasi.

h. Di antarta serangan asmatik, individu biasanya asimtomatik, akan

tetapi, dalam pemeriksaan perubahan fungsi paru mungkin terlihat

bahkan di antara serangkaian pada pasien yang memiliki asma

persisten.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 566)

4. PPOK

1. Batuk yang sangat produktif, puruken, dan mudah memburuk oleh

iritan-iritan inhalan, udaradingin, atau infeksi.

2. Sesak nafas dan dispnea.

3. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan

dada mengembang.

4. Hipoksia dan Hiperkapnea.

5. Takipnea.

6. Dispnea yang menetap

( Corwin , 2000 : 567)

D. Patofisiologi

a. Bronkhitis Kronik

Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir dan

inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang

mensekresi lendir dan sel-sel globet meningkat jumlahnya, fungsi silia

menurun, bronkiolus menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang

berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk

fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang

berperan penting dalam menghancurkan partikel asing, termasuk bakteri.

Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan.

Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik

yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin terjadi perubahan

paru yang irreversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan

bronkiektasis.

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 602).

b. Emfisema

Pada emfisema, beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas

yaitu : inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang

berlebihan, kehilangan recoil elastik jalan napas, dan kolaps bronkiolus

serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi.

Karena dinding alveoli mengalami kerusakan (suatu proses

dipercepat oleh infeksi kambuhan), area permukaan alveolar yang kontak

langsung dengan kapiler paru secara kontinu, menyebabkan peningkatan

ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi)

dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen

mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi CO2

dalam darah arteri (disebut hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis

respiratorius

Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring

kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan

ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahanakan tekanan darah yang

tinggi dalam arteri pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah

kanan adalah salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti,

edema tungkai (edema dependen), distensi vena leher, atau nyeri pada

region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.

Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu

untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi.

Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru-paru yang

mengalami emfisema memperberat masalah.

Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik (ditandai

oleh peningkatan tahanan jalan napas) ke aliran masuk dan aliran keluar

udara dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru-paru, dibutuhkan

tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang

adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi

selebihnya adalah salah satu inflasi.

Daripada menjalani aksi pasif involunter. Ekspirasi menjadi aktif dan

membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada

menjadi kaku, dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya. Dada seperti tong

(barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elestisitas

paru karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada

untuk mengembang.

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana

tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya, menjadi

membulat atau cembung. Beberapa pasien membungkuk kedepan untuk

dapat bernapas, menggunakan otot-otot aksesori pernapasan. Retraksi fosa

supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu

melengkung ke depan. Pada penyakit lebih lajut, otot-otot abdomen juga

berkontraksi saat inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas

vital. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak

memungkinkan. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio

dari volume ekspirasi kuat dalam satu detik dengan kapasitas vital

(PEV1;VC) rendah. Hal ini terjadi kerena elestisitas alveoli sangat

menurun. Upaya yang dibutuhkan pasien untuk menggerakkan udara dari

alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang menyempit

meningkatkan upaya pernapasan. Kemampuan untuk mengadaptasi

terhadap perubahan kebutuhan oksigen sangat terganggu.

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 602).

c. Asma

Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi

disebakan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini: (1) kontraksi otot-otot

yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas, (2)

pembengkakan membran yang melapisi bronki, dan (3) pengisian bronki

dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan klenjar

mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli

menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru.

Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang

paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf

otonom.

Beberapa individu dengan asma mengalami respons imun yang

buruk terhadap lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan (IgE)

kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap

antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan

produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,

prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (

SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot

paru polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme,

pembengkakan membran mukosa, dan membentuk mukosa sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkhial diatur

oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopati

atau non alergi. Ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor

seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah

asetikolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetikolin ini secara

langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan

mediator kimiawi yang dibahas. Individu dengan asma dapat mempunyai

toleransi terhadap respon parasimpatis.

Selain itu, reseptor a- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis

terletak dalam bronki. Ketika reseptor a-adrenergik dirangsang, terjadi

bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang

dirangsang. Keseimbangan antara reseptor a- dan β-adrenergik

dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi

reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP yang mengarah pada

peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast

bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan

tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan

menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang dianjurkan adalah bahwa

penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya,

asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan

konstriksi otot polos.

(Brunner dan Suddarth, 2002 : 602).

Faktor – faktor resiko yang telah disebutkan diatas akan mendatangkan proses

inflamasi bronkusdan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus

terminal.Akibat dari kerusakan yangtimbul akan terjadi obstruksi bronkus kecil

atau bronkiolus terminal, yang mengalami penutupanatau obstruksi awal fase

ekspirasi.Udara yang pada saat inspirasi mudah masuk ke dalam alveoli,saat

ekspirasi banyak yang terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan

udara atau air trapping. Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak

nafas dengan segala akibat – akibatnya.Adanya obstruksi dini saat awal

ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi danmenimbulkan pemanjangan

fase ekspirasi

( Dharmojo & Martono,1999 : 384 )

E. Pemeriksaan Diagnostik

1. Bronkhitis Kronik

a. Pemeriksaan fungsi paru memperlihatkan penurunan FEV 1 dan

kapasitas vital.

b. Analisis gas darah memperlihatkan penurunan oksigen arteri dan

peningkatan karbondioksida arteri.

c. Pemeriksaan sinar X toraks dapat membuktikan adanya bronchitis

kronik dan fibrosis jaringan paru.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 572)

2. Emfisema

a. Hasil yang abnormal pada pemeriksaan fungsi paru, termasuk

penurunan hasil pengukuran FEV 1 (volum ekspirasi paksa),

penurunan kapasitas vital, dan peningkatan volume residu (udara yang

tersisa di dalam saluran napas setiap kali bernapas) mengakibatkan

penurunan elasitas paru.

b. Seorang perkembangan penyakit, analisa gas darah yang pertama kali

menunjukan hipoksia. Pada tahap lanjut penyakit, kadar karbon

dioksida juga dapat mengalami peningkatan.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 574)

3. Asma

a. Asma didiagnosis menggunakan spirometri, alat yang mengukur dan

mengidentifikasikan penurunan kapasitas vital dan penurunan laju

aliran ekspirasi puncak (maksimum). Selama serangan asmatik,

volume ekspirasi maksimum dan laju maksimum ekspirasi menurun.

b. Untuk mengevaluasi gejala asma di rumah, tersedia peak flowmeter.

Dengan alat peak flowmeter, FEV (forced flow rate) maksimum, yang

juga disebut peak flow, diukur selama serangan dan selama waktu di

antara episode asmatik. (Keteragan: karena merupakan flowmeter

pribadi jangan hanya mengukur ekshalasi dalam 1 detik, FEV akan

memberi nilai yang sedikit berbeda dari pengukuran FEV yang lebih

akurat). Nilai EFV terbaik yang diukur sendiri oleh penderita

dibandingkan dengan yang dihasilkan selama serangan, individu atau

anggota keluarga dapat mengenali gejala ringan versus gejala sedang

atau berat yang memburuk. Intervensi terapeutik atau darurat dapat

segera diberikan.

c. Individu yang memiliki asma biasanya memperlihatkan pola diunal,

dengan hasil peak flowmeter lebih buruk secara bermakna pada jam-

jam awal setelah tengah malam dibandingkan dengan siang hari

menjelang sore. Hal ini mungkin berhubungan dengan perburukan

gejala karena terpajan udara malam yang dingin atau bhubungan

dengan perubahan hormon diurnal seperti kortisol, yang diketahui

memberi efek reaksi inflamasi.

d. Saturasi hemoglobin dengan oksigen (saturasi oksigen) mungkin

diukur pada individu mengetahui bagaimana darah teroksigenasi

dengan baik pada individu yang memperlihatkan gejala asmatik.

Teknik ini menempatkan sensori di jari dan mendapatkan informasi

dengan menilai warna darah mengalir di dalamnya. Hemoglobin yang

tidak tersaturasi berwarna lebih gelap dibandingkan yang tersatu tidak

tersaturasi berwarna gelap dibandingkan yang tersaturasi. Alat ini

mudah digunakan dalam tatanan klinis dan memberi petunjuk cepat

kemampuan pasien untuk mengalirkan udara.

e. Analisa gas darah mungkin memperlihatkan penurunan konsentrasi

oksigen arteri, dan pada awalnya alkalosis respiratorik karena karbon

dioksida dikeluarkan bersama pernapasan yang cepat. Apabila kondisi

menetap dan memburuk, dapat terjadi asidosis respiratorik akibat

stasus asmatikus.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 568)

4. Pemeriksaan Diagnostik

a. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik

b. Sinar-X dada

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 575)

F. Komplikasi

1. Bronkhitis Kronik

a. Hipertensi paru dapat terjadi akibat vasokontriksi hipoksik paru yang

kronis, yang akhirnya menyebabkan kor pulmonalise.

b. Dapat terjadi jari tabuh di segmen ujung jari, mengindikasikan stres

hipoksik yang kronis.

c. Polisitemia (peningkatan konsentrasi sel darah merah) terjadi akibat

hipoksia kronis dan stimulasi sekresi eritropoietin, disertai sianosis,

yang memberi warna kebiruan pada kulit.

d. Kanker paru.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 566)

2. Emfisema

a. Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksia paru kronik, yang

akhirnya menyebabkan kor pulmonalise.

b. Penurunan kualitas hidup pada pengidap penyakit ini yang parah.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 575)

3. Asma

Stasus asmatik adalah keadaan spases bronkiolus berkepanjangan yang

mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat

terjadi pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat

meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan oksigen juga

meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat

memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup

untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus

pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat

menyebabkan pneumotoraks akibat besarnnya tekanan untuk melakukan

ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis

respiratorik ,gagal napas, dan kematian.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 569)

4. PPOK

a. Hipertensi paru yang menyebabkan kor pulmonalise

b. Pneumotoraks

G. Penatalaksanaan

1. Bronkhitis Kronik

a. Penyuluhan kesehatan agar pasien menghindari pajangan iritan lebih

lanjut, terutama asap rokok.

b. Terapi antibody profilaktik terutama pada musim dingin, untuk

mengurangi insiden infeksi saluran napas bawah, karena setiap infeksi

akan semakin meningkat pembentukan mukus dan pembengkakan.

c. Karena banyak pasien yang mengalami spasme napas akibat bronchitis

kronis yang mirip dengan spasme pada asma kronis, individu sering

diberikan bronkodilator.

d. Obat anti-inflamasi menurunan produksi mukus dan mengurangi

sumbatan.

e. Ekspektoran dan peningkatan asupan cairan untuk mengencerkan

mukus.

f. Mungkin diperlukan terapi oksigen.

g. Vaksinasi terhadap pneumonia pneumokokus sangat dianjurkan.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 573)

2. Emfisema

Pengobatan emfisema bertujuan menghilangkan gejala dan mencegah

perburukan kondisi penyakit, Emfisema tidak dapat disembuhkan .

Terapi antara lain

a. Mendorong individu untuk berhenti merokok .

b. Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara

yang terperangkap.

c. Memberi pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara untuk

menghemat energi.

d. Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar dapat

menjalankan aktivitas sehari-hari. Terapi oksigen dapat memperlambat

kemajuan penyakit dan mengurangi morbiditas dan mortalitas.

e. Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat memperbaiki gejala.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 575)

3. Asma

a. Langkah pertama dalam pengobatan adalah mengevaluasi derajat asma

yang diderita individu. Asma dibagi dalam empat stadium, bergantung

pada frekuensi gejala dan frekuensi penggunaan obat yang dibutuhkan

untuk meredakan gejala. Stadium asma, yaitu (1) ringan dan

intermiten,(2) ringan dan persisten, (3) moderat atau sedang, dan (4)

berat. Terapi yang diberikan berdasarkan stadium asma yang diderita

pasien.

b. Untuk keempat stadium asma , pencegahan terpajan alergen yang telah

diketahui adalah tindakan yang penting. Tindakan ini termasuk barang-

barang di rumah yang dikatahui memicu alergi seperti mengeluarkan

binatang peliharaan jika perlu menghindari asap rokok dan asap kayu

yang terbakar, dan penggunaan air conditioner untuk meminimalkan

membuka jendela, terutama selama musim saat udara mengandung

banyak serbuk sari.

c. Pemantauan laju peak flow yamg sering, terutama selama insiden asma

meningkat, seperti musim dingin atau musim semi (banyak serbuk sari

yang di bawa angin) merupakan kunci untuk pengenalan dini

perburukan penyakit, menurunkan gejala, dan pencegahan perawatan

di rumah sakit. Hal ini terbukti diperlukan bahkan untuk asma ringan

yang sewaktu-waktu. Jika terpantau penurunan laju peak flow yang

signifikan, penambahan intervensi farmakologi harus diberikan segera

mungkin bukan ditunda sampai serangan terjadi sehinga dapat

menghambat kemajuan penyakit.

d. Kemajukan penting dalam pencegahan dan pengobatan serangan asma

adalah pemakaian kortikosteroid oral atau inhalasi di awal periode

serangan atau sebagai terapi pencegahan. Kortikosteroid berkerja

sebagai agens anti-inflamasi yang poten. Demikian juga, obat-obat

inhalasi yang menstabilasikan sel mast digunakan untuk mencegah

serangan asma. Efek dari obat yang diinhalasi ini tampaknya terbatas

di sistem pernapasan, sehingga obat-obat tersebut aman dan efektif

untuk menangani asma. Karena asma merupakan penyakit yang

progresif, mempertahankan program terapi sangat penting bahkan pada

periode di antara episode serangan asma. Setiap individu, pada semua

tahap penyakit, dapat memerlukan obat anti-inflamasi. Untuk individu

yang mengidap asma persisten, moderat, dan berat, steroid dosis

rendah secara inhalasi dapat digunakan setiap hari untuk membantu

menstabilkan kondisi pasien.

e. Bronkodilatasi yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor beta-

adrenergik di jalan napas (agonis beta) merupakan terapi asma yang

utama. Obat ini diinhalasikan (atau diberikan dalam bentuk sirup pada

anak yang masih sangat kecil) pada saat awitan serangan dan di

antaranya serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak

menghambat respons inflamasi sehinga tidak efektif jika digunakan

secara tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk,

penggunaan terlalu sering atau penggunaan tunggal bronkodilator

menyebabkan angka kematian bermakna. Saat ini telah tersedia agonis

beta adrenergik jangka panjang yang dapat menurunkan penggunaan

inhaler yang sering pada beberapa pasien.

f. Kombinasi produk yang mengandung kortikosteroid inhalasi dosis

rendah dan agnonis beta-2 lepas lambat tampaknya memperbaiki

tingkat kepatuhan dan menurunkan eksaserbasi.

g. Agonis-beta juga dapat digunakan sebelum olahraga pada individu

pengidap asma yang dipicu aktivitas fisik berat.

h. Meskipun poten dalam terapi pencegahan dan pengobatan asma dan

elergi, kortikosteroid tidak memberi efek sintesis dan pelepasan

leukotrien. Leukotriene adalah produk metabolisme asma arakidonat

dan berperan dalam proses inflamasi. Produk leukotrien dapat dicegah

dengan penggunaaan inhibitor 5-lipoksigenase (zileuton) atau dengan

menghambat reseptor leukotrien spesifik menggunakan leukotriene

reseptor antagonist (LTRA) seperti montelukast atau

zafirlukast .manifikasi obat LTRA memiliki sifat bronkodilator dan

anti-inflamasi, serta mungkin digunskan untuk menunjukan

kortikosteroid.

i. Obat antikolinergik dapat diberikan untuk mengurangi efek para

simpatis sehingga melepaskan otot polos bronkiolus. Akan tetapi, obat

ini memiliki rentang keamanan terapeutik yang sempit sehingga

digunakan praktik umum.

j. Intervensi perilaku, yang ditunjukan untuk menenangkan pasien agar

stimulasi parasimpatis ke jalan napas berkurang, juga merupakan

tindakan yang penting. Jika individu berhenti menangis akan

memungkinkan aliran udara yang lambat dan sempat dihangatkan,

sehingga rangsangan terhadap jalan napas kurang.

(Elizabeth J. Corwin, 2009 : 569)

4. PPOK

Penatalaksanaan untuk penderita PPOK usia lanjut, sebagai berikut :

a. Meniadakan faktor etiologik atau presipitasi

b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

c. Memberantas infeksi dengan antimikrobia. Apabila tidak ada infeksi

anti mikrobia tidak perlu diberikan.

d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator

( Aminophillin dan Adrenalin ).

e. Pengobatan simtomatik ( lihat tanda dan gejala yang muncul )

1) Batuk produktif beri obat mukolitik / ekspektoran

2) Sesak nafas beri posisi yang nyaman (fowler) , beri O2

3) Dehidrasi beri minum yang cukup bila perlu pasang infus

f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan, O2 harus diberikan

dengan aliran lambat : 1-2liter/menit.

h. Mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara

yang terperangkap.

i. Memberi pengajaran mengenai tehnik-tehnik relaksasi dan cara-cara

untuk menyimpan energi.

j. Tindakan “Rehabilitasi” :

1) Fisioterapi, terutama ditujukan untuk membantu pengeluaran

sekret bronkus.

2) Latihan pernafasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan

pernafasan yang palingefektif baginya.

3) Latihan, dengan beban olah raga tertentu, dengan tujuan untuk

memulihkan kesegaran jasmaninya.

4) Vocational Suidance : Usaha yang dilakukan terhadap penderita

agar sedapat-dapat kembalimampu mengerjakan pekerjaan semula.

5) Pengelolaan Psikososial : terutama ditujukan untuk penyesuaian

diri penderita dengan penyakityang dideritanya.

(Dharmajo dan Martono, 1999 : 385)

H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian pada pernafasan dengan klien PPOK yang didasarkan pada

kegiatan sehari – hari.

Ukur kualitas pernafasan antara skala 1 sampai 10. Dan juga

mengidentifikasi faktor sosial danlingkungan yang merupakan faktor

pendukung terjadinya gejala. Perawat juga mengidentifikasi type dari

gejala yang muncul antara lain, tiba-tiba atau membahayakan dan faktor

presipitasilainnya antara lain perjalanan penularan temperatur dan stress.

Pengkajian fisik termasuk pengkajian bentuk dan kesimetrisan dada,

Respiratory Rate dan Pola pernafasan, posisi tubuh menggunakan otot

bantu pernafasan dan juga warna, jumlah, kekentalandan bau sputum.

Palpasi dan perfusi pada dada diidentifikasikan untuk mengkaji terhadap

peningkatan gerakan Fremitus, gerakan dinding dada dan penyimpanan

diafragma. Ketika mengauskultasi dindingdada pada dewasa tua / akhir

seharusnya diberi cukup waktu untuk kenyamanan dengan menarik nafas

dalam tanpa adanya rasa pusing (dizzy)

(Loukenaffe, M.A, 2000).

Hal-hal yang juga perlu dikaji adalah :

a. Aktifitas / istirahat

Keletihan , kelemahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktifitas

sehari-hari karena sulit bernafas.

b. Sirkulasi

Pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan tekanan

darah,takikardi.

c. Integritas ego

Perubahan pola hidup, ansietas, ketakutan,peka rangsang

d. Makanan / cairan

Mual / muntah, anoreksia, ketidakmampuan untuk makan karena

distress pernafasan, turgor kulit buruk, berkeringat.

e. Higiene

Penurunan kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan

aktifitas sehari-hari,kebersihan buruk, bau badan.

f. Pernafasan

Nafas pendek, rasa dada tertekan, dispneu, penggunaan otot bantu

pernafasan.

g. Keamanan

Riwayat reaksi alergi / sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan.

h. SeksualitasPenurunan libido.

i. Interaksi sosial hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung,

keterbatasan mobilitas fisik.

(Doengoes, 2000 :152 )

2. Analisa Data

No Hari/

Tgl

Data Kemungkinan

Penyebab

Masalah

Keperawatan

1 1. Pasien mengeluh sulit bernapas

2. Perubahan kedalaman/jumlah napas

dan penggunaan otot bantu

pernapasan

3. Suara napas abnormal seperti

wheezing, ronchi, creckles.

4. Batuk persisten dengan atau tanpa

sputum

Tertahannya sekresi Ketidakefektifan

brsihan jalan napas

2 1. Dispnea

2. Bingung,

3. Lemas

4. Hipoksia dan hiperkapnea

5. Perubahan TTV

Ketidakefektifan

pengeluaran CO2

Gangguan

pertukaran gas

3 1. Penurunan berat badan

2. Kehilangan masa otot

3. Tonus otot jelek

4. Dilaporkan adanya perubahan

adanya perubahan sensasi rasa

5. Tidak ada nafsu makan

6. Tidak tertarik untuk makan

Dispnea, kelemahan

efek samping obat,

produksi sputum,

anoreksia, mual /

muntah

Perubahan nutrisi

kurang dari

kebutuhan tubuh

4 1. Keletihan

2. Kelemahan

3. Malaise

4. Ketidakmampuan melakukan

aktifitas sehari-hari karena

sulit bernafas

Ketidakseimbangan

antara suplay dan

kebutuhan oksigen,

kelemahan, dispnea.

Intoleransi aktivitas

5 1. Nafas pendek

2. rasa dada tertekan

3. dispnea

Peningkatan kerja

pernapasan

Ketidakefektifan

pola napas

4. penggunaan otot bantu pernafasan

6 1. Hipoksia dan hiperkapnea

2. Peningkatan PaCO2

Kerusakan difusi

oksigen

Gangguan perfusi

jaringan

7 5. Ansietas

6. Ketakutan

7. peka rangsang

Sesak napas cemas

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang lazim pada lansia dengan PPOK, antara lain :

a. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan tertahannya sekresi.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai

oksigen.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

disprisa, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,

mual / muntah.

d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplay dan kebutuhanoksigen, kelemahan, dispnea.

e. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan peningkatan kerja

pernapasan

f. Defisit pengetahuan tentang PPOK berhubungan dengan kurang

informasi, salah mengertitentang informasi, kurang mengingat /

keterbatasan kognitif

g. Cemas berhubungan dengan sesak napas

( Doengoes, 2000).

5. Evaluasi

Fokus utama pada klien Lansia dengan PPOK adalah untuk

mengembalikan kemampuan dalamADLS, mengontrol gejala, dan

tercapainya hasil yang diharapkan. Klien Lansia mungkinmembutuhkan

perawatan tambahan di rumah, evaluasi juga termasuk memonitor

kemampuan beradaptasi dan menggunakan tehnik energi conserving,

untuk mengurangi sesak nafas

( Doenges, 2000 : 152).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomik-fisiologik paru dan saluran

nafas, antara lain berupa pengurangan elastic recoil paru, kecepatan arus

ekspirasi, tekanan oksigen arteri serta respons pusat reflek pernafasan terhadap

rangsangan oksigen arteri atau hiperkapnia. Hal-hal tersebut berpengaruh pada

mekanisme pertahanan tubuh terhadap timbulnya penyakit paru.

Penyakit paru yang sering ditemukan pada usia lanjut adalah infeksi

saluran nafas akut bagian bawah (khususnya pneumoni), tuber-kulosis paru,

PPOK dan karsinoma paru.

Berbagai cara dapat dilakukan untuk pencegahan terhadap timbulnya

infeksi pernafasan akut bagian bawah (pneumoni), tuberkulosis paru, PPOK dan

karsinoma paru pada usia lanjut.

Untuk mencegah melanjutnya penurunan fungsi paru, antara lain dapat

diatasi dengan melakukan olahraga atau latihan fisik yang teratur, selain

meningkatkan taraf kesehatan usia lanjut. Laju penurunan fungsi paru dapat

diketahui dengan pemeriksaan faal paru secara berkala.

Daftar Pustaka

Bruner and Sudarth. 2001. “Keperawatan Medikal Bedah edisi 8, Vol.1”. Jakarta :

EGC.

Corwin J, Elizabeth. 2009. “ Buku Saku Patofisiologi edisi 3”. Jakarta : EGC.

Darmojo, Budhi R, dkk. 2000. “Geriatri Ilmu Kesehatan Edisi 2”. Jakarta : FKUI.

Doenges, ME and Moor House. 2000. “Rencana Asuhan

Keperawatan Edisi ke 3”. Jakarta : EGC.

Lueckenotte. 1998. “Pengkajian Gerontologi Edisi 2”. Jakarta : EGC.

Nugroho, Wahyudi. 2000. “Keperawatan Gerontik Edisi 2”. Jakarta : EGC.

Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2007. “Buku Ajar Keperawatan

Gerontik Edisi 2”. Jakarta : EGC.