hadhanah anak yang belum mumayyiz (studi analisis atas...
TRANSCRIPT
Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas
Pembatalan Putusan Perkara No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.
Oleh Putusan Banding dan Kasasi)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Tiyas Puji Istanti
NIM : 11150440000015
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
iv
ABSTRAK
Tiyas Puji Istanti NIM 11150440000015 Hadhanah Anak Yang Belum
Mumayyiz (Studi Analisis Atas Pembatalan Putusan Perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding dan Kasasi). Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019 M/1440 H.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui alasan hakim PA Cibinong
terhadap hak asuh anak dalam perkara putusan No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn . dan
alasan hakim PTA Bandung membatalkan putusan PA Cibinong
No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn . serta untuk mengetahui alasan Hakim Mahkamah
Agung yang menguatkan putusan PTA Bandung No. 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg.
yang mana menetapkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibunya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
model pendekatan kasus. Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama
adalah dengan menggunakan bahan hukum primer (Putusan PA Cibinong, PTA
Bandung dan Mahkamah Agung), bahan hukum sekunder (studi kepustakaan).
Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, studi kepustakaan dan studi
dokumentasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan
atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwasanya alasan hakim PA Cibinong
menetapkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada kakek bersama istrinya
(nenek) karena kepentingan anak lebih diutamakan dalam kasus hak asuh anak ini
yaitu menjaga agama dan aqidahnya. Majelis hakim juga mengatakan bahwa
hakim memutuskan dengan murni berijtihad karena untuk kemaslahatan yaitu
menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemaslahatan. Sedangkan
hakim PTA Bandung membatalkan perkara putusan No.282/Pdt.G/2014/PA.Cbn
dengan beralasan bahwa bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan oleh kakek di
persidangan ternyata tidak satupun keterangan saksi yang menyatakan bahwa
tergugat telah keluar dari Agama Islam dan telah di baptis lagi secara agama
Kristen. Kemudian hakim di Tingkat Kasasi menguatkan putusan hakim Tingkat
Banding, yang menyatakan bahwa putusan hakim Tingkat Banding sudah benar
dan tepat, hakim juga menyatakan bahwa perkara ini tidak bertentangan dengan
Undang-undang.
Kata Kunci : Hadhanah anak yang belum mumayyiz, Putusan
Pembimbing : Dr. Muchtar Ali, M.H.,M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1980 sampai Tahun 2018
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Segala puja-puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. Tuhan semesta
alam, yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis.
Sehingga atas karunia pertolongan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul: Hak Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis
Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan
Banding Dan Kasasi, sebagai salah satu syarat untuk menyelasaikan studi pada
Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda
Sarno dan Ibunda Yanti beserta Kakek Sanarto, Nenek Suni, Bibi wiwi
Indriyani, Bibi Ining, Bibi sumitri, Kakak Indra Kusuma dan Kakak Miftahul
Ridwan, yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi, bimbingan, kasih
sayangnya serta do’a, begitu juga waktu dan senyumannya. Semoga Allah Swt
senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi
dari berbagai sehingga segala kesuliatan dan hambatan dapat di atasi dan
tentunya dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,MA., M.H Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Mesraini,M.Ag dan Ahmad Chairul Hadi,M.A Ketua dan Sekretaris
Program studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Muchtar Ali, M.H.,M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran untuk mengarahkan dan memotivasi
selama membimbing penulis.
vi
4. Dr. H. A. Juaini Syukri, L.c., M.A selaku Dosen Penguji I dan ibu Dr. H.
Mesraini,M.Ag selaku Penguji II skripsi yang telah banyak memberikan
masukan-masukan dan perbaikan disana-sini hingga lebih sempurnanya
skripsi ini.
5. Seluruh Dosen di fakultas syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang berharga kepada penulis beserta seluruh staf dan
karyawan yang telah memberikan pelayanan terpadu selama kuliah di UIN
syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Dr.H. Nasech Salam Suharto, Lc.LLM serta Drs. H. Arief Saepuddin, S.H.
M.H., selaku hakim yang penulis teliti di Pengadilan Agama Cibinong dan
PTA Bandung, yang senantiasa telah memberikan waktu untuk bisa di
wawancarai dan bimbingannya serta nasehat dan saran selama penulis
melakukan wawancara.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan, Desi Purnama, Nurdiana Ramadhan, Ilham
Ramdhani Rahmat, Lutfi Zakaria Mubarok dan M. Iqbal Farizi yang terus
memberikan ilmu dan motivasinya serta semangat kepada penulis. Tanpa
mengurangi rasa hormat, kepada seluruh pihak yang telah banyak
memberikan inspirasi juga dukungan kepada penulis untuk mencapai cita-
cita yang telah diimpikan dan telah membantu secara langsung maupun
tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Semoga segala kebaikan akan
diganjar dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Jakarta, 6 Agustus 2019
Tiyas Puji Istanti
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z س
Zet
viii
s es س
sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrop ‘ ء
y Ya ي
ix
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شزيعة
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلا مية
x
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembahsan dan Perumusan Masalah ........................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
D. Review Studi Terdahulu .................................................................................. 6
E. Metode Penelitian ............................................................................................ 6
F. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 8
BAB II HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN HUKUM
POSISTIF
A. Pengertian Hadhanah ..................................................................................... 11
B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................................................ 14
C. Rukun dan Syarat Hadhanah ......................................................................... 27
D. Pihak-pihak Yang Berhak Dalam Hadhanah ................................................. 30
E. Masa Berlakunya Hadhanah .......................................................................... 39
F. Gugurnya Hak Hadhanah .............................................................................. 42
xii
G. Maqhasid Syari’ah
1. Pengertian Maqhasid syari’ah ............................................................... 45
2. Dasar hukum Maqhasid Syari’ah ........................................................... 48
3. Macam-Macam Maqhasid Syari’ah ....................................................... 49
4. Kedudukan Maqhasid syari’ah .............................................................. 52
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NOMOR
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. TENTANG HADHANAH DAN
PEMBATALANNYA
A. Pertimbangan Hakim PA Cibinong dalam Memutus Perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Hakim PTA Bandung Perkara
No.0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg. Hakim MA Perkara No.127 K/Ag/2016
1. Duduk Perkara ......................................................................................... 58
2. Putusan Hakim Dan Pertimbangan Hukum
a. PA Cibinong Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn .......................... 62
b. Tingkat Banding Perkara No.0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg ................ 63
c. Tingkat Kasasi Perkara No.127 K/Ag/2016 ...................................... 65
BAB IV HAK HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ PADA
PUTUSAN NOMOR 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. DAN
PEMBATALANNYA DALAM PERSPEKTIF MAQHASID
SYARI’AH .................................................................................................. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 84
B. Saran-saran ............................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah merupakan sunnatullah yang dengan sengaja
diciptakan oleh Allah yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan
keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Allah menciptakan makhluknya bukan
tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya
hidup hamba-hambaNya di dunia ini menjadi tentram.1
Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang
berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman,
damai, dan sejahtera dalam suasana cinta kasih sayang di antara anggotanya.2
Bilamana terjadi perceraian, maka orang yang paling berhak mengasuh
dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya karena anak di masa kecil
membutuhkan kasih sayang lebih, pemeliharaan yang optimal agar tumbuh
kembang terpelihara anak tersebut. Yang dimungkinkan bapak sibuk untuk
mencari nafkah, maka ibulah yang berkewajiban untuk memeliharanya.3
Peran ibu dalam mendidik anak sangatlah penting. Meskipun secara fisik
seorang laki-laki jauh lebih kuat bila dibandingkan perempuan, namun pada
beberapa hal ibu jauh lebih memiliki kemampuan yang dimiliki oleh seorang
suami. Jadi, peran ibu mendidik anak tidak bisa digantikan oleh orang lain
dan bahkan oleh suaminya sendiri.
1 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003),
Cet.1, h. 1-2 2 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender Edisi Revisi, (Malang :
UIN-Maliki Press, 2013), h.13 3 Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002), h.318
2
Peran seorang ibu dalam mendidik anak tidak bisa disejajarkan dengan
bapak. Oleh karena itu, ibu memiliki naluri yang lebih kuat terhadap anaknya
dibandingakan bapaknya. Untuk itu, ibu memiliki keutamaan-keutamaan
dibandingkan bapak.
Orang yang akan menjadi pengasuh anak disyaratkan kafaah atau martabat
yang sepadan dengan kedudukan si anak, maupun melaksanakan tugas sebagai
pengasuh anak. Karena, dengan adanya kemampuan dan kafa’ah, maka
mencakup beberapa syarat tertentu, dan apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anak.4
Kemudian masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah
syarat-syarat yang menjadi hadhin, karena sifat seorang pengasuh akan
berpengaruh kuat terhadap anak yang menjadi asuhnya, keberhasilan seorang
anak dalam perkembangan, kedewasaan, dan pendidikannya. Sebab ciri dasar
manusia adalah bersifat dinamis, merdeka, dan sosial. Maka pada saat inilah
seorang anak diberikan pendidikan yang paling besar sifatnya seperti
diajarinya seorang anak mengenal Tuhan sebagai bakal tauhid dan jiwanya.
Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang kronologi permasalahan hak
asuh anak/ hadhanah dalam cerai mati suami ketika istri yang berpindah
keyakinan (murtad). Semula sepasang suami istri menikah dalam beragama
Islam. Istri semula beragama Kristen Protestan, kemudian masuk Islam dan
menikah secara resmi dan sah dalam agama Islam. Setelah berlangsungnya
perkawinan sepasang suami istri telah di karuniai 3 (tiga) orang anak :
1. Anak Asuh 1, lahir di Jakarta, tanggal 26 pebruari 2008.
2. Anak Asuh 2, lahir di Jakarta, tanggal 28 Mei 2009.
4 H.S. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), h.321
3
3. Anak Asuh 3, lahir di Rumah Sakit Bogor, tanggal 12 Januari 2014.
Kurang lebih tiga bulan setelah Alm. Anak penggugat (Ayah) meninggal
dunia.
Di tahun 2013 suami meninggal dunia, semenjak itu terjadilah perselisihan
antara tergugat (istri dari anak penggugat) dan penggugat (ayah mertua)
diketahui bahwa tergugat telah berpindah agama (murtad), yang semula
beragama Islam kemudian telah keluar dari agama Islam atau melenceng dari
ajaran-ajaran agama Islam (murtad). Sedangkan si anak (cucu) dalam keluarga
tersebut belum mumayyiz, sehingga penggugat yang mengetahui hal tersebut
mengajukan permohonan hadhanah ke pengadilan agama dengan alasan
merasa khawatir dan cemas terhadap pertumbuhan dan perkembangan
khususnya dalam hal aqidah atas ketiga anak (cucunya) yang di lahirkan
dalam keadaan Islam dari pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan hukum
Islam. Karena tergugat (menantu) secara diam-diam dan kemudian menjadi
terang-terangan menunjukan perubahan aqidahnya yang semula Islam menjadi
non-muslim, termasuk berupaya untuk merubah aqidah anak-anak (cucu)
tersebut.
Pengadilan Agama Cibinong adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam
memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai
aspek kehidupan dan hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya,
sehingga berbagai kepentingan dari berbagai para pihak yang berperkara dapat
terpenuhi. Termasuk perkara pelimpahan hak hadhanah. Terhadap anak yang
belum mumayyiz hak hadhanah semestinya ikut kepada ibunya. Karena dalam
hal ini perempuan lebih layak untuk menempatinya karena kaum hawa bisa
lebih lembut, penuh kasih sayang, dan sabar dalam mendidik. Adapaun yang
berhak mengurus hadhanah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hadhanah
4
adalah haknya hadhin (orang yang memelihara) pendapat ini juga didukung
oleh madzhab Malikiyah. Ulama lain berpendapat bahwa hadhanah adalah
hak orang yang dipelihara.5 Dalam hal perkara ini Pengadilan Agama
Cibinong telah melimpahkan hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada
kakeknya (mertua). Namun pada tingkat banding dan kasasi membatalkan
putusan dari Pengadilan Agama Cibinong tingkat pertama dengan alasan
bahwa dakwaan Judex facti tingkat pertama dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang.
Berdasarkan uraian tentang permasalahan di atas, ada hal yang menarik
untuk dikaji lebih lanjut tentang hak asuh anak / hadhanah anak yang belum
mumayyiz studi atas pembatalan putusan perkara hadhanah Nomor:
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding Nomor:
0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg. dan Kasasi Nomor: 127 K/Ag/2016. Dalam hal ini
akan dijelaskan atas dasar apa majelis hakim menentukan dan menetapkan siapa
yang berhak atas hadhanah / pengasuhan anak tersebut.
Penyusun memilih mengadakan penilitian ini di Pengadilan Agama
Cibinong karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara
bagi anak yang belum mumayyiz dan melimpahkan hak asuhnya kepada kakek
(mertua) dari pihak bapaknya. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang
mengatakan bahwa anak yang belum mumayyiz hak asuhnya jatuh pada ibunya.
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat sebuah judul “Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi
Analisis Atas Pembatalan Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.
Oleh Putusan Banding dan Kasasi).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Maslah
5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet.1, h.60
5
1. Identifikasi Masalah
a. Apa alasan hakim mengabulkan putusan perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.?
b. Mengapa hak asuh anak dalam Putusan Perkara Pengadilan Agama
Cibinong Nomor: 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. dilimpahkan kepada kakek?
c. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam perkara Pengadilan Agama
Cibinong Nomor: 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. sudah sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku?
d. Bagaimana analisis hukum putusan No.282/Pdt.G/2014.PA.Cbn
terhadap hadhanah cerai mati ketika istri berpindah keyakinan
perspektif fiqh dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak?
e. Bagaimana ijtihad hukum yang digunakan oleh Hakim Pengadilan
Agama Cibinong dalam putusan No.282/Pdt.G/2014.PA.Cbn?
f. Apa alasan hakim PTA Bandung membatalkan putusan perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.?
g. Bagaimana analisis hukum putusan No 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg
terhadap hadhanah cerai mati ketika istri berpindah keyakinan
perspektif fiqh dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak?
h. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam Putusan Tingkat Banding
No. 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg sudah sesuai Undang-Undang yang
berlaku?
i. Mengapa hak asuh anak dalam Putusan Tingkat Banding No.
0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg jatuh kepada ibu?
j. Mengapa hak asuh anak dalam putusan kasasi No. 127/K/Ag/2016)
jatuh kepada ibu?
k. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap hadhanah cerai mati ketika
istri berpindah keyakinan?
6
l. Apakah dasar hukum yang digunakan dalam Putusan Tingkat Kasasi
No.127/K/Ag/2016 sudah sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku?
m. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh anak pada
Putusan Tingkat Kasasi No.127/K/Ag/2016?
2. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada
Hadhanah Anak Yang Belum Mumayyiz (Studi Analisis Atas Pembatalan
Putusan Perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Oleh Putusan Banding dan
Kasasi).
3. Perumusan Masalah
Apa alasan hakim PA Cibinong mengabulkan putusan perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. tentang perkara hak hadhanah anak yang belum
mumayyiz ketika istri berpindah keyakinan dan apa alasan hakim PTA
Bandung membatalkan putusan perkara No. 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mengetahui alasan hak asuh anak dalam Putusan Perkara Tingkat
Kasasi No. 127/K/Ag/2016 dilimpahkan kepadanya. Dan mengetahui dasar
hukum yang digunakan dalam perkara Putusan Perkara Tingkat Kasasi No.
127/K/Ag/2016.
2. Manfaat Penelitian
a. Memahami dan mengkaji tentang penentuan hak hadhanah setelah
terjadi perceraian antara suami istri.
b. Memberikan informasi tentang tinjauan Yurisprudensi hak asuh anak
yang dilmpahkan kepada kakek.
c. Sebagai dokumentasi ilmiah di dalam maupun diluar kampus.
7
D. Review Study Terdahulu
1. Firman Assalamsyah (2010) dalam skripsi “Problematika Hadhanah
Dalam Pernikahan Beda Agama (Studi Putusan No.
655/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel)” Membahas mengenai sudut pandang hukum
Islam dan hukum positif tentang keabsahan pernikahan beda agama dan
landasan hukum yang digunakan hakim dalam menyelesaikan perkara
pengasuhan anak dalam pernikahan beda agama.
2. Masrur Rahmansyah (2016) dalam skripsi “Hak Asuh Anak Terhadap
Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015)”. Skripsi
tersebut mengkajai mengenai permasalahan mendidik anak dalam
perspektif fatwa MUI.
3. Lilis Sumiyati (2015) dalam skripsi “Murtad Sebagai Penghalang
Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur
Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT)”. Membahas mengenai
pengasuhan anak terhadap anak yang belum mumayyiz yang diberikan
kepada bapak akibat ibu yang murtad, sehingga seorang yang murtad akan
menjadi penghalang mendapatkan hak asuh anaknya.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penilitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum terutama mengenai kasus yang telah diputus lalu dipelajari
untuk memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum.6
6 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur : Baymedia
Publising, 2006), h.321
8
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian library research dan
field research. Library research yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.7 Kepustakaan
dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqh, perundang-
undangan, dan yurisprudensi yang berhubungan dengan skripsi ini.
Sedangkan jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yaitu dengan
melakukan field research.
3. Sumber Data
a. Data Primer dan Wawancara, yang didapat untuk penulisan ini berasal
dari studi dokumentasi yaitu penelitian yang dilakukan di
perpustakaan, arsip, dan lain-lain.8 Penulis menjadikan putusan
Pengadilan Agama Cibinong Nomor :282/Pdt.G/2014/PA.Cbn,
Putusan PTA Bandung Nomor. 0079/Pdt. G/2015/PTA. Bdg, Putusan
Kasasi Nomor. 127 K/Ag/2016, sebagai data primer, untuk kemudian
penulis melakukan analisis hukum terhadap pertimbangan hakim
tentang putusan hak pemeliharaan anak kepada kakek.
b. Data Sekunder, untuk melengkapi data primer diperoleh dari studi
kepustakaan dengan mengkaji dan menelusuri literatur yang relevan
baik berasal dari buku-buku, kitab fiqh, majalah, jurnal-jurnal, dan
lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan yang di kaji.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara mendalam yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat
informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta
penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada 2004), h. 13 8 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h.50
9
ini untuk mendapatkan data tentang pelimpahan hak asuh anak kepada
kakek.
b. Studi kepustakaan untuk mendapatkan teori-teori dan konsep yang
berkenaan dengan metode keputusan hakim melalui berbagai buku dan
literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan obyek
penelitian.
c. Studi dokumenter yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari
dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan
hadhanah serta putusan hakim yang menyangkut hadhanah.
5. Teknik Analisis Data
Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang dilakukan
terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian untuk
memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga
dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang
berguna dalam pengambilan putusan pelimpahan hak asuh anak kepada
kakek.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas
lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab I Berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang menjadi
dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah, rumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Hadhanah Dalam Perspektif Fiqih dan Hukum Positif, meliputi
hadhanah dalam perspektif hukum fiqih, terdiri dari pengertian hadhanah,
dasar hukum hadhanah, rukun dan syarat hadhanah, pihak-pihak yang berhak
dalam hadhanah, masa berlakunya hadhanah, dan gugurnya hak hadhanah.
10
Kemudian dilanjutkan dengan hadhanah menurut hukum positif , yang terdiri
dari hadhanah dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974,
kemudian hadhanah dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan konveksi Hak Anak, kemudian hadhanah dalam
Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dilanjutkan dengan hubungan maqashid
syari’ah dengan hadhanah, terdiri dari pengertian maqashid sayri’ah, dasar
hukum maqashid syari’ah, macam-macam maqashid syari’ah dan kedudukan
maqashid syari’ah.
Bab III Memaparkan pertimbangan hukum hakim Tingkat Pertama
sampai dengan Tingkat Kasasi.
Bab IV Merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini. Yaitu
analisis pertimbangan hakim Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi, dalam hal
hak hadhanah anak dan relevansinya dengan teori maqhasid syari’ah.
Bab V Merupakan bab penutup pembahasan yang berupa kesimpulan
hasil penelitian ini secara keseluruhan beserta saran-saran.
11
BAB II
HADHANAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH
DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah حضبت) ) secara etimologi (bahasa) ialah jamak dari kata احضبى
(ahdhan) atau حضي (hudhun) terambil dari kata حضي (hidhn) yang berarti
anggota badan yang terletak atau di bawah ketiak.1 Atau juga bisa disebutnya
dengan “meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau pangkuan”. Maksudnya
adalah pendidikan dan pemeliharaannya anak sejak dari lahir sampai sanggup
mandiri atau berdiri sendiri.2
Hadhanah didefinisikan sebagai keadaan anak yang masih kecil,3
berdasarkan dari penjelasan secara bahasa (etimologis) di atas, bahwa makna
dari hadhanah ialah sebagai mengasuh anak dan mendidiknya sejak pertama
kali keberadaanya di dunia ini. Baik hal tersebut dilakukan oleh ibu atau
ayahnya maupun oleh orang lain yang menggantikanya, sehinga hadhanah
merupakan langkah pertama dalam perwalian atau bimbingan terhadap anak.4
Sedangkan menurut Istilah fiqh hadhanah atau yang disebut pemeliharaan
atau pengasuhan ialah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya
putus perkawinan.5 Dalam Kompilasi Hukum Islam makna hadhanah dapat
dilihat dalam pasal 1 hurup g yang berbunyi : “Pemeliharaan anak atau
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Ponpes al-Munawwir), h.296 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 175
3 Mohammed Al-Deousuki, Al-Ahwalu Syahksiyah Fi Madzhab Syafi‟i, (Kairo: Dar
Al-Salam, 2011), h. 257 4 Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004),
Cet.1, h.101 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2007), h. 327
12
hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri”.6 Pemeliharaan anak dilakukan dengan cara
memenuhi berbagai aspek kebutuhan anak, baik berupa kebutuhan primer
maupun kebutuhan sekunder.7
Para ulama fikih mendefiniskan: حضبت (hadhanah) yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggungjawab.8
Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap pemeliharaan anak
(hadhanah) tercantum di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 45-49. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya.
Kewajiban itu berlaku sampai anak tersebut sudah dewasa atau sudah mampu
berdiri sendiri meskipun makna yang terkandung di dalam pasal 41 tersebut
adalah tidak membedakan antara tanggungjawab pemeliharan yang
mengandung nilai materil dengan tanggungjawab pengasuhan anak yang
mengandung nilai non materil seperti kasih sayang.9 Serta dijelaskan apabila
terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan akan memberi
keputusan. Sehingga tidak terdapat suatu pasal yang mengatur secara khusus
hak asuh anak pasca cerai akan jatuh pada ayah atau ibu, dan parameter apa
yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan putusan hak asuh anak tersebut.
6 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Panghegar Bandung, Fokusmedia.
7 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
Cet.2, h. 64 8Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Perdana Media, 2003), h.176
9 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
cet.2, h.67
13
Akan tetapi kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara
anak-anaknya.10
Perhatian orang tua terhadap anaknya merupakan parameter dari rasa
tanggungjawab yang ada dalam dirinya terhadap seorang anak. Dalam
masyarakat kita, pada umunya calon suami (calon ayah) baru menampakan
perhatiannya kepada anak setelah anak itu lahir dari kandungan istrinya.
Hubungan antara anak dan orang tuanya sangat terbatas terutama dalam arti
pedagosis (tarbawiyah). Gambaran yang mencerminkan kurangnya perhatian
karena kurangnya rasa tanggungajawab dari orang tua dan masyarakat terhadap
kehidupan, perkembangan dan kemaslahatan si anak itu, memerlukan digalinya
potensi ajaran Islam sebagai salah satu potensi ruhaniah bangsa Indonesia, di
samping usaha-usaha lain dalam upaya penanganan masalah anak yang di
arahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak.
Permasalahan mengasuh anak dalam ajaran Islam meliputi dua hal pokok,
yaitu perawatan anak dan pendidikanya. Namun, kedua hal tersebut harus
dibina di atas landasan-landasan yang kokoh. Bagaimana pandangan ajaran
Islam terhadap anak itu, merupakan titik awal dari keseluruhan permasalahan
mengasuh anak.
Ajaran Islam meletakkan dua landasan utama bagi permasalahan anak itu.
Pertama, tentang kedudukan dan hak-hak si anak. Kedua, tentang penjagaan
dan pemeliharaan atas kelangsungan hidup dan pertumbuhan si anak. Dan di
atas kedua landasan utama tersebut, perawatan dan pendidikan anak dibina dan
10
Indra Inggi A dkk, Kajian Perolehan Hak Asuh Anak Sebagai Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian,Jurnal Diponogeoro Law Riview, volume 05 No.02 tahun
2016
14
dikembangkan untuk mewujudkan konsepsi anak yang ideal yang disebut
waladun shalih, yang merupakan dambaan setiap orang tua.11
B. Dasar Hukum Hadhanah
Hadhanah membutuhkan sikap yang arif, perhatian yang penuh, dan
kesabaran sehingga seseorang makruh memanggil anaknya ketika dalam
hadhanah, sebagaimana makruhnya mengutuk dirinya sendiri, pembantu, dan
hartanya.
Abu Musa meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam bukunya Wahbah Az-Zuhaili
yang berjudul Fiqih Islam Wa Adillatuhu, bahwa suatu hari Aus bin Ubadah al-
Anshari menghadap Rasulullah saw, lantas bertanya “Ya Rasulullah, saya
mempunyai banyak anak perempuan dan saya berdoa agar mereka mati.” Rasul
bersabda, “Wahai Ibnu Saidah! Janganlah engkau mendoakan jelek kepada
mereka karena keberkahan itu menyertai mereka. Mereka itu penghias kita
ketika mendapat nikmat, menjadi penolong ketika dalam musibah, dan menjadi
perawat ketika sakit, badan mereka di atas bumi, dan rezeki mereka ditanggung
oleh Allah.12
Dengan begitu dasar hukum melakukan hadhanah (حضبت) adalah wajib,
karena pada prinsipnya dalam Islam bahwa anak-anak mempunyai hak untuk
dilindungi, baik atau keselamatan akidah maupun dirinya dari hal-hal yang
menjerumuskan mereka ke dalam neraka.13
Jika hadhanah itu dilalaikan akan
merusak anak sehingga wajib menjaganya dari kehancuran, begitu juga wajib
menafkahi dan menghindari anak dari hal-hal yang dapat mencelakakannya.14
11
Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: MIZAN-Anggota IKAPI, 1995),
cet.3, h. 270-272 12
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Cet.1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.60 13
Bagir Manan, dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010), Ed. 70, h.201 14
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka fiqh al-qadha,
(Jakarta: Rajawali Press, 2012), Cet.1, h.205
15
1. Al-Qur‟an dan Hadis
Adapun dasar hukum pemeliharaan anak dalam firman Allah SWT pada
surat Al-Baqarah ayat 233 yang menyatakan :
: 233).... )البقسة
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada ibu dengan cara
yang ma'ruf...”(QS. Al-Baqarah : 233).
Pada dasarnya ayat ini merupakan kelanjutan dari episode yang
dibicarakan pada ayat sebelumya, yaitu perihal hukum nikah dan talak
yang berakhir pada perpisahan suami-istri. Dan boleh jadi mereka
memiliki anak yang masih dalam masa penyusuan. Maka melalui ayat ini
Allah swt memerintahkan para istri yang telah ditalak untuk tetap
menyusui anak-anaknya.15
Jika di pahami dari kata (para ibu menyusukan)
maksudnya hendaklah menyusukan, atau dalam arti lain dari kata tersebut
memiliki maksud bahwa seorang ibu lebih berhak atau memiliki
kewajiban untuk mengasuh anaknya.16
Lebih lanjut, pendapat Wahbah Al-Zuhaili dalam jurnalnya
Hidayatullah Ismail menerangkan bahwa ayat ini ditunjukan bagi wanita-
wanita yang ditalak maupun tidak, keduanya diperintahkan untuk
15
Hidayatullah Ismail, Syariat Menyusui Dalam Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-
Baqarah Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018, h. 59 16
Imam Jalaludin Al-Muhalli dan Imam Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain Berikut
Asbabun Nuzul Jilid 1, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2017) Cet, 16, h.126
16
menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh dan tidak lebih dari
itu. Namun demikian tidak ada larangan untuk menyusui anak-anak
dalam masa yang kurang dari dua tahun jika memang dipandang akan ada
maslahat di dalamnya. Hidayatullah Ismail mengutip dari Imam Ibnu
Katsir memandang ayat ini sebagai bimbingan Allah swt bagi para ibu,
hendaknya mereka menyusui anak-anaknya secara sempurna, yaitu
selama dua tahun.17
Sebagaimana maksud dari ayat al-Qur‟an di atas yaitu menjelaskan
mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak dapat di artikan
bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak dapat lepas dari
kedua suami istri yang bersangkutan. Apabila dalam kehidupan rumah
tangga kedua orang tua itu bubar, maka si kecil ini harus diberi jaminan
secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya dalam
setiap keadaannya. Kemudian seorang ibu yang telah diceraikan itu
mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu, hal
tersebut merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah dan tidak
dibiarkan-Nya meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak terkurangi
akibat dari perceraian kedua orang tuanya, sehingga Allah mewajibkan
bagi seorang ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh.
Karena ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahun
merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun
jiwa anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital
bagi pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.18
17
Hidayatullah Ismail, Syariat Menyusui dalam Al-Qur‟an (Kajian Surat Al-Baqarah
Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018, h. 59 18
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur‟an: Di bawah Naungan Al-Qur‟an,
(Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As‟ad Yasin, Abdul Aziz Salim
Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
Jilid 1, Cet.1, h. 301-302
17
Adapun dalam firman Allah SWT pada surat at-Tahrim ayat 6:
: 6.)الخحسن(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu...”(QS. at-Tahrim: 6).
Ayat al-Qur‟an di atas menjelaskan bahwa dakwah dan pendidikan
harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut walapun secara
redaksional tertuju pada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan berarti hanya
tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki
(ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini berarti kedua orang tua
bertanggungjawab terhadap anak-anaknya dan pasangan masing-masing
sebagaimana suami dan istri bertanggungjawab atas kelakuannya. Ayah
dan ibu serta anak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga atau
keluarga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh
hubungan yang harmonis. Maksud dari manusia menjadi bahan bakar
neraka, dipahami Thaba‟thaba‟i dalam arti manusia terbakar dengan
sendirinya.19
Oleh sebab itu manusia diperintahkan untuk selalu menjauhi
segala perintah yang dilarang oleh Allah, yang mana siksaan api neraka
lebih panas sampai bisa membakar manusia.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas mengenai ayat tersebut
juga dapat disimpulkan bahwa yang diperintahkan oleh Allah yaitu
pemeliharaan anak merupakan kewajiban kedua orang tua yang tujuannya
untuk memelihara keluarganya dari api neraka dengan berusaha agar
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui
19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an,
(Jakarta: Lentera hati, 2002), jilid. 15, Cet.1, h.326
18
larangan-larangan Allah, maksud dari keluarga dalam ayat ini adalah
anak.20
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu,
memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti
makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan
bangun dan tidur. oleh karena itu, orang yang menjaganya perlu
mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar
anak itu baik (shaleh) di kemudian hari.21
Ketetapan wajibnya mendidik
anak atas perempuan pertama karena sang anak dalam hal tersebut
membutuhkan penjagaannya, kedua karena ada hadits shahih yang
menyatakan bahwa perempuan (istri) lebih berhak atas hak asuh anak.22
, حد ثىي عمربه شعيب, -محم د به خالد الشلمي, سىا الليد, عه أبي عمر يعىي الازاعي
ابىي دا كان بطىي ل عه أبي, عه جدي عبد الله به عمر: ان امرأة قالت: يا رس ل الله ان
ي أراد أن يىتر ع مىي, فقال لا عا ء, ثديي ل سقاء, حجري ل حاء, ان اباي طلقى
رسل الله )أوت أحق ب ما لم تىكحي(.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As
Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu „Amr Al
Auza‟i, telah menceritakan kepadaku „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari
kakeknya yaitu Abdullah bin „Amr bahwa seorang wanita berkata : wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi
tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan
pangakuankulah yang menjadi tempat bernaung; sedangkan ayahnya
bermaksud melepaskannya dariku. Kemudian Nabi saw. bersabda,
”Engkau lebih berhak (memelihara)-Nya selagi engkau belum kawin
(lagi)”. (HR. Abu Dawud :1938 ).23
20
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media,2003), h.77 21
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:
Rajawali Pres, 2009), h.217-218 22
Muhammed Abu Zahra, Hukum Keluarga, (Kairo : Rumah Pemikiran Arab, 2000),
h. 404 23
Muhammad „Abdul-„Aziz al-Halidi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 2011), jilid 2, Cet.3, h.150
19
Hadist tersebut menegaskan bahwa hak mengasuh itu diutamakan
kepada wanita.24
Kesimpulannya hadhanah yang disepakati oleh ulama fiqh
menyatakan bahwa prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah
kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila anak yang masih
kecil, belum mumayyiz yang tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka
akan berakibat buruk pada diri dan masa depan anak bahkan bisa
mengencam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut
wajib dipelihara, dirawat dan dididik dengan sebaik-baiknya.
2. Hukum Positif
a. Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggungjawab kedua
orang tuanya, yang meliputi berbagai hal masalah ekonomi,
pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Oleh karena itu yang terpenting dalam memelihara anak ialah kerja
sama dan saling tolong menolong antara suami dan istri sampai anak
tersebut dewasa. Bahwa faktanya di dalam Undang-Undang
Perkawinan tidak secara rinci mengatur masalah tersebut, karena tugas
dan kewajiban memelihara anak inheren dengan tugas dan
tanggungjawab suami sekaligus sebagai bapak bagi anak-anaknya.25
Kemudian di dalam ketentuan pasal 45 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 menyatakan:
Pasal 45
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
24
Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak- Anak Dalam Islam, Cet.1, ttp,tth, h.51 25
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h.199
20
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang
tua putus.26
Oleh sebab itu mengenai hadhanah (حضبت), seorang bapak dan ibu
tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan perkawinan
dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah diatur dalam
pasal 41 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
dinyatakan:27
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak
dalam kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.28
Pasal di atas menegaskan bahwa bagi orang tua yang diberi hak
untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-
baiknya. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah
26
Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), h.14 27
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2015), Cet.9, h.238 28
Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2000), h.13
21
lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah batin seperti pendidikan formal
dan pendidikan informal.29
b. Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 jo. No.35
Tahun 2014 dan Convention On The Right Of The Child (CRC)
Tahun 1989
Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja
dalam ilmu pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang
sentralistis kehidupan, seperti agama, hukum dan sosiologis yang
menjadikan anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.
Dalam mukaddimah Konveksi Hak Anak 20 November 1989 yang
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990, dijelaskan bahwa anak harus sepenuhnya dipersiapkan
untuk menjalani kehidupan.30
Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian hukum
international tentang hak-hak anak. Konvensi ini secara sederhana
dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) hal. Pertama, mengatur tentang
pihak yang berkewajiban menanggung tentang hak yaitu negara.
Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga, memuat tentang
bentuk-bentuk hak yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.31
Sehingga pengasuhan anak menjadi dasar hukum yang wajib
dilakukan bagi orang tuanya untuk mengasuh, merawat dan mendidik
29
Nunung Rodliyah, Akibat Hukum Perceraian Berasarkan Undang-undang nomor
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1 Maret 2015 30
Rini Fitriani, Peranan Penyelnggaraan Perlindungan Anak Dalam Melindungi
Dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Jurnal Hukum Volume 11, Nomor 2, Juli-Desember 2016, h.
252 31
Dian Lestari, Analisis International Convention On The Right Of The Child (CRC)
melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia, Team Journal-Faculity of
Lawa – Tanjungpura University, Home, Vol 4. No.3 (2016) – A01112216.
22
anak-anaknya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi “Orang
tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk”:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.32
Dari pasal di atas menegaskan bahwa anak lahir dalam
pemeliharaan orang tua dan dibesarkan di dalam keluarga. Di pandang
dari sudut sosiologi, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil
yang terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh keturunan.
Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat
hubungan interpersonal, dimana masing-masing anggota dalam
keluarga dimungkinkan mempunyai intensitas hubungan satu sama
lain; antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antara
anak dan anak.33
Kemudian, apabila kedua orang tua telah bercerai maka
pengasuhan anak dan pemeliharaan anak tetap merupakan kewajiban
dan tanggungjawab bagi orang tua, walaupun dari salah satu kedua
orang tuanya memiliki hak asuh anak. Akan tetapi dalam pengasuhan
dan pemeliharaan anak merupakan hak anak-anaknyalah yang lebih
diutamakan demi untuk kemaslahatan anak kedepannya. Hal ini
tercantum dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo.
No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan:
32
Undang-undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar
Grafika , 2009), Cet, 4, h. 10 33
Abd. Hadi, Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Dalam No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Jurnal An-Nisa‟, Volume IX Nomor 2 Desember 2016, h. 110
23
1. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah
menujukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.34
2. Dalam terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
anak tetap berhak:
a. Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap
dengan kedua orang tuanya.
b. Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan
perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua
orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya.
c. Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya;
dan
d. Memperloeh hak anak lainnya.
Pasal di atas menjelaskan yang pada prinsipnya memuat norma
hukum yang melarang pemisahan anak dari orang tuanya. Sebagai
seorang anak dia mempunyai hak dalam hidupnya.35
Hal tersebut
sejalan dengan Konvensi Hak Anak (KHA) sebagaimana
penjelasannya pada pasal 9 yang menyatakan bahwa pada dasarnya
seorang anak berhak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau
hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Hak anak
untuk mempertahankan hubungan dengan orang tuanya jika terpisah
dari salah satu keduanya, maka kewajiban negara dalam kasus di mana
34
Undang-undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar
Grafika , 2009), Cet, 4, h.8 35
Meilan Lestari, Hak Anak Untuk Mendapatkan Perlindungan Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal UIR Law Review, Volume 01.Nomor 02, Oktober
2017, h.188
24
pemisahan seperti itu terjadi akibat tindakan Negara. Namun dalam hal
ini Negara juga berwenang atas pemisahan anak dari orang tuanya
sesuai dengan keputusan pengadilan. Oleh karena itu dari ketentuan
hukum mengenai perlindungan anak bahwa prinsipnya yaitu pada asas
kepentingan terbaik bagi anak yang harus dijadikan pertimbangan
utama, sebagaimana termaktub dalam KHA (Konvensi Hak Anak)
pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:
“Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintahan
atau badan-badan legeslative, kepentingan terbaik dari anak-anak harus
menjadi pertimbangan utama.”
Dari penjelasan yang sudah diterangkan sebelumnya, kaitanya
dengan perlindungan anak dapat disimpulkan bahwa perkembangan
anak ada empat yang harus dan perlu diperhatikan yaitu perkembangan
fisik, mental, sosial dan spiritual. Oleh karena itu hak asasi inilah hak
yang menjadi dasar bagi anak yang harus dilindungi, baik oleh
pemerintah (Negara), masyarakat, keluarga dan orang tua. Sehingga
untuk mengimplementasikan dan mewujudkan perkembangan anak
bukan hanya merupakan kewajiban kemanusiaan sebagai realisasi hak
asasi manusia, namun lebih dari itu adalah merupakan kewajiban
agama.36
Konvensi Hak Anak (KHA) adalah hukum internasional atau
instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis dan
politis yang menguraikan secara rinci Hak Dasar Manusia bagi setiap
anak, di dalammnya mencakup:
36
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi,
2008), h.312-313
25
a. Hak atas kelangsungan hidup
b. Hak untuk tumbuh kembang
c. Hak untuk memperoleh perlindungan
d. Hak berpartisipasi
KHA merupakan acuan dalam semua upaya kesejahteraan anak
yang didasari beberapa pertimbangan justifikasi, yaitu:
1) Hak adalah bagian integral dari Hak Asasi Manusia yang harus
di jadikan media bagi bangsa Indonesia di forum internasional
dalam pembahasan mengenai hak asasi manusia.
2) Pemenuhan Hak Anak merupakan ekspresi moralitas bangsa
dalam memandang anak sebagai sesama manusia yang perlu
dikembangkan emansipasinya agar berpartisipasi aktif
menentukan masa depannya sebagai manusia yang bermartabat.
3) Dalam memasuki era globalisasi perlu disiapkan generasi bangsa
yang tangguh berkompetisi dengan bangsa lain dengan
pemenuhan hak untuk hidup, hak atas kesehatan, pendidikan,
sosial dan ekonomi, serta hak atas perlindungan.
4) Dengan merujuk pada KHA maka dapat dilakukan pembaharuan,
penyempurnaan, maupun harmonisasi peraturan perundang-
undangan yang mendukung pemenuhan hak anak.37
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2003 jo.
UU No.35 Tahun 2014 ternyata pada prinsipnya sama dengan yang
diajarkan dari keteladanan Nabi Muhammad Saw, dan ajaran Islam
memiliki kesamaan dan persamaan dengan prinsip-prinsip dasar yang
ada dalam CRC atau bisa disebut dengan Konvensi Hak Anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak juga terinspirasi adanya CRC
37
Endang Ekowarni, Konvensi Anak, Vol 9,No 2 (2001), h.49-50
26
(Convention on the Right of the Child) yang disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan bangsa-bangsa pada dasar tanggal 20 November
1989.38
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat pasal yang
menjelaskan mengenai usia anak yang bisa dilakukan hadhanah yaitu
tercantum pada pasal 98 yang dijelaskan sebagai berikut:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.39
Dari penjelasan pasal 98 di atas dijelaskan bahwa kewajiban
kedua orang tua adalah mengantarkan anak-anaknya dengan cara
mendidik, serta membekali dengan ilmu pengetahuan untuk menjadi
bekal mereka di hari dewasanya.40
Jika kedua orang tuanya tidak dapat
menunaikan kewajibannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk
kerabat keluarga terdekat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.41
38
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-kahfi,
2008), Cet.1, h.306 39
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Penghegar Bandung, Fokusmedia, h.34 40
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h.65 41
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),
h. 119-120
27
Demikianlah ketentuan mengenai pemeliharaan anak dan batas-
batasnya yang menjadi tanggungjawab orang tua terutama bapak
sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan pelindung keluarga bagi
istri dan anak-anaknya.42
Karena orang tua tidak lain sebagai cerminan
anak di masa yang akan datang dan apabila tidak berhati-hati dalam
merawatnya, ditakutkan anak bisa lebih mudah terpengaruh terhadap
perbuatan yang bisa mencelakakan baik itu jasmani dan rohaninya.
Dari dasar hukum yang disebutkan diatas, baik itu secara hukum
Islam maupun hukum positif mengenai pemeliharaan anak, dapat
disimpulkan bahwa dari kedua hukum tersebut telah jelas menyatakan
pemeliharaan anak hukumnya bersifat wajib. Adanya sifat wajib disini
ialah baik orang tuanya dalam ikatan perkawinan maupun bercerai,
mereka tetap harus merawat, melindungi, menjaga anak-anaknya
sebaik mungkin tanpa menghilangkan hak anak tersebut.
C. Rukun dan Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dan hukumnya yaitu orang tua yang mengasuh yang di sebut
hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat
yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan anak.43
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat
bagi yang melakukan hadhanah, sebagai berikut:
1. Yang melakukan hadanah sudah baligh, anak kecil atau yang belum baligh
tidak boleh menjadi hadhin untuk orang lain, karena dia sendiri belum
mampu mengurus keperluannya.
42
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, tth, Cet.1, h.197 43
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2007), h.328
28
2. Berakal, karena orang gila dan idiot tidak boleh menjadi hadhin karena
keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus keperluan
mereka. Untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak mampu, apalagi
untuk mengurus keperluan orang lain.
3. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, jadi orang
yang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun sibuk tidak
berhak untuk mengurus anak.44
4. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang
amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.
Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik
kepada anak yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melakukan tugas
ini.
5. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan
di asuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Satria Effendi
mengutip hadist Abu Daud pada dasarnya adalah penjelasan Rasulullah
bahwa seorang ibu hanya mempunyai hak hadhanah bagi anaknya selama
ia belum menikah dengan lelaki lain. Adanya persyaratan tersebut
disebabkan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukan
mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti
disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanahnya tidak menjadi gugur jika ia
menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memperhatikan kasih sayang
dan tanggungjawabnya.
6. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama islam seorang
nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh. Tugas
44
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam wa‟Adilatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), Jilid 7, Cet. 2, h.726
29
mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak menjadi muslim
yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua.45
Dari uraian di atas mengenai syarat menjadi hadhanah sesuai dengan
pendapat ulama yaitu menurut Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam
jurnalnya Mohammad Hifni, bilamana terjadi perceraian, maka orang yang
paling berhak mengasuh dan memelihara anak-anaknya adalah ibunya yang
secara emosional lebih sabar dibandingkan ayahnya. Namun dalam
hadhanah, agama Islam memberikan syarat-syarat kepada pengasuhnya
yaitu : berakal, baligh, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
mendidik anak yang diasuh, dapat dipercaya dan juga harus beragama
Islam / seaqidah dengan sang anak.
Begitupun mazhab Syiah Imamiyyah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa
seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam, kemudian
ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa kemurtadan wanita atau laki-
laki yang mengasuh, secara otomatis menggugurkan hak asuhan.
sedangkan mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya.46
Para ahli fiqh mendasarkan kesimpulan tersebut pada ayat 6 surat At-
Tahrim:
: 6.)الخحسن(
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu...”(QS. at-Tahrim: 6).
45
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 46
Mohammad Hifni, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri Dalam
Perpspektif Hukum Isam, Jurnal Hukum Keluarga Islam, Volume 1 No. 2 (Juli-Desember)
2016, h. 52
30
Yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga dari siksaan
neraka. Untuk tujuan itu perlu pendidikan dan pengarahan dari waktu kecil.
Tujuan tersebut akan sulit terwujud bilamana yang mendampingi atau yang
mengasuhnya bukan seorang muslim.47
D. Pihak-Pihak Yang Berhak Dalam Hadhanah (Pemeliharaan Anak)
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu, memerlukan
orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian,
membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. oleh
karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang,
kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu baik (shaleh) di kemudian
hari. Di samping itu, ia harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk
melakukan tugas itu. dan, orang yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah
wanita. Oleh karena itu, agama menetapkan bahwa wanita adalah orang yang
sesuai dengan syarat-syarat tersebut,48
1. Pihak-pihak Yang Berhak Atas Hadhanah
Ada beberapa pendapat dari Imam Madzhab mengenai orang yang
berhak melakukan Hadhanah apabila seorang ibu tidak mampu mengasuh
anaknya :
a) Hanafiyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan,
bibi dari jalur ibu, putri-putri saudara lelaki, bibi jalur ayah, kemudian
ashabah sesuai urutan warisan.
b) Malikiyyah : ibu, nenek dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, nenek dari
jalur ayah ke atas, kemudian saudara perempuan, bibi dari ayah, dan
47
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 48
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:
Rajawali Pres, 2009), h.217-218
31
putri dari saudara, orang yang mendapat wasiat dan bagian ashabah
yang nanti akan jadi dijelaskan.49
c) Syafi’iyyah : ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, kakek dari ibu, saudara
perempuan, bibi dari ibu, kemudian putri-putri saudara lelaki, putri-
putri saudara perempuan, kemudian bibi dari ayah, kemudian setiap
orang yang termasuk mahram dan berhak mendapat warisan sebagai
ashabah sesuai urutan warisan. Pendapat ini sama seperti pendapat
ulama Hanafiyyah.
d) Hanabilah : ibu, nenek dari dari jalur ibu, nenek dari jalur ayah,
kakek dan ibunya kakek, kemudian saudara perempuan dari kedua
orang tua, bibi dari jalur ibu, saudara perempuan dari ayah, bibi dari
jalur kedua orang tua, bibi dari jalur ibu, bibi dari jalur ayah, bibinya
ibu, bibinya ayah, kemudian putrinya saudara lelaki, putrinya paman
ayah, kemudian sisa kerabat yang paling dekat.50
Adapun urutan-urutan yang berhak atas hadhanah dari kalangan laki-
laki yaitu: bapak, kakek terus ketas, saudara dan putra-putranya terus ke
bawah, paman-paman dan putra-putranya. Karena apabila satupun dari
kalangan perempuan diatas, maka hak hadhanah pindah ke kalangan laki-
laki.51
Dari sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah bukan kepada
ayahnya, karena ibu-ibunya merupakan cabang sedangkan ayah bukan
merupakan cabang daripada haknya. Dianggap lebih kuat mengatakan
49
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
t.tp, tth, h.216 50
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al- Islam wa-Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), jilid 7, h. 722 51
Aris Bintania, iHukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
t.tp, tth, h.216
32
bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada
ibunya ibu karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.52
Oleh karena itu mengenai urutan-urutan yang berhak atas hadhanah
anak yang belum mumayyiz menurut pasal 156 huruf (a), (b), (c)
Kompilasi Hukum Islam adalah:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah..
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah
dan hadhanah telah dicukupi, maka permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
52
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, t.tp, tth, h. 332-333
33
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.53
Dari penjelasan pasal diatas mengenai urutan-urutan yang berhak
melakukan hadhanah tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama
fiqih, maka hak hadhanah tersebut menunjukan bahwa kewenangan
seorang ibu lebih berhak memelihara anak yang belum mumayyiz,
kecuali jika ada hal yang benar-benar seorang ibu tidak berhak atas
pengasuhan anak. Sehingga hak asuh anak itu bisa diberikan pada
garis ibu ke atas dan apabila anak tersebut telah dewasa maka dia
boleh untuk memilih sendiri kepada siapa dia akan diasuhnya dan
Pengadilan juga berwenang atas pemindahan hak asuh anak karena
melihat pada kepentingan anaknya.54
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di dalam
pasalnya menerangkan mengenai seorang yang berhak atas hadhanah
anak di bawah umur adalah orang tuanya. (1) Anak yang belum
dewasa mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, berdasarkan Pasal 47 UU Perkawinan, ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaanya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai
perbuatan hukum di dalam dan diluar Pengadilan. Selanjutnya Pasal
48 menyatakan orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
53
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.50-
51 54
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
t.tp, tth, h.209
34
Pasal 49 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatur pencabutan
kekuasaan (1) salah seorang atau kedua orang tua terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan Pengadilan dalam keadaan dua hal, pertama ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya; kedua ia
berkelakuan buruk sekali.(2) meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.55
Pasal-pasal tersebut secara umum telah berpihak kepada
kemaslahatan atau kepentingan anak sekalipun berpihakannya itu
masih terbatas pada kepentingan material belum menyentuh
kepentingan non material baru setelah lahirnya Kompilasi Hukum
Islam dua kepentingan tersebut terakomodasi.56
Oleh karena itu apabila pemenang hadhanah ternyata tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya
hadhanah telah dicukupi, pengadilan agama dapat memindahkan hak
asuh anak atas permintaan kerabat anak yang juga mempunyai hak
hadhanah. Apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, maka Pengadilan Agama memberikan keputusan
berdasarkan aturan-aturan di atas.57
55
Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet, 4 (Jakarta: Sinar
Grafika, 200), h.14-15 56
Rohidin, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, Jurnal
Hukum. No.29 Vol.12 Mei 2005: 88-98, h. 95-96 57
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,
t.tp, tth, h.209
35
2. Hak-hak Anak dan Perlindungannya
Konsep Hak secara bahasa, “hak” berarti sesuatu yang nyata, tetap,
benar, atau sesuatu yang berwujud. Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak
sekali kata “hak” yang bersanding dengan kata “batil”. di dalam al-Qur‟an
kata “hak” memiliki beberapa makna yang berdekatan, misalnya “hak”
bermakna realitas atau pernyataan yang sesuai dengan kenyataan, berita
yang benar, jalan yang benar, pengetahuan yang sesuai dengan asalnya,
kepercayaan, keyakinan, keadilan, dan hukum, kepastian atau peraturan.58
Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak-anak
merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak
Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur,
tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang
selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai
sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hak-hak anak yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang
Perlindungan Anak, adalah:
a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (pasal 4).
b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan setatus
kewarganegaraan (pasal 5).
c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam
bimbingan orang tua (pasal 6).
58
Chamim Tohari, Konsep Hak Dalam Pemikiran Fiqh hanafiyah Serta
Transformasinya Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Turki Modern, Volume, 6 Nomor
1, Juli 2018: 54-83, h. 60
36
d. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial.
(pasal 8).
e. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan / atau hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahaan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14).59
Dari penjelasan pasal di atas merupakan pengakuan terhadap hak negara
untuk mengatur dalam kerangka kebijakan sosial, baik dalam bentuk
kebijakan kesejahteraan sosial maupun kebijakan keamanan sosial.60
Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-
anak, maka dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 34 telah
ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
Negara”. Hal ini menunjukan adanya perhatian serius dari pemerintah
terhadap hak-hak anak dan perlindungannya ini terpisah dalam berbagai
ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain:
a) Dalam bidang hukum dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Perlindungan Anak.
b) Dalam bidang kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, diatur dalam pasal 128 s/d 135.
c) Dalam bidang Pendidikan dengan pasal 31 Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
d) Dalam bidang Tenaga Kerja dengan Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 68 s/d 75 dan
59
Undang-undang Perlindungan Anak, (UU RI No. 23 Th. 2002), (Jakarta: Sinar
Grafika , 2009), Cet. 4, h.6-8 60
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2014), Cet.3, h.100-101
37
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja.
e) Dalam bidang Kesejahteraan Sosial dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
f) Perlindungan Anak secara lebih komprehensif diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Dengan uraian di atas tampaklah bahwa sesungguhnya usaha
perlindungan anak sudah sejak lama ada, baik pengaturan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaannya, baik oleh
pemerintah maupun organisasi sosial.
Dimulai dari asas dua deklarasi hak-hak anak yang berbunyi:”Anak-
anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, dan harus
memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana
lain sehingga secara jasmani, mental akhlak, rohani dan sosial, mereka
dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan
bermartabat.”61
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan
masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul
pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah
matang pertumbuhan pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba
saatnya menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2(dua) bagian yaitu; (1)
perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi; perlindungan
61
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2013), Cet-4, h. 49
38
dalam bidang hukum public dan dalam bidang hukum keperdataan. (2)
perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam
bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartispasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya
yang ditunjukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak
yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), ekspolitasi, dan
penelentaran, agar dapat menjamin kelangsungan sosialnya. Arif Gosita
dalam bukunya Perlindungan Hukum Terhadap Anak karangan DR.
Maidin Gultom, SH.,M.Hum berpendapat bahwa perlindungan anak adalah
suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.62
3. Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
1) Hak pemiliharaan anak yang belum mumayyiz jika terjadi perceraian
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105.a.
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya”.
2) Tangungjawab biaya pemeliharaan dan penyusuan anak
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 105.c.
“Biaya pemeliharaaan (anak) ditanggung oleh ayahnya”
Pasal 104.
62
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak : Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), h.33-34
39
a) Semua biaya penyusuan anak pertanggungjawaban kepada
ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya
penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
b) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat
dilakukan penyampihan dalam masa kurang dua tahun dengan
persetujuan ayah dan ibunya.63
Pasal 156.d.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua
biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.64
E. Masa Berlakunya Hadhanah
Hadhanah itu berlaku ketika anak tersebut masih kecil dan berakhirnya masa
hadhanah ketika anak sudah mampu berfikir atau sudah mampu untuk
menikah.65
Namun para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai kapan masa usia
tamyiz tersebut.66
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa seorang hadhinah, baik itu ibu
kandung maupun wanita lain lebih berhak atas anak hingga ia tidak lagi
membutuhkan bantuan wanita. Artinya, ia mampu mengurus sendiri keperluan
makan, minum, pakaian, dan bersuci, yaitu kira-kira usia anak mencapai 7
63
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h. 35-
36 64
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h. 51 65
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h.181 66
Achmad Muhajir, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2, No. 2, Desember 2017, h. 170
40
(tujuh) tahun.67
Hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi
memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari.
Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh atau telah
datang masa hadhin pertamanya.68
Ulama Malikiyah juga berpendapat bahwa
masa hadhanah bagi anak laki-laki sampai ia baligh, meskipun anak itu gila
ataupun sakit.
Ulama Syafi‟iyah berpendapat jika suami istri bercerai dan punya anak yang
sudah mumayyiz, baik lelaki maupun perempuan, yaitu menginjak usia 7 (tujuh)
tahun atau 8 (delapan) tahun dan kedua orang tuanya sama-sama layak untuk
mengurus hadhanah-nya, baik dalam masalah agama, harta, maupun kasih
sayang. Kemudian keduanya saling berebut untuk mengasuh anak tersebut
maka si anak diperlsilahkan untuk memilih salah satu di antara keduannya.69
Sedangkan menurut pendapat Hanabilah, ia pun sependapat dengan Syafi‟iah
yaitu apabila anak laki-laki yang sudah berumur 7 (tujuh) tahun dan telah
mencapai usia tersebut, maka anak dipersilahkan untuk memeilih diantara
kedua orang tuanya.
Setelah di kemukakan perbedaan pendapat para ulama fiqih diatas mengenai
batasan masa hadhanah, maka dari hal tersebut tidak ada yang menerangkan
secara jelas mengenai masa pengasuhan anak, hanya saja para ulama sepakat
bahwa masa hadhanah itu dimulai sejak kelahiran anak sampai usia mumayyiz,
sebab pada hadhanah anak sudah terdapat upaya memelihara kemaslahatan
anak dalam naungan bimbingan dan pemeliharaan orang tuanya.70
Oleh karena
itu adanya perbedaan pendapat tersebut, maka dari ketentuan undang-undang
menyerahkan kepada kebijaksanaan dan keputusan hakim dengan memberikan
67
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Al-Fikr, t.th),
jilid.7, h. 742 68
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, t.tp, tth, h.214 69
Wahbah Az-zuhaili, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu,(Damaskus: Al-Fikr, t.th),
jilid 7, h. 743 70
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004),
Cet.1. h. 114-115
41
ketentuan mengenai batasan akhir umur anak ketika hak asuh itu diberikan,
namun hal ini harus sejalan dengan pedoman bahwa kemaslahatan anak lebih
diutamakan.71
Masa pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus
dirinya sendiri. Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai 21 (dua puluh
satu) tahun sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin d. Semua biaya hadhanah
dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-
kurangnya, sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21
tahun).
Lebih dari itu pasal 47 ayat (1) menegaskan bahwa anak yang belum
berumur 18 tahun atau belum menikah, tetap berada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. Dan ayat (2)
menyatakan, bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.72
Mengenai hal ini sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya, yaitu
pasal 98 ayat (1) yang berbunyi:
“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melakukan perkawinan”.73
Pada prinsipnya pengaturan tentang hak pemeliharaan anak baik yang
terdapat dalam literatur fiqh klasik maupun dalam Undang-Undang Perkawinan
serta Kompilasi Hukum Islam cenderung sama bahwa hak asuh anak adalah
milik anak atau demi menjaga kepentingan anak. Adapun perbedaannya hanya
terletak pada pengaturan penentuan batas usia mumayyiz. Dalam literatur fiqh
71
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Ilmu Fiqh, Jilid 2, Cet.2, h.215 72
Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The
Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-
7480, h. 94 73
Achamd Muhajir, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2 No. 2 Desember 2017, h.170-171
42
klasik seorang anak dikatakan mumayyiz apabila sudah menginjak usia 7 (tujuh)
tahun untuk laki-laki 9 (sembilan) tahun untuk anak perempuan. Sedangkan
Kompilasi Hukum Islam anak yang mumayyiz apabila sudah menginjak usia
21(dua puluh satu) tahun.
F. Gugurnya Hak Hadhanah
Berdasarkan syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka seorang pemegang hak hadhanah akan hilang
hak jika melakukan hal-hal tertentu.74
Faktor yang dapat menghalangi hadhanah terdapat berbagai macam yang
dapat mengugurkan hak asuh pada anak. Meskipun pengasuhan anak
merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tidak bisa mendapatkan hak
pengasuhannya disebabkan ada beberapa faktor yang dapat mengugurkan
haknya. Menurut ulama Malikiyyah, hak hadhanah gugur dengan empat sebab.
1. Perginya hadhin ke tempat yang jauh
Perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak lebih dari
133 km. Menurut pendapat ulama Malikiyah, jika jarak yang di tempuh lebih
dari itu maka seorang berhak mengambil anak tersbut dari hadhinah dan
gugurlah hak asuh anaknya, kecuali ia membawa anak itu dalam perjalanan.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengasuh dapat dianggap gugur
jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat jauh, dan ayahnya tidak
dapat mengasuhnya. Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyyah, hak seorang
pengasuh menjadi gugur jika ia pergi ketempat yang membahayakan atau
pergi dengan niat untuk pindah baik jarak dekat maupun jauh. Ulama
Hanabilah mengatakan bahwa hak asuh anak gugur jika orang yang
74
Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The
Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-
7480, h. 90
43
mengurus berpergian jauh dengan menempuh jarak yang dibolehkan
qashar.75
2. Seorang hadhin mengidap penyakit yang membahayakan
Hak seorang hadhin gugur jika ia memiliki penyakit yang
membahayakan, seperti gila, lepra, dan kusta. Pendapat ini disepakati oleh
Hanabilah.
3. Seorang hadhin fasiq
Seorang yang fasiq atau berpengetahuan kurang memperhatikan masalah
agama anak asuh dan kurang memberikan perlindungan kepadanya sehingga
kemaslahatan anak terabaikan. Hal ini disepakati fuqaha lainnya.76
4. Seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi.
Hak seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi, kecuali jika
neneknya anak asuh adalah istri kakeknya, atau hadhinah menikah dengan
paman anak tersebut.
Menurut Syafi‟iyyah dan Hanabilah, hak seseorang untuk memelihara
anak dianggap gugur jika orang tersebut kafir. Bahwa seorang kafir tidak
boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Karena kondisi
orang tua kafir lebih buruk dari fasiq dan bahaya yang muncul akan lebih
besar, ditakutkan anak mengikuti perbuatannya dan mengeluarkan dari Islam
melalui penanaman agamanya. Oleh karena itu orang tua wajib
mendahulukan pertimbangan agama sebagai pengasuh daripada
pertimbangan ekonomi dan lain-lain.77
Selanjutnya, jika sebab-sebab yang mengugurkan hak hadhinah tersebut
telah hilang dari diri pengasuh, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah
75
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), jilid 7, h. 738 76
Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The
Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-
7480, h. 91 77
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), jilid 7, h. 738
44
hak tersebut bisa kembali dimiliki oleh pengasuh. Dalam hal ini ada 2 (dua)
pendapat di kalangan fuqaha, yaitu:
Pertama, pendapat yang masyhur dalam mazhab maliki menyatakan,
bahwa jika gugurnya hak hadhanah disebabkan alasan yang bisa diterima
(uzur), seperti sakit, tempat yang kurang aman, berpergian untuk
melaksanakan ibadah haji, lalu uzur tersebut hilang karena ia telah sembuh,
tempat tinggal aman, dan ia sudah datang dari bepergian haji, maka hak itu
kembali kepadanya. Sebab yang menggugurkan hak tersebut adalah uzur
yang bisa diterima syara‟ (idtirary), bukan uzur ikhtiyary, yang merupakan
kemauannya sendiri.
Kedua, jumhur fuqaha menegaskan bahwa jika hak hadhanah gugur
disebabkan halangan tertentu, lalu halangan itu hilang, maka hak tersebut
kembali kepada pemiliknya baik halangannya itu bersifat idtirary maupun
ikhtiyary seperti menikah, berpergian dan berakhlak tercela, kerna halangan
tersebut telah hilang.78
Mengenai gugurnya hak hadhanah dijelaskan juga dalam Undang-undang
Pokok Perkawinan Pasal 49 :
1) salah seorang atau dua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak-anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
78
Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma, The
Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN: 2089-
7480, h. 91
45
2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.79
Dan di tegaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
pencabut hak kekuasaan anak terdapat pada pasal 156 huruf (c) yang
menyatakan “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain
yang mempunyai hak hadhanah pula”.80
G. Maqhasid Syari’ah
1. Pengertian Maqhasid Syari’ah
Maqashid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasulnya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam.81
Maqashid Syari‟ah merupakan kata
majemuk (idlafi) yang terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan al-
Syari‟ah. Secara etimologi, Maqashid merupakan bentuk jamak (plural)
dari kata maqshid. Yang terbentuk dari huruf qaf, shad dan dal, yang
berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan kata al-syari‟ah secara
etimologi berasal dari kata syara‟a yasyra‟u syar‟an yang berarti
membuat shari‟at atau undang-undang, menerangkan serta menyatakan.
Dikatakan syara‟a lahum syar‟an berarti ia telah menunjukkan jalan
mereka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau
peraturan.82
79
Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet, keenam, h.
15 80
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.51 81
Nurhadi, Maqashid Syari‟ah Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16, No 2, Juli- Desember, 2017 (203-232), h. 206. 82
Ali Mutakin, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari‟ah dan
Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3, (Agustus,2017), h. 550
46
Sebelum memberikan pengertian istilah maqashid syari‟ah terlebih
dahulu akan diberikan pengertian istilah syari‟ah secara terpisah. Dalam
literatur hukum Islam dapat ditemukan pendapat-pendapat ulama tentang
syari‟ah, antara lain yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut dalam
jurnalnya Abdi Wijaya yang berjudul “Cara Memahami Maqashid Al-
Syari‟ah” bahwa syari‟ah adalah aturan-aturan yang diciptakan oleh
Allah untuk dipedomani manusia dalam mengatur hubungan dengan
Tuhan, dengan manusia baik muslim maupun non muslim, terhadap alam
dan seluruh kehidupan. Hal ini terlihat cukup jelas dalam batasan yang
dikemukakan oleh Syaltut yang pada intinya bahwa syari‟ah adalah
seperangkat hukum-hukum Tuhan yang diberikan kepada umat manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun diakhirat. Kandungan
pengertian syari‟ah yang demikian itu, secara tidak langsung telah
memuat kandungan maqashid syari‟ah.83
Menurut Jasser Auda, dalam jurnalnya Syahrul Sidiq yang berjudul
“Maqashid Syari’ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah Pemikiran Jasser
Auda,” Al-Maqashid adalah cabang ilmu keislaman yang menjawab
segenap pertanyaan-pertanyaan yang sulit diwakili oleh sebuah kata yang
tampak sederhana yaitu “mengapa?”, maka maqashid menjelaskan
hikmah dibalik aturan syariat Islam.84
Dengan mengetahui pengertian maqashid dan al-syari‟ah secara
etimologi, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian maqashid
syari‟ah secara terminologi, yaitu maksud atau tujuan-tujuan
83
Abdi Wijaya, Cara Memahami Maqashid Al-syari‟ah, Vol. 4/No. 2/ Desember
2015, h. 346-347 84
Syahrul Sidiq, Maqashid Syari‟ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah
Pemikiran Jasser Auda, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol 7, No.1, November
2017, h.144
47
disyari‟atkannya hukum dalam Islam, hal ini mengindikasikan bahwa
maqashid syari‟ah erat kaitanya dengan hikmah dan „ilat.85
Tujuan Allah swt mensyari‟atkan hukum-Nya adalah untuk
memelihara kemaslahatan umat manusia, sekaligus menghindari mufsadat
di dunia maupun akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif
yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum utama
yaitu Al-Qur‟an dan Al-Hadis. Hal tersebut diperoleh melalui Firman
Allah Swt dalam Q.S Al-Anbiya ayat 107 berbunyi “ Dan kami tidak
mengutus Engkau (Muhammad)melainkan untuk rahmat (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam”.
Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 201-202 “Dan diantara mereka ada
yang berdo‟a Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. Mereka
itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan dan
Allah Maha Cepat Perhitungan-Nya.86
Berbicara lebih dalam, pemikiran hukum Islam telah diikat oleh
perhatian para ulama, hukum Islam hanya dikaitkan dengan kajian ushul
al-fiqh dan qawa‟id al-fiqh yang hanya berorientasi pada teks dan bukan
pada makna dibalik teks. Seharunya kajian ushul al-fiqh, qawa‟id al-fiqh
dan Maqashid al-Syari‟ah merupakan tiga hal yang menjadi unsur-unsur
sebuah sistem yang tidak terpisahkan dan berkembang dalam garis linier
yang sama. Ushul al-fiqh, merupakan metodologi yang harus
diaplikasikan untuk menuju sebuah hukum Islam, qawa‟id al-fiqh
merupakan pondasi dasar bangunan hukum Islam yang ada, sedangkan
85
Ali Mutakin, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari‟ah dan
Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3, (Agustus,2017), h. 550-551 86
Syahrul Sidiq, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manuisa, Maqashid Syari‟ah &
Tantangan Modernitas Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda, Vol. 7, No.1, November
2017, h. 144
48
maqashid syari‟ah merupakan nilai-nilai dan spirit atau ruh yang berada
pada hukum Islam itu sendiri.87
2. Dasar Hukum Maqashid Syariah
Maqashid Syari‟ah tersebut telah dibuktikan oleh penelitian dan
pengamatan terhadap maksud hukum-hukum syariat, sebagaimana
tercermin dalam nash-nash al-qur‟an dan sunnah Nabi saw. Secara
keseluruhan. Dalam mengutus para rasul sebagai pembawa syari‟at dan
landasan terpenting kewajiban manusia untuk mengamalkannya,
misalnya, Allah swt. Berfirman:
:(561)السبء
Artinya:“(mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesuadh diutusnya Rasul-rasul itu, dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana”.(Qs. An-Nisa: 4: 165).
Kandungan ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT dalam
menentukan hukum-hukumNya senantiasa menghendaki kemaslahatan
bagi manusia dan agar manusia terhindar dari hal-hal yang merugi.
88Kemudian sebagai tindak lanjut pelaksanaan syari‟at secara umum,
Allah Swt. Berfirman:
87
Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari‟ah dan Hubungannya dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol, 19, No.31, (Agustus, 2017), pp.547-570, h.
522 88
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeven, 1997, cet.1, h.1109
49
(16زج : )الر
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. Al-Dzariyat :56)
Secara keseluruhan membuktikan, bahwa syari‟at Islam diciptakan
Allah demi kepentingan dan kemaslahatan manusia. Berdasarkan itu,
dapat disimpulkan bahwa hal tersebut juga berlaku untuk seluruh
perincian syari‟at Islam lainnya. Oleh karena itu, mengetahui maqasid
sayri‟ah merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memahami
nash-nash syara‟. Mengistinbatkan hukumnya dan menerapkannya pada
kasus-kasus yang terjadi. Dan beristidlal untuk mengetahui hukum segala
sesuatu yang terjadi ditemukan nashnya.89
3. Macam-macam Maqashid Syari’ah
Adapun berkenaan dengan klasifikasi Maqhasid Syari‟ah, As-Syatibi
dalam jurnalnya Sandi Rizki Febriadi yang berjudul “Aplikasi Maqashid
Syari‟ah Dalam Bidang Perbankan Syari‟ah” membaginya kepada dua
bagian :
1) Maqashid Syari’ah yaitu tujuan yang diletakan oleh Allah dalam
mensyariatkan hukum. Menurut as-Syatibi, Maqashid Syari‟ah terbagi
menjadi empat bagian :
a) Tujuan Syari‟ (Allah) menciptakan Syariat
b) Tujuan Syari‟ (Allah) menciptakan Syariat untuk difahami
c) Tujuan Syari‟ (Allah) menjadikan Syariat untuk dipraktikkan
d) Tujuan Syari‟ (Allah) meletakkan mukallaf di bawah hukum
Syara‟.
89
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh II, (Jakarta: PT.Nimas Multima, 1997), h.171-173
50
2) Maqashid Al-Mukallaf
Merupakan tujuan syariat bagi hamba (mukallaf) dalam
melakukan sesuatu perbuatan Maqashid al-mukallaf berperan
menentukan sah atau batal sesuatu amalan. Kaidah berperan dalam
maqashid al-mukallaf adalah: Maqashid al-Mukallaf hendaklah
selaras dengan maqashid syariah itu sendiri. Sehingga bila ada yang
ingin mencapai sesuatu yang lain dari maksud awal pensyari‟atannya,
sesuatu itu dianggap telah menyalahi syariat.90
Selanjutnya, maslahat dapat diklasifikasi menjadi tiga bagian
yang secara berurutan, yaitu:
a) Maslahat Daruriyyat
Maslahat Daruriyyat adalah sesuatu yang harus
ada/dilaksanakan untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait
dengan dimensi duniawi dan ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada,
maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan
kehidupan seperti makan, minum, shalat, puasa, dan ibadah
lainnya.91
Kemaslahatan dharuriyyah ini meliputi pemeliharaan lima hal
sebagai berikut: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima
hal tersebut merupakan landasan bagi tegaknya kehidupan
keagamaan dan keduniawian. Dengan memelihara kelima hal
tersebut, maka kehidupan manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat dapat berjalan baik dan harmonis. Kelima hal tersebut
disyariatkan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
90
Sandi Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah Dalam Bidang Perbankan
Syariah, Amwaluna, Vol.1 No.2 (Juli;2017), Hal 231-245, h.239 91
Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari‟ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal
Syari‟ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117, h.108
51
إذا جبءك الوؤهبث ببعل عل ئب ولب سسقي ولب ب أهب الب أى لب شسمي ببلله ش
دهي وأزجلهي و ي أ لب عصل ف زي ولب قخلي أولبدهي ولب ؤحي ببهخبى فخسه ب
(51الووخحت: .)إى الله غفىز زحن فببعهي واسخغفس لهي الله هعسوف
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa
mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Mumtahanah :60:12).
Syariat Islam memelihara kelima kemaslahatan dharuriyyah ini
dari dua sisi, yaitu dari sisi upaya untuk mewujudkan melalui
penegakan rukun-rukun dan sendi-sendinya, dan dari segi
kesinambungannya melalui tindakan preventif dalam bentuk
pensyari‟atan sesuatu yang dapat mencegah terjadinya sesuatu
yang dapat merusak kelima hal diatas. Kedua sisi ini diperhatikan
oleh syariat Islam dengan penuh kesungguhan.92
b) Maslahat Hajiat
Maslahat Hajiat adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga
dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan.
Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan
kerusakan atau kematian, namun akan berimplikasi adanya
masyaqqah dan kesempitan.
c) Maslahat Tahsiniyyat
Maslahat Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf
dua kategori diatas. Hal-hal yang masuk dalam kategori
tahsiniyyat jika dilakukan akan mendatangkan kesempurnaan
92
Ahmad Qorib, Ushul Fiqih II, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), h. 175-176
52
dalam suatu aktivitas yang dilakukan, dan bila ditinggalkan maka
tidak akan menimbulkan kesulitan.93
4. Kedudukan Maqashid Syariah
Al Imam Al-Juwaini Haramain dapat dikatakan sebagai ahli ushul fikih
pertama yang menekankan pentingnya memahami maqashid syari‟ah
dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seorang
tidak dapat dikatan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelumnya
ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan
larangan-Nya.
Oleh karena itu mengetahui tujuan umum syariat merupakan hal yang
pokok dalam kerangka melakukan ijtihad apalagi dalam upaya melakukan
perubahan penerapan dan pemahaman hukum Islam. Segala macam kasus
hukum yang muncul baik yang secara eksplisit diataur dalam al-qur‟an dan
hadits maupun yang dihasilkan ijtihad harus bertitik tolak dari tujuan
tersebut. Dalam kasus hukum yang secara nyata dijelaskan dalam kedua
sumber hukum fiqih yang utama, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui
teks yang ada. Jika kemaslahatan itu ternyata tidak dijelaskan secara
eksplisit oleh kedua sumber utama fikih tersebut maka peranan mujtahid
fukaha untuk menggali dan menemukan kemaslahatan tersebut sangat
dibutuhkan. Penemuan maslahat yang digalli oleh mujtahid tadi akan
diterima selama tidak bertentangan dengan maslahat yang dijelaskan dalam
nash.94
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa inti maqashid syari‟ah
pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
dari segala macam keruskan, baik di dunia maupun di akhirat. Semua kasus
93
Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari‟ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal
Syari‟ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117, h.108 94
Moh Khasan, Kedudukan Maqashid Al-Syariah Dalam Pembaharuan Hukum
Islam, Jurnal Dimas Vol.8 No.2 tahun 2008, h. 303-304
53
hukum, yang disebutkan secara eksplisit dalam al-qur‟an dan sunnah
maupun hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus
berdasarkan pada tujuan perwujudan mashlahah tersebut.
Dalam kasus yang secara eksplisit dijelaskan oleh teks al-qur‟an
maupun sunnah, maka kemaslahatan tersebut dapat dilacak dalam kedua
sumber tersebut. Jika suatu mashlahat disebutkan secara tegas dan eksplisit
dalam teks, maka kemaslahatan itu yang dijadikan tolak ukur penetapan
hukum, dan para ulama lazim menyebutnya dengan istilah al-mashlahah
al-mu‟tabarat. Lain halnya jika maslahat tersebut tidak di jelaskan secara
eksplisit oleh kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus bersikeras
dalam menggali dan menentukan mashlahat tersebut.95
Dalam perkara hadhanah hal ini menjadi acuan prinsip maqashid asy-
syari‟ah yang meliputi lima hal, yaitu melindungi agama (hifzh ad-din),
melindungi jiwa dan kemaslahatan fisik (hifzh an-nafs), melindungi
kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl), melindungi akal fikiran (hifzh al-
aql), dan melindungi harta benda (hifzh al-maal).
Kelima maqashid di anggap sebagian dari asas agama (ushul ad-din)
setelah akidah Islam. Seluruh rangkaian hukum syari‟at yang terdiri dari
akidah, ibadah, muamalat, dan akhlak, juga mengandung unsur-unsur lima
kaidah umum diatas. Rukun Islam dan rukun Iman disyari‟atkan untuk
tujuan menjaga kaidah pertama, yakni menjaga agama. Diharamkannya
segala bentuk judi dan hal-hal yang memabukan adalah untuk menjaga
akal. Sedangkan hukum kekeluargaan untuk menjaga keturunan, dan
hukum muamalat, pencuri, dan ghasab, untuk menjaga asas kelima, yakni
harta.
95
Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari‟ah dan Hubungannya dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol.19, No.3, (Agustus, 2017), pp.547-570, h.
554
54
Peranan maqashid syari‟ah dalam hal ini sangat signifikan dalam
menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum
berkenaan dengan hadhanah tersebut. Lebih jauh untuk mencapai
ketegasan hukum hadhanah melalui konsep penerapan maqashid syari‟ah.
Di samping itu, teori hukum harus diaplikasikan terhadap permasalahan
hukum kontemporer, agar tidak hanya merupakan hal-hal yang ideal,
sebagai khazanah hasil pemikiran.
Hukum Islam mempunyai tujuan tercapainya kemaslahatan yang hakiki,
kemaslahatan menurut ajaran Islam merupakan prinsip dasar yang
menjiwai seluruh ajarannya yang diterapkan dalam bagian-bagiannya
secara terperinci. Karena pada dasarnya kemaslahatan itu merupakan
pelaksanaan dari sendi dasar rahmat yang melandasi syari‟at Islam yang
berkisar pada dua hal pokok, yaitu mewujudkan manfaat dan menghindari
mafsadat. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, menurut peneliti ahli
Ushul ada lima dasar pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.96
Apabila penerapan
konsep ini berlaku dalam sistem pemerintahan maka akan terjalin
mashlahat bukan hanya bagi muslim tetapi juga masyarakat yang
majemuk.
Pentingnya memelihara agama (Hifdz Ad-Din), di dalam Islam agama
merupakan pedoman hidup bagi seluruh muslim, maka daripada itu agama
Islam terpelihara dan bisa melaksanakan perintah dan menjahui larangan-
Nya sehingga tidak merusak aqidah. Ketika kita menerapkan konsep
tersebut, maka kita harus memperhatikan aspek agama, jangan sampai
96
Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 56-57
55
dengan keputusan yang diambil dapat merusak agama dan aqidah umat
Islam. 97
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam keadaan lemah.
Karena itu, mereka harus membentuk kerjasama dalam hal kebaikan dan
usaha-usaha taqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan surat Al-
Maidah ayat 2:98
ولب القلبئد ج الحسام ب أهب الري آهىا لب ححلىا شعبئس الله ولب الشهس الحسام ولب الهد ولب آهي الب
ولب جسهنن شآى قىم أى صدومن عي وإذا حللخن فبصطبدوا زبهن وزضىاب بخغىى فضلب هي
احقىا الله و ولب حعبوىا عل الئثن والعدواى والخقىي وحعبوىا عل البس الوسجد الحسام أى حعخدوا
(1. )الوبئدة: إى الله شدد العقبة
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi
Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah : 2)
Dijelaskan juga di dalam Qs.Asy- Syura ayat 13 :
(51.)الشىزي:أى أقوىا الدي ولب حخفسقىا فه
Artinya: “Tegakkanlah Agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya”. (QS. Asy- Syura: 13).
97
Novi Rizka Amalia, Penerapan Konsep Maqasid Syariah Untuk Realisasi Identitas
Politik Islam Di Indonesia, Jurnal Dauliyah, Vil.2, No. 1, Januari 2017, h. 42 98
Syahrial Dedi, Perluasan Teori Maqashid Al-Syari‟ah :Kaji Ulang Wacana Hifdz
Al-„Ummah A. Djuzuli, Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2016,h. 51
56
Kemudian pentingnya dalam memelihara jiwa (Hifdz An-Nafs), muslim
adalah aset bagi umat Islam, dan pentingnya saling menjaga satu sama lain
dijadikan aspek utama diantara kelima maqhasid tersebut. Jika ditarik dari
segi pemerintahan maka hifdz An-Nafs ini juga bisa mengajak muslim
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok demi mempertahankan
kelangsungan hidup sesama muslim.
Begitu juga perlunya memelihara akal (Hifdz Al-Aql), manusia adalah
makhluk yang sempurna karena akalnya, akal ini yang membedakan antara
manusia dengan hewan, makhluk lain termasuk malaikat dan bisa
membedakan salah dan benar. Sebagaimana telah di jelaskan dalam QS.
At-Tin ayat 4:99
سبى ف أحسي ( 4خي: ل.) ا حقىن لقد خلقب الئ
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sabik-
baiknya”(QS. At-Tin: 4)
Realisasi maqhasid al-syari‟ah merupakan dasar utama dan fundamental
dalam sistem hukum islam. Menggali maqhasid al-syari‟ah harus
dikembalikan kepada teks utama (al-Qur‟an dan Hadits), bukan hanya
pendapat dan pikiran para fiqih. Oleh karena itu, perwujudan maqhasid al-
syari‟ah menjadi tolak ukur dari validitas setiap ijtihad, tanpa
menghubungkannya dengan kecenderungan madzhab tertentu. Tujuan
penetapan hukum Islam harus dikembalikan kepada kemaslahatan
masyarakat yang terdapat disekitarnya.100
99
Novi Rizka Amalia, Penerapan Konsep Maqasid Syariah Untuk Realisasi Identitas
Politik Islam Di Indonesia, Jurnal Dauliyah, Vil.2, No. 1, Januari 2017, h. 42-43 100
Syukur Prihantoro, Maqasid Al-Syari‟ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah
Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X No.1
Juni 2017, h. 129
57
Adapun inti dari konsep maqshid syri‟ah hubungannya dengan
hadhanah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan untuk menarik manfaat dan menolak mudharat. Istilah yang
sepadan dengan inti maqhasid syari‟ah tersebut adalah mashlahat.
Dengan adanya peran maqashid syari‟ah dan ketika tidak terpenuhinya
suatu syarat-syarat dalam menjadi hadhanah maka hal ini sangat siginfikan
untuk menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum
yang berkenaan dengan hadhanah. Sehingga jelas bahwa bapak pun
mempunyai hak yang sama dengan ibu, ketika seorang ibu terdapat seuatu
kekurangan atau tidak terpenuhinya suatu syarat-syarat hadhanah
tersebut.101
101
Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 59-6
58
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NOMOR
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. PTA BANDUNG NOMOR 0079/Pdt.
G/2015/PTA.Bdg. DAN KASASI NOMOR 127 K/Ag/2016
TENTANG HADHANAH ANAK YANG
BELUM MUMAYYIZ
1. Duduk Perkara
a. Kronologi Pengajuan Perkara di Tingkat Pertama, Banding dan
Kasasi
Pada tahun 2007, anak penggugat telah menikah dengan tergugat di
jakarta dengan akta nikah nomor 630/25/XI/2007 tanggal 5 November
2007. Sebelumnya tergugat ini adalah pemeluk agama Kristen Protestan,
yang mana beberapa bulan sebelum menikah dengan anak penggugat
dengan tergugat di langsungkan. Tergugat telah menyatakan secara
penuh kesadaran untuk memeluk agama Islam pada tanggal 1 September
2007 di Jakarta. Dari pernikahan anak penggugat dan tergugat telah
dikaruniai 3 (tiga) orang anak, anak pertama anak asuh 1, lahir di
Jakarta, tanggal 26 Pebruari 2008, anak kedua anak asuh 2, lahir di
jakarta, tanggal 28 Mei 2009 dan anak ke tiga anak asuh 3, lahir tanggal
12 Januari 2014.
Pada mulanya penggugat tidak menyetujui hubungan anak
penggugat dengan tergugat namun karena dilandasi rasa kasih sayang
orang tua dan melihat kesungguhan tergugat yang rela untuk memeluk
agama Islam, maka penggugat menyetujui hubungan tersebut.
Anak penggugat dan tergugat tinggal bersama di rumah penggugat
di Kec. Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di rumah penggugat tergugat juga
di berikan bimbingan agama Islam dan diajarkan mengaji, pada awalnya
penggugat ikut merasakan kebahagian atas pernikahan anak penggugat
dan tergugat. Namun setelah kelahiran anak pertama dan lebih
59
khususnya ke dua, penggugat mulai merasakan keraguan terhadap
aqidah tergugat.
Kemudian pada tahun 2011 anak penggugat dan tergugat beserta
anak-anaknya pindah dan menempati rumah di Sentul City, Kecamatan
Citeurep, Kabupaten Bogor. Namun pada tanggal 5 Oktober 2013 anak
penggugat meninggal dunia di Bogor. Tetapi pada waktu itu penggugat
dan keluarga merasakan kekecewaan yang amat besar dan mendalam
terhadap sikap tergugat sehubungan hal ikhwal kematian anak
penggugat. Yang mana bahwa pada saat anak penggugat sakit dan
keadaan gawat tergugat tidak berusaha meminta tolong kepada tetangga
di lingkungan, dan sejak awal yang mengurus kematian anak penggugat
dilakukan oleh adik-adik dari Alm. Anak penggugat. Dengan adanya
perubahan sikap dan tingkah laku tergugat semakin terbukti dengan
perubahan tergugat pasca kematian anak penggugat.
Pada tanggal 23 Desember 2013 sampai tanggal 25 Desember 2013
Penggugat, istri beserta anak-anak menantu dan cucu-cucu penggugat
berkunjung ke kediaman rumah tergugat untuk silahturahmi dan
menginap di sana. Kemudian pada hari esoknya yaitu pada tanggal 24
Desember 2013 istri penggugat, anak menantu dan cucu penggugat
mengajak anak-anak dari Almr. Anak penggugat dengan tergugat untuk
berjalan-jalan, dan yang mana selama dalam perjalanan anak-anak
berbicara mengenai mereka sudah mengikuti sekolah minggu. Dan pada
hari yang sama penggugat dan anak penggugat menanyakan
kebenarannya tentang aqidah tergugat dan anak-anaknya kepada supir
tergugat dan dijawab oleh supir tergugat yang pada dasarnya
membenarkan bahwa anak-anak telah mengikuti sekolah minggu dan
Gereja di GPIB Jemaat “Zebaoth” di Bogor Bajem Sentul, tetapi yang
mengantar bukan supir tergugat melainkan orang lain yang
mengantarkan anak-anak.
60
Keraguan penggugat terhadap tergugat yang telah menunjukan
perubahan sikap dan tingkah laku khususnya terkait dengan akidah
Islam, kembali terbukti sehubungan dengan hal-hal yang telah
menyimpang dari ajaran agama Islam dengan bukti-bukti yang telah di
ketahui oleh para saksi dan bukti yang lainnya baik itu bukti dari sosial
media dan di temukannya pula brosur terkait dengan Al-Kitab dari tas
tergugat. Begitu juga dengan perkataan anak asuh 1 cucu pertama dari
anak penggugat ketika salah satu dari anak penggugat menanyakan
perihal melaksanakan shalat, kemudian anak asuh 1 menjawab “tidak
boleh shalat sama Bunda (tergugat) kalau shalat nanti Bunda nangis
terus,“ Tuhan aku sekarang Yesus, begitupun sikap tergugat diamana
supir tergugat bercerita bahwa semua lukisan kaligrafi yang ada di
dalam rumah di suruh dibuang oleh tergugat. Dengan begitu sikap dan
perkataan tergugat dan anak-anak menguatkan keraguan penggugat dan
keluarga besar terhadap aqidah Islam.
b. Tuntutan (Petitum) Para Pihak Dalam Gugatan
Tuntutan penggugat mengenai hal hak asuh anak yang di sebabkan
tergugat maka si penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk
mengabulkan gugatan seluruhnya, menyatakan sah menurut hukum
perkawinan antara anak penggugat dan tergugat putus karena cerai mati,
menetapkan hak asuh anak (hadhanah) terhadap ketiga anaknya kepada
penggugat (kakek pihak ayah), kemudian menyatakan Tergugat telah
berpindah agama (murtad), dan memiliki sifat yang tidak amanah,
sehingga dengan perilaku dan sifat Tergugat yang seperti itu maka
Penggugat memohon untuk menghukum tergugat menyerahkan ketiga
anak tersebut kepada penggugat, dengan ketentuan anak ke-1 dan ke-2
setelah putusnya ini berkekuatan hukum tetap kemudian anak ke-3
tersebut sampai berusia 2 tahun, hal yang diajukan penggugat di
Pengadilan Agama Cibinong.
61
Sedangkan Tergugat menuntut untuk menolak sebagian gugatan
Penggugat terhadap Tergugat, menyatakan menolak semua dalil-dalil
Penggugat dan menyatakan sangat keberatan dan menolak pernyataan
Penggugat yang menyamakan Tergugat seolah-olah kafir, gila, fasik dan
menikah dengan pria lain, faktanya Tergugat saat ini sehat baik jiwa
maupun fisik, waras, beragama Islam dan nikah secara Islam. Kemudian
Tergugat juga membantah dengan tegas menolak dalil Penggugat yang
menyatakan Tergugat melalaikan kewajiban terhadap anak-anak dan
berkelakuan buruk, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan maka
Tergugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini untuk menyatakan gugatan penggugat kabur dan
tidak jelas objek sengketa yang mendasari gugatannya dan menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Dalam hal perkara ini hakim PA Cibinong mengabulkan permohonan
atas hak asuh anak yang belum mumayyiz kepada kakek (dari pihak
ayah) karena disamping itu nenek juga masih ada ( ibu dari ayah). Di
PA Cibinong kakek memenangkan perkara hasuh anak akan tetapi untuk
anak yang ke 3 itu masih berada pada ibu nya sampai umur 2 Tahun
(masa penyusuan) dikarena masih berumur 3 bulan.
Kemudian perkara ini tidak hanya berakhir di PA Cibinong saja,
karena si tergugat (menantu) merasa tidak puas akan putusan hakim PA
Cibinong maka si tergugat mengajukan perkara ini ke PTA Bandung
(tingkat banding), di tingkat banding ini hakim justru membatalkan
putusan perkara no. 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn dengan beralasan bahwa
saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat di persidangan tidak satupun
yang menerangkan dengan tegas bahwa Tergugat telah keluar dari
agama Islam dan telah dibaptis lagi secara agama Kristen, tetapi hanya
menerangkan adanya kekhawatiran dan indikasi bahwa Tergugat
kembali kepada agama asalnya yaitu Kristen Protestan, sehingga akan
62
membawa anak-anak ikut agama Tergugat, sedangkan yang dibutuhkan
dari keterangan saksi adalah fakta, bukan indikasi. Dan di tingkat
banding ini hakim memberikan hak asuh anak kepada Tergugat
(menantu).
Kemudian begitu juga dengan Penggugat yang merasa tidak puas dia
mengajukan kembali perkara hak asuh anak ini ke MA (tingkat kasasi).
Dan di tingkat kasasi ini justru hakim menguatkan putusan hakim yang
di tingkat banding, dengan beralasan bahwa hakim tingkat banding telah
benar dalam memutuskan putusan perkara hak hadhanah ini.
2. Putusan Hakim Dan Pertimbangan Hukum
a. Perkara No. 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn
Dalam menetapkan penetapan perkara hadhanah ini, majelis hakim
mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dengan pertimbangan hukum
diantaranya yaitu:
1) berdasarkan pada Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 1974
Tentang Perkawinan yang berbunyi “Salah seorang atau kedua orang
tua dapat di cabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih
untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya, b. Ia berkelakukan buruk sekali”.
2) Pada Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
“apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.
63
3) Majelis Hakim berpendapat tentang eksepsi Tergugat yang
menyatakan kabur (obscuur libel), tidak cukup alasan karena dengan
nyata-nyata obyek sengketa adalah masalah hadhanah, oleh karena itu
eksepsi tergugat harus ditolak.
4) untuk menguatkan dalil gugatan Penggugat, selain bukti tertulis
Penggugat juga telah menghadirkan saksi masing-masing bernama Hj.
Kartini, Dr. Helen Novitasari, Reagen Prabowo, Drs. Handoy R.
Antho dan Indri Fitriani, telah memberikan keterangan bahwa
sumpahnya yang pada pokoknya telah menguatkan dalil gugatan
Penggugat, yang mana keterangan saksi satu dan lainnya saling
bersesuaian (HIR Pasal 170).
5) Bantahan-bantahan Tergugat terhadap dalil gugatan Penggugat tidak di
dukung oleh bukti-bukti yang mendukung dalil jawaban tergugat.
Tergugat telah diberikan kesempatan untuk menyampaikan alat bukti,
akan tetapi tidak dimanfaatkan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas Majelis
Hakim berkesimpulan terhadap gugatan Penggugat dapat dikabulkan
sebagian dan menolak selain dan selebihnya dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam amar putusan.
b. Perkara Nomor 0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg
Dalam putusan nomor 0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg hakim Tingkat
Banding membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor
0282/Pdt.G/2014/PA.Cbn dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat di persidangan tidak
satupun yang menerangkan dengan tegas bahwa Tergugat telah keluar
dari agama Islam dan telah dibaptis lagi secara agama Kristen, tetapi
hanya menerangkan adanya kekhawatiran dan indikasi bahwa
Tergugat kembali kepada agama asalnya yaitu Kristen Protestan,
sehingga akan membawa anak-anak ikut agama Tergugat, sedangkan
64
yang dibutuhkan dari keterangan saksi adalah fakta, bukan indikasi.
Sedangkan fakta yang ada Tergugat masih beragama Islam sesuai
dengan bukti P.2.
2) Sesuai dengan Pasal 2 huruf (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun
2003 prinsip dalam pemeliharaan anak (hadhanah) harus berdasarkan
kepentingan terbaik bagi si anak dan putusan Mahakamah Agung
Nomor 110 K/AG/2007 Tanggal 13 November 2007, yang dalam
pertimbangannya, bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-
mata dilihat dari siapa yang paling berhak mengasuhnya, akan tetapi
harus melihat fakta ikut siap yang lebih tidak mendatangkan kerusakan
bagi si anak, dengan kata lain yang harus lebih tidak mendatangkan
kerusakan bagi si anak, dengan kata lain yang harus dikedepankan
adalah kepentingan si anak bukan siapa yang berhak mengasuhnya,
maka berdasarkan hal demikian ketiga orang anak tersebut sekarang
tinggal bersama ibunya akan mendatangkan madharat secara
psikologis apabila dipaksa dialihkan pengasuhannya kepada kakeknya
yang selama ini ketiga orang anak tersebut tidak pernah tinggal
bersama kakeknya, apalagi anak yang paling kecil baru berumur 1
(satu) tahun, maka sebaiknya ketiga orang anak dimaksud dipelihara
oleh ibu kandungnya (Tergugat).
3) Berdasarkan sesuai dengan pengakuan Tergugat / Pembanding yang
mengaku masih beragama Islam karena dilahirkan dalam perkawinan
Islam, maka sesuai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka Tergugat /
Pembanding wajib memelihara akidah Islamiah bagi ketiga orang anak
tersebut serta wajib (harus) mendidiknya secara akidah Islam pula.
65
c. Perkara Nomor 127 K/Ag/2016
Kemudian dalam Tingkat Kasasi hakim menolak permohonan kasasi
(Penggugat) atau dalam hal lain hakim Tingkat Kasasi menguatkan putusan
Tingkat Banding dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Pertimbangan dan putusan Judex facti Tingkat Banding sudah tepat
dan benar, Tergugat membantah dengan tegas bahwa ia telah keluar
dari agama Islam dan kembali ke agama Kristen Protestan. Oleh
karena dalil Penggugat ditolak oleh Tergugat maka seharusnya
Penggugat mengajukan bukti yang kuat menurut yang diajukan
Penggugat belum ada yang menunjuk langsung bahwa Tergugat
berpindah agama.
2) Atas pertimbangan hakim PA Cibinong ternyata tidak bertentangan
dengan hukum dan / atau undang-undang, maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, tersebut harus di tolak.
66
BAB IV
HAK HADHANAH ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ PADA PUTUSAN
NOMOR 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. DAN PEMBATALANNYA DALAM
PERSPEKTIF MAQHASID SYARI’AH
A. Analisis Putusan Nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn, dan Putusan Nomor
0079/Pdt. G/2015/PTA.Bdg, dan Putusan Nomor 127 K/ Ag/2016
Dalam Perspektif Maqashid Syari’ah.
Setelah mempelajari lebih lanjut mengenai putusan perkara hak asuh
anak yang penulis angkat sebagai penelitian ini, penulis akan menjelaskan
apa alasan pertimbangan hakim dari putusan Tingkat Pertama, Tingkat
Banding dan Tingkat Kasasi.
Dalam perkara putusan hak hadhanah yang terjadi antara Penggugat
(kakek) dan tergugat (menantu) di atas, di mana Majelis Hakim Pengadilan
Agama Cibinong yang memutus perkara tersebut telah menjatuhkan hak
asuh anak kepada Penggugat (kakek) dikarenakan pihak Tergugat
(menantu) telah tidak konsisten atas keyakinan tergugat atau berpindahnya
agama menjadi agama semula yaitu Kristen Protestan (murtad). Oleh
karena itu terjadilah perebutan hak asuh anak dan yang seharusnya kedua
orang tuanya bisa saling melindungi dan merawatnya secara bersama-
sama. Akan tetapi dalam kepengurusan anak menjadikan perdebatan
pemikiran dan penguasaan antara masing-masing orang tua dalam
menuntut haknya, maka disinilah peran dan kewenangan seorang hakim
untuk meluruskan suatu perkara yang timbul ditengah masyarakatnya.
Dalam putusan perkara Nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn penulis setuju
atas pertimbangan hakim dan amar putusan yang telah mengabulkan
gugatan penggugat. Menurut penulis hakim telah benar dalam
memutuskan putusan ini karena hakim lebih fokus kepada kepentingan dan
kemaslahatan si anak yang belum mumayyiz, bukan kepada hak yang
dimiliki oleh orang tuanya, walaupun di dalam Undang-undang dan nash
al-qur’an menyatakan bahwa hak asuh anak merupakan hak ibunya, karena
hakikatnya seorang ibu cenderung lebih memiliki sifat kasih sayang dan
67
lemah lembut, serta mampu untuk merawat, menjaga, membimbing, dan
mendidik anak daripada seorang ayah.1
Namun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di jelaskan tentang
pencabut hak kekuasaan anak terdapat pada pasal 156 huruf (c) yang
menyatakan “Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
kemaslahatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain
yang mempunyai hak hadhanah pula”.2
Dalam perkara ini meskipun majelis hakim tidak menemukan bukti
yang kuat atas pindahnya keyakinan agama si tergugat karena dalam hal
ini tergugat menyangkal bahwa dia telah berpindah agama, tetapi di dalam
persidangan terungkap dengan saksi-saksi yang ada bahwa memang
indikasi kekhawatiran penggugat itu beralasan karena menurut para saksi
itu terungkap bahwa anak-anak ini sudah mulai mengikuti sekolah minggu,
kemudian simbol-simbol keislaman di rumahnya sudah mulai di
hilangkan. Oleh karena itu yang menjadi alasan hakim walaupun tidak
terbukti tergugat sudah pindah agama atau tidak tetap di kabulkan karena
senyatanya fakta-fatka yang terungkap itu ada kecenderungan
mengkhawatirkan bagi si anak terkait dengan pertumbuhan keislamannya.
Dalam kasus ini yang menjadi pertimbangan hakim adalah kepentingan
anak dan yang paling utama ketika ada sengketa hak asuh anak yang di
pertimbangkan utama itu bukan hak ibu atau hak bapak melainkan
kepentingan bagi anak, dalam hal ini hakim juga mengatakan jika kita
kembalikan kepada Undang-Undang Perlindungan anak ternyata diantara
kepentingan anak yang paling asasi atau kebutuhan anak yang paling
mendasar diantaranya adalah tentang keyakinan. Yang menjadi dasar
penetapan hak asuh anak dalam kasus ini hakim menjelaskan bahwa yang
1 Huzaimah Tahindo Yanggo, Fiqih Anak, h. 102
2 Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Pangehgar Bandung, Fokusmedia, h.51
68
pertama adalah tentang kepentingan anak bukan kepentingan ibu dan
bapak tapi kepentingan objek sengketa itu adalah anak.3
Oleh karena itu kepentingan anak leibh di utamakan dalam kasus hak
asuh anak ini. Majelis hakim juga mengatakan bahwa hakim memutuskan
dengan murni berijtihad karena untuk kemaslahatan yaitu “menolak
kerusakan diutamakan daripada mengambil kemaslahatan”.4
Dalam firman Allah Swt pada surat at-Tahrim ayat 6:
فسكن وأهليكن ارا وقىدها الاس والحجارة عليها هلائكة اد لا يا أيها الذيي آهىا قىا أ لا
)6.)التحزين : ويفعلىى ها يؤهزوى أهزهنها يعصىى الله
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu..”(QS. at-Tahrim: 6).
Ayat Al-qur’an diatas menjelaskan bahwa dakwah dan pendidikan
harus bermula dari rumah, dimana dari ayat tersebut walapun secara
redaksional tertuju pada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan berarti hanya
tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki
(ibu dan ayah), maka dengan demikian hal ini berarti kedua orang tua
bertanggungjawab terhadap anak-anaknya dan pasangan masing-masing
sebagaimana suami dan istri bertanggungjawab atas kelakuannya. Ayah
dan ibu serta anak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga atau
keluarga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh
hubungan yang harmonis.5 Kemudian di dalam ketentuan pasal 45
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan:
Pasal 45
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
3 Wawancara Pribadi dengan DR. H. Nasech Suharto, Lc.LLM (Hakim Pengadilan
Agama Cibinong, 28 Maret 2019). 4 Putusan Nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, h.49
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera hati, 2002), jilid. 15, Cet.1, h.326
69
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendir,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
orang tua putus.6
Oleh sebab itu dalam mengenai hadhanah, seorang bapak dan ibu
tetap berkewajiban untuk memeliharanya meskipun ikatan perkawinan
dari kedua orang tuanya telah putus, sebagaimana telah diatur dalam
pasal 41 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dinyatakan:7
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diberlakukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataanya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan pennghidupan dan / atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.8
Dari pasal di atas ditegaskan bahwa kedua orang tua tetap berkewajiban
memelihara anak yang didasarkan untuk kepentingan di masa yang akan
datang yaitu ketika anak tersebut sudah dikatakan dewasa atau cakap
hukum dan bukan untuk kepentingan masing-masing pihak orang tua
6 Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2000), h.14 7 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2015), Cet.9, h.238
8 Anggota Abri,dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika
Offset, 2000), h.13
70
dalam mengambil haknya. Oleh karena itu adanya kedua orang tua bagi
anak ialah untuk saling memikul bersama-sama dalam hal
bertanggungjawab memelihara anaknya.
Kemudian untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan
beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, diantaranya sebagai
berikut:
1. Yang melakukan hadhanah sudah baligh, anak kecil atau yang
belum baligh tidak boleh menjadi hadhin untuk orang lain, karena
dia sendiri belum mampu mengurus keperluannya.
2. Berakal, karena orang gila dan idiot tidak boleh menjadi hadhin
karena keduanya juga membutuhkan orang lain untuk mengurus
keperluan mereka. Untuk mengurus diri sendiri saja mereka tidak
mampu, apalagi untuk mengurus keperluan orang lain.
3. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang dipelihara, jadi
orang yang lemah, baik karena sudah lanjut usia, sakit, maupun
sibuk tidak berhak untuk mengurus anak.9
4. seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya
memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin
pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat
memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena
itu ia tidak layak melakukan tugas ini.
5. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang
akan di asuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain. Dasarnya
adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu hanya mempunyai
hak hadhanah bagi anaknya selama ia belum menikah dengan lelaki
lain (HR. Abu Daud). Adanya persyaratan tersebut disebabkan
kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukan
mengurus anaknya dari suami pertama. Oleh karena itu, seperti
9 Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam wa’Adilatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), Jilid 7, Cet. 2, h.726.
71
disimpulkan ahli-ahli fiqh, hak hadhanah-Nya tidak menjadi gugur
jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak, yang memperhatikan
kasih sayang dan tanggungjawabnya.
6. seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam seorang
nonmuslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh.
Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak
menjadi muslim yang baik, dan hal itu menjadi kewajiban mutlak
atas kedua orang tua.10
Berkenaan dengan pertimbangan hakim pada Putusan Nomor.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. penulis ingin menganalisis putusan tersebut
melalui konsep dan metode penetapan maqashid syari’ah.
Sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa inti
maqashid syari’ah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari dari segala macam keruskan, baik di
dunia maupun di akhirat. Semua kasus hukum, yang disebutkan secara
eksplisit dalam Al-qur’an dan Sunnah maupun hukum Islam yang
dihasilkan melalui proses ijtihad harus berdasarkan pada tujuan
perwujudan mashlahah tersebut. Dalam kasus yang secara eksplisit
dijelaskan oleh teks al-qur’an maupun sunnah, maka kemaslahatan
tersebut dapat dilacak dalam kedua sumber tersebut. Jika suatu
mashlahat disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam teks, maka
kemaslahatan itu yang dijadikan tolak ukur penetapan hukum, dan para
ulama lazim menyebutnya dengan istilah al-mashlahah al-mu’tabarat.
Lain halnya jika maslahat tersebut tidak di jelaskan secara eksplisit oleh
kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus bersikeras dalam menggali
dan menentukan mashlahat tersebut.11
10
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana, 2010), h.172 11
Ali Mutakin, Teori Maqashid Al-Syari’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol.19, No.3, (Agustus, 2017), pp.547-570, h. 554
72
Dalam perkara hadhanah hal ini menjadi acuan prinsip maqashid al-
syari’ah yang meliputi lima hal, yaitu melindungi agama (hifzh ad-din),
melindungi jiwa dan kemaslhatan fisik (hifzh an-nafs), melindungi
kelangsungan keturunan (hifzh an-nasl), melindungi akal fikiran (hifzh
al-aql), dan melindungi harta benda (hifzh al-maal).
Kelima maqashid di anggap sebagian dari asas agama (ushul ad-din)
setelah akidah Islam. Seluruh rangkaian hukum syari’at yang terdiri dari
akidah, ibadah, muamalat, dan akhlak, juga mengandung unsur-unsur
lima kaidah umum diatas. Rukun Islam dan rukun Iman disyari’atkan
untuk tujuan menjaga kaidah pertama, yakni menjaga agama.
Diharamkannya segala bentuk judi dan hal-hal yang memabukan adalah
untuk menjaga akal. Sedangkan hukum kekeluargaan untuk menjaga
keturunan, dan hukum muamalat, pencuri, dan ghasab, untuk menjaga
asas kelima, yakni harta.
Peranan maqashid al-syari’ah dalam hal ini sangat signifikan dalam
menentukan hukum berdasarkan hikmah atau tujuan hukum-hukum
berkenaan dengan hadhanah tersebut. Lebih jauh untuk mencapai
ketegasan hukum hadhanah melalui konsep penerapan maqashid al-
syari’ah. Di samping itu, teori hukum harus diaplikasikan terhadap
permasalahan hukum kontemporer, agar tidak hanya merupakan hal-hal
yang ideal, sebagai khazanah hasil pemikiran.
Hukum Islam mempunyai tujuan tercapainya kemaslahatan yang
hakiki, kemaslahatan menurut ajaran Islam merupakan prinsip dasar
yang menjiwai seluruh ajarannya yang diterapkan dalam bagian-
bagiannya secara terperinci. Karena pada dasarnya kemaslahatan itu
merupakan pengejawantahan dari sendi dasar rahmat yang melandasi
syari’at Islam yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu mewujudkan
manfaat dan menghindari mafsadat. Untuk mewujudkan kemaslahatan
tersebut, menurut peneliti ahli Ushul ada lima dasar pokok yang harus
73
dipelihara dan diwujudkan, yaitu menjaga gama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.12
Realisasi maqhasid syari’ah merupakan dasar utama dan
fundamental dalam sistem hukum islam. Menggali maqhasid syari’ah
harus dikembalikan kepada teks utama (al-Qur’an dan Hadits), bukan
hanya pendapat dan pikiran para fiqih. Oleh karena itu, perwujudan
maqhasid syari’ah menjadi tolak ukur dari validitas setiap ijtihad, tanpa
menghubungkannya dengan kecenderungan madzhab tertentu. Tujuan
penetapan hukum Islam harus dikembalikan kepada kemaslahatan
masyarakat yang terdapat disekitarnya.13
Adapun inti dari konsep maqshid syari’ah hubungannya dengan
hadhanah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan untuk menarik manfaat dan menolak mudharat. Istilah yang
sepadan dengan inti maqhasid syari’ah tersebut adalah maslahat.
Dengan adanya peran maqashid syari’ah dan ketika tidak
terpenuhinya suatu syarat-syarat dalam menjadi hadhanah maka hal ini
sangat siginfikan untuk menentukan hukum berdasarkan hikmah atau
tujuan hukum-hukum yang berkenaan dengan hadhanah. Sehingga jelas
bahwa bapak pun mempunyai hak yang sama dengan ibu, ketika seorang
ibu terdapat seuatu kekurangan atau tidak terpenuhinya suatu syarat-
syarat hadhanah tersebut.14
Dengan demikian adanya peran seorang hakim yang memiliki hak
prerogratif dalam mengenai putusan, maka dari putusan perkara No.
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. mengenai kasus hak asuh anak akibat ibu
12
Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 56-57 13
Syukur Prihantoro, Maqasid Al-Syari’ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah
Upaya Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X No.1 Juni
2017, h. 129 14
Mohammad Hifai, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016, h. 59-61
74
murtad di dalam pertimbangannya majelis hakim sudah benar-benar
mengutamakan kepentingan serta perlindungan bagi anak-anak, karena
demi terwujudnya kemaslahatan pada anak serta untuk terhindarnya
perilaku-perilaku yang dilarang agama Islam. Oleh sebab itu di dalam
putusan tersebut hak asuh anak berada dengan Penggugat (kakek dari
ayah).
Sementara dalam putusan perkara Nomor
0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg penulis kurang setuju atas pertimbangan dan
amar putusan yang di putuskan oleh hakim yang mana telah
membatalkan putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn. Dimana dalam pertimbangan hakim ini
menjelaskan bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh penggugat di
persidangan ternyata tidak satupun keterangan saksi yang menyatakan
bahwa tergugat orang yang tidak mampu dan tidak satupun yang
menerangkan dengan tegas bahwa tergugat telah keluar dari agama
Islam dan telah di baptis lagi secara agama Kristen. Dan hakim
mengatakan bahwa keterangan para saksi tersebut merupakan asumsi
atau pendapat dan pikiran khusus yang bukan kesaksian karena
keterangan semua saksi tersebut tidak bernilai sebagai alat bukti.15
Padahal senyatanya dengan fakta-fakta yang ada yaitu anak-anak mulai
mengikuti sekolah minggu, simbol-simbol ke islaman telah di hilangkan,
kemudian adanya larangan untuk melakukan shalat dan terdapatnya
bukti dari sosial media serta perkataan Tergugat saat membentak istri
Penggugat yang mengatakan “saya setia terhadap tuhan saya. Biar saya
murtad jangan ikut campur urusan saya”.
Pada hakikatnya sang ibu selaku tergugat mempunyai hak asuh
terhadap anak-anaknya yang belum mumayyiz. Akan tetapi karena
adanya perselisiahan mengenai hak asuh anak yang terjadi antara
15
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Arief Saepuddin, S.H.M.H, (Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Bandung, 5 April 2019).
75
Penggugat dan Tergugat yang di sebabkan adanya kekhawatiran si
tergugat telah berpindah keyakinan (murtad), sehingga menimbulkan
perebutan hak asuh anak anatara penggugat (kakek kandung) dari pihak
ayah dan Tergugat (ibu kandung), menurut penulis dalam pertimbangan
Majelis Hakim Banding kurang tepat, yang mana telah membatalkan dan
menjatuhkan hak asuh anak kepada Tergugat bukan Penggugat. Dengan
hal ini penulis merujuk pada hukum fiqih (Maqasid Syariah) yang
menjelaskan “akibat perceraian orang tua harus menjaga aqidah anak”.
Bahwa menurut penulis seorang hakim tidak hanya berpacu pada
hukum positif saja, melainkan dengan sumber hukum hukum lainnya
termasuk salah satunya yaitu mengacu pada literatur fiqih, di mana telah
termuat syarat-syarat bagi yang melakukan hadhanah diantaranya
berakal sehat, dewasa, mampu mendidik, amanah, beragama Islam,
merdeka, dan belum menikah lagi. Oleh karena itu apabila syarat-syarat
seorang pengasuh tidak terpenuhi salah satunya, termasuk agama yang
dianut oleh orang tua, maka gugurlah kebolehan untuk mengasuh anak.
Penulis berpendapat bahwa hukum yang harus Majelis Hakim
gunakan dalam memutus perkara hak asuh anak lebih menekankan
prinsip kemaslahatan baik untuk anak maupun kedua orang tua, karena
dalam pengasuhan anak itu yang lebih diutamakan ialah kepentinganya,
bukan kepada hak yang dimiliki oleh orang tuanya. Dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 49
ayat 1 huruf b; “salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaanya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu
atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal; a), ia sangat
76
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, b), ia berkelakuan buruk
sekali”.16
Adapaun yang penulis teliti juga mengenai hal tersebut, bahwa dari
hasil wawancara penulis dengan hakim Pengadilan Agama Cibinong
menyatakan bahwa hak hadhanah merupakan hak ibu karena di dalam
ketentuan yuridis formilnya menyebutkan hak asuh anak dibawah 12
tahun itu adalah hak ibunya, namun maksud pernyataan di atas tidak
berlaku secara keseluruhan, artinya jika terdapat hal-hal buruk yang
dapat dikategorikan bisa mempengaruhi hak pengasuhan anak maka itu
bisa dikesampingkan dari ketentuan pengasuhan itu sendiri.17
Dalam hal ini penulis sangat setuju dengan pendapat hakim seperti
itu, karena apabila hakim hanya berpaku pada satu pasal tersebut maka
hukum tidak akan seimbang atau tidak terpenuhinya tujuan hukum, yang
mana tujuan hukum itu sendiri terdiri dari keadilan (Validitas filosofis),
kemanfaatan (validitas sosiologi), dan kepastian hukum (validitas
yuridis). Oleh karena itu dalam kasus hak hadhanah yang ternyata
Penggugat (kakek kandung) tidak sama sekali mendapatkan hak
mengasuh dari ketiga anak dari anak Penggugat tersebut. Maka menurut
penulis di dalam putusan ini dikatakan kurang tepat jika hak asuh anak
diberikan kepada tergugat (ibu), karena jika di lihat kembali dari
pertimbangan hukum majelis hakim yang memutus perkara
nomor282/Pdt.G/2014/PA.Cbn dapat terlihat dalam putusannya sudah
memenuhi tujuan dari penegakan hukum yaitu keadilan. Keadilan dalam
hal ini dimaknai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya. Sehingga tuntutan atas hak yang para pihak tuntut dapat
terpenuhi dengan keadilan, terutama Penggugat (kakek kandung) yang
16
Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet, 4 (Jakarta: Sinar Grafika,
200), h.14-15 17
Wawancara dengan Dr. H. Nasech Salam Suharto, Lc.LLM (Hakim Pengadilan Agama
Cibinong).
77
ingin melindungi kehidupan keagamaan anak-anaknya sekaligus
memiliki kemampuan untuk merawat dan menjaganya.
Kemudian dalam putusan Nomor 127 K/Ag/2016 ini sama dengan
alasan yang di Tingkat Banding karena hakim di Tingak Kasasi
menguatkan atas pertimbangan hakim tingkat banding. Seperti yang
telah penulis jelaskan dalam analisis putusan nomor 0079/Pdt.
G/2015/PTA.Bdg. bahwa hukum yang harus Majelis Hakim gunakan
dalam memutus perkara hak asuh anak lebih menekankan prinsip
kemaslahatan baik untuk anak maupun kedua orang tua, karena dalam
pengasuhan anak itu yang lebih diutamakan ialah kepentinganya, bukan
kepada hak yang dimiliki oleh orang tuanya, walaupun di dalam
Undang-undang dan nash al-qur’an menyatakan bahwa hak anak
merupakan hak ibunya, karena hakikatnya seorang ibu cenderung lebih
memiliki sifat kasih sayang dan lemah lembut, serta mampu untuk
merawat, menjaga, membimbing, dan mendidik anak daripada seorang
ayah.18
Namun bisa kita lihat dalam Yurisprudensi MARI No 349
K/AG/2006 tertanggal 3 Januari 2007 “Hadhanah terhadap anak bisa
jatuh ke tangan bapaknya, bilamana memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak untuk beribadat
menurut agamanya.”19
Kemudian bisa kita lihat juga dengan faktor-faktor yang dapat
menggugurkan hak hadhanah dalam literatur fiqih yang diantaranya:
1. Perginya hadhin ke tempat yang jauh
Perginya hadhin ke tempat yang jauh dengan menempuh jarak
lebih dari 133 km. Menurut pendapat ulama Malikiyah, jika jarak
yang di tempuh lebih dari itu maka seorang berhak mengambil anak
tersbut dari hadhinah dan gugurlah hak asuh anaknya, kecuali ia
membawa anak itu dalam perjalanan.
18
Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 102 19
Putusan Nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, h.12
78
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengasuh dapat dianggap
gugur jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat jauh, dan
ayahnya tidak dapat mengasuhnya. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyyah, hak seorang pengasuh menjadi gugur jika ia pergi
ketempat yang membahayakan atau pergi dengan niat untuk pindah
baik jarak dekat maupun jauh. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa
hak asuh anak gugur jika orang yang mengurus berpergian jauh
dengan menempuh jarak yang dibolehkan qashar.20
2. Seorang hadhin mengidap penyakit yang membahayakan
Hak seorang hadhin gugur jika ia memiliki penyakit yang
membahayakan, seperti gila, lepra, dan kusta. Pendapat ini
disepakati oleh Hanabilah
3. Seorang hadhin fasiq atau pengetahuan agamanya kurang
Seorang yang fasiq atau berpengetahuan kurang memperhatikan
masalah agama anak asuh dan kurang memberikan perlindungan
kepadanya sehingga kemaslahatan anak terabaikan. Hal ini
disepakati fuqaha lainnya.21
4. Seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi.
Hak seorang hadhinah gugur jika ia sudah menikah lagi, kecuali
jika neneknya anak asuh adalah istri kakeknya, atau hadhinah
menikah dengan paman anak tersebut.
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, hak seseorang untuk
memelihara anak dianggap gugur jika orang tersebut kafir. Bahwa
seorang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang
beragama Islam. Karena kondisi orang tua kafir lebih buruk dari
fasiq dan bahaya yang muncul akan lebih besar, ditakutkan anak
mengikuti perbuatannya dan mengeluarkan dari Islam melalui
20
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), jilid 7, h. 738 21
Abdul Basith Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-Hukma,
The Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN:
2089-7480, h. 91
79
penanaman agamanya. Oleh karena itu orang tua wajib
mendahulukan pertimbangan agama sebagai pengasuh daripada
pertimbangan ekonomi dan lain-lain.22
Kemaslahatan anak sebagaimana di dalam buku maqasid syariah
karangan Ahmad Al-Musri Husain Jauhar, bahwasanya dalam
kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua, baik yang
pencapaiannya dengan cara menarik kemanfaatan atau dengan cara
menolak kemudharatan. Kemaslahatan dhururiyyah ialah
kemaslahatan maqasid syariah yang berada dalam urutan paling atas,
sedangkan kemaslahatan ghairu dhururiyyah ialah kemaslahatan
yang tergolong penting dan tidak bisa dipindahkan.23
Sehingga
dalam perkara hak pengasuhan anak antara Penggugat dan tergugat
di dalam putusan nomor 282/Pdt. G/2014/PA.Cbn, lebih
mengutamakan kemaslahatan dharuriyyah, karena dalam memenuhi
kemaslahatan bagi anak. Sedangkan menurut Mohammad Daud Ali
dalam buku karangannya bahwa kemaslahatan tersebut harus
mencakup lima hal yang telah disepakati dalam syariat Islam,
diantaranya adalah:24
1. Menjaga agama, alasannya bahwa agamalah yang diprioritaskan
paling utama dalam membentuk kemaslahatan anak, karena
merupakan pondasi utama dalam kehidupan.
2. Menjaga jiwa, diantaranya untuk menjaga kemuliaan, dan
kebebasan dalam menentukan pilihan anak, dengan siapa ia
diasuh. Apabila hal tersebut bertentangan dengan hak yang
dimiliki anak, ditakutkan anak akan diterlantarkan.
22
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqih al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1985), jilid 7, h. 738 23
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Penerjemah Khikmawati, Maqasid Syariah, (Jakarta:
Amzah, 2009), Cet.2, h.xv 24
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Ed.6, h.63-64
80
3. Menjaga akal, alasannya untuk menjaga anak dari perilaku yang
dapat merusak dan mencelakakanya, baik secara fisik, akal
pikiran, dan psikologi anak.
4. Menjaga harta, bahwa orang tua harus selalu menjaga dan
mengembangkan harta yang dimiliki anak.
5. Menjaga keturunan, alasannya agar orang tua selalu
berkewajiban menjaga dan merawat anaknya sampai ia dewasa
dan agar menjadi anak atau manusia yang baik dan sejahtera
dikemudian harinya.
Berdasarkan keterangan di atas mengenai lima dasar tujuan
syariat yang harus dilindungi dan di jaga bagi anak, tergugat (ibu)
tidak bisa melindungi agama anaknya.
Anak-anak muslim tidak boleh diasuh oleh seorang pengasuh
yang tidak beragama Islam sebab pengasuhan terkait erat dengan
masalah perwalian sementara Allah Swt, tidak membenarkan orang
mukmin berada dibawah orang kafir.25
Dengan begitu peranan maqhasid syari’ah kaitannya dengan
hadhanah sangatlah penting untuk kemaslahatan si anak. Dan
sebagai hakim dalam hal perkara ini tidak hanya melulu mengacu
kepada hukum positif saja melainkan harus didasari dengan hukum
fiqih juga.
Dan dari hasil analisis penulis mengenai putusan perkara
hadhanah ini penulis melihat hakim PA Cibinong sudah benar
dalam menentapkan pengasuhan anak kepada kakek dan istrinya
(nenek) dimana hakim PA Cibinong ini lebih mengedepankan
kepentingan si anak dalam hal menjaga agama dan aqidahnya.
Kemudian dengan adanya bukti-bukti yang diajukan penggugat
sudahlah cukup untuk dijadikan alat bukti diantaranya:
25
Putusan nomor 282/Pdt.G/2014/PA.Cbn, h.13
81
1. Foto copy kutipan akta nikah nomor 630/25/XI/2007
tanggal 5 November 2005, telah dinazegelen, aslinya tidak
dapat diperlihatan karena ada pada Tergugat,
2. Foto copy pernyataan memeluk agam Islam, mask
14.893/210/MAS/IX/2007 tanggal 1 September 2007, yang
diterbitkan oleh pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa,
jakrta, telah dinazegelen dan telah dicocokkan dengan asli,
3. Print out/hasil cetak isi (status) timeline/laman accoun
facebook jein Gracesela (Tergugat), telah dinazegelen dan
telah dicocokan dengan yang asli,
4. Foto Gereja di GPIB Jemaat “Zebaoyh” di Bogor Bajem
Sentul, telah dinazegelen.
5. Print out/hasil cetak Al-Kitab 10;13, yang terdapat pada
halaman web http:/www.sabda.org/alkitab/index.php
dengan alamat situs
http://alkitab.asbda.org/verse.php?book=1% 20korintus &
ch apter=10 & verse=13, telah dinazegelen. Dan masih ada
bukti-bukti yang lainnya juga.
Kemudian dari mulai si anak mengikuti sekolah minggu, anak
yang dilarang untuk melakukan ibadah shalat, simbol-simbol
keislaman sudah tidak di gunakan lagi, si anak yang mengatakan
bahwa Tuhan saya Yesus. Dengan ketidak teguh pendiriannya dan
tidak konsisten dengan ajaran agama Islam dan tidak membimbing
serta mengajarkan kepada anak-anaknya tentang agama Islam,
akan tetapi sebaliknya mengabaikan ajaran-ajaran Islam yang
paling dasar tentang ketuhanan dan memperkenalkan serta
membiarkan anak-anak tumbuh dan berkembang dengan
pemahaman ketuhanan berdasarkan agama diluar Islam. Maka
dalam ajara agama Islam dan kaitanya dengan maqhasid syariah
82
dalam hadhanah sangatlah penting terutama dalam hal agama dan
aqidah untuk si anak.
Kemudian meskipun Hakim PA Cibinong mengabulkan
permohonan perkara hak asuh anak ini kepada si kakek karena
hakim juga melihat si nenek selaku istri dari si kakek masih ada.
Tetapi Hakim PA Cibinong juga membiarkan untuk anak ketiga
yang baru berusia 3 (tiga) bulan ini untuk mendapatkan kesehatan
dan kasih sayang seorang ibu maka perlu mendapat penyusuan
sampai bayi tersebut berumur 2 Tahun.
Bila ditinjau secara komprehensif melalui konsep dan metode
penetapan maqashid syari’ah menurut penulis putusan nomor
282/Pdt.G/2014/PA.Cbn sudah memenuhi kemaslahatan sesuai
dengan tujuan maqashid syari’ah itu sendiri, karena tujuan
maqashid syari’ah itu sendiri adalah mendatangkan kemaslahatan
dan menjauhkan kemudharatan sebagaimana kaidah fiqih:
د رءالوقاس هقم عل جلب الوصالح
“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu
sebelum upaya mendapatkan manfaat (mashlahat)”.
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada
pilihan yaitu menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan,
maka yang harus didahulukan adalah menolak kemafsadatan.
Karena menolak kemafsadatan sam dengan meraih kemaslahatan.
Sedangkan tujuan utama maqashid syari’ah menurut ulama fiqih
ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.26
Sedangkan untuk di Tingkat Banding menurut penulis adanya
kekosongan hukum, dimana hakim tidak melulu berpacu pada
26
Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 164
83
hukum positif saja, melainkan di lihat juga dari literatur fiqih.
Kemudian di lihat juga dari bukti-bukti dan saksi-saksi yang telah
di ajukan di PA Cibinong, yang mana sedangkan si tergugat hanya
sekedar membantah atas bukti-bukti dan saksi yang penggugat
ajukan tanpa mendatangkan bukti dan saksi di pengadilan.
Kemudian di Tingkat Kasasi dimana hakim justru menguatkan
atas putusan di Tingkat Banding yang mengatakan bahwa hakim
Tingkat Banding sudah benar dan tepat. Menurut penulis untuk
mengetahui keyakinan seseorang itu sudah berpindah agama atau
tidak sangatlah tidak mudah akan tetapi dengan adanya bukti-bukti
dan saksi-saksi yang ada itu sudahlah cukup untuk dijadikan alat
bukti. Karena dalam hal perkara ini harusnya bukan kepada siapa
yang berhak untuk mengasuh melainkan kepada kepentingan si
anak-anaknyalah yang diutamakan. Karena anak adalah generasi
selanjutnya dan sangatlah penting untuk dijaga baik itu rohani dan
jasmaninya.
Dengan begitu alasan penulis mengaitkan analisis ini dengan
teori maqhasid syari’ah karena di dalamnya terdapat pembahasan
yang terdiri dari lima dasar tujuan syariat yaitu menjaga agama,
menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga keturunan
dimana sebelumnya penulis telah paparkan mengenai maqhasid
syari’ah.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan permasalahan yang penulis teliti, maka
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa majelis hakim Pengadilan Agama Cibinong yang memutus Perkara
Nomor 282/ Pdt. G/2014/PA. Cbn menetapkan hak asuh anak kepada
Penggugat (kakek dari pihak ayah) karena lebih mengutamakan kepentingan
si anak dalam hal aqidah dan agamanya.
2. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang membatalkan
perkara banding Nomor 0079/Pdt.G/2015/PTA.Bdg atas perkara Nomor 282/
Pdt. G/2014/PA. Cbn. Dengan alasan bukti-bukti dan saksi-saksi yang
diajukan penggugat tidak satupun yang menyatakan bahwa tergugat telah
berpindah keyakinan.
3. Majelis hakim Mahkamah Agung yang menguatkan keputusan Pengadilan
Tinggi Agama Bandung karena bukti-bukti yang diajukan Penggugat belum
ada yang menunjuk langsung bahwa Tergugat berpindah agama.
B. Saran-Saran
1. Hendaknya kepada para hakim Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi
Agama, dan Mahkamah Agung lebih teliti dan berhati-hati dalam
menentukan hak asuh anak ini karena hak pengasuhan anak ini bukan saja
menjadi tanggung jawab kedua orang tua, namun juga menjadi hak seorang
anak untuk dapat hidup dan tumbuh berkembang.
2. Kepada remaja yang belum menikah hendaknya berhati-hati dalam memilih
pasangan hidup, untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawadah dan
warahmah.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abu , Muhammed, Zahra, Hukum Keluarga, (Kairo : Rumah Pemikiran Arab,
2000)
‘Abdul-‘Aziz Muhammad al-Halidi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2011)
Al-Deousuki, Mohammed, Al-Ahwalu Syahksiyah Fi Madzhab Syafi’i, (Kairo:
Dar Al-Salam, 2011)
Al-Fikra, Nurhadi : Jurnal Ilmiah Kesilaman, Maqashid Syari’ah Perkawinan
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Vol. 16.2, Juli-Desember, 2017
Al-Hamdani, Risalah Nikah: Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2002)
Ali Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: MIZAN-Anggota IKAPI,
1995)
Ali, Zainudin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Anggota Abri, dkk, Undang-undang Pokok Perkawinan, Cet. 4, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2000)
Al-Qur’an dan Terjemah, Departemaen Agama RI, (Jakarta: Syigma Examedia
Arkanleema, 2009).
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Panghegar Bandung, Fokusmedia.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985)
Ahmad Zakariya, Al Barry, Hukum Anak- Anak Dalam Islam, Cet.1, ttp,tth
Basith ,Abdul Juanaidiy, Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam, Al-
Hukma, The Indonesian Journal of Islamic Familiy Law, Volume 07,
Nomor 01, Juni 2017
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka fiqh al-qadha,
(Jakarta: Rajawali Press, 2012) Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid 2,
Effendi, Satria, M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(Analisis Yuriisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah), (Jakarta: Kencana,
2010),
Ekowarni, Endang, Konvensi Anak, Vol 9,No 2 (2001),
Fitriani, Rini, Peranan Penyelnggaraan Perlindungan Anak Dalam Melindungi
Dan Memenuhi Hak-Hak Anak, Jurnal Hukum Volume 11, Nomor 2, Juli-
Desember 2016,
Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2014),
Hadi, Abd, Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Dalam No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Jurnal An-Nisa’, Volume IX Nomor 2 Desember 2016.
86
Hasan, M Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,
2003)
Hifai, Mohammad, Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami Istri dalam
Perspektif Hukum
Islam, Jurnal Volume 1 No.2 (Juli-Desember)2016,
Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur :
Baymedia Publising, 2006)
Inggi A, Indra, dkk, Kajian Perolehan Hak Asuh Anak Sebagai Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian,Jurnal Diponogeoro Law Riview, volume
05 No.02 tahun 2016
Ismail, Hidayatullah, Syariat Menyusui Dalam Al-Qur’an (Kajian Surat Al-
Baqarah Ayat 233), Jurnal At-Tibyan Volume 3 No. 1, Juni 2018,
Jalaludin, Imam, Al-Muhalli dan Imam Jalaludin As-Suyuti, Tafsir Jalalain
Berikut Asbabun Nuzul Jilid 1, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2017)
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2015)
Khasan, Moh, Kedudukan Maqashid Al-Syariah dalam Pembaharuan Hukum
Islam, Jurnal Dimas Vol.8 No.2 tahun 2008,
Lestari, Dian, Analisis International Convention On The Right Of The Child
(CRC) melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Anak di
Indonesia, Team Journal-Faculity of Lawa – Tanjungpura University,
Home, Vol 4. No.3 (2016)
Lestari, Meilan, Hak Anak Untuk Mendapatkan Perlindungan Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal UIR Law Review, Volume
01.Nomor 02, Oktober 2017.
Manan, Bagir dkk, Mimbar Hukum, (Jakarta: PPHIMM, 2010)
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender Edisi Revisi,
(Malang : UIN-Maliki Press, 2013)
Muhajir, Ahmad, Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah), Jurnal SAP Vol 2, No. 2, Desember 2017,
Mutakin, Ali, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Teori Maqashid al-Syari’ah dan
Hubungannya dengan Metode Istinbath Hukum, Vol.19, No.3,
(Agustus,2017),
87
Nurhadi, Maqashid Syari’ah Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI),
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16, No 2, Juli- Desember, 2017 (203-232),
Prihantoro, Syukur,Maqasid Al-Syari’ah dalam Pandangan Jasser Auda (Sebuah
Upaya
Rekontruksi Hukum Islam Melalui Pendekatan Sistem), Jurnal At-Tafkir Vo. X
No.1 Juni 2017,
Prints, Darwan, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003),
Qorib, Ahmad, Ushul Fiqh II, (Jakarta: PT.Nimas Multima, 1997),
Quraish , M, Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera hati, 2002),
Rahman, Abd, Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Rizki, Sandy, Febriadi, Aplikasi Maqashid Syari’ah Dalam Bidang Perbankan
Syari’ah, Amwaluna, Vol.1 No.2 (Juli, 2017),
Rodliyah, Nunung, Akibat Hukum Perceraian Berasarkan Undang-undang nomor
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1
Maret 2015.
Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,
2013)
Rohidin, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, Jurnal
Hukum. No.29 Vol.12 Mei 2005
Sayyid, Syahid, Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an: Di bawah Naungan Al-
Qur’an, (Darusy-Syuruq: Bairut, 1412 H/1992 M), Penerjemah As’ad
Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah, Penyunting Tim
GIP, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000)
Sidiq, Syahrul, Maqashid Syari’ah & Tantangan Modernitas Sebuah Telaah
Pemikiran
Jasser Auda, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol 7, No.1, November
2017,
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-8,
(Jakarta : RajaGrafindo Persada 2004)
Soetedjo, Wagiati dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2013),
88
Subhan, Zaiutnah, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-
Kahfi, 2008),
Sulaeman, Signifikasi Maqashid Al-Syari’ah dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurnal
Syari’ah dan Hukum Diktum, Volume 16, Nomor 1 Juli 2018:98-117
Suyanto, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqh, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2016),
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2007)
Tahido, Huzaemah, Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2004)
Tihami dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Lengkap), (Jakarta:
Rajawali Pres, 2009)
Sheikh Faisal bin Abdul Aziz Al-Mubarak Hakim Jawf, Nailul Authar (Himpunan
Hadis- Hadis Hukum), Penerejemah; Mu’ammal Hamidy, dkk, Jilid 5,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001),
Tohari, Chahim, Konsep Hak Dalam Pemikiran Fiqh hanafiyah Serta
Transformasinya Dalam Undang-Undang Hukum Perdata Turki Modern,
Volume, 6 Nomor 1, Juli 2018
Undang-Undang Perlindungan Anak (UU RI No.23 th. 2002), (Jakarta: Sinar
Grafika , 2009)
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002)
Warson, Ahmad , Munawwir, Al-Munawwir-Kamus Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir)
Wijaya, Abdi, Cara Memahami Maqashid Al-syari’ah, Vol. 4/No. 2/ Desember
2015,
DOKUMENTASI
Foto diambil ketika wawancara di Pengadilan Agama Cibinong
Foto diambil ketika wawancara di Pengadilan Tinggi Agama Bandung