goenawan mohamad dan politik kebudayaan liberal pasca 1965
DESCRIPTION
Goenawan Mohamad Dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 - IndoprogressTRANSCRIPT
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 1/19
Navigation ²
Goenawan Mohamad dan PolitikKebudayaan Liberal Pasca 196504/12/2013
TULISAN ini merupakan catatan tentang politik kebudayaan liberal pasca 1965 dan peran yang
dimainkan Goenawan Mohamad di dalamnya. Motivasi awalnya datang dari pembacaan atas
penelitian Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde
Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Dalam tulisan ini, saya akan (1)
menguraikan data-data baru tentang tema terkait yang didapat dari buku Wijaya maupun dari
penelusuran saya secara langsung ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, (2) menjelaskan
bagaimana anatomi gagasan dari politik kebudayaan berbasis eksistensialisme Camus, (3)
menunjukkan peran Goenawan Mohamad sebagai makelar kebudayaan dalam membentuk
selera intelektual Indonesia, dan (4) memperlihatkan kaitannya dengan konsolidasi
kapitalisme di Indonesia pasca 1965.
Liberalisme Borongan: Cicilan $50
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan suatu lembaga filantropi bernama Congress
for Cultural Freedom (CCF) hasil bentukan CIA pada tahun 1950 yang dimaksudkan sebagai
covert action untuk ‘menciptakan dasar filosofis bagi para intelektual untuk mempromosikan
kapitalisme Barat dan anti-komunisme.’[1] CCF ditempatkan di bawah kendali Office of Policy
Coordination (OPC) yang diketuai oleh Frank Wisner, seorang pejabat CIA yang terlibat dalam
perencaaan pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Wijaya juga menunjukkan bahwa dari
CCF itulah dibentuk yayasan Obor internasional yang diketuai Ivan Kats, seorang perwakilan
CCF untuk Program Asia. Yayasan Obor internasional (Obor Incoporated) yang berkedudukan
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 2/19
di New York inilah yang menjadi induk dari yayasan Obor Indonesia yang diketuai Mochtar
Lubis.[2] Melalui yayasan tersebut, ide-ide yang ‘secara filosofis’ mempromosikan kapitalisme
Barat dan sikap anti-komunis disemai.
Dalam bukunya, Wijaya menunjukkan keberadaan surat-surat antara Goenawan Mohamad dan
Ivan Kats sejak 1968-1973 yang katanya tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.[3]
Setelah saya memeriksanya dari PDS H.B. Jassin, ternyata saya temukan bahwa korespondensi
yang terarsipkan di sana bahkan juga mencakup tahun-tahun yang lebih awal, yakni sejak
1965. Lagipula surat dari tahun 1965 itu merupakan sambungan pembicaraan sebelumnya[4],
sehingga dapat dipastikan bahwa korespondensi itu terjadi hingga entah sebelumnya. Bahkan
dalam sebuah surat (dalam kumpulan surat dari tahun 1965) berbentuk memo sepanjang tiga
halaman dengan kop surat bertanda ‘Congrès pour la Liberté de la Culture’ (terjemahan
Prancis dari ‘Congress for Cultural Freedom’), disebutkan persoalan tindak lanjut atas Manifes
Kebudayaan. Dalam surat itu, Goenawan diminta untuk menulis pamflet yang bercerita tentang
upaya-upaya PKI dalam menghancurkan identitas dan pengalaman kultural dari mereka
semua yang tidak berpihak padanya. Secara spesifik Kats menginstruksikan agar Goenawan
menuliskannya dalam ‘middle level abstraction—not too highbrow’ dan dengan arahan agar isi
tulisan itu memuat ‘lebih banyak cerita. Sedikit analisis.’ (Saya teringat arahan Erman Koto
pada para penari dalam film The Act of Killing: ‘Ya. Lebih hot. Lebih hot.’). Berikut saya
tampilkan selengkapnya Surat A tersebut.
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 3/19
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 1.
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 4/19
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 5/19
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 2.
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 6/19
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 7/19
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 1965, h. 3.
Tampak bagaimana Ivan Kats tampil serupa ‘manajer politik’ bagi Goenawan Mohamad. Dari
situ juga bisa muncul dugaan bahwa korespondensi dan koordinasi ini sudah terjadi sejak
sebelum 1963, tahun dideklarasikannya Manifes Kebudayaan, dan tidak hanya melibatkan
Goenawan saja, tetapi para budayawan simpatisan PSI lainnya seperti Mochtar Lubis, Arief
Budiman, Soedjatmoko, P.K. Ojong, dll. Artinya, boleh jadi Manifes tersebut dirancang dalam
koordinasi dengan CCF dan, implikasinya juga, CIA.
Dugaan tentang keterkaitan antara Manifes Kebudayaan dengan CCF juga disinyalir oleh
Wijaya dalam bukunya. Manifesto CCF berjudul ‘Manifesto of Intellectual Liberty’ memiliki
kemiripan dengan Manifes. Para intelektual yang ikut dalam acara deklarasi CCF di Berlin
tahun 1950 menyatakan: ‘Kebudayaan hanya dapat ada di dalam kebebasan, dan kebebasan
itulah yang dapat membawa pada kemajuan kebudayaan’—ungkapan yang senafas dengan
semangat Manifes Kebudayaan.[5] Istilah ‘humanisme universal’ sendiri, seperti diduga
Joebaar Ajoeb, berasal dari A. Teeuw dan diadopsi secara luas oleh H.B. Jassin, sementara
kedua kritikus sastra itu mulai berkolaborasi antara 1947-1951, yakni masa-masa ketika CCF
sedang dibentuk.[6] Keikutsertaan Jassin dalam proyek kebudayaan CCF ini juga diperkuat
oleh surat Jassin pada Goenawan pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa Ivan Kats meminta
Jassin menulis artikel sepanjang 3000-4000 kata tentang ‘perdjuangan kemerdekaan
kebudajaan di lapangan sastra tahun 1957-1965.’[7]
Dalam sebuah surat pada tahun 1969 yang akan dilampirkan berikut, Kats juga mengajukan
arahan menarik. Ia meminta agar dalam tulisannya, Goenawan menjadikan pemikiran Prancis
sebagai contoh paradigma kebudayaan yang dapat diterapkan di Indonesia. Dalam amatan
Kats, pemikiran Prancis bisa tumbuh demikian tersohor dalam dunia pemikiran kontemporer
(pasca-Perang Dunia II) karena tradisi pemikiran itu menyeleksi tendensi-tendensi pikiran
asing mana saja yang boleh dan tidak boleh masuk Prancis. Kats menulis: ‘Pemikiran asing
umumnya dikesampingkan dari konstruksi ini, sampai tiba waktunya seorang penafsir-
makelar (interpreter-middleman) Prancis memutuskan bahwa ada sesuatu dalam pemikiran
asing itu yang berguna bagi Prancis.’[8] Salah satu aliran pemikiran yang dikesampingkan dari
industri filsafat Prancis adalah, seperti disebut Kats sendiri, empirisisme logis Lingkaran Wina.
Hal yang serupa juga diminta Kats pada Goenawan berkenaan dengan lalu-lintas wacana
pemikiran di Indonesia: menyortir tendensi filsafat sesuai kepentingan ‘Indonesia’ (sebuah
kata yang pada masa itu punya acuan yang sama dengan kata ‘Orde Baru’). Secara spesifik ia
meminta Goenawan untuk menerjemahkan karya salah satu pemikir Barat, antara lain Albert
Camus, dan memberikan kata pengantar yang berkesan tentangnya. Kats menjanjikan akan
membayar $50 sebagai uang muka, $50 lagi di belakang, serta upah terjemahan. Selengkapnya
surat itu adalah sebagai berikut.
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 8/19
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969, h. 1.
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 9/19
Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969, h. 2.
Rupanya arahan untuk mempromosikan pemikiran Albert Camus ini cukup serius di mata Kats.
Ia sampai mengulangnya beberapa kali dalam surat-surat selanjutnya.[9] Kats bahkan lebih
spesifik lagi meminta Goenawan untuk memasukkan esai awal Camus, “L’Envers et l’endroit,”
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 10/19
dalam tulisan Goenawan tentang pemikir itu.[10] Tulisan Goenawan itu baru muncul jauh
kemudian, pada tahun 1988, sebagai pengantar berjudul ‘Camus dan Orang Indonesia’ pada
buku terjemahan Camus, Krisis Kebebasan. Penerbitnya adalah Yayasan Obor Indonesia.
Pertanyaannya kemudian: Mengapa Albert Camus? Mengapa, lebih spesifik lagi, “L’Envers et
l’endroit” yang diminta Kats? Mengapa pemikiran Prancis yang disarankan sebagai paradigma
kebudayaan Indonesia? Bagaimana menjelaskan keterkaitannya dengan proyek politik
kebudayaan liberal pasca 1965? Apa kaitannya dengan paham ‘humanisme universil’ dalam
Manifes Kebudayaan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kita jawab melalui rekonstruksi
filsafat.
Anatomi Politik Absurditas
‘Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia.’[11] Kalimat penutup buku Mite Sisifus
karangan Albert Camus ini tentu memukau siapa saja yang baru pertama kali membacanya.
Konon, karena membocorkan rahasia para dewa, Sisifus dikutuk untuk menjalankan hukuman
yang paling mengerikan: mendorong batu besar ke puncak bukit untuk kemudian
memandanginya menggelinding ke bawah dan ia mesti mendorongnya lagi ke puncak, terus
mengulang ritus itu dalam keabadian. Ini adalah hukuman yang mengerikan persis karena hal
itu sia-sia dan tanpa harapan.
Kisah Sisifus adalah cerita tentang nasib manusia. Hidup manusia adalah jalan panjang dan
berulang menuju kematian. Tragis, memang. Namun sikap tragis adalah pertanda akan
kesadaran. Orang yang tak sadar tak akan pula mengetahui ciri tragis eksistensinya. Sisifus
bukan sekadar orang yang tertindas oleh nasib; lebih dari itu, ia sadar akan ketertindasannya.
Lantas kemungkinan apakah yang dibukakan oleh kesadarannya itu? Tak lain adalah
keberanian untuk mengatakan ‘Ya!’ pada absurditas eksistensinya, berkata ‘Ya!’ pada
ketertindasannya. Pada akhirnya, ia seperti Oedipus yang mampu berkata: ‘Meskipun telah
mengalami cobaan yang begitu banyak, usiaku yang lanjut dan kebesaran hatiku membuat aku
menilai bahwa semuanya baik adanya.’[12] Maka inilah cara Camus mengakhiri mite Sisifus:
‘Perjuangan ke puncak gunung itu sendiri cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita
harus membayangkan Sisifus berbahagia.’[13]
Camus kerap jadi justifikasi para pendukung Manifes Kebudayaan untuk semacam politik yang
‘otentik’ secara eksistensial. Goenawan sendiri mengakui ini: ‘Banyak penulis “Manikebu”
mengambil dongeng tentang Sisifus sebagaimana ditafsirkan oleh Albert Camus (Camus
memang sering dikutip, semacam jadi mode, karena satu dan lain hal): manusia yang
berikhtiar terus-menerus, sebuah maraton panjang tanpa garis finis yang jelas, sebuah
perjalanan menuju anak tangga terakhir di kaki langit yang dicita-citakan—sebuah titik yang,
bila dihampiri, ternyata menjauh lagi. Dengan pandangan antiutopian yang seperti itulah,
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 11/19
naskah Manifes Kebudayaan merumuskan sikap kesenian dan pemikiran yang selalu merasa
perlu mengambil jarak dari kekuasaan.’[14]
Dalam potongan “L’Envers et l’endroit” yang diterjemahkan dengan baik oleh Muhammad al-
Fayyadl, dinyatakan oleh Camus: ‘Aku berdiri setengah berjarak dengan kemelaratan dan
matahari. Kemelaratan mencegahku untuk percaya bahwa semuanya baik di bawah matahari
dan di dalam sejarah; matahari mengajariku bahwa sejarah bukan segalanya.’[15] Boleh jadi
kutipan semacam inilah yang disukai Ivan Kats dari CCF, sehingga memberikan arahan pada
Goenawan Mohamad untuk menulis tentangnya. Judul L’Envers et l’endroit kerap
diterjemahkan sebagai Betwixt and Between yang menggambarkan kondisi seseorang yang
berada di tengah-tengah, tidak ini ataupun itu, tidak panas dan tidak dingin—ia
menggambarkan sosok yang ‘setengah berjarak’ dari segala sesuatu, sosok medioker yang
menjustifikasi dirinya dengan mengemasnya lewat label ‘otentik.’ Dalam kosakata kultural
Indonesia saat ini, situasi ini terpotret dengan cemerlang dalam posisi ‘kelas menengah
ngehe:’ menginginkan perubahan sosial tetapi sinis bila ada demo buruh, mengangankan
kesetaraan tetapi jijik pada kolektivitas, mendambakan kebebasan tetapi lupa pada syarat
adanya kebebasan itu sendiri, yakni pemilikan bersama atas sarana produksi kekayaan. Orang-
orang yang punya hati baik tetapi lupa pada prasyarat kausal dari harapan-harapannya inilah
yang menjadi sasaran empuk Kats. Diam-diam mereka digiring menjadi Sisifus. Dan dengan
bangga dan puitis mereka mengikutinya. Sungguh kasihan: mereka kira mereka otentik. Saya
tak bisa bayangkan betapa marahnya mereka bila mendapati bahwa mereka telah digiring jadi
‘Sisifus upahan’ yang dibanderol dengan harga sepersekian dari cicilan $50. ‘Oh Kirilov, jangan
lagi kau bicara soal kebebasan!’
Lantas apa jadinya bila Sisifus dijadikan paradigma subjek politik ‘otentik’ untuk membaca
kehidupan rakyat Indonesia? Kita bayangkan seorang buruh kebun berkata: ‘Meskipun saya
hanya diupah Rp. 500 per sepuluh kilo sawit yang berhasil saya panen, saya menilai bahwa
semuanya baik adanya.’ Kita bayangkan seorang pembantu rumah tangga berkata: ‘Meskipun
saya hanya diupah sepertiga dari UMP dan sesekali digebuki oleh majikan, saya menilai bahwa
semuanya baik adanya.’ Kita bayangkan seorang liberal berkata: ‘Meskipun pasar bebas
bukanlah alat yang sempurna untuk mengalokasikan sumber daya secara adil, saya menilai
bahwa hal itu baik adanya.’ Kita bayangkan seorang aktivis mahasiswa berkata: ‘Meskipun
gerakan politik berbasis moral kerapkali buntu, saya menilai bahwa hal itu baik adanya.’ Kita
bayangkan seorang ekonom berkata: ‘Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian
besar ditopang konsumsi berbasis kredit, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’ Kita
bayangkan seorang pelaku pelecehan seksual berkata: ‘Meskipun saya melecehkanmu secara
seksual, saya menilai bahwa semuanya baik adanya.’ Singkatnya: ‘Kita harus membayangkan,
somehow, Marsinah berbahagia.
Apabila hal-hal itu mulanya demikian sulit kita bayangkan, adalah karena sumbangsih
Goenawan Mohamad lah sehingga pernyataan-pernyataan itu jadi dapat dibayangkan, akrab
dan lumrah. Mengapa demikian?
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 12/19
Makelar Filsafat Prancis: Formasi Selera Intelektual
Saya teringat akan kisah Borges yang dituturkan ulang oleh Foucault dalam Tatanan Hal Ihwal.
Diriwayatkan bahwa di negeri Tiongkok, kenyataan dibagi dan diklasifikasi berdasarkan
derajat kedekatannya dengan kaisar. Upaya membangun taksonomi semacam itu jugalah yang
dijalankan oleh Goenawan dalam tulisan-tulisannya: mana yang sungguh merupakan puisi dan
mana yang hanya slogan; mana yang berpolitik secara otentik dan mana yang sekadar politik
kekuasaan; mana filsafat yang baik dan mana filsafat yang rendahan, positivistik, dsb. Jangan
lupa bahwa ini merupakan kelanjutan yang konsisten dari arahan Ivan Kats[16] tentang
perlunya seorang ‘penafsir-makelar’ yang akan menyortir pemikiran-pemikiran yang baik bagi
‘Indonesia’—dalam lingkup tema ‘kebebasan’ yang ditawarkan Congress for Cultural Freedom
dan direstui oleh seksi Office of Policy Coordination di bawah CIA.
Apa yang dibentuk oleh Goenawan Mohamad adalah apa yang saya sebut sebagai ‘selera
intelektual.’ Ia hendak membentuk semacam ‘setingan default’ atau ‘setelan pabrik’ dari
paradigma berpikir intelektual Indonesia. Hal ini dapat diuji dengan cara yang sederhana.
Dalam beberapa kali diskusi dengan teman-teman yang kerap membaca dan menggemari
tulisan Goenawan, saya amati bahwa perdebatan akan meruncing ke satu/dua proposisi pokok
yang tidak bisa dijustifikasi oleh argumen rasional yang lebih mendasar lagi. Proposisi-
proposisi semacam itu, antara lain ‘kebebasan berpikir’ atau ‘kemanusiaan,’ adalah ‘setelan
pabrik’ si kawan yang tercipta dari internalisasi tulisan-tulisan Goenawan selama bertahun-
tahun. Dalam situasi seperti itu, bahkan bila saya menanyakan lebih jauh, misalnya, ‘apa syarat-
syarat material dari adanya sesuatu yang Bung sebut “kebebasan berpikir” dan “kemanusiaan”
itu?’ maka kawan itu akan kebingungan, karena selama ini ia mengganggap proposisi tersebut
sudah self-evident, sudah jelas dengan sendirinya dan tak mungkin dipertanyakan lagi. Pada
detik itu, saya tahu bahwa saya tengah berhadapan dengan sejenis robot Forex.
Cara bekerja ‘selera intelektual,’ karenanya, menyerupai apa yang disebut Althusser sebagai
‘aparatus ideologis negara.’ Pembentukan selera semacam ini pada hakikatnya adalah
internalisasi mekanisme sensor. Apa yang disensornya adalah proposisi filosofis tertentu yang
didefinisikan sebagai ‘gangguan’ terhadap operating system kultural yang telah terinstal
dalam kepala si subjek. Dalam hal inilah dapat dikatakan bahwa kesusasteraan merupakan
sarana ‘rekayasa sosial’ (social engineering). Justru di sinilah pernyataan Goenawan yang
seolah tampak otentik—bahwa dengan sastra Lekra, ‘jang ada tjuma 1 Revolusi, 1000 slogan
dan 0 puisi’[17]—menemukan ekspresinya yang paling kontradiktif. Distingsi yang ia coba
bangun antara slogan dan puisi segera runtuh manakala kita menyadari bahwa puisinya adalah
juga sarana formasi selera intelektual yang berperan dalam internalisasi mekanisme sensor
kultural. Puisi-puisi Goenawan, karenanya, adalah juga himpunan slogan. Bedanya hanyalah
bila puisi penyair Lekra tak coba menyembunyikan diri dari kemiripannya dengan slogan
politik, puisi Goenawan telah menyaru demikian rupa sehingga tampak seperti sepotong puisi
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 13/19
‘murni.’ Meminjam analogi dari dunia periklanan, puisi-puisi Goenawan adalah seperti iklan
kondom. Inilah ilustrasi dari yang tempo hari saya sebut sebagai ‘politik gratisan yang
berkedok kesubliman.’
Melalui surat Kats 20 November 1969, kita juga jadi tahu mengapa pada perkembangannya
kemudian, Goenawan banyak mempromosikan filsafat Prancis kontemporer. Setelah
eksistensialisme sebagai tren mulai mengendur, maka dikemaslah secara ulang dan dipasarkan
ke Indonesia sebagai pascamodernisme. Apabila kita perhatikan, pascamodernisme yang
dipromosikannya sejak akhir 80-an sebetulnya tak jauh berbeda dari eksistensialisme madesu
yang dipasarkan di era 60-an. Filsafat yang ia tawarkan adalah selalu filsafat yang mengeluh
dan mengelus dada. Filsafatnya adalah filsafat yang sendu—seneng duit, celetuk teman saya. Ia
mencoba mengemas ulang gagasan tentang emansipasi sosial yang sebetulnya inheren dalam
filsafat Prancis kontemporer, dengan cara dipreteli konteks Marxis-Leninisnya dan
dijangkarkan pada kegalauan psikologis. Unsur-unsur psikologis inilah yang berperan sebagai
komando yang memoderasi tuntutan emansipasi pada taraf yang dapat diterima secara
normatif dan dapat dibrokerkan dengan negara dan para penyandang dana. Di tangan
Goenawan, Zizek dan Badiou jadi tak punya taring dan perannya disubordinatkan pada
pemikir-pemikir Prancis lain yang ia pikir lebih dapat diintegrasikan pada tradisi liberal:
Derrida, Laclau, Lacan, dsb. Tak pelak lagi, ini adalah manifestasi dari politik kebudayaan
pejabat kolonial yang dikerjakan seturut arahan Tuan Besar Gubernur Jendral CCF, Meneer
Ivan Kats. ‘Hei Rinkes, jangan lagi kau bicara soal peradaban!’
Pada Suatu Pagi Ketika Komunisme Tak Ada Lagi
Apa konsekuensi semua ini bagi proses konsolidasi kapitalisme di Indonesia pasca 1965?
Semua itu berjalan ‘step demi step,’ seperti telah dinubuatkan Anwar Congo. Saya sepakat
dengan Wijaya yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa Goenawan Mohamad turut
berperan serta dalam penumpasan komunisme secara intelektual. Namun lebih jauh lagi, saya
juga berpendapat bahwa Goenawan turut berpartisipasi dalam proses konsolidasi kapitalisme
di Indonesia pasca 1965. Ia memang kerapkali memberikan ‘sentilan-sentilun kritis’ terhadap
kapitalisme di berbagai tulisannya. Tetapi agaknya, sikap kritis semacam itu hanyalah langkah
penyimpulan ad hoc yang tidak dideduksikan secara langsung dari dalam asumsi-asumsi dasar
posisi pemikirannya. Buktinya adalah ketika pertanyaan tentang masalah alternatif sistem
ekonomi ditawarkan secara eksplisit kepadanya, ia tanpa ragu memilih kapitalisme,
sebagaimana nampak dalam laporan wawancaranya dengan Rizal Mallarangeng pada bulan
Juni 1996 berikut ini:
‘Jadi masalah yang paling penting adalah yang berhubungan dengan peran
birokrasi. Bagi Goenawan Mohamad, satu-satunya cara yang mungkin dilakukan
untuk mengatasi atau memperkecil masalah tersebut adalah dengan melaksanakan
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 14/19
Dan berada di bawah dominasi kaum birokrat, di bawah Partai, adalah mimpi buruknya
sebagai seorang liberal. Ivan Kats telah memastikan agar mimpi buruk itu tak jadi milik
Goenawan semata, tetapi juga semua yang membaca tulisan Goenawan. Dengan turut
membangun dikotomi kultural yang absurd antara kapitalisme dan otoritarianisme, antara
‘atmosfer kebebasan’ dan komunisme yang mencekik, itulah Goenawan menyiapkan
prakondisi epistemik bagi terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia pasca 1965. Ia membuat
kapitalisme jadi wajar.
Setelah memahami konteks ini, kita jadi mengerti mengapa ia pada akhirnya turut melawan
Orde Baru. Sebab Orde Baru adalah manifestasi kapitalisme-negara, suatu kapitalisme yang
bercorak otoritarian, suatu kapitalisme yang tidak konsisten dengan postulat liberalnya
sendiri. Maka perlawanan Goenawan terhadap Orde Baru, dalam arti itu, bukanlah perlawanan
kaum Kiri terhadap kapitalisme. Itu adalah perlawanan seorang liberal tulen terhadap
kapitalisme yang inkonsisten. Saya sepakat dengan pernyataan Wijaya bahwa kendati
Komunias Utan Kayu yang dibangunnya merupakan salah satu simpul perlawanan atas Orba
yang mengakomodasi suara para mantan tapol ’65 dan gerakan Kiri, ‘pendekatan Goenawan
tersebut harus diletakkan dalam kerangka prinsip-prinsip liberalisme yang telah ia
pertahankan sejak 1960an.’[19] Tujuannya ialah mengembalikan kapitalisme dan liberalisme
dalam wujudnya yang sejati, yang non-otoritarian: suatu kapitalisme dan liberalisme yang
kaffah, yang murni dan konsekuen. Pasar persaingan sempurna yang ditopang oleh eongan-
eongan kedaifan, sejumput puisi dan segurat justifikasi bagi politik etis.
Maka, pada suatu pagi ketika komunisme tak ada lagi, kita harus membayangkan Marsinah
berbahagia. Seperti para korban pembantaian ‘65 yang digambarkan menjelang akhir film The
Act of Killing: dengan latar air terjun yang damai, mereka dibayangkan mengalungkan medali
pada sang pembantai dan menjabat tangannya sembari berucap, ‘Atas eksekusi yang saudara
lakukan terhadap diri saya, yang mengantarkan saya ke dalam sorga, untuk itu saya ucapkan
ribuan terima kasih.’ Kita harus membayangkan para korban itu bergembira. Atas nama
kebebasan, atas nama Kirilov dan Dr. Rinkes, kita harus membayangkan mereka bersukacita.
‘Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.’[20]***
[1] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi
Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), h. 65-66.
kebijakan deregulasi. Dengan kata lain, dia menerima pandangan bahwa “jalan
kapitalis” saat ini perlu, necessary, dan baik untuk Indonesia. Benar bahwa sebagai
seorang humanis dia memiliki beberapa keberatan atas sistem kapitalisme secara
umum. Kendati demikian, menurut pendapatnya, tak ada alternatif yang lebih baik.
“Kalau Anda mau menyingkirkan kaum kapitalis,” katanya, “Anda harus siap
berada di bawah dominasi kaum birokrat.”’[18]
“
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 15/19
Bagikan ini: Cetak
[2] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 95-96.
[3] Ibid (lih. catatan kaki no. 118).
[4] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 16 Desember 1965.
[5] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 85.
[6] Lih. Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 84 (catatan kaki no. 77).
[7] Surat H.B. Jassin – Goenawan Mohamad, 28 Juni 1966.
[8] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.
[9] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 24 Januari 1970, 5 April 1970, 21 Mei 1970, 20
Oktober 1970 & 22 Oktober 1970.
[10] Surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 22 Oktober 1970.
[11] Albert Camus, Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999), h. 159.
[12] Albert Camus, Mite Sisifus, h. 157.
[13] Albert Camus, Mite Sisifus, h. 159.
[14] Goenawan Mohamad, “Affair Manikebu, 1963-1964” dalam Eksotopi (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2002), h. 128-129.
[15] Muhammad al-Fayyadl, “Mite Camus” dalam Sorge Magazine, November 2013, h. 12.
[16] Lih. surat Ivan Kats – Goenawan Mohamad, 20 November 1969.
[17] Goenawan Mohamad, “Tjatatan Kebudajaan: Ketika Manifes Kebudajaan Dilarang,” dalam
majalah Horison, Mei 1967, h. 131.
[18] Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta: KPG
& Freedom Institute, 2004), h. 140.
[19] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, h. 308.
[20] Rocky Gerung, Merawat Republik dengan Akal Sehat (Jakarta: DKJ TIM, 2010), bagian IV.
Surat elektronik Facebook 463 Twitter 218 Google
Ke Atas
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 16/19
Marxisme dan Program Analisis Konseptual
Berlangganan & Terhubung
Berlangganan via Email untuk update atau terhubung melalui Twitter & FB
Pos Terkait:
Marxisme dan Program Analisis Konseptual
Marxisme dan Masa Muda
Marxisme dan Kalkulasi Sosialis
Marxisme dan Wina Merah
Marxisme dan Libertarianisme
, Martin Suryajaya
Kirim
<
2 Tanggapan untuk Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan
Liberal Pasca 1965
jemi 04/12/2013 at 12:07 pm #
Dahsyat!!!
BALAS
sasa 04/12/2013 at 3:00 pm #
Mantap!
BALAS
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 17/19
Tinggalkan Balasan
Tulis komentar di sini...
Dukung kami hadir dan berkembang di tahun 2013 ini!
IndoProgress hadir sebagai alternatif untuk mengabarkan kepentingan warga negara dan
menggerakkan kesadaran publik untuk menuntut hak-haknya sebagai warga negara melalui
produk berita/opini online, dan penerbitan buku serta jurnal edisi cetak. Pada tahun 2013 ini
IndoProgress juga akan berkembang memasuki ranah media radio dan televisi streaming.
Untuk itu, kami membutuhkan dana minimal sebesar $5,000 tahun 2013 ini untuk pengelolaan
web dan kesuksesan program-program Indoprogress.com tersebut.
IndoProgress 100% mandiri dan non-komersil. Hanya melalui dukungan pembacalah
IndoProgress.com akan terus hadir dan berkembang sebagai media yang berada di sisi publik.
Donate now, and spread the word!
Cari...
12/4/13 Goenawan Mohamad dan Politik Kebudayaan Liberal Pasca 1965 | LOGIKA
indoprogress.com/logika/?p=437 18/19
TERKINI KOMENTAR