hadis mutawatir ahad

47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasulullah SAW bersabda “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal. Barangsiapa berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk selamanya, dua hal tersebut adalah Kitab Allah dan Sunnahku”. 1 Dengan demikian setelah Al- Qur'an, umat muslim mengenal hadits sebagai sumber hukum kedua. Peranan hadits menjadi amat signifikan karena pada kenyataannya, hadits merupakan penjelas Al-Qur'an dalam bentuk segala perilaku dan ucapan Nabi, sehingga Al-Qur'an tidak dapat terlepas dari Hadits. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidak semua apa yang dihadapi oleh umat Islam dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur'an, sehingga para sahabat maupun tabi’in mencoba berusaha mengingat bagaimana Nabi pernah bersabda atau bersikap apabila menghadapi suatu permasalahan. Hadist biasa dijadikan dasar pijakan untuk memutuskan sebuah permasalahan karena hadits sebagai penjelas dari Al-Qur'an. Oleh karenanya perlu untuk mengklasifikasikan hadits, karena tidak semua hadits dapat dijadikan hujjah atau pedoman dalam menyelesaikan suatu persoalan. 1 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9 1

Upload: samm-ahmad

Post on 29-Jun-2015

777 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: HADIS MUTAWATIR AHAD

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rasulullah SAW bersabda “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua

hal. Barangsiapa berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan

tersesat untuk selamanya, dua hal tersebut adalah Kitab Allah dan

Sunnahku”.1 Dengan demikian setelah Al-Qur'an, umat muslim mengenal

hadits sebagai sumber hukum kedua. Peranan hadits menjadi amat signifikan

karena pada kenyataannya, hadits merupakan penjelas Al-Qur'an dalam

bentuk segala perilaku dan ucapan Nabi, sehingga Al-Qur'an tidak dapat

terlepas dari Hadits.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidak semua apa yang

dihadapi oleh umat Islam dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur'an,

sehingga para sahabat maupun tabi’in mencoba berusaha mengingat

bagaimana Nabi pernah bersabda atau bersikap apabila menghadapi suatu

permasalahan.

Hadist biasa dijadikan dasar pijakan untuk memutuskan sebuah

permasalahan karena hadits sebagai penjelas dari Al-Qur'an. Oleh karenanya

perlu untuk mengklasifikasikan hadits, karena tidak semua hadits dapat

dijadikan hujjah atau pedoman dalam menyelesaikan suatu persoalan.

Dalam makalah ini mencoba menelaah pengklasifikasian hadits

berdasar kualitas sanad dan matan hadits, supaya jelas hadits-hadits mana

yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan sanad ?

2. Bagaimana pembagian hadits berdasarkan kualitas sanad ?

3. Apakah yang dimaksud dengan matan ?

4. Bagaimana pembagian hadits berdasar matan ?

1 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9

1

Page 2: HADIS MUTAWATIR AHAD

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sanad

2. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas sanad

3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan matan

4. Mengetahui pembagian hadits berdasar kualitas matan

2

Page 3: HADIS MUTAWATIR AHAD

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sanad

1. Pengertian Sanad

Menurut bahasa, sanad adalah sandaran atau sesuatu yang

dijadikan sandaran.2 Sedangkan menurut istilah terdapat banyak pendapat

diantaranya adalah menurut Al-Badru bin Jama’ah yang diungkapkan

dalam Muzer Suparta bahwa sanad adalah:

المتن طريق عن االءخــبار

“Berita tentang jalannya matan”3

Yang lain menyebutkan:

للمتن الموصلة جال الر� سلسلــة

“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits) yang

menyampaikannya pada matan hadits4”

Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu :

المتن إلى الموصل الّط�ريقة

“Jalan yang menyampaikan pada matan hadits”5

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sanad adalah silsilah

orang-orang yang menyampaikan hadits (perawi) dari sumbernya yang

pertama.

2. Kesahihan Sanad Hadits

Yang dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi

Shalih dalam Noor Kholis yaitu segala syarat atau criteria yang harus

dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih.6 Adapun criteria

kesahihan sanad hadits yaitu:

a. Ittishal as sanad (sanad bersambung). Yaitu tiap perawi dalam sanad

hadits dari perawi pertama sampai terakhir menerima riwayat hadits

dari perawi sebelumnya, yaitu sahabat.

2 Muhammad Ahmad dan Muzhakir. Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), p. 513 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 454 Ibid., p. 455 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 516 Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008). p/ 252

3

Page 4: HADIS MUTAWATIR AHAD

b. Perawi bersifat ‘adil. Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragama

Islam, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.7

c. Perawi bersifat dhabit. Yaitu kuat hafalan atau hafal dengan

sempurna.

d. Terhindar syudzudz (kejanggalan).

e. Terhindar dari ‘illah (cacat).

3. Pembagian Hadits Berdasar Kualitas Sanad

Ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari

sanad (kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3

bagian yaitu hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai dengan

ulama’ ushul yaitu Abu Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur

berdiri sendiri.8

Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa hadits

masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakan

bagian dari hadits ahad. Maka ulama’ membagi hadits berdasar sanadnya

menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.

a. Hadits Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir ialah mutatabi’ yang berarti

beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain tanpa

jarak.9 Sedangkan menurut istilah:

تواطئهم العادة تحل جمع مارواه المتواتر الحدديث

منتهاه الى ند الس� او�ل من مثلهم عن الكذب على

طبعات من طبعة اّي� فى الجمع هذا يحتل ان على

ند . الس�

“Hadits mutawatir ialah suatu hadits yang diriwayatkan sejumlah

rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta,

hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak

terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan”.10

Sementara Nur ad-Din ‘Atar mendefinisikan: 7 Syuhudi Ismail, Kaedah-Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT. Bulan BIntang, 1995), p.

1298 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 599 Nur Kholis, Pengantar Studi…, p. 26810 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 65

4

Page 5: HADIS MUTAWATIR AHAD

كثير9 جمع يرواه الذّي

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar

dari kesepakatan mereka untuk berdusta sejak awal sanad sampai

dengan akhir sanad dengan didasarkan panca indera”.11

Ulama lain menyatakan hadits mutawatir yaitu:

عن خير هو

“Suatu hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh

sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka

berkumpul dan bersepakat untuk berdusta”.12

Dari uraian pendapat di atas dapat dikatakan bahwa hadits

mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang

memenuhi syarat tertentu yang beriringan antara satu dengan yang lain

dan mustahil untuk bersepakat dan berdusta.

S yarat-syarat Hadits Mutawati r

1) Diriwayatkan oleh sejumlah perawi

Dalam hal ini bilangan perawi mencapai jumlah tertentu

yang menurut adat mustahil bersepakat untuk berdusta, mengenai

batasan jumlah perawi terdapat perbedaan diantara ulama’ yaitu:

a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, hal ini

berdasarkan pengqiyasan dengan jumlah saksi yang diperlukan

oleh hakim.

b) Al-Qodhi Al-Baqillani sekurang-kurangnya 5 orang, hal ini

diqiyaskan dengan jumlah Nabi yang mendapat gelar ulul

azmi.

c) Al-Isthakhary menetapkan minimal 10 orang, sebab jumlah 10

itu merupakan awal bilangan banyak.

d) Ulama’ lain menentukan minimal 12 orang berdasarkan pada

firman Allah (QS. Al-Maidah: 12).

المائدة ) : نقيبا اثنىعشر منهم (12وبعثنا

11 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 9712 Muhammad Ahmad dan Mudzakir…, p. 64

5

Page 6: HADIS MUTAWATIR AHAD

“…dan telah Kami angkat di antara mereka 120 orang

pemimpin”.

e) Ulama’ yang lain menentukan minimal 20 orang berdasarkan

firman Allah (QS. Al-Anfal : 65).

مائتين يغلبوا صابرون عشرون منكم يكن إن

( 65االنفال) :

“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu,

niscaya mereka dapat mengalahkan duaratus orang musuh”.

f) Ulama’ lainya menentukan minimal 40 orang berdasarkan

(QS. Al-Anfal : 64). Hal ini berkaitan dengan peristiwa

historic ketika ayat diturunkan jumlah umat Islam baru

mencapai 40 orang.

g) Ulama’ lain menentukan sebanyak 70 orang, sesuai dengan

firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 155).

لميقاتنا Cرجًال سبعين قومه موسى واختار

( 155االعراف) :

“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya

untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah

Kami tentukan”. (QS. Al-Anfal (7) : 155).

Penentuan jumlah perawi seperti dikemukakan di atas,

sebetulnya bukan hal yang prinsip pokok yang dijadikan ukuran

sekalipun jumlah perawinya tidak banyak asalkan telah

memberikan keyakinan bahwa berita yang disampaikan diyakini

benar, sudah dapat dikategorikan sebagai hadits mutawatir.13

2) Seimbang jumlah perawi

Dalam hal ini adanya keseimbangan jumlah perawi sejak

pada thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun berikutnya.

Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa keseimbangan

jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting, sebab

13 M. Noor Sulaiman PI. Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), p. 87

6

Page 7: HADIS MUTAWATIR AHAD

yang diinginkan dengan banyak perawi adalah terhindarnya dari

berbohong.14

3) Berdasarkan tanggapan panca indera

Hadits yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan

tanggapan panca indera artinya harus benar-benar dari hasil

pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil renungan,

pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil

instimbath dari dalil lain.

Macam-macam Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi atas:

1) Hadits Mutawatir lafdzi

Mutawatir lafdzi yaitu : لفظ على روايته تواترات ما

Iواحد

“Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam suatu lafdzi”.15

Muhadditsin memberi pengertian hadits mutawatir lafdzi

yaitu:

حكما ولو فيه واة الر� الفاظ اتفقن ما

“Suatu (hadits) yang sama mufakat bunyi lafadz menurut para

rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya”.

Pengertian lainnya yaitu:

Iجمع عن جمع بلفظه مارواه لفظه تواتر هو

“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafadznya oleh sejumlah

rawi dari sejumlah rawi”.16

Dengan demikian hadits mutawatir lafdzi yaitu periwayatan

hadits oleh banyak rawi dalam satu lafal yang sama. Berat dan

ketatnya kriteria hadits mutawatir lafdzi seperti di atas,

menjadikan jumlah ini sangat sedikit. Hal ini menurut Ibnu Al

Shalah dan Al-Nawawi. Sedangkan menurut Ibnu Hibban dan Al-

Aazimi hadits mutawatir lafdzi tidak ada.17

Contoh hadits mutawatir lafdzi:

14 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 10015 Ibid., p. 10116 Nur Kholis, Pengantar Studi …, p. 272-27317 Munzier Suparta, Ilmu…, p. 101

7

Page 8: HADIS MUTAWATIR AHAD

أ فليتبو� علّي� كذب من وسلم عليه الله صلى الله رسول قال

النار من مقعده

“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang sengaja berdusta

atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat

duduk di neraka”.

Menurut Al-Bazzar, hadits di atas diriwayatkan oleh 40

orang sahabat. Sedangkan menurut Al-Nawawi hadits tersebut

diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2) Hadits Mutawatir ma’nawi

Yaitu :

كلّي� لمعنى رجوعه مع ومعناه لفظه فى مااختلفوا

“Hadits yang berlainan bunyi lafadz dan maknanya, tetapi dapat

diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum”.

Atau:

اللفط . فى مّطابقة غير من معناه على فتكتبه اتفقت ما

“Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa

menghiraukan perbedaan pada lafadz”.

Dengan demikian, hadits mutawatir ma’nawi yaitu hadits

yang berasal dari berbagai periwayatan dengan lafadz yang

berbeda-beda, tetapi mempunyai makna umum yang sama.

Contoh:

فى يديه يرفع ال وسلم عليه الله صلى النبّي كان

يرفع وانه االستسقاء فى إال دعائه من شيئ

.) عليه ) متفق بياضابّطيه يرى حتى

“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam

doa’-do’anya selain dalam do’a salat istisqo’ dan beliau

mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua

ketiaknya”.

Hadits yang semakna dengan hadits di atas tidak kurang dari

30 redaksi yang berbeda. Antara lain hadits yang ditakhrij oleh

Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:

8

Page 9: HADIS MUTAWATIR AHAD

فمد سحابة السماء فى نرى وما يديه فرفع قال

عّز� الله بستسقّي إبّطيه بياض رأيت حتى يديه

وجل�

فاستسق ابّطيه بياض رأيت حتى يديه فرفع قال

. فاستسقى يديه رفع ولقد

3) Hadits Mutawatir Amali

Yaitu :

المسلمين بين وتواتر بالضرورة الذين من علم ما

او به امر او فعله وسلم عليه الله صلى النبّي ان�

ذلك . غير

“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal tersebut berasal

dari agama dan telah mutawatir diantara kaum muslimin bahwa

Nabi SAW melakukannya atau memrintahkannya untuk

melakukannya atau serupa dengan itu”.

Jadi hadits mutawatir amali disebut juga ta’rif ijma’ yaitu

urusan agama yang telah mutawatir antara umat Islam bahwa Nabi

SAW mengerjakannya; menyuruhnya atau selain dari itu.18

Contoh hadits mutawatir amali banyak jumlahnya seperti

hadits yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat

janazah, shalad i’ed, haji, kadar zakat dan lain-lain.

Hadits mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari

Rasulullah SAW dan dapat dipastikan keshahihan pada matannya

karena persyaratan pada hadits mutawatir begitu ketat dan

mustahil perawinya berdusta. Dan sebagian ulama’ sepakat

menjadikan hadits mutawatir sebagai hujjah.

b. Hadits Ahad

Kata ahad bentuk jamak dari wahid, yang berarti satuan.

Sedang menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan perorangan,

dua orang atau lebih tetapi belum mencapai syarat untuk dimasukkan

ke dalam hadits mutawatir.19 Sedang menurut istilah hadits ahad yaitu: 18 Ibid., p. 10619 Noor Sulaiman. PL. Antologi.., p. 90

9

Page 10: HADIS MUTAWATIR AHAD

التواتر شروط فيه يجتمع ماال

“Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat

mutawatir”.

سواء المتواتر الخبر مبلغ الكثرة فى نقلته تبلغ مالم

خمسة أو Cأربعة او ثًالثا أو اثنين أو واحدا المخبر كان

الخبر بلن تشعر ال التى األعداد من ذلك غير إلى أو

المتواتر خبر فى بها دخل

“Suatu hadits yang jumlah pemberitanya tidak mencapai jumlah

pemberita hadits mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang,

tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah

tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke

dalam hadits mutawatir”.

Macam-macam Hadits Ahad

Dilihat dari jumlah rawi, hadits ahad terbagi dalam 3 bagian

yaitu hadits masyhur (hadits mustafid), hadits aziz, dan hadits gharib.

Ulama’ ahli hadits membanginya menjadi dua yaitu hadits masyhur

dan ghairu masyhur. Dimana hadits ghairu masyhur terbagi atas

hadits aziz dan ghairu aziz.20

1) Hadits masyhur (hadits mustafid)

Menurut bahasa masyhur berarti sesuatu yang sudah

tersebar atau populer, sedangkanmenurut istilah antara lain:

ثم� التواتر حتى اليبلغ عدد الصحابة من مارواه

. بعده ومن حابة الص� بعد تواتر

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak

sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir

setelah sahabat dan orang setelah mereka”.21

Pendapat lain mengatakan:

20 Ibid., p. 9021 M. Noor Sulaiman PL. Antologi…, p. 91

10

Page 11: HADIS MUTAWATIR AHAD

هو المستفيض اوالحديث المشهور الحديث

درجة يصل ولم فاكثر الثًالثة رواه الذى الحديث

التواتر .

“Hadits masyhur (hadits mustafid) adalah hadits yang

diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dan belum mencapai

derajat mutawatir”.22

Hadits masyhur dapat digolongkan menjadi:

a) Masyhur di kalangan ahli hadits:

Contoh yaitu hadits yang menerangkan Rasulullah SAW

membaca do’a qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh

berdo’a atas golongan RII dan Dzakwan yang diriwayatkan

oleh Bukhari Muslim.

b) Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama’ lain, misalnya:

ويده لسانه من المسلمون سلم من المسلم

“Orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang Islam

lainnya dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari Muslim).

c) Masyhur di kalangan fuqoha’ seperti :

الّطًالق الله الى ابغضالحًالل

“Sesuatu yang halal dan dibenci Allah adalah thalaq”.

بيع عن وسلم عليه الله صلى الله رسول نهى

الغرر

“Rasulullah SAW melarang jual beli yang di dalamnya

terdapat tipu daya”.

d) Masyhur di kalangan ushul fiqh seperti :

جّزان فله فأصاب اجتهد ثم الحاكم حكم إذا

اجر9 . فله أخّطأ ثم� فاجتهد حكم وإذا

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara,

kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia

memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala

22 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 94

11

Page 12: HADIS MUTAWATIR AHAD

kebenaran) dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia

memperoleh satu pahala (pahala ijtihad)”.

e) Masyhur di kalangan ahli sufi, seperti:

فخلقت أعرف أن فأجنبت Cمخفيا كنّزا كنت

بىعرفونى فى الخلق

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian

aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui aku

mereka pun mengenalku”.

f) Masyhur di kalangan umum, seperti:

الشيّطان من العجل

“tergesa-gesa adalah perbuatan syetan”

g) Masyhur di kalangan ulama Arab seperti ungkapan “Kami

orang Arab yang paling fasih mengucapkan dad (ض ), sebab

kami dari golongan orang-orang Quraish”.

Dan masih banyak lagi hadits yang kemasyhurannya hanya

di kalangan tertentu sesuai dengan disiplin ilmu dengan bidangnya

masing-masing. Namun demikian tidak semua hadits masyhur

shahih, karena keshahihan tidak dilihat dari masyhurnya tetapi dari

kualitas sanad dan matan.

a) Hadits masyhur sahih seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu

Umar:

فليغتسل الجمعة جاءكم اذا

“Barangsiapa yang hendak pergi melaksanakan shalat

Jum’at, hendaklah ia mandi”.

b) Hadits masyhur yang berstatus hasan:

ضرار وال ضرر ال

“Tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya

yang setimpal.23

c) Hadits masyhur yang berstatus dhaif:

Iومسلمة Iمسلم كل� على فريضة العلم طلب

23 Nurkholis, Pengantar Studi…, p. 91

12

Page 13: HADIS MUTAWATIR AHAD

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan

perempuan”.

Hadits ini didhaifkan oleh Ahmad Al-Baihaqi dan lain-lain.24

2) Hadits ghairu masyhur

Hadits ghairu masyhur oleh ulama’ hadits digolongkan

menjadi hadits ‘aziz dan hadits gharib.

Hadits Aziz

Aziz menurut bahasa berasal dari kata ‘azza-ya’izzu yang

berarti layakadu yujadu atau qalla wa nadir (sedikit atau jarang

adanya). Sedangkan menurut istilah, antara lain didefinisikan

sebagai berikut:

من أكثر أو رواته طبقات من طبقة فى ماجاء

اثنان طبقة

“Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam

semua tabaqat sanad”.

ولو اثنان رواه الذى الحديث هو العّزيّز الحديث

جماعة9 . ذلك بعد روه ثم� Iواحدة فىطبقة كان

“Hadits Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang

rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah

itu diriwayatkan oleh banyak rawi”.25

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu hadits

dapat dikatakan hadits ‘aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua

orang pada setiap tingkatnya tetapi selagi ada tingkatan yang

diriwayatkan oleh dua orang rawi maka tetap dapat dikategorikan

sebagai hadits aziz.

Contoh hadits aziz:

ولده من اليه أحبى أكون حتى أحدكم اليؤمن

والناسأجمعين وولده

24 Hasbi, Ash-Shiddieqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), p. 71

25 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul…, p. 95

13

Page 14: HADIS MUTAWATIR AHAD

“Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih

dicintainya daripada dirinya, orang tuanya, dan semua manusia”.

(HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits Gharib

Hadits gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid”

menyendiri. Dalam tradiri hadits, hadits gharib adalah hadits yang

diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam

meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu namanya maupun

selainnya.26 Sedangkan menurut Ibn Hajar yang dimaksud dengan

hadits gharib yaitu:

وقع موضع اّي� فى واحد شخض بروايته د تفر� ما

السند . به د التفر�

“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri

dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad

itu terjadi”.

Dilihat dari bentuk penyendirian perawi terbagi atas gharib

mutlak dan gharib nisbi.

a) Gharib mutlak yaitu apabila penyendirian itu mengenai

personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat

dalam satu thabaqat.

Contoh hadits gharib mutlak yaitu:

يودهب وال اليباع النسبى كلحمة لحمة الوالء

“Kekerabatan dengan jalan kemerdekaan, sama dengan

kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh

dihibahkan”.

b) Gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai

sifat atau keadaan tertentu dari sang perawi.

Contoh hadits gharib nisbi:

26 M. Noor Sulaiman PL. Ulumul…, p. 95

14

Page 15: HADIS MUTAWATIR AHAD

فى وسلم عليه الله صلى الله رسول به يقرأ كان

واقتربت المجيد والقران والفّطربق األضحى

.) مسلم ) رواه القمر وانشق� الساعة

“Konon Rasulullah pada hari raya qurban dan hari raya

fitrah membaca surat qof dan surat Al-Qomar”. (HR. Muslim)

Kedudukan Hadits Ahad

Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad

yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu

Hanifah, Imam Al-Syafi’i dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila

syarat-syarat periwayatannya shahih terpenuhi, hanya saja Abu

Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya serta

amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.

Karena hadits ahad diduga (zanni) berasal dari Rasulullah

SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber ajaran Islam,

berada di bawah kedudukan hadits mutawatir.

Perbedaan hadits mutawatir dengan hadits ahad:

Hadits Mutawatir Hadits Ahad

Jumlah rawi Diriwayatkan oleh banyak para perawi yang mustahil sepakat untuk berdusta.

Diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih mungkin sepakat untuk berdusta

Pengetahuan Menghasilkan ilmu qath’i (pasti) dan ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa benar-benar berasal dari Rasulullah dan diyakini kebenarannya.

Menghasilkan ilmu bersifat dzanni (bersifat dugaan) bahwa hadits berasal dari Rasulullah sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.

Kedudukan Lebih tinggi dari hadits ahad dalam kedudukan sebagai sumber ajaran Islam

Lebih rendah dari hadits mutawatir

Kebenaran Pada hadits mutawatir dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadits mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur'an

Tidak mustahil bertentangan dengan Al-Qur'an karena ada kemungkinan hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah.

B. Matan

15

Page 16: HADIS MUTAWATIR AHAD

1. Pengertian Matan Hadits

Matan menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi artinya

tanah yang meninggi.27 Yang lain mengartikan sebagai membelah,

mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan

yaitu:

الذّي الحديث نفس فهو الكًالم من ند لس� إليه انتهى ما

له . االسناد ذكر

“Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang

disebut sesudah hadits disebut sanadnya”.28

الكًالم من السند إليه ينتهى ما

“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”.

معانيه . بها تتقوم التى الحديث الفاظ

“Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna

tertentu”.

Dengan demikian yang dimaksud dengan matan ialah materi atau

lafadz hadits itu sendiri.

Contoh:

صلى النبّي ان هريرة ابى عن سلمة ابى عن محمد عن

قال : وسلم عليه ألمرتهم الله أمتّي على اشق� ان ال لو

Iصًالة كل� عند (بالسواك والترمذى . ) البخارى رواه

Maka yang disebut dengan matan adalah yang bergaris bawah.

2. Kesahihan Matan Hadits

Dalam Noor Kholis disebutkan bahwa unsur yang harus dipenuhi

oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam yakni terhindar

dari syudzuz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Sedangkan menurut Al-

Khatib Al Baghdadiy, suatu matan barulah dinyatakan sebagai shahih

yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

b. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang telah muhkam

(ketentuan hukum yang tetap).

27 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 4628 Muhammad Ahmad dan Mudzakir…, p. 52

16

Page 17: HADIS MUTAWATIR AHAD

c. Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.

d. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan

ulama masa lalu (salaf).

e. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

f. Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya

lebih kuat.29

3. Pembagian Hadits Dilihat dari Kualitas Matan

a. Hadits Shahih

Beberapa pengertian tentang hadits shahih ini adalah sebagai

berikut:

Pengertian hadits shahih menurut Ibnu As-Shalah yang dikutip

oleh Munzier adalah:

يت�صل الذى المسند الحديث هو الصحيح الحديث

إلى الضابط العدل عن الضابط العدل بنقل اسناده

. C معـل�ًال وال شاذا يكون وال منتهاه

“Hadits shahih yaitu hadits musnad yang bersambung sanadnya

dengan periwayatan ileh orang yang adil dhabith dari orang yang

adil lagi dhabith juga hingga akhir sanad, serta tidak ada

kejanggalan dan cacat”.30

Hal senada juga diungkapkan oleh Muhadditsiin sebagai berikut:

وال معـل�ل غير السند متصل الضبط تام عدل9 نقله ما

. Iشاذ

“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna

ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak

janggal”.31

Al-Suyuthi juga mendefinisikannya secara ringkas sebagaimana

dikutip oleh Munzier berikut:

وال شذوذ غير من ابّطين الض� بالعدول سنده ات�صل ما

. Iعل�ة

29 Nurkholis, Pengantar Studi…, p. 263 30 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 12931 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1985), p. 95

17

Page 18: HADIS MUTAWATIR AHAD

“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang

adil lagi dhabith, tidak syaz dan tidak ber’illat”.32

Jadi, secra umum yang dimaksud dengan hadits shahih adalah

hadits yang sanadnya muttasil, diriwayatkan oleh perawi yang adil,

kuat ingatannya, tidak ada kejanggalan yang menyimpang dari ayat,

serta tidak cacat.

Syarat-syarat Hadits Sahih

Sebuah hadits bisa dikatakan shahih jika memenuhi syarat-

syarat tertentu. Syarat-syarat hadits shahih adalah sebagai berikut:

1) Sanadnya Bersambung

Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Suhudi Ismail

dari Muhammad Al-Shabbagh disebutkan bahwa “yang dimaksud

dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad

hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat

sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir

sanad dari hadits itu”.33

Jadi sanad dalam hadits shahih itu harus berkesinambungan

sejak awal sampai akhir, dalam artian bahwa rangkaian para

perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi

pertama (para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi

Muhammad SAW bersambung dalam periwayatannya.

2) Periwayatannya yang Adil

Keadilan perawi di sini berarti :

a) Selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjauhi

perbuatan maksiat.

b) Menjauhi dosa kecil yang dapat merendahkan martabat

dirinya.

c) Tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan penyesalan.34

Faktor-faktor keadilan yang lain adalah sebagai berikut:

32 Ibid., p. 12933 Muhammad Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,

1987), p. 12734 Muhammad Ahmad dan Muhammad Mudzakir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), p

103

18

Page 19: HADIS MUTAWATIR AHAD

1) Beragama Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah :

الشهداء من ترضون مم�ن

…dari saksi-saksi yang Engkauridhoi. (QS. Al-Baqarah: 282).

Sementara orang yang tidak beragama Islam pasti tidak

mendapatkan keridhaan seperti itu.

2) Baligh. Hal ini merupakan suatu paradigma akan kesanggupan

memikul tanggung jawab mengemban kewajiban dan

meninggalkan hal-hal yang dilarang.

3) Berakal sehat. Sifat ini harus dimiliki oleh seorang periwayat

agar dapat berlaku jujur dan berbicara tepat.

4) Takwa, yaitu menjauhi dosa-dosa besar dan tidak

membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.35

Jadi orang yang bukan Islam, masih kecil, gila maupun orang

fasik tidak dapat diterima riwayatnya. Karena keempat hal tersebut

merusak sifat ‘adil seorang periwayat hadits.

Sifat-sifat adil perawi dapat diketahui melalui:

1) Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama’ ahli hadits,

perawinya yang terkenal dengan keutamaan pribadinya.

2) Penilaian dari para kritikus perawi hadits tentang kelebihan

dan kekurangan yang ada pada diri perawinya yang dimaksud.

3) Penerapan kaidah Al-Jarh wa al-ta’dil, bila tidak ada

kesepakatan di antara para kritikus perawi hadits mengenai

kualitas pribadi para perawi tertentu.36

3) Periwayatannya yang Dhabith

Sebagaimana yang dikutip oleh Munzier Suparta, menurut

Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Perawi yang dhabith adalah mereka

yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya.

Kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja

diperlukan”.37

35 Nuruddin, Ulumul Hadits I (Terjemahan dari Manhaj An-Naqd Fi ‘Ulumul Al Hadits), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), p. 64-65

36 Suparta, Ilmu…, p. 13137 Suparta, Ilmu…, p. 132

19

Page 20: HADIS MUTAWATIR AHAD

Menurut Muhammad Abu Zahra dalam kutipan Muhammad

Suhudi Islmail, “orang dhabit ialah orang yang mendengarkan

pembicaraan sebagaimana seharusnya dia memahami arti

pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan

sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna

sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang

lain dengan baik”.38

Jadi secara umum perawi yang dhabit itu memiliki

kemampuan untuk:

a) Mengingat dengan baik

b) Mendengarkan riwayat yang didengarnya

c) Memahami riwayat yang didengarnya

d) Menghafal riwayat yang telah diterimanya

e) Menyampaikan riwayat yang diterimanya dengan baik.

Namun demikian ada sebagian ulama’ yang menganggap

bahwa orang yang memiliki kemampuan menghafal dengan baik,

tetapi tidak memiliki kecerdasan dalam memahami riwayat yang ia

dengar termasuk orang yang dhabith. Dan tentunya tingkatan

periwayat seperti ini berada setelah ( di bawah) periwayat yang

memiliki kemampuan untuk mendengar, memahami, mengingat,

menghafal dan menyampaikan riwayatnya dengan baik.

Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama’

dapat diketahui melalui:39

1) Kesaksian para ulama

2) Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang

lain yang telah dikenal kedhabithannya.

Kedhabitan seorang perawi tidak berarti ia terhindar sama

sekali dari kekeliruan. Mungkin saja kekeliruan atau keslahan itu

sesekali terjadi pada seorang perawi. Yang demikian itu tidak

dianggap sebagai orang yang kurang ingatannya.40

38 Ismail, Kaedah…,p13539 Suparta, Ilmu…, p. 132-13340 Ibid.,

20

Page 21: HADIS MUTAWATIR AHAD

4) Tidak Adanya ‘Illat Hadits

‘Illat bisa kita artikan cela, cacat atau penyakit. ‘Illat hadits

ialah suatu penyakit yang samara-samar, yang dapat menodai

kesahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara

muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang

sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits yang

munqathi’ (yang gugur salah sorang rawinya) dan sebaliknya.

Demikian juga dapat dianggap suatu illat hadits, yaitu suatu sisian

yang terdapat pada matan hadits.41

‘Illat hadits itu bisa terjadi pada sanad maupun matannya,

atau bahkan pada keduanya secara bersama-sama. Namun

kebanyakan yang terjadi adalah ‘illat pada sanadnya. Jadi, suatu

hadits dikatakan shahih jika terbebas dari cacat baik cacat dalam

sanad maupun matannya.

Menurut Al-Hakim Al-Naysabury sebagaimana yang dikutip

oleh Muhammad Syuhudi Ismail, ia berpendapat bahwa, “acuan

utama penelitian ‘illat hadits ialah hafalan, pemahaman dan

pengetahuan yang luas tentang hadits”.

Penelitian tentang ‘illat suatu hadits sangat memerlukan

kejelian dan ketelitian. Sehingga orang yang meneliti ‘illat suatu

hadits pun harus benar-benar orang-orang yang memiliki

kemampuan yang lebih.

5) Tidak ada Kejanggalan/Kerancuan (Syadz)

Kerancuan (syadz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi

berbeda denganrawi lain yang lebih kuat posisinya.42 Lebih kuat di

sini dilihat dari segi kekuatan ingatannya, jumlah yang lebih

banyak, dan lain sebagainya.

Menurut As-Syafi’i sebagaimana yang diungkapkan oleh

Munzier, yang dimaksud dengan syadz atau syuduz (jamak dari

syadz) di sini adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain

yang lebih kuat atau lebih tsiqqah.

41 Rachman, Ikhtisar… p 10042 Ahmad dan Mudzakir,

21

Page 22: HADIS MUTAWATIR AHAD

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadits yang tidak

syadz adalah hadits yang matannya tidak bertentangan dengan

hadits lain yang lebih kuat.

Klasifikasi Hadits Shahih

Hadits shahih itu dibagi menjadi 2 macam yaitu:

a. Shahih Lidzatihi

Menurut Ibnu As-Shalah yang diungkapkan oleh Munzier

menyebutkan bahwa shahih lidzatihi yaitu hadits yang memenuhi

syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu

syarat-syarat yang lima.

Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:

عن Iنافع عن مالك اخبرنا يوسف بن الله عبد حدثنا

وسلم عليه الله صلى الله رسول أن الله عبد

: الثالث دون اثنان يتناجى فًال ثًالثة كانوا اذا قال

) البخارى) رواه

Artinya:

“Bukhari berkata: Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada

kami bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila mereka bertiga,

janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”.

b. Shahih Lighairihi

Hasbi Ash Shiddieqy menunjukkan pengertian hadits shahih

lighairihi sebagai berikut:

الضابط الحافظ درجة عن متأخرا رواته كان ما هو

حسنا حديثه يكون حت�ى بالصدق مشهورا كونه مع

ارجع او لّطريقة مساو اخر طريق من فيه وجد ثم

فيه . الواقع القصور ذلك يخبر ما

“Hadits yang keadaan rawy-rawynya kurang hafidz dan dhabith,

tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya

berderajat hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang

22

Page 23: HADIS MUTAWATIR AHAD

serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan

yang menimpanya itu”.43

Jadi, hadits shahih lighairihi ini adalah hadits yang tidak

memenuhi sifat-sifat hadits maqbul/shahih secara sempurna, yang

pada awalnya bukan hadits shahih, namun akhirnya naik

derajatnya menjadi hadits shahih karena ada faktor pendukung

yang dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.

Contohnya adalah hadits shahih lighairihi yang diriwayatkan

oleh Bukhari yang dicontohkan oleh Abu Muhammad

sebagaimana yang ditulis oleh Munzeir berikut ini:

ألمرتهم الناسى على او أمتّي على اشق� ان ال لو

) البخارى . ) رواه Iصًالة كل� مع بالسواك

Artinya:

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan

kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan

shalat”. (HR. Bukhari).44

Berhujjah dengan Hadits Shahih

Mengenai penggunaan hadits shahih sebagai hujjah ini para

ulama memiliki pendapat yang berbeda. Sebagian ulama’ sepakat

menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib diamalkan dalam

masalah halal-haramnya sesuatu, tapi tidak dalam hal aqidah. Namun

ada sebagian pendapat yang menjadikan hadits shahih sebagai hujjah

dalam persoalan aqidah.45

b. Hadits Hasan

1. Pengertian Hadits Hasan

Mengenai arti hadits hasan ini ada beberapa pendapat yang

mengungkapkannya. Pendapat para ulama mengenai pengertian

hadits hasan adalah:

وال معلل غير ند الس� مت�صل الضبط قليل عدل مانقله

شاذ.43 Rachman, Ikhtisar…, p. 10144 Suparta, Ilmu…, p. 13545 Muhammad Ahmad dan Mudzakir, Ulumul.. p. 108

23

Page 24: HADIS MUTAWATIR AHAD

“Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokok

ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat

‘illat serta kejanggalan pada matannya”.46

Sementara itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan

sebagai berikut:

السند متصل الضبط تام عدل بنقل األحد وخبره

قل� فإن لذاته الصحيح هو شاد وال معلل غير

لذاته . فالحسن الضبط

“Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil,

sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa

ber’illah dan syadz; namun bila kekuatan ingatannya kurang

kokoh (sempurna) disebut hasan”.47

Jadi yang dimaksud dengan hadits hasan adalah suatu hadits

yang sanadnya bersambung, tidak ada cacat dan kejanggalan,

perawinya adil dan dhabith, namun tingkat ke-dhabithannya masih

kurang sempurna. Sehingga, hadits hasan ini hampir saja mirip

dengan hadits shahih. Yang membedakan adalah kalau hadits

shahih itu tingkat kedhabitan perawinya itu sempurna, sedangkan

dalam hadits hasan, tingkat kedhabitannya masih kurang

sempurna.

2. Syarat-syarat Hadits Hasan

Secara rinci, syarat-syarat hadits hasan sebagai berikut:

a. Sanadnya bersambung

b. Perawinya adil

c. Perawinya dhabith, tetapi kualitas ke-dhabitannya di bawah

ke-dhabitan perawi hadits shahih.

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syudz, dan

e. Tidak ber’illat.48

46 M. Noor Saliman, PI. Antologi…, p. 10347 Munzeir Suparta, Ilmu Hadits..,p. 14448 Suparta, Ilmu…, p. 145

24

Page 25: HADIS MUTAWATIR AHAD

Sebenarnya syarat-syarat tersebut sama dengan syarat-syarat

hadits hasan, hanya saja tingkat ke-dhabitan perawinya kurang

sempurna. Jadi, yang membedakan syarat-syarat hadits hasan

dengan hadits shahih adalah tingkat kecerdasan dan kekuatan

hafalannya saja. Sedangkan pada hadits shahih tingkat kecerdasan

para perawinya sempurna.

Istilah hadits hasan ini dimunculkan dan dipopulerkan oleh

Imam Turmudzi. Penyebab dimunculkannya istilah hadits hasan

ini adalah karena hadits seperti itu seakan-akan dha’if, tapi tidak

pas jika digolongkan ke dalam hadits dha’if karena hampir semua

persyaratan shahih hampir terpenuhi. Tapi juga seakan-akan mirip

shahih, tapi persyaratan shahihnya kurang terpenuhi sehingga

tidak pas jika digolongkan ke dalam hadits shahih. Akhirnya

digolongkan hadits itu ke ruang lingkup antara shahih dan dha’if

yaitu yang dinamai dengan hadits hasan.

3. Klasifikasi Hadits Hasan

Sebagaimana hadits shahih, hadits hasan juga dibagi menjadi

dua bagian:

a. Hasan Li-Dzatihi

Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terwujud

karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para perawinya

memenuhi syarat-syarat hadits shahih, kecuali keadaan rawi

(rawinya kurang dhabith).49

Contoh hadits hasan lidzatihi :

أبى عن سلمة أبى عن عمرو محمدبن عن

وسلم عليه الله صلى الله رسول ان هريرة

: المرتهم امتى على اشق ان لوال قال

كلصًالة . مع بالسواك

“Dari Muhammad Ibn ‘Amar dari Abu Salamah dari Abu

Hurairah, bahwa Rasulullah SAW berkata, “Sekiranya tidak

49 Ahmad dan Mudzakir, p. 115

25

Page 26: HADIS MUTAWATIR AHAD

merepotkan kepada umatku. Niscaya aku perintah mereka

bersiwak (gosok gigi) untuk setiap kali hendak shalat”.50

b. Hasan Lighairihi

Hadits hasan lighairihi adalah :

اهليته تتحقق لم مستور إسناده يخلو ماال

سبب منه ظهر وال الخّطاء كثير ًال مغف� وليس

برواية معروفا الحديث متن ويكون مفسق

اخر . وجه من نحوه أو مثله

“Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur tidak

nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak

nampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan

haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal

dan semakna dari sesuatu segi yang lain”.51

Maksud pengertian tersebut adalah bahwa hadits hasan

lighairihi merupakan hadits dho’if yang dikarenakan rawinya

mastur (tidak diketahui keahliannya), namun dia bukan

seorang pelupa yang banyak melakukan kesalahan dalam

periwayatannya dan juga bukan orang yang dituduh berbuat

dusta dan fasik yang kemudian hadits tersebut naik derajatnya

(ke tingkat hasan) karena dibantu oleh hadits-hadits lain yang

semisal dan semakna (muttabi’ dan syahid).

Hadits gha’if yang bisa naik ke hadits hasan ini hanyalah

hadits yang tidak terlalu lemah dan diperkluat riwayat-riwayat

lain yang dapat mengangkatnya. Jika hadits-hadits tersebut

sangat lemah, maka tidak bisa naik ke derajat hasan.

Contoh:

فأجاز . نعم قالت ؟ بنعلين لك وما نفسك ارضيتمن

“Apakah engkau rela menyerahkan dirimu dan hartamu

dengan hanya sepasang sepatu? Perempuan tersebut

menjawab: Ya, maka Nabi SAW pun memperbolehkannya”.

50 Munzier Suparta, Ilmu Hadits…, p. 14651 Rachman, Ikhtisar…, p. 111

26

Page 27: HADIS MUTAWATIR AHAD

4. Penggunaan Hadits Hasan Sebagai Hujjah

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan

(hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi) seperti hadits shahih

meskipun derajatnya tidak sama. Namun ada juga sebagian ulama’

yang mengatakan bahwa hadits hasan yang bisa dijadikan hujjah

adalah hadits hasan lidzatihi. Sedangkan untuk hadits hasan

lighairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat ditutupi oleh

banyaknya riwayat lain, maka ia bisa dijadikan hujjah.

c. Hadits Dhaif

1. Pengertian Hadits Dhaif

Dhaif artinya adalah lemah, lawan dari kuat. Jadi hadits

dhaif adalah hadits yang lemah. Adapun secara istilah, para ulama’

banyak yang mendefinisikannya dengan berbagai macam

pengertian tetapi maknanya/kandungannya sama.

شروط من اكثر او شرطا فقد ما هو الضعيف الحديث

القبول

“Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menemui satu syarat atau

lebih dari syarat-syarat diterimanya suatu hadits”.52

Definisi Al-Nawawi yang dikutip oleh Munzeir

menyebutkan bahwa hadits dha’if adalah:

الحسن شروط وال الصححة شروط فيه يوجد مالم

“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits

shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.

Atau :

وال الصحيح صفات فيه يجتمع مالم الصحيح الحديث

الحسن . صفات

“Hadits shahih yang di dalamnya tidak ada sifat shahih dan sifat

hasan”53

Senada dengan pengertian itu disebutkan bahwa hadits dhaif:

الحسن . او الصحيح منشروط اكثر او شرطا فقد ما

52 M. Noor Sulaiman PI, Antologi…, p. 10553 Munzier Suparta, Ilmu…, p. 151-152

27

Page 28: HADIS MUTAWATIR AHAD

“Ialah hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari

syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.

Jadi secara umum, pengertian hadits dhaif adalah hadits

yang tidak memenuhi persyaratan diterimanya suatu hadits sebagai

hadits shahih atau hasan”.

2. Sebab-sebab Hadits Dha’if Tertolak

Kalau dalam membahas hadits maqbul (shahih dan hasan)

yang kita ungkapkan di antaranya adalah persyaratan suatu hadits

dikatakab shahih dan hasan, sedangkan ketika kita membahas

hadits mardud (dhaif) maka bahasa yang tepat bukanlah

“persyaratan” tetapi “sebab-sebab ditolaknya suatu hadits”.

Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya

hadits ini bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:54

a. Sanad Hadits

Dari sisi sanad hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:

1) Ada kecacatan pada para perawinya baik meliputi

keadilannya maupun kedhabithannya yang diuraikan

dalam 10 macam:

a) Dusta. Hadits yang rawinya dusta disebut maudhu’

b) Tertuduh dusta. Hadits yang rawinya tertuduh dusta

disebut matruk.

c) Fasiq

d) Banyak salah

e) Lengah dalam menghafal, maka haditsnya menjadi

disebut hadits munkar.

f) Banyak wahamnya, haditsnya disebut hadits mu’allal.

g) Menyalahi riwayat yang lebih siqoh atau dipercaya.

Haditsnya disebut mudraj bila ada penambahan

sisipan, bila diputar balikan disebut maqlub disebut

mudhtharib bila perawinya tertukar-tukar dan disebut

muharraf bila yang tertukar adalah huruf syakal dan

54 Munzeir Suparta, Ilmu…, p. 151-152

28

Page 29: HADIS MUTAWATIR AHAD

disebut mushahhaf bila perubahan itu meliputi titik

kata.

h) Tidak diketahui identitasnya disebut mubham.

i) Penganut bid’ah

j) Tidak baik hafalannya, disebut syadz dan muktalith

2) Sanadnya tidak bersambung

a) Gugur pada sanad pertama disebut mu’allaq.

b) Gugur pada sanad terakhir (sahabat) disebut mursal.

c) Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan

haditsnya disebut mu’dszal.

d) Gugur rawi tidak berturut-turut disebut munqathi’.

b. Matan Hadits

1) Hadits mauquf yaitu perkataan sahabat, perbuatan atau

taqririnya tetapi sandarannya terhenti pada thabaqat

sahabat.

2) Hadits maqthu’ yaitu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in

dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun

perbuatan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Sanad hadits yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan hadits (perawi)

dari sumbernya yang pertama.

2. Dari kualitas sanad hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.

29

Page 30: HADIS MUTAWATIR AHAD

3. Hadits mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang

memenuhi syarat tertentu yang beriringan antara satu dengan yang lain dan

mustahil untuk bersepakat dan berdusta. Hadits ahad yaitu hadits yang jumlah

pemberitaannya tidak mencapai syarat mutawatir.

4. Matan hadits yaitu materi atau lafadz hadits.

5. Dari kualitas matan hadits terbagi atas hadits shahih, hasan dan dha’if.

6. Hadits shahih yaitu hadits yang sanadnya muttasil, diriwayatkan oleh perawi

yang adil, kuat ingtannya, tidak ada kejanggalan yang menyimpang dari ayat,

serta tidak cacat.

7. Hadits hasan yaitu suatu hadits yang sanadnya bersambung, tidak cacat dan

kejanggalan, perawinya adil dan dhabith namun tingkat kedhabitannya masih

kurang.

8. Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi persyaratan diterimanya suatu

hadits sebagai hadis shahih ataupun hasan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Mudzakir. 2004. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

Ashssiddieqi, Hasbi. 1987. Pokok-pokok Dirayat Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Bandung: Pustaka Hidayah.

30

Page 31: HADIS MUTAWATIR AHAD

Azami. 2000. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.

Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras

Rahman, Fathchur. 1985. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT. Al-Ma’arif

Suparta, Munzeir. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

31