giring giring perak - parang pariaman

39
Parang Pariaman Bagian 1 Giring-giring Perak akhirnya mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat tragis dan sekaligus membahagiakan dirinya di goa Bukit Tambun Tulang. Kenyataan tragis pertama adalah te rbunuhnya Puti Nuri. Gadis bangsawan dari Lima Kaum yang telah menatap sejak lama ber sama orang tuanya Raja Tuo di Kampung Pisang. Tragedi kedua adalah ketika dia berhasil membunuh Harimau Tambun Tulang. Ternyata kepala penyamun Bukit Tambun Tulang yang namanya sudah amat tersohor itu tak lain tak bukan daripada gurunya sendiri! Guru yang amat menyayanginya. Yang membesarkan dan mengajarkan padanya segenap ilmu silat dan ilmu sirat. Guru yang mengajarkan padanya agar selalu berbuat kebaikan, membela yang benar dan menumpas kejahatan. Guru yang telah dianggapnya sebagai ayah dan ibunya. Tetapi ada dua hal pula yang membahagiakan dirinya. Pertama, dia bertemu di goa itu dengan ibu kandungnya. Perempuan tabah melahirkannya ke permukaan bumi. Yang ditawan dalam goa itu selama lebih dari dua puluh tahun. Dan kedua, Siti Nilam, gadis pengungsi dari Pariaman itu, yang diam-diam mereka saling mencintai, masih hidup meski telah terperangkap dalan goa itu sebelum dia tiba. Namun di saat terakhir mereka akan meninggalkan goa itu, goa tersebut runtuh. Kunci rahasia yang mampu meruntuhkan goa itu ternyata telah dicabut oleh Harimau Kumbang sesaat sebelum dia meninggal. Mereka terkurung dalam kamar serba biru yang selama belasan tahun dihuni oleh Puti Bergelang Emas, bangsawan dari Pagaruyung, ibu si Giring-giring Perak. Suara berderam gemuruh mengeletarkan seluruh goa. Si Giring-giring Perak yang tengah memangku tubuh ibunya yang kurus dan lemah, tertegak kaku. Demikian juga Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan. Siti Bilam tegak di dekat Giring-giring Perak. Mereka menatap langit-langit goa dimana mereka berada. Lantai goa itu bergoyang. Pintu keluar ke arah ruangan latihan besar itu runtuh dengan suara menegakkan bulu roma. Dan pintu ke sana tertutup rapat oleh jutaan ton bebatuan dan tanah. Debu memenuhi ruangan terse but. “Ya Allah, ya Akbar! Mereka membuat goa ini sebagai kuburan kita….” Tuanku Nan Renceh terdengar berkata perlahan. Goncangan dan suara gemuruh berjatuhannya batu dan langit-langit goa masih terdengar. Dan tiba-tiba sebahagian langit-langit goa dimana mereka berada juga ikut runtuh. “Kita terperangkap….” terdengar Raja Tuo berseru.  Ketiga lelaki itu, Tuanku Nan Renceh, Datuk S ipasan dan Raja Tuo segera berusaha mencari celah atau  jalan keluar. Raja Tuo dengan masih tetap memangku mayat anakn ya Puti Nuri, berusaha meneliti tiap senti dinding. Namun mereka sia-sia mencari jalan keluar. Giring-giring Perak sudah dua kali melompat menghindari runtuhnya langit-langit goa tersebut. “Ini ada sedikit cahaya…!! ” tiba-tiba terdengar suara Tuanku Nan Renceh.

Upload: zerinsyah

Post on 18-Oct-2015

705 views

Category:

Documents


83 download

DESCRIPTION

Giring Giring PerakJilid keduaParang Pariaman

TRANSCRIPT

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    1/39

    Parang Pariaman Bagian 1

    Giring-giring Perak akhirnya mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat tragis dan sekaligus

    membahagiakan dirinya di goa Bukit Tambun Tulang. Kenyataan tragis pertama adalah terbunuhnya Puti

    Nuri. Gadis bangsawan dari Lima Kaum yang telah menatap sejak lama bersama orang tuanya Raja Tuo

    di Kampung Pisang.

    Tragedi kedua adalah ketika dia berhasil membunuh Harimau Tambun Tulang. Ternyata kepala

    penyamun Bukit Tambun Tulang yang namanya sudah amat tersohor itu tak lain tak bukan daripada

    gurunya sendiri! Guru yang amat menyayanginya. Yang membesarkan dan mengajarkan padanya

    segenap ilmu silat dan ilmu sirat. Guru yang mengajarkan padanya agar selalu berbuat kebaikan,

    membela yang benar dan menumpas kejahatan. Guru yang telah dianggapnya sebagai ayah dan ibunya.

    Tetapi ada dua hal pula yang membahagiakan dirinya. Pertama, dia bertemu di goa itu dengan ibu

    kandungnya. Perempuan tabah melahirkannya ke permukaan bumi. Yang ditawan dalam goa itu selama

    lebih dari dua puluh tahun. Dan kedua, Siti Nilam, gadis pengungsi dari Pariaman itu, yang diam-diam

    mereka saling mencintai, masih hidup meski telah terperangkap dalan goa itu sebelum dia tiba.

    Namun di saat terakhir mereka akan meninggalkan goa itu, goa tersebut runtuh. Kunci rahasia yang

    mampu meruntuhkan goa itu ternyata telah dicabut oleh Harimau Kumbang sesaat sebelum dia

    meninggal. Mereka terkurung dalam kamar serba biru yang selama belasan tahun dihuni oleh Puti

    Bergelang Emas, bangsawan dari Pagaruyung, ibu si Giring-giring Perak.

    Suara berderam gemuruh mengeletarkan seluruh goa. Si Giring-giring Perak yang tengah memangku

    tubuh ibunya yang kurus dan lemah, tertegak kaku. Demikian juga Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan

    Datuk Sipasan. Siti Bilam tegak di dekat Giring-giring Perak.

    Mereka menatap langit-langit goa dimana mereka berada. Lantai goa itu bergoyang. Pintu keluar ke arah

    ruangan latihan besar itu runtuh dengan suara menegakkan bulu roma. Dan pintu ke sana tertutup rapat

    oleh jutaan ton bebatuan dan tanah. Debu memenuhi ruangan tersebut.

    Ya Allah, ya Akbar! Mereka membuat goa ini sebagai kuburan kita. Tuanku Nan Renceh terdengar

    berkata perlahan.

    Goncangan dan suara gemuruh berjatuhannya batu dan langit-langit goa masih terdengar. Dan tiba-tiba

    sebahagian langit-langit goa dimana mereka berada juga ikut runtuh.

    Kita terperangkap. terdengar Raja Tuo berseru.

    Ketiga lelaki itu, Tuanku Nan Renceh, Datuk Sipasan dan Raja Tuo segera berusaha mencari celah atau

    jalan keluar. Raja Tuo dengan masih tetap memangku mayat anaknya Puti Nuri, berusaha meneliti tiap

    senti dinding. Namun mereka sia-sia mencari jalan keluar.

    Giring-giring Perak sudah dua kali melompat menghindari runtuhnya langit-langit goa tersebut.

    Ini ada sedikit cahaya!! tiba-tiba terdengar suara Tuanku Nan Renceh.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    2/39

    Mereka mendekat ke tempat itu. Dan di antara reruntuhan bebatuan dan tanah, seberkas cahaya

    menembus masuk. Namun masih tetap tak bisa keluar. Cahaya itu jauh sekali di antara reruntuhan.

    Menghindarlah.. tiba-tiba si Giring-giring Perak terdengar bersuara. Dia ternyata telah meletakkan

    ibunya di lantai yang beralas permadani. Perempuan itu dipeluk oleh Siti Nilam. Ketiga lelaki itu mundur,

    si Giring-giring Perak berdiri sedepa dari berkas cahaya yang kelihatan itu. Mulutnya menggurimin

    membaca doa. Dan perlahan, semua yang ada dalam ruangan itu melihat betapa asap tipis mengepul

    dari kepala anak muda itu.

    Kemudian kedua belah tangannya menjadi merah. Mula-mula dari pangkal lengan. Cahaya merah

    seperti besi terbakar itu menjalar perlahan, ke lengan, lalu memenuhi seluruh jari jemari. Tuanku Nan

    Renceh dan kedua temannya benar-benar merasa takjub. Mereka sudah banyak mendengar dan bahkan

    belajar ilmu batin. Namun yang seperti ini, yaitu ilmu Al Kurdsi ini, baru kali ini mereka melihatnya.

    Sementara itu Giring-giring Perak membuat kuda-kuda dengan memajukan kaki kanannya ke depan.

    Tangannya yang kiri mengepal. Yang kanan terbuka dengan jari-jari rapat. Lalu yang kanan ditarik sejajar

    dengan tubuh. Dan. dengan menyebut Allahuakbar, tangan kanannya mendorong ke depan.

    Sepuputan tenaga yang amat dahsyat, menghantam bebatuan di depannya. Terdengar suara gemuruh,

    dan bebatuan itu melesak menghantam dinding. Kemudian hal yang tak termakan oleh akal itupun

    terjadilah. Dinding goa itu jebol, bebatuan yang tadi menghalang, terhempas dan terpukul jauh ke luar.

    Sebuah lobang sebesar drum kelihatan pada bekas kena hantam tenaga raksasa itu. Akibatnya

    goncangan bahagian yang lemah dari langit-langit runtuh.

    Reruntuhannya menghantam tempat ibunya berada bersama Siti Nilam. Tanpa memutar tegak, tangan

    kanannya mengibas ke arah batu langit-langit yang tengah meluncur turun dan hanya tinggal sehasta

    dari ubun-ubun Siti Nilam. Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan sampai berpeluh melihat

    runtuhnya batu itu. Mereka yakin kedua perempuan itu takkan tertolong.

    Namun di saat kritis itulah tenaga pukulan tangan Giring-giring Perak datang menghantam. Batu besar

    yang tengah meluncur turun itu terhantam. Tak ada suara, tak ada apa-apa. Hanya saja batu besar itu

    terhantam berobah arahnya, membentur dinding, dan.jatuh ke lantai dalam bentuk debu!

    Cepat keluarlah.duluan, saya menjaga di sini. Giring-giring Perak berkata. Dan ucapannya

    menyadarkan semua mereka, bahwa mereka harus keluar dari sana dengan segera.

    Tuanku Nan Renceh yakin anak muda ini akan mampu menolong ibunya. Karena itu dia segera bergerak

    cepat. Dalam beberapa gerakan saja, tubuhnya sudah berada di luar goa. Dan dalam waktu singkat, Raja

    Tuo dan Datuk Sipasan juga sampai di sana. Raja Tuo memangku mayat anaknya, Puti Nuri yang

    tubuhnya dipenuhi anak panah.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    3/39

    Dan tak lama setelah mereka berada di luar, Giring-giring Perak pun tiba sambil kedua tangannya

    memangku tubuh ibunya dan tubuh Siti Nilam. Suara berderam dan goncangan yang hebat terasa di

    tanah tak lama setelah mereka berada di luar. Pepohonan bergoyang, malah banyak yang rubuh. Tanah

    berbukit di depan mereka tiba-tiba seperti tersedot ke bawah. Kayu malang melintang. Debu tipis

    mengepul. Satwa yang ada di sana bertemperasan. Kemudian sepi!

    Parang Pariaman (bagian 2)

    Hal itu mereka buktikan ketika terjadi perang antara pengikut Tuanku Nan Renceh dengan Belanda di

    Kamang. Tanpa diduga, mereka datang membantu. Pasukan Tuanku Nan Renceh yang semula sudah

    terjepit, tiba-tiba mendapat bantuan.

    Belanda yang mengepung tiba-tiba ditikam dari belakang oleh pasukan bekas para penyamun ini.

    Belanda lari terbirit-birit meninggalkan banyak sekali korban. Mereka juga membantu orang Pariaman

    yang berperang melawan Inggeris di Pariaman. Mereka memang memilih jadi petani, nelayan atau

    pedagang. Namun setiap saat mereka siap terjun ke medan pertempuran melawan penjajah.

    Mereka memang orang yang terlatih dalam perang tradisional dalam rimba. Raja Tuo kembali ke

    kampung Pisang. Sementara siGiring-giring Perakmenikah dengan Siti Nilam dan memutuskan untuk

    berdiam di kampung isterinya itu, di suatu desa tak jauh dari Pariaman.

    Begitulah kisah hancurnya penyamun di Bukit Tambun Tulang. Tapi itu bukan berarti berakhirnya

    kejahatan di berbagai tempat di Minangkabau saat itu. Itu bukan berarti berakhirnya penderitaan

    rakyat.

    Indonesia ternyata harus memperpanjang masa deritanya di bawah cengkeraman penjajah yang satu ke

    penjajah yang lain. Belanda, Inggeris, Portugis, datang silih berganti menjajah negeri ini. Dan di zaman

    Giring-giring Perak ini, Inggeris sempat membuat jejak berdarahnya di Minangkabau, terutama di

    bahagian pesisir pantai, PARIAMAN!.

    Penduduk Pariaman yang terkenal berdarah panas itu kali ini dihadapkan pada teror dari pasukan

    Inggeris yang baru saja didatangkan dari Eropah. Yaitu pasukan yang memenangkan perang melawan

    Napoleon dari Perancis.

    Pariaman di suatu hari sekitar tahun 1800. Saat itu, Minangkabau sudah berada di bawah kekuasaan

    Inggeris. Sebab tahun 1793 benua Eropah dijilat api peperangan. Napoleon yang tengah berkuasa di

    Perancis dan Belanda terlibat perang dengan kerajaan Inggeris.

    Perang di Eropah menyebabkan seluruh daerah jajahan ketiga bangsa itu juga berperang. Pimpinan

    Inggeris di Calcutta, India yang membawahi Benua Asia memerintahkan angkatan lautnya merebut

    wilayah Sumatera Barat yang kaya dengan emas dan rempah-rempah dari tangan Belanda.

    Tahun 1795 itu, angkatan perang Inggeris mendarat dan segera dapat merebut pos-posKompeni(V.O.C)

    di Padang tanpa perlawanan yang berarti. Dengan jatuhnya pos-pos Belanda di Padang, maka pos-pos

    mereka di daerah pesisir seperti di Salido, Painan, Pariaman dan Tiku juga menyerah pada Inggeris.

    Sejak tahun 1795 itu, bermulalah penjajahan Inggeris atas pesisir Minangkabau. Kekuasaan Inggeris ini

    kelak akan berakhir pada tahun 1819. Daerah ini dikembalikan kepada Belanda berdasarkan perjanjian

    London tahun 1814 antara Inggeris dan Belanda tentang daerah jajahannya di Hindia Belanda.

    Parang Pariaman (bagian 3)

    HARI alangkah panasnya. Dalam terik yang membakar itu, dua puluh pasukan yang menunggang kuda

    bergerak di bawah pohon kelapa. Mereka adalah pasukan berkuda tentara Inggeris. Dengan pedang di

    http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagniehttp://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagniehttp://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagniehttp://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagniehttp://tikamsamurai.wordpress.com/
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    4/39

    pinggang, dan senjata api panjang tergantung di sisi pelana, pasukan berseragam baju merah, celana

    putih dan bertopi tinggi berjambul ini kelihatan seperti sesuatu yang asing di tengah kesederhanaan

    penduduk Pariaman.

    Penduduk menatap mereka dengan diam. Menatap tentara penjajah itu dengan tatapan yang

    mengandung misteri. Kedua puluh pasukan berkuda itu berjalan menyusur tepi pantai arah ke selatan.

    Di depan sekali, seorang perwira yang masih muda berpangkat letnan berjalan sendirian. Enam depa di

    belakangnya, barulah pasukannya yang dua puluh itu menyusul dalam barisan dua-dua.

    Tak begitu lama berkuda, mereka sampai di tempat yang dituju. Sebuah Perguruan.

    Perguruan itu cukup besar. Dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kayu setinggi dua meter. Untuk

    masuk ke dalam ada dua pintu. Pintu pertama arah ke Timur, arah ke matahari terbit. Tepatnya arah ke

    darat. Sedangkan pintu satu lagi menghadap arah ke pantai.

    Di pintu arah ke pantai inilah kini kedua puluh serdadu berkuda itu tegak. Setiap orang tahu, bahwa

    perguruan yang dipagar dengan kayu setinggi dua meter itu adalah perguruan silat terbesar yang ada di

    Minangkabau saat itu. Itulah perguruanSilat Sunua.Yang melahirkan Silat Jantan dan Silat Betina.

    Di sini pulalah tempat asalnya Silat Ulu Ambek. Yaitu silat paripurna bagi yang telah masak dalam ilmu

    lahir dan bathin. Perguruan silat ini berada di bawah perguruan Islam yang dipimpin oleh murid-murid

    almarhum Syekh Burhanuddin. Syekh ini membuka perguruan Islam di Ulakan pada abad 17. Dan karena

    penyebaran Islam saat itu amat sulit, maka diperlukan mempelajari ilmu bela diri, maka Syekh itu

    mendirikan perguruan silat di Sunua.

    Saat peristiwa itu terjadi, Syekh itu sudah lama meninggal. Yang memimpin adalah muridnya yang

    bernama Anduang Ijuak. Dia seorang penganut Tarikat yang tersohor. Berilmu tinggi dan amat disegani

    lawan dan kawan.

    Kedatangan pasukan berkuda itu disambut oleh enam orang murid Anduang Ijuak. Keenam mereka,

    semua lelaki yang bertubuh biasa-biasa saja, tegak dengan berpeluk tangan di depan gerbang

    perguruan. Menatap dengan tenang pada pasukan berkuda yang kelihatannya mewah itu. Tatapan

    mereka biasa-biasa saja. Tak tergambar sama sekali bahwa mereka adalah orang jajahan. Atau tepatnya

    tak tergambar sedikitpun bahwa mereka takut menghadapi pasukan berkuda Inggeris itu.

    Namun demikian, pimpinan pasukan Inggeris itu, si Letnan yang barangkali usianya belum cukup 23

    tahun, memajukan kudanya ke depan. Lima depa dari pintu gerbang di mana murid-murid perguruan

    Sunua itu tegak, dia menghentikan kudanya.

    Selamat siang. Letnan itu membuka pembicaraan. Tak ada yang menyahuti ucapannya.

    Bolehkah kami masuk menemui pimpinan kalian? Masih tak satupun yang menyahuti. Ke 20 anggota

    pasukan letnan itu menatap dengan diam. Meski mereka agak tersinggung karena ucapan komandan

    mereka tak disahuti, tapi sewaktu akan berangkat dari Loji tadi mereka telah diberi peringatan.

    Kapten Calaghan yang menjadi komandan mereka untuk Loji ( pos ) Pariaman dan Tiku memesankan

    benar agar mereka tak berlaku kasar pada murid-murid perguruan itu. Mereka dilarang untuk

    memancing kekeruhan. Dan peringatan itu diberikan karena jumlah mereka di Pariaman dan tiku hanya

    seratus orang. Ya, hanya seratus orang.

    Jumlah itu memang besar. Tapi kalau rakyat sempat membentuk kekuatan dengan jumlah dua atau tiga

    ratus, maka itu akan memayahkan Inggeris.

    Sementara itu, perasaan Letnan muda itu juga jadi tak sedap ketika tak seorangpun di antara yang

    berenam itu menyahuti ucapannya.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Sunua,_Nan_Sabaris,_Padang_Pariamanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sunua,_Nan_Sabaris,_Padang_Pariamanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sunua,_Nan_Sabaris,_Padang_Pariaman
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    5/39

    Apakah tak seorangpun di antara tuan-tuan yang mengerti apa yang saya ucapkan? katanya mulai

    meninggi.

    Tak seorangpun yang akan menyahuti tuan, selagi tuan bicara di atas punggung kuda itu. salah

    seorang murid perguruan Sunua itu menjawab dengan nada datar.

    Si letnan menatapnya. Lelaki yang menjawab itu bertubuh biasa-biasa saja. Rambutnya panjang dan

    diikat di belakang. Dijalin dua. Mode rambut yang saat itu sangat lazim bagi setiap lelaki.

    Saya harus turun? Letnan itu balik bertanya.

    Tidak harus. Tuan bisa tetap di atas punggung kuda tuan dan silahkan berangkat dari sini., murid

    perguruan itu menjawab lagi.

    Wajah Letnan itu jadi merah padam. Dia menoleh pada anak buahnya. Dan kedua puluh anak buahnya

    memang telah waspada.

    Hati-hati bicara. Tuan bisa saya seret ke Loji dan saya penjarakan di sana. desis letnan itu tajam.

    Betapapun dia diperingatkan oleh komandannya di Loji tadi untuk bersabar, namun menghadapi murid-

    murid Perguruan Silat ini Letnan yang masih muda itu tak dapat menahan emosi. Sebagai seorang

    perwira dia cukup ditakuti dalam pasukannya. Dan, kini, pribumi yang jelas berada di bawah jajahan

    Inggeris berlaku kurang sopan padanya. Bukankah itu keterlaluan?

    Murid perguruan silat Sunua itu tak menyahut. Ekspresi dan sinar mata mereka tetap seperti tadi. Tak

    merasa gentar dan tidak pula ada kesombongan. Yang mereka ucapkan adalah kebenaran semata.

    Mereka tahu dengan pasti, bahwa yang berada di hadapan mereka ini adalah pasukan berkuda kerajaan

    Inggeris. Pasukan dari suatu bangsa yang merajai lautan. Yang memiliki negeri jajahan paling luas di

    permukaan bumi. Mereka tahu hal itu dengan pasti. Namun itu bukan berarti mereka harus terbungkuk-

    bungkuk untuk menghormat dan harus merasa rendah diri. Betapapun jua, negeri ini adalah negeri

    tumpah darah mereka.

    Sebenarnya, penduduk Pariaman ini telah beberapa kali berperang dengan Inggeris, Belanda dan

    Portugis. Namun karena kurangnya persatuan, mereka selalu dikalahkan.

    Parang Pariaman (bagian 4)

    Letnan itu mulai memperlihatkan watak penjajah aslinya. Dia tertawa. Mula-mula hanya tertawa

    bergumam. Kemudian mulai terkekeh. Dan tiba-tiba dengan sebuah teriakan panjang, dia memacu

    kudanya. Kuda itu melejit ke depan. Menerjang keenam lelaki murid perguruan Sunua itu.

    Dan sepuluh orang diantara anak buahnya masuk pula dengan suara gemuruh. Keenam murid

    perguruan itu hanya memerlukan sedikit gerakan untuk menghindar dari kuda-kuda yang melejit di

    depan mereka. Pasukan berkuda Inggeris yang sepuluh lagi tetap berada di luar dinding perguruan itu.

    Duduk di atas punggung kudanya dengan bedil terhunus. Menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tak

    dingini.

    Dan penduduk yang berada di luar areal perguruan itu menatap dan menanti perkembangan dari

    kejauhan dengan diam. Kesebelas pasukan berkuda Inggeris itu segera berada dalam areal perguruan.

    Dan mereka segera terhenti. Di dalam areal itu, ada sekitar tiga puluh orang, lelaki dan perempuan, yang

    tengah berlatih silat.

    Ada yang latihan tangan kosong. Ada yang latihan mempergunakan keris, tombak dan panah. Semua

    mereka terhenti berlatih. Letnan Inggeris itu menatap mereka dengan diam. Kemudian menjalankan

    kudanya ke arah sebuah rumah sederhana tak jauh dari tempat latihan itu.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    6/39

    Ada pimpinan kalian di sini? kembali dia bertanya.

    Kalau yang tuan maksudkan Anduang Ijuak, dia tak ada di sini.

    Sebuah suara memecah dari antara orang banyak yang berhenti latihan itu.

    Letnan itu

    Perguruan itu kini sepi. Tak seorangpun yang bergerak dari tempatnya. Beberapa orang di antara

    mereka melirik pada plakat yang tadi ditempelkan di dinding rumah Anduang Ijuak. Mereka hanya

    melirik dari kejauhan. Tak seorangpun yang berminat untuk mendekat mem bacanya. Sebab bagi

    mereka sudah jelas maksud plakat itu.

    Asyar. salah seorang di antara mereka bergumam perlahan.

    Yang lain seperti diingatkan pada waktu solat yang telah tiba. Mereka segera bersibak. Lelaki pergi ke

    barak lelaki, yang perempuan kembali ke baraknya pula. Barak mereka dipisahkan oleh pagar. Hanya

    waktu berlatih saja mereka bergabung di sasaran ini. Sebuah sasaran lebar berlantai pasir putih di

    bawah batang-batang kelapa dan pohon asam jawa.

    Mereka mengambil udhuk. Kemudian sembahyang berjamaah. Dan saat itulah, lelaki yang bernama

    Anduang Ijuak itu memasuki perguruannya.

    Lelaki ini berambut kasar dan lurus. Berkumis tebal kasar. Tak diketahui dengan pasti apakah karena

    rambut dan kumisnya yang kasar seperti ijuk itu makanya dia dinamakan Anduang Ijuak. Dan dia segera

    melihat plakat yang ditempelkan di dinding rumahnya.

    Ketika berada di Ulakan tadi, hatinya memang sudah berdetak bahwa ada apa-apa di perguruannya ini.

    Mereka, para pimpinan dalam perguruan Ulakan dan Sunua yang berada di bawah pimpinan Syekh

    Malik Muhammad, yaitu murid kesekian di bawahSyekh Burhanuddinyang telah almarhum itu,

    memang sudah dua kali mendapat peringatan dari Inggeris untuk menghentikan latihan silat.

    Tuan-tuan boleh melanjutkan perguruan agama tuan-tuan di Ulakan. Tapi tidak perguruan silat di

    Sunua. Begitu dua kali peringatan yang pernah disampaikan Kapten Calaghan pada Syekh Malik

    Muhammad tiga bulan yang lalu. Mereka mengetahui dengan pasti apa alasan larangan itu.

    Mereka memang melatih silat untuk menghimpun kekuatan. Ada dua maksud utama yang ingin mereka

    capai dengan latihan silat itu. Pertama mereka akan menghimpun tenaga untuk mengusir penjajah dari

    Minangkabau. Untuk itu dibutuhkan ilmu perang dan ilmu beladiri.

    Kedua, mereka memang tak mudah menyebarkan Agama Islam di tengah masyarakat yang telah

    terbiasa dengan berbagai perbuatan maksiat. Makanya mereka lalu mempersiapkan diri dengan ilmu

    silat.

    Ada beberapa tingkat pelajaran yang harus dilalui oleh murid-murid perguruan di Ulakan. Pada tingkat

    pertama mereka harus menuntut ilmu agama. Setelah mencapai tingkat tertentu, baru masuk ke Sunua

    untuk belajar dasar-dasar silat.

    Kemudian kembali ke Ulakan untuk memperdalam agama. Dan kembali lagi ke Sunua untuk memasuki

    taraf lebih lanjut dari silat. Jika lolos, maka kembali lagi ke Ulakan. Di sini mereka belajar Tarikat. Dan jika

    lulus dari sini, untuk kali ketiga kembali lagi ke Sunua menjadi murid-murid senior yang diberi pelajaran

    silat Ulu Ambek yang terkenal itu.

    Sejenis silat yang mempergunakan tenaga batin. Silat yang tak memerlukan saling bersentuhan fisik

    untuk membunuh.

    Mulai dari Portugis, Belanda dan kini Inggeris, mencium bahaya yang tersimpan di balik perguruan ini.

    Jika dibiarkan orang-orang ini bisa menjadi pasukan yang tangguh. Dan itu sudah pasti berbahaya bagi

    http://pariamannews.wordpress.com/2013/05/04/mengenang-sejarah-syeikh-burhanuddin-ulakan-1808-m/http://pariamannews.wordpress.com/2013/05/04/mengenang-sejarah-syeikh-burhanuddin-ulakan-1808-m/http://pariamannews.wordpress.com/2013/05/04/mengenang-sejarah-syeikh-burhanuddin-ulakan-1808-m/http://pariamannews.wordpress.com/2013/05/04/mengenang-sejarah-syeikh-burhanuddin-ulakan-1808-m/
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    7/39

    yang menjajah.

    Dalam sejarah, perguruan ini sejak seratus tahun terakhir memang menjadi pusat pergerakan

    menentang kaum penjajah. Itulah sebabnya Inggeris melarang mereka melanjutkan latihannya.

    Anduang Ijuak masih tertegak di luar rumahnya. Membaca maklumat yang ditempelkan oleh tentara

    Inggeris tadi. Kemudian dia menoleh ke lapangan pasir di bawah pohon kelapa dan pohon asam di mana

    murid-muridnya selama ini berlatih.

    Ada jejak telapak kuda mencekam pasir lembut itu. Dia segera tahu, pasukan berkuda itu telah

    menerobos kemari. Dan dia bersyukur, murid-muridnya dapat menahan emosi untuk tidak melibatkan

    diri dalam perkelahian dengan pasukan itu. Sebab dalam perundingannya dengan Syekh Malik

    Muhammmad, pimpinan tertinggi perguruan Ulakan dan Sunua saat itu, didapat kesimpulan bahwa

    mereka belum saatnya untuk mulai menyerang Inggeris.

    Belum saatnya, karena mereka belum terkoordinir. Kekalahan yang dialami ketika berperang dengan

    Belanda beberapa tahun dahulu masih berbekas. Banyak anggota dan pendekar-pendekar Ulakan yang

    gugur.

    Mereka, pimpinan perguruan di Ulakan dan Sunua itu, juga telah menghubungi seorang lelaki yang

    tinggal di kampung kecil bernama Ambun Pagi di Puncak Lawang. Sebuah kampung yasng berada di

    pucuk bukit terjal yang mengelilingi danau Maninjau.

    Dari tempat tinggalnya, juga dari sawah dan ladangnya, pemandangan ke danau Maninjau luar biasa

    indahnya. Amat luar biasa indah. Pagi maupun sore, kabut dan embun seperti mengapung di desa

    berudara sejuk itu. Dari celah-celah embun dan kabut itu danau Maninjau kelihatan seperti beludru.

    Kicau burung dan elang seperti suara salung dan bansi. Di tebing-tebing kelok terjal menuju Maninjau

    kelihatan pucuk-pucuk cengkeh seperti permadani ke merah-merahan.

    Mereka datang kerumah lelaki muda yang memiliki isteri amat cantik itu bersama Syekh Malik

    Muhammad, Anduang Ijuak dan dua orang pemuka Pariaman Lainnya. Saat mereka datang kedua suami

    isteri itu tengah menanam jagung tak jauh dari rumahnya. Mereka berhenti bekerja begitu melihat ada

    serombongan orang menunggang kuda yang datang.

    Assalamualaikum.. Syekh Malik Muhammad membuka perjumpaan itu, sesaat setelah mereka

    menambatlan kudanya di depan rumah.

    Waalaikum salam jawab lelaki muda tersebut sambil meletakkan tajaknya.

    Lelaki muda itu agak terkejut melihat kehadiran orang-orang perguruan Ulakan dan Sunua ini. Dia sudah

    akan melangkah dan menyilahkan tamunya ke rumah, tapi Syekh Malik Muhammad mencegahnya.

    Tak usah merepotkan anda. Kami ingin bertemu sebentar saja.

    Ya, tapi mari naik.. kata lelaki muda itu.

    Apakah tuan keberatan kita bicara di bawah pohon itu? Syekh itu menunjuk ke pohon jambu yang

    rindang.

    Parang Pariaman (bagian 5)

    Syekh itu terdiam. Yang lain juga terdiam. Lelaki muda yang sejak tadi terus memperhatikan si Syekh,

    kini melemparkan pandangannya ke danau jauh di bawah sana. Kemudian dia menunduk.

    Keheningannya itu dipecahkan oleh kehadiran isteri petani itu. Dia datang membawa air kelapa muda

    dalam gelas dari alumanium.

    Aha, ini air kelapa muda. Mari silahkan bapak-bapak minum.. kata lelaki muda itu sambil menolong

    isterinya membagi-bagikan gelas alumanium tersebut.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    8/39

    Sekali lagi, maafkan kami mengganggu ketenanganmu nak. Syekh Malik Muhammad bicara lagi pada

    isteri lelaki tersebut.

    Perempuan cantik itu tersenyum. Setelah gelas itu dia bagikan, dia mengundurkan dirinya ke rumah.

    Mereka lalu meneguk minuman itu. Kemudian sama-sama terdiam.

    Bagaimana.? Syekh itu kembali bertanya.

    Anak muda itu menarik nafas panjang. Kemudian berkata perlahan :

    Saya benar-benar merasa malu hati atas perhatian tuan Syekh dan tuan-tuan pimpinan Ulakan dan

    Sunua. Saya tak tahu apa yang harus saya sumbangkan untuk maksud sebesar itu. Saya khawatir saya

    akan membuat kecewa tuanku Syekh, maafkan saya.

    Dia berhenti. Syekh itu dan teman-temannya terdiam.

    Maafkan jika penilaian saya salah. Setahu saya, di manapun saat ini, apakah di Pariaman atau di Tiku,

    apakah di Inderapuro atau di Bukittinggi, apakah di Padang Panjang atau di Batusangkar, belum satupun

    yang tepat saatnya untuk memulai perlawanan kepada Inggeris.Di Pariaman ini saja misalnya, saya tak

    sangsi atas ketinggian ilmu perguruan yang tuan Syekh pimpin. Tapi dengan perguruan Syekh saja, tanpa

    mengikut sertakan perguruan dan rakyat lainnya, perjuangan itu hanya berupa bunuh diri.

    Nah, di Pariaman, maafkan saya, saya dengar antara perguruan silat yang satu dengan perguruan silat

    yang lain terjadi pertentangan-pertentangan yang tajam. Saya justru khawatir, di saat satu pihak

    menyerang Inggeris, maka pihak lain akan menikam dari belakang. Jumlah seratus pasukan berkuda

    yang dimiliki Inggeris adalah jumlah yang besar. Besar selain karena mereka memiliki bedil yang tak

    satupun kita miliki, mereka juga pasukan yang sudah terlatih dari banyak perang di Eropah. Begitu yang

    saya dengar.

    Syekh itu menarik nafas panjang.

    Memang begitulah yang sebenarnya anak muda. Saya juga sependapat denganmu. Bahwa tanpa

    mengikutsertakan seluruh lapisan rakyat untuk berjuang, maka perjuangan itu sama dengan bunuh diri.

    Apa-lagi Inggeris memakai senjata api sesuatu yang sulit kita hadapi. Saya memang sudah menduga,

    bahwa engkau akan menolak..

    Tapi..

    Saya mengerti maksudmu, kami datang hanya untuk menghilangkan was-was. Inggeris memang terlalu

    kuat saat ini. Pendapatmu sekaligus berguna bagi kami sebagai saran. Kami akan coba menghimpun

    sebanyak mungkin tenaga. Dan jika saatnya tiba, saya harap engkau bersedia membantu.

    Jika saatnya tiba, adalah kewajiban saya sebagai anak Minang untuk berjuang mengusir penjajah.

    Dengan tulang delapan kerat, saya akan menggabungkan diri dengan Tuan Syekh, anak muda itu

    berkata pasti.

    Syekh Malik Muhammad berdiri. Diikuti oleh ketiga rekannya. Dia mengulurkan tangan. Menyalami

    lelaki muda itu.

    Giring-giring Perak. Nama besarmu akan menambah semangat kami. Saya bahagia dapat bertemu

    dengan tuan. kata Syekh itu. Petani itu, yang memang si Giring -giring Perak, tersenyum tipis.

    Saya mendapat kehormatan yang besar sekali atas kunjugan tuan Syekh dan para pemimpin perguruan

    Ulakan ini. Maafkan kami tak dapat menyambut dengan cara yang layak..

    Sampaikan pada Siti Nilam, isterimu yang bahagia itu, bahwa kami tak sempat minta diri. Kami

    bergegas benar

    Keempat pimpinan perguruan Ulakan itupun menaiki kudanya. Dalam waktu yang singkat ke empatnya

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    9/39

    lenyap dibalik tikungan.

    Giring-giring Perak arif bahwa keempat lelaki yang barusan berkunjung ke rumahnya ini adalah ulama-

    ulama yang berilmu tinggi. Baik ilmu agamanya, maupun ilmu silat dan ilmu bathinnya. Dan sebentar ini,

    mereka mempergunakan ilmu Siringan-ringan untuk mempercepat jalan mereka. Itulah kenapa dalam

    waktu yang singkat, mereka telah hilang dari pandangannya.

    Mereka telah pergi.? tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara isterinya.

    Dia menoleh, Siti Nilam kelihatan turun dari tangga rumahnya menuju ke bawah batang jambu di mana

    dia tegak membawa baki. Dia memperhatikan isterinya. Perempuan cantik itu tetap saja cantik meski

    dalam pakaian yang amat sederhana.

    Mereka sudah pergi..?, kembali perempuan cantik itu bertanya.

    Dan suaminya seperti terjaga dari sebuah lamunan.

    Ya, mereka telah pergi, katanya perlahan.

    Mengajak berperang?

    Giring-giring Peraktertegun. Dia tatap isterinya.

    Engkau tahu? Siti Nilam tersenyum.

    Bagaimana saya takkan tahu, kalau melihat orang-orang yang datang adalah para pendekar, dan

    kedatangan mereka nampaknya amat rahasia? Lagi pula, setiap isteri, pasti dapat merasakan apa yang

    tengah dipikirkan suaminya.Mereka adalah pimpinan perguruan Ulakan, bukan?

    Ya, mereka pimpinan Ulakan. Engkau cukup arif dan berpengamatan tajam, Nilam.Dan mereka

    memang mengajak untuk bersatu melawan Inggeris. Inggeris?

    Ya, melawan Inggeris. Mereka merasa sudah tiba waktunya untuk berbuat demikian

    Melawan Inggeris yang punya lebih dari delapan puluh pasukan berkuda?

    Tepatnya sekitar seratus pasukan berkuda.

    Danlengkap dengan senjata api...

    Ya. Lengkap dengan senjata api...

    Apakah itu mungkin?

    Penyerangan itu bisa saja mungkin.

    Ya. Serangannya pasti mungkin. Tapi bagaimana dengan hasilnya?

    Itulah yang saya lihat tak mungkin. Tak mungkin untuk menang.

    Siti Nilam menarik nafas panjang. Dia duduk di depan suaminya. Dia adalah wanita yang selain amat

    mencintai suaminya, juga amat mengaguminya.

    Lalu bagaimana putusan uda tadi?

    Saya rasa belum saatnya saya untuk ikut. Karenanya saya kembalikan saja persoalan itu pada mereka.

    Saya janjikan bahwa saya akan ikut kalau telah tersusun kekuatan dari berbagai lapisan penduduk

    Pariaman.

    o0o

    Anduang Ijuak, salah seorang pimpinan Ulakan yang datang ke rumah si Giring-giring Perak itu bersama

    Syekh Malik Muhammad, kini tertegak di depan rumahnya dalam komplek perguruan Silat Sunua yang

    dia pimpin.

    Melihat plakat yang di tempelkan oleh pasukan Inggeris ketika dia tengah mengadakan pertemuan di

    Ulakan. Dia menghela nafas.

    http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    10/39

    Kemudian berbalik akan melangkah ke rumah. Namun langkahnya terhenti. Dia menatap keliling. Dan di

    sekelilingnya, telah berdiri murid-muridnya yang lelaki. Tegak dengan diam. Mereka membentuk

    setengah ligkaran. Jumlah mereka sekitar 20 orang.

    Jumlah kita terlalu sedikit dibanding dengan pasukan Inggeris. masih terngiang olehnya ucapan si

    Giring-giring Perak tiga hari yang lalu ketika mereka datang ke rumah anak muda itu.

    Dan kini dia tatap murid-murid persilatan Sunua yang dia pimpin itu. Hanya sekitar 20 orang.

    Berdatangan dari berbagai daerah. Mulai dari Luhak Nan Tigo, yaitu Tanah Datar, Agam dan 50 Kota.

    Sampai dari Riau dan jambi. Bahkan ada yang datang dari Aceh.

    Hanya dua puluh. Dan dari jumlah itu, hanya empat atau lima orang saja yang memiliki silat Ulu Ambek.

    Silat yang paling atas dalam perguruan mereka. Selebihnya hanyalah silat Jantan dan Betina. Ya, kita

    terlalu sedikit, kata guru Gadang ini dalam hatinya sambil menarik nafas panjang.

    Anduang salah seorang muridnya buka suara. Anduang Ijuak mengangkat kepala. Meski hatinya

    gundah namun dia tersenyum.

    Kalian sudah sholat?

    Sudah, Anduang kata mereka serentak.

    Syukurlah.

    Ada yang akan kami sampaikan pada Anduang

    Apakah saya kalian izinkan sembahyang dahulu? Saya belum sholat Asyar.

    Maafkan kami. Silahkan Anduang sholat.

    Anduang Ijuak, lelaki bertubuh kekar dengan rambut kasar dan kulit berwarna hitam itu, tersenyum.

    Secara keseluruhan lelaki ini adalah orang perkasa. Dengan tubuhnya yang besar itu, dia patut untuk

    ditakuti.

    Namun siapapun yang melihat wajahnya, takkan ada kesan menyeramkan dari wajahnya. Wajahnya

    bersih. Selalu tersenyum lembut.

    Dia melangkah menuju langgar kecil dalam pekarangan sasaran Sunua itu. Dia memang berusaha untuk

    tak segera berdiskusi dengan murid-muridnya ini. Bukan rahasia lagi baginya, para murid ini ingin segera

    menyerang Loji Inggeris di Pariaman dan Tiku. Dan bukan jadi rahasia pula, bahwa sejak lama ada

    permusuhan antara perguruannya di Sunua ini dengan perguruan silat Harimau Kumbang di Pariaman.

    Perkumpulan silat Harimau Kumbang itu mempunyai murid lebih dari 30 orang. Bermacam-macam

    golongan kumpul di sana. Ada penghulu, ada ninik mamak, ada pemuda, ada nelayan, ada perampok.

    Ada yang Islam, ada yang tidak.

    Dan bukannya rahasia lagi, perguruan itu selalu menimbulkan huru-hara di daerah Tiku sampai ke

    Pariaman. Pimpinan perguruan itu adalah seorang lelaki gemuk, tinggi besar dan selalu memakai gelang

    akar bahar di lengannya, bernama Uwak Sanga.

    Dia dinamakan Uwak Sanga karena memang tak ada soal yang beres baginya. Setiap soal, jika

    dihadapkan padanya ujungnya pasti tak beres. Dan ujung ketidakberesan itu adalah bicaranya kaki dan

    tangannya.

    Sikapnya yang kasar dan mudah naik darah, membuat orang menggelarinya Uwak Sanga. Dan meski

    demikian dia cukup ditakuti. Baik oleh kawan maupun lawan. Dan terus terang saja perguruan Syekh

    Burhanuddin yang kini dipimpin oleh Syekh Malik Muhammad merasa segan pada Uwak ini.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    11/39

    Uwak itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Kabarnya dia pernah menuntut di Pagaruyung dan ke Aceh.

    Ilmu silatnya mirip ilmu silat harimau di darat sana. Tak diketahui dengan pasti, apakah karena itu

    makanya perguruannya di namakan dengan Harimau Kumbang.

    Uwak ini beragama islam. Itu pasti. Sebab tak seorangpun di antara murid-murid yang pernah belajar ke

    Aceh yang tak beragama Islam. Namun, sudah puluhan tahun lamanya Uwak itu tak kelihatan

    sembahyang. Dan dia membiarkan pula murid-muridnya berjudi, menyabung, mabuk-mabuk dan

    menodai anak isteri orang.

    Sejak lama, perguruan itu saling intai mengintai langkah dengan perguruan Ulakan. Pihak Ulakan tak

    pernah mau memulai pertikaian. Sebab mereka memang dididik dengan aturan-aturan agama yang

    keras.

    Sementara perguruan Harimau Kumbang juga tak berani secara terang-terangan memusuhi perguruan

    Ulakan. Kendati demikian, perkelahian antara murid-murid Ulakan dengan murid-murid Harimau

    Kumbang sudah beberapa kali terjadi.

    Meski tidak sempat melibatkan perguruan secara menyeluruh, namun sudah ada tanda-tanda bakal

    terjadinya kebakaran antara kedua perguruan tersebut. Pihak Harimau Kumbang jugamenaruh segan

    pada Ulakan. Bukan rahasia lagi, bahwa perguruan itu memiliki pendekar-pendekar aliran Ulu Ambek

    yang tangguh.

    Bagi pihak Ulakan sendiri, ada hal yang membuat mereka menaruh perasaan tak sedap pada perguruan

    Harimau Kumbang. Perguruan yang dipimpin Uwak Sanga itu diketahui sangat rapat dengan Inggeris.

    Dulu dia rapat dengan Belanda. Kini ketika Inggeris menggantikan Belanda, dia rapat dengan Inggeris.

    Itulah soalnya.

    Dan esoknya, Anduang Ijuak memang datang keLoji Ingeris yang terletak dekat lapangan lebar di pusat

    kota. Dia datang ke sana setelah bermufakat dengan Syekh Malik Muhammad di Ulakan.

    Datang bersama seorang wakilnya bernama Sidi Marhaban. Kedatangannya disambut oleh Letnan yang

    kemaren datang memimpin pasukan berkuda ke sasarannya.

    Aha.akhirnya tuan datang Anduang Ijuak! Mari, silahkan masuk.. ujar letnan itu meramah-

    ramahkan diri. Tapi Anduang Ijuak tak beranjak dari tempatnya.

    Parang Pariaman (bagian 6)

    pukulan ulu ambek

    Saya ingin bertemu dengan Komandan Loji.

    Sayalah komandannya di sini..

    Saya yakin tuan tak suka bermain-main. Saya ingin bertemu dengan Kapten Calaghan.

    Persoalan perguruan tuan, bukan.?

    Benar..

    Persoalan itu telah dilimpahkan pada saya. Saya yang menanganinya. Sekarang tuan harus berurusan

    dengan saya, suara letnan itu terdengar cukup keras.

    Anduang Ijuak cukup maklum. Jika dia berurusan dengan perwira muda ini, maka dia akan berhadapan

    dengan seorang opsir yang suka menyombong. Dia sebenarnya ingin balik kanan saja. Tapi dia tahu,

    kaum penjajah bisa berbuat sekehendaknya. Maka akhirnya, dengan menekan perasaan, Anduang ini

    masuk juga.

    http://www.artikata.com/arti-338781-loji.htmlhttp://www.artikata.com/arti-338781-loji.htmlhttp://www.artikata.com/arti-338781-loji.htmlhttp://www.artikata.com/arti-338781-loji.html
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    12/39

    Ajudan tuan silahkan menanti di luar kata Letnan itu.

    Dia wakil saya. Saya tak memiliki ajudan.. kata Anduang Ijuak.

    Wakil atau tidak, saya tak suka terlalu banyak orang melayu masuk ke kamar saya. Baunya kurang

    sedap bagi hidung saya!! ujar letnan itu.

    Dan akibatnya luar biasa. Muka Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban berobah menjadi merah padam. Sidi

    Marhaban melangkah dua langkah dengan tangan siap menghantam mulut letnan yang lancang itu.

    Namun Anduang Ijuak mencegahnya. Tapi seiring dengan itu, Letnan Inggeris tersebut telah mencabut

    pistol di pinggangnya. Dan menembak langsung!

    Peluru pistol yang terbuat dari serpihan besi halus itu segera menerkam dada dan muka Sidi Marhaban,

    jarak tembak ini demikian dekatnya. Hanya dalam jarak sedepa! Dan yang diterkam peluru itu bukan

    hanya dada Sidi Marhaban. Tetapi juga tangan kanan Anduang Ijuak. Tangan Anduang ini berada di dada

    Sidi Marhaban karena dia mencegahnya ketika akan maju menyerang Letnan itu tadi.

    Begitu tembakan menggema, lima orang serdadu Inggeris segera menerobos masuk dengan bedil dan

    pedang di tangan. Peristiwa itu nampaknya memang telah diatur Inggeris sedemikian rupa. Ini adalah

    titik awal dari api yang bakal memamah Pariaman dalam perang melawan Inggeris.

    Begitu mereka masuk, semuanya tertegak diam. Letnan itu sendiri juga masih tegak dengan pistol yang

    telah kosong tergantung di tangannya. Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban juga masih tegak di tempatnya.

    Inilah yang luar biasa.!Tembakan itu, jika ditembakkan pada manusia biasa, pasti telah membunuh sejak

    tadi. Tapi, meski dengan dada berlobang-lobang, dengan pakaian hangus, dengan muka yang juga

    berlobang di beberapa tempat, Sidi itu masih tegak di sana.

    Tak sedikitpun darah nampak menetes dari bekas luka di dadanya. Tak setitikpun! Tangan Anduang Ijuak

    yang sejak tadi menahan Sidi Marhaban, lambat-lambat dia turunkan. Anduang Ijuak menjadi amat

    berang dengan sikap Letnan itu.

    Dan turunnya tangannya dari dada Sidi Marhaban merupakan suatu tanda, bahwa dia tak lagi

    menghalangi Sidi yang telah terluka itu.Dan memang itulah yang dilakukan Sidi marhaban. Dia tahu,

    meskipun ilmu bathinnya tinggi, namun tembakan itu tadi benar-benar tak pernah diduganya. Dan dia

    tak sempat mempersiapkan diri. Dan dia tahu, nyawanya bakal tak tertolong lagi. Dia hanya bisa

    bertahan buat waktu yang singkat.

    Bertahan agar darahnya tak menyembur keluar dari bekas lukanya. Bertahan agar dirinya tetap tegak.

    Dan begitu tangan Anduang Ijuak lepas dari dirinya, dia menghimpun tenaga bathin. Dan letnan itu

    masih tegak takjub ketika Sidi Marhaban membentak keras!

    Bentakannya di iringi sebuah pukulan dari tempatnya berdiri. Bentakan itu demikian mengguntur dan

    demikian menggetarkan. Semua yang ada dalam ruangan itu, kecuali Anduang Ijuak, merasakan betapa

    lutut mereka jadi lemah. Dan yang lebih hebat lagi adalah akibat pukulan yang ditujukan pada Letnan

    yang masih memegang pistol kosong itu. Tubuh Letnan Inggeris itu seperti terangkat dari lantai.

    Kemudian terlambung ke belakang. Menghantam meja.

    Merubuhkan meja itu dan menyerakkan benda-benda yang ada di atasnya. Kemudian menghantamkan

    tubuh si Letnan ke dinding di belakangnya!

    Letnan itu tertegak di sana. Matanya mendelik. Dan dari mulutnya yang ternganga, tiba-tiba darah segar

    menyembur!

    Set..setaaan.ilmu se.taannn rintihhnya.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    13/39

    Dan itu adalah kalimat yang terakhir di permukaan bumi. Kemudian tubuhnya rubuh! Dan Letnan ini

    mati oleh sebuah pukulan Ulu Ambek yang terkenal itu. Pukulan jarak jauh yang tak memerlukan

    persentuhan badan. Pukulan yang disertai tenaga bathin yang cukup tinggi.

    Lalu, begitu Letnan itu rubuh, terhempas dan tertelungkup ke atas meja yang telah centang perenang

    itu, para prajuritnya yang masuk tadi jadi tersadar. Tubuh Sidi Marhaban tertembus peluru dari enam

    moncong bedil. Dia ditembak dari belakang. Tubuhnya tak bergoyang sedikitpun. Perlahan rubuh

    disambut oleh Anduang Ijuak.

    Sidi.! imbaunya.

    Tak ada jawaban. Anduang Ijuak maklum, bahwa pukulan Ulu Ambek yang dilakukan Sidi tadi terhadap

    Letnan itu, adalah gerakannya yang terakhir. Sebab dengan pukulan itu, dia telah melepaskan

    pertahanannya terhadap dirinya yang terluka.

    Anduang Ijuak yang tegak di sisi Sidi itu mendengar bisikan menyebut Allah tatkala Sidi itu membentak

    dan memukulkan tenaga bathinnya.

    Dan tak beberapa detik setelah pukulan itu, darah segar merembes dari badannya yang terluka sejak

    tadi. Dan di saat itu, yaitu di saat para pengawal itu belum menembakkan bedilnya, Anduang Ijuak

    maklum bahwa Sidi sudah berpulang! Tembakan keenam bedil itu mengenai sesosok mayat!

    Anduang Ijuak merebahkan diri Sidi Marhaban di lantai.

    Kemudian guru persilatan Sunua ini menatap pada keenam prajurit yang menembak Sidi itu. Ke enam

    prajurit itu kini menodongkan bedil kosong tapi tapi berbayonet runcing di ujungnya itu ke arah

    Anduang Ijuak.

    Tembakan itu telah mengundang seluruh tentara Inggeris di Loji itu masuk ke ruangan tersebut. Dan

    waktu yang amat singkat, kamar itu dipenuhi para serdadu yang berbaju dari beludru merah dengan

    celana satin putih.

    Parang Pariaman (bagian 7)

    Kapiten, saya datang kemari sebagai orang undangan. Saya disuruh menghadap untuk berunding!

    Beginikah cara orang Inggris berunding? suaranya terdengar dingin penuh ancaman. Kapten itu tak

    segera menjawab. Dia menoleh pada anak buahnya.

    Siapa yang melihat apa yang telah terjadi? katanya.

    Seorang sersan maju.

    Letnan Sammy melarang orang yang mati itu untuk masuk ke kamarnya. Cukup hanya orang ini

    katanya sambil menunjuk pada Anduang Ijuak.

    tapi orang itu mendesak terus, malah ketika dilarang, dia justru memulai menyerang Letnan Sammy.

    Untuk membela diri, Letnan menembak orang itu. Ya, hanya untuk membela diri, Kapiten! Tapi ternyata

    itupun terlambat. Dia telah kena hantam duluan. Mereka sama-sama mati!

    Dialog ini dilakukan dalam bahasa Inggeris. Karenanya Anduang Ijuak tak mengerti sedikitpun. Kapten itu

    menatap pada Anduang Ijuak.

    Lalu, orang ini mengapa saja? tanyanya sambil memberi isyarat pada Anduang Ijuak. Sersan tadi

    menjawab lagi dalam bahasa Inggeris.

    Dia.dia, dia hanya berdiri saja Kapiten.

    Berdiri saja?

    Ya. Begitu yang saya lihat, Kapiten

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    14/39

    Kamu harus melihat bahwa orang ini ikut menyerang Letnan Sammy. Mengerti!!

    Yes, sir!

    Anduang Ijuak yang tak mengerti bahasa itu, hanya tegak menanti. Namun firasat nya mengatakan

    bahwa orang ini tengah mengatur siasat untuk menjebaknya.

    Dia telah mempelajari situasi. Kamar itu telah penuh sesak oleh tentara Inggiris. Satu-satunya yang

    lowong adalah jendela dekat tubuh Letnan itu. Tapi jendela itu juga tidak menghubungkannya dengan

    dunia luar. Jendela itu keluar ke pekarangan dalam Loji itu sendiri.

    Barangkali dia bisa melarikan diri. Memukul mati seorang atau dua orang dalam ruangan ini. Tapi itu,

    jelas bahaya besar bagi peguruannya. Perguruannya tengah menghimpun tenaga.

    Tenaga setiap orang sangat dibutuhkan. Kini Sidi Marhaban, salah seorang senior di perguruannya telah

    mati, berarti tenaga sudah berkurang. Kalau dia juga mati, maka tenaga makin berkurang.

    Kalau dia meneruskan untuk menghantam orang-orang Inggeris ini, maka efeknya adalah ditangkapinya

    murid-murid Sunua. Itu jelas akan mematikan perguruan itu. Daripada murid-muridnya ditangkapi, lebih

    baik dialah yang memikul resiko itu. Demikian Anduang ini mengambil kesimpulan.

    Kalau dia harus juga ditahan, maka pimpinan perguruan di Ulakan masih bisa berusaha terus. Dengan

    harapan demikian dia tetap saja berdiri mendengarkan jebakan yang diatur untuk dirinya dalam bahasa

    yang tak dia mengerti.

    Tuan, tuan terpaksa saya tangkap. Tuan dan teman tuan ini telah menyerang perwira saya. Menyerang

    dan membunuhnya, ujar Kapten itu berkata tegas pada Anduang Ijuak.

    Anduang itu menatap si Kapten dengan mata yang disipitkan. Sesaat, hatinya berkata lagi, kalau

    kubunuh kafir yang satu ini, apakah mereka bisa ditaklukkan semua? Tapi dia kurang yakin.

    Sekali tiga hari selalu ada patroli berkuda dengan kekuatan lima puluh orang yang datang dari markas

    besar Inggeris di Padang.

    Kemudian sekali sebulan, ada kapal perangnya berlabuh di laut Pariaman. Barangkali esok atau lusa

    kapal itu akan berlabuh. Dan biasanya, kapal itu membawa serta dua ratus pasukan angkatan laut. Inilah

    yang membuat Anduang Ijuak dan pimpinan Ulakan lainnya berpikir masak-masak betul sebelum

    bertindak.

    Dengan pikiran itu pula Anduang ini mengurungkan niatnya untuk membunuh Kapten tersebut.

    Tangkap dan masukkan dia ke penjara. Menjelang dikirim ke Padang untuk diadili!! perintah Kapten

    itu menggema.

    Sebentar Kapten.., Anduang Ijuak berkata.

    Tentara yang mendekatinya dengan borgol di tangan menghentikan langkahnya. Kapten Calaghan

    menatap sambil mengacungkan pistol.

    Saya harap tuan menyerahkan jenazah teman saya ini ke perguruan kami

    Saya akan menyuruh orang ke sana dan menyuruh murid tuan untuk mengambil mayat ini ke mari.

    Sejenak Anduang Ijuak menatap Kapten itu. Ingin sekali dia meremukkan kepala jahanam itu. Namun

    perbuatan itu pasti takkan menyelesaikan masalah. Patroli Inggeris yang datang dengan pasukan

    berkuda dan singgahnya kapal perang mereka di perairan ini, menyebabkan dia harus berpikiran

    panjang.

    Saya harap tuan menepati janji tuan, kapiten. Saya tak ingin mayat ini teraniaya..

    Tuan mengancam saya?.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    15/39

    Tidak, tapi tuan telah berjanji.

    Bawa dia ke sel bawah tanah!

    Dan guru persilatan Sunua itupun diborgol di tangannya. Kemudian dengan menempuh jalan berbelit,

    dia dibawa ke sebuah kurungan bawah tanah. Kurungan khusus untuk orang yang berbahaya.

    Bunyi pintu besi yang telah berkarat terdengar menegakkan bulu roma ketika pintu tahanan itu dibuka.

    Beberapa ekor tikus berlompatan keluar tatkala Anduang itu didorong dengan kasar ke dalam.

    Kemudian pintu berdentang ketika di tutup kan. Lalu pintu papan di bahagian luar pun di tutup kan pula.

    Dan.gelap! Bau yang pengap. Udara yang sumpek. Dan di kakinya yang telanjang, beberapa ekor

    tikus berkeliaran. Cukup besar-besar.

    Dia tak bisa melihat apa-apa dalam kurungan ini. Bahkan tak bisa melihat dinding. Buat sesaat dia

    memejamkan mata. Mengatur pernafasan. Empat kali bernafas, dari getar udara yang ditimbulkan amat

    perlahan oleh nafas nya, berdasar pembalikan udara, dia dapat mengetahui, bahwa dinding penjara itu

    hanya tiga langkah ke kanan. Dan tiga langkah ke kiri. Ke belakang hanya selangkah. Yaitu dimana pintu

    besi tadi di tutup kan. Ke depannya hanya tiga langkah. Segitu lah luas kamar itu.

    Ke atas, hanya ada jarak sehasta antara loteng dengan ubun-ubunnya. Kamar itu segera saja jadi panas

    karena tak adapentilasi.

    Dia masih tegak di sana dengan diam. Pikirannya segera ke perguruannya.

    Banyak di antara teman dan murid-muridnya menyaran kan agar tidak memenuhi panggilan Letnan itu

    ke Loji.

    Tapi ketika dia meminta pendapat Syekh Malik Muhammad, maka pimpinan perguruan tinggi Islam

    Ulakan itu menyuruhnya untuk pergi.

    Pergilah. Supaya jangan ada alasan bagi mereka untuk menangkapi kita

    Tapi bagaimana kalau Inggeris memasang perangkap. Sehingga kami terjebak di sana. Dihadapkan pada

    situasi yang sulit sekali. Kemungkinan itu bukannya hal yang mustahil. Mengingat sifat penjajah sama

    saja. Apakah dia bernama Inggeris, Belanda atau Portugis sekalipun.

    Ya. Saya rasa, hal itu mungkin saja terjadi. Hanya saja harap Anduang hati-hati. begitu ucapan Syekh

    Malik Muhammad yang menjadi pimpinan tertinggi di antara mereka.

    Apa yang mereka duga tentang jebakan dan akal licik Inggeris itu, kini sudah jadi kenyataan. Dia hanya

    berharap agar Syekh malik Muhammad cepat bertindak. Dalam sejarahnya, perguruan tinggi Islam di

    Ulakan itu, dimana guru atau murid banyak orang-orang dari Aceh, Gujarat dan India, perguruan itu

    sudah beberapa kali ditutup.

    Ditutup karena sifat ekstrimnya terhadap penjajah yang berkuasa. Tapi perguruan itu senantiasa bisa

    bangkit kembali. Yaitu disaat-saat chaos. Disaat-saat ketidakpastian penjajahan. Disaat kekacauan.

    Adakalanya pesisir Barat Sumatera itu ditinggalkan oleh penjajah. Meskipun berada di bawah kekuasaan

    mereka. Tapi karena kekurangan personil, maka negeri itu dibiarkan saja. Ini terjadi ketika tahun-tahun

    1400, 1500 dan 1600 dimana secaara berurutan Portugis, Spanyol dan Belanda berkuasa.

    Dalam jil di bawah tanah itu kini keadaan sepi. Untuk pertama kalinya Anduang Ijuak melihat setitik

    cahaya merembes masuk, cahaya yang lemah yang masuk ke bilik tahanannya itu adalah cahaya yang

    menerobos celah kecil di pintu di balik pintu besi yang tadi ditutupkan di belakangnya.

    Anduang Ijuak meraba-raba dalam kegelapan itu. Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah balai-balai di

    sebelah kanan. Balai-balai dari beton. Tangannya terpegang beberapa ekor tikus. Yang tampaknya telah

    mendaulat tempat itu sebagai tempat mereka.

    http://www.artikata.com/arti-344534-pentilasi.htmlhttp://www.artikata.com/arti-344534-pentilasi.htmlhttp://www.artikata.com/arti-344534-pentilasi.htmlhttp://www.artikata.com/arti-344534-pentilasi.html
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    16/39

    Tikus-tikus itu bertemperasan. Lari dengan suara mencericit. Dia lalu menanggalkan jubahnya yang

    berwarna merah. Mengibaskannya ke atas balai-balai itu. Kemudian perlahan dia duduk. Terasa dingin.

    Pikirannya melayang pada temannya. Sidi Marhaban yang tewas. Tapi dia agak puas juga. Sebab Sidi itu

    juga telah membunuh letnan pongah itu.

    -o0o

    Di Loji Inggeris itu suasana jadi sibuk luar biasa. Sibuk dan tegang. Terbunuhnya Letnan Sammy

    menimbulkan kegoncangan dan amarah di kalangan pasukan berkuda Inggeris yang sengaja di

    tempatkan di Loji itu.

    Kapten Calaghan sendiri mengadakan rapat darurat. Tamu-tamu yang datang ke Loji itu, para pedagang

    dari Aceh, india dan Gujarat, segera diminta untuk meninggalkan Loji.

    Bendera Inggeris yang terpancang tinggi di sudut Utara Loji, segera di kerek turun setengah tiang diiringi

    bunyi terompet yang menegakkan bulu roma.Penduduk Pariaman yang berada di sekitar Loji itu menjadi

    terkejut. Keterkejutan mereka bermula dari suara-suara letusan dari dalam Loji tadi. Banyak di antara

    mereka yang melihat Anduang Ijuak dan Sidi Marhaban memasuki Loji Inggeris itu.Berita kedatangan

    pasukan berkuda ke perguruan Sunua telah tersebar ke seluruh pelosok. Dalam sehari semalam saja,

    berita itu telah menjalar ke mana-mana.

    Parang Pariaman (bagian 8)

    Atau mungkin pasukan berkuda itu membawa pesan dari guru mereka untuk menjemput beberapa

    orang murid yang yang termasuk senior untuk diajak serta dalam perundingan di loji.Mereka menanti

    dalam diam dalam sasaran. Tapi pintu gerbang tak kunjung diketuk. Tak ada panggilan untuk membuka.

    Yang terjadi justru suara telapak kuda yang bergerak makin menjauh untuk kemudian lenyap sama

    sekali.

    Para murid itu saling bertukar pandangan.

    Ada apa? tanya seseorang.

    Ya, ada apa? sela seseorang yang lain.

    Lalu sepi. Mereka berusaha menajamkan telinga. Berusaha menangkap suara mencurigakan dari luar

    sana. Namun tak ada apa-apa kecuali suara angin yang mengipas daun-daun kelapa.

    Kita lihat ke luar..

    Ya, kita lihat ke luar..

    Ya..!

    Ayolah

    Ayo!

    Tidak. Jangan semua. Cukup bertiga, saya, engkau dan engkau. Yang lain tunggu saja di sini. Berjaga

    kalau-kalau ada sesuatu yang tak beres. Nah, mari kita ke luar.

    Ketiga murid senior perguruan Sunua itupun segera mendekati pintu gerbang. Yang lain tegak menanti

    dan menatap dari jarak sepuluh depa. Yang seorang maju, mengangkat kayu yang memalangi pintu.

    Kayu sebesar betis dan panjangnya tiga meter itu dicuilnya dengan telunjuk. Kayu itu mental ke atas.

    Ketika meluncur turun, disambut dengan tangan kiri.Dia membuka pintu. Di depan gerbang itu kosong!

    Angin dari laut menerpa masuk. Terasa angin.

    Tak ada apa-apa.

    Ya. Tak ada apa-apa.

    Tapi tadi jelas mereka mendekati gerbang ini!.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    17/39

    Tapi mereka juga segera menjauhinya.

    Bagaimana kalau kita melihat agak keluar sana.

    Ya. Itu barangkali lebih baik.Ketiga mereka melangah perlahan melewati gerbang itu. Tak ada apa-apa!

    Kosong dan sunyi!

    Tak ada apa, suara salah seorang di antara mereka terputus tatkala tiba-tiba dia melihat sesosok

    tubuh tertelungkup dekat pagar perguruan tak jauh dari gerbang di sebelah kanan.

    Ya Tuhan, ada mayat! katanya perlahan.

    Kedua temannya menoleh ke tempat yang ditatapnya. Dan mereka sama-sama melihatnya.

    Angku Sidi!! seru mereka hampir bersamaan tatkala mengenali sosok itu dari pakaian yang mereka

    kenal sebagai milik Sidik Marhaban. Mereka berlarian ke mayat itu.

    Ya Allah, ya Rabbi! Kapir-kapir itu telah membunuh Angku Sidi! seru salah seorang diantara mereka.

    Seruan itu membuat semua murid perguruan Sunua itu bertemperasan datang ke sana. Di hadapan

    mereka, di dekat tunggul pohon kelapa, di pasir putih yang sejuk, mereka menyaksikan sebuah

    pemandangan yang mengharukan, sekaligus membakar hulu jantung mereka.

    Sidi Marhaban, pelatih mereka yang selalu mewakili Anduang Ijuak, terbaring dengan muka, dada dan

    punggung robek oleh peluru. Dari bekas luka darah masih mengalir terus.

    Kapir jahanam! Kita serang merekaaaa!

    Kita tuntut kematian ini!

    Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!

    Keadaan tak teratasi lagi. Ketika mayat Sidi Marhaban itu diangkat ke dalam sasaran, sekitar belasan

    orang di antara mereka sudah berlarian ke kandang kuda.

    Hanya sekejap setelah itu kuda-kuda itu telah menderu keluar dari perguruan tersebut. Namun begitu

    tiba di luar perguruan, kuda yang paling depan dihentikan mendadak. Kuda itu mengangkat kaki

    depannya tinggi-tinggi karena kaget. Pasukan yang di belakang terpaksa berhenti pula mendadak.

    Ada apa? Ayo maju!

    Teriak seseorang dari belakang. Yang di depan tak menyahut. Justru berusaha menenangkan kudanya.

    Yang di belakang tadi karena jengkel, mengambil jalan menyeli-nyelit di antara temannya untuk maju ke

    depan. Sesampainya di depan, dia juga ikut tertegun. Tegak dengan diam.Kemudian seperti dikomando

    mereka turun perlahan dari punggung kuda. Kemudian membungkuk memberi hormat.

    Angku Syech. kata salah seorang di antara mereka dengan takzim.

    Di depan mereka, yang menyebabkan mereka terpaksa menghentikan kuda dengan tiba-tiba adalah

    karena munculnya Syekh Malik Muhammad, pimpinan tertinggi perguruan Ulakan dan Sunua.Syekh itu

    tegak di sana dengan tenang. Di sisinya tegak pula dua orang wakilnya. Yaitu Syekh Fakhruddin dan

    Syekh Mualim.

    Akan ke mana, anak-anak? tanya orang tua itu lembut.

    Angku, tuanku Sidi Marhaban telah dibunuh dengan kejam oleh kapir-kapir di Pariaman. Kami akan ke

    sana menuntut balas.

    Ya. Saya sudah mendengar musibah itu. Karena itulah kami datang kemari menemui kalian

    Kita serang saja loji mereka tuan Syekh.. Menyerang tanpa rencana, tanpa perhitungan yang masak,

    akan menyebabkan kita mati konyol. Saya tidak sepaham dengan ucapan tuan Syekh.!

    Coba kau jelaskan dimana kita yang tak sepaham

    Tentang mati konyol itu

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    18/39

    Bagaimana pendapatmu, nak?

    Bukankah dalam Alquran dikatakan bahwa muslim yang berjihad di jalan Allah bila dia mati, maka

    matinya adalah mati syahid?

    Syekh Malik Muhammad menarik nafas panjang. Bibirnya melukiskan senyum tipis.

    Benar. Siapa yang berperang di jalan Allah, dan mati, akan mati syahid. Tapi mati syahid itu bertingkat,

    nak. Jika engkau datang menyeruduk Inggeris di Pariaman sana tanpa perhitungan sama sekali, meski

    dengan alasan membela teman yang dibunuhnya, padahal engkau tahu bahwa kekuatan tidak seimbang

    dengan kekuatan mereka, maka bila engkau mati, kematianmu sama dengan seorang yang bunuh

    diri.Dan engkau tahu, dimana Tuhan meletakkan orang bunuh diri di Yaumil Akhir, bukan?

    Murid-murid Sunua itu pada terdiam. Menunduk. Dan Syekh itu menyambung lagi :

    Mari kita misalkan, kita datang kesana seperti kedatangan yang kalian rencanakan sebentar ini, artinya

    kita datang dengan memacu kuda secepatlimbubu.Kemudian memekik Allahuakbar sehingga

    menegakkan bulu roma. Kemudian lagi, sebelum kita mencapai dinding loji itu, mereka telah

    menyambut kita dengan semburan timah dan serpihan besi.Semua pelurunya menembus tubuh kita.

    Kita mati tercampak ke tanah, tanpa dapat menyentuh salah seorangpun diantara mereka. Tak

    seorangpun! Sebab loji itu berpagar tinggi. Sebelum peristiwa ini saja loji itu dijaga dengan sangat ketat

    setiap saat.

    Apalagi setelah peristiwa ini. Penjagaan sudah pasti mereka lipatgandakan. Nah, anak-anak, kedatangan

    kita ke sana, sudah pasti merupakan bunuh diri. Kecuali kalau kita bisa mengatur siasat dan berfikir agak

    tenang, dan memukul mereka pada saat yang tepat..

    Murid-murid Sunua itu masih terdiam semua. Tak ada yang bisa mereka pikirkan, kecuali menerima

    kebenaran ucapan Syekh Malik Muhammad itu.

    Kami datang kemari karena ingin membicarakan hal itu dengan kalian semua. Bagaimana kalau kita

    masuk ke dalam. Apakah anak-anak tak keberatan untuk surut setapak?

    Saya, angku. jawab mereka serentak dan perlahan berbalik menuntun kuda mereka, masuk kembali

    ke dalam komplek perguruan.

    Mereka menyilahkan ketiga Syekh itu untuk berjalan di depan. Dan mereka menurut di belakang. Di

    Balai Tengah, yaitu di sebuah rumah besar yang terletak di tengah ruangan dimana biasanya pimpinan

    perguruan mengadakan rapat dengan murid-muridnya bila membicarakan hal yang penting, beberapa

    murid Sunua kelihatan tengah menunggui mayat Sidi Marhaban.

    Ketiga Syekh itu tertegak di bawah balai tengah itu. Mayat Sidi tersebut terbujur dan ditutupi dengan

    sehelai kain hijau bersulam tulisan arab

    Innalillah wa innailaihi rojiun. Mereka menatap diam ke atas balai. Ke mayat yang terbujur itu.

    Bukakan kain penutupnya, nak ujar Syekh Ulakan perlahan.Salah seorang dari murid-murid yang

    menunggui jenazah itu menyingkap kain tutup mayat tersebut.

    Masya Allah!!

    Ketiga Syekh itu mengucap tatkala melihat penderitaan mayat tersebut. Mereka sebenarnya telah

    mendapat kabar tentang kematian Sidi Marhaban. Mereka telah dilapori oleh seorang pedagang Aceh

    yang saat itu jadi tamu di loji, dan yang sebenarnya orang Aceh itu adalah juga orang yang menuntut

    ilmu perguruan Ulakan.

    Tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya jati diri dari Sidi Marhaban ini,maka Syekh Malik Muhammad

    menceritakan nya pada murid-murid sunua tersebut.Dulu pimpinan perguruan sunua ini di pimpin oleh

    http://www.kamusbesar.com/23568/limbubuhttp://www.kamusbesar.com/23568/limbubuhttp://www.kamusbesar.com/23568/limbubuhttp://www.kamusbesar.com/23568/limbubu
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    19/39

    Syekh Fachturahman,pada suatu hari ada seorang anak muda yang datang mencarinya untuk di tantang

    berkelahi.Setelah di temui oleh Syekh Fachturahman,tanpa basa-basi anak muda itu langsung

    menyerangnya,dan Syekh itu hanya mengelak dari serangan itu.Namun dalam mengelak itu, dia masih

    bertanya:

    Anak muda, berapa orang engkau adik beradik makanya engkau berani datang kemari menyabung

    nyawa?

    Sambil tetap melancarkan serangan, anak muda itu menjawab bahwa dia anak tunggal. Karenanya dia

    tinggalkan ibunya untuk menuntut bela. Mendengar jawaban itu, Fachturahman berhenti mengelak. Dia

    tegak dan menatap anak muda itu dengan senyum. Anak muda itu maju, menikamnya berkali-kali.

    Fachturahman tak berusaha mengelak. Barulah setelah orang itu hampir rubuh, anak muda itu sadar,

    bahwa lawannya tak mengelak dari serangannya. Dia lalu bertanya sambil menyentakkan badik dari

    dada lawannya :

    Hai orang Ulakan yang terkenal bagak, kenapa engkau tak mengelak atau balas menyerang?

    Sambil terduduk dan mendekap dadanya yang berlumur darah, Fachturahman men jawab :

    Anak muda, aku bangga padamu. Sebagai anak satu-satunya, dari jauh engkau datang menuntut balas

    kematian ayahmu. Alangkah bahagianya orang tuamu. Kalau saja aku punya anak seperti engkau, ah,

    alangkah bahagianya. Malang, lima orang anakku, lelaki semua. Meninggal karena sakit, sakit karena

    lapar ketika usianya masih sangat muda. Aku sangat sedih. Karenanya aku tak mau membunuhmu,

    karena aku telah merasakan betapa pahitnya kematian anak

    Lagipula anak muda, kata Faturahman di sisa tenaganya,

    ayahmu tidak mati di tanganku, kami berbeda perguruan. Suatu hari perguruan kami berselisih. Untuk

    jalan tengah dari pihaknya dia tampil, dari pihak Ulakan saya yang tampil untuk saling mengadu

    kepandaian. Barangkali Tuhan melebihkan sedikit kepandaian pada saya. Hingga ayahmu terluka. Hanya

    terluka, anak muda. Dia tidak mati. Sebulan setelah itu dia sembuh dan kami jadi kawan karib. Dua bulan

    pula setelah perkelahian itu, dia dibunuh seseorang.

    Yang kami dan dia sendiri tak mengenalnya. Tapi orang menduga bahwa yang membunuh ayahmu

    adalah aku... Syekh itu berhenti lagi bercerita. Murid-muridnya tertegun mendengar cerita yang di

    luar dugaan itu.

    Lalu bagaimana kelanjutannya, angku?

    Lalu, Fachturahman, murid tertua perguruan Ulakan itu melanjutkan ceritanya, bahwa dugaan yang

    memberatkan dia yang membunuh adalah karena perkelahian dua bulan yang lalu itu. Sampai hari itu,

    yaitu di hari anak itu menuntut balas, tak juga pernah diketahui siapa yang membunuh ayahnya.

    Anak itu terkejut mendengar cerita itu. Dia tak dapat menahan air matanya. Di antara tangis yang tak

    berbunyi itu, anak Bugis itu bertanya:

    Kenapa bapak tidak menceritakan hal ini kepada saya sejak dari tadi, sebelum perkelahian ini terjadi.Dan kenapa bapak menerima saja tikaman badik saya?. Padahal bapak mampu mengelak kannya?

    Fachturahman menjawab.

    Aku tidak menceritakannya karena engkau datang untuk menantang ku berkelahi, bukan untuk mencari

    kebenaran tentang kematian ayahmu. Apapun yang akan kujelaskan, pasti takkan bisa kau terima nak.

    Sebab orang yang dibakar dendam, niatnya hanya satu yaitu membunuh lawan yang dibencinya. Dan

    kenapa aku tak mau melawanmu, padahal dengan mudah engkau bisa ku kalahkan? Sebabnya, aku

    sudah biasa menang dalam banyak perkelahian, dan dalam banyak persoalan. Kenapa untuk

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    20/39

    membahagiakan anak yang datang menuntut bela kematian ayahnya, aku tak mau mengalah?. Sesekali

    aku juga harus mau dikalahkan orang. Sesekali aku harus tahu, bagaimana rasanya jadi orang yang

    ditakluk kan. Dan dengan cara ini pula, aku bisa bicara padamu. Bisa menceritakan hal yang

    sebenarnya

    Parang Pariaman (bagian 9)

    Anak muda itu menangis menyesali dirinya. Dan Fachturahman meninggal di sana. Sejak saat itu, anak

    muda itu tak mau beranjak dari Ulakan.

    Dia memohon bekerja menjadi budak untuk menebus dosanya. Tapi tak seorangpun di antara murid dan

    pimpinan Ulakan yang menyalahkannya. Dia diterima secara wajar. Sebagai seorang murid yang sama

    hak dan derajatnya dengan murid-murid yang lain.

    Dan anak muda itulah yang dari tahun ke tahun selalu tegak paling depan kalau ada orang yang

    mengganggu Ulakan atau Sunua. Karena saleh dan taatnya, karena setia dan budinya, penduduk

    memberinya gelar Sidi. Orang yang patut dimuliakan. Nah, anak-anak, itulah cerita tentang diri Sidi

    Marhaban. Guru kalian yang hari ini dibunuh Inggeris. Syekh itu mengakhiri ceritanya.

    Murid-murid perguruan silat dari Sunua itu tak seorangpun yang bergerak. Banyak di antaranya yang

    meneteskan air mata. Terharu akan cerita tentang diri Sidi Marhaban anak Bugis itu.Terbayang lagi hari-

    hari yang mereka lalui bersama Sidi tersebut. Memang sedikit sekali di antara mereka yang mengetahui

    bahwa Sidi itu bukanlah orang Pariaman. Sebab bahasa yang dia pakai, tata cara dan tatakramanya

    selama ini, tak ada bedanya dari penduduk asli.

    Terbayang lagi oleh mereka, betapa dalam latihan-latihan yang diawasi Sidi itu, bila terjadi kesalahan,

    dia tak langsung memarahi. Biasanya Sidi memanggil murid yang melakukan kesalahan itu. Menanyakan

    di mana dan bagaimana kabar orang tua si murid. Apakah sehat-sehat. Apakah mereka hidup

    berkecukupan atau dalam kesulitan. Kemudian secara perlahan dan sangat bijaksana, baru dia

    menunjukkan kesalahan si murid.

    Caranyapun tidak dengan mengatakan, ini atau itu salah. Melainkan dengan perbandingan. Dia selalu

    memakai kalimat Bagaimana kalau. Jika seorang murid terlambat bangun pagi, sehingga dia terlambat

    sembahyang dan latihan, maka Sidi Marhaban biasanya bertanya : Bagaimana kalau pagi ini anda tak

    usah ikut latihan.Siang saja nanti, tapi latihan yang intensif. Karena saya lihat anda masih belum

    konsentrasi. Tawaran ini sama sekali bukan sindiran. Itu adalah tawaran yang ikhlas. Dan murid-murid

    Sunua sangat menghormatinya karena sikapnya itu.

    Dia tak pernah berang sambil membentak : Kenapa bangun lambat!! Itulah kenapa tadi mereka segera

    saja berlompatan ke punggung kuda dan akan menyerang Loji itu tanpa memperdulikan keselamatan

    diri mereka sendiri.Kini, Sidi yang anak Bugis yang telah jadi orang Pariaman itu, telah tiada. Mati

    ditembak dengan keji oleh Inggeris.

    Jangan khawatir. Kita semua berduka dan menyimpan dendam yang paling dalam di hati kita atas

    kematian Sidi ini. Semua kita akan menuntut bela. Tak seorangpun yang akan kita biarkan mati sia-sia.

    Hutang nyawa akan kita balas dengan nyawa. Tapi kita tunggu waktunya. kata Syekh Malik perlahan.

    Ketika pusara selesai digali, ketika mayat akan diusung, tanpa dimandikan karena dia syahid, tanpa

    diduga datang berpuluh-puluh penduduk Pariaman, datang pula penduduk dari Sunua dan Ulakan, dari

    Petak dan Ketaping, mereka datang sebagai tanda ikut berduka yang dalam.

    Rupanya berita kematian Sidi yang berbudi itu telah menjalar ke segenap penjuru seperti api memakan

    sekam. Penduduk negeri-negeri itu tak lupa, bahwa Sidi Marhaban adalah lelaki rendah hati yang selalu

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    21/39

    turun tangan membantu orang lain.Pendekar yang memiliki ilmu cukup tinggi. Namun tak pernah

    menyombongkan dirinya sedikitpun. Orang Pariaman terkenal penaik darah dan suka main keroyok.

    Mungkin karena mereka penduduk pantai yang bekerja sebagai pelaut. Mungkin pengaruh laut yang

    selalu bergelombang tak stabil, selalu menantang bahaya dengan tegar, maka mereka menjadi cepat

    naik darah dan merasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi tiap bahaya yang menimpa salah

    seorang di antara mereka.

    Suatu hari pernah terjadi, seorang nelayan yang tengah menjual ikan hasil tangkapannya bertengkar

    dengan seorang penduduk soal harga. Bermula dari tawar menawar, karena merasa terlalu mahal tak

    jadi membeli.Suatu hal yang lumrah saja sebenarnya dalam sistem pasar sebelum membeli orang

    menanyakan harga. Kalau dirasa terlalu mahal tak jadi membeli. Bukankah membeli harus sebatas

    kemampuan?

    Namun nelayan itu merasa tersinggung. Dia memaki. Kalau tak ada duit jangan menawar ikan orang.

    Kalau mau yang murah kawin saja dengan saya. Ucapan ini membuat si penawar, seorang ibu, jadi

    terperangah, malu dan sakit hati.Terjadi pertengkaran mulut. Suami perempuan itu ikut campur. Sebuah

    bogem mentah sudah mendarat di dahi suami perempuan itu. Saat itulah Sidi Marhaban, yang belum

    begitu dikenal orang Pariaman, datang dan memegang nelayan itu. Menyabarkannya dengan kata-kata

    lembut.

    Tapi si nelayan balik berang padanya. Dan menyerang Sidi dengan pisau. Sidi mengelak beberapa kali.

    Melihat orang ini bisa mengelak, agak pendekar, maka teman-temannya yang lain segera ikut

    mengeroyok.Sidi Marhaban, meski tengah di keroyok, sempat memberi isyarat pada kedua suami isteri

    yang dia tolong itu agar cepat-cepat pergi dari sana. Setelah kedua orang itu pergi, dengan sedikit

    gerakan dia memukul pergelangan ketiga orang itu dengan dua jarinya. Kontan pisau di tangan mereka

    terlempar.

    Sidi segera menyelinap di antara orang ramai, menghindar dari sana. Kembali cepat-cepat ke Sunua.

    Tapi ternyata peristiwanya tak berakhir hingga itu. Nelayan Pariaman tadi tahu, bahwa yang telah

    membuat malu mereka dengan memukul tangan mereka hingga pisau itu jatuh, adalah orang Sunua.

    Nah, sekitar lima puluh nelayan, pedagang atau petani Pariaman, umumnya muda-muda, tapi ada juga

    yang tua bangka, melakukan penyerbuan ke Sunua.

    Di Sunua mereka sempat memukul dua orang penduduk untuk menanyakan di mana orang yang punya

    ciri-ciri seperti Sidi yang menyerang mereka kemaren. Mereka hanya tahu ciri-cirinya, tak tahu namanya.

    Karena penduduk tak bisa menjawab, mereka dipukuli. Sidi Marhaban sendiri yang merasa tak sedap,

    keluar dari perguruannya. Dan begitu orang melihatnya, maka merekapun berseru :

    Itu dia! Lanyauuu!.

    Tojeh jo sakin!

    Dan mereka yang bersenjata pisau, parang dan tombak itu menggebu mamburu. Dengan tenang Sidi

    Marhaban tegak menanti. Mulutnya mengguriminkan doa. Di tak ingin ada korban di antara rakyat yang

    gelap mata dan bodoh ini. Karenanya, sebelum orang-orang kalap itu dekat benar, dia mendekati

    sebatang kelapa yang tingginya enam meter dan tengah berbuah lebat.

    Dengan perlahan menyebut nama Allah, batang kelapa itu dia tepuk tiga kali. Hanya Tuhan jua yang

    Maha Tahu, akibat tepukan perlahan itu, belasan buah kelapa berjatuhan ke tanah!

    Penduduk yang memburunya terhenti. Ternganga. Sidi Marhaban masih tak bersuara. Dia memungut

    sekaligus empat buah kelapa masak. Melambungkannya ke atas, lalu mengibaskan tangannya ke arah

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    22/39

    empat kelapa itu. Keempat buah kelapa itu telambung ke segala penjuru dalam keadaan hancur!

    Penduduk yang datang menyerang ternganga. Ada yang menggigil saat membayangkan kelapa itu

    adalah kepalanya! Sidi itu kemudian berkata perlahan :

    Saya orang rantau. Tujuh lautan telah saya lalui untuk sampai ke negeri ini. Jika saya pakai bahasa yang

    sombong, maka ucapan saya akan berbunyi: Saya tak takut mati. Dan jumlah sebanyak ini, masih kurang

    untuk menghadapi saya. Tapi bahasa kesombongan itu tak pernah saya pakai. Karena agama saya

    membenci orang-orang yang sombong dan takabur

    Parang Pariaman (bagian 10)

    Akhirnya negeri anda dibenci karena suka berkelahi main keroyok. Sedangkan tugas utama, yaitu

    memerangi penjajah dan membangun negeri tak lagi sempat dikerjakan. Karena pemuka masyarakat

    sudah sibuk mengurus masalah perkelahian, turun-temurun!

    Kenapa kalian hanya bersatu ketika menyerang orang negeri kalian saja. Kenapa kalian hanya bersatu

    karena menyerang orang Sunua saja. Dan kalian orang-orang Sunua, kenapa kalian bersatu ketika

    berkelahi dengan orang Pariaman atau orang Ulakan saja. Kenapa kalian tak bersatu, atau tak

    menggunakan persatuan kalian itu untuk menyerang Inggeris yang menjajah negeri kalian?

    Kenapa?! Apakah orang Inggeris yang menjajah itu lebih mulia dari orang negeri kalian sendiri, atau

    bagakkalian hanya ditujukan pada orang kampung sendiri, sementara bila berhadapan dengan penjajah

    jiwa kalian jadi kerdil?

    Negeri ini tengah dijajah. Tengah diperas. Banyak pemimpinnya telah ditangkap dan dibunuh oleh

    penjajah. Baik bangsa Belanda maupun bangsa Inggeris dan Portugis. Tapi saya tak pernah melihat kalian

    jadi fanatik dan bersatu untuk membunuh penjajah yang telah membunuh pemuka kalian itu. Cobalah

    jawab, kenapa?

    Sidi itu berhenti lagi. Kebenaran ucapannya secara perlahan, tapi pasti, menyelusup ke dalam hati

    semua orang Pariaman yang datang ke sana untuk membunuhnya itu. Ucapan itu juga menyelusup ke

    hati orang-orang Sunua yang saat itu berkumpul pula di sana untuk melawan orang Pariaman yang tadi

    telah memukul orang kampung mereka.

    Semua mereka terdiam. Menunduk dan merasa malu. Mereka coba mengingat sudah berapa kali

    mereka berkelahi dan terlibat dan cakak banyak yang berlumur darah dan menimbulkan korban tak

    sedikit dalam perang antarkampung. Sudah berapa kalikah? Tak terhitung lagi.

    Mereka bahkan pernah mengirim pasukan ke Padang. Yaitu ketika di sana terjadi perkelahian antara

    orang Pariaman dengan orang Agam. Bahkan mereka pernah mengirim pasukan ke Riau. Ketika di sana

    terjadi perkelahian antara orang Pariaman dengan orang Aceh.

    Apa yang dikatakan oleh Sidi Marhaban ini memang benar. Banyak pimpinan mereka yang ditangkapi

    oleh Inggeris. Namun mereka tak punya nyali untuk melawan. Yang di tangkap itu dibiarkan saja disiksa.

    Suara Sidi yang orang Bugis itu terdengar lagi :

    Tak ada soal yang selesai dengantikaman. Tak ada orang yang jadi orang besar karena buku jari. Orang

    jadi orang besar karena otaknya. Karena itu, cobalah berfikir agak tenang. Jangan menurutkan hati

    panas.

    Tiba-tiba salah seorang di antara mereka, maju.

    Sidi. Anda orang asing. Kami sudah siap untuk membunuh anda. Untuk anda ketahui, belum ada orang

    yang berani mengatai-ngatai kami seperti yang ada lakukan sebentar ini. Seharusnya anda kami gantung

    dan kami sayat-sayat. Tapi semua yang anda katakan semata-mata adalah kebenaran. Kami jadi malu

    http://www.artikata.com/arti-320225-bagak.htmlhttp://www.artikata.com/arti-320225-bagak.htmlhttp://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://tikamsamurai.wordpress.com/http://www.artikata.com/arti-320225-bagak.html
  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    23/39

    pada diri kami. Pada kebodohan kami. Kami telah terlanjur datang kemari, betapapun tak ada yang

    terlambat. Ternyata kedatangan kami kemari ada manfaatnya. Yaitu dapat mendengarkan apa yang baik

    dan apa yang tidak, tentang kelakuan kami selama ini. Untuk itu, saya atas nama diri saya pribadi, atas

    nama teman-teman yang lain, minta maaf. Maafkanlah kebodohan saya, kebodohan kami. Kami

    memang tak punya pendidikan yang tinggi. Bahkan sekolahpun tidak..maafkan kami!

    Lelaki Pariaman itu mengulurkan tangannya. Sidi Marhaban juga. Tapi mata anak Bugis itu berkaca.

    Kejujuran lelaki Pariaman itu, tentang kebodohan dan ketidak berpendidikannya, sangat mengharukan

    hati Sidi itu. Lelaki jujur yang alangkah rendah hatinya. Dia salami tangan orang Pariaman itu dengan

    erat.

    Tuan lelaki yang berbudi. katanya.Orang Pariaman itu sendiri sudah sejak tadi merasa ingin

    menangis. Namun dia nelayan yang keras hati. Dia membuang muka menatap ke laut. Dia tidak ingin Sidi

    melihat air matanya menitik turun. Dan ketika tangannya telah dilepaskan oleh Sidi yang berbudi itu, dia

    cepat-cepat menghindar dari depan orang saleh itu.

    Orang-orang Pariaman yang lain juga berdatangan minta maaf. Menyalaminya. Kemudian bersalaman

    dengan penduduk Sunua yang tadi beberapa orang telah mereka sakiti.Begitu kesan mendalam yang

    ditinggalkan oleh Sidi Marhaban pada orang-orang Pariaman dan sekitarnya. Dan kini, ketika orang-

    orang itu mendengar bahwa Sidi itu meninggal, mereka lalu datang menunjukkan rasa duka cita dan rasa

    kehilangan yang amat dalam.

    Izinkan kami ikut memikul keranda jenazah orang berbudi ini, tuan Syekh. salah seorang dari pemuka

    Pariaman itu berkata.

    Syekh Malik Muuhammad menatapnya. Dan memberi isyarat pada dua orang murid Sunua dan Ulakan

    yang memikul keranda mayat di bahagian depan. Kedua murid itu memberikan pikulan tersebut pada

    dua orang Pariaman. Dan iringan jenazah itupun bergerak ke pekuburan murid-murid Syekh

    Burhanuddin di Ulakan.

    o0o

    Prosesi jenazah itu adalah prosesi yang duka. Tapi dalam prosesi itu sudah tumbuh benih kebencian

    yang amat membakar pada penjajah Inggeris. Mereka tengah menimbun tanah yang terakhir ke pusara

    tatkala derap kaki kuda itu terdengar lagi.

    Saat itu hari sudah berlalu senja. Syekh Malik Muhammad mulai membacakan doa tatkala pasukan

    berkuda Inggeris itu mulai mengepung mereka. Kemudian terdengar suara Kapten Calaghan bergema.

    Kami atas nama Kerajaan Inggeris.

    Syekh Malik Muhammad terus membaca doa. Seluruh yang hadir mengaminkan, seperti tak

    mengacuhkan kehadiran pasukan berkuda Inggeris itu. Lalu kembali terdengar suara Kapten Calaghan.

    Saya akan menangkap beberapa orang di antara tuan-tuan dari Sunua dan Ulakan..

    Syekh Malik Muhammad masih membaca doanya. Banyak di antara yang hadir menitikkan air matanya,

    tatkala dia membaca doa tersebut. Akhirnya doa itupun selesai. Syekh Malik Muhammad memalingkan

    kepala. Menatap pada pasukan berkuda Inggeris yang mengepung mereka. Menatap pada Kapten

    Calaghan yang masih duduk di punggung kudanya.

    Menatap pada pasukan yang menodongkan moncong bedil pada mereka. Wakil pimpinan perguruan

    Sunua dan Ulakan, Syekh Fakhruddin dan Syekh Malik juga menatap pada pasukan berkuda itu.Kapten

    Calaghan memajukan kudanya. Dengan pedang terhunus, dia menunjuk pada Syekh Malik Muhammad

    dan kedua wakilnya.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    24/39

    Atas nama kerajaan Inggeris, tuan bertiga saya tangkap.Suaranya terdengar bersipongang. Sementara

    ujung pedangnya ditujukan pada ketiga Syekh itu.

    Atas tuduhan apa tuan menangkap kami. Atas tuduhan menyusun kekuatan untuk melawan kerajaan

    InggerisSyekh Malik Muhammad tertawa renyah.

    Kapiten, saya hanya memimpin sebuah perguruan Islam. Saya hanya mengajarkan ilmu bukan

    mengajarkan orang berperang. Bagaimana tuan bisa mengatakan kami menyusun kekuatan untuk

    menyerang tuan..

    Syekh! Sudah beberapa kali kami peringatkan agar perguruan tuan yang di Sunua itu ditutup. Tuan

    boleh mengajar terus di Ulakan. Tapi tidak boleh membuka sasaran silat. Namun tuan tak mengacuhkan

    permintaan kami. Dan siang tadi, seorang murid tuan, yang kini tuan kubur, telah membunuh perwira

    saya.

    Bukankah itu terjadi karena perwira tuan menyerang terlebih dahulu?

    Banyak tentara saya jadi saksi, bahwa murid tuan yang menyerang terlebih dahulu

    Syekh Malik Muhammad tertawa mendengar kesaksian itu. Kapiten ini cerdik sekaligus licik. Dan

    sekaligus menganggap orang lain bodoh saja. Anak buahnya yang dia jadikan saksi atas peristiwa

    terbunuhnya letnan di loji itu. Tentu saja mereka berpihak pada letnan itu.

    Masih dengan menahan diri, Syekh Malik bertanya.

    Kami ingin tahu, dimana temannya yang bernama Anduang Ijuak, yang tadi pagi datang bersama

    temannya yang mati ini ke loji tuan untuk berunding.

    Dia terpaksa kami tahan, karena dia juga menyerang Letnan Sammy.Suasana jadi sepi. Namunitu

    hanya sebentar. Salah seorang murid Ulakan yang menempuh pendidikan tingkat kedua di Sunua, sudah

    tak tahan lagi mengekang amarahnya.

    Tadi dia termasuk di antara para murid yang ingin menyerbu ke loji Inggeris itu tatkala mereka

    menemukan mayat Sidi Marhaban. Untung di luar perguruan mereka bertemu dengan ketiga Syekh

    pimpinan perguruan tinggi Islam di Ulakan itu.Namun kali ini, murid yang cukup tangguh ini, tak bisa lagi

    menahan berangnya. Dia tegak tak begitu jauh dari Syekh malik Muhammad. Dan di dekatnya tegak, ada

    seorang tentara Inggeris. Dia mengukur jarak. Dan ketika orang sedang berunding itulah tiba-tiba sekali

    tubuhnya melompat. Tubuhnya mendarat di belakang tubuh tentara Inggeris yang duduk di atas kuda

    dua depa dari tempatnya tegak tadi.

    Begitu berada di atas punggung kuda di belakang tentara itu, dia segera mencekiknya dengan kuat. Dia

    mencekik dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyentak pedang di pinggang serdadu itu. Dan dengan

    sebuah pekik Allahuakbar, dia lalu menggebrak kuda itu maju. Seorang prajurit lainnya menghadang.

    Pedang di tangan kiri murid Ulakan itu bekerja. Kepala serdadu itu putus!

    Kejadian ini luar biasa cepatnya. Dan begitu kepala prajurit itu menggelinding ke bawah, murid Sunua itu

    segera memacu kuda ke arah Kapiten Calaghan! Namun Kapten itu bukan orang sembarangan. Dia

    sudah berpengalaman dalam perang di Eropah sana.Gebrakan kuda itu dia elakkan, dan begitu kuda itu

    terlewat sedikit di depannya, pedangnya balas membabat! Dan murid Sunua itu memekik. Lehernya

    bahagian belakang belah!Namun dia tak segera melepaskan musuhnya yang sejak tadi telah dia cekik.

    Cekikannya makin kuat. Kapten itu menebas lagi dengan pedangnya. Dan murid Sunua itu tersentak.

    Jatuh dan mati.

    Parang Pariaman (bagian 11)

    Tidak hanya sampai di sana. Dari pihak Ulakan tidak hanya berempat yang ditangkapi, ada dua puluh

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    25/39

    orang jumlah mereka. Semuanya dilakukan Inggeris demi keamanan. Dikhawatirkan, kalau murid-murid

    senior Ulakan itu berada di luar Loji, bisa berbahaya. Mereka bisa menyusun kekuatan. Oleh karena itu

    Kapten Calaghan berpendirian, semua mereka harus ditangkap. Demi keamanan!

    Malam itu juga, semua mereka dibawa ke loji Inggeris di Pariaman. Perguruan Islam itu, Ulakan dan

    Sunua, tiba-tiba dicekam rasa lengang.Kapten Calaghan memang telah mempertimbangkan setiap

    langkah yang dia ambil. Dengan menangkap dan menahan sebahagian besar orang-orang perguruan

    Islam Ulakan di lojinya.Itu sama dengan menahan dan menyimpan dinamit yang setiap saat meledak dan

    menghancurkan lojinya berikut mereka, dan semua isinya.

    Kapten Calaghan bukannya tak tahu akan hal itu. Namun sebagai perwira Inggeris yang menang dari

    perang dengan Napoleon, dia punya pikiran yang cerdik. Malam itu Syekh Malik Muhammad dan kawan-

    kawannya mereka tahan. Esok siangnya, lima puluh tentara berkuda di bawah pimpinan seorang Letnan

    tiba dari Padang.

    Tentara berkuda ini datang sebagai pengganti mereka yang ada di pos. Sekali lima bulan selalu ada

    aplusan. Yang di Padang datang ke Pariaman dan Tiku. Menggantikan mereka yang sudah lama di

    pos.Tapi karena keadaan yang darurat, Kapten Calaghan tak membiarkan ada anak buahnya yang

    ditukar untuk cuti pulang ke Padang. Dia malah tetap menahan kekuatan yang 50 orang itu di

    Pariaman.Malah siang itu juga, dia mengirim tiga orang kurir ke Padang mengatakan bahwa keadaan

    darurat. Di Padang yang menjadi pimpinan tertinggi tentara pendudukan Inggeris di Sumatera Barat

    adalah kolonel Dundee Yr.

    Seorang kolonel angkatan laut yang mata sebelah kanannya buta karena pecahan meriam kapal. Cacat

    di matanya itu dia alami ketika perang selat Bosporus yang terkenal itu. Yaitu ketika dia memimpin satu

    skuadron kapal Inggeris melawan kapal-kapal perang Perancis. Dia luka parah, sebelah matanya jadi

    buta. Namun perang itu dimenangkannya dengan gemilang.Kapten itu terkenal kejam kepada musuh-

    musuhnya. Begitu dia menerima laporan dari kapten Calaghan bahwa di Pariaman ada sekelompok

    orang Islam yang tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada Inggeris, dia lalu menambah

    pasukan berkuda 50 orang lagi. Kemudian mengirimkan dua buah kapal perang ke sana untuk

    mengangkuti kaum pemberontak yang tertangkap itu.

    Kapal yangt dikirim itu adalah kapal perang THE KING dengan 12 meriam dan sebuah kapal THE LORD

    dengan ukuran lebih kecil. Yaitu hanya memiliki 6 meriam.Kapal itu segera bertolak ke Pariaman. Hanya

    dua hari kemudian sejak tertangkapnya Syekh Ulakan itu bersama pengikutnya, kapal perang itupun

    sampai di sana. Begitu berada di laut Pariaman, mereka melepaskan tembakan salvo dua puluh dua kali

    ke udara.

    Semacam perang urat syaraf. Penduduk Pariaman memang dibuat kecut dengan pemusatan kekuatan

    Inggeris di kota kecil itu. Dalam waktu hanya dua hari, selain 50 pasukan berkuda yang datang pertama,

    datang lagi 50 pasukan berkuda tambahan. Kemudian dua buah kapal perang dengan pasukan sekitar

    enam puluh orang! Total, di Pariaman saat itu ada 260 orang pasukan Inggeris. Mobilisasi kekuatan yang

    luar biasa.Perguruan Islam Ulakan dan Sunua ditutup. Pintunya di gerendel dengan kunci besi oleh

    Inggeris. Beberapa orang muridnya yang tak ditangkap karena dianggap tak berbahaya, disuruh pulang

    ke tempat asal 50 Kota, Agam, Tanah Datar, Jambi, Palembang dan Tapanuli.

    Jika kalian tak pulang, dan masih berada di sini dalam tempo 2 x 24 jam, maka kalian akan ditangkapi,

    demikian perintah Inggeris.

  • 5/28/2018 Giring Giring Perak - Parang Pariaman

    26/39

    Namun murid Ulakan dan Sunua itu terkenal punya rasa setia kawan yang amat tebal terhadap

    perguruan mereka. Beberapa orang justru minta ditangkap saat itu juga. Beberapa orang menghindar.

    Namun mereka tak pulang seperti yang diancamkan pada mereka.Mereka justru membuka pakaian

    perguruan Islam mereka. Berganti pakaian seperti rakyat Pariaman pada umumnya. Kemudian berbaur

    dengan masyarakat. Mereka masih punya harapan, bahwa mereka akan dapat bertemu dengan Syekh

    Malik Muhammad dan teman-temannya yang dikurung di loji.

    Mereka masih berharap, bahwa suatu saat akan ada kekuatan yang tersusun untuk membebaskan dan

    mengusir Inggeris dari tanah Pariaman. Mereka juga masih punya harapan, bahwa mereka masih akan

    memiliki perguruan Islam Ulakan. Dalam sejarahnya, ini adalah kali yang keempat perguruan itu ditutup

    dan di