gis - lidar - light detection and ranging

13
SISTEM LIDAR PADA PENGADAAN MODEL ELEVASI DIGITAL UNTUK PEMETAAN SKALA BESAR Istarno a) , Bambang Haryanto b) , Subaryono a) , Hartono c) , Dulbahri c) ,Djurdjani a) a) Jurusan T.Geodesi FT UGM.( [email protected] ) b) PT. Atlas Deltasatya, Jakarta. c) Fakultas Geografi UGM. ABSTRAK Sistem Lidar merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang mengintegrasikan DGPS (Differential Global Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit. Lidar mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai obyeknya. Hasil Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang ada di atas tanah membetuk MPD (Model Permukaan Digital). MPD dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara interpretasi visual dari foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun bangunannya. Kata kunci : Lidar, MPD, MED PENDAHULUAN Data topografi merepresentasikan permukaan medan yang memerlukan data ketinggian. Survei terestris dengan kerapatan tinggi perlu biaya besar, teknologi sensor aktif LIDAR (Light Detection And Ranging) sebagai solusinya karena cepat dan akurat, kerapatan dan distribusi data sangat tinggi. MPD (Model Permukaan Digital) dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Lidar mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai obyeknya. Hasil teknologi Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang terletak melekat di atas tanah membetuk MPD. Perbedaan pantulan pertama dan pantulan terakhir dapat digunakan untuk deteksi ketinggian obyek dari permukaan tanah dengan teliti (misal : tinggi vegetasi dari tanah ke puncak tajuk, tinggi bangunan dari tanah ke puncak atap). Kerapatan data Lidar mampu membentuk tajuk kanopi pohon dalam koordinat (x,y,z) yang sangat teliti. Ekstraksi informasi data Lidar sebagai pemodelan geospasial dan representasi kuantitatif permukaan bumi memberi gambaran bentuk MPD dan keadaan medan dipengaruhi oleh ketelitian, kerapatan dan distribusi datanya. Sehinga dapat dipergunakan untuk klasifikasi tutupan lahan secara tiga dimensi. Proses klasifikasi secara tiga dimensi sangat dipengaruhi oleh algoritma penyaringan data yang terbentuk setelah segmentasi data dilakukan. Proses segmentasi

Upload: seandy-firmansyah

Post on 29-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Light Detection and Ranging

TRANSCRIPT

Page 1: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

SISTEM LIDAR PADA PENGADAAN MODEL ELEVASI DIGITAL UNTUK PEMETAAN SKALA BESAR

Istarno a), Bambang Haryanto b), Subaryono a), Hartono c), Dulbahri c),Djurdjani a)

a) Jurusan T.Geodesi FT UGM.( [email protected] ) b) PT. Atlas Deltasatya, Jakarta. c) Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK Sistem Lidar merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang mengintegrasikan DGPS (Differential Global Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit. Lidar mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai obyeknya. Hasil Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang ada di atas tanah membetuk MPD (Model Permukaan Digital). MPD dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara interpretasi visual dari foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun bangunannya. Kata kunci : Lidar, MPD, MED

PENDAHULUAN

Data topografi merepresentasikan permukaan medan yang memerlukan data ketinggian. Survei terestris dengan kerapatan tinggi perlu biaya besar, teknologi sensor aktif LIDAR (Light Detection And Ranging) sebagai solusinya karena cepat dan akurat, kerapatan dan distribusi data sangat tinggi. MPD (Model Permukaan Digital) dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan bumi. Lidar mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai obyeknya. Hasil teknologi Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang terletak melekat di atas tanah membetuk MPD. Perbedaan pantulan pertama dan pantulan terakhir dapat digunakan untuk deteksi ketinggian obyek dari permukaan tanah dengan teliti (misal : tinggi vegetasi dari tanah ke puncak tajuk, tinggi bangunan dari tanah ke puncak atap). Kerapatan data Lidar mampu membentuk tajuk kanopi pohon dalam koordinat (x,y,z) yang sangat teliti. Ekstraksi informasi data Lidar sebagai pemodelan geospasial dan representasi kuantitatif permukaan bumi memberi gambaran bentuk MPD dan keadaan medan dipengaruhi oleh ketelitian, kerapatan dan distribusi datanya. Sehinga dapat dipergunakan untuk klasifikasi tutupan lahan secara tiga dimensi. Proses klasifikasi secara tiga dimensi sangat dipengaruhi oleh algoritma penyaringan data yang terbentuk setelah segmentasi data dilakukan. Proses segmentasi

Page 2: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

dilakukan untuk memisahkan seberkas titik data Lidar dengan algoritma organisasi persepsi. Berkas titik-titik perlu dilakukan proses interpolasi untuk membentuk struktur data baru yang dapat dilakukan pemodelan bentuk permukaan tanah sebenarnya. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena data Lidar dapat mengidentifikasi secara horisontal maupun vertikal. MPD untuk daerah terbuka maupun daerah yang memiliki banyak vegetasi dapat diperoleh dari data Lidar dan disebabkan karena kemampuannya merekam pantulan pertama dan terakhir dari sinyal yang dipancarkan ke permukaan bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara interpretasi visual dari citra dan foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun bangunannya. Kekasaran obyek juga mempengaruhi intensitas pantulan data Lidar, sehingga obyek yang berupa jalan, gedung, bangunan buatan manusia akan berbeda dengan vegetasi dan tanah basah serta tubuh air. Karakteristik yang menarik dari Lidar adalah dapat diaturnya frekuensi pancaran sinyal, yang memungkinkan diaturnya kerapatan titik tiap satuan luas tertentu. Hal ini juga dipengaruhi oleh tinggi terbang, kecepatan pesawat (60 meter/detik) dan pulsa rit serta sudut cakupan dari sensor Lidar. Artinya semakin tinggi terbangnya, semakin luas cakupannya di permukaan tanah dan semakin jarang kerapan titik yang terekam, sehingga diperlukan peningkatan frekuensi atau rit pulsa Lidar untuk mendapatkan kerapatan titik di permukaan tanah. Semakin rapat data Lidar semakin teliti deteksi obyek volumetrik di atas permukaan tanah, tetapi semakin besar penyimpan data yang digunakan.

Pengukuran jarak dengan Laser dengan ketelitian tinggi sebenarnya bukan merupakan teknologi yang baru. Hal yang baru dari Lidar adalah bahwa sensor Lasernya diletakkan pada wahana yang bergerak. Sebelumnya Laser digunakan untuk pengukuran obyek pada sensor yang diam. Dengan diluncurkannya satelit GPS (Global Positioning System) memungkinkan ditentukannya posisi saat wahana yang bergerak dengan ketelitian yang tinggi. Sistem ini mengacu pada suatu sistem koordinat WGS 84 dan sistem navigasi yang digunakan adalah alat IMU (Inertial Measurement Unit) yang dapat mencatat sikap pesawat udara. Hal yang perlu diketahui adalah integrasi alat GPS/IMU dalam hal mencatat waktu dengan ketelitian tinggi. GPS mencatat waktu (sampling rate) setiap detik, sedangkan IMU mencatat sikap pesawat (roll, pitch, yaw) 200 posisi setiap detik dan data Lidar sebanyak 50.000 sampai 200.000 pulsa setiap detik. Sehingga trayektori atau lintasan pesawat dalam koordinat (x,y,z) dapat diketahui. Dari beberapa faktor inilah yang membuat ketelitian data Lidar diperoleh dari saling keterkaitan beberapa alat utama sistem Lidar.

Secara umum sistem Lidar wahana udara (gambar 1) merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS (Positioning and Orientation System) yang secara jelas dengan mengintegrasikan DGPS (Differential Global Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit (Wehr dan Lohr, 1999). Laser mengukur jarak ke permukaan tanah atau obyek dan menghasilkan posisi 3dimensi bila dikombinasikan dengan posisi dan orientasi dari sensor Laser terhadap suatu sistem referensi koordinat tertentu (gambar 2).

Page 3: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

Gambar 1. Pemetan Lidar wahana udara

Gambar 2. Hubungan antara sistem referensi koordinat (Sumber : Hu, 2003)

Sedangkan rumus yang menyatakan hubungan antara sistem-sistem koordinat

dinyatakan pada persamaan sebagai berikut :

−++=

i

laserunitlaserbeam

INSlaserunit

INSlaserunit

INSlaserunit

mINS

mGPS

mi tRRrRtRtrr

ρ00

)()()( ..........(1)

Page 4: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

mir :Vektor koordinat titik (i) dalam bingkai peta (m-frame)

mGPSr :GPS vektor koordinat terinterpolasi dalam bingkai peta

INSlaserunitr :Perbedaan letak (lever arm) antara pusat INS dan origin sistem

koordinat unit Laser, ditentukan dengan kalibrasi. iρ :Vektor koordinat titik (i) dalam sistem koordinat sorotan Laser )(tRm

INS :Matrik rotasi terinterpolasi antara bingkai badan IMU (b-frame) dan bingkai peta (m-frame).

INSlaserunitR :Rotasi differensial (boresight) antara bingkai unit Laser dan

bingkai badan INS, ditentukan dengan kalibrasi. )(tRlaserunit

laserbeam :Rotasi differensial antara bingkai sorotan Laser dan bingkai unit Laser saat (t), ditentukan dengan mekanisme penyiam

Laser. )(t :Waktu pengambilan titik, ditentukan dengan sinkronisasi.

Hyyppa, et al. (2005) melakukan penelitian pada daerah hutan dalam pembentukan MED dari data penyiaman Laser wahana udara. Secara empiris, penelitian dilakukan pada kualitas MED, beberapa penelitian ditekankan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pembentukan MED. Dalam penelitiannya juga meneliti waktu saat akuisisi data, ketinggian terbang, mode pulsa, kemiringan lereng , tutupan hutan dan variasi gambaran pada ketelitian MED pada zona hutan. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian MED yang diperoleh dari sistem Lidar. Sehingga pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketelitian MED yang diperoleh dari sistem Lidar ?.

LOKASI dan DATA PENELITIAN

Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah Karanganyar Sukoharjo Jawa Tengah. Daerah tersebut termasuk daerah datar pada jenis tutupan lahan sawah dan permukiman serta pada daerah perairan sekitar waduk Cengklik sampai Bengawan Solo . Pelaksanaan penelitian melalui survei Lidar dan dilengkapi dengan pemotretan udara medium format yang merupakan pemetaan koridor dengan lebar 1500 meter sepanjang kurang lebih 20 Km, dalam 3 jalur penerbangan yang bertampalan dan terbagi atas 3 penggal koridor yang kesemuanya berjumlah 9 jalur penerbangan. Data Lidar

Data penelitian diakuisisi pada tgl 24 Mei 2008 dalam rangka untuk perencanaan DED jalan dengan: Bahan atau materi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

• Koordinat titik GPS pada area akuisisi data Lidar. • Satu set hasil akuisisi data Lidar untuk uji ketelitian MPD di penelitian

Page 5: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

• Data penunjang lainnya, berupa peta, citra Ortofoto daerah penelitian. Peralatan-peralatan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

• Satu set peralatan akuisisi data LIDAR ( Pesawat Udara Chieftain Paper Navajo, Sensor Laser Riegl , DGPS type Geodetik , IMU ).

• Komputer PC Pentium IV, RAM 2 GB dan Laptop Centrino RAM 1 GB dan alat bantu lainya.

• Alat survei GPS type Geodetik dan perlengkapannya. • Alat survei Total Station dan perlengkapannya. • Perangkat Lunak untuk proses data

Data Referensi

1. Berdasarkan pada rencana jalur terbang, maka dalam survei udara ini diperlukan basis operasional di Bandara Adisumarmo Solo untuk mencapai batas wilayah pemetaan sesuai dengan rencana penggunaannya.

2. Titik Referensi pemetaan yang terdiri dari : Referensi Horisontal; Titik N1.0251 yang terletak di halaman statsiun Kereta Api Solo Balapan, Sistem Koordinat UTM (Timur = 480323,740 dan Utara = 9164682,751 ) meter.

3. Referensi Tinggi; TTG 882 (Tinggi ortometris = 93,453 meter) yang berada di halaman Stasion KA Solo Balapan terletak di dekat titik referensi Horizontal N1.0251 dengan jarak 63,3 meter dan beda tinggi = -0,161 meter, sehingga tinggi ortometris N1.0251 = 93,292 meter. Pengecekan tinggi dengan referensi TTG 1097 = 52,034 meter, TTG 1250 = 56,268 meter.

4. Peralatan Survei Lidar dan Pemotretan Udara dipasang pada badan pesawat udara untuk pengukuran offset (lever arm) antena GPS dan muonting angle yaitu perbedaan orientasi antara 2 body frame (IMU dan Lidar). Dikarenakan data posisi yang ditentukan mengunakan GPS adalah di pusat antena GPS yang dipasang ditubuh/fuselage pesawat, sedangkan rekaman data adalah laser dan digital kamera, maka diperlukan offset atau ukuran jarak dari antena GPS terhadap pusat laser generator dan pusat CCD kamera atau yang disebut offset data.

METODOLOGI

Pembentukan MED dari data Lidar ini bertujuan untuk pengolahan data sedangkan pelaksanaannya adalah untuk memperoleh Berkas Titik Laser yang mempunyai referensi WGS 84 dan terdefinisi dalam format data keluaran serta dapat disajikan. Pegolahan data terdiri dari tahapan-tahapan seperti pada gambar 3 berikut. Hasil keluaran dari proses data berupa berkas titik Laser yang berupa MPD dan diturunkan menjadi MED. Hasil MPD dapat diklasifikasi secara 3 dimensi dengan menerapkan beberapa algoritma yang ada.

MPD dan MED

MPD merupakan data set ketinggian yang dibentuk dari koordinat teliti X, Y dan Z dari sistem pantulan data Lidar yang memuat semua informasi data topografi,

Page 6: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

planimetri dan vegetasi, baik buatan manusia maupun alam untuk daerah tersebut pada saat penyiaman Laser berlangsung, seperti pada gambar 3.

Gambar 3. MPD, MED dan Normal MPD (Hu, 2003)

Sedangkan pengertian Model Elevasi Digital umumnya berkaitan representasi permukaan topografi yang mempunyai ketinggian medan. Ketinggian medan yang mewakili posisi permukaan tanah mempunyai posisi horisontal tertentu, sehingga data Lidar dapat digunakan langsung sebagai model elevasi digital sebab mempunyai koordinat x,y,z untuk setiap posisinya, akan tetapi bila elevasi tersebut di atas permukaan tanah dan di situ ada obyeknya , maka lokasi tersebut merupakan model permukaan digital.

Page 7: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

Gambar 4. Pendekatan umum MPD dan MED

HASIL

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan untuk memperoleh kontrol kualitas hasil klasifikasi dapat disajikan dalam bentuk penampang melintang dari tiap-tiap kelas, kelas permukaan tanah, kelas vegetasi rendah, kelas vegetasi medium, kelas vegetasi tinggi, kelas bangunan. Untuk kesemua itu dapat divisualisasikan dalam bentuk tampak atas dan potongan melintang seperti pada gambar 5.

Gambar 5. Hasil klasifikasi dan penampang melintang data Lidar

Data seberkas titik Lidar (*.x,y,z)

Model Permukaan Digital

Klasifikasi

1. Penentuan Grid 2. Algoritma interpolasi

Penghilangan obyek diatas medan 1. Morfologi penapisan 2. Proses klasifikasi citra

Terain Non Terain

Konversi data

Interpolasi Model Elevasi Digital

Model Elevasi Digital

Normal MPD = MPD - MED

Page 8: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

Hasil tumpang susun ortofoto dan data Lidar pada daerah permukiman dapat disajikan pada gambar 6.

Gambar 7. Hasil tumpang susun ortofoto dan data Lidar

Hasil pengolahan MPD dapat disajikan pada gambar 8 yang secara shading yang memperlihatkan model permukaan digital daerah permukiman (rumah, vegetasi, jalan dan sawah).

Gambar 8. Hasil pengolahan MPD Untuk menunjukkan hasil model elevasi digital yang diperoleh dari penyaringan MPD dapat disajikan dengan pewarnaan berdasarkan elevasi permukaan tanah, sehingga terlihat terinnya dari punggungan bukit sampai dengan alur sungai. Seperti pada gambar 9

Page 9: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

Gambar 9. Hasil MED (Model Elevasi Digital)

Aplikasi penggunaan data MED dapat disajikan dalam bentuk tampilan garis kontur maupun slope ketinggian dan aliran drainasi untuk seluruh daerah penelitian, seperti ditunjukkan pada gambar 10.

Gambar 10. Hasil tampilan garis kontur dan alur drainasi

DISKUSI

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Data Lidar

Akurasi dari Posisi 3D Ketelitian dari koordinat 3D tergantung dari banyak faktor. Faktor utama dari

akurasi adalah (a) jarak, (b) posisi dari sinar laser dan (c) arah dari sinar laser. Karena hasilnya seringkali dalam WGS84, hasil final tergantung dari akurasi transformasi dari WGS84 ke sistem koordinat lokal, termasuk koreksi undulasi geoid, yang menjadi penting terhadap akurasi dari Lidar. Jarak, posisi, dan arah penyinaran diukur oleh

Page 10: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

sensor yang berbeda, maka setiap saat kesalahan misregistrasi akan berpengaruh juga terhadap hasil.

Beberapa Faktor akurasi yang utama

1. Akurasi jarak Akurasi jarak merupakan komponen yang paling rumit di antara faktor akurasi yang lain. Dalam kenyataannya jika pengukuran dilakukan dengan teliti, kontribusi dari kesalahan jarak terhadap kesalahan koordinat 3D adalah minimum jika dibandingkan dengan sumber kesalahan lain. Hal ini dapat terjadi jika tinggi terbangnya rendah dan sudut penyiam kecil, karena tinggi terbang dan sudut penyiam merupakan komponen yang berpengaruh terhadap kenaikan total kesalahan. Akurasi kesalahan jarak dari pulsa laser tergantung dari faktor-faktor berikut:

a. Kemampuan memilih posisi yang relatif sama pada transmitter dan penerima pulsa terkait pengukuran interval waktu. Hal ini dibatasi oleh gangguan, kekuatan sinyal dan sensitivitas dari batas detektor dan perpendekan dan kemampuan memancarkan (reproducibility) dari pulsa transmitter. Faktor utama di sini merupakan tahapan penerimaan sinyal yaitu waktu bangkitan dari pulsa. Tipikal laser pulsa dengan durasi 10ns mempunyai waktu bangkitan kira-kira 1 ns (1ns sama dengan 30 cm jarak). Waktu bangkitan bebas dari lebar pulsa. Untuk detektor waktu bangkitan tergantung pada panjang gelombang sinar.

b. Akurasi dengan fixed time delay dalam sistem yang diketahui sebagai contoh konter (frequency) tidak stabil bisa menyebabkan kesalahan sistematik drift.

c. Akurasi dari interval waktu konter sebagai contoh resolusi, time jitter. Konter waktu mempunyai resolusi 0,1 ns yang akan berhubungan dengan resolusi jarak 1,5 cm.

Contoh dari waktu bangkitan dan akurasi jarak. Diasumsikan padang jagung tinggi 1 m dan 10 ns pulsa. Sebagian sinar laser akan dipantulkan oleh bagian atas tanaman, dan sebagian akan diserap oleh daun dan tanah, Maka pantulan lengkap akan menjadi tercampur dengan echo dari permukaan yang sangat kecil. Untuk penyederhanaan ini diasumsikan bahwa semua pantulan permukaan didistribusikan lebih tinggi 1 meter. Waktu bangkitan dari echo akan menjdi 7,6 ns (yaitu waktu bangkitan transmisi pulsa sebesar 1ns dan tambahan disebabkan oleh kekasaran permukaan yaitu 6.6 ns ). Pengukuran jarak dihitung antara atas dan bawah tanaman . Pada kondisi medan yang datar dan keras (contoh jalan) , akurasi pulsa seharusnya 10 – 15 % dari waktu bangkitan. sebagai contoh untuk 1 ns waktu bangkitan, akan menghasilkan 1.5 – 2.25 cm akurasi jarak. 2. Akurasi Posisi Secara garis besar tergantung dari kualitas DGPS postprosessing. Faktor lain Perangkat keras GPS, Konstelasi satelit GPS selama penerbangan, jumlah, distribusi, jarak dari stasiun referensi ke pesawat, akurasi offset dan misalignment antara GPS dan IMU, IMU dan Penyiam Lidar, akurasi dari arah sinar laser (akurasi Lidar). Kesalahan GPS disebabkan karena kesalahan waktu, tetapi kesalahan ini dapat diminimalisir melalui integrasi GPS dengan IMU. Dengan DGPS dan pasca pengolahan (postprocessing) akurasi 5- 15 cm dapat diperoleh.

Page 11: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

3. Akurasi Attitude Ini tergantung pada kualitas dari IMU, IMU frekwensi (yaitu kesalahan interpolasi), metode postprocessing, dan integrasi dengan GPS. Akurasi heading ditambahkan tergantung dari lintang tempat. Efek dari kesalahan attitude terhadap akurasi 3D bertambah dengan tinggi terbang dan sudut penyiam. 4. Penyesuaian Waktu (Time Offsets) Untuk posisi 3D akurat, orientasi, posisi dan jarak dibutuhkan untuk diambil pada waktu yang sama. Jika penyesuaian waktu tidak diketahui secara tepat, maka hal ini akan menyebabkan variabel kesalahan. Kesalahan meningkat dengan meningkatnya perubahan rata-rata dari pengukuran yang waktu. Contoh ketika penyesuaian waktu antara jarak dan sudut rotasi bisa mempunyai efek yang kecil untuk penerbangan yang tenang (sudut rotasi agak stabil) tetapi hal ini akan berdampak besar pada saat penerbangan turbulent.

Pengaruh dari berbagai sumber kesalahan terhadap koordinat 3D.

Kesalahan ini biasanya diakibatkan oleh kemungkinan kesalahan dalam transformasi ke sistem koordinat lokal, jumlah, distribusi dan jarak dari stasiun referensi GPS, kualitas dari GPS/IMU pasca pengolahan, koreksi kesalahan relatif melalui perataan blok dari jalur penerbangan. Perlu adanya assumsi bahwa medan datar dan penyiaman ditampilkan dalam bidang vertikal tegak lurus terhadap arah terbang. Sistem koordinat ditentukan sistem tangan kanan x,y,z pusatnya pada origin sinar laser (pusat dari cermin scan) dan obyek menggunakan sistem tangan kanan X,Y,Z dengan nadir origin dari origin sistem koordinat lokal. Sumbu x positif searah dengan arah terbang. Kesalahan attitude

κφω ∆∆∆ ,, terkait kepada kesalahan rotasi terhadap sistem koordinat lokal. κ rotasi dari sumbu X ke sumbu x dan β sudut penyiam laser

Kualitas MED dari Data Lidar

Menurut ISO19113, 2002 dalam Hu, 2003, kualitas geoinformasi dapat dideskripsikan dengan elemen kualitas data sebagai berikut :

a. Kelengkapan (completeness) : kelengkapan fitur termasuk atribut dan hubungannya.

b. Konsistensi logis (logical consistency) : tingkat kelekatannya pada aturan logis struktur data, atribut dan hubungannya ( struktur data dapat berupa konseptual, logikal adan fisik)

c. Ketelitian posisi (positional accuracy) : ketelitian posisi fitur d. Ketelitian temporal (temporal accuracy): ketelitian temporal atribut dan

temporal hubungan fitur e. Ketelitian tematik (thematic accuracy) : ketelitian kuantitatif atribut dan

kelengkapan nonkuantitatif atribut dan klasifikasi fitur serta hubungannya. Dalam kasus kualitas MED, kelengkapan, ketelitian posisi dan ketelitian tematik

mendapat perhatian yang signifikan. Ketelitian posisi biasanya berupa ketelitian vertikal dan horisontal yang ditunjukkan dengan perhitungan Root Mean Squared Error (RMSE) yang dihubungkan dengan sejumlah titik kontrol. Menurut (FEMA, 2002) asumsi kesalahan berupa distribusi normal, metadata akan menyatakan : MED dites

Page 12: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

untuk 1,96 x RMSE (vertikal atau horisontal) ketelitian pada tingkat kepercayaan 95%. Di lain pihak, perhitungan kualitatif dari kualitas MED dapat juga dikerjakan melalui inspeksi visual kemampakan MED. Visualisasi perangkat yang efisien untuk mengidentifikasi kesalahan dengan ketidak konsistensian dalam set data.

Sumber kesalahan MED Lidar dan cara meningkatkan ketelitian didapat dengan upaya yang diambil untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketelitian horisontal dan vertikal dari MED Lidar dan meningkatkan cara untuk mengeliminasinya. Untuk meningkatkan kualitas hasil dengan mengidentifikasi 4 komponen utama yang menyebabkan kesalahan geometris data Lidar (gambar 11)

a. Kesalahan tiap titik

Seharusnya untuk mengukur keragu-raguan dari setiap titik penyiam Laser menyebabkan kesalahan random atau noise titik sekitar 10-15 cm. Hal itu dapat diturunkan dengan cara meratakan ketinggian dari sejumlah titik dalam area guna keperluan menghitung nilai ketinggian rerata pada daerah tersebut. Perbedaan tinggi titik pada perataan jalur atau perhitungan ketelitian tidak harus dihitung secara individu titik sebab noise titik akan mempengaruhi hasil. Jika perbedaan dihitung sebagai perbedaan rerata dari grup yang terdiri minimal 100 titik pada daerah tersebut kira-kira (50x50)m2 maka kesalahan random dapat minimal. Titik noise sebesar 12 cm hasil dari (12x√2)/100=1,7 cm untuk perbedaan rerata tinggi.

Gambar 11. Komponen kesalahan dari akuisisi Lidar

b. Kesalahan tiap pengamatan GPS

Pengamatan GPS internal biasanya di set untuk setiap detik. Setiap pengamatan GPS menyebabkan kesalahan random. Kesalahan GPS ini, besarnya konstan untuk seluruh titik Laser terukur selama detik tersebut. Biasanya titik-titik tersebut terletak dalam luasan jalur terbang kira-kira 60m panjang yang tergantung dari kecepatan pesawat (v = 60 m/detik). c. Kesalahan tiap jalur

GPS dan sensor IMU diperlukan untuk mengukur posisi dan orientasi pesawat udara sepanjang jalur terbang. Sistem GPS/IMU mengenalkan vertikal offset untuk setiap jalur sepanjang jalur sebesar tilt memanjang atau melintang. Kadang-kadang efek dari kesalahan sistematik yang disebabkan GPS/IMU yaitu efek parabolik jalur melintang, puntiran jalur dan efek periodik arah jalur terbang. d. Kesalahan tiap blok

Pengukuran referensi terestris (titik kontrol tanah) digunakan untuk mengoreksi blok pengukuran Laser. Sehingga, kesalahan pengukuran referensi menyebabkan

Page 13: GIS - LiDAR - Light Detection and Ranging

seluruh blok data ketinggian Laser. Perataan jalur terbang dan teknik koreksi deformasi jalur terbang telah dikembangkan untuk meminimalkan komponen kesalahan tersebut.

KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi data Lidar adalah besarnya akurasi dari posisi 3D serta beberapa faktor akurasi yang utama yang meliputi : akurasi jarak, akurasi posisi, akurasi attitude dan penyesuaian waktu (Time Offsets). Pengaruh dari berbagai sumber kesalahan terhadap koordinat 3D. Kesalahan ini biasanya diakibatkan oleh kemungkinan kesalahan dalam transformasi ke sistem koordinat lokal, jumlah, distribusi dan jarak dari stasiun referensi GPS, kualitas dari GPS/IMU pasca pengolahan, koreksi kesalahan relatif melalui perataan blok dari jalur penerbangan.

PUSTAKA

Ackermann, F., 1999, Airborne Laser Scanning – present status and future expectation, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999), pp.64-67.

Baltsavias, E., P., 1999a, A Comparison between Photogrammetry and Laser Scanning, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999),pp.83-94

Baltsavias, E., P., 1999b, Airborne Laser Scanning : basic relations and formulas , ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54 (1999), pp.199-214.

Hu, Y , 2003, Automated Extraction of Digital Terrain Models, Roads and Buildings using Airborne Lidar Data, PhD Dissertation, The University of Calgary, Alberta, Canada.

Jekeli, C., 2001, Inertial Navigation Systems with Geodetic Applications, Walter de Gruyer , New York, USA.

Wehr, A. and Lohr, U., 2002, Improvement of Road crossing extraction and External evaluation of the extraction result, IAPRS, Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 54, pp. 68-82.