groups part i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari hubungan dengan individu
lain. Kita senantiasa berinteraksi dengan orang lain dan membentuk kelompok-
kelompok atau groups. Misalnya saja kita bekerja dalam kelompok, mengerjakan
tugas secara berkelompok dan kita bersosialisasi dalam kelompok. Kelompok akan
menentukan bagaimana tingkah laku seseorang dan kehidupan seperti apa yang akan
dijalaninya. Norma-norma dalam kelompok yang akan mengikat individu. Anggota-
anggota dalam kelompok saling mempengaruhi satu sama lain. Kelompok yang kita
masuki menentukan bahasa apa yang kita gunakan, aksen yang kita miliki, sikap kita,
kebudayaan yang dianut, sistem pendidikan yang diterima, tingkat kemakmuran yang
kita rasakan, dan tentu saja siapa diri kita sebenarnya. Namun tidak semua kumpulan
orang-orang dapat disebut sebagai kelompok.
Bekerja dalam kelompok akan membawa dampak terhadap performansi
individu seperti terjadinya social facilitation atau social loafing. Selain itu, juga ada
beberapa teori yang mendukung atau membantah mengenai terjadinya social
facilitation dalam kelompok. Salah satu hal yang paling mendasar dalam kelompok
adalah kekohesifannya. Semakin kohesif suatu kelompok maka semakin kuat
kelompok yang terbentuk.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Group
Social group dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Group sangat
menentukan siapa kita dan hidup dalam kehidupan seperti apa kita. Group
menentukan bahasa apa yang kita gunakan, aksen, tingkah laku, kebudayaan yang kita
adopsi, pendidikan yang kita terima, kesejahteraan kita dan siapa diri kita.
Group berbeda dalam berbagai hal (Deaux et al., 1995). Ada group yang
memiliki banyak anggota (seperti suatu bangsa), dan ada yang anggotanya sedikit
(komite, keluarga); sebagian relatif tidak bertahan lama (kelompok teman, juri), dan
sebagian lagi bertahan sampai beribu-ribu tahun (kelompok etnik, kelompok agama);
ada yang memiliki struktur yang kuat dan terorganisir (angkatan udara, pemadam
kebakaran), sebagian lagi bersifat informal (klub suporter); ada yang memiliki tujuan
yang spesifik (kaum environmentalis) ada juga yang memiliki tujuan umum (gank
remaja).
Beberapa kelompok sosial dapat dijelaskan melalui susunan-susunan fitur dari
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan bentuk dari group lainnya. Hal ini
dapat berupa fitur-fitur umum seperti jumlah anggota (contohnya kelompok religi vs
komite), atau dapat juga berupa fitur-fitur spesifik, seperti kelompok praktisi dan
keyakinan.
Psikolog sosial cenderung lebih berfokus pada jumlah group, “atmosper”
group, struktur tugas dan struktur kepemimpinan dalam group dibandingkan dimensi
lainnya dalam membuat taksonomi groups. Salah satu perbedaan umum adalah antara
based-similarity atau categorical group, dan interaction-based atau dynamic group
(Arrow et al., 2000; Wilder and Simon, 1998). Perbedaan umum lainnya adalah antara
group yang memiliki entitativity yang tinggi dan group yang tidak memiliki
entitativity (Hamilton and Sherman, 1996; Hamilton et al, 1998). Entitativity mengacu
pada tingkat dimana group tampak sebagai suatu kesatuan yang jelas dan koheren.
Tidak semua kelompok individu dapat dianggap sebagai group dalam
pandangan sosial. Contohnya, orang-orang yang bermata hijau, orang yang menunggu
di ruang tunggu dokter gigi, orang-orang yang ada di pantai – apakah ini disebut
2
group? Mungkin tidak. Ini lebih pada kumpulan sosial saja, kumpulan individu-
individu yang tidak saling berhubungan – bukan merupakan group. Pertanyaan
penting dalam psikologi sosial adalah apa perbedaan antara group dan kumpulan. Para
psikolog sosial berbeda pendapat mengenai topik ini. Perbedaannya, dalam hal ini,
dipengaruhi oleh perspektif individualistik atau kolektivistik group yang dianut
peneliti (Hogg and Abrams, 1988; Turner and Oakes, 1989). Individualistik percaya
bahwa orang yang berada di dalam group berperilaku sama dengan apa yang
dilakukan kebanyakan orang, dan proses group tidak lebih dari suatu proses
interpersonal diantara sejumlah orang (eg. Allport, 1924; Latene, 1981). Penganut
kolektivis percaya bahwa perilaku orang di dalam group dipengaruhi oleh proses
sosial yang unik dan representasi kognitif yang hanya dapat terjadi dan timbul di
dalam group (e.g, Abrams and Hogg, 1988; McDougall, 1920; Sherif, 1936; Taijel
and Turner, 1979).
Ada banyak definisi group sosial dari psikolog sosial yang meneliti mengenai
kelompok sosial, Johnson and Johnson (1987) mengidentifikasikan pada 7 penekanan.
Group adalah:
1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain.
2. Unit sosial yang terdiri dari 2 orang atau lebih yang menganggap diri mereka
sebagai bagian dari kelompok.
3. Kumpulan individu yang interdependen.
4. Kumpulan individu yang berkumpul bersama untuk mencapai suatu tujuan.
5. Kumpulan individu yang mencoba memenuhi kebutuhan melalui perkumpulan
yang mereka ikuti.
6. Kumpulan individu dimana interaksi disusun melalui aturan-aturan dan norma.
7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi.
Jadi, definisi group menurut Johnson and Johnson, 1987; p.8 adalah:
Group adalah 2 individu atau lebih yang berinteraksi secara tatap muka, menyadari
bahwa mereka adalah bagian dalam kelompok, menyadari orang lain sebagai bagian
dari kelompok, dan menyadari ketergantungan mereka yang positif sebagaimana
mereka berusaha untuk mencapai tujuan yang menguntungkan.
3
B. Efek Group Terhadap Performansi Individu
1. Mere Presence and Audience Effects: Social Facilitation
Barangkali dasar pertanyaan dari psikologi sosial adalah efek kehadiran orang
lain pada prilaku kita. “Perubahan apa yang terjadi pada penampilan normal seorang
individu ketika orang lain hadir?” (Allport, 1954a; p.46). Kita memainkan alat musik,
memperbaiki mobil, membuat puisi atau bekerja di pusat kebugaran, kemudian
seseorang datang melihat; apa yang terjadi pada performansi kita? Apakah lebih baik
atau menjadi buruk?
Social facilitation adalah suatu peningkatan performansi individu pada tugas
yang mudah dan penurunan performansi pada tugas yang sulit karena hadirnya
anggota lain dari kelompok yang sama. Mere presence adalah kehadiran penonton
yang benar-benar pasif dan tidak memberikan respon, hanya hadir secara fisik saja.
Mere presence dapat berupa conspecifics (anggota dari kelompok yang sama) yang
bertindak sebagai coactors (orang yang melakukan hal yang sama namun tidak
berinteraksi dengan subjek) atau sebagai penonton pasif (hanya menonton secara
pasif). Peneliti menyatakan bahwa social presence juga dapat menghasilkan efek yang
berlawanan yaitu social inhibition atau penurunan performansi.
Drive Theory
Pada tahun 1965, Zajonc mempublikasikan suatu pernyataan teoritis klasik
yang disebut drive theory. Zajonc menjelaskan apakah social presence (terutama
dalam bentuk penonton yang pasif) akan meningkatkan atau malah akan menghambat
performansi individu. Drive theory menyatakan bahwa social presence akan
menimbulkan reaksi instinctive berupa meningkatnya dorongan dan motivasi, dimana
dorongan ini berfungsi sebagai drive yang akan memperkuat respon dominan kita
dalam situasi tersebut. Jika respon dominan itu tepat tugas dianggap sebagai hal yang
mudah) maka social presence akan meningkatkan performansi, sebaliknya jika respon
dominan itu tidak tepat maka social presence akan menghasilkan performansi yang
buruk.
Misalnya, Anda adalah seorang gitaris yang mahir memainkan lagu-lagu
sederhana. Ada sebuah lagu yang ketika Anda mainkan sendiri, Anda akan
memainkan lagu tersebut dengan baik dan hampir tidak pernah melakukan kesalahan
karena lagu tersebut sudah sering dipelajari. Namun jika Anda harus memainkan lagu
4
tersebut di depan penonton misalnya teman Anda) maka drive theory akan
memprediksi bahwa, oleh karena respon dominan Anda adalah tidak membuat
kesalahan, maka performansi Anda akan sangat baik. Sebaliknya, ada sebuah lagu lain
yang ketika Anda mainkan sendiri, Anda menemukan kesulitan yang luar biasa karena
jarang berlatih dan Anda hampir tidak pernah memainkan lagu tersebut dengan baik
maka drive theory akan memprediksi bahwa, oleh karena respon dominan Anda berisi
banyak kesalahan maka performansi Anda menjadi lebih buruk daripada ketika
bermain sendiri.
Evaluation Apprehension
Walaupun riset awal cenderung mendukung drive theory, beberapa psikolog
sosial mempertanyakan apakah kehadiran mere presence akan menghasilkan drive.
Cottrell 1972) mengusulkan evaluation apprehension model, dimana ia membantah
bahwa kita dapat belajar dengan cepat tentang reward dan punishment berdasarkan
evaluasi orang lain kepada kita. Oleh karena itu, social presence menghasilkan drive
yang diperoleh berdasarkan evaluation apprehension. Untuk mendukung penafsiran
ini, Cottrell 1968) menemukan tidak adanya efek social facilitation ketika penonton
yang hadir tidak menaruh perhatian dan hanya hadir secara kebetulan karena
penonton yang seperti ini tidak akan memberikan evaluasi. Sedangkan, jika penonton
yang hadir menaruh minat dan perhatian terhadap performansi individu maka dapat
dipastikan mereka akan memberikan evaluasi maka penonton yang semacam inilah
yang dapat menghasilkan efek social facilitation.
Schmitt 1986) membuat suatu eksperimen sejenis. Peserta diberi tugas untuk
mengetik nama mereka di komputer tugas sederhana dan kemudian mereka
5
Keha-
diran
orang
lain
Memper-kuat respon dominan
arousal
Jika
tepat
Social
Facilitation
Social
Inhibition
Jika
tida
k
tepat
memasukkan kode nama dengan cara mengetik nama mereka dari arah berlawanan
tugas sulit. Tugas ini dilakukan:
1. sendirian setelah eksperimenter meninggalkan ruangan.
2. dengan orang-orang yang tidak memperhatikan, menggunakan headset dan
seolah bersiap untuk ekperimen lain.
3. pada saat observasi berdekatan dengan ekperimenter yang tetap berada di
dalam ruangan memperhatikan peserta.
Hasil studi menunjukkan bahwa mere presence menghasilkan performansi yang lebih
cepat pada tugas yang mudah dan performansi yang lambat pada tugas yang sulit, dan
evaluation apprehension memiliki dampak yang kecil. Kelihatannya mere presence
saja sudah cukup menjadi penyebab munculnya efek social facilitation, dan
evaluation apprehension bukanlah hal yang penting pada efek social facilitation.
Guerin dan Innes 1982 menyatakan bahwa social facilitation effect dapat
terjadi hanya ketika individu tidak mampu memonitor penonton sehingga tidak yakin
dengan reaksi evaluatif penonton terhadap performansi mereka. Untuk mendukung
ide ini, Guerin 1989) menemukan social facilitation effect hanya diantara partisipan
yang diamati oleh sekelompok orang yang tidak dapat dilihat oleh partisipan. Ketika
sekelompok orang tersebut terlihat dengan jelas, maka disana tidak terdapat social
facilitation effect.
Distraction-conflict theory
Hubungan antara social presence dengan drive telah dijelaskan dalam bentuk
yang lain oleh Baron dan lainnya (Baron, 1986; Sanders, 1983; Sanders et al., 1978)
yaitu distraction–conflict theory. Mereka berpendapat bahwa individu adalah sumber
dari distraction, yang menghasilkan konflik antara lebih memberi perhatian pada
tugas atau memberi perhatian pada penonton atau coactor. Ketika distraction
berdampak pada performansi tugas, konflik juga menghasilkan drive yang
memperkuat respon dominan. Proses-proses ini juga berdampak pada performansi
dari tugas yang sulit dan oleh karena drive ini biasanya mengatasi distraction maka
drive juga memperbaiki performansi dari tugas yang mudah.
Untuk mendukung distraction-conflict theory, Sanders et al. (1978) mengajak
partisipan untuk melakukan tugas meniru yang mudah dan sulit, baik secara sendirian
maupun berkerja sama dengan seseorang untuk melakukan tugas yang sama ataupun
berbeda. Mereka menyatakan bahwa seseorang yang melakukan tugas yang berbeda
6
tidak akan menjadi sumber yang relevan untuk social comparison, sehingga
distraction seharusnya dapat diperkecil, sementara seseorang yang melakukan tugas
yang sama akan menjadi sumber yang relevan untuk social comparison dan karena itu
distraction akan tinggi sekali. Seperti yang diprediksi, mereka menemukan bahwa
partisipan pada kondisi yang mengalami distraction, membuat lebih banyak kesalahan
pada tugas yang sulit dan lebih banyak benar pada tugas yang mudah, dibandingkan
pada kondisi lainnya. Peneliti menunjukkan bahwa bentuk distraction apapun
(keributan, pergerakan, sinar lampu) bukan hanya social presence, dapat
menghasilkan efek social facilitation.
Distraction-conflict theory juga memiliki sisi pada evaluation apprehension
dalam eksperimen oleh Groff et al. (1983). Ketika sebuah nada dibunyikan, partisipan
harus melaporkan ekspresi muka dari orang yang muncul di layar TV dan pada waktu
yang sama, menekan sekuat mungkin botol di tangan (latensi dan kekuatan tekanan
adalah ukuran dorongan atau drive). Partisipan menjalani eksperimen dengan ketiga
kondisi berikut:
1. sendirian
2. diperhatikan orang lain secara seksama (menghasilkan high distraction)
3. diperhatikan orang lain yang sebenarnya adalah orang di layar TV (tidak
menimbulkan konflik)
Seperti yang diprediksi oleh distraction-conflict theory, partisipan menekan botol
lebih kuat pada kondisi kedua.
Non-drive Explanations of Social Facilitation
Salah satu penjelasan social facilitation yang tidak melibatkan drive adalah
self-awareness theory (Carver and Scheier, 1981; Duval and Wicklund, 1972;
Wicklund, 1975). Ketika individu memfokuskan perhatiannya pada diri mereka
7
Individu melakukan sebuah tugas
Hadir penonton
Lebih memperhatikan tugas
Lebih memperhatikan penonton
konflik Muncul drive
Social facilitation effect
sendiri sebagai objek, mereka akan membandingkan actual self mereka (performansi
tugas mereka yang sebenarnya) dan ideal self (bagaimana performansi yang mereka
inginkan). Kesenjangan antara actual self dan ideal self meningkatkan motivasi dan
usaha untuk menyamakan actual dengan ideal self sehingga pada tugas yang mudah,
performansi akan meningkat. Pada tugas yang sulit, kesenjangannya terlalu besar
sehingga individu berhenti mencoba yang menyebabkan performansi yang buruk. Self
awareness dapat dihasilkan dari berbagai keadaan seperti melihat diri sendiri di
cermin atau dengan kehadiran coactors ataupun penonton.
Berkaitan dengan peranan self dalam social facilitation, Bond (1982) percaya
bahwa individu selalu berusaha untuk menunjukkan kesan yang baik pada orang lain.
Oleh karena hal ini dapat dicapai pada tugas yang mudah, maka social presence
menghasilkan performansi yang baik. Pada tugas yang sulit, individu membuat
kesalahan yang menimbulkan rasa malu, dan rasa malu ini memperburuk performansi.
Penjelasan lain mengenai social facilitation tanpa menghubungkannya dengan
self atau drive yaitu berdasarkan konsekuensi dari social presence. Baron (1986)
percaya bahwa individu memiliki kapasitas perhatian yang terbatas, yang dapat
overload dengan kehadiran orang lain. Perhatian yang overload menyebabkan
individu harus membagi prioritas pada perhatian yang diminta dan fokus pada central
cue yang sedikit. Tugas yang sulit membutuhkan perhatian pada cues yang sangat
banyak sehingga pembagian perhatian akan mengalihkan perhatian dari cue yang
seharusnya diperhatikan, sehingga social presence akan memperburuk performansi.
Tugas yang sederhana hanya memerlukan perhatian pada sedikit cue, sehingga
pembagian perhatian sebenarnya akan mengurangi distraction yang disebabkan oleh
perhatian yang terbagi pada cue eksternal dan central cue, oleh karena itu social
presence meningkatkan performansi.
2. Classification of Group Tasks
Pertanyaan mengenai apakah kelompok akan memiliki performansi yang lebih
baik daripada individu telah melahirkan sebuah taksonomi (Steiner 1972, 1976). Task
taxonomy oleh Steiner memiliki 3 dimensi, yang lebih dapat dilihat melalui 3
pertanyaan berikut :
1. Apakah task tersebut divisible atau unitary?
8
Divisible task adalah tugas yang menghasilkan manfaat dari pembagian
kerja, di mana individu yang berbeda akan melaksanakan subtugas yang
berbeda pula.
Unitary task adalah tugas yang tidak dapat dipecah menjadi subtugas.
Membangun sebuah rumah merupakan divisible task dan menarik tali
merupakan unitary task.
2. Apakah task tersebut termasuk maximising task atau optimising task?
Maximising task adalah suatu tugas terbuka yang menekankan pada
kuantitas; objektifnya adalah melakukan sebanyak mungkin.
Optimising task adalah tugas yang memiliki standar yang telah ditentukan
sebelumnya; objektifnya adalah mencapai standar tersebut, tidak melebihi
ataupun kurang dari standar tersebut.
Menarik tali dapat dikatakan sebagai maximising task, tetapi tetap bertahan
saat menarik tali merupakan optimising task.
3. Bagaimana hubungan antara masukan individu terhadap hasil kelompok?
Additive task adalah tugas di mana hasil kelompok merupakan total dari
seluruh masukan individu (misal: sekelompok orang yang menanam
pepohonan).
Compensatory task adalah tugas di mana hasil kelompok merupakan rata-
rata dari masukan individu (misal: sekelompok orang yang memperkirakan
jumlah bar yang ada di Amsterdam).
Disjunctive task adalah tugas di mana kelompok memilih dan hasilnya
merupakan masukan dari salah seorang individu (misal: sekelompok orang
yang mengajukan berbagai hal yang berbeda untuk dilakukan sesudah
akhir pekan, akan mengambil sugesti dari salah satu individu).
Conjunctive task adalah tugas di mana hasil kelompok ditentukan tingkat
atau level performansi dari anggota yang paling lambat atau yang paling
rendah kemampuannya (misal: sekelompok orang yang bekerja di lini
perakitan).
Discretionary task adalah tugas di mana hubungan antara masukan
individu dan hasil kelompok tidak secara langsung diperlihatkan oleh fitur-
fitur suatu tugas; kelompok bebas memilih untuk melakukan tugas yang
9
mereka sukai (misal: sekelompok orang yang memutuskan untuk
membersihkan salju bersama-sama).
Parameter-parameter tersebut membantu kita untuk mengklasifikasikan tugas.
Contohnya:
Tarik tambang merupakan task yang bersifat unitary, maximising, dan
additive.
Merakit sebuah mobil merupakan task yang bersifat divisible, optimising,
dan disjunctive (atau conjunctive).
Steiner percaya bahwa pada umumnya performansi kelompok yang
sebenarnya lebih rendah dari potensi kelompok itu sendiri. Kekurangan ini
disebabkan adanya process loss (misal: kegagalan dalam mengkoordinasikan aktivitas
anggota kelompok, ketidakseimbangan pengaruh pada anggota kelompok tertentu
yang berkuasa dan berbagai distraksi sosial). Bertentangan dengan latar belakang
tersebut, taksonomi Steiner membuat prediksi mengenai jenis task apa yang
mendukung performansi kelompok.
Untuk additive task, performansi kelompok lebih baik daripada performansi
terbaik individu.
Untuk compensatory task, performansi kelompok lebih baik dari performansi
mayoritas orang karena rata-rata cenderung mendekati benar.
Untuk disjunctive task, performansi kelompok sama dengan atau lebih buruk
dari performansi terbaik individu karena kelompok tidak dapat berbuat yang
lebih baik dari ide terbaik yang diajukan.
Untuk conjunctive task, performansi kelompok sama dengan performansi
terburuk individu kecuali jika tugas tersebut diberlakukan pembagian kerja,
maka anggota yang paling lemah diarahkan untuk tugas yang lebih mudah
sehingga akan memperbaiki performansi kelompok.
Walaupun Steiner menekankan coordination loss sebagai sesuatu yang
menghambat kelompok untuk performansi secara optimal, ia juga mengajukan adanya
suatu tipe loss yang sangat berbeda dan lebih mendasarkan ke psikologis, yakni
motivation loss.
10
3. Social Loafing dan Social Impact
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ringelmann (1913), ia melibatkan
para pemuda sebagai partisipan di mana ia menempatkan pemuda tersebut sendirian
atau dalam kelompok yang berjumlah 2, 3 atau 8 orang. Partisipan tersebut diminta
untuk menarik tali yang dihubungkan dengan dynamometer (suatu alat yang
digunakan untuk mengukur besarnya tenaga yang diusahakan). Hasilnya adalah
tenaga yang diusahakan oleh partisipan menurun seiring bertambahnya ukuran
kelompok. Hal ini dikenal dengan the Ringelmann effect.
Motivation loss dikenal juga sebagai social loafing oleh Latane et. al. (1979).
Dalam penelitiannya, Latane et. al. meminta partisipan untuk berteriak dan tertawa
sekeras mungkin baik saat sendiri atau dalam kelompok yang beranggotakan 2, 4, dan
6 orang. Keributan yang dihasilkan oleh setiap orang menurun 29 % saat dalam
kelompok 2 orang, 49 % dalam kelompok 4 orang, dan 60 % dalam kelompok 6
orang.
Social loafing adalah kecenderungan individu untuk mengurangi usahanya
dalam bekerja ketika anggota yang lain dalam kelompok juga bekerja dengan
pekerjaan yang sama.
Secara formal, social loafing juga dapat diartikan sebagai suatu penurunan
usaha seseorang ketika bekerja bersama-sama dengan anggota lainnya dalam
kelompok. Semakin besar anggota di dalam suatu kelompok maka semakin besar
kemungkinan terjadinya social loafing.
Menurut Frochlich dan Oppenheimer (1970), social loafing berhubungan
dengan free rider effect. Free rider effect adalah ketika seorang anggota suatu
kelompok menghindari kewajiban yang merugikan dan membiarkan anggota lain
untuk menanggungnya. Sedangkan free rider adalah seseorang yang mengambil
keuntungan dari sumber tertentu tetapi tidak mau memberikan kontribusi. Misalnya
dalam suatu kelompok, ada beberapa anggota kelompok yang tidak mengerjakan
tugas tetapi berniat untuk mencantumkan namanya di dalam tugas tersebut.
Perbedaan antara loafing dengan free riding adalah pada orang-orang yang
social loafing, mereka merasa tidak termotivasi ketika bekerja dalam suatu kelompok,
karena mereka berpikir kontribusi mereka tidak akan dievaluasi, sedangkan pada
orang-orang yang free riders, mereka mengambil keuntungan dari sumber tertentu
tetapi tidak memberikan kontribusi apapun.
11
Menurut Geen (1991), terdapat 3 alasan mengapa orang bermalas-malasan (loafing),
yaitu:
1. Output Equity
Individu mungkin bermalas-malasan dalam tugas kelompok karena mereka
merasa orang lain akan bermalas-malasan sehingga dia pun bermalas-
malasan untuk mendapatkan equity.
2. Evaluation Apprehension
Sekelompok orang yang tidak menunjukkan dirinya ketika berada pada
kelompok yang tidak termotivasi untuk bekerja, tetapi ketika performansi
kerja mereka diukur secara individual, sekelompok orang tersebut muncul
dan menunjukkan dirinya.
3. Matching to Standard
Seseorang bermalas-malasan karena mereka tidak mempunyai standar
performansi yang jelas untuk dibandingkan. Performansi sosial atau
kelompok yang standar dapat mengurangi social loafing.
Group size mungkin mempunyai efek dikarenakan social impact. Social
impact adalah suatu efek yang didapatkan individu karena menunjukkan satu sikap
atau tingkah laku, biasanya merupakan konsekuensi dari beberapa faktor seperti
group size. Contohnya: jika seorang eksperimenter menyuruh seorang partisipan
untuk bertepuk tangan sekeras mungkin, maka partisipan tersebut akan melakukannya
sekeras mungkin. Lain halnya jika partisipan terdiri dari 2 atau 3 orang, maka akan
ada partisipan yang bertepuk tangan dengan keras dan ada yang lambat.
Loafing bukanlah suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan. Adapun
cara-cara untuk mengurangi loafing, yaitu:
1. Setiap anggota kelompok harus dikenali oleh ketua kelompok ataupun
pemimpinnya,
2. Setiap anggota kelompok terlibat dalam mengerjakan tugas (personal
involvement in the task)
3. Adanya usaha bersama ( partner effort)
4. Ada perbandingan antarkelompok (intergroup comparison)
Dengan adanya faktor-faktor diatas, anggota kelompok akan bekerja keras
untuk mengantisipasi loafing. Hal inilah yang dinamakan social compensation. Social
12
compensation adalah peningkatan usaha pada tugas kelompok untuk mengantisipasi
terjadinya loafing.
Terkadang ada juga sekelompok orang yang menunjukkan usaha yang
maksimal di dalam suatu kelompok. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
1. Karena adanya perasaan berkompetisi dengan kelompok lain, sehingga
masing-masing anggota menunjukkan usaha yang maksimal,
2. Mempunyai orientasi sosial kolektif, dimana lebih dapat bekerja keras di
dalam kelompok daripada bekerja sendiri,
3. Setiap anggota kelompok percaya dan berharap mereka dapat mencapai
tujuan mereka, sehingga bersama-sama untuk mencapai tujuan tersebut.
C. Group Cohesiveness
Salah satu hal yang paling mendasar dari suatu kelompok yaitu
kekohesifannya (solidaritas, semangat tim, semangat untuk berjuang). Cohesiveness
berarti hal-hal yang paling esensial dari suatu kelompok yang membuat kelompok
bertindak layaknya sebagai kelompok. Cohesiveness berbeda antara kelompok yang
satu dengan kelompok lainnya, dan berbeda sepanjang waktu. Kelompok dengan
tingkat kekohesifan yang rendah sulit dianggap sebagai sebuah kelompok. Oleh
karena itu, cohesiveness menjadi hal yang paling esensi dalam kelompok, suatu proses
psikologis yang mentransformasikan sejumlah individu ke dalam suatu kelompok.
Cohesiveness dikemukakan oleh Festinger dkk, (1950). Mereka percaya
bahwa serangkaian dorongan yang diperoleh dari adanya ketertarikan suatu kelompok
dan anggotanya dan tingkat dimana kelompok dapat memuaskan tujuan individu
dalam kelompok, berpengaruh terhadap anggota kelompok tersebut. Hasil dari
ketertarikan itu akan menimbulkan kekohesifan yang berpengaruh terhadap
kelangsungan anggota kelompok dan kesetiaan terhadap norma kelompok.
Serangkaian dorongan
13
Ketertarikankelompokanggota
kelompok
Penelitian menghasilkan bahwa faktor-faktor yang meningkatkan
interpersonal attraction (seperti kesamaan, kerja sama, penerimaan interpersonal)
umumnya dapat meningkatkan cohesiveness dan meningkatkan hasil dari
cohesiveness, seperti konformitas terhadap standard kelompok, menekankan
kesamaan, dan meningkatkan komunikasi dalam kelompok.
Kekohesifan dalam kelompok memunculkan suatu model dari social cohesion
atau interpersonal interdependence (ketergantungan interpersonal) dalam suatu
kelompok sosial.
Model umum dari social cohesion:
Munculnya tujuan dalam diri individu yang tidak dapat dipuaskan bila sendirian
Berkumpulnya individu-individu yang tidak memiliki hubungan
Ketergantungan satu sama lain dan interaksi yang kooperatif
Adanya kepuasan terhadap tujuan bersama
Satu sama lain dirasakan sebagai sumber dari reward; diikuti nilai-nilai positif
Interpersonal attraction = Cohesiveness
Suatu pertanyaan penting muncul dari peneliti social identity yang
menanyakan seberapa luas analisa dari group cohesiveness sebagai keseluruhan dari
14
Pencapaian
Tujuan
- interaksi sosial
- ketergantungan
cohesiveness
Perilakukelangsungan
anggota kelompok
sesuai dengan standar kelompok
interpersonal attraction benar-benar menggambarkan proses kelompok secara
keseluruhan. Hogg menyatakan bahwa suatu perbedaan harus dibuat antara personal
attraction (menyukai seseorang berdasarkan pada kesukaan sifat dan hubungan
interpersonal) dan social attraction (menyukai seseorang yang didasarkan pada
persepsi diri sendiri dan orang lain, bukan secara individual tetapi menurut norma
kelompok dan prototypicality seseorang dalam kelompok). Personal attraction tidak
berpengaruh terhadap kelompok sedangkan social attraction adalah komponen dalam
anggota kelompok.
Analisa ini memiliki dua keuntungan dibandingkan model tradisional yaitu:
1. Tidak mengurangi solidaritas dan kekohesifan kelompok menjadi interpersonal
attraction.
2. Dapat diaplikasikan pada kelompok-kelompok kecil dan kelompok yang besar
seperti kelompok etnik, bangsa.
BAB III
15
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Menurut Johnson and Johnson, group adalah 2 individu atau lebih yang
berinteraksi secara tatap muka, menyadari bahwa mereka adalah bagian dalam
kelompok, menyadari orang lain sebagai bagian dari kelompok, dan menyadari
ketergantungan mereka yang positif sebagaimana mereka berusaha untuk
mencapai tujuan yang menguntungkan.
2. Bekerja dalam kelompok dapat mempengaruhi performansi individu baik
meningkatkan ataupun memperburuk performansi individu.
3. Social facilitation adalah suatu peningkatan performansi individu pada tugas yang
mudah dan penurunan performansi pada tugas yang sulit karena hadirnya anggota
lain dari kelompok yang sama.
4. Social loafing adalah suatu penurunan usaha seseorang ketika bekerja bersama-
sama dengan anggota lainnya dalam kelompok.
5. Social impact adalah suatu efek yang didapatkan individu karena menunjukkan
satu sikap atau tingkah laku, biasanya merupakan konsekuensi dari beberapa
faktor seperti group size.
6. Cohesiveness berarti hal-hal yang paling esensial dari suatu kelompok yang
membuat kelompok bertindak layaknya sebagai kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
16
Hogg, Michael A. dan Vaughan, Graham M. 2002. Social Psychology, Third Edition.
United Kingdom: Pearson Education.
17