hadist ahad dalam masalah aqidah

40
Hadits Ahad Akidah Azizi FathoniAsh-Shiddiqi PENGERTIAN HADITS AHAD PENGERTIAN AKIDAH hlm 14 Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsariy:

Upload: asep-bagja-nugraha

Post on 07-Aug-2015

107 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Hadist Ahad

TRANSCRIPT

Page 1: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Hadits Ahad

Akidah

Azizi FathoniAsh-Shiddiqi

PENGERTIAN HADITS AHAD

PENGERTIAN AKIDAH

hlm 14

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsariy:

Page 2: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

hlm 15

Asy-Syaikh Abu Bakar Al-Jazairiy:

Perkara Akidah menuntut pembenaran yang bersifat pasti ( 100% ), berdasarkan:

Al-Qur’an surat Yunus [10]: 36*

“dan kebanyakan mereka tidak

mengikuti kecuali persangkaan

saja. Sesungguhnya

persangkaan itu tidak

sedikitpun berguna untukmencapai kebenaran.

Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang mereka

kerjakan.”

* Juga An-Nisa [4]: 157, Al-An’am [6]: 116, 148, Yunus [10] 66, 68, An-Najm [53]: 23, 27-28

Al-Imam Al-Mufassir Abu Bakr Al-Qurthubiy Al-Maliki (w. 671 H):

“Ayat ini (Yunus 36) merupakan dalil bahwasannya zhann

(dugaan) tidak cukup untuk menjadi dasar dalam perkara-perkara

akidah.”

juz 10 hlm 502

Page 3: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

AKIDAH = KEYAKINAN 100% TIDAK MUNGKIN < 100%

Pembenaran yang bersifat pasti ( dengan menafikan secara

pasti adanya kemungkinan lain ) pembenaran 100%

Pembenaran yang bersifat tidak pasti ( tanpa menafikan

adanya kemungkinan lain ) pembenaran > 50% dan < 100%

Posisi antara membenarkan dan menafikan 50% - 50%

Pembenaran yang bersifat tidak pasti terhadap perkara yang

sebenarnya salah secara tidak pasti > 0% dan < 50%

Posisi tidak tahu sama sekali atau membenarkan secara pasti

sesuatu yang sebenarnya salah 0%

Al-Yaqîn, Al-’Ilm

( keyakinan )

Azh-Zhann

( dugaan )

Asy-Syakk

( keragu-raguan )

Al-Wahm

( fancy )

Al-Jahâlah

( ketidaktahuan )

DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD

BERFAIDAH ‘ILM ( YAKIN ) SECARA MUTLAK

Al-Imam Ibn Hazm (w. 456 H), dan menurut beliau: Abu

Sulaiman Dawud Azh-Zhahiriy, Husain bin Ali Al-Karabisiy,

Haris bin Asad Al-Muhasibiy

juz 1 hlm 119

hlm 66

Menurut Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): Al-Imam

Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam sebuah riwayat)

Page 4: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 7 hlm 359

Menurut Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalaniy (w. 852 H):

Muhammad bin Ali bin Ishaq bin Khuwayzamandad Al-Malikiy

DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT "HADITS AHAD TIDAK BERFAIDAH

‘ILM ( KEYAKINAN ) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH ( INDIKASI )"

Menurut Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syiyraziy (w. 476 H): Abu

Ishaq An-Nazhzham Al-Mu’taziliy (w. 231 H)

hlm 154

Al-Imam Abu Bakar Ar-Raziy Al-Jashshash Al-Hanafiy (w. 370

H)

juz 3 hlm 53

Page 5: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Al-’Allamah Ali bin Muhammad Al-Amidiy Asy-

Syafi’iy (w. 631 H)

juz 2 hlm 43

hlm 66

Al-Imam Qadhi-l-Qudhah Tajuddiyn Ibn As-Subkiy As-Syafi’iy

(w. 771 H)

juz 2 hlm 51

Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Imam Al-

Haramayn Al-Juwainiy (w. 478 H), Al-Ghazaliy (w. 505 H), Ibn As-Subkiy

(w. 771 H), Al-Amidiy (w. 631 H), Ibnu Al-Hajib (w. 646 H), dan Al-

Baidhawiy (w. 691 H).

Page 6: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD TIDAK

BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH (INDIKASI)

BERUPA “TALAQQIY AL-UMMAH BIL-QABÛL”

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy (w. 476 H)

(dalam pendapat barunya)

hlm 154

Menurut Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H): Al-Hafizh Abu Amr

Ibn Shalah Asy-Syahrazuriy (w. 643 H)

juz 1 hlm 40

Syaikhu-l-Islam Ibn Taimiyyah Al-Harraniy (w. 728 H) dan

menurut beliau: Al-Hanabilah

juz 2 hlm 73

Page 7: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Al-Hafizh Ibn Katsir Asy-Syafi’iy (w. 774 H)

juz 1 hlm 126

DI ANTARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD TIDAK

BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN) KECUALI JIKA DISERTAI QARÎNAH (INDIKASI)

BERUPA SIFAT “AL-MASYHÛR” ATAU “AL-MUSTAFÎDH”

hlm 66

Menurut Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): Al-Ustadz

Abu Ishaq Al-Isfirayiyniy (w. H) dan Ibnu Faurak Asy-

Syafi’iy (w. 406 H)

juz 2 hlm 52

Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Al-Imam

Abu Ishaq Al-Isfirayiyniy (w. H)

Page 8: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 2 hlm 53

Menurut Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthiy (w. 911 H): Al-Imam

Abu Manshur Abdul Qahir Al-Baghdadiy Al-Hambaliy (w. 429 H)

PARA ‘ULAMA YANG BERPENDAPAT BAHWA HADITS AHAD

BERFAIDAH ZHANN ( DUGAAN ) SECARA MUTLAK

Menurut Al-Imam As-Sarakhsiy Al-Hanafiy (w. 483 H): Al-Imam

Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (w. 150 H)

juz 3 hlm 79-80

juz 2 hlm 661

Menurut ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450

H): Mayoritas ‘Ulama

Page 9: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Fakhru-l-Islam Ali bin Muhammad Al-Bazdawiy Al-Hanafiy (w.

482 H)

hlm 158

juz 1 hlm 112

Al-Imam Abu Bakar As-Sarakhsiy Al-Hanafiy (w. 490 H)

Al-Imam Abul-Barakat An-Nasafiy Al-Hanafiy (w. 710 H)

juz 2 hlm 19

Page 10: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

hlm 272

Al-Imam Al-’Allamah Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970 H), dan

menurut beliau: Mayoritas ‘Ulama dan Seluruh Fuqaha’

Al-Imam ‘Alauddiyn Abd Al-‘Aziz Al-Bukhari Al-Hanafiy (w. 730

H)

juz 1 hlm 84

Menurut Al-Hafizh Al-’Iraqi (w. 806 H): Al-Qadhiy Abu Bakar

Al-Baqillaaniy Al-Malikiy (w. 403 H)

hlm 15

Page 11: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 1 hlm 7

Al-Hafizh Al-Muhaddits Ibn ‘Abdil-Barr Al-Malikiy (w. 463 H) dan

menurut beliau: Mayoritas Malikiyyah

hlm 234

Al-Hafizh Abu Al-Walid Al-Bajiy Al-Malikiy (w. 474 H) dan

menurut beliau: Seluruh Fuqaha’

hlm 115

Al-Qadhiy Abu Bakar Ibn Al-’Arabiy Al-Malikiy (w. 543 H)

Page 12: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Asy-Syaikh Muhammad Abdul ‘Azhim Az-Zurqani Al-Malikiy (w.

1367 H)

juz 2 hlm 188

juz 1 hlm 7

Menurut Al-Imam Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H): Al-Imam

Muhammad bin Idriys Asy-Syafi’iy (w. 204 H), mayoritas fuqaha’

dan ‘ulama

Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy Asy-Syafi’iy

(w. 463 H)

hlm 16

Page 13: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Asy-Syiyraziy Asy-Syafi’iy

(w. 476 H) (dalam pendapat lamanya)

hlm 298

juz 2 hlm 262

Al-Imam Abu Al-Muzhaffar As-Sam’aniy Asy-Syafi’iy (w. 489 H)

Al-Imam Muhammad Ar-Raziy Fakhruddiyn Asy-Syafi’iy (w. 604

H)

juz 1 hlm 200

Page 14: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 1 hlm 187

Al-Hafizh Abu Zakariyya An-Nawawiy Asy-Syafi’iy (w. 676 H)

dan menurut beliau: Mayoritas Sahabat, Tabi’iyn,

Muhadditsiyn, Fuqaha’, dan Ushuliyyiyn

juz 1 hlm 188

Al-Hafizh Al-Mujtahid Ibn Daqiq Al-’Iyd Asy-Syafi’iy (w. 702

H) dan menurut beliau: Mayoritas ‘Ulama

juz 1 hlm 183

Page 15: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Hafizh Al-Faqiyh Sirajuddin Ibn Al-Mulqin Asy-Syafi’iy (w.

804 H). Dan menurut beliau: Al-Hafizh An-Nawawi, Al-Imam Ibn

Burhan, dan Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdussalam

juz 1 hlm 76-77

Al-Imam Al-Hafizh Al-Muhaddits Abdurrahman bin Abi Bakr

Al-’Iraqi Asy-Syafi’iy (w. 806 H)

hlm 15

Al-Muhaddits Ahmad Ibn Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy (w.

974 H)

juz 1 hlm 60

Page 16: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

hlm 52

Menurut Al-Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisiy Al-Hambaliy (w.

620 H): Al-Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) (dalam salah

satu riwayat), Mayoritas ‘Ulama, dan Hanabilah

Mutaakhkhiriyn

Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambaliy

(w. 510 H)

juz 3 hlm 78

hlm 53

Menurut Sulaiman bin Abdil Qawiy Ath-Thufiy Al-Hambaliy (w.

716 H): yang paling menonjol dari dua riwayat pendapat Al-

Imam Ahmad bin Hambal dan Mayoritas ‘Ulama

Page 17: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Shafiyuddiyn Al-Baghdadiy Al-Hambaliy (w. 739 H),

dan menurut beliau: Al-Imam Ahmad dalam salah satu riwayat,

Mayoritas ‘Ulama dan Hanabilah Muta’akhkhiruwn

hlm 48

Menurut Al-Imam ‘Alauddiyn ‘Ali bin Sulaiman Al-Mardawiy

Al-Hambaliy (w. 885 H): yang sahih dari dua riwayat pendapat

Al-Imam Ahmad bin Hambal, Mayoritas Hanabilah dan

Mayoritas ‘Ulama.

hlm 1808

PENDAPAT TERKUAT

Pendapat Terkuat Pendapat Jumhur ‘Ulama dan Fuqaha:

HADITS AHAD BERFAIDAH ZHANN ( DUGAAN ) SECARA MUTLAK

Hadits Ahad berfaidah zhann ( dugaan ) tidak berfaidah ‘ilm ( keyakian ) karena

dia mengandung ihtimâl ( kemungkinan salah ). Sebab para perowi hadits bukan

orang yang ma’shûm ( dijamin terjaga dari kesalahan ), tidak sebagaimana para

nabi dan rasul. Mereka memungkinkan dusta, lupa, lalai, dsb. dalam

meriwayatkan. Hadits yang mengandung kemungkinan salah semacam ini –

sekecil apapun kemungkinan tersebut– tidak mungkin dapat menimbulkan

keyakinan. Maksimal, faidah yang dihasilkannya adalah ghalabatu-zh-zhann atau

azh-zhann al-ghâlib ( dugaan kuat ).

Page 18: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

hlm 66

Al-Imam Tajuddiyn Ibn As-Subkiy (w. 771 H): “Haidts Ahad

tidak berfaidah keyakinan kecuali jika disertai qariynah

(indikasi), Mayoritas ‘Ulama berpendapat dia tidak berfaidah

keyakinan secara mutlak, menurut Al-Imam Ahmad (dalam

salah satu riwayat) dia berfaidah keyakinan secara mutlak. …”

Al-Imam Jalaluddiyn As-Suyuthiy (w. 911 H): “Telah terjadi

perbedaan pendapat terkait faidah keyakinan pada Hadits Ahad

dalam beberapa pendapat: Pertama: Tidak berfaidah keyakinan

secara mutlak. Ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama, baik

dengan disertai qariynah maupun tidak. …”

juz 2 hlm 50-51

Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdullah bin Ibrahim Asy-Syinqithiy Al-Malikiy (w.

H): “[ … ] [ Hadits Ahad berfaidah dugaan dan lepas dari ikatan-ikatan

(syarat-syarat) yang ada pada Hadits Mutawatir ] [ dan Hadits Mustafidh

adalah di antaranya, minimal dia diriwayatkan oleh empat orang, menurut

sebagian mereka di atas ] [ satu (dua), dan menurut sebagian lain selanjutnya

(tiga), dan menjadikannya pertengahan (antara Hadits Mutawatir dan Ahad)

adalah pendapat yang jelas ] [ dan menurut mayoritas ‘ulama yang kompeten

dia tidak berfaidah ‘ilm (keyakinan) secara mutlak ] [ … ].”

bayt

540-543

Page 19: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Al-Amiyn Asy-Syinqithiy (w. 1393 H): “…

Dalam masalah apakah Hadits Ahad berfaidah keyakinan atau dia tidak

berfaidah kecuali hanya dugaan, para ‘ulama ushul memiliki tiga madzhab:

Pertama; madzhab mayoritas ‘ulama ushul: bahwa Hadits Ahad hanya

berfaidah dugaan saja, dia tidak berfaidah keyakinan. …”

hlm 155

BUKTI BAHWA KEBENARAN HADITS AHAD TIDAK BERSIFAT PASTI

Contoh 1: Hadits lama penciptaan

Hadits Nomor 2789

Keterangan:

Hadits riwayat Muslim tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an surat As-Sajdah [32]: 4*

* Lihat juga Al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, Huwd [11]: 7, Al-Furqan [25]: 59, Qaaf [50]: 38, dan Al-Hadiyd [57]: 4

“Allah lah yang menciptakan

langit dan bumi dan apa yang

ada di antara keduanya dalam

enam masa, kemudian Dia

bersemayam di atas 'Arsy. tidakada bagi kamu selain dari

padanya seorang penolongpun

dan tidak (pula) seorang

pemberi syafa'at. Maka Apakah

kamu tidak memperhatikan?.”

Page 20: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

• Pada prinsipnya, nash-nash syara’ tidak mungkin saling bertentangan antara satu

dengan yang lainnya, karena semuanya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu

Allah swt.

• Kesan pertentangan sebisa mungkin dikompromikan dahulu dengan melihat

aspek-aspek seperti: pengkhususan terhadap yang bersifat umum, pembatasan

terhadap yang bersifat mutlak, perincian terhadap yang bersifat global, dan

penghapusan hukum lama dengan hukum baru.

• Terjadinya pertentangan antara Al-Qur’an dan Hadits Ahad di atas, sementara

keduanya sama sekali tidak mungkin dikompromikan, secara pasti tidak akan

mengantarkan kepada pembenaran terhadap keduanya sekaligus, melainkan akan

menimbulkan keyakinan bahwa salah satu di antara keduanya pasti salah.

• Karena Al-Qur’an tidak mungkin salah, sebab dia diriwayatkan secara mutawatir,

berarti yang salah adalah Hadits Ahad. Ini membuktikan secara pasti bahwa Hadits

Ahad memungkinkan untuk salah.

hlm 674

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin: “Hadits ini

diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, dan telah

diingkari oleh para ‘ulama, dia bukan hadits shahih dan

tidak benar berasal dari Nabi saw, karena dia telah

menyelisihi Al-Qur’an Al-Kariym.”

Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450 H):

“Adapun apabila dia (Hadits Ahad) menyelisihi salah satu

dari pokok-pokok ini (Al-Qur’an, Hadits Mutawatir, dan Ijma’),

maka wajib ditolak atau ditakwil untuk mengkompromikan

keduanya.”

hlm 631

Page 21: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Contoh 2: Hadits Jibril as. tentang Iman, Islam, dan Ihsan

Hadits Nomor 50

Contoh 2: Hadits Jibril as. tentang Iman, Islam, dan Ihsan

Hadits Nomor 50

Hadits Nomor 8

Page 22: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Hadits Nomor 9

Hadits Nomor 10

Hadits Nomor 184

Page 23: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Hadits Nomor 173

Keterangan:

Semua Hadits Ahad tersebut Shahih, menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu

kedatangan malaikat Jibril as kepada Rasulullah saw yang sedang berada di tengah-tengah

para sahabat, mengajarkan apa itu Iman, Islam, dan Ihsan, kapan Kiamat dan apa tanda-

tandanya (dalam bentuk pertanyaan).

Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran Hadits

Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana hadits yang benar dan tidak

pula berani diambil sumpah atasnya, karena membenarkan secara pasti salah satu dari

hadits-hadits tersebut berarti menganggap yang lainnya tidak benar. Dan jika

membenarkan secara pasti kesemuanya berarti kita meyakini bahwa kejadian tersebutterjadi berkali-kali, yang mana di setiap kalinya Rasulullah saw memberi jawaban yang

berbeda untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama, dan hal itu tidak mungkin.

Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya

perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.

Page 24: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Contoh 3: Hadits mi’raj Rasulullah saw

Hadits Nomor 3207

Hadits Nomor 7517

Page 25: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Keterangan:

Dua hadits riwayat Al-Bukhari tersebut menceritakan satu kejadian yang sama, yaitu

perjalanan mi’râj Rasulullah saw melintasi tujuh tingkatan langit menuju sidratul-muntaha.

Adanya pemberitaan yang berbeda oleh para perawi menunjukkan bahwa kebenaran

Hadits Ahad tidak bersifat pasti. Kita tidak bisa memastikan mana yang benar dari duahadits shahih yang berbeda tersebut dan kita juga tidak berani diambil sumpah atasnya.

Karena membenarkan secara pasti salah satu dari dua hadits tersebut berarti menganggap

satunya lagi tidak benar. Dan jika membenarkan secara pasti kedua-duanya berarti kita

meyakini bahwa kejadian tersebut terjadi lebih dari satu kali, di mana di setiap kalinya

Rasulullah saw bertemu dengan nabi-nabi berbeda di tingkatan-tingkatan langit yangsama, dan hal itu (mi’raj dua kali) tidak pernah dikenal di kalangan ulama baik salaf

maupun khalaf.

Apabila memang Hadits Ahad berfaidah ‘ilm alias kebenarannya bersifat pasti, seharusnya

perbedaan di atas tidak boleh dan tidak mungkin terjadi.

hlm 131

Contoh 4: Tertolaknya riwayat Ahad dalam penetapan ayat-

ayat Al-Qur’an

hlm 167-168

Page 26: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 1 hlm 200

Keterangan:

Jika memang periwayatan secara Ahad bisa mengantarkan kepada ‘ilm (keyakinan) alias

kebenarannya bersifat pasti, niscaya para sahabat tidak akan berani menolak ayat-ayat

yang diriwayatkan secara Ahad saat berlangsungnya proses pengumpulan dan

pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

Atau, niscaya sebagaian dari mereka akan menentang penolakan terhadap ayat-ayat

yang diriwayatkan secara Ahad tersebut, namun pada kenyataannya tidak demikian.

Hal tersebut membuktikan adanya ijma’ di kalangan para Sahabat Nabi dalam

bahwasannya riwayat Ahad bersifat zhanniy, karenanya tidak bisa digunakan sebagaijalan dalam menetapkan perkara yang bersifat pasti (kepastian Al-Qur’an sebagai firman

Allah swt.)

HADITS AHAD TETAP BERFAIDAH ZHANN (DUGAAN)

SEKALIPUN DISERTAI AL-QARÎNAH (INDIKASI)

hlm 66

Yang dimaksud Qarinah dalam bab ini menurut Dr. Mahmud

Ath-Thahhan:

Page 27: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Bisakah al-qarinah berupa talaqqiy al-ummah bil-qabuul (kesepakatan umat untuk menerima)

menjadikan Hadits Ahad berfaidah ‘ilm (keyakinan)? Contoh:

Hadits Ahad yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim

Jawab:

1. Kesepakatan untuk menerima hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim tidak lain adalah kesepakatan

untuk menerima kesahihan menurut zhahir sanadnya, bukan kesepakatan atas ke-qath’iy-an

shahihnya riwayat beliau berdua.

2. Kesepakatan atas diterimanya periwayatan seorang perawi tidak menunjukkan bahwa perawi

tersebut adalah orang yang ma’shum (dijamin terjaga dari kesalahan).

3. Sudah terbukti pada contoh-contoh sebelum ini, bahwa di antara Hadits riwayat Al-Bukhari dan

Muslim ada yang bertentangan dengan Al-Qur’an, juga ada yang saling bertentangan dengan

sesamanya tanpa bisa dikompromikan. Itu menunjukkan bahwa riwayat jenis ini tetap memiliki

kemungkinan salah, dan yang memungkinkan salah mustahil menimbulkan keyakinan.

Wallaahu a’lam

Al-Imam Al-Hafizh An-Nawawi (w. 676 H): “Asy-Syaikh (Al-

Hafizh Ibn Shalah) menyebutkan bahwa apa yang diriwayatkan

oleh mereka berdua (Al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu

dari keduanya maka keshahihannya bersifat pasti, dan

menghasilkan keyakinan. Beliau diselisihi oleh para ’UlamaMuhaqqiqun dan Mayoritas, mereka mengatakan: (apa yang

diriwayatkan Al-Bukhari-Muslim) berfaidah dugaan selama

tidak mutawatir. Wallaahu A’lam.”

hlm 28

Al-Hafizh Al-Faqiyh Sirajuddin Ibn Al-Mulqin Asy-Syafi’iy (w. 804 H): “Kesepakatan umat untuk

mengamalkan apa yang ada pada keduanya (Shahih Al-Bukhari dan Muslim) tidak otomatis

menunjukkan kesepakatan mereka bahwa dia adalah sabda Rasulullah saw. secara pasti.”

juz 1 hlm 76-77

Page 28: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Sanggahan Al-Hafizh An-Nawawi terhadap pendapat Al-Hafizh

Ibnu Shalah dalam kitab syarah beliau atas Shahih Muslim:

juz 1 hlm 41

Bisakah al-qarinah berupa sifat “Al-Masyhur” dan “Al-Mustafidh” menjadikan Hadits Ahad berfaidah

‘ilm (keyakinan)?

Jawab:

1. Al-Masyhur dan Al-Mustafidh adalah hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur tapi tidak sampai

derajat mutawatir. Ada yang mengatakan keduanya sama, ada yang mengatakan yang pertama lebih

umum dari yang kedua, dan ada yang mengatakan sebaliknya.

2. Penentu apakah suatu hadits berfaidah ‘ilm (keyakinan) atau tidak adalah apakah dalam

periwayatannya memungkinkan terjadinya kesepakatan dusta atau tidak.

3. Kesepakatan dusta hanya mustahil terjadi pada Hadits Mutawatir sehingga hanya Hadits Mutawatir

saja yang berfaidah ‘ilm (keyakinan), sementara Hadits Al-Masyhur dan Hadits Al-Mustafidh tidak.

4. Keduanya merupakan bagian dari Hadits Ahad dan berfaidah zhann (dugaan). Hanya saja, kekuatan

keduanya melebihi kekuatan Hadits Ahad pada umumnya namun tidak sampai menyamai kekuatan

Hadits Mutawatir, keduanya menimbulkan ‘ilm thuma’niynah (ketenangan jiwa) namun tidak sampai

menimbulkan ‘ilm yaqiyn (keyakinan). Wallaahu a’lam

Pengertian Hadits Al-Masyhur:

hlm 116

Page 29: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970 H): “Pendapat yang benar adalah kesepakatan ‘ulama

atas ketidakkafiran orang yang menolak hadits Masyhur disebabkan ke-ahad-an pangkalnya,

maka penolakan terhadapnya belum secara pasti berarti pendustaan terhadap Nabi saw.”

hlm 271

hlm 16

PERKATAAN PARA ‘ULAMA BAHWA HADITS AHAD TIDAK BISA DIGUNAKAN

SEBAGAI HUJJAH DALAM PERKARA AKIDAH (KEYAKINAN)

Al-Imam ‘Alauddiyn As-Samarqandiy Al-Hanafiy (w. 450 H):

“Adapun apabila dia (Hadits Ahad) berkenaan dengan

perkara-perkara akidah –yaitu masalah-masalah Kalam–

maka dia tidak bisa menjadi hujjah.”

hlm 632

Page 30: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Hafizh Abu Bakar Al-Baihaqiy Asy-Syafi’iy (w. 458 H):

“Dikarenakan aspek ini, yaitu adanya ihtimal (kemungkinan

salah), maka para ulama ahli nazhar dari madzhab kami,

meninggalkan berhujjah dengan Hadits Ahad dalam perkara

sifat Allah swt.”

hlm 335

Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Khathiyb Al-Baghdadiy (w. 463 H):

“Hadits Ahad tidak diterima dalam perkara-perkara agama yang

menuntut para mukallaf untuk meyakininya dan memastikannya.”

hlm 432

Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syiyraziy Asy-Syafi’iy (w. 476 H):

“Jawabannya adalah bahwa dalam perkara ushul (seperti

Tauhid dan Penetapan Sifat-sifat Allah swt) dalil-dalil nya harus

logis, yang mengharuskan keyakinan serta menghilangkan

sangsi, maka kami tidak menggunakan Hadits Ahad.”

juz 2 hlm 601

Page 31: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

juz 3 hlm 27-28

Al-Imam Abu Al-Khaththab Mahfuzh bin Ahmad Al-Hambaliy

(w. 510 H): “Kami menerimanya (Hadits Ahad) dalam perkara

‘amaliyah (praktis), dan jika diberitakan kepada kami suatu

qira’ah syadzdzah (ayat dengan riwayat ahad) yang di

dalamnya ada ketetapan halal dan haram maka kami mengambilnya, namunkami tidak mengakuinya sebagai Al-

Qur’an, karana jalan penetapan Al-Qur’an dan Ushuluddiyn

(Akidah) adalahkeyakinan, sementara keyakinan tidak bisa

timbul dengan Hadits Ahad.”

Al-Imam Muhammad bin Abdil Hamiyd Al-Asmandiy Al-Hanafiy

(w. 552 H): “Tidak boleh menerima Hadits Ahad (sebagai hujjah)

dalam perkara-perkara akidah.”

hlm 406

Al-Imam Abu Ats-Tsana’ Al-Hanafiy (w. 6.. H): “Hadits Ahad tidak bisa

dijadikan hujjah dalam masalah-masalah akidah, karena masalah-

masalah akidah dibangun berdasarkan keyakinan yang pasti, sementara

Hadits Ahad (hanya) menimbulkan kebenaran pada umumnya dan

dugaan kuat , tidak sampai kebenaran yang bersifat pasti.”

hlm 148

Page 32: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah Al-Hambali (w. 728 H):

“Bagaimana bisa pokok agama yang keimanan tidak sah

tanpanya itu ditetapkan berdasaran Hadits Ahad?”

(Bantahan beliau atas Rafidhah yang mengklaim Hadits tentang

kedatangan Al-Imam Al-Mahdiy untuk melegitimasi kedatanganMuhammad bin Al-Hasan, imam mereka yang ke-12)

juz 4 hlm 94-95

Al-Imam Syaikhu-l-Islam Taqiyuddiyn As-Subkiy Asy-Syafi’iy (w.

756 H): “ke-qath’iy-an atau ke-mutawatir-an bukan merupakan

syarat baginya (penetapan ru’yatu-Llaah), bahkan tatkala suatu

hadits yang shahih meski hanya zhahirnya, sementara dia

adalah Hadits Ahad, maka boleh dijadikan dasar dalam perkaraitu, karena perkara itu tidak termasuk dalam masalah akidah

yang menuntut syarat kepastian.”

hlm 495-496

juz 1 hlm 20

Page 33: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-’Allaamah Sa’du-d-Diyn At-Taftazaniy Al-Hanafiy (w. 791 H):

“Dalil zhanniy tidak diperhitungkan dalam bab akidah,

khususnya jika mencakup kontradiksi antar riwayat. …”

hlm 89

Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’iy (w. 852 H): “… Bahwa

Beliau (Al-Bukhari) menggiring hadits-hadits tentang sifat suci Allah

dengan menjadikan setiap hadits menjadi satu bab lalu

memperkuatnya dengan ayat Al-Qur’an, untuk menunjukkan bahwa

hadits-hadits tersebut tidak termasuk Hadits Ahad, demi tidakberhujjah dengannya (Hadits Ahad) dalam perkara-perkara akidah.”

Al-Imam Zainuddiyn bin Ibrahim Ibn Najiym Al-Hanafiy (w. 970

H): “Penjelasan tentang tempat digunakannya Hadits Ahad

maka di luar perkara-perkara akidah, karena sesungguhnya

perkara-perkara akidah tidak bisa ditetapkan berdasarkan

Hadits Ahad lantaran keharusannya dibangun berdasarkankeyakinan.”

hlm 293

Page 34: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-’Allamah ‘Ali Al-Qariy Al-Hanafiy (w. 1014 H): “… karena dia

(penetapan kedudukan orang tua Nabi saw di akhirat)

termasuk dalam bab i‘tiqad (keyakinan) maka tidak berlaku

padanya dalil-dalil zhanniy, dan tidak cukup hanya

berdasarkan Hadits-hadits Ahad yang lemah dan riwayat-riwayat Ahad yang tidak jelas, ...”

hlm 62-63

Al-Imam Al-Muhaqqiq Muhammad bin Ahmad As-Safariniy Al-

Hambaliy (w. 1188 H): “Dalil zhanniy tidak diperhitungkan dalam

perkara-perkara akidah, akan tetapi diperhitungkan dalam

perkara-perkara ‘amaliyah (syari’ah).”

juz 1 hlm 5

MENJAWAB SYUBHAT

Syubhat: “Nabi dan Rasul diutus dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir, tapi umat manusia wajib mengikuti ajaran yang mereka bawa seluruhnya (akidah dan syari’ah). Itu menunjukkan bahwa periwayatan secara Ahad telah ditetapkan oleh Allah swt untuk diterima tanpa membedakan antara akidah dan syari’ah?”

Jawaban: Yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah bagaimana memastikan tsubut suatu khabar. Nabi dan rasul memang diutus tidak dalam jumlah mutawatir, tapi untuk membuktikan kepastian bahwa mereka adalah benar-benar utusan Allah swt, mereka dibekali mu’jizat, dan untuk menjamin kemurnian ajaran yang mereka sampaikan, mereka diberi sifat ‘ishmah (terjaga dari kesalahan). Jika dua perkara di atas (mu’jizat dan sifat ‘ishmah) ada pada diri para perawi hadits, niscaya semua khabar yang mereka riwayatkan berfaidah ‘ilm (keyakinan), sekalipun secara Ahad. Tapi pada kenyataannnya tidak demikian dan tidak mungkin demikian. Para perawi hadits tidak ma’shum dan karenanya kebenaran riwayat mereka yang Ahad tidak bersifat pasti. Perkara yang bersifat tidak pasti semacam ini tidak mungkin bisa dijadikan landasan bagi perkara yang menuntut keyakinan pasti (akidah).

Page 35: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh Rasulullah saw

Hadits Nomor 714

Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh Abu Bakar ra

Hadits Nomor 2101

Syubhat: “Bukankah Rasulullah saw mengutus para sahabat untuk menyampaikan, mendakwahkan, atau mengajarkan Islam (akidah dan syari’ahnya) dalam jumlah yang tidak mencapai batas mutawatir? Itu bertanda bahwa Rasulullah saw sendiri menyepakati berlakunya hadits ahad dalam perkara akidah.” Jawaban: 1. Perlu dibedakan antara aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym, dengan aktivitas

Tahqiyq (pemastian). Aktivitas Tabliygh, Da’wah, dan Ta’liym tidak memiliki ketentuan syar’iy terkait dengan jumlah pelakunya, artinya dia boleh dilakukan secara individu maupun bersama-sama. Sedangkan dalam aktivitas Tahqiyq (yang dilakukan oleh pihak penerima khabar) secara ilmiyah terdapat ketentuan terkait dengan sanad, di mana dengan ketentuan itulah dapat diketahui kapan kebenaran hadits bersifat pasti, dan kapan tidak.

2. Aktivitas tahqiyq pernah dilakukan Rasulullah saw dalam hadits Dzul-Yadaiyn; dan para sahabat, diantranya Abu Bakar dalam hadits tentang bagian waris nenek, Umar bin Khaththab dalam hadits isti’dzan. Padahal ketiganya dalam perkara syari’at, untuk perkara akidah tentunya lebih utama.

3. Menurut para ulama bahwa hadiyts ‘aalin (dengan jalur periwayatan pendek) itu lebih kuat daripada hadiyts naazil (dengan jalur periwayatan panjang), maka sudah barangtentu pemberitaan secara ahad di masa Nabi saw dan para Sahabat Beliau jauh lebih kuat daripada yang kita kenal sebagai Hadits Ahad saat ini. Maka tidak bisa mengqiyaskan antara ini dan itu.

Page 36: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Tahqiyq khabar yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab ra

Hadits Nomor

714

Syubhat:

“Bukankah syara’ membolehkan menerima persaksian yang jumlahnya antara 1, 2, dan 4? dan itu

bukan merupakan jumlah yang mencapai mutawatir. Berarti syara’ membolehkan menerima

pemberitaan secara Ahad.”

Jawaban:

1. Ar-riwâyah (periwayatan) berbeda dengan asy-syahâdah (persaksian). Ketentuan persaksian yang

tidak ada pada periwayatan: tidak diterima persaksian tanpa al-mu’aayanah aw as-samaa’ al-

mubaasyir (melihat atau mendengar perkara secara langsung/tidak melalui pemberitaan orang

lain); tidak boleh diambil dari anak, bapak, saudara, dan musuh; memenuhi jumlah yang telah

ditetapkan; dan hanya disampaikan di majelis Qadhiy. Syarat periwayatan yang tidak ada pada

persaksian: adh-dhabt (memiliki keterjagaan hafalan dan atau tulisan). Mengqiyaskan persaksian

dengan periwayatan adalah pengqiyasan dengan adanyapembeda (al-qiyaas ma’a-l-faariq), dan

hal tersebut tidak dibenarkan.

2. Dari aspek tsubuwt-nya khabar, jumlah persaksian ditetapkan oleh syara’ bukan dalam rangka

untuk mendapatkan ke-qath’iy-an (kepastian) khabar, tapi untuk mengantarkan seorang qadhi

menetapkan perkara dengan sah secara syar’iy (meski belum tentu benar secara pasti). Nabi saw

bersabda: … aqdhiy lahu ‘alaa nahwi maa asma’ (… aku menetapkan baginya berdasarkan apa

yang aku dengar), bukan aku menetapkan baginya berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi.

Menghukumi berdasarkan perkara zhahir (yang dilihat/didengar)

Hadits Nomor 6967

Page 37: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Syubhat:

“Kaum muslimin di Quba’ menerima pemberitaan secara Ahad pada saat mereka shalat

shubuh terkait pemidahan qiblat dari Masjidi-l-Aqsha menuju Masjidi-l-Haram sehingga

mereka mengubah arah shalat seketika itu juga. Rasulullah saw yang tahu hal tersebut

mendiamkan bertanda beliau setuju atas penerimaan terhadap Hadits Ahad.”

Jawaban:

Ketentuan-ketentuan di dalam amalan Shalat (baik gerakan maupun bacaan) termasuk

bab syari’at, sehingga penetapan atasnya tidak dibatasi hanya berdasarkan nashmutawatir saja, melainkan juga menerima nash ahad. Termasuk dalam ketentuan shalat

adalah menghadap qiblat, maka penerimaan penduduk Quba’ di situ baru menunjukkan

wajibnya menerima Hadits Ahad dalam perkara syari’at, belum menunjukkan penerimaan

terhadap Hadits Ahad dalam perkara Akidah.

Syubhat:

“Bukankah dalam mengamalkan syari’at juga harus berdasarkan keyakinan?.”

Jawaban: Tidak semua amalan menuntut untuk disertai keyakinan, karena fakta amalan ada yang

berdasarkan nash qath’iy, dan ada yang berdasarkan nash zhanniy.

Untuk amalan yang berdasarkan nash qath’iy secara tsubut, selama dilalah-nya juga

qath’iy maka amalan tersebut diyakini sebagai al-ma’luwm minad-diyn bidh-dharuwrah,

seperti syaria’t shalat, zakat, puasa dan haji. Mengingkari syari’at-syari’at tersebut

dihukumi kafir, karena mengingkari perkara qath’iy.

Untuk amalan yang berdasarkan nash zhanniy (zhanniy tsubut dengan qath’iy dilalah, qath’iy tsubut dengan zhanniy dilalah, atau zhanniy tsubut dan dilalah secara

bersamaan), maka pengamalannya tidak bisa disertai keyakinan, melainkan cukup

berdasarkan dugaan kuat sebagai pendapat yang rajih (lebih kuat dari yang lain), tanpa

menafikan adanya kemungkinan pendapat lain yang benar. Perselisihan pendapat di

dalamnya bukan wilayah pengkafiran.

KONSEKWENSI MENGANGGAP HADITS AHAD

BERFAIDAH ‘ILM (KEYAKINAN)

KONSEKWENSI MENGANGGAP HADITS AHAD BERFAEDAH ‘ILM

• Menganggap para perawi tsiqoh sebagai pribadi-pribadi yang ma’shûm (dijamin terjaga

dari kesalahan) di samping para nabi dan rasul, karena periwayatan mereka secara ahad

dianggap pasti benar.

• Menganggap mushhaf Al-Qur’an yang ada saat ini tidak lengkap, karena tidak

menghimpun ayat-ayat yang diriwayatkan secara ahad yang secara pasti dianggapsebagai firman Allah swt.

• Menganggap Hadits Ahad bisa me-nasakh Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, karena nash

qath’i tidak bisa dinasakh kecuali oleh sesama nash qath’i.

• Membuka peluang ikhtilaf yang sangat tajam di wilayah ushûl (pokok) agama yang

merupakan penentu sah dan tidaknya suatu keimanan, karena fakta Hadits Ahad tidaksedikit yang bersifat kontradiktif.

• Menganggap kafir orang yang mengingkari Hadits Ahad (karena dianggap mengingkari

nash qath’i), padahal para ‘ulama sepakat: ingkar terhadap Hadits Ahad tidak sampai

kafir.

Page 38: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

Al-Imam Al-’Allamah Asy-Syariyf Al-Jurjaniy (w. 816 H): “Orang

yang ingkar terhadap Hadits Mutawatir adalah Kafir menurut

kesepakatan ‘ulama, … Orang yang ingkar terhadap Hadits

Ahad tidak sampai dikafirkan menurut kesepakatan ‘ulama.”

hlm 85

SIKAP TERHADAP HADITS AHAD

YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKARA AKIDAH

1. MENOLAKNYA: Apabila dia bertentangan dengan nash qath’iy (baik Al-Qur’an

maupun Hadits Mutawatir) dan tidak mungkin dikompromikan. Sebagian ‘ulama

men-ta’wîl-nya.

2. BER-TAWAQQUF (MENAHAN SIKAP): Apabila dia bertentangan dengansesamanya dan tidak mungkin dikompromikan, juga tidak dapat diketahui mana

yang lebih kuat. Hal ini karena tidak mungkin semuanya benar, dan bahkan tidak

menutup kemungkinan semuanya salah.

3. MEMBENARKANNYA TANPA MEYAKINI: Apabila dia tidak bertentangan dengannash qath’iy dan tidak bertentangan dengan sesama Hadits Ahad.

Membenarkan Hadits Ahad lebih menenteramkan hati dari pada mengingkarinya,

karena kemungkinannya untuk benar lebih besar dari pada kemungkinannya

untuk salah (disebabkan ke-tsiqah-an para perawi).

Namun Hadits Ahad tidak bisa dibenarkan secara pasti (diyakini), karena

kemungkinannya untuk salah tetap melekat padanya selama para perawinya

bukan orang-orang yang ma’shûm (dijamin terjaga dari kesalahan).

Bahkan haram meyakininya, karena jika Hadits Ahad yang diyakini ternyata salah,

maka klaim sah-tidaknya keimanan (baik bagi diri sendiri maupun terhadap orang

lain) berdasarkan Hadits Ahad tersebut menjadi salah, dan kesalahan klaim dalam

perkara ini bisa menjerumuskan pelakunya kepada dosa.

[ HADITS AHAD HARAM UNTUK DIBENARKAN SECARA PASTI (DIYAKINI),

JUGA HARAM UNTUK DIINGKARI. DIA WAJIB DIBENARKAN DENGAN

PEMBENARAN YANG BERSIFAT TIDAK PASTI ]

Page 39: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

PEMBENARAN YANG BERSIFAT TIDAK PASTI BISA

DITANDAI DENGAN KETIDAK-BERANIAN BERSUMPAH

Al-Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat Al-Atsrammenyatakan: “Apabila datang suatu hadits dari Nabi saw

dengan sanad yang shahih, di dalamnya ada (ketetapan)

hukum atau kewajiban maka aku akan mengamalkannya dan

menghambakan diri kepada Allah dengannya, namun aku

tidak berani bersumpah bahwa Nabi saw benar-benar telahmengatakannya.”

juz 3 hlm 78

juz 1 hlm 329

juz 1 hlm 193

Page 40: Hadist Ahad Dalam Masalah Aqidah

FATWA ‘ULAMA AL-AZHARLampiran

(Sumber: http://www.kl28.com/fat1r.php?search=3624 atau http://islamport.com/w/ftw/Web/953/3626.htm)

MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH:

DALIL MASALAH AKIDAH HARUS MUTAWATIR

“Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah*:

5. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir. …” (Sumber: Manhaj Tarjih Muhammadiyah, oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, hlm 13, lihat juga:

http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/02/manhaj-tarjih-muhammadiyah.html)

“…, tentang tanda-tanda hari kiamat, kalau tanda-tanda itu diterangkan oleh dalil-dalil al-

Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir, maka Muhammadiyah meyakininya, karena

sesuai dengan manhaj yang dipegang Muhammadiyah, menyangkut soal i’tiqad

(keyakinan), dalilnya harus mutawatir. …” (Sumber: http://www.fatwatarjih.com/2012/06/itiqad-muhammadiyah-tentang-hari-kiamat.html) ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________

* Merupakan Rumusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 1929, dan tidak tidak ada perubahan pada Munas Majlis Tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 di Jakarta.

Lampiran